Sei sulla pagina 1di 8

REFORMULASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

MODEL GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA

Ade Kosasih
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Bengkulu
Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
Email: adeindrakosasih@iainbengkulu.ac.id

Abstract: The inability of the national long-term development plan (RPJPN) to consolidate different programs between
one President and the next President, results in unsustainable development plans. So there is a desire to revitalize the
outlines of the state’s direction (GBHN) as a guide to national development that was once able to integrate national
development planning in the past. Therefore, it is necessary to reform the GBHN, because the concept of GBHN in
the past is not necessarily relevant to the current state administration system, especially the implications of the GBHN
on the authority of the MPR. The future GBHN systematics will be followed up with the RPJM and the regional mid-
term development plan (RPJMD) in lieu of the five-year development plan. To strengthen the legality of GBHN as a
development planning document, the MPR Decree on GBHN must be interpreted as a fundamental norm, so that if the
President deviates from the GBHN, then the President can be impeached. This means that the position and function of
the MPR and the Constitutional Court (MK) need to be reconstructed, that is, the MPR is given the authority to submit
impeachments and execute MK Decisions related to impeachment of the President in violation of the GBHN, while the
Constitutional Court has the authority to examine and adjudicate requests for impeachment. Thus, it is believed that
development planning can run in an integrated and sustainable manner.
Keywords: Planning; Development, GBHN

Abstrak: Ketidakmampuan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) mengkonsolidasi program-
program yang berbeda antara Presiden yang satu dengan Presiden berikutnya, mengakibatkan rencana pembangunan
tidak berkesinambungan. Sehingga ada keinginan untuk merevitalisasi garis-garis besar haluan negara (GBHN) sebagai
pedoman pembangunan nasional yang pernah mampu mengintegrasikan perencanaan pembangunan nasional di masa
lalu. Oleh sebab itu, perlu dilakukan reformulasi GBHN, karena belum tentu konsep GBHN di masa lampau masih
relevan dengan sistem ketatanegaraan saat ini, terutama implikasi GBHN terhadap kewenangan MPR. Sistematika
GBHN d imasa yang akan datang ditindaklanjuti dengan RPJM dan rencana pembangunan jangka menengah daerah
(RPJMD) sebagai pengganti rencana pembangunan lima tahun. Untuk memperkuat legalitas GBHN sebagai dokumen
perencanaan pembangunan, Tap MPR tentang GBHN haruslah diartikan sebagai staats fundamentalnorm, sehingga jika
Presiden menyimpang dari GBHN, maka Presiden dapat di impeachment. Artinya, kedudukan dan fungsi MPR dan
Mahkamah Konstitusi (MK) perlu direkonstruksi, yaitu MPR diberi kewenangan untuk mengajukan impeachment dan
mengeksekusi Putusan MK terkait impeachment terhadap Presiden yang melanggar GBHN, sedangkan MK berwenang
memeriksa dan mengadili permohonan impeachment. Dengan demikian, diyakini perencanaan pembangunan dapat
berjalan secara integral dan berkesinambungan
Kata kunci: Perencanaan, Pembangunan, GBHN

Pendahuluan adalah kegagalan RPJPN meng­integrasikan pe­


Saat ini issue untuk kembali menjadikan Garis- rencanaan pembangunan nasional. Selain itu,
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai RPJPN lebih berbicara pada tataran teknis praktis
pedoman perencanaan dan penyelenggaraan yang lebih cenderung berperspektif Presiden saja.
pem­­bangunan nasional semakin menguat. Salah Sementara konsep filosofis yang bersifat visioner
satu faktor yang melatarbelakangi kondisi tersebut tetapi realistis dan berperspektif multi dimensi

