Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
TESIS
OLEH :
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
ANALISIS ATAS KEABSAHAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA YANG DILANGSUNGKAN
DI LUAR NEGERI
TESIS
OLEH :
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Telah diuji pada
The problem in this thesis in what the position of different religion marriage in law
system in Indonesia, what the registration of different religion marriage held in
abroad and what the law consequences of the different religion marriage that did not
registered in the Vital Statistic office. This research applies normative juridical
method to study the regulations and the jurisdiction. As a normative law research, he
data collecting method in this study is a library research and field research by
interview ot the respondents, i.e. Dra. Susi Rasida, a Marriage and Divorce division
of Vital statistic office of Medan.
The results of research indicates that one of alternative for the different religion
marriage is held a marriage in abroad. The marriage in abroad must be registered
at the Vital Statistic office to get a legal adinistartio. But the marriage statement must
indicates that this statement is not a marriage certificate. The registration of
marriage did not means that the marriage is legal according to the Indonesia law.
The registration only as an administartion requirement and provide the status for the
society living. The marriage has not yet registered is illegal marriage and the child of
the marriage only has a civil case to his/he mother and not onn inheritance.
Fenomena perkawinan beda agama bukan hal yang baru di Indonesia, meskipun Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon
suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Sementara seluruh agama
yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika
kedua calon berbeda agama. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum bagi pihak
yang ingin melakukan perkawinan. Beberapa cara yang dilakukan sebagai alternatif agar
perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di
luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Namun
terjadi permasalahan ketika kedua pasangan kembali ke Indonesia. Pengaturan
Perkawinan di Indonesia mewajibkan adanya pencatatan bagi perkawinan, baik yang
dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Adanya pencatatan menimbulkan kembali
persoalan apakah perkawinan yang telah dilangsungkan di luar negeri dapat disebut
sebagai perkawinan yang sah di Indonesia.
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimana
kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia, bagaimanakah
pencatatan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri dan
Bagaimanakah akibat hukum perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif
terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan dan Putusan Pengadilan.
Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan Penelitian
lapangan (Field Research) yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber yaitu ibu
Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Kota Medan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa salah satu cara yang dilakukan pasangan beda
agama adalah melakukan perkawinan di luar negeri. Perkawinan yang dilakukan di luar
negeri harus dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mencatatkan
administrasi peristiwa hukum yang dilakukannya.Namun Surat Pelaporan Perkawinan itu
dituliskan dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan merupakan Akta
Perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan tidak berarti bahwa perkawinan itu sah
menurut hukum Indonesia. Pencatatan hanya merupakan pemenuhan kewajiban
administrasi dan memberikan status dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan yang tidak
dicatatkan berakibat perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan tidak berhak atas harta warisan.
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,
Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk menyelesaikan sutudi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU. Akan
tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A (k) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis lebih
baik lagi.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program
sekaligus dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan dan
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
sekaligus dosen pembimbing III, yang telah banyak membantu Penulis dalam hal
5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang
6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn, selaku dosen penguji yang selalu
7. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi
8. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda Soemarno Wagiman dan
ibunda Is Farida F. Miharja, SH, yang telah membesarkan dengan penuh kasih
sayang dan pengorbanan dalam dukungan moril dan finansial kepada ananda,
tersayang Teuku Kenzie Revano Azriel Iskandar dan Cut Keysha Fayyaza
Kareska Iskandar, terima kasih yang tulus buat doa, semangat, sayang, cinta dan
tempat untuk berbagi. Semoga kita bisa lebih baik lagi dalam segala hal.
I love u all........
10. Buat adikku tersayang Yogi Soemarno, Cut Cempaka dan buat keponakanku
yang lucu, Keanu ........ terima kasih atas doa dan dukungannya.
Universitas Sumatera Utara, khususnya untuk kelas reguler khusus, terima kasih
atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memberi semangat dalam
sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis
menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini
Wassalam
Medan, November 2009
Penulis
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Maris Yolanda Soemarno
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 16 Januari 1980
III. PEKERJAAN
Wiraswasta
IV. PENDIDIKAN
1. SD : SD Swasta Pertiwi Medan
2. SMP : SMP Negeri VI Medan
3. SMA : SMU swasta Harapan Medan
4. S – 1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara
5. S – 2 : SPs USU Program Magister Kenotariatan (M.Kn)
DAFTAR ISI
ABSTRACT .........................................................................................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
C. Tujuan penelitian................................................................................ 10
1. Kerangka Teori............................................................................. 13
2. Konsepsi ....................................................................................... 23
G. Metode Penelitian............................................................................... 24
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
1. Sahnya Perkawinan ...................................................................... 29
2. Syarat Perkawinan........................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
dirinya dengan sesamanya yang merupakan satu kesatuan sosial, oleh karena dapat
roda kehidupan.
antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang akhirnya rumah tangga
dilangsungkannya perkawinan oleh suami dan istri, maka timbullah akibat hukum
bagi suami dan istri. Salah satu akibat hukum itu adalah mengenai harta rumah tangga
sendirinya harta dalam perilaku mereka menjadi satu kesatuan bulat sebagaimana
yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk semua golongan masyarakat di
Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa Undang Undang ini telah mengatur
Maris Yolanda Soemarno : Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri,
2009
semua aspek yang terkait dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur
antara seorang laki laki dan seorang perempuan yang berbeda agama. 1
semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam
kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang
berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga
Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-
Muslim. Ada Nurul Arifin yang kawin dengan Mayong (Katolik). Juga Yuni Shara
yang menikah dengan Henry Siahaan (Kristen). Dan masih banyak yang lain. Tetapi,
1
Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Pionir Jaya, Bandung.1986,
hal. 11.
2
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.
3.
3
Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang
dimaksudkan di sini.
4
lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk
yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual,
transseksual/transgende
mereka-mereka ini kawin di luar negeri atau mengadakan perkawinan secara Kristen.
Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan Kalina,
pada awal Tahun 2005 lalu. Deddy yang Katolik dinikahkan secara Islam oleh
apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami istri adalah
dilarang atau merupakan halangan perkawinan. Sejalan dari jiwa dari Pasal 27
Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya
Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi
negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan
adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Sebagai salah
satu alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan
melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada
salah satu agama. Ketentuan-ketentuan ini disebut sebagai salah satu cara
Tahun 1974, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya pihak yang akan kawin menganut
agama yang sama. Jika kedua-duanya itu berlainan agama, menurut ketentuan dalam
tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya ikut menganut agama pihak
lainnya itu.
5
“Masalah Hukum Keabsahan Kawin Beda Agama di Luar
Negeri”http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14922&cl=Berita, Zulfa Djoko Basuki
berpendapat perkawinan beda agama di luar negeri lebih sebagai upaya menghindari hukum yang
seharusnya berlaku kepada mereka. Yaitu Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan 1974. Perkawinan
demikian merupakan "penyelundupan hukum", dan karenanya dapat dibatalkan. perkawinan itu tidak
sah karena tidak memenuhi syarat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Meskipun tidak sah menurut hukum
Indonesia, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar pelaporan
administratif.
6
Suryadi Suganda, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang, FH UNDIP, 2005), hal. 5.
al. 6.
perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari,
terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak
Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup hidup bersama
atau hidup tanpa pasangan 7 yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya
perkawinan beda-agama.
Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara Warga Negara Indonesia
dengan Warga Negara Asing, akan tetapi perkawinan beda agama di masyarakat
Jarwo Yunu mengatakan ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda
agama ini:
1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti
7
“Perkawinan Beda Agama”, http://hukumonline.com/detail.asp?id=15656&cl=Berita,
diakses tanggal 5 Agustus 2009
8
Ibid, hal.6.
menyiasati secara hukum ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
disarankan.
Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bisa
saja terjadi pasangan perkawinan beda agama ini pagi menikah sesuai agama laki-
laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan yang akan menyulitkan
9
S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit: CV.
Insani, 2005), hal. 11.
Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama pasangan yang akan
menikah mungkin lebih sering digunakan. Dalam agama Islam, diperbolehkan laki-
laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang termasuk ahlul kitab. Ayat Al-Quran
jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari atas persamaan
agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda agama, harus ada
jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri agar tetap
10
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
a. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah
agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al
Maidah(5):5,"Pada hari mi dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang^orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.".
b. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang,
dengan dasar Al Baqarah(2):222,"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
menghormati agama pasangannya. "Jadi jangan ada sikap saling menghalangi untuk
bersedia berjanji tunduk pada hukum perkawinan Katholik, monogami dan tidak
melarang adanya perkawinan beda agama, namun hukum agama. "Negara bukannya
tidak mau mengakomodir perkawinan beda agama. Larangan tersebut tidak datang
dari negara melainkan dari hukum agama. Sepanjang tidak ada pengesahan agama,
adalah tidak mungkin Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat sebuah
perkawinan." 13
11
Salmah Zuhriyah, “Pernikahan Beda Agama; Tinjauan Hukum Islam & Hukum Negara”,
http://tafany.wordpress.com/2009/03/23/pernikahan-beda-agama-tinjauan-hukum-islam-hukum-
negara/, diakses tanggal 5 Agustus 2009.
