Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
ABSTRACT
Garutan batik is one of the identities of the Indonesian people that symbolizes the culture of the
Sundanese people. Garutan batik is used as an accecories and also a formal and sacred
clothing. The aim of this study is discusses the mathematical pattern of Garutan batik and also
semiotics of garutan batik to look for the philosophical meaning of its motifs. This study is a
qualitative research using ethnographic methods. The data collection techniques that used
were observation, interviews and field notes. This study was conducted on one garutan batik
craftsmen, one cultural person in Garut Regency and one businessman garutan batik. The
results showed that garutan batik had the concept of quadratic function and geometry
transformation. Mathematics learning models that can be used based on Ethnomatemics are
expository learning models, contextual teaching and learning with ethnomathematics contexts
(CTL-wE) and ethnomathematics based learning (EBL) models. The history of garutan batik
began in 1920 as a form of community creativity, which was then painted on Mori cloth. From
the point of view of semiotics, the signs of this motif are not pattern and mathematical order
but it has a meaning and moral value that are in accordance with the philosophy of life. The
merging of this semiotic and mathematical review was agreed to be able to provide the
students in interpreting ethno-mathematical values as an effort to improve the status of
mathematics which is seen as separated from the culture.
PENDAHULUAN
Etnomatematika merupakan suatu studi yang mempelajari tentang suatu budaya yang
menggunakan konsep-konsep dan praktik-praktik yang menggambarkan sesuatu yang matematis.
Suatu budaya yang berkembang di masyarakat biasa diwariskan secara turun temurun, yang
disertai pesan-pesan moral kehidupan yang tersirat sesuai dengan falsafah hidup masyarakat
tersebut. Dibalik itu, suatu budaya yang ada di masyarakat memiliki keterkaitan dengan ilmu
pengetahuan salah satunya adalah matematika, sehingga pada suatu budaya seringkali ditemukan
suatu pola matematis baik berupa suatu keteraturan geometri, unsur matematika ataupun konsep
matematika yang diterapkan pada budaya tersebut. Salah satu budaya di masyarakat yang memiliki
makna filosofis pesan-pesan moral kehidupan serta memiliki pola matematis tersebut terdapat
pada batik di Indonesia dengan ciri khas dari masing-masing daerahnya, salah satunya adalah batik
yang berkembang di Kabupaten Garut yang selanjutnya dinamakan batik garutan.
Batik garutan memiliki ciri khas motif nya berbentuk geometri, serta flora dan fauna. Bentuk
geometri umumnya mengarah ke garis diagonal dan bentuk kawung atau belah ketupat (Rizali,
Jusuf, & Ken Atik, 2003). Peneliti memandang ada hal istimewa pada batik garutan dari segi tanda
pada motif, objek dan filosofisnya bagi masyarakat Sunda di Garut, yakni batik garutan selain
memiliki konsep-konsep matematis juga memiliki makna dan pesan yang disampaikan dari setiap
motifnya. Pemaknaan matematis tersebut sangat penting jika menjadi bagian dari kurikulum
pendidikan matematika, apalagi jika dikaitkan dengan budaya dan batik. Ini akan menjadi solusi
untuk mengembalikan nilai-nilai matematika yang terintegrasi dengan etnografi sehingga konteks
matematika lebih hidup dan matematika tidak dianggap bebas dari budaya (culturally-free) (Rosa &
Orey, 2011). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap pola matematis motif batik
garutan serta mengungkap bagaimana teori semiotika mengkaji motif batik garutan.
Secara etimologi Semiotika berasal dari Bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme
yang berarti “penafsir tanda” (Sobur, 2013). Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh
komunikasi (LittleJohn, 1996:64). Maka dari itu suatu tanda menjadi perantara untuk manusia
memahami banyak hal dan melakukan komunikasi dengan sesamanya. Adapun secara terminologi
beberapa ahli mendefinisikan semiotika dalam beberapa pandangan. Pierce memandang semiotika
sebagai hubungan antara tanda, objek dan makna (Sobur, 2013), Saussure memandang semiotika
sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (Sobur,
2013), dan Van Zoest memandang semiotika sebagai ilmu yang mempelajari tanda dan cara kerja
nya serta hubunganya dengan pengirim dan penerima tanda tersebut (Yulianto et al., 2019).
