Sei sulla pagina 1di 11

AGAMA DAN PENDIDIKAN AGAMA PADA MASA MAJAPAHIT

Hariani Santiko

Abstrak. Pada zaman Majapahit, pendidikan agama memegang peranan penting. Pendidikan dapat
dilakukan secara perorangan, bisa pula mengikuti pendidikan di sebuah pusat pendidikan agama
yang disebut “Mandala atau Kadewaguruan”. Letak Kadewaguruan jauh dari permukiman/kota,
terletak di tempat yang sunyi di hutan-hutan, di puncak bukit, di lereng gunung, di tepi pantai dan
sebagainya. Kadewaguruan dipimpin oleh seorang mahāresi yang disebut pula śiddharesi, dewaguru,
oleh karena itu pusat pendidikan ini disebut Kadewaguruan. Dalam kesehariannya dewaguru dibantu
oleh para murid senior yang disebut para ubwan, pendeta-pendeta wanita, dan manguyu, pendeta
laki-laki. Para murid yang masih pemula disebut kaki, tapaswi (laki-laki) dan, endang atau tapi, kili
(perempuan). Pengetahuan diajarkan secara bertahap, pada tahap awal (ajaran pendukung) diajarkan
“tata upacara” (dīksā-widhi-widhāna), kemudian tahap berikutnya berupa ajaran inti tentang konsep
Realitas Tertinggi dan usaha melebur diri (kalěpasan, moksa) dengan Bhattara tersebut. Ringkasan
ajaran dewaguru terdapat dalam kitab-kitab keagamaan yang disebut Tutur.

Kata kunci: tattwa Śiwa, dīksā-widhi-widhāna, catur wiphala, kalěpasan, moksa

Abstrac. Religion and Religious Teaching During the Majapahit Period. During the Majapahit
period religious teaching played an important role. The teaching could be done individually or in a
centre for religious teaching called “Mandala” or “Kadewaguruan”. A Kadewaguruan was usually
located far from habitation places (cities), such as quiet forest, on top of a hill, mountain slope, or by
the sea shore. A Kadewaguruan is led by a mahāresi (high priest), who is also known as śiddharesi
or dewaguru; hence the education centre is called Kadewaguruan. In his daily activities, a dewaguru
was assisted by his senior disciples named ubwan, female priests, and manguyu or male priests. New
disciples were called kaki, tapaswi (male ones) and endang or tapi, kili (female ones). The teachings
were taught in phases. During the first phase (supportive teachings), ceremony procedures (dīksā-
widhi-widhāna) were taught, and in the next phases were taught the main teachings about the concept
of the Utmost Reality and the attempt to unite oneself (kalěpasan, moksa) with Bhattara (god). The
summary of the dewaguru teachings can be found in religious manuscripts named Tutur.

Keywords: tattwa Śiwa, dīksā-widhi-widhāna, catur wiphala, kalěpasan, moksa

1. Pendahuluan Majapahit mencapai puncak kebesarannya.


Kerajaan Majapahit yang merupakan Namun setelah Hayam Wuruk wafat, kerajaan
kerajaan Hindu-Buddha yang terbesar dan yang Majapahit mundur karena perang perebutan
terakhir di Jawa diperkirakan terletak di Trowulan tahta, dan juga karena bencana alam. Menurut
pada masa sekarang. Negara agro-maritim ini penelitian, Gunung Kelud meletus delapan -
didirikan oleh Raden Wijaya di Desa Tarik sepuluh kali pada masa itu (Sartono & Bandono
pada tahun 1294 Masehi. Kerajaan ini berdiri 1995: 50-53).
selama kurang lebih 400 tahun, dan pada waktu Berbagai isu penelitian tentang Majapahit
pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350-1389), telah banyak dilakukan, di antaranya isu politik,

