Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Sosio Antro
Sosio Antro
GOBANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Berbicara mengenai arsitektur, niscaya akan terkait dengan ruang. Ruang menjelma
dalam berbagai pola dan tatanan, yang dikelola dan disusun oleh arsitektur (Lawson, 2001:6).
Sehingga, terlihat hubungan yang erat antara arsitektur dan ruang. Hubungan tersebut tidak
sesederhana seperti tampaknya, namun keberadaannya tak terelakkan. Isi ruang, merujuk pada
manusia sebagai pemilik dan/atau pemakai ruang tersebut. Seperti hubungan antara arsitektur
dan ruang, maka hubungan antara ruang dan manusia juga tak terelakkan. Baik dari segi fisik,
sosial maupun psikologi. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka dalam penggunaan
ruang, ia tidak sendiri, tetapi berkelompok.
Pada bidang arkeologi akan terkait dengan benda-benda peninggalan manusia dari masa
lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk menemukan sisa-sisa peralatan
hidup atau senjata. Tujuannya adalah menggunakan bukti -bukti yang mereka dapatkan untuk
merekonstruksi atau membentuk kembali model-model kehidupan pada masa lampau. Dengan
melihat pada bentuk kehidupan yang direnkonstruksi tersebut dapat dibuat dugaan-dugaan
bagaimana masyarakat yang sisa-sisanya diteliti itu hidup atau bagaimana mereka datang
ketempat itu atau bahkan dengan siapa saja mereka itu dulu berinteraksi.
Sedangkan gagasan mengenai arsitektur atau lingkungan binaan sebagai unit budaya
berhuni bisa ditelusuri dari wacana House-Society yang diselidiki oleh sarjana Strukturalis
terkemuka. Levi Straus juga Habitus oleh Peter Bordieu dan Nold Egenter dengan
konseptualisasi empat tipe habitat (ruang semantik, ruang domestik, arsitektur pemukiman dan
ruang urban). Konseptualisasi gagasan tersebut mengarah pada kritik terhadap istilah-istilah
seperti arsitektur, bangunan, kota yang kemudian dipandang terlalu parsial dan teknis kernanya
perlu diganti dengan istilah yang lebih holistik-paradigma habitat.
Menurut Rapoport (1989), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat
terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah
dalam ruang-ruang tertentu. Ketataruangan secara konsepsual menekankan pada proses yang
saling bergantung antara lain: 1. Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan
sesuai dengan hubungan fungsional tersebut; 2. Proses pengadaan ketersediaan fisik yang
menjawab kebutuhan akan ruang bagi aktivitas seperti bentuk tempat kerja, tempat tinggal,
transportasi dan komunikasi; dan 3. Proses pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini
antara berbagai bagian-bagian permukaan bumi di atas, yang mana ditempatkan berbagai
aktivitas dengan bagian atas ruang angkasa, serta ke bagian dalam yang mengandung berbagai
sumber daya sehingga perlu dilihat dalam wawasan yang integratik.
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih memegang
nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama yang
bersifat husus atau unik pada suatu masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula
di luar determinasi sejarah. Struktur ruang permukiman digambarkan melalui
pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan
melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan
mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi
juga objek nyata dari identifikasi.
1
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
1.3 Tujuan
Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik pola permukiman dan
perwujudan budaya masyarakat Sikka Kawasan Istana Lepo Gete, mengidentifikasi dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pada Kawasan Istana Lepo Gete,
serta merumuskan arahan pelestarian yang sesuai untuk Kawasan Istana Lepo Gete.
2
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI
2.2
2.3 Administrasi Wilayah
2.3.1 Kabupaten Sikka
Kabupaten Sikka sebagai salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Nusa Tenggara
Timur termasuk dalam gugusan Pulau Flores dan terletak di antara 8022’ sampai 8050’ Lintang
Selatan dan 121055’40” sampai 122041’30” Bujur Timur.
3
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Kabupaten Sikka
Ibukota wilayah Kabupaten Sikka terletak di Maumere. Secara fisik dan administrasi,
wilayah Kabupaten Sikka berbatasan dengan :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ende
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur
Secara administrasi, wilayah Kabupaten Sikka terdiri dari 21 kecamatan, 147 desa dan 13
kelurahan. Total luas wilayah daratan dan lautan yang dimiliki Kabupaten Sikka adalah
3.253,24 km2, yang terdiri dari daratan seluas 1.731,91 km2.
