Sei sulla pagina 1di 9

BURUH PEREMPUAN DI INDUSTRI MANUFAKTUR

SUATU KAJIAN DAN ANALISIS GENDER

Harmona Daulay

Abstract: woman’s problems as a gender issue have become an actual issue in


this decade. Complaining about the equality of gender is regulated in Inpres
No.9/2000. It emphasizes the gender problems with focus in women
empowerment and has been a National issue. This passage expresses a
description about women who work in manufacture industries. The relevance
between the regulation and gender mainstream is an expression about woman’s
problem mapping which becomes gender in equality in industry scope. As we
know, most manufacture industries use the women called blue color workers as
the main workers in production processes. The main role is still followed by
some exploitative problems and gender inequality between male and female. The
reality is all about minimum wage, subordination, stereotype, violence and
sexual harassment, etc. it has become bad face in industries which have women
as their workers. The mapping of this problem is supported by the fact from
relevant research result and relevant concept. The conclusion of this patriarchy
system which gives stereotype in women as feminine creatures correlates very
much with social values and empirical condition which become gender
inequality in industries. We really need the gender mainstream as a relevant
solution to solve this problem.

Keywords: woman worker, industry, and gender


PENDAHULUAN industri manufaktur. Perkembangan industri
sebagaimana kita ketahui banyak sekali menyerap
Isu pemberdayaan perempuan dan tenaga kerja perempuan. Hasil temuan Setjen
keberpihakan pada permasalahan perempuan DPA (Bernas, 2 Agustus 1997) menjelaskan
menjadi suatu isu yang aktual dalam dekade ini, bahwa kondisi pekerja pabrik di Indonesia pada
banyak permasalahan perempuan yang dikritisi umumnya buruk. Mereka bukan hanya menerima
secara faktual. Pembicaraan permasalahan perlakuan tidak adil dalam hal upah dan fasilitas
perempuan dari tingkat dunia, nasional, dan kerja, tetapi juga tidak memperoleh perlindungan
lokal memberikan suatu kesimpulan, di mana yang seharusnya sebagaimana diamanatkan
masih sangat diperlukannya suatu gerakan undang-undang. Bergerak dari kondisi tersebut
kesadaran pemberdayaan perempuan. Respons bagaimanakah gambaran buruh perempuan di
secara relasional pun, di mana perempuan tidak industri manufaktur berdasarkan perspektif
bisa berjuang dan hanya menata diri sendiri gender.
tetapi memerlukan peran gender laki-laki Buruh Perempuan merupakan fenomena
melahirkan isu gender. Isu gender di Indonesia dari kapitalisme modern. Banyak sekali cerita
termaktub dalam Inpres No. 9 tahun 2000 yang berisi kondisi minor terhadap eksistensi
tentang pengarusutamaan gender dalam buruh perempuan dari deru asap pabrik-pabrik
pembangunan nasional. Konsep ini adalah salah industri manufaktur. Kehadiran buruh perempuan
satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk sangat mewarnai dan sebagai urat nadi bagi
mencapai kesetaraan dan keadilan gender, denyut industri. Pada satu sisi masuknya
bertujuan mempersempit dan bahkan perempuan ke dalam sektor industri ini dilihat
meniadakan kesenjangan gender. Harapan ini sebagai proses pembebasan berupa emansipasi
tentu saja sangat ideal. perempuan memasuki dunia kerja, sehingga bisa
Salah satu perkembangan perempuan lepas dari belenggu pekerjaan domestik yang
dewasa ini adalah masuknya perempuan di cukup membebani perempuan dari sektor beban
dunia kerja. Isu-isu di dunia kerja menjadi isu kerja. Pada sisi lain kondisi buruh ini masih sangat
tersendiri. Perempuan berpendidikan terbatas memprihatinkan yaitu masih pada persoalan yang
memasuki pekerjan di pabrik atau sektor bersifat klasik yaitu seputar masalah “Bread and
informal lainnya. Dalam tulisan ini isu Butter Issue“ yaitu kondisi upah yang masih
permasalahan perempuan ingin menjelaskan sangat rendah, hal ini belum lagi di tambah
permasalahan perempuan yang bekerja di dengan persoalan-persoalan lain seperti kesehatan

