Sei sulla pagina 1di 16

OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI PADA KEHAMILAN

PENDAHULUAN Hipertensi merupakan masalah medis yang sering ditemukan pada kehamilan. Prevalensi hipertensi berkisar 10-15% dari seluruh kehamilan di negara maju dan merupakan penyebab penting mortalitas dan morbiditas ibu dan janin. Saat ini penyebab kematian maternal tertinggi antara lain disebabkan oleh hipertensi (16%), perdarahan (13%), abortus (8%), dan sepsis (2%). Ibu hamil dengan hipertensi berpotensi mengalami komplikasi fatal antara lain disseminated intravascular coagulation (DIC), perdarahan otak, gangguan fungsi hati dan gagal ginjal akut. Sedangkan pada janin akan berakibat pertumbuhan janin terhambat, prematuritas, dan mortalitas perinatal. Klasifikasi Hipertensi pada kehamilan mulai berkembang sejak tahun 1940 oleh American Commitee on Maternal Welfare, yang selanjutnya mengalami banyak perubahan. Klasifikasi NHBPEP tahun 2000 sampai saat ini masih banyak dipakai. Tekanan darah 140/90 mmHg digunakan untuk menentukan diagnosis. Sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai target penurunan tekanan darah hipertensi pada kehamilan. Penggunaan obat pada kehamilan menjadi suatu perhatian khusus dikarenakan efek samping yang sering terjadi pada janin. Pemberian obat hipertensi pada hipertensi ringan dan sedang masih menjadi perdebatan karena tidak berpengaruh terhadap tingkat mortalitas perinatal. Penanganan hipertensi pada kehamilan dimulai dengan deteksi dini, pemberian terapi dan penilaian prognostik terhadap ibu dan janin. Perubahan hemodinamik, ginjal dan adaptasi tubuh yang terjadi selama kehamilan menyebabkan deteksi dini sulit dilakukan. Perkembangan pada industri farmasi memberikan pilihan obat antihipertensi yang luas sehingga diharapkan penanganan hipertensi pada kehamilan lebih baik.

FISIOLOGI PERUBAHAN TEKANAN DARAH SELAMA KEHAMILAN Pada kehamilan normal trimester pertama terjadi penurunan tekanan darah disebabkan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik yang signifikan oleh mediator lokal seperti prostacyclin dan nitric oxida, disertai dengan peningkatan curah jantung. Pada awal kehamilan usia gestasi 13 20 minggu penurunan tekanan darah diastolik sebesar 10 mmHg adalah hal yang biasa. Tekanan darah akan terus turun sampai titik terendah pada usia kehamilan 22-24 minggu. Setelah itu terjadi peningkatan bertahap tekanan darah sampai periode postpartum. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang terjadi pada awal kehamilan menyebabkan adaptasi tubuh dengan peningkatan sekresi renin-angotensin-aldosteron sehingga terjadi vasokonstriksi, retensi volume dan plasma, serta pembuangan kalium melalui urine. Pada waktu yang sama, untuk melindungi ibu dan janin dari peningkatan renin-angiotensin-aldosteron yang berlebihan tubuh akan meningkatkan resistensi terhadap pengaruh angiotensin II dengan penurunan jumlah reseptor angiotensin II dan produksi prostasiklin dan nitrit oxide.Peningkatan jumlah mineralokortikoid selama kehamilan bertujuan untuk meningkatkan retensi sodium (yaitu desoxycorticosterone) dan sebagai antagonis aldosteron (yaitu progesteron). BATASAN HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Definisi hipertensi pada kehamilan berbeda-beda pada setiap institusi. Saat ini banyak yang menggunakan definisi hipertensi dalam kehamilan berdasarkan nilai absolut tekanan darah (tekanan darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg). Standar pengukuran yang digunakan menggunakan pengukuran tekanan darah di rumah atau Ambulatory Blood Pressure Monitoring (ABPM). Pengukuran tekanan darah dengan ABPM lebih dianjurkan dibandingkan pengukuran konvensional dalam memprediksi proteinuria, resiko kelahiran prematur, berat badan lahir janin rendah dan hasil akhir kehamilan. Pemeriksaan yang sedang dikembangkan saat ini adalah Pulse Wave Analysis yang dapat digunakan sebagai screening awal preeklamsia. Beberapa literatur membedakan tekanan darah berdasarkan tingkatan yaitu Hipertensi ringan bila tekanan darah sistolik antara 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik antara 90-109 mmHg. Hipertensi berat bila tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg.

