Sei sulla pagina 1di 9

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/314597554

KOMUNIKASI ANTARETNIK DALAM MASYARAKAT TUTUR DIGLOSIK: Kajian


Etnografi Komunikasi Etnik Using

Article · September 2006

CITATIONS READS

4 1,421

1 author:

Imam Suyitno
State University of Malang
55 PUBLICATIONS   54 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

argopuro View project

All content following this page was uploaded by Imam Suyitno on 11 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HUMANIORA
Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

VOLUME 18 No. 3 Oktober 2006 Halaman 263 − 270

KOMUNIKASI ANTARETNIK DALAM MASYARAKAT


TUTUR DIGLOSIK:
Kajian Etnografi Komunikasi Etnik Using
Imam Suyitno*

ABSTRACT
People need communication in their daily activities. The term cross cultural communication is used
to refer to communication conducted by people of different culture. This type of communication normally
occurs in a diglosic community where two or more ethnic groups live together. In conducting
communication, each of the ethnic group will apply and share their language and socio-cultural norms
accepted by each other. All participants of communication are tied by rules that live in the speech
community. Although they attempt to obey the norms, culturally the characteristic of each ethnic is still
observed at the verbal attitude of their speech. In this case, we can observe the characteristic of speech
act usage when speaking to other etnics, especially to Javanese and Madurese. Some factors which
influence the etnic groups to choose the verbal attitude are a social distance, power, social variable, and
cultural values.

Key words
words: communication between etnics, speech community, diglosic, speech act

PENGANTAR Komunikasi ini kebanyakan bersifat lisan


Bahasa adalah bagian integral dari budaya sehingga ide yang disampaikan lebih langsung
suatu kelompok. Karena itu, unsur-unsur dan nyata (lebih memiliki sense of communi-
budaya seperti aturan, kebiasaan, dan cara cation). Akibatnya, kerjasama antarpartisipan
hidup kelompok dapat diekspresikan melalui lebih nyata, interaktif secara langsung, bersifat
bahasa. Budaya yang dimiliki oleh masyarakat resiprokal, dan proses komunikasi yang terjadi
dicerminkan dalam bahasanya sehingga menjadi lebih bervariasi, terutama yang berkait
menimbulkan berbagai macam gaya ber- dengan prinsip kerjasama, kesantunan,
bahasa yang menjadi ciri penanda masyarakat- solidaritas, dan negoisasi makna. Kelima sifat
nya. Keanekaragaman ini pada hakikatnya komunikasi lisan di atas, dapat teramati secara
dapat mempengaruhi komunikasi, terutama langsung dan nyata, sebagai contoh kerja-
komunikasi antarorang yang berlatar budaya sama partisipan tampak dalam nada bicara,
dan bahasa yang berbeda. Pengaruh ini dapat gesture, dan tuturan yang tidak lengkap karena
menimbulkan kesulitan dan hambatan dalam kinesik yang menonjol.
kelancaran komunikasi pada umumnya. Dalam komunikasi antaranggota kelompok
Komunikasi antaretnik merupakan hubung- etnik, terdapat norma-norma atau kaidah-
an antara individu-individu yang berbeda kaidah yang terpelihara dan dipatuhi bersama
budaya, misalnya antara suku bangsa, etnik, oleh para anggota masyarakat tutur yang
ras, dan sosial (Samovar dkk., 1976:25). bersangkutan. Norma-norma itu merupakan

* Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang

263
Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

ikatan yang dihormati bersama sehingga setiap Sejalan dengan fenomena di atas, penelitian
anggota masyarakat merasa terikat oleh norma ini berupaya untuk memerikan komunikasi
itu dalam membina kebersamaan dalam hidup antaretnik pada masyarakat tutur diglosik,
bermasyarakat. Setiap anggota masyarakat khususnya kajian etnografi komunikasi masya-
dalam berperilaku akan selalu memperhatikan rakat tutur Using. Secara khusus, penelitian ini
dan berpedoman pada norma-norma itu. bertujuan untuk memerikan (1) sikap verbal
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat tutur Using dalam komunikasi
antara masyarakat dan bahasa tidak mungkin antaretnik pada masyarakat tutur diglosik dan (2)
dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sikap
timbal balik (Nababan, 1984:72). Dalam kondisi verbal kelompok etnik dalam komunikasi antar
tertentu, bahasa mempengaruhi dan mem- etnik dalam masyarakat tutur diglosik.
bentuk perilaku atau sikap masyarakat, Dalam berkomunikasi, selain terikat oleh
terutama dalam hal pola pikir, persepsi, dan kaidah lingual, setiap anggota masyarakat tutur
cara bergaul yang umumnya dikenal dengan terikat pula oleh norma budaya masyarakatnya.
pandangan deterministik terhadap bahasa; Karena itu, dalam menjalankan aktivitas bertutur,
demikian juga sebaliknya, dalam hal atau setiap anggota masyarakat tutur harus selalu
kondisi tertentu, justru masyarakat (pola pikir, menghargai dan menghormati norma-norma
persepsi, dan cara bergaulnya) mempengaruhi budaya masyarakat, yang kemudian direfleksi-
dan menentukan bahasa, yang umumnya kan dalam wujud tuturannya. Karena itu,
dikenal dengan pandangan instrumentalistik aktivitas bertutur dapat dikatakan sebagai
terhadap bahasa (Wahab, 1998:37-38). Dari praktik budaya, sedangkan wujud tindak tutur
sinilah, lalu timbul pendapat bahwa bahasa dapat dikatakan sebagai praktik budaya.
mencerminkan masyarakat dan masyarakat Suparno (2000:2) menegaskan bahwa
tercermin dalam bahasa (Kartomihardjo, komunikasi merupakan aktivitas sosial yang
1987:229). Secara tegas, bahkan Chaika (1982) dilakukan oleh anggota masyarakat tutur dalam
menyatakan bahwa bahasa merupakan cermin berinteraksi dengan sesama sebagai produk
sosial. Norma dan nilai yang terdapat di dalam budaya. Budaya komunikasi itu dapat dikenali
masyarakat terwujudkan dalam bahasa melalui dari tuturan yang terungkap.
pilihan kosakata, ungkapan, ujaran, dan Efektivitas komunikasi lisan dapat dikaitkan
sebagainya (Kartomihardjo, 1990:17). dengan sejumlah variabel atau komponen
Sejalan dengan pembahasan tentang komunikasi, yaitu ideologi interpersonal, situasi,
keterkaitan antara bahasa dan budaya, hubungan penutur dan mitra tutur, latar tutur,
komunikasi antaretnik dalam masyarakat tutur tujuan tutur, dan tingkat keamanan muka
diglosik merupakan fenomena yang menarik. penutur atau pun mitra tutur (Hymes, 1979;
Dalam masyarakat tutur diglosik itu, berkumpul Brown & Levinson, 1987). Oleh karena itu,
beragam etnik dengan berbagai ragam variabel memiliki kaitan erat dengan pemilihan
budayanya, menyatu dalam satu wadah bahasa yang dilakukan di dalam komunikasi
masyarakat diglosik yang diikat oleh aturan antaretnik. Pemilihan bahasa ini bersifat mu-
bahasa dan budaya yang disepakati bersama. tual, dalam arti bahwa siapa pun yang diajak
Dalam kondisi masyarakat demikian, terdapat bicara, pilihan bahasanya menjadi suatu
beragam bahasa dan beragam budaya yang tuntutan berdasarkan kaidah sosial, psikologis,
dibawa oleh setiap etnik. Keberagaman bahasa dan kultural.
dan budaya itu akan berpengaruh pada bentuk Penggunaan bahasa dalam komunikasi
verbal dan sikap tutur ketika anggota etnik antaretnik cenderung memanfaatkan pola-pola
melakukan aktivitas komunikasi dengan etnik tertentu, yaitu cenderung langsung (straight-
yang lainnya. forward), dan sangat mempertimbangkan

