Sei sulla pagina 1di 18

KEBEBASAN INDIVIDU MANUSIA ABAD DUA PULUH:

FILSAFAT EKSISTENSIALISME SARTRE

THE FREEDOM OF HUMAN’S INDIVIDUALISM


IN THE TWENTHIETH CENTURY: SARTRE’S PHILOSOPHY OF
EXISTENTIALISM
Sihol Farida Tambunan
Pusat Penelitan Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI
tsiholfarida@gmail.com

Abstract
Existentialism was a label for many philosophical thoughts developed in the World War I and II. It becomes a
break-through against the traditional ways of thinking, namely essentialism considering empirism and
rationalism and the ontology of rationalistic being as the only ways of thinking. The traditional thinkers has
agreed to dismish any possibility to change the answer to the question of being. The existentialist thinker made
a revolt against that traditional philosopher of essentialism which had developed since the era of Plato and
Aristoteles as a deterministic philosophy. Jean-Paul Sartre, well-known French philosopher was one of
existentialist thinker who discusses human as an existential subject. According to him, existentialism was also a
philosophy of being, but he resists rationalizing it. In his thought, existentialism is the personal experience of
human as a subject. He calls ‘etre-en soi’ for human conciousness object and etre pour-soi for human
consciousness. The purpose of human existensialist, according to him, is to be etre-ensoi-etre pour soi’ or the
fully consciousness in the self. Subjectivism of human being was becoming the focus of thinking creating a new
scientific mainstream called psychology.
Keywords: Existentialism, Anti-deterministic, World War, Psichology and Subjectifism, Being And Nothingnes
( L’Etre et Neant.)
Abstrak
Eksistensialisme merupakan sebuah label yang diberikan terhadap banyak pemikiran filsafat yang berkembang
pada Perang Dunia I dan II. Aliran ini mendobrak aliran pemikiran tradisional sebelumnya yaitu Esensialisme
yang hanya menganggap empirisme dan rasionalisme serta ontologi rasional tentang ‘ada’ sebagai hakikat
pemikiran. Pemikir-pemikir tradisional telah menyepakati untuk menghilangkan setiap kemungkinan yang
mengubah pertanyaan tentang ‘ada’. Pemikir-pemikir Eksistensialis melakukan revolusi terhadap para Filsuf
Esensialis yang telah berkembang selama berabad-abad sejak zaman Plato dan Aristoteles sebagai suatu bentuk
filsafat yang deterministik. Jean-Paul Sartre, filsuf Perancis yang terkenal adalah salah satu pemikir
Eksistensialis yang membicarakan manusia sebagai subjek yang eksistensial. Menurutnya, Eksistensialisme juga
merupakan filsafat tentang ‘ada’, tetapi dia menolak untuk membakukannya menjadi satu-satunya hakikat
pemikiran. Ia menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek.
Dia menyebut ‘etre-en soi’ terhadap objek kesadaran manusia dan ‘etre-pour soi’ terhadap kesadaran manusia
itu sendiri. Tujuan kesadaran manusia menurut Sartre adalah menjadi ‘etre-en soi- etre-pour soi’ atau
‘kesadaran yang penuh pada dirinya.’ Subjektivitas manusia menjadi fokus pemikiran yang melahirkan aliran
ilmu pengetahuan terbaru yaitu Psikologi.
Kata kunci: Eksistensialisme, Anti Deterministik, Perang Dunia, Psikologi, Subjektivisme, Ada dan tiada
(L’Etre et le Neant).

Pendahuluan Munculnya budaya foto selfie pada masa


sekarang ini merupakan dampak dari keinginan
Eksitensialime berkembang sesudah
manusia untuk tampil exist.1 Aliran ini awalnya
Perang Dunia Pertama, sebagai suatu gerakan
berkembang di dunia Barat terutama Eropa,
dalam pemikiran yang menonjolkan subjektifitas
namun pengaruhnya dapat kita rasakan sekarang
dan kebebasan manusia di seluruh dunia
termasuk di Indonesia. Aliran pemikiran ini
mampu memengaruhi zaman moderen ini di 1
Kata ‘exist’ ini memang sebenarnya hanya
dunia termasuk di Indonesia, sehingga diperuntukkan untuk manusia yang berkesadaran.
menimbulkan berbagai perubahan gaya hidup. Mahkhluk atau benda selain manusia cukup
menggunakan kata ‘ada.’

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 215


karena pemikiran ini ibarat wabah virus yang tak maupun negatif. Oleh karena itu, ilmu mampu
bisa dibendung. Subjektivitas yang berkembang menolong manusia memahami dirinya sendiri.
karena aliran ini pada awal abad XX sangat Psikologi, cabang ilmu termuda, berkembang
bermanfaat, karena melahirkan kesadaran akan dari Eksistensialisme karena para Filsuf
hak manusia untuk bebas secara kejiwaan. Eksistensialisme sangat memperhatikan kejiwaan
Eksistensialisme menjadi salah satu tonggak manusia. Pada eksistensi manusia, diadakan penelitian
pemikiran filsafat abad XX yang tujuannya tentang emosi-emosi manusia yang merupakan
membangkitkan aktualisasi diri untuk memiliki yang merupakan bagian dari keunikan seorang
otonomi dan kebebasan. individu. Pandangan pesimistik tentang konsep
kejiwaan manusia banyak menjadi pemikiran
Pemikiran Eksistensialisme juga turut
para filsuf karena pada zaman itu penderitaan
memengaruhi para tokoh-tokoh intelektual
manusia seolah merupakan wabah akibat Perang
Indonesia pada awal abad XX, yang kemudian
Dunia I maupun Perang Dunia II.
memunculkan kebangkitan nasional pada tahun
1908 dengan berkumpulnya para tokoh-tokoh di Sebelum Eksistensialisme berkembang
gedung Stovia, Batavia (sekarang Jakarta). pada masa Perang Dunia I, para pemikir seolah
Mereka sadar bahwa objektivasi penjajahan terpaku pada permasalahan epistemologi esensialisme,
harus dibasmi untuk meningkatkan kebebasan pemikiran yang bermuara pada rasionalisme dan
subjek. Subjek sebenarnya merupakan individu- empirisme spekulatif, dari zaman filsafat Yunani
individu yang mempunyai potensi sebagai rakyat hingga awal zaman modern. Keadaan di atas
Indonesia. merupakan kondisi berubahnya kondisi sejarah
peradaban manusia yang memengaruhi sejarah
Pengaruh Eksistensialisme pada dunia
pemikiran. Eksistensialisme juga muncul setelah
pendidikan di Indonesia pun sangat besar,
adanya pertentangan tentang essensi pada
karena kebebasan berpikir merupakan awal dari
persoalan ‘being’ (ada) apakah materialisme
munculnya sekolah-sekolah rakyat jelata.
ontologi atau idealisme metafisik sebagai yang
Sekolah-sekolah ini mulai menjamur pada awal
utama. Perang Dunia I telah mengubah cara
abad XX, setelah sebelumnya hanya rakyat
berpikir manusia dari determinisme menjadi anti
golongan atas yang bisa menikmatinya. Dari
determinisme.
perspektif Eksistensialisme, Rukiyati (2016)
menjelaskan, bahwa pendidikan sejatinya adalah Existentialism begins as a voice raised
upaya pembebasan manusia dari belenggu- in protest against the absurdity of Pure
belenggu yang mengungkungnya, sehingga Thought, a logic which is not the logic
terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang of thinking but the immanent movement
of Being. It recalls the spectactor of all
lebih humanis dan beradab. Secara filosofis, hal
time and of all existence from the
tersebut merupakan pemberontakan terhadap speculations of Pure Thought to the
cara hidup individu dalam budaya populer. problems and the possibilities of his
Harapan Kaum Eksistensialis, individu menjadi own conditioned thinking as an existing
pusat dari upaya pendidikan dan bukan individual seeking to know how to live
pembangunan organisasi pendidikan. Dengan and to live the life he knows.
mengembangkan pendidikan, maka manusia bisa (Blackham, 1952: 2).
merealisasikan diri secara penuh sebagai seorang Pada era terakhir pemikiran Essensialisme,
manusia. Frederich Hegel banyak memengaruhi sejarah
Eksistensialisme juga menyebabkan pemikiran dengan Filsafat Idealisme Absolutnya.
perkembangan ilmu-ilmu Humaniora seperti Kemudian, muncullah persoalan ontologi pada
Psikologi yang masuk ke dalam kurikulum Materialisme yang dimotori oleh Karl Marx yang
berbagai universitas termasuk di Indonesia, berhasil meninggalkan persoalan Metafisika Idealisme
karena langsung memperhatikan subjek manusia Hegel tersebut. Menurut Karl Marx, infrastruktur
sebagai individu. Humaniora, menurut Rukiyati atau ekonomi lebih utama dari segala unsur
(2016) mengembangkan tema-tema di seputar suprastruktur atau Idealisme yang dilontarkan
penentuan pilihan manusia dalam hal seks, cinta, Hegel. Perut manusia harus makan dahulu baru
benci, kematian, penyakit, dan berbagai aspek bisa memikirkan ide-ide cemerlang. Sebagai
kehidupan yang bermakna lainnya. Mereka dampaknya, pemikiran Materialisme membuat
menyampaikan pandangan tentang manusia manusia mencari kepuasan pada benda-benda.
secara menyeluruh, baik dari perspektif positif Ternyata ontologi Materialisme lebih menarik

