Sei sulla pagina 1di 29

RINGKASAN TESIS

PERAN TATA KELOLA


DALAM IDENTIFIKASI KARYA SENI LUKIS
SEBAGAI SEBUAH INVESTASI

Doro Daniwati
NIM: 112 0020 422

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2016
Pembimbing I : Dr. Suwarno Wisetrotomo, M. Hum.
Pembimbung II : T. Handono Eko Prabowo, MBA, PhD.

Tesis ini telah diuji dan dipertahankan


pada tanggal 2 Agustus 2016

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dewanto Sukistono, M.Sn.


Penguji Ahli : Prof. Dr. Djohan, M.Si .
Anggota : Dr. Suwarno Wisetrotomo, M. Hum.
T. Handono Eko Prabowo, MBA, PhD.

ii
ABSTRACT

The transformation of a painting as an entity of aesthetic creative value into


an art commodity has been transformed a painting into a product of potential
investment. Its assets investment values are not merely based upon its total cost
calculation of production but also laid upon its artist’s reputation, market’s trend,
and its marketing strategies as well. This complex transformation may certainly have
a particular process and systematic management procedures involving its related
stakeholders within ways of implementation. It is the intention of this research to
deliberately stressing the role and function of this complex arts management of the
painting commoditization process towards investment.
This research relied on a selective case study method and supported by the
qualitative data collection techniques which based on field survey, interviews,
observation, and literature studies. The main focus of this research lies on the role
and functions of stakeholders, both individuals and institutions in the art markets,
which are involving artists, curators, art managers, auction houses, galleries,
museums and collectors.
The results of this research described the role and function of art
management in painting as an investment. The subjects are including the
organizational structure of each stakeholders, marketing strategy, and relations
process and the operating procedures system or forms of cooperation. It is important
also that some paintings vital indikators are worth to be mentioned due to its
important investment values evaluation. Paintings are very potential as an
investment but need to be managed and further organized through valid official
regulations in the form of art management.

Keywords: Painting, Role and Function, Arts Management, Stakeholders, and


Investment.

iii
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................................ i
ABSTRACT .................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iv
I. Pendahuluan ............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................... 3
II. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 4
III. Metode Penelitian ............................................................................................... 5
IV. Hasil Analisis dan Pembahasan .......................................................................... 7
A. Identifikasi Tata Kelola Pelukis (Seniman) ........................................................ 7
1. Proses Berkarya Seniman ................................................................................ 7
2. Motivasi Berkarya ........................................................................................... 8
3. Menjaga Kualitas Karya .................................................................................. 9
4. Proyeksi Pasar Karya Seni lukis (Seniman) ................................................. 10
5. Strategi Pemasaran (Seniman) ..................................................................... 10
6. Stakeholders Seniman ................................................................................... 10
B. Identifikasi Tata Kelola Kurator ....................................................................... 11
C. Identifikasi Tata Kelola Pasar Seni................................................................... 13
1. Kolektor ......................................................................................................... 14
2. Art Dealer dan Broker (Galeri dan Museum) ............................................... 15
3. Balai Lelang .................................................................................................. 17
4. Art Fair .......................................................................................................... 19
D. Tata Kelola Karya Seni Lukis Sebagai Sebuah Investasi................................. 19
E. Proses Komodifikasi ......................................................................................... 20
V. Penutup ................................................................................................................. 22
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 22
B. Saran .................................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 24

iv
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang
Karya seni lukis di Indonesia dalam perjalanannya memiliki masa ‘boom’ atau
ledakan pasar beberapa kali. Boom karya seni lukis yang pertama terjadi pada sekitar
awal 1970-an. Pada tahun tersebut, banyak orang kaya baru yang kemudian disusul
oleh pembangunan properti besar-besaran. Karya seni lukis dengan gaya dekoratif
dan abstrak sebagai pengisi interior rumah orang kalangan atas, nampaknya cocok
dengan semangat jaman itu. Boom yang kedua terjadi pada tahun 1999-2000, di mana
motif investasi dan keuntungan finansial menjadi landasan utama. Krisis moneter
pada saat itu membuat sebagian orang melarikan dananya ke karya seni lukis karena
dianggap menjanjikan keuntungan yang lebih besar.
Pada 2007 merupakan tahun kejayaan seni rupa kontemporer Indonesia,
setelah pada bulan April 2007 Balai Lelang Sotheby’s yang terletak di London
berhasil menjual karya seni lukis Putu Sutawijaya dengan angka yang fantastis yaitu
US$ 70,000. Keberhasilan tersebut menarik karya seniman-seniman lain seperti Agus
Suwage, Handiwirman, Galam Zulkifli, Dipo Andy, Ugo Untoro, Jumaldi Alfi dan
Budi Kustarto sehingga harga karya seni lukisnya menjadi terangkat naik dalam
kisaran Rp 300-700 juta. Boom karya seni lukis pada 2007 telah membawa perubahan
dalam sejarah seni lukis kontemporer Indonesia. Harga karya seni lukis yang pada
tahun 2004-2005 masih dalam kisaran Rp 10-30 juta bergeser harganya ke orde
ratusan juta sampai tembus satu milyar rupiah. Mengoleksi kemudian tidak lagi
menjadi hobi yang terjangkau dalam kantong kelas menengah Indonesia.
Dilihat dari perkembangannya, seni lukis mengalami transformasi nilai dari
nilai guna menjadi komoditas atau komodifikasi seni. Komodifikasi mengacu pada
proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar, mengubah produk yang nilainya
ditentukan oleh kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial
ke dalam produk yang nilainya ditetapkan oleh apa yang bisa mereka bawa di pasar
(Mosco, 1996: 144). Komodifikasi telah mengubah objek, kualitas dan tanda-tanda
menjadi komoditas dimana komoditas merupakan item yang dapat diperjualbelikan di

