Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
ABSTRACT
An increase in life expectancy results in more health problems found in elders, which
is linked to depression that can affect their life quality. The incidence of depression is
first associated to impaired cognitive function. Impaired cognitive function can be seen
by the deficits in certain fields such as the declining ability to think, or having the
difficulty to concentrate. Impaired cognitive function can also be accompanied by
impaired executive functions such as the lacking ability to plan, execute, and evaluate
actions. This study is aimed to determine whether or not there is a correlation between
impaired cognitive function and levels of depression in elders. This is an observational
analytic study with cross-sectional method. This research took place at Tresna Werdha
Budi Mulia 2 Social Institution with 95 respondents, consisting of 59 males (62%) and
36 females (38%). This study uses Mini Mental State Examination (MMSE) to measure
impaired cognitive functions and Geriatric Depression Scale (GDS) to assess the
presence of depression. Based on this research, the risk factor for cognitive dysfuncion
and depression are gender, level of education and age. Based on the data analyzed,
among 46 men (68%) experienced cognitive difficulties and 47 men (79%) are having
depression. 31 females (86%) have impaired cognitive function and 27 (78%)
experienced depression. Through Chi Square, the p value was obtained 0,780 which
shows that there is no significant correlation between impaired cognitive function and
levels of depression.
PENDAHULUAN
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari atau sama dengan 60 tahun.1
Seiring berjalannya waktu, jumlah penduduk lansia bertambah banyak di negara maju maupun
negara berkembang.1 Hal ini disebabkan karena adanya penurunan angka morbiditas dan
mortalitas serta adanya peningkatan harapan hidup karena kemajuan pelayanan kesehatan dan
akses terhadap pelayanan kesehatan tersebut.1 Menurut Kementrian Kesehatan RI, prediksi
jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 27,08 juta, tahun 2025
mencapai 33,69 juta, tahun 2030 mencapai 40,95 juta dan tahun 2035 mencapai 48,19 juta.1
Semakin meningkatnya angka harapan hidup mengakibatkan masalah kesehatan yang
dapat dijumpai pada lansia semakin banyak.2 Diantaranya terkait dengan perubahan fungsi
kognitif dan mental lansia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka.2 Gangguan
kognitif pada lansia dapat ditandai dengan adanya defisit dalam bidang-bidang tertentu seperti
daya ingat, kemampuan bahasa, kemampuan eksekutif (merencanakan, mengeksekusi, dan
mengevaluasi tindakan, serta adanya gangguan konsentrasi).3 Gangguan kognitif pada lansia
ternyata dijumpai juga kehilangan gairah, gangguan memusatkan perhatian, gangguan suasana
hati, persepsi serta kepribadian.3
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa penurunan fungsi kognitif
meningkatkan angka kesulitan psikososial dan angka kejadian gangguan depresi mayor.3
Menurut Kementrian Kesehatan RI, terdapat 35 juta orang terkena depresi.1 Gangguan depresi
mayor atau depresi ditandai dengan adanya suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan
minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan berkurangnya
aktivitas.4 Pada episode depresif yang berat, biasanya penderita menunjukkan rasa kehilangan
harga diri, perasaan dirinya tak berguna, dan bahkan dapat melakukan bunuh diri.4
Gangguan depresi pada lansia seringkali sulit terdeteksi oleh dokter karena gejala yang
ditimbulkan lebih sering tampak sebagai keluhan somatik.5 Selain itu, profesional kesehatan
sering menganggap gejala depresi sebagai hal yang normal sebagai bagian dari proses penuaan.5
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai
hubungan antara gangguan fungsi kognitif dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 2.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan hasil dari analisis data, didapatkan 5 responden yang tidak mengalami gangguan
kognitif, tidak mengalami depresi. 16 responden yang mengalami gangguan kognitif tidak
mengalami depresi. 13 responden yang tidak mengalami gangguan kognitif mengalami depresi,
dan 61 responden dengan adanya gangguan kognitif, mengalami depresi. Berdasarkan uji Chi
Square didapatkan hubungan yang tidak bermakna dengan hasil p value 0,780. Dengan
demikian dinyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan mengenai hubungan antara
gangguan kognitif dengan tingkat depresi pada lansia. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Yulisna Mutia Sari (2015) dengan menggunakan metode
observasional dan pendekatan cross-sectional, dan jumlah sampel sebanyak 33 orang
didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara gangguan kognitif dengan depresi pada lansia
yakni p value 0,247.6 (Tabel 4.1)
Tabel 4.1 Hubungan Gangguan Kognitif dengan Tingkat Depresi pada Lansia
GDS Total Nilai p
Kategori I Kategori II
Tidak ada Depresi ringan-
depresi sedang-berat
MMSE 0.780
Kategori I 5 13 18
(Tidak ada gangguan
kognitif)
Kategori II 16 61 77
(Ada gangguan
kognitif)
Total 21 74 95
Tabel 4.2 Karakteristik Demografi
Parameter Jumlah n (%) Mean ±SD
Usia - 71.147±6.30
60-69 tahun 46 (48.3%)
70-79 tahun 37 (39.1%)
80-89 tahun 11 (11.9%)
90-99 tahun 1 (1.1%)
Jenis kelamin -
Perempuan 36 (37.9%)
Laki-laki 59 (62.1%)
Status Pernikahan -
Menikah 52 (54.7%)
Tidak menikah 33 (34.7%)
Cerai 10 (10.5%)
Tingkat Pendidikan -
Tidak sekolah 34 (35.8%)
SD 37 (39%)
SMP 8 (8.4%)
SMA 14 (14.7%)
S1 2 (2.1%)
Adanya gangguan fungsi kognitif dan depresi pada lansia dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis data, dari 95 responden didapatkan
jumlah 46 responden (78%) laki-laki mengalami gangguan fungsi kognitif dan 47 responden
(79%) laki-laki mengalami depresi. Dari 36 responden perempuan, didapatkan 31 responden
(86%) mengalami gangguan fungsi kognitif dan 27 responden (75%) mengalami depresi.
