Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
p 200 - 208
P- ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407
noorwatha@gmail.com
Tulisan ini bertujuan untuk membahas proses rekontekstualisasi estetika Hindu ‘rasa’ dalam desain arsitek-
tural kekinian. Metodenya adalah kajian perpustakaan (library research) dengan pendekatan hermeneutik da-
lam menginterpretasikan objek penelitian berupa teks estetika Hindu, maupun komparasinya dengan keilmuan
desain arsitektural. Literatur utamanya mengacu ke Kitab Natyashastra oleh Bharata Muni dan proses rekon-
stekstualisasinya menggunakan analogi dramaturgikal (Attoe, 1979) dan manifestasi ‘rasa’ ke seni visual dan
arsitektur (Shetty dan Bhoosan, 2017) dan (Verma dan Gupta, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
estetika Hindu khususnya teori ‘rasa’ relevan dikembangkan ke dalam keilmuan desain arsitektural kekin-
ian. Relevansi tersebut bukan semata kesesuaian istilah semata, namun juga kesesuaian dengan materi pokok
kelimuan desain arsitektural seperti bentuk, penciptaan spasial, konteks arsitektural sebagai tuntutan desain
arsitektural kekinian.
This paper aims to discuss the process of recontextualization of Hindu aesthetics ‘taste’ in contemporary ar-
chitectural design. The method is library research with hermeneutic approach on interpreting the Hinduism
aesthetics text, as well as comparation with the science of architectural design. Its main literature refers to the
Book of Natyashastra by Bharata Muni and its recontextualization process using dramaturgical analogies (At-
toe, 1979) and the manifestations of the ‘rasa’ to the visual and architectural arts (Shetty and Bhoosan, 2017)
and (Verma and Gupta, 2015). The results show that ‘rasa’ theory of Hindu aesthetics is relevant to developed
into the contemporary architectural design. Relevance is not merely the conformity of the term alone, but also
in conformity with the subject matter of architectural design such as science, form, spatial creation, architec-
tural contexts as the present architectural design demands.
doi: dx.doi.org/10.31091/mudra.v33i2.351
200
Volume 33, Nomor 2, Mei 2018 MUDRA Jurnal Seni Budaya
201
I Kadek Dwi Noorwatha (Rekontestualisasi Estetika Hindu ‘Rasa’...) Volume 33, Nomor 2, Mei 2018
alam atau hewan yang memiliki signifikansi spiritual tradisional, yang salah satunya tercantum dalam Kitab
Estetika sebagai bagian dari pengembangan tersebut me- Natya Shastra yang membahas drama/tari klasik, yang
merlukan suatu konversi ke ranah modern. Estetika Bali mengungkapkan dan mengkomunikasikasikan perasaan
belum dirumuskan secara definitif meskipun dalam tataran dan emosi dari manusia. Hal tersebut dinamakan ‘rasa’
praktis telah diterapkan di segala aspek perikehidupan bu- (Mukerjee, 1965).
daya material Bali. Dr. Anak Agung Madé Djelantik (1995)
dalam Davies (2007) menyatakan bahwa tidak ada tulisan TEORI ‘RASA’
khusus mengenai estetika sebagai sebuah patokan resmi
(discipline) di Bali’. Pembahasan mengenai seni sebagai Suryajaya (2016: 244) memaparkan teori ‘rasa’ dalam es-
bagian dari estetika di Bali tertulis dalam lontar kuno, tapi tetika India yang mengakui aspek mimetik seni dan fungsi
pada umumnya berhubungan dengan agama, spiritualitas, sosial seni seperti halnya estetika Klasik di Eropa. Beit-
upacara dll. Jadi ‘belum’ ditemukan suatu rumusan esteti- men (2014) menjelaskan bahwa Teori ‘rasa’ ditemukan
ka Bali yang dapat diaplikasikan ke ranah desain interior dalam kitab kuno Natyashastra karangan Bharata Muni
modern. Estetika Bali mungkin belum dirumuskan secara diperkirakan dibuat antara abad 2 SM dan 2 M. Natyashas-
pasti, namun ketika berbicara pada tataran lebih luas, es- tra memaparkan teori dasar drama/teater klasik India dan
tetika Bali yang mayoritas dipengaruhi oleh Agama Hindu rasa yang diantaranya menjelaskan bagaimana emosi ma-
sangat erat dengan Estetika Hindu yang berkembang di In- nusia (penonton) bisa ditimbulkan melalui media drama
dia sebagai salah satu peletak fondasi budaya Bali. (Verma dan Gupta, 2015). Teori rasa tertulis pada bagian
rasasutra di Bab X Kitab Natyashastra yang berbunyi:
ESTETIKA HINDU “vibhava anubhava vyabhicahribhava samyogat rasa
nispatihi” yang berarti: ‘Melaui kesatuan dari Vhibava
Pengertian estetika dirumuskan oleh Suryajaya (2016: (stimulus), Anubhava (reaksi spontan) dan Vyaribhava
1-3) sebagai ‘filsafat kesenian’. Suryajaya memaparkan (reaksi sukarela) maka rasa akan muncul” (Damianova,
secara etimologis bahwa istilah “estetika’ berasal dari 2014).