1
pasar. Komodifikasi seringkali diikuti dengan membedakan kedangkalan dan
manipulasi komoditas kebudayaan otentik masyarakat (Marx, 1977: 20). Pada
akhirnya, seni lukis menjadi barang investasi yang harga karya seni lukisnya tidak
ditentukan oleh kalkulasi biaya produksi akan tetapi oleh nama pelukis, selera pasar,
dan strategi pemasarannya. Seni lukis dan investasi bukanlah paduan kata yang ramah
akan tetapi hubungan keduanya telah berjalan sangat lama sejak zaman Renaissance.
Menentukan nilai sebuah karya seni memang sebuah perkara pelik. Seni
menolak pisau bedah statistik yang mendikte investasi lain. Hal ini membuat seni
menjadi sebuah asset yang makin sulit dianalisa, mengingat penentu nilainya, baik
yang subjektif maupun yang objektif, baik selera maupun data spesifik mengenai era,
medium dan seniman sama-sama pentingnya. Setiap pasar digerakkan oleh
persediaan dan permintaan. Permintaan secara intrinsik berhubungan dengan fesyen.
Faktanya, fesyen dapat mempengaruhi siklus pasar seni sebesar faktor finansial.
Belakangan ini, terjadi peningkatan luar biasa atas harga-harga karya seni
rupa. Lukisan pelukis muda I Nyoman Masriadi di sebuah lelang di Hongkong
dikabarkan terjual dengan harga lebih dari Rp 3 M. Karya beberapa perupa muda lain
seperti Rudi Mantofani dan Agus Purnomo, juga telah mencapai angka milyaran.
Terkait dengan pengamatan penulis, Amir Sidharta menerangkan dalam majalah
Visual Art pada 2008 bahwa di Jakarta, pelukis yang namanya baru muncul bisa
terjual lebih dari Rp 100 juta sedangkan lukisan karya Affandi ditawarkan dengan
harga kurang dari Rp 300 juta dan tidak laku.
Peringkat yang dikeluarkan oleh www.artprice.com, yang memang bekerja
untuk mengkompilasi indeks harga karya sepanjang tahun, menentukan I Nyoman
Masriadi sebagai perupa peringkat pertama Indonesia dengan indeks karya termahal
di posisi 81. Berturut-turut kemudian adalah Ay Tjoe Christine diperingkat 154,
Handiwirman di 178, Agus Suwage di 226, Rudi Mantofani di 232, Samsul Arifin di
331, Putu Sutawijaya di 351, J. Aradhitia Pramuhendra di 374, Yunizar di 386, Alit
Sembodo di 416, Gede Mahendra Yasa di 428, Agung Mangu Putra 458, Jumaldi Alfi
di 478, dan Agapetus Kristadana di 485 (Utami, 2012). Rumitnya hubungan antara
harga, pasar seni rupa, dan pencapaian artistik serta belum adanya jenjang karier

2
kesenimanan yang merupakan konsensus bersama, sehingga cukup sulit untuk
menemukan formula ajeg atau standar bahwa semakin mahal karya, semakin baik
pula pencapaian artistiknya.
Yogyakarta merupakan kota yang kaya akan pelukis ternama seperti Affandi
seorang pelukis maestro dan tidak sedikit seniman muda seperti I Nyoman Masriadi,
Rudi Mantofani, dan pelukis muda lainnya yang karyanya masuk dalam balai lelang
dunia seperti Sotheby’s dan Christie’s. Karya seni lukis dapat menjadi barang
investasi yang bernilai tinggi, tentu saja dengan proses komodifikasi semua pihak
yang memiliki kepentingan. Kepentingan itulah yang telah memotivasi seseorang
menjadi ingin memiliki karya seni lukis, baik atas kecintaannya terhadap karya seni
lukis maupun kepentingan bisnis. Penelitian ini akan membedah proses tata kelola
karya seni lukis sebagai investasi dengan mencari indikator-indikator terkait dan
menemukan peran tata kelola dalam identifikasi karya seni lukis sebagai investasi
yang selama ini terjadi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah dipaparkan, melahirkan tiga
pertanyaan yang akan diurai dan dianalisis dalam penelitian ini:
1. Apa saja indikator karya seni lukis dapat disebut sebagai investasi seni?
2. Bagaimana peran tata kelola dalam identifikasi karya seni lukis sebagai investasi
yang terkait dengan aspek sosial dan finansialnya?
3. Mengapa karya seni lukis penting dari aspek investasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


a. Manfaat Teoretis

1) Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi pada perkembangan


ilmu pendidikan, terkait Tata Kelola Seni atau Arts Management.
2) Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti berikutnya
yang tertarik dengan permasalahan ini.

3
b. Manfaat Praktis
1) Hasil penelitian bisa digunakan untuk mendapatkan data dan pengetahuan
tentang seluk beluk nilai dan pentingnya aspek finansial karya seni lukis yang
selama ini sudah dimanfaatkan dan dilakukan oleh institusi-institusi formal
maupun swasta guna memenuhi nilai investatif karya seni lukis bagi para
kolektor yang sekaligus sebagai investor dan penikmat karya seni tersebut.
2) Hasil kajian tentang objek karya seni lukis sebagai investasi tersebut bisa
menambah alternatif kajian tata kelola/ menejemen seni yang pernah ada dan
sekaligus bisa dijadikan tambahan referensi yang diperlukan bagi upaya
penelitian serupa dengan pendekatan dan proses yang berbeda di masa depan.

II. Tinjauan Pustaka


Tinjauan pustaka pada penelitian ini terdapat pada beberapa sumber yang
menjelaskan tentang karya seni lukis sebagai investasi. Sumber penelitian ini berbasis
pada dokumentasi, kajian ilmiah, buku, dan data internet yang meliputi publikasi
online yang terbatas pada website, blog, dan portal jurnal online. Sumber-sumber
tersebut diharap dapat menunjang penelitian ini.
Yuliana Kusumastuti (2006) dalam tesisnya 'Market Forces: A Case Study of
Contemporary Art Practice in Indonesia' menjelaskan tentang bagaimana peran
individu dan lembaga yang membentuk pasar seni rupa Indonesia dalam setiap
periode antara lain: sekolah seni, galeri dan museum, rumah lelang, kolektor,
kolekdol (art dealer), kritikus, kurator dan seniman. Boom seni rupa yang terjadi di
Indonesia terbagi menjadi tiga periode yaitu Orde Lama Soekarno (1945-1966), Orde
Baru Soeharto (1966-1988) dan Reformasi (1998) sangat mempengaruhi terciptanya
pasar seni rupa di Indonesia. Akan tetapi itu bukan faktor utama karya seni lukis
mengalami komodifikasi dan berakhir menjadi investasi. Kusumastuti memaparkan
adanya permainan pasar yang dilakukan oleh stakeholders dalam seni rupa,
khususnya seni lukis. Hasil penelitian Kusumastuti tersebut menjelaskan kekuatan
pasar seni kontemporer pada 2006.

4
Selain Kusumastuti, Djuli Djatiprambudi (2007) dalam jurnal ilmiahnya yang
berjudul 'Representasi Identitas di Medan Pasar Lukis Indonesia' memaparkan karya
seni lukis dalam konstruksi pasar didominasi oleh kalangan etnik Cina. Seni
Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang mencolok, karena tampilan dinamis pasar
karya seni lukis yang sering disebut boom. Fenomena yang dipicu oleh perubahan
kondisi sosial-politik-ekonomi Asia, pada akhirnya juga mempengaruhi infrastruktur
dan suprastruktur perubahan sosial-politik- dan perekonomian Indonesia. Hal ini
menyebabkan munculnya dialektis dari kelas elit ekonomi di Indonesia, yang
didominasi oleh kelompok etnis Cina. Kelompok ini, yang secara politik selalu
tertekan selama rezim Orde Baru, telah membangun ruang tantalus dalam
perekonomian. Keterlibatan mereka di pasar seni dapat dilihat sebagai titik awal
untuk memahami ekonomi-kapitalisme seni Indonesia.
Penelitian Kusumastuti dan Djatiprambudi tinjauan pasar karya seni lukis
merupakan salah satu variabel yang digunakan dalam penelitian. Sama seperti dalam
penelitian ini tinjauan pasar menjadi salah satu aspek untuk menemukan peran tata
kelola dalam identifikasi karya seni lukis sebagai sebuah investasi.