Wilayah kecamatan terluas yang terdapat di Kabupaten Sikka adalah Kecamatan
Talibura yaitu seluas 404,47 km2 atau sekitar 23,35% dari total luas wilayah di Kabupaten
Sikka. Sedangkan luas wilayah terkecil terdapat pada Kecamatan Lela yaitu seluas 31,33 km 2
atau sekitar 1,81% dari total luas wilayah di Kabupaten Sikka. Di Kecamatan Lela inilah,
terdapat Desa Sikka atau Kampung Sikka yang diyakini sebagai awal terbentuknya kehidupan
dan peradaban masyarakat Sikka. (Sumber : Bappeda Kabupaten Sikka,Tahun 2012).
4
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Gambar 6. Peta Adminitrasi Kab. Sikka, Kec. Lela dan Google Earth Desa Sikka (Sikka Natar)
Sumber : Bappeda Kabupaten Sikka, 2014
Kampung Sikka berjarak kurang lebih 27 km dari Kota Maumere (ibukota Kabupaten
Sikka) ke arah pesisir selatan Laut Sawu.
5
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Lepo Gete terdapat tempat pemujaan leluhur disebut watu mahe, sebelum masyarakat Sikka
mengenal agama dan botek sebagai lumbung penyimpanan hasil pertanian juga mobo yang
terletak di sekeliling kampung bentuknya seperti lepo gete tetapi berukuran lebih kecil sebagai
rumah para kepala kampung atau pada masa kerajaaa disebut Moang Liting Puluh yang
bertugas membantu raja.
Bangunan Lepo Gete dibangun dengan pengaruh gaya arsitektur luar diperkirakan
dibawa oleh kaum pendatang serta bagian ruang ritual baik di dalam bangunan maupun di luar
bangunan berupa megalit Wua Du’a dan menhir Moat Mahe atau Watu Mahe diperkirakan
dipengaruhi oleh tradisi penduduk asli yang selalu memberikan persembahan kepada leluhur
(Lewis & Mandalangi, 2008 : 20-21).
6
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
BAB IV
ANALISA KARAKTERISTIK LOKAL PERMUKIMAN
Pada gambar diatas menunjukan bahwa permukiman tradisional di Desa Sikka berada
pada dataran rendah yang dilindungi oleh perbukitan sebagai gugusan pegunungan Ili Gai, Ili
Newa, Ili Bekor dan lautan. Berkaitan dengan kepercayaan yang diceritakan secara turun
temurun oleh pendahulu, manusia pertama di wilayah Sikka yaitu penduduk asli turun dari
Gunung Ili Gai Ili Gai, Ili Newa, Ili Bekor atau Natar Gahar dengan pendatang dari seberang
lautan. Arah gunung merupakan arah utara dari pemukiman sedangkan arah selatan merupakan
arah laut yang sebagian masyarakat berorientasi ke laut.
7
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Hal yang menarik pada penelitian kampung Sikka ini adalah bahwa rumah raja
sebenarnya tidak pernah ada dalam pola tata letak bangunan dan lingkungan permukiman asli
Sikka. Istilah raja itu sendiri baru dijumpai setelah kedatangan Portugis (Mandalangi, 2011).
Jenis-jenis rumah dan bangunan adat yang ada pada pola tata letak bangunan kampung adat
Sikka, sebagaimana yang ada di Ata Tana ‘Ai, adalah lepo, botek, mobo, dengan mahe yang
diletakkan di tengah halaman kampung. Tetapi, jenis-jenis rumah dan bangunan adat semacam
itu tidak akan pernah dijumpai di Sikka pada waktu sekarang ini, kecuali pada saat
dilaksanakannya pesta adat Gren Mahe setiap 3 – 5 tahun sekali.