216 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


manusia modern. Muncullah revolusi industri (Petrick & Tyran, 2003).2 Perkembangan kapitalisme
yang semakin membuat manusia terbelenggu ini secara tak langsung disebabkan oleh adanya
pada mekanisme teknologi. Pada awalnya, liberalisme dalam budaya berpikir yang
revolusi tersebut merupakan masa modern awal menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan.
di mana tenaga manusia bisa dihemat dengan Setelah revolusi industri abad XVIII, barang-
munculnya teknologi. Teknologi sebagai alat barang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik
bantu manusia, menghasilkan pragmatisme atau memerlukan modal besar dan pemasaran luas
kepraktisan dalam hidup manusia. Awal masa yang mau tak mau menjadikan para pelaku pasar
modern yang dimulai dengan teknologi seperti harus meninggalkan ekonomi tradisional.
mesin kapal uap yang sederhana, ternyata
Eksistensialisme mulai lahir melalui
berkembang pada berbagai aspek sampai
pemikiran filsuf Denmark Soren Kierkegaard
sekarang.
(1813-1855) mengenai filsafat Kristiani, sehingga ia
Apakah teknologi itu senantiasa berdampak disebut sebagai sebagai bapak eksistesialisme 3 .
membahagiakan manusia? Ternyata, kemajuan Kierkegaard (1813-1855) sering membahas
zaman menjadikan penderitaan pada manusia. masalah-masalah hakekat iman menurut etika
Munculnya Perang Dunia pertama seiring teologi Kristen yang berhubungan dengan emosi
dengan terciptanya senjata-senjata canggih. keagamaan seorang individu dalam agama
Kebebasan manusia mulai dipertanyakan Kristen. Hal ini dikaitkan dengan etika dan
kehadirannya. Teknologi yang berkembang yang teologi Kristen, dan emosi serta perasaan
seharusnya mempermudah hidup manusia, justru individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-
semakin membuat manusia terikat karena harus pilihan eksistensial. Oleh Karena itu, karya
mengikuti perkembangan zaman. Eksistensialisme Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai
pun muncul sebagai pemberontakan atas Eksistensialisme Kristen dan Psikologi Eksistensial
terbelenggunya subjektivitas individu manusia tentang individu. Menurutnya, “eksistensi hanya
dalam menentukan cara berpikirnya. Aliran ini dapat diterapkan kepada manusia sebagai
menjadi antitesa dari aliran-aliran sebelumnya individu yang konkrit, karena hanya aku individu
seperti Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan yang konkrit ini yang bereksistensi, yang
Materialisme yang yang sangat kaku dalam sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas
menentukan hakikat atau esensi manusia. yang sesungguhnya...” (dalam Baene, 2008).
Para pemikir Eksistensialis mendobrak Pada akhir abad XVIII-XX para Filsuf
aliran-aliran filsafat tradisional yang sudah Eksistensialisme lainnya bermunculan, seperti
berkembang selama berabad-abad. Pada aliran-
aliran ini, essensi cara berpikir berdasarkan rasio 2
Pertanian subsisten saat ini terus berlanjut
dan empiris merupakan sesuatu yang dengan kawasan pedesaan di Afrika sebagai lokasi
deterministik sifatnya. Mereka mulai melihat utama, juga kawasan di Asia dan Amerika Latin.
bahwa kondisi pemikiran yang berlandaskan Pertanian subsisten telah hilang di Eropa sejak
radikalisme, esensi spekulatif sudah tak cukup permulaan Perang Dunia I, dan di Amerika Utara
untuk menandai keadaan zaman yang sudah akibat gerakan bagi hasil pertanian (sharecropping)
beralih dari manual ke mesin. Manusia harus yang memunculkan kaum buruh tani pada tahun
memperhatikan individunya sebagai eksistensi 1930an dan 1940an. Hingga tahun 1950an, masih
umum terlihat keluarga petani yang bertani demi
yang memiliki keunikan dan mampu berkarya.
memenuhi kebutuhan keluarga sendiri dan menjual
Kebebasan berpikir yang dimulai pada awal abad sebagian untuk membeli komoditas seperti gula, kopi,
18 dengan tumbangnya absolutisme pada bidang dan teh; bahan bakar minyak, produk tekstil (jarum,
politik melesat sampai sekarang. kancing, dan benang); obat-obatan, produk perangkat
Kebebasan berpikir karena pengaruh keras seperti paku, kawat, dan mur; dan barang
rekreasi seperti permen dan buku. Banyak juga yang
Eksistensialis juga menyebabkan perubahan
ingin membayar jasa dokter, dokter hewan, pandai
dalam perekonomian. Kapitalisme juga berkembang besi, dan lainnya, seringkali secara barter. Di Eropa
menggantikan Ekonomi Subsistensi (Swasembada tengah dan timur, pertanian subsisten kembali muncul
Pertanian) yang muncul sebagai akibat dalam masa ekonomi transisi pada tahun 1990-an
industrialisasi dan berkembangnya teknologi ketika terjadi pergolakan politik dan ekonomi besar-
besaran di sana (bersatunya Jerman, pecahnya
Yugoslavia, dan pecahnya Uni Soviet).
3
Encyclopedia of Philosophy.www.iep.utm.
edu/kierkega/ J,diakses pada tanggal 12 Oktober 2016

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 217


filsuf-filsuf Jerman, Nietzche, Karl Yaspers, perhitungan dari kehidupannya di masa yang
Heiddeger, dan filsuf-filsuf Prancis seperti lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya,
Gabriel Marcel dan Jean Paul Sartre. Dari satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan
mereka semua, Jean Paul Sartre merupakan manusia.
Filsuf Eksistensialisme yang berhasil membuat
Sartre dianggap sebagai pelopor aliran
aliran ini berkembang dan terkenal. Masing-
Eksistensialisme di Perancis. Ia menyatakan
masing filsuf berkembang dengan pemikirannya
bahwa eksistensi lebih dulu ada dibandingkan
sendiri tentang manusia sebagai eksisensi dalam
dengan esensi. Artinya, manusia akan memiliki
menghadapi realita hidup. Persamaan pemikiran
esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan
mereka hanya pada cara menonjolkan eksistensi
esensi tersebut akan muncul ketika manusia
manusia sebagai individu. Namun, individualitas
mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki
yang anti deterministik telah melahirkan berbagai
apa-apa saat dilahirkan. Satu-satunya landasan
variasi pemikiran yang berbeda. Nietzche
nilai adalah kebebasan manusia itu sendiri.
mengatakan “Tuhan telah mati”, sedangkan Karl
Kebebasan berarti mampu memilih dan
Jaspers menonjolkan cinta kasih Tuhan sebagai
menentukan sikap dari sekian alternatif yang
penentu eksistensi manusia yang juga memiliki
dimungkinkan. Manusia bebas memilih jalan
cinta kasih. Jaspers sangat memperhatikan
hidupnya sendiri, namun kebebasan bukan
kondisi spiritual manusia dalam menghadapi
berarti lepas sama sekali dari kewajiban dan
hidup. Heiddeger mengadakan perubahan dalam
beban. Menurut Sartre, kebebasan merupakan
filsafat barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis
sesuatu yang sangat berkaitan dengan tanggung
dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan
jawab dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain.
ontologis, yang merupakan pertanyaan-pertanyaan
tentang makna keberadaan manusia. Usaha Media massa Amerika menjuluki Sartre
Heiddeger ini merupakan upaya perubahan awal sebagai the king of existentialists. Selain sebagai
dari determinisme filsafat tradisional kepada filsuf, ia juga seorang penulis novel, essay dan
subjektivitas manusia dari keberadaannya. drama yang terkenal. Ia lahir di Perancis pada
tanggal 21 Juni 1905 dalam suasana Perang
Pemikiran para filsuf yang diuraikan di
Dunia pertama yang penuh dengan kerapuhan
atas, sangat mempengaruhi filsuf Perancis
suasana. Hal ini mempengaruhi pandangan
terkenal abad XX, Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Eksistensialismenya yang agak pesimistik
yang berhasil mengangkat aliran pemikiran ini
mengenai hubungan antar individu. Ia wafat di
menjadi gaya hidup pada masanya. Tulisan ini
Paris pada tanggal 15 April 1980. Masa kecil
merupakan sebuah studi terhadap pemikiran
dilewatinya di rumah kakeknya, Charles
filsuf Perancis terkenal tersebut yang mengatakan
Scwitzer, sedangkan ayahnya telah meninggal
"human is condemned to be free" atau “manusia
sewaktu ia masih kecil. Dari tahun 1924 sampai
dikutuk untuk bebas”. Ia menjadikan
1928, ia menempuh pendidikan pada Ecole
Eksistensialisme tersebar luas melalui kemampuannya
Normal Superieur dan lulus tahun 1929. Setelah
menulis karya sastra yang banyak dipentaskan.
lulus, ia mengajar filsafat pada beberapa Sekolah
Ia seorang Filsuf Eksistensialisme yang berhak
Menengah Tingkat Atas di Paris dan tempat-
memperoleh hadiah nobel pada tahun 1964,
tempat lain. Pada tahun 1933 sampai 1935, ia
namun menolaknya. Pada saat ia meninggal
belajar di Berlin dan kemudian kembali ke Paris.
tahun 1980, di Paris ada sekitar 50.000 orang
Sejak tahun 1936 dia mulai menulis karya-karya
mengantarkannya ke tempat peristirahatannya
novelisnya dan buku-buku filsafatnya yang
yang terakhir. Menurutnya Sartre, Eksistensialisme
banyak memengaruhi pemikiran dan perkembangan
juga merupakan filsafat tentang ‘ada’ atau ‘being’
zaman.
sebagaimana pandangan Heiddeger, tapi dia
menolak untuk merasionalisasikannya. Ia menganggap Karya-karya novel filosofis Sartre yang
bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman terkenal antara lain: La Nausse (1938) dan Le
personal manusia sebagai subjek sehingga ia Mur (1939). Karya itu ditulisnya pada masa-
mengatakan ‘eksistensi mendahului essensi.’ masa menjelang Perang Dunia Pertama. Pada
Bagi Sartre, manusia merupakan eksistensi yang Perang Dunia pertama tahun 1939, Angkatan
bebas yang memiliki kemauan untuk Bersenjata Perancis memanggilnya untuk
berkembang sebagai individu tanpa terbelenggu bertugas pada bidang militer. Dalam tugas ini, ia
masa lalu. Manusia tidak memiliki apa-apa saat ditangkap oleh Jerman sebagai tawanan perang
dilahirkan dan selama hidupnya tidak lebih hasil pada tahun 1940. Setelah masa gencatan senjata,