III. Metode Penelitian


Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi
kasus terhadap proses tata kelola dan pemasaran karya seni lukis di Daerah Istimewa
Yogyakarta - Indonesia, dengan menggunakan purposive sampling terhadap beberapa
variabel terkait. Variabel-variabel yang terkait akan diteliti dengan mengumpulkan
informasi (data collecting) melalui wawancara terarah dan metode survey, serta
upaya mendokumentasikannya untuk menjaga validitas dan reliabilitas data yang
terkumpul sebelum dianalisis secara terpadu. Berikut narasumber terpilih:
a. Heri Pemad, Direktur PT. Heri Pemad Art Management, beralamat di Soboman
DK 10 Ngestiharjo Kasihan Bantul. Responden ini dipilih karena telah
berpengalaman sebagai manajer seniman seni rupa dan pengelola pameran Art
Jog di Yogyakarta yang telah berlangsung selama Sembilan tahun.

5
b. Oei Hong Djien (OHD) selaku Pemilik OHD Museum dan Kolektor Karya Seni
Rupa, beralamat di Jl. Jenggolo 14 Magelang, Jawa Tengah. OHD merupakan
responden yang cukup penting karena sebagai kolektor senior diharapkan dapat
mendapatkan data yang lengkap terkait permasalahan pengelolaan museum.
c. Amir Sidharta salah satu Direktur Sidharta Auctioneer, beralamat di
Dharmawangsa Square The City Walk 2nd Floor 63-66, Jl. Dharmawangsa VI &
X, Jakarta. Amir Sidharta merupakan salah satu pemilik dan pengelola balai
lelang yang masih aktif di Indonesia. Diharapkan dapat diperoleh data tentang tata
kelola balai lelang dan permasalahannya dari interview langsung pada responden.
d. Alia Swastika merupakan kurator dan pengelola Ark Gallerie, beralamat di Jl.
Suryodiningratan 36 A, Yogyakarta. Pengalamannya sebagai kurator
Internasional diharapkan mampu menjelaskan tata kelola galeri dari sudut
pandang yang beragam.
e. Agung Tobing merupakan kolektor dan promotor kelas dunia, mengelola 12
pelukis Yogyakarta juga pelaku pasar global. Interview di kediamannya Jalan
munggur no.77 Godean, Sleman, Yogyakarta.
f. Djoko Pekik seorang pelukis senior yang cukup idealis. Karyanya diminati
banyak kolektor dan telah memperoleh pasar baik lokal maupun internasional.
Informasi yang dibutuhkan terkait dengan proses kreatif dan motivasi dalam
berkarya.
g. Edi Sunaryo seorang seniman senior dan akademisi yang masih aktif berkarya
hingga saat ini. Dari pengalaman beliau selama ini telah mengalami perubahan
karakter pada karyanya beberapa kali. data yang dibutuhkan selain proses kreatif,
motivasi berkarya yaitu strategi seniman terhadap pasar.
h. Mikke Susanto adalah seorang kurator dan staf pengajar di Institut Seni Indonesia
Yogyakarta. Profesinya sebagai kurator telah banyak digunakan oleh pemerintah
maupun lembaga swasta. Pengguna jasa kurator cukup beragam, sehingga
diharapkan data yang diperoleh dari responden terkait tata kelola kurator cukup
lengkap untuk tinjauan tata kelola seni kurator.

6
Gambar 1. Kerangka Metodologi Penelitian Peran Tata Kelola Dalam Identifikasi Karya
Seni Lukis Sebagai Sebuah Investasi

IV. Hasil Analisis dan Pembahasan


A. Identifikasi Tata Kelola Pelukis (Seniman)
1. Proses Berkarya Seniman
Seorang seniman dalam menciptakan karya seni, sesungguhnya sedang
melakukan upaya bahasa melalui tanda seni (karya). Suatu karya adalah suatu sistem
bahasa yang bisa menawarkan suatu cara tulis sekaligus cara baca baru atau lain dari
biasanya. Kemudian yang disebut sebagai karya adalah pada terbentuknya sistem
bahasa baru atau alternatif, keberhasilan dalam merangkai khasanah subyektif
menjadi realitas obyektif (dapat diserap dalam konstelasi kolektif).
Proses berkarya seniman lukisan tidak dapat distandarkan, karena proses
penciptaan karya berbeda dengan proses kerja industri dengan sistem standard
operasional prosedur (SOP). Proses penciptaan sebuah karya seni lukis bisa dianggap
sebagai bahasa ungkap atau ekspresi yang meledak atas pemikiran, rasa, dan karsa
yang kemudian melahirkan sebuah karya ekspresif berkarakter dari seorang seniman.
Karya yang dikerjakan sepenuh hati tentu saja berbeda dengan karya yang tercipta
atas dasar kebutuhan atau permintaan pasar (market).

7
Karakter karya seorang seniman dapat berubah-ubah tergantung pada
lingkungan, pengetahuan, dan hal-hal yang memberikan pengaruh pada cara pandang
seorang seniman juga pada proses berkaryanya. Seniman dapat melalui beberapa fase
perubahan karakter selama hidupnya dalam berkarya. Salah satu seniman yang
mengalami hal tersebut adalah Edi Sunaryo dimana perubahan fase karakternya
terbagi menjadi fase saat mahasiswa, fase setelah lulus dari STSRI, dan fase ketika
memasuki umur 50 tahun ke atas.
Proses kreatif dalam berkarya tiap seniman berbeda-beda, banyak hal
menyenangkan ataupun sebaliknya yang dapat dijadikan referensi dalam menelurkan
ide. Seperti yang dilakukan Djoko Pekik yang karyanya selalu berbicara atau
mengkritisi tentang tragedi september 1965, pemerintah dan fenomena keseharian.
Menurutnya, ada klasifikasi pada karya yang telah dibuat yaitu yang di jual dan tidak
dijual. Yang tidak dijual untuk persediaan di rumah, untuk ditata di rumah, untuk
menyediakan para tamu, para peneliti, dan mahasiswa. Beliau lebih memilih banyak
bepergian ke pasar, ke angkringan, bertemu siapapun dan membicarakan apapun
tentang apa yang menginspirasinya untuk dituangkan ke dalam karya.
2. Motivasi Berkarya
Seniman memiliki motivasi berkarya yang bermacam-macam, tak sedikit
seniman muda jadi incaran kolekdol dengan negosiasi kontrak yang bermacam-
macam tanpa melihat reputasi atau pengalaman berkarya si seniman. Hasilnya tak
sedikit seniman dengan talenta cemerlang hanya sebentar menikmati masa puncak di
pasaran. Seniman harus memiliki strategi dan tinjauan pasar agar tidak mudah
dipermainkan pasar atau tidak bergantung pada pasar. Karya yang berkarakter dan
berbeda dengan karya seniman lainnya memiliki positioning yang jelas sehingga
menjadi buruan dan mampu membangun pasar baru.
Proses bisnis karya seni lukis yang tidak sehat itu, ternyata memberikan
dampak negatif yang sifatnya tidak langsung bagi generasi penerus seniman karya
seni lukis. Hal ini juga akan merugikan pihak kolektor atau pemain bisnis karya seni
lukis itu sendiri terlebih pada seniman yang seharusnya masih harus memperjuangkan
karirnya di dunia seni rupa. Tidak adanya standarisasi harga menyebabkan seniman

