Sei sulla pagina 1di 8

Kapata Arkeologi, 12(2), 191-198

ISSN (cetak): 1858-4101


ISSN (elektronik): 2503-0876
http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id

NILAI-NILAI SOSIAL DAN RELIGI DALAM TRADISI


MEGALITIK DI SULAWESI SELATAN
Social and Religi Values in Megalithic Tradition in South Sulawesi

Hasanuddin
Balai Arkeologi Sulawesi Selatan - Indonesia
Jl. Pajjaiyyang No. 13 Sudiang, Makassar
udin.balar@gmail.com

Naskah diterima: 16/09/2016; direvisi: 21/11 - 15/12/2016; disetujui: 15/12/2016


Publikasi ejurnal: 30/12/2016

Abstract
South Sulawesi is a region which has a several culture and megalith tradition that spread
in various locations. Of those various forms and kinds of that megalith monument, there are
important values that can be reinvented for the society. The purpose is to determine the
social dan religious value of megalithic culture in South Sulawesi. In order to recognize
those values, a research with an ethnoarchaeological approach has been done through
direct observations and surveys in the society which still have megalith tradition, and
focused to identify its values and functions in society. This research found that this tradition
was developed since the 2nd AD until the 10th to 13th AD. During that period, the settlement
system was composed of small communities that occupying highland and lowland. That
small community was called wanua which spread across South Sulawesi peninsula. At the
present time, that megalith tradition is still found in Torajan community, and in several
ritual practices among communities in Enrekang and Soppeng regency, South Sulawesi.
Generally, that megalith tradition is endorsing several values such like cooperation and
spiritual.

Keywords: tradition, ritual, settlements

Abstrak
Sulawesi Selatan merupakan suatu daerah yang memiliki beberapa bentuk budaya dan
tradisi megalitik (kebudayaan batu besar) yang tersebar di berbagai wilayah. Dari berbagai
bentuk dan jenis megalitik itu tentunya memiliki nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam
masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengetahui nilai sosial dan religi dari kebudayaan
megalitik di Sulawesi selatan. Dalam pencapaiannya digunakan pendekatan etnoarkeologi
dengan cara melakukan survei di beberapa daerah di Sulawesi Selatan yang memiliki
peninggalan megalitik. Selanjutnya dilakukan wawancara dan pengamatan langsung di
masyarakat yang masih menggunakan kebudayaan megalitik untuk mengetahui fungsi
dalam masyarakat. Penelitian selama ini menunjukkan bahwa kebudayaan ini berawal
sekitar abad ke-2 Masehi dan terus berlanjut pada abad ke-10 hingga abad ke-13 Masehi.
Sistem permukiman pada masa itu merupakan kelompok-kelompok komunitas yang
menempati wilayah ketinggian dan dataran rendah. Pada awal terbentuknya populasi
disebabkan adanya berbagai daerah otonom kecil yang disebut wanuwa yang terdapat di
beberapa daerah di seluruh semenanjung Sulawesi Selatan. Budaya ini masih
berkesinambungan hingga sekarang pada masyarakat Toraja, atau dalam praktek ritual
seperti di Enrekang dan Soppeng, Sulawesi Selatan. Pada umumnya kebudayaan megalitik
mengandung nilai-nilai kerjasama dan gotong royong serta religi yang menonjol.

Kata kunci: tradisi, ritual, permukiman

PENDAHULUAN mempunyai makna dan nilai, karena pernah


Kebudayaan materi (material culture) “hidup” di tengah masyarakat. Didalamnya
yang sering disebut dengan artefak merupakan tergambar berbagai sistem seperti sistem sosial
suatu produk manusia masa lampau yang dan religi yang harus diungkapkan. Dengan