Awalnya semiotika lebih banyak digunakan dalam bidang linguistik. Namun belakangan ini
semiotika banyak digunakan dalam disiplin ilmu lain termasuk pendidikan matematika dan budaya
(Bakker & Hoffmann, 2005 dalam Yulianto et al., 2019).
Pierce (Bekker & Hoffmann, 2005 dalam Yulianto et al., 2019) menyusun sebuah segitiga semiotika
yang menghubungkan tanda, objek dan interpretasi sebagaimana gambar berikut
Kecakapan dan kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai salah satunya adalah
menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Salah satu
indikator dari kecakapan dan kemahiran matematika tersebut adalah menemukan pola dari suatu
gejala matematika (Rahmah, n.d.). Pola memiliki definisi yang berbeda-beda, tergantung sudut
pandang yang digunakan. Menurut KBBI, pola adalah gambar yang dipakai untuk contoh batik,
bentuk (struktur) yang tetap, dan sistem (cara kerja), sedang Tanadi (2018) mendefinisikan pola
sebagai suatu pengenalan secara otomatis suatu bentuk, sifat, keadaan, kondisi, ataupun susunan
tanpa keikutsertaan manusia secara aktif dalam proses pemutusan. Adapun matematika belum
memiliki pengertian secara pasti, sehingga dapat disimpulkan pola matematis adalah suatu
keteraturan bentuk (struktur) pada suatu objek yang bersifat matematika atau pengenalan secara
otomatis suatu bentuk, sifat, keadaan, kondisi, susunan tanpa keikutsertaan manusia secara aktif
dalam proses pemutusan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi yaitu peneliti
melakukan studi terhadap budaya kelompok dalam kondisi yang alamiah melalui observasi dan
wawancara (Sugiyono, 2017). Subjek penelitian ini adalah satu orang pengrajin batik garutan, satu
orang budayawan di Kabupaten Garut dan satu orang pengusaha batik garutan.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi untuk memperoleh data mengenai
daftar pengusaha batik garutan dan budayawan yang ada di Kabupaten Garut serta untuk
mengamati berbagai macam motif batik tulis garutan kemudian diungkap konsep matematis yang
terkandung padanya, wawancara untuk menggali informasi mendalam dari subjek penelitian
mengenai sejarah batik garutan dan makna yang terkandung pada motif batik tulis garutan serta
catatan lapangan sebagai catatan tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam
rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan
Biklen dalam Moleong, 2017).
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yakni teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbabagai teknik pengumpulan data dan sumber data
yang telah ada (Sugiyono, 2017, p. 327). Peneliti menggunakan teknik triangulasi ini sekaligus
untuk menguji kredibilitas data dengan teknik triangulasi berdasarkan sumber data. Triangulasi
sumber merupakan suatu cara untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda dengan teknik
yang sama.
Pola Matematis Motif Batik Garutan. Pola matematis yang diperoleh dari motif batik garutan
meliputi unsur matematika serta konsep matematika. Berikut diungkap pola matematis tiga motif
batik garutan yang menjadi ciri khas batik Garut.
Berdasarkan hasil pengamatan, hal menarik yang ditemukan yaitu pada motif bulu hayam tersebut
terdapat konsep fungsi kuadrat. Untuk membuktikan hal tersebut, dibuat ilustrasi sebagai berikut
Gambar batik garutan motif bulu hayam tersebut menyampaikan pesan akan
multifungsi nya hewan yang dekat dengan kehidupan masyarakat Garut tersebut.