1
Harmona Daulay adalah Dosen FISIP USU
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

reproduksi, diskriminasi, pelecehan seksual, dan analisis bahwa buruh perempuan merupakan
lain-lain. kelompok yang memperoleh dampak dari sistem
Pembicaraan mengenai kondisi buruh dominasi di dalam lingkaran budaya kita. Hal ini
perempuan selama ini memang diarahkan dapat kita lihat di dalam pabrik mereka mendapat
kepada kondisi upah mereka yang cukup rendah dominasi dari majikan, sebagai isteri mereka
dibandingkan buruh laki-laki ataupun buruh mendapat dominasi dari suami. Sebagai anak
perempuan di negara lain. Hal ini dapat kita lihat perempuan mereka mendapat dominasi dari
pada data upah buruh perempuan yang relatif bapak. Sebagai perempuan mereka mendapat
pada kondisi upah yang rendah yang dilihat dari dominasi dari laki-laki. Dari sini sangat kelihatan
data tingkat daya beli buruh perempuan di bahwa masih timpangnya nilai sosial budaya yang
Indonesia dibandingkan dengan kondisi daya berlabel budaya patriarkhi. Melihat keseimbangan
beli buruh perempuan yang ada di Asia. hubungan laki-laki dan perempuan yang akhirnya
Pada Tabel I memperlihatkan betapa berekses negatif pada kondisi buruh perempuan di
lemahnya daya beli buruh perempuan di pabrik, terutama industri manufaktur yang
Indonesia. Untuk membeli kebutuhan makanan kebanyakan mempekerjakan perempuan. Dari
sehari-hari, kebutuhan akan beras 1 kg pada kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa posisi
tahun 1994, buruh perempuan harus bekerja buruh perempuan tidak sama dengan buruh laki-
selama 221 menit atau 3,5 jam lebih. Sementara laki walaupun mereka sama-sama mempunyai
kalau kita bandingkan dengan buruh Filipina status sama yaitu sebagai buruh.
dan Hongkong mereka hanya memerlukan Bila kita merujuk pada perjalanan sejarah
waktu 55 menit saja atau tidak sampai satu jam dominasi yang diciptakan sistem budaya
bekerja. Hal ini terlihat pula pada pembelian patriarkhi dan dihubungkan dengan fenomena
makanan murah, buruh perempuan di Indonesia buruh perempuan di pabrik, maka dapat kita
harus bekerja selama 312 menit sementara buruh cermati bahwa berdasarkan kondisi objektif, buruh
perempuan Thailand hanya 23 menit. Hal ini perempuan mengenyam status subordinasi
berarti buruh perempuan di Indonesia harus berganda. Di satu pihak mereka bersama buruh
bekerja lebih keras dari buruh perempuan di laki-laki adalah bagian dari alat produksi yang
Thailand karena kalau mau menyamakan dengan berfungsi sebagai penghasil produksi. Di lain
kondisi di Thailand mereka harus bekerja pihak buruh perempuan mengalami penindasan
hampir 17 kali lipat dari buruh perempuan di berganda akibat status gendernya perempuan.
Thailand. Diantaranya karena mitos dan streotipe yang
Apakah penyebab dari rendahnya upah diciptakan untuk mereka. Buruh perempuan
yang berkorelasi dengan melemahnya daya beli dicitrakan sebagai buruh ideal yang terampil,
buruh perempuan ini semata-mata sebagai suatu rajin, teliti, dan patuh serta bersedia dibayar
alasan atau pertimbangan ekonomis semata dari murah. Di samping itu buruh perempuan dianggap
perputaran arus modal pada sistem kapitalisme. berbahagia dengan kesempatan kerja yang
Atau apakah hal ini merupakan refleksi dari diperolehnya, sehingga mereka menjadi buruh
permasalahan sosial budaya yang masih belum yang paling mudah diatur dan tidak banyak
melihat kesejajaran antara laki-laki dan menuntut. Citra semacam ini sudah menjadi mitos
perempuan yang berkorelasi pada analisis yang dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak
kesetaraan gender. yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi
Bila kita mencermati permasalahan modal. (Tjandraningsih, 1997: 253).
buruh perempuan ini, maka dapat kita berikan

Tabel 1. Daya Beli Buruh Perempuan Dibanding dengan Pekerjaan per Menit

Kebutuhan Indonesia Indonesia Sri Lanka Malaysia Thailand Filipina Hongkong

1981 1994
Beras/kg 258 221 135 105 55 60 55
Telur 45 70 29 14 10 20 5
Coca cola
240 305 84 45 23 27 11
300 ml
Makanan
240 312 84 45 23 27 15
murah
Sumber: Juni Thamrin, 1993 Seperti dikutip dalam Pergulatan Hidup Buruh Perempuan, diterbitkan
Yasanti, 1998.

