Sei sulla pagina 1di 31

Rene Descartes 1596 - 1650

dr. Era Catur Prasetya


Prof. Dr. dr. Bambang Prijambodo, SpB, SpOT(K)
Filsuf Perancis abad pertengahan tahun 1600-an
- akhir Periode Renaissance
Sangat dipengaruhi oleh karya-karya Leonardo
da Vinci, Galileo, dan Copernicus
Kontribusi utama untuk psikologi adalah fokusnya
pada psikis atau jiwa (mind) dan badan (mind-
body problem).
psikis merupakan dunia mental dan badan
merupakan dunia material
Incidence

 An estimated 1.7 million people in the US are living


with limb loss.
 Each year 158,000 persons undergo an amputation
 The incidence of phantom pain is 60-80% among
amputees.
 Independent of adult age, gender or location or side
of amputation (less common in children or congenital
amputees)
Onset and Duration

 Several studies have shown that 75% of patients with


PLP develop pain within the first few days after
amputation.
 One study of 58 amputees found incidence of PLP to
be 72%, 65% and 59% after 1 week, 6 months and 2
years. (Jensen, et al 1985)
 Another study of 56 amputees showed that although
the incidence and intensity of pain remained
constant, the frequency and duration of pain attacks
decreased significantly. (Nikolajsen, et al 1997)
Character and association

 Phantom pain is usually intermittent; only few


patient’s are in constant pain.
 Pain is primarily located in distal parts of the missing
limb.
 Few case reports suggest that pre-amputation pain
may persist as PLP, but this is not the case in most
patients.
 Phantom pain is more frequent in patients with long-
term stump pain, and decreases with resolution of
stump-end pathology
Mechanisms of Phantom Pain

 Following a nerve cut, formation of neuromas are


seen, which show spontaneous and abnormal
evoked activity following mechanical and chemical
stimulation. (Amir, et al 1993)
 Percussion of stump/neuromas induces stump and
PLP; increased activity of afferent C fibers (Nystrom,
et al 1981)
 Perineuromal injection of gallamine produces PLP,
injection of lidocaine blocks PLP. (Chabal, et al 1981)
Spinal Plasticity

 After nerve injury, C-fibers and A delta-afferents


gain access to secondary pain signaling neurons
(mediated by glutamate and neurokinins). This is
manifested by mechanical hyperalgesia and
expansion of peripheral receptive fields.
(Doubell, et al 1999)
 Increased activity of NMDA receptor; central
sensitization can be reduced by NMDA
antagonists such as ketamine. (Eichenberger, et
al 2008)
Anatomical reorganization

 Peripheral nerve damage can lead to degeneration of C-fiber


afferent terminals in laminae II. As a result, central terminals of Aβ-
mechanoreceptive afferents (which normally terminate in laminae
III and IV) sprout into laminae I and II. (Woolf, et al 1992)
 Ultimately, this results in increased general excitability of spinal cord
neurons.
Sympathetic nervous system role

 Application of norepinephrine or activation of post-ganglionic


sympathetic fibers excites and sensitizes damaged (not normal)
nerve fibers. (Devor, et al 1994)
 Sympatholytic block can abolish neuropathic pain, but pain can be
rekindled by injection of norepinephrine under the skin. (Torebjork et
al 1995)
Cerebral reorganization

 One study of adult monkeys revealed cortical


reorganization in which the mouth and chin
invade cortices corresponding to arm and digits.
(Dotrovsky, et al 1999)
 In humans, similar reorganization has been
observed using magnetoencephalographic
techniques and there was a linear relationship
between pain and degree of reorganization
(flor, et al 1998)
Filsafat Descartes

Kita harus meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Didalam mimpi,
halusinasi, ilusi seolah olah seorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi,
Benda-benda dalam mimpi, halusinasi, ilusi dan fantasi, bila dilihat dari posisi kita juga, itu
tidak ada. Akan tetapi benda-benda itu sunguh-sunguh ada bila dilihat dari posisi kita dalam
mimpi, halusinasi, dan ilusi
Sikap skeptis adalah sebuah pendirian di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
menyangsikan kenyataan yang diketahui baik ciri-cirinya maupun eksistensinya. Kesangsian
descartes dalam metode kesangsiannya adalah sebuah sikap skeptis, tetapi skeptis-isme macam
itu bersifat metodis, karena tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan kepastian yang tak
tergoyangkan, yaitu: cogito atau subjectum sebagai onstansi akhir pengetahuan manusia.
Inti metode Descartes adalah ragu-
seragunya, mengkritik semua dan
menyangsikan semua yang dulunya
dianggap benar. Menolak semua
gagasan yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya dengan nalar dan logika
ketat.

Bahkan descartes meragukan Indra-nya


sendiri karena menurutnya indra sangat
mudah untuk ditipu. Dia juga
menyangsikan realitas yang ditinggalinya,
menurut dia bisa saja kita ditipu oleh
imajinasi kita bahkan dalam titik yang
paling ekstrim Descartes juga
menyangsikan eksistensi dirinya sendiri.
• Satu hal yang tidak bisa diragukan adalah ”aku
yang sedang meragukan semuanya”, maka
pikiran itu adalah hal yang eksis dan nyata.
Sampailah Descartes pada kesimpulan cogito
ergo sum (aku berpikir maka aku ada).

