Sei sulla pagina 1di 20

PERKEMBANGAN MORFOLOGI KOTA GORONTALO DARI

MASA TRADISIONAL HINGGA KOLONIAL

MORPHOLOGICAL DEVELOPMENT of GORONTALO CITY


FROM TRADITIONAL ERA UNTIL COLONIAL ERA

Irfanuddin Wahid Marzuki


Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM
irfanudin.wahid@kemdikbud.go.id

ABSTRACT
Gorontalo is the biggest city and the forerunner of the present Gorontalo Province.
Gorontalo has been existing since traditional era, Islamic kingdoms, colonial, and up to the
present. During the traditional and kingdom era, Gorontalo was the small kingdom included in
Ternate area. In fact, it witnessed the changes of power during colonial era when it was excluded
from Manado regency. It remained the same even until independence time, Gorontalo became the
area of North Sulawesi Province until in the year 2000 became its own province. The purpose of
this research is to reveal the morphological development of the city respectivelly from traditional
to colonial era in addition to find out the background factor of the morphological development.
This research used urban archaeology whose main studies are urban components, including urban
planning as well as city life as the inseperable component. This research underwent the following
steps, collecting data, analysis and interpreting data resulted in a conclusion. The data collections
includes primary data and secondary one (archive, text, maps, and other literacy sources). The
result suggested that during traditional era the morphological city of Gorontalo was simple, and
the settlement was spreading in small groups and doesn not have a regular urban planning
component. The starting point as a city with regular spatial components began during the reign of
Sultan Botutihe. Subsequent developments in the colonial period of the city center moved to the
south referring to the rule of law of indies.

Keyword: morphology, city, Gorontalo, urban archaeology.

ABSTRAK
Kota Gorontalo merupakan kota terbesar dan menjadi cikal bakal Provinsi Gorontalo.
Keberadaan Gorontalo dimulai semenjak masa tradisional, kerajaan, kerajaan Islam, kolonial,
hingga saat ini. Pada masa tradisional dan kerajaan, Gorontalo merupakan (vasal) kerajaan kecil
yang masuk wilayah kerajaan Ternate. Gorontalo mengalami perubahan kekuasaan pada masa
kolonial, dengan dimasukkannya ke dalam wilayah Karesidenan Manado. Kondisi tersebut tidak
mengalami perubahan pada masa kemerdekaan, Gorontalo menjadi wilayah Provinsi Sulawesi
Utara hingga tahun 2000 menjadi provinsi tersendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perkembangan morfologi kota Gorontalo dari masa tradisional hingga kolonial dan
faktor yang melatarbelakangi perkembangan morfologinya. Penelitian menggunakan kajian
arkeologi perkotaan, yang menitikberatkan kajian terhadap komponen-komponen perkotaan,
meliputi tata kota dan konsep yang melatarbelakanginya, serta kehidupan masyarakat kota sebagai
satu kesatuan. Tahap penelitian meliputi pengumpulan data, analisis dan interpretasi data yang
menghasilkan suatu kesimpulan. Tahap pengumpulan meliputi data primer (artefaktual) dan data
sekunder (arsip, naskah, peta, dan sumber tertulis lainnya). Hasil penelitian menunjukkan pada
masa tradisional morfologi kota Gorontalo masih sederhana, permukiman menyebar dalam
kelompok-kelompok kecil, dan tidak memiliki komponen tata kota yang teratur. Titik permulaan
sebagai sebuah kota dengan komponen tata ruang yang teratur dimulai pada masa pemerintahan

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 39


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
Sultan Botutihe. Perkembangan selanjutnya pada masa kolonial pusat kota dipindah ke selatan
mengacu kepada aturan law of indies.

Kata Kunci: morfologi, kota, Gorontalo, arkeologi perkotaan.

Tanggal Masuk : 12 Januari 2018


Tanggal Diterima : 02 April 2018

PENDAHULUAN tempat yang senantiasa digenangi


Kota Gorontalo merupakan air (langi-langi).
kota terbesar sekaligus ibukota Kata Hulontalo sampai sekarang
Provinsi Gorontalo yang terletak di masih digunakan dalam percakapan
Teluk Tomini. Secara geografis kota sehari-hari masyarakat Gorontalo.
Gorontalo terletak pada koordinat Pada masa pemerintahan kolonial
120059’44”-123005’59”BT dan Belanda, orang Belanda kesulitan
00028’17”-000035’56”LU, dengan mengucapkan kata Hulantalo,
luas 64,79 km 2. Wilayah kota sehingga menjadi Horontalo yang
Gorontalo berbatasan dengan apabila ditulis menjadi Gorontalo
Kabupaten Bone Bolango di sebelah yang dipakai hingga sekarang
utara dan timur, Teluk Tomini di (Yayasan 23 Januari, 1982:5).
selatan, dan Kabupaten Gorontalo di Topografi wilayah Gorontalo
sebelah barat merupakan wilayah dataran rendah
(http://gorontalokota.go.id, diunduh yang diapit tiga sungai (Sungai Bone,
tanggal 26 September 2017). Bolango, dan Tamalate) yang
Mengenai asal usul nama Gorontalo, bermuara di Teluk Tomini, serta dua
ada beberapa pendapat, antara lain; perbukitan terjal di bagian selatan.
a. Berasal dari kata Hulontalangi, Wilayah kota Gorontalo
nama salah satu kerajaan yang sekarang merupakan perubahan dari
kemudian disingkat menjadi wilayah Pohala (kerajaan) Gorontalo.
Hulontalo. Kerajaan Gorontalo merupakan
b. Hulontalangi, berasal dari kata persekutuan dari 17 linula (kelompok
Huo lolontalango yang berarti kecil) yang memiliki ikatan teritoris
orang Gowa yang berjalan kian dan genealogis di wilayah Gorontalo
kemari. (Hasanuddin dan Basri Amin,
c. Hulutalangi dan Hulua lo tola yang 2012:15; Hasanuddin, 2014:25).
berarti lebih mulia. Kekuasaan lokal pribumi di
d. Hulua lo tola, yang berarti tempat Gorontalo berakhir dengan adanya
pembiakan ikan kabos (gabus). perjanjian Sultan Amsterdam (Sultan
e. Pogolatalo atau pohulatalo, yang Kerajaan Ternate) dan Robertus
berarti tempat menunggu. Padtbrugge (VOC) yang memuat
f. Gorontalo, nama salah satu pelepasan hak tuntutan Ternate atas
kemenakan raja Tidore. wilayah Sulawesi Utara termasuk
g. Gunung telu, dari ucapan orang Gorontalo dan menyerahkannya
Gowa apabila hendak memasuki pada VOC pada tanggal 11 Mei
pelabuhan Gorontalo terlihat dari 1677 di Fort Oranje, Ternate (Rahim,
jauh adanya tiga buah gunung 2009:101). Pada tahun 1705 VOC
yang menonjol. mendirikan kantor dagang pertama
h. Mengingatkan perpindahan di Gorontalo untuk menguasai
penduduk dari tempat yang perdagangan dan mengatur kontrak
berbukit-bukit (Hunto) ke suatu dagang serta hubungan dengan

