Sei sulla pagina 1di 12

BUDAYA LOKAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH UNTUK

MENINGKATKAN KESADARAN SEJARAH DI DAERAH BIMA


Oleh: Faidin
Faidinhistory94@gmail.com
Mahasiswa S2 Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia
Abstract
This Writing is important because the dominant culture currently is
globalization which has given the worse impact for the local culture.
People are already hegemonized by materialistic lifestyle cause of
globalization, however the complex problems necessarily require
reasoning power, pure thinking to get out of the decline in the world today
especially in education. The biggest challenge is against a habit that does
not reflect a native of east culture. Now, learning history which full from
meaning where still used a textbook which provided, rarely local culture
area is lifted, because the textbooks created by the book publishers even
though there are books written by the government but still a bit that
explains the local culture in each of the area. In the year of 2016, now,
there is improvement for all of the subjects should be contained a local
issue because it is still new, of course that the application has been
processed whether from lesson plan although Syllabus, from some of these
problems, the purpose of this writing would like to express the important
of local culture in creating a sense of students history in Bimanesse at
Senior High School. While the discussion in this writing. First, about the
local culture. Second, local culture of bimanesse. Third, the teaching of
history. Fourth is a sense of history. The writer use some literature that
support in this writing such as books, journals, and others. The result show
that the local culture is to be applied in teaching history in increasing a
sense of students history.
Keywords: Local Culture, Local Culture of Bimanesse, Teaching History,
History of Consciousness.

a. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki ciri khas budaya daerah yang
beranekaragam dengan ditandai adanya simbol bhineka tunggal ika yang
memberikan arti sebagai lambang persatuan secara harfiah dari kalimat
tersebut dapat di artikan “berbeda tetapi satu”. Dalam perkembangan era
globalisasi maka budaya lokal sebagai perekat kesadaran kedaerahan.
Memiliki potensi dan peran sebagai budaya tandigan bagi dominasi budaya
global yang dimitoskan sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakkan (Fakih,
2003:5). Jadi khasanah budaya lokal dapat menjadi sumber kearifan lokal
Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
dalam mengahadapi budaya globalisai yang berkembang. Menurut (Anthoy
Gidden,2001) globalisasi menjadi alasan bagi kebangkitan kembali identitas
budaya lokal. Maka budaya lokal menjadi sumber kekuatan untuk mengangkat
budaya daerah yang begitu kompleks, agar budaya lokal tetap menjadi
identitas peserta didik dalam proses pembelajaran sejarah.
Penerapan budaya lokal Pemerintah sudah menegaskan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 yang berbunyi kebudayaan bangsa
Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Oleh karenanya budaya
daerah memiliki kontribusi dalam melahirkan kebudayaan nasional. Maka dari
itu kebudayaan daerah Bima sudah waktunya mendapat perhatian dalam
pembelajaran sejarah disekolah dan agar tetap menjadi ciri khas daerah yang
ada di wilayah Nusa Tegara Barat yang berada di Kabupaten Bima.
Undang-undang Sisdiknas dalam pemebelajaran budaya lokal di ataur
Nomor. 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat (1) tentang kurikulum pendidikan dasar
dan menengah wajib memuat mata pelajaran muatan lokal yang dimana
budaya lokal sebagai nilai-nilai sosial lingkungan yang dapat menumbuhkan
suatu identitas daerah sebagai rasa nasionalisme. Sedangkan pada kurikulum
2013 kompetensi dasar SMA/MA diorganisasikan atas dasar pengelompokan
mata pelajaran yang wajib diikuti oleh seluruh peserta didik dan mata
pelajaran yang sesuai dengangan bakat, minat dan kemampuan peserta didik
(Peminatan) sebelum dilakukan revisi kurikulum, budaya lokal masuk dalam
mata pelajaran muatan lokal. Setelak dilakukan revisi kurikulum 2013 maka
budaya lokal menjadi bagian dari semua mata pelajaran dan lebih khusus
pembelajaran sejarah.
Pembelajaran sejarah saat sekarang didominasi oleh kenyataan bahwa
peserta didik diharuskan menghafal fakta sejarah, nama-nama konsep seperti
yang digunakan dalam sebuah cerita sejarah, menghafal jalan cerita semua
peristiwa (Hamid, 2016: 1-3). Masalah yang seperti ini harus menjadi
keharusan untuk selalu diperbaiki karna pembelajaran sejarah ini berfungsi
untuk meningkatkan kesadaran sejarah.