2
Daulay, Buruh Perempuan…

Berkenaan dengan masalah di atas perbedaan nilai yang berbeda dengan sektor
maka yang akan menjadi persoalan di dalam domestik di rumah tangga.
pembahasan di tulisan ini adalah bagaimana Satu hal lagi mengapa pembahasan ini
kondisi buruh perempuan di industri difokuskan kepada pabrik-pabrik industri
manufaktur yang akan di lihat dari analisis dan manufaktur, hal ini disebabkan kondisi buruh
kajian sensitif gender disebabkan banyaknya di sektor manufaktur di dominasi oleh buruh
kondisi di pabrik yang berhubungan dengan perempuan dan secara faktual telah terjadi
persoalan ketidakadilan gender. feminisasi di sektor industri manufaktur. Usia
yang relatif muda dan berstatus muda dan
PEMBAHASAN lajang merupakan status yang dominan dari
buruh perempuan di pabrik-pabrik industri
Sejalan dengan uraian di atas bahwa manufaktur yang memproduksi garmen,
buruknya persoalan dan kondisi buruh barang elektronik, sepatu sampai komponen
perempuan disebabkan adanya suatu ekspor lainnya. Kondisi ini memperlihatkan
ketidakadilan gender. Gender adalah bangunan fenomena preferensi industri manufaktur
sosio kultural yang membedakan karakteristik terhadap buruh perempuan yang dikerahkan
maskulin dan feminim. Gender berbeda dari untuk menjalankan produksinya. Secara
seks atau jenis kelamin, laki-laki dan perhitungan ekonomis perusahaan memiliki
perempuan yang bersifat biologis (More, buruh-buruh perempuan yang muda dan lajang
1988). Jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan asumsi bahwa usia mereka akan
sering dilekatkan pada gender maskulin dan produktif dan secara status mereka tidak mem-
feminim, namun kaitan antara jenis kelamin punyai beban domestik. Bila kita ingin
dan gender bukanlah merupakan korelasi yang melihat kondisi fakta maka kita dapat melihat
pada industri di kota Bandung, di mana kesem-
absolut. Konsep gender sangat berhubungan
patan kerja di tingkat produksi diprioritaskan
dengan definisi suatu budaya tertentu. Dengan
kepada gadis-gadis muda. Perusahaan
kata lain ciri maskulin dan feminim sangat
menyisakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak
bergantung kepada penafsiran dan kesepakatan
berarti dari sisi status dan penghasilan bagi
sosial dari suatu konteks sosial budaya perempuan berkeluarga (Tjandraningsih, 1997:
tertentu. 259).
Apakah gender ini menjadi suatu Berikut ini adalah pembahasan buruh
permasalahan yang mendasar yang harus di perempuan yang berkaitan dengan isu gender:
cermati? Sebenarnya konsep gender pada
hakikatnya adalah menyangkut pembagian hak 1. Permasalahan Marginalisasi,
dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Subordinasi dan Streotipe sosial
Kondisi ini tidak akan menjadi polemik selama a. Marginalisasi
tidak menghasilkan kondisi ketidakadilan Berbicara pada konteks marginalisasi
gender. yang terjadi pada perempuan, pada konteks
Mansour Fakih (1996) buruh perempuan, maka buruh perempuan
mengklasifikasikan ketidakadilan gender yang diasosiasikan penempatannya pada pekerjaan-
termanifestasikan dalam berbagai bentuk pekerjaan yang marginal. Asumsi bahwa buruh
ketidakadilan gender yaitu: perempuan tepat pada pekerjaan-pekerjaan
1. Marginalisasi dan proses pemiskinan yang marginal. Asosiasi yang terbangun pada
ekonomi buruh perempuan yang mempunyai sifat halus
2. Subordinasi atau anggapan tidak penting dan telaten, sehingga pekerjaan yang diberikan
dalam keputusan politik juga pekerjaan yang kurang penting atau
3. Streotip atau pelabelan negatif berupah rendah. Hal ini terjadi meskipun
4. Kekerasan buruh perempuan tersebut mempunyai
5. Beban kerja di rumah tangga keterampilan yang lebih. Kalau kita
mengkaitkan kondisi ini pada konsep
Berdasarkan analisisis ketidakadilan deskilling, di mana adanya penghilangan akses
gender yang termanifestasi pada 5 kondisi di ketrampilan atau proses produksi sebagai
atas, bagaimana persoalan ketidakadilan akibat fragmentasi kerja ke dalam bagian yang
gender pada konteks industri dengan kondisi kecil-kecil yang tidak membutuhkan
buruh perempuan di pabrik industri keterampilan atau banyak pengetahuan
manufaktur. Bagaimana pula kondisi pabrik (Taylorism). Jadi pada konteks ini, perempuan
sebagai sektor publik yang mempunyai termarginalisasi pada konteks adanya

3
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

Deskilling, meskipun ia mempunyai keahlian 4. Peranan perempuan yang utama adalah


