89. Kembali menengok keberadaan jiukum
potong, rajam dan cambuk dalam Islam,
apa tidak terkesan kejam ?
Kalau kita melihat hukum potong, rajam dan cambuk
secara parsial, dengan melupakan rentetan peristiwa
yang menyebabkan hukum itu diadakan, serta
pengabaian dampak positif dari pelaksanaan
hukuman itu sendiri, maka kesan kejam itulah yang
muncul. Tentu saja itu merupakan pandangan picik
lagi sempit, dan secara ilmiah tidak mempunyai nilai
yang berarti.
Sebagai contoh kasus ; yaitu perzinahan yang
dilakukan oleh orang yang pernah menikmati
persetubuhan dalam pernikahan yang sah secara
hukum agama. Jika ia berzinah dengan sadar dan
sengaja tanpa paksaan, maka ta akan dirajam
sampai mati setelah pembuktian perbuatan zinahnya
dinyatakan sah secara syari’at. Mengapa ?
Pertama, pernikahan adalah tali hubungan yang
suci, yang wajib kita hormati dan jaga kehormatan
nya. Tali suci ini tidak boleh dirusak atau dikotori
perzinahan dengan alasan apa pun.
Kedua, orang yang berumah tangga, ia memiliki
tempat penyaluran syahwat yang halal, mengapa
harus menyalurkannya di tempat yang haram.
Ketiga, kalau pun ia sudah menduda atau
menjanda, setidaknya ia pernah merasakan yang
halal dan berpengalaman dalam membangun rumah
tangga, ia bisa mengulanginya, dan mengulangi
lebih mudah dari pada memulai, mengapa harus
berzinah.
Keempat, perzinahan sumber berbagai penyakit,
salah satu di antaranya adalah AIDS yang
mengerikan banyak orang. Betapa jahatnya suami
atau isteri yang mendapat penyakit tersebut akibat
perzinahannya, kemudian menularkan kepada
pasangan halalnya, belum lagi menularkan kepada
anak-anak yang dilahirkannya.
Kelima, tak jarang dari perzinahan tersebut si
perempuan melahirkan anak dari hasil perbuatan
haramnya, sungguh kasihan anak yang_ tidak
berdosa harus menanggung malu perbuatan bejat
orang tua seumur hidupnya. Terkadang si anak
dibunuh ibunya sebelum dilahirkan atau saat
dilahirkan, dan tidak sedikit yang dibuang untuk
menghindar dari rasa malu dirinya. Belum lagi kalau
si perempuan isteri orang, ia hamil dari orang lain
tanpa sepengetahuan suaminya, sungguh suatu
pengkhianatan terkutuk.
Keenam, dengan ditegakkan hukum rajam, maka si
pezinah tidak dibiarkan membunuh keluarganya
dengan penyakit yang dibawanya akibat perzinahan.
Dan orang lain akan belajar untuk menghargai tali
suci pernikahan, menghormati pasangan halainya,
mensyukuri nikmat perkawinan, menjauhkan diri dan
keluarga dari penyakit bahaya, menjaga kesucian
nasab seorang anak yang dilahirkan, setidaknya ada
perasaan takut berzinah karena ketegasan
hukumannya.
Memperhatikan dan menimbang hal-hal di atas,
masihkah kita akan mengatakan hukuman tersebut
kejam 77?!
Lagi pula, saya ingin balik bertanya, hukum
manakah yang terbaik ; hukum yang memberi
kesempatan kepada pelanggar hukum untuk berbuat
jahat lagi, atau hukum yang tidak memberi peluang
kedua kalinya kepada pelanggar hukum untuk
mengulangi kejahatannya kembali ?!!