123
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

ekonomi, agama, pemukiman, kehidupan sehari- mempunyai tiga bagian candi, yaitu kaki-
hari. Namun mengingat Majapahit berdiri dalam tubuh-atap. Dumarçay menyebut bangunan
kurun waktu sangat lama, maka masih terbuka semacam ini sebagai “gaya Kidal”, walaupun
berbagai masalah untuk diteliti. terdapat beberapa variasi baik struktural maupun
Penelitian tentang kehidupan beragama ornamental (1989:78-82). Kemudian terdapat
dengan mempergunakan data artefaktual dan bangunan yang memiliki kaki candi berundak
tekstual telah banyak dibahas oleh penulis (1986, teras dengan atau tanpa tubuh candi, yang disebut
1990, 1995a, 1995b, 1998, 1999, 2002, 2007) sebagai “gaya Majapahit” (Santiko 1995a).
namun ternyata masih terdapat satu bagian yang Candi gaya Majapahit dengan tubuh candi,
belum tuntas, yaitu tentang ajaran agama yang tidak memiliki atap lagi, kemungkinan atap
diberikan oleh para guru kepada murid (śisya, dibuat dari bahan yang mudah rusak. Bangunan
sadhaka), khususnya di pusat-pusat pendidikan dengan kaki berundak teras yang memiliki ruang
agama yang dikenal sebagai Mandala atau candi (gaṛbhagṛha) ini didirikan di suatu dataran
Kadewaguruan. Tulisan ini akan membicarakan rendah, misalnya Candi Jago, Candi Rimbi,
ajaran agama tersebut, namun sebelum membahas Candi Induk Panataran11. Sementara itu beberapa
tentang ajaran agama akan diuraikan secara candi didirikan di lereng-lereng gunung, tubuh
singkat terlebih dahulu peninggalan bangunan candi diganti oleh altar atau/dan miniatur candi.
dan tempat suci, serta agama yang berkembang Di samping itu terdapat beberapa candi dengan
di Majapahit. kaki candi berbentuk lapik, misalnya Candi
Kotes dan mungkin pula Candi Tegawangi,
2. Agama pada Masa Majapahit Candi Kedaton, Candi Gambar Tulungagung,
2.1 Peninggalan Arkeologi Candi Gambar Wetan (Santiko 1995a).
Majapahit banyak meninggalkan Disamping perbedaan sifat keagamaan,
bangunan suci serta tempat-tempat suci lainnya, serta gaya candi, terdapat pula perbedaan
yang merupakan sisa sarana ritual keagamaan status dan fungsi tempat-tempat suci tersebut.
masa itu. Di samping bangunan suci yang disebut Berdasarkan statusnya, bangunan dan tempat-
candi, terdapat pula pemandian suci (patīrthān) tempat suci itu dapat kita kelompokkan menjadi
dan gua-gua pertapaan, serta beberapa pintu dua, yaitu bangunan dan tempat-tempat suci yang
gerbang. Candi-candi pada masa Majapahit dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada
ini kebanyakan bersifat agama Śiwa, hanya di luar kekuasaan pemerintah pusat. Bangunan
sedikit yang bersifat agama Buddha, contoh dan tempat suci yang dikelola oleh pemerintah
candi-candi Buddha adalah Candi Jago, Candi ada dua macam, yaitu:
Sanggrahan, Candi Jabung, Candi Bhayalango. a. Dharma-dalm (Arj. XXIII) yang disebut pula
Sifat keagamaan ini kita ketahui dari ciri-ciri sebagai dharma-haji ( Nāg. LXXVV:2a),
arsitektural candi, jenis arca yang ditinggalkan, yaitu bangunan suci yang diperuntukkan
serta dukungan bukti data tekstual, misalnya raja beserta keluarganya. Menurut
Kakawin Nāgarakṛtāgama, Kakawin Sutasoma, Nāgarakṛtāgama, setiap bangunan suci
Kakawin Arjunawijaya, Pararaton, dan beberapa dikelola oleh seorang sthāpaka dan seorang
berita dari prasasti. wiku rāja (wiku haji) dan secara keseluruhan
Bangunan suci candi masa Majapahit, diawasi oleh seorang dharmādhyaksa (ketua
berdasarkan gaya seninya dikelompokkan pengadilan/pemimpin keagamaan) di istana,
menjadi dua, yaitu candi-candi gaya Singasāri 1 Candi tipe ini penulis perkirakan adalah candi pendharmaan
dan candi-candi gaya Majapahit. Candi- raja dan keluarganya, bangunan dengan kaki berundak teras,
tubuh dan atap yang menjulang tinggi, prasada yang megah
candi gaya Singasāri adalah candi-candi yang sesuai dengan kedudukan pemiliknya.

124
Hariani Santiko, Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit

ketika Prapañca menyusun kitabnya yang misalnya Candi Jago, Candi Rimbi, Candi
menjabat dharmādhyaksa adalah Arya Simping (Sumberjati). Pada umumnya
Wiradhikara. Jumlah dharma haji ini ada candi mempunyai kaki berundak teras tiga,
27 buah, di antaranya Kagenengan, Kidal, mempunyai tubuh candi dengan ruang
Jajaghu, Pikatan, Weleri, Sukalila, Kumitir tengah (gaṛbhagṛha) untuk menempatkan
(Pigeaud I, 1960:57). arca perwujudan (dewawimbha)4.
b. Dharma-lpas adalah bagunan suci/tempat b. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai
suci yang didirikan di atas tanah wakaf kuil, struktur bangunan kaki berundak teras
(bhūdāna) pemberian raja untuk para ṛsi- tiga atau berupa sebuah lapik (batur). Tubuh
śaiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan candi diganti oleh altar dan/atau miniatur
untuk mata pencaharian (pakajiwita) para candi, oleh karenanya tidak terdapat arca
agamawan tersebut (Soepomo I, 1977:123). dewa. Candi-candi kuil ini dipakai pūja oleh
Dharma-lpas kaśaiwan dikelola oleh para ṛsi, dan yang tertua adalah Candi Kotes.
dharmādhyaksa ring kaśaiwan, dharma-lpas Bangunan-bangunan suci tersebut pada
ring kasogatan dikelola oleh dharmādhyaksa umumnya terletak di lereng-lereng gunung,
ring kasogatan. Sementara itu terdapat misalnya di lereng Gunung Penanggungan,
karěsyan yang berjumlah tujuh dikelola oleh lereng Gunung Lawu, lereng Gunung Wilis,
mantri-her-haji (Pigeaud I, 1960:58). lereng Gunung Arjuna dan sebagainya.
Selain itu masih terdapat bangunan/ Kompleks Candi Panataran tidak
tempat suci yang berada di luar pengelolaan termasuk kelompok a maupun b, karena
pemerintah pusat, kebanyakan adalah milik para Candi Panataran adalah candi kerajaan yang
ṛsi (pertapa wanaprastha)2 antara lain mandala dibangun oleh raja-raja Majapahit untuk memuja
atau kadewaguruan, katyagan, janggan, dan lain Paramaśiwa. Candi induk diberi relief cerita
sebagainya, yang pada umumnya tempat-tempat Rāmāyana dan Kṛsnāyana, dua cerita tentang
itu disebut patapan atau wanāsrama, karena Dewa Wisnu, dewa panutan para raja dan para
tempatnya yang terpencil di hutan-hutan (wana). ksatria5.
Mandala yang disebut pula kadewaguruan,
adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin 2.2 Multi-agama di Majapahit
oleh seorang śiddharsi (mahāṛsi) yang disebut Berdasarkan penelitian kedua jenis data
pula dewaguru (Santiko 1986, 1990). yaitu data artefaktual dan data tekstual dapat
Selanjutnya, berdasarkan fungsinya, dikemukakan, bahwa pada zaman Majapahit
candi-candi pada zaman Majapahit dapat kita terdapat multi-agama. Dua agama besar yaitu
kelompokkan menjadi dua, yaitu: agama Śiwa dari aliran Śaiwasiddhānta dan
a. Candi-candi yang mempunyai fungsi ganda, agama Buddha Mahāyana, serta terdapat bebe-
yaitu sebagai kuil untuk memuja dewa, rapa aliran agama Śiwa yaitu agama Śiwa
sekaligus untuk pendharmaan3 seorang raja,
4 Seperti disebut pada poin 3, arca perwujudan adalah arca dewa
2 Dalam agama Hindu terdapat 4 tahap hidup bagi semua pelindung (īṣṭādewatā) raja, dimana ia akan meleburkan diri
orang, yaitu pertama brahmācharya (menjadi murid) gŗhastha bersatu dengan dewa tersebut.
(mendirikan rumah tangga untuk mendapatkan keturunan), 5 Cerita Rāmāyana dan Krěsnayana mempunyai tokoh sentral
wanaprastha (bagi yang selesai tugas gŗhastha, maka mereka Dewa Wisnu, dewa pelindung manusia dan alam semesta. Di
mengundurkan diri untuk bertapa di hutan), dan sanyasin Jawa, Dewa Wisnu tidak pernah menjadi tokoh agama resmi
yaitu telah mencapai kesempurnaan hidup bisa dikatakan telah sebuah kerajaan seperti halnya Dewa Śiwa, tetapi ia menjadi
mencapai kelepasan atau jivan mokta. panutan raja-raja dan para pahlawan. Oleh karenanya 2 cerita
3 Pendharmaan, yaitu candi yang didirikan oleh seorang raja tersebut dipilih untuk dipahat pada dinding candi kerajaan yaitu
sebagai dharma-nya (kewajiban), dan setelah meninggal di Candi Siwa, kompleks Prambanan, candi kerajaan raja-raja
dibuatkan arca dewa pelindung (īṣṭādewatā) raja tersebut, Mataram Hindu (Mataram Kuna) dan di Candi Panataran,
dikenal sebagai “arca perwujudan” raja, dan ditempatkan di candi kerajaan raja-raja Majapahit, khususnya sejak jaman raja
ruang candi. Jayanagara hingga ratu Suhita.

