Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
ARTIKEL
Oleh
ANGGI PRATIWI SINAGA
2143340007
JURUSAN SENDRATASIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
1
2
ABSTRACT
This study examines the semiotics contained in the Parsiarabu Tortor in Tomok
Village, Samosir Regency. The purpose of this study is to explore the meaning contained in
Tortor Parsiarabu and the interpretation of the meaning seen. To discuss the research objectives
above, use theories related to the research. The theoretical foundation in this study uses the
Semiotics theory of signs, markers and markers by Ferdinan De Saurrsure and the theory of
forms concerning motion and clothing by Humardani. The location and time of the study was
carried out in Tomok Village and the time of the research was two months, the population and
sample were the community and members of the Parsaulian GPSB Studio (Generation of Art
and Culture Lovers). The author conducts data collection techniques including library research,
field observations, interviews with resource persons, and completes the data by taking photo
documentation. This research uses descriptive qualitative. The results of the study are based on
data that has been collected that Tortor Parsiarabu has 6 main motives namely Siubeon,
Marsomba, Mambukka Roha, Patoru Diri, Papunguhon, Mangandungi. Clothing used in this
Parsiarabu tortor is Ulos Sibolang, Ulos Bittang Maratur, Ulos Suri-suri Ganjang. The semiotics
contained in the Parsiarabu tortor are poured through the sign that is in the form of motion that
is seen in the serving, the signer which is seen from the main range of motion in the Parsiarabu
tortor, and the signfied is the meaning contained in the motion Parsiarabu tortor, it can be
interpreted that the meaning of this whole dance is respecting God, respecting the high position
or government, respecting fellow human beings, staying humble and not arrogant, respecting
others, uniting the hearts of fellow people so that there is no envy and revenge .
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang semiotika yang terdapat dalam Tortor Parsiarabu di
desa Tomok Kabupaten Samosir. Tujuan penelitian ini untuk mengupas makna yang terdapat
dalam Tortor Parsiarabu dan interpretasi makna yang dilihat. Untuk membahas tujuan
penelitian di atas menggunakan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Landasan teoritis dalam penelitian ini menggunakan teori Semiotika mengenai tanda, penanda,
dan petanda oleh Ferdinan De Saurrsure dan Teori bentuk mengenai gerak dan busana oleh
Humardani. Lokasi dan waktu penelitian ini dilaksanakan di Desa Tomok dan waktu penelitian
nya selama dua bulan, populasi dan sampel adalah masyarakat dan anggota sanggar Parsaulian
GPSB (Generasi Pecinta Seni Budaya). Penulis melakukan teknik pengumpulan data meliputi
studi pustaka, observasi lapangan, wawancara dengan narasumber, dan melengkapi data dengan
mengambil foto dokumentasi. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
berdasarkan data yang telah terkumpul bahwa Tortor Parsiarabu memiliki 6 motif utama yaitu
Siubeon, Marsomba, Mambukka Roha, Patoru Diri, Papunguhon, Mangandungi. Busana yang
digunakan dalam tortor Parsiarabu ini yaitu Ulos Sibolang, Ulos Bittang Maratur, Ulos Suri-
suri Ganjang. Adapun semiotika yang terdapat dalam tortor Parsiarabu dituangkan melalui
tanda (sign) yang terdapat pada bentuk gerak yang terlihat pada penyajianya, penanda (signfer)
3
yang dilihat dari ragam gerak utama yang ada pada tortor Parsiarabu, dan petanda (signfied)
merupakan makna yang terdapat pada gerak tortor Parsiarabu, maka dapat diinterpretasikan
bahwa makna dari keseluruhan tarian ini yaitu menghormat kepada Tuhan, menghormati yang
berkedudukan tinggi atau pemerintah, menghormati sesama manusia, tetap rendah hati dan tidak
sombong, menghargai orang lain, menyatukan hati sesama masyarakat agar tidak ada iri hati
dan dendam.