• Jiwa selanjutnya meyakini bahwa gagasan


akan pikiran itu sangat jelas (claire)
sehingga gagasan itu benar. Kejelasan menjadi
kriteria untuk menguji gagasan lain dalam
pikiran yang ditujukan untuk menguji benar
tidaknya.
• Pada titik ini Descartes membangun pondasi untuk
membangun ide terang benderang dan terpilah (idees
claires et distinctes). Untuk kemudian Descartes
merasakan bahwa inderanya memberi kesan bahwa
pikiran (mind) terikat dengan semacam
”tubuh”(elhomme mechine).
• Dan pikirannya memutuskan bahwa memang ada
eksistensi di luar pikirannya yaitu dunia keluasan/materi
(res extensa). Untuk kemudian res cogito dan res extensa
mengawal Descartes pada filsafat dualismenya.
Kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau
disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and
Distinct. Singkatnya untuk menjadi jelas (clear)
sebuah ide harus terbuka, hadir dan bisa diterima oleh
pikiran. Sedangkan untuk menjadi terpilah (distinct)
tidak hanya jelas melainkan gagasan itu harus tepat
(precise) dan terpilah dari gagasan yang lain sehingga
jelas mengandung dalam dirinya sendiri.
Mind and Body

Teori sebelumnya menyatakan bahwa psikis mempengaruhi badan, tetapi badan tidak
mempengaruhi psikis. Tetapi menurut Descrates, psikis dapat mempengaruhi badan dan badan
juga dapat mempengaruhi psikis mutual interaction.
Psikis mempunyai satu fungsi, yaitu berfikir, sedangkan proses yang lain adalah fungsi dari
badan.
• Pemikiran analitis Descartes
menuntunnya untuk melihat tubuh
sebagai mesin dengan tulang dan
sendi yang berfungsi seperti tuas
dan saraf berlubang yang
membawa roh ke dan dari ventrikel
otak.
• Descartes mengatakan, kelenjar
pineal yang kecil, mudah bergerak,
berlokasi di sentral adalah tempat
yang paling logis untuk jiwa yang
tidak material untuk
mengendalikan mesin fisik tubuh
— dan agar jiwa menjadi sadar
akan tindakan tubuh .
 Karena kita memiliki jiwa, kita dapat berpikir. Dan
jika kita dapat berpikir, kita dapat yakin bahwa kita
harus ada: cogito ergo sum atau je pense, donc
je suis ("Saya berpikir, maka saya ada").
 Selain itu, kita dapat merespons secara sukarela,
mengingat kembali, mengalami emosi sejati, dan
melampirkan makna atau makna pada informasi
sensorik yang dikirim ke otak.
 Sebaliknya, anjing, kucing, dan hewan lain hanya
dapat bertindak secara refleks terhadap stimulasi;
mereka sedikit lebih dari automata atau binatang
buas.
 Kita sendiri dapat melakukan yang lebih baik —
bukan karena kita memiliki kelenjar pineal di otak,
tetapi karena kelenjar ini memiliki keistimewaan
khusus.
Phantom Limbs