191
© Kapata Arkeologi – Balai Arkeologi Maluku. Bebas akses di bawah lisensi CC BY-NC-SA.
Nomor Akreditasi: (LIPI) 678/Akred/P2MI-LIPI/07/2015.
kajian yang mendalam terhadap kebudayaan Kebudayaan dan tradisi megalitik
materi, maka nilai-nilai yang melekat harus tersebar secara merata di Sulawesi Selatan.
diungkapkan. Salah satu nilai yang melekat Berbagai jenis dan bentuk peninggalannya
adalah nilai-nilai sosial yang melatarbelakangi mencerminkan perkembangan inovasi dan
terwujudnya kebudayaan tersebut. rekayasa teknologi. Pada masa protosejarah
Dalam pengkerangkaan prasejarah atau masa berkembangnya tradisi megalitik,
Indonesia (Soejono, 1984; Truman et al, 2012) wilayah Sulawesi Selatan juga memiliki
telah membagi berbagai bentuk kebudayaan sejumlah situs yang merupakan mata rantai dari
materi kedalam fase-fase kehidupan manusia. budaya sebelumnya. Bahkan budaya ini masih
Dalam hal tersebut, kebudayaan megalitik berkesinambungan hingga sekarang pada
dipandang lahir sebagai suatu akumulasi cara masyarakat Toraja. Kebudayaan megalitik oleh
berfikir manusia untuk mewujudkan berbagai kalangan ahli diposisikan sebagai hasil budaya
kepentingannya, seperti religi dan sosial. Sistem yang diperkenalkan oleh kelompok migran
sosial dalam kebudayaan atau tradisi megalitik penutur bahasa Austronesia yang masuk
dapat dilihat pada fungsi dan tata cara dalam pertama kali ke Sulawesi Selatan pada kisaran
melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan waktu 4000 BP (Simanjuntak, 2008). Hasil
kebudayaan tersebut. Dalam hal ini sistem yang pertanggalan radiokarbon tentang kebudayaan
dimaksudkan adalah kesatuan dari struktur yang megalitik yang telah dilakukan oleh beberapa
mempunyai fungsi berbeda, namun satu sama ahli selama ini menunjukkan umur yang paling
lain saling memiliki ketergantungan dan bekerja tua diperoleh di Lembah Besoa (Sulawesi
ke arah tujuan yang sama. Masyarakat yang Tengah) yaitu 2,460±120 BP (cal. 831 SM –
mememiliki suatu sistem yang kompleks 232 SM) (Yuniawati, 2010: 189) sedangkan di
apabila bagian-bagian didalam masyarakat situs megalitik Tatelu (Sulawesi Tengah)
saling berkaitan dan bekerja bersama-sama terdapat tempat penguburan dengan
guna menjaga stabilitas. pertanggalan 850±80 BP dan 2,070±140 BP
Kebudayaan materi itu merupakan (Yuniawati, 2006). Demikian pula penelitian
produk dari kegiatan sosial. Kajian kebudayaan tentang potensi budaya megalitik di Lembah
materi sebagai hasil produk manusia masa Rampi, Sulawesi Selatan oleh Yuniawati (2014)
lampau, berarti secara langsung menghidupkan telah menemukan permukiman megalitik
kembali aspek sosial dari manusia yang dengan masa okupasi sekitar abad ke-2 – 3
meninggalkan kebudayaan materi tersebut. Masehi.dengan jenis peninggalan seperti arca
Aspek sosial menyangkut interaksi menhir, lumpang dan dolmen. Salah satu kajian
antarmanusia mengenai pemberdayaan dan unsur kebudayaan megalitik dalam bentuk
kekuasaan,serta watak dari besaran organisasi keranda mayat (Toraja: erong) telah dilakukan
manusia. Aspek tersebut sangat sulit diamati oleh Akin Duli (2012) dengan pentarikhan
secara arkeologis, sehingga dibutuhkan kajian menunjukkan masa perkembangan yang
kebudayaan yang masih hidup dan memiliki bermula di Toraja yaitu 1130±50 BP (800 M),
hubungan bentuk dan fungsional. Oleh karena Enrekang antara 790±50 BP (1200 M) hingga
arkeologi bertumpu pada benda materi, maka 570±40 BP (1500 M), dan di Mamasa Sulawesi
ungkapan informasi yang harus diperoleh Barat antara 730±50 BP (Duli, 2012).
berkisar pada bentuk dan aspek teknologi, Apa yang telah diutarakan sebelumnya
ekonomi, kehidupan sosial, dan hubungan memberi gambaran mengenai berbagai sistem
dengan variabel lingkungan. Analisis yang yang pernah berlangsung, seperti sistem sosial
menyeluruh mengenai unsur-unsur yang termasuk kekuasaan (kepemimpinan) dan religi.
dimiliki suatu artefak merupakan upaya untuk Pertanyaannya adalah (a) bagaimana nilai-nilai
mengetahui berbagai aspek dibalik sosial yang terwujud dalam berbagai bentuk
keberadaannya, seperti proses penciptaannya, monumen megalitik di Sulawesi Selatan? dan
budaya yang menciptakan dan bagaimana (b) bagaimana sistem religi yang dianut
benda itu tercipta. Hasil kajian terhadap artefak masyarakat bercorak megalitik di Sulawesi
seperti itu kemudian dilakukan suatu Selatan? Sehubungan dengan itu, tulisan ini
rekonstruksi tentang bagaimana benda itu bertujuan mengkaji kontribusi nilai-nilai
beroperasi dalam sistem budaya yang kebudayaan pada pemahaman edukasi kultural
terorganisir (periksa Rouse, 1972: 95). kepada masyarakat. Selain itu juga untuk