(Tabel 4.3, Tabel 4.4)
Tabel 4.3 Kategori MMSE berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Skor MMSE
Perempuan 5 31
Laki-laki 12 47
Perempuan 9 27
Pada penelitian yang dilakukan oleh Louisa Picco (2017), prevalensi depresi lebih
tinggi ditemukan pada perempuan (7,2%) dibandingkan dengan pria (4,3%).7 Hal ini
dipengaruhi oleh faktor risiko misalnya kerentanan biologis, yaitu mekanisme hormon, selain
itu dikatakan bahwa perempuan lebih mudah mengalami stress dibandingkan pria.7 Pada
penelitian Al Rasyid (2017) dikatakan bahwa responden yang lebih banyak mengalami
gangguan kognitif adalah responden yang berjenis kelamin perempuan.8 Pada penelitian ini,
didapatkan mayoritas responden yang mengalami gangguan kognitif adalah responden yang
berjenis kelamin perempuan (86%).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Al Rasyid. Sedangkan mayoritas
responden yang mengalami depresi pada penelitian ini adalah responden yang berjenis kelamin
laki-laki (79%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Louisa Picco, yakni
depresi lebih banyak ditemukan pada perempuan. Tetapi hasil tersebut serupa dengan penelitian
yang dilakukan olah Aryawangsa (2015), dimana jumlah lansia laki-laki yang mengalami
depresi lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah lansia perempuan yang mengalami
depresi.9 Pada penelitian Aryawangsa dikatakan bahwa hal tersebut kemungkinan disebabkan
karena di Bali menganut sistem paternalisme yaitu laki-laki berperan sebagai kepala keluarga
yang menyebabkan beban yang ditanggung oleh laki-laki menjadi lebih berat dan meningkatkan
resiko terjadinya depresi.9
Berdasarkan pengambilan data, didapatkan 34 responden (35,8%) tidak sekolah, 37
responden (39%) menempuh pendidikan sampai SD, 8 responden SMP (8,4%) 14 responden
sampai ke tingkat SMA (14,7%) dan S1 sebanyak 2 responden (2,1%). Gangguan kognitif
didapatkan paling banyak pada responden yang tidak sekolah yakni sebanyak 33 responden
(97%), sedangkan yang menderita depresi didapatkan paling banyak pada responden yang
tingkat pendidikannya SD yakni sebanyak 28 responden (76%). Hal ini sesuai dengan data
teoritis yaitu semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula risiko terkena
demensia.13 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tanjung IK (2019), didapatkan bahwa
proporsi responden yang memiliki gangguan kognitif lebih banyak pada responden dengan
tingkat pendidikan tidak tamat SD (65%).10 (Tabel 4.5, Tabel 4.6)
Tabel 4.5 Kategori MMSE berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Skor MMSE
SMP 1 7
SMA 4 10
S1 2 0
Tidak sekolah 8 26
SD 9 28
SMP 1 7
SMA 3 11
S1 0 2
Pada penelitian ini, didapatkan hasil rata-rata usia 71,1 tahun dengan usia paling muda
yaitu 65 tahun dan paling tua 92 tahun. Berdasarkan hasil analisis data, dalam rentang usia 60-
69 tahun, sebanyak 35 responden (76%) mengalami gangguan kognitif dan 32 responden (69%)
mengalami depresi, rentang usia 70-79 tahun, sebanyak 30 responden (81%) mengalami
gangguan kognitif dan 30 responden (81%) mengalami depresi, pada rentang usia 80-89 tahun
didapatkan 11 responden (100%) mengalami gangguan kognitif dan depresi, pada rentang usia
90-99 tahun didapatkan 1 responden mengalami gangguan kognitif dan depresi. Adanya
gangguan kognitif dan depresi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya terkait usia.