40 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


raja-raja di Gorontalo yang yaitu : Gorontalo, Boalemo, dan Buol
menandai penguasaan VOC atas (http://gorontalokota.go.id/index.php/
Gorontalo secara resmi (Yayasan 23 sejarah-gorontalo/, diunduh tanggal
Januari, 1982:25). Selanjutnya pada 26 September 2017).
tahun 1746 Gubernur Maluku Setelah kemerdekaan
Blokland, mengadakan kontak wilayah Gorontalo menjadi wilayah
dengan raja Gorontalo untuk Provinsi Sulawesi Utara sampai
mendirikan rumah dinas Peter Kock tahun 2000. Provinsi Gorontalo
(perwakilan VOC di Gorontalo) secara resmi disahkan pemerintah
(Rahim, 2009:118). Kekuasaan pada tanggal 22 Desember tahun
Belanda di Gorontalo semakin kuat 2000 melalui penetapan sidang
dengan dibangunnya perumahan paripurna DPR RI pada tanggal 5
dan Benteng Nassare di Tamuyo Desember 2000
pada tahun 1770 (Yayasan 23 (https://www.gorontaloprov.go.id/prof
Januari, 1982:25). Setelah VOC il/sejarah, diunduh tanggal 26
dibubarkan tahun 1799, wilayah September 2017). Pada awal
Gorontalo menjadi wilayah jajahan pembentukan provinsi Gorontalo,
Hindia Belanda (Ismail, 2009:78). kantor gubernur menempati
Pemerintah Hindia Belanda mulai kawasan pusat kota, namun
intervensi terhadap pemerintahan dipindah ke Puncak Botu pada masa
lokal Gorontalo. Salah satu tindakan pemerintahan Gubernur Fadhel
pemerintah kolonial Belanda adalah Muhammad.
mengangkat seorang Raja Tata ruang kota Gorontalo
Gouvernement yang bertugas saat ini merupakan tata ruang kota
memelihara hubungan dengan peninggalan kolonial Belanda yang
gubernemen (Apriyanto,2001:46). mengacu aturan Law of Indies dan
Pada tahun 1824, dapatdikategorikan sebagai kota
Gorontalo digabungkan dengan kolonial baru (nieuw indisch stad)
Minahasa, menjadi sebuah afdeeling (Marzuki, 2012:132). Prinsip
yang diperintah seorang Asisten perancangan kota kolonial mengacu
Residen (Rahim, 2009:116; kepada dokumen Law of Indies
Hasanuddin, 2014:63). Pada tahun tahun 1573, yang diwujudkan dalam
1889 terjadi perubahan sistem bentuk penggunaan pola grid dan
pemerintahan kolonial Belanda, pembagian blok-blok kapling dalam
wilayah kerajaan Gorontalo dialihkan ukuran yang setara (Sunaryo,
ke pemerintahan langsung Batavia 2015:50-51). Prinsip Law of Indies
yang dikenal dengan istilah diuraikan lebih lanjut sebagai berikut
"Rechtatreeks Bestur". Pada tahun (Sunaryo, 2015:50).
1911 terjadi lagi perubahan dalam 1. Penempatan plaza (lapangan
struktur pemerintahan Daerah Limo atau alun-alun) utama sebagai
pohalaa dibagi atas tiga onder titik awal kota,
afdeling yaitu: Kwandang, Boalemo, 2. Gereja utama sebagai bangunan
dan Gorontalo. Pada tahun 1920 sentral penyebaran agama
onder afdeling diubah menjadi distrik. ditempatkan di plaza utama,
Wilayah Gorontalo berubah menjadi 3. Penempatan bangunan-
lima distrik dengan dimasukkannya bangunan publik (balai kota,
Limboto dan Bone dalam wilayah perkantoran, rumah sakit,
Gorontalo, namun tidak bertahan perumahan) di sekitar plaza
lama. Pada tahun 1922 Gorontalo utama tanpa mengurangi
ditetapkan menjadi tiga Afdeling keutamaan gereja.

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 41


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
Berangkat dari kondisi arkeologi yang mempelajari
tersebut, permasalahan yang akan hubungan antara budaya material,
dibahas dalam penelitian ini adalah, tingkah laku, dan kegiatan manusia
bagaimana perkembangan morfologi masa lalu dalam suatu kota (Staski,
(bentuk dan struktur tata ruang) kota 1982:97; 2008:5). Kajian arkeologi
Gorontalo dari kota tradisional perkotaan bertujuan
hingga kota kolonial? Penelitian menggambarkan pola persebaran
mengenai morfologi kota dan data arkeologi untuk mengungkap
perkembangannya secara khusus di pola pikir dan pola tingkah laku
Gorontalo belum pernah dilakukan, masyarakat masa lampau
baik oleh kalangan arsitek, planologi (Kurniawan, 2011:536). Landasan
maupun arkeologi. Penelitian yang ontologis arkeologi perkotaan adalah
pernah dilakukan selama ini baru tinggalan-tinggalan arkeologi yang
sebatas sejarah asal-usul kota, berupa himpunan sarana fisik
namun belum mengarah kepada terutama bangunan, jaringan jalan,
pembuktian secara fisik asal-usul sisa kegiatan penghunian, dan
dan perkembangan kota Gorontalo. sarana produksi (Nurhadi, 1995:5).
Tujuan penelitian ini untuk Unit pengamatan dalam
mengetahui dan membuktikan asal- studi perkotaan meliputi lingkungan
usul dan perkembangan morfologi fisik, artefak, fitur, dan etno sejarah.
kota Gorontalo mulai dari kota Lingkungan fisik sebagai unit
tradisonal, kerajaan, hingga masa pengamatan meliputi topografi yang
kolonial serta faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi kota
mempengaruhi perkembangan dan permukiman, serta akses
morfologi kota tersebut. Hasil dengan wilayah penyangga.
penelitian nantinya dapat dijadikan Pengamatan artefak berupa
sebagai bahan pertimbangan untuk pengamatan terhadap bangunan
pengembangan kota Gorontalo dan sebaran komponen tata ruang
kedepannya, mengingat kota kota, kawasan perkotaan, hubungan
Gorontalo merupakan salah satu antar komponen struktur tata ruang
kota yang memiliki kawasan kota serta sarana transportasi kota
lama di Sulawesi dengan tinggalan- Gorontalo. Pengamatan fitur berupa
tinggalan arkeologi yang sangat pengamatan terhadap sisa-sisa
potensial. Selain itu juga dapat bangunan masa kolonial yang masih
dipergunakan sebagai bahan acuan tersisa, seperti bekas dinding
untuk penetapan kawasan zonasi bangunan, bekas penjara, dan
kota pusaka yang sedang bekas dermaga, dan bekas benteng.
direncanakan pemerintah kota Pengamatan etno sejarah meliputi
Gorontalo. toponim dan sumber-sumber sejarah
yang berupa arsip, peta, dan foto
yang berasal dari masa lalu.
Pengamatan toponim dapat
METODE menunjukkan hubungan fungsional
Penelitian ini menggunakan antara kegiatan hunian satu dengan
penalaran induktif, yang dimulai dari yang lainnya. Sumber sejarah dapat
fakta-fakta atau gejala-gejala khusus digunakan sebagai dasar
hasil pengamatan, kemudian pengkerangkaan dalam studi
disimpulkan sebagai gejala yang perkotaan (Tim Penyusun,
bersifat umum (Tanudirdjo, 1989:34). 2008:185-186).
Penelitian ini menggunakan kajian
arkeologi perkotaan, yaitu studi

