Sei sulla pagina 1di 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tidak menular merupakan kelompok terbesar penyakit penyebab kematian di
indonesia. Salah satu penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian tinggi di
Indonesia adalah diabetes mellitus. Diabetes melitus utamanya diakibatkan karena pola hidup
yang tidak sehat (Eko, 2012).
Federasi Diabetes Internasional dalam Hartono (2011), menyatakan bahwa Tiap 10 detik
satu orang meninggal dunia karena diabetes dan World Health Organisation (WHO)
menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di dunia dalam jumlah
penderita diabetes, tahun 2000 terdapat 5,6 juta penderita & 2006 menjadi 14 juta & 21 juta
jiwa tahun 2025. Diantara provinsi yang ada di Indonesia, jawa tengah memiliki prevalensi
diabetes yang cukup tinggi. prevalensi diabetes melitus tergantung insulin di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2011 sebesar 0,09%, mengalami peningkatan bila dibandingkan
prevalensi tahun 2010 sebesar 0,08%. Jumlah penderita hipoglikemia sebesar 11 pasien dari
1169 pasien penderita diabetes tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi
tahun 2012 dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni.
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling sering muncul pada penderita diabetes
mellitus. Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah yang menyebabkan
kebutuhan metabolik yang diperlukan oleh sistem saraf tidak cukup sehingga timbul berbagai
keluhan dan gejala klinik (Admin, 2012). Hipoglikemia berdampak serius pada morbiditas,
mortalitas dan kualitas hidup. The diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
melaporkan diperkirakan 2-4% kematian orang dengan diabetes tipe 1 berkaitan dengan
hipoglikemia. Hipoglikemia juga umum terjadi pada penderita diabetes tipe 2, dengan tingkat
prevalensi 70-80% (Setyohadi, 2011). Hipoglikemia merupakan penyakit kegawatdaruratan
yang membutuhkan pertolongan segera, karena hipoglikemia yang berlangsung lama bisa
menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia juga dapat menyebabkan koma
sampai dengan kematian (Kedia, 2011). Maka dari itu penulis tertarik untuk mengambil
kasus tentang hipoglikemia di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi diabetes mellitus
2. Klasifikasi diabetes mellitus
3. Komplikasi diabetes mellitus
4. Pengertian hipoglikemia
5. Klasifikasi hipoglikemia
6. Faktor resiko hipoglikemia
7. Penyebab hipoglikemia
8. Patofisiologi hipoglikemia
9. Tanda dan gejala hipoglikemia
10. Penatalaksanaan hipoglikemia
11. Komplikasi hipoglikemia
12. Konsep askep pasien dengan hipoglikemia

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui Definisi diabetes mellitus
2. Untuk Mengetahui Klasifikasi diabetes mellitus
3. Untuk Mengetahui Komplikasi diabetes mellitus
4. Untuk Mengetahui Pengertian hipoglikemia
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi hipoglikemia
6. Untuk Mengetahui Faktor resiko hipoglikemia
7. Untuk Mengetahui Penyebab hipoglikemia
8. Untuk Mengetahui Patofisiologi hipoglikemia
9. Untuk Mengetahui Tanda dan gejala hipoglikemia
10. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan hipoglikemia
11. Untuk Mengetahui Komplikasi hipoglikemia
12. Untuk Mengetahui Konsep askep pasien dengan hipoglikemia

1.4 Manfaat
1. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Definisi diabetes mellitus
2. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Klasifikasi diabetes mellitus
3. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi diabetes mellitus
4. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Pengertian hipoglikemia
5. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Klasifikasi hipoglikemia
6. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Faktor resiko hipoglikemia
7. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Penyebab hipoglikemia
8. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Patofisiologi hipoglikemia
9. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Tanda dan gejala hipoglikemia
10. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Penatalaksanaan hipoglikemia
11. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Komplikasi hipoglikemia
12. Agar Mahasiswa Mampu Memahami Konsep askep pasien dengan hipoglikemia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan penurunan konsentrasi glukosa serum Dengan
atau tanpa adanya gejala sistem autonom dan neuroglikopenia. Hipoglikemia ditandai dengan
menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dl (<4,0 Mmol/L) dengan atau adanya whipple’s
triad, yaitu terdapat gejala-gejala Hipoglikemia, seperti kadar glukosa darah yang rendah,
gejala berkurang dengan Pengobatan.
Hipoglikemia sering dialami oleh pasien DM tipe 1, diikuti oleh pasien DM tipe 2 yang
diterapi dengan insulin dan sulfonilurea [4,5,6].Hipoglikemia merupakan efek samping yang
paling umum dari penggunaan Insulin dan sulfonilurea pada terapi DM, terkait mekanisme
aksi dari obat tersebut, Yaitu mencegah kenaikan glukosa darah daripada menurunkan
konsentrasi Glukosa.
Metformin, pioglitazone, inhibitor DPP- 4, acarbose, inhibitor SLGT-2 and Analog GLP-
1 yang diresepkan tanpa insulin atau insulin sekretagog (sulfonylurea/ Glinide) jarang
menyebabkan hipoglikemia. Hipoglikemia ditemukan sebagai Hambatan utama dalam
mencapai kepuasan jangka panjang kontrol glikemik dan Menjadi komplikasi yang ditakuti
dari terapi DM.
Kurangnya asupan makanan diketahui merupakan salah satu faktor risiko Terjadinya
hipoglikemia. Hipoglikemia diperkirakan menjadi penyebab kematian Pada 2–4% pasien DM
tipe 1. Walaupun kontribusi hipoglikemia sebagai penyebab Kematian pada DM tipe 2 masih
belum jelas, tidak jarang dugaan hipoglikemia Menjadi penyebab kematian. Angka kejadian
hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 Beberapa kali lipat lebih rendah dibandingkan DM tipe
1. Risiko hipoglikemia Yang berat dikaitkan dengan penggunaan insulin atau sulfonilurea
dan glinid, Perubahan dosis obat, dan perubahan gaya/aktivitas hidup yang terlalu drastis