12
Ibid
13
Sudhar Indopa, Perkawinan Beda agama, Solosi dan Pemecahannya, (Jakarta, Penerbit FH
UI, 2006), hal. 5.
dianggap tidak sah, dianggap tidak ada perkawinan, tidak ada waris, anaknya juga
luar negeri berarti tunduk pada hukum di luar negeri. Pasangan tersebut mendapat
akte dari negara itu, kemudian akte di bawa pulang untuk dicatatkan saja. Artinya
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda
agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil merupakan produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum Indonesia. Secara
hukum tidak sah. Kalau kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah
sesuai dengan hukum kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada.
perkawinan Beda agama, sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul:
Negeri.
14
Ibid, hal. 6
15
Ibid, hal. 7
B. Perumusan Masalah
Indonesia ?
negeri ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yaitu ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yakni:
1. Secara Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat sebagai
sumbangsih dalam hukum perdata yang berlaku, umumnya yang mengatur hukum
2. Secara Praktis
agama di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Sumatera Utara, penelitian ini merupakan penelitian lanjutan karena telah pernah
1. Juliani, Tahun 1995, dengan judul: ”Akibat Hukum dari Suatu Perkawinan
luar negeri ?
negeri?
3. Agustina, Tahun 2007, dengan judul ”Perkawinan Antar Agama dan Akibat
lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul "Analisis Atas
pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, karena itu penelitian ini baik dari segi objek
permasalahan, substansi adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara
1. Kerangka Teori
Kalau berbicara dalam hal masalah perkawinan, maka yang menjadi persoalan
yang ramai dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah perkawinan yang sangat
banyak mendapat perhatian. Menurut Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani yang
terkemuka mengatakan manusia yang ingin selalu hidup bersama antara orang yang
satu dengan orang lainnya. Kehidupan bersama ini bisa dalam bentuk keluarga,
masyarakat dan negara, pembentukan suatu keluarga ini harus dilakukan melalui
seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh peraturan-peraturan negara dan
adalah pertalian yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk waktu
yang lama". 16
16
Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Penerbit: FT. Pembimbing Masa,
Cetakan 9,1970), hal. 14.
Perkawinan adalah perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia yang kekal, dimana antara suami isteri itu
harus saling menyantuni, kasih mengasihi, terdapat keadaan aman dan tentram
penuh kebahagiaan baik moral spritual dan material berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. 17
hubungan seksual, tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan
seksual, dan bila tidak ada hubungan seksual antara suami isteri maka tidak perlu ada
tenggang waktu tunggu (iddah) untuk menikah lagi bekas isteri itu dengan laki-laki
lain. 18
adalah: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
dikemukakan oleh Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berikut ini: Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga
sejahtera dan bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan tanggung
jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psykologis yang berat
17
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.287.
18
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Tintamas, Jakarta, 1981, hal.61.
19
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 23.
20
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta, 1987, hal.2.
Dari pengertian perkawinan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa suatu
perempuan sebagai suami isteri dalam membentuk suatu kehidupan rumah tangga
yang bahagia, kekal dan abadi dengan berdasarkan kepada kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, dimana dengan adanya perkawinan ini diharapkan memperoleh anak
oleh agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. “Ini
Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan
perkawinan.” 21
21
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 /1974 sampai KHI, Prenada Media, Jakarta,
2004, hal. 60
yang telah diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Yang masih menjadi persoalan
perkawinan bagi perbedaan agama tidak ada ketentuannya baik dalam undang-undang
melihat ketentuan Pasal 2 ayat 1 tersebut di atas maka sebetulnya tujuan diadakan
ketentuan tersebut di atas adalah untuk menghindarkan konflik hukum baik antara
Dengan demikian apabila terjadi perkawinan antara dua orang yang berbeda
agama maka terlebih dahulu harus diadakan pemilihan agama dan kepercayaan yang
mereka peluk. Tanpa menentukan sikap atas agama dan kepercayaan lebih dulu,
sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 tidak mungkin dapat dilakukan perkawinan,
sebab tidak mungkin sekaligus dipergunakan dua ketentuan hukum agama dan
kepercayaan.
agama masing-masing. “Oleh karena itu jika terjadi perkawinan di antara dua orang
yang berlainan agama dan kepercayaan mau tidak mau harus menentukan pilihan
dengan orang yang berlainan agamanya supaya sah menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1
dengan sorang yang bukan muslim, hukum Islam mengatur sebagai berikut:
a. Bagi seorang pria muslim boleh kawin dengan seorang wanita bukan muslim,
tetapi hanya dikhususkan wanita-wanita yang mempunyai kitab suci selain kitab
suci al-Qur'an, yang diakui oleh Allah (al-Qur'an S. Al-Maidah ayat 5).
wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), hanya saja harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, antara lain dipenuhinya syarat dan rukun nikah menurut agama Islam
dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Syarat lain yang harus dipenuhi
adalah si suami harus memiliki keyakinan bahwa dia tidak akan murtad atau
berpindah ke agama istri, serta dengan segala upaya bisa menimbulkan rasa
simpati pada agama Islam yang akhirnya nanti bisa membawa istrinya untuk
masuk Islam. Persyaratan ini dibuat agak memberatkan agar tidak sembarangan
22
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan
Secara Sosiologis Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal. 83.
laki-laki muslim untuk kawin dengan wanita ahli kitab. Tetapi saat ini tidak ada
b. Bagi seorang wanita muslim dilarang kawin dengan pria non muslim tanpa ada
sangat tergantung kepada suami. Jika dipaksakan, maka pernikahannya batal dan
tidak sah.
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap perkawinan
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan.
Dengan memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum itu dapat
dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang
bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu,
alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah
ini diatur lebih lanjut dalam Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 9.
yang membuatnya.
23
Lies Soegondo, Administrasi Kependudukan dari Aspek Hak Keperdataan, makalah
Konperensi Nasional Pengembangan Pelayanan Publik di Bidang Kependudukan, Mei 2002.
1. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9
dan Rujuk (L.N 1954 No. 98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama
di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1917 No. 75 yo.
c. Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Cina (Stb. 1917 No. 130 yo. 1919 No.
d. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropah yang disamakan (Stb. 1849 No.
25).
e. Daftar Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stb. 1904 No. 279).
apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Dengan melihat tujuan dari
pencatatan perkawinan ini banyak kegunaannya bagi kedua belah pihak yang
melaksanakan perkawinan itu baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam hidup
misalnya tunjangan isteri, tunjangan anak dan tunjangan lain yang berhubungan
dengan perkawinan.
“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu dan lebih baik akibatnya).
atau Sunnah Rasul atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan
mereka yang bergama Islam. Sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat
Perkawinan ini adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam hukum
Islam.
Secara tegas dapat dikatakan, tindakan di atas menyimpang dari apa yang
tersurat maupun yang tersirat dalam pasal-pasal dan penjelasan undang-undang ini.
Jadi, apabila terjadi kawin campur antar agama yang dilaksanakan di Kantor Urusan
Agama, maka perkawinan itu tetap tidak sah. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah
tanpa melalui pembahasan yang mendalam, bahkan analisisnya dalam berbagai aspek
cukup matang. Mengingat sudah begitu jelasnya mengenai perkawinan tersebut, maka
perkawinan antar agama sama sekali tidak termasuk dalam ketentuan tersebut. Dalam
sejarah hukum perkawinan, memang, kolonial Belanda sama sekali tidak pernah
itu, pemikiran ini dianggap wajar sebab dengan mendasarkan pada Pasal 26 BW,
25
http://www.indonesianembassy.org.nz/Perkawinan2004.htm
mereka memiliki sikap bahwa perkawinan tidak dapat dihalang-halangi hanya karena
2. Konsepsi
berikut:
1. Analisis atau analisa adalah kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah bahasa
perkawinan tersebut.
3. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
26
Perkawinan Antar-agama Rawan Penyelundupan Hukum, http://www.kompas.com/
kompas-cetak /0303/31/dikbud/229187.htm
27
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)
hal. 39
28
Lihat Republik Indonesia, Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974,
4. Perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
wilayah asing. 29
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat
penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu
suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book;
maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process." 30
bersifat kualitatif.
29
W. J. S. Poerwadarminta, Op.Cit, hal. 609.
30
Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah
Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum
Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis
antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi
yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.
Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang
berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir.
"Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat
menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic dimana hal itu
dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk
mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan
penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang
ilmiah lainnya.
primer.
mengenai bahan hukum primer berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya
c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa Inggris,
Indonesia, Belanda dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law
nara sumber yaitu pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain
berupa informasi baik dalam bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang
perkawinan.
Selain itu dilakukan dengan melakukan wawancara dengan nara sumber, yaitu
dengan ibu Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di
lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode
deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan
pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam
melihat keabsahan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri. "Data
yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara "kualitatif,
selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru
32
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas
Erlangga, Surabaya, halaman 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang
Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada Suatu Kesimpulan yang Bersifat Lebih
Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik
(Self Efident) yang Esensi Kebenarannya Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.
kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis
penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalani dilakukan secara
1. Sahnya Perkawinan
kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat
Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum
a. Hukum Adat
secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup
kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu
persekutuan.
b. Hukum positif
33
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 12
Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
34
negara (pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian menurut BW).
Perkawinan menurut agama Islam sendiri adalah suatu proses akad atau ikatan
lahir batin di antara seorang pria dan wanita. Yang menjamin halalnya pergaulan
sebagai suami dan istri dan sahnya hidup berumah tangga. Dengan tujuan untuk
35
membentuk keluarga sejahtera , serta atas dasar suatu kerelaan dan kesukaan kedua
belah pihak dan dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang
secara materiil dalam Pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam Pasal 2 ayat (2), maka
masyarakat Indonesia. 37
perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
34
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 1982, hal. 31
35
Abdurahman Al-Mukaffi, Op. cit
36
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press. 1988. Hal. 27-33
37
Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang Cemerlang,
Yogyakarta, 2000, hal. 13
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang
yang berlaku”
secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi
dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya
hukum agama, baik Islam, Nasrani (Katholik maupun Protestan), ataupun Hindu dan
38
Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan
Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan shodaqah, Mandar Maju, Bandung,
1997, hlm.12.
Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena
hukum adat sifatnya fleksibel dan praktis sehingga mampu untuk menerima
intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya
hukum agama Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya
antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau kenyakinan. Hal ini
sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin. 39
Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam hukum agama (Islam) tidak
menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi seorang pemeluk agama Islam
39
Notaris Herman, Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama, http://herman-
notary.blogspot.com/2009/06/opini-perceraian-dalam-perkawinan-beda.html, diakses tanggal 14
Nopember 2009.
yang juga memegang teguh hukum adatnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang
Berdasarkan pada kenyataan sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Maka
seperti yang dikemukan Achmad Ichsan, bahwa perlu kiranya pengkajian ulang
berkembangnya pendapat perkawinan itu tidak hanya urusan duniawi tetapi juga
masalah Tuhan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkawinan gereja (kerkelijk
huwelijk) yang merupakan salah satu contoh perkawinan secara agama yang tidak
menurut agama, tetapi tidak sah menurut Undang-Undang terutama pada Pasal 2 ayat
ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum
Undang Perkawinan:
Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan Agama/kerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur bathin/rokhani juga
mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat
40
Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 (Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional), Armico. Bandung, 1998. Hal. 28-30.
41
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologi Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. Hal. 19.
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.”
Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum
seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa
kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu Undang-
agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya
persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya
selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut
agama Islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan
Begitu pula untuk pemeluk agama lainnya, apabila segala persyaratan yang
timbul dari hukum agama masing-masing terpenuhi, maka hukum negara akan
yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai
suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib administrasi bagi setiap
a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Islam:
1.
Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2.
Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Islam.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi
orang Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yang
diresipir dalam hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata
dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa
berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata.
b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Nasrani (Katholik dan Protestan):
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Nasrani (Katholik dan Protestan).
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi
orang Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen,
bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit
perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku
hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata.
c. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Hindu maupun Budha
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
43
Ibid, Hal. 26-29
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan
sesuai dengan agama Hindu maupun Budha.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka
bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum adat, bagi
Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya,
bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya
masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.
menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi
akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi permasalahan
44
ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu adanya musyawarah
antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang diberlakukan, sesuai dengan
44
Djuhaendah Hasan, Op.Cit. Hal. 60-62
45
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hal. 26-27.
46
Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hal. 23.
2. Syarat Perkawinan
Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2
ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun
2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun
lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21
tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1), harus mendapat izin dari kedua
orangtua (kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu
ada) atau wali (jika kedua orang tua sudah tidak ada).
susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri (dalam hal poligami), hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
4. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada
perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan
Pasal 11.
b. Syarat Formil
peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat
masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan
oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu
langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang
yang majemuk. 48
Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam
47
O. K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 97.
48
Ibid, hal.143.
dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan.
Pasal 7 ayat (2): Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak
Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama
bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk
landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal
57. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-
muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-
Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun
agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. 49
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini
secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-
muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-
Kitab.
49
M.Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, makalah,
http://www.pa-wonosari.net/asset/nikah_beda_agama.pdf, diakses tanggal 30 Oktober 2009.
a. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
b. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang
sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur
adanya perkawinan beda agama, selanjutnya pada pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa
dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama merupakan landasan
filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan
Tahun 1974 tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada
masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah
dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah (2):221). Selain itu juga
dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Fridolin Ukur, maka: Mereka
dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut
Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, lanjut
Farida, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Itu
50
Zaldi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Agama-Agama,
http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/perkawinan-beda-agama-dalam-perspektif-agama-agama
/,diakses tanggal 20 November 2009.
zina. 51 Namun di sisi lain larangan ini dianggap sebagai tindakan diskriminatif bagi
51
Ibid. 7
52
“Perkawinan Beda Agama dipandang dari Aspek Hak Asasi Manusia”,
http://bh4kt1.multiply.com/journal/item/18/PERKAWINAN_BEDA-AGAMA_DARI_ASPEK_HAK_
ASASI_MANUSIA, Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya
merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia itu
sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-
masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama.
Masalah agama merupakan salah satu komponen Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai peraturan perUndang-Undangan tertinggi di
Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945 dengan tegas
menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang.
Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah-
masalah agama. ecara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak
diselaraskan dengan peraturan perUndang-Undangan lainnya. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak
Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas
kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan
yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak.
53
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 102.
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang
Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di
luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan
1974 tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan
Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan
perkawinan. 54
perkawinan atau cerai. Kalau nanti mau cerai, apakah bisa di Pengadilan Negeri.
Namun kalau luar negerinya ada yang beragama di Kantor Urusan Agama, karena di
luar negeri tidak ada Kantor Urusan Agama. di luar negeri semua perkawinan
dicatatkan di catatan sipil. Kalau beragama Islam, hanya dilakukan mesjid saja karena
54
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
perkawinan bagi pasangan Warga Negara Indonesia semakin dipertegas secara teknis
dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
yang beragama Islam dilakukan dihadapan Kantor Urusan Agama di wilayah domisili
dilaksanakan secara Kristen ataupun agama lainnya, maka perkawinan tersebut harus
dikeluarkan surat tanda bukti pelaporan perkawinan dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil..
Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
Tahun 1974 dan dalam Gemengde Huwelijken Regeling dan Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun
falsafah yang sangat lebar antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua
hukum.
instansi baik Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada Pasal 2
55
Priskalista, Pernikahan Beda Agama, http://priskalista.wordpress. com/2009
/08/20/pernikahan-beda-agama/, diakses tanggal 30 Oktober 2009.
ayat 1 jo Pasal 8 f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
ditegaskan bahwa dengan perumusan Pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di
tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan
ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh Undang-Undang
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen,
Hindu, Budha. 57
Penjelasan atas pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum
56
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta, 1993, hal..3
57
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, Jakarta, Tintamas,
Jakarta, 1986, hal. 2
58
Herman, Loc.Cit.
masing-masing agamanya, jelas bahwa perkawinan antar agama tidak sah dan bukan
perkawinan. 59
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-
laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang
campur ini. Dalam banyak tayangan dan pemberitaan, para pelaku kawin campur
kampanye kawin beda agama yang kini sedang disosialisasikan, sebenarnya juga
(termasuk) metode kristenisasi, “kata Abu Deedat. Lebih jauh, kelompok pendukung
kawin campur juga berusaha mencari pijakan teologis. Mereka menggandeng para
melarang kawin campur. Bertemulah mereka dengan kelompok Islam Liberal (kajian
Utan Kayu) yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla. Lewat jaringan media massa yang
dalam Pasal 44 KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan penegasan bahwa seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam; sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf (c) KHI dilarang
59
Media Dakwah, September 1997, hal. 68
60
EOH, O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, Cet. ke-1, Hal. 117
61
Hartono Ahmad Jaiz, Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Pustaka Al-
Kautsar, Jakarta, 2004, Cet. ke-3, hal..227-228
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Larangan ini karena perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci
yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana
maksud Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam
merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah
lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal
ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga
hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu
tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi
antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan
daerahnya. 62
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan
agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur
Tahun 1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku
lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/BW,
Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam
62
Masjfuk Zuhdi, Op. Cit., hal. 2
Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor
Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat ditolak. 63
perkawinan beda agama belum diatur dalam Undang-Undang secara tuntas dan tegas.
