Sei sulla pagina 1di 20

HALAMAN JUDUL

EKSISTENSI MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM UPAYA


PENGAKUAN ATAS PENGUASAAN HUTAN ADAT
(Studi Kasus : Masyarakat Adat Long Isun)

Suryaaji Rachma Damarjati, Marsha Audia, A. Cundara Anliji Sidabutar, Brian


Bagus Wiyan Putra, Hizkia Andhian Pradipta, Muhamad Hanif Renanda, Sekar
Dewi Rachmawati, Addin Ma’rifatur Rahman, Fadil Muhammad

(Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Jl. MT. Haryono No.169 Malang, Jawa
Timur, Indonesia, +62 341 553898, hukum@ub.ac.id)

Abstract
Indonesia is a country that upholds respect for adat, Indonesia has legally
recognized the existence and rights of indigenous peoples. The challenges of
managing and protecting forests in Indonesia often come from local communities
around forests. This study aims to examine the relationship between the recognition
of Indigenous Peoples and Indigenous Forests with the conditions that must be
fulfilled by the Long Isun Indigenous people in the customary forest conflict that is
being fought for and the analysis related to PMK and the Long Isun Village Law and
the conditions regarding the Draft Community Law Customary law. The research
found that in reality up to now the government has not been serious in implementing
the decision of the Constitutional Court, as evidenced by the status and function of
customary forests in customary law communities depending on the status of the
existence of these customary law communities. as happened to the Long Isun
indigenous people. Therefore, the government needs to regulate further the existence
of customary law communities through the Draft Law on Adat Law Communities to
be ratified immediately, so that the existence of customary law communities whose
status has not been recognized even though in reality they still exist will be
increasingly clear. In addition, it can provide confirmation of the rights of indigenous
and tribal peoples in control of natural resources and the rights of indigenous and
tribal peoples over these customary territories.

i
Abstrak
Negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penghormatan
terhadap adat, Negara Indonesia secara yuridis juga telah mengakui keberadaan dan
hak-hak masyarakat adat tantangan pengelolaan dan perlindungan hutan di Indonesia
seringkali berasal dari masyarakat lokal sekitar hutan. Studi ini bertujuan mengkaji
hubungan mengenai pengakuan masyarakat Adat dengan Hutan Adat dengan syarat-
syarat yang harus dipenuhi masyarakat Adat Long Isun dalam konflik hutan adat yang
sedang diperjuangkannya tersebut dan analisis terkait PMK dan Undang-Undang
Desa Long Isun serta kondisi mengenai Rancangan Undang-Undang Masyarakat
Hukum Adat. Penelitian menemukan Sepanjang kenyataannya hingga sekarang
pemerintah belum serius dalam melaksanakan putusan dari Mahkamah Konstitusi
tersebut, terbukti dengan status dan fungsi hutan adat dalam masyarakat hukum adat
bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat tersebut, padahal dapat
dimungkinkan adalah pada kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui
keberadaannya, seperti yang terjadi pada masyarakat adat Long Isun. Oleh karena itu
pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai keberadaan dari masyarakat hukum
adat melalui RUU Masyarakat Hukum Adat untuk segera di sahkan, sehingga
keberadaan dari masyarakat hukum adat yang statusnya belum diakui padahal pada
kenyataannya masih ada akan semakin jelas. Selain itu, dapat memberikan penegasan
atas hak dari masyarakat hukum adat dalam penguasaan sumber daya alam dan hak
masyarakat hukum adat atas wilayah adat tersebut.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
I.1 Latar Belakang...................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
I.3 Tujuan Pembahasan...........................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................4
PEMBAHASAN...........................................................................................................4
II.1 Eksistensi Masyarakat Adat Long Isun dalam Kacamata UU Kehutanan
dan Peraturan Daerah dibawahnya.......................................................................4
II.2 Syarat Pengakuan Masyarakat Adat Long Isun............................................6
II.3 Analisis Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2012 dan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa........................................................................9
II.4 Perkembangan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum
Adat dan Korelasinya dengan Masyarakat Adat Long Isun.............................10
BAB III........................................................................................................................14
PENUTUP...................................................................................................................14
III.1 Kesimpulan....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 cukup
menjelaskan tentang keberadaan dan pengakuan masyarakat adat, dimana dalam pasal
18B ayat (2) Negara telah menjamin keberadaan masyarakat hukum adat yang ada di
Indonesia dengan memberikan pengakuan bersyarat. Berlandaskan pengakuan yang
tertuang dalam pasal 18B ayat (2) tersebut hak-hak masyarakat adat secara yuridis
telah dilindungi sebagai subjek hukum dan juga hak tradisionalnya oleh negara. Selain
itu, terdapat di dalam Undanng-Undang Dasar Negara Tahun 1945 yang termuat
dalam pasal 33 ayat (3) dimana Negara secara tegas menyebutkan bahwa bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga melalui Undang-
Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengatur mengenai hutan
adat.
Negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penghormatan
terhadap adat, Negara Indonesia secara yuridis juga telah mengakui keberadaan dan
hak-hak masyarakat adat. Namun penerbitan Undang-Undang yang melindungi hutan
adat dan hak masyarakat adat tidak menjamin bahwa konflik hutan adat tidak terjadi
kembali, dimana dalam web Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tercatat masih ada 433 pengaduan konflik hutan
adat di Indonesia dan 47 hutan masih dalam tahap usulan pengakuan hutan adat.
Masyarakat adat Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam
Ulu, Kalimantan Timur pada hari Senin 10 Februari 2020 lalu berangkat menemui
Ketua DPRD Kalimantan Timur di Kantor DPRD Kalimantan Timur, Jalan Teuku
Umar Samarinda. Berangkatnya masayarakat adat Long Isun menemui Ketua DPRD
merupakan bentuk pengambilan sikap, dimana masyarakat kini tengah
memperjuangkan pengakuan atas hutan adat yang masuk konsesi PT Kemakmuran
Berkah Timber (KBT) yang memegang hak penguasaan hutan (HPH) di Kecamatan
Long Paranghai.
Sekiranya terdapat 13.150 hektar tanah konsesi PT.KBT yang mencakup hutan
adat masyarakat daerah Long Isun, dari total keseluruhan konsesi 82.810 hektar.
Masyarakat Long isun sendiri kini tengah meminta adanya payung hukum terkait