42 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


Tahapan penelitian meliputi dalam tiga tahap, yaitu masa kota
pengumpulan data, analisis dan tradisional-awal kerajaan Islam,
interpretasi data yang menghasilkan masa kerajaan Islam, dan masa
suatu kesimpulan. Tahap kolonial. Masa kota tradisional
pengumpulan meliputi data primer sampai awal masa kerajaan Islam
(data artefaktual yang masih ada) merupakan masa dimana
dan data sekunder (arsip, naskah, permukiman Gorontalo belum
peta, dan sumber tertulis lainnya). terkena pengaruh Islam dan masih
bersifat tradisional, dan tinggal
dalam kelompok-kelompok
HASIL PENELITIAN permukiman yang belum tertata
Kota pada dasarnya hingga awal pengaruh Islam di
merupakan hasil adaptasi Gorontalo. Masa kerajaan Islam
sekelompok manusia dalam jumlah dimulai pada masa pemerintahan
yang besar terhadap lingkungan Sultan Botutihe yang merancang
budaya dan alamnya. Kata kota kota Gorontalo mengikuti konsep
berasal dari kata “kuta” yang secara kota Islam dengan istana dan masjid
harfiah berarti daerah permukiman sebagai pusat yang dianggap
yang dikelilingi tembok berbentuk orientasi. Pusat kota Gorontalo
persegi (Nas, 1989:23; kemudian dipindahkan ke arah
Wiryomartono, 1995:22). selatan mendekati muara sungai
Perkembanganselanjutnya kota tidak pada masa pemerintahan kolonial
hanya terbatas pada struktur fisik Belanda. Pusat kota baru yang
saja, namun meluas sesuai dengan dibuat mengikuti pola kota kolonial
pengaruh kekuasaan sang pemimpin baru (nieuw colonial stad).
(Pratomo, 2001:44).
Kota Indonesia awal Kota Tradisional dan Awal
merupakan kota-kota kerajaan yang Kerajaan Islam (-1736)
terdapat di pedalaman, dan Kota tradisional berbeda
merupakan pusat kerajaan-kerajaan dengan kota modern yang teratur
sebelum bangsa Eropa menguasai dan direncanakan pembangunannya.
Indonesia. Kota indis merupakan Kota tradisional merupakan pusat
kota periode awal bangsa Belanda peradaban yang masih terikat
berkuasa di Indonesia. Pola dan dengan tradisi pedesaan, namun
struktur kota mengikuti pola-pola sudah terdapat perbedaan kelas
kota yang ada di Belanda sosial dan pembagian kerja yang
dikombinasikan dengan kebudayaan jelas. Masyarakat kelas atas
lokal Indonesia. Kota kolonial menduduki jabatan tinggi dalam
merupakan kota yang bercirikan pemerintahan dan tinggal di pusat
Eropa, berkembang mulai tahun permukiman, sedangkan masyarakat
1870an dan terdapat pemisahan kelas bawah menduduki jabatan
lokasi hunian yang jelas rendahan, prajurit, pedagang, dan
berdasarkan struktur sosial tukang serta tinggal di wilayah
masyarakatnya. Kota modern pinggiran (Menno dan Alwi, 1994:29).
merupakan kota yang lahir setelah Kota tradisional umumnya masih
masa kemerdekaan Indonesia (Nas, didominasi kekuasaan tradisional,
1986:5-9; Gill, 1997:60). berakar pada peradaban agraris,
Dalam penelitian dan tidak memiliki ruang publik
perkembangan morfologi kota (Santoso, 2006:82).
Gorontalo ini dapat dikategorikan

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 43


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
Pada periode kota tradisional, para wakil rakyat (utolia)
morfologi kota Gorontalo (Hasanuddin, 2014:16).
dipengaruhi sistem pemerintahan Pengaruh kerajaan Islam di
tradisional yang berdasarkan Gorontalo dimulai pada masa
demokrasi. Penentuan jabatan pemerintahan Raja (Olongia to
olongia (penghulu atau raja) bukan Tilayo) Amai (1472-1550) yang
berdasarkan keturunan, namun hasil memperistri Owutango (puteri Raja
pemilihan yang dilakukan oleh Palasa di Tomini yang beragama
pemangku adat (baate atau bantayo Islam). Syarat pinangan yang
poboide). Olongia (penghulu atau diajukan oleh Raja Palasa adalah
raja) dibedakan menjadi dua, yaitu Raja Amai harus memeluk agama
olongia to tilayo (raja atas atau hulu) Islam, dan adat istiadat Gorontalo
menguasai wilayah bagian utara harus bersumber kepada Al Qur’an.
Gorontalo, dan olongia to huliyaliya Raja Amai yang menyetujui syarat
(raja bawah atau hilir) yang tersebut kemudian melakukan
menguasai wilayah selatan beberapa perubahan antara lain.
Gorontalo (Hasanudin dan Basri a. Merubah gelarnya menjadi
Amin, 2012:2). Dalam menjalankan Sultan
pemerintahan, olongia dibantu oleh b. Menjadikan Islam sebagai
aparat linula yang disebut buatula agama resmi kerajaan dan
totolu yang terdiri dari; mengatur adat istiadat yang
a. Bubato yang menjalankan bersumber kepada Kitabullah (Al
pemerintahan sehari-hari Qur’an) dan
dikepalai langsung oleh olongia. c. Membangun masjid di daerah
b. Saraa (setelah pengaruh Islam) Hunto (Masjid Hunto Sultan
yang bertugas melakukan Amai) (Hasanudin dan Basri
upacara keagamaan dan dikepalai Amin, 2012:23).
oleh hatibidaa atau saladaa. Untuk membantu menyusun
c. Bala yang bertugas dalam bidang peraturan adat berdasar Kitabullah
keamanan dan pertahanan dan (Al Qur’an), maka Sultan Amai
dikepalai oleh taulio. mendatangkan tokoh-tokoh agama
Selain itu, dalam menjalankan dari Kerajaan Palasa (Tomini) yang
pemerintahan seorang linula ditempatkan di wilayah seberang
didampingi oleh satu Dewan Sungai Bolango. Tokoh-tokoh
Musyawarah Rakyat disebut dengan agama tersebut kemudian menetap
bantayo paboide yang bertugas dan membentuk permukiman yang
antara lain: sekarang dikenal dengan nama
a. Membicarakan masalah Kampung Siendeng (Hasanudin dan
kesejahteraan rakyat. Basri Amin, 2012:25).
b. Menetapkan apakah ketentuan- Lokasi Kerajaan Hulondalo
ketentuan yang telah dimulai dari Kelurahan Hulawa di
dimusyawarahkan telah dijalankan pinggir Sungai Bolango, kemudian
olongia dengan baik atau tidak. dipindahkan ke Dungingi, Kelurahan
c. Mengesahkan pengangkatan atau Tuladenggi (pertemuan Sungai
pemberhentian olongia atau Bolango dengan saluran air dari
pembantu-pembantunya. Danau Limboto), sekitar tahun
Anggota bantayo poboide terdiri dari 1600an. Pemindahan lokasi pusat
orang-orang tua (mongopanggola), kerajaan dilakukan oleh Raja Eyato
tokoh masyarakat (tulaibala) dan dengan alasan mendekati wilayah
pantai untuk memudahkan

44 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


hubungan dengan kerajaan lain berkembang menjadi permukiman di
(Hasanuddin dan Basri Amin, sebelah selatan kota Gorontalo
2012;60) (Lihat gambar 1). (Hasanuddin, 2014:63).
Morfologi kota Gorontalo
pada masa kota tradisional dan awal
kerajaan Islam masih sangat
sederhana. Komponen tata ruang
kota meliputi permukiman, jaringan
jalan, dan rumah ibadah.
Masyarakat tinggal dalam
permukiman sederhana, dengan
rumah panggung terbuat dari kayu,
bambu, dan atap daun rumbia,
alang-alang, atau daun enau (Tim
Penyusun, 1977/1978:32).
Permukiman kota tradisional
Gorontalo masih sangat sederhana
dan tinggal mengelompok. Faktor
yang melatarbelakangi pola
Gambar 1. Lokasi Pusat Kerajaan
Gorontalo
permukiman mengelompok
(Sumber :Hasil Analisis Penulis) masyarakat tradisional Gorontalo
yaitu: pertahanan menghadapi
Perkembangan Gorontalo ancaman serangan musuh dari luar
telah menarik minat VOC untuk (bajak laut Mangindano, dan
menguasai wilayah Gorontalo. kerajaan-kerajaan lain di sekitar
Tonggak kekuasaan VOC di Gorontalo), adanya ikatan keluarga
Gorontalo diawali adanya perjanjian atau keturunan, dan kegiatan
antara Sultan Amsterdam (Sultan ekonomi yang berbasis pertanian
Kerajaan Ternate) dan Robertus (Marzuki, 2012:178). Usaha
Padtbrugge (VOC) yang memuat mengumpulkan dan menyatukan
pelepasan hak tuntutan Ternate atas permukiman tradisional Gorontalo di
wilayah Sulawesi Utara termasuk satu lokasi pernah dilakukan oleh
Gorontalo pada tanggal 11 Mei 1677 Raja (Olongia) Ilahudu tahun 1385
di Fort Oranje, Ternate (Rahim, (Hasanudin dan Basri Amin, 2012:15)
2009:101) dan dilanjutkan dengan dan Bui Bongale, namun tidak
kedatangan Robertus Padtbrugge berhasil karena tantangan alam.
pada tanggal 27 September 1677 di Hanya sedikit penduduk yang mau
Gorontalo (Hasanuddin dan Basri menetap bersama pemimpinnya
Amin, 2012:59; Hasanuddin, dalam satu lokasi (Juwono dan
2014:33). Rakyat Gorontalo Hutagalung, 2005:31). Permukiman
melawan masuknya VOC dibawah kota Gorontalo berkembang dengan
kepemimpinan Raja Eyato dan Raja adanya pendatang-pendatang dari
Bia, namun dapat dikalahkan oleh wilayah lain (Bugis, Makassar,
VOC. Berdasarkan perjanjian yang Ternate, dan Cina). Mereka
ditandatangani tahun 1681, Kerajaan membentuk permukiman di sekitar
Gorontalo harus tunduk kepada kota Gorontalo.
peraturan VOC. Selanjutnya, VOC Penggunaan lahan sebagian
mengajukan tuntutan untuk besar digunakan sebagai lahan
menyediakan lahan untuk pertanian dan perkebunan.
kepentingan VOC yang kemudian Pertanian sawah terdapat pada

