Sei sulla pagina 1di 139

CLINICAL SCIENCE SESSION

TRAUMA MAXILLOFACIAL
ANATOMI MAXILLOFACIAL
Facial danger zone
Facial danger zone 1
• Facial danger zone 1
is centered around a
point in the middle of
the
sternocleidomastoid
muscle belly 6.5 cm
below the caudal
edge of the external
auditory canal .
• It contains the
emergance of THE
GREAT AURICULAR
NERVE from beneath
the
sternocleidomastoid
muscle , becomes
more superficial , and
is thus more
susceptible to injury .
After the postauricular
incision is made ,it is
helpful to begin the
dissection superficially ,
just deep to the
subcutaneous fat ,
which is thin and
superficial to the deep
cervical fascia and the
sternocleidomastoid
muscle
Consequence of injury
Permanent injury to the
nerve results in
numbness of or, painful
dysesthesia of the lower
two thirds of the ear &
adjacent neck and
cheek skin .
• The nerve is posterior
to and not protected
by the platysma
through most of its
course .
• Note :
Terminal branches
External jugular vein
Facial danger zone 2
• It is outlined by
drawing a line 0.5 cm
below the tragus to a
piont 2 cn above the
lateral eyebrow ,
drawing a second line
on the zygoma to the
lateral orbital rim ,and
connecting these two
lines with athird line .
• In this zone the
TEMPORAL
BRANCH OF THE
FACIAL NERVE lies
on the undersurface
of the temproparital
facia
Consequence of injury
• Injury to the temporal
branch results in
paralysis of the
frontalis muscle . •
Clinically ,the involved
side of the forehead
becomes parylized ,
with resultant ptosis
of the brow ,
asymmetry of the
eyebrows .
Facial danger zone 3
• It is defined by a piont
drawn on the
midmandible at a
level 2 cm posterior to
the oral commissure
and a circle drawn
with a radius of 2 cm
around this point
.note the proximity to
ant. Facila a. & v. .
Consequence of injury
• This nerve innervate
the depressor anguli
oris muscle .injury
creates a noticeable
and extremely
distressing deformity .
• Be careful during
subcutaneous
dissection and using
electrocautary
Facial danger zone 4
• It is deep to the
parotid fascia . It is
outlined by placing a
mark on the highest
point of malar
eminence , another
one on the
mandibular angle ,
and a third mark at
the oral commissure .
• This triangle contains
thr ZYGOMATIC and
BUCCAL branches of
facial n
Consequence of injury
• Injury to these nerves
can result in paralysis
of the zygomaticus
major & minor m. and
levator labii superioris
alaeque nasi m.
,causing the upper lip
and oral commissure
on the affected side to
sag .
Facial danger zone 5
• It is defined by a
circle with a RADIUS
OF 1.5 CM DRAWN
AROUND THE
SUPRAORBITAL
FORAMEN.
Consequence of injury •
• Injury to
SUPRAORBITAL &
SUPRATROCHLEAR
branches results in
numbness or painful
dysesthesia of the
medial forehead
,scalp , upper eyelid ,
and nasal dorsum
Facial danger zone 6
• It is described by a
circle with a 1.5 cm
radius around the
infraorbital rim , along
the line down through
the midpupil and
second mandibular
premolar.
Consequence of injury •
• Injury to
INFRAORBITAL N.
lead to numbness of
the lateral nose
,cheek, upper lip , and
inferior eyelid
Surgical dissection
During :
• Subcutaneous dissection
• Extended subperiosteal face lift
• rhinoplasty
TRAUMA MAXILLOFACIAL

Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa/trauma fisik
yang dapat mengenai jaringan keras dan lunak pada wajah.
KLASIFIKASI
Area maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian:
• fraktur yang melibatkan os frontalis dan sinus
Upper face
frontalis
• Atas:
• Os zigomatic
• Os nasal
• Os ethmoid
• Os maksila (le fort II dan III)
• Nasoethmoidal kompleks
Mid face • Zigomaticomakxilla complex
• Dasar orbita
• Bawah:
• Os maksila (le fort I)
• Alveolar maxilla
• Gigi
• Palatum.
Lower face • Os mandibula
TRAUMA MAXILLOFACIAL