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 73 |


Volume 5, No. 2, 2018
Ade Kosasih

(dari sudut pandang MPR - DPR & DPD) tidak 1. Disharmoni peraturan perundang-undangan
tersentuh. perencanaan pembangunan;
Selama ini RPJPN seolah-olah terstruktur 2. Disharmoni antara Undang-Undang tentang
dengan sistematis karena ditindaklanjuti dengan Sistem Perencanaan Pembangunan dengan
RPJMN, sedangkan di tingkat daerah sebagai Undang-Undang tentang pemerintahan
derivasi dari RPJPN dan RPJMN dibentuk Daerah;
RPJPD dan RPJMD yang mengacu pada 3. Tidak adanya kewajiban Rencana Kerja
RPJPN. Namun faktanya, sejak awal RPJPN di­ Pemerintah Daerah (RKPD) untuk mengacu
bentuk pada tahun 2005 yang berlaku selama pada RPJM.
20 (dua puluh) tahun, yaitu sampai dengan
Ketidakmampuan RPJPN mengkonsolidasi
tahun 2025 pembangunan nasional justru
program-program yang berbeda antara Presiden
dirasakan mengalami disorientasi. Padahal
yang satu dan Presiden berikutnya meng­akibat­kan
RPJPN memuat visi Indonesia mandiri, maju,
rencana pembangunan tidak berkesinambung­
adil dan makmur. Hal tersebut dikarenakan
an. Berdasarkan latar belakang tersebut, saat ini
RPJMN merupakan pengejawantahan visi
mulai tumbuh keinginan untuk merevitalisasi
dan misi Presiden, sehingga ketika Presiden
GBHN sebagai pedoman dalam penyelenggaraan
berganti, dengan visi dan misi yang berbeda
pemerintahan dan pembangunan nasional.
maka terhenti pula pembangunan yang sudah
Oleh karena itu, perlu dilakukan reformulasi
di­rencanakan dalam RPJMN sebelumnya, dan
GBHN, karena belum tentu konsep GBHN
berganti dengan RPJMN yang baru.
di masa lampau masih relevan dengan sistem
Selain itu, di tingkat daerah disusun RPJPD ketatanegaraan saat ini. Selain itu, kehadiran
dan RPJMD yang semestinya mengacu pada GBHN pasti berimplikasi pada perubahan
RPJPN dan RPJMN. Namun dalam tataran terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, salah
praktik, hal tersebut tidak terintegrasi, meng­ satu contohnya adalah kehadiran GBHN ber­
ingat Kepala Daerah belum tentu berasal dari potensi akan mengubah struktur, fungsi, tugas,
partai yang sama dengan Presiden, atau setidak- kewenangan serta hubungan kewenangan antar­
tidaknya memiliki visi yang sama. Sehingga organ-organ kenegaraan. Oleh karena itu, perlu
kemungkinan pengaturan RPJPD dan RPJMD dikaji kembali konsep perencanaan pembangunan
dalam Peraturan Daerah bertentangan dengan model GBHN ini agar relevan dengan kondisi
Undang-Undang RPJPN dan RPJMN dapat kekinian.
saja terjadi. Adanya peraturan perundang-
undangan yang tidak harmonis tersebut, tidak
Pembahasan
menutup kemungkinan akan menimbulkan
konflik antara penyelenggara negara, karena Pada saat ini, Indonesia mencoba untuk
undang-undang menyimpan potensi konflik.1 menata negara ini menjadi negara demokrasi
dengan membentuk aturan-aturan baru,3 di­
Terdapat beberapa ketidakharmonisan dalam
antaranya terkait dengan sistem perencanaan
sistem perencanan pembangunan saat ini yaitu
pembangunan nasional. Konsep sistem pe­
antara lain:2
rencana­an pembangunan yang sedang berlaku
saat ini disadari masih terdapat beberapa
kelemahan. Sedangkan konsep yang dianggap
1
Satjipto Rahardjo, Penyusunan Undang-Undang yang
Demokratis, dalam (Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Muham­
ideal untuk diberlakukan masih dalam proses
madiyah Surakarta, Vol. 1 No. 2 Tahun II/1998), h. 3. perumusan kebijakan. Artinya belum sampai
2
Imam Mahdi, Harmonisasi Pengaturan Hukum Sistem
Perencanaan Pembangunan Daerah (Kajian Khusus RPJM
Provinsi), (Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ade Kosasih, “Menakar Pemilihan Kepala Daerah Secara
3