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 45


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
wilayah dataran rendah sekitar aliran dengan pusat kota, sehingga apabila
Sungai Bone dan Bolango, lokasi kekuasaan berpindah, maka
sedangkan lahan di perbukitan pusat kota akan berpindah ke pusat
sekitar Danau Limboto digunakan kekuasaan yang baru. Pusat
untuk lahan sawah kering dan kekuasaan yang biasanya akan mati
perkebunan (Henley, 2005:489). dengan sendirinya. Demikian pula
Jaringan jalan pada periode yang terjadi di Gorontalo,
tradisional dapat dikategorikan perpindahan pusat kekuasaan dari
sebagai jalan informal, Jalan Hulawa ke Dungingi mempengaruhi
informal merupakan jalur tidak resmi, perkembangan kota tradisional di
biasanya berupa jalan setapak atau Gorontalo.
jalur perdagangan dengan
konstruksi yang tidak bagus (Earle, Kota Kerajaan Islam (1728-1894)
1991:10; Trombold, 1991:3). Pola Sejarah awal mula Gorontalo
jalan tidak teratur dilihat dari sebuah kota yang direncanakan
bentuknya yang melingkar-lingkar, dibangun pada masa Sultan Botutihe.
dan lebarnya bervariasi dalam satu Lokasi ibukota dipindahkan dari
ruas jalan. Dungingi ke suatu wilayah dekat
Walaupun bentuk Sungai Bolango (sekarang masuk
pemerintahan sudah berubah dalam wilayah kelurahan Biawao
menjadi sebuah kerajaan Islam, dan Limba B) pada 6 Sya’ban 1140
namun pola tata ruang kota masih H atau 18 Maret 1728 M (Bastiaans,
bersifat tradisional. Pola tata ruang 1939:73). Tujuan pemindahan lokasi
kota kerajaan Islam dengan ibukota kerajaan untuk mendekati
bangunan penguasa (istana) muara Sungai Bone sebagai pintu
sebagai pusat orientasi yang gerbang masuk ke Gorontalo dan
dikelilingi oleh masjid, makam, pasar menghalangi penempatan
dan alun-alun (Adrisijanti, 2000:248; permukiman Belanda (VOC)
Tjandrasasmita, 2008:259) tidak (Marzuki, 2012:6).
terlihat. Faktor yang menyebabkan Pola kota yang dibangun
pola tata ruang kota Islam belum mengacu kepada pola kota kerajaan
diterapkan di Gorontalo karena Islam, yang terdiri dari masjid dan
struktur kekuasaan Kerajaan kediaman penguasa, pasar dan
Gorontalo yang berbeda dengan hunian penduduk sebagai suatu
kerajaan di Jawa dan tempat lain di sistem. Untuk membangun kota
Nusantara. Jabatan raja tidak kerajaan Islam, langkah yang
berdasar keturunan, melainkan dilakukan Sultan Botutihe antara lain;
dipilih berdasarkan musyawarah mendirikan pusat pemerintahan,
para penguasa (olongia) dari membangun pasar, pembuatan jalan
beberapa kerajaan kecil (linula), dan jembatan, pelabuhan, penataan
sehingga pusat pemerintahan permukiman dengan menempatkan
berpindah-pindah sesuai tempat perumahan pejabat di pusat kota,
tinggal raja yang ditunjuk saat itu pembuatan saluran air untuk
(Saptaningrum, 2008:32). pengairan sawah di Tanggiki serta
Dalam tata ruang kota Islam, Tanggidaa (Hasanudin dan Basri
masih dipengaruhi unsur kosmologis Amin, 2012:65), dan menentukan
dan magis-religius. Raja atau sultan lokasi pekuburan umum (Yayasan
dengan istananya merupakan pusat 23 Januari, 1982:29) (Lihat gambar
orientasi (Tjandrasasmita, 2).
2008:258). Pusat kekuasaan identik

46 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


Gambar 2. Morfologi Kota Gorontalo Masa Kerajaan Islam Rancangan Sultan Botutihe
(Sumber: Bastiaans, 1939:72)
Komponen tata ruang kota pasukan atau kimalaha dan benteng
yang dibangun di lokasi ibukota yang pertahanan terletak di sekelilingnya
baru meliputi: kediaman raja (Jusuf, 2000:69). Dari kesemua
(mahligai to tilayo dan mahligai to komponen tata ruang kota tersebut,
huliya), bantayo poboide (balai hanya Masjid Baiturrahim yang
permusyawaratan), masjid kerajaan, tersisa saat ini, sedangkan
dan perumahan pembesar kerajaan bangunan yang lain sudah tidak
(Yayasan 23 Januari, 1982:29). tersisa. Morfologi kota Gorontalo
Lokasi keraton atau mahligai to pada masa pemerintahan Sultan
tilayo (udik) berada di depan masjid, Botutihe (masa kota kerajaan)
sedangkan lokasi mahligai to huliya berbentuk persegi.
liyo (hilir) berada di jalan Ahmad Pola permukiman masih
Yani (sebelah selatan Mahligai To mengelompok, namun dalam ukuran
Tilayo). Masjid kerajaan sekarang yang lebih luas khususnya di wilayah
masih berdiri di pusat kota dan pusat kota. Penduduk Gorontalo
dikenal dengan nama Masjid pada pertengahan abad ke-19
Baiturrahim Rumah pembesar termasuk daerah yang jarang
kerajaan berada di antara mahligai penduduknya, luas wilayah
to tilayo dan mahligai to huliya liyo. Gorontalo 12.000km2 dengan tingkat
gedung bantayo poboide (dewan kepadatan penduduk tidak lebih dari
adat) berada di lokasi Markas Kodim 10 jiwa/km2. Faktor yang
1304 Gorontalo sekarang ini menyebabkan karena seringnya
(sebelah barat mahligai to huliya terjadi kekurangan pangan dan
liyo). Lokasi perumahan komandan wabah penyakit, sehingga orang