kata sifat dalam bahasa Yunani, ‘aisthetikos’, yang artinya Kata rasa dibuat dari dua huruf ‘Ra’ dan ‘Sa’, di mana
‘berkenaan dengan persepsi’. Bentuk kata bendanya ada- Ra berarti “memberi” dan Sa berarti “gerak”(Verma dan
lah ‘aisthesis’, yang artinya ‘persepsi indrawi’. sementara Gupta, 2015). ‘Rasa’ berasal dari Bahasa Sansekerta ‘ra-
bentuk kerja orang pertamanya adalah ‘aishanomai’, yakni sah’ yang mempunyai makna dan pemakaian yang berva-
‘saya mempersepsi’. Estetika mempunyai aspek keseja- riasi antara lain menurut Kamus Inggris-Sansekerta Mon-
rahan yang panjang sebagai bagian dari filsafat. Penulis ier-Williams (1979): Sap getah (sap), sari buah (juice),
memfokuskan pada pembahasan estetika Hindu sebagai hakekat(isi/hakekat), sumsum (marrow), obat (potion),
implementasi dari tujuan penulisan. Korelasi antara esteti- susu (milk), serum, air raksa (mercury), air mani (semen),
ka Hindu dan estetika India sangat erat dan tidak dapat dip- dupa (myrrh), mineral, emas (gold), hijau (green), bawang
isahkan, dimana India sebagai sebuah Negara dikenal juga (onion), getah damar (resin), rasa-indera pengecap (fla-
dengan nama ‘Hindustan”. Istilah tersebut secara literal vor), kemampuan merasakan(the faculty of taste), kesu-
berarti kawasan yang mengelilingi Sungai Indus (Elgood, kaan (fondness), kesenangan (pleasure), perasaan yang
1999: 2). Sharma (2002) menyatakan penamaan ‘Hindu- dipengaruhi oleh estetika (aesthetics affect), perasaan
stan’ berasal dari Bahasa Persia ‘Hindu’ dari pelafalan (sentiment) dan watak/sikap batin (disposition) (Benam-
Bahasa Sansekerta ‘Shindu’. Dalam konteks estetika, es- ou, 2010). Dalam daftar itu, terbayang betapa komplek-
tetika India mempunyai beragam pembabakan disesuaikan snya konsep ‘rasa’ dalam estetika India. Bharata Muni
dengan aspek kesejarahan dan perkembangan religiusitas membatasi pengertian ‘rasa’ dalam risalahnya sehingga
sebagai inti dari filsafat estetikanya. Dalam konteks penu- hanya mencakup ‘afeksi estetis’, ‘perasaan’ dan ‘sikap
lisan ini akan difokuskan pada estetika India dipengaruhi bathin’(Suryajaya, 2016: 248). Teori ‘rasa’ ini mempunyai
oleh Filsafat Hinduisme. dua aspek yaitu:
Rasavata yang berarti pengangkatan budi manusia ke da-
Penamaan Estetika Hindu di sini mengacu pada ideolo- lam suasana dimana terjadi penikmatan keindahan sebagai
gi tentang Hindu atau hinduisme. Elgood (2000: 2) me- kebahagiaan yang murni. Pengalaman ini adalah proses
negaskan bahwa Hinduisme harus dilihat dan dipahami yang bersifat transedental.