Dalam konteks inilah Descartes menggambarkan sensasi


phantom limbs dalam beberapa tulisannya, baik pribadi
maupun publik. Salah satunya adalah surat yang ditulis
untuk Fromondus pada 3 Oktober 1637.
Fromondus mengkritik suatu bagian dalam buku
Descartes yang berjudul Optics, dan Descartes
menanggapi kritik tersebut dan membantah bahwa
pusat indera ada dibawah kulit atau membran
[saraf]"; dia percaya bahwa sensasi harus melibatkan
mesin otak.
Inti dari pemikirannya adalah keyakinan bahwa persepsi,
yang, tidak seperti sensasi sederhana, melibatkan
kesadaran dan pemahaman, adalah atribut khas
manusia. Ini membutuhkan interaksi jiwa (non-materi)
dengan otak (materi), yang menerima informasi sensorik
dasar dari saraf.
Terlihat dalam konteks yang lebih luas dari filsafat
dualistiknya, aspek yang paling mengejutkan dari surat
Descartes kepada Fromondus bukanlah bahwa ia memilih
untuk mengangkat topik tentang phantom limbs justru
bahwa ia menyajikan persepsi yang tidak biasa ini yang
baru dikenal oleh dokter dan ahli bedah modern. dia
menulis,
“Dia [Fromondus] menyatakan terkejut bahwa pada
halaman 30 [Dioptric saya] saya tidak mengenali sensasi
kecuali apa yang terjadi di otak. Pada titik ini saya berharap
bahwa semua dokter dan ahli bedah akan membantu saya
untuk membujuknya; karena mereka tahu bahwa mereka
yang anggota tubuhnya baru saja diamputasi sering
mengira mereka masih merasakan sakit di bagian yang
tidak mereka miliki lagi”
“Saya pernah kenal seorang gadis yang memiliki luka serius
di tangannya dan seluruh lengannya diamputasi karena
mengalami gangren. Setiap kali dokter bedah mendekatinya,
mereka menutup matanya sehingga dia akan lebih mudah
dilakukan tindakan, dan tempat lengannya tertutup perban
sehingga selama beberapa minggu dia tidak tahu bahwa dia
telah kehilangan itu.
Sementara itu dia mengeluh merasakan berbagai rasa sakit di
jari, pergelangan tangan dan lengannya; dan ini jelas
disebabkan oleh kondisi saraf di lengannya yang sebelumnya
mengarah dari otaknya ke bagian-bagian tubuhnya. Ini tentu
tidak akan terjadi jika perasaan atau, seperti katanya,
sensasi rasa sakit terjadi di luar otak.”
“Tetapi setelah itu banyak pengalaman sedikit demi sedikit menghancurkan
semua keyakinan yang telah saya rasakan di dalam hati; karena aku dari
waktu ke waktu mengamati bahwa menara-menara yang dari kejauhan
tampak bagiku bundar, yang diamati lebih dekat tampaknya berbentuk bujur
sangkar, dan bahwa patung-patung kolosal yang diangkat di puncak menara-
menara ini, tampak sebagai patung-patung yang sangat kecil ketika dari
bawah; dan karena itu dalam ketidakterbatasan kasus-kasus lain saya
menemukan kesalahan dalam penilaian yang didasarkan pada indera
eksternal.
Dan tidak hanya pada indera eksternal, tetapi bahkan pada internal juga;
karena adakah yang lebih intim atau lebih internal daripada rasa sakit?
Namun saya telah belajar dari beberapa orang yang lengan dan kakinya
telah dipotong, bahwa mereka kadang-kadang merasa sakit di bagian
yang telah diamputasi, yang membuat saya berpikir bahwa saya tidak
dapat memastikan bahwa itu adalah anggota tertentu yang membuatku
sedih, meskipun aku merasakan sakit di dalamnya”
Descartes kembali ke subjek Phantom Limbs dalam Prinsip 196
dari Buku 4 Principia Philosophye ("Principles of Philosophy"),
pertama kali diterbitkan pada tahun 1644 dan kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (21).. Dalam terjemahan
bahasa Inggrisnya, judul untuk proposisi paragraf panjang yang
berhubungan dengan phantom limbs adalah "Bahwa Jiwa Tidak
Menganggap Kecuali sejauh di otak."
Descartes sekali lagi menjelaskan bahwa indra tidak dapat
dipercaya, dan ia menjelaskan gadis malang yang anggota
tubuhnya harus diamputasi karena gangren. Sekarang,
bagaimanapun, ia memberikan rincian lebih lanjut tentang gadis itu,
seperti memberi tahu pembaca bahwa "dia mengalami berbagai
rasa sakit, kadang-kadang di salah satu jari tangan yang terputus
dan kadang-kadang di tangan lain“
Dan ini menunjukkan dengan jelas bahwa rasa sakit di tangan tidak
dirasakan oleh pikiran sebanyak di tangan, tetapi seperti di otak
Descartes mendekati subjek phantom limbs sebagai seorang filsuf yang
ketertarikan sebenarnya adalah dengan otak dan interaksinya dengan jiwa.
Dia dengan benar menyadari bahwa sensasi dari saraf ke otak dapat
ditafsirkan secara keliru (dengan menganggap masih memiliki tangan).
Phantom Limbs dengan meyakinkan menunjukkan ini dan juga
membuktikan bahwa sensasi dialami dan ditafsirkan oleh mind melalui otak,
tidak langsung dari saraf perifer
ilmu pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak, adalah pengetahuan
yang pencapaiannya melalui akal. Sedangkan David Hume yang mendukung
empirisme, pengetahuan yang tidak melalui pengalaman Inderawi atau
alat bantu indera, maka tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan
melainkan dogmatika belaka.
Hume menyebutnya sebagai pengetahuan yang apriori. Ilmu pengetahuan
apriori bagi kalangan empirisme tidak lebih dari dogmatika agama yang
mengagungkan materi transedental.
Maka langkah awal bagi kalangan empirisme ini adalah membedakan objek
kajian ilmu pengetahuan (objects of science) adalah semua benda yang
nyata dan bisa direfleksi dengan indera. Sedangkan objek kajian yang
tidak bisa diindera bukanlah objek pengetahuan, dan pengetahuan yang
memiliki objek kajian yang tidak tampak maka tidak layak untuk disebut
sebagai pengetahuan.
Dari poin ini, empirisme menyerang sangat keras rasionalisme Descartes
karena dasar filsafat rasionalisme keagungan akal. Dan posisi akal itu sendiri
tidak bisa dihadirkan didunia nyata (metafisik).

Potrebbero piacerti anche