Sei sulla pagina 1di 8

PENANAMAN NILAI-NILAI KEINDONESIAAN DENGAN MEDIA

MASSA GUNA MENANGKAL PAHAM RADIKALISME AGAMA

ABSTRACT
Indonesia consists of many different ethnics, languages, religions, and culture. There
are more than a thousand tribes and languages, more than seventeen thousand religions and
culture. That diversity can be united by a unity conception: “Pancasila”, which has a spirit of
gotong royong in it. The good inclusive and tolerant value of Pancasila can avoid the nation
from the radicalism concept of religion.
The history told us that the radicalism of religion has been in Indonesia from the
beginning of 20th century, that started by a group called Local Sarekat Islam (SI) which
adopted Islamic Revivalism ideology, Mahdism or Ratu Adil concept, and anti-colonialism
concept. The radicalism movement can be seen not only by the physical movement, but also by
discourses violence like syirik, thogut, and bid’ah accusation to another groups, and also to
Indonesia, as a country, and the government.
The radicalism of religion concept can be prevented by the role of mass media as an
instrument for delivering the value of Pancasila to the people of Indonesia, especially for
Indonesian youngster. The effect of media delivering, in real, can be done by the mechanical
laws. Mass media is like a double-edges blade. The first side is mass media that obey the
journalisticrule, which is needed to overcome the radicalism of religion concept. On the other
side, if the mass media is conducted without follow and obey the rule, it will drive the
radicalism of religion concept arising.

Kata Kunci : Pancasila, Sejarah Radikalisme di Indonesia,Fungsi dan Efek Media Massa

1. PENDAHULUAN
1.1 BANGSAKU YANG BERWARNA
Setiap bangsa memiliki konsepsi dan cita-citanya masing-masing sesuai dengan kondisi,
tantangan, dan karakteristik bangsa yang bersangkutan. Dalam pandangan Soekarno, “Tidak
ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang
sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai
individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam berbagai hal,
dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya”
(Soekarno, 1958). Dalam kutipan tersebut tercermin watak kesatuan Indonesia dalam berbagai
keanekaan di dalamnya. Indonesia memiliki lebih dari seribu suku bangsa dan bahasa, lebih
dari tujuh belas ribu ragam agama dan budaya. Dari keanekaragaman tersebut tentu perlu ada
suatu konsepsi kesatuan, konsepsi tentang kebangsaan dan kenegaraan. Dan para pendiri
bangsa telah menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan salah satu konsepsi tentang
dasar negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama (sila) yang menyatukan dan
menjadi haluan ke Indonesiaan, yang dikenal sebagai “Pancasila”.
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi
seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta masih sangat
relevan dalam kondisi kekinian sebagai pemersatu. Namun dalam kenyataannya masih saja
ada orang yang melakukan perilaku-perilaku diluar nilai-nilai pancasila, perilaku mengganggu
hak orang lain sampai-sampai merenggut nyawa yang baru-baru ini terjadi di Indonesia yaitu
gerakan radikalisme. Konon katanya sikap itu berdasarkan atas kepentingan kemanusiaan dan
lebih parah lagi mengatasnamakan agama. Ini merupakan suatu keanehan, karena jelaslah jika
menghayati isi dari pancasila tidak ada yang membenarkan sikap-sikap tersebut (radikalisme
agama).
Salah satu munculnya sikap radikalisme agama karena dipicu oleh kemajuan-kemajuan
pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi dan
komunikasi. Sebagai akibatnya, batas-batas antar negara semakin kabur dan kaidah-kaidah
kedaulatan negara dan integritas teritorial semakin terkikis maknanya. Disitulah sikap
radikalisme dapat lolos masuk ke Indonesia. Apalagi teknologi informasi dan komunikasi
sedang menjadi tren dikalangan masyarakat umum, khususnya dikalangan pemuda yang
sering menjadi sasaran perekrutan. Jelaslah disini bahwa sebab terjadinya radikalisme yaitu
kurangnya penyampaian mengenai nilai-nilai pancasila secara terukur dan sesuai dengan tren
kekinian yaitu penggunaan media massa. Sebagai salah satu alat informasi dan komunikasi,
sudah selayaknya bisa memberikan kontribusi untuk mempengaruhi dan merekonstruksi
pikiran masyarakat umum, tentu dengan nilai-nilai yang pancasilais.
1.2 PERAN MEDIA MASSA
Media massa kini menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia khususnya di kalangan
pemuda. Sebagaimana peran dan fungsinya yang memiliki tiga fungsi dalam sistem sosial
masyarakat yakni fungsi edukasi, fungsi kontrol, dan hiburan. Ketiga fungsi ini, harus
dijalankan secara profesional dan bertanggung jawab demi terciptanya masyarakat yang
memiliki kesadaran berkebangsaan.
Di tengah marak dan menggejalanya media massa yang menjadi ruang tumbuh dan
berkembangnya radikalisme agama, pemerintah seharusnya bisa turut serta menjadi corong
dan media counter bagi tersebarnya paham radikal tersebut. Gagasan berkebangsaan yang
baik, inklusif dan toleran tentu harus disuguhkan pada penikmat media massa yang kini
semakin digandrungi oleh berbagai kalangan. Tentu hal ini tak bisa dilepaskan dengan
mengiringinya lewat sajian-sajian yang kreatif dan inovatif tentang ke Indonesiaan melalui
media-media tersebut.