KLASIFIKASI HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Sistem klasifikasi hipertensi pada kehamilan berguna dalam menentukan manajemen dan intervensi dengan mengelompokkan pasien berdasarkan resiko maternal dan kondisi perinatal. Terminologi yang saat ini banyak digunakan adalah klasifikasi yang direkomendasikan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group on Hypertension in Pregnancy karena dapat digunakan dengan mudah dan praktis . Tujuan penting dalam klasifikasi ini adalah dapat digunakan untuk membedakan antara preeklampsia dan eklampsia dari kelainan hipertensi pada kehamilan yang lain karena baik preeklampsia maupun eklampsia mempunyai prognosis yang buruk pada morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Klasifikasi yang lain adalah The International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP), The Australasian Society for the Study of Hypertension in Pregnancy 2000 Classification System for Hypertensive Pregnancies dan Canadian Hypertension Society Classification System for Hypertensive Pregnancies dimana pada ASSHP dan sistem Kanada membagi hipertensi kronis menjadi hipertensi essential dan hipertensi sekunder.

Kriteria Diagnosis Hipertensi dalam Kehamilan Hipertensi Kronik Tekanan darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu usia kehamilan dan tidak termasuk pada penyakit trophoblastic gestasional, atau Tekanan darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg didapatkan pada usia kehamilan > 20 minggu menetap 12 minggu postpartum Diagnosis sulit ditegakkan pada trisemester pertama kehamilan dan umumnya didapatkan pada beberapa bulan setelah melahirkan.

Hipertensi Gestasional Tekanan darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg didapatkan pertama kali pada usia kehamilan > 20 minggu

Tidak ada proteinuria maupun tanda dan gejala preeklampsia Tekanan darah kembali normal pada 40 hari setelah post partum Definisi ini meliputi wanita dengan sindroma preeklampsia tanpa proteinuria Mempunyai resiko hipertensi pada kehamilan selanjutnya Dapat berkembang menjadi preeklampsia maupun hipertensi berat.

Preeklampsia Kriteria minimal (ringan) Tekanan darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu Disertai proteinuria 300 mg / 24 jam atau +1 pada pemeriksaan urin sesaat dengan urin dipstik atau rasio protein : kreatinin urine 0.3 Kriteria tambahan yang memperkuat diagnosis (berat) Tekanan darah 160/110 mmHg Edema Proteinuria 2.0 g/24 jam atau +2 pada pemeriksaan urin sesaat dengan urin dipstik. Serum kreatinin > 1.2 mg/dl kecuali sudah didapatkan peningkatan serum kreatinin sebelumnya Trombosit < 100.000/l

Hemolisis mikroangiopati peningkatan LDH Peningkatan kadar serum transaminase ALT atau AST Nyeri kepala yang menetap atau gangguan cerebral maupun visual lainnya Nyeri epigastrium yang menetap

Eklampsia

Kejang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada wanita dengan preeklamsia Wanita hipertensi dengan proteinuria 300 mg / 24 jam yang baru muncul dan tidak didapatkan sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau

Peningkatan mendadak pada proteinuria dan tekanan darah atau jumlah trombosit < 100.000 /l pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20 minggu.