iv
pengakuan hutan adat melalui Pemerintah Daerah baik berupa SK Bupati maupun
Peraturan Daerah (Perda).
Saat ini masyarakat adat Long Isun juga tengah mempersiapkan draf Raperda
dan Naskah Akademik guna pengakuan hutan adat, sebab dalam adanya pengakuan
hutan adat harus terdapat pengakuan pemerintah daerah sebelum adanya pengakuan
dari pemerintah pusat. Namun sampai saat ini pemerintah daerah sendiri masih belum
memberikan pengakuan hutan adat dengan berbagai alasan. Ditinjau dari beberapa
payung hukum seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014
tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum adat, Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu Nomor 7
Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan Pemberdayaan Masyarakat Hukum
Adat dan Lembaga Adat, serta keputusan Bupati Mahakam Ulu Nomor
800.05.140.436.1/K.185d/2017 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum
Adat, dari keseluruhan payung hukum diatas, Pemerintah daerah disini tidak dapat
menunda atau tidak memberikan pengakuan hutan adat Long Isun, sehingga
seharusnya tidak ada perjuangan pengakuan hutan adat oleh masyarakat adat yang
dibiarkan begitu saja bersengketa bahkan selama 6 tahun oleh pemerintah daerah
setempat seperti di daerah Long Isun ini.

I.2 Rumusan Masalah


Di dalam beberapa aspek yang sudah dijelaskan dalam latar belakang diatas, maka di
dalam bab pembahasan akan menjelaskan tentang :

1. Bagaimana hubungan pengakuan Masyarakat Adat dengan peraturan tentang


Hutan Adat dan Peraturan Daerah dibawahnya?
2. Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi Masyarakat Adat Long Isun dalam
konflik hutan adat yang sedang diperjuangkannya tersebut?
3. Bagaimana analisis terkait PMK dan Undang-Undang Desa Long Isun?
4. Bagaimana kondisi mengenai Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum
Adat?

v
I.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui eksistensi Masyarakat Adat khususnya Masyarakat Adat
Long Isun dalam peraturan perundang-undangan dan Peraturan Daerah
2. Untuk mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi Masyarakat Adat Long
Isun agar mendapat pengakuan dalam konflik Hutan Adat yang sedan
diperjuangkan
3. Untuk mengetahui Putusan MK dan Undang-Undang Desa mengenai
Masyarakat Adat
4. Untuk mengetahui Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum
Adat

vi
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Eksistensi Masyarakat Adat Long Isun dalam Kacamata UU Kehutanan dan
Peraturan Daerah dibawahnya
Pengelolaan hutan di Indonesia di atur di dalam UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan. Dalam pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, masyarakat dapat menggunakan hutan adat untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari hari, melakukan pengelolaan hutan sesuai hukum adat yang berlaku,
mendapat pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan 1. Dari uraian
tersebut, dapat diartikan bahwa Pasal 67 ayat (1) memberikan kesempatan dan ruang
kepada masyarakat adat untuk dapat mengelola hutan adat yang bertujuan untuk
menunjang kehidupan masyarakat adat. Namun sebelum masyarakat hukum adat
dapat mengelola hutan, mereka harus mendapat pengakuan terlebih dahulu dari
pemerintah.
Dalam pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan peraturan daerah2. Secara tidak langsung, keberadaan masyarakat hukum adat
juga diakui dalam pasal 67 ayat (2) melalui perda masing masing daerah. Namun, hal
ini mengakibatkan masyarakat hukum adat yang ingin mengurusi dan mengusahakan
hutan adat harus meminta izin dahulu kepada pemerintah, sebagai penguasa atau
pemilik atas hutan tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) UU No. 41
Tahun 1999, hal ini juga terjadi kepada masyarakat adat yang terletak di Provinsi
Kalimantan Timur, Kabupaten Mahakam Ulu, yaitu masyarakat adat Long Isun.3
Menurut UU Kehutanan, Hutan adat adalah hutan yang dimiliki oleh negara4.
Pasal tersebut dapat menyebabkan hak-hak masyarakat hukum adat Long Isun untuk
melakukan pengelolaan hutan adat yang diwariskan sejak zaman nenek moyang
mereka malah dibatasi oleh negara melalui peraturan mengenai perizinan, negara