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
Penulis akan mencoba menyoroti bagaimana budaya lokal dalam
pembelajaran sejarah untuk meningkatkan kesadaran sejarah dengan
mewujukan rasa bangga terhadap nilai kedaerah.
b. Budaya Lokal
Budaya lokal menurut (Judistira, 2008: 113). Berkenaan dengan
konteks kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia. menurut Ranjabar dalam
(Yunus, 2014:37-38) kebudayaan dibagi dalam tiga kelompok coraknya
sendiri diantaranya. pertama, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan
budaya lokal atau budaya daerah. kedua, kebudayaan umum lokal adalah
tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang
perkotaan. Ketiga, kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya
daerah. dari pendapat tersebut bisa digambarkan budaya lokal berada pada
tingkat kesukuan walapun ditingkat yang lain ada keterkaitanya.
Istilah suku bangsa sendiri merupakan suatu golongan manusia yang
terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan
(Koentjaraningrat, 2009: 89). Tercermin dalam keterikatan dimana masyarakat
menjadi satu kesatuan untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lain
agar tetap hidup harmonis dalam lingkungan budaya sebagai ciri dari budaya
lokal.
Budaya lokal merupakan bagian yang melengkapi budaya regional,
karena budaya regional merupakan bagian yang hakiki dalam bentuk
kebudayaan nasional (Judistira, 2008: 141). Bisa dipahami bahwa kebudayaan
lokal merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan
kebudayaan nasional baik dalam perkebangan hidup manusia saat ini maupun
kemajuan jaman, sehingga menjadi kajian yang harus terus diangkat dan
dilestarikan dalam wilayah kedaerahan sabagai bentuk cinta terhadap masa
lalu.
Wilayah administratif budaya lokal menurut Kuntowijoyo (2006: 42)
bahwa wilayah administratif antara desa dan kota menjadi kajian tersendiri.
Menurutnya, kota pada umumnya menjadi pusat dari bercampurnya berbagai
kelompok masyarakat baik lokal mapun pendatang menjadi lokasi yang sulit

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
didefinisikan. Sedangkan di wilayah desa, sangat memungkinkan untuk
dilakukan pengidentifikasian. Didalam kota dan lapisan atas masyarakat sudah
ada kebudayaan nasional, sedangkan kebudayaan lokal semakin kuat bila
semakin jauh dari pusat kota. Maka nilai budaya lokal harus lebih ditingkatkan
di daerah yang memiliki identitas kelokalan.
Nilai budaya lokal sebagai pembagun identitas diri bangsa secara lokal
yang nyata dan beragam (Supriatna, 2010: 487). perlu terus digali dan
dikembangkan salah satunya dengan menggali budaya-budaya lokal yang
demikian beragam. Mengacu pada beberapa pendapat tersebut maka dapat
pahami budaya lokal dalam definisinya didasari atas dua faktor utama yang
berkenaan denagan faktor suku bangsa yang menagnutnya dan kedua adalah
faktor demokrafis atau wilayah administrasi baik kota maupun desa menjadi
tempat kajian dari budaya lokal. Ruang lingkup budaya lokal yang menjadi
ruang lingkup kajian berkenaan dengan budaya lokal daerah bima sebagai
lokomotif untuk pembelajaran sejarah.
c. Budaya Lokal Bima
Bima dikenal dengan suku Mbojo yang berasal dari kata babuju yaitu
tanah yang ringgi yang merupakan busut jantan yang agak besar, tempat
bersemayamnya Raja-raja ketika dilantik dan disumpah yang terletak di
kampong Dara. Sedangkan nama bima merupakan nama leluhur Raja-raja
Bima yang pertama ( Aulia,2016: 2). Dalam catatan sejarah Bima pada masa
kebangkitan nasional 1907 sampai 1908 melakukan perjuangan untuk
melawan Belanda yang dikenal dengan perang Dena, perang Donggo, dan
perang Ngali dengan semboya-semboyan yang membara yang berbunyi:
menerima Belanda berarti dijajah; dijajah Belanda berarti kafir, berperang
dengan kafir pasti sabil (Wacana, Lalu dkk, 1978). Dalam peristiwa tersebut
dapat membangun jiwa nasionalisme dari pada masyarakat di daerah Bima
namu selain dari pada peristiwa perjuangan tersebut ada hal yang lebih
menarik untuk membangun kesadaran sejarah siswa yaitu budaya lokal dalam
hal ini adalah budaya rimpu merupakan cara berpakaian yang ciri khas
masyarakat bima ini juga bisa dijadikan wadah untuk bentuk perjuangan