8
maupun konsumen menentukan sendiri harga tiap karya. Sehingga jual beli lukisan
ini menjadi ajang pemanfaatan belaka dan berpengaruh pada popularitas seniman
yang tidak berjangka panjang. Hal ini disebabkan karena harga karya yang
melambung tinggi tidak diimbangi dengan porto folio atau reputasi seniman yang
diperhitungkan. Beberapa motivasi seniman dalam berkarya yang juga
mempengaruhi hasil atau kualitas karya, yaitu:
a. Berkarya sebagai bahasa ucap atau media berkomunikasi antara seniman dan
khalayak, tentang suatu hal yang menjadi dasar pemikiran seniman.
b. Berkarya merupakan media berekspresi dan tanpa orientasi apapun selain hanya
ingin mengekspresikan diri.
c. Berkarya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

3. Menjaga Kualitas Karya


Dalam dunia bisnis seni rupa pada umumnya dan khususnya karya seni lukis,
seniman berkompetisi dengan sangat ketat. Kualitas karya menjadi salah satu
perhatian konsumen dalam memilih karya yang akan di beli. Dari sisi seniman harus
bisa mempertahankan kualitas sehingga reputasi dan popularitasnya terus terjaga.
Tidak semua sadar akan hal ini, seniman butuh pengalaman yaitu memperjuangkan
idealismenya untuk bisa membaca geliat bisnis lukisan.
Salah satu cara mempertahankan kualitas seperti yang sudah disampaikan Edi
Sunaryo, bahwa seniman itu harus menginovasi dirinya sendiri dengan cara yang
bermacam-macam. Seperti dengan banyak membaca, bersosialisasi, melakukan
diskusi-diskusi dengan rekan seprofesi, dan cara lain yang bisa meningkatkan
pengetahuan untuk meningkatkan kualitas ide. Selain itu menjaga kualitas karya
kembali lagi seniman harus menjaga dirinya sendiri membangun imej bukan sebagai
pengecer karya. Kemudian kualitas material yang digunakan juga harus dijaga baik
kanvas, spanram, figura, cat, hingga kelembaban udara ruang studio harus tetap
terjaga agar karya tidak mudah rusak. Kecintaan mendalam terhadap aktivitas
berkarya dan kecintaan terhadap karya sendiri itu terwujud ketika segala sesuatu yang
terkait dalam proses berkarya dilakukan sendiri.

9
4. Proyeksi Pasar Karya Seni lukis (Seniman)
Menurut beberapa seniman, kondisi booming yang wajar dalam sebuah
peristiwa pasar. Secara psikologis, pembandingan situasi itu menyebabkan
kontradiksi kondisi, dimana satu sisi menunjukkan situasi yang makmur, di sisi lain
ada suasana sebaliknya. Jika diukur dari sisi booming, akhirnya terasa sepi. Menurut
Edi Sunaryo, pasar itu tercipta karena ada selera, ada yang punya, ada yang membeli,
dan yang membeli itu bermacam-macam. Setiap karya seni itu mempunyai daya
pukau sendiri-sendiri. Kalau tren sekarang ini pasar diikuti pelukis, pelukisnya
keponthal-ponthal nanti dan pada akhirnya mengorbankan idealismenya.
5. Strategi Pemasaran (Seniman)
Tak sedikit seniman memandang strategi pemasaran itu sebagai sesuatu yang
tabu, namun saat ini banyak seniman yang telah melakukan strategi pemasaran.
Djoko Pekik sebagai seorang seniman senior mengaku tidak melakukan strategi
pemasaran, beliau cenderung mengalir saja dan berkarya memang tidak untuk
mengejar pasar. Bahkan tidak semua kolektor bisa memiliki karyanya dan tidak
semua lukisannya bisa dibeli. Secara tidak sengaja Djoko Pekik melakukan strategi
pemasaran, ketika karyanya banyak dicari pasar dan susah di dapat menyebabkan
harga karya melambung tinggi karena yang terjadi bisa saja calon pembeli
menghendaki berapapun harga untuk mendapatkan karya tersebut.
Berbeda dengan Edi Sunaryo bahwa seniman melakukan strategi pemasaran
itu penting. Karena di Jogja saja banyak sekali seniman yang berebut pasar untuk
hidup. Ini jadi konsekuensi logis ketika seniman selain harus tetap berkarya juga
harus menghidupi keluarganya. Utamanya tetap harus menjaga kualitas karya jangan
sampai kearah pasar souvenir.
6. Stakeholders Seniman
Stakeholders adalah kelompok yang dapat mempengaruhi dan/atau
terpengaruh oleh aktivitas, produk atau layanan, serta kinerja organisasi.
Stakeholders seniman terdiri dari kolektor/pemilik galeri, lembaga pendidikan,
pengamat/kurator, museum, dan pemerintah. Dengan dukungan pasar, para seniman
hidup layak sehingga lebih berkonsentrasi menempa gagasan dan kreativitas

10
kekaryaan. Pengamat mengembangkan wacana untuk pegangan pasar, sedangkan
museum jadi barometer pameran. Para pemilik galeri menjalankan bisnis sekaligus
mempromosikan seniman pada jaringan kolektor di dalam dan luar negeri. Lembaga
pendidikan menggembleng para calon seniman serta memperkuat basis penelitian
akademis. Pemerintah menjembatani kepentingan semua stakeholders itu dan
merancang kebijakan dengan visi pengembangan seni rupa sebagai bagian dari
strategi budaya bangsa.

Gambar 2. Bagan Stakeholders Seniman

B. Identifikasi Tata Kelola Kurator


Kurator itu adalah orang yang memiliki kecanggihan dalam proses menaikkan
eksistensi perupa. Kurator pengamat dan kritikus seni seringkali diemban oleh satu
orang sehingga sangat memungkinkan peran mereka sangat vital dalam dunia seni
rupa dan mereferensikan nama perupa, baik pada kolektor, penelitian, maupun
penggagas pameran nasional dan internasional. Peran dan fungsi kurator sangat
kompleks dalam pelaksanaannya.
Kurator dituntut untuk dapat menginterpretasikan atau melacak kajian-kajian
di dalamnya. Ia juga harus pandai bagaimana menjembatani nilai-nilai yang akan