1
Pasal 67 Ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2
Pasal 67 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
3
Wahyu Nugroho, “Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Hutan Adat:
Fakta Empiris Legalisasi Perizinan”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, 2014, 112
4
Pasal 5 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

vii
tidak menerima dan tidak mau untuk membuka diri terhadap kearifan -kearifan lokal
atau nilai-nilai adat lokal yang masih diberlakukan oleh masyarakat adat Long Isun.5
Masyarakat Adat Long Isun di Kalimantan Timur ini merasakan akibat dari
pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan ini. Walaupun Pemerintah sudah menerbitkan Perda
Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Kalimantan Timur; Perda
Kabupaten Mahakam Ulu No. 7 Tahun 2018 tentang Pengakuan, Perlindungan,
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga Adat; serta Keputusan Bupati
Mahakam Ulu nomor 800.05.140.436.1/k.185d/2017 tentang Pembentukan Panitia
Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Mahakam Ulu, pemerintah daerah tidak segera
memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat Long Isun6.
Dalam pasal 8 ayat (1) Perda Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2015,
menghendaki dibentuknya panitia masyarakat hukum adat supaya bisa melakukan
proses pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat7. Proses pembentukan
panitia sebenarnya sudah dibentuk oleh Bupati Mahakam Ulu melalui Keputusan
Bupati Mahakam Ulu nomor 800.05.140.436.1/k.185d/2017. Walaupun sudah
dibentuk panitia, namun janji hanya sekedar janji, instrumen hukum menjadi
formalitas namun minim adanya pelaksanaan. Sudah bertahun tahun terbentuknya
panitia namun mekanisme pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Long Isun
tidak kunjung dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Perda Provinsi Kalimantan
Timur No. 1 Tahun 2015.
Keberadaan hukum nasional, pada waktunya akan menggerus akses
masyarakat adat atas kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya8. Pasal 67 ayat (2)
UU No. 41 Tahun 1999 berpotensi semakin memperlambat proses masyarakat Long
Isun diakui menjadi masyarakat adat sehingga masyarakat adat dapat kehilangan
potensi sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak masyarakat adat Long Isun
itu sendiri. Hal ini dikarenakan, proses pembuatan perda dapat menimbulkan proses
politik yang panjang dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan para
pemangku jabatan. Sudah banyak perda yang diterbitkan dan berbagai upaya telah
5
Wahyu Nugroho, “Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Hutan Adat:
Fakta Empiris Legalisasi Perizinan”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, 2014, 113
6
Kompas, https://regional.kompas.com/read/2020/02/06/05583001/satu-dekade-konflik-dengan-
perusahaan-kayu-ini-perjuangan-masyarakat-long, diakses 25 April 2020
7
Pasal 8 Ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Timur
8
Rachmad Safaat, “Relasi Negara dan Masyarakat Adat : Perebutan Kuasa atas hak Pengelolaan
Sumber Daya Alam”, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2015), hlm 29

viii
dilakukan, namun masyarakat Long Isun tidak segera diakui keberadaannya sebagai
masyarakat adat. Menurut ICEL, proses yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah
dalam mengambil keputusan ialah : memberikan berita jadwal pembahasan dan
tahapan pengambilan keputusan; lalu menyebarkan informasi tersebut kepada
masyarakat yang akan terkena dampak dari kebijakan yang akan diputuskan; dan
pemerintah harus menggunakan berbagai cara yang tepat supaya dapat dipahami oleh
berbagai kalangan masyarakat9, dalam hal ini, keputusan yang diambil ialah
pemberian izin kepada PT. KBT. Peraturan perundang-undangan yang ada dan
berlaku tidak bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat Long Isun dalam
upaya memperjuangkan hak mengelola lingkungannya.10
Tidak adanya peraturan yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan
mekanisme pengakuan masyarakat adat khususnya Long Isun, mempengaruhi
jalannya proses pengakuan tersebut. Kemauan dari pemerintah daerah sebagai
pemangku jabatan dan pembuat kebijakan untuk segera mengakui keberadaan
masyarakat adat Long Isun juga memiliki peran yang besar dalam proses ini sehingga
masyarakat adat Long Isun dapat memperjuangkan dan mengusahakan sumber daya
alam yang seharusnya menjadi hak mereka. Banyaknya perda dan keputusan yang
sudah diterbitkan pemerintah daerah baik tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten,
tidak menjadi jaminan dilaksanakannya pengakuan terhadap masyarakat adat Long
Isun ini. Jika permasalahan ini tidak segera menemui jalan keluar, maka hal ini dapat
menjadi bom waktu bagi masyarakat adat lain yang ingin mendapatkan pengakuan
sebagai masyarakat adat yang berhak untuk mengelola potensi sumber daya alam
yang dimilikinya, maka perjuangan masyarakat adat Long Isun menjadi sia sia karena
pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan beresiko menimbulkan proses politik dan konflik
kepentingan yang panjang.