Seiring bertambahnya usia, ukuran otak berkurang.11 Hasil penelitian sesuai dengan data teoritis
yang ada, bahwa seiring bertambahnya usia, semakin mudah seseorang mengalami gangguan
fungsi kognitif dan depresi. (Tabel 4.7, Tabel 4.8)
Tabel 4.7 Kategori MMSE berdasarkan Usia
Usia MMSE
60 – 69 tahun 14 32
70 – 79 tahun 7 30
80 – 89 tahun 0 11
90 – 99 tahun 0 1
Dari 95 responden, didapatkan 18 responden (18,9%) dengan skor MMSE normal atau
tidak ada gangguan kognitif dengan skor antara 24-30. Didapatkan pula sebanyak 29 responden
(30,5%) kemungkinan mengalami gangguan kognitif dengan skor 17-23 dan sisanya 48
responden (50,5%) mengalami gangguan kognitif dengan skor 0-16. Berdasarkan hasil
penelitian Yulisna Mutia Sari (2015) didapatkan hasil distribusi gangguan kognitif di posyandu
lansia yakni 19 orang (57,6%) dengan gangguan kognitif sedang dan 14 orang (42,4%) dengan
gangguan kognitif berat.6 (Tabel 4.9)
Tabel 4.9 Karakteristik Mini Mental State Examination (MMSE)
Klasifikasi MMSE Jumlah n (%)
Walaupun secara statistik didapatkan hubungan yang tidak bermakna, tetapi dari hasil yang
didapat, ternyata cukup banyak responden yang mengalami depresi disertai dengan adanya
gangguan kognitif, yakni 61 responden dari 95 responden (64%). Tidak adanya hubungan yang
signifikan pada penelitian ini masih mungkin disebabkan oleh kekurangan dalam penelitian ini,
misalnya :
1. Tingkat pendidikan responden mayoritas bertaraf rendah sehingga mempengaruhi
skor instrumen MMSE dimana kemampuan membaca, berhitung dan menulis
diperlukan.
2. Adanya keterbatasan waktu sehingga instrumen MMSE dan GDS dilakukan pada
hari yang sama. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya perhatian responden dan
kelelahan sehingga data yang didapatkan kurang akurat.
Berdasarkan gambaran dari hasil analisis data, didapatkan kesimpulan bahwa orang
dengan gangguan kognitif tidak harus selalu depresi, dan orang tanpa adanya gangguan kognitif
bisa saja mengalami depresi. Pada lansia, depresi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain ; kehilangan kemandirian, ditinggalkan oleh pasangan, penyakit kronis, jauh dari keluarga,
dan lain sebagainya.
Bias Penelitian
Tidak adanya hubungan antara gangguan kognitif dengan tingkat depresi dapat disebabkan oleh
adanya bias dalam penelitian ini. Bias prosedur, terjadi pada saat pengambilan data dimana
penelitian dilakukan oleh lebih dari 1 orang terkait dengan waktu yang terbatas dari peneliti,
sedangkan pada hal ini terjadi perbedaan dalam metode pengambilan data dengan
menggunakan instrumen MMSE maupun GDS, walaupun sebelumnya telah diminimalisasi
dengan persamaan persepsi antara peneliti utama dengan peneliti pembantu.
KESIMPULAN
1. Adanya gangguan kognitif dan depresi pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.
2. Prevalensi gangguan kognitif didapatkan paling banyak pada responden berjenis
kelamin perempuan (86%), sedangkan depresi lebih banyak dialami pada responden
laki-laki (79%).
3. Gangguan kognitif paling banyak didapatkan pada responden yang tidak sekolah (97%)
dan depresi didapatkan paling banyak pada responden yang tingkat pendidikannya SD
(76%)
4. Angka terjadinya gangguan kognitif dan depresi meningkat seiring bertambahnya usia.
5. Berdasarkan karakteristik MMSE, didapatkan 50,5% responden dengan gangguan
kognitif. Berdasarkan karakteristik GDS, didapatkan 60% responden dengan depresi
ringan – sedang.
6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara gangguan kognitif
dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2 yakni p
value sebesar 0,780.
SARAN
1. Bagi Responden
Agar dapat melakukan aktivitas fisik maupun aktivitas yang menstimulasi otak untuk
mencegah atau mengurangi penurunan fungsi kognitif.
2. Bagi Masyarakat
Agar dapat lebih memahami dan mendukung lansia dalam mempertahankan fungsi
kognitifnya dan kesehatan jiwa lansia di masyarakat.
3. Bagi Panti
Agar dapat membuat program aktivitas yang menstimulasi fungsi berpikir dan
mempromosikan kesehatan jiwa penghuni panti.
4. Bagi Universitas
Agar dapat membangun hubungan kerjasama yang baik dengan pihak panti sehingga
dapat melakukan program penapisan fungsi kognitif dan pemeriksaan kesehatan jiwa di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2.
DAFTAR PUSTAKA