Gambar 16. Tampak Depan Lepo, Tampak Samping Lepo, Denah Lepo, Gerak Ritual Putar Kanan
Sumber : Disertasi Martinus Bambang Susetyarto, 2013
Lepo gete adalah bangunan rumah besar yang ada di suatu lingkungan kampung Sikka
yang dibangun di tengah hutan secara tertutup. Pada waktu ritual Gren Mahe, maka bangunan
besar tersebut akan terlihat berikut bangunan-bangunan adat lainnya. Fungsi utama lepo gete
adalah untuk menampung keluarga dalam jumlah yang banyak. Oleh sebab itu, lepo selalu
ditutup pagar tanaman rapat-rapat di tengah hutan, karena di lepo gete inilah keluarga dan harta
benda adat disimpan. Lepo gete biasanya ditinggal pada waktu kelompok orang Sikka sedang
berburu, atau berperang melawan musuh. Posisi tempat berdirinya lepo gete pada umumnya
lebih tinggi dari mobo, rumah biasa. Posisi lepo dimaksud bisa jadi ada di gunung, di dalam
hutan, dan mobo ada di posisi lebih rendah, tetapi juga dipagar rapat dengan kayu hutan.
Botek adalah bangunan lumbung, tempat menyimpan persediaan makanan dan hasil bumi
lainnya guna mencukupi kehidupan komunitas adat Sikka di tengah hutan. Botek memiliki
denah sebagai ruang kosong, dibuat berpanggung tinggi agar aman dari gangguan tikus, dan
binatang pengerat lain yang suka mencari beras di lumbung.
Mobo adalah bangunan rumah biasa, yang berukuran lebih kecil dari lepo, tempat
keluarga dalam setiap suku Sikka bertemu, beristirahat, dan beraktifitas ritual adat. Denah
rumah biasa ini seperti ditunjuk pada gambar. Mobo sebagaimana lepo juga dipagar keliling
tertutup dari masyarakat umum di dalam hutan.
Mahe adalah bangunan batu menhir besar yang diletakkan di tengah halaman kampung.
Sebagaimana diketahui bahwa di lingkungan binaan ini memiliki tradisi gerak memutar ke
kanan, pada waktu memasuki kampung, atau pada waktu menyelenggarakan upacara adat Gren
Mahe di pelataran tengah kampung (disebut natar dalam bahasa Sikka) yang berbentuk
lingkaran. Upacara membuka kampung dengan pesta syukur atas keberhasilan panen,
8
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
kemenangan perang, atau peristiwa besar lainnya, terselenggara lebih baik saat ini karena
tuntutan peristiwa budaya dan kebutuhan komunitasnya (Susetyarto, 2013 : 54-57).
Secara sosial horisontal pola hubungan antar ruang pada rumah adat yang ada di Desa
Sikka ini berpusat pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang bersama dan secara
vertikal dibedakan menjadi dua bagian utama yakni Tedang yang berfungsi sebagai pendapa
rumah, tempat menerima tamu, tempat musyawarah, tempat perjamuan atau acara pesta adat
lainnya. Bagian kedua disebut Une, tempat ini khusus hanya untuk penghuni rumah atau
anggota keluarga dekat dimana di situ juga terdapat tempat tidur dan tempat menyimpan harta
kekayaan yang berharga. Bagian une letaknya lebih tinggi dari bagian tedang dan ada tangga
(dang) yang menghubungkan kedua bagian itu. Pada bagian belakang terdapat dapur dan
tempat menyimpan persediaan makanan yakni Awu atau Ronang. Bagian ini letaknya juga
lebih rendah dari tedang dan dilengkapi dengan kamar tidur untuk pembantu rumah. Bagian
bawah adalah Lewu (kolong). Bentuk atap yang tinggi itu, dihubungkan dengan kewibawaan
para Mo’ang (kepala suku atau raja), dalam struktur adat dianggap dan dipandang lebih tinggi
dari masyarakat biasa. Bentuk lepo gete saat ini sebagai hasil rekonstruksi oleh Pemkab Sikka.
Ket :
1 : Tedang
2
3 2 : Une
3 : Awu
3 2 4 : Dang
1 4
5 : Lewu
5 4 4 1
Selain istana raja, di Kampung Sikka juga dibangun rumah bagi Mo’ang Liting Puluh
(menteri/dewan/pembantu raja) yang bertugas membantu raja dalam menjalankan
pemerintahannya. Rumah pembantu raja yang disebut mobo sebanyak 10 (sepuluh) buah ini
terletak di sekeliling kampung Sikka berdekatan dengan istana raja.