2. MENANGKAL RADIKALISME AGAMA


2.1 KEMAJEMUKAN DALAM KITA (SATU DALAM PERBEDAAN DAN
PERBEDAAN DALAM SATU)
Setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-
hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan, dan kejayaan bangsa yang bersangkutan.
Dalam pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 30 September 1960, yang
memperkenalkan pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya
konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa
semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau
jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam
bahaya”.
Konsepsi pokok yang melandasi semua hal itu adalah semangat gotong royong. Bung
Karno mengatakan, “Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari
kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah paham yang statis, tetapi gotong royong
menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah pembantingan
tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,
keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama!
Itulah gotong royong”. (Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945).
Dengan semangat gotong royong itu, konsepsi tentang dasar negara dirumuskan dengan
merangkum lima prinsip utama (sila) yang menyatukan dan menjadikan haluan ke
Indonesiaan, yang dikenal sebagai Pancasila. Kelima sila itu terdiri atas: 1) Ketuhanan Yang
Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5) Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima prinsip tersebut hendaknya dikembangkan
dengan semangat gotong-royong, prinsip ketuhanan harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan
yang berkebudayaan, lapang, dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan
mengucilkan. Prinsip Kemanusiaan universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang
berkeadilan dan berkeadaban), bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah, menindas, dan
eksploitatif. Prinsip persatuannya harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan persatuan
dengan tetap menghargai perbedaan, “bhinneka tunggal ika”), bukan kebangsaan yang
meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa
gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan demokrasi yang didikte oleh
suara mayoritas atau minoritas elit penguasa atau pemodal. Prinsip keadilan harus berjiwa
gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan
semangat kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme atau
kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
2.2 GERAKAN RADIKALISME DI INDONESIA
Di Indonesia tercatat dalam sejarah sesungguhnya gerakan radikalisme khususnya yang
berbasis agama telah lama mengakar. Pada awal abad ke-20, dalam semangat peningkatan
nasionalisme melawan kolonialisme Belanda dan ekonomi yang kian parah di kalangan
pribumi, radikalisme Islam dimunculkan oleh kelompok Sarekat Islam (SI) lokal dalam
ideologi revivalisme Islam, Mahdisme atau Ratu Adil, dan anti kolonialisme.
Gerakan Imran, Warman, pengeboman BCA, Candi Borobudur, dan peristiwa Tanjung
Priok adalah bentuk perlawanan umat Islam terhadap pemerintah yang mengakibatkan
munculnya radikalisme. Golongan radikal yang mengatasnamakan agama kembali muncul
masa-masa kemerdekaan. Sejak zaman kemerdekaan ini pula, organisasi Islam berhaluan
radikal telah menunjukkan wajahnya yang signifikan, mendampingi wajah Islam lainnya.
Kemunculan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo
dipandang sebagai titik awal gerakan radikal berbasis agama yang pertama dalam sejarah
republik ini. Pada tahun 1965 terjadi pergantian rezim di Indonesia, yang pada awalnya
menjadi “bulan madu” antara pemerintahan orde baru dengan kelompok-kelompok Islam
