Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Muhammad Rais1
Pendahuluan
Sejarah awal pendidikan Islam di Indonesia, berkaitan erat dengan sejarah
awal datang dan masuknya Islam di negara ini.2 Pendidikan Islam di Indonesia dalam
1 Dosen tetap Sejarah Peradaban Islam (SPI) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN)
Sorong-Papua Barat. E-mail: muhammadrais.bone@yahoo.co.id.
2 SidiIbrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), h. 32. Lihat juga Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 17.
Menurut catatan sejarah bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke -7 M atau bertepatan
dengan tahun 1 Hijriah. Ini berdasarkan seminar masuknya agama Islam di Indonesia yang
diselenggarakan di Medan pada tahun 1963, yang menyimpulkan sebagai berikut: (1). Islam
pertama kali datang di Indonesia pada abad ke-7 M (abad ke-1 H), dibawa oleh pedagang dan
muballig dari negeri Arab; (2) Daerah yang pertama dimasuki ialah pantai Barat Sumatera
yaitu di daerah Baros, tempat kelahiran ulama besar bernama Hamzah Fansyuri. Adapun
kerajaan Islam yang pertama ialah di Pasai; (3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-
orang Islam bangsa Indonesia ikut aktif mengambil bagian yang berperan dan proses itu
berjalan secara damai; (4) Kedatangan Islam di Indonesia ikut mencedaskan rakyat dan
1
perspektif sejarah memiliki keunikan tersendiri, dan berperan penting dalam
memajukan kebudayaan Islam. Pendidikan Islam tersebut, didefinisikan sebagai upaya
memberikan pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam kepada
masyarakat Islam di Indonesia, 3 yang dimulai sejak datangnya Islam di negara ini,
khususnya pada masa kerajaan. Sejak itu, lembaga pendidikan Islam yang mulai
muncul adalah pesantren. Setidaknya terdapat beberapa pendapat yang menyatakan
bahwa pesantren sudah ada pada masa awal penyebaran Islam di nusantara, tepatnya
abad ke-13 sampai 17 M, dan sesudahnya yakni abad ke-18 M seterusnya sebagai
masa kematangan Islam, sekaligus eksistensi pesantren pun semakin matang
perkembangannya. Data Statistik Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2011
sekarang ini, menunjukkan terdapat sekitar 24.000 Pondok Pesantren yang tersebar di
seluruh Indonesia.4
Secara historis, pesantren yang berbasis pendidikan agama (Islam) merupakan
5
lembaga pendidikan tradisonal, yang sengaja didirikan agar masyarakat
menjadikannya sebagai tempat pembinaan umat yang utuh, lebih memahami,
membina karakter bangsa. Uraian lebih lanjut, lihat Zuhairini, et all, Sejarah Pendidikan Islam
(Cet. II; Jakarta: Proyek Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 133. Namun demikian, Abad ke-13 M disebut-sebut
pendapat terkuat sebagai awal mula masuknya Islam di Indonesia, jadi bukan abad ke -7.
Uraian lebih lengkap, lihat misalnya; Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies
diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas‟adi dengan judul, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Kesatu
dan Dua (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h. 728. Ajid Thohir,
Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h.
201-202.
3 H. Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Indonesia: Tantangan dan Peluang (Jakarta:
Gramedia, 2003), h. 2.
4Kementerian Agama RI, Profil Pondok Pesantren Mu’adalah (Jakarta: Direktorat
Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2011), h. 144.