218 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


ia dibebaskan dan kembali ke Paris. Kemudian ia Orientasi filsafat Sartre, selain
mulai lagi mengajar filsafat sampai tahun 1944. dipengaruhi oleh filsuf–filsuf Eksistensialisme
Pada tahun-tahun awal berakhirnya Perang lainnya, juga dipengaruhi oleh Rasionalisme dan
Dunia ke II, Sartre sudah menjadi pemikir Idealisme dari Descartes, Kant, Hegel, Metode
Eksistensialis yang cukup berpengaruh di Eropa, Fenomenologi Husser dan Marxisme. Pemikiran
di samping sebagai penulis drama dan novel. para filsuf tersebut membuat Sartre menghasilkan
Karya filsafatnya yang terkenal: L’Etre et Le karya-karya yang menonjolkan eksistensi
Neant (Ada dan Tiada) ditulis pada masa-masa manusia dan kebebasannya, namun Sartre tidak
ini (1943). menonjolkan kritik-kritik khusus terhadap aliran-
aliran filsafat terdahulu seperti Positivisme,
Hadiwijono (1985) menggambarkan
Empirisme dan Materialisme. Padahal kebanyakan
pengaruh pemikiran Sartre terhadap Perancis
hasil karya pemikiran filsuf-filsuf pendahulu
khususnya dan Eropa pada umumnya sebagai
Sartre tersebut, merupakan reaksi atas pemikiran
berikut:
filsuf-filsuf sebelumnya. Tak dapat ditolak
Pada tahun 1940 ketika karena bahwa Sartre dalam banyak hal adalah pemikir
penjajahan Jerman itu segala yang asli. Demikian tertera dalam The Encyclopedia
jasmaniah runtuh, maka runtuhlah juga of Philosophy (Edward, 1967) mengenai
segala cita-cita orang Perancis. Dimana-
pembaharuan yang diadakan oleh Sartre pada
mana yang ada hanya ketidak-percayaan,
kepahitan, keraguan terhadap tertib negara
zamannya. Karya-karya Eksistensialisme Sartre
yang begitu cepat runtuh. Akan tetapi di kebanyakan berbentuk kritikan terhadap eksistensi
lain pihak semua rakyat sehati untuk manusia itu sendiri dari sudut pandang pribadinya.
mengusir musuh. Agar supaya rakyat Keadaan demikian menunjukkan keaslian karya
memiliki semangat ketahanan nasional Sartre sebagai seorang pemikir yang mempunyai
itu diperluka suatu pandangan dunia corak tersendiri.
yang kuat. Rakyat Perancis merasa
diberi alat untuk bertahan oleh Sartre Pokok pemikiran filsafat Satre lebih
(Hadiwijono, 1985: 157). banyak diarahkan kepada manusia sebagai
individu, dan hubungan antar manusia dari segi
Bersama-sama dengan filsuf-filsuf Perancis keberadaannya secara khusus atau eksistensinya.
lainnya, yaitu Maurice Merleau-Ponty dan Aplikasinya banyak terlihat pada jurnal politik
Simone de Beaufoir yang menjadi teman dan hasil karya sastranya. Dalam karya
hidupnya tanpa nikah sesuai dengan prinsip dramanya yang berjudul Le Diable et Le Bon
kebebasannya-, Sartre mendirikan sebuah Dieu (Setan dan Tuhan yang Baik), Sartre
majalah bulanan yang dinamai Les Temps menyatakan bahwa hanya manusialah mahluk
Modernes (zaman-zaman Modern) pada tahun yang sungguh eksis. Eksistensialisme bagi Sartre
1946. Majalah tersebut merupakan terbitan yang adalah Humanisme (L’Existentialisme Est Une
berorientasikan masalah-masalah politik dan Humanisme). Minat Sartre tentang manusia
kebudayaan termasuk di dalamnya kebudayaan adalah mengenai keberadaan manusia secara
yang bercirikan Faham Eksistensialis. Dari individu maupun umum. Sebagai seorang
orientasinya yang tertuang dalam majalah individu manusia mempunyai kekhasannya
tersebut, terlihat bahwa Sartre menaruh perhatian untuk setiap pribadi. Untuk membentuk konsep
besar terhadap politik selain terhadap sastra dan umum mengenai keberadaan manusia, Sartre
filsafat. Namun, dalam bidang politik ini Sartre banyak dipengaruhi oleh filsuf Cartesian,
tidak dapat dibilang sukses. Pada tahun 1951 ia Hegelian dan pemikiran Kristen, yang tertuang
mencoba mengadakan gerakan politik baru yang pada Eksistensialismenya mengenai keberadaan
dikenal sebagai golongan kiri yang non-komunis, manusia secara umum.
namun usaha ini menemui kegagalan. Bahkan
keaktifan dalam bidang politik ini sempat Ia menolak hadiah Nobel untuk kesusastraan
menimbulkan perselisihan dengan teman-temannya, pada tahun 1964. Menurutnya, hadiah Nobel
A. Camus, novelis Perancis dan Merleau Ponty. merupakan beban dari luar yang bila
Akhirnya Sartre mengambil keputusan untuk ditambahkan pada kekuatan kata-kata dalam
bekerja sama dengan partai komunis Prancis. bidang penulisan, maka penulisan akan membuat
Karya filsafat terbarunya yang berjudul: Critique ketidakadilan terhadap pembaca yang berhak
de la Raison Dialectique (1960) yang hanya menilai karya tersebut. Karya-karya Sartre yang
terbit dalam volume I adalah uraian Sartre terkenal antara lain dalam karya Fenomenologi
tentang Marxisme dengan eksistensialisme. Psikologi, yaitu: La Transcendance de L’Ego

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 219


(1936), Esquisse d’Une Theorie des Emotions menurutnya gagal atau tak pernah tercapai.
(1939), L’ Imaginaire (1940). Sedangkan yang Sartre memandang hubungan itu sebagai
karyanya yang lain merupakan ontologi hubungan subjek dan objek. Padahal sebagai
eksistensi manusia yaitu: L’Etre et Le Neant mahluk manusia, kita membutuhkan hubungan
(1943), L’Existentialisme Est Une Humanisme sosial yang dapat terjadi karena hubungan
(1946). subjek-subjek. Menurut Sartre, Tuhan pun perlu
dihilangkan karena ia menolak Tuhan sebagai
Permasalahan Filosofis dalam subjek yang dapat menghilangkan kebebasan
Eksistensialisme Sartre manusia.
Pada Eksistensialisme, termasuk
Definisi dan Konsep Eksistensialisme
Eksistensialisme Sartre, masalah kehidupan
manusia menjadi sorotan utama. Eksistensialisme Aliran filsafat yang dianut Jean Paul
mempermasalahkan kondisi manusia secara Sartre termasuk dalam kelompok Eksistensialisme
holistik atau keseluruhan bukan hanya atau aliran filsafat yang bertitik tolak dari
esensialistik menurut cara berpikirnya yang eksistensi manusia. Etimologi dari ‘Ekstensialisme’
empiristik. Memang, pada akhirnya Eksistensialisme terdiri dari kata ex (keluar ), sistere (ada) dan me
mengakibatkan munculnya suatu keadaan yang (aliran). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, makna
kompleks dan kacau. Mengapa? Karena, tentu dari pada eksistensi, adalah “paham (nya)
saja, setiap pribadi yang disebut eksistensi itu berpusat pada manusia individu yang bertanggung
mempunyai keunikannya masing-masing yang jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
dapat bertentangan satu sama lain. Manusia itu mengetahui mana yang benar dan mana yang
sebagai eksistensi memiliki kekhasannya tidak benar (dalam Sazza, 2014).
masing-masing sebagai individu, antara lain
Menurut Eksistensialisme, manusia
dalam hal rasio, intuisi, perasan, kemauan
merupakan mahluk yang “keluar” atau dapat
intelektual dan lain sebagainya yang semuanya
dipisahkan dari mahluk lain yang non manusia
berkaitan dengan kesadaran manusia itu sendiri.
bila dilihat dari cara beradanya. Eksistensi
Masing-masing manusia ingin menonjolkan
manusia merupakan cara berada yang khas dari
eksistensinya dan berusaha supaya pandangannya
manusia. Di dunia ini hanya manusia yang
dapat mempengaruhi lingkungannya.
memiliki eksistensi. Mahluk bernyawa lainnya
Kekacauan dapat terjadi karena adanya tidak memilikinya. Dapat dikatakan bahwa
berbagai macam pandangan mengenai manusia. kekhasan manusia sebagai mahluk yang
Apabila ada usaha untuk menyelaraskan pandangan- berpribadi secara khusus dalam keberadaannya
pandangan yang muncul dari eksistensi-eksistensi itulah yang merupakan eksistensinya. Namun,
tersebut maka tentu, usaha itu tidak mudah walaupun manusia adalah satu-satunya mahluk
dicapai. Manusia semakin mempertanyakan yang terlihat bereksistensi di dunia ini, ia tak
hidupnya dengan memikirkan reaksi apa yang hanya berurusan dengan cara beradanya sendiri.
harus dilakukan dalam menghadapi kekacauan Ia juga harus melihat keberadaan mahluk lain
atau absurditas tersebut. Eksistensialisme memang dalam hubungan atau relasi dengannya walaupun
mengadakan penelitian tentang emosi-emosi cara berada mahluk lain itu tak dapat dikatakan
manusia sebagai bagian dari keunikan seorang bereksistensi. Mengapa? Manusia tidak sendirian di
individu. Namun, pemikiran para filsuf dunia ini. Ia ada bersama-sama dengan lingkungannya
Eksistensialisme lebih banyak menonjolkan di dunia. Di dalam dunia ini jugalah manusia
pandangan pesimistik tentang konsep kejiwaan mengadakan hubungan dengan eksistensi selain
manusia akibat penderitaan manusia seolah dirinya sebagai manusia yang mempunyai cara
merupakan wabah akibat Perang Dunia I berada yang unik untuk bereksistensi. Setiap
maupun ke II. manusia juga mempunyai cara yang unik untuk
bereksistensi yang berbeda dengan manusia
Secara khusus, permasalahan filosofis
lainnya.
pada Eksistensialisme Sartre dalam memandang
kebebasan individu manusia adalah ciri pesimisnya, Manusia yang bereksistensi sedapat mungkin
karena dia menganggap manusia ‘terhukum mempertahankan kebahagiaan yang menetap
untuk bebas’. Dia juga terlalu memberikan dalam dirinya sebagai unsur dasariah keinginan
keutamaan kepada subjek sebagai ego yang hatinya. Dengan adanya kekacauan dan
transendental sehingga hubungan intersubjektivitas

220 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


absurditas dalam alam pemikiran, kebahagiaan menolak untuk merasionalissikan ada
manusiapun terancam. (being). Eksistensialiseme dapat dianggap
sebagai pengalaman dalam pengembaraan
Di dalam eksistensialisme, manusia personal seseorang dimana filsafat
dihadapkan kepada berbagai macam pilihan yang sebagai panggilannya.5 (Blackham, 1952:
harus diambil, apakah ia harus hidup dalam 149-150).
kompleksitas atau tetap bertahan dalam keadaan
Situasi anti determinisme dalam
tersebut sambil berjuang terus untuk
pemikiran Eksistensialisme juga menjadi lebih
mempertahankan eksistensinya ataukah ia keluar
kompleks dengan adanya usaha memutlakkan
dari situasi demikian? Ada manusia yang merasa
pemikiran Eksistensialisme yang tadinya anti
terikat dan ingin keluar dari situasi yang kacau
sistem menjadi suatu sistem pemikiran.
tersebut. Apabila sesorang hendak keluar dari
Eksistensialisme melihat manusia sebagai mahluk
keadaan yang kompleks itu, kemana ia harus
yang kompleks dan bukan deterministik. Dengan
menuju? Situasi yang kacau dan kompleks dalam
demikian, manusia disoroti dari berbagai macam
alam pemikiran semakin menyebabkan manusia
segi kehidupannya sebagai eksistensi. Manusia
merefleksikan pengalamannya masing-masing.
bukan pemilik eksistensi tetapi adalah eksistensi.
Manusia kemudian ingin mengenal dan
menemukan dirinya masing-masing, bebas dari Pandangan terhadap manusia pada
pandangan orang lain. Eksistensialisme berubah-ubah seperti pandangan
para filsuf Heiddeger, J.P Sartre, Gabriel Marcel
Menurut Walter Kaufmann (1989),
dan lain-lain yang saling berbeda. Konsep
“Eksistensialisme adalah label yang diberikan
pemikiran Eksistensialisme bersifat aktual, bebas
kepada pemikiran-pemikiran yang berevolusi
dan mengandung kreatifitas si pemikir. Terlihat
terhadap filsafat tradisional sebelumnya. Kenyataannya,
bahwa Eksistensialisme merupakan aliran yang
Eksistensialisme bukanlah sebuah aliran
yang mengutamakan kebebasan subjek secara
pemikiran yang mengurangi nilai-nilai pemikiran
pribadi dalam melakukan kreativitas. Walaupun
sebelumnya.” 4 Manusia menurut Eksistensialisme,
demikian, manusia bukanlah mahluk yang
bukan hanya dapat dilihat dari cara berpikirnya
terasing dari dunianya. Ia ada bersama-sama
yang empiristik dan rasionalistik, tetapi juga
dengan manusia lain dan mahluk lain di dunia
dilihat dari keseluruhan manusia itu sebagai
dan tidak tertutup terhadap lingkungannya.
eksistensi yang memiliki kekhasannya masing-
Manusia dipandang sebagai kenyataan yang
masing sebagai individu, antara lain dalam hal
terbuka dan tidak lengkap tanpa berhubungan
rasio, intuisi, perasaan, kemauan intellektual dan
dengan mahluk lain. Di tengah-tengah dunia
lain sebagainya. Semuanya berkaitan dengan
inilah setiap eksistensi mengalami situasinya
kesadaran manusia itu sendiri. Eksistensialisme
masing-masing secara pribadi, misalnya dalam
menonjolkan eksistensi dan bukan essensi yang
emosi, intellek, intuisi dan sebagainya. Setiap
mempersoalkan empiri atau rasio sebagai
Filsuf Eksistensialis akhirnya dapat dikatakan
penentu.
merupakan filsuf yang menganalisa keberadaan
H.J. Blackham mengungkapkan perbedaan manusia secara subjektif. Keadaan tersebut
Filsafat Klasik dan Eksitensialisme. Menurutnya: menyebabkan objek epistemologi sebagai teori
Filsafat Klasik berusaha merasionalisasikan
pengetahuan pada Filsafat Eksistensi menjadi
dan berpikir tentang ‘ada’ (Being). individualistik sesuai dengan pemikiran para
Penganut paham (filsafat klasik tesebut filsuf. Filsafat yang muncul pada
yaitu, red), skeptisisme dan agnositisme, Eksistensialisme berasal dari pengalaman
sepakat dalam menetapkan bahwa tak eksistensial yang berbeda-beda pada setiap
ada kemungkinan dalam ketentuan filsuf. Setiap filsuf eksistensi mengarahkan
dalam jawaban-jawaban tentang being.
Eksistensialisme juga merupakan filsafat
5
tentang being, filsafat yang membutuhkan Classical philosohy attemps to rationalize
pengesahan dan penerimaan, namun and to think Being. The many forms of scepticism
and agnosticism agree in finding no possibility of
certainty in answer to question of being.
4
“Existentialism... is a label for several Existentialism also is a philosophy of Being, a
widely different revolt against traditional philosophy of attestation and acceptance, and refusal
philosophy...Certainly existentialist is not a school of of the attemp of to rationalize and to think Being, can
thought nor reducible to any set of tenets” be experienced in personal venture to which
(Kaufmann, 1989). philosophy is the call.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 221