Apabila motif tersebut kita tinjau dari sudut pandang matematika, dapat kita lihat
merupakan suatu bentuk fungsi kuadrat. Identifiksilah hal-hal berikut ini
a. Ditinjau dari gambar, apakah nilai a dari persamaan grafik fungsi kuadrat tersebut
positif atau negatif?
b. Diambil satu bagian dari keseluruhan motif,
Tentukanlah persamaan grafik fungsi kuadrat tersebut! (tentukan tiga titik sebarang
terlebih dahulu)
Motif katuncar mawur memiliki arti dalam bahasa Indonesia ‘Ketumbar yang Tumpah’, yang
inspirasi awal pembuatanya yaitu rasa bangga atas melimpah dan suburnya tanah Garut, sehingga
katuncar tersebut diistilahkan sampai tumpah saking melimpahnya
1) Refleksi
Gambar dibawah ini menunjukan motif katuncar mawur yang dipotong menggunakan
sumbu y
y
Gambar tersebut merupakan potongan batik garutan motif katuncar mawur yang
melambangkan melimpahnya kekayaan Garut, sehingga diistilahkan katuncar mawur
(Ketumbar Tumpah). Jika motif tersebut direfleksikan terhadap sumbu y, dapatkah
kamu memprediksi bentuk akhir setelah di cerminkan?
2) Perhatikan gambar berikut
Gambar di atas merupakan batik garutan motif katuncar mawur yang melambangkan
subur dan melimpahnya tanah Garut, sehingga diistilahkan katuncar mawur (ketumbar
yang tumpah). Perhatikan motif tersebut, berapakah banyak butir katuncar yang tidak
tertutup oleh motif burung garuda dan banyak butir katuncar yang tertutup oleh motif
burung garuda ?
Gambar batik garutan motif merak ngibing tersebut menyampaikan pesan artistik serta
nilai-nilai leluhur untuk berhubungan baik dengan sesama manusia. Apabila motif
tersebut kita tinjau dari sudut pandang matematika, dapat kita lihat merupakan suatu
bentuk fungsi kuadrat. Identifiksilah hal-hal berikut ini
a. Ditinjau dari gambar, apakah nilai a dari persamaan grafik fungsi kuadrat tersebut
positif atau negatif?
b. Diambil satu bagian dari keseluruhan motif,
Tentukanlah persamaan grafik fungsi kuadrat tersebut! (tentukan tiga titik sebarang
terlebih dahulu)
Kajian Semiotika. Batik bisa menggambarkan identitas budaya suatu daerah dilihat dari motifnya.
Sebagai contoh, motif batik garutan memiliki ciri khaswarna nya yang cerah dan mencolok, serta
memiliki motif geometri flora dan fauna. Dibalik itu, batik garutan tidak hanya memiliki nilai
estetika saja, melainkan terdapat makna atau filosofi yang terkandung didalam setiap motifnya
yang menggambarkan identitas budaya daerah tersebut.
Sign: kumpulan garis lengkung teratur berbentuk setengah lingkaran atau ellips. Object: Dapat
diasumsikan seperti bulu ayam dengan berbagai corak keindahanya yang disusun secara teratur.
Interpretant: bulu hayam menggambarkan keindahan alam dari keanekaragaman fauna nya. Bulu
hayam menggambarkan kedekatan masyarakat dengan hewan yang banyak memberikan manfaat
untuk yang lainya sehingga dijadikan pelajaran untuk menjalani kehidupan
Ditinjau dari sisi semiotika, motif bulu hayam yang merupakan kumpulan garis lengkung teratur
berbentuk setengah lingkaran atau ellips menyerupai sebuah grafik fungsi kuadrat, setiap titik
puncak grafik tersebut menjadi titik pangkal grafik selanjutnya.