dengan satu tujuan sama yaitu melawan komunisme.
Islam radikal di Indonesia terus mengalami proses perubahan yang berkelanjutan.
Tumbangnya rezim orde baru membuka pintu bagi mereka untuk memulai gerakan secara
lebih leluasa. Ketika sebelumnya gerakan mereka lebih banyak di bawah tanah, setelah era
reformasi mereka lebih berani tampil kepermukaan. Dalam perkembangannya keberadaan
mereka menjadi mengkhawatirkan karena sebagian di antara mereka menggunakan cara-cara
kekerasan melalui tindakan teror untuk memperjuangkan aspirasinya. Kekerasan disini tidak
hanya dalam arti fisik, tetapi juga kekerasan wacana seperti tudingan syirik, thogut, dan
bid’ah kepada kelompok lain, bahkan terhadap negara beserta aparatur dan simbol-simbolnya.
Radikalisme dalam agama di Indonesia juga dipengaruhi oleh ekspansi gerakan dan
pemikiran dari timur tengah. Sejarah gerakan radikalisme di Indonesia dengan sangat baik
menunjukkan bagaimana politik transnasional telah melampaui batas-batas budaya dan politik
yang telah mapan dan menembus lingkungan budaya dan politik yang berbeda-beda. Ke
depan, dikhawatirkan transmisi gerakan radikal Timur Tengah akan melalui arus yang jauh
lebih besar. Hal ini diperkuat dengan fakta gerakan radikal di Indonesia sebagian di antaranya
berujung pada kejadian terorisme, semisal dengan munculnya pengaruh Islamic State of Iraq
and Syiria (ISIS) yang terus tumbuh menggurita dan menciptakan “keluarga besar” yang
saling melindungi. Maka dari itu media massa sebagai institusi sosial perlu memberikan
edukasi, kontrol, dan hiburan yang baik dan bernilai kebangsaan guna menangkal paham
radikalisme agama.
2.3 MEDIA MASSA MENANGGULANGI
Dari berbagai macam masalah radikalisme agama di Indonesia maka disini perlunya
pelibatan media massa. Media massa ibarat dua mata pisau yang berbeda. Disatu sisi media
massa yang sesuai dengan kaidah jurnalistik sangat dibutuhkan untuk melakukan
penanggulangan paham radikalisme agama, sementara di sisi lain apabila media massa
dijalankan tanpa mengindahkan aturan yang ada, dapat mendorong tumbuhnya paham
radikalisme agama. Jika kita menganalisis secara sistematis suatu pengertian logis dari apa
yang dimaksud dengan media massa, yaitu menciptakan hubungan rohaniah antara penyampai
pesan dan penerima pesan karena media massa mempunyai fungsi mempengaruhi pendapat
umum, menggerakkan suatu kegiatan umum, mengubah suatu sikap umum, menyarankan
sesuatu, menjelaskan sesuatu kepada umum dengan maksud tertentu dan lain-lain. Ada hasil
yang dicapai oleh pelancaran pernyataan umum ini pada sasaran-sasaran yang dituju.
Persoalan penting lainnya yang perlu mendapat pembahasan khusus adalah mengenai
usaha-usaha untuk mengetahui hasil yang diperoleh maupun kegagalan yang dialami
pernyataan umum yang dilancarkan pada saat-saat tertentu. Pada kenyataannya sulit sekali
untuk sampai dapat memenuhi harapan sepenuhnya, yaitu dapat diperolehnya data-data secara
eksak dan terperinci. Hasilnya hanya ditentukan oleh kenyataan fenomena sosial pada waktu
tertentu saja. Komunikasi massa adalah sejenis social force, yang mana sebagai suatu
kekuatan sosial dapat menggerakkan proses sosial. Dan untuk mengenal bekerjanya
komunikasi massa sebagai suatu social force, kita dapat meminta bantuan analisa ilmiah
kepada hukum-hukum mekanika. Hukum ini menjelaskan bagaimana suatu kompleks
kekuatan-kekuatan pada suatu benda didalam suatu ruang dan waktu dapat diketemukan dan
menjelaskan berapa besar kekuatan dan ke arah mana benda itu akhirnya bergerak karena
bekerjanya macam kekuatan itu. Caranya ialah dengan menyusun paralellogram kekuatan dari
masing-masing kekuatan dalam kompleks kekuatan itu.
