Sei sulla pagina 1di 6

Teks Resensi Bahasa Indonesia

Plagiarisme di Era Krisis Moral

Kemas Achmad Rafi F


(XI MIA 5/ 24)
Marchelino Louis Ferlando
(XI MIA 5/ 26)
Plagiarisme di Era Krisis Moral

Judul : Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku

Penulis : Herman R.N

Penerbit : Kompas

Edisi : Minggu, 8 Februari 2010

Di malam hari yang gelap, seorang pria misterius datang mendadak ke rumah Pak
Imam. Ia memperkenalkan dirinya sebagai seorang pengelana dari jauh. Ia mengaku bahwa ia
sedang dalam perjalanan merantau dari kampung halamannya. Sebagai seseorang yang
dituakan, Pak Imam menyambut tamu itu dengan senang hati. Dengan gembira, Pak Imam
melayani si pria dan mengajak tamu itu berbincang-bincang.
Obrolan mereka mengalir seperti air. Segala topik mereka bicarakan. Tak terasa cukup
lama mereka berbicara hingga si pria tiba-tiba meminta Pak Imam untuk menceritakan suatu
kisah ataupun hikayat. Si pria mengatakan bahwa Pak Imam dapat menceritakan hikayat
apapun kepadanya. Bahkan kisah asal-usul kampung Pak Imam pun juga boleh, imbuhnya.
Tanpa rasa curiga sedikitpun, Pak Imam mulai menceritakan salah satu hikayat yang sering
didengarkannya sewaktu kecil dari kakeknya. Malam lalu berakhir dengan si pria yang
mengundurkan diri.
Keesokan harinya, saat malam, si pria kembali menemui Pak Imam. Dengan
permintaan yang sama, ia meminta Pak Imam untuk menceritakan kisah-kisah lainnya. Merasa
dihormati, Pak Imam kemudian menuruti permintaan Si Pria. Kali ini dia memilih cerita
lainnya yang jarang didengar. Malam-malam selanjutnya kemudian selalu seperti itu. Si Pria
mendatangi Pak Imam dan memintanya bercerita apa saja yang bisa diceritakan. Terkadang,
saat Si Pria tidak paham akan hikayat yang dibawaan Pak Imam, ia akan menyela dan bertanya.
Pak Imam lalu menjawab dan memberi waktu sejenak bagi Si Pria untuk berpikir.
Karena kebiasaan itu berlanjut setiap harinya, Pak Imam kemudian mengajak Si Pria
untuk tinggal di rumahnya, agar Si Pria lebih mudah untuk mendengar kisah-kisah atau hikayat
yang ia bawakan. Si Pria menyetujui dan ia tinggal bersama Pak Imam. Selanjutnya, setiap
malam, Pak Imam akan selalu bercerita atau membawakan berbagai hikayat yang sudah ia
ketahui sejak lama. Hingga di suatu malam, Pak Imam memutuskan untuk menghentikan
ceritanya dan berbalik meminta si pria untuk bercerita. Alih-alih menjawab, sip ria hanya diam
menundukkan kepala. Merasa iba dan tidak enak hati, Pak Imam membatalkan pertanyaanya
dan melanjutkan hikayatnya.
Beberapa hari kemudian, Pak Imam jatuh sakit. Si pria yang tinggal bersamanya tiba-
tiba menghilang entah ke mana. Dikarenakan faktor usia, kondisinya tidak memungkinkan
untuk keluar rumah dan mengurus meusenah. Ia hanya bisa diam di rumah tanpa bisa apa-apa.
Ia pun dijenguk oleh Pak Lurah yang menanyakan kondisinya. Pak Lurah secara tidak sengaja
memberitahu bahwa si pria yang tinggal bersama Pak Imam adalah seorang tukang obat yang
menjual obatnya dengan bercerita. Pak Lurah juga menambahkan bahwa si pria tersebut sangat
cakap dalam bercerita, sehingga obat yang ia jual selalu laku dibeli. Pak Imam yang mendengar
kata-kata Pak Lurah merasa kaget dan tersentak, sebab si pria tidak mengatakan apapun tentang
pekerjaannya.
Esoknya, Pak Lurah mengajak Pak Imam untuk berobat ke puskesmas. Saat melewati
lapangan, mereka mendapati bahwa si pria tengah berjualan, dikerumuni oleh sekelompok
orang yang mendengar ceritanya. Pak Lurah lalu mengajak Pak Imam untuk mendengar cerita
si pria seusai berobat. Alangkah kagetnya Pak Imam ketika mengetahui bahwa cerita yang
dibawakan oleh si pria ternyata sama persis dengan dirinya. Dengan rasa tidak percaya,
telinganya mendengar sendiri setiap kalimat dari mulut si pria sama persis dengan hikayat
miliknya. Pak Imam kemudian menyimpulkan bahwa si pria telah mencuri hikayatnya.
Sesudah bercerita, si pria lalu menajajakan dagangannya ke semua orang, membuat
obatnya laku terjual. Tidak disangka, si pria tidak sengaja mendatangi Pak Imam. Terkejut, si
pria bertanya tentang kondisi Pak Imam dengan canggung. Pak Imam yang merasa ditipu oleh
si pria memilih mengabaikannya dan terus menatapnya dalam diam hingga si pria terpaksa