192
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 191-198
mengetahui nilai sosial dan religi dari Situs megalitik yang memiliki batu temu
kebudayaan megalitik di Sulawesi selatan. gelang yang dijadikan simbol Pocci Butta atau
Possi Tana (pusat bumi atau pusat kampung)
METODE ditemukan pada tiga wilayah di Sulawesi
Untuk mencapai pemahaman yang Selatan merupakan susunan batu melingkar
maksimal dalam mengkaji tradisi megalitik yang di tengahnya diletakkan satu altar batu.
berkaitan dengan sistem sosial maupun religi, Kehadirannya merupakan implementasi sistem
digunakan alur pemikiran induktif dengan religi yang senantiasa sangat disakralkan oleh
mengamati bentuk maupun jenis kebudayaan masyarakat. Bahkan masyarakat meyakini
materi di wilayah Soppeng, Bulukumba, dan sebagai pusat kekuatan magis di daerah
Tana Toraja. Tahap pengolahan data dan tersebut. Lokasi tersebut digunakan untuk
analisis dilakukan terhadap seluruh potensi data upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan
arkeologis yang ditemukan. Selanjutnya pertanian, yaitu memohon kepada leluhur agar
dilakukan pengkajian dengan pendekatan hasil panen untuk satu musim tanam berjalan
etnoarkeologi untuk menjelaskan fungsi dari menghasilkan padi yang lebih bagus. Di tempat
masing-masing bentuk yang sesuai pokok ini pula sering dilakukan upacara dengan
kajian ini. Hasil kajian ini selanjutnya lebih memotong ayam, kambing, kerbau/sapi.
menekankan nilai-nilai yang dikandung dari
bentuk maupun jenisnya secara kontekstual.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Nilai Sosial dalam Struktur Batu Temu
Gelang
Berbagai bentuk dan jenis megalitik di
Sulawesi Selatan merupakan bentuk inovasi
yang menarik untuk diperhatikan dalam bidang
sosial. Sistem tersebut dapat ditemukan pola
yang ditunjukkan oleh penataan megalitik
Sulawesi Selatan. Pola penempatan susunan
batu melingkar yang disebut temu gelang (stone Gambar 1. Batu temu gelang (stone enclosure)
enclosure) seperti terlihat di Bantaeng, yang oleh masyarakat disebut pocci butta (pusat
Bulukumba, Selayar dan Soppeng bumi) berbentuk melingkar disusun dari batuan
mengingatkan pada konsep kepercayaan andesit ditemukan di Bantaeng
(Sumber: Hasanuddin, 2015)
masyarakat dalam menandai titik pusat dari
segalanya. Dengan demikian, tidak
mengherankan jika temu gelang senantiasa
dihubungkan dengan pusat kampung setiap
daerah (Bahasa Makassar: pocci butta). Pocci
Butta (Bugis: Possi Tana) adalah titik pusat
kekuatan sekaligus titik kelemahan suatu daerah
atau wanuwa.
Pembagian ruang-ruang dalam
permukiman masyarakat menjadi formula yang
berisi tentang suatu pengharapan kepada
terbinanya kehidupan yang aman dan sejahtera. Gambar 2. Batu temu gelang (stone enclosure)
yang disebut Possi Butta (pusat bumi) di Kajang,
Manusia selalu mencari dunia eksistensinya
Bulukumba yang kini digunakan sebagai tempat
melalui “dunia simbol” melalui suatu pelantikan ketua adat
perlambangan bentuk sebagai replika dari (Sumber: Hasanuddin,(2015)
wujud sesuatu. Namun demikian, terkadang
manusia tidak mampu menunjukkan Nilai Sosial dalam Bentuk Relasi Kuasa
eksistensinya secara abadi, sehingga hal itu Berbagi bentuk megalitik seperti temu
dibangunnya melalui dunia ritus (periksa gelang, menhir dan batu alam yang dijadikan
Pelras, 2006: 51).