tidak lebih dari sebuah sistem sosial, atau proses pabri- Aspek presentasi atau penyajian yang terdiri dari tiga ba-
kasi dari kebiasaan religius yang beragam, dibandingkan gian yaitu:
sebuah ‘Agama’. Hinduisme akan selalu bersifat ekletik, Sthayi Bhava atau disebut juga sthayin adalah perwuju-
melakukan praktik religius dan spiritual kuno dan menyer- dan 9 suasana jiwa yang kekal, yang tidak berubah
ap yang lainnya sesuai ruang dan waktunya. Hal tersebut Vyabichari Bhava adalah suasana yang berlaku sementa-
mengarahkan ke sebuah karakteristik toleransi beragama ra bisa selalu berubah
dan eklektikisme. Seni India secara umum menunjukkan Sattvika Bhava adalah tabiat atau watak (Vatsyayan da-
intensitas religius dan sebuah tujuan yang bersifat metaf- lam Djelantik, 1999).
isikal. Hal tersebut mengacu kepada skema pengetahuan Kitab Natyashastra sangat berpengaruh dalam sejarah es-
202
Volume 33, Nomor 2, Mei 2018 MUDRA Jurnal Seni Budaya
tetika India dan dalam kitab tersebut dipaparkan sebuah lam bahasa Indonesia. Kata ‘rasa’ dalam bahasa Indonesia
konsep sentral yang banyak mempengaruhi estetika India kadangkala diartikan sebagai bagian dari ‘perasaan’ atau
hingga hari ini dan menyebar luas di Asia Tenggara, ter- ‘emosi’, namun sebenarnya kedua kata tersebut (perasaan
masuk Indonesia (Suryajaya, 2016: 248). Kata ‘rasa’ telah dan emosi) lebih dekat ke pengertian ‘bhava’ dalam bahasa
disebutkan dalam berbagai konteks manuskrip mitologi Sansekerta (Ali, 2010: 72). Pernyataan yang sama juga di-
Hindu seperti Rigveda, Satapatha Brahamna, Natyashas- ungkapkan oleh Suryajaya (2016: 250) yang menyatakan
tra, Vishnudharmottara Purana, dan Samrangana Sutrad- bahwa situasi emosi yang ditangkap oleh penonton yang
hara; yang merupakan manuskrip Hinduisme yang otentik akan menimbulkan ‘rasa’ tersebut disebut ‘bhava’. Rasa
(Damianova, 2014). Menurut Benamou (2010: 40) men- tidak menghasilkan bhava, dan sebaliknya bhava tidak
yatakan bahwa ‘rasa’ dalam konteks musik dapat diter- menghasilkan rasa. Sebaliknya, keduanya “menyebabkan
jemahkan menjadi ‘sensasi’ atau ‘makna instrinsik (inner satu sama lain untuk menjadi ada.” Hal tersebut disebut
meaning). Namun kadangkala berarti ‘kemampuan untuk dengan bhavayanti. Pengalaman estetika (aesthetics expe-
mengekpresikan atau mencerap perasaan atau makna in- rience), seperti semua pengalaman, merupakan salah satu
strinsik’. Dalam kitab Natyashastra, apa yang dimaksud interaksi yang dinamis. Dick Hartoko (dalam Ali, 2010)
‘rasa’ adalah pengalaman estetis pemirsa dalam mem- menyebutkan bahwa sembilan ‘rasa’ (nawarasa) dalam
persepsi sebuah karya seni, utamanya seni pertunjukan Natya Shastra memang identik dengan sembilan ‘bhava’
(drama atau teater klasik India). (nawabhava) (lihat tabel 1), namun ‘rasa’ itu muncul da-
Bharata Muni membagi 8 jenis ‘rasa’ antara lain: lam pengalaman estetik dan disaring melalui persepsi pe-
Shrngara, adalah cinta, kegairahan atau ketertarikan. De- nonton, lihat gambar 1.