perhatiannya lebih banyak kepada manusia tapi ada, bahkan sedemikian dekat sehingga
sebagai eksistensi yang masing-masing mempunyai kita tak dapat bernapas lega. Latar
keunikan. belakang kecemasan ini adalah pengalaman
umum yang menjadikan kita tiba-tiba
Sartre, misalnya, menganggap bahwa merasa sendirian, dikepung oleh
hubungan manusia merupakan konflik dan kekosongan hidup, dimana kita merasa
manusia memiliki kebebasan menghadapi keadaan bahwa hidup kita tak ada artinya.
tersebut. Manusia menjadi dinamis, aktif dan (Hadiwijono, 1985: 84).
kreatif terhadap lingkungannya untuk memperoleh Filsuf Eksistensialisme lain yang
apa yang didambakannya, misalnya kebebasan memengaruhi pesimisme Eksistensialisme
menghadapi keadaan tersebut yang menurut adalah filsuf Jerman, Karl Jaspers (1883-1969)
Sartre justru merupakan hukuman bagi manusia yang mengungkapkan pandangannya akan
itu sendiri. Manusia dapat berbuat, dinilai dan kerapuhan manusia sebagai ‘ada’ (being). Dia
menilai lingkungannya. Manusia dipandang melihat manusia lebih kepada mahluk rohani.
sebagai mahluk yang terbuka untuk ditelusuri. Pemikiran Jaspers yang paling dikenal adalah
Sebelum memahami pemikiran Eksistensialisme tentang ‘chiffer-chiffer’ atau segala sesuatu yang
Sartre selanjutnya, kita perlu mengetahui ditangkap secara transenden, seperti pada
pemikiran-pemikiran Eksistensialisme sebelumnya, kutipan berikut: “Better, and unoidable, the
terutama pemikiran Heiddeger, karena Sartre silence of Transcendence, the riddle of chipers.”
sangat terpengaruh oleh pemikiran mereka (Blackham 1952:63). Selain itu Jaspers juga
bahkan banyak mengutip pemikiran-pemikiran terkenal dengan pandangannya tentang "situasi
pendahulunya tersebut. Kita dengan lebih mudah batas" hidup manusia.
memahami pemikiran Sartre setelah mengetahui Ada empat "situasi batas" yang
ciri pemikiran Eksistensialisme sebelum Sartre. menantang manusia untuk mewujudkan
Kita dengan lebih mudah memahami pemikiran dirinya dengan lebih penuh: (1) Kematian;
Sartre setelah mengetahui ciri pemikiran (2) Penderitaan; (3) Perjuangan; dan (4)
Eksistensialisme sebelum Sartre. Misalnya, Kesalahan. "Situasi batas" ini bersifat
Heiddeger yang banyak mempengaruhi Sartre mendua, sebab eksistensi seseorang
melihat manusia dalam dorongan ke arah dapat berkembang maju atau malah
mundur ketika berhadapan dengan
‘kematian’, sedangkan Sartre melihat manusia ke
"situasi batas" tersebut. Hal itu tergantung
arah ‘kemuakan’. dari pilihan yang diambil oleh orang
Heiddeger (1917-1976) tokoh Eksistensialisme tersebut. (Tjahjadi, 2007: 119-129).
Jerman, melihat kepekaan emosi seseorang dapat Hasil-hasil pemikiran para filsuf inipun
semakin menguasai cara hidupnya. Emosi-emosi akhirnya banyak memengaruhi perkembangan
tersebut seperti: Angst (rasa cemas), dan Sorge pemikiran Sartre, sehingga tampak usahanya
(keprihatinan) memuncak ketika manusia menemukan untuk kembali membuat suatu sistem pemikiran
bahwa dirinya seolah ‘terlempar ke dunia’ Eksistensialisme yang baru.
(Geworfemheit). Maka, manusia mulai bertanya
mengenai keseluruhan dirinya. Dalam Konsep Eksitensialisme dalam Ontologi Sartre
pencahariannya itu ia merasa bahwa entah dari
mana, nasib telah membawa dia berada di Jean Paul Sartre, sebagai filsuf
‘dunia’ untuk merasakan kekacauan hidup atau Eksistensialisme Perancis pada awal abad XX
absurditas yang akhirnya menimbulkan emosi yang sangat terkenal sangat berpengaruh
kecemasan dalam diri yang memengaruhi terhadap cara berpikir manusia di Perancis dan
eksistensi manusia. dunia Barat. Pandangan hidup Atheisme yang
ada pada filsafat Jean Paul Sartre, turut
Di antara susana batin atau perasaan- berdampak pada meluasnya penganut pandangan
perasaan itu, yang terpenting ialah rasa
tersebut pada masyarakat Eropa sekarang. 6
cemas (Angst). Rasa cemas inilah rasa
yang asasi, yang dasariah, yang menjadi Eksistensialisme ditentukan oleh banyak hal
kunci guna mengetahui keberadaan kita, yang berhubungan dengan psikologi manusia,
yang terdalam... Kecemasan itu mengenai terutama kesadaran yang hanya dimiliki manusia
diri sendiri. Kecemasan adalah ketakutan di dunia. Itulah sebabnya, Jean Paul Sartre
yang datangnya tiba-tiba, yang menyertai
kita, yang menjadikan kita bingung 6
Pemikiran Sartre tentang ‘atheisme’ akan
seketika... Yang dicemaskan tidak berwujud dibahas pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.

222 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


akhirnya menjadi filsuf yang terkenal dengan 1. Etre-en Soi (Thingness, Ujud)
filsafat psikologi imajinasinya yang terdapat
Bahasa Inggris untuk etre-en soi adalah
dalam bukunya yang berjudul L’Imaginaire.
thingness (dunia benda-benda). Etre-en soi
Keadaan pengalaman penghayatan subjektif
adalah ada pada dirinya atau secara singkat
merupakan objek yang subur untuk diteliti oleh
disebut ujud. Pada etre-en soi (ujud), manusia
para Filsuf Eksistensialis sebagaimana yang
tidak sadar akan dirinya apakah ia berperan
dilakukan oleh Jean-Paul Sartre, yang pemikirannya
sebagai subjek atau objek. Ia bukan subjek
mengenai Eksistensialisme sampai kepada persepsi,
karena ia tak memiliki kesadaran yang dapat
konsepsi manusia imajinasi sebagai kesadaran
digunakannya. Ia bukan objek karena ia tak
manusia.
sadar akan kedudukannya sebagai objek. Ia juga
Secara ontologi, menurut Jean Paul tidak sadar akan lingkungannya. Ia tertutup dan
Sartre, Eksistensialisme juga merupakan filsafat gelap dalam segala macam hal. Ia tidak dapat
tentang ‘ada’, tapi dia menolak untuk mengerti dan tidak mengadakan pertanyaan
merasionalisasikannya sebagai hakikat ‘ada’. Ia terhadap apapun. Ia hanya penuh dengan dirinya
menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan sendiri sebagai suatu ujud tanpa bersangkut paut
pengalaman personal manusia sebagai subjek. dengan hal apapun yang lain. Etre-en soi yang
Dalam bukunya L’Etre et l’Neant, Sartre melihat tak sadar akan apapun ini adalah dunia benda-
eksistensi manusia itu dalam kenyataan sebagai benda. Manusiapun apabila dilepaskan dari
etre-en–soi dan etre pour-soi. Kedua kenyataan kesadarannya atau apabila ia dipandang sebagai
itu merupakan dua kenyataan tentang benda, maka iapun merupakan etre-en soi. Tentu
‘kesadaran’ dan ‘yang disadari’, yang saling saja apa bila etre-en soi ini diterapkan pada
berhadapan dan bertentangan dalam keberadaannya mahkluk lain yang tak berkesadaran seperti
sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Berling manusia, maka dia menjadi objek dari kesadaran
yang dikutip di bawah ini. manusia.
Sebagai penganut ontologi, maka Sartre
adalah seorang dualisme yang radikal. 2. Etre-pour-Soi. (Nothingness, Kesadaran)
Dibedakan dua lingkungan yang berhadapan Etre-pour Soi (Kesadaran) adalah ada
satu sama lain. Lingkungan yang satu untuk dirinya. Pada Etre pour-soi tampak
dinamakan en-soi, yang kedua dinamakan
keistimewan manusia sebagai suatu ada yang
pour-soi. En-soi ialah “ujud itu sendiri”:
benda-benda, peristiwa-peristiwa yang memiliki kesadaran akan segala sesuatu (subjek
kasar. Pour-soi adalah kesadaran yang yang sadar akan adanya objek yang merupakan
terbentur pada benda-benda, peristiwa- Etre-en soi) baik dirinya sendiri maupun
peristiwa, ketentuan-ketentuan dan yang lingkungannya. Dengan kesadarannya, ia dapat
dikonfrontasikan bersamanya. Jadi bertanya mengenai apa saja dan berusaha
pertentangan yang fundamental, yang mencari jawabannya. Ia dapat pula mencari makna
menguasai alam fikiran Sartre adalah mengenai segala sesuatu dengan menggunakan
pertentangan antara “ujud” dan “kesadaran” pikirannya yang sadar. Etre-pour–soi menunjukkan
(Beerling, 1966: 227-228). manusia yang mengerti dengan kesadarannya
Manusia yang berkesadaran (to be yang aktif, dan menunjukkan peran eksistensi
consciusness) bagi Sartre merupakan kesadaran manusia sebagai subjek yang dapat sadar akan
akan sesuatu (etre-pour soi), namun dia dapat adanya objek yang dipikirkannya atau diamatinya.
memisahkan diri dari yang disadarinya (etre-en Dengan demikian, Etre-pour soi adalah ada yang
soi) itu, walaupun ia tak bermakna tanpa yang tidak buta dan tidak berada dalam kegelapan
disadari. Dengan sadar akan sesuatu, berarti seperti Etre-en soi. Dengan kesadarannya, Etre
seseorang dapat memisahkan diri dari sesuatu pour-soi memperlihatkan adanya kemungkinan
itu. Seseorang dapat berjaga-jaga terhadap perubahan terhadap segala sesuatu yang ternyata
sesuatu yang disadarinya. Keadaan inilah yang berbeda dengan dirinya atau tidak sama dengan
memberikan ruang untuk eksistensi manusia dirinya, yang kemudian menjadi objeknya. Etre
dalam memilih secara bebas apa yang mau pour-soi dengan demikian mengadakan lobang
‘disadarinya’. Penjelasan mengenai kedua bentuk pada dunia, benda-benda, atau dunia Etre en-soi
kesadaran itu diuraikan dibawah ini. yang sebenarnya sudah ”merasa” penuh atau
”puas” dengan dirinya yang tidak dapat memiliki
kesadaran yang mempertanyakan. Tetapi, pada
saat Etre-pour soi dengan kesadarannya mengadakan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 223