PATOFISIOLOGI PREEKLAMPSIA Patogenesis terjadinya preeklampsia sangat komplek karena melibatkan banyak faktor diantaranya genetik, immunologi dan faktor lingkungan. Patogenesis preeklampsia meliputi dua tahap diawali dengan tahap pertama (Plasentasi Abnormal) yang bersifat asimptomatik ditandai dengan gangguan perfusi plasenta yang menyebabkan perkembangan plasenta terhambat pada trisemester pertama kehamilan dan terjadinya pelepasan beberapa protein spesifik ke dalam sirkulasi maternal. Hal ini menyebabkan terjadinya tahap kedua (Sindrom Maternal) yang bersifat simptomatik ditandai dengan gejala hipertensi, gangguan ginjal, dan proteinuria dan resiko terjadinya sindrom HELLP (Hemolysis, Eleveted Liver function enzymes and Low Platelets), Eklampsia dan kerusakan organ lainnya. Plasenta merupakan komponen utama perkembangan kehamilan normal menjadi preeklampsia. Gangguan pada perfusi plasenta disebabkan perlekatan plasenta yang abnormal dan gangguan remodeling vaskular. Pada kehamilan normal pembuluh darah spiralis yang memberikan perfusi pada plasenta akan mengalami remodeling menjadi lebih lebar. Remodeling ini tidak terjadi pada

preeklampsia sehingga pada akhirnya menyebabkan iskemia plasenta. Plasenta yang iskemia akan mengeluarkan bahan-bahan vasoaktif protein antiangiogenik seperti soluble Fms-like tyrosine kinase 1(sFlt-1) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), sitokin-sitokin (IL-6, TNF ), Angiotensin II type 1 reseptor autoantibodies (AT1AA) dan tromboxane (TX). Pada kondisi iskemia plasenta terjadi ketidakseimbangan kadar protein antiangiogenik pada sirkulasi maternal dimana terjadi peningkatan sFlt-1 disertai penurunan konsentrasi Placental Growth Factor (PiGF) dan VEGF mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel. Protein antiangiogenik lain yang berperan adalah soluble endoglin (sEng) yang menyebabkan penurunan NO pada endotel. Penurunan NO disertai peningkatan reactive oxygen spesies (ROS) dan Endothelin 1 (ET-1) menyebabkan penurunan renal pressure natriuresis dan peningkatan total peripheral resistanr sehingga terjadi hipertensi. Tahap kedua, reaksi sistemik maternal, diawali dengan penurunan volume plasma dan aliran darah pada organ-organ selain plasenta, sehingga terjadi hemokonsentrasi, perdarahan dan nekrosis. Pada tahap ini dapat terjadi gangguan pada beberapa organ tubuh diantaranya ginjal, hati, jantung, sistem saraf pusat dan sistem hematologi. Selain itu juga terjadi aktivasi jalur koagulasi dan aktivasi platelet yang menghasilkan mikrothrombus. Vasospasme pembuluh darah perifer, aktivasi jalur koagulasi pada mikrosirkulasi dan infiltrasi faktor inflamasi menyebabkan sekuestrasi dan aktivasi platelet perifer disertai destruksi sel darah merah dengan manifestasi hemolisis, peningkatan enzim liver, dan penurunan jumlah trombosit yang lebih dikenal dengan sindroma HELLP. DIAGNOSIS PREEKLAMPSIA Preeklampsia merupakan gangguan multi organ dengan manifestasi hipertensi yang timbul pada usia kehamilan > 20 minggu, disertai dengan proteinuria dan menghilang pada post partum. Proteinuria didefinisikan ekskresi protein urine > 300mg dalam 24 jam, atau rasio protein : kreatinin urine 0.3, atau pada pemeriksaan sample urine acak didapatkan protein menetap 30mg/dL (+1 pada pemeriksaan urin dipstik). Preeklampsia timbul pada 6% kehamilan umumnya primigravida. Faktor resiko terjadinya preeklampsia diantaranya : 1. Kehamilan pertama