264
Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

konteks. Konteks sosial yang dimaksudkan penutur dan mitra tutur di dalam suatu tindak
adalah siapa mitra tutur (partisipan), di mana tutur.
penutur berbicara, bagaimana perasaan penutur, Dalam aktivitas bertutur, terdapat berbagai
bagaimana latar sosial yang ada, dan bagai- faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk
mana fungsi interaksi pada saat komunikasi dan ragam tindak tutur. Faktor-faktor tersebut
antara penutur dan mitratutur, kesantunan yang di antaranya adalah latar, partisipan, tujuan, dan
mereka gunakan, dan berbagai kaitan sosial konteks tutur. Latar tutur dapat berupa tempat,
yang muncul pada saat komunikasi ber- keadaan psikologis partisipan atau semua hal
langsung. Selanjutnya, dapat ditambahkan yang melatari terjadinya peristiwa tutur/komuni-
bahwa kegiatan berbahasa ini diikuti dengan kasi (Saville-Troike, 1986:75). Partisipan tutur
gesture/kinesik hasil interaksi dua budaya adalah semua pihak yang mungkin terlibat
(Samovar dkk., 1976:37). dalam peristiwa tutur/komunikasi. Konsep
Komunikasi antaretnik terjadi dalam partisipan mencakup penutur, mitra tutur, dan
masyarakat tutur diglosik. Pengertian diglosik pihak ketiga yang biasa muncul dengan tiba-
dalam hal ini mengacu pada suatu kondisi tiba. Sementara itu, tujuan tutur adalah maksud
tentang penggunaan bahasa yang stabil. yang dikehendaki oleh penutur melalui
Kestabilan ini ditandai dengan penggunaan tuturannya. Adapun, konteks tutur menurut
bahasa standar untuk suatu etnik yang bersifat Halliday dan Hasan (1976) adalah teks yang
regional di suatu daerah. Dalam konteks itu, menyertai teks lain. Sesuatu yang menyertai
ada suatu ragam berlapis yang amat berbeda teks lain bukan hanya yang dilisankan atau
dan banyak dikodifikasikan. Pengkodean ini, dituliskan tetapi termasuk peristiwa-peristiwa
dalam suatu masyarakat tutur tertentu, sering nonverbal atau keseluruhan lingkungan teks
lebih rumit secara gramatikal karena sebuah itu.
kode digunakan dalam situasi tertentu, Konteks bersifat dinamis karena konteks
sedangkan kode yang lain digunakan di dalam sangat berbeda antara konteks bahasa yang
situasi yang lain. satu dengan bahasa yang lain. Hal ini tampak
Holmes (2001:27) mengidentifikasi tiga dalam suatu kasus, misalnya, suatu instruksi
situasi penggunaan bahasa yang menjadi yang sama dan disajikan dalam dua atau lebih
bahasa yang berbeda, maka ada perbedaan
karak-teristik umum fenomena diglosik, yakni
pengekspresian, baik dalam pemilihan diksi
(1) dua variasi bahasa yang berbeda diguna-
atau panjangnya pesan (Quasthoff dalam Mey,
kan di dalam suatu masyarakat, satu variasi
1996:157). Dalam penggunaan bahasa,
tinggi (T) dan yang lain adalah variasi rendah
konteks dapat dibedakan menjadi empat
(R), (2) setiap variasi yang digunakan
macam, yaitu (1) konteks fisik yang meliputi
mempunyai fungsi yang berbeda sehingga
tempat kejadian penggunaan bahasa dalam
variasi T dan variasi R saling menggantikan,
suatu komunikasi, (2) konteks epistemis yang
dan (3) tidak ada variasi T di dalam percakapan
merupakan latar belakang pengetahuan yang
sehari-hari.
sama-sama diketahui oleh partisipan, (3) konteks
Performansi penutur dalam melakukan
linguistik yang terdiri atas kalimat atau ujaran-
tindak tutur memperhitungkan berbagai faktor
ujaran yang mendahului dan mengikuti ujaran
sosial yang bersifat lokal. Pemahaman ter-
tertentu dalam suatu peristiwa komunikasi atau
hadap faktor sosial dalam tindak komunikasi
disebut juga sebagai koteks, dan (4) konteks
ini merupakan strategi yang dilakukan penutur
sosial yang merupakan relasi sosial dan latar
agar tuturannya lebih effektif. Pernyataan ini
yang melengkapi hubungan antara penutur dan
didukung oleh Leech (1989:10), yang mengemu- mitra tutur (Mey, 1996:157).
kakan bahwa faktor sosial berhubungan dengan Sesuai dengan tujuan penelitian dan
power, jarak sosial, tingkat keamanan muka karakteristik permasalahan yang digarap,

