Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1 Didi Nazmi. Konsepsi Negara Hukum. Angkasa Raya: Padang. 1992. hal 50.
2
Ibid
2
asasi manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata
bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. sehingga hak asasi
manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable rights).3
3Rozali Abdullah. Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
2001. hal 10
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
ini disebut sebagai tidakan yang tidak manusiawi karena nilai-nilai dasar kemanusiaannya
tidak dihargai.
Berdasarkan pengertian Hak Asasi Manusia di atas, maka ada beberapa ciri pokok
Hak Asasi Manusia yaitu:
a. bahwa hak asasi itu tidak diberikan atau diwariskan melainkan melekat pada
martabat kita sebagai manusia;
b. bahwa hak asasi itu berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin,
asal-usul, ras, agama, etnik, dan pandangan politik;
c. bahwa hak asasi itu tidak boleh dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak
untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap memiliki hak asasi
manusia meskipun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi bahkan
melanggar hak asasi manusia.
4' Soepomo memandang UUDS 1950 ini terlalu progresif, liberal dan berlebihan dalam melayani HAM (Lubis,
1993: 5).
5
Semangat untuk "memanjakan" HAM biasanya hanya berlangsung pada tahun-
tahun awal pergantian atau dimulainya suatu rezim. Dua tahun pertama suatu
pemerintahan baru di Indonesia biasanya memang memberi janii politik positif
terhadap jaminan dan perlindungan HAM. Sebagian bahkan menyebut bahwa
masa dua tahun itu sebagai waktu bagi euphoria masyarakat untuk mendapatkan
jaminan HAM-nya sebagai warganegara. Namun demikian, penyimpangan-
penyimpangan terhadap pemberian perlindungan HAM cenderung terjadi setelah
itu karena berbagai alasan. Dari kacamata negara, pembatasan HAM tentu
disebutkannya sebagai upaya untuk menjamin kesatuan dan persatuan bangsa
serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Dari kacamata yang lain, pembatasan
dan bahkan pelanggaran HAM tetap saja tercatat sebagai suatu aib bagi rezim
yang berkuasa dan melakukannya. Pengingkaran HAM yang terjadi pada masa
kekuasaan rezim orde Baru juga menampakkan kecenderungan yang serupa.
Dalam kurun waktu 32 tahun, sejumlah kebebasan berserikat dan kebebasan Pers
dicederai, diganggu dan bahkan dimatikan. Selain itu, interpretasi terhadap
Pancasila cenderung ditentukan oleh kekuasaan dan bersifat terpusat.
b. Perubahan aktor Pelanggar HAM
Pada periode tertentu beragam pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia
memperoleh liputan dan dipublikasikan di media massa, hal tersebut cenderung
mendapat perhatian besar dari masyarakat, sebagai konsekuensinya kerap menuai
berbagai kritik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Hal tersebut
biasanya adanya keterlibatan antara pihak aparatur negara dan militer. Beberapa
contoh kasus yang melibatkan aparatur negara seperti, Kasus yang terjadi di
Nanggroe Aceh Darusalam/NAD (pemberlakuan DOM serta konflik bersenjata
antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM menurut versi GAM dan
Gerakan Separatis Aceh atau GSA dalam versi TNI dan Polri), dan kasus
kerusuhan di Papua (gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka atau OPM yang
menginginkan kemerdekaan).
Laporan media massa, dan elektronik di Indonesia memiliki peran dalam
mengangkat pelanggaran-pelanggaran oleh military state apparatus yang memang
cukup leluasa pada masa sekarang, utamanya sejak rejim Orde Baru tumbang.
6
Media mengungkap banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat
negara, bahkan ada 131 kasus yang masuk kedalam kategori pelanggaran HAM
serius. Berbagai tindak kekerasan terus berlangsung dan ironisnya ada yang
membuat pernyataan kalau terjadinya tindak kekerasan itu dapat dimaklumi
dengan berlandaskan mereka adalah aparatur negara yang menjaga keamanan
negara, dan membuat alasan sedang melakukan tugas sebagai satuan keamanan.
Dengan berbagai macam berita yang beredar militer Indonesia kemudian mencoba
membenahi hal ini. Terliput di media massa misalnya, bekal panduan HAM
diberikan kepada prajurit-prajurit yang diterjunkan ke suatu daerah konflik,
paradigma TNI diubah ke paradigma yang lebih santun dan sikap militer ke
kalangan sipil nampaknya juga melunak. Arti lebih juth dari kenyataan baru itu
adalah munculnya aktor-aktor pelanggar HAM lainnya sehingga memperpanjang
deretan pelanggaran HAM di Indonesia.
c. Fokus besar dan keterlambatan
Hal umum yang sebenarnya kurang tepat diterapkan adalah bentuk pemahaman
dan kesadaran untuk menghormati nilai-nilai HAM di Indonesia yang sering
terjebak pada persoalan ukuran atau besaran. Pelanggaran HAM diukur secara
kuantitatif atas dasar besaran jumlah korban, tingkat kekejian dan cara
pelanggaran itu dilakukan serta aktor dan dalang dari kasus pelanggaran itu.