EPIDEMIOLOGI ETIOLOGI
• Puncak insidensi trauma
maxillofacial adalah rata-rata
pada usia 20-30 tahun.
• Insidens lebih tinggi pada laki-
laki.
• Di negara berkembang,
kecelakaan lalu lintas sebagai
penyebab utama trauma
maxillofacial. Insidensi nya
menurun seiring dengan
peningkatan keamanan dalam
berkendara.
KLASIFIKASI

Trauma
Jaringan
Lunak

Trauma
Jaringan
Keras
INITIAL MANAGEMENT
• Cedera wajah jarang mengancam nyawa
 indikator energy injury
• Penanganan inisial  fokus pada ATLS
• Cedera fasial  tanda kemungkinan
permasalahan airway, cedera cervical,
dan cedera CNS
• AIRWAY:
– Permasalahan biasanya akibat perdarahan
dari upper airway, benda asing (aspirasi
gigi/fragmen os), cedera langsung laring,
dasar mulut dan lidah kehilangan sokongan
akibat # mandibula
– Upring positiong+cervical spine  improve
airway
– Benda asing  finger sweep technique
– Endoskopik nasal/oral intubasi  lebih aman
krn menghindari manipulasi servikal
– Trakeostomi biasanya dilakukan di kamar
operasi akan tetapi pada situasi tertentu akan
dibutuhkan emergensi
trakeostomi/krikotiroidotomi
• HEMORRHAGE:
– Kepala dan leher kaya akan BV  resiko blood loss
besar pada cendera soft tissue
– Kebanyakan cedera memiliki akses untuk
penekanan langsung dan kontrol perdarahan
– Perdarahan yg tdk dpt di kontrol dg tekanan
langsung  packing
– Packing pd kavum nasi biasanya efektif
– Perdarahan hebat  management airway dahulu
(intubasi emergensi)  packing dan direct pressure
• Central Nervous System:
– Cedera neuro berhubungan dg trauma fasial
parah
– Px dg trauma fasial biasanya + karena cedera
CNS
– Lakukan CT scan
– Neuro injury  GCS
GCS
FACIAL TRAUMA EVALUATION
Anamnesis (Auto/alloanamnesis):
AMPLE (Allergies, Medications, Past history, Last meal, Event
surrounding accident)

Pemeriksaan Kepala dan Leher


• Inspeksi, identifikasi kulit, defek pada soft tissue, deformitas
atau exposed bone.
• Palpasi seluruh tulang craniofacial (irregularitas, krepitasi)
• Pemeriksaan trigeminal dan facial nerve
• Inspeksi intranasal (septal hematom)
• Pemeriksaan oftalmologi
• Pemeriksaan intraoral (maloklusi, fraktur)
Untuk hampir semua trauma pada wajah
perlu dilakukan CT-scan, dan juga sebagai
diagnosis pasti untuk adanya fraktur pada
wajah.
• CT scan
• X-ray: Panoramic
Tatalaksana cedera jaringan
lunak
• Persiapan dan anestesi:
– Cedera fasial biasanya melibatkan luka
terkontaminasi  clean  wound closure ASAP
– Luka pada wajah dapat di repair max 24 jam
(resiko inf)
– Bersihkan luka dg mild surgical soap/scrub brush
– Irigasi dg tekanan tinggi  hilangkan debris
– Anestesi dpt dlakukan Umum/lokal
• 1% Lidokain dg 1:100.000 epinefrin solution mixed at
ratio 9:1 with 8,4% nahco3 solution
• Traumatic Wounds
– Laserasi, kontusio, abrasi, dll
– Kepentingan membersihkan luka 
mengurangi resiko inf yg memperlambat
penyembuhan
– Freshening the wound margin  rapid healing
– Langkah terpenting memperbaiki laserasi kulit
 dermal layer
– Suture: poliglecaprone 25
– Teknik penjahitan: subkutikuler
– Jahitan wajah diangkat 5-7 hariapabila
jahitan dermal sudah melekat, superficial
suture dapat diangkat 3 hari u/ hindari bekas
jahitan
– Anak:
• 5-0 atau 6-0 fast absorbing gut
• Cedera pada regio fasial khusus
– Kelopak mata
• Evaluasi trauma tdk mengenai bola mata
• Aff hecting 5 hari
– Telinga
• Kumpulan darah dekat kartilago  deformitas
• Hematom  insisi  drainase
– Hidung
• Disarankan NU  px comfort and controlled
– Bibir
• Memperbaiki jar lubnak bibir harus tepat  ketidak simetrisan 1mm dapat terlihat
saat berbicara
• Infiltrasi lokal anestesi sebaiknya gunakan jarum dg methylene blue
– Syaraf fasial
• Cek elevasi alis, penutupan mata, senyum volunter dan eversi bibir bawah
TRAUMA JARINGAN LUNAK
Definisi
• Trauma jaringan lunak adalah trauma yang melibatkan
jaringan kulit, otot, saraf atau pembuluh darah akibat
suatu ruda paksa. Keadaan ini disebut juga luka/vulnus.