wanya Wisnu, warna: hijau Cerah pucat
Hasya adalah kelucuan, gembira dan komedi. Dewanya Menurut Bharata Muni (dalam Mukerjee 1965), bhava
Pramata. Warna: Putih dibagi menjadi Sthayi Bhava berarti ‘kondisi dasar dari
Raudra adalah kemarahan. Dewanya Rudra. Warna: mer- kesadaran’ dan atau kondisi psikologis (Shetty dan Bhoo-
ah san, 2007) dan Vyabichari Bhava berarti ‘perasaan se-
Karuna adalah belas kasih, kasih sayang. Dewanya: mentara/transisi’; ‘perasaan yang muncul (moods)’; dan
Yama. Warna Abu-Abu Sattvika Bhava berarti ‘tabiat atau watak’ (Vatsyayan da-
Bibhatsa adalah jijik/muak, keengganan. Dewanya Siwa. lam Djelantik, 1999). Kesemua kondisi psikologis tersebut
Warna biru disebabkan oleh penyebab khusus/stimulus (vibhava) dan
Bhayanaka adalah Horor, teror. Dewanya Kala. Warna konsekuensinya/reaksi spontan (anubhava). Para peneliti
hitam sebelumnya telah memetakan hubungan antara rasa dan
Vira adalah perasaan kepahlawanan (heroik). Dewanya bhava, sehingga dapat dilihat korelasi antara warna dan
Indra, Warna kekuningan (yellowish). perasaan/emosi yang ditimbulkan sebagai berikut:
Adbhuta adalah kekaguman, ketakjuban, Dewanya Brah-
ma. Warnanya kuning (RTU, 2014). Tabel 1. Hubungan Rasa dan Sthayi Bhava
Sampai abad ke-3 dan 4 masehi delapan ‘rasa’ (astarasa)
ditambahkan menjadi sembilan rasa ‘nawarasa’ yaitu: Rasa [Sthayi] Makna Warna
Shanta/Shantam atau Shanti adalah kedamaian atau Bhava
ketenangan. Dewanya Wisnu. Warnanya putih (perpetual
white). ‘Rasa’ kesembilan ditemukan pada Kitab Visnud- Shringara Rati Cinta/delight Pale Light
harmottara dan Kitab Apparajitapracchha (Mukerjee, Green
1965). Shantam atau Shanti dipandang sebagai rasa tert-
inggi dalam nawarasa. Hasya Hasa Kelucuan/Tawa White
Dalam kitab Samrangana-sutradhara (ditemukan abad 11
Masehi) Sembilan rasa tersebut ditambahkan lagi 2 ‘rasa’ Karuna Shoka Kesedihan/Baik Grey
menjadi 11 yang diekspresikan dalam citra dan lukisan; hati
khusus dalam seni sastra menjadi:
Vatsalya adalah cinta orang tua (parental love) Raudra Krodha Kemarahan Red
Bhakti adalah cinta atau pelayanan total terhadap Tuhan
dalam konteks spiritual Veera Utsaha Kepahlawanan Pale Orange
Rasa tidak selalu timbul dalam setiap kesenian. Hal itu
baru timbul apabila sebuah karya mampu menghadirkan Bhayanaka Bhaya Ketakutan/Bahaya Black
situasi emosi yang dapat ditangkap oleh penonton.
Bibhatsa Jugupsa Kebencian/Keji- Blue
KORELASI ‘RASA’ DAN EMOSI PENON- jikan
TON (BHAVA)
Dick Hartoko dalam buku ‘Manusia dan Seni’ menjelaskan Adbhuta Vismaya ketakjuban Yellow
bahwa ‘rasa’ (Sansekerta) itu tidak sama dengan ‘rasa’ da-
203
I Kadek Dwi Noorwatha (Rekontestualisasi Estetika Hindu ‘Rasa’...) Volume 33, Nomor 2, Mei 2018
Shanta Shanta* Kedamaian Perpetual cara khusus/parsial tapi dalam konteks umum/holistik. Ke-
White tika tema drama terbebas dari batas waktu dan tempat, dan
penonton menyingkirkan batasan ruang dan waktu serta
Sumber: Kumar, 2015 dampaknya, maka ia menikmati kesenangan estetika (sid-
Vyabichari Bhava adalah suasana perasaan yang ber- dhi) (Shetty dan Bhoosan, 2007). Siddhi sebagai puncak
laku sementara bisa selalu berubah, yang terdiri dari tertinggi dari estetika pertunjukan drama India dapat dibagi
kesedihan (nirveda), kelemahan (glani), kecemasan menjadi manushi siddhi dan daiviki siddhi. Manushi siddhi
(sanka), iri (asuya), mabuk (mada), kelelahan (srama), berpusat pada reaksi penonton berdasarkan kesukaan atau
lamban (alasya), depresi (dainya), gelisah (cinta), gang- ketidaksukaannya, sedangkan daiviki siddhi sebagai suatu
guan (moha), ketenangan (smrti), kepuasan (dhrti), malu pengalaman terhadap keluasan kesadaran yang ditandakan
(vrida), sifat tidak tetap (capalata), kesenangan (harsa), ‘sesuatu’ yang ‘membanjiri’ perasaan. Daiviki siddhi ha-
hasutan (avega), pingsan (jadata), kesombongan (gar- nya dapat dicapai ketika penonton dalam keadaan mental
va), putus asa (visada), ketidaksabaran (autsukya), tidur yang tenang, diam dan menyerap penuh tanpa perasaan
(nidra), epilepsi (apasmara), bermimpi (supta), bangun atau pikiran negatif (exaperation) (Mayaram, 2014).