II.2 Syarat Pengakuan Masyarakat Adat Long Isun


Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang merasa terikat satu sama
lain untuk hukum adatnya sendiri, yang dipatuhi, yang memiliki pemerintahan
berdaulat dan memiliki harta (kekayaan). Menurut dasar susunannya, struktur
persekutuan masyarakat hukum adat di Indonesia di golongkan menjadi dua:
9
Yustisia Rahman, dkk, “Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah : Kinerja Pemerintah Daerah Dalam
Pengelolaan Hutan dan Lahan di Indonesia (Studi Kasus Pada 9 Kabupaten)”, (ICEL, 2013), hlm 16
10
Rachmad Safaat, “Relasi Negara dan Masyarakat Adat : Perebutan Kuasa atas hak Pengelolaan
Sumber Daya Alam”, (Malang: Surya Pena Gemilang, 2015), hlm 36-37

ix
1. Geneologis: kesatuan berlandaskan pertalian darah (patrilinial,matrilinial, dan
parental)
2. Teritorial: kesatuan terikat pada suatu daerah tertentu (persekutuan
desa,daerah, dan perkampungan)

Untuk dapat diakuinya sebuah masyarakat hukum adat di Indonesia, dibutuhkan


pengakuan serta pengaturan dalam perundang-undangan sehingga masyarakat adat
tersebut memiliki payung hukum atas eksistensinya di negara ini. Pengakuan
masyarakat hukum adat telah dilakukan sejak Indonesia berdiri11 Undang-Undang
No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria juga mengatur mengenai bagaimana
masyarakat hukum adat Indonesia.
Sebelum amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
masyarakat hukum adat telah diakui dengan segala susunan aslinya yang merupakan
suatu hal yang istimewa. Sebagai susunan asli, kerapkali desa mewujudkan diri
sebagai dorps republick atau ‘negara kecil’ sebagai lawan kata ‘negara besar’ yang
mengacu pada suatu tatanan modern state.12 Kontruksi pengakuan Masyarakat Hukum
Adat pasca amandemen dalam Konstitusi diatur dalam:

1. Pasal 18 B ayat (2) : tentang kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan


hak tradisional masyarakat hukum adat dengan 4 syarat:
a) sepanjang masih hidup: eksistensi masyarakat berkelompok, pranata
pemerintahan, norma dan wilayah hukum adat
b) sesuai dengan perkembangan masyarakat: mencerminkan nilai ideal
masyarakat saat ini
c) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia: secara tidak
melawan hukum dan tidak mengancam kedaulatan serta persatuan negara
d) diatur dalam Undang-Undang
2. Pasal 28 I ayat (3) : tentang identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dengan syarat selaras dengan perkembangan zaman
3. Pasal 32 ayat (1) dan (2) : tentang hak untuk mengembangkan nilai budaya
dan bahasa daerah sebagai kekayaan daerah tersebut
11
Mochamad Adib Zain dan Ahmad Siddiq, ‘Pengakuan Atas Kedudukan dan Keberadaan Masyarakat
Hukum Adat (MHA) Pasca Dibentuknya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa’, Jurnal
Penelitian Hukum Vol.2 , No.2 (Juli 2015):67. Diakses 27 April 2020. Doi:
https://media.neliti.com/media/publications/122554-ID-pengakuan-atas-kedudukan-dan-
keberadaan.pdf
12
R. Yando Zakaria,2004, ‘Merebut Negara’, Lapera Pustaka Utama dan KARSA, Yogyakarta, hlm.31