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
wanita dalam menjaga kehormatannya (Lamusiah, 2013: 1). Sejak kerajaan
Bima masuk pengaruh islam yang pada waktu itu di bawah oleh Datuk Di
Banda dan Datuk Di Tiro pada abad ke 17, namun pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Kahir datang lagi pendakwah agama islam yang berasal dari
minangkabau yaitu Datuk Lela, Datuk Selan Kota dan yang dari Banten,
Syekh Umar Al Bantamy (Chamber dan Maryam, 2012: xviii). Semuanya
menjadi guru agama di istana dan yang bertugas membina dan
mengembangkan agama islam di kerajaan bima. Setiap bulan maulid diadakan
upacara sirih puan dengan tujuan, a. Merayakan hari kelahiran nabi, b.
Merayakan hari ulang tahun masuknya islam di Bima, c. Sebagai
penghormatan atas jasa-jasa pendakwah dalam menyebarkan agama islam di
Bima (Wicara dkk, 1984: 4). Ini juga bila dipahami banyak nilai yang
dibangun dalam upacara ini baik nilai kebersamaan, untuk menjaga agama
tercinta. Jadi ada dua hal yang menjadi kajian berkenaan dengan budaya Bima
karna lebih representatif pertama budaya rimpu dan budaya upacara sirih puan
sebagai daerah mayoritas islam maka dalam pembelajaran sejarah perlu
adanya penanaman kembali nilai budaya ini sebagai ciri dari masayarakat
Bima yang taat budi.
1. Budaya Rimpu
Rimpu adalah cara berbusana masyarakat Bima yaitu menggunakan
kain sarung untuk menutupi kepala dan badan. Sehingga yang terlihat
hanya wajah, atau bahkan hanya bagian mata (Malik hasan Mahmud,
2009). Menjadi pakaian untuk menutup aurat masyarakat di daerah Bima
karena rimpu diperuntukkan hanya untuk kaum perempuan sedangkan
laki-lakinya tidak memakai rimpu tapi katente (mengunkan sarung
dipinggang). Ja rimpu menurut (Maryam, 2004) merupakan busana yang
terbuat dari dua lembar sarung yang bertujuan untuk menutup seluruh
bagian tubuh dan yang satu untuk menutup kepala dan untuk penganti rok.
Nilai yang bisa diambil dari budaya rimpu adalah sebuah bentuk pakaian
yang sopan dan memiliki nilai perjuangan seorang wanita untuk menjaga
kehonnya dan nilai sejarah dari kebudayaan Ripu.