‘Hayam’ yang dalam bahasa Indonesia merupakan Ayam, adalah hewan yang dekat dengan
masyarakat Garut. Di daerah pedesaan hampir setiap rumah biasa memelihara ayam, bukan untuk
beternak dengan jumlah peliharaan yang sangat banyak akan tetapi untuk kesenangan saja serta
biasa mereka sembelih ketika hari raya atau momen spesial lainya. Bagi masyarakat yang
rumahnya terbuat dari kayu atau biasa disebut rumah panggung, mereka menyimpan ayam
periharaanya tersebut di kolong rumahnya, namun bagi masyarakat yang bukan rumah panggung
dibuatkan kandang dibelakang rumahnya. Ketika sore hari setelah aktivitas berkebun dan bertani
mereka selesai, masyarakat biasa keluar rumah dan bercengkrama dengan tetangga-tetangganya,
begitupun anak-anak kecil mereka biasa bermain permainan tradisional di halaman rumah yang
cukup luas. Ketika menjelang magrib, setiap anak biasa mencari dan menangkap ayam-ayam
mereka untuk dimasukan kedalam kandang, hal terssebut membuktikan kedekatan masyarakat
Garut dengan hewan tersebut.
Bulu hayam menjadi inspirasi lukisan bagi masyarakat, karena garis-garis bulu hayam yang indah,
warna yang menarik, mengkilap dan anggun. Secara filosofi ‘hayam’ merupakan hewan yang
multiguna, hewan tersebut bermanfaat dari mulai dagingnya bahkan sampai bulu nya. Bulu hayam
biasa dijadikan sapu untuk bersih-bersih, juga dijadikan pena untuk menulis. Sehingga pesan yang
disampaikan motif bulu hayam adalah setiap orang baik laki-laki maupun perempuan harus serba
bisa sehingga dapat memberi manfaat untuk orang lain, sebagaimana motif ini tidak mengenal
gender akan tetapi biasa digunakan oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Ditinjau dari sisi semiotika, motif ini diistilahkan ‘katuncar mawur’ yaitu ketumbar yang tumpah
memiliki makna daerah Garut ini merupakan tanah yang subur, sampai ketumbar tersebut
diistilahkan tumpah, tidak tertampung saking subur nya. Hal tersebut menggambarkan rasa bangga
dan syukur atas subur dan melimpahnya hasil bumi di daerah Garut. Selain ‘katuncar’, masyarakat
Garut khususnya di daerah pedesaan biasa menanam bumbu-bumbu lain yang biasa digunakan
untuk memasak di pekarangan rumahnya masing-masing. Adapun penggunaan motif katuncar
mawur biasanya di pakai untuk sinjang oleh para perempuan, namun ada juga yang dijadikan
kemeja oleh laki-laki, hanya saja motif ini memiliki kesan feminim, sehingga lebih banyak
digunakan oleh para perempuan. Hal tersebut selaras dengan perempuan yang biasa menggunakan
bumbu dapur tersebut untuk memasak guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Adapun pesan
dari motif ini adalah kita sebagai manusia harus senantiasa bersyukur atas segala ni’mat dari Tuhan
dan tetap menjaga kelestarian alam sehingga terwujud keseimbangan antara kedudukan Sang
Pencipta, alam dan manusia.
(3) Motif Merak Ngibing
Sign: Gambar hewan yang saling berpasangan dengan sayap mekar yang dilambangkan dengan
garis beraturan. Object: Motif di atas menggambarkan hewan merak yang sedang menari, dalam
bahasa Sunda disebut dengan ‘Merak Ngibing’ yang artinya burung merak yang sedang menari.
Interpretant: Merak melambangkan keindahan alam dengan aneka fauna nya. Ngibing atau menari
melambangkan kegembiraan. Merak ngibing melambangkan adat budaya masyarakat yang sinergi
dengan alam.
Ditinjau dari sisi semiotika, motif merak ngibing menggambarkan keindahan alam yang
menakjubkan. Merak menimbulkan fantasi yang luar biasa bagi jiwa seorang seniman, karena
menarik dari sisi keindahan perpaduan warna serta corak-coraknya. Oleh karena itu, selain
dijadikan busana seringkali motif ini dijadikan sebagai hiasan.
