Sei sulla pagina 1di 135

ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN

BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN


DI LUAR NEGERI

TESIS

OLEH :

MARIS YOLANDA SOEMARNO


NIM. 087011010

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN
DI LUAR NEGERI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARIS YOLANDA SOEMARNO


NIM. 087011010

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Telah diuji pada

Tanggal: 30 Desember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.


Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum.
3. Prof. Budiman Ginting, SH.,M.Hum.
4. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.
ABSTRACT
Phenomenon of different religion marriage is not a new thing in Indonesia although
the Marriage Act No. 1 of 1974 did not regulate the marriage with one of the couple
has a different religion. While all of recognized religion in Indonesia did not permit
the marriage if both of bride and bridegroom have different religion. In this condition
there is a law vacancy for them who will do a marriage. There are any alternative for
them to marriage by do the marriage in abroad or one of party embrace one the
religion. But there is a problem when both of couple return to Indonesia. He
marriage regulation in Indonesia requires a recording of the marriage either in
Indonesia or in abroad. The registration cause a new issue whether the marriage in
abroad can recognize as the legal marriage in Indonesia.

The problem in this thesis in what the position of different religion marriage in law
system in Indonesia, what the registration of different religion marriage held in
abroad and what the law consequences of the different religion marriage that did not
registered in the Vital Statistic office. This research applies normative juridical
method to study the regulations and the jurisdiction. As a normative law research, he
data collecting method in this study is a library research and field research by
interview ot the respondents, i.e. Dra. Susi Rasida, a Marriage and Divorce division
of Vital statistic office of Medan.

The results of research indicates that one of alternative for the different religion
marriage is held a marriage in abroad. The marriage in abroad must be registered
at the Vital Statistic office to get a legal adinistartio. But the marriage statement must
indicates that this statement is not a marriage certificate. The registration of
marriage did not means that the marriage is legal according to the Indonesia law.
The registration only as an administartion requirement and provide the status for the
society living. The marriage has not yet registered is illegal marriage and the child of
the marriage only has a civil case to his/he mother and not onn inheritance.

Keywords : The different religion marriage, Held in abroad


ABSTRAK

Fenomena perkawinan beda agama bukan hal yang baru di Indonesia, meskipun Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon
suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Sementara seluruh agama
yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika
kedua calon berbeda agama. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum bagi pihak
yang ingin melakukan perkawinan. Beberapa cara yang dilakukan sebagai alternatif agar
perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di
luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Namun
terjadi permasalahan ketika kedua pasangan kembali ke Indonesia. Pengaturan
Perkawinan di Indonesia mewajibkan adanya pencatatan bagi perkawinan, baik yang
dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Adanya pencatatan menimbulkan kembali
persoalan apakah perkawinan yang telah dilangsungkan di luar negeri dapat disebut
sebagai perkawinan yang sah di Indonesia.

Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimana
kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia, bagaimanakah
pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri dan
Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif
terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan.
Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan Penelitian
lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu ibu
Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Medan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa salah satu cara yang dilakukan pasangan beda
agama adalah melakukan perkawinan di luar negeri. Perkawinan yang dilakukan di luar
negeri harus dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mencatatkan
administrasi peristiwa hukum yang dilakukannya.Namun Surat Pelaporan Perkawinan itu
dituliskan dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan merupakan Akta
Perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan tidak berarti bahwa perkawinan itu sah
menurut hukum Indonesia. Pencatatan hanya merupakan pemenuhan kewajiban
administrasi dan memberikan status dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan yang tidak
dicatatkan berakibat perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan tidak berhak atas harta warisan.

Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Dilangsungkan Di Luar Negeri


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,

yang telah memberikan Rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul “Analisis Atas Keabsahan

Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri.”

Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

untuk menyelesaikan sutudi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU. Akan

tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus

dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh

keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.

Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan

terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A (k) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah begitu

sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis lebih

baik lagi.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

sekaligus dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan dan

dorongan kepada penulis.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program

studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

sekaligus dosen pembimbing III, yang telah banyak membantu Penulis dalam hal

memberikan bimbingan, petunjuk, saran-saran, dorongan dan semangat untuk

kesempurnaan tulisan ini.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang

telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn, selaku dosen penguji yang selalu

memberi perhatian, dorongan, dukungan arahan dan masukan kepada penulis.

7. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Soemarno Wagiman dan

ibunda Is Farida F. Miharja, SH, yang telah membesarkan dengan penuh kasih

sayang dan pengorbanan dalam dukungan moril dan finansial kepada ananda,

serta do’a restunya sehingga ananda dapat melanjutkan dan menyelesaikan

pendidikan Strata II (S-2) Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara


9. Buat suami tercinta, AKP. Thelly Iskandar Muda, Sik, dan anak-anakku

tersayang Teuku Kenzie Revano Azriel Iskandar dan Cut Keysha Fayyaza

Kareska Iskandar, terima kasih yang tulus buat doa, semangat, sayang, cinta dan

tempat untuk berbagi. Semoga kita bisa lebih baik lagi dalam segala hal.

I love u all........

10. Buat adikku tersayang Yogi Soemarno, Cut Cempaka dan buat keponakanku

yang lucu, Keanu ........ terima kasih atas doa dan dukungannya.

11. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, khususnya untuk kelas reguler khusus, terima kasih

atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memberi semangat dalam

menyelesaikan tesis ini.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis

menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini

bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalam
Medan, November 2009
Penulis

(Maris Yolanda Soemarno)


RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Maris Yolanda Soemarno
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 16 Januari 1980

II. ORANG TUA


Nama Ayah : Soemarno Wagiman
Nama Ibu : Is Farida F. Miharja, SH

III. PEKERJAAN
Wiraswasta

IV. PENDIDIKAN
1. SD : SD Swasta Pertiwi Medan
2. SMP : SMP Negeri VI Medan
3. SMA : SMU swasta Harapan Medan
4. S – 1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara
5. S – 2 : SPs USU Program Magister Kenotariatan (M.Kn)
DAFTAR ISI

ABSTRACT .........................................................................................................

ABSTRAK ...........................................................................................................

KATA PENGANTAR.........................................................................................

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...........................................................................

DAFTAR ISI........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................... 10

C. Tujuan penelitian................................................................................ 10

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 10

E. Keaslian penelitian ............................................................................. 11

F. Kerangka Teori dan Konspsi............................................................. 13

1. Kerangka Teori............................................................................. 13

2. Konsepsi ....................................................................................... 23

G. Metode Penelitian............................................................................... 24

2. Sifat Penelitian ............................................................................. 24

3. Teknik Pengumpul Data............................................................... 25

4. Alat Pengumpulan Data ............................................................... 26

5. Analisis Data ................................................................................ 27

BAB II KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SISTEM


HUKUM DI INDONESIA

A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-syarat Perkawinan ........................... 29

Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
1. Sahnya Perkawinan ...................................................................... 29

2. Syarat Perkawinan........................................................................ 36

B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Perkawinan


Indonesia ............................................................................................ 38

C. Perbedaan Pandangan tentang Perkawinan Beda Agama .................. 47

1. Pandangan Yang Menyatakan Perkawinan Beda Agama adalah


Pelanggaran .................................................................................. 48

2. Pandangan yang Membolehkan Perkawinan Beda Agama.......... 51

D. Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Pandangan Agama Di


Indonesia ............................................................................................ 63

BAB III PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG


DILANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI ..................................... 69

A. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 69

B. Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri..................................... 72

1. Alasan Kawin di Luar Negeri ................................................. 72

2. Tata Cara Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri............... 75

C. Tata Cara Perkawinan Secara Umum .......................................... 86

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG


DICATATKAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN
CATATAN SIPIL

A. Akibat Hukum Perkawinan Yang Dilangsungkan Di Luar


Negeri ....................................................................................... 99

B. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan ................ 112

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 117

A. Kesimpulan ................................................................................... 117

B. Saran .............................................................................................. 118

DAFTAR PUSTAKA

Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakekatnya setiap manusia secara pribadi selalu ingin mengelompokkan

dirinya dengan sesamanya yang merupakan satu kesatuan sosial, oleh karena dapat

dirasakan bahwa tanpa adanya kebersamaan hidup dalam menghadapi suatu

kenyataan yang timbul dalam masyarakat, akan mengurangi kesempurnaan dalam

roda kehidupan.

Kebersamaan hidup dapat ditempuh dengan melangsungkan perkawinan

antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang akhirnya rumah tangga

tersebut akan menjalin hubungan dengan masyarakat sekitarnya. Dengan

dilangsungkannya perkawinan oleh suami dan istri, maka timbullah akibat hukum

bagi suami dan istri. Salah satu akibat hukum itu adalah mengenai harta rumah tangga

menurut KUH Perdata bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan maka dengan

sendirinya harta dalam perilaku mereka menjadi satu kesatuan bulat sebagaimana

yang dimaksud Pasal 119 KUH Perdata.

Lahirnya Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan secara

relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perundang-undangan

yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di

Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa Undang Undang ini telah mengatur

Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
semua aspek yang terkait dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur

oleh Undang-undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan

antara seorang laki laki dan seorang perempuan yang berbeda agama. 1

Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi

semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam

berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan

bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, 2 perkawinan sejenis, 3 kawin

kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang

berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali

berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga

menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang

lintas negara juga pasangan lintas agama. 4

Fenomena perkawinan antar-agama bukan hal yang baru di Indonesia.

Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-

Muslim. Ada Nurul Arifin yang kawin dengan Mayong (Katolik). Juga Yuni Shara

yang menikah dengan Henry Siahaan (Kristen). Dan masih banyak yang lain. Tetapi,

1
Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Pionir Jaya, Bandung.1986,
hal. 11.
2
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.
3.
3
Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang
dimaksudkan di sini.
4
lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk
yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual,
transseksual/transgende
mereka-mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen.

Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina,

pada awal Tahun 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh

penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan Paramadina.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan

apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami istri adalah

dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan dari jiwa dari Pasal 27

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “semua warga negara

bersaman dengan kedudukannya dalam hukum”. Di sini warga negara, sekalipun

berlainan agamanya. Kemudian dijelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya

yang memeluk agama yang berbeda.

Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat.

Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi

baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang

negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan

antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan

agama/keyakinan salah satu pihak

Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan

adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Sebagai salah

satu alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan
melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada

salah satu agama. Ketentuan-ketentuan ini disebut sebagai salah satu cara

penyelundupan hukum bagi perkawinan beda agama. 5

Apabila diperhatikan dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya pihak yang akan kawin menganut

agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam

Undang-undang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksananya, maka perkawinan

tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak

lainnya itu.

Walaupun demikian Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak


merumuskan secara jelas perkawinan campuran berdasarkan perbedaan
agama. Mengenai nikah siri, pernikahan seperti ini walaupun sah secara
agama tetapi tidak mempunyai bukti karena tidak dicatat dengan kata lain
pernikahan tersebut tidak dilakukan dihadapan pencatat nikah. Dengan
perkawinan seperti ini dari segi hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami isteri
cenderung banyak merugikan pihak isteri terutama jika terjadi perceraian. 6

Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau

pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan

5
“Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar
Negeri”http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14922&cl=Berita, Zulfa Djoko Basuki
berpendapat perkawinan beda agama di luar negeri lebih sebagai upaya menghindari hukum yang
seharusnya berlaku kepada mereka. Yaitu Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan 1974. Perkawinan
demikian merupakan "penyelundupan hukum", dan karenanya dapat dibatalkan. perkawinan itu tidak
sah karena tidak memenuhi syarat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak sah menurut hukum
Indonesia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan
administratif.
6
Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005), hal. 5.
al. 6.
perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari,

terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak

yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan.

Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup hidup bersama

atau hidup tanpa pasangan 7 yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya

perkawinan beda-agama.

Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian

hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut Undang-Undang

Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia

dengan Warga Negara Asing, akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat

sering pula disebut sebagai perkawinan campuran.

Undang-undang Perkawinan sendiri penafsiran resminya hanya mengakui


perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang
sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan
perkawinan. Dalam masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat
mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang
berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi
mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun
bagaimana yang kondisi ekonominya serba pas-pasan. Tentu ini menimbulkan
suatu masalah hukum. 8

Jarwo Yunu mengatakan ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda

agama ini:

1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti

penyelundupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya

7
“Perkawinan Beda Agama”, http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita,
diakses tanggal 5 Agustus 2009
8
Ibid, hal.6.
menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing

pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak

disarankan.

2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 Kantor

Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.

Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny

Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).

Dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan pengajuan

pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil maka Vonny telah tidak

menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus

dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan

menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama

Islam, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan perkawinan tersebut. 9

Perkawinan menurut masing-masing agama merupakan interpretasi lain dari

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bisa

saja terjadi pasangan perkawinan beda agama ini pagi menikah sesuai agama laki-

laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan yang akan menyulitkan

untuk menentukan perkawinan mana yang sah.

9
S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit: CV.
Insani, 2005), hal. 11.
Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama pasangan yang akan

menikah mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-

laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab. Ayat Al-Quran

inilah yang dipraktekkan sungguh oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid

Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), bahkan

diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita muslim. 10

Untuk perkawinan beda agama, mantan Menteri Agama Quraish Shihab

berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang jelas dalam

jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan

agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada

jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap

10
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah
agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al
Maidah(5):5,"Pada hari mi dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang^orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.".
b. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang,
dengan dasar Al Baqarah(2):222,"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
menghormati agama pasangannya. "Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk

menjalankan ibadah sesuai agamanya. 11

Pernyataan juga disampaikan Romo Andang Binawan, dosen Sekolah Tinggi

Filsafat Driyakarya. Romo Andang juga menerangkan hukum gereja Katholik

memperbolehkan perkawinan beda agama selama calon mempelai non-Katholik

bersedia berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak

bercerai seumur hidup, serta membiarkan pasangannya tetap memeluk Katholik. 12

Sudhar Indopa menyatakan bahwa sesungguhnya bukan negara yang

melarang adanya perkawinan beda agama, namun hukum agama. "Negara bukannya

tidak mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang

dari negara melainkan dari hukum agama. Sepanjang tidak ada pengesahan agama,

adalah tidak mungkin Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat sebuah

perkawinan." 13

Ditinjau dari hukum Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang

perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, agama-agama lain juga tidak

membolehkan, bukan hanya agama Islam. Semua agama tidak memperbolehkan

kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari peluang-peluang. Perkawinannya

11
Salmah Zuhriyah, “Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara”,
http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-
negara/, diakses tanggal 5 Agustus 2009.
12
Ibid
13
Sudhar Indopa, Perkawinan Beda agama, Solosi dan Pemecahannya, (Jakarta, Penerbit FH
UI, 2006), hal. 5.
dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga

ikut hubungan hukum dengan ibunya. 14

Banyaknya masyarakat yang lari ke luar negeri seperti Singapura dan

Australia untuk melakukan perkawinan beda agama. Jika melakukan perkawinan di

luar negeri berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat

akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya

tidak memperoleh akte lagi dari negara.

Meskipun Undang-undang tidak memperbolehkan kawin beda agama, tetapi

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda

agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum Indonesia. Secara

hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah

sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada.

Harusnya kantor catatan sipil tidak boleh melakukan pencatatan. 15

Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk membahas

perkawinan Beda agama, sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul:

Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar

Negeri.

14
Ibid, hal. 6
15
Ibid, hal. 7
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di

Indonesia ?

2. Bagaimanakah pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar

negeri ?

3. Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yaitu ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan kedudukan perkawinan beda agama

dalam sistem hukum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan pencatatan perkawinan beda agama

yang di langsungkan di luar negeri.