(vibodha), kemarahan (amarsa), disimilasi (avahitta),
kekejaman (ugrata), jaminan (mati), penyakit (vyadhi), REKONTEKSTUALISASI ‘RASA’ DALAM
penyakit jiwa/gila (unmada), kematian (marana), ketaku- DESAIN ARSITEKTURAL
tan (trasa), pertimbangan (vitarka).
Teori ‘rasa’ seperti yang dipaparkan sebelumnya asalnya
Sattvika Bhava adalah sesuatu yang ada dalam pikiran, dari teori estetika Hindu khususnya tentang dramaturgi/
watak dan atau tabiat. Hal ini disebabkan oleh pikiran ter- teater. Usaha merekontekstualisasi ke dalam wujud desain
konsentrasi dan proses pendalaman laku. ‘Sattva’ dicapai arsitektural memerlukan pemahaman analogi arsitektur
dengan konsentrasi pikiran. Sifatnya yang meliputi mer- dengan teater atau dramaturgikal. Wayne O. Attoe (1979:
inding (horripilation), air mata, tenang, tidak bisa ditiru 31) dalam menjelaskan teori, kritik dan sejarah arsitektur
oleh orang yang tidak berpikir. Sattva diinginkan dalam menggunakan analogi dramaturgikal sebagai bagian dari
seni pertunjukan karena meniru sifat manusia. Sattvika penjelasannya. Aktivitas manusia dan lingkungan sering-
Bhava terdiri dari keringat (sveda), kelumpuhan (stambha) kali dianalogikan sebagai sebuah ‘teater’ atau ‘panggung’.
dan gemetaran (prakampa), tangisan (asra), perubahan Pengguna ruang mempunyai perannya masing-masing da-
mimik wajah dan merinding (vaivarnya), perubahan su- lam bangunan, sehingga penataan bangunan juga menjadi
ara (svara-pada) serta pingsan (pralaya). Kesemuanya itu penataan panggung dan properti yang menunjang ‘per-
adalah kondisi yang dikondisikan aktor dalam panggung. tunjukan’nya. Istilah dramaturgikal dapat disusun yang
Dalam seni drama, akting, lukisan, patung, dan musik, berdekatan dengan keilmuan arsitektur yaitu penataan
‘sang aktor’ atau seniman tidak terpengaruh pikirannya tempat dan adegan (setting), belakang panggung atau tem-
oleh sesuatu yang menggangu berasal dari orang lain dan pat operasional teater (backstage), peran yang berhubun-
situasi gan aktivitas dalam panggung (role), isyarat, kode atau
tanda (cue), panggung depan (on stage), latar belakang
tertentu. seniman memiliki konsentrasi yang melampaui (backdrop) dan garis pandang (sight lines).