11
disampaikan ke publik. Dalam hal ini kurator memadukan sejarah, menelusuri kronik,
dan merekonstruksi sejarah hingga membawa ruang pamer sebagai masa depan.
Tidak hanya itu, seorang kurator juga harus memahami permasalahan teknis terkait
dengan permasalahan ruang, kebutuhan display karya, perawatan karya, dan strategi
media publikasi. Dalam pelaksanaannya, kurator bertanggungjawab atas keselarasan
tema dengan konten dan teknis produksi.
Seorang kurator bekerja berangkat dari riset, survei atau pembacaan kurator
tentang tema dan problem tertentu yang kemudian diderivasikan dalam praktik kerja
visual seniman. Selanjutnya, kurator memiliki hak sepenuhnya dalam memilih karya
seni atau seniman yang sesuai dengan kerangka intelektual. Pada saat menyeleksi
karya kurator tidak hanya menggunakan parameter estetik saja, melainkan juga
menempatkan karya yang menarik sebagai subyek untuk menyuarakan isu atau
permasalahan tertentu. Kedekatan secara personal antara kurator dan seniman itu
sangat penting sehingga biasanya kurator berhak memilih atau menolak permintaan
seniman tertentu untuk bekerja bersama.
Relasi kerja kurator seni rupa adalah siapa saja yang selama ini menggunakan
jasa atau bekerja sama dengan kurator untuk kebutuhan tertentu. Dari beberapa data
yang didapatkan penulis, klien kurator dapat bekerja sama secara personal dengan
seniman, kolektor, art dealer (galeri, penyelenggara pameran seni), museum, institusi
pendidikan seni rupa, pemerintah, dan media.
Proses kerja sama kurator dengan seniman bersifat personal. Seniman
memerlukan jasa kurator untuk membantunya dalam pameran tunggal. Proses kerja
sama dengan seniman dimulai dari tahap preparation yaitu persiapan yang dilakukan
dengan diskusi intens dengan seniman terkait dengan tema, konsep, wujud karya
yang akan dipaparkan dalam tulisan katalog dan info media, menentukan harga karya
dan strategi promosi; tahap event, kurator terlibat dalam aktivitas teknis persiapan
pameran seperti pertimbangan ruang pada saat display karya, dan lain-lain; tahap
post-event, tahap pertanggungjawaban antara kurator kepada seniman dengan
membuat laporan dan evaluasi penyelenggaraan pameran bersama seniman dan tim
pendukung.

12
Gambar 3. Relasi Kurator
Sumber : Olah Data

C. Identifikasi Tata Kelola Pasar Seni

Gambar 4. Jenis Pasar Seni Rupa


Sumber: Olah Data

Mikke Susanto memaparkan bahwa dewasa ini telah muncul berbagai jenis
pasar berdasarkan kelengkapan ruangnya: pasar fisik (studio perupa, galeri, art shop,
rumah seni), pasar virtual (website perupa, organisasi, atau penjualan karya seni), dan

13
pasar besar (mega market : seperti balai lelang, pameran berskala internasional yang
melakukan kegiatannya secara fisik maupun virtual) dan ada pula perhelatan bernama
“pasar terkurasi”.
Menurut Alia Swastika (wawancara 27 Mei 2016) kondisi pasar seni rupa di
Indonesia lesu akibat dari boom yang tidak terkontrol dan karena pasar tidak lagi
sehat. Pasar yang tidak sehat ditandai dengan banyaknya karya yang overprice dan
tidak terkendali harganya. Di Indonesia itu tergolong tidak sehat karena satu-satunya
tolok ukur adalah pasar terutama balai lelang. Karya yang laku di balai lelang dengan
harga tertentu menjadi acuan untuk menentukan harga karya seniman tertentu
sehingga tren permintaan pasar terhadap seniman tertentu tidak berlangsung lama.
Pasar seni rupa dapat dipahami sebagai sebuah sistem transaksional jual beli
karya seni rupa antara penjual dan pembeli (pelaku pasar). Dalam perkembangannya
hingga sekarang, pasar seni rupa dapat diklasifikasikan menjadi empat (4) yaitu pasar
fisik, pasar virtual, pasar besar, dan pasar terkurasi. Namun dalam konteks investasi,
jenis pasar dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu pasar primer, pasar
sekunder, dan pasar tersier.

Gambar 5. Mata Rantai Pasar Seni Karya Seni Lukis Sebagai Investasi
Sumber: olahan data

1. Kolektor
Kolektor adalah posisi utama dalam pasar seni rupa, baik individu maupun
lembaga khusus yang mengoleksi karya seni rupa seperti perusahaan, museum, dan
galeri tertentu. Menurut Oei Hong Djien, syarat mengoleksi terdiri dari uang,
pengetahuan, kecintaan, kesabaran, keberanian, hubungan, kualitas, waktu (timing),
kemujuran, dan pengalaman. Motif untuk mengoleksi karya seni harus berdasarkan

14
rasa suka dan cinta, bukan sekadar investasi. Dalam sejarah mengoleksi, Oei Hong
Djien berkembang melalui empat tahap penting, yaitu tahap prakoleksi, tahap belajar,
tahap memburu, sampai akhirnya tahap diburu.
Peran kolektor terkait investasi lukisan menurut Agung Tobing seorang
kolektor yang juga promotor, bahwa kolektor yang baik itu tidak hanya mampu
membeli karya-karya dan menyimpannya. Menurutnya hal ini sama saja dengan
memenjarakan karya dan kreativitas seniman. Namun, kolektor juga seharusnya turut
mempromosikan seniman dengan menyelenggarakan pameran tunggal dan membuat
buku biografi tentang seniman tersebut, selain itu juga mengikutsertakan seniman
pada pameran atau kompetisi pada pameran-pameran yang berskala internasional.
2. Art Dealer dan Broker (Galeri dan Museum)
Art dealer dan broker merupakan elemen penting di dunia seni rupa dan pasar
seni rupa, yang di dalam praktiknya masih ada masyarakat seni rupa Indonesia yang
memiliki stigma negatif terhadap dealer dan broker, terutama di pihak senimannya.
Berbeda dengan broker, art dealer cenderung mengeluarkan modal dulu untuk
membeli karya dari seniman yang kemudian dipamerkan untuk menarik konsumen
artinya hubungan bisnis antara seniman dan art dealer sudah terputus.

Gambar 6. Diagram Kerja Art Dealer


Sumber : olahan data

Seniman sebagai produsen menjual atau meminjamkan karyanya melalui


art dealer lalu art dealer membeli dan menjual kembali. Kemampuan finansial
dealer tentunya jauh lebih besar dari broker. Dealer mampu melakukan pembelian
terhadap karya dan menyimpan karya tersebut sampai ia menemukan klien yang
cocok. Di sisi lain broker tidak memiliki karya tersebut, ia hanya berusaha

15
membuat koneksi dari produsen ke konsumen yang membutuhkan karya tersebut.
Karena keuntungan utamanya berada pada usaha untuk mendapatkan komisi dari
tiap transaksi, ia berada dalam posisi lebih gamang daripada dealer. Jadi broker
lebih berkepentingan untuk menjual.

