Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi diabetes mellitus
2. Untuk Mengetahui Klasifikasi diabetes mellitus
3. Untuk Mengetahui Komplikasi diabetes mellitus
4. Untuk Mengetahui Pengertian hipoglikemia
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi hipoglikemia
6. Untuk Mengetahui Faktor resiko hipoglikemia
7. Untuk Mengetahui Penyebab hipoglikemia
8. Untuk Mengetahui Patofisiologi hipoglikemia
9. Untuk Mengetahui Tanda dan gejala hipoglikemia
10. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan hipoglikemia
11. Untuk Mengetahui Komplikasi hipoglikemia
12. Untuk Mengetahui Konsep askep pasien dengan hipoglikemia
1.4 Manfaat
1. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Definisi diabetes mellitus
2. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Klasifikasi diabetes mellitus
3. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi diabetes mellitus
4. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Pengertian hipoglikemia
5. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Klasifikasi hipoglikemia
6. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Faktor resiko hipoglikemia
7. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Penyebab hipoglikemia
8. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Patofisiologi hipoglikemia
9. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Tanda dan gejala hipoglikemia
10. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Penatalaksanaan hipoglikemia
11. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi hipoglikemia
12. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Konsep askep pasien dengan hipoglikemia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan penurunan konsentrasi glukosa serum Dengan
atau tanpa adanya gejala sistem autonom dan neuroglikopenia. Hipoglikemia ditandai dengan
menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dl (<4,0 Mmol/L) dengan atau adanya whipple’s
triad, yaitu terdapat gejala-gejala Hipoglikemia, seperti kadar glukosa darah yang rendah,
gejala berkurang dengan Pengobatan.
Hipoglikemia sering dialami oleh pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang
diterapi dengan insulin dan sulfonilurea [4,5,6].Hipoglikemia merupakan efek samping yang
paling umum dari penggunaan Insulin dan sulfonilurea pada terapi DM, terkait mekanisme
aksi dari obat tersebut, Yaitu mencegah kenaikan glukosa darah daripada menurunkan
konsentrasi Glukosa.
Metformin, pioglitazone, inhibitor DPP- 4, acarbose, inhibitor SLGT-2 and Analog GLP-
1 yang diresepkan tanpa insulin atau insulin sekretagog (sulfonylurea/ Glinide) jarang
menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia ditemukan sebagai Hambatan utama dalam
mencapai kepuasan jangka panjang kontrol glikemik dan Menjadi komplikasi yang ditakuti
dari terapi DM.
Kurangnya asupan makanan diketahui merupakan salah satu faktor risiko Terjadinya
hipoglikemia. Hipoglikemia diperkirakan menjadi penyebab kematian Pada 2–4% pasien DM
tipe 1. Walaupun kontribusi hipoglikemia sebagai penyebab Kematian pada DM tipe 2 masih
belum jelas, tidak jarang dugaan hipoglikemia Menjadi penyebab kematian. Angka kejadian
hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 Beberapa kali lipat lebih rendah dibandingkan DM tipe
1. Risiko hipoglikemia Yang berat dikaitkan dengan penggunaan insulin atau sulfonilurea
dan glinid, Perubahan dosis obat, dan perubahan gaya/aktivitas hidup yang terlalu drastis
2.2 Etiologi
Hipoglikemia dapat terjadi akibat perubahan obat atau overdosis, infeksi, perubahan pola
makan, perubahan metabolisme seiring waktu, atau perubahan aktivitas; Namun, tidak ada
penyebab akut yang dapat ditemukan. Penyebab lainnya termasuk masalah pencernaan,
penyebab idiopatik, puasa, insulinoma, masalah endokrin, penyebab ekstrapankreas, penyakit
hati, dan operasi bariatrik, serta berbagai etiologi tambahan.
Dalam studi kohort multisenter dan retrospektif, Riegger et al melaporkan bahwa faktor
risiko independen untuk hipoglikemia intraoperatif pada anak-anak meliputi usia di bawah 5
tahun, berat badan per usia di bawah persentil kelima, status American Society of
Anesthesiologists III atau lebih, adanya penyakit lambung . atau tabung jejunal, menyajikan
makan yang buruk, dan operasi perut. Delapan puluh persen kasus hipoglikemia terjadi pada
anak di bawah usia 5 tahun dan anak dengan berat badan di bawah 20 kg.