tertentu, tidak berarti bahwa ia akan menda- sebagai isteri sehingga peluang kerja yang
patkan pekerjaan sesuai dengan bidang dan disediakan sebagai yang bersifat “
keahliannya. Ideologi dalam memandang keibuan “ sebagai perluasan dari pekerjaan
perempuan sangat berpengaruh pada kondisi ibu rumah tangga.
marginalisasi perempuan dalam konteks buruh Bila permasalahan marginalisasi ini
perempuan di pabrik. dikaitkan dengan ketimpangan gender, Maka
Scott (seperti di kutip Grijins, 1992) ada 2 hal yang dapat dijelaskan:
memandang segregasi pekerjaan berdasarkan 1. Pekerjaan-pekerjaan marginal yang
jenis kelamin merupakan salah satu bagian dari dikerjakan oleh perempuan dapat dilihat
marginalisasi. Marginalisasi adalah sebuah sebagai akibat proses identifikasi
konsep yang penting untuk memahami perempuan terhadap apa-apa yang sesuai
hubungan antara industrialisasi dengan pekerja dengan sifat keperempuanannya yang telah
perempuan. Marginalisasi dalam arti luas dapat dikonstruksikan secara sosial. Identifikasi
didefinisikan sebagai proses perubahan ini merupakan proses pemaknaaan diri dan
hubungan kekuasaan antar manusia. Perubahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
hubungan ini mengakibatkan akses salah satu perempuan sehingga berbagai faktor
kelompok ke sumber-sumber vital semakin
diperhatikan di dalamnya. Keterlibatan
terbatas. Sumber-sumber itu antara lain
dalam kegiatan ekonomi marginal karena
meliputi modal, pekerjaan, pendidikan, dan lain-
itu merupakan hasil dari suatu proses
lain. Sejalan dengan berlalunya waktu, sumber-
sumber itu semakin dimonopoli oleh sekelom- interaksi dan negosiasi di mana perempuan
pok kecil orang. Dalam proses ini perempuan sendiri aktif di dalamnya.
lebih tersisih dibandingkan laki-laki. Sebagai 2. Berbagai proses telah mereproduksi sifat
konsekuensinya perempuan harus keperempunanan dan kenyataan tentang
menyandarkan kehidupan mereka pada pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan
sumber-sumber marginal yang terletak di sifat keperempuanan tersebut. Tingkat
pinggiran ekonomi pasar. absensia perempuan yang tinggi (karena
Disadari atau tidak marginalisasi pada cuti hamil dan melahirkan) sering
buruh perempuan ini tidak saja terjadi di dijadikan alasan untuk tidak memilih
pabrik dengan sentuhan kapitalisme modern, tenaga kerja perempuan atau
tetapi terjadi juga dalam lingkup keluarga, menempatkan perempuan dalam pekerjaan
masyarakat, kultur bahkan negara. Misalnya yang marginal. (Abdullah, 1995: 9).
marginalisasi di dalam keluarga, anak perempuan
selalu mendapatkan kesempatan kedua setelah Bila kita menganalisa mengapa terjadi
anak laki-laki. Dampak marginalisasi ini di marginalisasi, Boserup (1970) menunjukkan
dalam keluarga mengimbas pada pekerjaan faktor budaya sebagai penyebabnya. Menurut
publik (baca pabrik), yang mempekerjakan pendapatnya, pertumbuhan penduduk
perempuan. Jika perempuan mengintegrasikan menyebabkan peningkatan tekanan terhadap
ke dalam industrialisasi, maka selayaknya ia tanah dan sumber daya langka lainnya seperti
mendapatkan peluang kerja setara dengan laki- teknologi. Marginalisasi berlangsung selama
laki bukan hanya bidang-bidang yang dan setelah masa penjajahan yang
merupakan perpanjang tangan tugasnya di mencerminkan ideologi gender yang diperkuat
sektor domestik seperti pekerjaan yang nilai-nilai patriarkhi.
membutuhkan ketelatenan, ketelitian, dan
kesabaran. b. Subordinasi
Bila kita kritisi bahwa marginalisasi Bila kita berbicara pada konteks
yang terjadi pada perempuan di pabrik berjalan subordinasi tentu hal ini tidak lepas dari
seiring dengan eksploitasi. Hal ini dapat pembicaraan hubungan kekuasaan antara
dijelaskan dengan 4 asumsi dasar yaitu: kelompok superior dengan kelompok yang
1. Perempuan memegang peranan utama tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan
dalam produksi subsistem
hubungan tuan dan bawahan, di mana sang
2. Kegiatan subsistem menawarkan otonomi
tuan melakukan eksploitasi . Pada konteks
dan akses ke sumber daya
fenomena buruh pabrik ini adanya anggapan
3. Status perempuan terkikis oleh
bahwa perempuan itu tidak rasional, emosi-
perkembangan kapitalisme
onal, dan lemah sehingga menempatkan
4
Daulay, Buruh Perempuan…