265
Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

pendekatan yang digunakan dalam penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan


ini adalah pendekatan kualitatif. Untuk memahami menggunakan empat macam teknik yang
makna gejala dalam pengembangan dan lazim dipakai dalam penelitian sosiolinguistik
penyusunan teori tentang komunikasi antaretnik, dan etnografi komunikasi, yakni (1) teknik parti-
penelitian ini menggunakan landasan teori yang sipasi atau peran serta, (2) teknik observasi
biasa digunakan dalam kajian etnografi dan atau pengamatan, (3) teknik wawancara, dan
kajian pragmatik. Peneliti bertindak sebagai (4) teknik rekonstruksi data intuitif dan intro-
instrumen kunci sekaligus pengumpul data. speksi. Penganalisisan data penelitian meng-
Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan gunakan langkah-langkah (1) penelaahan dan
pengamatan secara mendalam dan melaku- penyeleksian data, (2) pengidentifikasian dan
kan pencatatan lapangan secara cermat pengunitan data, (3) pengategorisasian atau
tentang konteks percakapan dan tuturan yang penggolongan data, dan (4) penafsiran dan
dipandang sebagai fenomena tindak tutur penjelasan makna data.
antaretnik. Di samping itu, peneliti juga melaku- Temuan penelitian ini mencakup dua hal,
kan pencatatan hasil wawancara terbuka yakni (1) sikap verbal tuturan etnik Using dalam
dengan anggota kelompok etnik dan para pakar komunikasi antaretnik, yang meliputi sikap ver-
bal dalam (a) tindak meminta, (b) tindak
untuk memperoleh penjelasan tentang norma
memerintah, (c) tindak memuji, (d) tindak
dan nilai-nilai sosial budaya.
mengeluh, (e) tindak melarang, dan (f) tindak
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
memberi saran; dan (2) faktor-faktor yang
ditetapkan, lokasi penelitian ini adalah
mempengaruhi sikap verbal tersebut.
masyarakat tutur yang di dalamnya terdapat
etnik Using yang hidup berdampingan dengan
SIKAP VERBAL TUTURAN ETNIK USING
etnik lainnya, yakni etnik Jawa dan Etnik DALAM KOMUNIKASI ANTARETNIK
Madura. Untuk itu, dipilih lokasi penelitian di
Penutur etnik Using bersikap merendah
daerah Gambiran, Kecamatan Jajag, Kabupaten
ketika menjalankan tindak meminta. Untuk
Banyuwangi. Masyarakat Gambiran adalah
merealisasikan tindak itu, penutur melakukan
masyarakat yang heterogen, baik dikaji dari sisi
berbagai strategi agar mitra tutur bersedia
etnik maupun dari sisi bahasa yang digunakan-
melakukan tindakan sebagaimana yang
nya. Karena itu, masyarakat Gambiran dikehendaki oleh penutur. Strategi yang
termasuk masyarakat tutur diglosik. dimaksud meliputi tindak meminta yang
Subjek penelitian ini ialah masyarakat tutur diekspresikan dengan strategi (a) langsung
etnik Using yang tinggal di wilayah Gambiran dengan kesantunan, (b) langsung tanpa
kecamatan Jajag kabupaten Banyuwangi dan kesantunan, dan (c) tidak langsung. Peng-
sedang berkomunikasi dengan etnik lain, yakni gunaan strategi itu dimaksudkan untuk
etnik Jawa dan etnik Madura. Sejalan dengan mengurangi resiko dalam tindak komunikasi.
subjek penelitian, sumber data penelitian ini Berbagai strategi itu dapat dilihat pada contoh
ialah wacana tutur (baik lisan maupun tulisan) tuturan berikut ini.
antaretnik yang tercipta dalam peristiwa-
peristiwa tutur yang berbentuk tindak-tindak (1) PJ : Carane nganggo iki piye,
tutur antaretnik. Data penelitian ini adalah ngene ta?
wacana komunikasi lisan antaretnik. Dalam “Caranya memakai ini
wacana itu, terdapat perwujudan tindak tutur bagaimana, beginikah?”
meminta, tindak tutur memerintah, tindak tutur PU : Coba mreneo …Yuk!
memuji, tindak tutur mengeluh, tindak tutur “Coba ke sini .... Kak!”
melarang, dan memberi saran.

