Sei sulla pagina 1di 8

TANTANGAN DEMOKRASI DAN SOISAL DI ERA DIGITAL

DOSEN : CHAIRIYAH, S.Pd. M.Pd.

DISUSUN OLEH :

YOGI OKTAVIANTO ( 2016015388 )

2i

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FALKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA

2017Peradaban kita hari ini berada pada masa transisi ketika Internet hadir dan mengoyak
beragam tatanan kehidupan masyarakat, termasuk media, baik secara jurnalistik maupun bisnis.
Kita tiba-tiba dihadapkan pada pertumbuhan pengguna Internet dan perkembangan konten yang
demikian masif bahkan koenten bohong (hoax) seolah tak terbendung di era digital saat ini.

Euforia kebebasan berekspresi di dunia digital (Internet) dihadapkan pada ketegangan antara hak
asasi mengemukakan pendapat di satu pihak dan faktor keamanan serta kriminalisasi tuduhan
pencemaran nama baik di pihak lain. Industri media sontak juga dihadapkan pada masalah
transformasi digital. Pertumbuhan pengguna Internet berimplikasi pada penurunan pembaca
media cetak dan bergesernya aras bisnis ke dunia maya.

Persoalan juga semakin kompleks ketika Internet membuka beragam kemungkinan konvergensi
layanan informasi. Tentu saja ini menggembirakan karena publik mendapat kesempatan untuk
mendapatkan beragam informasi secara lebih luas, beragam, dan murah. Namun, bagi media,
perubahan ini menjadi tidak sederhana ketika Internet kemudian juga mereduksi kualitas konten
dan menggoncang aspek bisnis industri.

Di seluruh dunia, Internet menimbulkan kegamangan bagi media. Peran watchdog tak lagi


dimonopoli. Sebab Internet juga membuka ruang bagi partisipasi publik untuk menyampaikan
gagasan-gagasannya, bahkan mengontrol media. Internet juga telah ‘memaksa’ media tak lagi
hanya menyajikan informasi satu arah, juga menyediakan beragam layanan interaktif yang
memungkinkan publik mengekspresikan pendapat mereka. Laman-laman itu hadir dalam bentuk
kolom-kolom komentar di bawah berita, forum, juga blog. Kini Internet tak terbantahkan
perannya dalam menguatkan demokrasi.

Media (di dalamnya internet) memainkan peranan penting dalam demokrasi. Salah satu
negarawan Irlandia Edmun Burke menyebut media sebagai pilar keempat demokrasi2. Dengan
menyebut media sebagai pilar keempat, menegaskan ihwal fungsi media untuk mengawasi
kinerja pemerintahan dalam konsep Trias Politica Montesquieu, yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Dengan kata lain fungsi media sebagai anjing penjaga (watchdog) hadir dalam setiap
berita yang disajikan. Menegaskan soal ini, kerap kali dikatakan bahwa berita adalah darah
kehidupan bagi demokrasi (Fenton, 2010). Sebab salah satu indikator demokrasi yang sehat,
adalah adanya pertukaran informasi yang simetris.

Dalam konteks tersebut, jurnalisme memegang peranan penting dalam diseminasi informasi
kepada publik. Sementara, informasi merupakan salah satu atmosfer penting agar benih-benih
demokrasi yang hadir antara lain dalam kesetaraan dan keterbukaan akses menyampaikan
gagasan, dapat tumbuh subur. Karena itu, Fenton (2010) menegaskan, etos dan panggilan
jurnalisme melekat erat dalam relasi gagasan demokrasi dalam segala praktiknya.

Jurnalisme juga hadir dalam beragam bentuk: cetak, radio, televisi, dan kini Internet. Kerja-kerja
jurnalistik sangat dipengaruhi oleh lingkungan medium itu, yang menyangkut beragam faktor
seperti sosial, politik, ekonomi, regulasi, dan teknologi di dalamnya.