2012), h. 137. Demokratis”, dalam Jurnal Al-Imarah, Vol. 2 No. 1, 2017, h. 40.

| 74 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 6, No. 1, 2019
Reformulasi Perencanaan Pembangunan Nasional

pada tahap pelembagaan. Salah satu yang men­ dari semua sila Pancasila secara serasi, terutama
jadi issue hangat adalah mengenai keinginan pengamalan sila keadilan sosial bagi seluruh
untuk memberlakukan kembali GBHN. rakyat Indonesia, yang mengamanahkan agar
GBHN itu sendiri merupakan landasan nilai perekonomian disusun sebagai usaha bersama
paradigma pembangunan di era Orde Baru dan ber­dasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang
menjadi acuan dari seluruh kebijakan pemerintah. produksi yang penting bagi negara dan mengusasi
GBHN dan Replita sebagai instrumen utama dari hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara,
penyelenggaraan pemerintahan Orde Baru sarat bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
dengan konsep dan rencana pembangunan.4 Di di dalamnya dikuasai oleh negara dan diguna­kan
dalam GBHN tersebut antara lain diatur pola dasar untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,6 sumber-
pembangunan untuk masa waktu 25 (dua puluh sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan
lima) tahun, pola umum pembangunan jangka dengan permusyawaratan lembaga perwakilan
panjang juga untuk masa 25 (dua puluh lima) rakyat serta pengawasan terhadap kebijakannya
tahun dan pola umum pelita untuk jangka waktu ada pada lembaga perwakilan rakyat pula, warga
5 (lima) tahun. Kemudian Presiden membuat negara memiliki kebebasan dalam memilih
keputusan untuk melaksanakan GBHN tersebut pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai
yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
Tahun (Repelita).5 hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat, potensi, inisiatif dan daya kreasi
1. Kajian Filosofis setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya
Secara normatif landasan idiil perencanaan dalam batas yang tidak merugikan kepentingan
pembangunan Indonesia adalah Pancasila dan umum, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
UUD 1945. Secara ideologis sistem perencanaan oleh negara.7
pembangunan nasional dalam GBHN ber­orientasi Berdasarkan landasan ideologis dan kon­
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlaku­ stituional tersebut maka sistem perencanaan
nya etik dan moral agama, bukan materialisme); pembangunan nasional berada pada tiga level
Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak filosofis sekaligus; ontologis, epistemologis dan
mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan aksiologis. Keberadaan sistem Ekonomi Pancasila
Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas ke­ sudah ada dengan Pancasila sebagai landasan
keluargaan, sosio-nasionalisme dan sosio- idealnya dan UUD 1945 sebagai landasan kon­
demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (meng­ stitusionalnya. Kedua landasan tersebut lebih
utamakan kehidupan ekonomi rakyuat dan lanjut dapat dijabarkan dalam Tap MPR (GBHN)
hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial yang merupakan staatsfundamentalnorm. Artinya,
(persamaan/emansipasi, kemakmuran masyarakat kehadiran GBHN sebagai model perencanaan
yang utama bukan kemakmuran orang-seorang). pembangunan nasional masih dapat diterima
Secara konstitusional terjabarkan dalam bahkan masih sangat relevan dengan kondisi
pokok-pokok pikiran yang meliputi; Pertama, kekinian.
keseluruhan semangat, arah dan gerak pem­
bangunan dilaksanakan sebagai pengamalan
2. Landasan Yuridis
4
Riyas Rasyid, Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Perencanaan Pembangunan yang akan
Depannya, dalam Syamsudin Haris, Ed. Desentralisasi dan dituangkan di dalam GBHN pada prinsipnya
Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi, dan Akuntabilitas
Pemerintahan Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 6
5
Imam Mahdi, “Reformulasi Sistem Perencanaan 6
Lihat Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI
Pembangunan Nasional Model Garis-Garis Besar Haluan Tahun 1945.
Negara”, dalam Jurnal Al-Imarah Vol. 2, No. 1, 2017, h. 5. 7
Rumusan Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 75 |