125
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

Bhairawa, agama Śiwa yang dikembangkan oleh “merangkul” penganut agama Śiwa yang sudah
para ṛsi, pemujaan lingga, kemudian terdapat tentu tidak sedikit jumlahnya. Kṛtanagara
pula agama Waisnawa, agama lokal, dan lain berusaha mempertemukan agama Śiwa dan
sebagainya. agama Buddha dengan mengembangkan konsep
Agama Śaiwasiddhānta pada awalnya Śiwa-Buddha, yang mengatakan bahwa baik
berkembang di India Selatan, kemudian Śiwa, Buddha, maupun tokoh-tokoh dewa
berkembang di Jawa sejak pemerintahan raja tertinggi lainnya, sebagai Mahādewa (Kenyataan/
Siṇḍok dari dinasti Iśana pada abad 10. Namun Realitas Tertinggi) yang tidak berbeda karena
ajaran Śaiwasiddhānta yang berkembang menjadi tujuan pūja dari berbagai agama (Sut.
di Jawa ini mempunyai banyak perbedaan CXXXIX: 4d-5d, Santiko 1995b). Baik agama
dengan Śaiwasiddhānta India Selatan, karena Śiwa maupun agama Buddha tetap eksis dengan
Śaiwasiddhānta di Jawa sangat dipengaruhi penganut masing-masing yang menjalankan
filsafat Upanisad (Vedānta) dan filsafat upacara sesuai ajaran dan aturan agama mereka,
Samkhya (Goris 1926; Subadio 1971). Kitab demikian pula mereka masih tetap memiliki
ajarannya dikenal dengan nama Tutur6 dan bangunan-bangunan suci tersendiri (Arj. XXVII).
yang tertua adalah Tutur Bhuwanakośa yang Menurut pupuh LVI Nāgarakṛtāgama, raja
disusun pada masa pemerintahan Siṇḍok (Goris Kṛtanagara mendirikan Candi Jajawa, sekarang
1926; Mishra 1991). Di samping Bhuwanakośa, dikenal sebagai Candi Jawi, yang bersifat Śiwa-
kita kenal beberapa Tutur lainnya, antara lain Buddha agar dipakai pūja bersama oleh pemeluk
Bhuwanasangksepa, Ganapatitattwa, Wṛhaspati- agama Śiwa dan pemeluk agama Buddha. Dalam
tattwa, Tattwa Sanghyang Mahajñana, dan Tutur pupuh LVI:1d dikatakan:
Jñanasiddhanta. Tutur yang disebut terakhir …etunyang dwāya śaiwa buddha sang amūja
disusun pada zaman Majapahit, dan merupakan ngūni satata… yang berarti: “itu sebabnya kedua
kompilasi dari berbagai Tutur sebelumnya (pemeluk) Śiwa dan Buddha dahulu melakukan
(Subadio 1971). pūja secara bersama”.
Agama Śaiwasiddhānta ini terus Selain Candi Jajawa (Jawi), Kṛtanagara
berkembang sampai Majapahit runtuh, dan juga mendirikan candi Śiwa-Buddha lainnya,
merupakan agama resmi kerajaan. Raja-raja yaitu Candi Singasāri. Dengan demikian, Śiwa-
Majapahit memeluk agama Śaiwasiddhānta, Buddha adalah sebutan untuk Kenyataan/
kecuali ratu Tribhuwanotunggadewī ibu Hayam Realitas Tertinggi (Absolute Reality) dan bukan
Wuruk, memeluk agama Buddha Mahāyana. nama agama baru. Mengingat masing-masing
Tetapi sebaliknya agama Buddha Mahāyana yang agama masih eksis maka tidak mungkin telah
berkembang pesat di masa kerajaan Matarām terjadi sinkretisme kedua agama. Penulis
Kuna, pada periode Jawa Timur mengalami lebih cenderung pada pendapat Pigeaud, yang
kemunduran, hal ini antara lain diperlihatkan memakai istilah “parallellisme” (kesejajaran),
oleh jumlah bangunan suci agama Buddha pada karena dalam Nāgarakṛtāgama terlihat nyata
masa awal periode Jawa Timur sangat jarang. kedudukan yang sejajar antara kedua agama
Perubahan baru terjadi pada masa Singasāri, tersebut. Menurut penulis istilah parallellisme
karena seorang rajanya yaitu raja Kṛtanagara sangat tepat, karena dalam berbagai naskah,
yang beragama Buddha Tantrāyana, berusaha antara lain dalam Kakawin Sutasoma, Kakawin
Arjunawijaya, dan Kuñjarakarna, mereka
6 Tutur menurut P.J.Zoetmulder adalah sebuah smrti yang berarti
“mengingat, menghafalkan”. Di India ada 2 jenis kitab suci mengakui bahwa Realitas Tertinggi itu hanya
agama Hindu yaitu yang tergolong śruti (didengar) yaitu kitab- satu tetapi disebut dengan berbagai nama
kitab Weda yang “didengar” oleh para maharesi dan kitab-kitab
tergolong smrti yaitu kitab-kitab Purana. tergantung agama si pemuja. Ia adalah Bhatara