masyarakat terdiri dari berbagai kegiatan sebuah tanda. Tanda disini dapat diartikan
yang dilaksanakan, salah satunya yaitu ritual sebagai sebuah perangkat yang dibutuhkan
hohomion. Ritual ini dimaksudkan untuk manusia di dunia ini, misalnya, rambu-rambu
memberikan sesajen atau persembahan lalu lintas dan petunjuk arah jalan yang dapat
kepada kekuatan gaib dan roh leluhur warga berkomunikasi lewat manusia dengan sebuah
Tomok, untuk memohon kepada dewata tanda. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari
supaya tidak terjadi musim kering seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64,
berkepanjangan, tidak ada paceklik, tidak ada dalam Alex Sobur 2003:15).
wabah penyakit. Pesta dilakukan secara Semiotika adalah ilmu yang
berkala pada setiap tahun. Pesta terakhir mempelajari tentang tanda. Pada akhir abad
(pesta bius mangase taon) terakhir pada ke-19 dikemukakan oleh filsuf aliran
sekitar tahun 1938 (Siahaan, 2004: 165-166). Pragmantik Amerika, Charles S. Pierce, yang
Beberapa kegiatan yang dilakukan pada merujuk kepada “doktrin formal tentang
Upacara Horja Bius adalah menampilkan tanda-tanda”. Ada beberapa teori semiotika
berbagai macam tortor, di antaranya; tortor menurut para ahli yaitu :
Sijoangginak, tortor Simargolang obun, 1. Ferdinan de Saurrsure mengatakan bahwa
tortor Parsiarabu, tortor Sawan, dan tortor tanda merupakan unsur utama dalam teori
Tunggal Panaluan (hasil wawancara dengan Saurrsure dalam bahasa. Tanda adalah
Mangiring Tua Sidabutar di desa Tomok, kesatuan dari suatu bentuk petanda
Kabupaten Samosir, pada Maret 2018). (signifer) dengan sebuah ide atau petanda
Namun menurut penuturan Hotna Sijabat (signified). Jadi, petanda adalah bunyi
tortor Parsiarabu ini sempat menghilang dari yang bermakna atau coretan yang
upacara Horja Bius yang disebabkan oleh bermakna, jadi petanda adalah aspek
kurangnya partisipasi dari ibu-ibu di desa, material dari bahasa, apa yang dikatakan
karena dikatakan tarian ini durasinya cukup atau didengar dan apa yang ditulis atau
panjang sehingga banyak para ibu yang tidak dibaca.
sanggup lagi untuk membawakan tarian ini. 2. Umberto Eco, pada prinsipnya adalah
Gerak merupakan alat komunikasi disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu
yang disampaikan melalui pesan-pesan yang dapat digunakan untuk mendustai,
terselubung oleh penari, sehingga mengelabui, atau mengecoh. Dikatakan:
menghasikan simbol yang memiliki makna. semmiotika menaruh perhatian pada
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu apapun yang dapat dinyatakan sebagai
yang lain diluar perwujudan bentuk simbolik tanda.
itu sendiri (Alex Sobur, 2003:156). Pada Ilmu yang mempelajari tentang tanda
dasarnya simbol merupakan bagian dari adalah ilmu semiotika atau semiologi.
5
bangsa Batak yang berkampung halaman mereka hanya bisa menikah dengan orang
(marbona pasogit) di daerah Toba. Sistem Batak yang berbeda marga dengannya. Maka
kekerabatan Batak Toba dikenal dengan dari itu, jika ada yang menikah harus mencari
Dalihan Na Tolu yang terdiri dari : pasangan hidup dari marga lain. Pada
1. Somba marhula-hula umumnya, masyarakat Batak memiliki mata
Hula-hula adalah pihak keluarga dari pencaharian bercocok tanam padi di sawah
isteri. Hula-hula atau parrajaon (pihak dan ladang. Lajan yang didapat dari
yang dirajakan) pada masyarakat Batak pembagian yang di dasarkan marga. Setiap
Toba adalah posisi yang paling dihormati keluarga mendapatkan tanah tetapi tidak
dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak boleh menjualnya. Selain pertanian,
(semua sub-suku Batak). peternakan juga salah satu mata pencaharian
2. Manat Mardongan Tubu suku Batak Toba. Tortor Parsiarabu hadir
Dongan Tubu/ Hahanggi disebut juga pada upacara Horja Bius di desa Tomok,
Dongan Sabutuha adalah saudara laki- Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.