Klasifikasi
1. Luka terbuka
2. Luka tertutup
Trauma jaringan lunak
wajah

• luka sayat (vulnus


scissum)
• luka robek (vulnus
laceratum)
• luka tusuk (vulnus
punctum)
• luka bakar (combustio)
• luka tembak (Vulnus
sclopetorum).
TRAUMA JARINGAN KERAS
Definisi
 Trauma jaringan keras wajah adalah trauma pada tulang di bagian kepala dan
gigi.
Klasifikasi
 Area maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian:
Upper face
• fraktur yang melibatkan os frontalis dan sinus frontalis

Mid face
• Atas:
• Os zigomatic, Os nasal, Os ethmoid, Os maksila (le fort II dan
III), Nasoethmoidal kompleks, Zigomaticomakxilla complex,
Dasar orbita
• Bawah:
• Os maksila (le fort I), palatum, alveolar dan gigi di bagian
maksila
Lower face
• Os mandibula, alveolar dan gigi di bagian mandibula
Trauma jaringan keras
wajah
Trauma jaringan keras
wajah diklasifikasikan
menjadi 3 bagian yaitu:
1.Fraktur Sepertiga Atas
Wajah (os frontalis dan sinus
frontalis)
2. Fraktur Sepertiga Tengah
Wajah
• Atas:
– Os zigomatic, Os nasal, Os ethmoid,
Os maksila (le fort II dan III),
Nasoethmoidal kompleks,
Zigomaticomakxilla complex, Dasar
orbita
• Bawah:
– Os maksila (le fort I), palatum,
alveolar dan gigi di bagian maksila
3. Fraktur Sepertiga Bawah
Wajah
Pemeriksaan Secara Umum
• Inspeksi : deformitas/asimetri
• Palpasi : krepitasi dan iregularitas
• Pemeriksaan CN V dan VII
• Inspeksi : intranasal  hematom septum
• Oftalmologi exam : defisit nervus optikus
• Intraoral : maloklusi, #, gigi avulsi
Penanganan Umum
(Prehospital)
Jangan lakukan manipulasi pada tulang wajah terlalu banyak kecuali sudah di pastikan
tidak ada cedera cervical.
Survei primer:
1. Airway & c-spine support
– Beri O2
– Jaga jalan napas paten
– Imobilisasi cervical
– Bersihkan airway dari hambatan Suction bila ada darah
2. Breathing
– Nilai frekuensi napas
– Nilai suara nafas tambahan
– Atasi kesulitan bernapas
3. Circulation
– Nadi, suhu akral  syok  curiga perdarahan intra abd/thorax/pelvis
4. Disability
– GCS
– Status mental dan catat setiap perubahannya
5. Exposure
– Expos pasien lepaskan baju bila perlunamun jaga tetap hangat
6. Rujuk kpd Sp.BP
1/3 atas wajah
UPPER FACE
Upper face
• Fraktur sepertiga atas wajah mengenai
tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita dan sinus frontalis.
• Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat
depressed ke dalam atau hanya
mempunyai garis fraktur linier yang dapat
meluas ke daerah wajah yang lain.
• Ditandai dengan destruksi atau krepitasi
pada supraorbital rims, emfisema subkutan,
dan parestesi pada supraorbital nerve.
• Patient with frontal sinus
fracture. A, Note the
swelling on the patients
left side (arrows).
• B, CT scan showing the
fractures through the
anterior and posterior
tables of the frontal sinus
and resulting
pneumocephalus.
Epidemiologi

5-15 % dari cedera 66 % disertai


maksilofasial fraktur fasial lain

Cedera tersering
pada trauma orbita
(6.5%), frontal
sinus (7.5%)
Etiologi
Trauma tumpul kecepatan tinggi
• Kecelakaan lalu lintas 71%
• Perkelahian / pemukulan
• Kecelakaan olahraga