2. Usia ibu 40 tahun 3. Riwayat persalinan 10 tahun 4. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya 5. Riwayat keluarga dengan preeklampsia 6. Peningkatan indeks massa tubuh 7. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan makrovaskular diantaranya riwayat penyakit ginjal, hipertensi, diabetes, dan penyakit pembuluh darah kolagen 8. Sedangkan kondisi obstetrik yang berhubungan chorionic villi yang besar (mola hidatidosa, plasenta hidropik, dan plasenta pada kehamilan kembar). Preeklampsia diklasifikasikan preeklampsia ringan dan berat dimana keduanya mempunyai tatalaksana terapi yang berbeda. Kriteria diagnosis preeklampsia berat Gejala : Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau diastolik 110 mmHg diukur setelah 6 jam istirahat Edema paru Nyeri epigastrium Pandangan kabur atau nyeri kepala hebat

Laboratorium :

Proteinuria > 5 g/hari Oliguria < 500 ml/hari dan/atau kreatinin serum 1.2 mg/dl Sindrom HELLP

Kerusakan hepar dengan transaminase serum 2x nilai normal Trombositopeni < 100.000/mm3 Koagulopati dengan pemanjangan waktu protrombin atau fibrinogen darah yang rendah

TATALAKSANA HIPERTENSI PADA KEHAMILAN Terapi Farmakologi Pemberian terapi antihipertensi dan pemilihan obat antihipertensi pada kehamilan perlu disesuaikan dengan resiko dan manfaat pada wanita hamil secara individual. Hipertensi berat dalam kehamilan (TDS 160mmHg dan/atau TDD 100mmHg) menunjukkan resiko tinggi pada maternal, sedangkan pada hipertensi ringan dan sedang dalam kehamilan (TD antara 140/90 sampai 159/99) berhubungan resiko maternal yang rendah. Saat ini masih menjadi suatu dilema kapan mulai pemberian obat antihipertensi dan target tekanan darah yang harus dicapai. Hipertensi berat (TD 160/100 mmHg) berhubungan peningkatan resiko terjadinya insiden cerebrovaskular, sehingga harus diberikan obat antihipertensi. Sedangkan pemakaian pada hipertensi ringan dan sedang masih menjadi suatu hal yang kontroversial. Berdasarkan penelitan menunjukkan bahwa pemakaian obat antihipertensi pada hipertensi ringan akan menurunkan resiko terjadinya hipertensi berat tetapi tidak terdapat perbedaan pada terjadinya preeklampsia, kematian neonatus, kelahiran prematur dan bayi BBLR. Awal pemberian antihipertensi pada beberapa organisasi internasional menentukan pemberian dimulai pada TD 160/105 mmHg dan tidak menyebutkan target terapi. Sedangkan National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) Working Group on Hypertension in Pregnancy merekomendasikan pemberian antihipertensi pada TDS > 150-160 mmHg atau TDD > 100-110 mmHg atau terdapat kerusakan target organ contohnya hipertrofi ventrikel kiri atau penurunan fungsi ginjal. Target tekanan darah yang ingin dicapai adalah TDS < 140 150 mmHg dan TDD < 90 100 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) < 105 125 mmHg. Belum ada data yang definitive dan lengkap mengenai keamanan target terapi tekanan darah pada wanita hamil dengan hipertensi.

Pemilihan obat antihipertensi pada kehamilan hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor antara lain efikasi obat, pengalaman dan familiar terhadap obat, pengetahuan dosis dan interaksi obat, efek samping terhadap ibu dan janin, efek terhadap aliran darah uteroplasenta, onset dan durasi kerja obat, kemudahan dalam penggunaan, dan kelompok obat yang harus dihindari. The Food and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan obat-obat pada kehamilan berdasarkan resiko terhadap janin dengan satu diantara lima huruf kategori A, B, C, D dan X. Klasifikasi ini tidak dapat digunakan untuk wanita yang menyusui. Obat-obat antihipertensi pada wanita hamil 2-Adrenergic agonis

Metildopa merupakan agen lini pertama pada hipertensi dalam kehamilan Dosis yang digunakan 0.75g 3 g / hari terbagi dalam 3 dosis Efek samping diantaranya kelemahan, sedasi yang bersifat sementara, depresi dan penurunan ketahanan mental, mulut kering, penurunan libido, tanda-tanda parkinson dan hiperprolaktinemia, peningkatan serum transaminase dan anemia hemolitik

Metildopa dapat menyebabkan bradikardi dan henti sinus Pada pasien dengan disfungsi SA Node dan hipersensitif sinus karotis

Antagonis Kanal Kalsium

Nifedipin telah merupakan obat lini kedua dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan setelah metildopa.

