Sei sulla pagina 1di 3

Fahriza Mutiara Adhyaksa

1906303550
Kelompok 15

Mencari Keadilan dengan Bantuan Hukum Struktural


Dewasa kini, banyak sekali terjadi ketidakadilan pada masyarakat dalam hal hukum.
Ini menimbulkan ketimpangan yang nyata dalam hak asasi mereka. Mereka yang tertindas
dan tak mampu melakukan banyak hal di persidangan, akan terus menerus mendapatkan
ketidakadilan. Maka dari itu, mereka membutuhkan bantuan hukum struktural. Setelah saya
membaca buku Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, pengarang Todung Mulya Lubis,
bantuan hukum struktural merupakan sebuah bantuan hukum untuk masyarakat tidak mampu.
Dalam masyarakat, terdapat pola hubungan menindas antara pusat terhadap pinggiran.
Kepada rakyat miskin yang berada di pinggiran harus dikembalikan hak-hak dasar mereka
akan sumber daya ekonomi, politik, teknologi, dan informasi. Bantuan hukum struktural
terjadi karena adanya ketimpangan dan ketidakadilan struktur sosial, ekonomi, dan budaya
yang rendah sehingga terjadinya permasalahan dalam hak asasi manusia.1 Menurut Adnan
Buyung Nasution, bantuan hukum struktural adalah serangkaian aktivitas baik melalui jalan
hukum maupun jalan halal lainnya yang diarahkan bagi perubahan pada hubungan yang
menjadi dasar kehidupan sosial menuju pola hubungan yang lebih sejajar. Tujuan dari
bantuan hukum struktural adalah menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang
mampu mengubah struktur yang timpang menuju ke arah struktur yang lebih adil, tempat
peraturan hukum dan pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan
politik maupun ekonomi.2
Hingga saat ini masih banyak terjadi ketimpangan sosial dan berbagai macam
bentuk ketidakadilan di masyarakat. Seperti, akses bantuan hukum yang minim bagi
masyarakat miskin, kemiskinan struktural, kasus penggusuran paksa, salah tangkap,
pencemaran lingkungan hidup, rekayasa kasus, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi
manusia. Ketidaktahuan akan hukum dalam masyarakat terutama yang tidak mampu, akan
mengakibatkan seseorang akan melanggar hukum atau dibodohi oleh oknum dari kalangan
penegak hukum atau pemerintah. Dalam penerapan bantuan hukum bagi rakyat miskin,
apabila mereka dalam praktiknya masih kurang kesadaran hukum dan pengetahuan akan
pentingnya bantuan hukum, maka pemberian bantuan hukum tidak akan berjalan dengan
maksimal. Perspektif penerapan pemberian bantuan hukum bagi rakyat miskin, tidak hanya
dilihat hanya memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan dalam setiap proses
hukum, tetapi lebih dari itu. Mereka harus mengerti hukum, setidaknya mengenai kasus yang
mereka hadapi dengan cara memberikan pendidikan hukum dan kewarganegaraan bagi
masyarakat. Masih banyak advokat dan lembaga bantuan hukum yang masih cenderung
memandang pemberian bantun hukum bersifat pasif.