Oleh karenanya, ada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak mau
bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dan ada pula Dinas
perkawinan antar agama dalam Pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-
masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-
isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya
berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu
harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan
calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang
lainnya. 64
salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri.
63
Ibid, hal. 3
64
Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 95
Artinya salah satu calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah
Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama.
agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, yaitu memutuskan
No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara
calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan
tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara
sekalipun berlainan agama dan selama oleh Undang-Undang tidak ditentukan bahwa
perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah
sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
65
Ibid, hal. 95.
66
Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 382/PDT/P/1986/PN.JKS.PST
- Pasal 63 (1)a Undang-Undang No. 1/1974 menyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan
Pengadilan, maka hal ini merupakan wewenang Pengadilan Agama menolak melaksanakan
perkawinan dengan alasan perbedaan agama, akan tetapi alasan tersebut tidak merupakan larangan
untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 1/1974
- Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di dalam Undang-Undang No. 1/1974 dan disisi lain
merupakan UU produk kolonial yang mengatur hal tersebut, akan tetapi UU ini tidak mungkin dapat
dipakai karena perbedaan prinsip dan falsafah
tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk
antar agama. Maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidak dapat dibenarkan
dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang
untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama
kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang No.
1 Tahun 1974.
67
Ibid, hal.97
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan
agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber
dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di
luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara
Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah
bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam
jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor
68
Raimond Lamandasa, Polemik Kawin Beda Agama, http://nimrodhambuako.wordpress.
com/ 2009/03/04/polemik-kawin-beda-agama/, diakses tanggal 21 Oktober 2009.
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. 69 Namun secara tegas Undang-
perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya acara bukan materi hukum.
tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam Undang-Undang. Hukum agama tetap
saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk dalam hukum positif nasional.
Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat diberlakukan secara tidak langsung
yaitu perkawinan yang dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
69
Lihat Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No.1/1974
berkewarganegaraan Asing, serta perkawinan yang dilakukan di luar negeri antara
warganegara Asing. Dalam kasus tertentu, bisa saja perkawinan campuran atau
Perkawinan berbeda agama ini juga menyentuh aspek hak asasi manusia.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sendiri tidak
10 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “perkawinan yang sah” adalah
undangan. Artinya, bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sah dari aspek
apakah perkawinan tersebut dilegalkan/diakui atau tidak oleh negara? Ini terjadi pada
kasus kawin beda-agama, atau kawin di luar negeri. Ada yang berpendapat bahwa
anak. Namun sesungguhnya anak bagaimanapun tidak bisa dijadikan alasan untuk
Undang No. 23 Tahun 2002) dengan jelas menyatakan bahwa: Setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
2006 disebutkan: Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang
sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh
Indonesia.
Di situ, dijelaskan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah pun
tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia, dengan kata lain: tetap dilindungi oleh
negara. Jadi, apakah anak lahir dari perkawinan yang sah atau tidak, perlindungan dan
hak-hak anak harus tetap diberikan, misalnya hak untuk mendapat akta kelahiran.
Berdasarkan ayat (1) di atas, perkawinan itu kan tetap melalui prosedur yang
sah. Jadi, tidak boleh sembarang kawin. Justru karena itulah, perkawinan memang
harus diakui oleh negara. Negara harus mengakui perkawinan setiap warganegaranya
dengan tujuan ada perlindungan nantinya bagi mereka yang kawin itu. Namun, bukan
dan tidak terlepas dari hak untuk bebas menentukan pilihan sesuai dengan Pasal 3
Undang-Undang Hak Asasi Manusia: Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat
dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani
Jadi, apabila negara malah menentukan cara-cara perkawinan yang sah, maka
sama saja negara tidak memberikan kebebasan memilih pasangan tadi dan otomatis
kondisi ini bertentangan dengan hukum (Hak Asasi Manusia). Sudah menjadi
orang lain. Menjadi permasalahan jika ada pihak yang terganggu haknya apabila
seseorang/dua orang ingin kawin atau dengan orang yang sudah kawin lalu ingin
kawin lagi. Tentu saja orang yang ingin kawin lagi tidak termasuk dalam kategori ini
karena ada hak-hak orang lain yang dirugikan, misalnya hak-hak istri dan anaknya.
hanyalah sebatas tafsiran, kebenarannya tidak bersifat mutlak dan bisa saja salah.
melainkan juga dari segi sosiologis dan filosofis. 70 Secara sosiologis, tidak adanya
itu. Cara ini dapat dilegalkan dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 56 Undang-
waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke wilayah Indonesia dengan membawa surat
perkawinan beda-agama. Penafsiran ini pada prinsipnya kurang tepat karena banyak
perkawinan beda-agama yang diterima dalam masyarakat, dalam kasus ini, terutama
untuk pasangan yang terdiri atas calon suami yang beragama Islam dan calon istri
yang beragama Kristen. 71 Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, penerimaan
perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah melanggar
asas-asas Hak Asasi Manusia. Bila dibiarkan, bukan tidak mungkin akan memberikan
70
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet. 3, Liberty , Yogyakarta, 2002, hal. 87.
71
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta
1989, hal. 166.
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran
negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap cita-
cita dari sebuah negara hukum. Salah satu yang menjadi tujuan fundamental dari
negara harus benar-benar secara serius menjamin hak-hak dasar warga negara.
undangan lainnya.
Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tidak langsung memberikan ruang bagi
diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait
dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi,
72
T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 36.
Tidak ada pengaturan mengenai perkawinan antar agama di dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dapat dipahami, dan merupakan cerminan bangsa betapa
alotnya pembicaraan untuk memutuskan rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Di mana
Perkawinan berlum tercapai kata sepakat untuk melahirkan suatu ketentuan tegas dan
penganut agama dan kepercayaan lahirlah rumusan yang ada sekarang, dengan
kepercayaannya itu.
masyarakatnya, yaitu Islam, Nasrani (Kristen Protestan dan Katholik), Hindu dan
Budha. Dan di setiap agama, perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia.
Sehingga bisa dianggap di dalam Hukum Adat di Indonesia telah terdapat pelbagai
Di dalam hukum Islam ada ketentuan yang mengatur secara tegas tentang
larangan bagi orang-orang Islam untuk kawin dengan non muslim. Dasar hukumnya
73
Runtung, “Perkawinan Antar Agama Dilema dan Solusinya” , makalah tt, hal.12.
dijumpai dalam Al Qur’an Surat Al’Baqarah ayat (221) : Dan janganlah kamu nikahi
mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
bin Umar, menafsirkan pengertian musyrik dengan mencakup semua ummat yang ada
di luar Islam. Termasuk juga haram menikah dengan golongan-golongan ahlul kitab
Yahudi dan Nasrani, disebabkan mereka menyekutukan Allah dengan Uzair dan nabi
Isa. 74 Sedangkan 4 mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, berpendapat bahwa
Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk
diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi.
Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita
Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia
bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan
74
Ahmad Kuzaro, Nikah Sebagai Perikatan, Walisongo Press, Semarang, 1995, hal. 36..
dengan kaum Muslimin. Maka, apabila keluar dari ketiga syarat itu ia tidak boleh
dinikah. 75
sebagai berikut:
1) Syarat-syarat materiil:
beserta akibat-akibatnya
e. Beragama Katolik
2) Syarat-syarat formil
75
Abdul Majid, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam, 09-04-05,
http://asnawiihsan.blogspot.com, diakses tanggal 20 Desember 2009.
a. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan
maksudnya kepada Pastor Paroki pihak wanita, atau pihak pria bila calon
c. Bila tidak ada halangan perkawinan, pastor paroki akan mengumumkan tiga
ordinaris wilayah atau pastor-pastor atau imam diakon yang diberi delegasi
tidak mengenal perkawinan antara orang-orang yang beragama Katolik dengan yang
bukan Katolik. Namun adanya ketentuan “bila calon istri tidak beragama Katolik,
76
P. A.Heuken, Persiapan Perkawinan, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal. 142-144
77
Runtung, Op.Cit.hal. 8.