193
Nilai-nilai Sosial dan Religi dalam Tradisi Megalitik di Sulawesi Selatan, Hasanuddin
sebagai sarana pemujaan masih dilakukan oleh kedatangan orang pertama (tomanurung)
sebagian masyarakat Bugis Makassar dan sebagai “calon raja” dan sekaligus awal
sebagian besar masyarakat Toraja hingga kini. terbentuknya kerajaan di daerah tersebut seperti
Upacara yang dilakukan oleh sebagian di Bantaeng, Soppeng, Sidenreng Rappang,
masyarakat Bugis Makassar erat kaitannya Sinjai dan Bulukumba). Pelantikan raja-raja
dengan upacara syukuran atas keberhasilannya Bugis dan Makassar pada umumnya dilakukan
dalam usaha pertanian. Menurut David di atas batu besar, sehingga para raja sering
Bulbeck, orang-orang Bugis Makassar memiliki diberi gelar “Sang Pemijak Batu” atau pattuppu
ciri-ciri ekspresi fenotip (phenotypically) yang batu (Pelras, 2006: 32).
disebarkan oleh populasi manusia di Asia Bentuk peninggalan budaya megalitik
Tenggara kepulauan. Pada dasarnya ciri-ciri yang besar dan bervariasi serta jumlah yang
antropomorfik yang ditunjukkan memiliki ciri banyak, menunjukkan suatu corak masyarakat
populasi manusia di Kepulauan Indonesia – yang sudah teratur dengan sifat gotong royong
Malaysia. Glinka (1981:105 yang dikutip oleh yang tinggi. Hal demikian terlihat dari bentuk-
Bulbeck) menyebutkan bahwa orang-orang bentuk megalitik yang didirikan, mempunyai
Bugis Makassar memiliki ciri fisik yang sama ukuran besar yang tidak mungkin dilakukan
dengan populasi penduduk pribumi Taiwan, oleh satu orang. Pelaksanaannya membutuhkan
Philipina, Malaysia bagian Barat, dan pesisir keterlibatan orang dalam jumlah yang banyak
Borneo (Bulbeck, 2004: 224). hingga ratusan orang. Dengan demikian, sistem
Salah satu penyebab terjadinya gotong royong yang terkait dengan kebudayaan
penyebaran populasi penduduk adalah megalitik di Sulawesi Selatan diperoleh dari
perubahan konstelasi politik. Pada awal studi etnografi terutama pendirian tugu batu
terbentuknya populasi disebabkan adanya (dalam arkeologi disebut menhir dan dalam
berbagai daerah otonom kecil yang disebut bahasa Toraja disebut simbuang).
wanuwa yang terdapat di beberapa daerah di Pendirian simbuang di Toraja merupakan
seluruh semenanjung Sulawesi Selatan. legitimasi sosial dan sekaligus memiliki pesan
Memang pada awalnya wanuwa-wanuwa hanya moral. Simbuang sebagai simbol status dan
dipimpin oleh para matoa (para tetua) namun kehadirannya disebabkan oleh sifat
dengan hadirnya Tomanurung, peran para kebersamaan dan gotong royong masyarakat.
matoa kemudian digantikan oleh raja yang Pelaksanaannya digerakkan oleh relasi kuasa,
berarti pula membawahi beberapa matoa. dimana seorang pemimpin atau orang yang
Dalam menjalankan pemerintahannya, seorang memiliki kemampuan ekonomi dapat
raja atau pemimpin memiliki kewenangan dan melaksanakan hal itu karena melibatkan orang
sistem pemerintahan yang diterapkan bersifat dalam jumlah yang banyak. Keberadaan
mutlak. Tidak disebutkan adanya sistem simbuang (menhir) di Toraja erat kaitannya
perwakilan rakyat, namun fungsi itu dijalankan dengan upacara kematian. Kegiatan yang lebih
oleh para Matoa karena para Matoa merupakan awal dilakukan dalam rangkaian upacara
perwakilan dari seluruh rakyat. (Pelras, 2006: kematian yaitu pengadaan batu-batu menhir
125-126). untuk ditancapkan di tempat upacara (rante).
Berdasarkan sumber lontara, disebutkan Teknik sederhana untuk pengangkutan
bahwa beberapa daerah seperti Tinco dan Sewo simbuang, yaitu menggunakan beberapa batang
(Soppeng), dan Onto dan Gantarang Keke pohon enau sebagai landasan dan diletakkan
(Bantaeng) merupakan pusat pemerintahan secara bergantian. Selanjutnya ditarik dengan
kerajaan masa pra-Islam. Keterangan tersebut menggunakan akar kayu oleh puluhan hingga
memastikan bahwa dahulu sebuah permukiman ratusan orang dan dikoordinir oleh ketua adat.
yang telah memiliki pemimpin, pemerintahan, Apabila melalui daerah ketinggian, maka pohon
rakyat, dan wilayah kekuasaan. Apa yang kayu yang dijadikan landasan dipasang dengan
dikemukakan dalam isi lontara tersebut, juga posisi melintang. Namun jika melewati daerah
dibuktikan dengan budaya materi berupa lembah maka landasannya dipasang membujur.
temuan-temuan budaya materi (peninggalan Sebelum bahan menhir diangkut terlebih dahulu
arkeologi). Di beberapa daerah di Sulawesi dilakukan upacara dengan mengurbankan satu
Selatan, terdapat bongkahan batu besar yang ekor babi (Hasanuddin, 2003: 56).
sering dihubungkan dengan simbol atau mitos