pertanyaan terhadap Etre-en soi -atau dunia kebebasan akan dapat menghilangkan kebebasan
benda-benda-, maka terlihat suatu kemungkinan itu sendiri. Di samping itu, argumentasi prinsipil
dalam dunia Eter en–soi di mana kemungkinan bagi penolakan Tuhan dalam pemikiran Sartre
itu dapat berupa penyangkalan atau peniadaan adalah Filsafat Atheistik. Rancangannya yang
(neantisation). Misalnya, Etre pour-soi melihat mengatakan karena manusia bebas dan harus
bahwa benda a tak sama dengan benda b, dan sendiri bertanggung jawab, maka Tuhan dan
juga tak sama dengan dirinya yang menyadari segala penentuannya tidak boleh ada. Jika Tuhan
ketidaksamaan itu. Etre-pour soi mengadakan ada, maka akan membatasi kebebasan manusia
peniadaan terhadap Etre-en soi pada saat ia itu sendiri. Manusia akan taat pada nilai-nilai
sebagai subjek mengamati Etre en soi adalah dari Tuhan dan kebebasan tidak mempunyai
objek.7 makna (Fauzia, 2013).

3. Etre-en Soi- Etre- pour Soi (Tujuan Akhir 5. Kebebasan yang Menghukum
Manusia)
Etre pour soi merupakan dunia
Sartre berpendapat bahwa tujuan akhir kesadaran manusia yang dapat menyangkal
manusia adalah Etre-en soi-etre pour soi yang (mengadakan neantisation) keberadaan Etre-en
penuh dan sadar, dimana ia menjadi sebab atau soi (ujud benda-benda). Dengan kesadarannya,
dasar bagi diri sendiri yang tidak perlu bertanya manusia sebagai Etre pour-soi memiliki
lagi. Manusia hendak menjadi ‘Tuhan’ atas kebebasan (la liberte) untuk membedakan antara
dirinya. Cita-cita itu akhirnya merupakan kegagalan benda yang satu dengan benda yang lain dan
belaka yang tak kunjung sampai dijangkau oleh juga membedakan antara benda-benda itu
manusia karena kesadarannya yang selalu dengan dirinya sendiri. Kebebasan yang dimiliki
meniadakan dengan bebas. Di sinilah, terlihat Etre pour-soi itu dihasilkan manusia karena
konsep pesimisme pada pemikiran Sartre. Pada kemampuannya mencari kemungkinan-kemungkinan
awalnya Sartre mulai dengan konsep kebebasannya dan menidakkan atau menyangkal segala sesuatu
yang memukau. Namun pada akhirnya dia yang berbeda satu dengan yang lain dengan
pesimis dengan pencapaian kebebasan itu. menggunakan kesadarannya. Dengan bebas
Semoga ini tidak terjadi pada kita sebagai bangsa eksistensi bisa berkata bahwa, arang yang
yang berpancasila, yang menganut KeTuhanan diamat-amatinya sekarang tidak lagi kayu yang
Yang Maha, yang menganggap kita sebagai digunakan untuk membuat arang itu. Manusia
manusia bukan Tuhan atas diri kita, bahkan kita juga bebas untuk membedakan dirinya masa
bisa berharap pada Tuhan Yang Maha Kuasa. kini dengan dirinya di masa lampau atau
Konsep manusia menjadi Tuhan atas dirinya dari mengatakan bahwa dirinya masa kini tidaklah
pemikiran Eksistensialisme Sartre tidak perlu sama dengan dirinya pada saat masa lampau.
kita terima sebagai bangsa Indonesia. Manusia tidak pernah identik dengan dirinya
sendiri karena kemungkinan-kemungkinan yang
Penggabungan antara Etre-en soi- dan
berubah setiap saat. ’Eksistensi mendahului
Etre pour soi atau antara Thingness dan Nothingness;
essensi’ (L'existence précède l'essence) yang
atau antara ketidaksadaran dan kesadaran atau
artinya “manusia akan memiliki esensi jika ia
Beingness and Nothingness, merupakan arah
telah eksis terlebih dahulu. Esensinya itu, akan
pemikiran Sartre sebagaimana judul bukunya
muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain,
yang terkenal l’Etre et le Neant atau Being and
manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan
Nothingness atau Ada dan Tiada.
dan selama hidupnya, ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada
4. Atheisme Sartre
masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya,
Sartre merupakan seorang Filsuf satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan
Eksistensialis yang atheis. Ia menolak eksistensi manusia (L'homme est condamné à être libre).”
Tuhan dengan meniadakan Tuhan itu. Menurutnya, Makna lainnya dari pandangan tersebut yaitu
adanya Tuhan yang menyoroti manusia sebagai manusia tercipta di dunia tanpa ada tujuan hidup.
subjek yang sadar akan diri dan mempunyai Manusia berada di dunia terlebih dahulu
kemudian ia mencari makna dalam hidupnya. Ia
mencari dengan berpetualang ke berbagai tempat
7
Akan terlihat jelas pada penjelasan yang untuk menjumpai peristiwa yang terjadi dalam
berjudul: Etre Pour –Autrui sebagai ‘intersubjektivitas masyarakat.
yang gagal’ pada bagian 6.

224 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


Manusia itu merupakan eksistensi yang dimiliki manusia itu merupakan kebebasan
bebas mengadakan penyangkalan (neantisation) mutlak yang dapat membahagiakan manusia?
terus menerus terhadap dirinya sendiri, atau Apakah dengan kebebasannya manusia dapat
terhadap sesuatu di luar dirinya setiap saat, melakukan sesuatu dengan sesuka hatinya dalam
karena kemampuannya untuk sadar akan setiap kebahagiaan? Ternyata tidak. Manusia adalah
perbedaan atau ketidaksamaan. Si A yang baik, mahluk yang terhukum untuk bebas. Dengan
yang saya kenal sekarang, saya sadari tidak sama kebebasan yang diperolehnya secara terus menerus
dengan si A yang jahat 5 tahun yang lalu, karena dengan mengadakan penyangkalan secara sadar,
di dalam diri saya terdapat kesadaran yang muncul suatu rasa cemas dalam dirinya yang
melihat kemungkinan-kemungkinan ketidaksamaan merupakan bentuk dari rasa ketidakpuasan.
tersebut, dan saya memiliki kemauan bebas Dalam dirinya sebenarnya manusia mempunyai
untuk menyatakan perbedaan tersebut. Pada keinginan untuk puas atau penuh dengan dirinya
penyangkalan (neantisation) inilah terletak sendiri (Etre-en-soi). Ia ingin berhenti dan
kebebasan manusia. Mengapa? Karena pada saat beristirahat dari perbuatan yang mengadakan
manusia mengadakan ketidaksamaan atara si A peniadaan di dalam kebebasan, tetapi hal ini tak
dan si B misalnya, ketidaksamaan itu dilakukan mungkin selama manusia menggunakan
oleh kesadarannya yang bebas mempertanyakan kesadarannya. Itulah sebabnya, Sartre menganggap
ketidaksamaan tersebut. Kesadaran bagaikan bahwa akhirnya setiap manusia merupakan
kupu-kupu yang bebas terbang mengadakan kegagalan, karena tak dapat mengisi kekosongan
peniadaan. Si A yang baik di masa kini, akan dalam diri manusia untuk menjadi penuh atau
menidakkan dirinya di masa kini, dengan puas dengan dirinya. Justru, ‘dengan kebebasannya
menyadari bahwa ia belumlah mencapai si A manusia sadar bahwa ia terhukum’ (L’homme est
yang dikenal wataknya di masa yang akan condamne a etre libre).
datang. Penyangkalan berlangsung secara bebas
sepanjang eksistensi memakai kesadarannya 6. Etre pour-Atrui Sebagai Intersubjektivitas
sebagai Etre pour–soi. yang Gagal
........ia meniadakan masa lampaunya Di dalam Eksistensialisme dapat dilihat
dan berusaha mencapai sesuatu yang dua hubungan, yaitu hubungan antar eksistensi
”belum ada” atau yang pada waktu itu atau intersubjektivitas, dan hubungan antar
”tidak ada.” Di dalam perbuatan ini eksistensi dan non eksistensi. Manusia merupakan
manusia senantiasa memilih, membuat
eksistensi yang dapat berperan sebagai sebagai
pilihan yang dilakukan dalam kebebasan.
Jadi ”berada–untuk-diri” (l’etre pour- objek maupun subjek sedangkan benda-benda
soi) sama dengan kebebasan. Hakikat yang non eksistensi hanya dapat berperan
manusia adalah kebebasan. Padahal sebagai objek. Ungkapan no man is an island
kebebasan adalah hal yang tidak merupakan bukti kenyataan bahwa manusia tak
ditentukan. Kebebasan manusia terletak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Hubungan
disini. Batu tetap batu, tidak dapat ini antara lain terlihat dari hubungan antara
berubah menjadi besi. Tidaklah demikian suami dan istri, hubungan antara anak yang lahir
dengan manusia. Karena kesadaran dari seorang ibu dan lain-lain. Hubungan antara
manusia berbuat... yang berarti bahwa eksistensi atau antar manusia itu dapat dilihat
ia selalu meniadakan diri. Ia dapat
pada peran masing-masing apakah ia subjek atau
berbuat demikian padat karena ia tidak
terikat, tidak ”telah,” ditentukan, ”tidak objek. Disebut subjek, apabila ia melakukan
padat melainkan ia bebas, merdeka, peranan aktif dalam meninjau atau mengarahkan
oleh karenanya selalu bergerak, dengan perhatiannya pada sesuatu objek apabila ia
meniadakan yang sudah ada dan menuju merupakan sasaran pasif yang ditinjau oleh
ke yang belum atau yang tidak ada. subjek tersebut. Subjek ‘‘aku’’ yang menyadari
(Hadijono, 1985: 162). atau sesuatu yang berada dalam kesadaran tetapi
Masa lampau yang ditinggalkan oleh tidak terpisah dari kesadaran itu sendiri. Objek
Etre pour soi dianggap tiada oleh kesadaran merupakan sesuatu yang ada tanpa bersandar
karena ia bukan lagi yang ada pada masa lampau pada subjek, aku atau orang yang mengetahui.
itu sementara ia belum lagi menjadi masa yang Kehadiran objek itu tidak dipengaruhi oleh
akan datang. Dari kutipan di atas terlihat bahwa, pikiran atau perasaan seseorang.
menurut Sartre, kebebasan merupakan hakikat Sartre terkenal dengan pandangannya
manusia. Namun, apakah kebebasan yang yang sangat individual yang mengatakan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 225