Sebuah studi yang dilakukan oleh van Furth et al menunjukkan bahwa sindrom dumping
dan hipoglikemia pasca-operasi bariatrik dapat dikaitkan dengan etiologi yang sama, dengan
peptida mirip glukagon 1 (GLP-1) dan peptida YY (PYY) menjadi kunci dalam
perkembangan masing-masing penyakit. . Para peneliti menunjukkan bahwa sel L, yang
mensekresi GLP-1 dan PYY, dipengaruhi oleh operasi bariatrik, misalnya peningkatan sel L
di jejunum perianastomosis yang terjadi setelah bypass lambung Roux-en-Y.
2.3 Patofisiologi
Hipoglikemia terjadi akibat kelebihan insulin relative ataupun absolute dan juga gangguan
pertahanan fisiologis yaitu penurunan plasma glukosa. Mekanisme pertahanan fisiologis
dapat menjaga keseimbangan kadar glukosa darah, baik pada penderita diabetes tipe I
ataupun pada penderita diabetes tipe II. Glukosa sendiri merupakan bahan bakar metabolisme
yang harus ada untuk otak. Efek hipoglikemia terutama berkaitan dengan sistem saraf pusat,
sistem pencernaan dan sistem peredaran darah (Kedia, 2011).
Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Selain itu otak
tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan cadangan glukosa (dalam bentuk
glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat
tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa dapat
menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat sehingga terjadi penurunan suplay glukosa ke otak.
Karena terjadi penurunan suplay glukosa ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan
suplay oksigen ke otak sehingga akan menyebabkan pusing, bingung, lemah (Kedia, 2011).
Konsentrasi glukosa darah normal, sekitar 70-110 mg/dL. Penurunan kosentrasi glukosa
darah akan memicu respon tubuh, yaitu penurunan kosentrasi insulin secara fisiologis seiring
dengan turunnya kosentrasi glukosa darah, peningkatan kosentrasi glucagon dan epineprin
sebagai respon neuroendokrin pada kosentrasi glukosa darah di bawah batas normal, dan
timbulnya gejala gejala neurologic (autonom) dan penurunan kesadaran pada kosentrasi
glukosa darah di bawah batas normal (Setyohadi, 2012).
Penurunan kesadaran akan mengakibatkan depresan pusat pernapasan sehingga akan
mengakibatkan pola nafas tidak efektif (Carpenito, 2007).Batas kosentrasi glukosa darah
berkaitan erat dengan system hormonal, persyarafan dan pengaturan produksi glukosa
endogen serta penggunaan glukosa oleh organ perifer. Insulin memegang peranan utama
dalam pengaturan kosentrasi glukosa darah. Apabila konsentrasi glukosa darah menurun
melewati batas bawah konsentrasi normal, hormon-hormon konstraregulasi akan melepaskan.
Dalam hal ini, glucagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperan penting sebagai
pertahanan utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan hormon
pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan glukosa.
Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia
akut. Glukagon hanya bekerja dalam hati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis
dan kemudian glukoneogenesis, sehingga terjadi penurunan energi akan menyebabkan
ketidakstabilan kadar glukosa darah (Herdman, 2010).
Penurunan kadar glukosa darah juga menyebabkan terjadi penurunan perfusi jaringan
perifer, sehingga epineprin juga merangsang lipolisis di jaringan lemak serta proteolisis di
otot yang biasanya ditandai dengan berkeringat, gemetaran, akral dingin, klien pingsan dan
lemah (Setyohadi, 2012). Pelepasan epinefrin, yang cenderung menyebabkan rasa lapar
karena rendahnya kadar glukosa darah akan menyebabkan suplai glukosa ke jaringan
menurun sehingga masalah keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat muncul
(Carpenito, 2007).
Tanda Gejala
Autonom Gemetar, palpitasi, Pucat, takikardia, widened
berkeringat, pulse pressure
gelisah, lapar, mual,
kesemutan
paresthesia, palpitasi,
Tremulousness
Neuroglikopenia Kesulitan konsentrasi, Cortical-blindness,
bingung, Lemah, lesu, hipotermia, kejang, koma
dizziness, Pandangan
kabur,
pusing,perubahan sikap,
gangguan kognitif,
pandangan kabur,
diplopia
Berat Glukosa darah kurang dari 40 mg/dl. Terjadi kerusakan sistem saraf pusat,
dengan
gejala perubahan emosi, kejang, stupor, atau penurunan kesadaran. Pasien
membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat, glukagon,
atau
resusitasi lainnya. Bisa terjadi ketidaksadaran pasien.