194
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 191-198
Di bawah simbuang yang didirikan di diuraikan di atas, menunjukkan bahwa kegiatan
setiap rante (lokasi upacara kematian) di Toraja tersebut dilaksanakan secara terorganisir yang
diletakkan pula manik-manik kuning dan membutuhkan biaya dan tenaga cukup banyak.
sepotong besi dengan harapan agar para Pendirian simbuang di Toraja merupakan
keturunanannya tetap mengenang leluhurnya. simbol status sosial dan legitimasi kekuasaan
Warna keemasan dari manik-manik bagi anak dan cucu yang ditinggalkannya,
menyimbolkan kebangsawanan dan besi adalah sebagai media untuk mempererat tali
kekuatan dari orang yang meninggal. Demikian persaudaraan, media komunikasi antara
pula halnya dengan sesajian babi pada saat batu pemimpin dengan rakyatnya, dan sebagai
ditarik, mencerminkan kepercayaan bahwa simbol kerjasama dalam bentuk gotong-royong
fungsi dan tujuan seorang bangsawan dapat (Duli, 2012: 415-418).
terpenuhi yaitu untuk keselamatan dan
pengukuhan status sosial (Buijs, 2009: 136-
137). Demikian pula halnya dengan pembuatan
liang pa’ (lubang yang dipahat di batu untuk
tempat penguburan di Toraja) menunjukkan
adanya kekuasaan dalam pelaksanaannya.
Kemampuan ekonomi dan pengaruh dalam
masyarakat karena harus memberi upah kepada
pekerja. Sebelum memulai memahat, terlebih
dahulu diupacarakan dengan kurban hewan babi
10 ekor dan terkadang juga dengan ayam.

Gambar 3. Dua bentuk simbuang (menhir) yang


terdapat di Toraja bagian Utara Gambar 4. Upacara penarikan batu (menhir) di
(Sumber: Hasanuddin, 2015) Toraja (Sulawesi Selatan) dan di Sumba Barat
(Sumber: Handini, 2008:445)
Perbedaan ukuran simbuang di Toraja,
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama, Pemindahan bahan dengan menggunakan
faktor kemampuan ekonomi, untuk membuat landasan kayu seperti tersebut di atas juga
simbuang dengan ukuran besar sangat merupakan teknik yang digunakan di daerah
dibutuhkan banyak pengorbanan secara lain Indonesia seperti Nias (Hasanuddin, 2000)
ekonomi; kedua, faktor pengaruh dalam dan Sumba Barat (Handini, 2008). Di Sumba
masyarakat, semakin kuat pengaruhnya maka Barat, sebuah kubur batu dengan berat 12 ton
semakin banyak orang yang menyumbangkan ditarik oleh seribu orang dalam waktu tujuh
tenaga dan materi untuk mendirikan simbuang jam, dengan jarak tempuh ± 2,2 kilometer. Di
yang lebih besar; ketiga, faktor waktu, Nias, Pelaksanaan pemindahan batu menhir
pendirian simbuang tidak boleh dilepaskan dilaksanakan dalam rangkaian upacara
penggunaan waktu dan orang-orang yang kematian kepala suku. Batu ditarik dengan
terlibat di dalam pelaksanaan itu harus dijamin melibatkan 525 orang untuk mengangkut batu
makan dan keluarganya. besar yang beratnya berkisar 8 – 10 ton dari
Penjelasan mengenai upacara tarik batu tempat pengambilannya ke desa tujuan dan
(stone-dragging) di Toraja seperti telah berlangsung selama tiga hari hingga seminggu.