Pilihan atas sistem demokrasi mensyaratkan terjaminnya kebebasan berbicara, kebebasan


berekspresi, dan kebebasan pers. Menurut Habermas, sebuah negara disebut demokratis jika ia
menyediakan sebuah ruang publik yang “netral” bagi setiap warga negara untuk menyampaikan
pendapatnya, gagasannya, bahkan mengkritik kekuasaan (Habermas, 2000).

Ia mengidentifikasi, aktor-faktor penting yang mendorong kebangkitan revolusi demokratis abad


18 dan 19 adalah munculnya penghargaan terhadap ruang publik bagi wacana yang berkembang
di masyarakat. Ruang publik adalah sebuah forum atau arena yang menjadi penengah antara
negara dan masyarakat. Di dalam arena itu setiap warga negara dapat menyampaikan gagasannya
secara terbuka bahkan mengkritik ketidakadilan yang dijalankan pemegang kekuasaan. Ruang
publik itu bersifat independen terhadap pemerintahan dan kekuatan ekonomi dan didedikasikan
pada diskursus rasional yang bersifat terbuka dan dapat diakses setiap warga negara demi
terbangunnya sebuah opini publik yang sehat.

Meskipun partisipasi di Internet ditentukan oleh beragam faktor seperti akses, biaya, dan sensor,
namun secara umum dapat dikatakan Internet merupakan ruang publik masa kini (Moyo, 2009).
Di Internet kita tidak mengenal batasan kelas. Internet menjadi ruang publik paling utama di
abad ke-21, tempat bertemunya warga dunia. Siapapun yang memiliki akses Internet dapat
mencari informasi, mengeluarkan pendapat, dan berkumpul bersama-sama secara online.

Beberapa pekan yang lalu Presiden ke 7 Ir. Joko Widodo dalam kunjungan politiknya di Bogor
menyebut praktik demokrasi politik di Indonesia seudah kebablasan sehingga membuka peluang
terjadinya artikulasi politik yang ekstrem. Artikulasi ekstrem yang dimaksud adalah liberalisme,
radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme serta ajaran lain yang bertentangan
dengan ideologi panasila?
Politisasi SARA (suku, agama, ras dan atargolongan) dengan menyebar fitnah, kabar bohong,
saling memaki yang menurutnya akan memecah belah bangsa. Praktik itu semua terbanyak
dilakukan melalui media internet yang di dalamnya seperti media jejaring  sosial (sicial
network) maupun website/ blog dll.

Keresahan yang diraskan oleh presiden itu memang dirasakan oleh kita semua termasuk para-
media yang berkecimpung dan hidup di dalamnya. Namun kata kebablasan dalam pidatonya ini
menurut penulis terlalu berlebihan, karena praktik yang disebutkan berkaitan dengan liberalisme,
fundamentalisme tentu itu hal yang lumrah dalam ruang demokrasi adapun ekses yang terjadi
itulah dinamika berdemokrasi. Apa yang terjadi seperti radikalisem, terorisme penulis kira yang
harus kita perangi bersama tentu dengan tidak mngenyampingkan marwah berdemokrasi dan
kemanusiaannya.

Kembali ke media internet. Revolusi komputer dan kehadiran jaringan Internet di rumah-rumah
atau digenggaman (gadget) seharusnya memperkuat kultur demokrasi, memberdayakan
masyarakat dan organisasi-organsiasi di akar rumput untuk mengartikulasikan gagasan mereka
seluas-luasnya. Jaringan Internet menerbitkan harapan akan lahirnya sebuah peradaban
demokrasi yang baru, yang tidak pernah ada sebelumnya (Jenkins & Thorburn, 2003).

Lalu bagaimana ruang publik bernama Internet dapat memperkuat demokrasi? Morriset
menawarkan enam hal yang dipandangnya penting bagi penguatan demokrasi di intenet yaitu
akses, informasi dan edukasi, diskusi, musyawarah (deliberation), pilihan, dan aksi. (Morriset,
2003). Dari enam hal itu, yang paling penting adalah akses.