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 47


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
tidak mampu mengerjakan Pada masa penjajahan
ladangnya. Selain itu juga terjadinya Belanda, terjadi perubahan struktur
kekeringan berkepanjangan akibat pemerintahan Gorontalo terdiri atas.
pengaruh iklim dari Teluk Tomini a. Dua orang raja (raja gouverment
(Henley, 2005:205-206). dan raja negorij).
Selain penduduk asli b. Dua orang jogugu, sebagai patih
Gorontalo, terdapat permukiman- pembantu raja.
permukiman pendatang baru c. Dua orang kapiten (panglima
berdasarkan etnis. Pendatang- perang, satu di darat dan satu di
pendatang dari Bugis, Luwu, Mandar, laut).
Donggala, dan Makasar membentuk d. Empat orang marsaoleh, yang
permukiman pada daerah-daerah berwewenang sebagai dewan
yang datar di dekat pantai dan perwakilan rakyat yang memilih
pertemuan Sungai Bone dan raja dan kepala kampung.
Bolango. Permukiman Belanda e. Tiga puluh orang walupu atau
berada di Benteng Nassau dan kepala kampung, dan
sekitarnya yang terletak dekat muara f. Empat puluh orang pembesar
Sungai Bone Bolango dan kerajaan (ANRI, 1973:373-374).
menghadap Teluk Tomini. Selain itu jabatan-jabatan dalam
Berdasarkan data gambar koleksi struktur pemerintahan tradisional
Atlas Mutual Heritage, Benteng lipu, seperti bubato, olongia, dan
Nassau berbentuk segi empat dan bantayo poboide diganti dengan
memiliki dua bastion (satu sebutan distrik, onderdistrik, dan
menghadap Teluk Tomini dan kampung. Pemecahan linula menjadi
satunya menghadap ke darat). beberapa kampung dilakukan untuk
Terdapat bangunan residen, gudang memudahkan pengawasan
dan asrama militer di dalam benteng (Apriyanto,2001:57-58).
yang memiliki dua pintu (Lihat Bentuk intervensi lain adalah
gambar 3). Lokasi Benteng Nassau masyarakat dipaksa untuk
sampai saat ini belum diketahui menyerahkan emas kepada
dengan pasti dan masih memerlukan pemerintah Belanda. Untuk
penelitian yang mendalam. memenuhi kebutuhan emas tersebut,
rakyat banyak yang lari ke hutan dan
melakukan transaksi perbudakan
dengan harapan dapat memenuhi
penyerajan emas yang diwajibkan
(Apriyanto, 2001:46). Pemerintah
Belanda mengantisipasi hal tersebut
dengan mengeluarkan peraturan,
yang dikenal dengan peraturan
Scherer karena dikeluarkan pada
masa pemerintahan Asisten Residen
Scherer. Pasal ini dibuat untuk
Gambar 3. Benteng Nassau di dekat Teluk memudahkan pelaksanaan perintah-
Tomini. perintah pemerintah Belanda dan
(Sumber:www.atlasofmutualheritage.nl/n Raja Gouvernement kepada raja
l/Het-fort-Nassau-Gorontalo.7608). negeri dan rakyatnya. Dalam
peraturan Scherer disebutkan bahwa
penduduk harus sedapat mungkin
bertempat tinggal bersama dalam

48 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


dusun-dusun yang teratur, yang indisch stad) dan kota baru (nieuw
terletak di pinggir jalan besar dan indisch stad) (Handinoto, 2010a:226-
tidak seorang pun diperkenankan 230; 430-431). Pola kota Belanda
bertempat tinggal di hutan atau di lama (oud indisch) memiliki dua
pegunungan (Haga, 1981:81, pusat, yaitu pusat kota pribumi
Apriyanto, 2001:47). dengan komponen alun-alun dan
Jaringan jalan dibangun di kabupaten, serta pusat kota kolonial
pusat kota dengan pola grid (persegi) dengan komponen utama gedung
yang membatasi wilayah residen. Morfologi kota lama (oud
permukiman satu dengan yang lain. indische) masih menempatkan pusat
Sistem jalan grid dilakukan dengan kota tradisional (khususnya Jawa)
cara membagi kota menjadi bentuk- dengan menambah penjara, lokasi
bentuk persegi dengan jalan-jalan kantor penguasa Kolonial
paralel. Kelebihan sistem jalan ini ditempatkan pada permukiman
adalah memiliki dimensi yang lebih Eropa. Pola kota baru (niuew
pendek, lebih banyak ruang tersisa, indisch) hanya terdapat satu pusat
dan lebih mudah menjangkau satu kota, pusat kota pribumi dan kolonial
daerah dengan daerah lain. digabung menjadi satu dalam satu
lokasi, yaitu alun-alun (Gill, 1995;
Kota Kolonial (1894-1945) Handinoto, 2015:109). Model alun-
Kota kolonial merupakan alun kemudian berkembang sebagai
kota yang dikembangkan oleh prototipe identitas kota jaman
bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, kolonial yang terdapat pasar dan
Perancis, Belanda dan Inggris) di daerah pertokoan tidak jauh dari
tempat-tempat baru yang mereka pusat pemerintahan (Handinoto,
datangi, khususnya di Asia dan 2010b:229). Latar belakang
Afrika. Kota-kota tersebut dibangun pembangunan kota baru adalah
dengan konsep dan pola yang untuk memperlihatkan eksistensi
mendekati kota asal mereka kekuasaan pemerintah kolonial di
(Basundoro, 2012:84). Cikal bakal tanah jajahan. Kota Gorontalo dapat
kota kolonial awalnya berupa koloni- dikategorikan sebagai kota kolonial
koloni yang dikembangkan oleh baru (nieuw indisch stad).
pendatang Eropa di daerah pantai Pola pemukiman kota
(Taylor, 2003:59), dan mencari kolonial umumnya terbagi menjadi
perlindungan kepada penguasa lokal dalam tiga kelompok etnis yang
(Wertheim, 1999:135). Kota kolonial berorientasi pada pusat kota, yaitu:
merupakan kota yang terdapat a) daerah orang Eropa yang terletak
dalam sebuah koloni penjajahan, di pusat kota yang nyaman dan
jauh dari negara induknya, memiliki strategis, b) daerah orang Cina
pemisahan hunian berdasar (pecinan) dan Timur Asing, biasanya
golongan etnis, sosial dan budaya terletak dekat daerah perdagangan
sebagai hasil proses penjajahan lokal atau pasar, c) daerah pribumi
(King, 1991:7). yang terletak agak jauh dari pusat
Pola kota kolonial kota, biasanya terdiri dari kampung-
berdasarkan pada rasionalitas kampung yang kurang mendapat
dengan bertumpu pada aspek politik, perhatian dari pemerintah Kolonial
sosial, ekonomi, dan budaya Eropa (Handinoto, 2010a:297-298).
(Heryanto, 2011:177). Pola kota Pada tahun 1894, Gorontalo
kolonial dapat dikelompokkan secara resmi dijadikan ibukota
menjadi dua, yaitu: kota lama (oud afdeeling Gorontalo oleh Belanda