orang, waktu, dan tempat, dan mengarahkan pikiran pe-
nonton menuju “keselarasan hati” (sahrdaya) dengan Analogi dramaturgikal dalam arsitektur berfungsi dalam
ketenangan (visranti). Presentasi artistik mengatasi kege- dua cara yaitu yaitu dari sudut pandang aktor dan dari
lisahan pengamat yang disebabkan oleh gairah (rajas) dan sudut pandang pengarang drama (playwright). Langkah
ketidaktahuan atau kegelapan (tamas), dan mengenalkan pertama seorang desainer arsitektural sebagai ‘pencipta’
keheningan dan kebahagiaan dari pikiran murni (sattvam). ruang berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan peng-
Pengalaman estetika menurut Bhatta-Nayaka, adalah pen- guna ruang dengan properti dan setting yang dibutuhkan
galaman objek estetika universal oleh subjek universal dalam menjalankan ‘aksi panggung’nya. Desainer arsitek-
dalam keadaan kebahagiaan sempurna (ananda), karena tural dari sudut pandang ‘aktor’ bertindak sebagai sutrada-
dominasi sattvam. Itulah sebabnya kenikmatan estetis di- ra yang tidak kelihatan (invisible director) yang mengon-
anggap serupa dengan kebahagiaan tertinggi ilahi (Brah- trol dan memandu jalannya ‘aksi panggung’ para pengguna
mananda). (Vatsyayan dalam Djelantik, 1999). ruang (aktor) tersebut melalui media seluruh elemen arsi-
tektural sebagai medium komunikasinya. ‘Sutradara’ ha-
Seluruh proses realisasi rasa dapat disimpulkan sebagai rus mampu dan memahami posisi on stage yaitu pengguna
berikut: ketika seorang penonton yang ideal (sahrdya) dalam ruang inti arsitektural atau off stage pengguna da-
yang berbakat spiritual dalam kedewasaan emosional dan lam posisi dalam ruang penunjang arsitektural. Desainer
sensitivitas estetika, menyaksikan sebuah permainan yang sebagai ‘sutradara’ wajib mampu menggugah pengguna
bagus di atas panggung, yang mempertunjukkan akting, ruang sebagai ‘aktor’ agar menyatu dengan panggung dan
musik, tari, dekorasi teater, kostum, dan sebagainya. Sang juga mendapatkan ‘rasa’ kebersetubuhannya tersebut da-
penonton menangkap tema permainan tersebut, tidak se- lam bangunan sebagai ‘panggung’.
204
Volume 33, Nomor 2, Mei 2018 MUDRA Jurnal Seni Budaya
Desainer arsitektural dari sudut pandang pengarang cerita Tabel 2. Rekontekstualisasi Bhava dalam Arsitektur
(playwright) harus mampu mengatur jalannya suatu per-
tunjukan melalui isyarat visual dalam ruang arsitektural. Jenis Bhava Rekontekstualisasi Arsitektur
Tokoh utama diskenariokan melalui beragam adegan
pertunjukan, untuk ‘terus hidup’ atau ‘dibunuh’ perann- Konteks (sosial, ekonomi,
ya dalam satu rangkaian pertunjukan untuk menggugah Vibhava (Stimulus) lingkungan, politik, sejarah) Ar-
emosi penonton. Emosi penonton yang dalam teori ‘rasa’ sitektural, Elemen Arsitektural,
dicampur adukan dengan beragam ‘rasa’ sehingga men- Arousal
capai kondisi psikologis tetap yang permanen yaitu kes-
an terhadap pertunjukan tersebut secara mendalam dan Anubhava (Reaksi Spon- Interaksi manusia dan Ruang,
susah dilupakan. Dalam hal tersebut, desainer arsitektural tan) Psikologis ruang
harus mampu menyusun sirkulasi atau pergerakan dalam
ruang dengan mempertimbangan superordinat (dominasi) Vyabichari Bhava (Kondi- Pemahaman ruang, Aktivitas,
dan sub ordinat (submisif) dalam peran spasialnya. Ruan- si Transisi) Pengalaman dalam Ruang
gan sebagai panggung untuk ‘peran’ yang on stage ditata
berdasarkan zonasi dimana terdapat ruang yang bersifat Sthayi Bhava (Kondisi ‘Rasa’ Kebertempatan (Senses of
tertutup (introvert) atau terbuka (ekstrovert) yang men- Mental Permanen) Place), ‘Rasa” Keberikatan Tem-
gundang ruang sentrifugal (menjauhkan) dan sentripetal pat (Place Attachment)
(mendekatkan).