Akses. Masalah utama dalam partisipasi demokrasi umumnya terjadi pada wilayah-wilayah yang
secara geografis sulit dijangkau. Teknologi sistem informasi yang baik selayaknya menjadi
solusi atas problem akses masyarakat terhadap ruang disksui-diskusi publik atas beragam isu.
Demokrasi di Internet hanya akan menjadi kuat jika setiap warga negara memiliki hak yang sama
untuk dapat mengakses Internet. Internet adalah ruang yang sangat memungkinkan diskusi dan
kebebasan berekspersi terjadi tanpa hambatan waktu dan tempat.

Menghadirkan Informasi dan edukasi. Keterbatasan peran masyarakat pada proporsi tertentu juga
disebabkan oleh minimnya informasi yang mereka terima. Internet selayaknya menjadi ruang
bagi terjadinya penyebaran informasi dan pendidikan bagi segenap warga Indonesia di seluruh
penjuru tanah air.

Menjadikannya ajang Diskusi dan musyawarah yang sehat . Internet dapat menstimulasi diskusi
tidak hanya antar-warga negara, juga dengan pemimpin mereka. Sesuatu yang tidak pernah
terjadi sebelumnya. Kehadiran Internet membuka ruang bagi masyarakat untuk berdialog dengan
para pejabat pemerintahan, apakah melalui situs resmi atau media sosial. Lewat Facebook dan
Twitter, masyarakat dapat dengan mudah “menjangkau” pemangku kekuasaan seperti Presiden
Joko widodo atau yang lainnya. selain itu di belahan negara manapun bisa terjadi.
Keterhubungan masyarakat dengan para wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, juga bupati, walikota dan perangkat desa, seharusnya dapat terbuka di dunia
maya.

Berbagai macam bentuk sistem komunikasi interaktif di dunia maya harus membuka ruang bagi
terjadinya proses musyawarah. Pertimbangan yang matang adalah prasyarat bagi sebuah
keputusan yang tepat. Oleh karena itu, agar proses musyarawah terjadi, setiap kepentingan atau
sudut pandang harus mendapat tempat. Internet adalah ruang yang memungkinkan
keterhubungan antar masyarakat tanpa hambatan geografis dan waktu. Inilah kenapa akses
Internet penting dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di sebuah wilayan dengan
gografis yang sulit.

Selanjutnya media sebagai upaya Pilihan artinya proses demokrasi terjadi ketika masyarakat
dihadapkan pada sejumlah pilihan. Diskusi dan kebebasan berpendapat mendapat porsinya ketika
warga atau partisipan memahami bahwa ada beragam alternatif pilihan yang bisa diambil.
Menurut Morriset, tanggungjawab pemerintah tidak hanya mengedukasi publik atas beragam
persoalan yang ada, juga memastikan proses pengambilan suara atas pilihan yang ada berjalan
adil.

Lalu Aksi. Beragam faktor di atas hanya akan percuma jika akhirnya demokrasi tidak disertai
oleh partisipasi publik. Oleh karena itu, keterbukaan akses, informasi yang memadai, terbukanya
ruang-ruang diskusi, dan tersedianya beragam pilihan, pada ujungnya adalah sarana bagi
masyarakat untuk “beraksi” dan berpartisipasi dan mengawal ruang-ruang demokrasi.

Di era digital seperti ini, platform media cetak dan media online sepertinya mulai tergerus atau
bahkan tak lagi memonopoli dalam menyampaikan informasi kepada publik. Tak bisa
dipungkiri, eksistensi media sosial seperti Facebook dan Twitter mengalahkan dua platform
media massa itu (cetak dan online) dalam memberikan informasi. Media sosial justru dianggap
dapat memberikan informasi utama yang belum diuji kebenarannya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi berita bohong yang bertebaran di media sosial?
Usulan kepada Facebook untuk membuat tim fact checker, tentu merupakan solusi yang sangat
bagus untuk media sosial masa kini. Namun, untuk melakukan komunikasi dengan perusahaan
media sosial raksasa itu membutuhkan prosedur yang panjang dan memakan waktu. 

Meskipun hal tersebut sangat mungkin untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tetapi dalam
lingkup yang lebih kecil, kita berbicara tentang apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat
yang paham persoalan media sosial dan berita bohong yang tersebar di dalamnya.

