Sei sulla pagina 1di 2

BUKITTINGGI

Regarding the unique name Bukittinggi, it turns out there is an interesting story behind it.
According to history, in the Bukittinggi City area there used to be a market that was crowded
with people. After being visited by the Dutch, the area was used as the center of their defense
when fighting the Padri.

The Dutch built a fortress known as Fort de Kock on Jirek Hill. This fort became a symbol of
the success of the Dutch in occupying West Sumatra, and taking power over the Bukittinggi,
religious, and Pasaman areas. In the hands of the Dutch, the area then developed into a city
and trade center.

The story is different when Bukittinggi is dominated by Japan. At that time, Bukittinggi
served as the center of control of the Japanese military government for the Sumatra region to
Singapore and Thailand. The city is home to Kempetai's 25th military commander under
Major General Hirano Toyoji.

After Indonesian independence, Bukittinggi was designated as the Capital of Sumatra


Province. A few years later, Bukittinggi was briefly appointed as the Capital of Indonesia
during the reign of emergency after Yogyakarta fell into Dutch hands.
Now, Bukittinggi has a new role, which is to become a tourist city that has many exciting
tourism objects to explore. One of them, the home of the proclaimer, Mohammad Hatta, was
born in Bukittinggi. His house is on JalanSoekarnoHatta No. 37, Bukittinggi. This building is
still durable and preserved as a museum that is visited by tourists.

Besides being able to see the original residence of Mohammad Hatta, we can also see the
beauty of the Sianok Gorge which stretches from the Koto Gadang canyon to the
SianokAnam Tribe and ends in Palupuh District. The view is amazing, because there are
ravines, valleys, and the BatangSianokriver.

Uniquely, Bukittinggi has imitated icons from various countries, you know. There is a clone
of the Great Wall of China and also Big Ben. So, for those who want to feel the sensation of
visiting there, now there is no need to go far away to go abroad.

The Great Wall of Bukittinggi-style China is Janjang Koto Gadang, which connects the
Bukittinggi and Agam regions. Its length is about one kilometer and has two entrances. When
you get there, don't forget to capture the beautiful scenery.

In addition, there is the Big Ben twin which was first known as the icon of the City of
Bukittinggi. Yes, that's the Clock Tower that was built in 1926. Although the height is
different, but the machines owned by the two clocks are the same, a clock made by
VortmannRelnghausen from Germany. Reportedly, until now Relinghausen only produces
two engines, which until now are still actively turning on Big Ben and the Clock Tower.
BUKITTINGGI
Soal nama Bukittinggi yang unik, ternyata ada kisah menarik di baliknya. Menurut sejarah, di
wilayah Kota Bukittinggi dulunya ada sebuah pasar yang ramai dikunjungi orang. Setelah
didatangi Belanda, wilayah itu dijadikan sebagai pusat pertahanan mereka kala melawan
Kaum Padri.

Belanda membangun sebuah benteng pertahanan yang dikenal dengan nama Fort de Kock di
Bukit Jirek. Benteng ini menjadi simbol berhasilnya Belanda dalam menduduki Sumatera
Barat, dan mengambil alih kekuasaan atas wilayah Bukittinggi, agam, dan Pasaman. Di
tangan Belanda, wilayah itu kemudian berkembang menjadi kota dan pusat perdagangan.

Beda cerita saat Bukittinggi dikuasai oleh Jepang. Di masa itu, Bukittinggi berperan sebagai
pusat pengendalian pemerintahan militer Jepang untuk kawasan Sumatera hingga Singapura
dan Thailand. Kota ini menjadi tempat komandan militer ke-25 Kempetai yang ada di bawah
pimpingan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera.
Beberapa tahun setelahnya, Bukittinggi secara darurat sempat ditunjuk menjadi Ibu Kota
Indonesia pada masa pemerintahan darurat setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

Kini, Bukittinggi punya peran baru, yakni menjadi kota wisata yang memiliki banyak objek
pariwisata yang seru untuk dijelajahi. Salah satunya, rumah sang proklamator, Mohammad
Hatta yang lahir di Bukittinggi. Rumahnya ada di Jalan Soekarno Hatta No. 37, Bukittinggi.
Bangunan ini masih awet terjaga dan dijadikan museum yang ramai dikunjungi wisatawan.

Selain bisa melihat kediaman asli Mohammad Hatta, kita juga bisa melihat indahnya Ngarai
Sianok yang membentang dari ngarai Koto Gadang sampai Sianok Anam Suku dan berakhir
di Kecamatan Palupuh. Pemandangannya sangat menakjubkan, karena ada jurang, lembah,
dan sungai Batang Sianok.

Uniknya, Bukittinggi punya tiruan ikon berbagai negara, lho. Di sana ada tiruan Tembok
Besar Cina dan juga Big Ben. Jadi, buat yang ingin merasakan sensasi berkunjung ke sana,
sekarang tak perlu jauh-jauh pergi ke luar negeri.

Tembok Besar Cina ala Bukittinggi ialah Janjang Koto Gadang, yang menghubungkan
kawasan Bukittinggi dan Agam. Panjangnya sekitar satu kilometer dan dilengkapi dua pintu
masuk. Kalau sudah ke sana, jangan lupa untuk mengabadikan pemandangan yang begitu
indah, ya.

Selain itu, ada kembaran Big Ben yang lebih dulu dikenal sebagai ikon Kota Bukittinggi. Ya,
itulah Jam Gadang yang dibangun pada tahun 1926. Meski tingginya berbeda, tapi mesin
yang dimiliki kedua jam tersebut sama, mesin jam buatan Vortmann Relnghausen asal
Jerman. Kabarnya, hingga kini Relinghausen hanya memproduksi dua mesin saja, yang
hingga kini masih aktif menghidupkan Big Ben dan Jam Gadang.

Potrebbero piacerti anche