perempuan pada posisi yang kurang penting. biasanya mereka bekerja di bagian operator,
Laki-laki di bangun sebagai “tuan” telah sedangkan buruh laki-laki bekerja di bengkel.
mengakibatkan pandangan bahwa relasinya Dengan dasar pikir streotipe bahwa pekerjaan
adalah sebagai budak. Sistem kapitalis mem- itu memerlukan tenaga yang kuat, sedangkan
perkuat pandangan tersebut. perempuan ditempatkan pada bagian yang
Buruh pabrik sebagai kelas yang dianggap memerlukan ketelatenan.
tersubordinasi dari para pemilik Secara garis besar bila kita membahas
pabrik/majikan merupakan pandangan yang ketidakadilan gender dalam konteks margi-
dikotomis. Elizabeth Florence (1992) nalisasi, subordinasi, dan streotipe dikaitkan
menamakan struktur ini kyiarkhi yaitu sistem pada kondisi buruh perempuan di pabrik, maka
dominasi dan subordinasi sosial, ekonomi, berdasarkan penjelasan terdahulu kita melihat
politik, budaya yang didasarkan pada bahwa karena persepsi yang tidak egaliter
kekuasaan tuan/majikan. melihat hubungan laki-laki dan perempuan
Bila kita menggunakan pendekatan sehingga kondisi ketiga hal di atas terjadi.
teori konflik Marx, menyatakan masyarakat Secara fakta buruh perempuan terpinggirkan
terpolarisasi dalam dua kelas yang selalu ber- dengan alasan pendidikan rendah, sulit
tentangan yaitu kelas yang mengeksploitasi mendapat posisi tertentu karena emosional.
dan kelas yang di eksploitasi. Ada subordinasi Hal ini masih terjadi walaupun buruh
antara kelas yang satu dengan kelas lainnya. perempuan tersebut mempunyai kemampuan.
Dalam konteks fenomena buruh Di sinilah letak ketidakadilan tersebut mereka
perempuan di pabrik ini, maka kita dapat (buruh perempuan) tidak bisa akses semata-
melihat bahwa pemilik modal/majikan adalah mata pendidikan belum mencukupi tetapi juga
sebagai kelompok yang mendominasi, karena disebabkan karena gendernya perempuan.
memiliki sarana produksi. Bila kita simak Secara fakta perempuan tetap tersubordinasi,
feminisme Marxist mereka mempertegas kondisi berlaku di pabrik yang sangat bias
bahwa asal muasal penindasan terhadap gender laki-laki dalam menetapkan
perempuan sehingga mereka tetap menjadi kebijaksanaan. Dengan di bungkus budaya
kelompok subordinasi adalah karena laki-laki patriarkhi yang sangat membela kepada
akses pada ekonomi. Buruh perempuan di kepentingan patriarkhi sehingga perspektif
pabrik sebagai pihak yang tersubordinasi yang terhadap perempuan ditandai dengan streo-
tetap pasrah pada kondisi yang diciptakan tipe-streotipe yang merugikan perempuan
karena mereka tidak mempunyai akses dan secara ekonomis. Salah satu contoh anggapan
kontrol ekonomi. bahwa perempuan dianggap sebagai pekerja
yang mencari tambahan bagi ekonomi rumah
c. Streotipe tangga sehingga kebijakan-kebijakan yang
Secara umum streotipe adalah diturunkan disamakan dengan kondisi laki-laki
pelabelan atau ciri-ciri penandaan terhadap yang masih lajang, padahal sering sekali para
suatu kelompok tertentu. Selama ini karena perempuan buruh pabrik adalah sebagai kepala
budaya patriarkhi yang sangat internalize di keluarga.
dalam masyarakat melahirkan streotipe pada
masyarakat tersebut di dalam melihat 2. Permasalahan Ketidakadilan Gender di
keberadaaan perempuan. Perempuan dianggap dalam Pabrik
mempunyai fungsi atau posisi yang layak di a. Jenis Pekerjaaan
rumah sehingga dilekatkan label-label Pada pabrik-pabrik ada jenis pekerjaan
domestik yang mengatakan perempuan itu yang dikerjakan untuk buruh perempuan,
tekun, sabar, teliti, pasrah, tidak akses pada untuk pekerjaan mekanik walaupun bisa saja
ekonomi dan informasi. dilakukan oleh perempuan yang mempunyai
Streotipe ini juga masuk dalam dunia keterampilan mekanik tapi ada anggapan bila
industri, berdasarkan streotipe manajemen dilakukan perempuan akan dianggap kurang
pabrik menempatkan posisi perempuan sopan. Contoh kasus dapat kita lihat pada
berkenaan dengan barang – barang yang pabrik garmen ada pembagian kerja yang tegas
dikerjakan di dalam pabrik, biasanya dekat antara buruh laki-laki dan perempuan.
dengan yang dikonsumsi perempuan sehingga Departemen-departemen tertentu semacam
muncul feminisasi dalam dunia pabrik. Semua spinning, extuder, laminating, sliting,
pekerjaan dilaksanakan oleh perempuan dan sparepart, disel, pemotongan, dapur, driver