3. Untuk mengetahui memberi penjelasan akibat hukum perkawinan beda agama

yang tidak dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yakni:

1. Secara Teoritis

Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat sebagai

sumbangsih dalam hukum perdata yang berlaku, umumnya yang mengatur hukum

perkawinan beda agama di Indonesia, khususnya dalam pencatatan perkawinan

beda agama di Indonesia.

2. Secara Praktis

Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat

diterapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum hukum

perkawinan, secara khusus terutama dalam hal pengaturan perkawinan beda

agama di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan pada perpustakaan

di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan karena telah pernah

dilakukan penelitian sebelumnya mengenai Perkawinan bagi pasangan yang berbeda

Agama, antara lain:

1. Juliani, Tahun 1995, dengan judul: ”Akibat Hukum dari Suatu Perkawinan

yang Tidak Didaftarkan Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 (Suatu


Kajian Lapangan di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh)”dengan

perumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa yang menjadi faktor penyebab perkawinan tidak didaftarkan?

b. Bagaimana keabsahan suatu perkawinan yang tidak didaftarkan menurut

hukum agama dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974?

2. Julianty, Tahun 2006, dengan judul “Perkawinan yang Dilangsungkan Di

Luar Negeri dan Akibat Hukumnya”, dengan perumusan masalah:

a. Bagaimana akibat hukum terhadap kelalaian pendaftaran perkawinan di

luar negeri ?

b. Bagaimana peranan pendaftaran perkawinan yang dilangsungkan di luar

negeri?

3. Agustina, Tahun 2007, dengan judul ”Perkawinan Antar Agama dan Akibat

Hukumnya (Kajian Putusan MARI No. 1400/K/Pdt/1986) dengan perumusan

masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana akibat hukum perkawinan antar agama di Indonesia ?

b. Bagaimana kedudukan perkawinan antar agama dengan lahirnya Putusan

MARI No. 1400/K/Pdt/1986?

Berdasarkan informasi yang ada serta penelusuran kepustakaan khususnya di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul "Analisis Atas

Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri”belum

pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, karena itu penelitian ini baik dari segi objek
permasalahan, substansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara

akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kalau berbicara dalam hal masalah perkawinan, maka yang menjadi persoalan

yang ramai dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah perkawinan yang sangat

banyak mendapat perhatian. Menurut Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani yang

terkemuka mengatakan manusia yang ingin selalu hidup bersama antara orang yang

satu dengan orang lainnya. Kehidupan bersama ini bisa dalam bentuk keluarga,

masyarakat dan negara, pembentukan suatu keluarga ini harus dilakukan melalui

ikatan perkawinan yang sah.

"Menurut Undang-Undang, Perkawinan adalah suatu persetujuan antara

seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh peraturan-peraturan negara dan

bertujuan untuk menyelenggarakan persatuan hidup yang abadi, jadi perkawinan

adalah pertalian yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk waktu

yang lama". 16

Perbuatan hukum yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan untuk membentuk suatu kehidupan rumah tangga disebut perkawinan.

Pengertian dari perkawinan menurut Mohammad Idris Ramulyo adalah:

16
Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Penerbit: FT. Pembimbing Masa,
Cetakan 9,1970), hal. 14.
Perkawinan adalah perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia yang kekal, dimana antara suami isteri itu
harus saling menyantuni, kasih mengasihi, terdapat keadaan aman dan tentram
penuh kebahagiaan baik moral spritual dan material berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. 17

Pengertian perkawinan menurut Hazairin adalah: Perkawinan itu adalah

hubungan seksual, tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan

seksual, dan bila tidak ada hubungan seksual antara suami isteri maka tidak perlu ada

tenggang waktu tunggu (iddah) untuk menikah lagi bekas isteri itu dengan laki-laki

lain. 18

Menurut R, Subekti secara tegas menyatakan pengertian dari perkawinan ini

adalah: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan untuk waktu yang lama. 19

Pengertian perkawinan yang secara khusus adalah sebagaimana yang

dikemukakan oleh Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berikut ini: Perkawinan

merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga

sejahtera dan bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung

jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang berat

yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan.20

17
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.287.
18
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1981, hal.61.
19
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 23.
20
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1987, hal.2.
Dari pengertian perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa suatu

perkawinan merupakan perhubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan sebagai suami isteri dalam membentuk suatu kehidupan rumah tangga

yang bahagia, kekal dan abadi dengan berdasarkan kepada kepada Ketuhanan Yang

Maha Esa, dimana dengan adanya perkawinan ini diharapkan memperoleh anak

sebagai sebagai penerus keturunan mereka kelak dikemudian hari.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, maka perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut

agamanya dan kepercayaannya masing-masing.

Dari rumusan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat

disimpulkan bahwa sahnya tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan

oleh agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. “Ini

berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan

hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan

perkawinan.” 21

Sehubungan dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas bagi

warganegara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan

perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan

21
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 /1974 sampai KHI, Prenada Media, Jakarta,
2004, hal. 60
yang telah diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Yang masih menjadi persoalan

adalah perkawinan antara mereka yang berbeda agama, sebab pelaksanaan

perkawinan bagi perbedaan agama tidak ada ketentuannya baik dalam undang-undang

perkawinan maupun dalam peraturan pelaksanaannya. Namun dalam prakteknya

perkawinan bagi yang berbeda agama belum diperkenankan di Indonesia. Dengan

melihat ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas maka sebetulnya tujuan diadakan

ketentuan tersebut di atas adalah untuk menghindarkan konflik hukum baik antara

hukum adat, antara hukum agama dan hukum antara golongan.

Dengan demikian apabila terjadi perkawinan antara dua orang yang berbeda

agama maka terlebih dahulu harus diadakan pemilihan agama dan kepercayaan yang

mereka peluk. Tanpa menentukan sikap atas agama dan kepercayaan lebih dulu,

sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 tidak mungkin dapat dilakukan perkawinan,

sebab tidak mungkin sekaligus dipergunakan dua ketentuan hukum agama dan

kepercayaan.

Karena bagaimanapun sifat universalnya aturan agama, antara satu dengan

yang lain tentu mempunyai perbedaan-perbedaan kaidah hukum yang mengatur

tatacara, persyaratan dan rukun-rukun yang melandasi upacara perkawinan diantara

agama-agama tadi. Sedangkan penentuan sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh

agama masing-masing. “Oleh karena itu jika terjadi perkawinan di antara dua orang
yang berlainan agama dan kepercayaan mau tidak mau harus menentukan pilihan

salah satu agama dari kelainan agama yang mereka peluk”.22

Bagi orang yang beragama Islam untuk dapat melaksanakan perkawinan

dengan orang yang berlainan agamanya supaya sah menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1

tersebut harus mengikuti ketentuan-ketentuan tentang perkawinan antar agama seperti

yang telah ditentukan dalam Hukum Islam.

Dalam perkawinan antar agama yaitu perkawinan antara seorang muslim

dengan sorang yang bukan muslim, hukum Islam mengatur sebagai berikut:

a. Bagi seorang pria muslim boleh kawin dengan seorang wanita bukan muslim,

tetapi hanya dikhususkan wanita-wanita yang mempunyai kitab suci selain kitab

suci al-Qur'an, yang diakui oleh Allah (al-Qur'an S. Al-Maidah ayat 5).

Ketentuan di atas menyebutkan bahwa laki-laki muslim boleh menikahi

wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), hanya saja harus memenuhi syarat-syarat

tertentu, antara lain dipenuhinya syarat dan rukun nikah menurut agama Islam

dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Syarat lain yang harus dipenuhi

adalah si suami harus memiliki keyakinan bahwa dia tidak akan murtad atau

berpindah ke agama istri, serta dengan segala upaya bisa menimbulkan rasa

simpati pada agama Islam yang akhirnya nanti bisa membawa istrinya untuk

masuk Islam. Persyaratan ini dibuat agak memberatkan agar tidak sembarangan

22
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan
Secara Sosiologis Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 83.
laki-laki muslim untuk kawin dengan wanita ahli kitab. Tetapi saat ini tidak ada

disebutkan kriteria bagi wanita ahli kitab.

b. Bagi seorang wanita muslim dilarang kawin dengan pria non muslim tanpa ada

perkecualian. (al-Qur'an S. al-Baqarah ayat 221 dan S. al-Muntahanah ayat 10).

Adanya larangan di atas dikarenakan pada umumnya posisi wanita (istri)

sangat tergantung kepada suami. Jika dipaksakan, maka pernikahannya batal dan

tidak sah.

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, bahwa sahnya perkawinan adalah ditentukan oleh agama dan

kepercayaannya masing-masing, maka menurut Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap perkawinan

harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengenai tujuan pencatatan ini dalam undang-undang perkawinan tidak

dijelaskan lebih lanjut, hanya di dalam Penjelasan Umum dikatakan bahwa

pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-

peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam

daftar pencatatan.

Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat

dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang

bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang
bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu,

sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dapat dipakai sebagai

alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah

suatu perbuatan yang lain.

Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan,

tetapi hanya menyatakan bahwa: “Peristiwa perkawinan benar-benar terjadi jadi

semata-mata bersifat administratif.” 23 Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan

ini diatur lebih lanjut dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam Pasal 2 sampai

dengan Pasal 9.

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 beserta

penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut:

a. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah:

1. Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai

Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk.

2. Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat

yang membuatnya.

b. Tatacara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan:

23
Lies Soegondo, Administrasi Kependudukan dari Aspek Hak Keperdataan, makalah
Konperensi Nasional Pengembangan Pelayanan Publik di Bidang Kependudukan, Mei 2002.
1. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 .

2. Ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang

merupakan perlengkapan bagi peraturan pemerintah ini, yaitu:

a) Undang-undang No. 32 Tahun 1954, tentang pencatatan Nikah, Talak

dan Rujuk (L.N 1954 No. 98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama

yang berhubungan dengan hal tersebut.

b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen

di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 No. 75 yo.

1936 No. 607 dengan segala perubahannya).

c. Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Cina (Stb. 1917 No. 130 yo. 1919 No.

81 dengan segala perubahannya).

d. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropah yang disamakan (Stb. 1849 No.

25).

e. Daftar Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stb. 1904 No. 279).

Pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam tidak mengatur secara jelas

apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari

pencatatan perkawinan seperti yang telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya

pencatatan perkawinan ini banyak kegunaannya bagi kedua belah pihak yang

melaksanakan perkawinan itu baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam hidup

bermasyarakat. Misalnya dengan dimilikinya akta perkawinan sebagai bukti tertulis


yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari isterinya demikian juga

sebaliknya seorang isteri tidak mungkin mengingkari suaminya. Dengan dimilikinya

akta perkawinan seorang pegawai negeri dapat menuntut berbagai tunjangan,

misalnya tunjangan isteri, tunjangan anak dan tunjangan lain yang berhubungan

dengan perkawinan.

Allah SWT menyebutkan tentang ketentuan utama di dalam melaksanakan

perkawinan. Hal ini terdapat di dalam S. An-Nissa’ ayat 59 yang artinya:

“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu dan lebih baik akibatnya).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka berdasarkan pertimbangan

"maslahah mursalah”dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan adalah merupakan

suatu perbuatan yang harus dilaksanakan. Maslahah mursalah ialah menetapkan

ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali di dalam al-Qur'an

atau Sunnah Rasul atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan

dalam hidup bermasyarakat. 24

Oleh karena dalam kenyataannya pencatatan perkawinan lebih banyak

mendatangkan kebaikan dari pada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka

melaksanakan pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu keharusan bagi

mereka yang bergama Islam. Sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat

perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang


24
Ibid.
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan ini adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum

Islam.

Berpijak atas ketentuan-ketentuan serta penjelasan dari undang-undang


tersebut, perkawinan yang sah harus dibenarkan oleh ajaran/hukum agama
masing-masing calon suami-istri. Kalau ajaran agama yang bersangkutan
tidak membenarkan, mengapa harus berusaha mencari-cari alasan sebagai alat
pembenaran agar perkawinannya dapat terlaksana. 25

Secara tegas dapat dikatakan, tindakan di atas menyimpang dari apa yang

tersurat maupun yang tersirat dalam pasal-pasal dan penjelasan undang-undang ini.

Jadi, apabila terjadi kawin campur antar agama yang dilaksanakan di Kantor Urusan

Agama, maka perkawinan itu tetap tidak sah. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah

menutup pintu perkawinan antar agama.

Ketentuan yang diterapkan dalam Undang-undang Perkawinan ini, dulu bukan

tanpa melalui pembahasan yang mendalam, bahkan analisisnya dalam berbagai aspek

cukup matang. Mengingat sudah begitu jelasnya mengenai perkawinan tersebut, maka

perkawinan antar agama sama sekali tidak termasuk dalam ketentuan tersebut. Dalam

sejarah hukum perkawinan, memang, kolonial Belanda sama sekali tidak pernah

memperhatikan keterkaitannya dengan ajaran agama. Bagi penjajah Belanda waktu

itu, pemikiran ini dianggap wajar sebab dengan mendasarkan pada Pasal 26 BW,

25
http://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htm
mereka memiliki sikap bahwa perkawinan tidak dapat dihalang-halangi hanya karena

beda agama (keyakinan). 26

2. Konsepsi

Berdasarkan judul yang dibahas, maka penulis membuat konsepsi sebagai

berikut:

1. Analisis atau analisa adalah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah bahasa

guna meneliti struktur bahasa tersebut secara mendalam. Kamus Umum

Bahasa Indonesia memberikan defenisi analisa: ”Penyelidikan sesuatu

peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui apa sebab-

sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya.” 27

2. Keabsahan berarti pengesahan, pengakuan undang-undang terhadap sahnya

perkawinan tersebut.

3. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. 28

26
Perkawinan Antar-agama Rawan Penyelundupan Hukum, http://www.kompas.com/
kompas-cetak /0303/31/dikbud/229187.htm
27
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)
hal. 39
28
Lihat Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974,
4. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan

yang berbeda agama.

5. Luar negeri merupakan wilayah yang berada di luar wilayah Republik

Indonesia. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan luar negeri sebagai

wilayah asing. 29

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji

peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan. Metode penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

"Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin menyebut metode

penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu

suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book;

maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process." 30

Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang

bersifat kualitatif.

29
W. J. S. Poerwadarminta, Op.Cit, hal. 609.
30
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah
Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum
Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis

antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi

yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang

berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.

"Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat

menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic dimana hal itu

menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang

mendalam atau indepth information." 31

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk

mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan

penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang

dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya

ilmiah lainnya.

1. Penelitian kepustakaan (Library Research). Melalui studi kepustakaan ini, data

yang dikumpulkan adalah data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, dan peraturan perundang-undangan lainnya


31
Ibid, hal.2
yang berhubungan dengan obyek penelitian adalah merupakan bahan hukum

primer.

b. Bahan hukum sekunder, berupa bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya

ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan

penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder.

c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris,

Indonesia, Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam

maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law

yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

2. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan

nara sumber yaitu pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain

berupa informasi baik dalam bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang

dijadikan sebagai landasan teoritis. Wawancara dilakukan dengan pegawai Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.

3. Alat Pengumpulan Data

Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan

dengan mempergunakan studi dokumen atau studi kepustakaan sebagai alat

pengumpul data. Penelitian Pustaka dimaksud merupakan penelitian bahan hukum


primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum

perkawinan.

Selain itu dilakukan dengan melakukan wawancara dengan nara sumber, yaitu

dengan ibu Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil Kota Medan

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di

lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode

deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan

pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam

melihat keabsahan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri. "Data

yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara "kualitatif,

selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru

ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif" 32

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,

peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media

cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi

32
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas
Erlangga, Surabaya, halaman 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang
Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada Suatu Kesimpulan yang Bersifat Lebih
Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik
(Self Efident) yang Esensi Kebenarannya Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.
kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis

penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalani dilakukan secara

kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala

permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.