laki satu marga, atau yang disebut dengan Upacara Horja Bius itu sendiri terdiri atas dua
lahir dari perut yang sama. Pada hal ini kata yaitu Horja dan Bius. Horja ialah
seorang saudara harus bijaksana terhadap kegiatan atau suatu aktivitas yang dilakukan
saudara nya yang lain. Sehingga kepada oleh masyarakat Batak Toba dalam mengurus
semua orang Batak dipesankan agar hal yang berkaitan dengan dunia yang
bijaksana terhadap semarga nya. meliputi adat istiadat, juga dalam menentukan
3. Elek Marboru aturan yang ada di daerah desa tersebut.
Boru/ Anak Boru adalah pihak keluarga Sedangkan Bius merupakan sebuah desa yang
yang mengambil isteri dari suatu marga menjadi tempat tinggal masyarakat yang
(keluarga lain). Posisi boru disini adalah memiliki marga- marga tertentu. Sehingga
posisi yang paling rendah dalam setiap Horja Bius adalah suatu kegiatan yang
upacara adat yaitu sebagai pelayan sering meliputi adat istiadat yang melibatkan para
disebut dengan parhobas. Bius daerah tersebut, dan daerah tersebut
Suku Batak memiliki sistem memiliki marag-marga yang berbeda yaitu
kepercayaan sendiri, terutama di daerah Siadari, Sitindaon, Sidabalok, Harianja,
pedesaan masih sangat mempertahankan Manik, Sijabat, Sidabutar, Sigiro dan semua
sistem religi atau kepercayaan tersebut. Bius ini bertempat di desa Tomok. Pada latar
Masyarakat Batak memiliki kepercayaan belakang penulis telah menjelaskan beberapa
bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan rangakian kegiatan yang ada pada Horja Bius,
oleh Debata Mula Jadi Na Bolon. Masyarakat salah satu kegiatan tortornya yaitu tortor
Batak Toba dalam persoalan perkawinan Parsiarabu.
8
Tortor Parsiarabu ini terdapat pada Tarian ini merupakan ungkapan keluh
sebagian rangkaian kegiatan pada upacara kesah, rasa sedih, ungkapan hati seorang istri
yang setiap tahunnya berlangsung di desa yang sudah ditinggal oleh suaminya, yang
Tomok, yaitu upacara Horja Bius. Tortor dilakukan dibalik properti kain atau ulos,
Parsiarabu adalah sebuah tarian yang dimana ulos disini dipakai sebagai Tujong
menggambarkan kesedihan seorang istri yang (kain di atas kepala) sebagai media untuk
ditinggal oleh suaminya. Masyarakat di desa menutupi air mata, rasa kesedihan agar tidak
Tomok telah mengenal tortor ini sejak masa dapat dilihat oleh orang lain. Tortor
kepemimpinan Sisingamangaraja yang Parsiarabu juga tidak dapat dibawakan oleh
pertama yaitu pada tahun 1845. Menurut sembarangan orang, hanya seorang wanita
penuturan bapak Mangiring Tua Sidabutar yang sudah janda dapat membawakan tarian
(wawancara bulan april 2018) selaku kepada ini.
desa Tomok, pada saat upacara berlangsung Dalam sebuah bentuk penyajian gerak
sang raja ingin memberikan sebuah ruang adalah unsur utama dalam tari. Gerak di
untuk para ibu mencurahkan isi hati, dalam tari juga dapat menyampaikan pesan,
menceritakan kesedihan mereka lewat tortor gerak tersebut bisa saja menjadi komunikasi
Parsiarabu dengan menggunakan ulos antara penari dan penonton. Sehingga pada
sebagai penutup. saat penari bergerak para penonton dapat
Wawancara dengan ibu Herlina mengetahui pesan apa yang terdapat dalam
Sitorus pada tanggal 9 Juni 2019 selaku tarian tersebut. Gerak dalam tari disini dapat
penerus dari tortor Parsiarabu, mengatakan menyampaikan pesan emosional yang
bahwa ini merupakan tortor yang sangat mengandung makna makna yang berbeda.