126
Hariani Santiko, Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit

Buddha bagi pemeluk agama Buddha, bagi “dimakan” oleh pendeta tersebut (Pigeaud
pemeluk agama Śiwa Realitas Tertinggi disebut 1923:117-118; Santiko 1986)7.
Sang Hyang Paramaśiwa, sebagai Bhatara Wisnu Di samping agama Buddha dan agama
dalam agama Waisnawa dan sebagainya. Śiwa, terdapat agama Waisnawa yang memuja
Agama Śiwa dan agama Buddha menjadi dewa Wisnu. Namun Wisnu di Jawa bukan dewa
agama resmi di Majapahit, 2 pejabat keagamaan tertinggi dan tidak pernah menjadi agama resmi
yaitu dharmādhyaksa ring kaśaiwan dan kerajaan seperti halnya agama Śiwa. Wisnu
dharmādhyaksa ring kasogatan terdapat dalam dipuja sebagai dewa pelindung (īṣṭādewatā)
struktur birokrasi pusat kerajaan Majapahit oleh para raja dan pahlawan, sesuai dengan tugas
(Djafar 1986:3; Santiko 1995b). Wisnu sebagai dewa pelindung dunia …. (sirān
Selain agama Śaiwasiddhānta, di mangrakṣa jagat) (Mishra 1991:17; Santiko
Majapahit berkembang agama Śiwa Bhairawa 2006:41).
(Bherawa Śiwapakṣa) yang dipeluk oleh
beberapa pejabat tinggi masa itu. Aliran ini 3. Pendidikan Agama
memuja Śiwa sebagai Bhairawa, kemungkinan Pada makalah penulis untuk PIA tahun
sempalan dari agama Śiwa Kāpālika dari India 1986 yang berjudul “Mandala (Kadewaguruan)
Selatan. Penganut agama Śiwa Bhairawa pada Masyarakat Majapahit”, telah penulis
melakukan tapas yang sangat keras, tinggal kemukakan bahwa pada masa Majapahit, terdapat
di kuburan, melakukan korban diri sendiri, pusat-pusat pendidikan agama yang disebut
memakan daging manusia atau binatang, serta mandala, disebut pula sebagai Kadewaguruan
meminum darahnya, ritual ini disebut sebagai karena dipimpin oleh seorang Śiddhapandita atau
mahāvrata. Karena kerasnya peraturan tapas Mahāṛsi, yang disebut Dewaguru (Santiko 1986,
tersebut di India Selatan sendiri agama Śiwa 1990). Mandala (Kadewaguruan) disebut pula
Kāpālika ini telah lenyap (Lorenzen 1972, sebagai wanāsrama karena letaknya terpencil,
Santiko 1986). Dugaan bahwa agama Śiwa di tempat-tempat sunyi, di hutan-hutan, di
Bhairawa adalah Śiwa Kāpālika berdasarkan lereng gunung, di pantai-pantai dan sebagainya8.
uraian dalam kitab Tantu Panggelaran yang Merupakan sebuah kompleks perumahan para
disusun pada akhir masa Majapahit, yang pertapa, dengan tatanan secara khusus. Tempat
menceritakan tentang tokoh-tokoh penganut tinggal Dewaguru berada di tengah-tengah
agama Bhairawa, yaitu Mahampu Palyat, Mpu kompleks dikelilingi oleh rumah murid-murid
Barang, dan Mpu Waluhbang, yang tinggal di yang disusun berjenjang berdasarkan tingkat
kuburan Kalyasem, di lereng Gunung Hyang. pengetahuan mereka. Dewaguru tinggal di
Mereka bertapa dengan makan mayat di tengah tengah tengah, disebut tapowana atau pājaran.
malam: Di sekitarnya adalah tempat tinggal murid-
”…kunang denira mangan tapa murid senior, yaitu tempat tinggal pangubwanan
bherawapaksa lkasira amangan śawaning (para pendeta wanita) dekat dengan tapowana,
inayĕmira tang śawa tatkala tengah wĕngi
sira panadah…”, artinya… ”adapun tapa 7 Ada 6 tanda (sat-mudrikā) pengganut aliran Kapalika, yaitu 2
macam kalung (kanthikā dan rucaka), kundala, upawīta, hiasan
Bherawapaksa olehnya makan mayat manusia, bulan sabit (śikhaman), dan abu pembakaran mayat yang dipakai
melumuri tubuhnya. Di samping itu ada 2 mudrā tambahan yaitu
dikunyahnya mayat itu di tengah malam
kalung tengkorak dan khatwanga. Keenam tanda (sat-mudrika)
makannya…”. tidak lengkap disebut dalam Tantu Panggelaran, khususnya
kundala sangat penting bagi para pendeta Bhairawa tersebut.
Mahampu Palyat dianggap sebagai 8 Oleh karena letaknya di tempat-tempat sunyi, di hutan-
Bhatara Guru yang menjelma menjadi manusia, hutan, maka Kadewaguruan disebut Wanasrama. Dalam
Nāgarakṛtāgama sebuah Mandala yaitu Wanasrama Sagara
sehingga banyak manusia yang sukarela pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk.