Volume 6, No. 1, 2019
Ade Kosasih

merupakan penegasan berlakunya Pasal 27 yang langsung berhubungan dengan rakyat


(ayat 2), Pasal 33, dan Pasal 34 UUD NRI seperti jalan dan irigasi. Keempat, pembentukan
Tahun 1945. Landasan yuridis normatif ini dan penguatan BUMN.
mengandung tuntunan etik dan moral luhur,
yang menempatkan rakyat pada posisi mulianya,
3. Landasan Sosiologis
rakyat sebagai pemegang kedaulatan, rakyat
sebagai ummat yang dimuliakan Tuhan, yang Sistem perencanaan pembangunan nasional
hidup dalam persaudaraan satu sama lain, saling akan lebih mencerminkan kehendak seluruh
tolong-menolong dan bergotong-royong. rakyat Indonesia jika dituangkan dalam
GBHN yang ditetapkan dengan Tap MPR.
Landasan yuridis yang terkandung dalam Pasal
Hal ini mengingat MPR merupakan forum
27 ayat (2) UUD 1945 memberikan tanggung
yang mencerminkan keterwakilan politik
jawab kepada negara untuk mem­berikan jaminan
yang terjelma dalam DPR dan keterwakilan
penghidupan yang layak bagi setiap warga negara
wilayah yang terjelma dalam DPD, oleh karena
Indonesia. Oleh karena itu, negara harus memiliki
walaupun MPR bukan lagi lembaga tertinggi
konsep perencanaan pembangunan yang matang
negara, namun jika GBHN ditetapkan oleh
dan terintegrasi secara nasional. Pengalaman
MPR, maka masih relevan jika dikatakan MPR
masa lalu telah menunjukan keberhasilan GBHN
adalah merupakan pemegang kekuasaan rakyat
sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi
secara konstitusional.
masyarakat.
“Rakyat” di sini adalah pengertian rakyat
Landasan yuridis yang terkandung dalam
dalam konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik
Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “bumi, air dan
atau statistik, rakyat tidak harus berarti seluruh
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
penduduk. Rakyat adalah “the common people”,
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
rakyat adalah “orang banyak”. Pengertian rakyat
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya,
di sini berkaitan dengan “kepentingan publik”,
negara secara sadar menyusun perekonomian
yang berbeda dengan “kepentingan orang-
secara nasional untuk menghasilkan blue print
seorang”. Pengertian rakyat mempunyai kaitan
ekonomi yang akan menjadi petunjuk arah
dengan kepentingan kolektif atau kepentingan
dan pola kebijakan bagi penyelenggaraan serta
bersama. Istilah “rakyat” memiliki relevansi
alat ukur sekaligus jaminan bagi keikutsertaan
dengan hal-hal yang bersifat “publik” itu.
seluruh rakyat dalam proses produksi bagi
tercapainya kesejahteraan rakyat.
4. Bentuk Hukum GBHN
Distribusi sumberdaya alam dan seluruh
kekayaan negara dilaksanakan oleh pemerintah Jika face back pada era Orde Baru, MPR
untuk menjamin kesejahteraan bersama. adalah lembaga tertinggi negara yang memegang
Berbagai perencanaan yang dilakukan negara kedaulatan rakyat yang salah satunya adalah
adalah; Pertama, melalui penegakan peraturan memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
perundang-undangan. Diantaranya tentang Presiden dan menetapkan GBHN. Presiden
undang-uandang persaingan usaha, hubungan yang diangkat oleh Majelis tunduk dan ber­
kerja industrial, dan jaminan sosial. Kedua, tanggungjawab kepada Majelis. Ia adalah
melalui pelayanan masyarakat. Diantaranya “mandataris” dari Majelis dan wajib menjalankan
pelaksanaan undang-undang pelayanan publik, putusan-putusan Majelis,8 sehingga GBHN
dan undang-undang keterbukaan informasi dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh
publik. Ketiga, melalui instrumen fiskal.
Diantaranya penghapusan pajak, pemberian 8
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: UII
subsidi serta pembuatan prasarana dan sarana Press, 1999), h. 37. Lihat pula Bagir Manan, Teori dan Politik
Konstitusi, (Yogyakarta: UII Press, 2003), h. 17.