SENIMAN /
KOLEKTOR / ART
BROKER
DEALER
MEMBAWA
MEMBERIKAN
CALON PEMBELI
KOMISI PADA
BROKER

Gambar 7. Diagram Kerja Broker


Sumber : analisa studio

Kegiatan dealing atau brokering sah-sah saja dilakukan oleh balai lelang, kolektor,
galeri, art shop, atau bahkan seniman. dengan mengetahui prinsip dasar kinerja
definisi dealer dan broker baik perseorangan maupun institusi, dalam hal ini dapat
diketahui posisi mereka sebagai dealer atau broker.
Seniman berkualitas biasanya memiliki manajer dan dikelola oleh galeri, di
mana galeri ini berbeda dengan konsep galeri yang banyak berkembang sekarang.
Galeri tersebut adalah galeri yang memilih senimannya berdasarkan kualitas bukan
besarnya permintaan pasar terhadap karya seniman yang bersangkutan. Selain itu,
galeri beserta kuratornya melakukan komodifikasi dengan benar dengan membuat
pameran tunggal, seminar, dan dokumentasi baik foto, video, maupun buku. Menurut

16
Alia Swastika kurator galeri bekerja bersama dengan seniman mencarikan dana untuk
proses berkaryanya, mempersiapkan kebutuhan pameran tunggalnya, mencari jejaring
museum, dan mengarsipkan setiap perjalanan proses berkarya seniman, sehingga
seniman dapat selalu berkontribusi dalam peristiwa besar seni rupa dunia dan menjadi
seniman dunia yang diperhitungkan.
Pasar selanjutnya adalah museum. Museum memiliki kurator dan memiliki
beribu alasan untuk membeli karya seni lukis sebagai koleksi. Jarang sekali karya
seni lukis koleksi museum terjual di pasar seni, yang paling memungkinkan terjadi
adalah karya diakuisisi oleh museum lain dengan kontrak pemeliharaan yang cukup
rumit. Bagi seniman, karya yang dikoleksi oleh museum merupakan prestasi yang
sangat bergengsi. Karya seniman akan banyak dipelajari oleh siapapun, tercatat dalam
sejarah sebagai seniman terpilih kelas dunia, dan suatu saat berpeluang menjadi
seniman legendaris dunia. Karya yang ditampilkan di museum dianggap sebagai
‘kualitas museum’/ museum-piece dan museum berfungsi sebagai repositori akhir
untuk validasi reputasi seorang seniman. Museum juga memikat dengan arsitektur
yang mengesankan dan menjadi destinasi pariwisata.
3. Balai Lelang
Balai lelang sering dijadikan kambing hitam dalam kancah seni rupa. Namun,
balai lelang besarlah yang selalu menjadi penata pasar. Balai lelang melakukan
transaksinya di lokasi-lokasi permanen, melakukan perdagangan dalam waktu-waktu
tertentu sepanjang tahun dan bisa beroperasi secara global. Mereka juga mampu
menjalankan fungsi sebagai gudang yang baik, dan terutama balai lelang besar
memberikan jaminan keaslian.
Menurut Agung Tobing, nilai sebuah karya sebenarnya berasal dari patokan
satu harga karya yang laku di balai lelang. Terkadang patokan tersebut hanya
digunakan untuk ‘nge-grade’ atau mendapatkan standar harga lelang guna menaikkan
harga karya seniman pada saat pameran. Hal inilah yang dimaksud pasar tidak sehat
menurut Alia Swastika. Terkadang pelaku pasar tidak sehat melakukan penjualan
karya secara sengaja untuk mendapatkan harga tinggi senimannya di balai lelang.

17
Amir Sidharta (wawancara 3 Juni 2016) menyatakan selama ini banyak yang
mendapatkan karya seni lukis dari seniman langsung. Tak sedikit yang mengkritik
persoalan etika dimana membeli karya seharusnya lewat galeri, tidak memutus mata
rantai langsung pada seniman. namun pada kenyataannya banyak seniman yang tidak
diwadahi atau tidak masuk kriteria galeri manapun karena sistem yang belum ideal di
Indonesia. Artinya galeri hanya berminat pada karya-karya yang harganya meningkat.
Dampaknya ruang gerak seniman terhadap pasar jadi lebih sempit dan sangat
bergantung pada pemain pasar dan seniman pada lingkaran tersebut.
Balai lelang sebenarnya ada karena keadaan, karena mampu mewadahi
seniman yang tidak terwadahi oleh galeri. Jika mau menghitung, pada kenyataannya
jumlah seniman lebih banyak daripada galeri yang ada di Indonesia. Balai lelang
dapat menjadi alternatif wadah pasar dengan aktivitas yang berbeda dengan galeri
yang mungkin bisa menjadi pasar sendiri. Klasifikasi karya-karya yang dipilih untuk
diikutkan dalam proses lelang tidak terlalu ketat. Nama seniman dan rekam jejak
menjadi salah satu yang diperhatikan. Nama-nama seniman tersebut dilihat dari
kondisi pasar dua tahun terakhir. Kira-kira jika diprosentasekan 60% adalah nama
seniman dan karya dengan permintaan pasar yang besar, dan 40% adalah eksperimen
pemilihan seniman baru untuk ditawarkan ke pasar. Hal ini dilakukan untuk
memberikan tawaran baru kepada pasar sehingga tidak bosan.
Balai lelang juga turut mempromosikan karya, seniman, dan melakukan
pencatatan untuk kebutuhan arsip. Kontribusi balai lelang terhadap proses
komodifikasi karya salah satunya dengan menerbitkan katalog lelang. Meskipun
kontribusinya tidak langsung, terkadang ada beberapa seniman yang perlu di angkat
namanya. Balai lelang bekerjasama dengan kurator terkait dengan memastikan
keaslian karya.
Amir Sidharta menyatakan ia tidak yakin bahwa seni rupa dapat dijadikan
sebagai investasi karena belum ada kepastian seperti stock atau saham. Unsur
gambling yang tinggi membuat tidak semua orang berani mengambil resiko sehingga
pembeli karya seni lebih banyak dari kalangan menengah ke atas.

18
4. Art Fair
Art Fair atau pameran seni rupa merupakan salah satu ruang pertemuan antara
seniman dengan publik. Pengelola art fair dituntut untuk menjadi orang yang paling
mengerti kebutuhan seniman, kolektor, dan harus paling paham terhadap wacana
kekinian. Menurut Heri Pemad, pameran yang diselenggarakan harus lebih
menginspirasi sehingga menjadi trendsetter karena memberi sesatu yang baru. Itu
berdampak pada kehadiran orang atau pengunjung, pasar baru yang tercipta,
menginspirasi pelaku kreatif baik yang baru maupun yang lama. Dalam memilih
seniman dan karyanya, pengelola pameran harus bisa membedakan seniman dan
tukang gambar karena karya seni itu tidak mudah dalam pembuatannya. Hal tersebut
lebih kepada mencari originalitas.
Di antara stakeholders yang terlibat dalam pasar seni rupa khususnya karya
seni lukis, pameran menawarkan sebuah platform lain yang menghubungkan antara
seniman dengan penikmat seni dan kolektor. Pameran dianggap sebagai pusat yang
membicarakan subjek dalam cerita tentang seni, yang mana institusi dan kurator-
kurator seringkali mendapat tugas bercerita pada publik. Terkait dengan itu, pameran
juga menjadi 'medium' dalam mendistribusi maupun meresepsi seni, dan oleh karena
itu pula pameran menjadi agen utama dalam debat ataupun polemik sekitar beberapa
aspek seni visual. Pameran sekaligus meninggalkan jejak dalam berbagai wacana,
dalam berbagai seni kontemporer, kritik akademik maupun jurnalistik, dan bentuk-
bentuk ilmu antropologi budaya. Oleh karena itu, pameran memegang peranan
penting yang menjembatani seniman beserta karyanya dan publik yang luas.