intersubjektivitas atau hubungan sosial sebagai objek bagi dirinya. ‘L’enfer c’est les autres’
sesuatu yang gagal karena hubungan subjek- (Manusia lain adalah neraka bagi manusia
objek dalam kesadaran manusia dan bukan lainnya), kata Sartre menggambarkan keadaan ini.
hubungan subjek-subjek. Pada ontologi Sartre, Hubungan manusia senantiasa menjadi konflik
hubungan antar Etre pour-soi merupakan karena antara aku yang satu, dan aku yang lain
eksitensi yang menyangkut peran apakah ia saling mengobjektivasi dengan menggunakan
sebagai subjek atau objek yang saling kesadaran masing-masing. Sementara setiap orang
mempengarui satu sama lainnya. Hubungan ini tidak mau menjadi objek terus menerus. Manusia
menurut Sartre merupakan keberadaan yang yang satu menjadi ancaman terhadap manusia
disebut Etre pour–autrui (berada untuk orang lainnya. Intersubjektivitas pada Eksistensialisme
lain). Hubungan ini tidak berlaku pada hubungan Sartre adalah intersubjektivitas yang gagal atau
antar Etre en-soi atau dunia benda-benda tidak tiada.
memiliki kesadaran dan tak memerlukan
Pandangan Sartre mengenai intersubjektivitas
penjelasan sehingga dalam dirinya tidak
yang gagal menunjukkan pandangannya tentang
ditemukan masalah bagi dirinya, seperti pada
hubungan sosial pada manusia yang selalu gagal
antar Etre pour-soi. Bagi Sartre, intersubjektivitas
karena manusia yang satu selalu memanfaatkan
adalah kegagalan yang juga merupakan
manusia yang lain untuk kepentingan dirinya.
ketiadaan. Etre-pour soi meniadakan hubungan
Dari pandangan ini terlihat bahwa Sartre sangat
intersubjektivitas atau hubungan antar subjek
individualis dalam memandang hubungan antar
dalam Etre pour-autrui walaupun hubungan itu
manusia yang menurutnya sangat egoistis.
antar eksistensi. Sartre merupakan seorang filsuf
yang sangat menonjolkan ke ‘diri’ an atau
Pengaruh Metode Fenomenologi Husserl
individu manusia. Baginya ‘yang lain itu’
pada Filsafat Sartre
merupakan sesuatu yang asing, walaupun
hubungannya dekat dengan seorang ‘aku.’ Sebagaimana para Filsuf Eksistensialis
Seorang ‘aku’ baru sadar mengenai diri sendiri pada umumnya, Sartre menggunakan metode
apabila dia mengetahui pandangan orang lain (le Fenomenologi dalam mengungkapkan pandangannya
regard d’atrui) mengenai dirinya. mengenai eksistensi. Metode ini diciptakan oleh
seorang filsuf Jerman yang bernama Edmund
Dengan demikian, ‘aku’ yang merupakan
Husserl (1959-1938). Ia merupakan guru bagi
subjek telah mengobjektivasikan orang lain
banyak filsuf terkenal seperti Scheler, Heiddeger,
untuk kepentingannya sendiri. Pada saat ia sadar
Merleau-Ponti dan juga Sartre. Metode Fenomenologi
akan penilaian orang lain terhadap dirinya, ia
ini sangat berpengaruh di Eropa dan Amerika
semakin mengenal dirinya sendiri sebagai
pada masa antara Perang Dunia I dan Perang
seorang aku yang memiliki individu. Akan tiba
Dunia II sampai menjadi sebuah Aliran
saatnya ‘aku’ yang merupakan subjek, telah
Fenomenologi. Namun, yang dibahas disini
mengobjektivasikan orang lain untuk kepentingannya
adalah Metode Fenomenologi, karena Sartre
sendiri. Pada saat ia sadar akan penilaian orang
menggunakan metode tersebut dan bukan
lain terhadap dirinya, ia semakin mengenal
alirannya.
dirinya sendiri sebagai seorang ‘aku’ yang memiliki
individu. Dapat dikatakan bahwa orang lain Metode Fenomenologi merupakan metode
adalah en-soi sekalipun memiliki kesadaran. yang bertitik-tolak dari pengalaman manusia
Akan tiba saatnya ‘aku’ yang berperan sebagai mengenai apa yang tampak atau gejala-gejala
subjek pada mulanya juga akhirnya akan dari objek yang tertangkap oleh manusia sebagai
menjadi objek dari ‘aku’ yang lain, apabila ia subjek yang memakai kesadarannya. Kesadaran
mengadakan penyorotan terhadap ‘aku’ yang akan sesuatu objek merupakan proses pengalaman
lain tersebut dimana melalui pandangan mata subjek yang menunjukkan kesubjektivitasan dari
tersebut si ‘aku’ yang lain itu sadar akan penilaian metode Fenomenologi. Yang diketahui pada
orang lain terhadap dirinya. Pada saat seseorang awalnya atau yang ditangkap secara spontan
disoroti oleh orang lain, sebanarnya ia sudah bukanlah langsung kenyataan yang diberikan
menjadi objek dari yang menyorotinya walaupun oleh objek, melainkan gejala objek yang nampak
akhirmya ia sadar akan penilaian orang lain pada kesadaran. Kenyataan sendiri merupakan
tersebut. Penilaian orang lain membuat seseorang hasil dari pengalaman kesadaran yang
mengenal dirinya sendiri dan ia menjadi subjek mengadakan pengamatan terhadap gejala yang
bagi dirinya, sementara orang lain hanyalah ditangkap oleh kesadaran tersebut. Etimologi

226 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


dari metode Fenomenologi adalah: ‘Metode’ kesadaran terbuka atau kesadaran akan sesuatu
berasal dari kata Yunani meta (mengikuti, itu? Husserl mengajukan proses ‘intensionalitas’
sesudah) dan hodos (cara, jalan). Kata metode (keterarahan) sebagai caranya. Kesadaran terbuka
atau methodos dapat berarti jalan yang ditempuh berarti sadar akan sesuatu atau kesadaran yang
dalam penelitian. Fenomenologi berasal dari kata terarah kepada sesuatu (yang disebut intensionalitas)
fenomenon (gejala yang nampak) dan logos yang tampak kepada subjek dimana tak ada yang
(artinya ilmu). Fenomenologi artinya berarti memisahkan subyek dari yang tampak tersebut.
sesuatu yang sedang menampakkan diri dalam Maksudnya yang tampak kepada subjek atau
dirinya sendiri seperti apa adanya dihadapan kita fenomena ini mempunyai hubungan langsung
atau ilmu tentang sesuatu yang menggejala. (korelasi) dengan intensionalitas (keterarahan)
Metode Fenomenologi dimaksudkan untuk dari kesadaran itu sendiri. Intensionalitas
memperoleh secara teliti pengertian yang benar diadakan setelah reduksi transendental pada
dan mendalam atau hakikat yang diperoleh subjek untuk memperoleh nomena murni. Jadi,
manusia dengan kesadarannya akan segala kesadaran sudah terarah kepada fenomenon
sesuatu yang baru merupakan gejala. Metode ini semurni-murninya yang sudah dapat disebut
merupakan cerminan dari rasa ketidakpuasan sebagai objek. Dengan sendirinya, kegiatan
manusia sebagai mahluk yang bertanya. Hakikat intensionalitas ini terjadi pada kesadaran yang
yang benar diharapkan diperoleh sebagai suatu terdapat pada subyek yang dapat disebut sebagai
fenomenon yang paling murni yang sudah diolah ‘ego transendal’, dimana kegiatan kesadaran
dalam pengertian dengan menggunakan sarana sudah tidak lagi dipengaruhi oleh unsur-unsur
pengamatan. Sarana ini bukan hanya panca indra yang tidak murni yang berasal dari luar. Artinya,
tetapi juga akal manusia, tempat subjek dalam mengalami sesuatu, kesadaran itu
memproses setiap pengalaman yang masuk ke haruslah sadar akan sesuatu objek secara
dalam kesadaran manusia. langsung.
Metode Fenomenologi sangat teliti Kesadaran terbuka di atas bukanlah
dalam mendapatkan pengertian yang benar-benar kesadaran akan diri yang tertutup seperti
bersifat objektif tentang sesuatu di luar yang pandangan, pemikiran Rene Descartes, Filsuf
diamati subjek. Objek atau ‘yang disadari’ Rasionalisme Perancis yang mengemukakan
berada di luar diri, dihubungkan dengan pandangannya tentang aktivitas rasio ‘cogito
kesadaran melalui pengamatan yang menangkapnya. ergo sum’ atau ‘saya berpikir maka saya ada.’
Pengamatan dari setiap sisi terhadap suatu objek Pemikiran ini, hanya merupakan kegiatan pikiran
bisa berbeda-beda. Mata yang melihat sebuah tanpa mengarah kepada suatu objek atau
kotak korek api dari satu sisi belumlah dapat melakukan kegiatan intensional pada objek
menangkap sisi yang lain dari kotak korek api sebagaimana yang diungkapkan Husserl.
tersebut. Gejala yang nampak dari korek api itu
Intensionalitas pada pemikiran Sartre
belumlah cukup untuk diolah dalam akal budi
dipengaruhi juga Descartes. Jadi, Sartre setuju
menjadi pengertian yang murni atau hakikat
bahwa kesadaran (cogito) merupakan titik tolak
pengertian tentang korek api. Akal tempat
pemikiran. Tetapi, menurut Sartre, kesadaran itu
kesadaran bekerja tidaklah pasif atau langsung
tidak bersifat tertutup tetapi terarah ‘ke pada
menerima apa yang ditawarkan oleh panca indra.
dunia’ (intensional) seperti yang diungkapkan
Akal menyusun pengalaman yang tertangkap
Husserl. Menurut Sartre, “Kesadaran adalah
oleh pancaindra untuk mendapatkan objek yang
kesadaran diri, tetapi kesadaran akan diri ini
merupakan fenomena yang belum murni. Subjek
tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya.
tidak sekaligus menangkap semua gejala
Cogito bukanlah pengenalan diri melainkan
melainkan dalam proses karena subjek masih
kehadiran kepada dirinya secara non-tematis.
memiliki praduga, perasaan atau pendirian yang
Jadi ada perbedaan antara kesadaran tematis
salah. Pengertian yang diperoleh oleh subjek
(kesadaran akan sesuatu) dan kesadaran non-
terus bertambah dan manusia dengan
tematis (kesadaran akan dirinya). Kesadaran
kesadarannya menyajikan pertanyaan-pertanyaan
akan dirinya membonceng pada kesadaran akan
yang berusaha membuka kenyataan yang tampak
dunia.” (Rukiyati, 2009 )
pada fenomena yang dialaminya.
Kesadaran yang menjadi arena analisa
Kesadaran bagi Husserl adalah kesadaran
metode Fenomenologi juga merupakan unsur
terbuka (cogita-cogitata), yang langsung kepada
penting dalam analisa Eksistensionalisme Sartre.
obyek tanpa perantara. Bagaimana proses