5Pendidikan tradisional meliputi dua aspek yaitu: Pertama pemberian pengajaran
dengan struktur, metode, dan literatur tradisional. Pemberian pengajaran tradional ini dapat
berupa pendidikan formal disekolah atau madrasah dengan jenjang pendidikan yang
bertingkat-tingkat, maupun pemberian pengajaran dengan sistem halaqah dalam bentuk
pengajian weton dan sorogan. Kedua, pemeliharaan tata nilai tertentu, yang untuk memudahkan
dapat dinamai subkultur pesantren. Tata nilai ini ditekankan pada fungsi mengutamakan
beribadah sebagai pengabdian dan memuliakan guru sebagai jalan untuk memperoleh
pengetahuan agama yang hakiki dengan demikian, subkultur ini menetapkan pandangan
hidupnya sendiri, yang bersifat khusus pesantren, berdiri atas landasan pendekatan ukhrawi
pada kehidupan dan ditandai oleh ketundukan mutlak kepada ulama. Adapun ciri utama dari
sistem pendidikan tradisional adalah banyak diberikannya pengajaran di luar kurikulum
formalnya. Lihat Abdurrahman Wahid, Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai
Pesantren (Cet. I; Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 55
2
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moralitas
dalam beragama sebagai pedoman hidup bermasyarakat. 6 Kini, dalam konteks
peningkatan kualitas lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, pesantren telah
dijadikan sebagai bagian integral lembaga pendidikan nasional di Indonesia, yang
kedudukannya sama dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. 7 Dengan demikian,
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya
Indonesia, yang sampai saat ini semakin eksis keberadaannya dalam sistem
pendidikan nasional. Karenanya, eksistensi pesantren tersebut, menarik untuk
dicermati sebagaimana yang menjadi bahasan dalam tulisan ini.
Berdasarkan fakta mengenai eksistensi pesantren tersebut. Terdapat satu
masalah pokok yang menarik untuk dikaji dalam makalah ini, yakni bagaimana
eksistensi pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional yang ditinjau dari
perspektif sejarah pendidikan di Indonesia. Untuk menjawab permasalahan tersebut.
Tulisan ini akan menitik beratkan pembahasan pada dua persoalan pokok. Pertama,
Bagaimana pengertian pesantren dan sejarah perkembanganya di Indonesia?. Fokus
yang Kedua, dari tulisan ini adalah pada analisis bagaimana eksistensi pesantren dalam
sistem pendidikan nasional di Indonesia?
6Lihat Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Cet. I; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 6.
7Lihat Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), sebagai hasil revisi Undang-Undang Sisdiknas No. 02 Tahun 1989.
Lihat juga Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan.
8Departemen Agama RI, Grand Design Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren
(Jakarta: Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004), h. 17.
3
pengetahuan agama Islam”. 9 Orang yang fokus belajar, dia harus konsen sehingga
santri mutlak memiliki pondok, mesjid, dan kiai (ulama) sebagai guru spiritual. Inilah
ciri khas pesantren sekaligus membedakan-nya dengan lembaga pendidikan Islam
lainnya.
Pesantren yang merupakan media dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia
didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Sistem pendidikan yang
dikembangkan dapat dilihat dalam dua orientasi. Pertama, berorientasi terhadap
penguatan basis keagamaan bagi masyarakat muslim; Kedua, sebagai media konsolidasi
dan sosialisasi terhadap masyarakat nusantara yang belum sepenuhnya menganut
agama Islam. Keduanya dapat dijadikan alasan bahwa sesunggunya pondok
pesantren, selain dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiah juga sebagai
media penyebaran dan pengembangan ajaran Islam, meskipun kritikus, seperti
Hasbullah, 10 menyatakan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
menjadi tolak ukur, bagaimana Islam dengan umatnya telah memainkan
peranannya dalam berbagai aspek sosial, politik, dan budaya. Hal ini
menunjukkan bahwa pesantren dapat difungsikan dalam segala aspek
11
kehidupan pada masa awal berdirinya, sehingga berimplikasi lahirnya
kekuatan masyarakat Islam yang menyatu dari berbagai komunitas muslim yang
ada.
Dalam persfektif historis kultural, pondok pesantren dapat dikatakan sebagai
training center, sekaligus dijadikan sebagai cultural central Islam yang dilembagakan oleh
masyarakat Islam dan secara defakto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Apalagi,
dalam sejarahnya, aktivitas dan proses awal pendidikan formal embrionya di masjid,
surau-surau, dan sebagian ulama dan guru mengajarkannya di rumah masing-masing.
Jadi, pendidikan formal dalam bentuk bangunan khusus belajar belum diciptakan.
Meskipun disadari bahwa sesungguhnya pondok pesantren telah menjadi pendidikan
formal satu-satunya di nusantara (Indonesia) pada saat itu. Namun, secara formil
sistem pendidikan kelembagaan mulai hadir ketika pemerintahan kolonial Belanda
4
12
memperkenalkan sistem pendidikan baratnya Kondisi ini kemudian
berasimilasi antara sistem kelembagaan pondok pesantren dengan sistem
pendidikan barat, baik secara fisik gedung belajar formalnya, juga terdapat
penyesuaian materi. Implikasinya adalah lahirnya pendidikan formal yang
dikelola pemerintah sebagai madrasah negeri (state school) dan madrasah swasta
(private school).