266
Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

Tuturan (1) merupakan contoh peng- tutur itu mundur. Namun, untuk memperkecil
gunanan strategi langsung dengan kesantunan. kadar retriksi atau resiko, penutur dalam
Penggunaan kata kerja mreneo ‘ke sinilah’ melakukan tindak memerintah menggunakan
merupakan permintaan. Bentuk tuturan per- penanda kesantunan tulung ‘tolong’. Penggunaan
mintaan itu diperhalus dengan kata coba dan kata tulung itu mengurangi ketersinggungan mitra
sapaan Yuk. Jika kata coba dan Yuk dihilang- tutur, atau dengan kata lain penutur berusaha
kan, tuturan itu menjadi bentuk permintaan menyelamatkan muka mitra tutur. Sementara
tanpa kesantunan. Sementara itu, bentuk itu, tindak memerintah dengan strategi tidak
permintaan dengan strategi tidak langsung langsung dapat dilihat pada contoh berikut.
dapat dilihat pada contoh berikut.
(2) PU : Njenengan mbeto picis, (4) PU : Isun seneng nawi ana hang
sewu mawon yuk? nyangkingaken tas.
“Kamu membawa uang “Saya seneng jika ada yang
seribu saja Mbak?” membawakan tas.”
PJ : Niki, ngga!
“Ini silakan!” Dalam tuturan (4), penutur secara implisit
meminta tolong yang sekaligus juga memerintah
Tuturan (2) merupakan tindak permintaan mitra tutur untuk membawakan tas. Penutur
dengan strategi tidak langsung. Untuk memiliki praduga bahwa mitra tuturnya mau
mengatakan “Saya minta uangnya seribu membawakan tasnya itu. Untuk menyelamat-
Mbak”, diungkapkan dengan cara bertanya kan muka, penutur memerintah mitra tutur
“Apakah mitra tuturnya itu membawa uang dengan menggunakan tindak memerintah
seribu”. Mitra tutur dapat memahami bahwa secara tidak langsung.
penutur minta uang seribu untuk kepentingan- Tindak memuji merupakan tindak tutur yang
nya. Pemahaman mitra tutur itu dibangun oleh isinya menyanjung atau memuji orang lain atas
adanya praduga yang sama dengan penutur. kelebihan atau prestasi yang dimilikinya. Dalam
Dalam komunikasi antaretnik, partisipan komunikasi antaretnik dalam masyarakat tutur
tutur tidak semuanya memiliki legitimasi yang diglosik, tindak menyanjung ini dapat dilakukan
sama untuk menggunakan tindak memerintah dengan berbagai cara, yakni bergantung pada
karena dalam tindak ini terdapat retriksi yang faktor kedekatan hubungan antarpenutur
tinggi. Kadar retriksi dalam tindak memerintah dengan mitra tuturnya. Berikut ini merupakan
terkait dengan karakteristik struktur dan unsur- contoh bentuk tindak memuji ini.
unsur yang membangun penggunaan tindak itu.
Untuk memperkecil resiko atau kadar retriksi (5) PU : Weh, anyar yo Di?
ini, partisipan tutur menggunakan penanda “Wah, baru ya Di?”
kesantunan baik dalam tindak memerintah PJ : Heleh, jik utang kok.
secara langsung maupun tindak memerintah “Ah, masih hutang kok.”
tidak langsung. Berikut ini contoh sikap verbal
dalam tindak memerintah yang dimaksudkan Tuturan (5) merupakan sanjungan yang
ini. disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur
(3) PU : Tulung mundur, ojo kari yang memiliki hubungan akrab dengan usia
parek mesin! setara. Karena itu, bahasa yang digunakan
“Tolong mundur, jangan oleh penutur untuk menyanjung mitra tutur
terlalu dekat mesin!” dengan menggunakan strategi bercanda dan
keheranan, yakni kata weh. Strategi menyanjung
Dalam tuturan (3), penutur menggunakan ini akan berbeda jika penutur dan mitra tutur
strategi langsung, yakni meminta partisipan tidak memiliki hubungan akrab dan tidak seusia.