menyingkir dari hadapan Pak Imam.
Setelah kejadian tersebut, si pria tidak menampakkan batang hidungnya di rumah Pak
Imam. Tidak pernah terlihat lagi sosoknya. Sekedar kabarpun juga tidak terdengar. Sama
seperti kedatangannya, kepergiannya juga misterius. Pak Imam yang sudah terlanjur benci pada
si pria menganggapnya hanya angin lalu. Selang beberapa waktu, si pria tiba-tiba hadir kembali
di acara kecamata yang kebetulan juga dihadiri oleh Pak Imam. Rasa dikhianati kembali
muncul saat si pria menceritakan salah satu hikayatnya. Telinganya seolah menjadi sakit setiap
kali hikayat miliknya dibacakan oleh si pria.
Pada akhirnya, si pria menjadi terkenal akan kepiawaiannya dalam menceritakan
hikayat. Ia banyak diundang di acara-acara. Bahkan, kabarnya si pria juga hadir dalam acara
formal di ibukota provinsi. Ketenarannya membuat si pria menjadi semacam artis dadakan
yang meraup pundi-pundi uang. Sementara itu, Pak Imam hanya bisa merutuk di kampung
halamannya selagi usia perlahan menggerogotinya.
Cerpen karya Herman R.N ini mengisahkan tentang seorang kakek tua yang hikayat
miliknya dicuri oleh seorang tukang obat. Dalam cerpen ini, Herman R.N secara implisit
menunjukkan dua hal yang tengah menggerogoti Indonesia, khususnya di bidang sastra dan
seni : plagiarisme dan krisis moral. Plagiarisme adalah suatu tindakan penjiplakan suatu karya
atau pendapat dari seseorang atau kelompok secara illegal tanpa izin dari pihak yang
bersangkutan. Singkatnya, plagiarisme adalah tindakan yang melanggar hukum. Di Indonesia,
setiap karya dilindungi oleh undang-undang yang berlaku untuk mencegah plagiarisme yang
merugikan pihak yang bersangkutan. Meskipun begitu, undang-undang yang ada rupanya tidak
cukup untuk melindungi suatu karya yang ada. Layaknya penyakit yang tumbuh subur di
musim hujan, para plagiator mampu menemukan celah yang ada untuk melakukan kejahatan
plagiarisme. Dengan berdalih bahwa karya asli terlalu mahal dan tidak dapat dijangkau oleh
masyarakat luas, para plagiator mampu menempatkan diri mereka dalam hati msyarakat tanpa
disadari. Seperti yang dilakukan oleh si penjual obat, ia dapat menarik rasa simpati dari
masyakat sekitar tanpa memedulikan perasaan Pak Imam. Hal ini secara tidak disadari, telah
terpatri sedemikian rupa dalam pola pikir masyarakat awam. Misalnya saja, ketika seseorang
berselancar di internet, dengan mengetikkan kata kunci yang sesuai, maka ia dapat menemukan
situs pengunduh lagu gratis yang disediakan secara ilegal. Atau di kesempatan lain, kita dapat
menemukan beberapa oknum yang menjual e-book novel ataupun jurnal ilmiah dengan harga
yang jauh lebih murah dari harga aslinya atau bahkan gratis. Jika seseorang ingin bermain
game, maka tidak perlu repot-repot merogoh dompet lebih dalam untuk menikmati konten
berbayar. Cukup bermodalkan browser dan keyword yang tepat, maka ia cukup mengunduh
file-file yang diperlukan secara gratis. Hal-hal seperti ini telah menjadi kebiasaan yang
menyimpang dan sulit disembuhkan. Jika ditinjau lebih lanjut, harga sebuah karya yang tertera,
katakanlah novel, bukan nilai yang sama yang akan masuk ke dalam dompet si pengarang.
Pengarang novel hanya akan mendapatkan royalti sebesar 5-10% untuk setiap buku yang
terjual. Padahal, jumlah novel yang terpajang di rak toko buku tidak semuanya laku terjual.
Sementara itu, para plagiator mematok harga rendah dari karya yang mereka plagiat, namun
sudah mampu menghasilkan uang yang lebih banyak dari kreator aslinya. Sama seperti di akhir
cerita, si tukang obat sebagai plagiator justru hidup lebih sukses daripada Pak Imam selaku
kreator asli. Hal yang tentunya sangat miris sekali. Di Indonesia, kejadian seperti ini sangat
sering sekali terjadi. Walaupun sudah ada hukumnya, namun tidak ada langkah tegas dari
pemerintah. Payung hukum yang disediakan juga masih bersifat umum, tidak ada batas yang
lebih jelas dan terperinci. Masyarakat awam juga sudah terlanjur mempunyai pola pikir instan
tanpa menimbang nilai suatu karya. Kreator asli hanya mampu menggigit jari mereka ketika
tahu karya mereka dijiplak, sementara plagiator terus menerus mengeruk keuntungan. Berkarya
di Indonesia, hasil kerja keras para kreator sudah tidak dihargai lagi.