127
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

kemudian tempat tinggal para pendeta laki-laki terkena sakit, tak terpikirkan, tanpa awal, tanpa
(pamanguywan) dan paling luar adalah tempat- pertengahan, tanpa akhir”, dan sebagainya
tinggal para pemula yaitu para kaki dan endang, (Mishra 1994:15). Sebagai dewa tertinggi,
atau tapaswi, tapi karena tata letaknya inilah mempunyai 3 tattwa (hakekat/kenyataan), yaitu
maka kompleks perumahan pertapa tersebut Paramaśiwa-Sadaśiwa-Śiwatattwa masing-
disebut mandala (lingkaran) dengan titik pusat masing bersifat, nirguna/niskala, yang berarti
tapowana, tempat tinggal Dewaguru (Santiko tidak terpengaruh guna (sifat, yaitu sattwa, rajas,
1990). Mandala Kadewaguruan kemungkinan tamas) dan tidak berwujud untuk Paramaśiwa,
telah muncul pada zaman Singasāri, karena nirguna-saguna/niskala-sakala untuk Sadaśiwa,
dibicarakan dalam kitab Rājapatiguṇḍala yang dan saguna/sakala untuk Śiwatattwa. Mengenai
berasal dari masa Singasāri. Raja yang disebut 3 tattwa Śiwa ini dibicarakan secara panjang
adalah raja Bhatati yang diperkirakan sebutan lebar dalam Tutur Wṛhaspati-tattwa, yang
raja Kṛtanagara (Pigeaud IV, 1962:360-367). dikaitkan dengan pengertian cettana yaitu
Jumlah Kadewaguruan di Majapahit makin “kesadaran murni” dan acetana yang berarti
banyak sejak pemerintahan raja Hayam Wuruk. “tidak memiliki kesadaran” dan disamakan
Menurut penelitian Haryati Subadio, dengan māya (Sudarshana Devi 1957:37 dst.).
pendidikan agama sangat penting oleh karenanya Paramaśiwa tidak dapat dipengaruhi māya, tetap
pemilihan guru agama yang baik sangat diper- sadar dan suci, Sadaśiwa telah “disusupi” oleh
lukan. Pendidikan bisa dilakukan perorangan atau māya (acettana), oleh karena itu ia berkekuatan
berkelompok, maksudnya mengikuti pendidikan śakti yang berjumlah 4, yaitu wibhuśakti,
agama di pusat pendidikan agama seperti halnya prabhuśakti, jñanaśakti,kriyaśakti, keempatnya
kadewaguruan (1971:45-46). dianggap sebagai “singgasana” Śadaśiwa
yang disebut Cadhuśakti (Sudarshana Devi
3.1 Ajaran di Kadewaguruan 1957: 40; Phalguna 1999:141; Santiko 2007).
Apa yang diajarkan tidak ada penjelasan, Sekalipun demikian Śadaśiwa masih mempu-
baik dalam Rājapatiguṇḍala, Nāgarakṛtāgama nyai kedudukan tinggi, dihubungkan dengan
maupun dalam sumber tertulis lainnya. Pada praktek yoga, Śadaśiwa disebut bayubhuta
awal tulisan ini telah dikemukakan bahwa (yang berhakekat angin). Sementara itu
sejak zaman raja Siṇḍok (abad 10) telah pengaruh māya makin besar pada Śiwatattwa,
disusun buku-buku keagamaan yang bersifat ia bersifat wisesa, berada di mana-mana, tetapi
agama Śiwa yang disebut Tutur. Kitab-kitab ini sulit dibayangkan (Sudarshana Devi 1957:58;
banyak membicarakan filsafat dan pengetahuan Phalguna 1999:141-142; Santiko 2007).
keagamaan tentang Kehampaan (Śūnya), Di samping membahas tattwa Śiwa,
konsep-konsep Realitas Tertinggi yang disebut dalam Tutur masih dibicarakan lebih lanjut
Bhattara, tetapi tidak banyak membicarakan tentang berbagai konsep Realitas Tertinggi, antara
tata upacara keagamaan. lain pembicaraan tentang suku kata suci OM,
Dalam kitab Tutur, Kehampaan (Śūnya) tentang Linggodbhawa, tentang “pengaliran
disebut dengan berbagai nama, antara lain keluar” unsur-unsur manusia dari tubuh Śiwa,
Paramaśiwa, Parameśwara, Mahādewa, Śiwa, sangat sesuai dengan ajaran Samkhya, tentang
dan dipersamakan dengan suku kata abstrak padanan Śiwa dan Buddha dan sebagainya,
OM. Paramaśiwa adalah dewa tertinggi yang termasuk pembicaraan tentang usaha manusia
digambarkan dalam Tutur Bhuwanakośa dan mencapai kalěpasan/moksa9, usaha meleburkan
Wṛhaspatitattwa sebagai “ia tanpa rupa, tanpa 9 Kalěpasan dan moksa dibedakan dalam Kakawin Parthayajña,
kalěpasan diartikan sebagai “jivan mokta” yaitu kesempurnaan/
warna, tanpa bau, tanpa suara, tak teraba, tak manunggal dengan Śiwa/īṣṭādewatā-nya pada waktu masih