267
Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

Hal ini dapat dilihat pada tuturan berikut ini. “Capek sekali, sejak kemarin
tidak beristirahat sama
(6) PU : Njenengan kok taksih sehat, sekali.”
lan lincah sanget.
“Anda masih sehat dan Sebutan rek pada tuturan (8) itu menanda-
lincah sekali.” kan bahwa penutur menyampaikan kondisi atau
Resepe nopo Pak? “ hal yang tidak menyenangkan kepada orang
“Resepnya apa Pak?” lain. Penutur bermaksud agar ia mendapatkan
tanggapan dari mitra tuturnya tentang hal yang
Penggunaan bahasa Jawa Krama dalam dikeluhkan itu.
tuturan (6) menandakan bahwa sanjungan Tindak melarang pada dasarnya berisi
disampaikan oleh orang muda kepada orang perintah, tetapi perintah yang bersifat negatif,
yang lebih tua. Selain itu, sanjungan itu yakni agar mitra tutur tidak melakukan sesuatu
disampaikan dengan strategi pernyataan yang yang tidak dikehendaki oleh penuturnya. Tindak
diikuti pertanyaan dengan menggunakan melarang ini cenderung mempunyai kadar
pilihan bahasa yang lebih sopan. retriksi yang tinggi sehingga power yang
Tindak mengeluh digunakan oleh penutur direpresentasikan cenderung bersifat dominatif.
etnik Using untuk menyampaikan rasa kesal, Kadar retriksi tindak melarang terkait dengan
su-sah, atau sejenisnya baik kepada orang lain langsung dan tidak langsungnya bentuk
maupun kepada diri sendiri. Mengeluh yang larangan dan modalitas yang digunakan.
disampaikan kepada orang lain berupa keluhan Tindak melarang yang digunakan oleh etnik
atau pengaduan, sedangkan mengeluh kepada Using dalam komunikasi antar etnik dapat
diri sendiri sering dikenal dengan istilah dilihat pada tuturan berikut ini.
ekacakap (soliloqui). Dalam kegiatan komuni-
kasi antaretnik, mengeluh itu berwujud (9) PU : Ojo rame-rame wis bengi!
pernyataan yang disampaikan secara langsung “Jangan gaduh sudah
dan pernyataan tidak langsung. Hal ini dapat malam!”
dilihat pada contoh tuturan berikut ini. Ono wong hang semelumut
awake.
(7) PU : Kate menyang, gak nana “Ada orang yang sedang
picis. Pasaran kari sepi. sakit demam.”
“Akan pergi tidak punya
uang. Pasarnya sangat Tindak melarang dalam tuturan (9) itu
sepi.” ditandai dengan penanda leksikal ojo ‘jangan’.
Penanda leksikal ini mengisyaratkan kepada
Tuturan (78) merupakan bentuk tuturan mitra tutur agar mitra tutur tidak mengerjakan
dalam tindak mengeluh. Tindak itu merupakan pekerjaan yang tidak diinginkan oleh penutur.
wujud tindak soliloqui atau mengeluh pada Untuk mengurangi kadar retriksi pada mitra
dirinya sendiri. Strategi yang digunakan oleh tutur, tuturan itu diikuti dengan tuturan penjelas
penutur adalah strategi langsung, yakni secara dan alternatif kegiatan lain (seperti yang tampak
langsung mengeluhkan kondisi pasar yang pada tuturan kedua). Hal ini dimaksudkan untuk
merugikan dirinya. Hal ini berbeda dengan menyelamatkan muka mitra tutur agar tidak
tindak mengeluh yang dilakukan kepada orang merasa sakit hati karena perbuatannya
lain berikut ini. dilarang.
(8) PU : Kesel …rek, mulai wingi sing Representasi tindak memberi saran ini, di
leren blas. dalam komunikasi antarietnik, dilakukan oleh