5
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

dan sebagainya diserahkan kepada laki-laki. yang digunakan adalah kebutuhan fisik laki-
Hal ini berdasarkan bahwa pekerjaan- laki. FKM selayaknya memasukkan unsur-
pekerjaan tersebut membutuhkan tenaga yang unsur kebutuhan dasar perempuan misalnya
kuat. Sedangkan buruh perempuan biasanya berkaitan dengan fungsi reproduksinya untuk
ditempatkan pada bagian yang membutuhkan membeli keperluan ketika menstruasi setiap
ketelitian dan tidak membutuhkan kekuatan bulannya.
fisik yang berat seperti bagian finishing, loom, Upah buruh yang rendah memang
dan garment. Pada departemen tertentu tenaga merupakan satu persoalan klasikal yang selalu
buruh perempuan dan laki-laki dipergunakan melahirkan tuntutan berupa demonstrasi buruh.
bersama-sama. Namun demikian di sini pun Dari hasil penelitian dijelaskan berikut ini akan
terdapat beberapa perbedaan peran dalam menunjukkan bahwa ada perbedaan upah
pekerjaan laki-laki dan perempuan. Misalnya antara buruh laki-laki dan buruh perempuan:
di bagian potong terdapat buruh perempuan • Menurut penelitian Maine Wolf (1980)
dan laki-laki. Pekerjaan perempuan yang dilakukan di daerah Jawa Tengah
mendapatkan bagian untuk mengukur dan bahwa pekerja laki-laki memperoleh upah
mengatur ukuran, sebab pekerjaan tersebut lebih tinggi dari pekerja perempuan
membutuhkan ketelitian dan buruh perempuan dengan pekerjaan yang sama
dianggap lebih teliti dari buruh laki-laki. • Penelitian Kusyuniati (1989) dari Yasanti
Sementara laki-laki berperan dalam potong yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan
memotong kain yang jumlahnya banyak dan hasil yang sama. Pada penelitian di pabrik
tebal serta berat atau di bagian ngepres di rokok di Kudus, pengusaha memberikan
perusahaan plastik misalnya perempuan insentif 3 batang rokok untuk buruh laki-
mendapatkan bagian mengatur dan laki-laki laki dan tidak ada insentif untuk buruh
melakukan bagian pengepresan. (Annisa, perempuan dengan alasan buruh
1996). perempuan tidak merokok. Padahal yang
terjadi bahwa buruh laki-laki menjual
b. Penyediaan Fasilitas Kerja yang insentif dengan harga Rp. 125/hari
Berbeda • Beberapa studi pekerja perempuan menemu-
Kondisi perempuan secara biologis kan bahwa upah perempuan acap kali lebih
sangat berbeda dengan laki-laki. Di dalam rendah dari upah laki-laki sebagai contoh
penyediaan fasilitas kerja perempuan upah minimum pekerja perempuan yang
memerlukan tempat-tempat berbeda dengan ditetapkan oleh pemerintah, hanya di
laki-laki seperti tersedianya kamar kecil yang Maluku dan Kalimantan upah buruh
sanitasinya terjaga untuk kesehatan reproduksi perempuan yang tidak lebih rendah dari
mereka. Biasanya di pabrik jarang sekali ada buruh laki-laki.
fasilitas kesehatan perempuan, di dalam • Sebuah penelitian di Padang dan
merawat mereka/memperhatikan kesehatan Yogyakarta menunjukkan bahwa jenis
kelamin menjadi salah satu dasar
reproduksinya. Hal ini tergambar juga pada
pertimbangan dalam memberikan upah.
perolehan cuti masa hamil muda, mereka tidak
Segmentasi yang terjadi didasarkan pada
mendapat cuti hamil. Padahal usia kehamilan berbagai hal dan salah satunya adalah jenis
muda membawa risiko kehamilan yang rentan kelamin. Dalam penelitian tersebut
terhadap keguguran. Hal ini belum lagi kasus terungkap rata-rata pekerja perempuan di
mesin pabrik yang tidak sesuai dengan postur segala tingkat pendidikan selalu lebih
tubuh kebanyakan orang Indonesia. Kondisi ini rendah dibanding dengan upah yang
bisa membahayakan buruh terutama yang diterima oleh laki-laki. Sebenarnya untuk
sedang hamil. pekerja yang berpendidikan rendah (SMP
ke bawah), cukup bisa dipahami jika upah
c. Perbedaan Pemberian Upah yang lebih tinggi diberikan pada pekerja
Kebijakan upah yang didasarkan pada laki-laki. Mereka umumnya bekerja di
kebutuhan fisik minimum (FKM) juga bidang pekerjaan yang tergolong kasar, yang
dipertimbangkan adanya perbedaan kebutuhan membutuhkan kekuatan fisik, akan tetapi
dasar antara buruh laki-laki dan perempuan. bukan hanya tingkat pendidikan rendah
Perhitungan FKM ini dipengaruhi anggapan upah rata-rata perempuan lebih rendah, di
umum bahwa perempuan bukan sebagai tingkat pendidikan lebih tinggi mereka di
pencari nafkah utama keluarga, karenanya kalahkan (Susi Eja, 1997).
dalam penentuan komponen upah ini, standar
6
Daulay, Buruh Perempuan…