9
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
10
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
2 4
Gambar 20. Pola Ruang Aktivitas Ritual dengan Pengucapan Bahasa Adat
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Tiang/ Atap
Kolom Lontar Ilalang
Tedang
Awu
Pondasi
Umpak
Une Lewu
Gambar 21. Teknologi Pembangunan Lepo Gete
Sumber : Hasil Analisis, 2015
11
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Prinsip hidup masyarakat Sikka masih memegang hubungan yang serasi, seimbang dan
selaras antara manusia dengan alam, ditunjukan dengan penggunaan bahan yaitu tiang-tiang
bahannya terbuat dari kayu tuak (pohon lontar). Bentuk atapnya terlihat unik yakni dibuat lebih
tinggi (iling) dari rumah biasa dengan bahan penutupnya dari ilalang yang dianyam dan
konstruksi rangkanya menggunakan sistem pasak dan ikat.
12
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Pengklasifikasikan struktur adat Kerajaan Sikka yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu Ina
Gete Ama Gahar, Ata Rinung, dan Mepu atau Maha sebagai tahap Classification Process.
13
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
14
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
4.2.7 Kesenian
Atraksi seni tari, musik dan tradisi yang menjadi favorit yaitu :
1. Seni tari terdiri dari tarian asli suku Sikka dan tarian peninggalan budaya Portugis.
Seni tari tradisional Sikka dapat dirinci sebagai : tari upacara ritual, tari perang dan
tari pergaulan atau hiburan.
Tari upacara ritual meliputi :
Tari Hegong sebagai tarian upacara ritual berkaitan dengan semua aktivitas adat
yang terjadi dalam suku Sikka. Tari Hegong ini merupakan salah satu tarian
kebesaran dan ciri khas masyarakat suku Sikka di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara
Timur. Setiap gerakan dan babak yang ditampilkan dalam Tari Hegong memiliki
makna tersendiri. Pada babak pertama dibuka dengan gerakan berirama cepat dan
sentakan kaki, menggambarkan semangat para penari. Pada babak kedua, para
penari membuat lingkaran dimana penari wanita dikelilingi penari pria,
menggambarkan jiwa kaum lelaki dalam mempertahankan dan melindungi kaum
wanita. Pada babak ke tiga biasanya merupakan gerakan kreasi yang
menggambarkan kerjasama antara pria dan wanita. Sedangkan pada babak akhir,
salah seorang penari pria diangkat keatas menggambarkan bahwa sang pria sedang
memantau musuh atau lawan dan penari yang dibawah menggambarkan kesiagaan
mereka dalam menghadapi serangan.
Tari Ikun Beta-Ro’a Mu’u berkaitan dengan upacara perkawinan dalam masyarakat
Sikka. Tarian tradisional ini merupakan tarian memotong pohon pisang hias dalam
upacara adat perkawinan suku Sikka. Tarian ini biasanya berlangsung dalam
upacara ritual adat perkawinan sebagai simbol persetujuan atau restu kedua
keluarga besar mempelai pria dan wanita. Dalam proses ini, pihak keluarga wanita
akan menanam pohon pisang di depan rumah dan menggantungkan sarung adat.
Dalam ritual ini, masyarakat menilai bahwa pohon pisang mempunyai hikmah
alam. Walau dipotong berkali-kali namun tetap tumbuh sampai harus memiliki
buah lalu mati. Di sini masyarakat lokal percaya bahwa hikmah ini bisa merasuk ke
dalam diri kedua pasangan agar mereka bisa memberi makna pada lingkungan
sekitar dan memiliki keturunan.
Tari Lodong Me/Toja Me sebagai tarian upacara turun tanah untuk anak yang baru
lahir, tari Ledo Bele sebagai tarian keselamatan anak, tari Gareng Lameng sebagai
tarian penyunatan anak, tari Lado Gahar sebagai tarian sewaktu panen, tari Pahe
sebagai tarian sewaktu menanam, tari Wae-Heleng sebagai tarian doa perang, tari
Togo Pou sebagai tarian menggiring perahu.
Tari perang meliputi :
Tari Bebing atau tarian perang berkaitan dengan ritual sebelum perang hingga
kemenangan perang. Sebuah tarian perang yang mengisahkan penyambutan para
prajurit dari medan perang.