Dosis yang digunakan 30 mg 120 mg / hari dengan sediaan lepas lambat Kejadian hipotensi meternal dan distress janin pada penggunaan nifedipin kerja pendek sehingga menyarankan penggunaan nifedipin kerja panjang

Pemberian MgSO4 pada wanita hamil yang mendapatkan CCB menyebabkan hipotensi berat dan hambatan neuromuskular

Verapamil efektif dan aman digunakan untuk mencegah efek takikardi yang disebabkan -mimetik dengan efek relaksasi jaringan pada otot uterus

Vasodilator

Hydralazine adalah vasodilator arteri sering digunakan untuk terapi kombinasi pada hipertensi untuk kehamilan karena efek hipotensinya minimal

Dosis yang sering digunakan 75 mg 150 mg /hari terbagi dalam 3 dosis Efek samping perinatal setelah pemberian intravena diantaranya lupoid-like syndrome dan trombositopenia pada bayi baru lahir

-adrenoseptor antagonis Labetolol merupakan kombinasi antagonis 1 dan adrenoseptor dengan efek vasodilatasi dapat menurunkan tekanan darah tanpa mengganggu aliran darah uteroplasenta Pemberian labetolol tidak didapatkan efek samping hambatan pertumbuhan janin maupun hipoglikemi pada neonatus. Labetolol diberikan intravena selama anestesi umum dapat mencegah takikardi dan reaksi hipertensi saat intubasi.

Dosis yang sering digunakan 200 mg 2.5 gr / hari terbagi dalam 2 dosis Atenolol mempunyai kecenderungan efek samping berat janin lahir rendah sehingga penggunaan atenolol sebaiknya dihindari pada awal kehamilan

Diuretik Penggunaan diuretik sebagai antihipertensi diperbolehkan hanya jika penggunaannya telah berlangsung lama sebelum kehamilan

Loop diuretik terutama furosemide (faktor resiko C) diindikasikan pada kehamilan jika didapatkan gagal jantung berat, edema paru, atau oliguria meskipun mempunyai resiko hiperbilirubinemia neonatus

Penggunaan hydrochlorothiazid mempunyai efek samping trombositopenia neonatus, ikterus, pankreatitis maternal, hipokalemia dan hiponatremia dimana pada beberapa penelitian efek samping yang didapatkan sama dengan pasien yang tidak diterapi diuretik.

Dosis hydrochlorothiazid yang digunakan 12.5 mg 50 mg/hari Spironolakton bersifat kontraindikasi jika digunakan pada wanita hamil karena efek antiandrogenik pada percobaan hewan.

ACE Ihibitor dan Angiotensin II receptor antagonis Dapat menyebabkan oligohidramnion, hambatan pertumbuhan janin, hipoplasi pulmonal, kontraktur persendian, gagal ginjal neonatus, hipotensi. Penggunaan obat golongan ini sebaiknya dihindari pada wanita yang merencanakan kehamilan. Managemen hipertensi berat pada kehamilan dengan pemberian obat antihipertensi diperlukan untuk melindungi dari peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol yang dapat menyebabkan perdarahan terutama pada preeklampsia berat. Beberapa literatur merekomendasikan pemberian obat antihipertensi parenteral untuk pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsi pada tekanan darah diastolik 110 mmHg atau tekanan darah sistolik 160 mmHg dengan target penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebesar 25% dalam 1 jam pertama dan diturunkan kembali dengan target tekanan darah 160/100 mmHg . Labetolol merupakan obat antihipertensi parenteral pilihan pertama karena terbukti efektif dalam terapi hipertensi berat yang tidak terkontrol tanpa disertai efek samping takikardi dan menurunkan insiden terjadinya aritmia ventrikuler yang dapat timbul pada pemberian hydralazine. Bahaya hipotensi yang ditimbulkan saat pemberian antihipertensi parenteral yang terlalu harus diperhatikan karena dapat menyebabkan penurunan aliran darah plasenta sehingga dapat menyebabkan gawat janin. Pemberian obat antihipertensi parenteral hendaknya disertai