268
Imam Suyitno, Komunikasi Antaretnik dalam Masyarakat Tutor Diglosik

atasan kepada bawahan atau oleh penutur Artinya, hubungan power menyebar pada
yang mempunyai pengalaman lebih dibanding- semua level eksistensi sosial sehingga dapat
kan mitra tutur. Tindak itu berupa usulan tentang ditemukan penggunaannya pada setiap situs
perubahan sikap, gagasan, atau ide. Kadar kehidupan sosial. Di samping itu, power tidak
retriksi tindak memberi saran ini rendah karena hanya negatif dan represif, tetapi juga bisa
sifatnya tidak memaksa. Contoh tindak positif dan produktif. Hal ini terlihat di dalam
memberi saran ini dapat dilihat pada tuturan penggunaan beragamnya kata sapaan yang
berikut. dapat menentukan besar dan kecilnya power
(10) PJ : Budhe, kula ajeng wangsul. seorang penutur dan beragamnya cara
“Bude, saya mau pulang.” menyapa menunjukkan besar kecilnya power
PU : Nawi mlaku ojo kari seru. yang dapat dimanfaatkan penutur Using untuk
Hang ati-ati nang dalan. menggunakan tindak tutur sebagai sarana
“Kalau jalan jangan cepat- mempengaruhi bahkan mendominasi pikiran,
cepat. Hati-hatidi jalan.” perasaan atau perilaku mitra tutur.
Perbedaan power, jarak sosial, dan variabel
Dalam tuturan (10) itu , penutur berharap situasi di antara partisipan menyebabkan
agar sarannya diterima dan dilaksanakan oleh pembebanan terhadap muka ditentukan oleh
mitra tuturnya. Tuturan ini memiliki kadar kealamiahan ancaman muka, baik yang
retriksi rendah karena penutur tidak memaksa- bersifat umum atau berlaku di dalam budaya
kan kehendaknya. Bukti tidak adanya pemaksa- yang khusus. Tingkat pembebanan terhadap
an ini tampak pada penggunaan bentuk direktif muka ditentukan oleh distribusi power dan jarak
berpagar, yakni kata nawi ‘kalau’, yakni bentuk sosial antara penutur dan mitra tutur. Semakin
tuturan bersyarat. Dengan adanya kata nawi, tinggi nilai parameter power, semakin tinggi
munculnya kata ojo ‘jangan’ sebagai larangan harga tindakan kepada mitra tutur. Hal yang
tidak dipandang sebagai pembatasan tindakan, sama terjadi pada nilai jarak sosial. Semakin
tetapi dipandang sebagai saran. tinggi nilai parameter jarak sosial, semakin
tinggi tingkat pembebanan terhadap muka.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Variabel situasi mempunyai peran penting
PEMILIHAN SIKAP VERBAL TINDAK dalam representasi tindak tutur dalam
TUTUR komunikasi antaretnik karena variabel itu
Faktor-faktor yang mempengaruhi etnik mempengaruhi perbedaan power, jarak sosial
Using untuk memilih sikap verbal sebagaimana antara penutur dan mitra tutur, dan mem-
telah dipaparkan di atas adalah (1) jarak sosial, pengaruhi tingkat pembebanan terhadap muka
(2) power, (3) tingkat pembebanan terhadap mitra tutur. Variabel situasi membatasi konteks
muka mitra tutur, (4) variabel sosial, dan (5) dan menentukan nilai parameter sosial dengan
nilai budaya. Dalam komunikasi antaretnik, landasan representasi kesantunan pada ragam
setiap individu partisipan tutur ditempatkan tindak tutur yang dirumuskan untuk menghormati
pada peran sosial yang berbeda karena penyelamatan muka secara khusus. Pada
karakteristik individu, bobot keterlibatan individu konsep ini, representasi tindak tutur yang
itu di dalam proses komunikasi, status, peran diekspresikan secara santun dengan beragam
sosial tertentu, dan peran institusional yang modus kesantunan memperhatikan siapa
melekat di dalam dirinya. Jarak sosial dalam menyampaikan apa, siapa penyampai
komunikasi antaretnik berkaitan dengan peran penyelamat muka, serta kepada siapa dan
partisipan di dalam suatu komunitas yang pada situasi apa. Dalam pandangan ini,
berbeda budaya. penyebaran power, jarak sosial dan tingkat
Power dalam komunikasi antaretnik dalam pembebanan muka mitra tutur merupakan
masyarakat tutur diglosik bersifat netral. subjek untuk situasi tertentu dan bersama-