128
Hariani Santiko, Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit

diri dengan kehampaan (śūnya) secara sempurna, untuk memperoleh senjata sakti agar dapat
mencapai kemanunggalan dengan Paramaśiwa mengalahkan Kaurawa, adalah lambang
(Santiko: 2007). Untuk tujuan tersebut diajarkan seseorang yang mencari pengetahuan suci yang
berbagai cara, antara lain diajarkan melakukan akhirnya diperoleh dengan susah payah dan
tahap-tahap meditasi yang dikenal sebagai secara bertahap. Secara ringkas tahap-tahap
Catur Viphala, yaitu Nishpṛha, ketika Atma tersebut adalah sebagai berikut:
tidak terikat lagi oleh keduniawian, Nirbhāna, (1) Tahap persiapan (ajaran pendukung).
Atma tidak terikat lagi oleh tubuh, Niskala, Sebelum mempelajari filsafat dan
Atma bertempat di kaki Bhattara, dan Nirāśraya, konsep-konsep tentang Realitas Tertinggi,
lebur dalam tubuh Bhattara, kemanunggalan para murid harus menjalani tahap persiapan
sempurna10. Denikian pula diajarkan cara-cara yaitu tata susila dan tata upacara. Tata
Yoga berlipat 6 (sad-aṅga yoga). Semua ajaran susila adalah ajaran berkenaan dengan
tersebut dilakukan setelah melakukan tata sikap hidup yang baik, yaitu parārtha
upacara pemujaan Bhattara, yang disebut dīksā- yang berarti “memikirkan kebahagiaan
vidhi-vidhāna dalam Tutur Jñānasiddhānta orang lain daripada kebahagiaan diri
(Subadio 1971:68-69, 76-77). sendiri”, dan apabila berpegang teguh pada
Melihat isi kitab-kitab Tutur yang kasatyan (kebenaran) maka keberhasilan
uraiannya singkat - ajaran para guru agama yang akan tercapai. Kemudian parahita yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Melihat isi berarti “melakukan perbuatan baik untuk
ajarannya, kemungkinan kitab Tutur ini adalah orang lain”, khususnya bagi yang akan
bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar menjadi pemimpin, dan sebaiknya diawali
pengetahuan agama dan bukan untuk pemula dengan bertapa memohon anugerah
(Subadio 1971:58-60). dewa, serta menghilangkan sifat rajah
Pada beberapa akhir bab kitab Tutur, dan tamah. Tamah, sifat paling rendah,
dikatakan bahwa ajaran Tutur ini bersifat hendaknya dibasmi dengan kasatwikan
rahasia, tidak boleh diajarkan secara sembarangan (kesalehan), sahisnu (kesabaran), dan
(rahasya tēmēn, larangan tēmēn). Oleh karena mudita (kegembiraan), sedangkan sifat
kerahasiaannya ini, tidak mudah untuk rajah dibasmi dengan metri (kebajikan),
mengetahui berbagai ajaran di Kadewaguruan. karuna (belas kasihan), dan kaśantan
Sri Sukesi Adiwimarta dalam (ketentraman hati). Lebih lanjut diajarkan
disertasinya (1993) telah membandingkan untuk menghilangkan “musuh dalam
berbagai isi naskah terutama naskah Kakawin diri sendiri”, yaitu moha (kebingungan),
Parthayajña dari masa Majapahit, ia telah mada (mabuk), rāga (nafsu), dengan cara
berhasil mengungkapkan tahap-tahap ajaran mengarahkan trikāya yaitu manas, wāk,
dari seorang guru kepada muridnya (Adiwimarta citta (pikiran, perkataan, sikap) terhadap
1993:233). Dalam kakawin tersebut diceritakan kebaikan. Pentingnya mengarahkan trikāya
Arjuna yang berkelana ke Gunung Indrakila untuk kebaikan dengan tujuan dapat
mencapai kalepasan, juga disebut dalam
hidup, sedangkan moksa kemanunggalan terjadi pada waktu
telah meninggal. Tetapi dalam Tutur Jñānasiddhānta tidak Kakawin Nirarthaprākṛtya (Poerbatjaraka
dibedakan, bahkan kemanunggalan sementara (masih hidup)
disebut kamoksan pula.
1951:107). Demikian pula semua godaan
10 Catur Viphala adalah 4 tingkatan pembebasan yang dipakai yang lembut dan kasar harus dihadapi
dalam meditasi yang berakibat pembebasan jiwa untuk
sementara (waktu masih hidup), tetapi dapat pula terkait dengan dengan jalan bersamadhi melakukan
tingkatan jiwa yang telah terlepas dari jasmaninya menuju ke Śiwārcana (pemujaan kepada Dewa Śiwa).
arah manunggal dengan Śiwa atau īṣṭādewatā-nya, mencapai
kamoksan (sira ta mantuk ring śiwapada). Setelah tata susila diajarkan tata upacara