Kaburnya catatan sejarah mengenai kepastian tentang kehadiran pertama kali
pondok pesantren di Indonesia, di mana dan siapa pendirinya, relatif sulit ditemukan.
Pasalnya, aktivitas pembelajaran keagamaan - baik terbentuknya pendidikan formal
yang diistilahkan pesantren - telah berlangsung di mana-mana, seiring berlangsungnya
islamisasi ke sejumlah wilayah. Terdapat dua faktor yang membuat sejarah kehadiran
pesantren sulit diidentifikasi, yaitu; Pertama, faktor geografis yang sulit dilacak adanya
proses pembelajaran Islam di sejumlah wilayah di nusantara yang hampir pasti bahwa
di setiap kehadiran ulama di suatu tempat, maka dilakukan aktivitas pembinaan
keagamaan. Kedua, belum adanya kekuatan politik pemerintahan yang terintegrasi
dengan wilayah-wilayah yang telah diislamkan, sehingga sulit dilakukan komunikasi.
Namun, berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Agama pada
1984-1987, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada 1062 M. di
Pamekasan Madura dengan nama Pesantren Jan Tampes II, 13 akan tetapi hal ini
kemudian diragukan, karena ditemukan adanya pesantren Jam Tampes I yang lebih
tua.
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, sekitar abad ke-18-an, nama pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat sangat populer terutama dalam bidang
penyiaran agama Islam. Aktivitas keagamaan inilah kerap menimbulkan kecurigaan di
pihak kolonial Belanda, apalagi bentuk dan proses pembinaan yang dilakukan
isi, pertumbuhan organisasi dan kelembagaannya, tidak mungkin dilepaskan dari fase-fase
yang dilaluinya. Fase tersebut secara periodisasi dapat dibagi menjadi tujuh periode yaitu; 1).
Periode masuknya Islam ke Indonesia; 2). Periode pengembangan dengan melalui proses
adaptasi; 3). Periode kekuasaan kerajaan-kerajan Islam (proses politik); 4). Periode
penjajahan Belanda; 5). Periode penjajahan Jepang; 6). Periode kemerdekaan I (orde lama);
dan 7). Periode kemerdekaan II (orde baru) dan orde reformasi. Lihat, Ibid.
13Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 41.
5
disatukan dalam sebuah majelis. Faktor dilarangnya orang-orang yang berkumpul
dalam satu tempat dijadikan sebagai regulasi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam
rangka memproteksi diri mereka dari kelompok-kelompok pemberontak atau yang
diistilahkan ekstrimis. Ini menunjukkan bahwa eksistensi pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam diawasi secara tidak langsung oleh pemerintah Belanda. Akhirnya,
pesantren tidak bebas melakukan aktivitas-aktivitas sosial keagamaan dengan
melibatkan jamaah dengan skala besar.
Kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat tidak hanya
sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial
keagamaan. Dengan sifatnya yang lentur (flexibel), sejak awal kehadirannya pondok
pesantren ternyata mampu mengadaptasikan diri dengan masyarakat serta memenuhi
tuntutan masyarakat. Walaupun pada masa penjajahan, pondok pesantren mendapat
tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus
dan tetap tegar berdiri, walaupun sebahagian besar berada di daerah pedesaan.
Peranan mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa tetap diembannya. Bahkan
pada saat-saat perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawan-
pahlawan kemerdekaan yang berasal dari kaum santri.
Seiring dengan waktu, perkembangan pondok pesantren memang mengalami
peningkatan secara kuantitas. Pada zaman Belanda saja jumlah pesantren di Indonesa
yang telah teridentifikasi sebanyak 20.000 pesantren. 14 Perkembangan selanjutnya,
pesantren mengalami pasang surut. Namun, perkembangan yang paling akhir, dunia
pesantren menampakkan trend lain. Dalam konteks ini terdapat dua kluster pesantren
yang dimaksudkan, yaitu; pesantren yang mempertahankan sistem "tradisionalnya"15
dan sebagian yang lainnya membuka sistem madrasah, sekolah umum bahkan ada
6
diantaranya yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan. 16 Tetapi tidak
terlepas dari penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moralitas sebagai pedoman hidup untuk berdialektika dengan masyarakat.