269
Humaniora, Vol. 18, No. 3 Oktober 2006: 263−270

sama dengan hal itu menentukan bobot tuturan etnik ketika berkomunikasi dengan
penyelamat muka dan bentuk landasan individu anggota masyarakat etnik lainnya.
pemilihan tindak tutur yang diekspresikan Perbedaan sikap verbal itu dipengaruhi, antara
dengan keberagaman tingkat kesantunan. lain, oleh faktor (1) jarak sosial, (2) power, (3)
Nilai budaya mempunyai kaitan yang nyata tingkat pembebanan terhadap muka mitra tutur,
dalam mengarahkan seseorang berperilaku (4) variabel sosial, dan (5) nilai budaya.
se-cara verbal di dalam interaksi sosial. Secara
tidak langsung faktor sosial dan budaya DAFTAR RUJUKAN
berkaitan dengan pengekspresian tindak tutur
Brown, P. & Levinson, L.C. 1987. Politness. New York:
dengan beragam modus. Sementara itu, Cambridge University Press.
ekspresi tindak tutur merupakan hubungan hasil Chaika, Elaine. 1982. Language: The Social Mirror. Rowley:
perpaduan antara kompetensi kebahasaan yang Mass. Newbury House.
dimiliki penutur, mitra tutur, latar, dan status Halliday, M.A.K. dan Hasan, Riqaiya. 1976. Cohesion in
sosial. Apabila berbicara tentang penutur dan English. London: Longman.
mitra tutur dan keterkaitan mereka dengan nilai- Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics.
nilai etika dan keyakinan budaya yang dianut- London: Longman.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics An
nya, nilai budaya itu sebenarnya berakar pada
Ethnographic Approach. Philadelphia: Pennsylvania
kebutuhan dasar manusia dan keyakinan Press.
adalah dasar yang utama sebagai acuan untuk _ _ _ _ _ _ _ _. 1979. “On Communication Competence”
mengekspresikan tindak tutur. Sementara itu, dalam J.B.Pride & Jenet Holmes (Eds.). Socio-
bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan linguistics. New York: Penguin Books.
karena kebanyakan hal di dalam kehidupan Kartomihardjo, Soeseno. 1987. Sosiolinguistik. Malang:
seseorang dapat dipahami melalui bahasa. IKIP Malang
————. 1990. Bentuk Bahasa Penolakan. Malang:
Begitupun di dalam wacana multietnik, peng-
Lembaga Penelitian.
gunaan bahasa yang berbeda menghasilkan Leech, Geofrey. 1989. Principles of Pragmatics. London:
pemahaman yang berbeda terhadap dunia. Longman.
Bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Mey, Jacob L. 1996. Pragmatics: An Introduction. Oxford:
Keyakinan ini dikuatkan oleh suatu pengamatan Blackwell.
terhadap fakta bahwa seorang penutur Using Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: PT
apabila berbahasa dengan bahasa mitra tutur Gramedia.
berarti ia mempedulikan keberadaan dan Samovar, Larry dan Porter, Richard E. 1976.
Communication between Cultures. Belmont C.A.:
menghormati keyakinan mitra tutur.
Wadsworth.
Saville-Troike, Muriel. 1986. The Etnography of
SIMPULAN Communication. Oxford: Basil Blackwell.
Bertolak dari temuan penelitian ini, dapat Suparno. 2000. Budaya Komunikasi yang Terungkap dalam
disimpulkan bahwa dalam melakukan tindak Wacana Bahasa Indonesia. Malang: Uni-versitas
Negeri Malang.
tutur, etnik Using memiliki karakteristik yang
Wahab, Abdul. 1998. Isue Linguistik: Pengajaran Bahasa
berbeda dengan etnik-etnik yang lain. Kekhas- dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.
an karakteristik itu tampak dalam sikap verbal

270

View publication stats

Potrebbero piacerti anche