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
2. Budaya Sirih Pua
Budaya upacara sirih puan sebagai bentuk upacara untuk merayakan
hari kelahiran nabi, merayakan hari ulang tahun masuknya islam di Bima,
sebagai penghormatan atas jasa-jasa gurunya dalam menyebarkan agama
islam di Bima (Wicara,Lalu. dkk, 1984: 4). Ua pua dalam bahasa melayu
disebut sirih puan adalah satu rumpun tangkai bunga telur berwarna warni
yang dimaksudkan ke dalam satu wadah segi empat. Jumlah bungan telur
tersebut berjumlah 99 tangkai yang sesuai dengan nama asma’ ull husna.
Kemudian ditengah-tengahnya ada sebuah kitab sici al-qur’an. U’a pua
ditempatkan ditengah tengah rumah mahligai (Bima: Uma Lige) yang
berbentuk segi empat berukuran 4x4 meter. Uma lige diusung oleh 44
orang pria yang berbadan kekar sabagai simbol dan terbagi menurut 44
jenis keahlian dan keterampilan yang dimilikinya sabagai bagian dari
struktur pemerintah kesultanan Bima (https://alanmalingi.wordpress.com).
Nilai kesadaran yang bisa diambila adalah bagaimana bentuk kekompakan
para pemuda ini dalam membawa Uma Lige mulali dari kampong Melayu
munuju istana Bima. Perlu disadari bahwa Indonesia sebagai negara yang
dibangun dengan jiwa kebersamaan dengan semboyan gotong royong.
Begitu juga budaya sirih puan ini mencerminkan kebersamaan pemuda
dalam menjaga kekompakan menuju tujuan dan memiliki nilai sejarah
yang bisa membangkitak semangat generasi muda.
Nilai yang bisa diambil dari budaya lokal upacara sirih puan adalah
sebagai penghormatan kepada para pendakwah agama islam dan dalam
pelaksanaan upacara tersebut adanilai juga yaitu kebersamaan saling
mbahu membahu untuk memperjuangkat apa yang mereka bawa dengan
bersama maka perlu ada kekompakan. Maka melalui pembelajaran sejarah
inilah cara untuk menanamkan nilai budaya lokal yang bisa meningkatkan
kesadaran sejarah siswa. karena siswa sebagai seorang yang akan
meneruskan budaya dari satu generasi kegenerasi lainnya.

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
d. Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membantu
mengembangkan potensi dan kepribadian peserta didik melalui pesan-pesan
sejarah agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Menurut Isjoni
(2007: 12) pembelajaran sejarah berarti proses belajar mengajar pembelajaran
sejarah. Isjoni lebih mempertegas lagi bahwa pembelajaran sejarah harus
dapat mengaktualisasikan dua konsep pembelajaran (1) pendidikan dan
pembelajaran intelektual, dan (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa.
diantara dua hal tersebut menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan untuk
membagun pembelajaran yang berbudaya sebagai ciri dari pada budaya lokal
atau daerah.
Pembelajaran sejarah yang berbudaya tentu hari ini sarat akan makna
dimana proses yang terjadi kenyataan bahwa peserta didik diharuskan
menghafal fakta sejarah, nama-nama konsep seperti yang digunakan dalam
sebuah cerita sejarah, menghafal jalan cerita semua peristiwa (Hamid, 2016).
Hal ini sudah menjadi budaya dalam pembelajaran sejarah yang seharusnya
perlu dan harus diperbaiki. Dalam hal ini setidaknya ada empat komponen
yang saling berkaitan yang menjadi penyebab mengapa pengajaran sejarah itu
tidak atau kurang efektif.
Pertama, adalah komponen tenaga pengajar sejarah yang pada
umumnya miskin wawasan kesejarahan. Salah satu penyebab utama dari
kemiskinan wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk menggali sumber
sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen, maupun literatur, Pengajar
sejarah harus kaya informasi, tidak saja tentang masa lampau yang sarat
dengan berbagai tafsiran, tetapi juga tentang masa kini yang penuh dinamika
dan serba kemungkinan, konstruktif maupun destruktif (Ahmad Syafii Maarif,
1995: 9). Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang
dan mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa hingga
cerita sejarah yang disajikan, dirasakan senantiasa menantang rasa ingin tahu.
Karena pengajar pula harus mampu memberikan contoh budaya lokal yang