Tari Ledek sebagai tarian sebelum perang, tari Togo Codu sebagai tarian
kemenangan perang.
Tari pergaulan atau hiburan meliputi :
Tari Togo Gong Gete sebagai tarian tandak berirama gong, tari Hele Larak dan
Tetok Alu sebagai tarian mencangkul kebun, tari Wai Majok sebagai tarian
15
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
menumbuk padi, tari Sora sebagai tarian gendang sewaktu pesta, tari Ong-eng
sebagai tarian dengan tiruan nada gong, tari Missa sebagai tarian pergaulan.
Tari Toja Bobu yang diwarisi dari kebudayaan Portugis. Tari klasik seni drama
"Toja Bobu", adalah tarian ceritera perkawinan ala Portugis yang dibanggakan di
kampung Sikka. Diiringi nyanyian koor dalam bahasa Portugis, dengan tambur,
suling dan giring-giring. Sementara itu "Toja Bobu" di kampung Paga yang dikenal
sebagai "Bobo Uta", juga tarian kepahlawanan peninggalan Portugis.
2. Musik tradisional di Sikka diwarnai oleh musik perkusi pukul yang disebut Gong
Waning, yang cukup komplit mulai dari alat perkusi pukul dari metal dan bambu,
perkusi kulit (gendang), musik tiup, alat musik petik hingga gesek. Gong Waning ini
merupakan alat musik tradisional khas masyarakat Sikka yang terdiri dari gendang
atau disebut Waning, Gong dan Peli ‘anak. Pada instrument Waning sendiri terdiri
dari gendang besar dan gendang kecil disebut Dodor. Pada instrument Gong terdiri
dari Gong Ina Wa’a, Gong Ina Depo, Gong Lepe, Gong Higo Hagong, dan Gong
Udong. Sedangkan Peli ‘anak sendiri merupakan sepotong bambu yang digunakan
untuk menstabilkan irama pukulan Gong Waning. Musik Gong Waning ini bisa
menghasilkan beberapa jenis irama musik, salah satu irama yang biasa dimainkan
untuk mengiringi tari Hegong adalah irama Badu Blabat.
3. Tradisi tenun ikat, dimana tenun ikat tidak hanya menghasilkan tekstil semata namun
setiap motif tenun ikat selalu punya makna simbolis, bahkan pada jaman kerajaan juga
menjadi penanda status adat dan sosial.
Pola penggunaan ruang untuk pementasan tarian adat ini tergantung dari ritual adat yang
akan dilaksanakan. Akan tetapi umumnya tarian dilaksanakan di tanah lapang yang ada di
tengah kampung atau sepanjang jalur sirkulasi masuk ke kawasan kampung.
Tari Hegong
Gong Waning
Gambar 23. Seni Tari, Alat Musik Tradisional dan Sarung Tenun Ikat
Sumber : Hasil Analisis, 2015
16
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
17
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
18
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
Ai Kecamatan Talibura. Tahap-tahap utama dalam perkawinan dan menjadi inti dari
seluruh prosesi perkawinan adat Suku Sikka ini meliputi :
1) Masa pertunangan
Semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka
selalu disebut dengan ungkapan “wa’ang tota jarang” atau rumput cari kuda atau
“te’a winet” atau menjual anak atau saudari.
Seorang gadis dibelis dalam enam bagian yaitu :
- Kila : belis cincin kawin;
- Jarang sakang : pemberian kuda;
- Wua ta’a wa gete : bagian belis yang paling besar dan mahal;
- Inat rakong : belis lelah untuk mama;
- Bala lubung : belis untuk nenek;
- Ngoro remang : belis untuk mereka yang menyiapkan pesta.