Pada sistem penyelengaraan pendidikan Islam di pondok pesantren sekarang
ini, setidaknya dapat digolongkan kepada tiga bentuk sebagai berikut: Pertama,
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang
pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non
klasikal (sistem bandungan dan sorogan17), dimana seorang ulama mengajar santri-
santri berdasarkan kitab kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar
sejak abad pertengahan sedang santrinya tinggal dalam pondok atau asrama. Kedua,
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada
dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak
disediakan pondokan di kompleks pesantren. Di mana cara dan metode pendidikan
dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem weton, yaitu para santri datang
berduyun-duyun pada waktu tertentu. Dan ketiga, Pondok pesantren dewasa ini
merupakan lembaga gabungan antara sistem tradisional dan modern.18
Berdasarkan realitas tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap
mempertahankan bentuk pendidikannya yang asli atau tradisional, sebahagian lagi
mengalami perubahan. Hal ini lebih disebabkan oleh tuntutan zaman dan
perkembangan pendidikan di tanah air. Karenanya, saat ini di samping terdapat
pesantren dengan karakteristik ketradisionalannya, juga bermunculan pesantren yang
berlabel modern. Sejalan dengan uraian itu, maka dipahami bahwa keberadaan
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dan dengan berbagai ciri khas
7
serta unsur utamanya dapat dikatakan telah turut menghiasi sejarah pendidikan
nasional dan bahkan sejarah perjuangan bangsa melawan kolonial. Oleh karena itu,
pondok pesantren yang tersebar di seluruh pelosok negeri dengan satri yang ribuan
jumlahnya adalah aset nasional yang memerlukan pemikiran dan strategi
pengembangannya yang lebih maju dan tanpa mengabaikan citranya.
8
indikator utama mengenai peran pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di
Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dilihat dari segi kontekstualisasi UU Sisdiknas
No. 20 tahun 2003, pada bab II tentang “Dasar, Fungsi dan Tujuan” di mana UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, terdiri dari dua pasal yakni pasal 2 dan 3. Dua
pasal dalam UU Sisdikanas No. 20 Tahun 2003, secara berturut-turut menjelaskan
tentang “dasar pendidikan nasional”, yakni UUD 1945, kemudian “fungsi dan tujuan
pendidikan nasional” yakni :
9
10
Selanjutnya dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada bab III adalah
“prinsip penyelenggaraan pendidikan” yang terdiri atas enam ayat, 25 di dalamnya
termaktub pula tentang kedudukan Pendidikan Agama, yakni pendidikan di pondok
pesantren terutama bila dicermati ayat 1 yakni :
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; 2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna ;
3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat; 4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, mem-bangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajaran; 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; 6) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
11
tampaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan dari segi
eksternal dan dari segi internal.
Pengembangan dari aspek eksternal dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu;
Pertama, tetap menjaga agar citra pondok pesantren dimata masyarakat. Khususnya,
mutu keluaran atau output pondok harus mempunyai nilai tambah dari keluaran
pendidikan lainnya yang sederajat; kedua, santri-santri dalam pondok hendaknya
dipersiapkan untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk.
Setidaknya proses itu dapat dimulai sejak awal hingga diprediksi tingkat
keompetensinya sudah mampu; Ketiga, pondok hendaknya terbuka terhadap setiap
perkembangan pengetahuan dan temuan-temuan ilmiah dalam masyarakat, termasuk
temuan baru dalam dunia pendidikan.
Sedangkan pengembangan dari segi internal yang dapat dilakukan, yaitu;
Pertama, kurikulum pondok pesantren harus menepis anggapan yang bersifat
dikotomi dan memisahkan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Dalam
konteks kekinian, kurikulum sebaiknya berdiferensiasi, yaitu kurikulum yang
direncanakan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan anak didik, kurikulum ini
sekaligus dapat menyatuhkan dengan baik antara aspek intelektual emosional, agama
spritual, dan kinerja psikomotor; Kedua, tenaga pengajar pada pondok pesantren.