195
Nilai-nilai Sosial dan Religi dalam Tradisi Megalitik di Sulawesi Selatan, Hasanuddin
Di luar Indonesia teknik sederhana seperti itu arkeologi yang paling menonjol pada awal
juga pernah dipraktekkan di Bougon, Prancis Masehi dan menembus waktu hingga zaman
Barat tahun 1979. Dalam prakteknya digunakan sejarah. Pada masa itu, manusia sudah
tiga potongan kayu besar, masing-masing mencapai kemajuan yang signifikan tentang
digerakkan oleh tenaga sebanyak 20 orang dan penguasaan teknologi, struktur sosial, dan
mampu memindahkan batu seberat 32 ton upacara religi. Penggunaan teknologi dalam
(Renfrew dan Bahn, 1991: 275). menciptakan kebudayaan megalitik
Pendirian monumen megalit seperti di memberikan pemahaman mengenai berbagai
atas juga dipraktekkan oleh masyarakat di aspek kehidupan masa lampau, termasuk
Dataran Tinggi Kelabit, Sarawak Malaysia. mental template (konsep yang ada dalam fikiran
Dalam pelaksanaannya membutuhkan tenaga si pembuat benda) dan pengetahuan dasar
kerja manusia yang terorganisir dan saling tentang batuan yang dapat dijadikan bahan
bekerjasama. Megalit didirikan oleh orang- untuk tujuan religi dan sosial. Manusia telah
orang, baik dari dalam kampung itu sendiri atau menciptakan bentuk budaya yang digunakan
dari kampung terdekat di sekitar Kelabit. Dalam untuk tujuan tersebut dengan menerapkan
acara tersebut turut dilaksanakan Irau (pesta) unsur-unsur yang indah seperti meletakkan
dan peserta dari irau diharapkan dapat hiasan pada monumen. Demikian juga dengan
membantu pendirian megalit tersebut. upacara-upacara yang berkaitan dengan
Masyarakat yang bermukim di Kelabit pada pendirian megalit yang senantiasa
zaman dahulu menganut sistem kelas secara membutuhkan kerjasama dan gotong royong
hierarki (Rousseau, 1990), dan hanya dengan jumlah orang yang banyak. Dalam
bangsawan terkaya yang mampu melakukan pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan
irau karena mampu membayar tenaga orang pendirian megalit terdapat kesamaan dengan
yang membantu pendirian batu megalit. upacara Aluk Todolo di Toraja dan upacara
Bangsawan Kelabit memamerkan kekayaan owasa di Nias (Indonesia), upacara irau di
mereka sepanjang irau (pesta) tersebut, di mana Sarawak (Malaysia) dan di Lawa (Thailand).
mereka melakukan irau untuk mempertahankan Demikian pula dengan praktek penanaman padi
status sosialnya (Harrisson, 1958: 697). Puncak sawah merupakan sebagian dari kompleks
dari upacara irau adalah pesta makan besar – megalitik, sama dengan yang terdapat di daerah
kemungkinan dalam jumlah 500 orang yang Sumatera dan Sulawesi, di mana kebudayaan
berlangsung selama 4-5 hari. Semua peserta megalitik berpusat di dataran tinggi seperti di
dalam irau berbaris dalam satu baris serta Indonesia (Pasemah, Toba, Kerinci, Poso,
memindahkan batu-batu dari seorang ke yang Kalimantan, dan di Sulawesi Selatan), Malaysia
lain dari sungai ke lokasi pendiriannya (Sabah – Sarawak), dan Laos di Provinsi Tak
(Hitchner, 2009: 14-15) (Hasanuddin, 2015).
Pendirian simbuang (menhir) di Toraja
Sistem Religi jika dihubungkan dengan antropologi budaya,
Secara umum kebudayaan megalitik di mencerminkan kehidupan yang bersifat
Asia Tenggara menunjukkan bahwa kawasan potlatch, yaitu suatu kebiasaan yang memberi
ini mempunyai berbagai bentuk dan jenis yang sebanyak mungkin. Kenyataan menunjukkan
digunakan untuk pemujaan, lambang bahwa memberi lebih utama daripada menerima
kekuasaan, dan pertanian yang berkembang. Di yang juga diartikan bahwa pihak pemberi lebih
Asia Tenggara, situs-situs megalitik berfungsi tinggi kedudukannya daripada penerima
sebagai simbol kekuasaan, simbol para (Mauss, 1992: 3 – 6). Sebuah gambaran akan
pemimpin, serta untuk penguburan. Pada masa hal yang hampir sama yaitu tentang orang-
perkembangan megalit di Asia Tenggara, orang Tlingit dan Haida yang tinggal di pulau-
praktek ritual masih dilakukan dan juga pulau dan pegunungan di Amerika Barat Laut
berkaitan dengan aktivitas pertanian seperti di yang biasanya mengadakan pesta makan secara
Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina besar-besaran. Kelompok suku bangsa yang
(Hasanuddin, 2015). berdiam di daerah tersebut menempatkan
Dalam konteks Asia Tenggara yang dirinya masing-masing secara hirarki. Kegiatan
terdiri daripada daratan dan kepulauan, itu terwujud dalam pelaksanaan upacara
kebudayaan megalitik merupakan tinggalan pernikahan, inisiasi, upacara kultus dewa,