129
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

untuk membersihkan jasmani dan rohani mana”, sangkan-paran berarti “darimana


murid, yaitu dengan mengembangkan asal seluruh mahluk, (dan) menjadi tujuan
parārtha dan parahita, menghilangkan semua mahluk setelah meninggal”, dan
kejahatan (hala) dan menciptakan kebaikan sebagainya (Adiwimarta 1993:172-179).
(hayu) di dalam pikiran. Penyucian jasmani Kedua jenis ajaran itu (ajaran pendukung
dapat dilakukan dengan mencuci badan air/ dan ajaran inti) pada pelaksanaannya tidak
air suci yang disebut matīrtha dan melakukan dapat berdiri sendiri-sendiri, melainkan terjalin
pūja 3 kali dalam sehari (trisāndhya). menjadi satu, kalau dipisah tidak ada gunanya
Penyucian pikiran dengan yoga, hingga (Adiwimarta 1993:156).
tahap dhyānayoga berakhir, jiwa si murid Dengan membandingkan isi ajaran Tutur,
telah bersih (suci). Setelah bersih jasmani khususnya Tutur Jñānasiddhānta, dan isi ajaran
dan rohani diajarkan samadhi agar jiwa dalam Parthayajña, penulis berpendapat bahwa
mencapai kalepasan manunggal dalam tahap-tahap ajaran itulah yang diterapkan di
śunya. Dalam melakukan upacara, harus Kadewaguruan oleh Dewaguru. Ajaran tahap
menyertakan mūdra (sikap tangan), mantra awal misalnya dalam Tutur Jñānasiddhānta
dan japa11. Bertapa sangat dianjurkan untuk dikatakan bahwa “seseorang yang sangat bijak
membersihkan jiwa dari dosa/kleśa dan melaksanakan tata upacara pensucian (dīksā-
mencapai kawiratin (menghilangkan nafsu widhi-widhāna) di dunia, kemudian ia berusaha
keduniawian) (Adiwimarta 1993:133,155- melaksanakan Pengasingan Sempurna (Parama-
200, 193). Kaiwalya)”. Berarti bahwa seseorang pertama-
(2) Tahap Ajaran Inti tama harus melaksanakan kewajiban-kewajiban
Ketika tahap persiapan (ajaran di dunia, yaitu melaksanakan tata-upacara
pendukung) telah selesai, para murid telah pensucian dengan tepat, kemudian ia akan
siap untuk menerima ajaran inti, mencakup melakukan meditasi mengenai Pengetahuan
filsafat dan ilmu keagamaan, yang lazim tentang Pengasingan Sempurna (Parama-
disebut tattwa. Berbagai konsep dalam Kaiwalya-Jñana), yaitu pengetahuan suci
sistem keagamaan Śaiwasiddhānta, antara tentang “tempat Bhattara Paramaśiwa bersama
lain paśa (belenggu yang menghalangi Bhatara Sadaśiwa, manisfestasinya Ongkara”
jiwa manusia untuk mencapai kalepasan, (Mishra 1991:6). Bila berhasil melaksanakan 4
dalam kakawin disebut tali/dadung), tahap meditasi (catur wiphala) ia akan menjadi
māya, punarbhawa (kelahiran kembali), parama-pandita, dan bebas dari Kelahiran
kalĕpasan, moksa. Selanjutnya diajarkan Kembali (punar janma) akan mencapai
unsur-unsur filsafat keagamaan, diantaranya pembebasan jiwa untuk sementara. Selanjutnya
konsep transendensi dan immanensi dalam diajarkan yoga yang berlipat 6 (sad-aṅga-yoga),
hubungan antara manusia dan Realitas setelah itu diajarkan berbagai konsep tentang
Tertinggi, tentang hubungan mikro dan śūnya (Subadio 1971:69-71 dst; Sudarshana
makrokosmos, dan sebagainya. Realitas Devi 1957:64). Demikian pula terdapat beberapa
Tertinggi yang disebut Bhattara mempunyai persamaan antara kakawin dan tutur dalam hal
sifat wibhuh, yang berarti “yang meresapi isi Ajaran Inti tentang konsep Bhattara (Realitas
segalanya, yang memenuhi seluruh alam Tertinggi), perbedaan hanya terdapat dalam
semesta”, sarwagata berarti “hadir dimana- istilah-istilahnya saja. Misalnya dalam hal
11 Mantra adalah kata-kata atau kalimat yang mempunyai kekuatan konsep hubungan antara Bhattara dan manusia,
magis, terkait dengan tokoh esensi dewa/dewi tertentu, kalau yang dikatakan Bhattara ada di dalam diri
japa adalah mantra yang diucapkan berulang-ulang.