3. Menurut Agama Kristen Protestan
Satu hal yang dianggap sebagai salah satu sendi dari agama Kristen adalah hal
lebih dari seorang istri. Dan menurut agama kristen/Nasrani 78 perkawinan adalah
persekutuan hidup pria dan wanita yang monogam, yang diarahkan ke pembiakan
yaitu merupakansoal sipil yang erat hubungannya dengan dengan masyarakat dan
Kedua perkawinan adalah soal agama, yang harus tunduk kepada hukum agama.
Dengan demikiangereja Kristen Protestan berpendapat bahwa agar perkawinan itu sah
menurut hukum negara maupun hukum Tuhan, haruslah dilakukan berdasarkan baik
Kantor Catatan Sipil saja oleh umat Kristen Protestan dianggap sebagai perkawinan
yang sah, walaupun tidak diberkati dan diteguhkan di gereja. Pendapat tersebut
Perjanjian Baru Korintus 6: 14, sebenarnya agama Kristen Protestan juga melarang
78
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit. Hal. 33-35
79
Lemta Tarigan, Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.
/1974, makalah sebagai tugas dalam mata kuliah Kapita Selekta Hukum Adat pada Program Studi S-
2Ilmu Hukum, PPs UU,2003.
perkawinan antara orang-orang Kristen Protestan dengan yang bukan Kristen
Protestan.
Hukum agama Hindu memandang perkawinan sebagai salah satu dari banyak
samskra, sebagai sesuat yang suci, yang diatur oleh dharma, dan harus tunduk pada
dharma. Karena itu perkawinan baru sah bila ia dilakukan menurut hukum agama
dengan melalui upacara sakramen yaitu wiwaha homa atau wiwaha samskara. Bila
suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agama, maka segala akibat hukum
Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pada hakeketanya hukum agama
perempuan menjadi suami istri. Walaupun di dalam agama Budha tidak ditentukan
secara tegas azas monogami yang dianut. Tetapi dengan berdasar kepada Anguttara
Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Budha
adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang
perempuan yang baik (dewi). Maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan
menurut agama Budha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang
laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh
Dengan kata-kata se –dharma berarti bahwa hukum agama Budha juga melarang
perkawinan antara orang-orang yang beragama Budha dengan yang non Budha.
80
http://www.samaggi-phala.or.id
BAB III
Dinas Kependudukan memiliki tugas pokok dan fungsi tertentu. Secara terperinci,
fungsi, yaitu:
pencatatan penduduk
a. Seksi Kelahiran
a. Seksi Pengesahan
b. Seksi Penyuluhan
Pencatatan:
Sub dinas pelayanan pencatatan dipimpin oleh seorang kepala sub dinas yang
Dinas,
tugas dinas di bidang pelayaan pencatatan penduduk Warga Negara Indonesia (WNI)
dan Warga Negara Asing (WNA). Untuk melaksanakan tugas sub dinas pelayanan
pencatatan, mengelola data serta penerbitan. Akta kelahiran bagi warga negara
lawan jenis. Pengaturan hukum di Indonesia juga sama sekali tidak memberi aturan
jelas mengenai perkawinan beda agama, sehingga bagi pasangan beda agama harus
norma di masyarakat. Faktor pertama di luar agama, seperti pragmatisme. Yaitu soal
terkait agama, dan perayaan hari besar dalam keluarganya nanti. Juga kemudahan
dalam memberi pendidikan agama pada anak. Termasuk faktor “tekanan keluarga”, di
mana seringkali orang tua tidak memberi restu jika anaknya menjalin hubungan
dengan orang yang tidak seiman. Ini alasan yang tidak perlu diperhitungkan. Seperti
memilih jodoh yang sehobi atau sekampung. Sikap pragmatis seperti ini juga ada
pada mereka yang cenderung memilih pasangan satu suku atau se-ras.
Faktor kedua lebih ideologis, yaitu faktor ajaran agama. Pada faktanya
beberapa agama memang mengharamkan pernikahan beda agama, walau ada juga
cenderung sulit menikahkan jemaatnya dengan seseorang yang berada di luar Gereja
Katolik. Sedangkan dalam Islam, ada dalil yang mengatakan lelaki Muslim boleh
menikah dengan wanita non-Muslim, namun haram bagi wanita Muslim untuk
yang melarang pernikahan berbeda agama (Pasal 2). Dalam hal ini, ajaran agama
memiliki peran amat penting dan merupakan faktor fundamental mengapa masyarakat
agama.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada 4 cara yang populer ditempuh
yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56
luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara
Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Selanjutnya
disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke
Namun perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum
memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya, tetap perkawinan yang berlaku
bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-
Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah
sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan
setempat adalah sah di seluruh dunia. 82 Hal ini juga ditegaskan Pasal 56 ayat (1)
81
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Djambatan, 1999, hal. 56
82
Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, tanggal 26 November 2009.
menurut hukum yang berlaku di negara setempat sekaligus tidak melanggar peraturan
perundang-undangan Indonesia."
beda agama di luar negeri, yaitu antara lain karena negara Indonesia tidak memiliki
aturan yang membolehkan adanya lembaga perkawinan beda agama. Pada Pasal 56
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang
dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya
adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah
sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar Undang-Undang ini. 83
Merujuk pada Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”.
83
P. N. H. Simanjuntak, Op.Cit. hal. 76
Berikutnya disebutkan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu
kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Zulfa Djoko Basuki, pakar
hukum perdata internasional, mengaitkan perkawinan di luar negeri ini dengan Pasal
Sahnya suatu perkawinan, diperlukan dua syarat, yaitu syarat formal dan
syarat material. Syarat formal diatur dalam Pasal 18 AB, yakni ‘tunduk pada hukum
dimana perkawinan itu dilangsungkan’ (lex loci celebrationis). Jika di negara dimana
dilakukan secara sipil. Untuk syarat materiil, misalnya mengenai batas usia menikah,
berlaku hukum nasional (dalam hal ini Indonesia). Kedua syarat harus dipenuhi oleh
dalam frase “bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana
84
Perkawinan Di Luar Negeri, http://www.hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=6981,
diakses tanggal 30 September 2009.
85
Ibid.
negara tempat perkawinan dilangsungkan, tetapi tidak sah menurut hukum Indonesia
tersebut dilanggar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ini adalah risiko yang
mungkin dihadapi pasangan yang menikah di luar negeri, dan tidak mendaftarkannya
tinggal mereka. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya menerima pelaporan
Perkawinan itu ditulis dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan
yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar
86
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tata cara dan
Mekanisme Pengurusan Perkawinan dan Rujuk di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta, 2005
melarang pasangan beda agama menikah. Tapi ada juga yang memakai cara
penundukkan sementara pada salah satu hukum agama, yaitu pagi menikah sesuai
(ICRP).
Negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri wajib dicatatkan pada instansi
yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan RI. Jika di
negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang asing, maka
pencatatan dilakukan Perwakilan RI. Oleh Perwakilan RI, perkawinan itu dicatatkan
dalam Register Akta Perkawinan, lalu terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Kalau
pasangan tadi sudah kembali ke Indonesia, suami istri yang sudah menikah harus
melapor ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil paling lambat 30 hari setelah tiba
di Indonesia. 87
87
Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, tanggal 26 November 2009.
Pasangan Warga Negara Indonesia yang menikah di luar negeri wajib
mencatatkan dan melaporkan peristiwa perkawinan itu. Jika tidak, pasangan tersebut
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 107 Perpres
Nomor 25 Tahun 2008. Salah satu daerah yang sudah menerapkannya sebagai
pendapatan daerah adalah DKI Jakarta, melalui Perda Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Retribusi Daerah. 88
Salah satu hal penting dalam Perpres ini adalah administrasi kependudukan bagi
pasangan Warga Negara Indonesia yang menikah di luar negeri. Kini, semakin
Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan demikian sah
88
Ibid, hal. 6
89
Daniel Suganda, Pernikahan WNI di Luar negeri dan Pola Pencatatannya, (Jakarta,
Penuntut Fajar,2005) hal 5.
apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara setempat sekaligus tidak
Perkawinan, setiap peristiwa kependudukan wajib dilaporkan paling lama satu tahun
pembatalan perkawinan, perceraian, kematian, adopsi dan perubahan nama juga bisa
negeri, pasangan Warga Negara Indonesia yang menikah tetap harus melapor ke
90
Wahyono Darmabrata, Op. Cit, hal. 7.
91
Ibid, hal. 8.
92
Sri Rahayu, Op. Cit., hal. 6.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat sekembalinya mereka ke Indonesia.
perkawinan bagi pasangan Warga Negara Indonesia semakin dipertegas secara teknis
dalam Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006. 94 Salah satu hal penting dalam
Indonesia yang menikah di luar negeri. Kini, semakin banyak pasangan Warga
tertentu.
maka dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah
93
Ibid, hal. 7.