x
Selain itu terdapat pula empat putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan
keberadaan masyarakat hukum adat yakni putusan MK 001-21-22/PUU-I/2003 ,
putusan MK 10/PUU-I/2003, putusan MK 35/PUU-X/2012 dan putusan MK
006/PUU-III/2005. Hal ini berimplikasi kepada kemajuan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Dengan adanya konstruksi pengakuan tersebut, masyarakat hukum adat di
Indonesia memiliki landasan untuk berpijak dan legal standing dalam sistem hukum
Indonesia. Selain itu pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin masyarakat
adat itu sendiri dari diskriminasi dan kekerasan. Namun pada kenyataanya, justru
masyarakat hukum adat banyak menemui ketidakteraturan hukum dimana dapat
terjadi karena banyak sebab, bisa jadi karena keberagaman istilah dan banyaknya
dimensi maupun lembaga yang menangani masalah masyarakat hukum adat di
Indonesia13Sehingga kondisi tersebut berimplikasi pada masyarakat hukum adat
diperlakukan dalam operasionalnya.
Hal ini terjadi pula pada masyarakat adat Long Isun, salah sebuah kampung di
kecamatan Long Pahangai, kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Kampung
ini selalu menjunjung tinggi penjagaan ekosistem alam baik hutan, sungai dan lain
sebagainya serta kelestariannya sebagai ciri khas masyarakat adatnya. Mereka tetap
memiliki batasan akan pembuatan lahan baru atau pembukaan hutan yang akan
mereka gunakan sebagai ladang. Masyarakat Long Isun ini juga memegang teguh
adat dan istiadat serta kepercayaan nenek moyang terdahulu meskipun sekarang telah
memeluk agama yang sah di Indonesia. Masyarakat Long Isun juga memiliki
kekayaan alam yang sangat banyak dan masih alami.
Dari fakta-fakta yang berada di lapangan, masyarakat Long Isun sudah secara jelas
dan terang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat
yang resmi dari Pemerintah. Namun hal itu tidak mereka dapatkan sehingga
masyarakat pun kesulitan untuk mengelola hutan adatnya sendiri karena status
tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh pemerintah kabupaten dan DPRD
Mahakam Hulu. Karena bagi masyarakat adat Long Isun, hutan, tanah dan sungai
bukan hanya untuk kehidupan mereka saat ini, namun untuk kehidupan yang akan
datang pula. Menjaga dan merawat hutan merupakan tanggung jawab secara turun-
temurun dari nenek moyang yang harus mereka jaga baik-baik. Birokrasi yang rumit
13
Sulaiman, dkk, ‘Ketidakteraturan Hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di
Indonesia’ , Law Reform Vol.15, No.1 (Maret2019):21. Diakses 27 April 2020. Doi:
https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23352

xi
membuat masyarakat adat Long Isun harus mengeluarkan ekstra selama bertahun-
tahun untuk memperjuangkan status mereka di mata hukum sebenarnya.

II.3 Analisis Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2012 dan Undang-undang Nomor 6


Tahun 2014 tentang Desa
Pada tanggal 16 Juni 2013, Mahkamah Konstitusi telah membacakan keputusan
terkait Judicial Review UU nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang diajukan
oleh  3 aliansi masyarakat hukum adat yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kasepuhan Cisitu. Bagi masyarakat hukum adat, UU Kehutanan
memberikan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya, negara telah mengambil alih
hak dari kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya yang kemudian
dijadikan sebagai hutan negara, hal tersebut telah memunculkan berbagai kepentingan
negara yang sangat merugikan hak bagi kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah
tersebut. Dalam putusan No. 35/PUU-IX/2012, Mahkamah konstitusi memberikan
setidaknya tiga penegasan terkait judicial review UU nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, yaitu :

1. Bahwa masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah dan sumber
daya alam, termasuk atas hutan adat
2. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat, dan
bukan lagi sebagai hutan negara
3. Mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan putusan
MK No. 35/PUU-IX/2012 baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah

Salah satu bentuk dari penegasan dari putusan Mahkamah Konstitusi ini juga
terkait dalam pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dengan frasa “Penguasaan hutan oleh
Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional” harus dimaknai lebih tegas, sehingga negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradionalnya, sejalan
dengan pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini terjadi di masyarakat hukum
adat Long isun yang keberadaannya masih belum diakui oleh pemerintah, hak yang
seharusnya dimiliki oleh masyarakat long isun terancam dengan adanya keberadaan

xii
perusahaan yang melakukan kerusakan lingkungan, pada khususnya hutan di wilayah
desa Long isun. Padahal bagi masyarakat adat Long isun hutan bukan hanya sekedar
identitas bagi masyarakat Dayak, tapi juga merupakan sumber kehidupan bagi
mereka.
Sepanjang kenyataannya hingga sekarang pemerintah belum serius dalam
melaksanakan putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut, terbukti dengan status dan
fungsi hutan adat dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan
masyarakat hukum adat tersebut, padahal dapat dimungkinkan adalah pada
kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya.
Hal tersebut dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat hukum adat yang
bersangkuan. Ini terjadi juga di dalam UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, di dalam
bab XII dan XIII yang memuat mengenai keberadaan desa adat, dalam bab tersebut di
jelaskan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangatlah merugikan
hak dari masyarakat hukum adat yang meskipun pada kenyataannya ada namun status
dari keberadaannya tidak di akui oleh negara.
Oleh karena itu pemerintah perlu mengatur lebih lanjut mengenai keberadaan
dari masyarakat hukum adat melalui RUU Masyarakat Hukum Adat untuk segera di
sahkan, sehingga keberadaan dari masyarakat hukum adat yang statusnya belum
diakui padahal pada kenyataannya masih ada akan semakin jelas. Selain itu, dapat
memberikan penegasan atas hak dari masyarakat hukum adat dalam penguasaan
sumber daya alam dan hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat tersebut.