Mengapa buruh perempuan mendapat ini, kita dapat melihat dan menganalisisnya de-
upah yang rendah dan berbeda dengan laki- ngan analisis gender. Analisis gender dan
laki. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan feminis melihat kedudukan perempuan yang
yaitu: relatif rendah dalam pasar tenaga kerja ini
1. Pendekatan patriarkhi yang menjelaskan tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial yang
bahwa perempuan merupakan subordinasi menempatkan perempuan pada kedudukan
laki-laki, hubungan yang tidak simetris yang lebih rendah dari laki-laki. (Anker dan
tersebut terjadi karena pengaruh budaya. Hein, 1986).
2. Pendekatan sistem di mana perempuan Penjelasan-penjelasan di atas berusaha
tidak dimasukkan dalam sistem yang ada melihat ketimpangan yang dialami oleh perem-
dan terjadi diskriminasi dan subordinasi puan khususnya buruh perempuan di pabrik-
perempuan secara politik dan diikuti pabrik. Secara fakta dan uraian teoritis telah
dengan ekonomis yang bias gender kepada memperlihatkan bahwa memang ada kondisi
laki-laki. bias gender laki-laki di dalam pabrik, sehingga
menimbulkan ketidakadilan seperti
d. Jenjang Karier marginalisasi, subordinasi, streotipe, yang
Streotipe buruh laki-laki lebih semuanya menggunakan ukuran nilai laki-laki
rasional, kuat, dan lebih bebas berkarier yang terbungkus di dalam nilai-nilai patriarkhi.
berpengaruh pada industri. Dari hasil Ternyata pabrik sebagai fenomena kapitalisme
penelitian Yasanti 1996 ternyata buruh laki- tetap saja mengadopsi nilai-nilai patriarkhi
laki lebih berpeluang meniti jenjang karier yang diwujudkan dalam kerangka hubungan
hingga posisi pengawas bahkan koordinator majikan dan buruh perempuan di dalam
shift, sedangkan buruh perempuan hanya pabrik. Hal ini mengakibatkan terjadinya
sebagai ketua regu (karu). Kondisi ini perbedaan-perbedaan antara yang diterima
memperlihatkan bahwa buruh perempuan tidak buruh laki-laki dengan buruh perempuan
dipercaya karena gendernya dan streotipenya karena perbedaan gender. Perbedaan upah,
bahwa mereka lebih emosional dan rata-rata pembagian kerja, jenjang karier, penyediaan
berpendidikan rendah. fasilitas kerja sampai kepada pelecehan
seksual kesemuanya terjadi karena pemahaman
e. Pelecehan Seksual tertentu terhadap gender perempuan yang
Bila kita menganalisis mengapa berakibat merugikan buruh perempuan itu
pelecehan seksual tersebut terjadi pada buruh sendiri, karena mereka terus-menerus dalam
perempuan, hal ini tidak lepas dari konsep nilai kondisi tertindas.
yang melihat bahwa perempuan itu sebagai Kondisi-kondisi dari penjelasan fakta
gender yang layak untuk mendapat godaan. dan teoritis di atas dapatlah kita sampai pada
Hal ini tidak terjadi pada buruh laki-laki yang suatu permasalahan bahwa bias gender laki-
dianggap sebagai pihak yang pantas laki di dalam pabrik yang mengakibatkan
melakukan gangguan dan godaan, walaupun ketidakadilan gender terhadap gender
berkembang jauh menjadi pelecehan. Hal ini perempuan. Ketidakadilan gender ini tentu saja
dapat pula di analisis berdasarkan ketimpangan sangat merugikan buruh perempuan yang
hubungan ekonomi. Berhubungan dengan termanifestasikan dalam bentuk perbedaan
tindakan yang sewenang-wenang yang upah dan gaji, marginalisasi buruh perempuan
menyebabkan terjadinya pelecehan dan dengan penempatan kerja yang sangat
kekerasan seksual di tempat kerja. Tidak ada dikotomis, kestatisan jenjang karier sampai
jaminan keamanan dan hukum yang membuat kepada pelecehan seksual. Kondisi ini terjadi
perempuan memiliki kekuatan untuk terlibat dengan penyebab utama karena buruh
dalam suatu pekerjaan. Pelecehan ternyata perempuan itu bergender perempuan dengan
tidak hanya dilakukan oleh mandor atau atasan setumpuk nilai-nilai keperempuanannya
juga tetapi juga oleh teman sekerja dan laki- sehingga ia dianggap pantas mendapat
laki secara umum. Teman sekerja menjadi perlakuan diskriminasi demikian. Hal ini bisa
pengganggu yang cukup potensial. Gangguan berjalan masih belum terlihat pemberontakan
ini sering menyebabkan perempuan karena nilai-nilai patriarkhi yang mendukung
meninggalkan tempat kerja dan keluar, kepada hubungan yang sangat tegas antara
meskipun tidak ada jaminan untuk tidak akan laki-laki dan perempuan.
dilecehkan di tempat yang baru.
Bila kita menganalisis ketimpangan
gender pada kasus buruh perempuan di pabrik
7
Jurnal Wawasan, Februari 2006, Volume 11, Nomor 3