Untuk bagian krisis moral, Hendra R.N dengan gamblang menunjukkan dalam
ceritanya lewat tokoh si penjual obat. Tingkah laku si penjual obat yang amoral sangat aktual
dengan kondisi generasi muda dan masyarakat Indonesia sekarang,. Walalupun tidak semua
kebobrokan diungkapkan dalam cerpennya, kebejatan yang dilakukan oleh si penjual obat
sudah cukup mewakili sebagian krisis moral yang melanda Indonesia. Misalnya, penipuan yang
dilakukan oleh penjual obat dengan cara pura-pura mendekati Pak Imam sudah sering terjadi.
Dalam kasus nyata, kebanyakan penipuan berkedok keakraban hubungan dengan korban.
Misalnya penipuan investasi yang marak terjadi. Para penipu biasanya mendekati korban
terlebih dahulu. Ketika sudah mencapai keadaan tertentu, para penipu baru melancarkan
aksinya. Contoh lain adalah koruptor. Para pejabat yang dilantik dengan sumpah dan digaji
dengan uang rakyak justru mengkhianati kepercayaan rakyat. Dengan alasan proyek dan
kunjungan kerja, para koruptor menyalahgunakan sejumlah uang yang dipercayakan kepada
mereka dan digunakan untuk memperkaya diri mereka sendiri. Seperti yang dijabarkan dalam
cerita, perilaku si penjual obat yang menggunakan simpati masyarakat untuk mengubahnya
menjadi sosok pahlawan alih-alih penjiplak hikayat Pak Imam, sedang menjangkiti Indonesia.
Dapat dilihat melalui kanal-kanal berita yang update setiap hari, banyak tokoh-tokoh
masyarakat yang sengaja menciptakan sensasi demi menaikkan popularitas mereka. Tidak
cukup disitu, budaya plagiarisme yang juga menjadi bagian dari krisis moral mendapatkan
porsi lebih di cerita ini. Secara implisit, Herman R.N. mengutuk para plagiator seperti Pak
Imam yang merutuki dirinya dan si penjual obat. Plagiarisme sudah menjadi bagian dari negara
ini. Dari kecil, generasi muda diajari untuk mencontoh tanpa diberitahu bagaimana cara
membuat. Ranah pendidikan juga belum memberikan sanksi yang cukup bagi para murid
ataupun pegiat pendidikan yang tertangkap basah melakukan plagiarisme.
Selain pesan moral yang sesuai dengan kondisi sekarang, penulis mampu
menghadirkan aspek kebudayaan dari latar belakang tempat cerita terjadi, yaitu Sumatra. Dapat
dilihat dari beberapa kata yang disisipkan oleh Herman R.N. maka jelas sekali bahwa ia
menggunakan Sumatra sebagai latar belakang cerita. Pilihan diksi seperti “hikayat” dan
“meunasah” merupakan nilai plus dari cerita ini. Tidak sekedar diksi, beberapa kebudayaan
juga turut diangkat untuk memperkuat kesan Sumatra dalam cerpen ini. Misalnya, kebiasaan
merantau yang dilakukan para pemuda Sumatra untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Atau kebiasaan untuk membawakan hikayat-hikayat tentang leluhur maupun asal-usul
kampung sebagai bagian dari berdagang. Hal ini dituliskan oleh penulis melalui perbuatan yang
dilakukan oleh tokohnya. Ketika si penjual obat datang ke kampung Pak Imam, ia mengaku
sebagai seorang perantau. Sementara saat berdagang, si penjual obat menggunakan hikayat
yang ia peroleh dari Pak Imam sebagai lip service dagangannya.
Tidak hanya itu, bahasa yang digunakan oleh Herman R.N. dalam cerpen ini sangatlah
lugas dan sederhana untuk dipahami. Tanpa menggunakan majas yang berlebihan, cerpen ini
langsung menuju pada poin-poin pentingnya. Bahasa yang mudah dipahami menjadikan cerpen
ini lebih mudah untuk menyampaikan pesan moralnya pada pembaca. Ketiadaan unsur SARA
dan dewasa membuat cerpen ini dapat dibaca oleh semua kalangan.
Secara keseluruhan, cerpen ini mewakili gambaran cerpen yang sempurna. Pemilihan
diksi yang tepat dan pesan moral yang pas bagi kondisi sosial saat ini membuat cerpen ini
pantas untuk dibaca. Tidak adanya unsur SARA dan dewasa menunjang cerpen ini agar dapat
dibaca bagi semua kalangan. Walaupun ada beberapa kesalahan teknis dalam penulisan, namun
tidak ada yang terlewatkan sama sekali untuk unsur intrinsiknya. Penokohannya yang
didasarkan pada realita membuat cerpen ini menjadi hidup. Di akhir kata, akan sangat
disayangkan sekali untuk tidak membaca cerpen ini demi menambah wawasan. Sangat
direkomendasikan bagi para pembaca yang membutuhkan bacaan ringan namun penuh makna
dan pesan moral.

Potrebbero piacerti anche