Trauma tajam /tembus


• Senjata api
• Senjata tajam
Fraktur Frontal Sinus
• Dx dan pemeriksaan:
– Deformitas kontur dahi
– Edema
– Berhub dg CNS
– CT scan axial  derajat cedera dan
keterlibatan tabula anterior, post, dan
nasofrontal duct
– Fraktur tabula post  resiko meningitis akut
dan cerebral mucocele

• Komplikasi:
– Infeksi
– Mucocele
• Komplikasi:
– Infeksi
– Mucocele
Fraktur Orbital
• Pemeriksaan orbita:
– Periksa bola mata dan struktur lainnya
– Riw katarak
– Periksa lapang pandang
– Tes warna merah  optic nerve compression
– Konsul Sp.M
• Komplikasi
– Lower eyelid retraction
– Enoftalmos
– Diplopia
Gejala fraktur 1/3 atas
• # frontal:
– Deformitas dahi
– Laserasi
– Kontusio
– Nyeri
– Hematoma dahi
– Disrupsi/krepitasi supraorbital rim
– Emfisema subkutis
– Rinorea csf  #sinus frontalis

• #Dasar orbita (blow out #:


– Hematoma
– Edema periorbital
– Ekimosis
– Perdarahan subkonjungtiva
– Enoftalmus
– Perubahan visus
– Diplopia
– Kerusakan N. infraorbitalis : parestesi/anestesi lateral hidung, bibir atas, gingiva maxila
Diagnosis
• Mekanisme trauma
• Kecelakaan lalu lintas
• Trauma berat pada regio fasial
• Trauma maksilofasial lain
• Trauma penyerta /multitrauma (cedera
otak, cedera leher)
Pemeriksaan fisik
• inspeksi: abrasi, Laserasi, permukaan
irreguler, hematom, fragmen tulang,
rhinorrhea
• Palpasi: nyeri tekan, krepitasi, pareste
• Pemeriksaan lapang pandang  kerusakan n.
optikus
• Gerakan bola mata
• Reflex pupil
Diagnosis
Foto X-ray kepala
CT scan kepala (gold standard):
• Axial: tabula anterior & posterior
• Coronal: dinding bawah sinus dan dinding
atas rongga orbita
• Sagittal: resesus frontalis /ductus
nasofrontalis
• Rekonstruksi 3D: deformitas kontur
permukaan luar
Penanganan
• Airway and Collar neck
• Breathing
• Circulatory
• Disability
• Exposure
Penanganan
Parameter didapatkannya:
1. Fraktur tabula anterior
2. Fraktur tabula posterior
3. Fraktur resesus frontalis atau duktus
nasofrontalis
4. Robekan duramater (kebocoran CSF)
5. Fraktur displaced atau comminutive
Penanganan
Pilihan tindakan:
• Observasi
• Repair endoskopik
• ORIF
• Obliterasi sinus
• Kranialisasi sinus
• Ablasi sinus (prosedur Reidel)
MIDFACE
Fraktur Zigomatikus
• Os zigomatikus memiliki 4 kaki:
– Zigomatikofrontal (ZMF)
– Zigomatikotemporal (ZMT)
– Zigomatikomaksila (ZMM)
– Zigomatikoorbita (ZMO)

ZMO dan ZMC  maloklusi dan diplopia


Fraktur zygomatic
Fraktur zigomatikus ini dapat diklasifikasikan menjadi:
• Tipe I : Fraktur arkus zigomatikus terisolasi.
• Tipe II : Fraktur Zigomatikus tanpa displacement.
• Tipe III : Fraktur zigomatikus dengan displacement
tanpa diastase pada bagian lateral orbita.
• Tipe IV : Fraktur zigomatikus dengan displacement
dan diastase pada bagian lateral orbita.
• Tipe V : Fraktur zigomatikus komunitiva.
• Tipe VI : Fraktur zigomatikus tipe II-V dengan
melibatkan dasar orbita.
Gejala fraktur zygomatic
• Gejala fraktur zigoma antara lain adalah:
• Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi
kontralateral atau sebelum trauma).
• Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata.
• Edema periorbita dan ekimosis
• Perdarahan subkonjungtiva
• Enopthalmos (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
• Ptosis
• Terdapatnya hipestesia atau anesthesia karena kerusakan
saraf infra-orbitalis
• Terbatasnya gerakan mandibula
• Emfisema subkutis
• Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum.
• Diagnosis/exam:
– Edema dari cedera  malar recession
– Enophtalmos
– Periksa artikulasi displacement
– Ct scan  lateral orbital wall (potongan axial)
PPT ghita