196
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 191-198
totem, dan nenek moyang (Mauss, 1992: 5). Kemudian dengan semakin kurangnya ancaman
Demikian juga dengan masyarakat Toraja yang bahaya dan semakin berkembangnya jumlah
melaksanakan upacara kematian secara besar- anggota komunitas, disamping tersedianya
besaran bermuara pada pengukuhan status dan lahan yang lebih datar baik untuk cocok tanam
legitimasi sosial. Menurut kepercayaan maupun untuk tempat tinggal, di undak-undak
masyarakat yaitu membiayai pesta secara besar- (teras-teras) bekas endapan sungai, maka
besaran turut meningkatkan martabat dan permukiman menyebar ke bagian kaki bukit
menjamin keselamatan lelehur yang dan akhirnya sampai ke undak-undak sungai
diupacarakan. Meskipun dalam upacara dan dataran yang memiliki kemudahan
kematian tampaknya mengandung sifat glamor aksesibilitas. Komunitas itu mulanya memiliki
(karena ada pengurbanan hewan dalam jumlah pengetahuan teknologi sangat minim dan
yang banyak), namun pengurbanan itu lebih sederhana, lalu berkembang menjadi
dipandang sebagai persembahan dalam suasana komunittas yang berpengetahuan teknologi
upacara keagamaan dan bukan dalam nuansa yang lebih maju untuk ukuran saat itu, baik
pesta (Hasanuddin, 2003). Pemberian dalam bercocok tanam ataupun mata
persembahan menyiratkan arti yang sangat pencaharian lain, maupun dalam membuat
mendasar, yaitu sebagai lambang untuk perlengkapan kehidupan mereka.
mengukuhkan hubungan antara si pemberi dan Kebudayaan megalitik yang
si penerima (Koentjaraningrat, 1985: 42). menghasilkan berbagai bentuk budaya materi
Persembahan itu harus dihayati sebagai yang pada umumnya terbuat dari batu, memberi
kontribusi sosial dalam rumpun keluarga dan pengetahuan yang tinggi kepada kita mengenai
adat. berbagai bentuk aktivitas masa lalu. Sejumlah
budaya materi yang tercipta menyiratkan
KESIMPULAN aktivitas yang senantiasa mengutamakan
Sulawesi Selatan merupakan suatu sumber daya alam yang tersedia. Temuan-
daerah yang memiliki beberapa bentuk budaya temuan megalitik Sulawesi Selatan menunjukan
megalitik dan tersebar di berbagai wilayah. gambaran adanya kemajuan teknologi dalam
Baik bentuk maupun korelasinya dengan mengeksploitasi sumberdaya alam yang cukup
sumber daya alam serta berbagai nilai-nilai banyak tersedia di sekitar mereka. Konsep
leluhur adalah data yang sangat mendasar untuk pemikiran manusia dilandasi oleh pencapaian
mengetahui berbagai bentuk aktivitas manusia tujuan (baik religi maupun sosial) yang mereka
masa lampau. Kebudayaan megalitik dengan ciptakan sendiri untuk memenuhi
berbagai corak dan nilai-niali yang terkandung kebutuhannya. Keberadaan sejumlah hasil
di dalamnya merupakan gambaran betapa budaya megalitik tercipta oleh adanya
kayanya peninggalan arkeologis di Sulawesi kehidupan yang terorganisir, dimana ada
Selatan yang dapat dijadikan dasar dari bentuk- pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya.
bentuk awal peradaban manusia sekitar awal Mereka digerakkan oleh faktor kekuasaan
Masehi. Kehadiran kebudayaan megalitik (legitimasi sosial dan ekonomi) yang
memberi corak kehidupan tersendiri yang menciptakan hasil budaya dalam menunjang
mengetengahkan nilai atau falsafah masyarakat kebutuhannya. Ketika itu juga terbentuk sebuah
masa lampau yang diaktualisasikan melalui komunitas yang kompleks dan berkembangnya
penataan budaya megalitik, yang terdiri atas sistem sosial yang kompleks.
pemikiran penentuan pusat wilayah suatu Dalam masyarakat yang kompleks,
daerah, adanya relasi kuasa dalam pendirian simbol kelas-kelas sosial menjadi hal yang
monumen megalitik, dan corak masyarakat sangat penting dalam kebudayaan mereka
agraris. seperti monumen-monumen megalitik.
Situs-situs megalitik Sulawesi Selatan Penduduk tersebut membentuk suatu komunitas
pernah menjadi tempat permukiman suatu adat dan mendirikan kampung-kampung yang
komunitas yang memiliki kemampuan dipimpin oleh para ketua adat. Kumpulan-
mengadaptasi lingkungannya. Komunitas ini kumpulan adat tersebut semakin lama semakin
pada awalnya mendiami puncak dan lereng berkembang ke arah yang lebih kompleks dari
bukit, demi menjaga keamanan dari ancaman segi sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
bahaya binatang buas atau bahaya banjir. Perkembangan komunitas tersebut pada