1
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986),
hlm. 52.
2
Admintv, “Bantuan Hukum Struktural, Pedang Melawan Ketidakadilan”
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=328, diakses pada 27 September 2019
Hal inilah menjadikan urgensi kepekaan advokat atau lembaga bantuan hukum untuk
memandang pemberian bantuan hukum secara aktif dan tidak mengandalkan akses yang
diberikan oleh pengadilan.3 Di Indonesia, seringkali dalam praktik peradilan, rakyat miskin
mengalami ketidakadilan. Meskipun terdapat akses untuk banding, kasasi, dan peninjauan
kembali, akan tetapi akses tersebut belum dapat digunakan dengan maksimal oleh rakyat
miskin karena akan mengeluarkan biaya yang tidak akan mampu mereka bayar. Terdapat
berbagai permasalahan terkait dengan pemenuhan hak bantuan hukum, diantaranya adalah
tidak adanya legislasi yang mengatur bantuan hukum dalam perspektif access to justice,
negara tidak memenuhi tanggungjawabnya terkait struktur dan sistem penganggaran bantuan
hukum.4 Pemberian bantuan hukum struktural tidak berjalan secara optimal juga dikarenakan
para advokat yang cenderung pemilih. Terkadang mereka hanya mengambil kasus yang dapat
menarik media massa sehingga menaikan pamor mereka. Sebagian advokat lebih menyukai
membela klien kaum atas dibandingkan dengan rakyat miskin. Hal ini yang membuat
labeling dari masyarakat terhadap profesi advokat yang komersil. Alhasil, selama ini
pemenuhan hak bantuan hukum lebih banyak diberikan oleh organisasi bantuan hukum
(OBH) yang dibangun oleh masyarakat sipil.
Saat ini, penerapan bantuan hukum struktural di
Indonesia sudah meluas. Bahkan terdapat pasal yang mengatur tentang hal tersebut. Dalam
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang
berbunyi ‘Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu’. Kewajiban tersebut ditegaskan kembali dengan Peraturan
Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberiam Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma (PP Bantuan Hukum), dan Peraturan Perhimpunan Advokat
Indonesia No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum
Secara Cuma-Cuma.  PP Bantuan hukum mendefinisikan bantuan hukum secara cuma-cuma
adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium.
Contohnya meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari
keadilan yang tidak mampu. 5 Bantuan hukum struktural merupakan upaya kongkret, holistik
dan menyeluruh dalam pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Disaat bantuan
hukum bagi masyarakat miskin masih minim dan terbatas jangkauannya. Bantuan hukum
struktural tidak hanya sekedar memberi bantuan hukum, tetapi juga mengedukasi masyarakat
sealigus meng-empowering the people. Sehingga, masyarakat lebih percaya diri dalam
menghadapi kasusnya, mengerti akan hukumnya, mengerti kedudukannya, mengerti cara

3
Suyogi Imam Fauzi dan Inge Puspita Ningtyas, “Optimalisasi Pemberian Bantuan Hukum
Demi Terwujudnya Access to Law and Justice Bagi Rakyat Miskin”
https://media.neliti.com/media/publications/238256-optimalisasi-pemberian-bantuan-hukum-
dem-222301b5.pdf, diakses pada 27 September 2019
4
Tim The Indonesian Legal Resource Center dan Forum Solidaritas LKBH Kampus,
“Menjamin Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal”
http://mitrahukum.org/wp-content/uploads/2012/09/Position-Paper-RUU-BH.pdf, diakses
pada 29 September 2019
5
Alghiffari Aqsa, “Bantuan Hukum dan Kewajiban Pro Bono Advokat di Indonesia”
https://alghif.wordpress.com/2019/03/30/bantuan-hukum-dan-kewajiban-pro-bono-advokat-
di-indonesia/, diakses pada 30 September 2019
bertindak, mengerti cara memperkuat diri dan komunitasnya yang kemudian dapat ditularkan
kepada orang lain.6 Bantuan hukum struktural untuk
memberdayakan kaum marjinal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Negara harus
menjamin bahwa terdakwa, ataupun korban mempunyai hak untuk memilih advokat dan tidak
dipaksa menerima advokat yang ditunjuk oleh pengadilan kepadanya. Dalam kondisi seperti
itu, akses bantuan hukum harus terjamin. Kemudian, dalam proses pengadilan, pengacara
yang melakukan bantuan hukum struktural harus memenuhi kualifikasi untuk membela
kliennya. Mereka harus profesional dan sebaik-baiknya membantu dan membela kaum
marjinal. Tidak hanya membantu dalam proses menyelesaikan masalah di pengadilan, para
advokat juga harus memberikan pendidikan hukum agar mereka mengerti, sehingga timbulah
kesadaran hukum dalam diri mereka. Para kaum marjinal harus ikut berperan aktif dalam
kasus mereka. Mereka harus mengerti dan sadar dengan baik tentang kasus yang
menimpanya. Kemudian yang terakhir adalah diperlukannya sistem pengawasan untuk
mengawasi penerapan bantuan hukum struktural tersebut. Dapat dilihat apakah bantuan
hukum struktural tersebut dijalankan dengan baik atau tidak. Digunakan atau tidak akses
menuju peradilan, dan kinerja advokat atau lembaga bantuan hukum dalam memberikan
bantuan hukum struktural.

6
Admintv, “Bantuan Hukum Struktural, Pedang Melawan Ketidakadilan”
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=328, diakses pada 30 September 2019

Potrebbero piacerti anche