PPT GHITA
FRAKTUR NASAL
• Fraktur pada hidung didiagnosis berdasarkan:
• Riwayat trauma
• Epistaksis
• Nasal obstruction
• Deformitas external: edema, deviasi septum
• Inspeksi intranasal: septal hematoma
• Palpasi: Adanya krepitasi atau mobilitas pada segmen
yang patah.
• Fraktur yang lebih parah dapat disertai periorbital
ekimosis, perdarahan subkonjungtiva, dll
PEMERIKSAAN FISIK
• Palpasi dan lakukan gerakan atau goyangkan akar hidung
• Jika terdapat krepitasi atau imobile kemungkinan ada
frakture
• Evaluasi yang paling penting adalah inspeksi intranasal.
Dengan penambahan topical decongestion pada mucosa
hidung khususnya untuk pemeriksaan adanya dislokasi
septum atau hematoma submukosa.
• Septal hematoma yang tidak ditangani dapat menyebabkan
resorpsi septum kartilago sehingga terjadi saddle nasal
deformity.
TATALAKSANA
• Pasien dengan epistaksis dilakukan pemasangan tampon.
• Early: Closed reduction, dilakukan pada 2-3 minggu
pertama setelah terjadi trauma.
• Fiksasi dengan external/nasal splinting
• Namun biasanya menghasilkan residual deformity
sehingga perlu dilakukan rhinoplasty sebagai pilihan,
setelah bengkak dan memar membaik.
• Jika terdapat septal hematoma lakukan drainase secara
perkutan.
• Late: Septoplasty atau Rhinoplasty
• Fraktur kominutif nasal berat: trans-nasal wire serta
koreksi dan elevasi fragmen tulang.
ELEVATING A FRACTURE OF THE
NOSE
A. Inflitrating the site of the
fracture
B. Raising the depressed
bones with curved artery
forceps.
Always suspect a fracture
after any blow on the nose.
Swelling of the soft tissues
can easily hide it.
NASAL BONE FRACTURE CLOSED
REDUCTION
EXTERNAL SPLINTING
NASAL HEMATOMA DRAINAGE
Klasifikasi Fraktur Nasal

– Fraktur lateral – Fraktur direct frontal


Fraktur hanya terjadi pada salah Fraktur os nasal dan os frontal yang
satu sisi os nasal, kerusakan yang menyebabkan desakan dan pelebaran pada
ditimbulkan tidak begitu parah. dorsum nasalis. Biasanya pasien akan
– Fraktur bilateral terganggu suaranya.
Biasanya disertai dislokasi septum – Fraktur comminuted
nasal atau terputusnya tulang nasal Fraktur kompleks, terdiri dari beberapa
dengan tulang maksilaris. fragmen. Menimbulkan deformitas dari hidung
yang tampak jelas.
Manifestasi klinis
– Depresi atau pergeseran tulang – tulang hidung.
– Edema pada hidung atau wajah
– Deformitas hidung: deviasi septum
– Epistaksis
– Terdapat krepitasi
– Nyeri tekan
– Nasal obstruction
– Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye)
Pemeriksaan
• Anamnesis: ada riwayat trauma
• Fungsi airway dan breathing
• Inspeksi
• Bagian external hidung
• Rhinoskopi anterior (mukosa,
septum, dll)
• Intranasal: septal hematoma
• Palpasi
• Palpasi dan lakukan gerakan
pada pangkal hidung
(bimanual digital palpation)
• Krepitasi atau imobile (+):
kemungkinan ada fraktur
• Palpasi sinus paranasal
• Pemeriksaan penunjang:
• X-ray: waters
• CT scan
Tatalaksana
A. Konservatif
• Pasien dengan epistaksis dilakukan pemasangan tampon atau
biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal.
B. Operatif
• Early
– closed reduction
– Indikasi:
• Pada fraktur yang terjadi di 2 sampai 3 minggu pertama
• Fraktur sederhana dan unilateral
– Fiksasi dengan external/nasal splinting
– Jika terdapat septal hematoma lakukan drainase secara
perkutan.
*Septal hematoma yang tidak ditangani dapat menyebabkan
resorpsi septum kartilago sehingga terjadi saddle nasal deformity.
Elevating a fracture of the nose