Konsep Sthayi Bhava (Sthayin) yang berhubungan dengan
Terdapat sebuah diskursus antara aktor dan penonton da- 9 ‘rasa’ dalam arsitektur divisualisasikan dalam ruang dan
lam analogi dramaturgikal dalam arsitektur. Jika penggu- waktu melalui beberapa cara. Manifestasi Visual tersebut
na ruang adalah aktor siapakah penontonnya? pertanyaan digunakan dalam penggambaran sthayi bhava ke ranah de-
tersebut muncul dikarenakan ‘rasa’ akan muncul dalam sain arsitektural.
benak penonton (lihat gambar 1). Analogi dramaturgikal
arsitektur dalam konteks teori rasa menghadirkan peng- Shetty dan Bhoosan (2007) yang menyatakan bahwa da-
guna ruang sebagai ‘aktor’ sekaligus ‘penonton’ dalam lam penciptaan bentuk ruang dalam arsitektur, seorang de-
panggung arsitektural. ‘Rasa’ menjadi sebuah perasaan sainer arsitektural memiliki pemahaman inti bangunan di
kebertempatan (sense of places) pengguna ruang yang satu sisi (disebut juga
meningkatkan nilai keberikatan tempat (place attach-
ments) pada sebuah bangunan arsitektural. kavyartha); dan di sisi yang lain adalah kenikmatan artistik
(siddhi) yang menghubungkan bentuk arsitektural dengan
Kontekstualisasi ‘rasa’ dalam desain arsitektural merupa- pengguna yang telah ‘dewasa’ pemikirannya. Shetty dan
kan kondisi psikologis pengguna ruang ketika berinteraksi Bhoosan menerangkan aspek fungsional dari arsitektur
dengan ruang. Kualitas ruang arsitektural dan pengaturan (kavyartha) dan aspek citra (siddhi) dalam mempengaruhi
keseluruhan elemenya menentukan kualitas ‘rasa’ penggu- psikologis pengguna ruang dalam arsitektural yang akan
na ruang tersebut. Desainer ketika mengetahui ‘teori rasa’ menimbulkan ‘rasa’. ‘Rasa’ tersebut sebagai faktor yang
ini melakukan pendekatan yang spesifik dalam desain ru- menentukan arsitektur tersebut telah berfungsi maksimal.
ang dengan menganalogikan elemen dramaturgikal pada
ruang arsitektural yang berkaitan (sequential).
205
I Kadek Dwi Noorwatha (Rekontestualisasi Estetika Hindu ‘Rasa’...) Volume 33, Nomor 2, Mei 2018
Bindu yaitu sebuah titik, yang membentuk Manusia sebagai titik tolak perancangan, anthropometri
tubuh yang menggambarkan dirinya sendiri
Nabhi yaitu ‘jangkar’ yang menunjukkan Firmitas (Kekuatan), Utilitas (Fungsi) dan Venustas (Keindahan)
stabilitas dan pergerakan dalam keberatur- yang salah satunya adalah keberaturan (order) sebagai prinsip
an yang harmonis desain arsitektural
Chakra yaitu roda yang melambangkan Aspek keberlanjutan (sustainability), Desain berwawasan ekolo-
urutan siklus kehidupan dan kosmos gis (Eco Design), Arsitektur Organik
206
Volume 33, Nomor 2, Mei 2018 MUDRA Jurnal Seni Budaya
Vyabhicari bhava dalam konteks arsitektur adalah keadaan Ali, M (2010), Konsep ‘Rasa’ dalam Estetika Nusantara,
mental yang saling terjalin, yang saling melengkapi den- Prociding Seminar Nasional Estetika Nusantara, ISI Sura-
gan sthayibhava. Keduanya mengambil bagian dari juta- karta, 4 November 2010, Surakarta: ISI Press
an bentuk dan tingkat kemunculan yang beraneka ragam.
Variasi dalam situasi atau konteks tertentu dalam ruang Beitmen, LR. (2014), Neuroscience and Hindu Aesthetics:
dan waktu dimodulasi, diakomodasi, didikte sesuai contoh A Critical Analysis of V.S. Ramachandran’s “Science of
variabel-variabel ini. Variabelnya adalah tala (pengguna Art”, Florida International University (FIU) Electronic
ruang secara tetap (contohnya pegawai yang bekerja se- Theses and Dissertations, 1198
cara tetap dalam bangunan, atau terhubung dengan rutin
seperti pada waktunya), laya (kecepatan atau kecepatan Cuthbert, AR. (2013), Vernacular Transformations Con-
yang tercipta dalam ruang dan waktu, atau dapat diartikan text, Issues, Debates, artikel dalam Suartika, Gusti Ayu
sebagai durasi penggunaan dan jenis ruang), mana (variasi Made [eds.], 2013, Vernacular Transformation: Architec-
penekanan baik dalam ruang dan waktu, dalam ruang diar- ture, Place and Tradition, Denpasar: Pustaka Larasan dan
tikan sebagai ruangan inti (core), dalam visualisasi diarti- Udayana University’s Master Program
kan penekanan (emphasys, point of interest) dalam kon-
teks waktu dapat diartikan sebagai durasi tertinggi (rush Benamou, M (2010), Rasa: Affect in Javanese Musical
hour) okupansi ruang). Hal ini berkaitan dengan irama, Aesthetics, Oxford University Press
intensitas, jeda, istirahat, nada, fenomena pelanggaran dan
regresi dalam ruang, dan hal lain yang menciptakan minat Daminova, R (2014), Sattvikabhinaya: The Modt Hidden
dan variasi sesuai urutan aktivitas dalam ruang (Shetty dan Mode of Expression in Traditional Indian Theater and
Bhoosan, 2007). Dance Drama, Manas Studies into Asia and Africa Journal,
Dari pernyataan di atas dapat dlihat bahwa teori ‘rasa’ se- South Asia: Identity and Cultural Diversity Issue 1/2014,
bagai bagian dari estetika Hindu dapat diaplikasikan ke Electronic Journal of the Centre for Eastern Languages
dalam desain arsitektural kekinian. ‘Rasa’ sebagai bagian and Cultures Sofia University “St. Kliment Ohridski” @
dari pengalaman estetika dapat dikondisikan oleh situasi manas.bg
emosi yang disebut ‘bhava’. Elemen arsitektural ditata se-
demikian rupa untuk mencapai kedua hal tersebut terlepas Djelantik, AAM (1995), “Is There a Shift Taking Place in
dari ruang dan waktu. Pengalaman estetika ‘rasa’ mengan- Balinese Aesthetics?” Paper presented at the Third Inter-
tarkan ‘pengamatnya’ untuk mencapai kondisi psikologis national Bali Studies Workshop, the University of Sydney,
transedental yang mengkonstruksi pengalaman kebertem- July 3–7, 1995, p. 2.
patan dan meningkatkan kualitas okupansi ruang serta
tempat.
207
I Kadek Dwi Noorwatha (Rekontestualisasi Estetika Hindu ‘Rasa’...) Volume 33, Nomor 2, Mei 2018
Elgood, H (2000), Hinduism and The Religious Arts, Lon- Vatsyayan, KM (1999) Aesthetics Theories Underlying
don: Cassell Asian Performing Arts dalam Djelantik, A.A.M., 1999,
Estetika: Sebuah Pengantar, Bandung: Masyarakat Seni
Maqbul, AS. (1986), “Hind: The Geography of India ac- Pertunjukan Indonesia
cording to the Medieaeval Muslim Geographers”, in B.
Lewis; V. L. Ménage; Ch. Pellat; J. Schacht, The Encyclo- Verma, A dan Gupta, I (2015) Indian Rasa in the Motifs
pedia of Islam, Volume III (H–IRAM)(Second ed.), Brill of Saharanpur Woodcraft, American International Journal
of Research in Humanities, Arts and Social Sciences, AI-
Mayaram, S (2014), Philosophy as Samvada and Svaraj: JRHASS 15-105, 2015
Dialogical Meditations on Daya Krishna and Ramchandra
Gandhi, Sage Publishing Yoshino, K (2010) Malaysian Cuisine: A Case of Neglect-
ed Culinary Globalization. In Globalization, Food and So-
Mukerjee, R. (1965), ‘Rasas’ as Springs of Art in Indian cial Identities in the Asia Pacific Region, ed. James Farrer.
Aesthetics, The Journal of Aesthetics and Art Criticism, Tokyo: Sophia University Institute of Comparative Cul-
Vol. 24, No. 1, Oriental Aesthetics. (Autumn, 1965), pp. ture.
91-96.
208