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
ada didaerah sebagai bentuk pembelajaran yang memiliki nilai kekinian yang
tinggi.
Kedua, adalah komponen peserta didik . Sikap maupun persepsi yang
kurang positif peserta didik terhadap pengajaran sejarah, akan sangat
berpengaruh terhadap hasil tujuan pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik
yang hanya mengejar nilai dan popularitas, untuk kegunaan sesaat. Padahal
substansi yang sesungguhnya adalah khasanah keilmuan yang ia pelajari untuk
dikembangkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, hingga nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya dapat diinternalisasikan. Artinya bahwa seorang
pendidik harus memupuk niali-nilai positif terhadap peserta didik dengan
menampilkan budaya lokal yang memiliki nilai yang memberikal contoh yang
baik.
Ketiga, adalah metode pengajaran sejarah yang pada umumnya kurang
menantang daya intelektual peserta didik. Untuk melibatkan subjek-didik
dalam tataran intelektual dan emosional dalam pengajaran sejarah adalah
barang tentu bukan jamannya lagi dengan menggunakan metode dongeng
yang diselimuti oleh pelbagai peristiwa ajaib, mistis, dan supranatural. Kalau
metode itu yang digunakan justru bertentangan dengan tujuan pengajaran
sejarah itu sendiri. Maka seorang pengajar harus memberikan metode yang
baru terhadap peserta didik agar proses tersebut memiliki makna dengan
mengkaitakan dengan budaya lokal di daerah.
Keempat, adalah komponen buku-buku sejarah dan media pengajaran
sejarah. Untuk sejarah Indonesia, telah ada sejarah nasional yang jumlahnya
enam jilid itu. Buku itu sebenarnya dapat menolong, sekalipun di sana sini
masih ada celahnya yang perlu dilengkapi dengan sumber-sumber lain. Tetapi
pendekatan yang terlalu Indonesia-sentris seperti yang terdapat dalam buku
sejarah nasional itu, harus disikapi secara hati-hati. Pendekatan itu dapat
menimbulkan kecenderungan “memberhalalkan” masa lampau suatu bangsa,
apalagi bila anyaman masa lampau itu sarat oleh mitos yang bisa saja
melumpuhkan daya kritis peserta didik. Sebenarnya buku-buku teks lainnya
telah bermunculan, tetapi hampir-hampir tidak ada yang menggunakan

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
pendekatan moral-saintifik terhadap perjalanan sejarah bangsa. Dalam pada
itu, literature tentang sejarah umum masih amat sedikit, padahal fungsinya
sangat penting. Sejarah nasional khususnya dianggap mempunyai nilai
didaktif-edukatif bagi pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu
berdasarkan atas pengalaman kolektif bernegara dan berbangsa (Helius
Sjamsudin, 1998: 103).
Akan tetapi jangan dilupakan bagaimana keterlibatan daerah dalam
memperjuangkan bangsa ini maka perlu dan harus terus dilestarikan budaya
lokal karena merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah
bangsa indonesia, dalam konteks tersebut maka pembelajaran sejarah
berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah.
e. Kesadaran sejarah
Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap
jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota
masyarakat, dan sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1976). Menurut Suyatno
Kartodirdjo (2000: 1-7), kesadaran sejarah pada manusia sangat penting
artinya bagi pembinaan budaya bangsa. dapat dimaknai kesadaran sebagai
individu, makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa (Sardiman A.M.,
2005). Artinya bahwa kesadaran ini tidak hanya sebagai bangsa akan tetapi
juga sadar terhadap budaya lokal.
Budaya lokal itu sama adanya dalam mewujudkan kesadaran diri dari
pada suatu bangsa budaya lokal bersama dengan budaya nasional juga ikut
menciptakan gambaran tentang sifat-sifat hakiki manusia, manusia Indonesia
yang menghayati harapan mengenai masa depan (Soedjatmoko, 1973: 5).
Kesadara akan masa depan inilah yang harus dijaga dengan konsisten dalam
pembelajaran sejarah baik berkenaan dengan budaya lokal maupun nasional.
Dalam konteks ini kesadaran yang dibangun adalah upaya untuk
meningkatkan kesadaran sejarah dalam pembelajaran sejarah dengan
mengunakan budaya lokal. Supaya materi pembelajaran tidak monoton dalam
wilayah nasional saja, maka dengan budaya lokal ini dikembangkan kesadaran
bahwa banyak sekali nilai lokal yang bisa diangkat dan memiliki manfaat