A. Inflitrating the site of the


fracture
B. Raising the depressed
bones with curved
artery forceps.
Always suspect a fracture
after any blow on the nose.
Swelling of the soft tissues
can easily hide it.
Closed reduction
External splinting
Nasal Hematoma Drainage
Tatalaksana
• Late
– open reduction: rhinoplasty atau septorhinoplasty, osteotomi
– Indikasi:
• Fraktur nasal > 3 minggu
• Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid (adanya
fragmentasi tulang, sering dengan kerusakan ligamentum
kantus medial dan apparatus lakrimalis)
• Gagal dengan reduksi tertutup (gangguan fungsi pernafasan
dan kosmetik)
– Fraktur kominutif nasal berat: trans-nasal wire serta koreksi dan
elevasi fragmen tulang.
Komplikasi
• Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal.
Septum hematom ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang
subperikondrial. Ruangan ini akan menekan kartilago di bawahnya, dan
mengakibatkan nekrosis septum irreversible.

• Fraktur dinding orbita


• Fraktur septum nasal
FRAKTUR MAKSILA

• René Le Fort’s (French surgeon, 1869–


1951)
• Mengkategorikan fraktur midfacial
berdasarkan eksperimen nya, menjadi 3
pola fraktur yang popular.

Le Le Le
Fort I Fort II Fort III
FRAKTUR LE FORT

• Fraktur Le Fort menunjukan fraktur yang memisahkan maksila dari


dasar tengkorak. Fraktur ini harus melewati pterygoid plates sehingga
disebut fraktur Le Fort komplit.
• Fraktur Le fort jarang terjadi dalam bentuk tunggal, seringkali pasien
mengalami trauma dengan kombinasi jenis le fort I pada satu sisi dan
le fort III pada sisi yang berlawanan.
• Evaluasi preoperatif difokuskan terutama pada hubungan oklusal.
Setiap tanda maloklusi harus dievaluasi.
FRAKTUR LE FORT I

Definisi
 Merupakan trauma yang melewati
maksila secara transversal, diantara akar
gigi dan infraorbital rims, dengan
infraorbital rims yang utuh.
 Fraktur maxilla horizontal yang
menyilangi aspek inferior maxilla dan
memisahkan procesus alveolar yang
mengandung gigi maxilla dan palatum
durum dari bagian lain maxilla
 Garis fraktur berjalan ke belakang melalui
lamina pterigoid.
 Fraktur ini memungkinkan maksila dan
palatum durum bergerak secara terpisah.
Manifestasi klinis
 Edema facial
 Pergerakan hard palate, alveolus maksila dan gigi
FRAKTUR LE FORT II

• Disebut juga fraktur piramidal


• Fraktur mulai dari: os nasal → os ethmoid dan os lakrimal →
sutura zygomatikomaksila → posterior dan lateral melalui
maksila, dibawah zigomatic → pterygoid plate
Manifestasi Klinis

 Edema wajah
 Telecanthus (intercanthal distance
↑)
 Subconjunctival hemorrhage
 Pergerakan maksila pada
nasofrontalis suture
 Epistaksis
 Rinore dengan CSF
FRAKTUR LE FORT III

 Disebut “cranio-facial disjunction”


 Meliputi:
• Zygomatic arch
• Lateral orbital wall
• Regio nasofrontal
 Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal → diteruskan sepanjang ethmoid
junction → melalui fissure orbitalis superior → melintang dinding lateral ke orbita
→ sutura zigomatico-frontal, sutura temporo-zigomatikum, sutura
pterygomaxilla sampai kedalam fossa sphenopalatina
Manifestasi Klinis
• Edema masif pada wajah
• Wajah elongasi/mendatar
• Epistaksis ataupun rinore dari CSF
• Dapat teraba gerakan dari seluruh os fasial yg berkaitan dengan basis kranii