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 227


Dari uraian mengenai Etre pour-soi (ada untuk Sartre sebelum memulai karya master piece yang
dirinya) kita dapatkan, bahwa Etre pour soi itu berjudul L’Etre et Le Neant (1943), yang
adalah ada yang sadar akan sesuatu di dalam dilanjutkan dengan L’exsistensialisme Est Une
atau di luar dirinya. Etre-pour soi yang sadar ini Humanisme. Pemikiran Sartre mengenai imajinasi
merupakan subyek yang mengarahkan kesadarannya dapat dilihat dari bidang epistemologi yang
kepada sesuatu objek, dan pengarahan yang membahas tentang kemampuan kesadaran
merupakan intensionalitas yang telah diuraikan manusia dalam menangkap pengetahuan. Sartre
di atas. Kata pour pada Etre–pour soi berbeda pendapat dengan banyak filsuf yang
menunjukkan keterahan manusia sebagai etre memandang imajinasi sebagai bagian dari
atau ada yang mempunyai relasi yang terarah kesadaran di samping persepsi (perception) dan
pada sesuatu yang lain di luar diri (obyek yang konsepsi (consception). Menurutnya, imajinasi
nampak), juga di dalam dirinya yaitu kesadaran. merupakan kesadaran berstruktur yang berdiri
Manusia sebagai ada (etre) tak dapat dilepaskan sendiri sebagaimana juga persepsi dan konsepsi.
l’imaginaire dari kesadaran itu. Jelas terlihat Para filsuf banyak yang menganggap bahwa
bahwa pada karyanya, intensionalitas Husserl kesadaran merupakan sesuatu yang berstruktur
banyak dipakai oleh Sartre. Sartre sendiri yang memiliki unsur-unsur kesadaran seperti
mengungkapkan pandangannya mengenai intensionalitas data persepsi yang dihasilkan oleh persepsi,
antara lain sebagai berikut: imaji yang dihasilkan oleh imajinasi dan konsep
‘Intensionalitas’ yang diuraikan di atas
yang dihasilkan oleh konsepsi. Sartre menganggap
merupakan struktur penting dari ketiganya bukan unsur-unsur dari kesadaran,
keseluruhan kesadaran yang kenyataannya tetapi struktur-struktur kesadaran yang berdiri
mengakibatkan perbedaan mendasar sendiri. Khusus mengenai imaji, Sartre membantah
antara kesadaran dan yang disadari. pendapat setiap filsuf yang menganggap imaji
Objek kesadaran yang ada (kecuali ada dalam dalam kesadaran, dan objek imaji
dalam kasus kesadaran refleksif) pada terdapat pada imaji itu sendiri. Kepercayaan
prinsipnya berada di luar kesadaran. yang berlebihan terhadap pengalaman persepsi
Objek tersebut transenden (Sartre, 1950: indrawi yang pernah muncul pada ontologi
144).
mengaburkan kedudukan imaji pada kesadaran
Metode Fenomenologi Husserl sangat manusia. Ada anggapan ontologi bahwa
mengutamakan kesubyektivitasan manusia yang kenyataan adalah obyek-obyek yang dipersepsi
mempunyai pengalaman. Setiap manusia normal oleh alat-alat indra dan peristiwa-peristiwa yang
memiliki kesadaran untuk mengolah pengalamannya terjadi secara universal, termasuk didalamnya
sendiri. Dengan demikian, hasil olahan tersebut imaji. Imaji dianggap sebagai kejadian yang
adalah subyektif. Sartre pun sangat menonjolkan terjadi dari apa yang dipersepsikan.
kesubyektivitasan dalam pemikirannya mengenai
Dengan kata lain, imaji dimasukkan ke
kesadaran. Etre-pour-soi baginya merupakan ada
dalam kesadaran oleh alat-alat indrawi melalui
(being) yang memiliki kesadaran subjektif untuk persepsi, sehingga imaji imanen di dalam
mengolah pengalamannya sebagai eksistensi kesadaran. Pandangan ini, oleh Sartre disebut
yang mempunyai pengalaman pribadi. Pengalaman
sebagai ilusi imanensi yang dibantahnya.
eksistensi diteliti sampai ditemukan hakikatnya
Dengan mendudukkan imaji sebagai kesadaran
sebagai fenomen murni yang menurut Sartre
berstruktur sebagaimana data persepsi dan
semua sebenarnya adalah ‘tiada.’ konsep, maka Sartre juga mempersoalkan
kedudukan objek imaji dan objek data persepsi
Imajinasi Menurut Jean Paul Sartre yang memang sulit dibedakan, walaupun
Pengaruh Metode Fenomenologi Husserl memang ke dua objek tersebut merupakan hal
akan dapat dilihat secara implisit pada yang berbeda pada kesadaran manusia. Menurut
pandangannya mengenai aktivitas kesadaran Sartre, kesadaran bukanlah tempat dimana
dengan berimajinasi. Hal ini merupakan pokok didalamnya terdapat imaji sebagai kumpulan
bahasan pada bukunya yang berjudul L’Imaginaire duplikat-duplikat mini dari kenyataan yang ada
(1940). Buku ini merupakan karya Fenomenologi di luar kesadaran. Apa yang terjadi pada imaji
Psikologi bersama dengan karyanya yang lain, merupakan hal yang berbeda sama sekali dengan
yaitu La transcendance de L’Ego (1936) dan kenyataan di luar kesadaran subjek termasuk
Esquisse d’Une Theorie des Emotion (1939). terhadap benda yang ada di luar subjek yang
Ketiga karya ini, merupakan awal dari pemikiran diimajinasikan subjek tersebut. Sartre tidak

228 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


menerima pandangan epistemologi filsuf lain, yang pemikirannya beraneka ragam. Misalnya,
yang berpendapat bahwa imaji dianggap sebagai Heiddeger mengungkapkan pesimisme tentang
datum yang mewakili (to represent), yang dorongan ke arah kematian, dan Jean Paul Sartre
ditemukan pada kesadaran hanyalah refleksi mengungkapkan kemuakan akan hidup. Pengaruh
yang merupakan pantulan dari benda di luar penderitaan akibat Perang Dunia menyebabkan
tersebut. Pembentukan imaji tak kergantung sorotan persoalan-persoalan kejiwaan manusia
pada struktur-struktur kesadaran data persepsi berkembang dan melahirkan ilmu-ilmu Psikologi.
maupun konsep, melainkan kepada suatu kegiatan Perubahan-perubahan yang terjadi cukup mendasar
kesadaran yang disebut sebagai refleksi. pada aspek religi, seperti berkembangnya
atheisme akibat pemikiran Sartre yang menganggap
Penutup Tuhan itu bisa menghambat subjektivitas
manusia yang bebas, dan Nitzche yang
Eksistensialisme merupakan aliran
mengatakan ‘Tuhan itu sudah mati.’ Namun Karl
pemikiran yang berkembang pada awal abad ke
Jaspers menonjolkan Cinta kasih Tuhan sebagai
20, di tengah masa pesimisme setelah bencana
penentu eksistensi manusia yang juga memiliki
Perang Dunia ertama maupun Kedua. Sebagai
cinta kasih. Ia merupakan Filsuf Eksistensialisme
reaksi atas alur pemikiran terdahulu yaitu
dan Psikologi Kristen walaupun Eksistensialisme
Esensialisme -- yang sudah bertahan selama
menyebabkan atheisme berkembang.
berabad-abad sejak zaman Yunani kuno --,
Eksistensialisme cukup diterima masyarakat Eksistensialisme secara tak langsung
Eropa sehingga dapat merubah berbagai aspek menyebabkan perubahan dalam perekonomian.
kehidupan. Esesensialisme, diawali dengan Berubahnya aliran pemikiran menyebabkan
Empirisme Aristoteles dan Idealisme Plato, berkembangnya budaya material. Kebebasan
hanya mempermasalahkan essensi antara empiri berpikir menyebabkan manusia semakin bebas
dan rasio pada bidang epistemologi dan materi menciptakan teknologi yang membutuhkan pasar
atau idea pada bidang ontologi. yang luas. Ekonomi kapitalis bertumbuh
menggantikan Ekonomi Subsistensi (swa sembada
Memang, Essensialisme kemudian melahirkan
pertanian) karena industri yang membutuhkan
pemikir-pemikir besar bidang Rasionalisme
modal yang besar. Perkembangan kapitalisme ini
Rene Descartes dan bidang empirisme, John
secara tak langsung disebabkan oleh adanya
Locke atau pemikir Idealisme Hegel, dan
liberalisme dalam budaya berpikir yang
Materialisme Karl Marx pada abad pertengahan
menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan.
sampai menjelang abad modern. Namun, masa
Setelah revolusi industri abad 18, kapitalisme
kritis Perang Dunia menyebabkan para pemikir
berkembang karena barang-barang yang dihasilkan
mulai mempertanyakan eksistensi manusia
oleh pabrik-pabrik memerlukan modal besar dan
sebagai subjek yang bebas menentukan arah
pemasaran luas yang mau tak mau menjadikan
kesadarannya.
para pelaku pasar harus meninggalkan ekonomi
Menjelang abad XX revolusi pemikiran tradisional.
terjadi. Hal ini karena liberalisme mulai
Jean Paul-Sartre merupakan salah
menggantikan absolutisme setelah munculnya
seorang filsuf Perancis Eksistensialisme yang
perhatian terhadap kesadaran subjektif sebagai
sangat terkenal, karena pengaruh pemikirannya
penentu eksistensi yang bebas. Manusia mulai
yang sangat mendukung subjektivitas manusia.
mendahulukan eksistensinya di atas essesinya.
Ia merupakan filsuf Perancis yang sangat
Individu menjadi penting karena penentu kesadaran
terkenal dengan pemikirannya yang menumbuhkan
adalah seorang subjek. Hanya manusia yang bisa
bangkitnya kebebasan berfikir individu.
disebut bereksistensi atau ‘keluar dari dirinya,’
Pandangannya tentang ‘Eksistensialisme sebagai
karena itu setiap eksistensi pada dasarnya
Humanisme’ membangkitkan kesadaran manusia
mempunyai keunikan. Eksistensialisme yang
bahwa manusia itu merupakan mahluk yang
muncul kemudian menghilangkan kekakuan
berpotensi menjadi dirinya sendiri. Namun,
pada penetapan essensi sebagai satu-satunya
manusia harus menjadi subjek atas dirinya (Etre-
penentu pemikiran. Eksistensialisme menekankan
pour soi). Manusia jangan terus menerus menjadi
subjektivitas manusia sebagai satu-satunya
objek (Etre-en soi) yang akan mengalami
mahluk berkesadaran.
kemuakan dalam hidup. Tujuan manusia adalah
Subjektivitas pada pemikiranpun muncul mencapai Etre-en soi-etre pour-soi yang
dan melahirkan berbagai filsuf Eskistensialis menggabungkan antara kesadaran dan objek