sedih, karena tortor ini merupakan tempat Seperti pada tortor Parsiarabu yang
atau wadah bagi para ibu janda yang sudah mengandung banyak makna didalam nya.
ditinggalkan oleh suaminya untuk Ragam gerak tortor Parsiarabu yaitu
mencurahkan isi hati. Pada zaman dahulu Siubeon, Marsomba, Mambukka Roha,
tidak sembarangan orang yang dapat Patoru Diri, Papunguhon, Mangandungi.
menarikan tortor Parsiarabu ini, karena Busana yang digunakan pada tortor
penarinya sudah jelas harus ibu yang sudah Parsiarabu ini adalah Ulos Sibolang, Ulos
janda dan sudah lanjut usia. Pada tortor Bittang Maratur, Ulos Suri-suri Ganjang.
Parsiarabu tidak ada ketentuan berapa orang Ulos sibolang digunakan sebagai pakaian,
yang membawakan tarian ini, karena dahulu akan tetapi karena terlalu pendek sehingga
tarian ini dipersembahkan di halaman rumah Ulos Sibolang digunakan juga sebagai kain
raja Sisingamagaraja. penutup bawah, sehingga kain Ulos Sibolang
yang digunakan ada dua. Ulos ini sering
9
dipakai keluarga yang sedang mengalami 1. Tortor Parsiarabu memiliki enam ragam
kemalangan, sering disebut dengan ulos motif utama Siubeon, Marsomba,
Tujung. Mambukka Roha, Patoru Diri,
Tortor Parsiarabu akan dikaji lebih Papunguhon, Mangandungi.
dalam maknanya melalui teori yang 2. Tanda yang terdapat dalam Tortor
diungkapkan oleh Ferdinan De Saurrsure Parsiarabu ada enam motif gerak utama,
yang meliputi tiga unsur, yaitu tanda (sign), yaitu tanda pertama dilakukan posisi
penanda (signifer), dan petanda (signefied), badan tegak, pandangan ke arah bawah,
dimana tanda adalah suatu kesatuan dari suatu tangan diletakkan di perut dengan posisi
bentuk petanda dengan sebuah ide atau tangan kanan menindih tangan kiri, tumit
petanda yang akan menghasilkan makna. bersentuhan kemudian ibu jari kaki dalam
Setiap rangkaian ragam gerak yang ada pada keadaan terbuka. Tanda yang kedua
tortor Parsiarabu tidak terlepas dari gerakan dilakukan dengan posisi badan
dasar tortor. Karena pada setiap tortor di tegak,pandangan ke arah lantai, telapak
masyarakat Batak Toba akan memiliki tangan perlahan dipersatukan sampai
beberapa ragam gerakan dasar ini. sejajar dada dengan posisi menyembah.
Gerakan dasar tortor yaitu : Siubeon, Tanda ketiga dilakukan dengan posisi
Mambukka Roha, Mandenggal, Mangeol. badan tegak lurus dengan pandangan
Gerakan tersebut adalah awal pembuka tortor kearah tangan, tangan membuka sampai
lalu lanjut ke ragam gerak lainnya atau bahu dengan posisi telapak tangan
gerakan inti dari tortor tersebut. Pada menghadap keatas. Tanda keempat
rangkaian ragam gerak dari tortor Parsiarabu dilakukan dengan posisi badan tegak lurus,
ini ada beberapa gerakan yaitu Siubeon, pandangan ke arah bawah lalu tangan
Marsomba, Mambukka Roha, Patoru Diri, perlahan turun sampai sejajar dengan
Papunguhon, Mangandungi pinggang. Tanda kelima dilakukan dengan
posisi badan tegak lurus, pandangan ke
III. Penutup arah tangan, tangan kanan proses mengalir
Dari keseluruhan yang telah diteliti ke arah tangan kiri dengan posisi telapak
dilapangan yakni berupa video dan tangan ke arah samping kiri, gerakan
dokumentasi serta wawancara dengan diulangi dengan menggunakan tangan kiri.