2) Perkawinan
Sebelum abad 16 atau sebelum masyarakat Suku Sikka mengenal agama,
perkawinan di kampung Sikka biasanya hanya diresmikan di Balai Besar atau Lepo
Gete oleh kepala suku atau raja atau pun kadang-kadang di rumah wanita, setelah
semuanya sudah siap maka acara perkawinan ditandai dengan mendengar kata-kata
pelantikan dari raja, kata-kata “wawi api-ara pranggang” yang diucapkan adalah :
Ena tei a’u wotik weli miu, hari ini ku beri kamu makan
Wawi api ara pranggang, daging rebus dan nasi masak
Miu ruang dadi ba’a wai nora la’i, jadilah kamu istri dan suami
Lihang ba’a nora lading, dan terikatlah seluruh keluarga
Gea weu(eung) miu ara pranggang, makanlah kamu nasi ini
Dadi ba’a wai nora la’i, agar jadilah kamu suami dan isteri
Minu ‘eung wawi api, minumlah saus daging ini
Genang lihang nora ladang, agar eratlah seluruh keluarga
Ucapan itu diiringi penyuapan daging dan sesuap nasi oleh kepala suku atau raja
kepada kedua mempelai. Pada waktu masuk agama Katolik, maka ungkapan-
ungkapan di atas tetap dipakai namun proses pernikahan sesuai dengan aturan agama
Katolik dan diberkati oleh pastor.
Ada beberapa tahap dari acara perkawinan secara adat Sikka-Krowe meliputi :
19
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
- Kela narang : pendaftaran nama calon pengantin di kantor pastor paroki yang
dihantar oleh orang tua masing-masing bersama dengan keluarga.
- A Wija, A Pleba : keluarga Ata la’i melakukan kegiatan mengumpulkan mas kawin
secara bersama-sama dengan keluarga.
- Dipihak Ata du’a terjadi pengumpulan bahan-bahan pesta untuk membuat sejenis
kue tradisional yaitu bolo pagar, lekun, ai ohu neng dan mendirikan tenda pesta.
Gambar 26. Pola Ruang dalam Prosesi Perkawinan Adat Suku Sikka
Sumber : Hasil Analisis, 2015
Adapula ritual keagamaan yang terdapat di kampung Sikka ini yaitu Logu Senhor. Ritual
Logu Senhor artinya berjalan jongkok di bawah salib Yesus. Sebuah ritus Katolik peninggalan
Portugis yang biasa dilaksanakn pada Jumat Agung setiap tahun Di Gereja Tua Sikka-
Kampung Sikka. Keseluruhan upacara ekaristi menggunakan bahasa Portugis dipadu dengan
bahasa lokal dan Indonesia, begitu pula dengan lagu-lagu. Semua peziarah mengucapkan
intensi pribadi sambil berjalan di bawah salib memohon berkat Tuhan dengan penuh khidmat.
Proses ini membentuk ruang Categorization Process dimana acara seremonial
dilaksanakan pada bulan-bulan yang sudah ditentukan.
20
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku Sikka yang
mendiami Kampung Sikka sangat memegang adat istiadat serta menjaga kearifan lokal dalam
pembentukan permukiman mereka. Perkembangan sosial budaya masyarakat dan lingkungan
fisik yang terjadi mulai awal pembentukan kampung adat oleh penghuni awal sampai dengan
terbentuknya sistem kerajaan tahun 1607-1958 menunjukan nilai lokalitas yang berdasarkan
tradisi yang sudah berjalan secara turun temurun. Sistem fisik maupun non fisiknya
dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat Sikka. Namun entitas maupun identitas budaya
tersebut perlahan-lahan mengalami pergeseran setelah memasuki masa peralihan menuju
pembentukan wilayah Kabpaten Sikka tahun 1958.
Pada awalnya, sosio-antropologi masyarakat di Kampung Sikka terwujud pada sikap
kebersamaan dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan-aturan atau nilai-nilai tradisi mereka.
Sistem kemasyarakatan, sistem pemerintahan dan pola pemukiman, orientasi bangunan sampai
tata letak bangunan dan sistem kontruksi bangunan memperlihatkan nilai lokalitas dan
keunikan. Secara struktural adat, suku dipimpin oleh seorang kepala suku atau raja (Mo’ang)
yang menjadi acuan utama dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Sikka.
Suku Sikka merupakan salah satu suku yang ada di Kabupaten Sikka dan terbagi dalam
beberapa kelompok etnis meliputi etnis Sikka-Krowe, etnis Sikka-Iwang, Sikka-Muhang, etnis
Mukang, etnis Lio, etnis Palue, dan etnis Tidung. Meskipun sekarang sudah banyak suku-suku
yang meninggalkan adat dan tradisinya, namun masyarakat Sikka masih menganggap
perubahan itu melanggar hukum adat yang telah dibuat oleh leluhur mereka. Secara umum
pembentukan dan perubahan ruang budaya yang terjadi di Kampung Sikka mengalami
beberapa tahapan yaitu : Privatism Process, Labeling Process, Classification Process,
Categoringzation Process, Bordering Process dan Clustering Process.