130
Hariani Santiko, Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit

manusia, Kakawin Parthayajña menyebut “Dia 4. Penutup


yang ada di dalam lubuk batin manusia” (sang Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat
munggwing tělěng ing hiděp…), sedangkan penulis kemukakan bahwa pada jaman Majapahit
dalam Tutur Bhuwanakośa, misalnya, disebut pendidikan keagamaan dilakukan secara
“Dia bersemayam di hati semua mahluk” (sira perorangan dan secara berkelompok, maksudnya
humunggu ring hati ning sarwwa māwak)” di sebuah pusat pendidikan agama, di antaranya
(Mishra 1991:1), bahkan dalam Jñanasiddhānta mandala (kadewaguruan). Kadewaguruan
secara eksplisit dikatakan: sira tamolah haneng dipimpin oleh seorang Mahāresi yang disebut
janma kabeh (bab 6), pada bab 16 dikatakan Dewaguru yang dalam tugasnya dibantu oleh
“tempat tinggal Śiwa disebut Sang Hyang murid-murid senior yaitu para ubwan dan
Lokanatha, yang tidak lain adalah empedu manguyu. Para murid belajar bertahap mulai dari
hitam yang ada di tengah-tengah hati dan pada tata upacara dan dilanjutkan dengan ajaran inti
akar jantung” (ikang witning hati těngahning tentang konsep-konsep Realitas Tertinggi.
pusuh-pusuh, hana ta ampru ahirěng wěkasning Tetapi seperti telah dikemukakan Haryati
ahirěng, ahirěng tungtungnya, sira ta hyang Subadio bahwa Tutur adalah semacam buku
Loka Natha ngaranya, ungwan Bhattara Śiwa) pegangan para guru untuk mengajar murid-
(Subadio 1971:191). murid yang sudah mempunyai dasar keagamaan,
Bahwa ajaran yang dilaksanakan dalam maka apa yang ditulis dalam Tutur hanya uraian
2 tahap tersebut di atas kemungkinan dilakukan singkat-singkat saja. Untuk mengetahui isi
di sebuah kadewaguruan, dapat kita lihat pada Ajaran Inti di Kadewaguruan secara mendalam,
berbagai tema cerita yang terpahat di dinding sebaiknya kita lakukan studi perbandingan lebih
candi-candi kompleks Panataran. Kompleks lanjut isi Tutur dengan berbagai sumber tertulis
candi ini diduga dahulunya bagian dari sebuah baik prasasti, maupun dengan naskah lainnya.
Kadewaguruan yang besar, yang disebut Rabut Tidak menutup kemungkinan ajaran-ajaran
Carat oleh Bhujangga Manik, seorang pendeta para ṛsi tersebut bisa kita pelajari melalui relief
dari tanah Pasundan (Noorduyn 2005:123-124). candi, antara lain berbagai cerita yang dipahat
Misalnya tema hala-hayu digambarkan oleh di dinding candi masa Singasāri dan Majapahit,
kehidupan sehari-hari yang dipahat di dinding termasuk relief di kompleks Candi Panataran.
patīrthān, yaitu cerita Tantri, tema kawiratin,
usaha menghilangkan nafsu keduniawian dengan
jalan bertapa (cerita Sang Satyawan, Bubuksah-
Gagangaking), kalěpasan (Sri Tañjung),
upacara trisandhya12 terdapat pada dinding
candi induk yang menggambarkan pemujaan
matahari, dharma mengalahkan adharma (cerita
Rāmāyana) dan sebagainya (Santiko 2002).
Apabila benar kompleks Candi Panataran bagian
dari sebuah Kadewaguruan, maka relief-relief
tersebut akan sangat membantu konsentrasi
pikiran para murid.

12 Trisandhya atau sandhya-traya, adalah saat-saat terjadinya


pergantian waktu disebabkan oleh peredaran matahari. Saat-
saat ini merupakan waktu yang penting dan harus dilakukan
upacara, yaitu waktu fajar, tengah hari dan senja hari.

131
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Adiwimarta, Sri Sukesi. 1993. Unsur-unsur Ajaran Dalam Kakawin Parthayajna, Disertasi,
Universitas Indonesia.
Djafar, Hasan. 1986. “Beberapa catatan mengenai Keagamaan pada masa Majapahit Akhir”, PIA IV.
Dumarçay, Jacques. 1989. The Temples of Java. Singapore: Oxford University Press.
Goris, R. 1926. Bijdrage Tot de Kennis in Oud-Javaansche en Balineesche Theologie. Leiden,
Dissertasi.
Lorenzen, David N. 1972. The Kapalikas and Kalamukhas: Two Lost Sivait Sects. Berkeley: University
of California Press.
Mishra, I Gusti Ngurah Rai. 1991. Buana Kosa, Alih Aksara dan Alih Bahasa. Den Pasar: Pusat
Dokumentasi Kebudayaan Bali.
Noorduyn, J. 1982. “Bhujangga Manik’s Journey through Java:Topographical Data from an Old
Sundanese source”, Bijdragen tot de Taal, Land-en Volkenkunde 138: 413-442.
Phalguna, T.D.M. Dharma. 1962. Dharma Śūnya. Leiden, Disertasi.
Pigeaud, Th.G.Th. 1924. De Tantu Panggelaran, uitgegeven,vertaald en toegelicht, Leiden, Disertasi.
----------. 1960-1962. Java in the Fourteenth Century, A Study on Cultural History. The
Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit. 5 vols. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, R.M. 1951. “Nirarthaprakrtya”, Bijdragen Tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde.
Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kadewaguruan) pada masa Majapahit”, PIA IV: 149-170.
----------. 1987. Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada abad X-XV Masehi. Jakarta: Disertasi UI.
----------. 1990. “Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa”, Edi Sedyawati et al. (ed.). Monumen.
Karya Persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono, hal. 156-71. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
----------. 1995a. Seni Bangunan Sakral Masa Hindu-Buddha di Indonesia abad VII-XV Masehi:
Analisis Arsitektur dan Makna Simbolis, pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Madya UI.
----------. 1995b. “Early Research on Siwaistic Hinduism during the Majapahit Era”, in John N.
Micksic and Endang Sri Hardiati (eds.), The Legacy of Majapahit, hal. 55-70. Singapore:
National Heritage Board.
----------. 1998. The Religious Function of Narrative Reliefs Sanctuaries in Majapahit Period”, paper
submitted to the 7th International Conference European Association of Southeast Asian
Archaeologists, 31 August - 4 September.
----------. 2002. “Hubungan Ajaran Tutur dengan Fungsi Tempat-tempat Suci Hindu Masa Singasari
dan Majapahit”, PIA IX. Solo.
----------. 2007. “Pantheisme pada Masa Majapahit”. Pantheisme – Manunggaling Kawula lan Gusti
dalam Naskah Nusantara, hal. 18-30. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

132
Hariani Santiko, Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit

Sartono & Bandono. 1995. “The Destruction of Majapahit from the Perspective Geology”, The
Legacy of Majapahit, hal. 43-53. Singapore: National Heritage Board.
Singhal, Sudarshana Devi. 1957. Vrhaspati-tattva: An Old-Javanese Philosophical Text. Nagpur:
International Academic of Indian Culture.
Soepomo, S. 1977. Arjunavijaya of Mpu Tantular, 2 vols. The Hague: M.Nijhoff.
Subadio, Haryati. 1971. Jnanasiddhanta. The Hague: M.Nijhoff.

133

Potrebbero piacerti anche