BAB II

KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA


DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-Syarat Perkawinan

1. Sahnya Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam

kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat

pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat

Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum

perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah menurut :

a. Hukum Adat

Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa

perkawinan 33 adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya

secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup

kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu

persekutuan.

b. Hukum positif

33
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 12
Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria

dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
34
negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian menurut BW).

Perkawinan menurut agama Islam sendiri adalah suatu proses akad atau ikatan

lahir batin di antara seorang pria dan wanita. Yang menjamin halalnya pergaulan

sebagai suami dan istri dan sahnya hidup berumah tangga. Dengan tujuan untuk
35
membentuk keluarga sejahtera , serta atas dasar suatu kerelaan dan kesukaan kedua

belah pihak dan dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang

sudah diatur oleh agama. 36

Undang-Undang Perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan

secara materiil dalam Pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam Pasal 2 ayat (2), maka

secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh

masyarakat Indonesia. 37

Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagai syarat materil

suatu perkawinan, menentukan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” Dengan

perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar

34
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 1982, hal. 31
35
Abdurahman Al-Mukaffi, Op. cit
36
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press. 1988. Hal. 27-33
37
Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang Cemerlang,
Yogyakarta, 2000, hal. 13
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya

dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam

Undang-Undang Perkawinan. Setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya dilaksanakan pencatatan

perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang

berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku”

Diberlakukannya Undang-Undang perkawinan yang bersifat nasional ini,

secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi

berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang

bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan

dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya

berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.

Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh

hukum agama, baik Islam, Nasrani (Katholik maupun Protestan), ataupun Hindu dan

Buddha, yang kemudian diserap oleh Undang-Undang perkawinan memperbesar

pergeseran pelaksanaan proses perkawinan. 38

38
Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan
Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan shodaqah, Mandar Maju, Bandung,
1997, hlm.12.
Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena

hukum adat sifatnya fleksibel dan praktis sehingga mampu untuk menerima

intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya

hukum agama Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya

dengan perkawinan, sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut

hukum agama juga telah diresepsi oleh hukum adat).

Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan

antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau kenyakinan. Hal ini

sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketegasan pelarangan perkawinan

beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang

kawin. 39

Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam hukum agama (Islam) tidak

menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi seorang pemeluk agama Islam

39
Notaris Herman, Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama, http://herman-
notary.blogspot.com/2009/06/opini-perceraian-dalam-perkawinan-beda.html, diakses tanggal 14
Nopember 2009.
yang juga memegang teguh hukum adatnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang

yang memberlakukan KUHPerdata terhadap dirinya. 40

Berdasarkan pada kenyataan sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Maka

seperti yang dikemukan Achmad Ichsan, bahwa perlu kiranya pengkajian ulang

terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena masih

berkembangnya pendapat perkawinan itu tidak hanya urusan duniawi tetapi juga

masalah Tuhan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkawinan gereja (kerkelijk

huwelijk) yang merupakan salah satu contoh perkawinan secara agama yang tidak

dilampirkan di Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand) sehingga perkawinan tersebut sah

menurut agama, tetapi tidak sah menurut Undang-Undang terutama pada Pasal 2 ayat

(2) Undang-Undang Perkawinan. 41

Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda seperti

contoh yang dikemukakan di atas. Diusahakan adanya Hukum Negara yang

ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum

masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan:

Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur bathin/rokhani juga
mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat

40
Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998. Hal. 28-30.
41
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologi Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. Hal. 19.
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.”

Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum

Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi:

“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,


maka Undang-Undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang
hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah
menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum
Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”

Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa

sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan

kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu Undang-

Undang Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum

agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya

persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya

selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut

agama Islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan

syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam agama Islam. 42

Begitu pula untuk pemeluk agama lainnya, apabila segala persyaratan yang

timbul dari hukum agama masing-masing terpenuhi, maka hukum negara akan

menguatkan atau mengukuhkan perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan


42
Abdul A’a Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, terjemahan Achmadi Rais, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 34.
tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,

yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai

suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib administrasi bagi setiap

perkawinan yang dilangsungkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,

menentukan dalam suatu hukum perkawinan: 43

a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Islam:

1.
Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2.
Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Islam.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi
orang Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yang
diresipir dalam hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata
dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa
berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata.
b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Nasrani (Katholik dan Protestan):
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Nasrani (Katholik dan Protestan).
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi
orang Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen,
bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit
perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku
hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata.
c. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Hindu maupun Budha
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

43
Ibid, Hal. 26-29
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan
sesuai dengan agama Hindu maupun Budha.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka
bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum adat, bagi
Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya,
bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya
masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan

menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi

akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi permasalahan
44
ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu adanya musyawarah

antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang diberlakukan, sesuai dengan

prinsip keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut Undang-Undang

Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah:

a. Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan


kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata
tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon istri, bukan
perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua
calon suami istri dan atau keluarganya 45
b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-
masing agama dan kepercayaan.
c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai
pencatat nikah dari Kantor Catatan Sipil bagi orang non-muslim pribumi
maupun keturunan dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim baik
pribumi maupun keturunan. 46

44
Djuhaendah Hasan, Op.Cit. Hal. 60-62
45
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hal. 26-27.
46
Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hal. 23.
2. Syarat Perkawinan

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2

ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun

formil, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Syarat-syarat perkawinan yang

dimaksud adalah terdiri dari:

a. Syarat Materil (Menurut Undang-Undang Perkawinan)

1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat (1))

guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ;

2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun

sedangkan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali jika terdapat

penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21

tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua

orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu

menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih

ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).

3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu

karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan

susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku terdapat suatu larangan. Seseorang yang masih terikat


perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali karena izin

Pengadilan, sesuai Pasal 9.

4. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada

perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan

kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10.

5. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan

Pasal 11.

b. Syarat Formil

Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan

perkawinan (Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10

dan 11 Peraturan Pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975.

B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia

Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang

sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung

kesamaan tersebut adalah dalam hal :

1. Subjeknya harus antara pria dan wanita,

2. Timbulnya suatu ikatan,

3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan atau

peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat

suatu pengakuan atas ikatan yang timbul.


Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat dalam

memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh Undang-Undang

perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk

mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan

kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan

masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan

tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut. 47 Pandangan ini dikembangkan

oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu

langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang

ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan

yang majemuk. 48

Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai

perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam

Peraturan Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad

1898 Nomor 158 (Gemengde Huwelijken Regeling), Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di

Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait

47
O. K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 97.
48
Ibid, hal.143.
dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan

Perkawinan Campuran/Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898

Nomor 158 (Gemengde Huwelijken Regeling), beberapa ketentuan tentang

perkawinan beda agama adalah sebagai berikut:

Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia

Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.

Pasal 6 ayat (1): Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang

berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.

Pasal 7 ayat (2): Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak

dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama

bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk

mencegah terjadinya perkawinan.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai

landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal

57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Sedangkan Pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang

kawin. Pasal di atas memuncul beberapa penafsiran yang berbeda yang

mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di


Indonesia. Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit

mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-

muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi

Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu, yaitu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara

laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-

Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun

agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. 49

Sedangkan Pasal 44 menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini

secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-

muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-

Kitab.

Selanjutnya Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

49
M.Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, makalah,
http://www.pa-wonosari.net/asset/nikah_beda_agama.pdf, diakses tanggal 30 Oktober 2009.
a. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang

dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

b. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang

akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-

undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan

perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang

ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini

menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan.

Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari negara. Mengenai

sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974.

Dalam penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur

adanya perkawinan beda agama, selanjutnya pada pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing¬masing agamanya

dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama merupakan landasan

filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan

keabsahan perkawinan. Oleh karena dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada
masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan

mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan.

Tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan

Tahun 1974 menagrtikan bahwa Undang-Undang menyerahkan keputusannya sesuai

dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama

yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya

perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah

dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah (2):221). Selain itu juga

dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (I Korintus 6: 14-18).

Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan

dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Fridolin Ukur, maka: Mereka

dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut

agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada

umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka. 50

Pendapat berbeda disebutkan Farida Prihatini, yang menyebutkan bahwa

Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, lanjut

Farida, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Itu

50
Zaldi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Agama-Agama,
http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/perkawinan-beda-agama-dalam-perspektif-agama-agama
/,diakses tanggal 20 November 2009.
zina. 51 Namun di sisi lain larangan ini dianggap sebagai tindakan diskriminatif bagi

pasangan yang ingin menikah. 52

Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara yang lazim ditempuh

pasangan beda agama yang akan menikah.

1. Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan


itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil.
Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12
Tahun 1983.
2. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama.
Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang
mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum
agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang
dianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)
menjadi persoalan kembali tentang status perkawinan pertama.
3. Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan
menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah
seorang pasangan 'berpindah agama' sebagai bentuk penundukan hukum.
4. Yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di
luar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya
menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia. 53

51
Ibid. 7
52
“Perkawinan Beda Agama dipandang dari Aspek Hak Asasi Manusia”,
http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18/PERKAWINAN_BEDA-AGAMA_DARI_ASPEK_HAK_
ASASI_MANUSIA, Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya
merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia itu
sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-
masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama.
Masalah agama merupakan salah satu komponen Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai peraturan perUndang-Undangan tertinggi di
Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dengan tegas
menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang.
Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-
masalah agama. ecara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak
diselaraskan dengan peraturan perUndang-Undangan lainnya. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak
Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas
kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan
yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak.
53
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 102.
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang

beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan

perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di

luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan

dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka akan dilakukan

pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan

tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Tahun

1974 tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan

berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan

perkawinan. 54

Permasalahan yang mungkin terjadi, jika ternyata terjadi pemutusan

perkawinan atau cerai. Kalau nanti mau cerai, apakah bisa di Pengadilan Negeri.

Namun kalau luar negerinya ada yang beragama di Kantor Urusan Agama, karena di

luar negeri tidak ada Kantor Urusan Agama. di luar negeri semua perkawinan

dicatatkan di catatan sipil. Kalau beragama Islam, hanya dilakukan mesjid saja karena

tidak ada Kantor Urusan Agama di luar negeri.

Sebagai sebuah peristiwa dalam kehidupan, perkawinan pasangan laki-laki

dan perempuan Warga Negara Indonesia harus dicatatkan. Pentingnya pencatatan

54
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
perkawinan bagi pasangan Warga Negara Indonesia semakin dipertegas secara teknis

dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Perkawinan seorang Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia

yang beragama Islam dilakukan dihadapan Kantor Urusan Agama di wilayah domisili

pengantin wanita yang kemudian dikeluarkan akta nikah. Apabila perkawinan

dilaksanakan secara Kristen ataupun agama lainnya, maka perkawinan tersebut harus

didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang kemudian akan

dikeluarkan surat tanda bukti pelaporan perkawinan dari Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil..

Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri sebagaimana diatur di dalam

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 56 antara 2 orang Warga

Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing

adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana

perkawinan dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar

ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Ada perbedaan pendapat mengenai status perkawinan beda agama, yaitu:

1. Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran


terhadap Undang-Undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 8 huruf (f) yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena
itu pernikahan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum.
2. Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu
dapat dilangsungkan, sebab pernikahan tersebut termasuk dalam
pernikahan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang
perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja
mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan
yang berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang
berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan pernikahan beda agama
dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan
Perkawinan Campuran.
3. Undang-Undang pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan
beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-Undang
Perkawinan, maka peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang
Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian
maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada
peraturan perkawinan campuran. 55

Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 dan dalam Gemengde Huwelijken Regeling dan Ordonansi Perkawinan

Indonesia Kristen tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun

falsafah yang sangat lebar antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua

ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan

hukum.

1. Pandangan Yang Menyatakan Perkawinan Beda Agama adalah


Pelanggaran

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran

terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f, maka

instansi baik Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan

Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada Pasal 2

55
Priskalista, Pernikahan Beda Agama, http://priskalista.wordpress. com/2009
/08/20/pernikahan-beda-agama/, diakses tanggal 30 Oktober 2009.
ayat 1 jo Pasal 8 f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa

perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

ditegaskan bahwa dengan perumusan Pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di

luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal

tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan

ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh Undang-Undang

perkawinan. 56 Selaras dengan itu, Hazairin menafsirkan Pasal 2 ayat 1 beserta

penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan

melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen,

Hindu, Budha. 57

Hal ini juga ditegaskan oleh Herman:

Ketegasan larangan perkawinan beda agama adalah mutlak mengingat


perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Ketegasan larangan ini
jelas menunjukkan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. 58

Adanya ketentuan dalam pasal 2 (1), “ Bahwa sahnya perkawinan apabila

dilakukan oleh masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan dalam

Penjelasan atas pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum

56
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta, 1993, hal..3
57
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta, Tintamas,
Jakarta, 1986, hal. 2
58
Herman, Loc.Cit.
masing-masing agamanya, jelas bahwa perkawinan antar agama tidak sah dan bukan

perkawinan. 59

Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-

laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang

tidak beragama Islam. 60

Media massa baik elektronik maupun cetak ikut mensosialisasikan kawin

campur ini. Dalam banyak tayangan dan pemberitaan, para pelaku kawin campur

digambarkan sebagai pasangan yang selalu bahagia dan harmonis. “Padahal

kampanye kawin beda agama yang kini sedang disosialisasikan, sebenarnya juga

(termasuk) metode kristenisasi, “kata Abu Deedat. Lebih jauh, kelompok pendukung

kawin campur juga berusaha mencari pijakan teologis. Mereka menggandeng para

intelektual Muslim untuk melakukan re-interpretasi ayat-ayat al-Quran yang

melarang kawin campur. Bertemulah mereka dengan kelompok Islam Liberal (kajian

Utan Kayu) yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla. Lewat jaringan media massa yang

mereka miliki, Kajian utan Kayu gencar mensosialisasikan kawin campur. 61

Larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama Islam ditegaskan

dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan penegasan bahwa seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak

beragama Islam; sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf (c) KHI dilarang

59
Media Dakwah, September 1997, hal. 68
60
EOH, O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, Cet. ke-1, Hal. 117
61
Hartono Ahmad Jaiz, Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Pustaka Al-
Kautsar, Jakarta, 2004, Cet. ke-3, hal..227-228
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Larangan ini karena perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci

yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana

maksud Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam

merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan

lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, warahmah.

2. Pandangan Yang Membolehkan Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan

dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan

argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada

dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal

ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga

mengatur dua orang yang berbeda agama.

Pada Pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan

campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada

hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu

tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi

antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan

penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah

perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa

perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal

daerahnya. 62

Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak

diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka persoalan perkawinan beda

agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur

dalam Undang-Undang perkawinan. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku

lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW,

Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran.

Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Berdasarkan pada Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka

perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran.

62
Masjfuk Zuhdi, Op. Cit., hal. 2
Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor

Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat ditolak. 63

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau

perkawinan beda agama belum diatur dalam Undang-Undang secara tuntas dan tegas.

Oleh karenanya, ada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak mau

mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut

bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dan ada pula Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan Gemengde

Huwelijken Regeling, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga

isteri mengikuti status hukum suami.

Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-Undang Perkawinan tentang

perkawinan antar agama dalam Pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-

masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-

isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya

berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu

harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan

calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang

lainnya. 64

Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut

salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri.

63
Ibid, hal. 3
64
Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 95
Artinya salah satu calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah

satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya. 65

Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama.

Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar

agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, yaitu memutuskan

tentang permohonan Andi Vonny Gani P untuk melakukan perkawinan dengan

Adrianus Petrus Nelwan 66 Dalam pertimbangan MA adalah dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara

calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan

dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 yang

menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum,

tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara

sekalipun berlainan agama dan selama oleh Undang-Undang tidak ditentukan bahwa

perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah

sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

65
Ibid, hal. 95.
66
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 382/PDT/P/1986/PN.JKS.PST
- Pasal 63 (1)a Undang-Undang No. 1/1974 menyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan
Pengadilan, maka hal ini merupakan wewenang Pengadilan Agama menolak melaksanakan
perkawinan dengan alasan perbedaan agama, akan tetapi alasan tersebut tidak merupakan larangan
untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 1/1974
- Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di dalam Undang-Undang No. 1/1974 dan disisi lain
merupakan UU produk kolonial yang mengatur hal tersebut, akan tetapi UU ini tidak mungkin dapat
dipakai karena perbedaan prinsip dan falsafah
tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk

memeluk agama masing-masing.

Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia

yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan

antar agama. Maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan

terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika

dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak

negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-

penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka

Mahkamah Agung harus dapat menentukan status hukumnya. 67

Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar

agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang

untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama

Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama

Dari putusan Mahkamah Agung tentang perkawinan antar agama sangat

kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi

kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974.

67
Ibid, hal.97
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan

sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar

agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber

hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk


melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas
dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula
ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah
tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga Pasal 8 point f Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan untuk
dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri
tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan
karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda
agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon
pasangannya. 68

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan

dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di

luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang

mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara

Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah

bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu

berlangsung.

Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam

jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor
68
Raimond Lamandasa, Polemik Kawin Beda Agama, http://nimrodhambuako.wordpress.
com/ 2009/03/04/polemik-kawin-beda-agama/, diakses tanggal 21 Oktober 2009.
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. 69 Namun secara tegas Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur pencatatan

perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya acara bukan materi hukum.

Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri oleh pasangan Warga Negara

Indonesia beda agama tetap merupakan perbuatan penyelundupan hukum, karena

kedua pasangan berusaha menghindar dari hukum nasional. Perkawinan tersebut

memang sah menurut hukum negara tempat dilangsungkannya perkawinan tersebut,

tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak

memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang

beda-agama. Bila memang perkawinan beda-agama tidak diperbolehkan, maka

seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam Undang-Undang. Hukum agama tetap

saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk dalam hukum positif nasional.

Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung

dalam Undang-Undang karena menyangkut masyarakat secara umum.

Selain tidak adanya larangan terhadap perkawinan beda-agama, Pasal 57

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengakui adanya perkawinan campuran,

yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang tunduk pada

hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

69
Lihat Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No.1/1974
berkewarganegaraan Asing, serta perkawinan yang dilakukan di luar negeri antara

dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan

warganegara Asing. Dalam kasus tertentu, bisa saja perkawinan campuran atau

perkawinan yang dilakukan di luar negeri juga merupakan perkawinan beda-agama.

Perkawinan berbeda agama ini juga menyentuh aspek hak asasi manusia.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sendiri tidak

memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal

10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah

perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sah dari aspek

agama dan sah dari aspek administrasi.

Di Indonesia, dinamika perkawinan masih sebatas masalah formalitas, yaitu

apakah perkawinan tersebut dilegalkan/diakui atau tidak oleh negara? Ini terjadi pada

kasus kawin beda-agama, atau kawin di luar negeri. Ada yang berpendapat bahwa

perkawinan-perkawinan tersebut harus dilarang karena merugikan, terutama bagi

anak. Namun sesungguhnya anak bagaimanapun tidak bisa dijadikan alasan untuk

mendukung pendapat tersebut. Undang-Undang Perlindungan Anak (Pasal 4 Undang-

Undang No. 23 Tahun 2002) dengan jelas menyatakan bahwa: Setiap anak berhak

untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.

Bahkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Kewarganegaraan RI No. 12 Tahun

2006 disebutkan: Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang

sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh

ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara

Indonesia.

Di situ, dijelaskan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah pun

tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia, dengan kata lain: tetap dilindungi oleh

negara. Jadi, apakah anak lahir dari perkawinan yang sah atau tidak, perlindungan dan

hak-hak anak harus tetap diberikan, misalnya hak untuk mendapat akta kelahiran.

Perkawinan merupakan hak dari setiap orang. Undang-Undang Hak Asasi

Manusia (Pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999) dengan tegas menyatakan:

1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan


melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon
suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan

Berdasarkan ayat (1) di atas, perkawinan itu kan tetap melalui prosedur yang

sah. Jadi, tidak boleh sembarang kawin. Justru karena itulah, perkawinan memang

harus diakui oleh negara. Negara harus mengakui perkawinan setiap warganegaranya

dengan tujuan ada perlindungan nantinya bagi mereka yang kawin itu. Namun, bukan

negara yang menentukan cara perkawinan tersebut. Negara hanya memberikan


pengakuan. Perkawinan merupakan lanjutan dari hak hidup yang paling terpenting

dan tidak terlepas dari hak untuk bebas menentukan pilihan sesuai dengan Pasal 3

Undang-Undang Hak Asasi Manusia: Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat

dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani

untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.

Jadi, apabila negara malah menentukan cara-cara perkawinan yang sah, maka

sama saja negara tidak memberikan kebebasan memilih pasangan tadi dan otomatis

kondisi ini bertentangan dengan hukum (Hak Asasi Manusia). Sudah menjadi

kewajiban negara untuk melindungi dan mengakomodir tuntutan-tuntutan dalam

masyarakatnya. Tentu, tuntutan-tuntutan tersebut tidak merugikan/mengganggu hak

orang lain. Menjadi permasalahan jika ada pihak yang terganggu haknya apabila

seseorang/dua orang ingin kawin atau dengan orang yang sudah kawin lalu ingin

kawin lagi. Tentu saja orang yang ingin kawin lagi tidak termasuk dalam kategori ini

karena ada hak-hak orang lain yang dirugikan, misalnya hak-hak istri dan anaknya.

Undang-Undang Perkawinan yang berlaku saat ini di Indonesia mensyaratkan

bahwa perkawinan sah apabila dilakukan berdasarkan agama/kepercayaannya dan

harus dicatatkan. Sebenarnya tidak ada ketegasan apakah perkawinan beda-agama

dilarang oleh Undang-Undang Perkawinan ini. Apabila ada orang yang

menganggapnya demikian, maka pendapat tersebut hanyalah tafsiran. Sudah tentu

tafsiran yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan cenderung


dipandang berlaku seperti peraturan itu sendiri. Padahal itu tidak demikian. Tafsiran

hanyalah sebatas tafsiran, kebenarannya tidak bersifat mutlak dan bisa saja salah.

Kekuatan berlakunya hukum tidak semata-mata dilihat dari segi yuridis,

melainkan juga dari segi sosiologis dan filosofis. 70 Secara sosiologis, tidak adanya

pengakuan negara atas perkawinan antar-agama menyebabkan banyak warga negara

yang melakukan perkawinan di negara-negara yang melegalkan perkawinan seperti

itu. Cara ini dapat dilegalkan dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 56 Undang-

Undang Perkawinan. Sebagai syaratnya, perkawinan tersebut harus dicatatkan dalam

waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke wilayah Indonesia dengan membawa surat

bukti perkawinan untuk didaftarkan di Kantor Pencatatan setempat.

Walaupun demikian, dalam prakteknya tetap saja muncul hambatan dalam

melakukan pendaftaran perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan adanya

penafsiran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 melarang terjadinya

perkawinan beda-agama. Penafsiran ini pada prinsipnya kurang tepat karena banyak

perkawinan beda-agama yang diterima dalam masyarakat, dalam kasus ini, terutama

untuk pasangan yang terdiri atas calon suami yang beragama Islam dan calon istri

yang beragama Kristen. 71 Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, penerimaan

perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar

asas-asas Hak Asasi Manusia. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan

dampak sosial baru.

70
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 3, Liberty , Yogyakarta, 2002, hal. 87.
71
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta
1989, hal. 166.
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran

negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita-

cita dari sebuah negara hukum. Salah satu yang menjadi tujuan fundamental dari

pembangunan hukum adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum. 72 Di sini,

negara harus benar-benar secara serius menjamin hak-hak dasar warga negara.

Demikian juga dengan hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun kedua

mempelai merupakan pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakui

perkawinan ini, antara lain sebagai bentuk harmonisasi ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia terhadap peraturan perundang-

undangan lainnya.

Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang adanya

perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda-agama. Bahkan, Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tidak langsung memberikan ruang bagi

terjadinya perkawinan beda-agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974. Secara sosiologis, perkawinan beda-agama masih

diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait

dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi,

diskriminasi terhadap perkawinan beda-agama merupakan pelanggaran terhadap asas-

asas dasar dari hak asasi manusia itu sendiri.

72
T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 36.
Tidak ada pengaturan mengenai perkawinan antar agama di dalam Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 dapat dipahami, dan merupakan cerminan bangsa betapa

alotnya pembicaraan untuk memutuskan rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Di mana

sampai akhir disetujuinya RUndang-Undang Perkawinan menjadi Undang-Undang

Perkawinan berlum tercapai kata sepakat untuk melahirkan suatu ketentuan tegas dan

berlaku universal tentang aturan mengenai cara melangsungkan perkawinan yang

sah. 73 Sebagai jalan keluarnya, untuk menampung aspirasi dari masing-masing

penganut agama dan kepercayaan lahirlah rumusan yang ada sekarang, dengan

menentukan sahnya perkawinan itu menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu.

D. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Pandangan Agama di Indonesia

Di Indonesia terdapat 5 agama yang diakui dan banyak dianut oleh

masyarakatnya, yaitu Islam, Nasrani (Kristen Protestan dan Katholik), Hindu dan

Budha. Dan di setiap agama, perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia.

Sehingga bisa dianggap di dalam Hukum Adat di Indonesia telah terdapat pelbagai

bagian dari aturan-aturan agama Hindu, Islam, Nasrani dan Budha.

1. Menurut Agama Islam

Di dalam hukum Islam ada ketentuan yang mengatur secara tegas tentang

larangan bagi orang-orang Islam untuk kawin dengan non muslim. Dasar hukumnya

73
Runtung, “Perkawinan Antar Agama Dilema dan Solusinya” , makalah tt, hal.12.
dijumpai dalam Al Qur’an Surat Al’Baqarah ayat (221) : Dan janganlah kamu nikahi

wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang

mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan

janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

musyrik walaupun ia menarik hatimu.

Para ahli hukumberbeda pendapat dalam menafsirkan Al Qur’an ini. Abdullah

bin Umar, menafsirkan pengertian musyrik dengan mencakup semua ummat yang ada

di luar Islam. Termasuk juga haram menikah dengan golongan-golongan ahlul kitab

Yahudi dan Nasrani, disebabkan mereka menyekutukan Allah dengan Uzair dan nabi

Isa. 74 Sedangkan 4 mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, berpendapat bahwa

menikah dengan perempuan kitabiyah adalah boleh. Namun, dalam perkembangan

selanjutnya Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan

Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk

diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi.

Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita

Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia

bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan

74
Ahmad Kuzaro, Nikah Sebagai Perikatan, Walisongo Press, Semarang, 1995, hal. 36..
dengan kaum Muslimin. Maka, apabila keluar dari ketiga syarat itu ia tidak boleh

dinikah. 75

2. Menurut Agama Katolik

P. A. Heuken SJ menguraikan bahwa bagi ummat Katolik yang akan

melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi syarat-syarat materil dan formal

sebagai berikut:

1) Syarat-syarat materiil:

a. Calon mempelai sudah mengertia makna penerimaan sarkamen perkawinan

beserta akibat-akibatnya

b. Tidak berdasarkan paksaan

c. Pria sudah berumur 16 dan wanita berumur 14 tahun (Kan. 1083:1)

d. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain (Kan. 1085:1)

e. Beragama Katolik

f. Tidak ada hubungan darah terlampau dekat (Kan. 1091)

g. Tidak melanggar larangan perkawinan

2) Syarat-syarat formil

75
Abdul Majid, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam, 09-04-05,
http://asnawiihsan.blogspot.com, diakses tanggal 20 Desember 2009.
a. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan

maksudnya kepada Pastor Paroki pihak wanita, atau pihak pria bila calon

isteri tidak beragama Katolik.

b. Pastor paroki akan mengadakan penyelidikan Kanonik mengenai ada

tidaknya halangan perkawinan dan pengertian calon mempelai tentang

makna penerimaan sakramen perkawinan dengan segala akibatnya.

c. Bila tidak ada halangan perkawinan, pastor paroki akan mengumumkan tiga

kali berturut-turut pada musa hari Minggu

d. Bila tidak ada pencegahan perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan

pada hari yang ditentukan.

e. Pernikahan dilakukan menurut hukum gereja Katlik, yaitu di hadapan

ordinaris wilayah atau pastor-pastor atau imam diakon yang diberi delegasi

oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan perkawinan tersebut.

f. Setelah perkawinan menurut agama selesai, pernikahan tersebut harus

dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. 76

Adanya ketentuan di atas mengartikan bahwa hukum agama Katolik juga

tidak mengenal perkawinan antara orang-orang yang beragama Katolik dengan yang

bukan Katolik. Namun adanya ketentuan “bila calon istri tidak beragama Katolik,

memberi kemungkinan adanya perkawinan antara laki-laki Katolik dengan

perempuan yang bukan beragama Katolik. 77

76
P. A.Heuken, Persiapan Perkawinan, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal. 142-144
77
Runtung, Op.Cit.hal. 8.
3. Menurut Agama Kristen Protestan

Satu hal yang dianggap sebagai salah satu sendi dari agama Kristen adalah hal

monogami, yaitu ketentuan bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan mempunyai

lebih dari seorang istri. Dan menurut agama kristen/Nasrani 78 perkawinan adalah

persekutuan hidup pria dan wanita yang monogam, yang diarahkan ke pembiakan

sebagai tata ciptaan Tuhan, yang disucikan Kristus.

Menurut keyakinan Kristen Protestan, pernikahan itu mempunyai dua aspek,

yaitu merupakansoal sipil yang erat hubungannya dengan dengan masyarakat dan

negara, karenanya negara berhak mengaturnya menurut undang-undang negara.

Kedua perkawinan adalah soal agama, yang harus tunduk kepada hukum agama.

Dengan demikiangereja Kristen Protestan berpendapat bahwa agar perkawinan itu sah

menurut hukum negara maupun hukum Tuhan, haruslah dilakukan berdasarkan baik

hukum agama maupun hukum negara. 79

Menurut pendapat Pendeta J. K. Kiel, perkawinan yang dilangsungkan di

Kantor Catatan Sipil saja oleh umat Kristen Protestan dianggap sebagai perkawinan

yang sah, walaupun tidak diberkati dan diteguhkan di gereja. Pendapat tersebut

cenderung membolehkan adanya perkawinan beda agama. Namun dalam Alkitab

Perjanjian Baru Korintus 6: 14, sebenarnya agama Kristen Protestan juga melarang

78
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit. Hal. 33-35
79
Lemta Tarigan, Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.
/1974, makalah sebagai tugas dalam mata kuliah Kapita Selekta Hukum Adat pada Program Studi S-
2Ilmu Hukum, PPs UU,2003.
perkawinan antara orang-orang Kristen Protestan dengan yang bukan Kristen

Protestan.

4. Menurut Agama Hindu

Hukum agama Hindu memandang perkawinan sebagai salah satu dari banyak

samskra, sebagai sesuat yang suci, yang diatur oleh dharma, dan harus tunduk pada

dharma. Karena itu perkawinan baru sah bila ia dilakukan menurut hukum agama

dengan melalui upacara sakramen yaitu wiwaha homa atau wiwaha samskara. Bila

suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agama, maka segala akibat hukum

yang timbul dari perkawinan tersebut tidak diakui oleh agama.

Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pada hakeketanya hukum agama

Hindu juga tidak mengenal adanya perkawinan antar agama.