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
untuk membagun kesadaran diantaranya, nilai perjuangan seorang wanita dan
nilai kekompakan yang tercermin pada budaya Rimpu dan budaya Sirih Puan
yang ada di derah Bima.
f. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan dalam makalah ini ada beberapa poin yang
menjadi kesimpulan. Pertama, berkenaan dengan budaya lokal dimana budaya
lokal ini sudah seharusnya dilestarikan dan dilaksanakan dalam pembelajaran
sejarah, dalam hal ini budaya lokal yang dijelaskan tersebut bagi dalam tataran
wilayah cakupan maupun keberadaan budaya lokal yang mulai pudar dengan
adanya globalisasi maka budaya lokal harus mampu bersaig dengan kemajuan
jaman saat ini. Kedua budaya lokal Bima yang menjadi pembahasan adalah
budaya Rimpun dan budaya Upacara Sirih Pua kedua budaya lokal ini menjadi
ciri dari budaya lokal Bima yang harus lebih di angkat dalam pembelajaran
sejarah karena memiliki nilai pelajaran yang sangat besar diantaranya
kesopanan tapi yang lebih penting adalah nilai perjuangan seorang wanita
untuk menjaga kehormatannya dan sejarahnya. dan Sirih Pua nialai yang bisa
diambil dari kebudayaan ini adalah bentuk kekompakan para pemuda kekar
yang memperjuangkan membawa uma lengge dan bentuk sejarahnya.
pembelajaran sejarah yang harus di angkat adalah pembelajaran yang memiliki
makna budaya lokal. Keempat, akhir dari penjelasan dalam makalah ini adalah
membentuk kesadaran sejarah siswa terhadap budaya lokal yang dimilikinya
agar peserta didik terpacu untuk mempelajarinya dan melestarikannya.