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 49


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
(Hasanuddin, 2014:81). Lokasi pusat perpindahan penduduk dari suku-
Kota Gorontalo dipindah ke arah suku tertentu ke Gorontalo.
selatan lebih dekat dengan Berdasarkan data dari
pelabuhan laut dengan struktur tata Encyclopaedie Van het Nederlanch
ruang kota mengikuti aturan Law of Indie, pada tahun 1915 jumlah
indies, yang menandai awal penduduk asing yang tinggal di
terbentuknya Kota Gorontalo Gorontalo berjumlah 1451 jiwa yang
sebagai kota kolonial (Marzuki, terdiri dari: 178 orang Belanda, 949
2012:34). Pusat kota berupa orang Cina, dan 324 orang Arab
lapangan (lapangan Taruna saat ini), (Paulus, 1917:806). Sedangkan
dengan rumah asisten residen, hotel, pada tahun 1940, orang asing di
penjara, perkantoran, dan Gorontalo berjumlah 3.720 orang
permukiman Belanda di dengan rincian, orang Eropa: 220
sekelilingnya. Morfologi kota orang, Cina: 2.400 orang dan
Gorontalo pada masa kolonial golongan Timur Asing: 1.100 orang
mengalami perubahan dari (Tim Penyusun, 1979:136). Selain
berbentuk memanjang menjadi pendatang Eropa dan Timur Asing,
berbentuk kipas (the fan city shape), terdapat pendatang dari wilayah lain
karena faktor geografis kota di Indonesia yang tinggal
Gorontalo yang berada pada sebuah mengelompok antara lain: Kampung
teluk, diapit dua sungai (Bone dan Bugis, Kampung Bajo, Kampung
Bolango), serta perbukitan terjal di Jawa, Kampung Makasar, Kampung
sisi kiri dan kanannya. Minahasa, Kampung Bali, dan
Pola permukiman kota Kampung Sangir.
Gorontalo pada masa kolonial, Jaringan jalan pada periode
seperti kota-kota kolonial lainnya ini berbentuk grid (kotak) dengan
dipisahkan berdasarkan etnis, yaitu: lapangan sebagai pusatnya. Pada
Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan kota-kota kolonial dibangun sebuah
India), serta pribumi. Pemukiman jalan utama dengan rumah-rumah
Eropa menempati kawasan strategis pejabat tinggi di kiri kanannya. Jalan
di pusat kota, permukiman Timur tersebut biasanya dikenal sebagai
Asing (Cina dan Arab) berada di heerenstraat, yang berarti “jalan
sekitar pasar, dan penduduk pribumi para tuan besar” (Raap, 2015:56).
berada di tempat agak jauh dari Pembangunan jalan pada masa
pusat kota. Kawasan pemukiman kolonial ditetapkan aturan sempadan
yang awalnya berada di sekitar bangunan berjarak lima kaki (sekitar
lapangan (alun-alun), berkembang 1,5m) dari sempadan jalan. Zona ini
ke arah utara (kelurahan Biawao dan masih milik pemilik tanah, namun
Biawau sekarang ini) dan ke arah tidak boleh didirikan bangunan
timur (kelurahan Ipilo sekarang ini). permanen agar jalan cukup lebar
Pada masa ini, jumlah penduduk dan harmonis (Raap, 2015:56).
meningkat menjadi 565.848 jiwa Penggunaan lahan selain
dengan tingkat kepadatan sebesar untuk pertanian/perkebunan dan
47,154 jiwa/km2 (Yayasan 23 jaringan jalan kota Gorontalo pada
Januari, 1982:8). Faktor yang masa kolonial, terbagi menjadi enam
mempengaruhi peningkatan jumlah kawasan, yaitu; perkantoran, pasar
penduduk yaitu adanya perluasan dan perniagaan, permukiman,
wilayah administrasi, adanya sekolah, rumah ibadah, hotel dan
sejumlah tenaga yang didatangkan sarana hiburan (Lihat gambar 4).
dari wilayah lain ke Gorontalo dan Kawasan perkantoran berpusat di

50 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


pusat kota (sekitar alun-alun), terdiri sebagai suatu pendekatan yang
dari: kantor dan rumah dinas Asisten berkaitan langsung dengan ekspresi
Residen, kontrolir (controleur), ruang kota, menyoroti eksistensi
kantor pos dan telegram, KPM, ruang perkotaan secara fisik, tidak
kantor jaksa, penjara, dan rumah hanya menjelaskan perubahan fisik
pastor. Kawasan pasar dan kota saja (Zaidulfar, 2002:17).
perniagaan berada di sebelah utara Pertumbuhan kota-kota di Asia
kawasan perkantoran, berupa pasar Tenggara dipengaruhi majunya
dan pertokoan. Kawasan perdagangan dunia abad XVI. Kota
pemukiman mengikuti pola semakin berkembang dengan
pemukiman penduduk masa kolonial semakin banyaknya pendatang
yang dikelompokkan berdasarkan asing (Eropa dan Cina) yang
etnis (Belanda, Cina, Arab, Bugis, menetap di kota-kota tersebut (Reid,
Manado, Makassar, Gorontalo). 1980:235-236). Kondisi tersebut juga
Kawasan hiburan berada di sekitar terjadi di kota Gorontalo. Pada masa
alun-alun berupa gedung societeit, kota tradisional dan awal kerajaan
hotel dan gedung bioskop, yaitu Islam belum banyak pendatang yang
Societeit Wilhelmina, Hotel Velberg, datang dan menetap di Goontalo,
Hotel Gorontalo, dan Societeit sehingga pola permukiman masih
Juliana. Kawasan pelabuhan berada sederhana dan mengelompok dalam
di sekitar muara Sungai Bolango. kelompok-kelompok. Setelah
pendatang dari wilayah lain (Bugis,
Makassar, Ternate, Cina)
membentuk permukiman tersendiri
di luar kelompok-kelompok
permukiman yang sudah ada
sebelumnya. Permukiman
pendatang menempati kawasan
yang datar di dekat muara sungai
dan teluk Tomini. Pemilihan lokasi
permukiman tersebut berkaitan
dengan kemudahan transportasi laut
dan sungai yang menjadi sarana lalu
lintas utama pada waktu itu
(Hasanuddin, 2014:96). Gorontalo
menarik perhatian VOC karena
menjadi tempat yang strategis dalam
rute perdagangan pantai timur
Gambar 4. Morfologi Kota Gorontalo Sulawesi dan hasil emasnya
Masa Kolonial (Hasanuddin, 2014:34).
(Sumber : Marzuki, 2012:190) Permukiman penduduk
sebagian sudah menetap di wilayah
perkotaan yang baru. Faktor yang
mempengaruhi penduduk menetap
di wilayah perkotaan adalah adanya
DISKUSI DAN PEMBAHASAN rasa aman karena dekat dengan
Sebuah kota akan selalu penguasa lokal, dan adanya
mengalami perkembangan dari pemaksaan oleh VOC untuk tinggal
waktu ke waktu menyangkut aspek di wilayah kota dan berdekatan
politik, sosial, budaya, teknologi, dengan jalan untuk memudahkan
ekonomi, dan fisik. Morfologi

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 51


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
pengawasan (Juwono dan sifat-sifat kemasyarakatan kota.
Hutagalung, 2005:31; Apriyanto, Lokasi bersejarah dan bangunan-
2001:47; Marzuki, 2012:34-35). bangunan bersejarah menjadi
Perkembangan kota pertimbangan untuk
selanjutnya mengarah mendekati pengembangan kota (Branch,
kawasan muara sungai dan Teluk 1995:38-42).
Tomini. Faktor yang mempengaruhi Perkembangan morfologi
arah perkembangan kota tersebut suatu kota berkaitan erat dengan
karena mendekati dengan kawasan peningkatan status kota. Morfologi
pelabuhan untuk memudahkan kota merupakan ilmu yang
transportasi keluar wilayah dan mempelajari bentuk dan fungsi kota.
berada pada wilayah yang datar. Morfologi memiliki kaitan erat
Menurut Sujarto (1991), dengan kualitas spasial dua dimensi
perkembangan dan pertumbuhan dan unsur-unsur pembentuknya
kota dipengaruhi oleh tiga faktor, yang dapat dilihat melalui pola-pola
yaitu: yang tercipta. Morfologi lebih
a. Manusia, menyangkut segi menekankan pada bentuk, sehingga
perkembangan tenaga kerja, untuk memberikan makna ataupun
status sosial, dan kemampuan karakteristik suatu ruang perlu dilihat
teknologi. bagaimana nilai ruang tersebut
b. Kegiatan manusia, menyangkut (Pratomo, 2001:109). Menurut
segi kegiatan kerja, fungsional, Herbert seperti dikutip oleh Yunus
kegiatan perekonomian, dan (2009), tinjauan terhadap morfologi
hubungan regional yang lebih kota ditekankan pada bentuk-bentuk
luas. fisikal lingkungan kota, dan dapat
c. Pola pergerakan antar kegiatan diamati secara fisik, seperti jaringan
manusia sebagai akibat dari jalan, blok-blok bangunan
perkembangan penduduk dan pemukiman atau perdagangan.
fungsi kegiatannya. Morfologi merupakan formasi
Selain ketiga faktor tersebut di sebuah objek bentuk kota dalam
atas, perkembangan kota skala luas. Morfologi perkotaan
dipengaruhi unsur yang lebih adalah penataan atau formasi
mengacu kepada faktor internal atau keadaan kota sebagai objek dan
situasi dan kondisi setempat, yaitu: sistem yang dapat diselidiki secara
a. Keadaan geografis, merupakan struktural, fungsional, dan visual
pertimbangan yang esensial pada (Zahnd, 1999). Morfologi kota
awal penentuan lokasi sebuah memiliki tiga unsur, yaitu:
kota. Keadaan geografis ikut penggunaan lahan, pola jalan, dan
mempengaruhi fungsi dan bentuk tipe bangunan. Morfologi setiap kota
kota. Kota yang berada di lokasi berbeda-beda, sehingga morfologi
yang datar dapat berkembang kota menjadi pembentuk
secara merata ke segala arah. karakteristik atau ciri khas suatu kota
b. Aspek tapak (site), mempengaruhi (Tallo, dkk, 2014:215).
lokasi dan perubahan kota. Penggunaan lahan pada
Perubahan ruang kota sangat masa kerajaan tradisional masih
dipengaruhi oleh kemiringan sederhana, hanya untuk
lahan, keadaan geologis, dan permukiman, perkebunan dan
fungsi yang diemban oleh kota itu. persawahan. Pola permukiman
c. Sejarah dan kebudayaan, masih sederhana, mengelompok
mempengaruhi karakter fisik dan dan berada pada wilayah pedalaman