5. Menurut Agama Budha

Menurut agama Budha perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan

perempuan menjadi suami istri. Walaupun di dalam agama Budha tidak ditentukan

secara tegas azas monogami yang dianut. Tetapi dengan berdasar kepada Anguttara

Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Budha

adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang

perempuan yang baik (dewi). Maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan

menurut agama Budha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang
laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh

mempunyai seorang suami. 80

Asmin mengungkapkan bahwa perkawinan menurut agama Budha harus sedharma.

Dengan kata-kata se –dharma berarti bahwa hukum agama Budha juga melarang

perkawinan antara orang-orang yang beragama Budha dengan yang non Budha.

80
http://www.samaggi-phala.or.id
BAB III

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA


YANG DI LANGSUNGKAN DI LUAR NEGERI

A. Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Sebagaimana diatur dalam Keputusan Walikota Medan No. 60 Tahun 2001,

Dinas Kependudukan memiliki tugas pokok dan fungsi tertentu. Secara terperinci,

tugas dan fungsi pokoknya adalah sebagai berikut:

Dinas Kependudukan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian urusan

rumah tangga daerah dalam bidang kependudukan dan melaksanakan tugas

pembantuan sesuai dengan bidangnya.

Berkaitan dengan tugas pokok di atas, Dinas Kependudukan memiliki empat

fungsi, yaitu:

1. Merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis di bidang kependudukan dan

pencatatan penduduk

2. Menyelenggarakan pelayanan umum di bidang kependudukan

3. Melaksanakan seluruh kewenangan yang ada sesuai dengan bidang tugasnya

4. Melaksanakan tugas-tugas lan yang diberikan oleh Kepala Daerah

Untuk memungkinkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas Kependudukan

sesuai Keputusan Walikota Medan No. 60 Tahun 2001. Dinas Kependudukan

memiliki susunan organisasi sebagai berikut:


1. Kepala Dinas

2. Bagian Tata Usaha terdiri dari:

a. Sub bagian umum

b. Sub bagian kepegawaian

c. Sub bagian keuangan

d. Sub bagian perencanaan program

3. Sub Dinas Pelayanan dan Pendaftaran terdiri dari:

a. Seksi Nomor Induk Penduduk

b. Seksi Kartu Keluarga

c. Seksi Kartu Tanda Penduduk

4. Sub Dinas Pelayanan Pencatatan terdiri dari:

a. Seksi Kelahiran

b. Seksi Perkawinan dan Perceraian

c. Seksi Pengakuan, Pengesahan Anak dan Kematian

5. Sub Dinas Mutasi penduduk terdiri dari:

a. Seksi Administrasi Perpindahan Penduduk

b. Seksi Perubahan Data

6. Sub Dinas Data dan Laporan terdiri dari:

a. Seksi Pengolahan Data

b. Seksi Data Statistik dan Informasi

c. Seksi Penyimpangan dan Pelaporan


7. Sub Dinas Pengendalian Penduduk terdiri dari:

a. Seksi Pengesahan

b. Seksi Penyuluhan

c. Seksi Jabatan Funcsional.

Pencatatan perkawinan dilakukan oleh bidang Sub dinas Pelayanan

Pencatatan:

Sub dinas pelayanan pencatatan dipimpin oleh seorang kepala sub dinas yang

dalam melaksanakan tugasnya di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala

Dinas,

Sub dinas pelayanan pencatatn mempunyai tugas melaksanakan sebagian

tugas dinas di bidang pelayaan pencatatan penduduk Warga Negara Indonesia (WNI)

dan Warga Negara Asing (WNA). Untuk melaksanakan tugas sub dinas pelayanan

pencatatan mempunyai fungsi:

a. Menyusun rencana kegiatan kerja

b. Melaksanakan pencatatan dan pendaftaran, memeriksa dan meneliti berkas

pencatatan, mengelola data serta penerbitan. Akta kelahiran bagi warga negara

Indonesia (WNI) dan Warga negara Asing(WNA).

c. Melaksanakan pencatatan dan pendaftaran, memeriksa dan meneliti berkas

pencatatan, mengelola data serta menerbitkan


B. Perkawinan Beda Agama Di Luar Negeri

1. Alasan Kawin Di luar Negeri

Perbedaan agama masih menjadi salah satu penghambat populer hubungan

lawan jenis. Pengaturan hukum di Indonesia juga sama sekali tidak memberi aturan

jelas mengenai perkawinan beda agama, sehingga bagi pasangan beda agama harus

mencari jalan lain agar kedua pasangan bisa menikah.

Ada beberapa faktor mengapa paradigma menikah seagama menjadi suatu

norma di masyarakat. Faktor pertama di luar agama, seperti pragmatisme. Yaitu soal

“kemudahan” melakukan praktik keagamaan bersama, kesamaan adat/budaya yang

terkait agama, dan perayaan hari besar dalam keluarganya nanti. Juga kemudahan

dalam memberi pendidikan agama pada anak. Termasuk faktor “tekanan keluarga”, di

mana seringkali orang tua tidak memberi restu jika anaknya menjalin hubungan

dengan orang yang tidak seiman. Ini alasan yang tidak perlu diperhitungkan. Seperti

memilih jodoh yang sehobi atau sekampung. Sikap pragmatis seperti ini juga ada

pada mereka yang cenderung memilih pasangan satu suku atau se-ras.

Faktor kedua lebih ideologis, yaitu faktor ajaran agama. Pada faktanya

beberapa agama memang mengharamkan pernikahan beda agama, walau ada juga

yang memperbolehkannya dengan syarat tertentu. Gereja Katolik misalnya,

cenderung sulit menikahkan jemaatnya dengan seseorang yang berada di luar Gereja

Katolik. Sedangkan dalam Islam, ada dalil yang mengatakan lelaki Muslim boleh
menikah dengan wanita non-Muslim, namun haram bagi wanita Muslim untuk

menikah dengan pria non-Muslim.

Dua faktor di atas adalah penghambat populer pernikahan berbeda agama,

selain faktor Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia

yang melarang pernikahan berbeda agama (Pasal 2). Dalam hal ini, ajaran agama

memiliki peran amat penting dan merupakan faktor fundamental mengapa masyarakat

cenderung enggan untuk menikah beda agama. Pragmatisme masyarakat dan

Undang-Undang tersebut sedikit banyak didasari/dipengaruhi oleh larangan ajaran

agama.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada 4 cara yang populer ditempuh

oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:

1. Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.

2. Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.

3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama

4. Perkawinan dilakukan di luar negeri.

Untuk cara yang keempat, Undang-Undang Perkawinan memberikan ruang

yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56

Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di

luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara

Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum

yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Selanjutnya

disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke

wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor

Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Namun perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum

memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku

bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-

Undang dan aspek hukum agama.

Menurut Pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar

Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah

sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan

tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu

satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka

perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal

mereka (Pasal 84 KUHPerdata). 81

Berdasarkan hasil wawancara disebutkan bahwa setiap perkawinan yang

dicatatkan pada suatu negara apabila dilaksanakan sesuai Undang-Undang negara

setempat adalah sah di seluruh dunia. 82 Hal ini juga ditegaskan Pasal 56 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan 1974, perkawinan demikian sah apabila dilakukan

81
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999, hal. 56
82
Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, tanggal 26 November 2009.
menurut hukum yang berlaku di negara setempat sekaligus tidak melanggar peraturan

perundang-undangan Indonesia."

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perkawinan

beda agama di luar negeri, yaitu antara lain karena negara Indonesia tidak memiliki

aturan yang membolehkan adanya lembaga perkawinan beda agama. Pada Pasal 56

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang

dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya

adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah

sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu

berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar Undang-Undang ini. 83

2. Tata Cara Perkawinan Beda Agama di Luar Negeri

Merujuk pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pasal ini menyatakan bahwa “Perkawinan yang dilangsungkan di luar

Indonesia adalah sah apabila:

1. Perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana

perkawinan itu dilangsungkan;

2. Bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang

Perkawinan”.

83
P. N. H. Simanjuntak, Op.Cit. hal. 76
Berikutnya disebutkan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu

kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke

kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Zulfa Djoko Basuki, pakar

hukum perdata internasional, mengaitkan perkawinan di luar negeri ini dengan Pasal

16 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving), yang menyebutkan: “bagi warga

negara Indonesia dimanapun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia. 84

Sahnya suatu perkawinan, diperlukan dua syarat, yaitu syarat formal dan

syarat material. Syarat formal diatur dalam Pasal 18 AB, yakni ‘tunduk pada hukum

dimana perkawinan itu dilangsungkan’ (lex loci celebrationis). Jika di negara dimana

perkawinan dilangsungkan berlaku perkawinan sipil, maka perkawinan harus

dilakukan secara sipil. Untuk syarat materiil, misalnya mengenai batas usia menikah,

berlaku hukum nasional (dalam hal ini Indonesia). Kedua syarat harus dipenuhi oleh

Warga Negara Indonesia yang menikah di luar negeri.

Syarat formal dalam Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan tadi dirumuskan

dalam frase “bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana

perkawinan itu dilangsungkan”. Sedangkan syarat formalnya dirumuskan dalam frase

“tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini”. 85

Undang-Undang Perkawinan sudah mensyaratkan bahwa perkawinan yang

dilaksanakan di luar negeri tetap harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

Undang-Undang Perkawinan. Jadi, sangat mungkin perkawinan sah secara formal di

84
Perkawinan Di Luar Negeri, http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=6981,
diakses tanggal 30 September 2009.
85
Ibid.
negara tempat perkawinan dilangsungkan, tetapi tidak sah menurut hukum Indonesia

(lihat Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan). Menurut Zulfa, bila syarat materiil

tersebut dilanggar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ini adalah risiko yang

mungkin dihadapi pasangan yang menikah di luar negeri, dan tidak mendaftarkannya

sesuai batas waktu yang ditentukan Undang-Undang Perkawinan. 86

Lalu, dimanakah perkawinan itu didaftarkan? Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang

Perkawinan hanya menyebut didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat

tinggal mereka. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya menerima pelaporan

perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri. Bahwa di dalam Surat Pelaporan

Perkawinan itu ditulis dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan

merupakan Akta Perkawinan.

Dengan adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan (adminduk) memungkinkan pasangan berbeda agama dicatatkan

perkawinannya asal melalui penetapan pengadilan.

Pasal 35 (a) berbunyi pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan

yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa

perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar

umat yang berbeda agama.

Sebelum keluarnya Undang-undang Adminduk, pasangan beda agama

biasanya menikah di luar negeri untuk menghindari Undang-undang Perkawinan yang

86
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata cara dan
Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta, 2005
melarang pasangan beda agama menikah. Tapi ada juga yang memakai cara

penundukkan sementara pada salah satu hukum agama, yaitu pagi menikah sesuai

agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan. Ini

dimungkinkan dengan melakukan re-interpretasi Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.

1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana sering dilakukan oleh kelompok

Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace

(ICRP).

Pengesahan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan menganut beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama ini.

Undang-Undang ini menempatkan pencatatan peristiwa kependudukan seperti

perkawinan sebagai hak. Berdasarkan Undang-Undang ini, perkawinan Warga

Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri wajib dicatatkan pada instansi

yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan RI. Jika di

negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang asing, maka

pencatatan dilakukan Perwakilan RI. Oleh Perwakilan RI, perkawinan itu dicatatkan

dalam Register Akta Perkawinan, lalu terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Kalau

pasangan tadi sudah kembali ke Indonesia, suami istri yang sudah menikah harus

melapor ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil paling lambat 30 hari setelah tiba

di Indonesia. 87

87
Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, tanggal 26 November 2009.
Pasangan Warga Negara Indonesia yang menikah di luar negeri wajib

mencatatkan dan melaporkan peristiwa perkawinan itu. Jika tidak, pasangan tersebut

terancam denda administratif. Perpres Nomor 25 Tahun 2008 memberikan

kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengatur besaran denda

administratif tersebut. Bahkan Pemda boleh menjadikan denda tersebut sebagai

sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 107 Perpres

Nomor 25 Tahun 2008. Salah satu daerah yang sudah menerapkannya sebagai

pendapatan daerah adalah DKI Jakarta, melalui Perda Nomor 1 Tahun 2006 tentang

Retribusi Daerah. 88

Perpres ini merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Salah satu hal penting dalam Perpres ini adalah administrasi kependudukan bagi

pasangan Warga Negara Indonesia yang menikah di luar negeri. Kini, semakin

banyak pasangan Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar

negeri karena alasan tertentu. 89

"Undang-undang Perkawinan 1974 juga mengatur masalah ini, bahkan

menyinggung keabsahan perkawinan yang berlangsung di luar negeri. Berdasarkan

Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan demikian sah

88
Ibid, hal. 6
89
Daniel Suganda, Pernikahan WNI di Luar negeri dan Pola Pencatatannya, (Jakarta,
Penuntut Fajar,2005) hal 5.
apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara setempat sekaligus tidak

melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia." 90

Meskipun perkawinan beda agama tidak dikenal di Indonesia, namun

mekanisme pencatatannya ada diatur. Peraturan perundang-undangan berbeda dalam

menentukan batas waktu kewajiban melapor. Berdasarkan Undang-Undang

Perkawinan, setiap peristiwa kependudukan wajib dilaporkan paling lama satu tahun

tahun. Sebaliknya, berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Administrasi

Kependudukan, pencatatan perkawinan di luar negeri paling lambat harus dilaporkan

30 hari sejak pasangan bersangkutan kembali ke Indonesia. Jika batas waktu

pelaporan terlewati, pasangan perkawinan bisa dikenakan denda administratif. Selain

mencatatkan perkawinan di luar negeri, pasangan yang telat melaporkan kelahiran,

pembatalan perkawinan, perceraian, kematian, adopsi dan perubahan nama juga bisa

dikenakan denda sejenis. 91

Pencatatan perkawinan dilaksanakan di instansi yang berwenang di negara


tempat perkawinan berlangsung. Kalau negara tersebut tak mengenal
pencatatan perkawinan bagi warga asing, maka pencatatan dilakukan oleh
perwakilan Indonesia di negara tersebut dengan syarat pasangan tadi
memenuhi persyaratan. Misalnya salinan paspor dan Kartu Tanda Penduduk,
pasphoto, dan surat keterangan terjadinya perkawinan di negara setempat.
Petugas konsuler selanjutnya mencatatkan perkawinan itu dalam Register
Akta Perkawinan. Perwakilan Indonesia waiib menyampaikan data
perkawinan itu ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia. 92

"Meskipun sudah mencatat dan melapor ke perwakilan Indonesia di luar

negeri, pasangan Warga Negara Indonesia yang menikah tetap harus melapor ke

90
Wahyono Darmabrata, Op. Cit, hal. 7.
91
Ibid, hal. 8.
92
Sri Rahayu, Op. Cit., hal. 6.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat sekembalinya mereka ke Indonesia.

Jika tidak, pasangan ini bisa dikenai denda administratif." 93

Pemerintah Daerah berhak mengatur besaran denda administratif kepada

pasangan yang terlambat melapor. Dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah.

Sebagai sebuah peristiwa dalam kehidupan, perkawinan pasangan laki-laki dan

perempuan warga negara Indonesia (WNI) harus dicatatkan. Pentingnya pencatatan

perkawinan bagi pasangan Warga Negara Indonesia semakin dipertegas secara teknis

dalam Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Perpres ini merupakan peraturan

pelaksanaan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006. 94 Salah satu hal penting dalam

Perpres ini adalah administrasi kependudukan bagi pasangan Warga Negara

Indonesia yang menikah di luar negeri. Kini, semakin banyak pasangan Warga

Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri karena alasan

tertentu.

Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri,

maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah

Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan

Perkawinan tempat tinggal mereka (Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan).

93
Ibid, hal. 7.
94
Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, tanggal 26 November 2009.
Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2.

Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap

menerima pendaftaran perkawinan tersebut. Pencatatan di sini bukan dalam konteks

sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan administratif.

Merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang

Perkawinan di atas, pada dasarnya memang perkawinan beda agama tidak dikenal

dan tidak diakui oleh Hukum Indonesia. Namun demikian, tidak ada pengaturan

secara tegas tentang pelarangan perkawinan beda agama dan atau beda kepercayaan.

Jadi ada banyak tafsir tentang pelaksaanaan dan pengakuan perkawinan beda agama.

Satu-satunya dasar hukum tentang pelaksanaan dan pengakuan perkawianan

beda agama adalah berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 1400

K/Pdt/1986. Dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, perkawinan beda

agama tetap dapat dilangsungkan dan diakui secara hukum. Adapun persyaratannya

untuk membuat Surat Tanda Bukti laporan perkawinan luar negeri adalah:

1. Foto Copy akta perkawinan dari negara tempat melakukan perkawinan

(Translate dilakukan oleh penerjemah tersumpah)

2. Foto Copy akta kelahiran Isteri

3. Foto Copy Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk

4. Foto Copy Pasport suami-isteri

5. Pas photo berwarna 4 x 6 = 5 lembar (berdampingan)

Pada pencatatan perkawinan beda agama, Pegawai Pencatat Perkawinan pada

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil segera setelah menerima salinan penetapan
dari PN untuk mencatat perkawinan antara pasangan beda agama pada buku register

setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut Undang-Undang

Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pencatatan

Penduduk disebutkan bahwa Perkawinan di Wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia:

1. Pencatatan perkawinan dilakukan di Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana

Teknik Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana tempat terjadinya perkawinan.

2. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan

memenuhi syarat berupa:

a. Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama/pendeta

atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditanda tangani oleh

Pemuka Penghayat Kepercayaan;

b. Kartu Tanda Penduduk suami dan isteri;

c. Pas foto suami dan isteri;

d. Kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri;

e. Paspor bagi suami atau isteri Orang Asing.

3. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

tata cara:

a. Pasangan suami dan isteri mengisi formulir pencatatan perkawinan pada

Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana atau pada Instansi

Pelaksana dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2);
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Instansi

Pelaksana atau Instansi Pelaksana mencatat pada Register Akta Perkawinan

dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan;

c. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada huruf b diberikan

kepada masing-masing suami dan isteri;

d. Suami atau istri berkewajiban melaporkan hasil pencatatan perkawinan

kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD)

Instansi Pelaksana tempat domisilinya.

Selanjutnya Pasal 70 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2008 mengatur

pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negara Republik Indonesia

1. Pencatatan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di negara

setempat.

2. Perkawinan Warga Negara Indonesia yang telah dicatatkan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia

dengan memenuhi syarat berupa fotokopi:

a. bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan dari negara setempat;

b. Paspor Republik Indonesia; dan/atau

c. Kartu Tanda Penduduk suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.

3. Pelaporan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan

tata cara :
a. Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Pelaporan Perkawinan dengan

menyerahkan persyaratan kepada Pejabat Konsuler.

b. Pejabat Konsuler mencatat pelaporan perkawinan Warga Negara Indonesia

dalam Daftar Perkawinan Warga Negara Indonesia dan memberikan surat

bukti pencatatan perkawinan dari negara setempat.

Dalam hal negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan

bagi orang asing, pencatatan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia. Pasal 71

ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2008 menyebutkan: “Pencatatan

perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara:

a. Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Pencatatan Perkawinan dengan

menyerahkan dan/atau menunjukkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) kepada Pejabat Konsuler.

b. Pejabat Konsuler mencatat dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan

Kutipan Akta Perkawinan.

Pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil hanya memenuhi syarat formil saja. Meskipun agama melarang

perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan tersebut tidak mengalami kendala,

ini menunjukkan tidak ada persesuaian, antara ketentuan Undang-Undang dengan apa

yang terjadi dalam praktik. Pasangan berbeda agama yang ingin melangsungkan

perkawinan, dapat melakukannya di luar negeri dan mencatatkan di Dinas Catatan

Sipil dan Kependudukan di tempat tinggalnya.


C. Tata Cara Perkawinan Secara Umum

Mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan ini, sesuai dengan ketentuan Pasal

12 Undang-Undang Perkawinan akan diatur lebih lanjut dengan perundang-undangan

tersendiri. Secara umum tatacara pelaksanaan perkawinan sekarang sudah diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal

12. 95

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menentukan tentang

lembaga Pencatatan Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-

Islam. Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun

1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama.

Sedangkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan

kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan

pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

perundang-undangan mengenai percatatan perkawinan.

Penjelasan Pasal Demi Pasal dari Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 ini, menentukan: "dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini,

maka " pencatatan" perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai

Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau

Instansi/Pejabat yang membantunya". Jadi kedua lembaga itu, berfungsi "hanya

95
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 119.
mencatatkan" perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Harus diakui

ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang jelas,

sehingga dalam praktik seringkali menimbulkan berbagai interpretasi, yang

menyebabkan kepastian hukum menjadi taruhannya.

Terdapat beberapa masalah tentang penentuan sahnya perkawinan yang

membawa implikasi pada pencatatannya, dalam tulisan ini hanya akan dibahas

tentang kapan waktu sahnya perkawinan itu diakui. Apakah waktu perkawinan itu

dilangsungkan secara sah menurut masing-masing hukum agamanya dan

kepercayaannya itu ataukah pada waktu pencatatan. Masalah ini tentunya tidak ada,

apabila waktu pelangsungan perkawinan dan waktu pencatatan perkawinan dilakukan

pada hari yang sama. Menjadi masalah apabila terdapat perbedaan waktu antara

pelangsungan perkawinan yang dilakukan dengan tata cara masing-masing hukum

agamanya dan kepercataannya itu, dengan waktu pencatatan perkawinan. 96

Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan sesuai urutan-urutannya

sebagai berikut: 97

1. Pemberitahuan

Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap

orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada

pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

96
Willa Chandrawilla, Syarat sah dan Pencatatan Perkawinan, http://www.mail-
archive.com/keluarga-sejahtera@yahoogroups.com/msg03822.html, diakses tanggal 02 November
2009.
97
Ibid, 123.
Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan. Namun ada pengecualiannya terhadap jangka waktu tersebut karena

suatu alasan yang diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.

Mengenai siapakah yang dapat memberitahukan kepada pegawai pencatat

perkawinan itu dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua mempelai atau

wakilnya. Sesuai Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini pemberitahuan dapat secara lisan

atau tulisan.

Kemudian isi pemberitahuan tersebut telah ditentukan secara limitatif oleh

Pasal 5 yaitu bahwa pemberitahuan menurut tentang nama, umur,

agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, apabila salah

seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin disebutkan juga nama istri atau

suami terdahulu.

2. Penelitian

Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur selanjutnya

diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai Pasal 6 ayat

(1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-

syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut

hukum munakahat ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku.

Syarat-syarat perkawinan seperti yang telah diuraikan di atas mengenai persetujuan


calon mempelai, umur, izin orang tua dan seterusnya, inilah pertama-tama diteliti

pejabat tersebut.

Selain itu berdasarkan Pasal 6 ayat (2), pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan

melakukan penelitian terhadap:

(a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, dalam hal tidak ada

akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang

menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa

atau yang setingkat dengan itu.

Penelitian terhadap surat yang menyangkut kelahiran merupakan bagian yang

penting, untuk mengetahui umur calon mempelai dalam hubungan dengan batas

minimum umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang perkawinan, sehingga

kalau ada calon mempelai yang umurnya tidak memenuhi batas minimum dapat

dilakukan pencegahan.

(b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal

orang tua calon mempelai.

(c) Izin tertulis pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)

Undang-Undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

(d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-Undang dalam hal calon

mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.


(e) Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-

Undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas

minimum umur perkawinan.

(f) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian, bagi

perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

(g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB,

apabila salah sorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri

karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Hasil penelitian terhadap semua persyaratan perkawinan tersebut di atas oleh

pegawai pencatat di tulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu (Pasal 7).

Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang perkawinan dan atau belum dipenuhinya

persyaratan dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, keadaan

itu harus segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau

kepada walinya.

3. Pengumuman

Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu

halangan perkawinan, maka tahap berikutnya adalah pegawai pencatat perkawinan

menyelenggarakan pengumuman. Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 pengumuman tentang adanya kehendak melangsungkan perkawinan.


Adapun mengenai caranya, surat pengumuman tersebut ditempelkan menurut

formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang

sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Kemudian mengenai isi yang dimuat

dalam pengumuman itu menurut Pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut adalah:

a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon

mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah sorang atau keduanya

pernah kawin disebutkan nama istri dan (atau) suami mereka terlebih dahulu.

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.

Adapun tujuan pengumuman tersebut, bertujuan agar masyarakat umum

mengetahui siapakah orang-orang yang hendak menikah. Selanjutnya dengan adanya

pengumuman itu apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan yang hendak

dilangsungkan maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Kantor

Pencatat Perkawinan.

4. Pelaksanaan

Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak calon mempelai untuk

melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu dilangsungkan setelah hari

kesepuluh sejak pengumuman di atas dilakukan.

Mengenai bagaimana cara pelaksanaan perkawinan, Pasal 10 ayat (2) Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang perkawinan, yaitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum-hukum masing-

masing agama dan kepercayaan itu, supaya sah.


Peraturan pemerintah ini juga mensyaratkan bahwa selain itu perkawinan

dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan yang berwenang dan dihadiri

oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai Pasal 10

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, selanjutnya kedua mempelai,

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat

perkawinan. Selain yang menandatangani kedua mempelai, akta perkawinan

ditandatangani pula oleh para saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang

menghadiri. Dalam Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 juga

ditentukan, bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, akta

perkawinan ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili. Dengan

selesainya penandatanganan akta perkawinan itu, maka perkawinan telah tercatat

secara resmi.

Akta perkawinan tersebut dibuat rangkap dua, untuk helai pertama disimpan

oleh pegawai pencatat perkawinan, kemudian untuk helai kedua disimpan panitera

pengadilan dalam wilayah kantor pencatatan perkawinan itu berada.

Meskipun demikian untuk pelaksanaan perkawinan saja tampaknya keharusan

hadir secara fisik bukan suatu hal yang mutlak, karena baik Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang perkawinan dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya

menunjukkan pelaksanaan perkawinan berdasarkan hukum agama dan

kepercayaannya. Tidak dibicarakan secara tegas mengenai masalah ketidakhadiran


jika ada calon mempelai yang berhalangan untuk datang dihadapan pegawai

pencatatan perkawinan.

Melihat penjelasan di atas terkesan masalah pencatatan perkawinan tersebut tidak saja

rumit tetapi seolah-olah menjadi sangat penting. Bahkan urusan catat mencatat

tersebut jauh lebih lama waktunya ketimbang pelaksanaan akad nikah itu sendiri.

Lebih jauh dari itu ada kesan pencatatan itu menjadi mutlak dalam sebuah

perkawinan. Berkenaan dengan persoalan pencatatan perkawinan tersebut, ada dua

pandangan yang berkembang.

Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah


menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan
administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan.
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap
menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan. 98

Pada Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dinyatakan:

“Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum

agamanya dan kepercayaannya itu, pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dihadapan

pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.” Dengan demikian Pasal 10 ayat

(3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 telah menambah suatu ketentuan yang

sebenarnya tidak disyaratkan oleh Undang-Undang yang menjadi induknya dan yang

hendak dilaksanakannya. Tambahan tersebut adalah, bahwa perkawinan wajib

dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Ada tiga catatan penting yang dapat dikemukakan di sini:

98
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 133.
Pertama, pencatatan perkawinan pada kantor pencatatan perkawinan, secara
hukum tidak menjadi syarat bagi sahnya sebuah perkawinan.
Kedua, untuk pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat, tidak disyaratkan
bahwa perkawinan harus dilakukan dihadapannya. Perkawinan itu bisa saja
dilakukan di luar kesaksiannya asal ada bukti yang otentik tentang telah
dilangsungkanya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
yang dapat menjadi dasar bagi kepentingan pencatatan perkawinan yang
bersangkutan.
Ketiga, kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap
harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan
diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang
telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah. 99

Pendapat di atas menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan hal

yang penting dalam hukum negara, namun bukan merupakan syarat utama dalam

hukum Islam. Bagi pasangan yang beragama Islam, berarti bisa saja melangsungkan

perkawinan tanpa pegawai pencatat, asalkan sudah memenuhi syarat-syarat

perkawinan. Berdasarkan syarat tersebut maka perkawinan akan dicatat untuk

keperluan pencatatan perkawinan.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dalam hal ini Bidang Konsuler

dapat melaksanakan acara pernikahan, apabila kedua calon pengantin

berkewarganegaraan Indonesia, beragama Islam dan memenuhi persyaratan

sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974. “Untuk pernikahan yang dilangsungkan oleh Kedutaan Besar Republik

Indonesia, maka Bidang Konsuler akan memberikan Buku Nikah kepada kedua suami

99
Ibid.
istri sebagaimana Buku Nikah yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)

dalam setiap perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia.” 100

Salah satu negara yang membolehkan perkawinan beda agama adalah negara

Singapura. Bagi warga negara lain yang ingin melakukan perkawinan di Singapore

memiliki persyaratan utama yaitu yang bersangkutan harus tinggal di Singapore

minimal 20 hari berturut turut, setelah memenuhi persyaratan tinggal tersebut calon

pengantin bisa mulai mengurus administrasinya secara on line/komputeries di gedung

Regristation For Merried. Pemerintah Singapore memberikan layanan pernikahan

dengan pendaftaran online baik bagi warga negara Singapore, Permanent Resident

maupun 100 % Foreigner. Begitu mudahnya layanan pernikahan ini. Hanya dalam

waktu 20 menit untuk mendaftarkan diri ke legalisasi pernikahan di Singapore,

dengan biaya paling banyak 50 Dollar Singapore tanpa mempermasalahkan

perbedaan agama, dijamin sertifikat nikah itu legal dan bisa diterima oleh hukum

manapun di dunia ini 101

Untuk dapat dilangsungkannya pernikahan oleh Bidang Konsuler, yang

berkepentingan harus mengajukan surat permohonan kepada Duta Besar RI di

Singapura, Untuk Perhatian/UP Kepala Bidang Konsuler, dengan melampirkan

dokumen-dokumen sebagai berikut:

1. Surat Permohonan dari ayah atau wali calon mempelai wanita.


2. Surat Persetujuan menikah dari kedua belah pihak.

100
Perkawinan Warganegara Indonesia (WNI), http://www.indonesia.nl/ articles.php.
101
Registry of Marriage, http://honey.telkom.us/2007/08/21/registry-of-marriage/, diakses
tanggal 20 November 2009.
3. Surat Keterangan untuk menikah dari Kelurahan.
4. Surat Keterangan asal usul dari Kelurahan.
5. Surat Keterangan orang tua dari Kelurahan.
6. Akte Kelahiran asli, masing-masing dari kedua calon pengantin berikut
foto copynya.
7. Foto copy paspor dan ijin tinggal.
8. Bagi yang menetap di Singapura, surat keterangan belum menikah dari
pemerintahan setempat. 102

Bagi pasangan yang ingin melakukan pernikahan di Singapura, di mana salah

satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain kewarganegaraan singapura harus

memenuhi syarat-syarat:

1. Mendapat perseetujuan dari Kementrian Ketenagakerjaan Singapura (Ministry of

manpower - MOM)

2. Mendaftarkan diri ke Registrasi pernikahan Singapura (Registry Of Marriage –

ROM). 103

Jika ada pasangan yang ingin menikah, salah satunya harus ada yang tinggal

selama 2 minggu. Apabila mau lalu mendaftar di web mereka untuk membuat

Registry Of Marriage (ROM) dan soal biaya pake kartu kredit. Selanjutnya di

hadapan saksi minimal 1 perempuan dan 1 laki, dengan meminta bukti pasport

saksi. Selanjutnya setelah dekat waktu nanti akan ada email menentukan waktu

pasangan untuk datang, dan bawa berkas Registry Of Marriage (ROM) yang sudah

diprint dan passport beserta copy passport saksi, 15 menit sebelumnya harus sudah

hadir disana. Setelah di sana kita disuruh bersumpah saja kalau pasangan sudah

berumur lebih dari 21 tahun. Dalam waktu seminggu setelah itu Registry Of Marriage

102
Ibid.
103
www.kbrisingapura.com/ diakses tanggal 20 November 2009.
(ROM) tinggal membawa passport dan berkas yg pernah diberikan saat pasangan

bersumpah. Setelah pasangan menikah, akan mendapat surat Registry Of Marriage

(ROM). Setelah mendaftarkan diri ke Registry Of Marriage (ROM), Akta Pernikahan

dapat dilegalisir di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura.

Setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia, pernikahan harus dilaporkan ke

Kantor Urusan Agama (KUA) di mana kedua pengantin bertempat tinggal. Laporan

ke Kantor Urusan Agama (KUA) tidak boleh melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun

sejak kedatangan di Indonesia. Dalam waktu 1 tahun setelah suami istri kembali ke

Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan ke Kantor Urusan Agama atau

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di mana mereka tinggal.

Sebagai contoh adalah perkawinan antara Iwan Suhandy yang beragama

Buddha dengan Indah Mayasari yang beragama Kristen Katholik dan keduanya

berdomisili di Batam. 104 Keduanya merupakan pasangan beda agama yang tidak

dapat menikah di Indonesia, dan keduanya sepakat untuk melaksanakan perkawinan

di Singapura. Berdasarkan akta yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Batam, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan

pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di Singapura adalah:

1. Kartu Tanda Penduduk suami dan Istri

2. Akta Kelahiran kedua suami istri

3. Sertifikat Perkawinan dari Singapura

4. Bukti Pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sejumlah Rp. 50.000,-

104
Pembuktian perkawinan keduanya dicatat dalam Certificate Of Marriage yang
dikeluarkan oleh Republik Singapura tanggal 28 Oktober 2007.
5. Foto copy Kartu Keluarga kedua mempelai.

Setelah persyaratan dipenuhi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil akan

mengeluarkan sertifikat tanda pelaporan bahwa kedua belah pihak sudah

melaksanakan pernikahan beda agama di luar negeri. Namun surat ini bukan

merupakan pengesahan perkawinan mereka.


BAB IV

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA YANG TIDAK


DICATATKAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL

A. Akibat Hukum Perkawinan Yang Dilangsungkan di Luar Negeri

Satu-satunya dasar hukum tentang pelaksanaan dan pengakuan perkawinan

beda agama adalah berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 1400

K/Pdt/1986. Dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, perkawinan beda

agama tetap dapat dilangsungkan dan diakui secara hukum.

Akhirnya Andy Vonny Gani (Islam) dan Petrus Hendrik Nelwan (Kristen)

menikah resmi. Mahkamah Agung memerintahkan kantor catatan sipil DKI membuka

pintu nikah campur. keputusan itu belum terbuka lebar. PINTU" hukum untuk

pasangan berbeda agama melaksanakan kawin campur, yang selama ini telah tertutup

rapat, kini digedor pengadilan tertinggi. Majelis Hakim Agung yang diketuai Ali

Said, memerintahkan pegawai pencatat pada Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta

menikahkan pasangan berbeda agama Andy Vonny Gani (Islam) dengan Adrianus

Petrus Hendrik Nelwan (Kristen Protestan). Berdasarkan keputusan tertanggal 20

Januari 1989, Mahkamah Agung menggugurkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat yang menolak memberikan izin menikah bagi pasangan Vonny dan Adri.

Kasasi Mahkamah Agung itu disambut dengan sangat baik oleh Adri dan

Vonny, walau keduanya sudah mendahului menikah sebelum putusan Mahkamah

Agung itu keluar. Padahal, baik sebelum maupun sesudah lahirnya Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan pasangan antar-agama itu lancar-lancar

saja. Kantor Catatan Sipil merupakan jalan "tengah" yang paling menentukan bila

kedua calon pengantin tetap bertahan pada agama masing-masing. Jalan "tengah" itu

baru mulai tertutup sejak Majelis Ulama DKI, pada 1984 dan 1986, menulis surat

protes ke lembaga di bawah pemerintah daerah itu karena mengawinkan umat Islam

dengan umat non Islam. Sebab, Undang-Undang perkawinan mensyaratkan sahnya

pernikahan bila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing,

sementara Keppres No. 12, 1983, tegas-tegas menyebutkan Kantor Catatan Sipil

hanya untuk tempat pernikahan orang non-Islam. Sejak itulah Kantor Catatan Sipil

mulai hati-hati menikahkan pasangan Islam dan non-Islam. Perubahan sikap Kantor

Catatan Sipil itu baru mencuat ke permukaan setelah ribut-ribut persoalan kawin

campur Penyanyi Jamal Mirdad (Islam) dan Aktris Lydia Kandou (Kristen). Kedua

aktris terkenal itu ditolak Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menikah di tempat itu.

Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah tak pula bisa dilalui mereka dengan lancar.

Akibat protes Majelis Ulama Indonesia tadi, Kantor Catatan Sipil Jakarta baru

bersedia menikahkan pasangan itu setelah ada izin pengadilan. Untunglah, Hakim

Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada 30 Juni

1986, Jamal dan Lydia resmi menikah. Ternyata, Jamal dan Lydia masih termasuk

"beruntung". Sebab, sejak 12 Agustus 1986, Kantor Catatan Sipil Jakarta

mengeluarkan keputusan, yang pada intinya menolak menikahkan pasangan berbeda

agama, khususnya laki-laki Islam dan wanita beragama lain. Untuk pasangan laki-laki
non-Islam dan wanita Islam Kantor Catatan Sipil masih terbuka pintu, asal saja

pasangan itu meminta izin dari pengadilan setempat. Akibat ketentuan itulah banyak

pasangan lelaki Islam dan wanita non-Islam gagal menikah di Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil.

Bahkan ketentuan itu sejak awal tahun ini diperketat. Karena Majelis Ulama

Indonesia Jakarta. Kanwil Departemen Agama, serta Direktur Pembinaan Agama

Islam Departemen Agama masih keberatan, sejak 1 Januari 1989 pihak Kantor

Catatan Sipil DKI Jakarta menutup pintu sama sekali untuk perkawinan beda agama.

Dalam rapat kerja Kantor Catatan Sipil se-lndonesia di Malang, 5-10 Desember 1988,

disepakati untuk melaksanakan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 secara murni.

"Kantor Catatan Sipil hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah

menurut agama. Yakni, setelah melangsungkan di gereja, vihara, atau pura," bunyi

putusan terbaru itu. Anehnya, pasangan Vonny dan Adri (wanita Islam dan lelaki

nonmuslim), yang seharusnya tak terhalang menikah di Kantor Catatan Sipil, entah

kenapa, ikut pula menjadi "korban". Padahal, mereka merencanakan pernikahan itu

pada Maret 1986, jauh sebelum ribut-ribut kawin campuran dan bahkan sebelum

kasus Jamal Mirdad dan Lydia Kandou. Tapi selain permohonan itu ditolak Kantor

Urusan Agama (KUA) Tanah Abang, Kantor Catatan Sipil Jakarta tak pula bersedia

menikahkan mereka. Bahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menolak

memberikan izin.
Pasangan Adri dan Vonny sebelum berniat nikah telah pacaran 1 tahun 6 bulan.

Pada 5 Maret ]986 mereka sepakat menghadap penghulu. Tapi, itu tadi, Kantor

Urusan Agama (KUA) Tanah Abang menolak mereka, begitu pula Kantor Catatan

Sipil Jakarta. Pasangan itu sempat tarik urat memprotes petugas Kantor Catatan Sipil.

Sebab, pada waktu itu, mereka mendengar banyak pasangan seperti mereka, yang

dengan gampang dikawinkan Kantor Catatan Sipil. Karena Kantor Catatan Sipil tetap

menolak, mereka terpaksa mengajukan permohonan untuk menikah ke Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat. Tapi sambil menunggu penetapan hakim, rencana perkawinan

telah mereka siapkan. Baju pengantin sudah jadi, undangan telah dicetak, dan bahkan

resepsi pernikahan pun dirancang akan berlangsung pada 3 Mei 1986 di Orchid Hotel.

Ternyata, Hakim Imam Soekarno, yang memeriksa permohonan pasangan itu, pada

11 April 1986 menolak mengizinkan mereka menikah. Alasan hakim, Undang-

Undang perkawinan tak mengatur perkawinan berbeda agama.

Tentu saja kedua calon pengantin ini panik. Atas saran seorang pegawai

pengadilan, Vonny kontan kasasi ke Mahkamah Agung. Menurut majelis hakim

agung, pasangan itu dibenarkan menikah karena keduanya telah berusia di atas 21

tahun, sehingga tak perlu lagi izin orangtua. Selain itu, yang penting lagi, dengan

mengajukan permohonan ke Kantor Catatan Sipil, menurut hakim agung, harus

ditafsirkan bahwa pemohon "berkehendak untuk melangsungkan perkawinannya

tidak secara Islam." Dengan demikian, haruslah ditafsirkan pula bahwa pemohon
sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Jadi, seharusnya Kantor Catatan

Sipil berwenang menikahkan, "kedua calon suami-istri tidak beragama Islam."

Pertimbangan hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan

Ani Vonny Gani P pada pokoknya menyangkut beberapa hal penting, yaitu:

1. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memang tidak mengatur


perkawinan antar agama. Yang diatur dan dicatat adalah perkawinan di mana
pihak-pihaknya seagama dan dicatat oleh Kantor Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk bagi yang beragama Islam, serta Kantor Catatan Sipil bagi yang
beragama selain Islam.
2. Adanya halangan terjadinya perkawinan bagi calon suami dan calon istri
karena perbedaan agama, sudah sesuai dengan yang dikehendaki Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975.
3. Menurut hukum Islam adalah tidak sah perkawinan berlainan agama
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 221, dan dari
susdut agama Kristen pun dapat dilihat dengan tegas nasihat Al Kitab mereka
dalam Perjanjian Baru (2 Korintus 6:14). 105

Menurut Gautama, Mahkamah Agung, pada 1955, telah mengeluarkan

yurisprudensi yang mengizinkan perkawinan campuran semacam itu dengan

pertimbangan demi ketenteraman masyarakat. Tapi keputusan Mahkamah Agung

terbaru itu belum tentu akan membuka pintu perkawinan antara orang Islam dan

nonIslam selebar-lebarnya. Sebab, seperti disebut di atas, pada waktu yang hampir

bersamaan ternyata Kantor Catatan Sipil, yang berada di bawah Departemen Dalam

Negeri, telah menutup pintu rapat-rapat. Kantor Catatan Sipil hanya akan mencatat

perkawinan yang sah menurut agama. Jadi, sah dulu menurut agama, barulah dicatat

kemudian," kata Dasman lebih lanjut. Para hakim pun belum tentu sepakat dengan

keputusan Mahkamah Agung tersebut.

105
Runtung, Op.Cit, hal. 15
Dari pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung tersebut telah terungkap

beberapa kenyataan penting, yaitu:

1. Perjuangan Andi Vonny Gani P untuk mendapat izin melangsungkan


perkawinan antar agama secara sah dengan Adrianus Petrus Hendrik
Nelwan cukup panjang dan melelahkan , (selama 2 tahun 10 bulan), dan
berhasil.
2. Isue hak asasi manusia telah digunakan oleh Mahkamah Agung RI untuk
mengabulkan permohonan izin untuk melangsungkan perkawinan dari
pemohon, Andi Vonny Gani P.
3. Pemberian izin untuk melakukan perkawinan antar agama, adalah demi
untuk menghindarkan timbulnya dampak-dampak negatif dalam segi
kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa penyelundupan-
penyelundupan nilai-nilai sosial, agama dan hukum positif. 106

Namun menurut Sekretaris Umum Ikatan Hakim Indonesia Amarullah Salim,

hakim Indonesia itu mandiri dalam mengambil putusan dan tak harus mengacu ke

yurisprudensi. "Lantaran Indonesia tidak menganut Anglo Saxon System, maka para

hakim di sini tidak mutlak harus mengikuti yurisprudensi," kata Amarullah, yang juga

kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Agaknya, untuk pasangan Islam

dan non-Islam, yang berniat kawin campuran, masih dibutuhkan usaha lebih keras

untuk membuka "pintu" tadi ketimbang yang dilakukan Vonny dan Adri. 107

Adanya pencatatan perkawinan mengakibatkan timbulnya akta catatan

kependudukan. Akta catatan kependudukan berfungsi untuk:

1. Merupakan alat bukti yang paling kuat dalam menentukan kedudukan hukum

seseorang.

106
Ibid
107
Karni Ilyas, Widi Yarmanto, Agung Firmansyah, Ardian T. Gesuri, dan Sugrahetty Dyan
K, Buka Tutup Pintu Kawin Campuran, http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/ 1989/06/24
/HK/mbm.19890624.HK20844.id.html, diakses tanggal 20 November 2009.
2. Merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna di

depan hakim.

3. Memberikan kepastian hukum yang sebesar-besarnya tentang peristiwa

perkawinan.

4. Dipergunakan sebagai tanda bukti otentik dalam hal pengurusan paspor, Surat

Kedutaan Besar Republik Indonesia, Kartu Tanda Penduduk, keperluan sekolah

dan bekerja serta menentukan status ahli waris dan sebagainya. 108

Peristiwa pernikahan atau perkawinan ini akan menimbulkan akibat yang

diatur oleh hukum yakni hukum perkawinan dimana dalam peristiwa ini timbul hak

dan kewajiban bagi suami istri. Pada pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi “Masing-masing pihak berhak untuk

melakukan perbuatan hukum”. Sedangkan pasal 34 ayat (2) menetapkan ”Istri wajib

mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”

Selain itu perkawinan ini juga berakibat terhadap harta dalam perkawinan.

Secara a contrario, ada beberapa harta yang dikenal hukum adat juga dikenal dalam

KUH Perdata, yaitu:

a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usahanya

masing-masing. Harta pertama ini ialah hak dan dikuasai oleh masing-masing

pihak, bila terjadi putusnya perkawinan, maka harta akan kembali kepada

masing-masing pihak suami atau istri itu.

108
Brosur Akta Perkawinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.
b. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu,

mungkin berupa modal usaha, atau berbentuk perabot rumah tangga ataupun

rumah tempat tinggal pasangan suami istri itu, yang lazim disebut asal harta,

kembali kepada keluarga (orang tua) yang memberikan semula.

c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi bukan karena

usahanya, misalnya karena hibah, wasiat dan kewarisan dari orang tua.

d. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan

berlangsung, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka yang

disebut harta pencaharian.