Karena social force yang ada dalam masyarakat adalah sangat kompleks maka hukum-
hukum mekanika dalam menganalisis suatu kompleks kekuatan sebetulnya hanya dapat
dijadikan sebagai pedoman saja. Tetapi kesulitan lainnya dalam mengukur dan menilai hasil
komunikasi massa sebagai suatu social force dengan misalnya ukuran kilogram atau kekuatan
kuda dan tidak dapat pula secara eksak ditentukan arah kerjanya dengan ukuran sekian
derajat. Meskipun demikian, hukum-hukum umum dalam mekanika dapat juga
mempermudah pengertian kita tentang bekerjanya bermacam-macam social force itu,
termasuk juga komunikasi massa. Misalnya jika ada benda B bergerak dengan kekuatan F1
yang hendak menarik B kearah vertikal, dan kekuatan F2 yang akan menggerakkan B kearah
horisontal pada saat yang sama, maka resultantenya bergerak dengan kekuatan R yang
besarnya terlukis dengan diagonal dari satu paralelogram. Sedangkan arahnya bukan vertikal
dan juga bukan horisontal, tetapi searah dengan diagonal paralelogram tersebut. Lalu
bagaimana penerapannya dalam masyarakat? Jikalau massa atau golongan tertentu bekerja
dua pengaruh, katakanlah pengaruh yang dibawakan oleh dua pernyataan umum yang
bertentangan atau berlainan arahnya, maka biasanya dapat dipastikan bahwa pada akhirnya
massa atau golongan itu tidak akan selalu mengarah tepat kejurusan yang dikehendaki oleh
kedua kekuatan itu. Telah dikatakan tadi betapa sulitnya dalam mengukur dan menilai secara
eksak hasil kerja suatu pernyataan umum yang dilancarkan sebagai suatu social force dalam
proses sosial. Disini kita hanya dapat berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan potensial
atau tendensi. Dalam usaha pelancaran pernyataan umum ini sering pula kita menghadap
resistance. Jadi disini semakin banyak pengaruh-pengaruh (nilai-nilai kebangsaan) yang
dimunculkan atau disampaikan ke publik maka semakin besar pula efek pengaruh tersebut
kepada masyarakat (public resistance).
Secara singkat telah disinggung persoalan hasil-hasil suatu proses komunikasi massa
dengan akibatnya yang mungkin terjadi dalam struktur masyarakat. Pada tahap pertama suatu
komunikasi massa menghasilkan suatu perkembangan tertentu dalam jiwa massa, yaitu para
pembaca, pendengar, dan penonton (komunikan). Dan pada tahap kedua perkembangan dalam
jiwa ini pada gilirannya keluar dengan dilakukannya tindakan atau tindakan-tindakan oleh
massa yang dapat mengakibatkan perubahan dalam masyarakat. Selain itu komunikator
sebagai sumber dari pernyataan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta
perlu disusupi oleh pemahaman mengenai ke Indonesiaan agar isi pesan yang nantinya
disampaikan memiliki nilai-nilai yang pancasilais.
3. KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara yang majemuk, negara yang memiliki keanekaragaman
suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya. Keseluruhan dari keanekaragaman tersebut
terangkul dalam satu konsepsi yaitu pancasila dengan semangat gotong royong didalamnya.
Konsepsi mengenai pancasila merupakan konsepsi dinamis yang masih relevan digunakan
untuk Indonesia.
Nilai-nilai pancasila dapat menangkal paham-paham radikalisme agama yang
menyerang masyarakat dengan menggunakan peran serta media massa sebagai alat untuk
menggiring tindakan-tindakan masyarakat menuju perubahan sikap yang baik, inklusif, dan
toleran.
DAFTAR PUSTAKA

Kertapati, Ton. Dasar-dasar Publisistik. Jakarta: Bina Akara, 1986.


Latif, Yudi. Negara Paripurna:Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia, 2011
Simamora, Parulian. Peluang dan Tantangan Diplomasi Pertahanan. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013.

Potrebbero piacerti anche