94
Hasil wawancara dengan Ibu Dra. Susi Rusida, Kepala Seksi Perkawinan dan Perceraian
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan, tanggal 26 November 2009.
Permasalahan yang timbul akan sama seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2.
Meskipun tidak sah menurut hukum Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap
Merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang
Perkawinan di atas, pada dasarnya memang perkawinan beda agama tidak dikenal
dan tidak diakui oleh Hukum Indonesia. Namun demikian, tidak ada pengaturan
secara tegas tentang pelarangan perkawinan beda agama dan atau beda kepercayaan.
Jadi ada banyak tafsir tentang pelaksaanaan dan pengakuan perkawinan beda agama.
agama tetap dapat dilangsungkan dan diakui secara hukum. Adapun persyaratannya
untuk membuat Surat Tanda Bukti laporan perkawinan luar negeri adalah:
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil segera setelah menerima salinan penetapan
dari PN untuk mencatat perkawinan antara pasangan beda agama pada buku register
Indonesia:
tata cara:
Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana atau pada Instansi
ayat (2);
b. Pejabat Pencatatan Sipil pada Unit Pelaksana Teknik Dinas (UPTD) Instansi
setempat.
tata cara :
a. Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Pelaporan Perkawinan dengan
bagi orang asing, pencatatan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia. Pasal 71
perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tata cara:
Catatan Sipil hanya memenuhi syarat formil saja. Meskipun agama melarang
ini menunjukkan tidak ada persesuaian, antara ketentuan Undang-Undang dengan apa
yang terjadi dalam praktik. Pasangan berbeda agama yang ingin melangsungkan
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal
12. 95
lembaga Pencatatan Perkawinan yang berbeda bagi yang beragama Islam dan non-
Islam. Bagi yang beragama Islam pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama.
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Percatat Perkawinan
pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
Tahun 1975 ini, menentukan: "dengan adanya ketentuan tersebut dalam Pasal ini,
maka " pencatatan" perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai
Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau
95
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 119.
mencatatkan" perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah. Harus diakui
ketentuan yang mengatur tentang sah dan pencatatan perkawinan kurang jelas,
membawa implikasi pada pencatatannya, dalam tulisan ini hanya akan dibahas
tentang kapan waktu sahnya perkawinan itu diakui. Apakah waktu perkawinan itu
kepercayaannya itu ataukah pada waktu pencatatan. Masalah ini tentunya tidak ada,
pada hari yang sama. Menjadi masalah apabila terdapat perbedaan waktu antara
sebagai berikut: 97
1. Pemberitahuan
Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap
96
Willa Chandrawilla, Syarat sah dan Pencatatan Perkawinan, http://www.mail-
archive.com/keluarga-sejahtera@yahoogroups.com/msg03822.html, diakses tanggal 02 November
2009.
97
Ibid, 123.
Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9
suatu alasan yang diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
perkawinan itu dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua mempelai atau
wakilnya. Sesuai Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini pemberitahuan dapat secara lisan
atau tulisan.
seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin disebutkan juga nama istri atau
suami terdahulu.
2. Penelitian
diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat perkawinan. Sesuai Pasal 6 ayat
(1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pegawai pencatat meneliti apakah syarat-
syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut
pejabat tersebut.
Selain itu berdasarkan Pasal 6 ayat (2), pegawai pencatat perkawinan juga diwajibkan
(a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai, dalam hal tidak ada
akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa
penting, untuk mengetahui umur calon mempelai dalam hubungan dengan batas
kalau ada calon mempelai yang umurnya tidak memenuhi batas minimum dapat
dilakukan pencegahan.
(c) Izin tertulis pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
(d) Izin pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 4 Undang-Undang dalam hal calon
Undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai tidak memenuhi syarat batas
(f) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian, bagi
(g) Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB,
apabila salah sorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
pegawai pencatat di tulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu (Pasal 7).
persyaratan dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, keadaan
itu harus segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau
kepada walinya.
3. Pengumuman
Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu
formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. Kemudian mengenai isi yang dimuat
mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah sorang atau keduanya
pernah kawin disebutkan nama istri dan (atau) suami mereka terlebih dahulu.
pengumuman itu apabila ada pihak yang keberatan terhadap perkawinan yang hendak
Pencatat Perkawinan.
4. Pelaksanaan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ternyata menegaskan kembali Pasal 2 ayat (1) Undang-
oleh dua orang saksi. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai Pasal 10
ditandatangani pula oleh para saksi dan pegawai pencatat perkawinan yang
menghadiri. Dalam Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 juga
perkawinan ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili. Dengan
secara resmi.
Akta perkawinan tersebut dibuat rangkap dua, untuk helai pertama disimpan
oleh pegawai pencatat perkawinan, kemudian untuk helai kedua disimpan panitera
hadir secara fisik bukan suatu hal yang mutlak, karena baik Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang perkawinan dan Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya
pencatatan perkawinan.
Melihat penjelasan di atas terkesan masalah pencatatan perkawinan tersebut tidak saja
rumit tetapi seolah-olah menjadi sangat penting. Bahkan urusan catat mencatat
tersebut jauh lebih lama waktunya ketimbang pelaksanaan akad nikah itu sendiri.
Lebih jauh dari itu ada kesan pencatatan itu menjadi mutlak dalam sebuah
Pada Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dinyatakan:
pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.” Dengan demikian Pasal 10 ayat
(3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 telah menambah suatu ketentuan yang
sebenarnya tidak disyaratkan oleh Undang-Undang yang menjadi induknya dan yang
dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
98
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 133.
Pertama, pencatatan perkawinan pada kantor pencatatan perkawinan, secara
hukum tidak menjadi syarat bagi sahnya sebuah perkawinan.
Kedua, untuk pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat, tidak disyaratkan
bahwa perkawinan harus dilakukan dihadapannya. Perkawinan itu bisa saja
dilakukan di luar kesaksiannya asal ada bukti yang otentik tentang telah
dilangsungkanya perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
yang dapat menjadi dasar bagi kepentingan pencatatan perkawinan yang
bersangkutan.
Ketiga, kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif tetap
harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan tersebut akan
diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang
telah dilangsungkannya sebuah perkawinan yang sah. 99
yang penting dalam hukum negara, namun bukan merupakan syarat utama dalam
hukum Islam. Bagi pasangan yang beragama Islam, berarti bisa saja melangsungkan
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dalam hal ini Bidang Konsuler
Indonesia, maka Bidang Konsuler akan memberikan Buku Nikah kepada kedua suami
99
Ibid.
istri sebagaimana Buku Nikah yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)
Salah satu negara yang membolehkan perkawinan beda agama adalah negara
Singapura. Bagi warga negara lain yang ingin melakukan perkawinan di Singapore
minimal 20 hari berturut turut, setelah memenuhi persyaratan tinggal tersebut calon
dengan pendaftaran online baik bagi warga negara Singapore, Permanent Resident
maupun 100 % Foreigner. Begitu mudahnya layanan pernikahan ini. Hanya dalam
perbedaan agama, dijamin sertifikat nikah itu legal dan bisa diterima oleh hukum
100
Perkawinan Warganegara Indonesia (WNI), http://www.indonesia.nl/ articles.php.
101
Registry of Marriage, http://honey.telkom.us/2007/08/21/registry-of-marriage/, diakses
tanggal 20 November 2009.
3. Surat Keterangan untuk menikah dari Kelurahan.
4. Surat Keterangan asal usul dari Kelurahan.
5. Surat Keterangan orang tua dari Kelurahan.
6. Akte Kelahiran asli, masing-masing dari kedua calon pengantin berikut
foto copynya.
7. Foto copy paspor dan ijin tinggal.
8. Bagi yang menetap di Singapura, surat keterangan belum menikah dari
pemerintahan setempat. 102
satu pihak warga negara Indonesia dan pihak lain kewarganegaraan singapura harus
memenuhi syarat-syarat:
manpower - MOM)
ROM). 103
Jika ada pasangan yang ingin menikah, salah satunya harus ada yang tinggal
selama 2 minggu. Apabila mau lalu mendaftar di web mereka untuk membuat
Registry Of Marriage (ROM) dan soal biaya pake kartu kredit. Selanjutnya di
hadapan saksi minimal 1 perempuan dan 1 laki, dengan meminta bukti pasport
saksi. Selanjutnya setelah dekat waktu nanti akan ada email menentukan waktu
pasangan untuk datang, dan bawa berkas Registry Of Marriage (ROM) yang sudah
diprint dan passport beserta copy passport saksi, 15 menit sebelumnya harus sudah
hadir disana. Setelah di sana kita disuruh bersumpah saja kalau pasangan sudah
berumur lebih dari 21 tahun. Dalam waktu seminggu setelah itu Registry Of Marriage
102
Ibid.