II.4 Perkembangan Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum


Adat dan Korelasinya dengan Masyarakat Adat Long Isun
Salah satu instrumen hukum yang dapat membantu Masyarakat Adat Long
Isun beserta wilayahnya untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum adalah
dengan adanya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Namun, sayangnya hal itu
belum dapat terealisasikan karena Rencana Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat
sampai saat ini belum disahkan dan masih di dalam daftar Prolegnas Prioritas No. 32
Tahun 2020. RUU ini menjadi korban karena dikesampingkan dan proses legislasinya
yang terus menerus ditunda. Wacana atas RUU ini telah ada sejak pemerintahan Pak

xiii
Susilo Bambang Yudhoyono dan setelah dua periode DPR belum ada kelanjutan yang
signifikan dan mangkrak.
Padahal, jika RUU ini disahkan, akan sangat membantu proses pengakuan
Masyarakat Adat Long Isun beserta wilayahnya termasuk hutan yang telah mereka
kelola secara turun-temurun. Di dalam RUU Masyarakat Hukum Adat, termuat satu
bab khusus yang merumuskan hak dan kewajiban Masyarakat Adat atas Wilayah Adat
dan sumber daya alam yang dikandungnya, yang selama ini diperjuangkan oleh
Masyarakat Adat Long Isun. Hak atas Wilayah Adat dan sumber daya alam yang
dikandungnya dirumuskan dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23. Berikut
penjabarannya :
Pasal 20 merumuskan tentang hak atas wilayah adat, akibat hukum
dari pasal ini adalah wilayah tidak dapat dikelola dan dikuasai oleh
perusahaan dan tidak dapat dialihkan pada pihak lain.14
Pasal 21 merumuskan hak Masyarakat Adat dalam perencanaan,
pengembangan dan pemanfaatan secara berkelanjutan dengan kearifan
lokal. Pengaruh dari pasal ini adalah tiap wilayah adat memiliki
kebijakan perencanaan atas wilayah adatnya masing-masing karena
tiap Masyarakat Adat memiliki kearifan lokalnya masing-masing.9
Pasal 22 merumuskan hak Masyarakat Adat untuk melakuan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di
wilayah adatnya sesuai dengan kearifan lokal tiap-tiap Masyarakat
Adat. Sumber daya alam mencakup segala sesuatu, baik yang berada di
permukaan tanah maupun di dalam tanah termasuk perairan.9
Rumusan yang dimuat dalam Pasal 23 RUU Masyarakat Hukum Adat
ialah apabila di dalam wilayah adatnya terdapat sumber daya alam
yang memiliki peranan penting dan memengaruhi hajat hidup orang
banyak, maka negara dapat melakukan pengelolaan terhadap sumber
daya alam tersebut atas persetujuan Masyarakat Adat. Apabila negara
atau perusahaan melakukan pengelolaan sumber daya alam tersebut,
maka mereka wajib memberi kompensasi kepada Masyarakat Adat
yang yang berhak atas Wilayah Adat tersebut. Selain menerima
kompensasi, Masyarakat Adat juga berhak menerima manfaat utama
dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau dalam kata
14
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat

xiv
lain menerima hasil eksploitasi sumber daya alam. Ketentuan
mengenai bentuk dan tata cara pemberian kompensasi bagi Masyarakat
Adat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.9

Belum optimalnya perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat, ditambah


lagi dengan RUU yang berkaitan selalu dikesampingkan tentu saja mengarah pada
sering terjadinya konflik antara Masyarakat Adat dengan perusahaan yang
mengeksploitasi di wilayah mereka15, seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat
Long Isun. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang gencar memajukan
sektor perekonomian, contoh di lapangan adalah pemerintah yang saat ini tengah
fokus pada omnibus law yang salah satu kebijakannya adalah mempermudah
masuknya inverstor-investor ke Indonesia dan berkesan semakin mengancam
eksistensi keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia. Sayang sekali keberadaan
Masyarakat Adat di Indonesia justru menjadi minoritas di negeri sendiri.
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat memerlukan perhatian khusus dari
negara. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia tidak bisa kita pungkiri.
Dengan tersebarnya Masyarakat Hukum Adat, sangat kerap terjadi persoalan hukum
seperti misalnya perampasan wilayah yang dikelola oleh Masyarakat Adat, seperti
halnya yang terjadi kepada Masyarakat Adat Long Isun, baik oleh pemerintah maupun
perusahaan. Sudah saatnya bagi negara untuk segera menguatkan dan mengakui
kedudukan Masyarakat Adat dan segera mengesahkan RUU tentang Masyarakat
Hukum Adat salah satu bentuk nyatanya.16