Pemeriksaan penunjang dengan CT scan, atau Skull x-ray (posisi lateral atau
waters)
Pemeriksaan Umum Pada Fraktur
Maxilla
• Inspeksi untuk tiap deformitas dan asimetri.
• Palpasi seluruh tulang kraniofasial untuk melihat ada tidaknya
iregularitas atau krepitasi.
• Pemeriksaan nervus trigeminal dan fasial.
• Inspeksi intranasal untuk melihat hematomaseptum.
• Pemeriksaan oftalmologi untuk menilai adanya jebakan ekstraokular
atau defisit nervusoptikus.
• Pemeriksaan intraoral untuk menilai adanya maloklusi dan fraktur
atau gigi yang hilang.
Pemeriksaan Fraktur Le Fort

https://www2.aofoundation.org
Tatalaksana
 Reduksi dengan pendekatan
sulcus ginggivobucalis dan infracilliar palpebra
inferior.
 Fiksasi dengan wire atau mini plate screw
Nasoorbitoethmoid Fractures
• Fraktur yang melibatkan medial orbit,
nasal bones, septum, nasofrontal junction
dan etmoid bone.
Markhowitz classification:
• TYPE I: Involves single segment
central fragment fractures.
• TYPE II: Comminuted central fragment
with fracture lines remaining peripheral
to the MCT insertion.
• TYPE III: Comminuted central fragment
with fracture lines extending beneath
the MCT insertion.
In unilateral Markowitz type I fractures, there is a single large NOE
fragment bearing the medial canthal tendon.
In unilateral type II fractures, there is often comminution of the NOE area, but the
canthal tendon remains attached to a fragment of bone, allowing the canthus to
be stabilized with wires or a small plate on the fractured segment.
In type III fractures, there is often comminution of the NOE area (as in type II
fractures) and a detachment of the medial canthal tendon from the bone.
Manifestasi klinis
• Telekantus
• Epistaksis
• Rinore cairan cerebrospinal
• Loss dorsal nasal support ( flattening nasal
bridge)
• Nyeri, krepitasi tulang nasal
• Deviasi septum nasal
• Almond shape palpebral fissure
• Bilateral eyelid hematome
Intercanthal Distance
Examination
Tests for CSF leakage
• Halo Test
• B-transferrin
• Glucose and chloride
Pemeriksaan penunjang
• Water’s Projection
• CT scan -> menentukan jejas dan
keparahan fraktur
Tatalaksana
• open reduction and a combination of
interfragmentary fixation and plate/screw fixation.
• Type 1 -> fixation of the bone fragment to adjacent
surrounding bone
• Type 2-> When the fragment is too small for fixation,
transnasal wiring can be used to position the
fragmentand medial canthal tendon appropriately.
Additional bone grafting may be required.
• Type 3 ->transnasal fixation of the medial canthal
Tendon (transnasal medial canthoplasty)
Fraktur Mandibula
Jenis fraktur mandibula
Manifestasi klinis
• Nyeri saat menggerakan rahang bawah
• Maloklusi gigi
• Kesulitan membuka mulut atau menggigit ke
arah bawah
• Palpasi-> mobilitas dan krepitasi sepanjang
simfisis, angle, body.
• Edema intraoral, ekimosis, perdarahan gusi
• Parestesia, anesthesia setengah bibir bawah,
dagu,gigi, gusi.
Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan lokal fraktur mandibula
• Inspeksi : bengkak, eekimosis,lacerasi,
astmetris, intra oral dlihat gigi patah atau
hilang, deviasi
• Palpasi border madibula dan
preaulikular area, tendernes atau
krepitasi
Pemeriksaan penunjang
• X-ray
• Panoramic
• Caldwell
• Waters
• CT SCAN Kepala
Tatalaksana
• objectives in treating mandible fractures
include achieving reduction and
stabilization, pretraumatic occlusion, facial
contour and symmetry.
• Subcondylar fractur -> intermaxillary
fixation (arch bar/screw)
• Open reduction subcondylar fractur ->
condylar dislocation, severe malalignment,
or loss of mandible height.
• Displaced fractures of the angle, body, and
symphysis are treated via open reduction.
• Coronoid fractures often require no
intervention.
• Postoperatively, antibiotics and aggressive
oral hygiene care.
• Patients are routinely examined in clinic with
a follow-up Panorex to assess occlusion and
bony union
komplikasi
• Infection
• Nonunion
• delayed union
• malocclusion
• facial nerve injury
• numbness caused by infra-alveolar nerve
injury
• dental fractures.
TERIMAKASIH

Potrebbero piacerti anche