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
Daftar Pustaka
Buku
Chamber-loir, Henri dan Maryam, Siti, (2012). Bo’ Sangaji Kai. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Fakih, Mansour. (2003). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Giddens, anthony. (2001). Runaway world: Bagaimana Globalisasi
Merombak Kehidupan kita. Jakarta: Gramedia.
Isjoni, (2007). Pembelajaran Sejarah Pada Satuan Pendidikan. Bandung:
Alfabeta.
Judistira, k.g. (2008). Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menentang Masa
Depan. Bandung: Lemlit Unpad.
Koentjaraningrat. (2009). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna).
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Malik Hasan Mahmud , (2009). Gusu Waru. Mataram : Lengge Press.
Mariam , (2004). Hukum Adat Dan Undang-Undang Bandar Bima. Mataram:
Lengge.
Pradjoko dkk, (2008). Modul Sejarah Indonesia: Hibah Modeul Pengajaran:
Content Development Tema b1. Jakarta: Universitas Indoensia.
Sjamsuddin, (1996). Metodologi Sejarah, Jakarta: Depdikbud, Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik.
Sjamsuddin, (2011) Perekembangan Hitoriografi Bahan Kuliah Program
Pendidikan Sejarah. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Soedjatmoko. (1976). Kesadaaran Sejarah dalam Pembangunan. Jakarta:
Prisma.
Yunus, R, (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Lokal Genius) Sebagai
Penguat Karakter Bangsa Studi Empiris Tentang Huyula.
Yokyakarta: Deepublish.
Wicara, Lalu, dkk. (1984). Sejarah Pendidikan Daerah Nusa Tenggara Barat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-------------, (1978). Sejarah Daerah Nusa Tengara Barat. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wineburg, (2006). Berpikir Historis. Jakarta: Yayasan Obor.
Makalah
Ahmad Syafii Maarif, (1995). “Historiografi dan Pengajaran Sejarah
Indonesia”, Makalah dalam Seminar Nasional tentang Demitologi
Pemahaman Sejarah Masa Kini dalam Rangka Pendewasaan
Pengetahuan Sejarah Bangsa, Padang :FPIPS IKIP Padang.
Sjamsudin, Helius. (1998). “Penulisan Buku Teks Sejarah : Kriteria dan
Permasalannya”, Dalam Simposium Pengajaran Sejarah :
Kumpulan Makalah Diskusi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Supriyatna, Nana. (2010). Pendidikan Sejarah yang Berbasis Nilai-Nilai
Religi dan Budaya Lokal Banten untuk Menumbuhkan Karakter
Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6
Siswa. Proceedings of the 4th international conference on teacher
education; join conference upi & upsi. Bandung, Indonesia, 8-10
November 2010.
Jurnal
Lamusiah, Siti. (2013). Estetika Budaya Rimpu Pada Masyarakat Bima
“Kajian Religiulitas”. Mataram: Jurnal Media Bina Ilmiah. Issn
no. 1978-3787.
Artikel
Aulia, (2016). Rimpu : Budaya dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan
Bima. Bandung: Artikel diambil dalam. Bandung : Http:
Malhikdua.Sch.Id. Pada Tanggal 27-11-2016.
Hamid, (2016). Pembelajaran Sejarah yang Mencerdaskan (Online). Tersedia
Http: File Upi.edu/direktorat Tangal 2-10-2016.
Kementerian pendidikan dan kebudayaan, (2016). Kurikulum 2013
Kompetensi Dasar Sekolah Menengah atas (SMA) Madrasah
Aliyah (MA). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Dalam
Halaman Staff.Uny.ac.id. Diambil tanggal 28-11-2016.
Soedjatnoko, (1973). Kesadaran Sejarah dan Pembangunan. Jakarta.
Ceramah pada Penataran Akhli-Ahli FS. Ui jakatra: pada tanggal
16 sejarah di januari. Diambil dihalaman perpustakaan.
Bappenas.go.id/lontar/file diambil tanggal 28-11-2016.
Suyatno Kartodirdjo. (2000). Teori dan Metodologi Sejarah dalam
Aplikasinya, dalam Historika, No.11 Tahun XII. Surakarta:
Program Pasca Sarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri
Jakarta KPK Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2011. Makna-dan-Tujuan-Hanta-Ua-Pua. Dalam Halaman https:// alan
malingi. Wordpress. com diambil tangal 27-11-2016.

Bodata Penulis

Faidin, lahir di Kabupaten Bima desa Tente pada 12 Maret 1994. Aktifitas
sehari-hari sebagai Mahasiswa S2 Pedidikan Sejarah UPI. Menamatkan jenjang
sarjana S1 di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Mataram.
Nomor kontak 082342902040. Email faidinhistory94@gmail.com.

Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional & Workshop Pendidikan Sejarah Se- Indonesia pada tanggal 7 – 8
Desember 2016 Prosiding Seminar.
Editor : Tarunasena and Wawan Darmawan
Diterbitkan: Departemen Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. ISBN : 978-979-18490-3-6

Potrebbero piacerti anche