197
Nilai-nilai Sosial dan Religi dalam Tradisi Megalitik di Sulawesi Selatan, Hasanuddin
kemudian hari, yaitu abad ke-13-14 membentuk Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis.
persekutuan dan menjadi kerajaan pertama yang Terjemahan buku The Bugis oleh Abdul
muncul di Sulawesi Selatan. Rahman Abu, Hasriadi, Nurhady Sirimorok.
Jakarta: Nalar.
Renfrew, Colin and Bahn, Paul. (1991).
Archaeology: Theories, Method, and Practise.
***** London: Thames and Hudson.
Rouse, Irvin. (1972). Settlement Patterns in
Archaeology. Man, Settlement and Urbanism.
DAFTAR PUSTAKA Dalam P. J. Ucko, Ruth Tringham and G. W.
Buijs, Kees. (2009). Kuasa Berkat Dari Belantara Dimbledy (Eds.). 95–107. England:
dan Langit, Struktur dan Transformasi Agama Duckworth.
Orang Toraja di Mamasa Sulawesi Barat. Rousseau, J. (1990). Central Borneo: Ethnic Identity
Makassar: Ininnawa. and Social Life in A Stratified Society. Oxford:
Bulbeck, D. (2004a). Indigenous Traditions and Clarendon Press.
Exogenous Influences in the Early History of Simanjuntak, Harry Truman (Ed.). (2008).
Peninsular Malaysia, Dalam Southeast Asia Austronesian in Sulawesi. Jakarta: Center for
from Prehistory to History, edited by Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS).
Bellwood, P. and Glover, I. (eds.) London: Soejono, R.P. (ed.). (1984). Sejarah Nasional
Routledge Curzon. Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.
Duli, Akin. (2012). Budaya Keranda Erong di Tana Yuniawati, Dwi Yani. (2006). Kubur Batu Waruga
Toraja, Sulawesi, Indonesia. Tesis PhD. (tidak di Sub Etnis Tou’mbulu, Sulawesi Utara.
diterbitkan). Universiti Sains Malaysia, Pulau Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pinang. Arkeologi Nasional: 24.
Handini, Retno. (2008). Upacara Tarik Batu di Tana Yuniawati, Dwi Yani. (2010). Temuan Tradisi
Toraja dan Sumba Barat: Refleksi Status Sosial Budaya Austronesia Akhir Protosejarah
dalam Tradisi Megalitik. Dalam Kumpulan (Megalitik) di Lembah Besoa, Sulawesi
Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI di Tengah. Bulletin Naditira Widya 4(2), 175-
Solo, 437-445. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi 191.
Indonesia. Yuniawati, Dwi Yani. (2014). “Laporan Penelitian
Harrisson, Tom. (1958). A Living Megalithic in Arkeologi, Potensi Peradaban Megalitik di
Upland Borneo, The Sarawak Museum Journal Lembah Rampi, Kabupaten Luwu Utara,
Vol.VIII No. 12 (New Series), No. 27 (Old Provinsi Sulawesi Selatan” (belum terbit).
Series), 694-702.
Hasanuddin. (2000). Peninggalan Megalitik di Situs-
situs Nias Selatan: Kajian Bentuk dan Fungsi.
Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hasanuddin. (2003). Pola Permukiman Masyarakat
Toraja. Dalam buku Toraja Dulu dan Kini
(Editor: Akin Duli dan Hasanuddin). Makassar:
Refleksi Pustaka.
Hasanuddin. (2015). Kebudayaan Megalitik di
Sulawesi Selatan dan Hubungannya dengan
Asia Tenggara. Thesis Ph.D. Pulau Penang:
Universiti Sains Malaysia.
Hitchner, Sarah. (2009). The Living Kelabit
Landscape: Cultural Sites and Landscape
Modifications in The Kelabit Highlands of
Sarawak, Malaysia, The Sarawak Museum
Journal 46(87): 1-76.
Koentjaraningrat. (1985). Ritus Peralihan di
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mauss, Marcel. (1992). The Gift, Form and
Functions of Exchange in Archaic Societies.
Terjemahan oleh Parsudi Suparlan: Pemberian,
Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat
Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

198
Kapata Arkeologi Volume 12 Nomor 2, November 2016: 191-198

Potrebbero piacerti anche