BAB III

PENUTUP

15
DITJENPP KEMENKUMHAM : “RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN
DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT”
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pembahasan-ruu/63-rancangan-peraturan/rancangan-peraturan-
pemerintah/2453-rancangan-undang-undang-tentang-pengakuan-dan-perlindungan-hak-masyarakat-
hukum-adat.html diakses tanggal : 18 April 2020.
16
Jurnal “Urgensi Pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat” oleh
Harris Y.P. Sibuea, dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Vol. XI,
No.04/II/Puslit/Februari/2019 diakses tanggal : 18 April 2020.

xv
III.1 Kesimpulan
Masyarakat adat long isun adalah masyarakat asli dari kalimantan timur.
Masyarakat adat ini memiliki tempat tinggal di sebuah kampung di kecamatan Long
Pahangai, kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Masyarakat ini memiliki
sebuah hutan adat yang mereka kelola untuk kepentingan mereka. Namun keberadaan
hutan adat ini belum diakui secara penuh oleh pemerintah. Sebenarnya pemerintah
daerah kalimantan timur sudah membuat sebuah panitia masyarakat hukum adat yang
tertulis dalam UU Perda Provinsi Kalimantan Timur No. 1 Tahun 2015 Guna
mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Namun hingga
sekarang Walaupun sudah dibentuk panitia, namun janji hanya sekedar janji,
instrumen hukum menjadi formalitas namun minim adanya pelaksanaan. Sudah
bertahun tahun terbentuknya panitia namun mekanisme pengakuan dan perlindungan
masyarakat adat tidak kunjung dilakukan. Untuk mendapatkan pengakuan dari
pemerintah maka mereka harus mendapat pengakuan terlebih dahulu dari pemerintah.
Dalam pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan
bahwa :
“Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah”.17
Namun proses pembuatan perda dapat menimbulkan proses politik yang
panjang dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan para pemangku
jabatan. Sudah banyak perda yang diterbitkan dan berbagai upaya telah
dilakukan, namun masyarakat Long Isun tidak segera diakui keberadaannya
sebagai masyarakat adat.
Syarat syarat pengakuan Masyarakat Hukum Adat pasca amandemen dalam
Konstitusi diatur dalam:

1. Pasal 18 B ayat (2) : tentang kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan


hak tradisional masyarakat hukum adat dengan 4 syarat:
a) sepanjang masih hidup: eksistensi masyarakat berkelompok, pranata
pemerintahan, norma dan wilayah hukum adat
b) sesuai dengan perkembangan masyarakat: mencerminkan nilai ideal
masyarakat saat ini

17
Pasal 67 ayat (2) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan

xvi
c) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia: secara tidak
melawan hukum dan tidak mengancam kedaulatan serta persatuan negara
d) diatur dalam Undang-Undang18
2. Pasal 28 I ayat (3) : tentang identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dengan syarat selaras dengan perkembangan zaman19
3. Pasal 32 ayat (1) dan (2) : tentang hak untuk mengembangkan nilai budaya
dan bahasa daerah sebagai kekayaan daerah tersebut20

Selain itu terdapat pula empat putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan
keberadaan masyarakat hukum adat yakni putusan MK 001-21-22/PUU-I/2003 ,
putusan MK 10/PUU-I/2003, putusan MK 35/PUU-X/2012 dan putusan MK
006/PUU-III/2005. Hal ini berimplikasi kepada kemajuan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat di Indonesia.
Dari fakta-fakta yang berada di lapangan, masyarakat Long Isun sudah secara jelas
dan terang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat adat
yang resmi dari Pemerintah. Namun hal itu tidak mereka dapatkan sehingga
masyarakat pun kesulitan untuk mengelola hutan adatnya sendiri karena status
tersebut belum ditetapkan secara resmi oleh pemerintah kabupaten dan DPRD
Mahakam Hulu. Karena bagi masyarakat adat Long Isun, hutan, tanah dan sungai
bukan hanya untuk kehidupan mereka saat ini, namun untuk kehidupan yang akan
datang pula. Menjaga dan merawat hutan merupakan tanggung jawab secara turun-
temurun dari nenek moyang yang harus mereka jaga baik-baik. Birokrasi yang rumit
membuat masyarakat adat Long Isun harus mengeluarkan ekstra selama bertahun-
tahun untuk memperjuangkan status mereka di mata hukum sebenarnya.
Salah satu instrument hukum yang dapat membantu Masyarakat Adat Long
Isun beserta wilayahnya untuk mendapat perlindungan dan kepastian hukum adalah
dengan adanya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Namun, sayangnya hal itu
belum dapat terealisasikan karena Rencana Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat
sampai saat ini belum disahkan dan masih di dalam daftar Prolegnas Prioritas No. 32
Tahun 2020. RUU ini menjadi korban karena dikesampingkan dan proses legislasinya
yang terus menerus ditunda. Wacana atas RUU ini telah ada sejak pemerintahan Pak

18
Pasal 18 ayat (2) Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
19
Pasal 28I ayat (3) Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
20
Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

xvii
Susilo Bambang Yudhoyono dan setelah dua periode DPR belum ada kelanjutan yang
signifikan dan mangkrak.
Padahal, jika RUU ini disahkan, akan sangat membantu proses pengakuan Masyarakat
Adat Long Isun beserta wilayahnya termasuk hutan yang telah mereka kelola secara
turun-temurun. Di dalam RUU Masyarakat Hukum Adat, termuat satu bab khusus
yang merumuskan hak dan kewajiban Masyarakat Adat atas Wilayah Adat dan
sumber daya alam yang dikandungnya, yang selama ini diperjuangkan oleh
Masyarakat Adat Long Isun. Hak atas Wilayah Adat dan sumber daya alam yang
dikandungnya dirumuskan dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23.
Eksistensi Masyarakat Hukum Adat memerlukan perhatian khusus dari
negara. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia tidak bisa kita pungkiri.
Dengan tersebarnya Masyarakat Hukum Adat, sangat kerap terjadi persoalan hukum
seperti misalnya perampasan wilayah yang dikelola oleh Masyarakat Adat, seperti
halnya yang terjadi kepada Masyarakat Adat Long Isun, baik oleh pemerintah maupun
perusahaan. Sudah saatnya bagi negara untuk segera menguatkan dan mengakui
kedudukan Masyarakat Adat dan segera mengesahkan RUU tentang Masyarakat
Hukum Adat salah satu bentuk nyatanya

DAFTAR PUSTAKA

xviii
 Buku
Rahman, Yustisia dkk. Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah : Kinerja
Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan di
Indonesia (Studi Kasus Pada 9 Kabupaten). ICEL, 2013
Safaat, Rachmad, Relasi Negara dan Masyarakat Adat : Perebutan Kuasa
atas Hak Pengelolaan Hutan Sumber Daya Alam. Malang: Surya Pena
Gemilang, 2015
Zakaria,R, Yando. Merebut Negara. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama dan
KARSA, 2004

 Peraturan Perundang-undangan
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 35/puu-ix/2012 .
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 001-21-22/PUU-I/2003.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 10/PUU-I/2003.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 35/PUU-X/2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 006/PUU-III/2005.
Putusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 35/PUU-IX/2012
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014. tentang desa.
Undang – Undang Republik Indonesia. Nomor. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan.
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 5 Tahun 1960. tentang pokok-
pokok agraria
Undang – undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014. tentang desa.
Undang – Undang Republik Indonesia. Nomor. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan.
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 5 Tahun 1960. tentang pokok-
pokok agraria
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor. 32 Tahun 2020.
tentang masyarakat hukum adat
Peraturan daerah Kalimantan Timur Nomor. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi
Kalimantan Timur.

xix
Peraturan daerah Kabupaten Mahakam Ulu Nomor. 7 Tahun 2018 tentang
Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
dan Lembaga Adat.

 Makalah, Jurnal, Artikel dan Desertasi


Nugroho, Wahyu. “Konstitusionalitas Hak Masyarakat Hukum Adat dalam
Mengelola Hutan Adat: Fakta Empiris Legalisasi Perizinan” Jurnal
Konstitusi, Volume 11, Nomor 1, 2014, 112-113
Zain, Mochamad Adib dan Ahmad Siddiq. Pengakuan Atas Kedudukan dan
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Pasca Dibentuknya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 014 Tentang Desa. Jurnal Penelitian
Hukum Vol.2 , No.2 (Juli 2015)
Harris Y.P. Sibuea. “Urgensi Pembentukan Rancangan Undang-Undang
Tentang Masyarakat Hukum Adat” Pusat Penelitian Badan Keahlian
DPR RI. Vol. XI, No.04/II/Puslit/Februari/2019

 Internet
DITJENPP KEMENKUMHAM. “RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK
MASYARAKAT HUKUM ADAT”
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pembahasan-ruu/63-rancangan-
peraturan/rancangan-peraturan-pemerintah/2453-rancangan-undang-
undang-tentang-pengakuan-dan-perlindungan-hak-masyarakat-hukum-
adat.html diakses tanggal : 18 April 2020.
Sulaiman, dkk, ‘Ketidakteraturan Hukum Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat di Indonesia’ , Law Reform Vol.15, No.1
(Maret2019):21. Diakses 27 April 2020. Doi:
https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23352

xx

Potrebbero piacerti anche