Selain itu, bentuk pelanggaran HAMnya harus dipandang sebagai suatu kesalahan
yang layak dan harus dibenahi. pengabaian pada pelanggaran hal-hal kecil di
sekitar masyarakat biasnya menjadi poison of condition dan tanpa disadari bisa
meningkat sedikit demi sedikit. Konsekuensinya, ketika pengabaian menjadi
besar, impunity berkecenderungan terjadi. Akibat lainnya, kesadaran atas
terjadinya pelanggaraan akan datang terlambat dan rentetan, akibat ini semakin
panjang saat penanganannya menjadi semakin berat, hingga ke titik "sudah terlalu
terlambat”.
Dengan memakani pengertian sebaliknya, seberapa kecil sebenarnya pelanggaran
HAM bisa ditolerir? Tidak ada. Tidak satu pun bentuk pelanggaran kecil yang
terkait dengan HAM dapat ditolerir. Hal ini berlaku jika Indonesia benar-betul
ingin menegakan dan memberi perlindungan HAM secara maksimal kepada
7
rakyatnya. Pernahkah terbayang suatu bentuk pengaduan pelanggaran HAM oleh
seorang ibu siswa Sekolah Dasar yang datang ke Komisi Nasional HAM "hanya"
karena anak laki-lakinya ditolak saat akan ikut bermain dalam permainan anak-
anak perempuan sebayanya? Kemungkinan besar, di Indonesia, pelanggaran
seperti itu tak pernah terpikir sebagai suatu pelanggaran HAM.
Selama sebagian besar di abad terakhir ini, Indonesia dianggap sebagai negara
yang terpinggirkan (pariah state), terisolasi dari negara-negara lain karena memiliki
rekam jejak yang buruk terkait hak asasi manusia. Situasi ini berubah pada tahun 1998,
sebagian besar perubahannya didorong oleh upaya gerakan hak asasi manusia (HAM)
Indonesia, namun, saat ini Indonesia kembali berada di ambang batas. Ketika, banyak
negara tetangga yang mengalami kemunduran dalam penegakan HAM, tampaknya
Indonesia ditarik ke dua arah. Dalam sebuah pertempuran antara kelompok fundamentalis
dan kelompok progresif di antara populasi yang berjumlah lebih dari 250 juta orang ini,
Indonesia membutuhkan kebangkitan para pembela HAM, untuk mempertahankan apa
yang telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir, serta melangkah maju dalam proses
demokratisasi. Untuk itu, gerakan HAM di Indonesia perlu menemukan kembali jati
dirinya sekali lagi demi terciptanya perubahan.
Setelah percobaan kudeta dan ‘pembantaian’ yang kejam oleh kelompok anti-
komunis pada tahun 1965-1966, yang menelan korban jiwa kira-kira satu juta orang,
Indonesia berada di bawah pemerintahan Jenderal Suharto selama lebih dari 30 tahun.
Rezim Orde Baru Suharto dikenal secara luas karena pelanggaran yang brutal terhadap
HAM, termasuk kematian 90.000-100.000 orang di Timor Leste selama pendudukan
Indonesia. Meskipun kekejaman Soeharto sudah menjadi pengetahuan umum, Suharto
tetap mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat internasional hingga akhir
pemerintahannya. Banyak aktivis HAM yang berani menentang rezim Suharto harus
membayar aksi perlawanan mereka dengan masuk penjara untuk waktu yang lama,
8
penyiksaan, “dihilangkan”, atau dibunuh. Semua ini berubah pada tahun 1998 akibat
beberapa faktor, khususnya:
a. Pemilu tahun 1997 yang dinilai curang karena menguntungkan Suharto sehingga
ia memenangkan periode lima tahunannya sebagai Presiden RI untuk ketujuh
kalinya,
b. krisis finansial/moneter yang terjadi pada tahun 1997,
c. kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terbukti menjadi pemicu akhir.
Dengan dipimpin oleh mahasiswa serta aktivis HAM, ribuan orang pun turun ke
jalan. Pada tanggal 21 Mei 1998, Jenderal Suharto terpaksa mengundurkan diri setelah
berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Setelah jatuhnya Orde Baru, Era Reformasi pun
tiba. Era Reformasi begitu dipuja karena proses demokratisasi dan pertumbuhan
ekonominya. Ketika banyak pihak memperkirakan Indonesia akan menjadi korban
‘Balkanisasi’, Indonesia justru menjadi negara demokrasi yang cukup baik serta dapat
dikatakan sebagai “moral compass” di kawasannya. Walaupun begitu, Indonesia masih
memiliki banyak tantangan; contohnya, pengaruh militer di dalam negeri, korupsi yang
merajalela, serta ketimpangan sosial dan ekonomi.
Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo memberikan harapan tinggi bahwa ia
akan menyelesaikan permasalahan HAM di Indonesia, namun belum banyak yang telah
dilakukan sampai sejauh ini. Ditambah lagi, dengan meningkatnya fundamentalisme dan
sektarianisme, Indonesia sangat membutuhkan gerakan HAM. Namun, respon yang
muncul terhadap permasalahan HAM di Indonesia saat ini tidak lagi sama seperti dua
dekade lalu. Beberapa orang dari komunitas HAM seperti Novri Susan mengatakan,
bahwa demokrasi yang telah dicapai telah membuat gerakan HAM di Indonesia menjadi
kurang sigap. Rekan lainnya, seperti Willy Purna Samadhi, berpendapat bahwa
identifikasi terhadap “lawan” atau “penindas” HAM yang saat ini tidak sejelas dulu, telah
membuat upaya untuk menjangkau khalayak luas menjadi lebih sulit, padahal hal ini
dibutuhkan demi memperoleh kembali legitimasi masyarakat. Apapun penyebabnya,
untuk menemukan kembali jati dirinya serta berkembang kembali, gerakan HAM di
Indonesia membutuhkan wajah-wajah baru, energi baru, serta gagasan-gagasan yang juga
baru.
9
Komnas HAM tak dapat bekerja sendiri dalam pemajuan dan penegakan HAM di
tanah air. Keterlibatan kelompok-kelompok dalam ruang sosial yang ada, termasuk
mahasiswa, kemudian menjadi penting. Apalagi peran mahasiswa dalam perubahan
politik di negeri ini, sebagaimana diuraikan di atas, sangat signifikan.Sebagai kekuatan
penekan, mahasiswa dapat memainkan peran dalam penegakan HAM dengan pilihan
strategi dan taktik berikut:
Perubahan politik besar pada 1965—1966, Peristiwa Malari 1974, Peristiwa 1978,
Gerakan Kelompok Diskusi 1980-an Pasca-NKK/BKK, Gerakan Mahasiswa pada 1998,
dan terakhir gerakan parlemen jalanan menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM)
pada 2012 telah menunjukkan dengan gamblang kepada kita semua betapa mahasiswa
merupakan kelompok penekan yang kekuatan politiknya tak bisa dipandang remeh. Jadi,
jargon bahwa mahasiswa adalah agent of change bukan lagi mitos. Mahasiswa, sebagai
10
kelompok intelektual dan wakil dari kelompok anak muda dari warga, secara naluriah
memiliki tingkat kepekaan yang tinggi pada persoalan-persoalan sosial di sekitarnya. Tak
heran Bung Karno pernah berujar, ”Sediakan aku 10 pemuda, maka akan kuguncang
dunia!”.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu.
Istilah hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang
tersebut bersifat mendasar. Tuntutan-tuntutan hak asasi merupakan kewajiban dasar yang
harus dipenuhi karena bersifat fundamental. Segala hak lain (hak yang bukan asasi) atau
hak derivative bisa dikatakan sebagai penjabaran dari hak-hak ini. Karena hak asasi
bersifat mendasar atau fundamental maka pemenuhannya bersifat imperative, artinya hak-
hak itu wajib dipenuhi karena hak-hak ini menunjukkan nilai subjek hak, atau perintah
yang harus dilaksanakan.
11
generasi berikutnya. Konsistensi gerakan mahasiswa sangat longgar dan tergantung pada
pola kaderisasi di lembaga-lembaga kemahasiswaan. Di samping itu, kekuatan politik
mahasiswa juga sangat rentan pada fragmentasi ideologi gerakan, dari ujung Kiri hingga
ujung Kanan. Kemapanan ideologi gerakan juga ditentukan oleh tradisi yang tumbuh
pada masing-masing universitas. Dengan demikian, mahasiswa sebagai kekuatan politik
memang menyisakan persoalan soliditas gerakan. Walaupun demikian kekuatan kesatuan
yang dimiliki mahasiswa tidak boleh diragukan karena sejarah perubahan politik besar di
negeri ini selalu diwarnai oleh peran mahasiswa yang sangat menonjol.
Daftar Pustaka
Dudi, C. (2009). Pengantar pendidikan kewarganegaraan. Bandung: Insan Mandiri.
Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
12
Soepomo memandang UUDS 1950 ini terlalu progresif, liberal dan berlebihan dalam
melayani HAM (Lubis, 1993: 5).
13