Untuk ini perlu diperhatikan bahwa nilai kearifan lokal yang tertanam dalam masyarakat
suku Sikka menjadi suatu nilai yang sangat berharga dan bermanfaat dalam menjaga identitas
dan karakter masyarakat, sehingga upaya pelestarian harus terus menerus dilakukan agar
menjadi pedoman dalam setiap aktivitas hidup dan kehidupan masyarakat Sikka, terutama
dalam pembentukan pola permukiman yang berkarakter budaya.
21
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka
AMBROSIUS A. K. S. GOBANG
DAFTAR PUSTAKA
Antariksa. 2009. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan.
Prosiding Seminar Nasional “Kearifan Lokal (Local Wisdom) dalam Perencanaan dan
Perancangan Lingkungan Binaan”.
Basyarul Aziz. Analisis Kajian Penulisan Etnografi : Kajian Positivistik Suku Bangsa Sikka.
http://basyarologi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-95988-Analisis Kajian Penulisan
Etnografi-Kajian positivistik Suku Bangsa Sikka.html (diakses 03 Nopember 2015)
Ebed de Rosary. ‘Lepo Gete’ Istana Raja yang Merana, Majalah Flores Bangkit.
http://www.floresbangkit.com/2015/01/ (diakses 13 Agustus 2015)
Forum Diskusi Pemuda Mahasiswa Sikka. Sekilas Berlalu Sejarah Pemerintahan
Kabupaten Sikka. https://fdpms.wordpress.com/2012/04/06/ (diakses 13 Agustus 2015)
Gomez, E. P. d & O. P. Mandalangi. 2006. Don Thomas Peletak Dasar Sikka Membangun.
Maumere : Penerbit Yapenthom
Haryono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta : Bumi Aksara
Jailani, M.S. 2013. Ragam Penelitian Qualitatif (Ethnografi, Fenomenologi, Grounded Theory,
dan Studi Kasus). Jurnal Edu-Bio 4: 41-50
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru
Lewis, E. D. & O. P. Mandalangi. 2008. Hikayat Kerajaan Sikka. Maumere : Penerbit Ledalero
Longginus Diogo. Pulau Ular Naga Sawaria. Kupang : Harian Spirit NTT
http://spiritentete.blogspot.com/pulau-ular-naga-sawaria-2.html, (diakses 13 Agustus 2015)
Reka Permata Lestari. 2013. Studi Etnografi Suku Bangsa Sikka.
http://rekapermata.blogspot.co.id/2013/05/studi-etnografi-suku-bangsa-sikka.html (diakses 03
Nopember 2015)
Riril Mardiana F. Sosiologi Antropologi. 2011. http://irminarosmita.blogspot.co.id/
(diakses 12 Oktober 2015)
Sajogyo & Pudjiwati S. Sosiologi Pedesaan. Jakarta : Gadjah Mada University Press
Soekanto, Soerjono. 1969. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI-Press
Susetyarto, M. Bambang. 2013. Disertasi : Arsitektur Vernakular Keberlanjutan Budaya di
Kampung Bena, Flores. Semarang : Universitas Diponegoro
Ubed A. Syarif. Kerajaan Sikka-Flores yang Hilang dan Pesona Wisata Flores. Jakarta :
Kompasiana. http://www.kompasiana.com/ubedasy/kerajaan-sikka-flores-yang-hilang-dan-
pesona-wisata-flores_54f37598745513962b6c7667 (diakses 13 Agustus 2015)
http://www.inimaumere.com
http://protomalayans.blogspot.com/2013/08/suku-sikka-nusa-tenggara-timur.html
http://www.floresbangkit.com/2015/01/lepo-gete-istana-raja-yang-merana/
http://press.anu.edu.au/austronesians/sharing/mobile_devices/ch08s03.html
Bappeda Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur
22
Sosio Antropologi Arsitektur Sikka