Menurut ketentuan Pasal 119 KUH Perdata, mulai saat perkawinan

dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan antara suami

istri, sekadar mengenai hal itu tidak diadakan perjanjian perkawinan atau ketentuan

lainnya. Peraturan itu selama perkawinan berlangsung tidak boleh ditiadakan atau

diubah dengan sesuatu persetujuan suami istri, segala hasil dan pendapatan harus

diperhitungkan atas mujur malang persatuan. Dengan demikian, istri tidak dapat

bertindak sendiri tanpa persetujuan suami. Sekali mereka melakukan perkawinan

harta kekayaan menjadi bersatu demi hukum, kecuali mengadakan perjanjian bahwa

harta berpisah. 109

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jenis-jenis harta


perkawinan ini terbagi atas:

109
Mhd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 230.
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
2. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
3. Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974).
4. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
5. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya. 110

Sebelum dilangsungkannya pernikahan, pasangan suami istri dapat melakukan

perjanjian pra nikah. Ketentuan ini disebutkan pada Pasal 29 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak

ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,

agama dan kesusilaan. 111

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

110
Departemen Agama Republik Indonesia, Bahan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Medan, 2001, hlm. 26.
111
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Kerjasama Dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005,
hlm. 67.
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan

tidak merugikan pihak ketiga

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang

Perkawinan, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan. Terdapat 2

golongan sarjana hukum yang memberikan penafsiran, yaitu 112 :

a. Golongan Pertama

Golongan ini lebih cenderung menafsirkan untuk memisahkan antara ketentuan

Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena itulah

perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan hukum agama. Sedangkan pencatatan perkawinan itu hanyalah merupakan

bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata lain suatu perkawinan yang tidak

dicatatkan bukan merupakan suatu cacat atau menyebabkan perkawinan menjadi

tidak sah.

b. Golongan Kedua

Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1) dan

ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga harus dipandang

dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut pendapat golongan kedua ini,

ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa karena

merupakan satu kesatuan.

112
Idha Aprilyana, Op. Cit., Hal. 43
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2 tersebut,

maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan melihat dari

sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja akan menimbulkan

akibat-akibat, seperti :

1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan

istri;

2. Mahar (mas kawin) menjadi milik istri ;

3. Timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami maupun istri ;

4. Lahirnya anak-anak yang berstatus anak yang sah ;

5. Kewajiban suami dan istri untuk memelihara dan mendidik anak;

6. Hak bapak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya ;

7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari

perkawinan yang sah tersebut ;

8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali hak

tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau istri

meninggal dunia.

Sehubungan dengan banyaknya timbul akibat hukum dari suatu perkawinan,

maka perlu kiranya menjadi pertimbangan apabila perkawinan tersebut tidak

dicatatkan. Banyak contoh buruk akibat tidak dicatatkannya perkawinan. Tidak

dicatatkannya perkawinan dapat berdampak bagi anak jika ternyata si ayah


meninggal, si anak akan kehilangan hak warisnya karena ketiadaan akta nikah dari

perkawinan ibunya dan ayahnya.

Selain itu peristiwa pernikahan atau perkawinan ini akan menimbulkan akibat

yang diatur oleh hukum yakni hukum perkawinan dimana dalam peristiwa ini timbul

hak dan kewajiban bagi suami istri. Pada Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi “Masing-masing pihak berhak untuk

melakukan perbuatan hukum”. Sedangkan Pasal 34 ayat (2) menetapkan ”Istri wajib

mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.

Mengingat kemungkinan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti di atas,

perlu kiranya untuk menghindari dilakukan perkawinan di bawah tangan atau

perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat. Di

Indonesia tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan dari berbagai daerah ada

berbagai sifat kekeluargaan, yang dapat dimasukkan ke dalam tiga macam golongan,

yaitu : 113

1. Sifat kebapaan (partilineal),

2. Sifat keibuan (matrilineal),

3. Sifat kebapa ibuan (parenteel).

Oleh karena itu, maka sangatlah layak apabila dalam Hukum Perkawinan dan

Hukum Kekeluargaan, pengaruh agama tampak sangat kuat dan terlihat. Karena patut

diingat, bahwa ajaran-ajaran dari suatu agama adalah terutama mengenai kerohanian

113
Ibid, Hal. 17
dan kepribadian seorang manusia dalam masyarakat. Sedang dari segala peraturan

hukum, bagian perkawinan dan kekeluargaanlah yang paling membahas mengenai

hubungan antar manusia yang paling mendekati pada kerohanian dan kepribadian.

Pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama di Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Medan dilaksanakan melalui prosedur administratif, berupa

melengkapi persyaratan dalam bentuk dokumen tertulis, prosedur teknis dalam

bentuk panggilan kepada para pihak dan para saksi untuk dilakukan klarifikasi dan

verifikasi atas kebenaran dan keabsahan dokumen yang menjadi persyaratan

pencatatan perkawinan beda agama.

Setelah hal tersebut dilakukan, pencatatan dilaksanakan dengan maksud untuk

dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat maupun sebagai bukti bagi yang

bersangkutan, hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2

ayat 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang

didaftarkan pada lembaga pencatatan. Namun dalam praktiknya pada Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan laporan pencatatan perkawinan sama

sekali tidak mencantumkan agama pasangan.

Adapun faktor yang menghambat pencatatan perkawinan beda agama, masih

terdapat kekurangan khususnya berkaitan dengan faktor administrasi yaitu belum

diterbitkannya Akta Perkawinan yang khusus mencatat perkawinan beda agama.

Faktor yang mendukung pencatatan perkawinan beda agama, sudah adanya Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006.


Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, telah cukup dapat

menjawab persoalan mengenai pencatatan perkawinan beda agama yang mana selama

ini belum ada peraturan yang mengatur secara jelas mengenai pencatatan perkawinan

beda agama.

B. Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan

Apabila ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

poin 4 (b) Ayat (2), ditentukan: "Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya

dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya

kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi

yang juga dimuat dalam daftar pencatatan".

Menafsirkan ketentuan di atas, maka perkawinan adalah suatu peristiwa

penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian, dalam arti waktu

perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan

dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui sebagai waktu dilangsungkannya

perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah hanya bersifat adminstratif.

Karena perkawinan antaragama tidak diatur secara tegas dalam Undang-

Undang Perkawinan, maka timbul ketidak-pastian hukum berkenaan dengan

perkawinan ini. Prosedur yang banyak ditempuh selama ini adalah mencatatkan

perkawinan itu di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, oleh karena hanya DInas

Kependudukan dan Catatan Sipil-lah yang mau melakasanakannya. Dan pencatatan


itu pada umumnya dianggap sebagai persyaratan formal administratif bagi sahnya

suatu perkawinan menurut negara. Sedangkan keabsahannya menurut agama

tergantung kepada ketentuan hukum masing-masing agamanya itu serta keinginan

kedua calon mempelai, maka tidak jarang mereka melakukan upacara perkawinan dua

kali menurut hukum dan tradisi masing-masing agamanya. Selain prosedur di atas

juga terdapat prosedur lain, yaitu melalui keputusan Pengadilan dalam hal terjadi

penolakan oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat

(4) Undang-Undang Perkawinan menjelaskan bahwa jika pegawai pencatat

perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut

Undang-Undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal

penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan

oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari

penolakan tersebut disertai dengan alasan alasan penolakannya. Para pihak yang

perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan dalam

wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan

berkedudukan untuk memberikan keputusan dengan menyerahkan surat keterangan

penolakan tersebut di atas. Selanjutnya Pengadilan akan memeriksa perkaranya

dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan

penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

Penafsiran di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan kematian,

bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu
terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu

kematian berlangsung, yang dipakai sebagai "waktu lahir" dan " waktu mati".

Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan kematian, demikian

pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan dilangsungkan menurut

masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itulah yang harus diakui

sebagai "waktu kawin", bukan kapan waktu prerkawinan yang sah itu dicatatkan.

Akibat hukum tidak dicatatkannya perkawinan, maka akan berakibat:

a. Perkawinan tidak Sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan Agar terjamin

ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat..

selanjutnya pada Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam mengatur Perkawinan yang

dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan

hukum.

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata

negara perkawinan Anda tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama

atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu

Menurut ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan, anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh

karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum anak


tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan

ibunya atau keluarga ibunya. 114

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak

tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata

dengan ibu atau keluarga ibu. Hal ini diatur pada Pasal 42 dan 43 Undang-Undang

Perkawinan. Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri

maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut

nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam

perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri

Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu

mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.

Secara kepidanaan, Perkawinan yang tidak dicatatkan ke Catatan Sipil bisa

dikategorikan sebagai hidup bersama tanpa ikatan dan terkena pidana. Pasal 420

Rancangan Undang-Undang KUHP memberikan peluang itu. Untuk itu, Willa

Supriadi memberikan pandangannya:

Masalahnya, kategori pasangan hidup bersama yang mana yang telah


melanggar Tindak Pidana Kesusilaan seperti di atur dalam konsep Rancangan
Undang-Undang KUHP 1999/2000 yang harus disahkan 22 Desember 2003.

114
Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pada pasal itu disebutkan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dan kernanya mengganggu
perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara paling lama satu
tahun, dan ini merupakan delik aduan. 115

Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka

hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam

perkawinan.

Pelaporan peristiwa penting yang melampaui batas waktu dikenai denda

administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Denda administratif

sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah. Penetapan besaran denda administratif

dengan memperhatikan Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah

masing-masing. Denda administratif merupakan penerimaan daerah Kabupaten/Kota,

dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.

115
Willa Supriadi dikutip oleh Ahmad Fikri, Perkawinan Tak Dicatatkan Bisa Dikategorikan
Kumpul Kebo, makalah Seminar Tindak Pidana Kesusilaan, Kampus Universitas Parahyangan,
Bandung, 2003, hal. 4.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia adalah

tidak sah. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat

1 mengungkapkan perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya. Berarti perkawinan hanya dapat

dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan isteri) menganut agama yang

sama. Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Adanya pelaksanaan perkawinan

beda agama di luar negeri, seperti di negara Singapura secara formil sah

menurut ketentuan ketentuan hukum Singapura. Namun untuk negara Indonesia

perkawinan tersebut tetap tidak sah, meskipun ada kewajiban untuk mencatatkan

peristiwa perkawinan mereka. Pencatatan perkawinan ini hanya berupa

pemenuhan syarat administrasi untuk memberikan status sosial kepada

masyarakat bahwa pasangan yang menikah adalah benar merupakan suami istri.

2. Pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri

dilakukan dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah

Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor pencatatan

perkawinan tempat tinggal mereka. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil


hanya menerima pelaporan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri. Surat

Pelaporan Perkawinan itu dituliskan dengan tegas bahwa Surat Pelaporan

Perkawinan bukan merupakan Akta Perkawinan.

3. Akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil adalah :

a. Perkawinan tidak sah.

b. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu

c. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. akibat lebih jauh dari

perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun

warisan dari ayahnya

B. Saran

1. Undang-Undang Perkawinan perlu disempurnakan sebab ada kekosongan hukum

tentang perkawinan beda agama. Pentingnya penyempurnaan Undang-Undang

tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu, pertama, Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan beda agama, kedua, masyarakat

Indonesia adalah masyarakat plural yang menyebabkan perkawinan beda agama

tidak dapat dihindarkan, ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi

seseorang, dan keempat, kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak

dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat mendorong terjadinya perzinaan

terselubung melalui pintu hidup bersama tanpa ikatan.


2. Hendaknya disahkan pengaturan khusus yang mengatur tentang kedudukan

perkawinan beda agama, sehingga ada kejelasan bagi seluruh pihak apakah

perkawinan beda agama itu diperbolehkan atau tidak dalam sistem hukum

kekeluargaan perdata di Indonesia.

3. Hendaknya perkawinan beda agama ini tidak dilakukan oleh pasangan yang akan

menikah. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkannya berpengaruh terhadap

masa depan keluarga, anak dan harta benda. Selain itu yang paling penting

bahwa tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya perkawinan beda

agama. Selain itu hendaknya semua pasangan yang menikah mencatatkan

perkawinannya. Hal ini untuk menjelaskan status suami dan istri dan memberi

perlindungan kepada pasangan serta menempatkan hak anak hasil perkawinan

tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

A. Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjadi Kaya, Mitra Pustaka, Yogyakarta,


2001.

Abdul A’a Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, terjemahan Achmadi Rais,
Gema Insani Press, Jakarta, 1995

Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologis Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.

Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi
Peradilan Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan
shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997.

Daniel Suganda, Pernikahan WNI di Luar negeri dan Pola Pencatatannya, (Jakarta,
Penuntut Fajar, 2005).

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata


cara dan Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2005

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,


Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974


(Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998

EOH, O.S, Sh, MS. , Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1.

H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 /1974 sampai
KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004.

H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Hartono Ahmad Jaiz, Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar, 2004, Cet. ke-3.

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1981.


Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta,
Tintamas, 1986

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum


Adat, Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990

Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981.

K. H. M. Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia, Himpunan Fatwa-fatwa Aktual, Al


Mawardi Prima (ed), Jakarta, 2003.

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian, di Malaysia dan di Indonesia,


Remaja Rosdakarya, Bandung ,1991.

Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini, Kalam Mulia,1992.

Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan


Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991.

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakara, CV Haji Mas Agung, 1993

Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 1996.

Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang


Cemerlang, Yogyakarta, 2000.

OK. Chairuddin, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 1991).

P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999.

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga,


Alumni, 1982

Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Pionir Jaya,
Bandung.1986.

S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit:
CV. Insani, 2005).

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika,
2002).
Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002.

Sri Rahayu, Berbagai Solusi Untuk Pernikahan Beda agama di Indonesia, (Jakarta,
Penerbit: Bina LusMi, 2005).

Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Penerbit: FT. Pembimbing Masa,


Cetakan 9,1970).

Sudhar Indopa, Perkawinan Beda agama, Solosi dan Pemecahannya, (Jakarta,


Penerbit FH UI, 2006).

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,


2002).

Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005).

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja,


Universitas Erlangga, Surabaya.

Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1989).

T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1987).

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,


1993)

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya
(Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2003).

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya
(Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2003).

KARYA ILMIAH DAN SITUS INTERNET:

Ahmad Fikri, Perkawinan Tak Dicatatkan Bisa Dikategorikan Kumpul Kebo,


makalah Seminar Tindak Pidana Kesusilaan, Kampus Universitas
Parahyangan, Bandung, 2003
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan
Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum
USU Tanggal 18 Februari 2003.

Brosur Akta Perkawinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.

Karni Ilyas, Widi Yarmanto, Agung Firmansyah, Ardian T. Gesuri, dan Sugrahetty
Dyan K, Buka Tutup Pintu Kawin Campuran,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/ 1989/06/24
/HK/mbm.19890624.HK20844.id.html, diakses tanggal 20 November 2009.

Lies Soegondo, Administrasi Kependudukan dari Aspek Hak Keperdataan, makalah


Konperensi Nasional Pengembangan Pelayanan Publik di Bidang
Kependudukan, Mei 2002

M.Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, makalah,


http://www.pa-wonosari.net/asset/nikah_beda_agama.pdf, diakses tanggal 30
Oktober 2009.

Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar


Negeri”http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14922&cl=Berita,

Notaris Herman, Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama, http://herman-


notary.blogspot.com/2009/06/opini-perceraian-dalam-perkawinan-beda.html,
diakses tanggal 14 Nopember 2009.

Perkawinan Antar-agama Rawan Penyelundupan Hukum, http://www.kompas.


com/kompas-cetak/0303/31/ dikbud/229187.htm

Perkawinan Beda Agama dipandang dari Aspek Hak Asasi Manusia”,


http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18/Perkawinan_Beda-
Agama_Dari_Aspek_Hak_ Asasi_Manusia,.

Perkawinan Beda Agama”, http://hukumonline. com/detail.asp?id=


15656&cl=Berita, diakses tanggal 5 Agustus 2009

Priskalista, Pernikahan Beda Agama, http://priskalista.wordpress. com/2009


/08/20/pernikahan-beda-agama/, diakses tanggal 30 Oktober 2009.

Raimond Lamandasa, Polemik Kawin Beda Agama,


http://nimrodhambuako.wordpress. com/ 2009/03/04/polemik-kawin-beda-
agama/, diakses tanggal 21 Oktober 2009.
Runtung, “Perkawinan Antar Agama Dilema dan Solusinya” , makalah tt.

Salmah Zuhriyah, “Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam &


Hukum Negara”, http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-
agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-negara/, diakses tanggal 5 Agustus
2009.

Zaldi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Agama-Agama,


http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/perkawinan-beda-agama-dalam-
perspektif-agama-agama /,diakses tanggal 20 November 2009.

PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam

Potrebbero piacerti anche