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 229


yang disadari. Melalui konsep ini atau pada saat jelata. Kita ingat bahwa Ki Hajar Dewantara
manusia mencapai Etre-en soi-etre pour soi. (1889-1959) tokoh pendidikan kita, aktif
Menurut Sartre, pada saat itu manusia bukan melakukan gerekannya dengan ‘Taman Siswa’nya
sekedar objek tapi subjek yang menggunakan pada saat Eksistensialisme sangat diminati di
kesadarannya dalam menjalani hidupnya. dunia barat. "Tulisan Ki Hajar Dewantara yang
Manusia akan sadar pada saat dia mulai paling terkenal adalah Seandainya Aku Seorang
diobjektivasi oleh orang lain. Tetapi manusia Belanda (Als ik een Nederlander was), dimuat
harus mengarahkan kesadarannya untuk menjadi dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes
subjek yang bebas menentukan hidupnya. Dekker, 13 Juli 1913” (http://www.biografipedia.com)8.
Dengan kebebasannya manusia dapat berkreasi
Tulisan Ki Hajar Dewantara tersebut
dan berkarya. Pemikirannya tentang ontologi
muncul dengan kebebasannya mengungkapkan
manusia yang berkesadaran ini terdapat dalam
dirinya sebagai ‘subjek’ yang sadar secara bebas
bukunya yang terkenal l’Etre et le Neant.
mengemukakan pendapat, sebagai ciri
Secara garis besar, Eksistensialisme Eksistensialisme. Pada masa hidupnya, Ki Hajar
Sartre banyak bicara tentang ‘kemuakan’ dalam Dewantara aktif dalam gerakan Boedi Utomo
mengajukan pandangannya, karena dia melihat dalam melahirkan kebangkitan nasional tahun
banyak pesimisme terjadi pada masyarakat di 1908. Dia juga bersekolah di Stovia, tempat para
masa hidupnya akibat Perang Dunia. Manusia pemuda-pemudi Indonesia membangkitkan semangat
harus keluar dari kondisi ini dengan sadar kebebasan. Tak dapat dipungkiri, semua ini lahir
bahwa dia mempunyai potensi kebebasan untuk dari gerakan kebebasan dari Eksistensialisme
keluar dari kondisi tersebut. Ia bertanggung yang berkembang di dunia barat. Apalagi ada
jawab atas kebahagiaan dirinya sendiri. tokoh-tokoh orang Belanda seperti Dowess
Eksistensialisme menyebabkan manusia mencari Dekker (Multatuli) yang ikut membantu pemuda-
jati dirinya sendiri, untuk meningkatkan pemuda Indonesia dalam meraih kebebasannya.
kemampuan yang dimilikinya dan mencari Dengan kata lain, aliran Eksistensialisme yang
makna hidupnya melalui keberadaan hidupnya. berkembang di dunia Barat, turut mempengaruhi
Namun sayangnya, Sartre tak menemukan Tuhan pergerakan kebebasan menuju kemerdekaan di
dalam konsep pemikirannya dalam tulisan- Indonesia.
tulisannya sehingga dia menganut paham
Tak ada gading yang tak retak, begitulah
Atheisme. Kebebasan yang dianutnya menyebabkan
dengan Eksistensialisme. Bagi negara kita
dia tidak menginginkan Tuhan yang masih
Indonesia, tentu saja Eksistensialisme merupakan
memberikan aturan-aturan dalam hidup. Adanya
aliran yang memengaruhi zaman modern ini.
Tuhan melarang dia untuk hanya hidup bersama
Selain Eksistensialisme, bangsa kita telah
dengan kekasihnya Simone de Beauvoir tanpa
memiliki kearifan lokal sebagai budaya bangsa
pernikahan. Walaupun pemikirannya banyak
yang menjunjung tinggi budaya moralitas dan
dipengaruhi pemikiran Soren Kierkegard yang
agama. Kebebasan kesadaran jangan sampai
masih menghadirkan Tuhan, Jean Paul Sartre
membuat kita meniru ‘hubungan tanpa nikah’
tetap menyukai ‘kebebasan tanpa Tuhan,’
yang dilakukan oleh Jean Paul Sartre karena
walaupun akhirnya dia menganggap kebebasan
prinsip hidupnya. karena kita juga memiliki
itu sebagai sesuatu yang menghukum.
kebebasan menikah sebagai tuntutan moral dan
Apakah pengaruh Eksistensialisme khususnya agama. Atheisme yang ditawarkan Sartre pun
Eksistensialisme Jean Paul Sartre bagi manusia- harus kita tolak karena kita sudah memiliki sila
manusia di Indonesia? Tentu saja, pengaruh pertama sebagai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Eksistensialisme yang berkembang pada awal Sartre jelas mengganggap tak membutuhkan
abad 20 di Eropa dan Amerika Serikat, atau Tuhan, karena dia tak mau diobjektivasi oleh-
dunia Barat, turut mempengaruhi gaya hidup Nya sehingga menghalangi kebebasannya. Selain
manusia di Indonesia. Kesadaran akan kebebasan itu masih ada filsuf-filsuf Eksistensialisme
bereksistensi yang pada zaman kolonial sangat seperti Kierkegard dan Karl Jaspers yang tetap
terbelenggu, mulai muncul pada diri anak-anak mengakui eksistensi Tuhan.
muda di Indonesia, Semangat kebebasan berpikir
yang mendunia setelah Perang Dunia menyebabkan
semangat pendidikan yang muncul pada anak- 8
http://www.biografipedia.com/2015/08/ biografi-
anak bangsa. Sekolah-sekolah pun didirikan ki-hajar-dewantara.html, diakses pada 12 Oktober
bukan hanya untuk kaum elit, tapi juga rakyat 2016

230 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016


Pemikiran Eksistensialisme Jean Paul Kaufmann, Walter. (1989). Existentialism from
Sartre dan para Filsuf Eksistensialisme lainnya Dostoevsky to Sartre New York-USA:
memang telah terbukti membawa kondisi Penguin Book.
peradaban dunia seperti sekarang. Perhatian
Fauzia, N. (2013). Eksistensialisme dalam Novel
terhadap kejiwaan manusia semakin besar,
The Zahir Karya Paulo Coelho.
dengan munculnya psikologi sebagai ilmu baru
http://journal.trunojoyo.ac.id/prosodi/arti
di universitas. Kebebasan berpikir telah membawa
cle/view/40, diakses pada 12 Oktober
manusia modern semakin menunjukkan eksistensinya.
2016
Manusia semakin ingin tampil dengan facebook,
Twitter, Whatsapp dan lain-lain. Manusia Petrick, M. & Tyran, E. (2003). Development
semakin ingin dihargai sebagai seorang subjek perspectives of subsistence farms in
yang unik. Seseorang tak ingin lagi terbelenggu South-eastern Poland: Social buffer
hanya dengan menerima paham-pahan deterministik. stock or commercial agriculture? In:
Namun, seyogyanya kita sebagai bangsa yang Abele, S., Frohberg, K. (eds.), Subsistence
memiliki nilai-nilai budaya luhur tetap sadar dan Agriculture in Central and Eastern
memilih-milih pemikiran-pemikiran apa yang Europe: How to Break the Vicious
cocok untuk kita terapkan pada bangsa kita agar Circle?. IAMO (Studies on the
kita tetap berada sebagai bangsa yang modern Agricultural and Food Sector in Central
tanpa menghilangkan peradaban bangsa Indonesia. and Eastern Europe. 19). Halle (Saale):
Kita sebagai bangsa harus saling menghormati 106-123. http://www.iamo.de/fileadmin/
secara intersubjektivitas tanpa saling mengobjektivasi institute/pub/sr_vol22.pdf diakses pada
satu sama lain. tanggal 12 Oktober 2016
Rukiyati. (2016). Pemikiran Pendidikan Menurut
Daftar Pustaka Eksistensialisme. http://staff.uny.ac.id/../
Baene, Blasius B. (2008). Konsep Eksistensialisme Pemikiran % 20Pendidikan%20menurut
Søren Kierkegaard. http://sapereaudenias. %20Eksistensialisme_0.docx, diakses
blogspot.co.id/2008/11/konsep-eksistensialisme- pada 12 Oktober 2016
sren_20.html, diakses pada tanggal 12 Sazza, Rezania. (2014). Konflik Eksistensial
Oktober 2016 Manusia Menurut Jean Paul Sartre.
Beerling, R.F. (1966). Filsafat Dewasa Ini. http://rezania-sazza-fpsi12.web.unair.
Jakarta: P.N. Balai Pustaka. ac.id/artikel_detail-100645-Umum-
Konflik%20Eksistensial%20Manusia%2
Blackham H.J. (1952). Six Existentialist Thinkers.
0Menurut%20Jean%20Paul%20Sartre.ht
Kierkegaard. Nietzsche. Jaspers. Marcel.
ml diakses pada 12 Oktober 2016
Heiddeger. Sartre. London & Henley:
Rouledge&Kegan Paul. Tjahjadi, Simon Petrus L. (2007). Tuhan Para
Filsuf dan Ilmuwan: dari Descartes
Edward, Paul (Ed.). (1967). The Encyclopedia of
sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Philosophy. New York: The Macmillan
Company & The Free Press. Sartre, Jean Paul. (1972). The Psychology of
Imagination. London: Methuen & Co
Hadiwijono, Harun. (1985). Seri Sejarah Filsafat
Ltd.
2. Jogjakarta: Kanisius.
_____________. (1950). L’Imagination. Paris:
Universitaires de France 108 Boulevard
Saint Germain.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 231


232 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016

Potrebbero piacerti anche