103
www.kbrisingapura.com/ diakses tanggal 20 November 2009.
(ROM) tinggal membawa passport dan berkas yg pernah diberikan saat pasangan
Kantor Urusan Agama (KUA) di mana kedua pengantin bertempat tinggal. Laporan
ke Kantor Urusan Agama (KUA) tidak boleh melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak kedatangan di Indonesia. Dalam waktu 1 tahun setelah suami istri kembali ke
Indonesia harus mendaftarkan surat bukti perkawinan ke Kantor Urusan Agama atau
Buddha dengan Indah Mayasari yang beragama Kristen Katholik dan keduanya
berdomisili di Batam. 104 Keduanya merupakan pasangan beda agama yang tidak
Catatan Sipil Kota Batam, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan
4. Bukti Pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sejumlah Rp. 50.000,-
104
Pembuktian perkawinan keduanya dicatat dalam Certificate Of Marriage yang
dikeluarkan oleh Republik Singapura tanggal 28 Oktober 2007.
5. Foto copy Kartu Keluarga kedua mempelai.
melaksanakan pernikahan beda agama di luar negeri. Namun surat ini bukan
Akhirnya Andy Vonny Gani (Islam) dan Petrus Hendrik Nelwan (Kristen)
menikah resmi. Mahkamah Agung memerintahkan kantor catatan sipil DKI membuka
pintu nikah campur. keputusan itu belum terbuka lebar. PINTU" hukum untuk
pasangan berbeda agama melaksanakan kawin campur, yang selama ini telah tertutup
rapat, kini digedor pengadilan tertinggi. Majelis Hakim Agung yang diketuai Ali
Said, memerintahkan pegawai pencatat pada Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta
menikahkan pasangan berbeda agama Andy Vonny Gani (Islam) dengan Adrianus
Pusat yang menolak memberikan izin menikah bagi pasangan Vonny dan Adri.
Kasasi Mahkamah Agung itu disambut dengan sangat baik oleh Adri dan
Agung itu keluar. Padahal, baik sebelum maupun sesudah lahirnya Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 perkawinan pasangan antar-agama itu lancar-lancar
saja. Kantor Catatan Sipil merupakan jalan "tengah" yang paling menentukan bila
kedua calon pengantin tetap bertahan pada agama masing-masing. Jalan "tengah" itu
baru mulai tertutup sejak Majelis Ulama DKI, pada 1984 dan 1986, menulis surat
protes ke lembaga di bawah pemerintah daerah itu karena mengawinkan umat Islam
sementara Keppres No. 12, 1983, tegas-tegas menyebutkan Kantor Catatan Sipil
hanya untuk tempat pernikahan orang non-Islam. Sejak itulah Kantor Catatan Sipil
mulai hati-hati menikahkan pasangan Islam dan non-Islam. Perubahan sikap Kantor
Catatan Sipil itu baru mencuat ke permukaan setelah ribut-ribut persoalan kawin
campur Penyanyi Jamal Mirdad (Islam) dan Aktris Lydia Kandou (Kristen). Kedua
aktris terkenal itu ditolak Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menikah di tempat itu.
Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah tak pula bisa dilalui mereka dengan lancar.
Akibat protes Majelis Ulama Indonesia tadi, Kantor Catatan Sipil Jakarta baru
bersedia menikahkan pasangan itu setelah ada izin pengadilan. Untunglah, Hakim
Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada 30 Juni
1986, Jamal dan Lydia resmi menikah. Ternyata, Jamal dan Lydia masih termasuk
agama, khususnya laki-laki Islam dan wanita beragama lain. Untuk pasangan laki-laki
non-Islam dan wanita Islam Kantor Catatan Sipil masih terbuka pintu, asal saja
pasangan itu meminta izin dari pengadilan setempat. Akibat ketentuan itulah banyak
pasangan lelaki Islam dan wanita non-Islam gagal menikah di Dinas Kependudukan
Bahkan ketentuan itu sejak awal tahun ini diperketat. Karena Majelis Ulama
Islam Departemen Agama masih keberatan, sejak 1 Januari 1989 pihak Kantor
Catatan Sipil DKI Jakarta menutup pintu sama sekali untuk perkawinan beda agama.
Dalam rapat kerja Kantor Catatan Sipil se-lndonesia di Malang, 5-10 Desember 1988,
"Kantor Catatan Sipil hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah
menurut agama. Yakni, setelah melangsungkan di gereja, vihara, atau pura," bunyi
putusan terbaru itu. Anehnya, pasangan Vonny dan Adri (wanita Islam dan lelaki
nonmuslim), yang seharusnya tak terhalang menikah di Kantor Catatan Sipil, entah
kenapa, ikut pula menjadi "korban". Padahal, mereka merencanakan pernikahan itu
pada Maret 1986, jauh sebelum ribut-ribut kawin campuran dan bahkan sebelum
kasus Jamal Mirdad dan Lydia Kandou. Tapi selain permohonan itu ditolak Kantor
Urusan Agama (KUA) Tanah Abang, Kantor Catatan Sipil Jakarta tak pula bersedia
memberikan izin.
Pasangan Adri dan Vonny sebelum berniat nikah telah pacaran 1 tahun 6 bulan.
Pada 5 Maret ]986 mereka sepakat menghadap penghulu. Tapi, itu tadi, Kantor
Urusan Agama (KUA) Tanah Abang menolak mereka, begitu pula Kantor Catatan
Sipil Jakarta. Pasangan itu sempat tarik urat memprotes petugas Kantor Catatan Sipil.
Sebab, pada waktu itu, mereka mendengar banyak pasangan seperti mereka, yang
dengan gampang dikawinkan Kantor Catatan Sipil. Karena Kantor Catatan Sipil tetap
Negeri Jakarta Pusat. Tapi sambil menunggu penetapan hakim, rencana perkawinan
telah mereka siapkan. Baju pengantin sudah jadi, undangan telah dicetak, dan bahkan
resepsi pernikahan pun dirancang akan berlangsung pada 3 Mei 1986 di Orchid Hotel.
Ternyata, Hakim Imam Soekarno, yang memeriksa permohonan pasangan itu, pada
Tentu saja kedua calon pengantin ini panik. Atas saran seorang pegawai
agung, pasangan itu dibenarkan menikah karena keduanya telah berusia di atas 21
tahun, sehingga tak perlu lagi izin orangtua. Selain itu, yang penting lagi, dengan
tidak secara Islam." Dengan demikian, haruslah ditafsirkan pula bahwa pemohon
sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Jadi, seharusnya Kantor Catatan
Ani Vonny Gani P pada pokoknya menyangkut beberapa hal penting, yaitu:
terbaru itu belum tentu akan membuka pintu perkawinan antara orang Islam dan
nonIslam selebar-lebarnya. Sebab, seperti disebut di atas, pada waktu yang hampir
bersamaan ternyata Kantor Catatan Sipil, yang berada di bawah Departemen Dalam
Negeri, telah menutup pintu rapat-rapat. Kantor Catatan Sipil hanya akan mencatat
perkawinan yang sah menurut agama. Jadi, sah dulu menurut agama, barulah dicatat
kemudian," kata Dasman lebih lanjut. Para hakim pun belum tentu sepakat dengan
105
Runtung, Op.Cit, hal. 15
Dari pertimbangan dan putusan Mahkamah Agung tersebut telah terungkap
hakim Indonesia itu mandiri dalam mengambil putusan dan tak harus mengacu ke
yurisprudensi. "Lantaran Indonesia tidak menganut Anglo Saxon System, maka para
hakim di sini tidak mutlak harus mengikuti yurisprudensi," kata Amarullah, yang juga
kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Agaknya, untuk pasangan Islam
dan non-Islam, yang berniat kawin campuran, masih dibutuhkan usaha lebih keras
untuk membuka "pintu" tadi ketimbang yang dilakukan Vonny dan Adri. 107
1. Merupakan alat bukti yang paling kuat dalam menentukan kedudukan hukum
seseorang.
106
Ibid
107
Karni Ilyas, Widi Yarmanto, Agung Firmansyah, Ardian T. Gesuri, dan Sugrahetty Dyan
K, Buka Tutup Pintu Kawin Campuran, http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/ 1989/06/24
/HK/mbm.19890624.HK20844.id.html, diakses tanggal 20 November 2009.
2. Merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna di
depan hakim.
perkawinan.
4. Dipergunakan sebagai tanda bukti otentik dalam hal pengurusan paspor, Surat
dan bekerja serta menentukan status ahli waris dan sebagainya. 108
diatur oleh hukum yakni hukum perkawinan dimana dalam peristiwa ini timbul hak
dan kewajiban bagi suami istri. Pada pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
melakukan perbuatan hukum”. Sedangkan pasal 34 ayat (2) menetapkan ”Istri wajib
Selain itu perkawinan ini juga berakibat terhadap harta dalam perkawinan.