Batik biasa digunakan untuk acara-acara yang sakral ataupun resmi, tidak sebarang momen
menggunakan batik sebagai busana nya. Batik biasa digunakan ketika acara pernikahan atau
menghadiri undangan, rapat, juga dijadikan sebagai seragam siswa, guru maupun suatu lembaga
resmi lainya. Adapun motif ini banyak digunakan dalam acara pernikahan, sebagaimana yang
tergambar dari motif bahwa merak tersebut saling berpasangan. Pesan yang ingin disampaikan
dari motif ini adalah pesan artistik yaitu keindahan, memperhalus perasaan dan meningkatkan hal-
hal yang bersifat indah, sehingga hendaknya manusia dapat menjaga keindahan alam tersebut serta
menjaga nilai-nilai leluhur untuk berhubungan baik dengan sesama manusia sehingga terwujud
keseimbangan antara kedudukan Sang Pencipta, alam dan manusia.
Berdasarkan hasil penelitian dari Bapak Jero Budi Darmayasa dengan judul “Studi Etnografi
tentang Literasi Matematik dan Ethnomathematics Masyarakat Bali Mula”, terdapat tiga alternatif
model pembelajaran berbasis etnomatematika yang di rekomendasikan yaitu: Model pembelajaran
Ekspositori, Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning with Ethnomathematics
Contexts (CTL-wE) dan Model pembelajaran Ethnomathematics Based Learning (EBL). Ketiga
alternatif model pembelajaran matematika yang direkomendasikan tersebut bukan merupakan
model baru, tetapi pengembangan atau modifikasi dari model yang sudah dikenal dalam dunia
pendidikan.
Saran. Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat penulis utarakan adalah diperlukan kajian
yang lebih mendalam mengenai etnomatematika pada batik garutan, kemudian dibuat suatu
rancangan modul berbasis etnomatematika sehingga dapat diterapkan dalam pembelajaran
matematika di sekolah; diperlukan suatu sistem pedagogi dalam pelestarian batik garutan, misal
melalui magang atau pelatihan berkelanjutan dalam membatik; dan pemasaran batik garutan lebih
diperluas lagi dengan terjun pada bisnis batik garutan secara online.
DAFTAR RUJUKAN
Bakker, A., & Hoffmann, michael H. . (2005). Diagrammatic reasoning as the basis for developing
concepts: a semiotic analysis of students’ learning about statistical distribution, 333–334.
https://doi.org/10.1007/s10649-005-5536-8
Darmayasa, J. B. (2018). Studi Etnografi tentang Literasi Matematik dan Ethnomathematics
Masyarakat Bali Mula.
Moleong, L. J. (2017). Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Puspadewi, K. R. dan I. G. N. N. P. (2014). Etnomatematika di Balik Kerajinan Anyaman Bali, 4(2),
80–89.
Rahmah, N. (n.d.). Hakikat Pendidikan Matematika, 1–10.
Rizali, N., Jusuf, H., & Ken Atik, S. (2003). BATIK GARUT. Batik Garut Kajian Dan Warna, 3.
Rosa, M., Orey, D. C., Etnomatemá tica, R. L. De, & Etnomatemá tica, R. L. De. (2011).
Ethnomathematics : the cultural aspects of mathematics Etnomatemá tica : os aspectos
culturais da matemá tica, 4, 32–54.
Septianawati, T. (2014). Tia Septianawati, 2014 Study Ethnomathematics: Mengungkap Ide-ide
Matematis pada Anyaman dan Satuan-satuan (Panjang, Luas, dan Volume) di Masyarakat
Kampung Naga Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu,
1–10.
Sobur, A. (2013). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian dan Pengembangan (Reserarch and Development). Bandung:
Alfabeta.
Tanadi, G. (2018). Pengenalan Pola. Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/Pengenalan_pola
Yulianto, E., Prabawanto, S., & Sabandar, J. (2019). Pola matematis dan sejarah batik sukapura :
Sebuah kajian semiotika, 4(1), 15–30