dengan evaluasi tekanan darah yang dilakukan tiap 15 menit sampai target tekanan darah tercapai. Pada preeklampsia penggunaan dosis rendah pada awal pemberian obat antihipertensi parenteral mengurangi efek hipotensi yang berlebihan dikarenakan terjadinya pengurangan volume intravaskular pada penderita dengan preeklampsia.

HIPERTENSI PASCA PERSALINAN Hipertensi dapat timbul pertama kali pada setelah melahirkan dengan puncak tekanan darah didapatkan pada hari ke 3-6 post partum dikarenakan mobilisasi cairan ekstraseluler yang terjadi selama kehamilan. Selain itu dapat merupakan kelanjutan dari hipertensi yang terjadi pada waktu hamil. Resiko terjadinya hipertensi post partum antara lain pada kehamilan dengan preeklampsia, persalinan prematur, dan pada wanita multipara dengan kadar asam urat dan BUN yang tinggi. Pada hipertensi postpartum hendaknya dilakukan pengawasan terhadap peningkatan tekanan darah maupun perburukan kondisi preeklampsi serta kerusakan target organ yang seharusnya membaik dalam beberapa hari atau minggu setelah melahirkan. Beberapa literatur menjelaskan bahwa semua hipertensi berat baik pada saat hamil maupun setelah melahirkan hendaknya diterapi. Dengan banyaknya pilihan obat antihipertensi yang dapat digunakan pada ibu yang menyusui, diharapkan pemilihan obat berdasarkan pengalaman dalam pemberian obat tersebut. Pemberian obat antihipertensi pada umumnya lebih lama pada pasien preeklampsia (kurang lebih 2 minggu) dibandingkan pada pasien dengan hipertensi gestasional (kurang lebih 1 minggu). Metildopa harus dihindari saat postpartum karena resiko dari depresi postnatal. Agen lini pertama yang sering digunakan diantaranya adalah antenolol, nifedipine atau ACE Inhibitor jika agen lain dibutuhkan. Preeklampsia merupakan salah satu faktor resiko tromboemboli postpartum. Sedangkan faktor resiko yang lain diantaranya adalah obesitas, tirah baring selama > 4 hari setelah melahirkan, dan seksio. Pemberian pencegahan tromboemboli perlu dipikirkan kecuali terbukti tidak bermanfaat.

HIPERTENSI SAAT MENYUSUI Banyak faktor yang mempengaruhi jalannya obat ke dalam payudara antara lain volume distribusi yang kecil, kelarutan dalam lemak, ikatan protein, ionisasi, berat molekul, pH fisiologis dan komponen dari kelenjar susu (lemak maupun protein). Sedangkan jika obat tertelan pada bayi yang menyusui maka kadar obat tergantung pada volume susu yang tertelan, interval waktu minum obat dengan menyusui, bioavaibilitas oral pada bayi dan kemampuan ekskresi obat bayi. Penggunaan metildopa, kalsium antagonis dan labetolol dan propanolol sebagai antihipertensi saat menyusui tergolong aman karena mempunyai konsentrasi yang rendah dalam ASI. Sedangkan Atenolol dan metoprolol terkonsentrasi dalam ASI. Pemberian diuretik dapat menurunkan produksi secara signifikan. Konsentrasi ACE Inhibitor sangat kecil bahkan tidak terukur dalam ASI membuat ACE Inhibitor sebagai salah satu obat pilihan.