Untuk pengembangan di masa mendatang, kiranya perlu kriteria-kriteria khusus
dalam merekrut tenaga pengajar. Setidaknya, ia mempunyai pengetahuan agama yang
cukup mantap, namun juga profesional dalam bidang ilmu yang diajarkan dan
memiliki kemampuan mentransfer ilmunya dengan baik. Ketiga, sarana pendidikan di
pondok, karena sarana sangat menentukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana
yang lengkap dapat mencapai hasil yang maksimal. Misalnya ruang belajar yang baik,
perpustakaan yang lengkap dan media belajar yang lainnya.
Dengan mengembangkan pondok pesantren dari segi internal dan
eksternalnya akan memberikan warna dan corak khas dalam sub sistem pendidikan
Nasional di Indonesia, apalagi secara kultural pondok pesantren telah diterima dan
ikut serta membentuk dan memberikan peran dalam kehidupan dan pemberdayaan
masyarakat. Fungsinya sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di
Indonesia dianggap banyak memberikan andil dalam perjalanan bangsa dan
kenegaraan, baik pada masa kolonial hingga sekarang. Kondisi ini menunjukkan
12
bahwa eksistensi lembaga pendidikan pesantren masih dibutuhkan dalam rangka
mencerdaskan dan memberdayakan bangsa. Akhirnya, warga masih tetap diberikan
pilihan untuk menyekolahkan putra puttri mereka di lembaga pendidikan yang
diinginkan, termasuk pilihannya ke pesantren.
Potensi pondok pesantren dalam upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk
upaya transformasi sosial, sangatlah besar. Setidaknya ada beberapa alasan, pertama;
potensi kuantitatif yang dapat diberdayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kedua; keterikatan pondok pesantren dengan masyarakat yang sangat mengakar
melalui kharisma kyainya sekaligus tempat kepercayaan masyarakat pendukungnya
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup pondok pesantren
sekarang ini. Ketiga; upaya pemberdayaan pondok pesantren sebagai pusat
pengembangan potensi umat, menjadikan sasaran pembangunan pendidikan nasional
yang signifikan. Keempat; sebagai lembaga pengembangan dan pembentukan watak,
pesantren dapat terus berdampingan hidup dengan masyarakat.
Penutup
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan
kesimpulan bahwa, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang
sejarah perkembangannya, dimulai sejak datangnya Islam di Indonesia abad ke 13
dan terus mengalami kemajuan sejak abad ke 17 M, dan sesudahnya yakni abad
ke-18 M seterusnya sebagai masa kematangan Islam. Sampai saat ini, tahun 2011
terdapat sekitar 24 ribu Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pesantren didirikan sebagai lembaga basis tafaqquh fi al-din yang dengannya
sehingga bertujuan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moralitas dalam beragama sebagai pedoman
hidup bermasyarakat, dan pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan
sebagai training center yang otomatis menjadi cultural central Islam yang disahkan
atau dilembagakan oleh masyarakat.
Eksistensi pondok pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di
Indonesia menjadi bagian integral dari lembaga keagamaan berdasarkan konteks
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal
itu tercakup pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007
13
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang didalamnya secara
tegas dikemukakan bahwa pondok pesantren menyelenggarakan pendidikan
diniyah pada tingkat dasar dan menengah, tergolong dalam sub sistem pendidikan
Nasional di Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa, menjadikan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan pondok pesantren agar
tetap memiliki peran sebagai sub sistem pendidikan Nasional di Indonesia, maka yang
perlu dibenahi perannya secara eksternal dan dari segi internal. Dari segi eksternal
diupayakan adanya mutu keluaran atau output yang berkualitas, santri-santrinya
mampu berkompetisi dan pondok pesantren terbuka terhadap perkembangan dalam
dunia pendidikan. Dari segi internal adalah hendaknya kurikulum pondok pesantren
tidak ada dikotomi, tenaga pengajarnya memiliki kriteria-kriteria khusus, sarana
pendidikannya seharusnya mencukupi.[]
14
DAFTAR PUSTAKA
„ad‟ah āq.‟ān, Ish‟ Farh Irah, ālah wa al-Ma’ās?al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-As.
Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983.
Boechari, Sidi Ibrahim. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga, 1981.
Djamaluddin dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994.
15
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.
Zuhairini, et all. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. II; Jakarta: Proyek Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama, Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986.
16