52 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


yang jauh dari pantai. Pola jalan dan tingkah laku manusia masa
masih sederhana dan belum lalunya. Pada masa kota tradisional,
memiliki pola yang teratur. Pola jalan kehidupan masih sederhana,
tersebut dapat dikategorikan sebagai mengelompok, bersifat agraris,
jalur informal atau jalur tidak resmi, tinggal dalam rumah-rumah
biasanya berupa jalan setapak atau panggung yang sederhana.
jalur perdagangan dengan Hubungan antara individu yang
konstruksi yang tidak bagus (Earle terjalin masih belum kompleks,
(1991:10; Trombold 1991:3). karena sebagian besar masih
Pola tata ruang kota memiliki hubungan kerabat satu
sederhana, yang menggambarkan sama lain. Kemampuan teknologi
pola hidup masyarakat pada masa masih sederhana, dan jaringan jalan
tersebut masih belum begitu masih belum teratur. Perkembangan
kompleks. Teknologi masih terjadi setelah terjadinya kontak
sederhana, hal ini dapat dilihat dari dengan pendatang dari suku dan
bentuk rumah dan teknologi bangsa lain, seperti: Bugis,
pembangunan rumah. Kondisi jalan Makassar, Buol, Ternate, Sangir,
yang masih berupa jalur informal, Toli-Toli, Parigi, Cina, Minahasa, dan
berupa jalan tanah, dikarenakan Belanda. Mata pencaharian
sarana transportasi yang digunakan masyarakat sebagian berubah
masih sederhana (kuda, sapi atau menjadi pedagang perantara antara
gerobak). penduduk lokal dengan pendatang.
Perkembangan pada masa Hubungan social sudah terdapat
kerajaan Islam, pusat kota sudah kelas-kelas social berupa raja dan
ditata dan pola jalan dibuat persegi pejabat-pejabat kerajaan.
(grid). Penggunaan lahan tidak Kemampuan teknologi sudah
hanya untuk permukiman dan mengalami peningkatan, terlihat dari
perkebunan atau sawah, namun kemampuan menata kota dengan
sudah ada penggunaan untuk segala komponennya. Masyarakat
pemakaman, pertahanan, dan yang memiliki kelas sosial tinggi
rumah ibadah. Penggunaan pola tinggal di sekitar istana dan dalam
jalan grid bertujuan untuk efisiensi kota, sedangkan masyarakat biasa
penggunaan ruang (anggapan tinggal di pinggiran atau luar kota.
bahwa bangunan pada umumnya Pada masa kolonial, hubungan
berbentuk persegi) dan berkaitan sosial semakin kompleks dengan
dengan penyiapan jalan untuk hadirnya penguasa Belanda.
keperluan barisan prosesi Penguasa Belanda membangun
memanjang dan lurus (straight kota baru di sebelah selatan kota
processional street). Penggunaan lama. Bangunan perkantoran dan
lahan pada masa kolonial bertambah perumahan sebagian besar sudah
dengan adanya penambahan menggunakan bata (rumah batu
kawasan perdagangan, sekolah, dalam istilah Gorontalo) atau
lapangan terbuka, hotel dan hiburan. perpaduan kayu dan batu. Jaringan
Perubahan penggunaan lahan jalan sudah lebar, bagus dan teratur
sesuai dengan perkembangan kota sehingga mudah untuk dilewati
dan bertambahnya pendatang yang kendaraan.
menetap di kota Gorontalo.
Berdasarkan perkembangan
morfologi kota dari tradisional hingga
kolonial, dapat diketahui pola pikir

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 53


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
KESIMPULAN kotak-kotak (grid) yang membatasi
Pusat kota Gorontalo kawasan permukiman.
merupakan pusat kekuasaan Perkembangan kota pada masa
kerajaan Gorontalo mulai dari masa pemerintahan kolonial Belanda
tradisional, kerajaan Islam, hingga membuat morfologi kota Gorontalo
kolonial. Berdasarkan analisis berubah dari bentuk persegi atau
keletakan pusat kota Gorontalo kotak menjadi bentuk kipas.
mulai kota tradisional, kerajaan, Perubahan morfologi tersebut
hingga kolonial, dapat diketahui disebabkan karena kondisi geografis
lokasi pusat kota bergerak dari wilayah Gorontalo yang terletak
pedalaman menuju arah pantai. dalam sebuah teluk dan diapit dua
Pemilihan lokasi kota tradisional di perbukitan. Pola kota mengacu
pedalaman (jauh) dari laut dan kepada pola kota kolonial baru
berdekatan dengan sungai (nieuw indisch stad) yang hanya
berdasarkan faktor keamanan, terdapat satu pusat pemerintahan.
karena pada masa tersebut wilayah Faktor yang mempengaruhi
pantai Laut Sulawesi tidak aman. perkembangan morfologi kota
Pemilihan lokasi dekat dengan Gorontalo meliputi; kebijakan
sungai bertujuan untuk penguasa, kondisi geografis, dan
memudahkan transportasi dengan bertambahnya jumlah penduduk.
wilayah luar Gorontalo, karena
sungai merupakan sarana
transportasi pada waktu itu. UCAPAN TERIMA KASIH
Perkembangan selanjutnya pusat Artikel ini merupakan bagian
kota mengarah ke arah pantai dari disertasi mengenai
karena kondisi keamanan yang perkembangan struktur tata ruang
semakin baik. Selain faktor kota Minahasa masa kolonial, tahun
keamanan, pemilihan lokasi pusat 1789-1945. Ucapan terima kasih
kota Gorontalo mencari tempat yang saya sampaikan kepada Dr.
datar. Anggraeni, M.A dan Dr. Sri
Perubahan morfologi terjadi Margana, M.Phil atas masukan-
pada masa Sultan Botutihe yang masukannya, dan Romi Hidayat
meletakkan dasar pembangunan atas bantuan serta izin penggunaan
kota Gorontalo. Morfologi kota pada dokumentasi dalam penulisan artikel
periode ini berbentuk persegi atau ini.
kotak, dengan jaringan jalan berpola

54 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


DAFTAR PUSTAKA

Adrisijanti, Inajati. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta :


Penerbit Jendela.

ANRI, 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia-Belanda Tahun 1839-1848, Jakarta :


Arsip nasional Republik Indonesia.

Apriyanto, Djoni. 2001. “Konflik Hindia Belanda-Gorontalo Tahun1856-1942”,


Tesis. Yogyakarta : Program Pascasarjana.

Bastiaans, J. 1939. “Batato’s in het Oude Gorontalo, in verband met den


Gorontaleeschen Staatsbouw”. Tijdchrift Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Weteschappen 179 : 23-72.

Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota, Yogyakarta : Penerbit


Ombak.

Branch, Melville. C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif (Pengantar dan


Penjelasan), diterjemahkan oleh Bambang Hari Wibisono dan Achmad
Djunaedi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Earle, Timothy. 1991. “Paths and Roads in Evolutionary Perspective”, dalam


Ancient Road Networkks and Settlement Hierarchies in the New World,
Cambridge : Cambridge University Press.

Gill, R. G. 1995. De Indische Stad op Java en Madura, een Morphologische


Studie van haar Ontwikkeling, Delft : Technische Universiteit Delft.