D. Tata Kelola Karya Seni Lukis Sebagai Sebuah Investasi


Ketika mengoleksi karya seni lukis sebagai investasi, rasanya ada beberapa
perbedaan mendasar yang membedakan karya pasar seni dan pasar finansial lain.
Perbedaan-perbedaan ini seringkali membuat kalkulasi harga sebuah karya dan
perhitungan resikonya jauh lebih sulit daripada yang biasa terjadi di pasar saham.
Selain keunikan karya, sulitnya mendapatkan informasi mengenai harga adalah salah
satu hal yang paling mengganggu akurasi perhitungan investasi. Perhitungan laba
yang diperoleh dari sebuah karya seringkali terselubungi atau terbiaskan oleh

19
informasi-informasi yang salah atau diselewengkan. Bisnis-bisnis seni rupa
kebanyakan adalah bisnis yang dimiliki swasta yang kerap menutup informasi dengan
amat ketat.
Identitas klien kerap menjadi rahasia dan harga penjualan diluar lelang adalah
informasi yang nyaris tidak dapat diakses publik, yang walau kadang diumbar juga
demi promosi. Karya seni rupa juga memiliki likuiditas yang amat rendah. Dengan
tingkat likuiditas yang rendah ini investor harus benar-benar menghitung harga jual
agar dapat juga menutupi resiko yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan aset yang
lebih likuid.
Selain mendapatkan keuntungan finansial, terdapat beberapa keuntungan lain
yang bisa mendorong seseorang untuk menanamkan uangnya di karya seni lukis.
Beberapa dari kemungkinan lain adalah investasi demi penikmatan seni, investasi
demi diversifikasi, portfolio, dan investasi demi mendukung sebuah gerakan budaya.
Banyak ahli keuangan yang menyarankan bahwa salah satu cara terbaik untuk
melihat investasi dalam karya seni rupa, adalah sebagai diversifikasi portfolio.
Selain tinjauan material, reputasi seniman, ukuran karya, dan kondisi karya,
harga karya seni juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik, seperti kelangkaan karya.
Kelangkaan karya berhubungan dengan produktivitas perupa dan kemampuannya
mengendalikan jumlah karya yang beredar di pasar. Perupa yang cenderung
“membanjiri” pasar seni rupa akan melihat bahwa harga karyanya akan rentan karena
persediaan (supply) melebihi permintaan (demand). Permasalahan nilai dalam seni
rupa Indonesia pada saat ini sangat ditentukan oleh teori ekonomi dan pemasaran. Hal
itu diakibatkan karena apresiasi terhadap seni rupa didasarkan pada faktor
investasinya daripada faktor artistiknya.

E. Proses Komodifikasi
Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar (komodifikasi),
menemukan peran tata kelola dalam identifikasi karya seni lukis sebagai sebuah
investasi. Pada praktiknya, proses komodifikasi karya yang dilakukan dalam investasi
terjadi begitu saja, tidak berlebihan, dan ideal. Seperti proses kerja kurator, dengan

20
sangat profesional membedah sebuah karya seniman bereputasi baik tentu tidak
sesulit membedah karya seniman yang tidak bereputasi. Begitu juga dengan media
yang bisa saja diundang maupun meliput sendiri karena peristiwa pameran si seniman
cukup menarik untuk diliput. Karya berkualitas dari seniman berkualitas dan
fenomenal mencuri perhatian penulis untuk menulis kisah seniman maupun karyanya.
Proses komodifikasi yang dilakukan sangat alami dan beretika sehingga membawa
seniman pada pencapaian prestasi yang matang dan berjangka panjang.
Proses komodifikasi dalam investasi berlangsung sangat praktis dan hanya
ditinjau dengan prinsip ekonomi-bisnis. Kurator bekerja keras menaikkan seniman
yang tidak bereputasi menjadi terlihat dan dipahami sebagai seniman bereputasi
tinggi dengan karya terbaik. Artinya kurator juga memiliki keahlian dan bisa
menerima pekerjaan berdasarkan pesanan untuk tujuan tertentu, meskipun kurator
juga berhak menolak pekerjaan yang ditawarkan.
Media, penulis, dan balai lelang menjadi bagian dari deretan kontributor
terbesar dalam proses komodifikasi seorang seniman sehingga dalam waktu yang
sangat cepat seniman naik daun dan karyanya dibicarakan di mana-mana. Balai lelang
juga tak kalah penting, sebagai tolok ukur harga terendah seniman tertentu, dapat juga
bekerjasama dengan kolektor atau pelaku pasar untuk membeli dengan harga tertinggi
dan harga karya seorang seniman telah mendapatkan hammer price dalam sebuah
lelang. Harga tertinggi dalam pembelian karya sebuah lelang, menjadi tolok ukur
harga terendah karya seorang seniman. hal ini akan berimbas pada harga karya lain
seniman tersebut. Namun, harga karya seorang seniman juga bisa hancur ketika
karyanya terbeli dengan harga sangat murah dalam lelang. Hal itu menyebabkan
orang-orang yang memiliki karya seniman tersebut tidak akan pernah bisa menjual
dengan harga tinggi, hasilnya karya tersebut tidak potensial investasi dan permintaan
pasar cukup rendah. Jika hal ini terjadi maka seniman akan susah sekali menjual
karyanya kembali.

21
V. Penutup
A. Kesimpulan
1. Investasi karya seni lukis merupakan sebuah pilihan cara pandang dan pilihan itu
bisa saja berubah menyesuaikan keadaan dan keinginan pemilik karya itu sendiri.
2. Pada praktiknya sistem kerja, pendapatan, modal yang dikeluarkan oleh tiap
stakeholders terhadap karya atau seniman yang akan dikelola merupakan bentuk
investasi. Hanya saja proses mendapatkan keuntungan dan cara berbisnis karya
seni lukis belum ada payung hukum yang mengatur hingga pada tahap seniman
dan pasar primer. Baru mengatur pada lelang jual beli barang yang sifatnya
umum. sehingga yang dirasakan hanya untuk karya-karya premium yang masuk
dalam proses jual beli pada sebuah balai lelang. Sehingga harga tidak standar,
strategi/cara bisnis sangat bebas dan bergantung kesepakatan kedua belah pihak
dan sangat beresiko merugikan salah satu pihak.
3. Karya seni lukis telah diakui sangat potensial untuk investasi, namun tidak ada
legal hukum yang menaungi. Karya yang berpotensi investasi adalah karya milik
seniman kreatif yang terus berinovasi. Selalu menciptakan hal baru untuk
mempertahankan pasar.
4. Proses komodifikasi karya yang maksimal mampu membawa seniman baru
menuju seniman ternama dengan jangka waktu yang cukup cepat. Namun jika
seniman berkarya dengan berorientasi pasar dan uang dapat menyebabkan
hilangnya idealisme seniman dalam berkarya.
5. Terciptanya sebuah karya hingga praktek bisnis jual beli lukisan melibatkan
banyak pihak yang berkontribusi pada tiap aspek pemangku kepentingan.
6. Nilai dalam seni rupa Indonesia pada saat ini sangat ditentukan oleh teori
ekonomi dan marketing. Hal itu diakibatkan karena apresiasi terhadap seni rupa
didasarkan pada faktor investasinya daripada dengan faktor artistiknya. Pasar seni
rupa merupakan sistem transaksional jual beli karya baik fisik (pasar seni pada
umumnya) maupun non fisik (online). Pasar seni tersebut bisa dikategorikan
menjadi pasar primer, pasar sekunder, dan pasar tersier.