Bila kita melihat dari sisi manajemen ini akibatnya melahirkan ketidakadilan gender,
pabrik di dalam melihat ketidakadilan gender yang pada konteks ini di bahas dari sisi buruh
ini sbb: perempuan di pabrik. Hal ini dianggap penting
1. Buruh perempuan telah dikonstruksikan karena fenomena industrialisasi dengan
sebagai manusia yang lemah lembut, di berdirinya pabrik-pabrik ternyata
mana sejak kecil terjadi sosialisasi nilai menghasilkan fenomena preferensi pada buruh
yang memposisikan karakter sosial dari perempuan yang merupakan hasil dari
seseorang perempuan. Kondisi ini tentu penafsiran konsep gender yagn berbasis nilai-
saja menguntungkan perusahaan, sebab nilai patriarkhi.
berarti sebagai buruh perempuan akan Akhirnya tulisan ini menyimpulkan
bekerja hati-hati, telaten, dan tidak mudah dari penjelasan dan data-data di atas membuka
tersulut emosinya, mudah mengalahkan pemahaman kita bahwa buruh perempuan yang
dalam arti ditekan. bekerja di pabrik-pabrik yang sebenarnya
2. Dalam nilai-nilai patriarkhi tenaga perem- mereka sebagai soko guru bagi pabrik di dalam
puan tidak pernah dinilai sebagai mendukung proses produksi ternyata
sumbangan utama, melainkan hanya
mengalami kondisi ketidakadilan gender yang
sebagai pelengkap belaka. Pandangan ini,
berasal dari nilai-nilai patriarkhi yang
kemudia dirumuskan dan termanifestasi
membungkus dalam kehidupan sosial yang
dalam diskriminasi upah, di mana upah
buruh perempuan diberikan dengan nilai begitu menginternalisasi sehingga buruh
berada di bawah upah buruh laki-laki perempuan itu sendiri terkadang tidak merasa
dengan beban kerja yang sama. dieksploitasi dengan berbagai macam
manifestasi ketidakadilan gender yang tetap
KESIMPULAN mewarnai irama kehidupan perempuan dengan
Memerangi ketidakadilan sosial sepan- status sosial apapun, tetapi kondisi munculnya
jang sejarah kemanusiaan, selalu menjadi tema kapitalisme dengan pendirian pabrik-pabrik
menarik dan tetap akan menjadi tema penting industri manufaktur yang membawa persoalan-
dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang persoalan yang berakar dari ketimpangan
kemasyarakatan. Sejarah kemanusiaan dalam gender yang berakibat kondisi ketidakadilan
memerangi ketidakadilan sosial telah gender yang berkepanjangan yang
melahirkan analisis sosial. Termasuk di dalam menyudutkan posisi perempuan.
konteks permasalahan ketidakadilan gender Sebagai kesimpulan terakhir jelaslah
yang terjadi antara laki-laki dan perempuan bahwa buruh perempuan di pabrik dengan
dalam skop buruh perempuan di dalam pabrik. kondisi realitas yang bias gender laki-laki,
Pada kondisi ini banyak sekali terlihat mereka mengalami ketidakadilan gender dan
ketimpangan-ketimpangan hubungan sosial mereka sebagai korban ketidakadilan dari
yang termanifestasi dalam ketidakadilan nilai-nilai patriarkhi yang masih mewarnai
gender. irama kerja mereka sehari-hari dari deru asap
Dalam konteks buruh perempuan di industri yang mereka hidupkan sebagai
pabrik. Mengapa buruh perempuan dianggap eksploitasi dari suatu sistem yang belum
berbeda dengan laki-laki yang mengakibatkan berpihak dan berkeadilan gender. Kiranya
terjadinya perbedaan di dalam konsep nilai- kondisi ini memang tidaklah bisa dan layak
nilai sosial yang egaliter yang termanifestasi terus-menerus untuk dapat dipertahankan, karena
dalam kondisi marginalisasi, subordinasi, dan bagaimanapun penindasan itu bertentangan
streotipe serta kondisi di dalam pabrik yang dengan keadilan dan hak asasi manusia untuk
real terjadi seperti perbedaan jenis pekerjaan, dapat hidup layak dari pekerjaan yang
pemberian upah, penyediaan fasilitas kerja, dikerjakannya tetapi memperoleh hasil yang
jenjang karier sampai kepada pelecehan berbeda karena perbedaan gender.
seksual.
Sebenarnya kalau kita mencermati SARAN
bahwa konsep gender itu sendiri membatasi 1. Diperlukan sensitivitas gender pada semua
juga ruang gerak pada laki-laki dengan adanya lapisan apakah itu pengusaha industri,
pembatasan peran-peran tertentu. Akan tetapi pemerintah, masyarakat maupun para
secara umum yang sangat dirugikan akibat buruh perempuan tersebut dalam
ketimpangan gender ini adalah perempuan. Hal meminimalisir persoalan-persoalan bias
gender di pabrik.
8
Daulay, Buruh Perempuan…

2. Diperlukan penerapan dan pengawasan


terhadap Inpres No. 9 tahun 2000 dan
sehingga bisa diterapkan pengarusutamaan
gender sehingga keadilan gender terwujud
di dalam semua sektor termasuk sektor
industri manufaktur.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogya, Pustaka Pelajar.

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogya, Pustaka Pelajar.

Grijns, Mies, et al. 1992. Gender, Marginalisasi, dan Industri Pedesaan, Pengusaha, Pekerja
Upahan dan Pekerja Keluarga Wanita di Jawa Barat. Bandung, PSP.

IPB, ISS, PPLH – ITB, Seri Laporan Penelitian No. RB – 6.

Moore, Henrietta L. 1988. Feminism and Antropology. Cambridge, Polity Press.

Nasikun. 1990. Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan, dalam Populasi No. 1, PPK
UGM.

Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta,
Pustaka Utama, Grafiti.

Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogya, Kanisius.

Susilastuti, Dewi, H. Dkk. 1994. Feminisasi Pasar Tenaga Kerja. Yogyakarta, PPK UGM.

Wahyuni, Budi. 1997. Terpuruk di Ketimpangan Gender. Yogyakarta, Laporan Pustaka.

Yasanti. 1998. Pergulatan Hidup Buruh Perempuan. Refleksi Perjalanan Yasanti dalam
Mendampingi Buruh Yogya.

. Tabloid Annisa, Suara Kaum Perempuan No. III/12/1996, untuk kalangan sendiri.

Potrebbero piacerti anche