KESIMPULAN Hipertensi merupakan masalah medis tersering ditemukan dalam kehamilan

berkomplikasi pada 10 15% dari jumlah kehamilan di negara maju dan penyebab penting mortalitas dan morbiditas ibu dan janin. Perubahan fisiologi pada awal kehamilan menyebabkan penurunan tekanan darah pada 13 24 minggu pertama dan kemudian terjadi peningkatan bertahap hingga postpartum. Definisi hipertensi dalam kehamilan berdasarkan nilai absolut tekanan darah (tekanan darah sistolik 140mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg). Klasifikasi Hipertensi dalam kehamilan yang banyak dianut saat ini adalah menurut (NHBPEP) Working Group yang terdiri dari hipertensi kronis, hipertensi gestasional, Preeklampsia, dan eklampsia.

Patogenesis terjadinya preeklampsia diawali plasentasi abnormal dan tahap kedua melibatkan perubahan dari maladaptasi uteroplacenta menjadi sindrom sistemik maternal.

Pemeriksaan laboratorium rutin dianjurkan untuk mengevaluasi perubahan kondisi hematologi, ginjal dan hati yang berpengaruh terhadap prognosis dan hasil akhir kehamilan baik pada ibu maupun janin.

Secara umum tujuan tata laksana hipertensi pada kehamilan adalah sama yaitu menurunkan angka kematian ibu dan janin Managemen hipertensi pada kehamilan meliputi konseling pra kehamilan, terapi non farmakologi, dan terapi farmakologi.

OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI PADA KEHAMILAN

Pembimbing : Dr. Zulkarnaen Hussein Sp.OG Oleh : Eltari Merianingsih

DAFTAR PUSTAKA

1. Umans JG. Hypertension in Pregnancy. In : Lip GYH, Hall JE, eds. Comprehensive Hypertension, 1st ed. Philadelphia : Mosby Elsevier , 2007 : 669 -667. 2. Khan KS, Wojdyla D, Say L, et al . WHO analysis of causes of maternal death : A systematic review. Lancet 2006; 367 : 1066. 3. BCRCP Obstetric Guidelines 11 Hypertension in Pregnancy (www.rcp.gov.bc.ca), 2006. 4. Brown MA. Diagnosis and Classification of Preeclampsia and Other Hypertensive Disorders of Pregnancy. In : Belfort MA, Thornton S, Saade GR, eds. Hypertension in Pregnancy, 1st ed. New York : Marcel Dekker. 2002 : 1 16. 5. Folic M, Folic N, Varjacic M, Jakovjevic M, Jankovic S. Antihypertensive Drug Therapy for Hypertensive Disorders in Pregnancy. Asta MedicaMedianae 2008; 47(3) : 65 72. 6. McCarthy FG, Kenny LC. Hypertension in Pregnancy. Current Obstetrics & Gynaecology 2009; 16(3): 315 -320. 7. August P, Lindheimer MD. Chronic Hypertension. In : Lindheimer MD, Roberts JM, Cunningham FG, eds. Chesleys Hypertensive Disorders in Pregnancy, 2nd ed. Stanford : Appleton & Lange. 2009 : 605 633. 8. Cifkova R. Hypertension in Pregnancy. In : Mancia G, Grassi G, Kjeldsen SE, eds. Manual of Hypertension of the European Society of Hypertension, 1st ed. London : Informa Healthcare, 2008 : 281 -287. 9. Kaplan NM. Hypertension with Pregnancy and the Pill. In : Kaplan NM, Victor RG,eds. Clinical Hypertension, 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2010; 15 : 411-430. 10. Lindheimer MD, Taler SJ, Cunningham FG. ASH Position Paper : Hypertension in Pregnancy. Jclin Hypertens 2009: 11 : 214 - 225.

Potrebbero piacerti anche