22
7. Seniman harus memiliki strategi dan tinjauan pasar, sehingga tidak mudah
dipermainkan pasar atau tidak bergantung dengan pasar. Karya yang berkarakter
dan berbeda dengan karya seniman lainnya memiliki positioning yang jelas
sehingga menjadi buruan dan mampu membangun pasar baru. Menemukan
beberapa stakeholders dalam lingkar pasar seni rupa baik individu maupun
lembaga: seniman, kurator, art broker, art dealer, manager seni, galeri, museum,
kolektor, dan balai lelang. Adapun yang paling mendominasi adalah kolektor dan
balai lelang sebagai impetus perubahan terkuat.
8. Peran tata kelola dalam identifikasi karya seni lukis sebagai sebuah investasi yaitu
menengahi beberapa kepentingan terkait dengan kebutuhan stakeholders.
Mengakomodir setiap kebutuhan mulai dari seniman, pasar dan konsumen.

B. Saran
1. Pemerintah sebagai stakeholders terbesar seharusnya dapat memfasilitasi dengan
membangun infrastruktur dan suprastruktur.
2. Perlunya keterlibatan seluruh stakeholders untuk mewujudkan sistem pasar yang
sehat.
3. Besarnya pajak pada aktivitas balai lelang menyebabkan karya affordable art
tidak bisa masuk dalam aktivitas balai lelang. Sehingga balai lelang terkesan
hanya melelang karya luxury art saja.
4. Tidak adanya konservator lokal yang profesional, sehingga untuk mengkonservasi
sebuah lukisan harus mengundang tenaga ahli dari luar negeri dengan biaya yang
cukup tinggi.
5. Penelitian ini masih perlu disempurnakan, mengingat dunia seni rupa yang sangat
dinamis sehingga diharapkan ada penelitian-penelitian lanjutan. Lebih detail pada
tiap aspek manajemen yang ada di tiap pemangku kepentingan.

23
DAFTAR PUSTAKA

B. Buku, Jurnal, dan Materi Publikasi


Agustinova, Danu Eko. 2015. Memahami Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Calpulis.
Bangun, Wilson. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Bodie, Zvi, Kane, Alex & Marcus, Alan J. 2014. Investments. New York: McGraw-
Hill.
Bhote, Keki R. 1996. Beyond Customer Satisfaction to Customer Loyalty. New York:
American Management Association.
Bujono, Bujono, & Wicaksono, Adi. 2012. Seni Rupa Indonesia : Dalam Kritik dan
Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Burhan, Agus M._____. Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia: Historiografi dan
Fungsinya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Seni Rupa
ISI Yogyakarta. Yogyakarta: Sidang Senat Terbuka ISI Yogyakarta.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia.
Bandung: arti.line
Chong, Derrick. 2010. Arts Management. New York: Routledge.
Creswell, John W. 2014. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih di antara
Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djatiprambudi, Djuli. 2007. Representasi Identitas di Medan: Pasar Seni Lukis
Indonesia. Jurnal Visual Art Vol. 1D no.1, 26-37. Bandung: ITB.
Djien, Oei Hong. 2012. Seni dan Mengoleksi Seni: Kumpulan Tulisan. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Effendy, Rifky. 2008. Space/ Spacing. Jawa Tengah: Semarang Gallery.
Fleming, William. 1980. Arts & Ideas. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Fong, Lee Mang. 1964. Lukisan-lukisan dan Patung-patung koleksi Presiden Sukarno
dari Republik Indonesia (Jilid 1-4). Tokio, Djepang: Panitia Penerbit Lukisan-
Lukisan dan Patung-Patung Kolleksi Presiden Sukarno, PT. Pertjetakan
Toppan.
Haryono, Budi. 2013. How to Manage Customer Voice. Panduan Mengelola Suara
Pelanggan. Yogyakarta: Andi Offset.
Junaedi, Deni, & Santoso, Satmoko Budi. 2012. Antara Old Master dan
Kontemporer. Maret-April. Jakarta: Visual Arts.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Kartika, Dharsono Sony. 2004. Seni Rupa Modern. Bandung: Penerbit Rekayasa
Sains.
Kirom, Bahrul. 2009. Service Performance and Customer Satisfaction Measurement.
Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Kusumastuti, Yuliana. 2006. Market Forces: A Case Study of Contemporary Art
Practice in Indonesia. Australia: Charles Darwin University.

24
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:
LKIS.
Marx, Karl. 1977. Capital: A Critique of Political Economy, Volume 1. Michigan:
Vintage Books.
Mosco, Vincent. 1996. The Political of Communication: Rethinking and Renewal.
London: Sage Publications Ltd.
Mukarovsky, Jan. 1977. Structure, Sign, and Function. Transl. & Ed. by John
Burbanks & Peter Steiner. New Haven & London: Yale University Press.
Nasution. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Resch, Magnus Bruno Frederik. 2011. Dissertation: Management of Art Galleries-
Business Models.Switzerland: University of St. Gallen
Sanusi, Anwar. 2011. Metodologi Penelitian Bisnis. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
Shiddiq, Arief Ash. 2008. ABC-nya Pasar Seni Rupa. Juni-Juli. Jakarta: Visual Arts.
Sidharta, Amir. 2008. Seni Rupa: Harga, Nilai, dan Makna. Juni-Juli. Jakarta: Visual
Arts.
Sp, Soedarso. 2000. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta: CV.
Studio Delapan Puluh Enterprise & Badan Penerbit ISI Yogyakarta
Susanto, Mikke. 2016. Menimbang Ruang Menata Rupa. Yogyakarta: Dictiart
Laboratory.
Svasek, Maruska. 2007. Anthropology, Art and Cultural Production. London: Pluto
Pers.
Thompson, Su Mei. 2008. Seni Sebagai Investasi. Visual Art Vol.5 Juni-Juli no. 25,
pp. 74-75. Jakarta: Visual Arts.

C. Webtografi
Campbell, R.A.J. Art as Financial Investment - Journal of Alternative Investment.
Januari 2009. Retrieved from Institutional Investor Journals
(http://www.iijournals.com/JAI/Default.asp)
Khoer, Miftahul. Catatan Penting Dunia Investasi Lukisan. 29 November 2013.
http://lifestyle.bisnis.com/read/20131129/227/189565/catatan-penting-dunia-
investasi-lukisan. Retrieved from Bisnis Indonesia.
Kortoweg, Arthur, Kraussl, Roman, & Verwijmeren, Patrick. Research : Is Art a
Good Investment?. 23 Oktober 2013. Retrieved from Stanford Bussines:
(www.gsb.stanford.edu/insights/research-art-good-investment)
Sungkar, Syakieb. Seni Mengoleksi Seni Rupa. 18 Oktober 2015. Retrieved from
indonesiaartnews. (http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=276)

25

Potrebbero piacerti anche