| 76 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 6, No. 1, 2019
Reformulasi Perencanaan Pembangunan Nasional

rakyat Indonesia,9 karena itu Presiden berada di mekanisme dan alasan pemberhentian Presiden
bawah MPR, menjalankan haluan negara yang apakah alasan hukum atau alasan politik.
ditetapkan MPR. Presiden menurut Soepomo, Alternatif lain jika masih menginginkan
sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, tidak pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat,
boleh mempunyai politik sendiri, tetapi harus maka model perencanaan pembangunan harus
menjalankan haluan negara yang ditetapkan, tetap dibentuk dan ditetapkan oleh MPR,
diperintahkan oleh MPR.10 walaupun dalam konteks pemisahan kekuasaan
GBHN tersebut kemudian menjadi pe­ (sparation of power) kedudukan MPR sederajat
doman Presiden sebagai mandataris MPR dengan Presiden. Namun, untuk mem­ per­
dalam menyelenggarakan pemerintahan dan kuat legalitas GBHN sebagai dokumen pe­
pem­­bangunan. Konsekuensinya adalah jika rencanaan pembangunan Tap MPR tentang
Presiden keluar dari GBHN maka MPR dapat GBHN tersebut haruslah diartikan sebagai
me­nyatakan mosi tidak percaya kepada Presiden staats fundamentalnorm, sehingga jika Presiden
dan mencabut mandatnya. Dengan kata menyimpang dari GBHN maka Presiden tersebut
lain, MPR dapat memberhentikan Presiden. telah menyimpang dari staats fundamentalnorm
Kewenangan MPR memberhentikan Presiden yang notabene norma hukumnya sama dengan
ini tidak terlepas dari sistem Pemilu tidak konstitusi. Itu artinya Presiden dapat di impeach
langsung, yaitu Presiden dipilih oleh MPR dan atas dasar melanggar GBHN dengan mekanisme
secara contrario MPR pun berwenang mem­ MPR sebagai pemohon impeachment Presiden
berhentikan Presiden. ke Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan
Mengingat MPR saat ini tidak memiliki diadili. Jika permohonan impeacment tersebut
kewenangan untuk menetapkan GBHN lagi terbukti dan dikabulkan, maka Presiden dapat
seperti era UUD 1945 sebelum amandemen, diberhentikan.
maka jika GBHN akan dihidupkan kembali, Kewenangan MPR untuk menetapkan
berarti MPR akan memiliki kewenangan GBHN merupakan alasan yang paling rasional,
menetapkan GBHN kembali. Implikasi lebih karena jika kewenangan menetapkan GBHN
lanjut, jika Presiden menyimpang dari GBHN di­
berikan kepada DPR, maka tidak akan
maka MPR dapat memberhentikan Presiden. jauh berbeda nasibnya dengan RPJP saat ini
Akan menjadi permasalahan jika ternyata rakyat yang merupakan kristalisasi visi dan misi serta
masih menginginkan Presiden dipilih secara plaform partai politik yang berada di DPR,
langsung bukan dipilih oleh MPR. Sehingga dengan keterbatasan berbagai kelemahan dan
tidak rasional jika MPR memberhentikan keterbatasannya. Di sisi lain, DPR bukanlah
Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. merupakan penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Oleh karena itu, perlu dikaji lebih mendalam melainkan wakil Parpol di parlemen. Artinya
mengingat konstalasi politik, arena dan struktur dibutuhkan keterwakilan rakyat secara langsung
politik telah berubah. Sekarang ini perbedaan yang tercermin dalam DPD. Namun, juga tidak
penafsiran terhadap konsep-konsep negara tepat jika kewenangan menetapkan GBHN
tidak mudah diatasi, karena paradigma berpikir diberikan kepada DPD, karena keterwakilan
terarah kepada kebebasan, sementara rencana Parpol tidak terakomodir. Oleh karena itu,
menghidupkan kembali GBHN akan berdampak akan lebih tepat jika kewenangan menetapkan
pada perubahan struktur ketatanegaraan ter­ GBHN terletak di tangan MPR yang merupa­
masuk berimbas pada sistem Pemilu dan kan lembaga afiliasi antara DPR dan DPD.
Sehingga keterwakilan rakyat dan Parpol dapat
9
Lihat Pasal 3 UUD 1945.
diakomodir. Konsekuensinya, perlu dilakukan
10
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Amandemen Kelima UUD 1945 dalam rangka
Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 17.

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 77 |


Volume 6, No. 1, 2019
Ade Kosasih

mengembalikan kewenangan MPR menetapkan recht) melalui judicial review yang diberikan
GBHN. kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga secara
Secara singkat telah tergambar implikasi tidak langsung berimplikasi pada semakin me­
GBHN terhadap perubahan kewenangan nguatnya fungsi MK. Hal ini dikarenakan
organ-organ kenegaraan, khususnya MPR yang selama ini MK hanya berwenang menguji
memperoleh kembali kewenangan menetapkan undang-undang terhadap UUD, sedangkan
GBHN. Di samping itu, keterbatasan fungsi- jika undang-undang bertentangan dengan Tap
fungsi DPD dalam hubungannya dengan DPR MPR, maka undang-undang tersebut tidak
dalam sistem parlemen akan dapat direduksi dapat diuji, akibatnya harmonisasi hukum yang
dengan peran strategis DPD sebagai anggota diharapkan sulit terwujud.
MPR yang berwenang menetapkan GBHN. GBHN sebagai manifesto politik yang me­
Dengan demikian, kedudukan DPD dalam muat grand design konsep pembangunan harus
MPR akan menjadi counterpart DPR yang mampu menjawab tantangan di masa yang akan
diharapkan mampu menjadi pengimbang dan datang. Sebagai konsep besar pembangunan
mengurangi arogansi DPR dalam parlemen nasional yang memayungi seluruh konsep visi
(MPR). Di samping itu, selain fungsi dan dan misi Presiden, maka dibutuhkan instrumen
peran DPD yang menguat, fungsi dan peran pelaksananya. Wujud instrumen pelaksana
MPR pun semakin strategis karena mengalami tersebut dapat mempertahankan konsep yang
penambahan kewenangan. sudah ada, yaitu RPJM atau kembali dengan
Jika kewenangan menetapkan GBHN di­ nama lama di era Orde Baru, yaitu Rencana
miliki kembali oleh MPR, maka GBHN Pembangunan Lima Tahun (Replita). Jika
tersebut akan dituangkan dalam produk hukum GBHN dituangkan dalam Tap MPR, maka
yang berbentuk Ketetapan MPR (Tap-MPR). instrumen pelaksananya RPJM Nasional di­
Artinya, kewenangan MPR dalam membentuk tuangkan dalam undang-undang sebagai pe­
Tap-MPR secara otomatis akan dipulihkan raturan di bawah Tap MPR. Sedangkan derivasi­
kembali. Di samping itu, kedudukan Tap-MPR nya untuk tingkat daerah adalah RPJM Daerah
dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah
akan semakin jelas eksistensinya. Selama ini (Perda). Konsekuensi adanya GBHN, maka
kedudukan Tap-MPR di satu sisi masih diakui, tidak diperlukan lagi RPJP, karena GBHN inilah
walaupun hanya tinggal 14 buah lagi. Namun di yang akan menggantikan peran dan funsgi RPJP.
sisi lain MPR tidak berwenang lagi membentuk Korelasi yang erat antara MPR dan GBHN
Tap MPR yang baru. Dengan adanya GBHN membentuk legitimasi demokrasi yang kuat dan
ini, maka akan ada lagi Tap MPR yang baru. utuh, mengingat GBHN dibentuk oleh MPR
Selain itu, adanya Tap MPR tentang GBHN yang nota bene MPR tidak dapat disebut hanya
harus disertai dengan mekanisme pengawas­ sebagai “joint session” antara DPR dan DPD,11
an terhadap peraturan pelaksanaanya, yang sehingga GBHN menjadi garis kebijaksanaan
dalam hal ini Undang-Undang tentang RPJM dalam perencanaan pembangunan nasional
Nasional. Dengan kata lain, jika Undang- sesuai dengan cita-cita dan asas kerohanian
Undang tentang RPJM Nasional yang nota bangsa.12 Selain itu, GBHN mencerminkan ke­
bene adalah peraturan pelaksana dari Tap MPR terwakilan kehendak seluruh rakyat Indonesia
tentang GBHN bertentangan dengan Tap MPR dan mampu mengakomodir serta meng­
tentang GBHN, maka dibutuhkan mekanisme
11
Ade Kosasih dan Imam Mahdi, Hubungan Kewenangan
kontrol yuridis terhadap undang-undang ter­ Antara DPD dan DPR dalam Sistem Parlemen Bikameral,
sebut. Mekanisme kontrol yuridis tersebut (Bengkulu: Penerbit Vanda, 2016), h. 11.
tidak lain adalah melalui hak menguji (toetsing
12
Ramdlonnaning T.T., Cita dan Citra Hak Asasi Manusia
di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI, 1983), h. 83.

| 78 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 6, No. 1, 2019
Reformulasi Perencanaan Pembangunan Nasional

konsolidasikan visi dan misi pembangunan yang telah ditentukan; 3) GBHN menegaskan
yang berbeda antara Presiden yang satu dengan pentahapan-pentahapan yang harus dicapai
Presiden berikutnya secara berkesinambungan, lengkap dengan indikator pencapaian program
konsep rencana pembangunan dalam GBHN pembangunan. Hal ini tentulah sangat baik
juga lebih stabil dan terarah. Dikatakan stabil, karena memberikan “time line” sekaligus rambu-
karena GBHN dituangkan dalam Tap MPR, rambu waktu yang diperlukan.13
sehingga lebih sulit untuk diubah, sekalipun
terjadi transisi kepemimpinan jika dibandingkan Penutup
dengan RPJP/RPJM yang dituangkan dalam
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan se­
undang-undang. Dikatakan terarah, GBHN
bagai berikut:
menjadi pedoman rencana pembangunan,
sehingga sejak awal Calon Presiden tidak a. GBHN sangat relevan dengan kondisi ke­
dibenarkan memiliki visi dan misi yang berbeda kinian, yang mengalami disorientasi pem­
dengan GBHN. Konsekuensi lebih lanjut, bangunan. Sikap skeptis sebagian ma­
RPJM harus mempedomani GBHN. Dikatakan syarakat akan kembali pada sistem Pemilu
terarah, GBHN menjadi standar baku program Presiden secara tidak langsung jika GBHN
pembangunan yang bersifat tetap dalam jangka diberlakukan kembali, sesungguhnya tidak
waktu panjang, yang dilaksanakan secara memiliki relevansi dan korelasi dengan sistem
bertahap dan terukur oleh RPJM/Replita. Pemilu.
Dilihat dalam konteks perencanaan strategis, b. Organ yang menetapkan GBHN diberikan
apa-apa yang telah dicantumkan di dalam kembali kepada MPR sebagai lembaga afiliasi
GBHN sudah begitu kuat untuk memandu dan DPR dan DPD.
menjadi haluan pembangunan nasional yang ber­ c.
Kehadiran GBHN berimplikasi pada
kelanjutan. Hal ini karena setidaknya GBHN perubahan sistem ketatanegaraan, khususnya
mengandung beberapa hal yang mendasar terhadap fungsi MPR, DPD, dan MK.
diantaranya adalah: 1) dasar dan landasan d. Sistematika GBHN diikuti dengan RPJM
filosofis sekaligus penjelasannya sehingga dapat dan RPJMD.
menjadi “tali kendali” yang selalu melekat
pada setiap langkah pembangunan bangsa. Tali e.
GBHN memiliki kemampuan meng­
kendali ini penting karena tidak ada artinya konsolidasi­kan dan mengakomodir ke­
pembangunan dan hasilnya manakala dia lepas pentingan yang berbeda serta lebih stabil dan
dari filosofi dasar bernegara dan abai terhadap terarah jika dibandingkan dengan RPJP.
nilai dan ruh Pancasila sebagai dasar dan ideologi Oleh sebab itu, ada beberapa saran sebagai
negara; 2) GBHN memuat wawasan nusantara rekomendasi:
dimana didalamnya berisi tentang cara pandang a.
Sebaiknya reformulasi GBHN sebagai
tentang bangsa Indonesia terhadap dirinya dan manifesto politik yang menjadi pedoman
lingkungan strtegis yang melingkupinya. Hal ini pem­bangunan tidak ditunggangi oleh ke­
penting untuk dapat membantu mengidentifikasi pentingan untuk kembali pada UUD 1945
dan menganalisis potensi kekuatan, kelemahan, yang lama, melainkan upaya tambal sulam
peluang, maupun ancaman yang ada sehingga UUD NRI Tahun 1945 agar lebih ideal
dapat ditangani dengan tepat. Keberadaan dengan tuntutan demokrasi.
wawasan nusantara sebagai suatu dokumen
b. Sebaiknya langkah kembali memberlakukan
yang tidak terpisahkan dengan perencanaan
pem­ bangunan adalah suatu hal yang mutlak
13
Endang Maria Astuti, Garis-Garis Besar Haluan Negara,
untuk dikuatkan karena akan sangat mem­ Perencanaan Strategis dan Kepemimpinan Transformasional, www.
bantu mewujudkan perencanaan pembangunan budayabangsa.com, diakses pada tanggal 7 Oktober 2016.

MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan 79 |


Volume 6, No. 1, 2019
Ade Kosasih

GBHN bukan sekedar menyusun naskah Mahdi, Imam. “Harmonisasi Pengaturan


manifesto politik, namun sebagai langkah Hukum Sistem Perencanaan Pembangunan
mewujudkan perilaku politik yang konsisten, Daerah (Kajian Khusus RPJM Provinsi)”,
stabil, terarah, dan efektif dalam semangat Disertasi Fakultas Hukum Universitas
demokrasi. Brawijaya, 2012.
Mahdi, Imam. “Reformulasi Sistem Perencanaan
Pustaka Acuan Pembangunan Nasional Model Garis-Garis
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Besar Haluan Negara”, Jurnal Al-Imarah,
Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Vol. 2, No. 1, 2017.
Press, 2005. Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta:
Asshiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Lambaga UII Press, 1999.
Antarnegara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi,
Astuti, Endang Maria. Garis-Garis Besar Yogyakarta: UII Press, 2003.
Haluan Negara, Perencanaan Strategis dan Rahardjo, Satjipto. “Penyusunan Undang-Undang
Kepemimpinan Transformasional, www. yang Demokratis”, Jurnal Ilmu Hukum,
budayabangsa.com, diakses pada tanggal 7 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vol. 1
Oktober 2016. No. 2 Tahun II/1998.
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden dalam Rasyid, Riyas. Otonomi Daerah: Latar Belakang
Negara Hukum Demokrasi, Bandung: Yrama dan Masa Depannya, dalam Syamsudin
Widya, 2007. Haris, Ed. Desentralisasi dan Otonomi
Kosasih, Ade, dan Imam Mahdi. Hubungan Daerah: Desentralisasi, Demokrasi, dan
Kewenangan Antara DPD dan DPR dalam Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta:
Sistem Parlemen Bikameral, Bengkulu: LIPI Press, 2005.
Penerbit Vanda, 2016. T.T, Ramdlonnaning. Cita dan Citra Hak Asasi
Kosasih, Ade. “Menakar Pemilihan Kepala Manusia di Indonesia, Jakarta: Lembaga
Daerah Secara Demokratis”, Jurnal Al- Kriminologi UI, 1983.
Imarah, Vol. 2, No. 1, 2017.

| 80 MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan


Volume 6, No. 1, 2019

Potrebbero piacerti anche