beberapa narasumber dan berdasarkan dengan Tanda keenam dilakukan dengan posisi
urian-uraian yang sudah dijelaskan mulai dari badan membungkuk sedikit mengikuti
latar belakang sampai dengan pembahasan, arah tangan naik ke atas kepala dan lengan
maka penulis dapat memperoleh beberapa menyentuh kepala sedikit dan menutupi
kesimpulan sebagai berikut :
10
kepala dengan ulos, lalu dengan posisi Busana yang digunakan pada tortor
kaki sedikit menghenjut. Parsiarabu ini adalah Ulos Sibolang, Ulos
Penanda yang terdapat dalam Tortor Bittang Maratur, Ulos Suri-suri Ganjang.
Parsiarabu ada enam motif gerak utama, Ulos Sibolang ini bersimbolkan dukacita,
yaitu Siubeon (sikap awal), Somba kesedihan, kehancuran, kemalangan.
(menyembah), Mambukka Roha (membuka Masyarakat Batak jika sedang berduka akan
tangan), Patoru Diri (turun tangan), menggunakan kain ini sebagai simbol
Papunguhon (mengumpulkan berkat), kesedihan, mengatakan bahwa jika sudah
Mangandungi (menangis). menggunakan kain ini keluarga tersebut
Petanda yang terdapat dalam Tortor sedang mengalami dukacita. Masyarakat
Parsiarabu yang merupakan makna atau isi Batak jika ingin melayat atau pergi kerumah
dari Tortor Parsiarabu, yaitu menhormati ibu duka harus lah menggunakan baju, celana,
yang telah mengandung dan membesarkan dan selendang yang bernunansa gelap ataupun
kita, sebelum melakukan pekerjaan berwarna hitam, karena jika kita
seharusnya marrimangi yang berarti menggunakan kain warna yang lain dari hitam
memikirkan, menimbang, dan setiap maka akan dianggap bahagia atas kemalangan
perempuan harus memiliki kesopanan dan yang terjadi. Ulos Bittang Maratur ini
bersikap sopan santun terhadap semua orang. menggambarkan sukacita, kebahagiaan,
Masyarakat Batak menghormat kepada pengharapan, hidup baru. Digunakan pada
Tuhan, menghormati yang berkedudukan tarian ini sebagai selendang yang
tinggi atau pemerintah, menghormati sesama menandakan bahwa sudah pernah menikah.
manusia. Setiap ibu harus tetap ikhlas dalam Ulos Suri-suri Ganjang ini di pakaikan diatas
menerima cobaan kehidupan dan harus kepala agar dapat menutupi kesedihan yang
memikul beban yang berat. Sebagai seorang sangat mendalam yang dialami seorang ibu
janda harus berperilaku rendah hati dan tidak yang ditinggal oleh suaminya. Ulos ini
sombong, agar tidak dipandang rendah dikatakan ulos berkat, digunakan ulos berkat
sebagai seorang janda. Seorang ibu harus pada tarian ini karena di dalam kesedihan
mandiri untuk melakukan pekerjaan untuk akan ada berkat dan kebahagiaan dibalik
menghidupi anak-anaknya. Sebagai manusia setiap cobaan yang datang.
yang bernasyarakat juga harus menyatukan Saran
hati sesama masyarakat agar tidak ada iri hati
dan dendam. Sebagai seorang ibu tidak boleh Penulis mengajukan beberapa saran-saran
memperlihatkan kesedihan yang dirasakan yang sesuai dengan penelitian ini kepada
kepada orang lain, biarlah menjadi kesedihan beberapa pihak yakni :
sendiri.
11