2.2 Etiologi
Hipoglikemia dapat terjadi akibat perubahan obat atau overdosis, infeksi, perubahan pola
makan, perubahan metabolisme seiring waktu, atau perubahan aktivitas; Namun, tidak ada
penyebab akut yang dapat ditemukan. Penyebab lainnya termasuk masalah pencernaan,
penyebab idiopatik, puasa, insulinoma, masalah endokrin, penyebab ekstrapankreas, penyakit
hati, dan operasi bariatrik, serta berbagai etiologi tambahan.
Dalam studi kohort multisenter dan retrospektif, Riegger et al melaporkan bahwa faktor
risiko independen untuk hipoglikemia intraoperatif pada anak-anak meliputi usia di bawah 5
tahun, berat badan per usia di bawah persentil kelima, status American Society of
Anesthesiologists III atau lebih, adanya penyakit lambung . atau tabung jejunal, menyajikan
makan yang buruk, dan operasi perut. Delapan puluh persen kasus hipoglikemia terjadi pada
anak di bawah usia 5 tahun dan anak dengan berat badan di bawah 20 kg.
Sebuah studi yang dilakukan oleh van Furth et al menunjukkan bahwa sindrom dumping
dan hipoglikemia pasca-operasi bariatrik dapat dikaitkan dengan etiologi yang sama, dengan
peptida mirip glukagon 1 (GLP-1) dan peptida YY (PYY) menjadi kunci dalam
perkembangan masing-masing penyakit. . Para peneliti menunjukkan bahwa sel L, yang
mensekresi GLP-1 dan PYY, dipengaruhi oleh operasi bariatrik, misalnya peningkatan sel L
di jejunum perianastomosis yang terjadi setelah bypass lambung Roux-en-Y.
2.3 Patofisiologi
Hipoglikemia terjadi akibat kelebihan insulin relative ataupun absolute dan juga gangguan
pertahanan fisiologis yaitu penurunan plasma glukosa. Mekanisme pertahanan fisiologis
dapat menjaga keseimbangan kadar glukosa darah, baik pada penderita diabetes tipe I
ataupun pada penderita diabetes tipe II. Glukosa sendiri merupakan bahan bakar metabolisme
yang harus ada untuk otak. Efek hipoglikemia terutama berkaitan dengan sistem saraf pusat,
sistem pencernaan dan sistem peredaran darah (Kedia, 2011).
Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Selain itu otak
tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan cadangan glukosa (dalam bentuk
glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat
tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa dapat
menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat sehingga terjadi penurunan suplay glukosa ke otak.
Karena terjadi penurunan suplay glukosa ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan
suplay oksigen ke otak sehingga akan menyebabkan pusing, bingung, lemah (Kedia, 2011).
Konsentrasi glukosa darah normal, sekitar 70-110 mg/dL. Penurunan kosentrasi glukosa
darah akan memicu respon tubuh, yaitu penurunan kosentrasi insulin secara fisiologis seiring
dengan turunnya kosentrasi glukosa darah, peningkatan kosentrasi glucagon dan epineprin
sebagai respon neuroendokrin pada kosentrasi glukosa darah di bawah batas normal, dan
timbulnya gejala gejala neurologic (autonom) dan penurunan kesadaran pada kosentrasi
glukosa darah di bawah batas normal (Setyohadi, 2012).
Penurunan kesadaran akan mengakibatkan depresan pusat pernapasan sehingga akan
mengakibatkan pola nafas tidak efektif (Carpenito, 2007).Batas kosentrasi glukosa darah
berkaitan erat dengan system hormonal, persyarafan dan pengaturan produksi glukosa
endogen serta penggunaan glukosa oleh organ perifer. Insulin memegang peranan utama
dalam pengaturan kosentrasi glukosa darah. Apabila konsentrasi glukosa darah menurun
melewati batas bawah konsentrasi normal, hormon-hormon konstraregulasi akan melepaskan.
Dalam hal ini, glucagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperan penting sebagai
pertahanan utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan hormon
pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan glukosa.
Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia
akut. Glukagon hanya bekerja dalam hati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis
dan kemudian glukoneogenesis, sehingga terjadi penurunan energi akan menyebabkan
ketidakstabilan kadar glukosa darah (Herdman, 2010).
Penurunan kadar glukosa darah juga menyebabkan terjadi penurunan perfusi jaringan
perifer, sehingga epineprin juga merangsang lipolisis di jaringan lemak serta proteolisis di
otot yang biasanya ditandai dengan berkeringat, gemetaran, akral dingin, klien pingsan dan
lemah (Setyohadi, 2012). Pelepasan epinefrin, yang cenderung menyebabkan rasa lapar
karena rendahnya kadar glukosa darah akan menyebabkan suplai glukosa ke jaringan
menurun sehingga masalah keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat muncul
(Carpenito, 2007).

2.4 Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda hipoglikemia tidaklah spesifik antar individu. Hipoglikemia dapat
Ditegakkan dengan adanya Whipple’s Triad. Gejala hipoglikemia dikategorikan Menjadi
neuroglikopenia, yaitu gejala yang berhubungan langsung terhadap otak Apabila terjadi
kekurangan glukosa darah. Otak sangat bergantung terhadap suplai Yang berkelanjutan dari
glukosa darah sebagai bahan bakar metabolisme dan Support kognitif. Jika level glukosa
darah menurun maka disfungsi kognitif tidak Bisa terelakkan.
Gejala hipoglikemia kedua, adalah autonom, yaitu gejala yang Terjadi sebagai akibat dari
aktivasi sistem simpato-adrenal sehingga terjadi Perubahan persepsi fisiologi. Menurut
PERKENI[4] dan Yale et al [5], gejala dan Tanda hipoglikemia adalah sebagai berikut:

Tanda Gejala
Autonom Gemetar, palpitasi, Pucat, takikardia, widened
berkeringat, pulse pressure
gelisah, lapar, mual,
kesemutan
paresthesia, palpitasi,
Tremulousness
Neuroglikopenia Kesulitan konsentrasi, Cortical-blindness,
bingung, Lemah, lesu, hipotermia, kejang, koma
dizziness, Pandangan
kabur,
pusing,perubahan sikap,
gangguan kognitif,
pandangan kabur,
diplopia

2.5 Faktor Resiko Pada Hipoglikemi


Hipoglikemia terjadi jarena ketidakseimbangan antara suplai glukosa, pengunaan glukosa
dan level insulin. Faktor risiko kejadian hipoglikemia pada pasien DM sering berkaitan
dengan penggunaan insulin atau insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang kurang tepat,
diantaranya:
1. Dosis insulin dan insulin sekretagog (sulfonilurea/glinid) yang berlebihan, salah
aturan pakai atau salah jenis insulin.
2. Intake glukosa berkurang, bisa disebabkan oleh lupa makan atau puasa
3. Penggunaan glukosa yang meningkat (pada saat dan sehabis olahraga)
4. Produksi glukosa endogen berkurang (pada saat konsumsi alkohol)
5. Sensitivitas insulin meningkat (pada saat tengah malam, berat badan turun, kesehatan
membaik dan pada saat peningkatan kontrol glikemik)
6. Penurunan bersihan insulin (pada kasus gagal ginjal)Tata laksana krisis tiroid dapat
diklasifikasikan menjadi terapi suportif dan terapi spesifik

2.6 Keparahan Hipoglikemi


Ringan Rentang glukosa darah adalah 54 - 70 mg/dl. Terdapat gejala autonom, yaitu
tremor, palpitasi, gugup, takikardi, berkeringat, dan rasa lapar. Pasien dapat
mengobati sendiri

Sedang Rentang glukosa darah adalah 40 - 54 mg/dl.Terdapat gejala autonom dan


neuroglikopenia, seperti bingung, rasa marah, kesulitan konsenterasi, sakit
kepala, lupa, mati rasa pada bibir dan lidah, kesulitan bicara, mengantuk dan
pandangan kabur. Pasien dapat mengobati sendiri.

Berat Glukosa darah kurang dari 40 mg/dl. Terjadi kerusakan sistem saraf pusat,
dengan
gejala perubahan emosi, kejang, stupor, atau penurunan kesadaran. Pasien
membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat, glukagon,
atau
resusitasi lainnya. Bisa terjadi ketidaksadaran pasien.

2.7 Manajemen Hipoglikemi


Tujuan terapi hipoglikemia adalah mengembalikan dengan cepat level glukosa darah ke
rentang normal, mengurangi atau meniadakan risiko injuri dan gejala. Namun, terapi
hipoglikemia harus memperhatikan dan menghindari overtreatment yang bisa menjadikan
pasien hiperglikemia dan peningkatan berat badan. Ketika diperlukan, pengukuran glukosa
darah dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya hipoglikemia (khususnya ketika terdapat
kemungkinan pasien tersebut dalam pengaruh alkohol).
BAB III
PENUTUP

Potrebbero piacerti anche