Haga, BJ. 1981. Lima Pohalaa : Susunan Masyarakat, Hukum Adat, dan
Kebijaksanaan Pemerintahan di Gorontalo (terjemahan KITLV-LIPI)
Jakarta : Djambatan.

Handinoto. 2010a. “Alun-alun Sebagai Identitas Kota Jawa, Dulu dan Sekarang”,
dalam Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial, Yogyakarta :
Grha Ilmu.

Handinoto.2010b.”Perubahan Besar Morpologi Kota-Kota di Jawa pada Awal dan


Akhir Abad ke-20”, dalam Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa
Kolonial, Yogyakarta : Grha Ilmu.

Handinoto. 2015. Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII sampai pertengahan


XX Dipandang dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya, Yogyakarta :
Penerbit Ombak.

Hasanuddin dan Basri Amin. 2010. Gorontalo Dalam Dinamika Sejarah Masa
Kolonial, Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Hasanuddin. 2014. Pelayaran dan Perdagangan Gorontalo Abad Ke-18 dan 19,
Yogyakarta : Kepel Press.

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 55


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
Henley, David. 2005. Fertility Food and Fever Population, Economy, and
Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930, Leiden : KITLV
Press.

Heryanto, B. 2011. Roh dan Citra Kota Peran Perancangan Kota Sebagai
Kebijakan Publik. Surabaya : Brilian Internasional.

Ismail, Gusnar. 2009. Kepemimpinan Islam dalam Penyelenggaraan Pemerintah


Daerah (Studi Propinsi Gorontalo), Yogyakarta : Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga.

Jusuf. Paris R.A. 2000. Pembentukan Propinsi Gorontalo dan Dampaknya


Terhadap Ketahanan Wilayah, Yogyakarta : Program Pasca Sarjana
UGM.

Juwono, Harto dan Josephine Hutagalung. 2005. Limo Lo Pohala Sejarah


Kerajaan Gorontalo,Yogyakarta : Penerbit Ombak.

King, Anthony D. 1991. “Colonials Cities:Global Pivots of Change”, dalam


Colonial Cities Essay on Urbanism in a Colonial Contex (Robert Ross and
Gerard J. Telkamp ed), Dordrecht : Martinus Nijhoff Publisher.

Kurniawan, Jujun. 2011. “Tinjauan Umum Mengenai Penelitian Kota Kolonial


pada Arkeologi Perkotaan di Indonesia”, makalah dalam International
Seminar Urban Heritage Its Contribution to the Present A Festschrift in
Honor of Prof. Dr. Inajati Adrisijanti, Yogyakarta : Jurusan Arkeologi,
Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Marzuki, Irfanuddin W. 2012. Pola Sebaran Bangunan Indis di Kota Gorontalo


dan Strategi Pelestariannya. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada.

Menno, S dan Mustamin Alwi. 1994. Antropologi Perkotaan (cet. Kedua). Jakarta
: Raja Grafindo Persada.

Nas, Peter J. M.1986. The Indonesia City : Studies in Urban Development and
Planning, Dordrecht-Holland : Foris Publications.

Nas, Peter J.M.1989. “Town and Countryside in Indonesia : A Sceptic’s View”.


Sojourn : Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 4, No. 1, Peasant
and Cities, Cities and Peasants : Rethinking Southeast Asian Models
(February 1989), pp. 20-33. Diunduh dari www.jstor.org, tanggal 16
Februari 2015.

Nurhadi. 1995. “Arkeologi Kota Sebuah Pengantar”. Bulletin Arkeologi


Amoghapasa, 2 (1) : 3-10.

Paulus, J. 1917. Encyclopaedie Van Nederlandsch Indie, Tweede Druk met


Medewerking Van Verschillende Geleerden Ambtenaren en Offieceren,
Martinus Nijhoff.

56 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018


Pratomo, Soni, 1999. Makna Struktur dan Unsur Pembentuk Pusat Kota
Pelabuhan Tuban Kajian Morfologi dan Silang Budaya Pusat Kota Pesisir,
Semarang : Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Raap, Oliver Johannes. 2015. Kota di Djawa Tempo Doeloe, Jakarta :


Kepustakaan Populer Gramedia.

Rahim, Idris. 2009. Identitas Etno Religi dalam Pembentukan Propinsi Gorontalo,
Yogyakarta : Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga.

Reid, Anthony . 1980. “The Structure of Cities in Southeast Asia, Fifteenth to


Seventeenth Centuries”. Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 11,
No.2 (Sep, 1980), pp. 235-250. Diunduh dari www.jstor.org tanggal 24
Februari 2015.

Santoso, Jo. 2006. (Menyiasati) Kota Tanpa Warga. Jakarta : Penerbit KPG dan
Centropolis.

Saptaningrum, Irna. 2008. “Kajian Tata Ruang Kota Gorontalo,” Laporan


Penelitian, Manado : Balai Arkeologi Manado (tidak diterbitkan).

Staski, Edward. 1982. “Advances in Urban Archaeology”. Advances in


Archaeological Method and Theory, Vol. 5 (1982), pp. 97-149. Diunduh
dari http://www.jstor.org/stable/20210054, tanggal 18 Oktober 2017.

Staski, Edward. 2008. “Living in Cities Today”. Historical Archaeology, Vol. 42,
No. 1, Living in Cities Revisited: Trends in Nineteenth- and Twentieth-
Century Urban Archaeology (2008), pp. 5-10. Diunduh dari
http://www.jstor.org/stable/25617479, tanggal 18 Oktober 2017.

Sujarto, Djoko. 1991. Perencanaan Kota dan Kebijakan Perencanaan Kota di


Indonesia, Bandung : Departemen Teknik Planologi Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan ITB.

Sunaryo, R. G. 2015. Morfologi Ruang Pusat Kota Jawa Periode Kolonial,


Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Tallo, Armandus Jong, dkk. 2014. “Identitas Pola Morfologi Kota (Studi Kasus :
Sebagian Kecamatan Klojen Di Kota Malang)”. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota. Vol. 25, No. 3 (Desember 2014): 213-227.

Tanudirdjo, Daud Aris. 1989. ”Ragam Metode Penelitian Arkeologi dalam Skripsi
Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada”, Laporan
Penelitian,Yogyakarta : Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Taylor, Jean G. 2003. Indonesia Peoples and Histories, New Heaven and London
: Yale University Press.

Perkembangan Morfologi Kota Gorontalo Dari Masa Tradisional Hingga Kolonial 57


(Irfanuddin Wahid Marzuki)
Tim Penyusun. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara, Jakarta :
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun.1979. Sejarah Daerah Sulawesi Utara. Jakarta : Proyek Penelitian


dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Tim Penyusun. 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta : Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional.

Tjandrasasmita, Uka. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III (Edisi Pemutkahiran


cetakan kedua). Jakarta : Balai Pustaka.

Trombold, Charles, D. 1991. “ An Introduction to the Study of Ancient New World


Road Networks”, dalam Ancient Road Networks and Settlement
Hierarchies in the New World, Cambridge : Cambridge University Press.

Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan


Sosial (terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth), Yogyakarta : Tiara
Wacana.

Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di


Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Yayasan 23 Januari 1942. 1982. Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan


Negara Proklamasi, Gorontalo : Yayasan 23 Januari 1942 bekerja sama
dengan IKIP Manado Cabang Gorontalo.

Yunus, Hadi Sabari. 2009. Klasisifikasi Kota Cet. II, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta :


Kanisius.

Zaidulfar, Alvares Eko. 2002. Morfologi Kota Padang, Yogyakarta : Fakultas


Teknis Arsitektur UGM.

http://gorontalokota.go.id, diunduh tanggal 26 September 2017.

https://www.gorontaloprov.go.id/profil/sejarah, diunduh tanggal 26 September


2017

www.www.atlasofmutualheritage.nl/nl/Het-fort-Nassau-Gorontalo.7608, diunduh
tanggal 20 Desember 2017.

58 Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.1 Mei 2018

Potrebbero piacerti anche