Lantas, bagaimana dengan peran wartawan yang notabene bekerja mencari beragam informasi
serta menyampaikan informasi tersebut melalui lembaga media sesuai dengan kaidah Kode Etik
Jurnalistik (KEJ)? Dapatkah para wartawan itu menjadi kurator untuk memulihkan informasi
soal pilkada yang benar bagi masyarakat? Peran lembaga pers dan wartawan sejatinya sangat
dibutuhkan untuk bertanggung jawab sebagai penjaga pintu di era digital ini. 

Penggagas 9 Elemen Jurnalisme, Bill Kovach dalam bukunya yang berjudul “BLUR; How To
Know What’s True In The Era of Information Overload” mengatakan, wartawan tetap harus
memelihara prinsip-prinsip dasar jurnalistik, dan menjadi “gatekeeper” bagi serbuan informasi di
era digital. Artinya, wartawan sebagai pemegang informasi yang terverifikasi berperan penting
untuk menjaga kesahihan informasi yang diterima masyarakat, bahkan di media sosial.

Inilah dampak dari pergerakan zaman yang dapat kita rasakan. Di mana masyarakat memang
menginginkan sesuatu yang serba cepat tanpa memikirkan akurasi informasi yang diterima
melalui media sosial. Pilihan kita hanya dua, berdamai dengan era digital dengan cedas bermedia
sosial atau menjadi masyarakat yang tak acuh dan mengabaikan prinsip kebenaran informasi
yang diterima melalui media sosial.
Media sosial memang menjadi pesaing yang paling berpengaruh bagi media massa cetak maupun
online. Menyikapi berita bohong yang tersebar di media sosial, salah satu cara yang paling
efektif dan mudah dieksekusi adalah dengan menyampaikan berita yang benar dan sudah
terverifikasi kepada masyarakat. Lalu, bagaimana menarik perhatian masyarakat dari berita
bohong yang beredar untuk mengakses berita yang lebih akurat di media massa online?

Kita bisa menyatakan berita bohong itu memiliki pengaruh bagi pemilih, entah bagi sedikit atau
banyak pemilih, dalam derajat yang beragam. Apalagi jika kabar itu dibagikan oleh seorang
tokoh (opinion leader), orang yang sangat berpotensi memengaruhi pilihan politik warga.

Artinya, masyarakat bukan hanya menanggapi ‘apa’ informasi yang disampaikan, tetapi ‘siapa’
yang menyebarkan informasi tersebut rupanya membawa pengaruh besar bagi masyarakat era
digital. Literasi media sosial menjadi penting di saat-saat genting seperti ini. Di mana seluruh
informasi, baik yang akurat maupun tidak, melebur dalam platform media sosial.

Para tokoh (opinion leader) yang ditengarai memiliki tingkat intlektual yang tinggi dibanding
masyarakat biasa, hendaknya bisa cerdas menggunakan media sosial. Selain untuk menyebarkan
informasi yang akurat, juga untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk tidak
sembarangan menerima informasi yang disebar melalui media sosial.

Jangan sampai para tokoh yang berpengaruh itu malah melakukan sesuatu yang mengundang
polemik di masyarakat. Seperti melemparkan isu buruk kepada masyarakat terkait lawan
jagoannya di pilkada 2017 mendatang. Segenap elemen bangsa ini hendaknya menjaga stabilitas
negara dari beredarnya informasi atau berita bohong yang beredar di media sosial yang bisa
menimbulkan masalah sosial di masyarakat.

Melalui edukasi dan literasi yang diberikan, masyarakat Indonesia diharapkan mampu cerdas
memfilter informasi dari media sosial. Dengan begitu, informasi dari berbagai peristiwa dengan
dinamika sedemikian rupa tidak lagi ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Indonesia.

REFENSI
http://student.cnnindonesia.com/inspirasi/20170105144746-454-184315/masyarakat-sosial-di-
era-digital/

http://www.pelitaperdamaian.org/tantangan-demokrasi-di-era-digital/

Potrebbero piacerti anche