Secara a contrario, ada beberapa harta yang dikenal hukum adat juga dikenal dalam
a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usahanya
masing-masing. Harta pertama ini ialah hak dan dikuasai oleh masing-masing
pihak, bila terjadi putusnya perkawinan, maka harta akan kembali kepada
108
Brosur Akta Perkawinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.
b. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu,
mungkin berupa modal usaha, atau berbentuk perabot rumah tangga ataupun
rumah tempat tinggal pasangan suami istri itu, yang lazim disebut asal harta,
usahanya, misalnya karena hibah, wasiat dan kewarisan dari orang tua.
berlangsung, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka yang
dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan antara suami
istri, sekadar mengenai hal itu tidak diadakan perjanjian perkawinan atau ketentuan
lainnya. Peraturan itu selama perkawinan berlangsung tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan sesuatu persetujuan suami istri, segala hasil dan pendapatan harus
diperhitungkan atas mujur malang persatuan. Dengan demikian, istri tidak dapat
harta kekayaan menjadi bersatu demi hukum, kecuali mengadakan perjanjian bahwa
109
Mhd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hlm. 230.
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
2. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974).
3. Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974).
4. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
5. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya. 110
perjanjian pra nikah. Ketentuan ini disebutkan pada Pasal 29 Undang-Undang No. 1
Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
110
Departemen Agama Republik Indonesia, Bahan Penyuluhan Hukum, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Medan, 2001, hlm. 26.
111
Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di
Indonesia, Kerjasama Dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005,
hlm. 67.
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
a. Golongan Pertama
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena itulah
perkawinan adalah telah sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan
bagian dari tertib administrasi. Atau dengan kata lain suatu perkawinan yang tidak
tidak sah.
b. Golongan Kedua
Golongan ini cenderung memberikan penafsiran bahwa Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) tidak hanya dipandang dari segi yuridis semata, tetapi juga harus dipandang
dari segi sosiologisnya. Oleh karena itulah, menurut pendapat golongan kedua ini,
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa karena
112
Idha Aprilyana, Op. Cit., Hal. 43
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat terhadap penafsiran Pasal 2 tersebut,
maka perbedaan ini pada dasarnya dapat diambil jalan tengahnya dengan melihat dari
sisi bahwa perkawinan itu merupakan suatu ikatan yang tentu saja akan menimbulkan
akibat-akibat, seperti :
1. Halalnya hubungan seksual antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan
istri;
7. Hak saling mewarisi antara suami, istri maupun anak yang dilahirkan dari
8. Hak menjadi wali pengawas terhadap harta maupun anak-anak (kecuali hak
tersebut dicabut oleh Pengadilan), apabila salah seorang suami atau istri
meninggal dunia.
Selain itu peristiwa pernikahan atau perkawinan ini akan menimbulkan akibat
yang diatur oleh hukum yakni hukum perkawinan dimana dalam peristiwa ini timbul
hak dan kewajiban bagi suami istri. Pada Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
melakukan perbuatan hukum”. Sedangkan Pasal 34 ayat (2) menetapkan ”Istri wajib
perkawinan yang tidak dicatatkan yang selama ini banyak terjadi di masyarakat. Di
Indonesia tidak terdapat satu sifat kekeluargaan, melainkan dari berbagai daerah ada
berbagai sifat kekeluargaan, yang dapat dimasukkan ke dalam tiga macam golongan,
yaitu : 113
Oleh karena itu, maka sangatlah layak apabila dalam Hukum Perkawinan dan
Hukum Kekeluargaan, pengaruh agama tampak sangat kuat dan terlihat. Karena patut
diingat, bahwa ajaran-ajaran dari suatu agama adalah terutama mengenai kerohanian
113
Ibid, Hal. 17
dan kepribadian seorang manusia dalam masyarakat. Sedang dari segala peraturan
hubungan antar manusia yang paling mendekati pada kerohanian dan kepribadian.
bentuk panggilan kepada para pihak dan para saksi untuk dilakukan klarifikasi dan
ayat 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan laporan pencatatan perkawinan sama
Faktor yang mendukung pencatatan perkawinan beda agama, sudah adanya Undang-
menjawab persoalan mengenai pencatatan perkawinan beda agama yang mana selama
ini belum ada peraturan yang mengatur secara jelas mengenai pencatatan perkawinan
beda agama.
poin 4 (b) Ayat (2), ditentukan: "Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi
penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian, dalam arti waktu
perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan
perkawinan ini. Prosedur yang banyak ditempuh selama ini adalah mencatatkan
perkawinan itu di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, oleh karena hanya DInas
kedua calon mempelai, maka tidak jarang mereka melakukan upacara perkawinan dua
kali menurut hukum dan tradisi masing-masing agamanya. Selain prosedur di atas
juga terdapat prosedur lain, yaitu melalui keputusan Pengadilan dalam hal terjadi
penolakan oleh pegawai pencatat perkawinan. Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat
penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan
oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari
penolakan tersebut disertai dengan alasan alasan penolakannya. Para pihak yang
dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan
bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu
terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu
kematian berlangsung, yang dipakai sebagai "waktu lahir" dan " waktu mati".
sebagai "waktu kawin", bukan kapan waktu prerkawinan yang sah itu dicatatkan.
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan harus dicatat..
hukum.
negara perkawinan Anda tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh
tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu atau keluarga ibu. Hal ini diatur pada Pasal 42 dan 43 Undang-Undang
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri
maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut
nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam
Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu
mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.
dikategorikan sebagai hidup bersama tanpa ikatan dan terkena pidana. Pasal 420
114
Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pada pasal itu disebutkan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dan kernanya mengganggu
perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara paling lama satu
tahun, dan ini merupakan delik aduan. 115
hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam
perkawinan.
dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.
115
Willa Supriadi dikutip oleh Ahmad Fikri, Perkawinan Tak Dicatatkan Bisa Dikategorikan
Kumpul Kebo, makalah Seminar Tindak Pidana Kesusilaan, Kampus Universitas Parahyangan,
Bandung, 2003, hal. 4.
BAB V
A. Kesimpulan
tidak sah. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat
dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan isteri) menganut agama yang
sama. Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum
beda agama di luar negeri, seperti di negara Singapura secara formil sah
perkawinan tersebut tetap tidak sah, meskipun ada kewajiban untuk mencatatkan
masyarakat bahwa pasangan yang menikah adalah benar merupakan suami istri.
dilakukan dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah
b. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu
c. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. akibat lebih jauh dari
perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang
B. Saran
tidak dapat dihindarkan, ketiga, persoalan agama adalah menyangkut hak asasi
dapat dibiarkan begitu saja sebab akan dapat mendorong terjadinya perzinaan
perkawinan beda agama, sehingga ada kejelasan bagi seluruh pihak apakah
perkawinan beda agama itu diperbolehkan atau tidak dalam sistem hukum
3. Hendaknya perkawinan beda agama ini tidak dilakukan oleh pasangan yang akan
masa depan keluarga, anak dan harta benda. Selain itu yang paling penting
bahwa tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya perkawinan beda
perkawinannya. Hal ini untuk menjelaskan status suami dan istri dan memberi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Abdul A’a Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, terjemahan Achmadi Rais,
Gema Insani Press, Jakarta, 1995
Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi Yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan
Ulasan Secara Sosiologis Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.
Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi
Peradilan Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan
shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997.
Daniel Suganda, Pernikahan WNI di Luar negeri dan Pola Pencatatannya, (Jakarta,
Penuntut Fajar, 2005).
EOH, O.S, Sh, MS. , Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1.
H. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 /1974 sampai
KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Hartono Ahmad Jaiz, Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar, 2004, Cet. ke-3.
Mahjudin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini, Kalam Mulia,1992.
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara,
Jakarta, 1996.
Rusli & R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Masalahnya. Pionir Jaya,
Bandung.1986.
S.U Jarwo Yunu, Aspek Perkawinan Beda agama di Indonesia, (Jakarta, Penerbit:
CV. Insani, 2005).
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, rev. ed. (Jakarta: Sinar Grafika,
2002).
Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2002.
Sri Rahayu, Berbagai Solusi Untuk Pernikahan Beda agama di Indonesia, (Jakarta,
Penerbit: Bina LusMi, 2005).
Sution Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1989).
T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan (Jakarta: Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, 1987).
Brosur Akta Perkawinan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan.
Karni Ilyas, Widi Yarmanto, Agung Firmansyah, Ardian T. Gesuri, dan Sugrahetty
Dyan K, Buka Tutup Pintu Kawin Campuran,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/ 1989/06/24
/HK/mbm.19890624.HK20844.id.html, diakses tanggal 20 November 2009.
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam