Sei sulla pagina 1di 243

MODEL KONSERVASI

SUMBERDAYA AIR DANAU TOBA

HOTLAND SIHOTANG

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI


DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Konservasi Sumberdaya Air
Danau Toba adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Hotland Sihotang
P 062074024
iii

ABSTRACT

Model Konservasi Sumber Daya Air Danau Toba

(Model for Water Resources Conservation of LakeToba)

This study aims to design build water resource conservation model with
emphasis on the technical study of the socio-economic aspects of ecological aspects
involving extensive changes in land use, population growth, continuity of operation
of the hydropower Asahan and some other aspects of the outer catchment. In
general, intended to illustrate the balance ofthe water balance under the influence
of land use and other economic activities. Analysis of water balance was
constructed by the method of modeling dynamic system sthat are supported by
Powersim software, where the method of using water availability FJ.Mock method
with variables derived from the analysis of the ecological condition of the
catchment area of Lake Toba. Then performed simulations of water balance and
water level for the condition without intervention variables and intervention
variables. Where the intervention variables performed pessimistic scenario,
moderat and optimistic to provide an overview of conservation policy. From the
simulation results on the balance of water and the lake water level was found in
2017 and the year 2057 the best scenario is between moderate and optimistic
scenarios where the population growth of between 0.8% - 1.0% per year,
infiltration coefficient values between 0.40 to 0.45, the value land cover factor
between 0.25 to 0.3 while the flow of water being released into the Asahan River is
91,69 m3/sec in average.

Key words: FJ.Mock, balance water, land cover factor value, LakeToba.
v

RINGKASAN DISERTASI

Hotland. Model Konservasi Sumber Daya Air Danau Toba


Dibimbing oleh M.Yanuar J Purwanto, Widiatmaka dan Sambas Basuni.

Danau Toba adalah danau terbesar di Asia Tenggara, merupakan danau


terdalam kesembilan di dunia serta merupakan danau tipe vulkanik kaldera terbesar
di dunia. Berada 905 meter diatas permukaan laut dengan panjang 275 km, lebar
150 km dan luas 1130 km2. Kedalaman sebelah utara adalah 529 m sedangkan
kedalaman sebelah selatan adalah 429 m.Fungsi utama Danau Toba saat ini adalah
membangkitkan tenaga listrik lebih dari 1.000 MW. Diantaranya adalah PLTA
Sigura-gura dan PLTA Tangga dengan total kapasitas terpasang 604 MW (PLTA
Asahan II, PLTA Asahan I (2 X 90 MW) dan PLTA Asahan di Simorea dan PLTA
Asahan di Traktak yang mampu membangkitkan total daya listrik hingga 400 MW.
Dari hasil penelitian, masih dapat dikembangkan PLTA Asahan IV (80 MW) dan
PLTA Asahan V (85 MW)
Permasalahan adalah potensi jumlah air tersebut terancam dengan adanya
indikasi penurunan muka air dari tahun ke tahun.Diduga wilayah hulu Daerah
Tangkapan Air Danau Toba telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang
sangat berat berupa perubahan tataguna lahan dan konversi hutan. Kerusakan hutan
di sekitar Danau Toba sudah sedemikian parah dimana luasan hutan hanya tersisa
15,8 % dari luasan catchment area Danau Toba. Diduga hal ini mengakibatkan
tinggi permukaan air danau tidak stabil dan mengganggu pemanfaatan danau
terutama stabilitas pasokan air ke PLTA Asahan.Berkurangnya ketersediaan air
akan mengganggu kelangsungan operasional PLTA dan terganggunya ekosistem
danau. Sebaliknya jika terlalu banyak ketersediaan air maka muka air danau akan
naik bahkan terjadi banjir yang berakibat terhadap terganggunya ekosistem di
pinggiran danau.
Untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
danau secara lestari dan serius dengan melakukan penelitian Model Kebijakan
Konservasi Sumber Daya Air Danau Toba Secara Berkelanjutan.Penelitian ini
dimaksudkan untuk mendapatkan model kebijakan konservasi sumber daya air yang
berkelanjutan untuk diterapkan oleh para pengambil kebijakan ketersediaan sumber
daya air. Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengkaji kondisi ekologis
perairan, mengkaji neraca keseimbangan air Danau Toba, merumuskan persepsi
pakar tentang konservasi sumberdaya air danau dan merumuskan model konservasi
sumber daya air danau yang berkelanjutan. Kajian ini dilakukan dengan mengkaji
perubahan penggunaan lahan, perubahan tata ruang, kependudukan dan kondisi
sumber daya fisik selama beberapa tahun pada daerah tangkapan air, menganalisa
neraca air dengan menghitung ketersediaan air, pemanfaatan air dan cadangan air
Danau Toba setiap tahunnya. Kajian pengaruh curah hujan, iklim, karakteristik
topografi, tutupan lahan selama beberapa tahun sebelumnya dilakukan dengan
memakai metode F.J.Mock.Persepsi para pakar terhadap pengelolaan, pemanfaatan
dan konservasi daerah tangkapan air dianalisa dan digunakan sebagai input dalam
penyusunan model kebijakan konservasi sumber daya air danau. Ketiga kajian dan
data tersebut di atas dijadikan acuan dalam penyusunan model dengan
menggunakan model dinamis untuk melihat saling keterkaitan antar faktor dan
untuk mendapatkan skenario kebijakan konservasi danau melalui Sistem Dinamis.
vi

Kajian ekologis daerah tangkapan air Danau Toba dapat memberikan


informasi tentang kondisi potensial ketersediaan air di DTA Danau Toba.Hasil
penelitian terhadap kondisi ekologis daerah tangkapan air Danau Toba
menunjukkan bahwa daerah tangkapan air Danau Toba sudah terjadi degradasi
kualitas ekologisnya. Oleh karena itu diperlukan upaya konservasi untuk melakukan
perbaikan ekologis agar dapat dipertahankan fungsi Danau Toba secara maksimal.
Kesimpulan ini berdasarkan analisis data yang telah dibahas di atas, diantaranya
adalah :
• Penggunaan lahan yang bervegetasi pada tahun 2001 adalah 68,64% dan yang
tidak bervegetasi adalah 31,36% dan tahun 2007 berubah menjadi penggunaan
lahan yang bervegetasi 63,77% dan yang tidak bervegetasi adalah 36,23% dari
luas daratan DTA Danau Toba
• Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan mencapai 21,29
% pada tahun 2001 dan 30,01 % pada tahun 2007.
• Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRWP Sumatera Utara mencapai
24,53% pada tahun 2001 dan 33,25% pada tahun 2007.
• Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Danau Toba 29,47 %
mencapai pada tahun 2001 dan 38,18 % pada tahun 2007
• Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Kawasan Hutan
berdasarkan SK 201 Menhut /2006, mencapai 26,68% pada tahun 2001 dan
35,39 % pada tahun 2007
• Tekanan penduduk pada DTA Danau Toba adalah sebesar 3,4 yang berpotensi
penggunaan lahan ke arah non pertanian khususnya ke arah kawasan lindung.
• Dinamika perubahan penggunaan lahan yang dominan terjadi dari suatu
kawasan lahan penggunaan tertentu ke seluruh penggunaan lainnya dan
sebaliknya dari seluruh jenis penggunaan lahan ke penggunaan lahan tertentu.
Hal ini menggambarkan ketidak teraturan dari penggunaan lahan.
Luas lahan yang tidak bervegetasi menjadi dasar penentuan nilai faktor
singkapan lahan pada perhitungan neraca air dengan metode F.J.Mock. Perubahan
penggunaan lahan tersebut diatas mempengaruhi terhadap neraca air daerah
tangkapan air Danau Toba. Singkapan lahan menjadi salah satu faktor peubah atau
input terhadap model dinamis neraca air.
Hasil penelitian terhadap kondisi Neraca air pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa masukan air lebih besar dari keluaran air.Namun pada tahun 2017 masukan
air sudah jauh lebih kecil dari keluaran air. Penelitian terhadap data sekunder dari
hasil pengamatan tinggi muka air di Danau Toba mulai tahun 1997-2007,
menunjukkan bahwa ada debit air dari luar Daerah Tangkapan Air Danau Toba
yang masuk ke Danau Toba selain daripada debit Sungai Larenun. Juga diduga ada
air yang ke luar dari Danau Toba ke wilayah yang mempunyai elevasi yang lebih
rendah. Debit air inilah dan curah hujan dengan debit andalan 80 %, yang
dipergunakan oleh peneliti untuk pemodelan neraca air pada masa yang akan
datang.
Hasil penelitian terhadap persepsi pakar yang menggunakan AHP
menunjukkan bahwa pakar menganggap faktor yang paling menentukan didalam
konservasi sumber daya air Danau Toba adalah kebijakan pemerintah selanjutnya
secara berurutan faktor sumberdaya alam, faktor sumberdaya manusiadan faktor
teknologi. Pelaku atau aktor yang paling tepat melakukan penyusunan, pelaksanaan,
pengendalian dan pengawasan Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba
vii

yang berkelanjutan adalah pemerintah yang diikuti dengan masyarakat, pengusaha,


akademisi dan LSM. Para pakar berharap kebijakan pemerintah untuk Konservasi
Sumberdaya Air Danau Toba yang Berkelanjutan adalah dengan mewujudkan
tujuan uatama yaitu stabilitas neraca air kemudian diikuti dengan tujuan ekologi,
tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Serta alternatif kebijakan yang paling utama
untuk mewujudkan harapan para pakar tersebut adalah dengan
mengimplementasikan Konservasi Hutan pada Kawasan Berhutan.Selanjutnya
alternatif kebijakan diikuti Konservasi Kawasan Pertanian, Konservasi Kawasan
Pemukiman, Konservasi Kawasan Industri dan terakhir Konservasi Kawasan
Pariwisata. Kebijakan tersebut menjadi masukan atau input penting terhadap
rancang bangun model dinamis neraca air DTA Danau Toba dengan memasukkan
nilai faktor singkapan lahan menjadi salah satu peubah yang mempengaruhi neraca
air dan pemilihan nilai peubah pada skenario pemodelan.
Model dinamis neraca air dibangun dari struktur jumlah air yang masuk dan
keluar dari Danau Toba. Jumlah Air yang masuk ke Danau Toba dibangun dari
perhitungan ketersediaan air dengan metode F.J.Mock dan debit air yang berasal
dari luar daerah tangkapan air Danau Toba. Hasil simulasi menunjukkan, prediksi
kondisi masa yang akan datang diperlukan suatu tindakan konservasi sumber daya
air untuk memperbaiki neraca air danau. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
model dapat mengatur debit air operasional yang optimal ke PLTA Asahan.Hasil
simulasi model menunjukkan bahwa untuk kondisi tahun 2017 sampai dengan tahun
2057 skenario yang terbaik adalah mengendalikan pertumbuhan penduduk antara
0,8% -1,0% pertahun, memperkecil jumlah air yang melimpas di permukaan tanah
dengan mengupayakan nilai koefisien limpasan antara 0,55-0,6; menambah daya
serap tanah terhadap air dengan menambah koefisien infiltrasi menjadi 0,45; nilai
faktor tutupan lahan antara 0,25-0,30serta mengatur debit air yang dilepas ke Sungai
Asahan antara 91,69 m3/det serta melakukan penggantian tanaman tutupan lahan di
DTA Danau Toba dengan tanaman yang dapat mereduksi evapotranspirasi existing
sebesar 25%.
Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya air Danau Toba yang
berkelanjutan maka kebijakan konservasi harus berorientasi kepada perbaikan
kemampuan lahan menyerap air, memperkecil jumlah air limpasan dan laju air
limpasan pada saat musim hujan, mengupayakan agar penggunaan lahan
disesuaikan dengan kemampuan lahan di daerah tangkapan air Danau Toba.
Sehubungan dengan kecenderungan neraca air Danau Toba semakin besar menjadi
neraca air negatip dimana masukan air lebih kecil dari keluaran air maka agar
pemerintah melakukan suatu tindakan nyata untuk mencapai tujuan konservasi
sumber daya air Danau Toba yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan studi
lanjutan tentang Daerah Tangkapan Air Danau Toba terutama tentang jenis tutupan
lahan tanaman yang mereduksi minimal 10% evapotranspirasi saat ini.
viii

C
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix

MODEL KONSERVASI SUMBERDAYA AIR


DANAU TOBA

HOTLAN SIHOTANG

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktorpada

Program Studi Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
x

Penguji pada, Ujian Tertutup :

1. Prof. Ir. Asep Sapei, MS, Ph.D


2. Dr.Ir.Omo Rusdiana, MSc.

Penguji pada, Ujian Terbuka :


1. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc
2. Prof. Dr. Ir. Suryono Hadi Sutjahjo MS
x

KATA PENGANTAR

Penulis menyampaikan puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa dan Maha Pengasih atas anugerah dan berkat kasih setiaNya sehingga disertasi
ini dapat diselesaikan dengan baik.
Disertasi ini berjudul Model Konservasi Sumber Daya Air Danau Toba, yang
meneliti tentang model konservasi sumber daya air dengan faktor perubahan
penggunaan lahan di sekitar Danau Toba yang berpengaruh langsung terhadap neraca
air dan kelestarian tinggi permukaan air di Danau Toba.
Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Dr.Ir.M.Yanuar J Purwanto, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr.Ir.
Widiatmaka, DEA dan Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS sebagai Anggota
Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, waktu dan perhatian yang
sungguh-sungguh yang disediakan selama proses penelitian dan penyusunan disertasi
ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada yth:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Suryono Hadi Sutjahjo MS, Ibu Dr.Ir. Etty Riani, MS
yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan serta arahan
selama mengikuti perkuliahan program S3 SPs PSL IPB.
2. Bapak Dr. Ir. Cecep Kusmana sebagai Ketua Program Studi PSL yang
senantiasa memberikan dorongan yang luar biasa sehingga disertasi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
3. Bapak Prof. Ir. Asep Sapei, MS, Ph.D dan Bapak Dr.Ir.Omo Rusdiana,
MSc sebagai komisi penguji pada Ujian Tertutup.
4. Bapak Dr.Ir. Syaiful Anwar Kasubdit Teknik PDAS yang mewakili Bapak
Dr.Ir. Harry Santosa, Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Perhutanan Sosial serta Bapak Prof. Dr. Ir. Suryono Hadi Sutjahjo MS
sebagai komisi penguji pada Ujian Terbuka
5. Bapak Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana
dan Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis menimba ilmu di IPB Bogor

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada isteri saya, Sonny Minaria


boru Napitupulu dan ananda tercinta Ian Fritz William Sihotang, SE serta seluruh
keluarga atas segala dorongan, doa dan kasih sayangnya.
Akhirnya penulis senantiasa mengharapkan sumbangan pemikiran dari semua
pihak untuk mencapai kesempurnaan tujuan dan manfaat yang sebesar-besarnya dari
penelitian ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Terimakasih

Bogor, Februari 2012

Hotland Sihotang
xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di tepian Danau Toba di Kota Balige 23 Juli 1958 sebagai
anak ke delapan dari 12 bersaudara dari keluarga St.Ludin Sihotang/Pitaria Silaen
gelar Ompu Martahi Emmy Sihotang. Penulis menikah pada tahun 1985 dengan Sony
Minaria Napitupulu putri dari keluarga St.Alexander M. Napitupulu/Pitauli
Simajuntak gelar Ompu Iriando Napitupulu dan kami dikaruniai oleh Tuhan Yang
Maha kuasa seorang putra bernama Ian Fritz William Managam Tua Sihotang, SE.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Insitut Teknologi Bandunglulus tahun 1985.
Penulis meneruskan S2 tahun 2005 di Fakultas Pascasarjana Universitas
Mulawarman, Samarinda Kalimantan Timur, pada Program Ilmu Lingkungan dan
lulus tahun 2006 dengan predikat cumlaude. Pada tahun 2008 diterima sebagai
mahasiswa S3 program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saat ini penulis bekerja sebagai tenaga ahli pada perusahaan konsultan swasta
nasional PT. Perentjana Djaja, Jakarta yang bergerak dibidang jasa konsultasi
arsitektur, infrastruktur, konstruksi, amdal dan tata ruang. Penulis juga aktip di
berbagai organisasi sosial di masyarakat.
Selama mengikuti program S3 penulis aktif menjadi pemerhati sosial dan
lingkungan. Artikel yang berjudul Kebijakan dan Strategi Konservasi Air Danau Toba
Yang Berkelanjutan akan diterbitkan pada Jurnal Majalah Mimbar Ilmiah Universitas
Islam Jakarta ISSN 0852-9523 pada edisi Tahun 22 No. 1 Juni 2012. Artikel lainnya
yang berjudul Model Dinamis Neraca Air Danau Toba Yang Berkelanjutan akan
diterbitkan pada Junal PSL IPB pada tahun 2012. Karya-karya ilmiah tersebut
merupakan bagian dari program S3 penulis.
viii

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL .…………………………………………………………… ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………........ xi
I. PENDAHULUAN ……….………….……………………………….. 1
1.1 LatarBelakang.……………….………………………………. 1
1.2 KerangkaPemikiran………….……………………………….. 6
1.3 PerumusanMasalah ………...………………………………… 8
1.4 TujuanPenelitian …………….………………………………. 10
1.5 ManfaatPenelitian …………….…………………………….. 10
1.6 Kebaruan(Novelty) ………………………….……………….. 10
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….. 11
2.1 Daerah Tangkapan Air Danau ……………...………...……… 11
2.2 KondisiEkologis……………………….…………………….. 13
2.2.1 Sumberdayafisik….………………………………..... 13
2.2.2 Kependudukan………………………………………… 13
2.2.3 PenggunaanLahan………………………………........ 14
2.3 KemampuanLahandan Tata Ruang …………………………. 16
2.4 HidrologidanNeraca Air Danau ….………..………………… 21
2.5 KonservasiSumberDaya Air ………………………………… 30
2.6 ArahanKebijakandanStrategiKonservasi…...………………. 32
2.7 PembangunanBerkelanjutan ………………………………..... 35
2.8 PendekatanSistem …. ……………………………………….. 36
2.9 ModelKeputusan AHP ……………………………………….. 40
2.10 SistemInformasiGeografis…………………………………… 44
2.11 PenelitianSebelumnya………………………………………... 44
ix

III. METODE PENELITIAN ………………………………….………. 51


3.1 Pendekatan Penelitian……………………………...……………........ 51
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian…………………...…………… 52
3.3 BahandanAlat………………………………...……………… 52
3.4 Jenisdan Sumber Data ……………………...……………….. 53
3.5 MetodeAnalisis Data …………………….………………….. 54
3.5.1 KajianKondisiEkologis …..…………………………. 54
3.5.2 KajianNeraca Air …..………………………………... 56
3.5.3 KajianPersepsiPakar……..………………………….. 59
3.5.4 Pemodelan Sistem………………………………...…. 68
3.6 ArahKebijakandanStrategiKonservasi…………………..…. 74
3.7 TahapanPenelitian ………………….……………...………… 75
3.7 Kondisi Eksisting Lokasi Penelitian ……..…………………... 76

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….. 77


4.1 KondisiEkologis……….……….…………………………… 77
4.1.1 Letakdanluas.………….…………………………… 77
4.1.2 Iklim……….………….……………………………… 79
4.1.3 Jenis Tanah……….………….……………………….. 80
4.1.4 Geologi……….………….…………………………… 83
4.1.5 Topografi……….………….…………………………. 86
4.1.6 PenggunaanLahan ……….………….………………. 89
4.1.7 KemampuanLahan ………………………………….. 97
4.1.8 Tata RuangDanau Toba……….………….………….. 100
4.1.9 KawasanHutan ………………………………………. 104
4.1.10 Sosial - Kependudukan…...………………………….. 106
4.2 KondisiNeraca Air……………..………….………………... 110
4.2.1 CurahHujan……….………….………………………. 110
4.2.2 Masukan Air……….………….……………………... 113
4.2.3 Keluaran Air……….………….……………………… 119
4.2.4 Neraca Air……….………….………………….......... 127
4.2.5 ImplikasiPerubahanLahandanTinggiMuka Air Danau
Toba…………………………………………… 129
x

4.3 PersepsiPakar……….……………………………………… 132


4.3.1 StrukturHirarki………………………………………. 132
4.3.2 PenyusunanKuesionerdanIdentitasPakar…………... 133
4.3.3 AnalisisKebijakan ………..……….............................. 133
4.3.4 PrioritasKebijakanKonservasiBerkelanjutan.............. 134

4.4 Pemodelan……….………….……………………………….. 148


4.4.1 AnalisaKebutuhan……….………….……………….. 149
4.4.2 FormulasiPermasalahan……….………….…………. 149
4.4.3 IndentifikasiSistem……….………….………………. 149
4.4.4 RancangBangun Model ……………………….…….. 151
4.4.5 Pengujian Model………………..…….………………. 156

4.5 PrediksiNeraca Air PadaMasa yang Akan Datang……… 157


4.5.1 CurahHujanAndalan……….………………………... 157
4.5.2 SkenarioKebijakan …………………………………... 159
4.5.3 PrediksiNeraca Air dengan Status TanpaIntervensi… 164
4.5.4 PrediksiNeraca Air denganStatus Intervensi/Skenario 167
4.5.5 StrategiKonservasiSumberdaya Air ………………… 179

V. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..………. 183


DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….…………… 187
LAMPIRAN ………………………………………………………………… 193
xi

DAFTAR GAMBAR

1 PetaKawasanDanau Toba,Propinsi Sumatera Utara …………………. 4


2 KerangkaPikir …………………………………………………………. 7
3 PerumusanMasalahPenelitian .…………………...…………………… 9
4 Daerah TangkapanAirdenganInputdanOutput Hidrologinya………... 22
5 DaurHidrologi …………………………………………………………. 22
6 Polygon Thiessen ………………………………………………………. 23
7 Struktur Model F.J. Mock ……………………………………………… 28
8 Illustrasi proses terbentuknyaaliranpermukaan..……………………… 28
9 KonservasiSumberDaya Air Danau yangBerkelanjutan…………….. 32
10 Pembangunan Berkelanjutan………….………………………………... 36
11 Diagram Input – Output ……………………………….……………….. 38
12 AlurPenelitian …………………………………………………………. 52
13 Neraca Air Danau Toba …………...……………………........................ 58
14 StrukturHirarkiPenetapanPrioritas ….………………………………... 67
15 Diagram LingkarSebabAkibat (Causal Loop Diagram)……………… 70
16 Diagram Input-Output Penelitian…………..…………………………… 71
17 Model Dinamis …………………………………………........................ 72
18 SimulasiPengendalianTinggiMuka Air Danau ….……........................ 73
19 TahapanPenelitian………………………………………........................ 75
20 PetaAdministrasi DTA Danau Toba……………………........................ 78
21 PetaTutupanLahan DTA Danau Toba tahun 2001……………………. 90
22 PetaTutupanLahan DTA Danau Toba tahun 2005……………………. 90
23 PerubahanLuasHutan di DTA Danau Toba………………………….. 91
24 PerubahanLuasKebunCampuran di DTA Danau Toba........................ 92
25 PerubahanLuasSawah di DTA Danau Toba…………………………... 92
26 PerubahanLuasSemakBelukar di DTA Danau Toba…………………. 93
27 PerubahanLuasLahan Terbuka di DTA Danau Toba…………………. 94
28 PerubahanLuasTegalan /Ladang di DTA Danau Toba……………….. 94
29 PerubahanLuasPemukiman di DTA Danau Toba……………............. 95
30 GrafikPerkiraanJumlahPenduduk ……………………………………. 108
31 StasiunPengamatanCurahHujan DTA Danau Toba…………………... 111
32 GrafikCurahHujanBulanan DTA Danau Toba (1997-2007)…............. 112
33 GrafikCurahHujanBulanan DTA Danau Toba……………………….. 112
xii

34 NeracaAir Danau Toba………………………………………………... 127


35 GrafikTinggiMuka Air Danau Toba 1997-2007 ……………………… 128
36 TinggiPermukaanAir DT Tahun 2001 dan 2005................................... 131
37 HirarkiPenentuanKebijakanKonservasi Sumberdaya Air DT……….. 134
38 Faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan konservasi………………. 137
39 Tingkat Kepentingan Stakeholder………………….…………………... 138
40 Tujuan yang dikehendaki terhadap kebijakan konservasi……………… 140
41 Prioritas Kebijakan Konservasi …………………………....................... 147
42 Diagram I-O…………………………………………………….............. 150
43 Causal Loop Diagram…………………………………………………... 150
44 Rangkaian Sub Model Pembentuk Model ……………………………... 151
45 RangkaianElemenPembentuk Model …………………………………. 151
46 Struktur Sub-Model SosialEkonomi…………………………………… 152
47 Sub Model Ekologi……………………………………………………... 153
48 Sub Model Neraca Air…………………………………………………. 154
49 Model DinamisKetersediaandanKeluaran Air………………………... 155
50 GrafikHasilSimulasidanGeometrik…………………………………... 156
51 GrafikCurahHujanAndalan 80 %…………………………………….. 159
52 KetersediaanAir DT, kondisieksistingtahun 2017..………………….. 164
53 GrafikNeraca Air, KondisiEksisting 2017……… ……………………. 165
54 GrafikNeracaMukaAir ,KondisiEksistingtahun 2057………………. 166
55 TinggiMukaAir ,KondisiEksistingtahun 2017………………………. 166
56 TinggiMukaAir ,KondisiEksistingtahun 2057………………………. 167
57 GrafikPertumbuhanPenduduk 2017 (Skenario)….…………………..... 169
58 GrafikPertumbuhanPenduduk 2057 (Skenario)….…………………..... 170
59 GrafikKomparasiKetersediaan Air …………………………………… 171
60 GrafikKomparasiSkenarioNeracaAir,Tahun2017…………………... 173
61 GrafikKomparasiSkenarioNeracaAir,Tahun2057…………............... 174
62 GrafikSkenarioTinggiMuka Air, 2017 ………………….................... 177
63 GrafikSkenarioTinggiMuka Air, 2057………………………………. 178
xiii

DAFTAR TABEL

1 SkalaSaaty ………………………………………………………... 42
2 MatriksPendapatIndividu ….….…………………………………. 42
3 Sumberdan Cara Pengambilan Data ………………………………. 53
4 SkalaKepentingan…………………………………………………. 62
5 Random Index …………………………………………………….. 64
6 Nilai Eigen…………………………………………………………. 64
7 PerkiraanKebutuhanStake Holder…………………………………… 69
8 JadwalPenelitian………………………………………………….. 76
9 DaftarLuasKabupaten yang Masuk di DTA Danau Toba………... 77
10 Jenis Tanah DTA Danau Toba (USDA)…………………………… 81
11 FormasiGeologi DTA Danau Toba……………………………...... 84
12 KetinggianTempat Daerah Tangkapan Air Danau Toba………….. 87
13 KemiringanLereng Daerah Tangkapan Air Danau Toba………… 87
14 PerkiraanNilaiKoefisienLimpasandanKoefisienInfiltrasi……... 88
15 TutupanLahan DTA Danau Toba ………………………………… 89
16 DinamikaPerubahanPenggunaanLahan………………………….. 96
17 Kelas Kemampuan Lahan, Subkelas Kemampuan Lahan dan Luas. 97
18 Kelas Kemampuan Lahan BerdasarkanTutupanLahan…………... 99
19 Kelas Kemampuan Lahan dan Arahan Penggunaan Lahan ............. 100
20 Penggunaan Lahan di DTA Danau Toba.......................................... 103
21 Kawasan Hutan di DTA Danau Toba menurut RTRWP Sumut....... 104
22 Luas Kawasan Hutan menurut SK 201 Menhut-II/2006................... 105
23 Penggunaan Lahan Yang Tidak Sesuai............................................. 106
24 JumlahPenduduk di DTA Danau Toba………………………….... 107
25 JumlahPenduduk di DTA Danau Toba…………………………… 107
26 StasiunPencatatCurahHujan……………………………………... 111
27 NilaiSingkapanLahan…………………………………………….. 114
28 NilaiEvapotranspirasi……………………………………………... 115
29 Surplus CurahHujan………………………………………………. 115
30 CurahHujan yang LangsungJatuhkeDanau……………………... 116
31 NilaiInfiltrasi DTA Danau Toba………………………………….. 117
xiv

32 NilaiAliranPermukaan(Direct Run Off) ……………………….... 117


33 NilaiBase Flow(Bf)………………………………………………. 118
34 Run Off…………………………………………………………….. 118
35 EvaporasiDanauToba .…………………………………………… 120
36 Keluaran Air ke Sungai Asahan …………………….…………….. 120
37 Kebutuhan Air BersihRumahTangga……………...…………….... 121
38 Kebutuhan Air Penduduk………………………………………….. 122
39 Kebutuhan Air Industri…………………………………………….. 123
40 Jumlah Air Yang MasukkeDanau Toba tahun 1997-2007……….. 126
41 Keluaran Air dariDanau Toba…………………………………….. 126
41a Neraca Air DanauTobatahun 1997-2007 ………………………... 127
42 KetinggianPermukaan Air Danau Toba tahun 1997-2010………... 129
43 TinggiPermukaan Air, CurahHujandanLuasHutan..................... 130
44 DaftarPakar……………………………………………………….. 133
45 AHP Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air DT…………………. 135
46 PerkiraanKebutuhanStake Holder……………………………………. 148
47 JumlahPendudukHasilSimulasidanGeometrik…………………. 156
48 TinggiPermukaan AirDanau Toba,SimulasidanObservasi…... 157
49 PerhitunganCurahHujanAndalan 80 %………………………….. 158
50 CurahHujanAndalan 80 %………………………………………. 158
51 DaftarSkenarioPeubahTerkendali….……………………………. 163
52 Neraca Air DanauToba tanpaIntervensi………………………...... 165
53 JumlahPendudukdenganSkenarioTahun 2017………………….. 168
54 JumlahPendudukdenganSkenarioTahun 2057....……………….. 169
55 Neraca Air Danau Toba Tahun 2017……………………………… 172
56 Neraca Air Danau Toba Tahun 2017……………………………… 172
57 TinggiMuka Air Danau Toba, 2017………………………………. 176
58 TinggiMuka Air Danau Toba, 2057………………………………. 176
xv

LAMPIRAN

GambarLampiran

1. PetaLokasiPenelitian………………………………………………………193
2. Peta Tanah DTA Danau Toba ……………………………………………..194
3. PetaGeologi Daerah Tangkapan Air Danau Toba …………………………195
4. PetaKetinggianTempat DTA Danau Toba ……………………………..…196
5. PetaKemiringanLereng DTA Danau Toba………………………….……..197
6. PetaKemampuanLahan DTA Danau Toba ………………………….........198
7. Peta Overlay KemampuandanTutupanLahan DTA Danau Toba…………199
8. PetaRencana Tata RuangKawasanDanau Toba 2010-2029………..……..200
xvi

TabelLampiran

1. TemperaturUdara di StasiunKlimatologiParapat…………………...…….201
2. KelembapanUdara di StasiunKlimatologiParapat………………………...202
3. PenyinaranMataharipadaStasiunKlimatologiParapat…………………...203
4. KecepatanAnginpadaStasiunKlimatologiParapat…...……………..…....204
5. Kualitas Air Danau Toba………………………………………..…………..205
6. Rencana Tata Ruang DTA Danau Toba 2009-2029…………………..…...206
7. PerkiraanJumlahPenduduk…...…………………………………….…..... 207
8. CurahHujan Rata-rata Bulanan DTA Danau Toba………..………….........208
9. PerhitunganEvapotranspirasiPotensial (Ep). ………………………...……209
10. NilaiFaktorSingkapanLahanTahun 2001…………….…………………..210
11. NilaiFaktorSingkapanLahanTahun 2005………………..…………….....210
12. ETp-ET)/ETp={(m/20)(18-n)}. ……………………………….…….….....211
13. NilaiET = (E/ETp) x Ep…………………………………………….……...211
14. HasilAnalisisPenggunaanLahanmenurutRTRW Danau Toba…….........212
15. Jenis Tanah DTA Danau Toba……………………………………….…......213
16. LampiranDaftarSingkatan…………………………………………………214
201 

DAFTAR LAMPIRAN TABEL

Tabel Lampiran 1 Temperatur udara di stasiun klimatologi Parapat

Tahun Temperatur bulanan (oC)


Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 15,1 15,8 15,7 15,8 16,4 15,9 21,6 21,6 21,8 21,3 20,9 20,4
1998 15,4 15,2 16,3 16,7 17,4 17,2 16,4 17,5 16,1 16,5 16,0 15,4
1999 21,2 21,8 21,4 22,2 21,9 22,6 21,9 21,0 20,9 20,7 21,1 20,7
2000 20,3 20,9 21,3 21,8 21,7 21,8 22,2 21,8 20,9 22,1 21,2 21,6
2001 21,2 21,1 22,8 21,6 21,9 21,8 21,9 22,8 21,1 22,1 21,6 21,1
2002 20,5 21,3 21,9 21,8 22,3 22,5 22,4 21,6 21,4 21,0 21,3 21,2
2003 20,9 21,1 21,6 21,5 21,5 21,6 21,6 21,6 21,8 21,3 20,9 20,4
2004 21,2 21,1 20,9 20,6 22,3 22,3 20,8 21,7 20,5 21,0 21,0 20,7
2005 19,3 17,8 21,7 21,9 22,2 19,3 21,9 22,3 22,0 21,3 21,3 21,2
2006 20,1 19,4 21,4 17,0 21,1 21,7 22,2 22,2 21,9 21,0 21,2 20,9
2007 21,0 20,9 21,7 21,6 22,6 21,9 21,9 21,4 21,7 20,7 21,0 20,6
Rata-rata 19,7 19,7 20,6 20,2 21,0 20,8 21,3 21,4 20,9 20,8 20,7 20,4
Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali, Medan 
`` 
Suhu terendah dalah 15,10 pada bulan Januari tahun 1997
Suhu tertinggi dalah 22,80 pada bulan Maret 2001 dan bulan Augustus 2001
Suhu rata-rata bulanan terrendah dalah 19,70 pada bulan Januari dan Pebruari
Suhu rata-rata bulanan tertinggi adalah 21,40 pada bulan Augustus
Suhu rata-rata bulanan adalah 20,63
202 

Tabel Lampiran 2  Kelembaban udara di Stasiun Klimatologi Parapat 

Tahun Kelembaban bulanan DTA Danau Toba (%)


Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 74,77 81,00 81,60 82,67 81,60 80,50 80,05 78,23 76,93 79,06 86,84 80,65
1998 86,40 80,70 85,70 82,00 86,80 85,30 83,00 81,00 83,00 82,50 83,00 82,60
1999 97,00 92,00 91,80 86,00 90,70 85,00 86,00 92,00 93,00 94,00 92,00 94,00
2000 93,80 92,00 91,70 91,00 89,20 88,90 82,70 83,00 92,20 83,50 89,70 89,00
2001 90,00 89,90 77,50 85,00 73,90 76,00 75,80 72,30 87,50 80,00 87,30 85,30
2002 89,20 81,00 81,00 83,60 80,00 75,50 73,60 76,00 81,80 85,80 86,80 86,40
2003 85,20 85,80 81,30 86,20 71,00 81,30 80,00 78,20 76,90 79,10 86,80 80,60
2004 80,60 84,60 79,20 84,90 74,20 70,30 74,50 70,10 83,30 83,80 85,00 83,40
2005 85,10 80,50 83,00 82,70 80,60 74,20 73,70 73,30 74,70 82,80 83,20 83,20
2006 81,00 74,90 77,20 80,10 81,60 80,40 70,90 74,40 77,35 82,15 83,10 84,60
2007 83,00 81,00 82,00 86,00 83,00 82,00 78,00 81,00 80,00 81,50 83,00 86,00
Rata-rata 86,01 83,95 82,91 84,56 81,15 79,95 78,02 78,14 82,43 83,11 86,07 85,07
Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali, Medan

Kelembaban rata-rata 82,61


Kelembaban tertinggi 86,07 pada bulan Januari
Kelembaban terendah 78,02 pada bulan Juli
Kelembaban tertinggi yg terjadi 97,00 pada bulan Januari 1999
Kelembaban terendah yg terjadi 70,10 pada bulan Agustus 2004
203 

Tabel Lampiran 3 Penyinaran matahari pada stasiun klimatologi Parapat

Tahun Penyinanaran matahari bulanan (%)


Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 43,10 45,70 44,40 45,10 44,70 44,90 45,89 42,94 46,58 37,38 35,75 36,60
1998 42,30 48,00 46,80 51,20 48,20 50,30 47,40 45,20 45,80 37,50 37,00 39,90
1999 42,30 50,30 49,20 57,20 51,70 55,70 48,80 47,50 45,00 37,60 38,20 43,30
2000 34,30 44,90 51,40 48,60 58,90 49,00 65,60 50,40 37,80 53,40 46,00 51,70
2001 45,00 52,80 59,10 41,60 59,80 43,50 58,20 49,00 32,10 42,20 48,70 52,80
2002 42,60 64,80 69,60 57,30 55,80 63,80 60,00 51,60 43,40 40,80 37,10 43,00
2003 45,90 47,70 60,50 47,20 65,20 52,60 45,90 42,90 46,60 37,40 35,80 40,10
2004 55,40 50,50 36,40 43,70 41,80 58,30 42,50 57,60 47,10 45,10 47,40 43,20
2005 71,20 64,10 50,20 52,00 41,60 50,40 49,00 52,80 53,90 68,70 38,20 43,30
2006 51,20 49,80 56,60 38,00 52,30 53,30 51,60 50,40 50,45 49,35 42,10 42,15
2007 39,00 59,00 56,00 43,00 55,00 43,00 43,00 50,00 47,00 30,00 46,00 41,00
rata-rata 46,57 52,51 52,75 47,72 52,27 51,35 50,72 49,12 45,07 43,58 41,11 43,37
Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali, Medan

Penyinaran matahari rata-rata 48,01 %


Penyinaran matahari tertinggi 71,20 %
Penyinaran matahari terendah 30,00 %
204 

Tabel Lampiran 4  Kecepatan Angin pada Stasiun Klimatologi Parapat (m/det) 

Kecepatan angin bulanan (m/det) 

Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 3,10 3,50 3,60 3,00 3,50 0,50 4,10 2,60 1,70 1,90 1,60 2,20
1998 2,70 2,70 2,80 3,00 3,00 2,80 2,90 2,50 2,10 3,40 3,20 2,80
1999 2,60 1,70 2,30 2,50 2,20 2,80 3,50 2,50 2,30 2,70 2,90 2,60
2000 2,00 2,20 2,10 2,50 2,40 2,60 3,50 2,50 2,90 3,50 3,10 2,70
2001 2,60 2,50 3,00 3,40 2,50 3,60 4,10 3,90 3,00 3,90 3,40 3,40
2002 3,00 3,40 3,80 3,40 3,80 3,40 4,00 3,60 3,00 3,40 3,00 3,60
2003 3,30 3,10 3,10 3,00 3,20 2,00 2,00 2,60 1,70 1,90 1,60 2,20
2004 2,00 2,10 2,10 1,80 2,20 2,20 1,80 2,20 1,80 1,50 1,90 1,60
2005 1,40 1,70 1,40 2,30 1,50 2,80 2,70 2,70 1,90 1,90 2,20 2,30
2006 2,30 2,50 3,10 2,40 3,70 4,20 5,40 4,20 2,85 2,40 2,10 2,15
2007 1,90 2,00 1,80 1,40 2,00 2,50 3,10 2,40 3,80 2,90 2,00 2,00
Rata-rata ,45 2,49 2,65 2,61 2,73 2,67 3,37 2,88 2,46 2,67 2,45 2,50
Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali, Medan

Penyinaran matahari rata-rata 2,66m/det


Penyinaran matahari tertinggi 3,37m/det pada bulan Juli 
Penyinaran matahari terendah 2,45m/det pada bulan Januari 
205 

Tabel Lampiran 5 Kualitas Air Danau Toba


206 

BOD5 COD BOD5 COD


No. Lokasi Tahun pH TSS (mg/l)
(mg/l) (mg/l)
No. Lokasi Tahun pH TSS (mg/l)
(mg/l) (mg/l)
2005 7,70 1,00 6,30 10,00 2005 7,10 2,00 6,20 10,00
2006 8,56 1,00 16,40 28,00 2006 8,04 5,00 10,50 18,00
1 Tongging 12 Pangururan
2007 7,49 7,50 4,70 8,00 2007 7,70 13,00 8,78 15,00
2008 7,78 6,00 5,70 9,00 2008 7,10 5,50 8,90 15,00
2005 7,60 1,00 12,40 20,00 2005 7,80 2,00 11,30 18,00
2006 8,58 16,00 13,90 24,00 2006 8,88 4,00 4,39 8,00
2 Haranggaol 13 Mogang
2007 7,60 4,00 4,09 7,00 2007 7,80 16,50 5,96 10,00
2008 7,69 68,50 3,85 6,00 2008 7,05 1,50 5,70 9,00
2005 8,00 1,00 4,00 6,00 2005 7,90 2,00 3,20 5,00
2006 7,65 1,00 4,09 7,00 2006 8,58 1,00 9,85 17,00
3 Salbe 14 Nainggolan
2007 7,71 9,50 2,72 3,00 2007 7,89 1,00 8,78 15,00
2008 8,00 3,00 2,65 4,00 2008 6,95 2,50 8,10 14,00
2005 7,90 2,00 4,50 7,00 2005 7,90 1,00 7,60 12,00
2006 8,61 57,00 13,90 24,00 2006 8,54 20,00 3,48 6,00
4 Tao Silalahi 15 Bakara
2007 7,74 12,50 7,37 13,00 2007 7,90 8,50 7,37 13,00
2008 7,50 5,00 8,10 14,00 2008 7,07 8,50 6,80 12,00
2005 8,10 1,00 9,50 15,00 2005 7,90 1,00 7,70 12,00
2006 8,04 13,00 11,10 19,00 2006 8,62 65,00 13,90 24,00
5 Silalahi 16 Muara
2007 7,70 1,00 7,07 12,00 2007 7,94 19,50 8,18 14,00
2008 7,84 3,50 6,90 13,00 2008 6,89 5,00 9,10 16,00
2005 8,00 3,00 11,80 19,00 2005 7,80 1,00 9,50 15,00
2006 8,57 5,00 4,39 8,00 2006 8,56 1,00 7,57 5,00
6 Tigaras 17 Sigaol
2007 7,60 1,00 7,07 12,00 2007 7,54 1,00 7,07 12,00
2008 8,19 3,00 6,10 10,00 2008 7,70 4,50 6,50 11,00
2005 7,32 4,00 2,50 4,00 2005 7,60 3,00 11,00 18,00
2006 8,37 2,00 1,56 3,00 2006 8,63 1,00 3,18 13,00
7 Parapat 18 Porsea
2007 7,75 26,00 7,37 13,00 2007 7,62 20,00 5,96 10,00
2008 6,25 4,00 6,80 12,00 2008 6,53 4,00 4,05 8,00
2005 7,88 1,00 8,90 14,00 2005 7,80 1,00 10,00 17,00
2006 8,39 2,00 0,55 1,00 2006 8,57 3,00 1,56 3,00
8 Ajibata 19 Onanrunggu
2007 7,87 15,00 7,07 12,00 2007 7,78 20,00 7,37 12,50
2008 6,70 4,00 8,10 14,00 2008 6,98 5,50 6,90 13,00
2005 7,90 1,00 3,80 6,00 2005 7,90 2,00 1,30 2,00
2006 8,64 2,00 9,54 16,00 2006 8,63 18,00 10,40 18,00
9 Simanindo 20 Lintong
2007 7,44 8,00 9,39 16,00 2007 7,87 1,00 3,48 6,00
2008 7,72 7,50 9,00 16,00 2008 7,40 3,50 3,95 7,00
2005 7,80 1,00 7,00 11,00 2005 7,80 1,00 3,20 5,00
2006 8,63 1,00 3,18 5,00 2006 8,57 6,00 6,36 11,00
10 Ambarita 21 Balige 1
2007 7,64 11,50 2,27 4,00 2007 7,83 14,50 3,48 6,00
2008 6,33 2,50 1,65 3,00 2008 7,57 6,13 2,75 5,00
2005 7,80 6,00 6,00 10,00 2005 7,90 1,00 7,00 11,00
2006 8,66 1,00 9,85 17,00 2006 8,53 2,00 14,30 24,00
11 Tomok 22 Balige 2
2007 7,74 16,50 5,96 10,00 2007 7,70 24,50 3,48 6,00
2008 6,97 3,50 6,50 11,00 2008 6,32 5,00 2,75 5,00
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Propinsi Sumatera Utara Tahun 2008
Tabel Lampiran 6  Rencana Tata Ruang DTA Danau Toba 2009‐2029 (Draft) 
207 

 
Luas (Ha)/
No Arahan Pemanfaatan Ruang Kode Fungsi Rencana Peruntukan
(Ha) %
I Kawasan Lindung L
A. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan L1
bawahannya
1.Kawasan Hutan Lindung L1.1 Konservasi air dan tanah untuk pencegahan erosi, menjamin unsur hara Ruang terbuka hijau, penelitian, pendidikan, wisata alam tanpa merubah 101.512,00 27,41%
tanah dan mencegah dampak bencana alam geologi dan longsor. bentang alam, jasa, lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

2. Kawasan Hutan Resapan Air L1.2 Meresapkan air hujan secara maksimal. Embung, kegiatan budidaya tidak terbangun dengan kemampuan tinggi 240,00 0,06%
menahan limpasan air hujan, sumur resapan.
B. Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar L 2
Budaya
1. Taman Wisata Alam Sijaba Hutaginjang Pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 1.Wisata alam tanpa merubah bentang alam. 500,00 0,13%
2. Cagar Alam Martelu Purba L2.2 Pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. Penelitian, pendidikan dan wisata alam. 195,00 0,05%
3. Cagar Budaya Pusuk Buhit. L2.3 Pelestarian hasil budidaya manusia yang bernilai tinggi untuk Penelitian, pendidikan dan pariwisata. 789,00 0,21%
pengembangan ilmu pengetahuan.
C. Kawasan Perlindungan Setempat L3 0,00%
1. Sempadan Sungai L 3.1 Konservasi tanah dan air. Ruang terbuka hijau dengan lebar 50 – 100 meter dari tepi sungai. 456,00 0,12%
2. Sempadan Danau L 3.2 Konservasi tanah dan air. Ruang terbuka hijau / tanaman tahunan dan taman rekreasi. 358,00 0,10%
3. Sempadan Mata Air Panas. L 3.3 Konservasi tanah dan air. Ruang terbuka hijau. 27,00 0,01%
4. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan L 3.4 Konservasi tanah dan air. Taman Rekreasi.
II Kawasan Budidaya B Produksi

A. Kawasan Hutan Produksi B1 Produksi hasil hutan kayu dan buka kayu serta pemanfaatan jasa
lingkungan.
1. Kawasan Hutan Produksi Tetap. B1.1 Mendorong perkembangan perekonomian, meningkatkan lapangan kerja Hutan produksi oleh HPH/HPHTI dengan cara produksi tebang habis dan 14.805,00 4,00%
dan pendapatan masyarakat serta eksport. tanam untuk memproduksi hasil-hasil hutan.
2. Hutan Produksi Terbatas B1.2 Mendorong perkembangan perekonomian wilayah serta meningkatkan Hutan produksi dengan pembatasan diameter pohon yang boleh ditebang 312,00 0,08%
fungsi lindung kawasan. (diameter ≥ 60cm).
3. Kawasan Hutan Rakyat B1.3 Meningkatkan produktivitas lahan memperbaiki tata air dan lingkungan, Hutan produksi di atas tanah rakyat (hak milik dan tanah adat). 26.173,00 7,07%
meningkatkan pendapatan, kesejahteraan dan penyediaan kayu bagi
masyarakat.
B. Kawasan Pertanian Tanaman Pangan Lahan Basah B2 Meningkatkan produksi bahan pangan. Lahan sawah irigasi teknis dan non-teknis serta permukiman petani 89.322,00 24,12%
dan Lahan Kering. dengan kepadatan rendah.
C. Kawasan Perkebunan Rakyat B3 Meningkatkan produksi perkebunan / tanaman tahunan Lahan perkebunan diatas tanah-tanah milik rakyat. 16.454,00 4,44%
D. Kawasan Pariwisata. B4 Menghidupkan kembali dan mengembangkan sektor pariwisata di Objek daya tarik wisata, fasilitas umum, akomodasi, fasilitas OR dan 6.838,00 1,85%
sejumlah kawasan. rekreasi, aksesibilitas dan fasilitas pariwisata lain.
E. Kawasan Permukiman. B5 Perumahan kepadatan rendah – sedang, fasilitas perdagangan, jasa, 2.206,00 0,60%
pendidikan dan fasilitas permukiman lainnya.
III Perairan Danau Toba D

A. Kawasan Wisata Danau D1 1.Sumber air baku untuk air minum. 66.120,00 17,85%
2.Massa air untuk pembangkit tenaga listrik.
3.Sumber air pertanian (Irigasi).
4.Pariwisata.
B. Kawasan Perikanan Tangkap D2 5.Perikanan tangkap. 44.080,00 11,90%
6.Pengendali banjir di hilir WS Toba – Asahan.
Total luas I + II + III 370.387,00 100,00%

Sumber : Materi Teknis Raperpres, Rencana Tata Ruang KDT, Dit.Jend Penataan Ruang Dep. PU, 2009
208 

Tabel Lampiran 7 Jumlah Penduduk di DTA Danau Toba

Kecamatan Yang Masuk


No. 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
DTA Danau Toba
Dairi 59225 59073 55675 56689 54871 55106 55106 58372
1 Kec Parbuluan 17158 17912 18331 18663 18064 18139 18139 19672
2 Kec Sumbul 42067 41161 37344 38026 36807 36967 36967 38700
Tapanuli Utara 71843 72934 73567 73869 74283 74907 75994 77096
3 Kec. Sipahutar 21298 21709 21900 21990 22121 22307 22631 22959
4 Kec Siborong-borong 37574 38054 38670 38829 39186 39515 40088 40669
5 Kec. Muara 12971 13171 12997 13050 12976 13085 13275 13468
Humbang Hasundutan 90707 91859 92792 93725 94674 95639 95639 109228
6 Kec. Lintong ni Huta 24847 25191 25521 25848 26178 26510 26510 29050
7 Kec.Parranginan 11549 11583 11684 11782 11878 11975 11975 12456
8 Kec. Dolok Sanggul 31974 34083 34809 35540 36286 37045 37045 43308
9 Kec. Pollung 15827 14461 14327 14191 14055 13919 13919 17597
10 Kec. Bakti Raja 6510 6541 6451 6364 6277 6190 6190 6817
Toba Samosir 178135 167907 167907 168596 170015 171375 172746 175325
11 Kec. Balige 43236 47412 47412 47712 43066 43334 43737 44389
12 Kec. Tampahan 5355 5448 5476 5558
13 Kec. Laguboti 19730 16945 16945 16968 17058 17201 17349 17608
14 Kec. Habinsaran 21582 19959 19959 20085 14091 14189 14248 13939
15 Kec. Nassau 6103 6188 7671 6307
16 Kec. Borbor 8156 7533 7533 7543 7574 7643 6214 8307
17 Kec. Silaen 19552 10608 10608 10627 10671 10754 10832 12281
18 Kec. Sigumpar 6624 6624 6629 6655 6690 6743 6843
19 Kec. Porsea 27151 24689 24689 24846 19487 19709 10896 11059
20 Kec. Pohan 7645 7928 7928 7940 7974 8021 8078 6911
21 Kec. S. Narumonda 5641 5706 5764 5850
22 Kec. Lumban Julu 12741 11179 11179 11195 11241 11293 7233 7341
23 Kec. Uluan 9285 8281 8281 8293 8318 8363 7399 7509
24 Kec. Ajibata 9057 6749 6749 6758 6781 6836 6887 6990
25 Kec. Parmaksian 8043 8164
26 Kec. Bonatua L 6176 6269
209 

Kecamatan Yang Masuk


No. 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
DTA Danau Toba
Samosir 130078 130078 130168 130568 131116 131205 131549 132023
27 Kec. Sianjur mula mula 10367 10367 10057 10095 10137 11069 11098 11138
28 Kec. Harian 11556 11556 8032 8062 8096 6818 6835 6859
29 Kec. Sitiotio 0 8295 8326 8361 8726 8749 8780
30 Kec. Onanrunggu 14164 14164 11919 11964 12016 12688 12722 12768
31 Kec. Nainggolan 18153 18153 14908 14963 15022 13267 13302 13350
32 Kec. Palipi 23046 23046 17490 17556 17629 18846 18895 18963
33 Kec. Pangururan 24817 24817 28321 9078 9114 9941 9967 10003
34 Kec. Ronggur Nihuta 7350 7350 9043 28428 28553 29990 30069 30178
35 Kec. Simanindo 20625 20625 22103 22096 22188 19860 19912 19984
Simalungun 117978 117978 117978 119954 119954 122067 122067 122067
37 Kec. Silimakuta 21888 21888 21888 22115 22115 22505 11814 11814
38 Kec.Pematang Silimahuta 10691 10691
39 Kec. Purba 18004 18004 18004 18189 18189 18509 18509 18509
40 Kec. Dolok Pardamean 14497 14497 14497 14647 14647 14905 14905 14905
41 Kec. Sidamanik 29551 29551 29551 29855 29855 30381 30381 30381
42 Kec. Girsang Simpang Bolon 13467 13467 13467 13858 13858 14102 14102 14102
43 Kec. Haranggaol 5128,66 5128,66 5128,66 5689 5689 5789 5789 5789
44 Kec. Pematang Sidamanik 15442 15442 15442 15601 15601 15876 15876 15876
Karo 13908 14215 14274 14378 15577 15654 15880 16130
45 Kec. Merek 13908 14215 14274 14378 15577 15654 15880 16130
JUMLAH 661874 654044 652361 657779 660490 665953 668981 690241
Sumber : Hasil analisa peneliti 
211 

Tabel  Lampiran 9  Perhitungan Evapotranspirasi Potensial (mm/bulan) 

Tahun Bulan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 45,46 49,61 49,01 49,61 53,31 50,22 90,74 90,81 92,37 88,32 85,15 81,26
1998 55,38 54,21 60,78 63,24 67,64 66,37 61,39 68,28 59,56 62,00 58,96 55,38
1999 79,24 84,73 81,05 88,51 85,67 92,39 85,67 77,46 76,58 74,83 78,35 74,83
2000 71,35 76,53 80,09 84,69 83,76 84,69 88,47 84,69 76,53 87,51 79,19 82,83
2001 78,26 77,36 93,60 81,95 84,77 83,82 84,77 93,60 77,36 86,69 81,95 77,36
2002 72,59 79,66 85,22 84,28 89,06 91,01 90,03 82,42 80,57 76,96 79,66 78,76
2003 77,03 78,79 83,29 82,38 82,38 83,29 83,29 83,29 85,14 80,57 77,03 72,72
2004 80,12 79,24 77,48 74,90 90,22 90,22 76,62 84,63 74,05 78,36 78,36 75,75
2005 64,78 53,68 85,04 86,87 89,66 64,78 86,87 90,60 87,79 81,44 81,44 80,56
2006 71,81 66,21 82,88 48,94 80,25 85,57 90,15 90,15 86,93 79,38 80,69 78,52
2007 77,57 76,69 83,91 82,98 92,48 85,77 85,77 81,16 83,91 74,95 77,57 74,08

Sumber : Hasil analisa peneliti 
212 

Tabel Lampiran 10 Perkiraan Faktor Singkapan Lahan tahun 2001(mm/bulan)

Nilai Tutupan 
No. Tutupan Lahan Luas ( Ha) %Luas nilai m
Lahan m

1 Unclass                    0,25


2 Tubuh Air        116.370,94
3 Hutan          59.987,29 22,76% 0,10           0,02
4 Kebun Campuran          13.634,99 5,17% 0,20           0,01
5 Sawah (Ha)          14.615,13 5,55% 0,10           0,01
6 Semak Belukar (Ha)          79.848,48 30,30% 0,30           0,09
7 Lahan Terbuka (Ha)          21.664,17 8,22% 0,70           0,06
8 Tegalan/Ladang (Ha)          60.204,47 22,84% 0,60           0,14
9 Pemukiman (Ha)          13.614,65 5,17% 0,50           0,03
Total Luas Perairan        116.371,19
Total Luas Daratan        263.569,18 100,00%           0,35
Total        379.940,37
Sumber : Hasil analisa peneliti 
213 

Tabel Lampiran 11 Perkiraan Faktor Singkapan Lahan tahun 2005 (mm/bulan)

Nilai Tutupan 
No. Tutupan Lahan Luas ( Ha) %Luas nilai m
Lahan m
1 Unclass                449,29
2 Tubuh Air        115.077,56
3 Hutan        105.404,54 39,86% 0,10           0,04
4 Kebun Campuran            6.861,51 2,59% 0,20           0,01
5 Sawah (Ha)          22.220,72 8,40% 0,10           0,01
6 Semak Belukar (Ha)          47.003,37 17,78% 0,30           0,05
7 Lahan Terbuka (Ha)          17.309,61 6,55% 0,70           0,05
8 Tegalan/Ladang (Ha)          55.158,74 20,86% 0,60           0,13
9 Pemukiman (Ha)          10.455,00 3,95% 0,50           0,02
Total Luas Perairan         115.526,85
Total Luas Daratan        264.413,49 100,00%           0,30
Total        379.940,34
Sumber : Hasil analisa peneliti 

 
215 

Tahun Bulan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 0,09 0,10 0,06 0,05 0,06 0,10 0,09 0,07 0,04 0,01 0,02 0,03
1998 0,09 0,10 0,06 0,05 0,06 0,10 0,09 0,07 0,04 0,01 0,02 0,03
1999 0,09 0,10 0,06 0,05 0,06 0,10 0,09 0,07 0,04 0,01 0,02 0,03
2000 0,09 0,10 0,06 0,05 0,06 0,10 0,09 0,07 0,04 0,01 0,02 0,03
2001 0,16 0,18 0,11 0,09 0,11 0,18 0,16 0,12 0,07 0,02 0,04 0,05
2002 0,16 0,18 0,11 0,09 0,11 0,18 0,16 0,12 0,07 0,02 0,04 0,05
2003 0,16 0,18 0,11 0,09 0,11 0,18 0,16 0,12 0,07 0,02 0,04 0,05
2004 0,16 0,18 0,11 0,09 0,11 0,18 0,16 0,12 0,07 0,02 0,04 0,05
2005 0,16 0,18 0,11 0,09 0,11 0,18 0,16 0,12 0,07 0,02 0,04 0,05
2006 0,16 0,18 0,11 0,09 0,11 0,18 0,16 0,12 0,07 0,02 0,04 0,05
2007 0,14 0,15 0,09 0,08 0,09 0,15 0,14 0,11 0,06 0,02 0,03 0,05
Sumber : Hasil analisa peneliti 

Tabel Lampiran 13 Nilai (ETp-ET)=ETpx (m/20)(18-n)


216 

Tahun Bulan
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 4,09 4,96 2,94 2,48 3,20 5,02 8,17 6,36 3,69 0,88 1,70 2,44
1998 4,98 5,42 3,65 3,16 4,06 6,64 5,53 4,78 2,38 0,62 1,18 1,66
1999 7,13 8,47 4,86 4,43 5,14 9,24 7,71 5,42 3,06 0,75 1,57 2,24
2000 6,42 7,65 4,81 4,23 5,03 8,47 7,96 5,93 3,06 0,88 1,58 2,48
2001 12,33 13,54 9,83 7,17 8,90 14,67 13,35 11,47 5,42 1,52 2,87 4,06
2002 11,43 13,94 8,95 7,37 9,35 15,93 14,18 10,10 5,64 1,35 2,79 4,13
2003 12,13 13,79 8,75 7,21 8,65 14,58 13,12 10,20 5,96 1,41 2,70 3,82
2004 12,62 13,87 8,14 6,55 9,47 15,79 12,07 10,37 5,18 1,37 2,74 3,98
2005 10,20 9,39 8,93 7,60 9,41 11,34 13,68 11,10 6,15 1,43 2,85 4,23
2006 11,31 11,59 8,70 4,28 8,43 14,97 14,20 11,04 6,08 1,39 2,82 4,12
2007 10,47 11,50 7,55 6,22 8,32 12,87 11,58 8,52 5,03 1,12 2,33 3,33  
Sumber : Hasil analisa peneliti 
217 

Tabel Lampiran 14 Hasil Analisis Penggunaan Lahan menurut RTRW Danau Toba tahun 200-2029
Kelas
Tutupan Lahan Tutupan Lahan
No Kemampuan Rencana Tata Ruang Luas (Ha) Luas (Ha) Luas (Ha) Lebih Kurang Ket
(RTRW) (CitraLandsat)
Lahan
Cagar Budaya Pusuk Buhit 193.13 Hutan 45,758.97 Hutan 23,619.03 (22,139.94) Kurang
Hutan Lindung 39,808.73 Kebun Campuran 4,509.50 Kebun Campuran 6,770.55 2,261.05 Lebih
Hutan Produksi Terbatas 0.71 Lahan Terbuka 5,790.65 Lahan Terbuka 6,953.62 1,162.97 Lebih
Hutan Produksi Tetap 5,451.22 Pemukiman 782.91 Pemukiman 2,988.72 2,205.81 Lebih
1 II Hutan Rakyat 305.18 Sawah 28,681.45 Sawah 4,988.15 (23,693.30) Kurang
Sempadan Jalan 5,790.65 Semak Belukar - Semak Belukar 26,326.68 26,326.68 Lebih
Kaw. Perkebunan Rakyat 4,509.50 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 13,876.74 13,876.74 Lebih
Kaw. Permukiman 782.91
Kaw. Pertanian 28,681.45
Hutan Lindung 45,247.77 Hutan 50,663.79 Hutan 16,260.30 (34,403.49) Kurang
Hutan Produksi Tetap 5,010.05 Kebun Campuran 11,258.18 Kebun Campuran 4,425.54 (6,832.64) Kurang
Hutan Rakyat 405.98 Lahan Terbuka 7,353.31 Lahan Terbuka 8,974.66 1,621.35 Lebih
2 III Sempadan Jalan 7,353.31 Pemukiman 1,310.84 Pemukiman 4,876.84 3,566.00 Lebih
Kaw. Perkebunan Rakyat 11,258.18 Sawah 30,571.46 Sawah 4,420.61 (26,150.85) Kurang
Kaw. Permukiman 1,310.84 Semak Belukar - Semak Belukar 32,953.79 32,953.79 Lebih
Kaw. Pertanian 30,571.46 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 29,245.83 29,245.83 Lebih
Hutan Lindung 2,210.18 Hutan 2,316.19 Hutan 1,420.66 (895.53) Kurang
Hutan Produksi Tetap 106.01 Kebun Campuran 68.41 Kebun Campuran 2.65 (65.76) Kurang
Sempadan Jalan 203.77 Lahan Terbuka 203.77 Lahan Terbuka 93.93 (109.84) Kurang
3 IV Kaw. Perkebunan Rakyat 68.41 Pemukiman 21.47 Pemukiman 14.04 (7.43) Kurang
Kaw. Permukiman 21.47 Sawah 316.65 Sawah 24.92 (291.73) Kurang
Kaw. Pertanian 316.65 Semak Belukar - Semak Belukar 1,290.10 1,290.10 Lebih
Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 80.18 80.18 Lebih
Hutan Lindung 5,098.11 Hutan 5,106.28 Hutan 1,328.60 (3,777.69) Kurang
Hutan Rakyat 8.17 Kebun Campuran 2,753.59 Kebun Campuran 1,115.48 (1,638.11) Kurang
Sempadan Jalan 3,386.13 Lahan Terbuka 3,386.13 Lahan Terbuka 1,449.79 (1,936.35) Kurang
4 V Kaw. Perkebunan Rakyat 2,752.00 Pemukiman 729.60 Pemukiman 1,109.22 379.62 Lebih
Kaw. Permukiman 729.60 Sawah 11,883.48 Sawah 4,474.41 (7,409.07) Kurang
Kaw. Pertanian 11,883.48 Semak Belukar - Semak Belukar 5,966.67 5,966.67 Lebih
Kaw. Wisata 1.59 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 8,414.93 8,414.93 Lebih
Hutan Lindung 17,323.33 Hutan 18,369.68 Hutan 14,597.12 (3,772.56) Kurang
Hutan Produksi Tetap 1,046.35 Kebun Campuran 2,804.23 Kebun Campuran 1,007.00 (1,797.23) Kurang
Sempadan Jalan 1,065.59 Lahan Terbuka 1,065.59 Lahan Terbuka 1,684.92 619.33 Lebih
5 VI Kaw. Perkebunan Rakyat 2,450.19 Pemukiman 228.95 Pemukiman 1,525.39 1,296.45 Lebih
Kaw. Permukiman 228.95 Sawah 6,172.47 Sawah 86.04 (6,086.43) Kurang
Kaw. Pertanian 6,172.47 Semak Belukar - Semak Belukar 5,126.28 5,126.28 Lebih
Kaw. Wisata 354.04 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 4,614.16 4,614.16 Lebih
Cagar Budaya Pusuk Buhit 518.80 Hutan 1,054.73 Hutan - (1,054.73) Kurang
Hutan Lindung 474.90 Kebun Campuran 393.51 Kebun Campuran 199.36 (194.15) Kurang
Hutan Produksi Terbatas 0.62 Lahan Terbuka 32.23 Lahan Terbuka 668.09 635.86 Lebih
Hutan Produksi Tetap 60.41 Pemukiman 1.89 Pemukiman 105.70 103.81 Lebih
6 VII
Sempadan Jalan 32.23 Sawah 456.43 Sawah 15.84 (440.59) Kurang
Kaw. Perkebunan Rakyat 393.51 Semak Belukar - Semak Belukar 642.18 642.18 Lebih
Kaw. Permukiman 1.89 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 307.62 307.62 Lebih
Kaw. Pertanian 456.43
Hutan Lindung 10,522.46 Hutan 10,522.46 Hutan 2,611.30 (7,911.16) Kurang
Sempadan Jalan 1,875.66 Kebun Campuran 2,340.32 Kebun Campuran 105.99 (2,234.33) Kurang
Kaw. Perkebunan Rakyat 2,326.46 Lahan Terbuka 1,875.66 Lahan Terbuka 1,744.83 (130.83) Kurang
7 VIII Kaw. Permukiman 320.94 Pemukiman 320.94 Pemukiman 2,635.10 2,314.16 Lebih
Kaw. Pertanian 2,045.95 Sawah 2,045.95 Sawah 258.53 (1,787.42) Kurang
Kaw. Wisata 13.86 Semak Belukar - Semak Belukar 7,221.82 7,221.82 Lebih
Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 2,527.74 2,527.74 Lebih
Total 261,151.65 261,151.65 261,151.65 152,233.38 (152,233.38) Lebih
Sumber : Hasil Analisis Peneliti
218 

Tabel Lampiran 15 Jenis Tanah DTA Danau Toba

% terhadapLuas
No. Jenis Tanah Variasi Bentuk Lahan
DTA

1. Litosol 36,4 Daerah Curam

2. Podsolik cokelat kelabu, Podsolik 13,8 Datardan Berombak

3. Litosol Podsolk/Regosol 3,5 Daerah Curam

4. Podsolik Coklat/Regosol 18,7 Bergelombang , Curam

5. Alluvial Regosol, Organosol 3,2 Datar

6. Podsolik Cokelat Kekuningan 2,7 Datar dan Bergelombang

7. Podsolik Coklat Kelabu, Podsolik Coklat 21,6 Datar dan Bergelombang

Sumber : Departemen Kehutanan-IPB 1990 dalam LTEMP 2004


Bab I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumberdaya air merupakan sumberdaya yang terbarukan
(“renewable”),dinamis,berperan sangat penting dalam kehidupan di muka bumi
inidan berkaitan dengan hidrologi serta memiliki keterkaitan erat dengan banyak
cabang keilmuan.Sumberdaya air masih belum mendapat perlindungan secara
maksimal.Hal ini dapat dilihat dari pencemaran sumber air, penggundulan hutan
yang mengakibatkan terganggunya fungsi peresapan air, kegiatan pertanian yang
mengabaikan kelestarian lingkungan dan berubahnya fungsi daerah tangkapan
air.Permasalahan umum pada sumber daya air adalah adanya ketidakseimbangan
antara ketersediaan air dan kebutuhan air. Lebih detail, masalah sumberdaya air
dibagi menjadi tiga hal pokok, yaitu: (i) masalah kuantitas; (ii) masalah kualitas;
dan (iii) masalah distribusi air.
Menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,yang dimaksud
dengan sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang
berada di darat dan sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan
yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Daya air adalah
potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat
memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia
serta lingkungannya. Salah satu bentuk sumber air dan sumber daya air tersebut
adalah danau.
Danau adalah cekungan besar di permukaan bumi yang digenangi oleh air
tawar atau asin dimana seluruh cekungan tersebut dikelilingi oleh daratan dan
dapat menunjang kehidupan semua mahluk dan kegiatan sosial ekonomi
manusia. Manfaat danau adalah sebagai sumber baku air minum, air irigasi,
pembangkit listrik, perikanan dan masih banyak manfaat lainnya. Pemanfaatan
danau sebagai salah satu potensi sumber daya air harus didasarkan pada
pemahaman sifat dan karakteristik danau serta harus memperhatikan neraca air
2

danau sebagai suatu upaya pelestarian serta perlindungannya. UU No. 7 tahun


2004 tentang SDA pada pasal 2 menyatakan bahwa sumber daya air, termasuk
didalamnya danau, dikelola berdasarkan asas kelestarian, asas keseimbangan, asas
kemanfaatan umum, keterpaduan, kelestarian, keadilan, kemandirian serta
transparansi dan akuntabilitas.
Berdasarkan data, Indonesia memiliki sekitar 500 danau besar (luas > 50
ha) dan lebih dari 700 danau kecil (luas danau < 50 ha). Dari keseluruhan danau
tersebut, yang terbesar adalah Danau Toba yang berada di Propinsi Sumatera
Utara seperti disajikan pada Gambar 1. Danau Toba berada 905 meter diatas
permukaan laut dengan panjang 275 km, lebar 150 km dan luas 1130 km2.
Kedalaman di bagian utara danau adalah 529 m sedangkan di bagian selatan
adalah 429 m. Danau Toba merupakan danau terdalam kesembilan di dunia dan
merupakan danau tipe vulkanik kaldera terbesar di dunia (Litbang SDA, 2008).  
Fungsi kawasan Danau Toba saat ini adalah: (i) secara kuantitas
dimanfaatkan sebagai sumber air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air,(ii) secara
kualitas dimanfaatkan sebagai ekosistem perikanan,(iii) secara kontinuitas
sebagai daerah sarana transportasi antar kota di sekitar wilayah Danau Toba,(iv)
sebagai sumber bahan baku air minum, (v) sebagai pariwisata dan (vi) sebagai
areal untuk penanaman hutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Potensi hidrolistrik, Sungai Asahan diperkirakan dapat membangkitkan
lebih dari 1.000 MW. Sekarang ini yang telah dimanfaatkan adalah PLTA Asahan
II (PLTA Sigura-gura dan PLTA Tangga) dengan kapasitas 604 MW yang
diperuntukan pasokan listrik ke pabrik peleburan aluminium PT.Inalum di Kuala
Tanjung. PLTA Asahan I (2 X 90 MW) dan PLTA Asahan III (154 MW) dalam
proses pembangunan. Dari hasil penelitian, masih dapat dikembangkan PLTA
Asahan IV dan V, masing-masing dengan kapasitas sebesar 80 MW dan 18 MW
(Otorita Asahan, 2010).
Air Danau Toba merupakan sumber air minum bagi sebahagian besar
masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Sekitar 82% masyarakat di pinggir
Danau Toba menggunakan air danau sebagai sumber air minum, baik secara
langsung maupun melalui pengolahan sederhana. Terdapat tiga intake PDAM
yang memanfaatkan air Danau Toba sebagai air baku air minum, yakni di
3

Pangururan, Balige dan Laguboti serta terdapat ratusan pompa air milik
masyarakat maupun perhotelan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air
domestik. Keseluruhan aktifitas ini memberi dampak pada penurunan kualitas air
danau (Sitanggang2009).
Menurut data Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau
Toba (BKPEKDT), ada sekitar 81lokasi Keramba Jaring Apung di perairan Danau
Toba yang mempunyai kegiatan perikanan. Dokumen LTEMP No. 0401
menyebutkan bahwa jumlah keramba jaring apung yang tercatat pada tahun 1999
berjumlah 2.407 unit, terdiri dari 1.704 unit milik masyarakat dan 703 unit milik
perusahaan swasta dengan luas keseluruhan areal perairan yang digunakan sekitar
40 Ha. Di perairan ini terdapat berbagai jenis ikan, diantaranya jenis ikan asli
yang hampir punah antara lain Ikan Batak yang terdiri dari dua spesies yaitu
Lissochilus sumatranus dan Labeobarbus sorodan, juga terdapat remis yang
bersifat endemik yaitu Remis Toba (Corbicula tobae). Sedangkan berbagai jenis
ikan, baik yang alami maupun hasil budidaya yang bukan endemic antara lain
adalah ikan Mas, Mujair, Nila, Tawes, Lele dan Gabus (LTEMP, 2004).
Kondisi Daerah Tangkapan Air Danau Toba, khususnya di wilayah hulu
telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang sangat berat berupa
perubahan tataguna lahan dan konversi hutan, fluktuasi debit air yang tinggi, dan
pencemaran air yang berat. Laju erosi dan sedimentasi yang terjadi semakin tinggi
dan telah mencapai tingkat yang membahayakan bagi pengguna air di DTA Danau
Toba maupun DAS Asahan secara keseluruhan(LTEMP 2004). Degradasi
lingkungan berupa pencemaran air yang berasal dari pertanian, pemukiman dan
industri menyebabkan karat pada peralatan dan instalasi produksi energi listrik
PLTA dan PDAM. Kondisi ini menimbulkan potensi kerugian bagi PLTA dan
PDAM, karena tidak dapat berproduksi secara konstan pada kapasitas yang
direncanakan (Tampubolon, 2009). Kerusakan hutan di sekitar Danau Toba sudah
sedemikian parah. Hal ini diperkirakan terjadi akibat penebangan pohon secara
liar dan adanya aktifitas penebangan untuk kebutuhan pabrik pulp. JICA (2004)
melaporkan bahwa jumlah total lahan tidur, lahan kosong dan lahan kritis di DTA
Danau Toba mencapai luas 24 ribu hektar, atau sekitar 18% dari total wilayah
yang tersedia untuk pertanian (Aswandi dan Sunandar AD, 2007).

 
4

02020’LU 

04000’LU 

0
03 00’LU 

0
02 00’LU 

01000’Lu

00000’ 

0
01 00’LS 
0 0 0 0
97 00’BT  98 00’BT  99 00’BT  100 00’ BT 
0 0
96 50’BT 100 40’BT 

Gambar 1 Kawasan Danau Toba, Propinsi Sumatera Utara


5

Perairan Danau Toba merupakan sarana yang penting yang dimanfaatkan


oleh masyarakat sebagai transportasi dengan Kapal dan Ferry. Transportasi air
berpotensi menambah bahan pencemarmelalui ceceran minyak dan oli dari kapal
atau perahu bermotor.Juga pembuangan limbah plastik, kaleng minuman, baterai
bekas dan sampah lainnya dari atas kapal ke danau turut menambah pencemaran
ke perairan Danau Toba.
Secara kuantitas, tinggi permukaan air Danau Toba diduga terus menurun
karena volume air yang keluar melalui hulu sungai Asahan lebih besar dari
volume air yang masuk ke Danau Toba melalui daerah tangkapan airnya.
Penurunan permukaan air Danau Toba secara visual memang terlihat lambat
seiring perjalanan waktu, namun keadaan itu adalah karena hamparan air danau
itu sangat luas sehingga memberi kesan bahwa penurunan permukaan air danau
terlihat pelan. Dengan perkiraan luas Danau Toba yang sangat besar, dengan
tinggi permukaan air danau yang telah turun maka sebenarnya volume air yang
turun atau hilang telah mencapai jumlah yang sangat besar.
Dari uraian diatas, daerah tangkapan air Danau Toba diduga telah
mengalami permasalahan ketersediaan air. Permasalahan tersebut terjadi akibat
dari penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan dan rencana
tata ruang dan wilayah. Perubahan penggunaan lahan, perubahan kondisi hidrologi
daerah tangkapan air danau, persepsi masyarakat yang tidak tepat terhadap
kawasan danau serta penurunan kualitas air danau akibat pencemaran juga
menjadi perhatian penting didalam permaslahan ketersediaan air DTA Danau
Toba.
Sehubungan dengan kondisi tersebut di atas maka, perlu dilakukan upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan danau secara lestari dan serius.
Penelitian Model Konservasi Sumber Daya Air Danau Toba masuk dalam
konteks perlindungan dan pemeliharaan ini.

 
6

1.2 Kerangka Pemikiran


Sumber daya alam adalah unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun
hayati yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
kesejahteraannya (Soerianegara, 1977). Pengelolaan sumber daya alam
merupakan suatu proses pengalokasian sumber daya alam dalam ruang dan waktu
untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan perimbangan antara populasi
manusia dengan ketersediaan sumber daya alam disertai usaha pencegahan
terhadap kerusakan lingkungan. Kawasan Danau Toba memiliki nilai sumber daya
alam yang tinggi bagi kehidupan manusia dengan memanfaatkan secara langsung
hutan, lahan dan perairan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Perubahan penggunaan lahan daerah tangkapan air kawasan danau
diperkirakan memberikan pengaruh yang dominan terhadap hidrologi kawasan
tersebut, dan selanjutnya berpengaruh terhadap stabilitas ketersediaan air kawasan
danau.Perubahan penggunaan lahan berarti merubah tipe dan proporsi tutupan
lahan, selanjutnya berpengaruh terhadap luas permukaan dan kemudian
mempengaruhi resapan air ke tanah serta mempengaruhi peningkatan aliran
permukaan. Hal tersebut diduga terjadi karena perubahan pada kawasan hutan,
pertanian, tegalan, pemukiman, parawisata dan industri yang diakibatkan oleh
kegiatan perekonomian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Akibat selanjutnya adalah tinggi permukaan air Danau Toba menjadi
tidak stabil dandiperkirakan mengganggu pasokan air ke PLTA Asahan,
kedalaman intake PDAM, sistem transportasi danau khususnya operasional
dermaga kapal, ekosistem perairan pesisir danau serta kelangsungan dari keramba
jaring apung.Jika hal ini dibiarkan maka suatu ketika, sumber daya alam kawasan
ini tidak bisa dimanfaatkan secara maksimum.
Tujuan penelitian ini adalah membuat suatu model kebijakan yang tepat.
Kebijakan yang tepat ini dimaksudkan untuk memantau agar tindakanyang
dilakukan oleh setiap badan atau orang yang memanfaatkan air danau ini, tidak
mengganggu keberadaan ekosistem, ekonomi dan stabilitas sosial. Model ini perlu
dirancang dengan suatu pengelolaan yang sistemik,holistik, menyeluruh dan
melibatkan stakeholder dengan pilar sosial, ekonomi dan lingkungan. Kerangka
penelitian ini diillustrasikan pada Gambar 2.
7

  POTENSI PERTUMBUHAN PERTUMBUHAN


SUMBER DAYA ALAM PENDUDUK EKONOMI

KONDISI KONDISI KONDISI SOSIAL DAN


HIDROLOGI LAHAN PERTUMBUHAN EKONOMI

KETERSEDIAAN KEBUTUHAN PENGGUNAAN PERTUMBUHAN


AIR AIR LAHAN PENDUDUK

KONSEP KONSERVASI SUMBER DAYA AIR


KAWASAN DANAU TOBA

KELESTARIAN KELESTARIAN KELESTARIAN


EKOLOGY EKONOMI SOSIAL

MODEL KONSERVASI 
SUMBER DAYA AIR DANAU TOBA  
YANG BERKELANJUTAN 

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

 
8

1.3 Perumusan Masalah


Keberhasilan sumber daya alam memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat sangat tergantung dari pada cara pandang masyarakat terhadap sumber
daya alam tersebut. Jika masyarakat menganggap bahwa sumber daya alam harus
dimanfaatkan secara besar-besaran dalam tempo yang singkat tanpa
mengindahkan kelestarian lingkungan, maka akan segera timbul permasalahan
dalam hal daya dukung dan ketersediaannya. Dengan demikian masalah yang
timbul adalah bagaimana merubah cara pandang masyarakat terhadap sumber
daya alam agar cara pandangnya menjadi benar. Cara pandang yang lama perlu
dirubah menjadi cara pandang berkelanjutan yang mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi dan ekologi.
Dalam memenuhi kebutuhan air yang berfluktuasi, perubahan besaran
ketersediaan air harus didukung oleh keberadaan sumber dan cadangan air yang
baik.Jumlah air yang diindikasikan oleh tinggi permukaan air harus berada pada
kisaran yang ditetapkan terutama pada bulan-bulan kering sehingga kebutuhan air
terutama pasokan air terhadap PLTA Asahan tetap terjamin. Berkurangnya
ketersediaan air akan mengganggu kelangsungan operasional PLTA dan
terganggunya ekosistem danau. Sebaliknya, jika terlalu banyak ketersediaan air
maka muka air danau akan naik bahkan terjadi banjir yang berakibat terhadap
terganggunya ekosistem di pinggiran danau.
Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana kondisi ekologis daerah tangkapan air Danau Toba ?
2. Bagaimana neraca keseimbangan air Danau Toba?
3. Bagaimana persepsi pakar tentang konservasi sumberdaya air danau ?
4. Bagaimana rumusan model konservasi sumber daya air danau yang
berkelanjutan ?
Perumusan permasalahan ini diilustrasikan pada Gambar3.
9

  Aktivitas   Potensi  Pertumbuhan  Penduduk 


Ekonomi   Sumber Daya Alam dan Aktivitas Sosial 

Pemanfaatan Sumber Daya 
Alam Kawasan Danau Toba 

PLTA   Bahan  Keramba  Transportasi  Parawisata  Hutan  Pemukiman


  Baku  Jaring  Antar Kota   dan non 
Air  Apung Hutan 

 Kualitas  Air  Kuantitas Air  Penggunaan Lahan  Tataruang  Tekanan 


menurun  tidak stabil tidak beraturan  tidak beraturan Penduduk 

Degradasi Lingkungan 
Kawasan Danau Toba

Permasalahan  Lingkungan

Penurunan Potensi  Penurunan Potensi  Ketidakstabilan  


Ekonomi Danau  Ekologi Danau  Sosial 

Masalah Keberlanjutan

Gambar 3 Perumusan Masalah Penelitian

 
10

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan model konservasi
sumber daya air Danau Toba untuk diterapkan oleh para pengambil kebijakan
ketersediaan sumber daya air. Tujuan khusus penelitian adalah untuk :
1. Mengkaji kondisi ekologis daerah tangkapan air Danau Toba
2. Mengkaji neraca keseimbangan air Danau Toba
3. Merumuskan persepsi pakar tentang konservasi sumberdaya air danau
4. Merumuskanmodel konservasi sumberdaya air danau

1.5 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam penetapan
kebijakan untuk meningkatkan perekonomian namun dengan tetap
mempertimbangkan kondisi sosial dan kondisi ekologi
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi dunia usaha didalam pemanfaatan
sumber daya air kawasan Danau Toba
3. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat dan lembaga masyarakat di
sekitar Danau Toba dalam pemanfaatan sumber daya alam secara
berkelanjutan
4. Sebagai bahan masukan bagi Perguruan Tinggi dan Lembaga
penelitian dalam studi lanjutan pengelolaan sumber daya alam,
khususnya danau.

1.6 Kebaruan (Novelty)


Kebaruan dari penelitian ini adalah dalam hal kajian pengaruh perubahan
penggunaan lahan pada daerah tangkapan air terhadap neraca air dan tinggi muka
air Danau Toba dalam rangka menjamin kelangsungan pengoperasian PLTA
Asahan. Kebaruan ini juga menyangkut model konservasi sumber daya air danau
di Indonesia yang dibangun dengan pendekatan sistem. Penelitian tersebut di atas
belum ada sebelum penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Tangkapan Air Danau


2.1.1 Danau
Danau adalah suatu cekungan pada permukaan bumi yang berisi air atau
adalah cekungan besar di permukaan bumi yang digenangi oleh air tawar atau
asin dimana seluruh cekungan tersebut dikelilingi oleh daratan.Danau merupakan
suatu wadah alam yang dapat menahan kelebihan air pada masa aliran air tinggi
untuk digunakan pada masa kekeringan dan untuk menampung air untuk
pengelolaan dikemudian hari.Fungsi utama dari danau adalah irigasi pengairan
sawah, objek pariwisata, pembangkit listrik tenaga air, tempat usaha perikanan,
sumber penyediaan air bagi makhluk hidup sekitar dan pengendali banjir serta
pengendali erosi.Dengan demikian danau merupakan salahsatu sumber daya alam
yang menunjang kehidupan manusia.
Daerah tangkapan air dari suatu kawasan danau merupakan suatu wilayah
ketersediaan air dan juga merupakan suatu ekosistem yang mempunyai unsur-
unsur sumber daya alam tanah, vegetasi, udara dan air serta manusia sebagai
pelaku pendayagunaan. Antar unsur tersebut mempunyai hubungan timbal balik
yang saling mempengaruhi dan saling terkait untuk mencapai produk tertentu
serta kondisi air tertentu yang pada akhirnya mempengaruhi kehidupan
manusia.Kondisi air yang dihasilkan baik secara kualitas maupun kuantitas
merupakan kondisi hidrologis dari Daerah Tangkapan Air (DTA)
danau.Indonesia memiliki berbagai jenis danau yakni :
• Danau Buatan / Waduk. Danau buatan adalah danau yang secara sengaja
dibuat oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan air pertanian, perikanan
darat, air minum, dan lain sebagainya. Contohadalah Waduk Jatiluhur di
Jawa Barat.
• Danau Kars. Danau kars adalah danau yang berada di daerah berkapur di
mana yang berukuran kecil disebut doline dan yang besar dinamakan
uvala.
• Danau Tektonik. Danau tektonik adalah danau yang terjadi akibat adanya
aktivitas / peristiwa tektonik yang mengakibatkan permukaan tanah pada
12

lapisan kulit bumi turun ke bawah membentuk cekung dan akhirnya terisi
air. Contohnya adalah Danau Toba di Sumatera Utara.
• Danau Vulkanik/Danau Kawah. Danau vulkanik adalah danau yang
terbentuk pada bekas kawah gunung berapi. Contohnya adalah Danau
Batur di Bali.
Sesuai dengan kepentingan PLTA Asahan yakni terjaganya daya dukung
lingkungan hidup dan sasaran mafaatnya serta tersedianya volume air danau yang
berkelanjutan untuk membangkitkan daya listrik sesuai kapasitas terpasang
PLTA maka diperlukan intakerata-rata tahunan ke Danau Toba lebih besar dari
110 m3/s . Untuk itu, elevasi permukaan air Danau Toba perlu dijaga pada
kisaran 903,00 m – 905,00 m. Namun permasalahan yang dihadapi saat ini
adalah menurunnya daya tangkap dan daya tahan air DTA Danau Toba yang
diduga bersumber dari perubahan-perubahan pada sektor kehutanan, pertanian,
perikanan, parawisata, industri dan penyimpangan tata ruang (Asahan, 2003)

2.1.2 Daerah Tangkapan Air


Daerah tangkapan air (DTA) danaumerupakan bagian dari daerah aliran
sungai, dalam hal ini daerah tangkapan air Danau Toba merupakan bagian hulu
dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
suatu wilayah daratan tertentu yangmerupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya yangberfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan
air yang berasal daricurah hujan ke danau atau laut secara alami. DAS
mempunyai batas di darat yangmerupakan pemisah topografis dan batas di laut
sampai dengan daerahperairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan (Pasal
1 ayat 11 UUNo. 7 Tahun 2004)
DAS adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang
menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke
sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografis adalah
punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan (Manan, 1983, diacu dalam
Yuzni, 2008 ).
DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dengan
arti yang sama, di antaranya menggunakan istilah watershed, river basin,
catchment, atau drainage basin. Istilah watershed digunakan karena
hubungannyadengan batas aliran, sedangkan istilah river basin, catchment, atau
13

drainage basin digunakan karena hubungannya dengan daerah aliran


(Wijayaratna,2000 diacu dalam Yuzni, 2008).
DAS merupakan satuan hidrologi yang dibagi menjadi sub-DAS, sub-sub-
DAS, dan seterusnya sesuai dengan ordo sungai.Dalam sebuah DAS terdapat
keterkaitan dan ketergantungan antara berbagai komponen ekosistem (vegetasi,
tanah, dan air) dan antara berbagai bagian dan lokasi.DAS merupakan suatu
ekosistem, tempat unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia
berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan
outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu
merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap
keseluruhan bagian DAS, sehingga perencanaan DAS bagian hulu sering kali
menjadi fokus perhatian mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan
biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu, 1999 diacu dalam Yuzni, 2008).

2.2 Kondisi Ekologis


2.2.1 Sumberdaya fisik
Setiap daerah tangkapan air danau memiliki karakter biofisik yang
berbeda yang mencerminkan tingkat kepekaan dan potensi suatu daerah
tangkapan air. Pengumpulan data fisik yang dilakukan dengan mencatat
beberapa faktor yang dominan pada suatu wilayah akan mencerminkan
karakteristik suatu DTA. Faktor-faktor pengontrol karakteristik DAS antara lain
adalah faktor iklim, kondisi tanah, geologi dan faktor hidrologi. Untuk
menggambarkan kondisi sumberdaya fisik danau maka digunakan data iklim,
data tanah, data geologi dan data topografi. Danau memiliki karakteristik fisik
yang khas yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan penutupan dan
penggunaan lahan maupun terhadap kegiatan manusia di dalam DTA.
Karakteristik fisik yang khas ini mencakup (1) iklim, (2) kondisi jenis tanah (3)
kondisi formasi batuan dan (4) kondisi topografi
2.2.2 Kependudukan
Pertumbuhan penduduk yang semakin besar menimbulkan kebutuhan
lahan untuk tempat tinggal dan tempat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya
menjadi semakin besar. Kebutuhan lahan tersebut akan dilanjutkan dengan
kegiatan pemanfaatan lahan dan oleh karena keinginan umumnya penduduk
memanfaatkan lahan semaksimal mungkin sedangkan luas lahan relatif tetap,
14

sehingga cenderung pemanfaatan lahan tersebut tidak mempertimbangkan


prinsip ekologi misalnya memperluas lahan garapannya hingga ke lahan-lahan
yang memiliki fungsi lindung, seperti lahan yang memiliki kelerengan tinggi,
ditepi sungai atau bahkan merambah ke hutan lindung sehingga akhirnya dapat
menurunkan mutu lingkungan dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan
ekosistem (Nurwijayanto, 2008)
Menurut Soemarwoto (1989), tekanan penduduk disebabkan lahan
pertanian disuatu daerah tidak cukup untuk mendukung kehidupan penduduk
pada tingkat yang dianggap layak. Karena itu penduduk berusaha untuk
mendapatkan tambahan pendapatan dengan membuka lahan baru atau pergi ke
kota. Dorongan untuk membuka lahan atau/dan untuk pergi ke kota disebut
tekanan penduduk. Indikasi adanya tekanan penduduk terhadap suatu wilayah
dapat dilihat dengan nilai indeks tekanan penduduk. Menurut persamaan
Soemarwoto indeks tekanan penduduk dipengaruhi oleh proporsi jumlah
masyarakat yang bekerja dalam bidang pertanian dalam wilayah tersebut (f), luas
lahan minimal yang dapat memberikan hasil untuk hidup layak atau setara 640 kg
beras/tahun (z), tingkat pertumbuhan penduduk (r), serta luas lahan pertanian (L)
dan jumlah seluruh penduduk (P).
Luas lahan pertanian yang dapat memberikan hasil untukmemenuhi
kehidupan yang layak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
produktivitas lahan serta jenis tanaman yang dibudidayakan.Nilai kebutuhan
lahan pertanian minimum untuk mendapatkan kehidupan yang layak diasumsikan
seragam yaitu 0,78/ha/orang sesuai dengan yang ditetapkan tapak ekologi
(ecological foot print) untuk Indonesia (Said R et al. 2009).

2.2.3 Penggunaan Lahan


Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, hidrologi
bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Definisi
lain adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi
serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan
tanah. Dalam hal ini tanah juga mengandung pengertian ruang atau
tempat(Sitorus, 2009). Sumberdaya tanah merupakan sumberdaya alam yang
15

sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia karena sumberdaya alam


diperlukan dalam setiap kehidupan
Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik
secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan (Hardjowigeno dan Widiatmaka,2007).Dalam
kajian potensi sumber daya air aspek penting yang perlu dipertimbangkan antara
lain adalah kemampuan lahandan perubahan penggunaan lahan pada daerah
tangkapan air.
Perubahan penggunaan lahan daerah tangkapan air (DTA) suatu danau
akan menentukan umur guna danau karena adanya penurunan produksi air dan
peningkatan sedimentasi. Artinya, umurguna danau sangat tergantung pada
kuantitas dan kualitas air sungai yang menjadi inlet danau.Peningkatan jumlah
penduduk akan menambah luas pemukiman dan areal budidaya pertanian.
Kondisi demikian akan menyebabkan semakin besarnya aliran permukaan dan
peningkatan laju sedimentasi DTA yang melebihi batas ambang. Penggunaan
lahan disekitar kawasan danau seperti pertanian, perkebunan, persawahan,
pemukiman dan hotel dapat menghasilkan berbagai limbah yang dapat
mencemarkan perairan danau.
Alih fungsi lahan dari hutan menjadi areal pertanian dan areal pertanian
menjadi non pertanian akan menyebabkan terjadinya peningkatan erosi
permukaan pada tahap awal. Selanjutnya, tanah yang tererosi tersebut akan
terbawa ke sungai yang menyebabkan laju sedimentasi DTA meningkat.Alih
fungsi lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau dari lahan pertanian menjadi
non pertanian tentunya akan mempengaruhi karakteristik hidrologis DTA
bersangkutan.
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kawasan pertanian,
tegalan, pemukiman, hotel dan industri yang mengakibatkan air hujan yang jatuh
pada kawasan ini tidak banyak lagi meresap kedalam tanah. Air tersebut tidak
tertahan sebagai air tanah melainkan lebih banyak melimpas sehingga debit air
pada kawasan danau ini meningkat secara signifikan pada waktu musim hujan
tetapi pada waktu musim kemarau tinggi permukaan air menurun drastis.
16

2.3 Kemampuan Lahan dan Tata Ruang


2.3.1 Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan adalah kemampuan sebidang lahan untuk penggunaan
tertentu secara umum. Sedangkan kesesuaian lahan adalah kesesuaian sebidang
lahan untuk mendukung penggunaan komoditas tertentu (misalnya padi, jagung,
wisata dll). Dalam istilah kesesuaian lahan, dikenal kesesuaian lahan aktual dan
kesesuaian lahan potensial.Kesesuaian Lahan aktual adalah kesesuaian lahan
yang masih alami atau belum diberikantindakan-tindakan perbaikan yang berarti
dalam tingkatpenelolaan untuk keperluan tertentu, (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007) Kesesuaian Lahan potensial adalah kesesuaian lahan untuk
penggunaan tertentu, seperti pada lahan tersebut telah diberikan
masukan/input.(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007)
Untuk mengetahui kemampuan suatu lahan maka perlu dilakukan
klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian
lahan secara sistematik dan pengelompokanya ke dalam beberapa kategori
berdasarkan atas sifat – sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam
penggunaanya secara lestari. Kemampuan disini dipandang sebagi kapasitas
lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan di
Amerika Serikat adalah sistem dari United States Department of Agriculture
(USDA), yang dikemukakan dalam Agricultural Handbook No.210 (Klingebiel
& Montgomery, 1961). Pengelompokan kemampuan lahan dalam sistem ini
dilakukan secara kualitatif dan dapat dikatakan merupakan pendekatan
pertama dari pendekatan dua tahap menurut FAO (1976). Sistem ini mengenal
tiga kategori, yaitu kelas, sub-kelas, dan unit. Penggolongan kedalam kelas,
sub-kelas dan unit didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk
memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam
jangka panjang.
Kemampuan Lahan Tingkat Kelas
Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan
besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan kedalam kelas I
sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin
jelek, berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan
pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Tanah
17

kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian,


sedangkan kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau
diperlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya(Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
a. Kelas I
Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa
memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus. Lahannya datar,
solumnya dalam, bertekstur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah
diolah, dan responsif terhadap pemupukan. Lahan kelas I tidak mempunyai
penghambat atau ancaman kerusakan, sehingga dapat digarap untuk usaha tani
tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha
pemeliharaan struktur tanah yang baik diperlukan guna menjaga kesuburan
dan mempertinggi produktivitas.
b. Kelas ll
Lahan kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat
mengurangi pilihan jenis tanaman yang diusahakan atau memerlukan usaha
pengawetan tanah yang tingkatnya sedang, seperti pengolahan menurut
kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau,
pembuatan guludan, disamping tindakan-tindakan pemupukan. Faktor
penghambat lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat
berikut: (1) lereng melandai (gentle slope), (2) kepekaan erosi atau erosi yang
telah terjadi adalah sedang, (3) kedalaman tanah agak kurang ideal, (4)
struktur tanah agak kurang baik, (5) sedikit gangguan salinitas atau Na tetapi
mudah diperbaiki, (6) kadang-kadang tergenang atau banjir, (7) drainase yang
buruk (wetness) yang mudah diperbaiki dengan saluran drainase, dan (8) iklim
sedikit menghambat.
c. Kelas lll
Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat, yang
mengurangi pilihan jenis tanaman yang dapat diusahakan, atau memerlukan
usaha pengawetan tanah yang khusus, atau kedua-duanya. Tindakan
pengawetan tanah yang perlu dilakukan antara lain adalah penanaman dalam
strip, pembuatan teras, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah
dengan waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, disamping usaha-usaha
untuk memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah. Faktor penghambat
18

lahan kelas III adalah salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat perikut: (1)
lereng agak curam, (2) kepekaan erosi agak tinggi atau erosi yang telah terjadi
cukup berat, (3) sering tergenang banjir, (4) permeabilitas sangat lambat, (5)
masih sering tergenang meskipun drainase telah diperbaiki, (6) dangkal, (7)
daya menahan air rendah, (8) kesuburan tanah rendah dan tidak mudah
diperbaiki, (9) salinitas atau Na sedang, (10) penghambat iklim sedang.
Tanah yang berdrainase agak buruk dengan permeabilitas lambat perlu
perbaikan drainase. Perlu pemilihan pola tanam yang dapat memperbaiki
struktur tanah sehingga menjadi mudah diolah. Untuk mencegah pelumpuran
dan meningkatkan permeabilitas tanah, perlu dilakukan penambahan bahan
organik, disamping tidak mengolah tanah pada waktu basah.

d. Kelas IV
Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat yang membatasi
pilihan tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat
berhati-hati, atau kedua-duanya. Penggunaan lahan kelas IV sangat terbatas
karena salah satu atau kombinasi dari penghambat berikut: (1) lereng curam,
(2) kepekaan erosi besar, (3) erosi yang telah tejadi berat, (4) tanah dangkal,
(5) daya menahan air rendah, (6) sering tergenang banjir yang menimbulkan
kerusakan berat pada tanaman, (7) drainase terhambat dan masih sering
tergenang meskipun telah dibuat saluran drainase, (8) salinitas atau Na agak
tinggi, (9) penghambat iklim sedang.
Pada lahan yang berlereng curam, bila digunakan untuk tanaman
semusim diperlukan pembuatan teras atau pergiliran dengan tanaman penutup
tanah atau makanan ternak atau pupuk hijau selama 3 sampai 5 tahun. Untuk
tanah yang berdrainase buruk, perlu membuat saluran-saluran drainase.

e. Kelas V
Lahan kelas V mempunyai sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi
mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat
membatasi penggunaan lahan ini. Akibatnya, lahan ini hanya cocok untuk
tanaman rumput ternak secara permanen atau dihutankan. Lahan ini datar,
akan tetapi mempunyai salah satu atau kombinasi dari sifat-sifat berikut: (1)
drainase yang sangat buruk atau terhambat, (2) sering kebanjiran, (3) berbatu-
batu dan (4) penghambat iklim cukup besar.
19

Sebagai contoh lahan kelas V ini adalah: (a) lahan di lembah-lembah


yang sering kebanjiran sehingga tanaman tidak dapat berproduksi secara
normal, (b) lahan datar dengan musim tumbuh yang pendek, (c) lahan datar
yang berbatu, (d) daerah yang tergenang yang tidak cocok untuk tanaman
pertanian tetapi cocok untuk rumput atau pohon-pohonan.

f. Kelas VI
Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga
tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak
atau dihutankan. Penggunaan untuk padang rumput harus dijaga agar
rumputnya selalu menutup dengan baik. Bila dihutankan, penebangan kayu
harus selektif. Bila dipaksakan untuk tanaman semusim, harus dibuat teras
bangku. Lahan ini mempunyai penghambat yang sulit sekali diperbaiki, yaitu
salah satu atau lebih sifatsifat berikut: (1) lereng sangat curam, (2) bahaya
erosi atau erosi yang telah terjadi sangat berat, (3) berbatu-batu, (4) dangkal,
(5) drainase sangat buruk atau tergenang, (8) daya menahan air rendah, (7)
salinitas atau kandungan Na tinggi, dan (9) penghambat iklim besar.
g. Kelas Vll
Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman
semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan.
Faktor penghambatnya lebih besar dari kelas VI, yaitu salah satu atau
kombinasi sifat-sifat berikut: (1) lereng terjal, (2) erosi sangat berat, (3) tanah
dangkal, (4) berbatu-batu, (5) drainase terhambat, (6) salinitas atau Na sangat
tinggi, dan (7) iklim sangat menghambat.
h. Kelas Vlll
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian, dan harus
dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat
digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Penghambat
yang tidak dapat diperbaiki lagi dari lahan ini adalah salah satu atau lebih sifat
berikut: (1) erosi atau bahaya erosi sangat berat, (2) iklim sangat buruk, (3)
tanah selalu tergenang, (4) berbatu-batu, (5) kapasitas menahan air sangat
rendah, (6) salinitasnya atau kandungan Na sangat tinggi, dan (7) sangat terjal.
Bad-land, batuan singkapan, pasir pantai, bekas-bekas pertambangan,
dan lahan yang hampir gundul termasuk dalam kelas ini.
20

Kemampuan Lahan Tingkat Sub-kelas


Pembagian kemampuan lahan pada tingkat Sub-kelas adalah
pembagian lebih lanjut dari kelas berdasarkan jenis faktor penghambat yang
sama. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis,
yaitu: bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran
tanaman (s), dan iklim (c).

• Sub-kelas erosi (e), terdapat pada lahan dimana erosi merupakan


problema utama. Kepekaan erosi dan erosi yang telah terjadi
merupakan petunjuk untuk penempatan dalam sub-kelas ini.
• Sub-kelas kelebihan air (w) terdapat pada lahan, dimana kelebihan air
merupakan faktor penghambat utama. Drainase yang buruk, air tanah
yang dangkal, dan bahaya banjir merupakan faktor-faktor yang
digunakan untuk penentuan subkelas ini.
• Sub-kelas penghambat terhadap perakaran tanaman (s) meliputi lahan
yang dangkal, banyak batu-batuan, daya memegang air yang rendah,
kesuburan rendah yang sulit diperbaiki, serta garam dan Na yang
tinggi.
• Sub-kelas iklim (c) terdiri dari lahan,
dimana iklim merupakan penghambat utama.
Jenis-jenis faktor penghambat ini ditulis di belakang angka kelas
seperti berikut: Ille, Ilw, IVs, dan sebagainya, yang masing-masing
menyatakan lahan kelas III yang disebabkan oleh faktor erosi (e), lahan kelas
II yang disebabkan oleh faktor air (w) dan lahan kelas IV yang disebabkan
oleh terhambatnya perakaran tanaman (s).

2.3.2 Tata Ruang


RTRWP 1993 Sumatera Utara mengarahkan Danau Toba sebagai
kawasan budidaya dan kawasan lindung. Sebagai Kawasan Lindung, Kawasan
Danau Toba perlu dijaga kelestariannyasedangkan sebagai Kawasan Budidaya,
pemanfaatan ruangnya perlu diatur agar tidak terjadi kelebihan kapasitas kegiatan
yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Pemanfaatan ruang pada
Daerah Tangkapan Air Danau Toba mempunyai peranan penting dalam menjaga
21

kelestarian Danau Toba agar tetap mempunyai fungsi,terutama sebagai


sumberair untuk PLTA Asahan serta fungsi penting yang lainnya.
Struktur Penataan Ruang
Struktur penataan ruang Kawasan Danau Toba dilakukan dengan
menetapkan tata jenjangpusat-pusat pengembangan wilayah serta keterkaitan
antar pusat pengembangan, didukung oleh pengembangan kegiatan sosial-
ekonomi dan penyediaan prasarana dan sarana untuk penyelenggaraan masing-
masing fungsi pusat permukiman (P U, 2011)
Pola Pemanfaatan Ruang
Perencanaan pemanfaatan ruang Kawasan Danau Toba adalah penetapan
kawasan lindung dan kawasan kegiatan budidaya. Pemanfaatan lahan untuk
kawasan budidaya dimaksudkan untuk kebutuhan permukiman sampai
pemanfaatan untuk pertanian, perkebunan bahkan hutan. Yang terpenting adalah
pemanfaatan lahan untuk budidaya tidak melanggar batasan dan kriteria kawasan
lindung (P U, 2011)
Penggunaan lahan secara nyata di daerah tangkapan air Danau Toba perlu
dikendalikan dengan menganalisis sejauh mana perbedaan antara penggunaan
lahan secara nyata dengan rencana tata ruang dan wilayah. Perbedaan ini akan
mempengaruhi terhadap fungsi dari perairan Danau Toba secara keseluruhan.

2.4 Hidrologi dan Neraca Air Danau


2.4.1 Hidrologi
Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya
peredaran, sifat-sifat kimia dan fisiknya, reaksi dengan lingkungannya, termasuk
hubungan dengan mahluk-mahluk hidup (WMO, 1974). Siklus hidrologi adalah
sirkulasi gerakan air laut ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi
dan transpirasi dan akhirnya mengalir kembalikelaut. Air akan selalu ada karena
air bersirkulasi tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke
atmosfir mengikuti siklus hidrologi. Air permukaan, baik yang mengalir maupun
yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan
terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses
perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi
yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS)atau Daerah Tangkapan Air
(DTA) yang disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
22

Gambar 4 Daerah Tangkapan Airdengan Inputdan Output Hidrologinya


(Messerly dan Ives, 1977dalam Aguset al. 2004).

Gambar 5. Daur Hidrologi (Ditjen RLPS 2009)

Siklus air dimulai dari hujan (presipitasi) turun ke bumi, kemudian


sebagian langsung menguap (evaporasi), sebahagian ada yang meresap oleh
tumbuhan dan menguap (evapotranspirasi), sebagian mengalir diatas permukaan
(run off) serta sebagian masuk meresap ke dalam tanah (infiltrasi). Air
permukaan mengalir menjadi air sungai menuju danau atau langsung menuju laut
dan mengalami penguapan (evaporasi).
23

Air yang meresap ke dalam tanah mengalir ke permukaan air tanah


(perkolasi) dan menjadi air simpanan (water storage) serta kemudian menjadi
aliran dibawah permukaan tanah (base flow) menuju danau atau menuju laut
danada pula yang keluar sebagai mata air dan mengalir sebagai air permukaan.
Air permukaan dan aliran bawah tanah pada akhirnya terkumpul pada suatu
danau atau laut.Air sungai, air danau dan air laut mengalami penguapan
(evaporasi) dan uap air terbawa angin ke atmosfir serta mengembun menjadi
awan dan awan menjadi hujan (Soemarwoto,1991).
2.4.2 Curah Hujan
Curah hujan atau presipitasi adalah uap yang mengkondensasi di atmosfer
kemudian jatuh ke tanah dalam rangkaian proses hidrologi.Jumlah presipitasi
selalu dinyatakan dengan dalamnya presipitasi (mm).Presipitasi dibagi menjadi
curah hujan terpusat (point rainfall) dan curah hujan daerah (areal
rainfall).Curah hujan terpusat (point rainfall) adalah curah hujan yang didapat
dari hasil pencatatan alat pengukur hujan atau data curah hujan yang akan diolah
berupa data kasar atau data mentah yang tidak dapat langsung dipakai.Curah
Hujan Daerah (areal rainfall) adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang
bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Untuk menentukan
curah hujan rata rata dapat digunakan 3 cara yaitu cara Arithmatik, cara Thiessen,
cara Ishoyet.
Dalam penelitian ini penentuan besarnya hujan rata-rata pada daerah
aliran menggunakan data curah hujan maximum setiap hujan dari stasiun hujan
dengan metoda Poligon Thiessen karena luasan daerah tangkapan air sangat
besar, seperti digambarkan pada Gambar 6

Gambar 6 Polygon Thiessen


24

Rrata-rata

R rata-rata = Curah hujan rata-rata (mm )


R1,R2,….Rn = Curah hujan disetiap titik pengamatan (mm )
N = Jumlah pengamatan
A1,A2,….An = Luas daerah pengaruh stasiun hujan (km2)

2.4.3 Evaporasi
Evaporasi merupakan peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak
dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara (Sosrodarsono, 1978).
Evaporasi dapat terjadi pada sungai, danau, laut, dan permukaan tanah.Faktor-
faktor yang mempengaruhi besarnya evaporasi yakni radiasi matahari, angin,
kelembaban dan suhu.Jumlah air yang menjadi uap naik ke atmosphere yang
berlangsung secara terus menerus merupakan peristiwa penguapan atau evaporasi
yang besarnya untuk suatu danau sebesar 0,70 dari evaporasi hasil pengukuran
lapangan dengan panci evaporasi (Epe) 

Ev = 0.70 x Epe……………….(2.2)

2.4.4 Transpirasi
Transpirasi adalah penguapan air dari daun dan cabang tanaman melalui
pori-pori daun oleh proses fisiologi. Semua jenis tanaman memerlukan air untuk
kelangsungan hidupnya, dan masing-masing tanaman berbeda kebutuhannya.
Transpirasi sulit diukur karena hanya sebagian kecil air yang tertinggal didalam
tubuh tumbuh-tumbuhan, sebagian dari padanya setelah diserap oleh akar-akar
dan dahan-dahan akan ditranspirasikan lewat bagian tubuh tumbuh-tumbuhan
yang berdaun sehingga perhitungan transpirasi digabungkan dengan evaporasi
yang disebut evapotranspirasi (Sosrodarsono, 1978)
25

2.4.5 Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah peristiwa berubahnya air menjadi uap dan
bergerak dari permukaan tanah, permukaan air, serta tanaman menguap keudara
(Sosrodarsono, 1976).Secara umum di lapangan sulit membedakan antara
evaporasi dan transpirasi apabila tanahnya tertutup oleh tumbuh-tumbuhan dan
kedua proses tersebut saling berkaitan sehingga dinamakan evapotranspirasi.
Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara,
kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari. Evapotranspirasi
tergantung pada : (i) Adanya persediaan air yang cukup, (ii) Faktor iklim, seperti
suhu, kelembaban dan (iii) Jenis dan pengolahan tumbuh-tumbuhan
Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan rumus :

E = ETp – ET ……………………………(2.3)

dimana ETp adalah nilai Evapotranspirasi Potensial dan ET adalah nilai


Evapotranspirasi Terbatas dengan tahapan perhitungan dilakukan sebagai
berikut:

Evapotranspirasi Potensial (ETp=e)


Perhitungan nilai ETp menggunakan metode Dr. Thornthwaite yang
memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk
berlangsungnya proses Evapotranspirasi dengan asumsi suhu udara tersebut
berkorelasi dengan radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses
(Ssrodarsono, 1978).

ETp = e = 1,6 * (10*t/I) a ……………….…………(2.4)

a = 0,000000675.I³ – 0,0000771.I² + 0.017921.I + 0.49239


a
;

e = Evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan) dan t = suhu rata-rata


bulanan (ºC)
26

Evapotranspirasi Terbatas (ET)


Perbedaan evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi terbatas
dibanding dengan evapotranspirasi potensial dihitung menurut metode F.J.Mock
(Sri Harto Br. 1993)dengan rumus :

(ETp – ET)/ETp = (m/20)(18-n)............................................(2.5)


(ETp – ET) = ETp* (m/20)(18-n)
ET = ETp – [ETp*(m/20)(18-n)]……………………..………. (2.6)

dimana m = singkapan lahan (Exposed surface (%) dan n = jumlah hari hujan
dalam sebulan.

2.4.6 Water Surplus atau Surplus Curah Hujan


Surplus Curah Hujan (Water Surplus) adalah curah hujan yang jatuh ke
permukaan daratan setelah mengalami evapotranspirasi yang dirumuskan dengan
:

WS=CH- ET ……………………………………..(2.7)
CH = Curah hujan; ET = Evapotranspirasi Terbatas/Aktual

2.4.7 Infiltrasi, Direct Run Off dan Base Flow


Infiltrasi adalah proses masuknya air hujan ke dalam lapisan permukaan
tanah dan turun ke permukaan air tanah (Sosrodarsono, 1978). Air hujan yang
telah mengalami evapotranspirasi dan disimpan dalam tanah lembab selanjutnya
melimpas di permukaan (surface run off ) dan mengalami perkolasi.Limpasan
permukaan (surface run off/ direct run off) adalah air yang mencapai sungai tanpa
mencapai permukaan air tanah yakni curah hujan yang dikurangi sebagian
besarnya infiltrasi (Sosrodarsono, 1978). Aliran air tanah atau aliran dasar (base
flow) adalah aliran yang menginfiltrasi ke dalam tanah mencapai permukaan air
tanah dan bergerak menuju sungai dalam beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih.
Menurut Mock(Sri Harto Br., 1993) infiltrasi adalah water surplus (WS)
dikalikan dengan koefisien Infiltrasi (if). Koefisien infiltrasi ditentukan oleh
kondisi porositas dan kemiringan daerah pengaliran.
27

Untuk menjelaskan proses aliran air di dalam sistem tanah dan sungai
digunakan pendekatan yang dikembangkan oleh F.J. Mock(Sri Harto Br.,
1988).Metode ini mampu menduga infiltrasi (I), aliran dasar (Bf), dan limpasan
(RO) yang nilainya sesuai dengan persamaan berikut:

I = WS x i …………………………………….(2.8)
DRO = WS – I …………………………………….(2.9)
Vn = [0.5 x ( 1+k ) x I ] + ( k x Vn-1 )…….…….(2.10)
Bf = I x ( Vn – Vn-1 )…………..………..…...….(2.11)
.
I = infiltrasi, S= surplus air, i = koefisien infiltrasi, DRO = direct run off, Vn=
simpanan air tanah bulan ini; Vn-1= simpanan air tanah bulan lalu; Bf= aliran
dasar, k=faktor resesi air tanah

2.4.8 Limpasan (Run Off)


Limpasan merupakan gabungan atau penjumlahan dari limpasan
permukaan dengan aliran dasar yang masuk ke sungai atau ke danau merupakan
komponen hidrograf (Sosrodarsono, 1976)
RO = Bf + DRO ……………………………(2.12)
RO = limpasan.

2.4.9 Ketersediaan Air


Ketersediaan air adalah jumlah air yang diperkirakan terus menerus ada di
suatu lokasi di sungai dengan jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Model F.J. MOCK menggunakan lima parameter yang menggambarkan
karakteristik DAS yang besar pengaruhnya terhadap keluaran sistem, yaitu :
singkapan lahan, koefisien infiltrasi, kapasitas kelembaban tanah, initial storage
dan faktor resesi air tanah. Debit inflow adalah debit air yang masuk ke danau
yang berasal dari curah hujan yang di pengaruhi oleh faktor klimatologi dan
kondisi daerah tangkapan untuk menghasilkan debit empiris yang disusun
berdasarkan urutan seperti yang disajikan pada Gambar 7.
28

WS = Pnet - SS

hujan (R)  
transpirasi

inf evaporasi
iltr
as
i

m.a. per kolasi  



alir an per
mu kaan
(DR O)
kandungan air t anah (V)

aliran air t anah (BF)

Q = 0.0116 . Ro . A/H 
dV t = V t – V t-1  RO = BF + DRO

Gambar7 Struktur Model F.J. Mock (Sri Harto Br. 1993)

Gambar 8 Illustrasi proses terbentuknya aliran permukaan


(Anonim 2010)

Metode ini menganggap bahwa hujan yang jatuh pada catchment area
sebagian akan hilang sebagai evapotranspirasi, sebagian akan langsung menjadi
direct run off dan sebagian lagi akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Infiltrasi
ini pertama-tama akan menjenuhkan top-soil dulu baru kemudian menjadi
perkolasi ke tampungan air tanah yang nantinya akan keluar ke sungai sebagai
base flow. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara hujan yang jatuh dengan
evapotranspirasi, direct run off dan infiltrasi sebagai soil moisture dan ground
water discharge. Aliran dalam sungai adalah jumlah aliran yang langsung di
permukaan tanah (direct run off) dan base flow (Sri Harto Br. 1993).Metode
Mock mempunyai dua prinsip pendekatan perhitungan aliran permukaan yang
29

terjadi di sungai, yaitu neraca air di atas permukaan tanah dan neraca air bawah
tanah yang semua berdasarkan hujan, iklim dan kondisi tanah. Rumus untuk
menghitung aliran permukaan terdiri dari (Sri Harto Br., 1988):
Hujan netto : (Pnet)= P – ET
Evapotranspirasi aktual : ET = ETp – [ETp*(m/20)*(18-n)]
Kelebihan air : (WS) = Pnet – SS
Perubahan kandungan air tanah : dVt = Vt – Vt-1
Kandungan Air tanah : Vt = ½ (1+k).I + k. Vt-1
Laju Infiltrasi : I = Ci . WS
Aliran Air tanah : BF = I – dVt
Aliran langsung : DRO = WS – I
Aliran permukaan: : RO = BF + DRO
Dalam satuan debit : Q = 0,0116 . RO . A/H

Pnet = hujan netto, dalam mm; P = hujan, dalam mm; Eto = evapotranspirasi
potensial, dalam mm; Eta = evapotranspirasi aktual, dalam mm; WS = kelebihan
air, dalam mm; SS = daya serap tanah atas air, dalam mm; SM = kelembaban
tanah, dalam mm; dV =perubahan kandungan air tanah, dalam mm; Vt =
kandungan air tanah, dalam mm; I = laju infiltrasi, dalam mm; Ci = koefisien
infiltrasi (<1); k = koefisien resesi aliran air tanah (<1); DRO = aliran langsung,
dalam mm; BF = aliran air tanah, dalam mm; RO = aliran permukaan, dalam
mm; H = jumah hari kalender dalam sebulan, hari; m = bobot lahan tak tertutup
vegetasi (0 < m< 40%); A = luas DAS, dalam km2; Q = debit aliran
permukaan, m3/det

2.4.10 Pemanfaatan Sumber Daya Air Danau


Pemanfaatan sumber daya air danau pada umumnya adalah (i)
Pemanfaatan Air Untuk Irigasi,(ii) Pemanfataatan Air Untuk PLTA,(iii)
Pemanfaatan Air Untuk Air Baku, (iv) Pemanfaatan Air Untuk Perikanan dan (v)
Sarana Transportasi
2.4.11 Neraca Air Danau
Keseimbangan air pada suatu daerah dapat digunakan untuk menghitung
berbagai input dan output daerah tersebut. Input utama suatu daerah adalah
presipitasi. Outputnya adalah penguapan (evaporasi), transpirasi oleh tanaman,
aliran sungai, dan aliran air tanah (Agus, et al. 2004)Neraca air merupakan
hubungan antara masukan air total dan keluaran air total yang terjadi pada suatu
30

DAS yang didalamnya terkandung komponen-komponen seperti debit aliran


sungai, curah hujan, evapotranspirasi, perkolasi, kelembaban tanah, dan periode
waktu.

∆S = Inflow – Outflow
Inflow = Presipitasi (P) + Aliran Sungai dari Luar DAS (Qsi) +
Aliran Air bawah tanah (Qgi)….(2.13)
P = Presipitasi
Qsi = Aliran dari sungai diluar DAS
Qgi = Aliran dari bawah tanah

Outflow = Aliran Sungai (Qso)+Rembesan Air (Qgo)+


Evaporasi (E)…………….……….(2.14)
Qso = Aliran ke sungai ke luar DAS
Qgo = Aliran ke bawah tanah (resapan tanah)
Ei = Evaporasi

2.5. Konservasi Sumber Daya Air


Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidupadalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan,pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan.
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harus dimulai dari
pemahaman tentang UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Hal tersebut diatas
memberikan suatu penjelasan bahwa (i) Negara menguasai sepenuhnya didalam
mengelola sumber daya alam yang ada di Indonesia (ii) Mewajibkan negara
untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, dengan pemahaman bahwa rakyatlah yang menerima
manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia dan (iii)
Kemakmuran rakyat harus berkesinambungan.
31

Sumber daya alam adalah unsur-unsur lingkungan alam baik fisik maupun
hayati yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan kesejahteraannya (Soerianegara, 1977).Sumber daya alam
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan tetap
memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian
sumber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan
ekonomi dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Atas dasar fungsi
ganda tersebut, sumber daya alam harus dikelola secara seimbang untuk
menjamin pembangunan berkelanjutan .
Menurut UU SDA No.7 tahun 2004 pasal 1 ayat 18, konservasi sumber
daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat,
dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu
sekarang maupun yang akan datang.
Dalam UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Bab I ayat I
ditegaskan bahwa sumber daya air adalah air, sumber air dan daya (potensi) air
yang terkandung didalamnya. Dalam UU tersebut, ayat 2 menegaskan bahwa
istilah air yaitu semua air yang terdapat pada, di atas atau di bawah permukaan
tanah. Termasuk pengertian air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang
berada di darat. Secara keseluruhan konservasi sumber daya air dalam UU
tersebut ayat 20 mempunyai definisi yaitu upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahluk
hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
Dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnyadisebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Konservasi sendiri secara harifiah berasal dari kata Conservation
yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki
pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you
have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore
32

Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan


tentang konsep konservasi.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam
batasan bahwa konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia
sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang ( IUCN, 1980).
Pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa konservasi sumberdaya air adalah
upaya memelihara keberadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa
tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
mahluk hidup, pada waktu sekarang maupun waktu yang akan datang.Konsep
kebijakan konservasi sumber daya air yang berkelanjutan tersebut disajikan
dalam Gambar 9
 
EKONOMI  : 
PLTA, Perikanan, 
Transportasi, Air 
Minum,  Pertanian, 
Parawisata, 
Kehutanan 

SOSIAL  :  EKOLOGi :
Pertumbuhan  Kualitas Air, 
Penduduk,   Kuantitas Air 
Pemukiman  Penggunaan  
Stabilitas dan  Lahan 
Pemerataan 

Gambar 9 Konsep Konservasi Sumberdaya Air Danau yang Berkelanjutan

2.6. Arahan Kebijakan dan Strategi Konservasi


Keberadaan Danau Toba memegang peranan sangat penting dalam
pemanfaatan ruang di Sumatera Utara. Sebagai penyangga kebutuhan masyarakat
khususnya dalam penyedia jasa lingkungan hidrologisyang berkonservasi
tinggi,keanekaragaman flora-fauna, ekosistem, upaya pelestarian sumberdaya
alam dan penyelenggaraan kegiatan wisata harus menjadi perhatian utama
sehingga dapat memberikan manfaat secara ekonomi lingkungan dan stabilitas
sosial kepada masyarakat.
33

Perubahan penggunaan lahan di daerah tangkapan air Danau Toba sangat


dinamis. Perubahan lahan yang semula agraris menjadi non agraris di sekitar
kawasan Danau Toba terkait dengan tingginya pertumbuhan dan aktivitas
ekonomi masyarakat Sumatra Utara. Pertambahan jumlah penduduk serta
peningkatan kegiatan pembangunan mengakibatkan pergeseran pola penggunaan
lahan yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang dan kemampuan serta
kesesuaian lahan sehingga timbul berbagai masalah seperti terbentuknya lahan
kritis, hilangnya lahan pertanian yang subur dan terjadinya pencemaran tanah.
Disamping itu pemanfaatan kawasan yang seharusnya merupakan kawasan
lindung dipergunakan sebagai lokasi kegiatan yang tidak bersifat kegiatan
perlindungan. Perubahan penggunaan lahan untuk tujuan resapan air berubah
menjadi permukiman sehingga menyebabkan penurunan muka air tanah dan
penurunan tinggi permukaan air. Jika penyimpangan ini terjadi secara terus
menerus tanpa ada usaha pengendalian penggunaan ruang di Kawasan Danau
Toba maka fungsi kawasan tersebut sebagai kawasan resapan air tidak dapat
berjalan dengan semestinya. Akibatnya dapat berdampak pada kerusakan
lingkungan khususnya krisis air, baik bagi kawasan itu sendiri maupun daerah
lain di sekitarnya secara keseluruhan.
Kondisi tersebut akan menimbulkan banyak permasalahan apabila tidak
disertai dengan kebijakan penataan ruang yang memadai. Persoalan terbesar
dalam penataan ruang adalah dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Sebaik
apapun rencana tata ruang dan program pemanfaatan ruang yang disusun, tanpa
disertai dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas, konsisten dan
berkelanjutan, maka tujuan penataan ruang tidak akan terwujud dengan efektif.
Semakin pesat pertumbuhan penduduk di suatu daerah atau wilayah akan
berpengaruh buruk terhadap keberlanjutan lingkungan jika tidak dikelola dengan
baik. Karena masalah lingkungan timbul dari hasil interaksi antara aktivitas
manusia dan sumberdaya alam, atau secara lebih tepat adalah adanya mekanisme
permintaan akan lingkungan dan suplai atau penawaran lingkungan. Interaksi
yang tidak seimbang dan harmonis antara kedua aspek tersebut bisa
menyebabkan terjadinya problema lingkungan. Tingginya permintaan
sumberdaya lingkungan yang tidak didukung oleh ketersediaan sumberdaya akan
menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan yang
akhirnya bisa mengakibatkan degradasi lingkungan.
34

Dengan begitu banyaknya masalah yang saling terkait, rumit dan


kompleks pada penataan ruang ruang maka diperlukan suatu cara pemilihan
kebijakan yang terbaik melalui analisis kebijakan. Untuk melaksanakan analisis
kebijakan ini, diperlukan data primer yang diperoleh melalui wawancara
langsung dengan para pakar serta data sekunder yang didapat dari berbagai
sumber pustaka atau literature.
Untuk mengetahui persepsi yang terbaik dari para pakar tentang
konservasi sumber daya air Danau Toba, makapertanyaan difokuskan kepada
persepsi pakar terhadap Konservasi Kawasan Hutan, Konservasi Kawasan
Pertanian, Konservasi Pemukiman, Konservasi Kawasan Parawisata, dan
Konservasi Kawasan Industri.
Model yang dipergunakan untuk pengambilan keputusan pada pembuatan
kebijakan adalahMetode AHP yangdikembangkan oleh Thomas L. Saaty, yang
terdiri dari sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas
persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses
pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-
bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi
nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variable yang mana
yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil
pada situasi tersebut.
Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks
dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan
dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau
prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika
yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai
pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita
secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah
dibuat(Saaty, 1993).
35

2.7. Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan adalah proses pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya sejahtera lahir
dan batin. Sumberdaya alam yaitu segala unsur lingkungan (biotik maupun
abiotik) yang bermanfaat dan digunakan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginannya, baik kebutuhan primer yang bersifat lahiriah
(pangan, sandang, papan), kebutuhan sekunder yang bersifat batiniah (estetika)
maupun kebutuhan tersier dan seterusnya yang lebih bersifat hobi atau
pengembangan bakat.
Pembangunan berkelanjutan atau berkesinambungan adalah pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri
(WCED,1988).Pengelolaaan sumber daya alam harus dilakukan sedemikian rupa
untuk memenuhi kebutuhan masa kini tetapi dengan batasan bahwa sumber daya
tersebut harus dijaga agar cukup untuk memenuhi kebutuhan untuk generasi
mendatang dan pemanfaatan harus terkendali serta tidak merusak
lingkungan.Diperkirakan pengelolaan sumber daya alam selama ini telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan yang menimbulkan berbagai konflik.
Konsep dasar pembangunan berkelanjutan adalah pemenuhan kebutuhan
masa kini yang berorientasi kepada ekonomi dan ditujukan untuk kebutuhan
manusia. Kebutuhan manusia merupakan suatu visi sosial serta ketersediaan
sumber daya alam saat ini dan saat yang akan datang, yang berarti adanya suatu
sikap untuk menjaga ketersediaan sumber daya alam dengan menjaga kelestarian
lingkungan. Dengan demikian proses eksploitasi sumber daya alam yang
berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan harus tetap menjaga
keseimbangan antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
kelestarian lingkungan. Penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut, maka
disajikan pada Gambar 10.
36

Gambar 10 Pembangunan Berkelanjutan

2.8. Pendekatan Sistem


Berpikir sistem merupakan cara berpikir baru yang memandang
permasalahan secara keseluruhan bukan terpisah-pisah dimana permasalahan
yang kompleks, rumit, tidak terstruktur menjadi suatu masalah yang sederhana.
Agar hal tersebut tercapai maka dilakukan suatu upaya pendekatan sistem.
Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan
dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2007).
Penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan sistem, dilakukan
dengan metode yang terdiri dari beberapa tahapan proses seperti dijelaskan di
bawah ini :
1. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian sistem, pada
tahap ini diidentifikasi kebutuhan para pelaku sistem (Stakeholders) sebagai
bahan pertimbangan dalam pemahaman sistem yang dikaji. Setiap pelaku sistem
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem
(Hartrisari, 2007). Pada proses ini dapat ditentukan komponen yang berpengaruh
dan berperan dalam sistem (Marimin, 2009)
37

2. Tahap Formulasi Permasalahan


Merupakan identifikasi dari kebutuhan stakeholders yang kontradiktif
yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada tujuan kajian.Tujuan sistem akan
sulit tercapai bahkan tidak tercapai bila tahap analisis kebutuhan teridentifikasi
kebutuhan yang saling kontradiktif (Hartrisari, 2007).
3. Tahap Identifikasi Sistem
Pada tahap ini pengkajian sistem mencoba memahami mekanisme yang
terjadi dalam sistem, mengenali hubungan pernyataankebutuhan dengan
pernyataan permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi
kebutuhan tersebut(Hartrisari, 2007). Identifikasi sistem merupakan suatu rantai
hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari
masalah yang harus dipecahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut
(Eriyatno, 2003). Hal ini sering digambarkan dalam bentuk diagram lingkar
sebab-akibat (causal loop diagram) dan diagram input-output .
Diagram lingkar sebab-akibat, merupakan model yang menekankan
pada pertimbangan kompleksitas dinamis dari sistem dimana model ini
menggambarkan hubungan sebab akibat antar variabel-variabel yang
bersangkutan dalam bentuk garis lengkung untuk menghubungkan mana yang
merupakan variable penyebab dan mana yang merupakan variabel akibat yang
biasa disebut diagram sebab akibat atau Causal Loop Diagram/CLD ( Kholil, et
al. 2009)
Diagram input – output menggambarkan hubungan antara output yang
akan dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan
formulasi permasalahan (Hatrisari,2002). Diagram input-output sering disebut
diagram kotak gelap karena diagram ini tidak menjelaskan bagaimana proses
yang akan dalami input menjadi output yang diinginkan.Diagram input-output ini
disajikan pada Gambar 11.
38

Input Lingkungan

Input tidak terkontrol


Output Yg
Diinginkan

PROSES

Input Terkontrol Output tidak


terkontrol

Umpan Balik

Gambar 11 Diagram Input-Output

4. Pemodelan Sistem
Model merupakan penyederhanan sistem dimana sistem adalah sangat
kompleks sehingga tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan
seluruh proses yang terjadi dalam sistem (Hartisari, 2007).Pemodelan yang
efektif merupakan keterkaitan antara dunia maya yang dinyatakan dalam model
dengan dunia nyata sehingga tujuan model sebagai penyederhanaan sistem akan
tercapai (Hartrisari, 2007)
Pembuatan suatu model dimaksudkan untuk memahami dengan cepat
mekanisme proses yang terjadi dalam suatu sistem dalam rangka mencapai suatu
tujuan, memprediksi suatu kondisi yang akan datang dengan model yang bersifat
kuantitatif dan untuk menunjang proses pengambilan suatu keputusan.
Menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan
kajian sistem, menyusun hipotesis, memformulasi model, menguji model dan
menganalisis model dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi sesuai dengan
tujuan yang telahditetapkan dan hal yang penting yangdilakukan dalam tahap ini
adalah menetapkan variable penting yang merupakan representasi dari sistem.
Pilihan dalam membangun Model adalah dapat dilakukan dengan
Pemodelan dengan Kotak Gelap (Black Box) dan Pemodelan Mekanistik
39

(Berdasarkan Pemahaman Proses) seperti diagram Forester yang dapat


menjelaskan proses yang terjadi dari sistem yang dimodelkan(Hartrisari, 2007).
Berdasarkan hasil berbagai output model tersebut maka dapat dipilih skenario
mana yang terbaik sebagai dasar pengambilan keputusan.Beberapa model lainnya
yang digunakan dalam pemecahan masalah adalah sebagai berikut :
a. Diagram venn, berguna untuk kajian kedudukan suatu suprasistem sistem-
sub sistem dan sistem lain.
b. Diagram pohon, membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor apa saja
yang berhubungan dengan masalah sistem yang akan diteliti.
c. Model kotak hitam yang biasa disebut dengan model masukan – keluaran,
yang berarti proses transformasi dari sistem yang isi dan kegiatan didalamnya
tidak diketahui.
d. Model elemen organisasi yang memperhatikan elemen masukan ,proses dan
keluaran, elemen masukan yang berupa sumber daya; proses berupa
subsistem organisasi yang mentransformasikan masukan menjadi produk,
produk merupakan hasil transformasi masukan yang masih berupa keluaran
tahap awal.
e. Model dinamis, suatu model yang terdiri dari kumpulan dari variabel yang
saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam suatu kurun waktu.
Setiap variabel berkorespondensi dengan suatu besaran yang nyata atau
besaran yang dibuat sendiri. Semua variabel tersebut memiliki nilai numerik
dan sudah merupakan bagian dari dirinya. Pada waktu mensimulasikan
model, variabel-variabel akan saling dihubungkan membentuk suatu sistem
yang dapat menirukan kondisi sebenarnya (Kholil,et al.2009).
5. Pengujian Model
Model yang akan dipergunakan harus disesuaikan dengan permasalahan
yang dihadapi agar mempermudah pemahaman dan pemecahan masalah yang
dihadapi. Oleh karena itu perlu diuji model tersebut apakah model yang dibangun
memang diperuntukkan sebagai dasar pengambilan keputusan bagi penyelesaian
permalahan yang dihadapi (Hartisari, 2007).Pengujian model mencakup tiga hal
penting yakni :
a. Pengujian Kesesuaian Model, melihat kebenaran persamaan yang digunakan,
melihat kesesuaian prosedure perhitungan dan meyakinkan bahwa model
telah bebas dari kesalahan teknis
40

b. Evaluasi Model, melihat kesesuaian antara hasil model dengan realitas serta
dengan tujuan yang telah ditentukan
c. Validasi Model, melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas
bila model dijalankan dengan data yang lain. Validasi merupakan usaha untuk
menyimpulkan model apakah model sistem yang dibangun merupakan
perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji, yang dapat menghasilkan
kesimpulan yang menyakinkan (Eriyatno, 1999).
2.9. Model Keputusan AHP
Salah satu model yang dipergunakanuntuk pengambilan keputusan pada
pembuatan kebijakan adalahMetode AHP yangdikembangkan oleh Thomas L.
Saaty, yang terdiri dari sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan
efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan
mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan
tersebut kedalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu
susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang
pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk
menetapkan variable yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan
bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika. Metode ini
adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas
persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses
pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-
bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi
nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana
yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil
pada situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang
kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan,
hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot
atau prioritas.Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika
yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai
pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita
secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah
dibuat (Saaty, 1993).
41

Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks


dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan
dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau
prioritas.Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika
yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai
pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita
secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah
dibuat (Saaty, 1993). Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai
bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan “sama penting”,
sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang “penting absolut”
dibandingkan dengan yang lainnya seperti disajikan dalam Tabel 1Skala Saaty
Tahapan analisis data adalah sebagai berikut (Saaty, 1993) :
1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan
dan menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan
dengan cara mempelajari referensi dan berdiskusi dengan para pakar yang
memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan
dengan permasalahan yang dihadapi.
2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan
umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan
alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
3. Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif
setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat
diatasnya. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP
berdasarkan “judgement” atau pendapat dari para responden yang
dianggap sebagai “ key person“. Mereka dapat terdiri atas: 1) pengambil
keputusan; 2) para pakar; 3) orang yang terlibat dan memahami
permasalahan yang dihadapi.
4. Matriks pendapat individu, formulasinya dapat disajikan pada
Tabel 2. C1, C2, ..... Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam
hierarki berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden
tersebut dihilangkan. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan
berpasangan membentuk matriks n x n. Nilai aij merupakan nilai matriks
pendapat hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan Ci
terhadap Cj.
42

5. Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang


elemen-elemennya berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks
pendapat individu yang nilai rasio inkonsistensinya memenuhi syarat.

Tabel 1 Skala Saaty

Tingkat
Kepenting Definisi Penjelasan
an
1 Kedua elemen sama penting Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
penting daripada elemen yang mendukung satu elemen disbanding
lain elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih Pengalaman dan penilaian sangat
penting daripada elemen yang kuat mendukung satu elemen
lain disbanding elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih Satu elemen dengan kuat didukung
penting dari elemen lainnya dan dominan terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen
penting dari elemen lainnya yang satu terhadap elemen lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada dua
pertimbangan yang berdekatan kompromi diantara dua pilihan
Kebalikan Jika untuk aktifitas I mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktifitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i

Tabel 2 Matriks Pendapat Individu

C1 C2 ……. Cn

C1 1 a12 ….…
A =(aij ) C2 1 / a12 1 …….
….. ……. …… 1
Cn 1/a1n 1/a2n ……. 1

6. Pengolahan horisontal, yaitu : a) Perkalian baris; b) Perhitungan


vector prioritas atau vektor ciri (eigen vektor); c) Perhitungan akar ciri
(eigen value) maksimum, dan d) Perhitungan rasio inkonsistensi. Nilai
43

pengukuran konsistensi diperlukan untuk menghitung konsistensi jawaban


responden
7. Pengolahan vertikal, digunakan untuk menyusun prioritas
pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap
sasaran utama.
8. Revisi Pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat
cukup tinggi (>0,1).
Keunggulan AHP adalah sebagai berikut :
a. Struktur yang berhierarki merupakan konsekuensi dari kriteria yang
dipilih sampai pada subkriteria paling dalam.
b. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.
c. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas
pengambil keputusan.
d. Dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks dan strukturnya tidak
beraturan, bahkan permasalahannya yang tidak berstruktur sama sekali.
e. Kurang lengkapnya data tertulis atau data kuantitatif mengenai
permasalahan tidak mempengaruhi kelancaran proses pengambilan
keputusan karena penilaian merupakan sintesis pemikiran berbagai sudut
pandang responden.
f. Sesuai dengan kemampuan dasar manusia dalam menilai suatu hal
sehingga memudahkan penilaian dan pengukuran elemen
g. Metode dilengkapi dengan pengujian konsistensi sehingga dapat
memberikan jaminan keputusannya yang diambil.
Kelemahan model AHP adalah sebagai berikut :
a. Untuk melakukan perbaikan keputusan, harus dimulai lagi dari tahap
awal.
b. Kekurangmampuan dalam mengatasi faktor ketidakpresisian yang dialami
oleh pengambil keputusan ketika harus memberikan nilai yang pasti
(pengevaluasian).
c. Perhitungan manual AHP akan memunculkan kesulitan apabila kriteria
yang digunakan lebih dari 10.
d. Terdapat kemungkinan dimana hirarki yang berbeda diaplikasikan pada
masalah yang identik.
44

e. Terdapat kemungkinan perubahan hasil yang berdampak besar akibat


perubahan hirarki yang berskala kecil.
f. AHP tidak dapat diterapkan pada suatu perbedaan sudut pandang yang
sangat tajam/ekstrim di kalangan responden.
g. Responden yang dilibatkan harus memiliki pengetahuan dan pengalaman
yang cukup tentang permasalahan dan metode AHP.
2.8 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG), merupakan model Teknologi Infomasi
Geografis yang multi disiplin ilmu pengetahuan dimana model ini dapat
diaplikasikan dalam bidang apapun dan merupakan alat bantu dalam pengelolaan
informasi yang memiliki 3(tiga) aspek kajian, meliputi referensi ruang,
pengelolaan data/informasi dan pemakaian informasi. Komponen utama SIG
dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: perangkat keras,
perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Kombinasi keempat
komponen ini akan menentukan kesuksesan pengembangan SIG dalam suatu
organisasi (Arronof, 1993).
Kegunaan Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sebagai alat bantu
(tools), data lebih padat karena dalam bentuk digital, kemampuan analisa spasial
lebih cepat dan tipe analisa dapat dikembangkan, pemakai mendapatkan
informasi yang lebih akurat, cepat dan dapat memanipulasi sesuai dengan
spesifikasi yang dibutuhkan (Barus,et al., 2000).

2.9 Penelitian Sebelumnya


Berbagai penelitian yang dilakukan sebelumnya disajikan pada uraian
di bawah ini :
• Marganof, 2007. Model pengendalian pencemaran perairan di Danau
Maninjau Sumatera Barat, Sekolah Pascasarjana IPB 2007. Penelitian
inimenyimpulkan bahwa kualitas perairan Danau Maninjau semakin
menurun akibat masuknya beban pencemar baik organik maupun
anorganik yang berasal dari berbagai sumber pencemar. Sumber utama
pencemaran berasal dari kegiatan di sekitar perairan danau, seperti dari
permukiman, pertanian, peternakan dan perhotelan serta kegiatan di badan
air danau yaitu kegiatan keramba jaring apung (KJA). Tujuan utama
penelitian ini adalah untuk membangun model pengendalian pencemaran
45

perairan di Danau Maninjau. Untuk mencapai tujuan utama tersebut,


maka pada penelitian ini dilakukan beberapa kegaitan diantaranya (1)
menentukan kondisi eksisting perairan Danau Maninjau, (2) membangun
suatu model dinamis yang menggambarkan sistem pengendalian
pencemaran perairan di Danau Maninjau, dan (3) merumuskan kebijakan
atau skenario pengendalian pencemaran perairan danau.
• Suroso danSusanto(2006). Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan
Terhadap Debit Banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran, Jurnal Teknik
Sipil, Vol. 3, No.2,Juli 2006. Dalam penelitian inimenyatakan bahwa
perubahan tata guna lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) memberikan
pengaruh cukup dominan terhadap debit banjir. Fenomena tersebut terjadi
di DAS Banjaran khususnya di bagian hulu yang merupakan Kawasan
Wisata Baturraden serta daerah hilir akibat tekanan jumlah penduduk.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sampai sejauh mana dampak yang
ditimbulkan akibat perubahan tata guna lahan di DAS Banjaran terhadap
debit banjir pada titik kontrol di daerah Patikraja. Metode menghitung
debit banjir adalah metode rasional. Data yang diperlukan berupa data
curah hujan, data tata guna lahan dan data topografi. Data curah hujan
yang digunakan adalah data curah hujan harian yang tercatat di stasiun
Ketenger. Data hujan harian ini kemudian ditransformasikan menjadi
intensitas hujan jam-jaman menggunakan metode Mononobe. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, perubahan tata guna lahan di DAS
Banjaran dari 1759. 28 ha sawah, 289.54 ha tegalan, 1284.36 ha
pemukiman pada tahun 1995, menjadi 1603.97 ha sawah, 283.32 ha
tegalan, 1445.88 ha pemukiman pada tahun 2001, menyebabkan
peningkatan debit banjir sungai Banjaran di titik kontrol Patikraja.
Peningkatan debit banjir akibat perubahan tata guna lahan, didekati
dengan mengikuti trend linier dengan persamaan
Y=A+B*X1+C*X2+D*X3. Variabel Y adalah debit banjir, sedangkan
X1,X2, X3 dan X4 masing-masing adalah luas sawah, tegalan,
pemukiman. Koefisien korelasi gabungan sebesar 0,682, nilai A, B, C,
dan D untuk kala ulang 5 tahun kejadian hujan adalah -266.81, 0.09, 0.06,
0.18. Koefisien Korelasi Parsial RYX1=-0.682, RYX2=-0.616,
RYX3=0.682. Dari nilai koefisien korelasi parsial terlihat bahwa tata guna
46

lahan yang paling berpengaruh terhadap debit banjir adalah lahan sawah
dan pemukiman kemudian tegalan
• Kusratmoko, etal.2002. Studi Hidrologi Hutan Kota Kampus
Universitas Indonesia Depok, Makara Sains, Vol.6, No.1, April 2002,
Jurusan Geografi , Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia, Depok, 16424 E-mail: Kusre000@yahoo.com.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengamatan hidrologi di kawasan
hutan kota Kampus Universitas Indonesia Depok telah dilakukan selama
bulan September 2000 - Februari 2001, dalam upaya untuk mengidentifi
kasi pengaruh tutupan lahan terhadap pembentukan aliran air. Hasil
analisis data menunjukkan, bahwa tutupan vegetasi bawah berupa rumput
dan semak pada penggunaan lahan hutan kota di Kampus Universitas
Indonesia memainkan peranan penting sebagai faktor pengontrol
pembentukan aliran permukaan dan bawah tanah, terutama signifi kan
selama kejadian-kejadian hujan konvektif. Proporsi air hujan lolos pada
lokasi tersebut, yang menghasilkan aliran permukaan dan bawah tanah,
bervariasi antara 5,3-7,2%. Sementara pada lokasi pengamatan tanpa
vegetasi bawah dan lapisan seresah dihasilkan angka proporsi aliran
sebesar 12,5-18,9%.
• Tampubolon, 2008. Studi Jasa Lingkungan di Kawasan Danau
TobaCentre of Forest and Nature Conservation Research and
Development (CFNCRD) and International Tropical Timber Organization
(ITTO) Bogor, Mei 2009. Studi ini menyatakan bahwa potensi ekonomi
jasa lingkungan Kawasan Danau Toba sangat besar yaitu Rp.
1.386.311.032.980,80 yang terdiri dari jasa lingkungan air sebesar Rp.
Rp. 785.155.388.680,80; jasa penyerapan karbon sebesar Rp.
599.471.892.800 dan jasa wisata/rekreasi sebesar Rp 1.683.751.500 per
tahun. Sudah barang tentu, nilai ekonomi ini masih di bawah nilai
ekonomi yang sesungguhnya karena disamping masih banyak jasa
lingkungan yang belum dihitung juga disebabkan penilaian ekonomi jasa
lingkungan selalu under - price. Kawasan Danau Toba berperan sebagai
penyedia (provider) jasa lingkungan berupa sumberdaya air, sekuestrasi
karbon, wisata/rekreasi dan jasa lainnya. PLTA, PDAM, DMI,
47

hotel/restoran, usaha perikanan, transportasi, dan lain-lain berperan


sebagai pemanfaat terutama dikaitkan dengan pemanfaatan secara
ekonomi. Pemanfaatan jasa sekuestrasi karbon dapat melalui skema CDM
dan REDD baik dalam negeri maupun internasional. Sampai saat ini
belum ada mekanisme pembayaran jasa lingkungan (transfer of payment)
antara pemanfaat dengan penyedia serta lembaga (instansi) formal dan
regulasinya (UU atau Perda). Selama ini pemanfaat jasa lingkungan
(pengusaha) hanya sebatas pemanfaatan CSR-nya bagi konservasi
sumberdaya alam dan lingkungan di Kawasan Danau Toba, yang sudah
barang tentu tidak mencukupi. Secara teori dapat disimpulkan bahwa,
apabila seluruh dana jasa lingkungan diinvestasikan bagi konservasi
sumberdaya alam dan lingkunganmaka kelestarian jasa lingkungan di
Kawasan Danau Toba akan tercapai.
• Simanihuruk, 2005. Pendekatan Partsipasif Dalam Perencanaan
Konservasi Lingkungan Di Daerah Tangkapan Air Danau Toba”
Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2. Hasil
penelitiannya adalah kondisi lingkungan DTA Danau Toba berupa
penutupan lahan hutan, kualitas air danau menurun, erosi dari areal
pertanian besar, dan sarana prasarana kurang terurus. Pelaksanaan
kegiatan proyek masih banyak yang mengalami kegagalan karena
pelaksanaannya sebagian besar masih pendekatan dari atas (top-down
approach), kurang melibatkan masyarakat dalam perencanaannya
sehingga masyarakat kurang berpartisipasi dalam menjaga, memelihara,
dan mendukung pelaksanaan kegiatan.Perbaikan lingkungan DTA Danau
Toba mutlak sebagai usaha memperbaiki keles-tarian air Danau Toba
sekaligus mening-katkan parawisata yang menurun sejak tahun 1997,
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agar
pelaksanaan kegiatan yang akan datang dapat berjalan lebih lancar maka
sejak perencanaan masyarakat ikut dilibatkan, yakni dengan
melaksanakan PRA. Tanah marga yang tidak diusahakan selama ini
karena pemiliknya tidak ditempat maka diusulkan untuk membuat kontrak
dengan pemerintah dengan marga, agar lahannya ditanami sesuai dengan
prinsip konservasi tanah dan air. Lahan dan hasil tanaman tetap menjadi
48

hak marga tapi lahan mutlak diusahakan dan dikelola mengikuti prinsip
konservasi tanah dan air.
• Parhusip,2005.Penelitian Air Tanah Untuk Pengembangan Daerah
Irigasi di Nainggolan Pulau Samosir,Departemen of Civil Engineering
(2005) ITB Master Theses from JBPTITBSI / 2005-02-03. Dalam
penelitian ini dilakukan survey geolistrik yang terutama ditujukan untuk
mengetahui daerah prospek perlapisan tanah sebagai akifer. Pada daerah
prospek tersebut diteliti juga keberadaan parameter akifer, seperti
ketebalan, kedalaman, maupun konduktivitas hidrolik akifer melalui uji
pemompaan sumur (pumping test). Sistem irigasi pertanian pada daerah
penelitian, khususnya tanaman padi, umumnya adalah tadah hujan. Saat
ini sudah mulai diterapkan sistem irigasi dengan memompa air langsung
dari danau, yang diangkat ke elevasi tertentu yang selanjutnya
didistribusikan dengan gravitasi. Hasil penelitian menunjukkan
terdapatnya akifer bebas yang berpotensi untuk digunakan sebagai sumber
air irigasi. Simulasi numerik yang dilakukan menunjukkan bahwa potensi
ketersediaan air daerah penelitian mampu untuk melayani air irigasi
sawah tanaman padi seluas 140 Ha. Untuk kondisi "optimis" penurunan
air di dalam sumur sekitar 2,4 m, sedangkan untuk kondisi "pesimis"
sekitar 5,5 m. Karena muka airtanah (MAT) di daerah persawahan cukup
dangkal (orde3m) maka kedalaman sumur untuk dapat mengairi sawah
seluas 140 Ha tersebut sekitar 5,4 m ("optimis") dan 8,5 m ("pesimis"),
sehingga eksploitasi air akan relatif mudah. Dengan demikian sumber air
ini dapat dimanfaatkan untuk perencanaan irigasi dengan "sumur pompa",
untuk menggantikan sistem pemompaan langsung dari Danau Toba.
Penerapan sistem irigasi ini, akan relatif lebih murah, efisien, akrab, dan
sederhana (teknologi tepat guna), serta pola tanam dapat menjadi 2-3 kali
per tahun maupun budi daya tanaman unggulan dapat dilakukan,
disamping penambahan luas lahan pertanian.
• Siti,2008.Rencana Penataan Kawasan Wisata yang Berkelanjutan di
Danau Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon).
Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana IPB. Penelitian
ini menyatakan bahwa Danau Toba terletak di Propinsi Sumatera Utara,
49

Indonesia dan tercatat sebagai danau air tawar terbesar di Asia Tenggara
dan salah satu danau yang terdalam di dunia (lebih dari 500 m) yang
ditengahnya terdapat Pulau Samosir dan pada saat ini diusulkan sebagai
World Heritage. Kondisi topografi Danau Toba berada pada ketinggian
906 - 1800 m dpl didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan
kenyamanan fisik berupa temperatur udara yang sejuk dan potensi visual
danau. Sumberdaya danau dan pegunungan memberikan daya tarik bagi
perkembangan wisata, yaitu berupa pemanfaatan kawasan danau dan
pegunungan baik secara fisik maupun visual. Keindahan alam Danau
Toba menjadikan kawasan ini menjadi daerah kunjungan wisata yang
sangat potensial, dan telah berkembang menjadi kawasan wisata yang
populer baik dalam skala nasional maupun internasional. Pada saat ini
kawasan Danau Toba telah mengalami kerusakan fisik, visual dan
ekologis sehingga terus cenderung menurun kualitasnya. Bila hal tersebut
tidak dicegah, dapat menurunnya kualitas fisik danau dan kualitas
sumberdaya wisata sehingga berdampak terhadap jumlah kunjungan
wisata dan selanjutnya akan menurunkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini merencanakan
penataan kawasan wisata yang berkelanjutan, yang bertujuan untuk (1)
identifikasi dan analisis potensi ekologis danau dan potensi wisata, (2)
identifikasi dan analisis keikutsertaan masyarakat lokal dan pemerintah
dalam mendukung pengembangan kawasan wisata, dan (3) Merencanakan
penataan kawasan wisata Danau Toba yang berkelanjutan (sustainable
tourism). Penelitian dilakukan di sub DAS Naborsahon yang berada di
dalam Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba dan pada saat ini penuh
dengan aktivitas dan akomodasi wisata. Observasi dilakukan terhadap
lima desa yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir, yaitu desa
Sipangan Bolon, Girsang, Parapat, Tigaraja dan Pardamean Ajibata.
Penelitian ini memakai tiga model analisis, yaitu metode deskriptif
kualitatif untuk mengklasifikasi kawasan potensi wisata, metode spasial
digunakan untuk kawasan wisata berkelanjutan berdasarkan kepekaan
lingkungan, sosial ekonomi masyarakat dan potensi wisata, dan yang
terakhir adalah metode Analisis Hierarki Proses (AHP) digunakan untuk
menentukan skala prioritas dalam pengembangan kawasan wisata secara
50

spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah tengah dan hulu di


sub DAS Naborsahon diklasifikasikan sebagai zona perlindungan, dan
hanya dapat digunakan sebagai kawasan lindung dengan tipe kegiatan
wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata alam yang bersifat
edukasi. Sedangkan daerah hilir sebagai zona tidak lindung dan dapat
direncanakan dan dirancang sebagai zona wisata secara intensif dan
ekstensif. Masyarakat daerah hulu kurang antusias untuk pengembangan
daerahnya sebagai kawasan wisata karena kehidupan mereka umumnya
bertumpu pada bidang pertanian, sedangkan masyarakat hilir sangat
menerima pengembangan dan penataan kawasan wisata karena sudah
berkembang sejak dahulu sebagai daerah wisata dan masyarakat sangat
tergantung pada kegiatan tersebut untuk menambah pendapatan.
Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya wisata yang sesuai sebaiknya
dilakukan terhadap wilayah pengembangan wisata untuk mencapai wisata
berkelanjutan.
53 

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah disajikan pada bab sebelumnya,
penelitian ini akan melakukan kajian terhadap kondisi ekologis daerah tangkapan
air Danau Toba. Kajian akan dilakukan untuk mengetahui perubahan penggunaan
lahan, perubahan tata ruang, kependudukan dan kondisi sumber daya fisik selama
beberapa tahun pada daerah tangkapan air kawasan Danau Toba serta pengaruh
langsungnya terhadap kondisi hidrologis Danau Toba.
Aspek kuantitas Danau Toba dikaji dengan menganalisa neraca air Danau
Toba dengan menghitung ketersediaan air, pemanfaatan air dan cadangan air
Danau Toba setiap tahunnya dengan tujuan untuk mengendalikan fluktuasi tinggi
muka air di bendung Siruar dalam rangka menjamin pasokan air untuk
pengoperasian PLTA Asahan. Kajian ini dilakukan dengan menganalisa pengaruh
curah hujan, iklim, karakteristik topografi, tutupan lahan selama beberapa tahun
sebelumnya dengan memakai metode F.J.Mock (Sri Harto Br. 1988)
Persepsi para pakar terhadap pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi
daerah tangkapan air Danau Toba akandianalisa menjadi kelengkapan model
kebijakan konservasi sumber daya air danau. Tahapan penelitian diawali dengan
survey pengumpulan data primer dan sekunder, hasil survei ini dianalisis dengan
memakai metode AHP.
Ketiga kajian dan data tersebut di atas dijadikan acuan dalam penyusunan
model dengan menggunakan model dinamis untuk melihat saling keterkaitan antar
faktor dan untuk mendapatkan skenario kebijakan konservasi danau melalui
Sistem Dinamis. Alur penelitian disajikan pada Gambar 12.
52 

KAJIAN EKOLOGIS

MODEL
KAJIAN
KAJIAN KONSERVASI
PERSEPSI
NERACA SUMBER DAYA AIR
PAKAR
AIR
F.J.MOCK
SISTEM DINAMIS AHP

REKOMENDASI

Gambar 12. Alur Penelitian

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 7 (Tujuh) Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara


yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten
Toba, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Karo dan
Kabupaten Dairi. Kabupaten yang mengelilingi langsung kawasan Danau Toba

 
53 

disajikan dalam Gambar Lampir 1. Penelitian dilakukan selama 10 (Sepuluh)


bulan.

3. Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan meliputi peta peta topografi, data pengelolaan
lahan, peta kawasan hutan, peta kemiringan lahan, peta bentuk lahan, peta
geologi, pata tanah, peta rencana tata ruang wilayah, data distribusi hujan, Citra
Satelit, perangkat GIS/SIG) dan kuesioner untuk wawancara dengan para pakar.

4. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder.Data primer dikumpulkan dengan metode wawancara dengan para
pakarobservasi lapangan, diskusi, sumbang saran, kuesioner. Data sekunder
dikumpulkan dari studi perpustakaan, penelitian yang ada kaitannya sebelumnya
dan dari instansi yang terkait. Data yang diperlukan adalah data untuk
menganalisis kondisi ekologis, kependudukan, data untuk menganalisis kondisi
neraca air dan persepsi pakar seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sumber dan Cara Pengambilan Data

 
54 

No. Data dan Informasi Sumber Data Jenis Data

I. Kajian Kondisi Ekologis


1 Peta Rupa Bumi (RBI) digital 1: 50.000 Bakosurtanal Sekunder
2 Peta Admisitrasi, digital 1:50.000 Bakosurtanal Sekunder
3 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bappeda Sumut Sekunder
(WRTRWP)
4 Peta Tutupan Lahan, digital 1:50.000 BPEKDT Sekunder
5 Peta Geologi, digital 1:50.000 BPEKDT Sekunder
6 Citra Landsat, 2001 &2007 Biotrop/Lapan Sekunder
7 Peta Topografi, digital 1:50.000 Hasil Analisis Sekunder
8 Peta Tanah, digital 1:50.000 Puslittanak Bogor Sekunder

II. Kajian Neraca Air


1 Data Curah Hujan BMG Sumut Sekunder
2 Data Iklim BMG Sumut Sekunder
3 Kependudukan BPS Sumut Sekunder
4 Debit ke Sungai Asahan Otorita Asahan Sekunder
5 Tinggi Permukaan Air Danau Toba Otorita Asahan Sekunder
5 Debit air dari luar DTA Balai DAS Sekunder
III. Kajian Neraca Air
1 Persepsi Pakar Wawancara Primer
BPEKDT = Badan Pengelola Ekosistem Kawasan Danau Toba; BMG=Badan Meteorologi dan
Geofisika; DAS = Daerah Aliran Sungai; DTA= Daerah Tangkapan Air

5. Metode Analisis

1. Kajian kondisi ekologis perairan Danau Toba dan


sekitarnya

1. Letak dan luas

Letak dan luas daerah tangkapan air dianalisa dengan dengan


menggunakan peta digital topografi Danau Toba dengan skala 1: 50.000. Untuk
menentukan luas dan batasan daerah tangkapan air ini dipergunakan perangkat
lunak Arc GIS.

 
55 

2. Analisis Sumberdaya Fisik DTA


Setiap daerah tangkapan air danau memiliki karakter biofisik yang berbeda
yang mencerminkan tingkat kepekaan dan potensi suatu daerah tangkapan air.
Pengumpulan data fisik dengan mencatat beberapa faktor yang dominan pada
suatu wilayah akan mencerminkan karakteristik suatu DTA. Faktor-faktor
pengontrol karakteristik DTA antara lain adalah faktor iklim, kondisi tanah,
geologi dan faktor hidrologi. Untuk menggambarkan kondisi sumberdaya fisik
DTA Danau Toba maka digunakan data iklim, data tanah, data geologi dan data
topografi. DTA Danau Toba memiliki karakteristik fisik yang khas yang sangat
rentan terhadap berbagai perubahan penutupan dan penggunaan lahan maupun
terhadap kegiatan manusia di dalam DTA. Karakteristik fisik yang khas ini
mencakup (1) iklim, (2) kondisi jenis tanah, (3) kondisi formasi batuan dan (4)
kondisi topografi, seperti diuraikan di bawah ini.
1. Faktor Iklim
Kondisi iklim DTA Danau Toba digambarkan oleh tipe iklim,
data suhu udara, kelembapan udara, penyinaran matahari dan
kecepatan angin yang diambil dari data stasiun klimatologi yang
ada di sekitar Danau Toba mulai tahun 1997 sampai dengan
tahun 2007.
2. Faktor Tanah. Pada dasarnya data-data tanah diperoleh dari data
sekunder yaitu data hasil pemetaan paling kini yang ada di Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat(Puslittanak).
3. Faktor Geologi.
Untuk mendapatkan peta kondisi geologimaka dilakukan dengan
menumpang tindihkan peta digital geologi skala 1:50.000 dengan
peta digital RBI skala1:50.000 sehingga dapat dilihat stabilitas
geofisik daerah penelitian.
4. Faktor Topografi
Faktor topografi dinalisis dengan menggunakan peta Rupa
Bumi Indonesia dengan batasan daerah tangkapan air. Hasil

 
56 

analisis menghasilkan peta ketinggian dan peta kemiringan


daerah tangkapan air.

1. Analisis Penggunaan Lahan

Untuk menganalisa kondisi perubahan penggunaan lahan dipergunakan


aplikasi GIS.Informasi penggunaan lahan diperoleh melalui interpretasi Citra
Landsat tahun perekaman 2001 dan 2005 menggunakan ERDAS Imagine.
Perubahan penggunaan lahan diketahui dengan menumpangtindihkan (overlay)
peta penggunaan lahan tahun 2001 dan 2005 dengan Citra Landsat tahun
perekaman 2001 dan 2005 dan didapatkan peta perubahan penggunaan lahan
dengan perangkat lunak Arc Gis9.

2. Analisis Kemampuan Lahan


Metode yang dilakukan untuk menganalisa kemampuan lahan adalah
dengan mengkonfirmasikan lokasi dan luas penggunaan lahan dengan peta satuan
lahan daerah tangkapan air. Metode dilakukan dengan menumpang tindihkan peta
penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan sehingga didapat perbedaan
antara penggunaan lahan dengan peta kemampuan lahan.

3. Analisis Tataruang
Analisis tata ruang ini dilakukan dengan mengkonfrontasikan  Peta Rencana Tata 
Ruang  Wilayah  Propinsi  (RTRWP)  dengan  Peta  Kemampuan  Lahan  serta  Peta 
Penggunaan Lahan hasil analisis terdahulu dengan cara overlay. Melalui analisis ini, akan 
diketahui apakah penggunaan lahan telah sesuai  dengan  alokasi  rencana  dalam 
RTRWP  

 
57 

2. Kajian Neraca Air Danau

1. Analisa Curah Hujan Rata-Rata

Untuk menentukan besarnya hujan rata-rata pada daerah aliran digunakan data
curah hujan maximum setiap hujan dari stasuin hujan dengan metoda Poligon
Theissen, dengan rumus (2.1)

R rata-rata = Curah hujan rata-rata (mm )


R1,R2,….Rn = Curah hujan disetiap titik pengamatan (mm )
n = Jumlah pengamatan
A1,A2,….An = Luas daerah pengaruh stasiun hujan ( km2)

2. Analisa Evapotranspirasi
Evapotranspirasi Potensial (ETp=e)
Perhitungan  nilai  ETp  menggunakan  metode  Dr.  Thornthwaite  yang 
memanfaatkan  suhu  udara  sebagai  indeks  ketersediaan  energi  panas  untuk 
berlangsungnya  proses  Evapotranspirasi  dengan  asumsi  suhu  udara  tersebut 
berkorelasi dengan radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses 
(Sosrodarsono, 1976). 

ETp = e = 1,6 * (10*t/I) a   ………………(2.4) 

a = 0,000000675.I³ – 0,0000771.I² + 0.017921.I + 0.49239  

a
 ; 

e  =  Evapotranspirasi  potensial  bulanan  (cm/bulan)  dan  t  =  suhu  rata‐rata 


bulanan (ºC)  

Evapotranspirasi Terbatas (ET)

 
58 

Perbedaan evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi


terbatas dibanding dengan evapotranspirasi potensial dihitung menurut
metode F.J.Mock (Sri Harto Br. 1993)dengan rumus :
(ETp – ET)/ETp = (m/20)(18-n)............................................(3.5)
(ETp – ET) = ETp* (m/20)(18-n)
ET = ETp – [ETp*(m/20)(18-n)]…………….. (3.6)
dimana m = singkapan lahan (Exposed surface (%) dan n = jumlah hari
hujan dalam sebulan.
  Infiltrasi dan Run Off 

Surplus Curah Hujan (Water Balance) adalah curah hujan yang


jatuh ke permukaan daratan setelah mengalami evapotranspirasi yang
dirumuskan dengan :
WS = CH- ET ……………………………….…..(3.7)
I    =   WS x i  …………………………………….(3.8) 

DRO    =   WS – I  …………………………………….(3.9) 

Vn     =  [0.5 x ( 1+k ) x I ] + (  k x Vn‐1 ) 

Bf     =  I x ( Vn – Vn‐1 )…………..…………..….(3.10) 

CH = Curah hujan; ET = Evapotranspirasi, I = infiltrasi, WS=


surplus air, i = koefisien infiltrasi, DRO = direct run off, Vn= simpanan air
tanah bulan ini; Vn-1= simpanan air tanah bulan lalu; Bf= aliran dasar. 
Limpasan merupakan gabungan atau penjumlahan dari limpasan
permukaan dengan aliran dasar yang masuk ke sungai atau ke danau
merupakan komponen hidrograf (Sosrodarsono, 1976)
RO    =  Bf + DRO……………………………(3.11) 

RO = Run Off atau limpasan.

3. Analisa Ketersediaan Air Danau dengan Metode


FJ. Mock
Debit inflow adalah debit air yang masuk ke danau yang berasal
dari curah hujan yang di pengaruhi oleh factor klimatologi dan kondisi
 

 
59 

daerah tangkapan. Untuk perhitungan debit inflow ini, digunakan dengan


Metode FJ. Mock (Sriharto Br., 1988)
Hujan netto : (Pnet)= P – ET

Evapotranspirasi aktual : ET = ETp – [ETp*(m/20)*(18-n)]

Kelebihan air : (WS) = Pnet – SS

Perubahan kandungan air tanah : dVt = Vt – Vt-1

Kandungan Air tanah : Vt = ½ (1+k).I + k. Vt-1

Laju Infiltrasi : I = Ci . WS

Aliran Air tanah : BF = I – dVt

Aliran langsung : DRO = WS – I

Aliran permukaan: : RO = BF + DRO

Dalam satuan debit : Q = 0,0116 . RO . A/H

Pnet = hujan netto, dalam mm; P = hujan, dalam mm; Eto =


evapotranspirasi potensial, dalam mm; Eta = evapotranspirasi aktual, dalam mm;
WS = kelebihan air, dalam mm; SS = daya serap tanah atas air, dalam mm; SM =
kelembaban tanah, dalam mm; dV =perubahan kandungan air tanah, dalam mm;
Vt = kandungan air tanah, dalam mm; I = laju infiltrasi, dalam mm; Ci =
koefisien infiltrasi (<1); k = koefisien resesi aliran air tanah (<1); DRO = aliran
langsung, dalam mm; BF = aliran air tanah, dalam mm; RO = aliran permukaan,
dalam mm; H = jumah hari kalender dalam sebulan, hari; m = bobot lahan tak
tertutup vegetasi (0 < m< 40%); A = luas DAS, dalam km2; Q = debit aliran
permukaan, m3/det

4. Analisa Neraca Air

 
60 

Konsep neraca air pada dasarnya menunjukkan keseimbangan antara jumlah air 
yang  masuk  ke,  yang  tersedia  di,  dan  yang  keluar  dari  sistem  (sub  sistem)  tertentu 
seperti yang disajikan pada Gambar 13. 

Ev

P  ET  Ev 

Qro 
Qs   
 t1 
∆S   t2  O1 
Qbf 
Danau
O3 

Gambar 13 Neraca Air Danau


Secara umum persamaan neraca air danau dirumuskan sebagai berikut :

I = O ± ∆S atau I - O = ± ∆S

Masukan Air (Inflow Water)adalah :

I =I1 + I2 + I3+I4

I1 = P x Aw;I2 = Hujan netto x Ad = (P- ET) x Ad= (Qro +


Qbf ) x Ad; I3 = Qs ; I4= Ql
Dimana : I = Jumlah air yang masuk ke danau (inflow); O= Jumlah air
yang keluar dari danau (outflow); ∆S=Perubahan jumlah air di danau ; I1 =
jumlah hujan yang langsung masuk ke danau; I2=jumlah hujan yang jatuh ke
daratan; I3=debit sungai dari luar dta; P=Curah Hujan Rata-rata;Ev= Evaporasi
Danau; Aw= Luas Danau; Qro= Debit Run Off ; Qbf= Debit Base Flow; Ad=
Luas Daratan; , Qs =Debit Sungai dari luar ; ET =Evapotranspirasi;Ql = debit
yang lainnya

 
61 

Keluaran Air (Outflow Water) adalah :


O = O1+O2 + Ev + O3
O1= Debit Air Sungai yang keluar di Siruar, O2= Kebutuhan Air minum,
Ev = Evaporasi danau, ∆S=Perubahan Tinggi Permukaan Danau=(t1–t2)xAw,
t1=Elevasi awal permukaan danau, t1=Elevasi akhir permukaan danau, Aw=Luas
Danau; O3 = debit yang lainnya yang ke luar danau.

3. Kajian Persepsi Pakar


1. Metode Analisis Kebijakan
Perumusan arahan kebijakan pengendalian ruang kawasan Danau Toba
digunakan metode analytical hierarchy process (AHP). Penggunaan AHP
dimaksudkan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik
dengan cara: (1) memilih faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan konservasi
sumberdaya air Danau Toba yan berkelanjutan; (2) memilih aktor yang paling
berpengaruh dalam penentuan kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba;
(3) mengamati dan meneliti ulang tujuan yang tepat dalam konservasi sumberdaya
air Danau Toba; (4) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan dan
membuat strategi secara optimal, dengan menentukan prioritas kegiatan.
Tahapan AHP dimulai dengan yang bersifat umum, yaitu menjabarkan
kedalam sub tujuan yang lebih rinci yang dapat menjelaskan apa yang dimaksud
dalam tujuan umum, Penjabaran terus dilakukan hingga diperoleh tujuan yang
bersifat operasional. Pada setiap hierarki dilakukan proses evaluasi atas alternatif
alternatif. Tahap terpenting dari AHP adalah melakukan penilaian perbandingan
berpasangan (pairwise comparisons) guna mengetahui tingkat kepentinagn suatu
kriteria terhadap kriteria lain. Penilaian dilakukan dengan membandingkan
sejumlah kombinasi elemen yang ada pada setiap hierarki sehingga dapat
dilakukan penilaian kuantitatif untuk mengetahui besarnya nilai setiap elemen.
Penilaian perbandingan berpasangan dilakukan melalui pendapat pakar.
Menurut Saaty, ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan
AHP, yaitu prinsip menyusun hirarki (Decomposition), prinsip menentukan
prioritas (Comparative Judgement), dan prinsip konsistensi logis (Logical
Consistency). Hirarki yang dimaksud adalah hirarki dari permasalahan yang akan
dipecahkan untuk mempertimbangkan kriteria-kriteria atau komponenkomponen

 
62 

yang mendukung pencapaian tujuan. Dalam proses menentukan tujuan dan hirarki
tujuan, perlu diperhatikan apakah kumpulan tujuan beserta kriteria-kriteria yang
bersangkutan tepat untuk persoalan yang dihadapi. Dalam memilih kriteria-
kriteria pada setiap masalah pengambilan keputusan perlu memperhatikan
kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Lengkap, kriteria harus lengkap sehingga mencakup semua aspek yang
penting, yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk
pencapaian tujuan.
2. Operasional, dalam artian bahwa setiap kriteria ini harus mempunyai
arti bagi pengambil keputusan, sehingga benar-benar dapat menghayati
terhadap alternatif yang ada, disamping terhadap sarana untuk
membantu penjelasan alat untuk berkomunikasi.
3. Tidak berlebihan, menghindari adanya kriteria yang pada dasarnya
mengandung pengertian yang sama.
4. Minimum, diusahakan agar jumlah kriteria seminimal mungkin untuk
mempermudah pemahaman terhadap persoalan, serta
menyederhanakan persoalan dalam analisis.
Untuk menyelesaikan persoalan dengan AHP menggunakan prinsip
sebagai berikut :

1. Menyusun Hirarki(Decomposition)
Setelah persoalan didefinisikan maka perlu dilakukan decomposition, yaitu
memecahpersoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya.Jika ingin mendapatkan
hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sehingga
didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi.Karena alasan ini maka proses
analisis ini dinamai hirarki (Hierarchy). Pembuatan hirarki tersebut tidak
memerlukan pedoman yang pasti berapa banyak hirarki tersebut dibuat,
tergantung dari pengambil keputusan-lah yang menentukan dengan
memperhatikan keuntungan dan kerugian yang diperoleh jika keadaan tersebut
diperinci lebih lanjut. Ada dua jenis hirarki, yaitu hirarki lengkap dan hirarki tidak
lengkap. Dalam hirarki lengkap, semua elemen pada semua tingkat memiliki

 
63 

semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Jika tidak demikian maka
dinamakan hirarki tidak lengkap.

2. Menentukan Prioritas (ComparativeJudgement)


Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua
elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat yang
diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen. Hasil dari penilaian ini akanditempatkan dalam bentuk
matriks yang dinamakan matriks pairwise comparison. Dalam melakukan
penilaian terhadap elemen yang diperbandingkan terdapat tahapan yakni:a.
Elemen mana yang lebih (penting/disukai/berpengaruh/lainnya) dan b. Berapa kali
sering (penting/disukai/berpengaruh/lainnya). Agar diperoleh skala yang
bermanfaat ketika membandingkan dua elemen, perlu memahami tujuan. Dalam
penyusunan skala kepentingan, Saaty menggunakan patokan pada Tabel 4.

Tabel 4 Skala Kepentingan

 
64 

Tingkat
Definisi Penjelasan
Kepentingan
1 Kedua elemen sama penting Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
penting daripada elemen yang lain mendukung satu elemen disbanding
elemen yang lainnya
5 Elemen yang satu lebih penting Pengalaman dan penilaian sangat
daripada elemen yang lain kuat mendukung satu elemen
disbanding elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting Satu elemen dengan kuat didukung
dari elemen lainnya dan dominan terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen yang
penting dari elemen lainnya satu terhadap elemen lain memiliki
tingkat penegasan tertinggi yang
mungkin menguatkan
2,4,6,8 Nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada dua
pertimbangan yang berdekatan kompromi diantara dua pilihan
Kebalikan Jika untuk aktifitas I mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktifitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i

Dalam penilaian kepentingan relative dua elemen berlaku aksioma


reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka
elemen j harus sama dengan 1/3 kali pentingnya dibanding elemen i. Disamping
itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, artinya
sama penting. Dua elemen yang berlainan dapat saja dinilai sama penting. Jika
terdapat m elemen, maka akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran
m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks ini adalah
n(n-1)/2 karena matriks reciprocal dan elemen-elemen diagonalnya sama dengan
satu.
Synthesis of Priority
Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen
vectornya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks-matriks pairwise
comparison terdapat pada setiaptingkat, maka untuk mendapatkan global priority
harus dilakukan sintesis antara local priority.Pengurutan elemen-elemen menurut
kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting.
3. Konsistensi Logis (Logical Consistency)
 

 
65 

Konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa


dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.Arti kedua adalah
menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria
tertentu.

1. Penggunaan AHP
AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya
untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya,
menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa
depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit
usaha dan permasalahan kompleks lainnya. Secara umum, langkah-langkah dasar
dari AHP dapat diringkas dalam penjelasan berikut ini:
1. Mendefinisikan masalah dan menetapkan tujuan. Bila AHP digunakan untuk
memilih alternatif atau penyusunan prioritas alternatif, maka pada tahap ini
dilakukan pengembangan alternatif.
2. Menyusun masalah dalam struktur hirarki. Setiap permasalahan yang kompleks
dapat ditinjau dari sisi yang detail dan terstruktur.
3. Menyusun prioritas untuk tiap elemen masalah pada tingkat hirarki. Proses ini
menghasilkan bobot elemen terhadap pencapaian tujuan, sehingga elemen
dengan bobot tertinggi memiliki prioritas penanganan. Langkah pertama pada
tahap ini adalah menyusun perbandingan berpasangan yang ditransformasikan
dalam bentuk matriks, sehingga matriks ini disebut matriks perbandingan
berpasangan.
C merupakan kriteria dan memiliki n dibawahnya, yaitu A1 sampai dengan An.
Nilai perbandingan elemen Ai terhadap elemen Aj dinyatakan dalam aij yang
menyatakan hubungan seberapa jauh tingkat kepentingan Ai bila dibandingkan
dengan Aj. Bila nilai aij diketahui, maka secara teoritis nilai aji adalah 1/aij,
sedangkan dalam situasi i=j adalah mutlak 1. Nilai numerik yang dikenakan
untuk perbandingan diatas diperoleh dari skala perbandingan yang dibuat oleh
Saaty pada tabel diatas. Untuk menyusun suatu matriks yang akan diolah
datanya, langkah pertama yang dilakukan adalah menyatukan pendapat para
responden melalui rata-rata geometrik yang secara sistematis ditulis sebagai

 
66 

berikut:Aij = (Z1,Z2,Z3,…,Zn)1/n ; Dimana aij menyatakan nilai rata-rata


geometrik, Z1 menyatakan nilai perbandingan antar kriteria untuk responden ke
1, dan n menyatakan jumlah partisipan. Pendekatan yang dilakukan untuk
memperoleh nilai bobot kriteria adalah dengan langkah-langkah berikut:
a. Menyusun matriks perbandingan

b. Matriks perbandingan hasil normalisasi

4.Melakukan pengujian konsistensi terhadap perbandingan antar elemen yang


didapatkan pada tiap tingkat hirarki. Konsistensi perbandingan ditinjau dari per
matriks perbandingan dan keseluruhan hirarki untuk memastikan bahwa urutan
prioritas yang dihasilkan didapatkan dari suatu rangkaian perbandingan yang
masih berada dalam batas-batas preferensi yang logis. Setelah melakukan
perhitungan bobot elemen, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian
konsistensi matriks. Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan bantuan table
Random Index (RI) yang nilainya untuk setiap ordo matriks dapat dilihat pada
Tabel5 berikut ini:

Tabel 5 Random Index

Urutan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Matriks

(RI) 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49

 
67 

Dengan tetap menggunakan matriks diatas, pendekatan yang digunakan


dalam pengujian konsistensi matriks perbandingan adalah:
1. Melakukan perkalian antara bobot elemen dengan
nilai awal matriks & membagi jumlah perkalian
bobot elemen dan nilai awal matriks dengan bobot
untuk mendapatkan nilai eigen yang nilainya
disampaikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai Eigen

Tujuan Sub-1 Sub-2 Sub-3 Jumlah Bobot(w) Nilai Eigen

(1) (2) (3) (4)=1+2+3 (5)=(4)/3 (6)=(5)/(4)

Sub-1 0,13 0,11 0,17 0,41 0,13 3,15

Sub-2 0,26 0,21 0,17 0,63 0,21 3,05

Sub-3 0,52 0,84 0,66 1,97 0,66 3,06

2. Mencari nilai Consistency Index (CI)


Mencari nilai matriks
Nilai matriks merupakan nilai rata-rata dari nilai eigen yang didapatkan
dari perhitungan sebelumnya.

3. Mencari nilai Consistency Index (CI)

d. Mencari nilai Consistency Ratio (CR)

Suatu matriks perbandingan disebut konsisten jika nilai CR < 0,10.

 
68 

5. Melakukan pengujian konsistensi hirarki. Pengujian ini bertujuan untuk


menguji kekonsistensian perbandingan antara kriteria yang dilakukan untuk
seluruh hirarki.Total CI dari suatu hirarki diperoleh dengan jalan melakukan
pembobotan tiap CI dengan prioritas elemen yang berkaitan dengan faktorfaktor
yang diperbandingkan, dan kemudian menjumlahkan seluruh hasilnya. Dasar
dalam membagi konsistensi dari suatu level matriks hirarki adalah mengetahui
konsistensi indeks (CI) dan vektor eigen dari suatu matriks perbandingan
berpasangan pada tingkat hirarki tertentu.

CR Hij = Rasio konsistensi hirarki dari matriks perbandingan berpasangan


matriks i hirarki pada tingkat j yang dikatakan konsistensi jika nilainya <10%.
CI Hij = Indeks konsistensi hirarki dari matriks perbandingan i pada tingkat j.
RI Hij = Indeks random hirarki dari matriks perbandingan berpasangan i pada
hirarki tingkat j.
CIi,j = Indeks konsistensi dari matriks perbandingan berpasangan i pada hirarki
tingkat j.
EVi,j = Vektor eigen dari matriks perbandingan berpasangan i pada hirarki
tingkat j yang berupa vektor garis.
CIi,j + 1 = Indeks konsistensi dari matriks perbandingan berpasangan yang
dibawahi matriks i pada hirarki tingkat j+1 berupa vektor kolom.
RIi,j = Indeks random matriks perbandingan berpasangan i hirarki pada tingkat
j.
RIi,j + 1 = Indeks rasio dari orde matriks perbandingan berpasangan yang
dibawahi matriks i pada hirarki tingkat j+1 berupa vektor kolom.

 
69 

Menurut Saaty (1994) tahapan analisa data dengan AHP adalah: (1)
Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah; (2) Membuat struktur
hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, sub-sub tujuan, kriteria
dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan
hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui
persoalan yang sedang dikaji.

4. Struktur Hirarki
Untuk menganalisis kebijakan secara rasional dengan memilih alternatif
yang paling disukai oleh para pakar, maka dipakai metode Analytical Hierarchy
Process (AHP). Bagan alir dtruktur hirarkinya disajikan pada Gambar 14.

  KEBIJAKAN KONSERVASI
SUMBER DAYA AIR DANAU TOBA

FAKTOR

SUMBER DAYA SUMBER DAYA KEBIJAKAN TEKNOLOGI


ALAM MANUSIA PEMERINTAH

AKTOR

PEMERINTAH MASYARAKAT PENGUSAHA AKADEMISI LSM

TUJUAN.

EKOLOGI NERACA AIR SOSIAL KELEMBAGAAN EKONOMI

ALTERNATIP

KONSERVASI KONSERVASI KONSERVASI KONSERVASI KONSERVASI


HUTAN PADA KAWASAN KAWASAN KAWASAN KAWASAN
KAWASAN HUTAN PERTANIAN PEMUKIMAN  PARAWISATA INDUSTRI

 
70 

Gambar 14: Struktur Hirarki Penetapan Prioritas

1. Fokus adalah Kebijakan Konservasi Sumber Daya Air


Danau Toba yang berkelanjutan
2. Faktor terdiri dari Sumber Daya Alam, Sumber Daya
Manusia, Kebijakan Pemerintah dan Teknologi
3. Aktor yang terlibat adalah Pemerintah, Masyarakat, Pengusaha,
Akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat
4. Tujuanadalah Kondisi Ekologis yang baik, Tinggi muka air stabil,
Pelestarian Kawasan Danau, Konservasi Danau dan Pemanfaatan
Air secara ekonomi
5. Alternatif kebijakannya meliputi konservasi kawasan hutan, lahan,
pertanian, pemukiman, kawasanparawisata dan kawasan industry.

6. Pemodelan Sistem

Untuk membuat pemodelan maka dipakai Pendekatan Sistem yang


merupakan metodologi pemecahan masalah yang dimulai dengan
mengidentifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu
operasi dari sistem yang dianggap efektif.Pendekatan sistem ini dilakukan untuk
menunjukkan kinerja intelektual berdasarkan perspektif, pedoman, model,
metodologi dan sebagainya yang diformulasikan untuk perbaikan secara
terorganisir dari tingkah laku dan perbuatan manusia (Winardi, 1989; Zhu, 1998).
Oleh karena itu, menurut Eriyatno (2007) pada pendekatan kesisteman dalam
penyelesaian suatu permasalahan selalu ditandai dengan (1) Pengkajian terhadap
semua faktor penting yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk
pencapaian tujuan dan (2) Model pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga
permasalahan yang kompleks diselesaikan secara komprehensif.

1. Analisis Kebutuhan

 
71 

Dalam penelitian ini, analisis kebutuhan diarahkan pada pihak yang


mempunyai kepentingan dan keterkaitan terhadap konservasi air danau
dan sekitarnya. Mereka adalah :
1. Masyarakat lokal yaitu masyarakat yang tinggal di sekitar danau yang
memanfaatkan perairan danau untuk berbagai kepentingan.
2. Instansi terkait yaitu dinas instansi pemerintah daerah yang mempunyai
hubungan keterkaitan dengan perairan danau.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu lembaga yang peduli terhadap
kelestarian perairan danau
4. Akademisi yaitu lembaga yang melakukan penelitian pada perairan danau
5. Badan usaha milik negara yaitu perusahaan yang melakukan kegiatan
usaha di perairan danau.
Perkiraan kebutuhan Stakeholder adalah seperti yang disajikan pada
Tabel7

Table 7 Perkiraan Kebutuhan Stake Holder

 
72 

No. Stakeholder Kebutuhan


1 Masyarakat Lokal Kualitas Air tidak turun
Kuantitas Air tidak turun
Kebersihan dan Keindahan danau terjaga
Pendapatan meningkat
Penyediaan lapangan Kerja
Kegiatan budidaya perikanan tetap jalan
Hasil tangkapan masyarakat tidak menurun

2 Data Instansi terkait Elevasi Air danau tidak menurun


Perikanan, Pertanian, Peningkatan PAD
Pariwisata, Pertamanan Penyediaan lapangan kerja
Kehutanan dan PU Kebersihan dan Keindahan danau terjaga
Kualitas Air tidak turun
Kuantitas Air tidak turun
Peningkatan perekonomian masyarakat

3 Lembaga Sosial Kelestarian danau terjamin


Masyarakat ( LSM ) Pendapatan Masyarakat meningkat

4 Akademisi ( Peneliti ) Keanekaragaman Hayati terjaga


Kualitas Air tidak turun
Kuantitas Air tidak turun

5 BUMN : PLTA Ketinggian muka air danau tetap stabil


Kualitas air danau tetap baik.

1. Formulasi Permasalahan
Permasalahan sistem pada dasarnya adalah terdapatnya perbedaan
antara ketersediaan dari kondisi nyata dengan kebutuhan yang
diinginkan.Pada kondisi nyata, permasalahan sistem ditunjukan oleh
adanya isu yang berkembang sehubungan dengan terjadinya penurunan
kualitas perairan dan degradasi lahan di kawasan danau Toba serta
penurunan muka air danau.
Dalam memenuhi kebutuhan air yang berfluktuasi, perubahan besaran
ketersediaan air harus didukung oleh keberadaan sumber dan cadangan air yang
baik.Jumlah air yang diindikasikan oleh tinggi permukaan air harus berada pada
kisaran yang ditetapkan terutama pada bulan-bulan kering sehingga kebutuhan air

 
73 

terutama pasokan air terhadap PLTA Asahan tetap terjamin. Berkurangnya


ketersediaan air akan mengganggu kelangsungan operasional PLTA dan
terganggunya ekosistem danau. Sebaliknya jika terlalu banyak ketersediaan air
maka muka air danau akan naik mengakibatkan terjadi banjir di pinggiran danau.
2. Identifikasi Sistem
Untuk menentukan hubungan sebab akibat maka dipergunakan Causal
Loop Diagram seperti diuraikan pada Gambar14.

Pertumbuhan Penduduk +

Penggunaan Lahan
+
+
+
Kebutuhan
Air Evapotranspirasi

Pemanfaatan Air
+ +
+

Neraca Air Presipitasi


+

+ Aliran
+ +
Permukaan
-
+
+
Evaporasi
Ketersediaan
air danau +

Resapan air
+ dan Aliran
Dibawah Tanah

Gambar 15 : Diagram lingkar sebab akibat

Hubungan antara input (masukan) dan output (keluaran) dalam sistem


digambarkan dalam sebuah diagram inputoutput (masukan-keluaran) seperti
disajikan pada Gambar 15.

  INPUT
INPUT TIDAK LINGKUNGAN
  TERKONTROL Peraturan Pemerintah OUTPUT YANG
1. Curah Hujan DIKENHENDAKI
2. Evapotranspirasi 1. Tinggi Muka Air yang stabil
3. Evaporasi Danau 2. Neraca Air Positip
4. Jenis Tanah
5. Topografi

MODEL
74 

Gambar 16 : Diagram Input-Output

3. Rancang Bangun Model


Untuk pengambilan keputusan yang terbaik pada model konservasi
sumber daya air danau dipakai pemodelan dinamis. Model dinamis ini
diproses menggunakan perangkat lunak Powersim (Power Simulation)
seperti disajikan pada Gambar 17

4. Pengujian Model
Validasi merupakan usaha untuk menyimpulkan model apakah
model sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari
realitas yang dikaji, yang dapat menghasilkan kesimpulan yang
menyakinkan (Eriyatno, 1999).Validasi yang dilakukan adalah
terhadap struktur model dan keluaran model (output
model).Validasitersebut dilakukan dengan membandingkan hasil
keluaran model yang dirancang dengan data obsevasi lapangan pada
suatu periode tertentu.

 
75 

  -
Kualitas
Air
+
Kawasan
Industri
Kawasan
Parawisata

+ +
+
Kawasan
- + Pemukiman
+
Penggunaan
+
Lahan
Kawasan
Terbangun
Pertumbuhan Pertanian
Penduduk

Kawasan - +
+ Hutan

-
-
Evapotran +
spirasi +
+
+
Infiltrasi
Pemanfaatan + Presipitasi
Air

+
+

+
+ Perkolasi

Aliran Evaporasi
Permukaan
+

+ +

Ketersediaan
Air +
Aliran
Dibawah
Tanah
+

Gambar 17: Model Dinamis


.
5. Simulasi
Fluktuasi muka air Danau Toba berkisar antara 903m – 905 dpl yang
memungkinkan terjaminnya pemasokan air untuk menggerakkan turbin PLTA
Asahan. Untuk mengetahui operasi danau tersebut, maka dilakukan pendekatan
sistem tiruan (simulasi) volume atau tinggi muka air danau yang diperlukan
dengan melihat ketersediaan dan kebutuhan air dari waktu ke waktu. Prinsip
perhitungan yang berlaku dalam penelusuran air danau adalah sebagai berikut :
(1) Air yang masuk(I), akan tertampung di dalam danau dalam waktu tertentu dt
sehingga menyebabkan perubahan elevasi muka air kemudian keluar melalui
pemakaian(O). Secara matematis digambarkan sebagai berikut : S t+dt - St = I –
O, dan, dS/dt = I – O dan S t+dt /dt = Irata2 – O rata2

 
76 

I1 = inflow pada waktu t1; I2= inflow pada waktu t2; O1= outflow pada
waktu t1; O2= outflow pada waktu t2; S1= volume danau pada waktu t1dan
S2= volume danau pada waktu t1. dt adalah interval dari waktuSt adalah
volume atau tinggi muka air awalS t+dt adalah kondisi muka air pada akhir.
Simulasi pengendalian tinggi muka air disajikan pada Gambar 18.
 

 
 
Tekanan Karakteristi Hujan
  Penduduk k DTA /Sub

  Evapotranspira
Tata Kemampua
  Ruang nLahan

 
Penggunaa Infiltrasi Direct Run
  n Lahan

  Base Flo w
Evaporasi

Konservasi
Debit Masuk

Persepsi Masyarakat
Vo lu me

Debit Keluar

Kebutuhan Air M inum Rentang Tinggi Muka


Air Danau

Gambar 18 Simulasi Pengendalian Tinggi Muka Air Danau


 

 
77 

2. Rekomendasi

Dari hasil simulasi dapat ditentukan rekomendasi yang terbaik dari peubah
yang dapat dikendalikan untuk memwujudkan tujuan.

2. Persepsi Pakar Tentang Arahan Kebijakan dan Strategi Konservasi


Untuk mengetahui persepsi yang terbaik dari para pakar tentang
konservasi sumber daya air Danau Toba, maka pertanyaan kepada para pakar
difokuskan terhadap Konservasi Kawasan Hutan, Konservasi Kawasan Pertanian,
Konservasi Pemukiman, Konservasi Kawasan Parawisata dan Konservasi
Kawasan Industri. Hasil dari wawancara dengan para pakar dianalisis dengan
AHP untuk mengambil sautau keputusan yang paling terbaik terhadap pihak yang
berkepentingan dengan keberadaan kuantitas air Danau Toba.
Model yang dipergunakan untuk pengambilan keputusan pada pembuatan
kebijakan adalahMetode AHP yangdikembangkan oleh Thomas L. Saaty, yang
terdiri dari sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas
persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses
pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut kedalam bagian-
bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hirarki, memberi
nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan
mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variable yang mana
yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil
pada situasi tersebut.
Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks
dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan
dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau
prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang
bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan
yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif
sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat(Saaty,
1993).

 
78 

3. Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tahapan yang disajikan dalam Gambar 19

 
Pengumpulan Data

Data Sekunder Data Primer


Peta , Penduduk, Kuesioner dan
Sosial dan Wawancara
Ekonomi

KAJIAN  EKOLOGIS DTA

MODEL  KAJIAN 
KAJIAN 
KONSERVASI    PERSEPSI 
NERACA AIR 
SUMBER DAYA AIR  MASYARAKA
T
F.J.MOCK  SISTEM DINAMIS AHP

REKOMENDASI 

Gambar 19 Tahapan Penelitian

4. Kondisi umum lokasi penelitian


Berdasarkan laporan LTEMP No. 01 tahun 2004, kondisi umum lokasi
penelitian yang digambarkan oleh kondisi hidrologi Danau Toba disampaikan
sebagai berikut. Air yang masuk ke dalam Danau Toba berasal dari (1) Air Hujan
yang langsung jatuh di Danau Toba, (2). Air yang berasal dari sungai-sungai yang
masuk ke dalam danau. Di sekeliling danau terdapat 19 Sub DTA yang
merupakan daerah tangkapan air 19 sungai yang masuk ke dalam danau. Sungai-
sungai tersebut adalah : S. Sigubang, Bah Bolon, Sungai Guloan, S. Arun, S.
Tomok, S. Pulau Kecil/Sibandang, S. Halian, S. Simare, S. Aek Bolon, S.
Mandosi, S. Gongpan, S. Bah Tongguran, S. Mongu, S. Kijang, S. Sinabung, S.

 
79 

Ringo, S. Prembakan, S. Sipultakhuda dan S. Silang. Sedangkan satu-satunya


sungai yang merupakan pelepasan air dari danau ini adalah S. Asahan yang
mengalir dan bermuara di Pantai Timur Sumatera Utara. Air yang mengalir ke S.
Asahan ini dimanfaatkan oleh PLTA Asahan. Lima buah sungai yaitu S.
Sigubang, Bah Bolon, Guloan, Arun dan Tomok berada di Pulau Samosir dan
sungai-sungai lainnya berada di daratan Pulau Sumatera.
Data mengenai pengamatan debit pada sungai-sungai yang mengalir ke
dalam Danau Toba ini belum diperoleh. Namun dari hasil beberapa literatur yang
didapatkan bahwa fluktuasi debit antara puncak musim hujan dan musim kemarau
pada sungai-sungai ini relatif lebar. Pada puncak musim hujan debit sungai
meningkat cepat sebaliknya pada musim-musim kemarau debit sungai-sungai ini
sangat rendah. Pada kondisi hujan normal masukan air dari sungai-sungai tersebut
3
berkisar antara 41,613 m /det pada bulan Juli (puncak musim kemarau) sampai
3
dengan 124,914 m /det pada bulan November (puncak musim hujan). Pada tahun
kering 1997, debit aliran masuk ke dalam danau dari sungai-sungai tersebut
3 3
berkisar antara 8,56 m /det pada bulan Januari sampai dengan 62,539 m /det pada
bulan April. Sedangkan pada tahun basah 1999, debit aliran masuk ke dalam
3
danau dari sungai-sungai tersebut berkisar antara 83,535 m /det pada bulan
Agustus sampai dengan 493,812 pada bulan Mei (LTEMP, 2004)
Berdasarkan pengamatan selama 14 tahun (1986 – 1999) tercatat bahwa
tinggi rata-rata buma air bulanan Danau Toba ini berkisar antara 903,65 m dpl
(bulan September) sampai dengan 904,04 m dpl (bulan Mei). Sedangkan tinggi
muka air maksimum bulanan berkisar antara 904,62 m dpl (bulan September)
sampai dengan 905,23 m dpl. (bulan Mei). Tinggi muka air minimum bulanan
berkisar antara 902, 28 m dpl (bulan Agustus) sampai dengan 902,88 m dpl.
(bulan Februari). Kisaran paling lebar tinggi muka air danau bulanan antara
902,28 m dpl – 905,23 m dpl, dengan demikian perbedaan tinggi muka air danau
maksimum-minimum paling lebar yang terjadi selama periode ini sebesar 2,95
meter (LTEMP, 2004)
Berdasarkan data tinggi muka air dari tahun 1997-2007 yang didapat dari
pengamatan PT. Otorita Asahan menunjukkan fluktuasi muka air sekitar 2,8

 
80 

meter. Muka air tertinggi terjadi pada bulan Januari tahun 2004 sebesar 905,08 m
dpl dan terendah terjadi pada bulan Juli tahun 1998 sebesar 902,28 m. Tinggi
muka air merupakan refleksi dari neraca air yang terjadi di daerah tangkapan air.
Dari hasil analisis ditemukan tinggi permukan danau rata-rata berada pada elevasi
903,85 m dpl.  

 
77

Bab IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Ekologis Daerah Tangkapan Air


Penilaian kondisi ekologis DTA Danau Toba dilakukan terhadap daerah di
dalam batas daerah tangkapan air danau. Kondisi yang dinilai adalah kondisi
sumber daya fisik, kemampuan lahan, penggunaan lahan, tata ruangserta tekanan
penduduk. Kondisi ekologis ini mencirikan potensi ketersediaan air di daerah
tangkapan air Danau Toba.
4.1.1 Letak dan Luas
Letak dan luas daerah tangkapan air dianalisa dengan menggunakan peta
digital topografi Danau Toba skala 1: 50.000 dan software ArcView sehingga
didapatkan peta DTA Danau Toba, seperti di sajikan pada Gambar20 dan hasil
seperti dijelaskan berikut ini.
a. Letak
Daerah Tangkapan Air Danau Toba terletak di antara 2010’LU-300’LU dan
98020’BT-99050’BT, diantara pegunungan Bukit Barisan di Propinsi Sumatera
Utara. Secara administratif, DTA ini terdapat di kabupaten: (1) Toba Samosir, (2)
Simalungun, (3) Karo, (4) Dairi, (5) Humbang Hasundutan, (6) Tapanuli Utara
dan (7) Samosir.
b. Luas
Total luas Daerah Tangkapan Air Danau Toba adalah seluas 379.940,348
ha, terdiri dari luas perairan 104.528,25 ha (1.045,2825 km2), luas daratan
275.412.10 ha (2,754.12 km2). Luas DTA di masing-masing kabupaten disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9 Kabupaten yang masuk di DTA Danau Toba
No Kabupaten Luas (ha) %
1 Dairi 6.375,97 2,39%
2 Humbang Hasundutan 38.572,68 14,47%
3 Karo 5.844,75 2,19%
4 Samosir 103.286,94 38,74%
5 Simalungun 21.349,91 8,01%
6 Tapanuli Utara 11.465,09 4,30%
7 Tobasamosir 79.736,11 29,90%
Jumlah 266.631,45 100,00%

 
 
78

Gambar 20 Peta Administrasi DTA Danau Toba


79

Perbandingan luas DTA Danau Toba dengan luas perairan danaunya


sendiri adalah 379.940,348 ha dibanding dengan 104.528,25 ha atau 3,6. Artinya,
luas perairan Danau Toba adalah 28% dari luas DTA Danau Toba atau luas DTA
Danau Toba adalah 3,6 kali luas danaunya. Ini mencirikan bahwa potensi
tangkapan air DTA Danau Toba relatif kecil dibandingkan luasan danau.
4.1.2 Iklim
Kondisi iklim DTA Danau Toba digambarkan oleh tipe iklim, suhu udara,
kelembaban udara, penyinaran matahari dan kecepatan angin dari data yang
diambil dari stasiun Klimatologi Parapat mulai tahun 1997 sampai dengan tahun
2007. Komponen iklim ini akan mempengaruhi ketersediaan dan keluaran air
Danau Toba.

a. Tipe Iklim
Menurut sistem klasifikasi iklim Oldeman, daerah tangkapan air Danau
Toba termasuk ke dalam tipe iklim B1, C1, C2, D2, dan E2. Bulan basah (Curah
Hujan ≥ 200 mm/bulan) bervariasi 3 – 9 bulan, sedangkan bulan kering (Curah
Hujan ≤ 100 mm/bulan) berturut-turut antara 2 – 3 bulan. Menurut sistem
klasifikasi iklim Scmidt dan Ferguson, DTA Danau Toba termasuk ke dalam tipe
iklim A, B dan C.

b. Temperatur
Suhu rata-rata pada DTA Danau Toba adalah 20,63ºC. Suhu bulanan rata-
rata yang terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 19,70 ºC dan tertinggi pada
bulan Agustus sebesar 21,40 ºC. Suhu terendah yang pernah terjadi adalah 15,10
ºC pada bulan Januari 1997 dan yang tertinggi 22,80 ºC berada pada bulan Maret
2001 serta pada bulan Agustus 2001. Temperatur udara pada tahun 1997-2007,
disajikan pada Tabel Lampiran 1.

c. Kelembaban Udara
Kelembaban rata-rata tahunan adalah 82,61 %, kelembaban maksimum
rata-rata berada pada bulan Nopember sebesar 86,07% dan minimum pada bulan
Juli sebesar 78,02%. Kelembaban udara pada tahun 1997-2007 disajikan pada
Tabel Lampiran 2

 
 
80

d. Penyinaran Matahari
Penyinaran matahari rata-rata adalah 48 %, maksimum rata-rata bulanan
adalah 53% yang terjadi pada bulan Februari dan Maret dan minimum rata-rata
bulanan terjadi pada bulan Oktober. Pada periode tahun 1997 – 2007,
penyinanaran matahari maksimum terjadi pada bulan Januari 1997 sebesar 70%
dan minimum sebesar 30% pada bulan Oktober 20007, seperti dijelaskan pada
Tabel Lampiran 3

e. Kecepatan Angin
Kecepatan angin dari mulai tahun1997- 2007 yang didapatkan dari stasiun
Klimatologi Parapat Kabupaten Simalungun disajikan pada Tabel Lampiran 4.
Kecepatan angin bulanan rata-rata adalah 2,66 m/det, kecepatan angin bulanan
maksimum terjadi pada bulan Juli sebesar 3,37 m/det dan minimum ratarata
terjadi pada bulan Januari sebesar 2,45 m/det. Kecepatan angin terbesar yang
pernah terjadi selama tahun 1997 – 2007 adalah pada bulan Juli 2006 sebesar 5,40
m/det dan terkecil terjadi pada bulan Juni 1997 sebesar 0,50 m/det.

4.1.3 Jenis Tanah


Menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT)
Wilayah I, Medan 1987 menurut sistem klasifikasi Puslitanak, jenis tanah di DTA
Danau Toba di bagian timur memiliki jenis tanah Komplek Litosol dan Regosol
yang sangat peka terhadap erosi. Dibagian tenggara, jenis tanahnya adalah
Podsolik Coklat yang juga peka erosi. Di bagian barat, jenisnya tanah podsolik
coklat (peka erosi), sedangkan di Pulau Samosir, jenis tanahnya sebagian besar
merupakan jenis tanah agak peka erosi (LTEMP, 2004). Lebih kurang 58,6 %
DTA Danau Toba mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap erosi dengan
kondisi topografi yang berat (daerah bergelombang sampai dengan curam).
Dengan kondisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa DTA Danau Toba
memiliki kapasitas penyimpanan air sangat rendah sekalipun curah hujan cukup
tinggi.
Jika diklasifikasikan dengan sistem klasifikasi tanah USDA (1998), yang
dilakukan dengan menumpang tindihkan peta digital RBI skala 1:50.000 dengan
81
 

Peta Tanah yang bersumber dari Puslitanak Bogor, maka didapat hasil seperti
dijelaskan pada Gambar Lampiran 1 dan Tabel 10

Tabel 10 Jenis tanah DTA Danau Toba

Luas
No Tanah
(ha) (%)
1 Dystrandepts 20.893,32 7,83
2 Dystropepts 32.348,15 12,12
3 Eutropepts 63.254,02 23,71
4 Flupaquents 5.914,60 2,22
5 Hapludalfs 2.079,84 0,78
6 Humitropepts 8.775,90 3,29
7 Hydrandepts 89.347,44 33,49
8 Tropaquepts 22.464,34 8,42
9 Tropohemists 2.585,55 0,97
10 Lereng Terjal 19.148,72 7,18
Total 266.811,89 100,00

Jenis tanah Hydrandepts merupakan jenis tanah yang mendominasi DTA


Danau Toba.Tanah ini memiliki luasan sebesar 89.347,44 ha (33,49%) yang
tersebar di sekeliling Danau Toba dengan kemiringan lereng yang agak landai.
Hydrandepts merupakan tanah Inceptisol yang berasal dari bahan abu dan volkan
yang berada di daerah dataran, bergelombang dan berbukit. Tanah ini bertekstur
dari lempung hingga debu dan mempunyai sifat kepekaan terhadap erosi yang
besar. Tanah ini termasuk ordo Inceptisol yang merupakan tanah muda, tetapi
lebih berkembang daripada tanah Entisol. Umumnya mempunyai horizon penciri
kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini
cukup subur. Tanah ini memiliki sifat andik (memiliki bahan organik tinggi) dan
biasanya berada di lokasi berair/tergenang.
Jenis tanah yang terluas kedua di daerah penelitian ini adalah Eutropepts
yang merupakan jenis tanah turunan dari inceptisol, umumnya ditemukan pada
daerah yang mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur. Tanah ini
sangat dangkal dan berwarna terang dimana di daerah tangkapan Danau Toba
terdapat sekitar 23.71 %. Tanah ini memiliki luasan sebesar 63.254,02 ha
(23,71%) yang tersebar di tengah pulau Samosir dan di dekat Danau Toba sebelah
tenggara dengan kemiringan lereng yang agak datar. Tanah ini belum berkembang

 
 
82

lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Tanah ini berlokasi
berada di daerah tropika yang memiliki cuaca terus menerus panas (hangat) dan
memiliki memiliki tingkat kejenuhan basa tinggi.
Dystrandepts. Jenis tanah ini termasuk ordo Inceptisol yang merupakan
tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada tanah Entisol.Umumnya
mempunyai horizon penciri kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut,
sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Tanah ini memiliki sifat andik
(memiliki bahan organik tinggi) dan memiliki tingkat kejenuhan basa yang
rendah. Tanah ini memiliki luasan sebesar 20.893,32 ha (7,83%) yang tersebar di
sekeliling Danau Toba yang memiliki kemiringan lereng yang agak landai sampai
agak curam.
Dystropepts. Jenis tanah ini termasuk ordo Inceptisol yang merupakan
tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada tanah Entisol. Umumnya
mempunyai horizon penciri kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut,
sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Tanah ini berlokasi berada di
daerah tropika yang memiliki cuaca terus menerus panas (hangat) dan memiliki
memiliki tingkat kejenuhan basa rendah. Tanah ini memiliki luasan sebesar
32.348,15 ha (12,12%) yang tersebar di sekeliling Danau Toba yang memiliki
kemiringan lereng yang agak landai yaitu di sebelah barat dekat Danau Toba dan
di sebelah timur dekat batas DRA Danau Toba.
Fluvaquents. Jenis tanah ini termasuk ordo Entisol merupakan tanah yang
masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada
horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Tanah ini memiliki
warna kelabu kebiruan karena adanya pengaruh penggenangan oleh air dan
biasanya sering ditemukan karatan. Selain itu juga tanah ini memiliki bahan
organik menurun tidak teratur terhadap kedalaman tanah. Tanah ini memiliki
luasan sebesar 5.914,60 ha (2,22%) yang tersebar di P.Samosir dengan
kemiringan lereng yang agak datar.
Hapludalfs. Jenis tanah ini termasuk ordo Alfisol merupakan tanah-tanah
yang terdapat penimbunan liat di horison bawah (terdapat horison argilik) dan
mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm
dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari
83
 

horison di atasnya dan tercuci kebawah bersama dengan gerakan air. Tanah ini
biasanya terdapat di daerah lembab (humid). Selain itu juga, tanah ini memiliki
tingkat perkembangan yang masih baru/muda dan susunan horison yang masih
sedikit.
Humitropepts. Jenis tanah ini termasuk ordo Inceptisol yang merupakan
tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada tanah Entisol.Umumnya
mempunyai horizon penciri kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut,
sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Tanah ini berlokasi berada di
daerah tropika yang memiliki cuaca terus menerus panas (hangat) dan biasanya
memiliki lapisan bahan organik halus di lapisan atasnya (Humus). Tanah ini
memiliki luasan sebesar 8.775,90 ha (3,29%) yang tersebar di tengah pulau
Samosir dengan kemiringan lereng yang agak landai.
Tropaquepts. Jenis tanah ini termasuk ordo Inceptisol yang merupakan
tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada tanah Entisol. Umumnya
mempunyai horizon penciri kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut,
sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Tanah ini biasanya berada di
lokasi berair/tergenang dan berada di daerah tropika yang memiliki cuaca terus
menerus panas (hangat). Tanah ini memiliki luasan sebesar 22.464,34 ha (8,42%)
yang tersebar di pulau Samosir dan di dekat perairan Danau Toba.
Tropohemist, Jenis tanah ini termasuk ordo Histosol merupakan tanah-
tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% (untuk tanah bertekstur
pasir) atau lebih dari 30% (untuk tanah bertekstur liat). Lapisan yang mengandung
bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Tanah ini memiliki bahan
organik dengan tingkat dekomposisi sedang (hemik) dan berada di daerah tropika
yang memiliki cuaca terus menerus panas (hangat). Tanah ini memiliki luasan
sebesar 2.585,55 ha (0,97%) yang tersebar setempat-setempat di dekat perairan
Danau Toba dengan kemiringan lereng datar.
4.1.4 Geologi
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Pematang Siantar, Sumatera, skala
1:250.000 (Clarke, etal. 1982) dan Peta Geologi Lembar Sidikalang, Sumatera,
skala 1:250.000 (Aldiss, et al. 1983), daerah penelitian disusun oleh berbagai
macam formasi batuan. Batuan tersebut dipengaruhi oleh struktur geologi di

 
 
84

beberapa tempat tertentu, disertai dengan kegiatan intrusi seperti disajikan pada
Gambar Lampiran 3 dan Tabel 11.

Tabel 11 Formasi Geologi DTA Danau Toba

No Simbol Nama Formasi Geologi Luas (ha) %


1 MPi Intrusi Granit Minor 15,31 0,01
2 MPikt Granit Keteran 60,18 0,02
3 Mtk Formasi Kualu 355,62 0,13
4 Mtks Formasi Kuala 1.553,86 0,58
5 Ppal Formasi Alas 183,12 0,07
6 Pub Formasi Bohorok 7.95586 2,98
7 Puk Formasi Kluet 13.795,67 5,17
8 Put Kel.Tapanuli Tak Terpisahkan 3.964,23 1,49
9 QTt Formasi Tutut 103.23 0,04
10 Qh Aluvium 26.268,59 9,85
11 Qps Formasi Samosir 72.923,50 27,33
12 Qvpb Pusat Pusuk Buhit 2.880,92 1,08
13 Qvss Pusat Sipisopiso 512,03 0,19
14 Qvt Tufa Toba 123.988,07 46,47
15 Qvtsa 1.062,75 0,40
16 Tmip Mokrosiorit Parapat 410,03 0,15
17 Tmppt Formasi Peutu 3.433,70 1,29
18 Tmvh Formasi Gunung Api Haranggaol 4.543,32 1,70
19 Tuvsu Formasi Gunung Api Surungan 2.801,92 1,05
Total 266.811,89

Formasi batuan yang terdapat di DTA Danau Toba, diuraikan di bawah ini.
¾ Anggota Batu gamping Formasi Alas (Ppal), terutama terdiri dari pualam,
sekis-kalk, genes, lapisan batu gamping pejal dan batugamping kristalin,
termasuk Tapanuli Group, bersentuhan sesar dengan formasi batuan di
sekitarnya yang diduga berumur Karbon Akhir hingga Perem Awal.
¾ Satuan Tufa Toba (Qvt) terutama terdiri dari tufa berkomposisi riodasit
yang sebagian teralaskan, berumur Plistosen. Formasi geologi ini
merupakan formasi yang memiliki luasan yang paling luas di DTA Danau
Toba sebesar 123.988,07 ha atau 46,47% dari total luasan DTA Danau
Toba.
¾ Anggota Batugamping Formasi Kuala (Mtks), terdiri dari lapisan batu
gamping pejal Sibaganding, batu gamping kristalin dan batu gamping
85
 

terumbu, termasuk Peusangan Group, diduga berumur Perem Akhir hingga


Trias Akhir.
¾ Anggota Batu Pasir Formasi Peuteu (Tmppt), terutama terdiri dari lapisan
lempung serpihan berwarna abu-abu kehitaman serta kecoklatan,
umumnya menyerpih, diduga berumur Miosen Tengah.
¾ Formasi Batuan Gunungapi Haranggaol (Tmvh), terdiri dari lava dan
breksi andesit, dasit serta piroklastik, diduga berumur Miosen Atas.
¾ Formasi Bohorok (Pub) terutama terbentuk oleh batu pasir konglomeratan
(pebbly mudstone), Formasi Kluet (Puk) terdiri dari fasies yang lebih
halus. Kelompok Tapanuli Tak Teruraikan (Put).
Jenis batuan yang teridentifikasi di DTA Danau Toba diantaranya adalah
tuf Toba, formasi Samosir, baik yang terbentuk di lapisan mudanya atau yang
lebih tua umur batuannya. Di sekitar Danau Toba, terdapat batuan intrusif yang
terbentuk sejak zaman tersier. Wilayah jenis batuan ini meliputi lingkar luar
Danau Toba serta pada wilayah bagian timur Sumatera Utara yang rendah.
Sekeliling Danau Toba terdapat batuan Tuff (abu vulkanik) yang dicirikan oleh
struktur pasir dan mudah lepas.Formasi batuan yang terbentuk ini telah
mengakibatkan pada daerah tertentu DTA rawan terhadap terjadinya longsor,
mempunyai potensi resapan, akuifer cukup tinggi dan daerah yang tidak dapat
meresapkan air, tergantung pada jenis formasi batuan yang terbentuk pada DTA
ini dan penyebarannya (LTEMP,2004). Selanjutnya dokumen LTEMP
menyebutkan bahwa kawasan ini memiliki formasi sebagaimana diuraikan di
bawah ini.
(1) Batuan yang mempunyai potensi resapan tinggi, akuifer baik tetapi juga
mempunyai potensi erosi dan longsoran yang tinggi. Kawasan ini merupakan
kawasan yang mampu menyimpan air hujan dan mengalirkannya secara kontinyu
ke dalam danau sehingga dapat menjaga debit pasokan ke dalam danau pada
waktu musim kemarau tetapi mempunyai potensi longsoran dan erosi yang tinggi,
sehingga agar fungsi hidroorologisnya tetap terjaga dan laju erosi serta potensi
longsoran yang terjadi dapat ditekan maka kawasan seperti ini harus tertutup oleh
vegetasi hutan.

 
 
86

(2) Batuan yang mempunyai potensi resapan dan akuifer buruk, potensi longsoran
dan erosi rendah. Kawasan ini hanya dapat melalukan air hujan yang jatuh sebagai
aliran permukaan. Perubahan penggunaan lahan pada kawasan seperti ini juga
kurang berpengaruh nyata terhadap fungsi hidroorologis DTA secara keseluruhan
sehingga pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas perairan Danau Toba juga
kurang nyata.
(3) Batuan yang mempunyai potensi resapan sedang sampai tinggi, akuifer baik,
potensi erosi rendah, potensi longsor sedang. Kawasan ini berfungsi sebagai
kawasan resapan yang menyimpan air hujan dan menjadi suplai/pasokan air
selama musim kemarau. Penutupan hutan pada kawasan seperti ini akan semakin
meningkatkan potensi resapannya
(4) Batuan yang mempunyai potensi resapan sedang sampai tinggi, akuifer sedang
sampai baik, sedangkan potensi erosi rendah,`potensi longsor sedang. Kawasan ini
berfungsi sebagai kawasan resapan yang akan banyak menyimpan air hujan dan
menjadi suplai/pasokan air selama musim kemarau. Penutupan hutan pada
kawasan seperti ini akan semakin meningkatkan potensi resapannya.
(5) Batuan yang mempunyai potensi resapan rendah sampai sedang, akuifer buruk
sampai sedang, potensi erosi rendah sampai sedang, potensi longsor sedang.
Kawasan seperti ini berfungsi sebagai kawasan resapan yang akan banyak
menyimpan air hujan dan menjadi /pasokan air selama musim kemarau apabila
penutupan lahannya merupakan hutan alam.
(6) Batuan yang mempunyai potensi resapan sedang sampai tinggi, akuifer sedang
sampai baik, potensi erosi rendah sampai sedang, potensi longsor sedang sampai
tinggi. Kawasan seperti ini berfungsi sebagai kawasan resapan yang banyak
menyimpan air hujan dan menjadi suplai/pasokan air selama musim kemarau.

4.1.5 Topografi
a. Ketinggian Tempat
Topografi kawasan pinggiran Danau Toba didominasi daerah pegunungan.
Data ketinggian tempat disajikan pada Tabel 12 dan Gambar Lampiran 4.
87
 

Tabel 12 Ketinggian Tempat DTA Danau Toba

No K e ting gia n te m pa t L ua s (h a) %
(m dp l)
1 85 3 - 1 00 0 59 .44 8,9 9 2 2,2 8
2 10 00 - 11 50 39 .82 8,6 5 1 4,9 3
3 11 50 - 13 00 37 .63 7,2 1 1 4,1 1
4 13 00 - 14 50 57 .20 5,7 7 2 1,4 4
5 14 50 - 16 00 35 .52 8,4 3 1 3,3 2
6 16 00 - 17 50 17 .48 7,3 6 6,5 5
7 17 50 - 19 00 14 .25 5,2 9 5,3 4
8 19 00 - 21 00 5 .29 4,0 6 1,9 8
9 21 00 - 22 66 12 6,1 1 0,0 5
To ta l 2 66 .81 1,8 9

Daerah Tangkapan Air Danau Toba terletak pada ketinggian 853 m dpl -
2266 m dpl dan permukaan danau berada pada ketinggian 905 m dpl. Sekitar
77,72 % daerah tangkapan air Danau Toba berada diatas ketinggian 1000 m dpl
dan 63,79 % berada pada ketinggian antara 1000 - 1600 m dpl. Sisanya, sebesar
13,92 % berada pada daerah ketinggian antara 1600 - 2266 m dpl.
b. Kemiringan Lereng
Daratan pada daerah tangkapan air Danau Toba didominasi (84.59%) oleh
daratan yang berbukit-bukit hingga bergunung (kemiringan >3%). Kemiringan
DTA Danau Toba disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 5

Tabel 13 Kemiringan Lereng DTA Danau Toba

Persentase
No Luas (ha) %
Kemiringan Lereng
1 0–3 41.127,72 15,41
2 3–8 79.857,79 29,93
3 8 – 15 54.689,74 20,50
4 15 – 25 33.206,51 12,45
5 25 – 40 24.705,14 9,26
6 >40 33.224,99 12,45
Jumlah 266.811,89

Kemiringan lereng DTA Danau Toba yang termasuk curam (kemiringan


15%-40%) mencapai 21,71% dan daerah yang sangat curam/terjal (kemiringan

 
 
88

>45%) mencapai 12,45% dari luas total DTA, terutama di daerah-daerah


sekeliling danau. Kondisi topografi tersebut di atas, mengakibatkan DTA
memiliki potensi aliran permukaan yang tinggi dan menyimpan air hujan yang
rendah. Hasil analisis lereng dengan cara Dr. Mononobe (Sosrodarsono, 1978)
menunjukkan bahwa koefisien limpasan air adalah 0,60 dan koefisioen infiltrasi
adalah 0,4 seperti disajikan pada Tabel 14

Tabel 14 Koefisien limpasan dan koefisien infiltrasi DTA Danau Toba

Koefisien Perkiraan Koefisien


Kemiringan
No Luas (ha) % Keterangan Limpasan Koefisien Limpasan
Lereng
(Dr. Mononobe) Limpasan x Luas (ha)
1 0 -3 41.127,72 15,41 Datar 0.45 -0.60 0,45 18.507,47
2 3-8 79.857,79 29,93 Landai/Berombak 0.45 - 0.60 0,50 39.928,90
3 8 - 15 54.689,74 20,50 Agak Miring/ Bergelombang 0.50 - 0.75 0,60 32.813,84
4 15 - 25 33.206,51 12,45 Miring/Berbukit 0.70 - 0.80 0,70 23.244,56
5 25 - 40 24.705,14 9,26 Agak Curam 0.75 - 0.90 0,75 18.528,86
6 >40 33.224,99 12,45 Sangat Curam 0.75 -0.90 0,85 28.241,24
Total 266.811,89 161.264,87
Koefisien Limpasan Total = 0,60
Koefisien Infiltrasi = 0,40
Sumber : Hasil analisis

Hasil interpretasi peta topografi diuraikan di bawah ini.


1. Kabupaten Tobasa yang terletak pada daerah timur dan tenggara DTA
Danau Toba,memiliki kondisi topografi dari datar hingga bergunung yang
cukup luas. Lahan pada kabupaten ini banyak dipergunakan sebagai
daerah pertanian, sehingga diperkirakan berpotensi untuk menyimpan air.
2. Kabupaten Simalungun, terletak di sebelah timur dan utara DTA Danau
Toba, dengan luas kecil memiliki relief bergunung dengan lereng yang
curam diatas 45 %. Tidak berpotensi untuk menyimpan air.
3. Kabupaten Karo, terletak di sebelah utara DTA Danau Toba, memiliki
relief bergunung dengan lereng yang curam mencapai diatas 45 %. Tidak
berpotensi untuk menyimpan air.
4. Kabupaten Dairi, didominasi relief bergunung dengan lereng mencapai
diatas 45 % sehingga derah ini tidak berpotensi untuk menyimpan air.
5. Kabupaten Humbang Hasundutan, merupakan dataran, perbukitan dan
bergunung dengan lereng terjal, mempunyai kemiringan yang rendah
89
 

namun mendekati Danau Toba terdapat lereng terjal mencapai 45 %.


Diperkirakan daerah ini berpotensi untuk daerah penyimpanan air.
6. Kabupaten Tapanuli Utara merupakan dataran, perbukitan dan
bergunung dengan lereng terjal, mempunyai kemiringan yang rendah
namun mendekati Danau Toba terdapat lereng terjal mencapai 45 %.
Diperkirakan, daerah ini berpotensi untuk daerah penyimpanan air
7. Kabupaten Samosir, terletak di tengah DTA Danau Toba, mempunyai
dataran rendah yang luas di sekitar tepi Danau Toba khususnya disebelah
barat pulau Samosir.

4.1.6 Penggunaan Lahan


a. Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan diketahui dengan menumpangtindihkan
(overlay) peta penggunaan lahan tahun 2001, 2007 dan 2009 dengan Citra Landsat
tahun 2001, 2007 dan 2009. Citra Landsat tahun 2001, 2007 dan 2009 disajikan
pada Gambar 21 dan 22. Perubahan penggunaan lahan ditunjukkan pada Tabel 15

Tabel 15 Perubahan Penggunaan Lahan pada DTA Danau Toba

Luas (Ha) Luas (Ha) Luas (Ha)


No Tutupan Lahan
2001 2007 2009
1 Unclass 449,29 0,25
2 Tubuh Air 115.077,56 116.370,94 117.599,80
3 Hutan 105.404,54 39,86% 59.987,27 22,76% 62.520,57 23,83%
4 Kebun Campuran 6.861,51 2,59% 13.634,99 5,17% 15.892,82 6,06%
5 Sawah 22.220,72 8,40% 14.615,13 5,55% 17.098,65 6,52%
6 Semak Belukar 47.003,37 17,78% 79.848,48 30,30% 13.160,16 5,02%
7 Lahan Terbuka 17.309,61 6,55% 21.664,17 8,22% 44.846,24 17,09%
8 Tegalan/Ladang 55.158,74 20,86% 60.204,47 22,84% 94.313,47 35,95%
9 Pemukiman 10.455,00 3,95% 13.614,65 5,17% 14.508,64 5,53%
Total Luas Perairan 115.526,85 116.371,19 117.599,80
Total Luas Daratan 264.413,49 100,00% 263.569,16 100,00% 262.340,55 100,00%
Total Luas DTA 379.940,34 379.940,35 379.940,35

 
 
90

Gambar 21 Peta Tutupan Lahan DTA Danau Toba tahun 2001

Gambar 22 Peta Tutupan Lahan DTA Danau Toba tahun 2007


91
 

Luas lahan daratan DTA Danau Toba pada tahun 2001 yang bervegetasi
(hutan, kebun campuran, sawah dan semak belukar) sebesar 181.490,14 ha
(68,64%) dan lahan yang tidak bervegetasi (lahan terbuka, tegalan dan
pemukiman) sebesar 82.923,35 ha (31,36%). Tahun 2007, penggunaan lahan
bervegetasi berubah menjadi 168.085,87 ha (63,77%) serta lahan yang tidak
bervegetasi menjadi 95.483,29 ha (36,23%). Perubahan lahan bervegetasi dan
yang tidak bervegetasi dari tahun 2001 ke tahun 2007 adalah 13.404,27 ha atau
5,07%.Tahun 2009, penggunaan lahan bervegetasi berubah menjadi 108.672,20 ha
(41,42%) serta lahan yang tidak bervegetasi berubah menjadi 153.668,35 ha
(58,58%). Perubahan lahan bervegetasi dan yang tidak bervegetasi dari tahun
2007 ke tahun 2009, adalah 59.413,67 ha atau 22,54% dari luas daratan. Luas
lahan yang tidak bervegetasi menjadi dasar penentuan nilai faktor singkapan lahan
pada perhitungan neraca air dengan metode F.J.Mock

Hasil interpretasi terhadap Citra Landsat disajikan di bawah ini:


Hutan
Perubahan luas hutan dari tahun ke tahun pada DTA Danau Toba disajikan
pada Gambar 23

Gambar 23 Perubahan luas Hutan di DTA Danau Toba

Luas hutan yang terdapat di DTA Danau Toba pada tahun 2001 mencapai
39,86 %, pada tahun 2005 menjadi 22,76 % dan tahun 2009 sebesar 23,83 % dari
luas daratan. Lahan yang tertutup hutan sebesar 16,46% dari luas DTA Danau
Toba dan ini sudah jauh berada di bawah angka standar minimal presentase luas

 
 
92

hutan pada suatu daerah aliran sungai atau danau yang masih tergolong baik, yaitu
30 % dari total luas suatu daerah tangkapan air.
Kebun Campuran
Perubahan luas kebun campuran dari tahun ke tahun pada DTA Danau
Toba disajikan pada Gambar 24

Gambar 24 Perubahan luas kebun campuran di DTA Danau Toba

Kebun campuran yang terdapat DTA ini merupakan kebun yang


diusahakan masyarakat setempat, yang terdiri dari berbagai jenis tanaman
perkebunan dan buah-buahan. Luas kebun campuran pada DTA Danau Toba
cenderung semakin meningkat dimana pada tahun 2001 adalah 2,59 %, tahun
2005 meningkat menjadi 5,17 % dan tahun 2009 menjadi 6,06 % dari luas DTA
Danau Toba.
Sawah
Perubahan luas sawah dari tahun ke tahun pada DTA Danau Toba
disajikan pada Gambar 25

Gambar 25 Perubahan luas sawah di DTA Danau Toba


93
 

Persawahan di DTA Danau Toba umumnya berada di daerah yang relatif


datar akan tetapi di beberapa lokasi berada disela-sela bukit. Luas sawah pada
DTA Danau Toba cenderung semakin menurun setiap tahunnya yang ditunjukkan
dari nilai luas pada tahun 2001 sebesar 8,4 %, pada tahun 2005 sebesar 5,55 %
dan tahun 2009 sebesar 6,52 % sehingga diperkirakan air yang terinfiltrasi melalui
kawasan pertanian semakin berkurang. Hal ini diduga akibat pertambahan
penduduk setiap yang tahunnya meningkat sehingga membutuhkan lahan
pemukiman untuk tempat tinggal penduduk.

Semak Belukar
Perubahan luas lahan semak belukar dari tahun ke tahun pada DTA Danau
Toba disajikan pada Gambar 26

Gambar 26 Perubahan luas Semak Belukar di DTA Danau Toba

Semak belukar merupakan lahan yang telah diusahakan masyarakat


setempat untuk usaha tani tanaman semusim. Semak belukar ini terdapat pada
daerah yang lereng curam dan sebagian juga terdapat pada daerah datar. Luas
semak belukar cenderung fluktuatif menurun dari tahun ke tahun, pada tahun 2001
luas semak belukar adalah 17,78 %, tahun 2005 meningkat menjadi 30,30 % dan
tahun 2009 turun menjadi 5,02 % dari luas daratan DTA Danau Toba.

Lahan Terbuka
Perubahan luas lahan terbuka pada DTA Danau Toba dari tahun ke tahun
disajikan pada Gambar 27

 
 
94

Gambar 27 Perubahan luas Lahan Terbuka di DTA Danau Toba

Lahan terbuka terdiri dari alang-alang dan rumput yang terdapat pada
tempat yang relatif datar dan sebagian kecil dipunggung-punggung bukit. Lahan
terbuka cenderung semakin cepat meningkat dari tahun ke tahun, tahun 2001
sebesar 6,55% , tahun 2005 meningkat menjadi 8,22% dan pada tahun 2009
menjadi 17,09%.

Tegalan / Ladang
Perubahan luas tegalan/ladang dari tahun ke tahun pada DTA Danau Toba
disajikan pada Gambar 28

Gambar 28 Perubahan luas Tegalan/Ladang di DTA Danau Toba

Luas tegalan ladang meningkat dengan cepat dari 20,86% pada tahun 2001
menjadi 22,84% pada tahun 2005 selanjutnya pada tahun 2009 menjadi 35,95%
dari luas DTA Danau Toba. Dari kondisi di atas maka diperkirakan air limpasan
jauh lebih besar dari pada air yang terinfiltrasi ke dalam tanah.
95
 

Pemukiman
Perubahan luas tegalan/ladang dari tahun ke tahun pada DTA Danau Toba
disajikan pada Gambar 29

Gambar 29 Perubahan luas Pemukiman di DTA Danau Toba

Permukiman dan bangunan lain terkonsentrasi pada daerah-daerah subur


untuk pertanian, aksesibilitas tinggi atau mempunyai akses terhadap kegiatan
wisata. Luas pemukiman cenderung semakin bertambah setiap tahun. Tahun 2001
luas pemukiman adalah sebesar 3,95%, pada tahun 2005 menjadi 5,17% dan pada
tahun 2009 sebesar 5,53% dari luas daratan pada DTA danau Toba. Dari kondisi
di atas maka diperkirakan air limpasan jauh lebih besar dari pada air yang
terinfiltrasi ke dalam tanah .

b. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan


Dinamika perubahan penggunaan lahan di DTA Danau Toba umumnya
adalah perubahan penggunaan lahan dari satu jenis tutupan lahan ke penggunaan
setiap tutupan lahan lainnya. Tabel dinamika perubahan penggunaan lahan
tersebut disajikan pada Tabel 16.

 
 
96

Tabel 16 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan dari 2001 ke 2007

Luas pada
Penggunaan Kebun Lahan Pemukima Semak Tegalan
No. tahun 2001 Hutan Sawah Tubuh Air Unclass
Lahan Campuran Terbuka n Belukar /Ladang
(ha)
1 Hutan 105.404,54 43.862,69 8.401,22 5.531,94 2.743,08 3.580,48 30.210,70 10.036,43 1.038,01 0,00
2 Kebun Campuran 6.861,51 638,47 1.030,01 1.743,65 297,17 53,55 1.886,62 1.146,48 65,57 0,00
3 Lahan Terbuka 17.309,61 2.244,83 900,71 3.497,39 929,42 193,95 4.463,70 5.002,51 77,11 0,00
4 Pemukiman 10.455,00 602,67 388,33 1.339,95 2.865,93 487,59 2.118,09 2.504,80 147,64 0,00
5 Sawah 22.220,72 677,05 1.091,90 1.441,97 2.312,96 7.198,92 4.927,98 3.586,82 983,13 0,00
6 Semak Belukar 47.003,37 7.513,63 1.085,86 3.138,12 1.502,27 957,40 20.396,79 11.256,78 1.152,53 0,00
7 Tegalan/Ladang 55.158,49 3.909,61 704,09 4.824,85 2.542,75 1.795,66 15.301,07 25.331,04 749,42 0,00
8 Tubuh Air 115.077,56 346,69 9,78 118,16 421,08 338,09 462,28 1.233,30 112.148,17 0,00
9 Unclass 449,29 191,64 23,09 28,14 0,00 9,48 81,27 106,31 9,36 0,00

Luas tahun 2007 (ha) 379.940,09 59.987,27 13.634,99 21.664,17 13.614,65 14.615,13 79.848,48 60.204,47 116.370,94 0,00
Sumber : Hasil analisis

Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi tutupan lahan yang lain dari
tahun 2001 sampai tahun 2007 secara berurutan adalah menjadi: (1) Kebun
campuran sebesar 8.401,22 ha; (2) Lahan terbuka sebesar 5.531,94 ha; (3)
Pemukiman sebesar 2.734,08 ha; (4) Sawah sebesar 3.580,48 ha;(5) Semak
belukar sebesar 30.210,70ha; (6) Tegalan/ladang sebesar 10.036,43 ha; (7) Tubuh
air sebesar 1.038,011 ha dan (8) Unclass tidak ada. Sehingga luas total hutan pada
tahun 2001 yang berubah penggunaanya menjadi bukan hutan pada tahun 2007
adalah sebesar 61.124,58 ha.
Sebaliknya perubahan penggunaan lahan dari bukan hutan pada tahun
2001 menjadi hutan pada tahun 2007 adalah dari : (1) Kebun campuran sebesar
638,47 ha; (2) Lahan terbuka sebesar 2.224,83 ha; (3) Pemukiman sebesar 602,67
ha; (4) Sawah sebesar 677,05 ha;(5) Semak belukar sebesar 7.513,63ha; (6)
Tegalan/ladang sebesar 3.909,61 ha; (7) Tubuh air sebesar 346,69 ha dan (8)
Unclass191,64 ha. Dengan demikian luas total nonhutan yang berubah
penggunaanya pada tahun 2001 menjadi hutan pada tahun 2007, adalah 16.124,58
ha. Dengan demikian defisit hutan adalah sebesar 45.417,27 ha. Luas hutan tahun
2007 adalah105.404,54ha dikurang 45.417,27 ha menjadi 59.987,27 ha. Dengan
hal yang sama seperti analisis di atas maka dinamika perubahan penggunaan lahan
ke penggunaan lahan lainnya dapat dihitung seperti yang telah disajikan pada
Tabel 17
97
 

4.1.7 Kemampuan Lahan


Analisis kemampuan lahan diperoleh dari pengembangan data
kuantitatif yang diperoleh dari satuan lahan DTA Danau Toba. Data-data yang
dimiliki oleh satuan lahan tersebut diklasifikasi berdasarkan kriteria
kemampuan lahan seperti yang tersaji pada Tabel Lampiran 14. Hasil
klasifikasi kemampuan lahan sampai pada tingkat sub-kelas beserta dengan
luasannya disajikan pada Tabel 17. Adapun sebaran spasial kemampuan lahan
disajikan pada Gambar Lampiran 5.

Tabel 17 Kelas Kemampuan Lahan, Subkelas Kemampuan Lahan dan Luas di


DTA Danau Toba
No Kelas Sub Kelas Luas (Ha)

IIe 35.502,37
1 II
IIs 50.841,84

IIIe 40.605,42
2 III
IIIs 61.613,13

3 IV IVe 2.995,18

Ve 22.464,34
4 V
Vw 2.585,55

5 VI VIe 28.917,02
6 VII VIIe 2.138,32
7 VIII VIIIe 19.388,65
Keterangan : e=faktor pembatasnya adalah erosi; w= faktor pembatasnya
adalah genangan air dan s =faktor pembatasnya adalah akar tanaman

Hasil analisis menunjukkan bahwa DTA Danau Toba, kemampuan


lahannya didominasi oleh kelas III. Sedangkan pada tingkat sub-kelas, daerah
DTA Danau Toba didominasi oleh sub-kelas IIIe, yaitu kelas kemampuan lahan
kelas III dengan faktor pembataserosi (kelerengan). Hasil overlay antara peta
kemampuan lahan dengan peta tutupan lahan DTA Danau Toba didapat peta
seperti disajikan pada Gambar Lampiran 5 dan Tabel 18.
Dari hasil perhitungan luasan antara penggunaan lahan eksisting di daerah
tangkapan air Danau Toba hasil rekaman Citra Landsat tahun 2007 ditemukan

 
 
98

22,22% dari luas daratan yang digunakan tidak sesuai dengan kemampuan lahan
daerah tangkapan air Danau Toba. Penggunaan lahan yang tidak sesuai ini harus
diupayakan untuk dikembalikan penggunaan yang sesuai dengan kemampuan
lahannya untuk mendapatkan kondisi yang ideal. Dari jenis penggunaan lahan
tersebut yang tidak memungkinkan untuk dirobah kembali adalah penggunaan
lahan pemukiman seluas 5.375,41 ha (2,06% dari luas daratan DTA Danau Toba)
dan yang masih memungkinkan untuk dikembalikan penggunaan lahannya
sebesar 52.641,12 ha atau 20,65% dari luas daratan DTA Danau Toba.
99
 

Tabel 18 Kelas Kemampuan Lahan Berdasarkan Tutupan Lahandi DTA DT

Kelas Kesesuaian dengan


No Kemampuan Kesesuaian Lahan Tutupan Lahan Luas (Ha) K L h
Lahan Luas(Ha) Kondisi
Hutan 23.619,03
Lahan ini sesuai untuk Kebun Campuran 6.770,55
penggunaan tanaman
Lahan Terbuka 6.953,62 6.953,62 Tidak sesuai
semusim, tanaman rumput,
1 II Pemukiman 2.988,72
padang penggembalaan,
hutan produksi, hutan Sawah 4.988,15
lindung dan cagar alam. Semak Belukar 26.326,68
Tegalan/Ladang 13.876,74
Lahan ini dapat Hutan 16.260,30
dipergunakan untuk Kebun Campuran 4.425,54
tanaman semusim dan Lahan Terbuka 8.974,66 8.974,66 Tidak sesuai
2 III tanaman yang memerlukan Pemukiman 4.876,84
pengolahan tanah, tanaman
Sawah 4.420,61
rumput, padang rumput,
Semak Belukar 32.953,79
huitan produksi, hutan
Tegalan/Ladang 29.245,83
lindung dan suaka
Lahan ini dapat Hutan 1.420,66
dipergunakan untuk Kebun Campuran 2,65
tanaman semusim, Lahan Terbuka 93,93 93,93 Tidak sesuai
3 IV pertanian, tanaman rumput, Pemukiman 14,04
hutan produksi, padang Sawah 24,92
penggembalaan, hutan Semak Belukar 1.290,10
lindung atau suaka alam. Tegalan/Ladang 80,18 80,18 Tidak sesuai
Hutan 1.328,60
Kebun Campuran 1.115,48 1.115,48 Tidak sesuai
Lahan ini hanya cocok untuk
Lahan Terbuka 1.449,79 1.449,79 Tidak sesuai
tanaman rumput ternak
4 V Pemukiman 1.109,22 1.109,22 Tidak sesuai
secara permanen atau
Sawah 4.474,41 4.474,41 Tidak sesuai
dihutankan
Semak Belukar 5.966,67
Tegalan/Ladang 8.414,93 8.414,93 Tidak sesuai
Hutan 14.597,12
Kebun Campuran 1.007,00 1.007,00 Tidak sesuai
Lahan ini tidak sesuai untuk
Lahan Terbuka 1.684,92 1.684,92 Tidak sesuai
pertanian dan hanya sesuai
5 VI Pemukiman 1.525,39 1.525,39 Tidak sesuai
untuk tanaman rumput
Sawah 86,04 86,04 Tidak sesuai
ternak atau dihutankan.
Semak Belukar 5.126,28
Tegalan/Ladang 4.614,16 4.614,16 Tidak sesuai
Hutan
Lahan ini tidak sesuai untuk Kebun Campuran 199,36 199,36 Tidak sesuai
usaha tani tanaman semusim Lahan Terbuka 668,09 668,09 Tidak sesuai
6 VII dan hanya sesuai untuk Pemukiman 105,7 105,7 Tidak sesuai
padang penggembalaan atau Sawah 15,84 15,84 Tidak sesuai
dihutankan Semak Belukar 642,18 642,18 Tidak sesuai
Tegalan/Ladang 307,62 307,62 Tidak sesuai
Hutan 2.611,30
Kebun Campuran 105,99 105,99 Tidak sesuai
Lahan ini dapat digunakan Lahan Terbuka 1.744,83 1744,83 Tidak sesuai
7 VIII untuk daerah rekreasi cagar Pemukiman 2.635,10 2635,1 Tidak sesuai
alam atau hutan lindung Sawah 258,53 258,53 Tidak sesuai
Semak Belukar 7.221,82 7221,82 Tidak sesuai
Tegalan/Ladang 2.527,74 2.527,74 Tidak sesuai
Usulan penggunaan lahan yang tepat di lakukan di DTA Danau Toba
disajikan pada Tabel 19.

 
 
100

Tabel 19 Kelas Kemampuan Lahan dan Arahan Penggunaan Lahan di DTA DT

Unit Sub
No Kelas Luas (Ha) Arahan Penggunaan Lahan
Lahan Kelas

1 Af.6.2.2 II IIe 5.825,06 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
2 Af.6.3.3 II IIe 4.963,37 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
3 Afq.3.4 II IIs 5.914,60 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
4 Aq.2.2.1 V Ve 22.464,34 Penggembalaan intensif, hutan dan cagar alam
5 Au.3.2 V Vw 2.585,55 Penggembalaan intensif, hutan dan cagar alam
6 Hu.1.1.1 II IIe 6.446,18 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
7 dHu.1.8.2 III IIIe 1.840,88 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
8 Hu.3.2.3 III IIIe 7.075,41 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
9 Hu.5.1.2 II IIe 15.263,12 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
10 Hu.5.2.2 III IIIe 7.890,45 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
11 Hu.5.2.3 III IIIe 11.980,19 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
12 Hu.5.2.4 III IIIe 10.256,43 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
13 Kc.5.3 IV IVe 2.079,84 Pertanian Intensitas terbatas, penggembalaan, hutan dan cagar alam
14 Ma.2.3.3 VI VIe 3.270,24 Penggembalaan intensitas sedang, hutan dan cagar alam
15 Mfq.2.2.3 IV IVe 530,87 Pertanian Intensitas terbatas, penggembalaan, hutan dan cagar alam
16 Mfq.2.3.3 VI VIe 4.411,33 Penggembalaan intensitas sedang, hutan dan cagar alam
17 Mg.2.3.3 VI VIe 172,55 Penggembalaan intensitas sedang, hutan dan cagar alam
18 Mu.2.2.3 IV IVe 384,46 Pertanian Intensitas terbatas, penggembalaan, hutan dan cagar alam
19 Mu.2.3.3 VI VIe 14.199,10 Penggembalaan intensitas sedang, hutan dan cagar alam
20 Mu.2.3.4 VI VIe 6.863,81 Penggembalaan intensitas sedang, hutan dan cagar alam
21 Qd.1.1.0 II IIs 8.983,48 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
22 Qd.1.1.1 II IIs 16.612,51 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
23 Qd.1.1.2 III IIIs 7.567,17 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
24 Qd.1.1.3 III IIIs 5.672,12 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
25 Qd.1.2.1 III IIIs 6.770,07 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
26 Qd.1.2.2 III IIIs 21.336,11 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
27 Qd.1.2.3 III IIIs 20.267,66 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
28 Qd.1.3.2 II IIs 7.789,91 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
29 Qd.1.3.3 II IIs 11.541,34 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
30 Qd.1.9.2 III IIIe 1.562,07 Pertanian Intensitas sedang, penggembalaan, hutan dan cagar alam
31 Qd.2.3.2 II IIe 61,90 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
32 Vad.1.2.3 VII VIIe 1.033,72 Penggembalaan intensitas terbatas, hutan dan cagar alam
33 Vad.1.4.2 II IIe 2.942,74 Pertanian Intensif, penggembalaan, hutan dan cagar alam
34 Vd.1.2.3 VII VIIe 1.104,60 Penggembalaan intensitas terbatas, hutan dan cagar alam
35 X.1 VIII VIIIe 19.388,65 Cagar alam/hutan lindung

4.1.8 Tata Ruang Danau Toba


Kawasan Danau Toba ditetapkan menjadi salah satu Kawasan Strategis
Nasional yang ditetapkan berdasarkan kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup di Propinsi Sumatera Utara (Bappedasu, 2010). Berdasarkan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kawasan
101
 

Strategis adalah kawasan yang secara nasional ditetapkan mempunyai nilai


strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan berdasarkan kepentingan
pertahanan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial budaya dan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup serta pendayagunaan sumber daya alam dan/atau
teknologi tinggi.
Pemanfaatan ruang pada DTA Danau Toba mempunyai peranan penting
dalam menjaga kelestarian dan fungsi Danau Toba khususnya sebagai sumberair
pada PLTA Asahan. Rencana struktur penataan Kawasan Danau Toba dilakukan
dengan menetapkan tata jenjang pusat pengembangan wilayah dan keterkaitan
antar pusat pengembanganyang didukung oleh pengembangan kegiatan sosial-
ekonomi, penyediaan prasarana dan sarana untuk penyelenggaraan masing-masing
fungsi pusat permukiman (PU, 2011). Rencana pemanfaatan ruang Kawasan
Danau Toba adalah penetapan kawasan lindung dan kawasan kegiatan budidaya.
Pemanfaatan lahan untuk kawasan budidaya dimaksudkan untuk kebutuhan
permukiman, pertanian, perkebunan dan hutan(PU, 2011).
RTRW khusus DTA Danau Toba belum ada, namun Kementerian
Pekerjaan Umum, DitJen.Penataan Ruang, Jakartasaat ini sedang menyusun
draft.Oleh karena itu penggunaan lahan di DTA Danau Toba belum dapat
dibandingkan dengan penggunaan lahan yang ideal berdasarkan tata ruang yang
ditetapkan secara resmi oleh pemerintah.Karena itu pada penelitian ini digunakan
sebagai alat analisis adalah RTRWP Sumut, meskipun Rencana Pola Ruang
Wilayah Kawasan Danau Toba tidak merinci secara mendetail sehingga luas
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRWP tidak dapat disampaikan.
Meskipun demikian, analisis global menunjukkan bahwa jika penggunaan lahan
eksisting dibandingkan dengan pola rencana ruang yang diatur pada RTRWP
Sumut, maka ditemukan pola penggunaan lahan yang tidak berkesesuaian.
Berdasarkan data RTRW Propinsi Sumatera Utara didapat bahwa luas
kawasan lindung pada DTA Danau Toba adalah 121.397,41 ha atau 46,04% dari
luas daratan dan kawasan budidaya adalah sebesar 142.254,23 ha atau 53,96%dari
luas daratan. Data hasil rekaman Citralandsat pada tahun 2007, ditemukan jumlah
luas pengunaan lahan yang sesuai dengan fungsi kawasan lindung yaitu hutan
adalah 33.720,69 ha atau 12,79 % dari luas daratan dan jumlah luas penggunaan

 
 
102

lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan lindung adalah seluas 87.676,72
ha atau 33,25% dariluas daratan. Sementara itu, pada kawasan budidaya
ditemukan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan budidaya
yaitu hutan seluas 26.266,58 ha atau 9,97 % dari luas daratan. Dengan demikian,
luas penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan pada DTA
Danau Toba menurut RTRW Propinsi Sumatera Utara ditemukan seluas
113.943,30 ha atau 43,22% dari luas daratan. Hasil analisis disajikan pada Tabel
23
Berdasarkan draft peta RTRW Danau Toba ditemukan bahwa luas
kawasan lindung pada DTA Danau Toba adalah 134.518 ha atau 50,96% dari luas
daratan dan kawasan budidaya adalah sebesar 129.471 ha atau 49,04%dari luas
daratan. Data hasil rekaman Citralandsat pada tahun 2007, ditemukan jumlah luas
pengunaan lahan yang sesuai dengan fungsi kawasan lindung yaitu hutan adalah
33.720,69 ha atau 12,79 % dari luas daratan dan jumlah luas penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan lindung adalah seluas 100.797,31 ha
atau 38,18 % dariluas daratan. Sementara itu, pada kawasan budidaya ditemukan
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan budidaya yaitu hutan
seluas 26.266,58 ha atau 9,97 % dari luas daratan. Dengan demikian, luas
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan ditemukan seluas
127.063,89 ha atau 48,13 % dari luas daratan. Hasil analisis tersebut disajikan
pada Tabel 23
103
 

Tabel 20 Penggunaan Lahan di DTA Danau Toba Yang Tidak Sesuai Dengan RTRW
Kelas
Tutupan Lahan Tutupan Lahan
No Kemampuan Rencana Tata Ruang Luas (Ha) Luas (Ha) Luas (Ha) Lebih Kurang Ket
(RTRW) (CitraLandsat)
Lahan
Cagar Budaya Pusuk Buhit 193,13 Hutan 45.758,97 Hutan 23.619,03 (22.139,94) Kurang
Hutan Lindung 39.808,73 Kebun Campuran 4.509,50 Kebun Campuran 6.770,55 2.261,05 Lebih
Hutan Produksi Terbatas 0,71 Lahan Terbuka 5.790,65 Lahan Terbuka 6.953,62 1.162,97 Lebih
Hutan Produksi Tetap 5.451,22 Pemukiman 782,91 Pemukiman 2.988,72 2.205,81 Lebih
1 II Hutan Rakyat 305,18 Sawah 28.681,45 Sawah 4.988,15 (23.693,30) Kurang
Sempadan Jalan 5.790,65 Semak Belukar - Semak Belukar 26.326,68 26.326,68 Lebih
Kaw. Perkebunan Rakyat 4.509,50 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 13.876,74 13.876,74 Lebih
Kaw. Permukiman 782,91
Kaw. Pertanian 28.681,45
Hutan Lindung 45.247,77 Hutan 50.663,79 Hutan 16.260,30 (34.403,49) Kurang
Hutan Produksi Tetap 5.010,05 Kebun Campuran 11.258,18 Kebun Campuran 4.425,54 (6.832,64) Kurang
Hutan Rakyat 405,98 Lahan Terbuka 7.353,31 Lahan Terbuka 8.974,66 1.621,35 Lebih
2 III Sempadan Jalan 7.353,31 Pemukiman 1.310,84 Pemukiman 4.876,84 3.566,00 Lebih
Kaw. Perkebunan Rakyat 11.258,18 Sawah 30.571,46 Sawah 4.420,61 (26.150,85) Kurang
Kaw. Permukiman 1.310,84 Semak Belukar - Semak Belukar 32.953,79 32.953,79 Lebih
Kaw. Pertanian 30.571,46 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 29.245,83 29.245,83 Lebih
Hutan Lindung 2.210,18 Hutan 2.316,19 Hutan 1.420,66 (895,53) Kurang
Hutan Produksi Tetap 106,01 Kebun Campuran 68,41 Kebun Campuran 2,65 (65,76) Kurang
Sempadan Jalan 203,77 Lahan Terbuka 203,77 Lahan Terbuka 93,93 (109,84) Kurang
3 IV Kaw. Perkebunan Rakyat 68,41 Pemukiman 21,47 Pemukiman 14,04 (7,43) Kurang
Kaw. Permukiman 21,47 Sawah 316,65 Sawah 24,92 (291,73) Kurang
Kaw. Pertanian 316,65 Semak Belukar - Semak Belukar 1.290,10 1.290,10 Lebih
Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 80,18 80,18 Lebih
Hutan Lindung 5.098,11 Hutan 5.106,28 Hutan 1.328,60 (3.777,69) Kurang
Hutan Rakyat 8,17 Kebun Campuran 2.753,59 Kebun Campuran 1.115,48 (1.638,11) Kurang
Sempadan Jalan 3.386,13 Lahan Terbuka 3.386,13 Lahan Terbuka 1.449,79 (1.936,35) Kurang
4 V Kaw. Perkebunan Rakyat 2.752,00 Pemukiman 729,60 Pemukiman 1.109,22 379,62 Lebih
Kaw. Permukiman 729,60 Sawah 11.883,48 Sawah 4.474,41 (7.409,07) Kurang
Kaw. Pertanian 11.883,48 Semak Belukar - Semak Belukar 5.966,67 5.966,67 Lebih
Kaw. Wisata 1,59 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 8.414,93 8.414,93 Lebih
Hutan Lindung 17.323,33 Hutan 18.369,68 Hutan 14.597,12 (3.772,56) Kurang
Hutan Produksi Tetap 1.046,35 Kebun Campuran 2.804,23 Kebun Campuran 1.007,00 (1.797,23) Kurang
Sempadan Jalan 1.065,59 Lahan Terbuka 1.065,59 Lahan Terbuka 1.684,92 619,33 Lebih
5 VI Kaw. Perkebunan Rakyat 2.450,19 Pemukiman 228,95 Pemukiman 1.525,39 1.296,45 Lebih
Kaw. Permukiman 228,95 Sawah 6.172,47 Sawah 86,04 (6.086,43) Kurang
Kaw. Pertanian 6.172,47 Semak Belukar - Semak Belukar 5.126,28 5.126,28 Lebih
Kaw. Wisata 354,04 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 4.614,16 4.614,16 Lebih
Cagar Budaya Pusuk Buhit 518,80 Hutan 1.054,73 Hutan - (1.054,73) Kurang
Hutan Lindung 474,90 Kebun Campuran 393,51 Kebun Campuran 199,36 (194,15) Kurang
Hutan Produksi Terbatas 0,62 Lahan Terbuka 32,23 Lahan Terbuka 668,09 635,86 Lebih
Hutan Produksi Tetap 60,41 Pemukiman 1,89 Pemukiman 105,70 103,81 Lebih
6 VII
Sempadan Jalan 32,23 Sawah 456,43 Sawah 15,84 (440,59) Kurang
Kaw. Perkebunan Rakyat 393,51 Semak Belukar - Semak Belukar 642,18 642,18 Lebih
Kaw. Permukiman 1,89 Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 307,62 307,62 Lebih
Kaw. Pertanian 456,43
Hutan Lindung 10.522,46 Hutan 10.522,46 Hutan 2.611,30 (7.911,16) Kurang
Sempadan Jalan 1.875,66 Kebun Campuran 2.340,32 Kebun Campuran 105,99 (2.234,33) Kurang
Kaw. Perkebunan Rakyat 2.326,46 Lahan Terbuka 1.875,66 Lahan Terbuka 1.744,83 (130,83) Kurang
7 VIII Kaw. Permukiman 320,94 Pemukiman 320,94 Pemukiman 2.635,10 2.314,16 Lebih
Kaw. Pertanian 2.045,95 Sawah 2.045,95 Sawah 258,53 (1.787,42) Kurang
Kaw. Wisata 13,86 Semak Belukar - Semak Belukar 7.221,82 7.221,82 Lebih
Tegalan/Ladang - Tegalan/Ladang 2.527,74 2.527,74 Lebih
Total 261.151,65 261.151,65 261.151,65 152.233,38 (152.233,38) Lebih  
Sumber : Hasil analisis

 
 
104

4.1.9 Kawasan Hutan


Prinsip dasar perencanaan pemanfaatan ruang adalah penetapan kawasan
lindung dan kawasan budidaya sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 26
Tahun 2007, PP Nomor 26 Tahun 2008, dan Keppres Nomor 32 Tahun 1990,
dengan batasan sebagai berikut :
− Kawasan lindung adalah kawasan yang berfungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan
sumber daya buatan yang terdiri dari kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan perlindungan
setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya,
kawasan rawan bencana alam, kawasan lindung geologi dan kawasan
lindung lainnya.
− Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya binaan, dan sumberdaya manusia yangterdiri dari kawasan
peruntukan hutan produksi, hutan tanaman rakyat, pertanian, perkebunan,
perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman dan
peruntukan budidaya lainnya.
Berdasarkan RTRWP Sumut tahun 1993, luas dan fungsi kawasan hutan di
DTA Danau Toba ditetapkan seperti disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21 Kawasan Hutan di DTA DT menurut RTRWP Sumut

No. Fungsi Kawasan Luas(ha)


1 Hutan Suaka Alam
2 Hutan Lindung 134.518,00
3 Hutan Produksi Terbatas 12.343,00
4 Hutan Produksi 28.769,00
5 Budidaya Tanaman Pangan 48.445,00
6 Penggunaaan Lain 39.914,00
Jumlah 263.989,00
Sumber :Ilyas D.S. 1998 hal73

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 201/Menhut-II/2006 tentang Peta


Kawasan Hutan dan Perairan Kawasan Danau Toba, luas kawasan lindung adalah
105
 

sebesar 127.089,08 ha atau 47,63% dari luas daratan DTA Danau Toba dan
kawasan budidayaadalah 139.721,24 ha atau 52,37% dari luas daratan DTA
Danau Toba, seperti yang disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Luas Kawasan Hutan menurut SK 20 Menhut-II/2006

Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan


SK.201/Menhut-II/2006
No. Fungsi Kawasan
Kawasan Kawasan
Total (ha)
Lindung (ha) Budidaya (ha)

1 Hutan Lindung (HL) 127.089,08 127.089,08


2 Hutan Produksi (HP) 186,36 186,36
3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 59.287,59 59287,59
4 Hutan Produksi Dapat Dikonversi (HPK)
5 Area Pengunaan Lain (APL) 74.453,36 74.453,36
6 Perairan 5.793,93 5.793,93
Jumlah 127.089,08 139.721,24 266.810,32

Data hasil rekaman Citralandsat pada tahun 2007, ditemukan jumlah luas
pengunaan lahan yang sesuai dengan fungsi kawasan lindung yaitu hutan adalah
33.720,69 ha atau 12,79 % dari luas daratan dan jumlah luas penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan lindung adalah seluas 93.368,39 ha atau
35,39% dariluas daratan. Sementara itu, pada kawasan budidaya ditemukan
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan budidaya yaitu hutan
seluas 26.266,58 ha atau 9,97 % dari luas daratan. Dengan demikian, luas
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan menurut SK 201
Menhut/2006 ditemukan seluas 119.634,97 ha atau 45, 35 % dari luas
daratan.Hasil analisis disajikan pada Tabel 23.
Hasil analisis penggunaan lahan pada daerah tangkapan air Danau Toba
yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan, rencana tataruang dan rencana
kawasan hutan menunjukkan bahwa daerah tangkapan air Danau Toba harus
segera dilakukan upaya konservasi. Ketidaksesuaian penggunaan lahan tersebut
menjadi berpengaruh besar terhadap kelestarian kuantitas air Danau Toba. Hasil
analisis disajikan pada Tabel 23

 
 
106

Tabel 23 Penggunaan Lahan Yang Tidak Sesuai dengan Kemampuan Lahan, Tata
Ruang dan Rencana Kawasan Hutan di DTADanau Toba (2007)
Tata Ruang
Penggunaan Kemampuan Lahan Hutan dan Perairan
RTRW P Sumut RTRW Danau Toba
No. Fungsi Kawasan Lahan
Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai
ha ha ha ha ha ha ha ha ha
Tahun 2001
1 Kawasan Lindung 126.167,03 112.844,10 121.397,41 134.518,00 127.089,08
a. Hutan 56.714,25 56.714,25 56.129,85 56.714,25 64.683,16 56.714,25 77.803,75 56.714,25 70.374,83
b. Non Hutan 69.452,78 21,29% 24,53% 29,47% 26,68%
2 Kawasan Budidaya 138.246,46 150.807,55 142.254,23 129.471,00 136.721,24
a. Hutan 48.690,29 - 48.690,29 - 48.690,29 - 48.690,29 - 48.690,29
b. Non Hutan 89.556,17 102.117,26 18,47% 93.563,94 18,47% 80.780,71 18,44% 88.030,95 18,46%
Jumlah 264.413,49 263.651,65 104.820,14 263.651,64 113.373,45 263.989,00 126.494,04 263.810,32 119.065,12
39,76% 43,00% 47,92% 45,13%

Tahun 2007
3 Kawasan Lindung 125.355,02 112.844,10 121.397,41 134.518,00 127.089,08
a. Hutan 33.720,69 33.720,69 79.123,41 33.720,69 87.676,72 33.720,69 100.797,31 33.720,69 93.368,39
b. Non Hutan 91.634,33 12,79% 30,01% 33,25% 38,18% 35,39%
4 Kawasan Budidaya 138.214,14 150.807,55 142.254,23 129.471,00 136.721,24
a. Hutan 26.266,58 - 26.266,58 - 26.266,58 - 26.266,58 - 26.266,58
b. Non Hutan 111.947,56 124.540,97 9,96% 115.987,65 9,96% 103.204,42 9,95% 110.454,66 9,96%
Jumlah 263.569,16 263.651,65 105.389,99 263.651,64 113.943,30 263.989,00 127.063,89 263.810,32 119.634,97
39,97% 43,22% 48,13% 45,35%

Sumber : Hasil Analisis

Khusus untuk kawasan lindung, penggunaan lahan yang tidak sesuai


dengan kemampuan lahan mencapai 21,29 % pada tahun 2001 dan 30,01 % pada
tahun 2007 dan yang tidak sesuai dengan RTRWP Sumatera Utara mencapai
24,53% pada tahun 2001 dan 33,25% pada tahun 2007. Selanjutnya penggunaan
lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Danau Toba 29,47 % mencapai pada
tahun 2001 dan 38,18 % pada tahun 2007. Penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan Rencana Kawasan Hutan berdasarkan SK 201 Menhut /2006, mencapai
26,68% pada tahun 2001 dan 35,39 % pada tahun 2007.

4.1.10 Sosial-Kependudukan
a. Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk menunjukkan bahwa yang tinggal di daerah
tangkapan air Danau Toba cukup rendah. Hasil perhitungan pertumbuhan
penduduk dari tahun 2002 sampai dengan 2009 didapat adalah 1,14% pertahun.
Hal ini terjadi karena pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 terjadi
penurunan jumlah penduduk yang diduga terjadi karena lapangan kerja pada
kawasan ini sangat sedikit. Hal ini mendorong penduduk untuk mencari pekerjaan
yang lebih baik di luar Kawasan Danau Toba. Penduduk yang bermukim di dalam
DTA Danau Toba yang secara administratif tersebar di 7 kabupaten disajikan pada
Tabel Lampiran 7 dan Tabel 24.
107
 

Tabel 24 Jumlah penduduk pada setiap kabupaten di DTA Danau Toba (jiwa)

No. Kabupaten 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1 Dairi 59.225 59.073 55.675 56.689 54.871 55.106 55.106 58.372


2 Tapanuli Utara 71.843 72.934 73.567 73.869 74.283 74.907 75.994 77.096
3 Humbang Hasundutan 90.707 91.859 92.792 93.725 94.674 95.639 95.639 109.228
4 Toba Samosir 178.135 167.907 167.907 168.596 170.015 171.375 172.746 175.325
5 Samosir 130.078 130.078 130.168 130.568 131.116 131.205 131.549 132.023
6 Simalungun 117.978 117.978 117.978 119.954 119.954 122.067 122.067 122.067
7 Karo 13.908 14.215 14.274 14.378 15.577 15.654 15.880 16.130
Jumlah 661.874 654.044 652.361 657.779 660.490 665.953 681.981 690.241

Jumlah penduduk tertinggi terdapat di Kabupaten Toba Samosir, yaitu


pada tahun 2002 sebesar 178.135 jiwa dan pada tahun 2009 sebanyak 175.325
jiwa . Sementara itu, jumlah penduduk terendah tahun 2002 berada di Kabupaten
Tanah Karo yakni 13.908 jiwa dan tahun 2009 sebesar 16.130 jiwa. Untuk
memperkirakan jumlah penduduk pada masa yang akan datang, digunakan
formula analisis geometrik. Model pertumbuhan pendudukyang digunakan adalah
model pertumbuhan penduduk secara geometrik(geometric rate of growth),
dimana angka pertumbuhan (rate of growth) sama besarnya untuksetiap tahun,
dengan rumus matematika Pt = Po( 1 + r)t, dimana Pt = jumlah penduduk pada
tahun ke-t; Po= jumlah penduduk pada tahun awal; r = angka rata-rata laju
pertumbuhan pendudukdan T= jangka waktu (dalam tahun). Perkiraan jumlah
penduduk pada daerah tangkapan air Danau Toba dimasa yang akan datang
disajikan pada Tabel 25 dan Gambar 30.

Tabel 25 Perkiraan Jumlah Penduduk di DTA Danau Toba

Penduduk
Tahun
(jiwa)
2007 665.953
2017 745.707
2027 835.012
2037 935.012
2047 1.046.989
2057 1.172.375
Catatan : Pertumbuhan penduduk rata-rata
1,14% per tahun (Hasil Analisis)

 
 
108

1200000

) 1100000
a
iw
(J 1000000
k
u
d
u
d 900000
n
e
p
h 800000
la
m
u
J
700000

600000
2007 2017 2027 2037 2047 2057
Ta hun
Gambar 30 Perkiraan Penduduk di DTA Danau Toba

b. Analisis Tekanan Penduduk


Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat menyebabkan kebutuhan akan
lahan untuk tempat tinggal dan tempat berusaha menjadi semakin besar.
Pemanfaatan lahan yang tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat
menurunkan mutu lingkungan dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan
ekosistem.Dengan peningkatan jumlah penduduk dan luas yang lahan relatif
tetapakan berakibat pada penurunan luas kepemilikan lahan pertanian sehingga
tidak lagi mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan hidup petani. Kondisi tersebut
dapat mendorong petani untuk memperluas lahan garapannya hingga ke lahan-
lahan yang memiliki fungsi yang lain, seperti lahan dengan kelerengan tinggi,
lahan ditepi sungai atau bahkan merambah ke hutan lindung.
Soemarwoto (1989), menyampaikan bahwa tekanan penduduk disebabkan
lahan pertanian disuatu daerah tidak cukup untuk mendukung kehidupan
penduduk pada tingkat yang dianggap layak. Karena itu penduduk berusaha untuk
mendapatkan tambahan pendapatan dengan membuka lahan baru atau pergi ke
kota. Dorongan untuk membuka lahan dan/atau untuk pergi ke kota disebut
tekanan penduduk. Indikasi adanya tekanan penduduk terhadap suatu wilayah
dapat dilihat dengan nilai indeks tekanan penduduk. Menurut persamaan
Soemarwoto indeks tekanan penduduk dipengaruhi oleh proporsi jumlah
masyarakat yang bekerja dalam bidang pertanian dalam wilayah tersebut (f), luas
lahan minimal yang dapat memberikan hasil untuk hidup layak atau setara 640 kg
beras/tahun (z), tingkat pertumbuhan penduduk (r), serta luas lahan pertanian (L)
109
 

dan jumlah seluruh penduduk (P). Luas lahan pertanian yang dapat memberikan
hasil untuk memenuhi kehidupan yang layak dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah produktivitas lahan serta jenis tanaman yang dibudidayakan.
Berdasarkan data Kabupaten Dalam Angka tahun 2007, rata-rata
kepadatan penduduk DTA Danau Toba pada tahun 2007 adalah 249 jiwa/km2.
Luas lahan pertanian berdasarkan overlay antara peta kemampuan lahan dengan
tutupan lahan di seluruh DTA Danau Toba adalah 14.615 ha. Tetapi berdasarkan
kemampuan lahan, DTA Danau Toba yang dapat dijadikan lahan pertanian adalah
seluas 70 % atau seluas 103.815,29 ha dari seluruh luas kawasan budidaya dan
30% lainnya untuk pemukiman dan infrastruktur. Nilai kebutuhan lahan pertanian
minimum untuk mendapatkan kehidupan yang layak diasumsikan seragam yaitu
0,78/ha/orang sesuai dengan yang ditetapkan tapak ekologi (ecological foot print)
untuk Indonesia (Said R et al. 2009). Jumlah penduduk di DTA Danau Toba yang
bermata pencaharian petani adalah 70 % dengan laju pertumbuhan penduduk 1,14
% per tahun. Perhitungan tekanan penduduk terhadap lahan dapat dirumuskan

dengan ; dimana , z (ha) = luas lahan minimal untuk hidup layak;

f(%)= jumlah petani/populasi penduduk di DTA; Po(org)= jumlah penduduk pada


waktu awal; r(org/thn)= laju pertumbuhan penduduk per tahun; t(tahun)= waktu
periode dan L(ha)= luas pertanian di DTA
Dengan demikian, tekanan penduduk (TP) pada tahun 2007: 0,78 ha/orang
x (0,70 x 665953 (1+0,0114)1/103.815,29) sama dengan 3,5. Untuk tahun 2017,
tekanan penduduknya adalah 0,78 x (0,70 x 665953 (1+0,0114)10 /103.815,29)
sama dengan 4,0.Hal ini menunjukkan bahwa daerah tangkapan air Danau Toba
mempunyai tekanan penduduk yang tinggi, berpotensi terjadinya penyimpangan
yang besar terhadap penggunaan lahan khususnya pemanfaaan kawasan lindung.
Tekanan penduduk yang tinggi tersebut dipengaruhi jumlah petani dan jumlah
lahan pertanian yang ada, serta dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam
mengelola lahan secara efisien dan efektif. Hal ini mengakibatkan kebutuhan
lahan pertanian akan semakin bertambah dan cenderung akan terjadi perluasan
lahan pertanian pada kawasan non pertaniandan akibat selanjutnya adalah
penduduk tidak peduli terhadap kualitas lingkungan dan memperkecil upaya
konservasi sumber daya air.

 
 
110

4.1.11 Kesimpulan Kajian Ekologis DTA Danau Toba


Secara umum hasil pembahasan di atas yaitu tentang kondisi ekologis
daerah tangkapan air Danau Toba menunjukkan bahwa daerah tangkapan air
Danau Toba sudah terjadi degradasi kualitas ekologisnya. Oleh karena itu
diperlukan upaya konservasi untuk melakukan perbaikan ekologis agar dapat
dipertahankan fungsi Danau Toba secara maksimal. Kesimpulan ini berdasarkan
analisis data yang telah dibahas di atas, diantaranya adalah :
1. Penggunaan lahan yang bervegetasi pada tahun 2001 adalah 68,64% dan
yang tidak bervegetasi adalah 31,36% dan tahun 2007 berubah menjadi
penggunaan lahan yang bervegetasi 63,77% (berkurang) dan yang tidak
bervegetasi adalah 36,23% dari luas daratan DTA Danau Toba (bertambah).
2. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan khususnya
pada kawasan lindung mencapai 21,29 % pada tahun 2001 dan bertambah
menjadi 30,01 % pada tahun 2007. Penggunaan lahan pada seluruh DTA Danau
Toba yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan adalah 39,76% pada tahun 2001
dan berubah menjadi 39,97% pada tahun 2007.
3. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRWP Sumatera Utara
khususnya pada kawasan lindung mencapai 24,53% pada tahun 2001 dan 33,25%
pada tahun 2007. Penggunaan lahan pada seluruh DTA Danau Toba yang tidak
sesuai dengan RTRWP Sumatera Utara adalah 43,00% pada tahun 2001 dan
berubah menjadi 43,22% pada tahun 2007.
4. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Danau Toba
khususnya pada kawasan lindung mencapai 29,47 % pada tahun 2001 dan 38,18
% pada tahun 2007. Penggunaan lahan pada seluruh DTA Danau Toba yang tidak
sesuai dengan RTRW Danau Toba adalah 47,92% pada tahun 2001 dan berubah
menjadi 48,13% pada tahun 2007.
5. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Kawasan Hutan
berdasarkan SK 201 Menhut /2006, khususnya pada kawasan lindung mencapai
26,68% pada tahun 2001 dan 35,39 % pada tahun 2007. Penggunaan lahan pada
seluruh DTA Danau Toba yang tidak sesuai dengan RTRW Danau Toba adalah
45,13% pada tahun 2001 dan berubah menjadi 45,35% pada tahun 2007.
6. Tekanan penduduk pada DTA Danau Toba sangat tinggi yakni 3,50 (lebih
besar dari nilai batas yaitu 1)
111
 

4.2 Kajian Neraca Air


4.2.1 Curah Hujan
a. Stasiun Pengamatan Curah hujan
Stasiun pengamatan curah hujan dan posisi koordinat di sekeliling daerah
tangkapan air Danau Toba tercantum dalam Tabel 26 dan Gambar 31

Tabel 26 Stasiun Pencatat Curah Hujan di DTA Danau Toba

No Stasiun Koordinat
1 Situnggaling (Tanah Karo) 2,9125 LU ; 98,5103 BT
2 Sitinjo (Dairi-Sidikalang) 2,7395 LU ; 98,3703 BT
3 Dolok Sanggul (Humbang Hasundutan) 2,2895 LU ; 98,7434 BT
4 Sinur (Toba Samosir) 2,2333 LU ; 98,9833 BT
5 Laguboti (Toba Samosir) 2,3479 LU ; 99,1557 BT
6 Lumbanjulu (Toba Samosir) 2,5786 LU ; 99,0559 BT
7 Parapat (Simalungun) 2,7000 LU ; 98,9300 BT
8 Pangururan (Samosir) 2,6000 LU ; 98,7200 BT

Gambar 31 Stasiun pengamatan curah hujan DTA Danau Toba

b. Data Curah Hujan


Data curah hujan didapatkan dari 8(delapan) stasiun pencatat hujan yang
dianggap mewakili pada DTA Danau Toba seperti di sebutkan dalam Tabel
Lampiran 8

 
 
112

c. Perhitungan Curah Hujan


Perhitungan curah hujan bulanan rata-rata mempergunakan metoda
Thiessen dengan tahapan sebagai berikut :
1. Penentuan stasiun pencatat curah hujan pada peta topografi.
2. Pembuatan peta poligon seperti ditunjukkan pada gambar 31
3. Menghitung luas pengaruh setiap stasiun pencatat curah hujan.
4. Menghitung curah hujan rata-rata bulanan.
Hasil analisis curah hujan bulanan rata-rata di DTA Danau Toba disajikan
pada Gambar 32 dan pada Tabel Lampiran 8.

450

400
)
m
(m
350

N
A
J
300

U
H 250
H
A
R 200
U
C
150

100

50

0
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181

Bulan

Gambar 32 Grafik Curah Hujan rata-rata dari tahun 1993 – 2007


 
Curah hujan rata-rata tahunan dari tahun 1993-2007 (15 tahun) adalah
sebesar 2.095,97 mm/tahun seperti terlihat pada Tabel Lampiran 8. Selanjutnya
curah hujan bulanan rata-rata adalah 174,66 mm/bulan, curah hujan bulanan
tertinggi sebesar 230,93 mm/bulan yang terjadi pada bulan Nopember dan
terendah sebesar 98,02 mm/bulan yang terjadi pada bulan Juni .
Curah hujan diatas 100 mm/bulan (bulan basah) terjadi pada bulan Januari
sampai April serta bulan Agustus - Desember atau sekitar 10 sampai 11 bulan
setiap tahunnya. Curah hujan dibawah 100 mm/bulan terjadi pada bulan Juni -
Juli atau 1 sampai 2 bulan setiap tahunnya.
113
 

300

)
m 250
m 230.93 
 (  226.18  230.06 
at
ar 200 197.00 
‐a 179.89  184.15 
ta 175.85 
r   154.03  153.79 
150 147.54 
n
ja
u 118.55 
H
 h
ar 100 98.02 
u
C
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan 
Gambar 33 Curah hujan rata-rata bulanan DTA Danau Toba
Puncak musim hujan terjadi pada bulan April, Oktober dan Nopember
dengan curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 226,18 mm/bulan sampai
dengan 230,93 mm/bulan. Dan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juni-
Juli dengan curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 98,02-118,55 mm/bulan.

4.2.2 Masukan Air ke Danau Toba


Peningkatan pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pemanfaatan
sumber daya air sementara ketersediaan sumber daya air semakin terbatas. Sesuai
dengan daur hidrologi ketersediaan air dari waktu ke waktu relatif tetap namun
pemakaian dan pemanfaatannya menjadi terbatas karena kondisi kuantitas dan
mutu air yang tidak memenuhi syarat. Untuk menghitung ketersediaan air yang
masuk ke Danau Toba adalah dengan menghitung curah hujan yang terjadi
sepanjang tahun dan sumber air yang berasal dari luar daerah tangkapan air

a. Evapotranspirasi
Perhitungan nilai ETp Evapotranspirasi Potensial (ETp=e)
menggunakan metode Dr. Thornthwaite yang memanfaatkan suhu udara sebagai
indeks ketersediaan energi panas untuk berlangsungnya proses Evapotranspirasi
dengan asumsi suhu udara tersebut berkorelasi dengan radiasi matahari dan unsur
lain yang mengendalikan proses (Sosrodarsono, 1978).
ETp = e = 1,6 * (10*t/I) a …………………………………………(2.4)
a = 0,000000675.I³ – 0,0000771.I² + 0.017921.I + 0.49239

 
 
114

a
;
e = Evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan) dan t = suhu rata-rata
bulanan (ºC)
Perbedaan evapotranspirasi potensial dengan evapotranspirasi terbatas
(ET) dibanding dengan evapotranspirasi potensial dihitung menurut metode
F.J.Mock (Sri Harto Br. 1993) dengan rumus :

(ETp – ET)/ETp = (m/20)(18-n)............................................(2.5)


(ETp – ET) = ETp* (m/20)(18-n)
ET = ETp – [ETp*(m/20)(18-n)]………..….. (2.6)
dimana m = singkapan lahan (%) dan n = jumlah hari hujan dalam sebulan.
Secara matematis evapotranspirasi dirumuskan sebagai berikutE=ETp-ET
seuai dengan rumus (2.6). Nilai singkapan lahan untuk beberapa variasi perubahan
luasan tutupan lahan pada tahun pengamatan tahun 2001 dan tahun 2005 diperoleh
dari interpretasi tabel Nilai Singkapan Lahan(m) dengan asumsi perhitungan
sebagaimana disajikan pada Tabel 27

Tabel 27 Nilai Singkapan Lahan (m)

No. Kondisi Lahan Nilai m

1 Daerah Terbuka 20 % - 40 %

2 Hutan Lebat 0 % - 10 %

3 Lahan Sekunder 10 % - 40 %

4 Lahan Yang Tererosi 20 % - 50 %

5 Lahan Pertanian Yang Diolah 20 % - 50 %

Faktor Singkapan Lahan yang dihitung sesuai dengan jenis tutupan lahan
pada DTA Danau Toba disajikan pada Tabel Lampiran 10 dan 11.Metode
perhitungan nilai singkapan lahan tersebut menggunakan interpretasi nilai
singkapan lahan dari masing-masing tutupan lahan pada Tabel Lampiran tersebut
115
 

di atas. Dengan menghitung luas tutupan lahan dikalikan dengan nilai singkapan
lahan pada Tabel 20 dan dibagi luas total tutupan lahan,dihasilkan nilai singkapan
lahan rata-rata. Berdasarkan luas hasil dari interpretasi Citra Landsat maka
didapatkan nilai singkapan lahan untuk setiap tahun pengamatan. Dari hasil
perhitungan didapat nilai faktor singkapan lahan pada tahun 2001 adalah sebesar
0,35 dan pada tahun 2007 adalah sebesar 0,30 sebagaimana disajikan pada Tabel
Lampiran 10 dan 11. Nilai singkapan inilah yang dipakai untuk menghitung nilai
evapotranspirasi terbatas atau evapotranspirasi aktual dengan rumus sebagai
berikut :
Luas Tutupan Lahan x Nilai Singkapan Lahan Setiap Jenis Tutupan Lahan
m = ----------------------------------------------------------------------------
Luas Total Tutupan Lahan

Nilai Evapotranspirasi Terbatas atau Evapotranspirasi aktual setiap


bulannya dari tehun 1997-2007 disajikan pada Tabel 28

Tabel 28 Nilai evapotranspirasi aktual

Nilai evapotranspirasi aktual bulanan (mm/bl)


Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 41,36 44,65 46,07 47,13 50,12 45,20 82,58 84,45 88,68 87,44 83,45 78,82
1998 50,40 48,79 57,13 60,08 63,58 59,73 55,86 63,50 57,18 61,38 57,78 53,72
1999 72,11 76,26 76,19 84,09 80,53 83,15 77,96 72,04 73,51 74,08 76,78 72,59
2000 64,93 68,87 75,29 80,45 78,73 76,22 80,51 78,76 73,46 86,64 77,61 80,35
2001 65,94 63,82 83,77 74,78 75,87 69,15 71,42 82,13 71,94 85,17 79,08 73,30
2002 61,16 65,72 76,28 76,91 79,70 75,08 75,85 72,32 74,93 75,62 76,87 74,62
2003 64,90 65,00 74,55 75,17 73,73 68,72 70,18 73,09 79,18 79,16 74,33 68,91
2004 67,50 65,37 69,35 68,34 80,75 74,44 64,55 74,26 68,86 76,99 75,61 71,78
2005 54,57 44,29 76,11 79,27 80,24 53,44 73,19 79,50 81,65 80,02 78,59 76,33
2006 60,50 54,63 74,18 44,66 71,82 70,59 75,95 79,10 80,84 77,99 77,86 74,40
2007 67,10 65,19 76,35 76,76 84,15 72,90 74,19 72,63 78,87 73,82 75,24 70,75
Rata2 60,95 60,23 71,39 69,78 74,48 68,06 72,93 75,62 75,37 78,03 75,75 80,35
Nilai evapotranspirasi aktual = ET

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Evapotranspirasi Aktual yang


paling tinggi terjadi pada bulan September 1997 sebesar 88,68 mm/bulan dan
terkecil terjadi pada bulan Januari 1997 sebesar 41,36 mm/bulan serta rata-rata
selama tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 adalah 71,91 mm/bulan.
b. Perhitungan Surplus Curah Hujan
Surplus Curah Hujan (Water Surplus)adalah curah hujan yang jatuh ke
permukaan daratan setelah mengalami evapotranspirasiyang dirumuskan dengan
SCH = CH- ET seperti dijelaskan pada Tabel 29.

 
 
116

Tabel 29 Surplus Curah Hujan (mm)

Curah hujan surplus bulanan (mm/bl)


Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Aug Sep Okt Nop Des
1997 68,69 82,51 190,57 147,45 66,86 46,25 125,35 35,63 44,73 146,50 177,89 55,19
1998 92,62 62,94 6,86 25,19 12,33 17,60 129,54 267,91 82,84 41,97 161,15 147,30
1999 83,03 42,70 139,71 35,94 67,15 1,05 33,52 86,99 278,94 197,57 86,87 100,24
2000 95,11 81,84 146,92 116,98 6,64 13,98 - - 195,84 - 109,41 90,22
2001 181,91 38,87 58,40 172,77 123,64 18,48 25,95 10,47 98,94 266,48 153,32 97,31
2002 197,81 36,97 65,89 170,63 119,80 12,56 21,52 20,28 95,95 276,03 155,52 95,98
2003 100,25 142,63 176,94 245,70 90,50 86,81 83,60 124,23 64,37 134,33 226,09 170,89
2004 97,64 183,65 137,74 245,60 130,51 - 119,40 - 267,50 173,61 236,96 186,96
2005 182,82 39,64 114,83 160,67 31,59 20,48 45,59 86,29 48,10 330,44 215,40 110,16
2006 159,94 180,36 100,75 232,59 143,37 43,49 - 83,76 109,25 228,16 183,91 163,86
2007 127,28 89,22 88,38 244,35 155,69 50,16 65,66 80,09 146,03 227,48 125,86 149,07
Rata‐rata      126,10       89,21     111,54     163,44       86,19       28,26       59,10       72,33     130,23     183,87     166,58     124,29

Curah hujan surplus rata-rata yang terjadi pada DTA Danau Toba adalah
sebesar 111,76 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar
183,87 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Juni yakni sebesar 28,26
mm/bulan. Namun pada beberapa bulan nilai curah hujan surplus adalah nol, hal
ini terjadi karena pada bulan tersebut evapotranspirasi lebih besar dari curah hujan
yang terjadi sehingga nilai surplus curah hujan tidak ada atau bernilai nol.

c. Curah Hujan Yang Langsung Jatuh Ke Danau


Curah hujan danau adalah curah hujan yang jatuh langsung masuk ke
permukaan danauyang dihitung dengan rumus Q1=(CH-Eo)xLuas Danau,
dimana CH = Curah Hujan bulanan (mm/bulan) ; Eo= Evaporasi Danau dan Ld =
Luas Permukaan Danau , seperti disajikan dalam Tabel 30

Tabel 30 Curah hujan yang langsung jatuh ke Danau Toba

Curah hujan surplus bulanan (mm/bl)


Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Aug Sep Okt Nop Des
1997 68,69 82,51 190,57 147,45 66,86 46,25 125,35 35,63 44,73 146,50 177,89 55,19
1998 92,62 62,94 6,86 25,19 12,33 17,60 129,54 267,91 82,84 41,97 161,15 147,30
1999 83,03 42,70 139,71 35,94 67,15 1,05 33,52 86,99 278,94 197,57 86,87 100,24
2000 95,11 81,84 146,92 116,98 6,64 13,98 - - 195,84 - 109,41 90,22
2001 181,91 38,87 58,40 172,77 123,64 18,48 25,95 10,47 98,94 266,48 153,32 97,31
2002 197,81 36,97 65,89 170,63 119,80 12,56 21,52 20,28 95,95 276,03 155,52 95,98
2003 100,25 142,63 176,94 245,70 90,50 86,81 83,60 124,23 64,37 134,33 226,09 170,89
2004 97,64 183,65 137,74 245,60 130,51 - 119,40 - 267,50 173,61 236,96 186,96
2005 182,82 39,64 114,83 160,67 31,59 20,48 45,59 86,29 48,10 330,44 215,40 110,16
2006 159,94 180,36 100,75 232,59 143,37 43,49 - 83,76 109,25 228,16 183,91 163,86
2007 127,28 89,22 88,38 244,35 155,69 50,16 65,66 80,09 146,03 227,48 125,86 149,07
Rata‐rata     126,10       89,21    111,54    163,44       86,19       28,26       59,10       72,33    130,23    183,87    166,58    124,29
117
 

Curah hujan surplus rata-rata yang terjadi pada DTA Danau Toba adalah
sebesar 111,76 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar
183,87 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Juni yakni sebesar 28,26
mm/bulan.

d. Infiltrasi
Nilai infiltrasi tergantung kepada kemiringan lahan, porositas tanah dan
luas penutupan lahan serta nilai koefisien adalah antara 0-1. Dalam hal ini dipakai
koefisien infiltrasi sebesar 0.4 sesuai dengan hasil perhitungan pada analisis
topografi. Besar infiltrasi di DTA Danau Toba disajikan pada Tabel 31

Tabel 31 Nilai Infiltrasi bulanan DTA Danau Toba

Infiltrasi bulanan (mm/bl)


Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 27,48 33,00 76,23 58,98 26,74 18,50 50,14 14,25 17,89 58,60 71,16 22,08
1998 37,05 25,18 2,74 10,08 4,93 7,04 51,82 107,16 33,14 16,79 64,46 58,92
1999 33,21 17,08 55,88 14,38 26,86 0,42 13,41 34,80 111,58 79,03 34,75 40,10
2000 38,05 32,74 58,77 46,79 2,66 5,59 - - 78,34 - 43,77 36,09
2001 72,77 15,55 23,36 69,11 49,46 7,39 10,38 4,19 39,58 106,59 61,33 38,92
2002 79,12 14,79 26,36 68,25 47,92 5,02 8,61 8,11 38,38 110,41 62,21 38,39
2003 40,10 57,05 70,77 98,28 36,20 34,73 33,44 49,69 25,75 53,73 90,44 68,36
2004 39,06 73,46 55,10 98,24 52,20 - 47,76 - 107,00 69,45 94,78 74,78
2005 73,13 15,86 45,93 64,27 12,64 8,19 18,24 34,52 19,24 132,17 86,16 44,07
2006 63,98 72,14 40,30 93,04 57,35 17,40 - 33,50 43,70 91,26 73,56 65,54
2007 50,91 35,69 35,35 97,74 62,27 20,06 26,27 32,04 58,41 90,99 50,34 59,63
Rata-rata 50,44 35,68 44,62 65,38 34,48 11,30 23,64 28,93 52,09 73,55 66,63 49,72

Infiltrasi bulanan rata-rata yang terjadi pada DTA Danau Toba adalah
sebesar 44,71 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar
73,55 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Juni yakni sebesar 11,30
mm/bulan. Pada beberapa bulan tertentu infiltrasi air ke dalam tanah tidak ada.

e. Aliran Permukaan (Direct Run Off=DRO)


Nilai limpasan permukaan tergantung kepada nilai koefisien infiltrasi.
Sementara nilai infiltrasi tergantung kepada kemiringan lahan, porositas tanah dan
luas penutupan lahan serta nilai koefisien adalaj antara 0-1. Hasil perhitungan
nilai koefisien infiltrasi adalah sebesar 0,40 dan DRO adalah (1,0-nilai koefisien
infiltrasi) x Surplus Curah Hujan. Nilai aliran permukaan disajikan pada Tabel 32

 
 
118

Tabel 32 Aliran permukaan bulanan DTA Danau Toba

Tahun
Aliran permukaan bulanan (mm/bl)
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 41,21 49,50 114,34 88,47 40,12 27,75 75,21 21,38 26,84 87,90 106,73 33,11
1998 55,57 37,76 4,11 15,11 7,40 10,56 77,72 160,75 49,71 25,18 96,69 88,38
1999 49,82 25,62 83,82 21,57 40,29 0,63 20,11 52,20 167,36 118,54 52,12 60,15
2000 57,07 49,10 88,15 70,19 3,99 8,39 117,51 65,65 54,13
2001 109,15 23,32 103,66 74,18 11,09 15,57 59,36 159,89 91,99 58,38
2002 118,69 22,18 39,53 102,38 71,88 7,53 12,91 12,17 57,57 165,62 93,31 57,59
2003 60,15 85,58 106,16 147,42 54,30 52,09 50,16 74,54 38,62 80,60 135,65 102,53
2004 58,58 110,19 82,64 147,36 78,30 71,64 160,50 104,17 142,17 112,18
2005 109,69 23,79 68,90 96,40 18,95 12,29 27,35 51,78 28,86 198,26 129,24 66,10
2006 95,97 108,22 60,45 139,55 86,02 26,10 50,26 65,55 136,90 110,35 98,31
2007 76,37 53,53 53,03 146,61 93,41 30,10 39,40 48,06 87,62 136,49 75,52 89,44
Rata-rata 75,66 53,53 70,11 98,07 51,71 18,65 43,34 58,89 78,14 121,35 99,95 74,57

Infiltrasi bulanan rata-rata yang terjadi pada DTA Danau Toba adalah
sebesar 70,33 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar
121,35 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Juni yakni sebesar 18,65
mm/bulan

f. Penyimpanan Air Tanah (Ground Water Storage)


Penyimpanan air tanah (Ground Water Storage) tergantung pada kondisi
geologi daerah tangkapan air yang dapat dihitung dengan rumus Vn = [k*V(n – 1)]
+ [0.5*(1 +k)*In] ; V’n=Vn-V(n-1); k = Faktor resesi aliran tanah; V’n= Volume
air tanah bulan ke n; Vn-1= Volume air tanah bulan ke (n-1) ; Vn = Perubahan
volume air tanah ; In= Infiltrasi volume air yang masuk ke dalam tanah.

g. Aliran di bawah permukaan tanah (Base Flow)


Aliran di bawah permukaan tanah (Bf) adalah air yang menginfiltrasi
mencapai lapisan yang impermeable, kemudian mengalir masuk ke danau yang
besarnya adalah aliran infiltrasi dikurangi dengan penyimpanan air tanah.
Besarnya nilai aliran di bawah permukaan dihitung dengan rumus Bf = If - V’n
seperti yang disajikan pada Tabel 33.
119
 

Tabel 33 Nilai Base Flow (Bf)

Tahun
Aliran bawah tanah bulanan (mm/bl)
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 16,24 33,00 49,03 58,98 26,74 18,50 33,99 14,25 17,89 18,74 35,01 22,08
1998 34,53 25,18 2,74 10,08 4,93 7,04 20,61 55,94 33,14 16,79 40,68 53,29
1999 33,21 17,08 35,76 14,38 26,52 0,42 11,67 19,13 51,56 77,81 34,75 40,10
2000 38,05 32,74 42,80 46,79 2,66 5,59 - - 24,81 - 26,50 34,56
2001 35,90 15,54 - 21,50 3,42 4,07 6,83 8,34 18,32 22,36 27,96 44,76
2002 62,43 12,40 24,82 40,09 46,32 2,29 6,18 6,38 17,27 51,19 61,73 37,68
2003 57,43 54,69 62,01 74,70 34,72 32,23 31,19 39,01 24,73 38,43 58,41 67,70
2004 36,89 56,25 53,70 69,22 50,58 - 31,30 - 42,32 69,21 76,87 74,10
2005 71,38 14,25 40,05 48,23 11,02 6,25 15,35 20,69 18,19 54,44 85,67 43,34
2006 61,02 64,07 38,81 62,66 55,90 14,83 - 19,11 29,92 52,07 70,06 64,84
2007 50,91 35,69 35,35 56,61 62,27 20,06 26,27 31,52 39,74 60,72 50,34 59,63
Rata-rata 45,27 32,81 35,01 45,75 29,55 10,12 16,67 19,49 28,90 41,98 51,63 49,28

Aliran di bawah permukaan tanah bulanan rata-rata yang terjadi pada DTA
Danau Toba adalah sebesar 33,87 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan
Oktober sebesar 51,63 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Juni yakni
sebesar 10,12 mm/bulan
h. Limpasan (Run Off)
Limpasan (RO) adalah jumlah air dari daratan yang masuk ke danau yang
merupakan jumlah air limpasan permukaan dan aliran di bawah permukaan tanah
yang masuk ke danau.Curah Hujan daratan adalah curah hujan yang jatuh ke
daratan pada DTA Danau Toba, kemudian masuk ke danau sebagai limpasan
permukaan atau direct run-off (DRO) dan limpasan air tanah atau base flow(Bf)
dimana RO = DRO + Bf seperti disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34 Limpasan air (Run Off)

Tahun
Limpasan air bulanan (mm/bl)
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 57,46 82,51 163,37 147,45 66,86 46,25 109,20 35,63 44,73 106,64 141,75 55,19
1998 90,10 62,94 6,86 25,19 12,33 17,60 98,33 216,68 82,84 41,97 137,37 141,66
1999 83,03 42,70 119,58 35,94 66,81 1,05 31,78 71,32 218,93 196,35 86,87 100,24
2000 95,11 81,84 130,95 116,98 6,64 13,98 - - 142,31 - 92,15 88,69
2001 145,05 38,86 - 125,16 77,60 15,16 22,40 8,34 77,68 182,25 119,96 103,14
2002 181,12 34,58 64,36 142,47 118,20 9,83 19,09 18,55 74,84 216,81 155,05 95,27
2003 117,58 140,27 168,17 222,12 89,02 84,31 81,35 113,54 63,35 119,02 194,06 170,23
2004 95,48 166,44 136,34 216,58 128,88 - 102,94 - 202,82 173,38 219,04 186,28
2005 181,07 38,03 108,95 144,63 29,97 18,54 42,71 72,47 47,05 252,70 214,91 109,44
2006 156,99 172,28 99,25 202,21 141,93 40,93 - 69,36 95,47 188,97 180,41 163,15
2007 127,28 89,22 88,38 203,22 155,69 50,16 65,66 79,58 127,36 197,20 125,86 149,07
Rata-rata 120,93 86,33 98,75 143,81 81,27 27,07 52,13 62,32 107,04 152,30 151,58 123,85

Limpasan air bulanan rata-rata yang terjadi pada DTA Danau Toba adalah
sebesar 100,62 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar
152,30 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Juni yakni sebesar 27,07
mm/bulan.

 
 
120

i. Debit Sungai Larenun


Dari pengamatan peta topografi, Aliran Sungai Lau Renun adalah sungai
yang tidak masuk didalam DTA Danau Toba. Untuk kepentingan PLTA Lau
Renun, maka debit air sungai Lau Renun dimasukkan ke Danau Tobadan
memanfaatkan energi potensial membangkitkan listrik. Sungai Larenun
mempunyai elevasi diatas elevasi permukaan air Danau Toba sehingga pemerintah
memanfaatkan energi potensial untuk membangkitkan listrik dan sekaligus airnya
masuk ke Danau Toba. Jumlah debit yang masuk ke Danau Toba adalah 10
m3/det atau 25, 62 mm. Dalam penelitian ini, debit air yang berasal dari sungai
Larenun menjadi salah satu komponen perhitungan neraca air pada daerah
tangkapan air Danau Toba. Oleh karena itu, untuk menjaga ketersediaan debit ini
maka selayaknya konservasi di daerah aliran sungai ini juga menjadi bagian dari
kebijakan konservasi daerah tangkapan air Danau Toba.
j. Kuantitas Total Air yang Masuk ke Danau Toba
Jumlah air yang masuk (Iw) ke Danau Toba terdiri dari (a) Curah Hujan
Danau (I1), (b) Run Off (I2) dan (c) Debit Sungai Lau Renun (I3). Sehingga
IW = I1 + I2 + I3.
4.2.3 Keluaran Air
Keluaran air merupakan jumlah air yang bergerak ke luar danau yang
terdiri dari penguapan danau, aliran sungai ke luar danau, rembesan pada
pemukaan dasar danau, kebutuhan air penduduk dan kebutuhan air industry serta
aliran air yang lain yang diperkirakan ke luar danau. Keluaran air dari Danau
Toba terdiri dari Evaporasi Danau Toba (O1), Kebutuhan PLTA Asahan (O2),
Kebutuhan Air Penduduk (O3), Kebutuhan Air Industri (O4) dan Debit Keluaran
Yang Lain (O5) yang dijelaskan di bawah ini :
a. Evaporasi Danau Toba
Jumlah air yang menjadi uap naik ke atmosphere yang berlangsung secara
terus menerus merupakan peristiwa penguapan atau evaporasi yang besarnya
untuk suatu danau adalah sebesar 0,70 dari hasil pengukuran evaporasi di
lapangan. Penguapan Danau Toba setiap bulan yang dihitung dari hasil
pengamatan lapangan dengan panic evaporasi adalah yaitu Ev = 0,70 x Epe
seperti yang disajikan pada Tabel 35.
121
 

Tabel 35 Evaporasi Danau Toba

Tahun
Evaporasi bulanan dari danau (mm/bl)
Jan Peb Maret April Mei Juni Juli Aug Sep Okt Nop Des
1997 50,62 84,08 71,61 80,33 76,49 75,60 78,12 65,59 72,45 67,87 41,90 48,83
1998 56,96 56,15 60,22 59,85 71,61 67,73 73,24 69,98 70,88 69,98 63,00 56,96
1999 60,22 64,68 55,34 75,60 65,10 59,85 66,73 73,24 69,30 53,71 51,98 50,45
2000 63,47 55,86 73,24 56,70 68,36 63,00 79,75 65,10 45,68 66,73 55,13 61,85
2001 61,85 55,86 69,98 53,55 68,36 56,70 65,10 74,87 50,40 63,47 58,28 55,34
2002 37,43 51,45 65,10 53,55 63,47 63,00 79,75 65,10 53,55 55,34 50,40 52,08
2003 61,85 42,63 65,10 48,83 81,38 56,70 61,85 65,10 74,87 68,36 42,53 50,45
2004 55,34 48,51 43,94 50,40 71,61 74,03 61,85 79,75 72,45 61,85 59,85 55,34
2005 83,00 64,68 76,49 66,15 65,10 77,18 66,73 73,24 69,30 53,71 51,98 50,45
2006 56,96 60,27 66,73 66,15 68,36 66,15 69,98 91,14 66,62 57,94 54,20 51,92
2007 58,75 58,36 64,77 61,11 69,98 65,99 70,31 72,26 64,10 62,33 52,76 53,54
Rata-rata 58,77 58,41 64,77 61,11 69,98 65,99 70,31 72,31 64,51 61,93 52,91 53,38

Hasil analisis menunjukkan bahwa evaporasi air danau bulanan rata-rata


yang terjadi pada Danau Toba adalah sebesar 62,87 mm/bulan dan yang terbesar
terjadi pada bulan Agustus sebesar 72,31 mm/bulan serta yang terrendah pada
bulan Nopember yakni sebesar 52,91 mm/bulan.

b. Kebutuhan air untuk PLTA Asahan


Elevasi muka air pada bendungan Pengatur Siruar sama dengan elevasi
muka air di Danau Toba sehingga bendungan ini menjadi pengendali tinggi muka
air Danau Toba. Tinggi muka air Danau Toba dikendalikan berdasarkan
kebutuhan debit air untuk memutar Turbin PLTA Asahan yakni berkisar antara
903,00 m sampai dengan 905,50 m diatas permukaan laut. Berdasarkan hasil
pengukuran debit ke Sungai Asahan maka jumlah air yang keluar dari Danau Toba
ke Sungai Asahan tahun 1997-2007 dengan kondisi sesuai dengan kebutuhan
PLTA Asahan tersebut disajikan pada Tabel 36.

Tabel 36 Keluaran air dari Danau Toba ke Sungai Asahan

Tahun
Keluaran air bulanan ke Sungai Asahan (mm/bl)
Januari Peb Maret April Mei Juni Juli Aug Sep Okt Nop Des
1997 224,73 228,76 252,12 423,51 401,08 295,60 256,28 258,36 250,96 251,42 238,01 243,33
1998 233,85 246,80 241,94 243,10 242,17 251,42 253,27 242,63 253,74 258,13 238,47 259,98
1999 235,70 231,07 240,55 247,26 223,44 222,74 230,84 242,17 240,55 247,26 248,88 240,09
2000 244,95 239,63 235,23 233,38 238,47 238,01 237,78 238,93 237,31 234,31 232,92 234,08
2001 235,00 224,82 380,72 169,54 108,94 68,00 54,82 48,80 53,66 96,45 67,08 62,91
2002 56,90 65,92 66,61 63,61 65,69 78,18 114,49 116,34 117,50 116,81 151,50 153,12
2003 166,77 176,48 184,58 214,42 194,06 204,70 212,10 220,66 233,15 221,36 218,35 222,97
2004 223,24 231,91 233,97 223,07 237,36 237,62 233,41 230,73 202,83 187,35 159,85 155,77
2005 160,94 169,96 169,42 165,87 169,68 172,23 173,71 172,37 166,00 165,68 167,01 162,69
2006 162,82 174,36 183,19 191,68 211,36 223,18 220,25 233,90 233,42 236,05 224,00 344,88
2007 256,27 305,61 458,87 275,67 376,43 263,41 267,54 274,55 269,06 254,89 260,21 256,98
Rata-rata 200,11 208,67 240,66 222,83 224,43 205,01 204,95 207,22 205,29 206,34 200,57 212,44

 
 
122

Keluaran air bulanan rata-rata dari Danau Toba ke Sungai Asahan adalah
sebesar 211,54 mm/bulan dan yang terbesar terjadi pada bulan Agustus sebesar
240,66 mm/bulan serta yang terrendah pada bulan Nopember yakni sebesar
200,11 mm/bulan.

c. Kebutuhan Air Penduduk


Analisis Sosial bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai
pengaruh kependudukan terutama yang memiliki pengaruh timbal balik dengan
perkembangan sosial dan ekonomi, seperti: kondisi demografi wilayah penelitian
saat ini seperti laju pertumbuhan, jumlah, tingkat pendidikan, angkatan kerja,
kepadatan penduduk, matapencaharian) dan perkiraan kondisinya pada waktu 10,
20 dan 50 tahun ke depan.

Analisis Kebutuhan Air Penduduk (KAP)


Analisis Kebutuhan Air Bersih DTA Danau Toba Perhitungan perkiraan
kebutuhan air bersih mengacu pada Kebutuhan Air Rumah Tangga Perkotaan dan
Industri (RKI) berdasarkan Pedoman Perencanaan Sumber Daya Air Buku 3,
tentang ”Proyeksi Penduduk dan Kebutuhan Air RKI (DPU 2004). Komponen
kebutuhan air, terdiri dari kebutuhan air rumah tangga, kebutuhan air perkotaan,
dan kebutuhan air industri.

Kebutuhan Air Bersih Rumah Tangga


Air bersih adalah air yang diperlukan untuk rumah tangga, biasanya
diperoleh secara individu dari sumber air yang dibuat oleh masing-masing rumah
tangga berupa sumur dangkal, atau dapat diperoleh dari layanan Sistem
Penyediaan Air Minum (SPAM) PDAM. Pada daerah tangkapan air Danau Toba
diperhitungkan kebutuhan air bersih rumah tangga yang berasal dari SPAM
PDAM dengan sumber air baku dapat berasal dari air sungai, mata air, sumur
dalam atau kombinasinya pada daerah tangkapan air Danau Toba. Kebutuhan air
bersih rumah tangga, dinyatakan dalam satuan Liter/Orang/ Hari(L/O/H), besar
kebutuhan tergantung dari kategori kota berdasarkan jumlah penduduk dapat
dilihat pada Tabel 37.
123
 

Tabel 37 Kebutuhan Air Bersih Rumah Tangga Menurut Kategori Kota

Kebutuhan Air
No. Kategori Kota Jumlah Penduduk (Jiwa)
Bersih (L/O/H)

1 Kecamatan 3.000 - 20.000 60 - 90


2 Kota Kecil 20.000 - 100.000 90 - 110
3 Kota Sedang 100.000 - 500.000 100 - 125
4 Kota Besar 500.000 - 1.000.000 120 - 150
5 Metropolitan >1.000.000 150 - 200
Sumber : Ditjen Cipta Karya PU 2006 , Materi Pelatihan Penyegaran Sektor Air Minum
L/O/H adalah liter perorang perhari

Dari data tersebut diatas jumlah penduduk setiap kecamatan berada di


bawah 20.000, maka dapat dikategorikan sebagai kota kecil dengan nilai
Kebutuhan Air Bersih adalah berkisar antara maksimum 90 L/O/H. Perhitungan
jumlah kebutuhan air penduduk pada daerah tangkapan air Danau Toba disajikan
pada Tabel 38

d. Kebutuhan Air Perkotaan


Kebutuhan Air Perkotaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan air komersial
dan sosial. Pada umumnya hampir semua pelayanan PDAM antara 15% sampai
dengan 35% dari total air perpipaan untuk kebutuhan air komersial dan sosial
seperti: toko, gudang, bengkel, sekolah, rumah sakit, hotel dsb. Ternyata makin
besar dan padat penduduknya cenderung lebih banyak daerah komersial dan
sosial, sehingga kebutuhan untuk air komersial dan sosial akan lebih tinggi jika
penduduk makin banyak.
Asumsi bahwa kebutuhan air untuk perkotaan diasumsikan sebesar 35 %
dari kebutuhan air bersih rumah tangga dengan Kehilangan : (1).Kehilangan
dalam proses sebesar 6 % (2). Kehilangan air tidak terhitung yaitu sebesar 25 %.
Perhitungan jumlah kebutuhan air penduduk termasuk kebutuhan air perkotaan
pada daerah tangkapan air Danau Toba disajikan pada Tabel 38

 
 
124

Tabel 38 Kebutuhan Air Penduduk

Kebutuhan Air KAP dg


Kebutuhan Air Kebutuhan Air
Jumlah Ratarata Rumah Kehilangan
Ratarata Rumah Ratarata Kebutuhan Air Penduduk (KAP)
Penduduk Tangga dan KP=6 % ; KT=
Tangga Perkotaan
Perkotaan 25 %
No. Tahun
RK= R + (35% KAP=(RK)/(1-
R 35%x R KAP
Jiwa R) KP)/(1-KT)
(L/O/H) (L/O/H) (L/O/H) (L/O/H) (L/O/H) m3/det mm/bl

1 2002 661.873,66 90 31,5 121,5 172 172 1,32 3,06

2 2003 654.043,66 90 31,5 121,5 172 172 1,30 3,02

3 2004 652.360,66 90 31,5 121,5 172 172 1,30 3,01

4 2005 657.779,00 90 31,5 121,5 172 172 1,31 3,04

5 2006 660.490,00 90 31,5 121,5 172 172 1,32 3,05

6 2007 665.953,00 90 31,5 121,5 172 172 1,33 3,07


L/O/H adalah liter perorang perhari

e. Kebutuhan Air Industri (KAI)


Kebutuhan air untuk industri sangat kompleks, biasanya sesuai dengan
klasifikasi jenis dan ukuran industrinya, namun korelasi antara jenis dan ukuran
industri dengan kebutuhan air tersebut kurang nyata. Air yang digunakan setiap
pabrik berbeda untuk masing masing jenisnya (pabrik tekstil berbeda dengan
pabrik elektronik), selain itu tergantung pula pada ukuran pabrik, teknologi yang
dipergunakan (umumnya yang lebih modern akan lebih efisien dalam penggunaan
air), bahkan untuk setiap produk yang dikerjakan pada setiap saat. Sehingga, akan
sulit menentukan perkirakan kebutuhan air untuk industri secara lebih akurat.
Besar kebutuhan air bersih industri diperhitungkan berdasarkan jumlah penduduk
dan kebutuhan perpekerja dan rata - rata pelayanan, yaitu : KAI= %P x AP x RL
Dimana : KAI = Kebutuhan Air Industri, L/O/H=liter per orang per hari;
%P = Persentase asumsi penduduk : AP = Kebutuhan air industri per tenaga kerja,
pada tahap awal diperhitungkan sebesar 500 L/O/H, terjadi peningkatan sebesar 1
% setiap tahun, sehingga ada kenaikan pada tahap perencanaan tahun 2011
menjadi sebesar 526 L/O/H; tahun 2021 menjadi sebesar 580 L/O/H dan tahun
2030 menjadi sebesar 635 L/O/H. RL = Rerata Layanan, diperhitungkan konstan
sebesar 70 % serta Kehilangan sebesar (1).Kehilangan dalam proses sebesar 6 %
dan (2). Kehilangan air tidak terhitung yaitu sebesar 25 %.Perhitungan jumlah
kebutuhan air industri pada daerah tangkapan air Danau Toba disajikan pada
Tabel 39
125
 

Tabel 39 Kebutuhan Air Industri (KAI)


Asumsi Tenaga KAI dg
Kebutuhan Air
Jumlah Kerja dari Kebutuhan Air Kehilangan
Industri per Rerata Layanan Kebutuhan Air Industri (KAI)
Penduduk Jumlah Industri KP=6 % ; KT=
Tenaga Kerja
Penduduk 25 %
No. Tahun
( )=(RK)/(1-
AP %P RL RK= AP*%P*RL KAI
Jiwa KP)/(1-KT)

(L/O/H) % % (L/O/H) (L/O/H) (L/O/H) m3/det mm/bl

1 2002 661.873,66 500 6,00% 70,00% 21 30 30 0,23                      0,53

2 2003 654.043,66 500 6,00% 70,00% 21 30 30 0,23                      0,52

3 2004 652.360,66 500 6,00% 70,00% 21 30 30 0,22                      0,52

4 2005 657.779,00 500 6,00% 70,00% 21 30 30 0,23                      0,52

5 2006 660.490,00 500 6,00% 70,00% 21 30 30 0,23                      0,53

6 2007 665.953,00 500 6,00% 70,00% 21 30 30 0,23                      0,53

f. Kuantitas Total Air Yang Keluar dari Danau Toba


Jumlah air yang keluar dari Danau Toba terdiri dari :
1. Evaporasi Danau Toba, (Ow1)
2. Debit Aliran Sungai Asahan untuk kebutuhan PLTA (Ow2)
3. Debit Kebutuhan Air Penduduk dan Industri(Ow3)

g. Dugaan Aliran air yang lain yang masuk ke Danau Toba dan aliran
yang ke luar dari Danau Toba

Yang dimaksud dengan Aliran Air yang lain (Al) adalah ada aliran air
yang berasal dari Daerah Tangkapan Air yang lain yang masuk ke DTA selain
dari Sungai Larenun. Dugaan ini berasal dari selisih antara jumlah air hasil
perhitungan pengukuran tinggi permukaan air Danau Toba di lapangan dengan
jumlah air hasil perhitungan ketersediaan air dari Danau Toba.
Air yang masuk ke Danau Toba di kurangi dengan air yang ke luar Danau
Toba akan menambah atau mengurangi tinggi permukaan air sehingga di dapatkan
angka tinggi permukaan air danau secara perhitungan.
Air yang masuk ke Danau Toba =I
Air yang ke luar Danau Toba =O
Selisih air adalah : dL = I – O
Elevasi awal permukaan = WLo
Elevasi akhir perhitungan : WL1 = WLo + dL
Elevasi pengamatan : WLobs

 
 
126

Selisih elevasi permukaan : dWL = WL obs – WL1


Selisih WL hitungan dengan WL obs selalu tidak sama setiap bulannya
bahkan berbeda secara signifikan, perbedaan ini diduga masih ada debit air yang
belum terhitung masuk ke dan keluar dari Danau Toba. Diduga debit yang masuk
ke danau tersebut diduga berasal dari diluar daerah tangkapan air Danau Toba dan
sebaliknya ada debit yang keluar dari Danau Toba ke daerah tangkapan air
lainnya. Dugaan tersebut berasal dari selisih antara tinggi permukaan perhitungan
dengan tinggi permukaan pengamatan tidak menunjukkan satu pola. Pada setiap
bulannya ada kalanya tinggi permukaan air perhitungan lebih besar dari
pengamatan dan sebaliknya ada kalanya tinggi permukaan danau secara
perhitungan lebih kecil dari tinggi permukaan pengamatan. Dengan melakukan
penyesuaian nilai masukan dan keluaran air yang didasarkan kepada nilai tinggi
permukaan air pengamatan adalah sama dengan nilai tinggi permukaan
perhitungan maka maka didapat suatu perkiraan debit yang masuk dan debit yang
ke luar dari Danau Toba.
Perkiraan tambahan jumlah air yang masuk ke Danau Toba diduga berasal
dari Cekungan Air Tanah yang berada di sekitar kawasan Danau Toba dan dari
resapan air pada punggung di balik bukit-bukit yang mengelilingi daerah
tangkapan air Danau Toba. Resapan tersebut masuk ke DTA Danau Toba diduga
karena lapisan batuan miring ke arah Danau Toba.
Perkiraan adanya sejumlah air yang ke luar dari Danau Toba juga
diperkirakan terjadi oleh karena adanya resapan lapisan dasar air Danau Toba atau
celah-celah batuan yang ada di lapisan dasar Danau Toba. Hal ini diduga bahwa
adanya beberapa mata air yang ke luar di daerah Pematang Siantar yang
merupakan bocoran dari Danau Toba.

h. Koreksi Kuantitas Total Air yang Masuk ke Danau Toba


Dengan memperhatikan hal tersebut di atas maka ada koreksi terhadap
total air yang masuk ke Danau Toba dengan memperhitungkan aliran air yang
masuk ke Danau Toba. Sehubungan dengan adanya debit tersebut di atas maka
selanjutnya perhitungan neraca air akan memperhitungkan perkiraan besar debit
127
 

yang lain yang yang masuk sehingga jumlah air yang masuk ke Danau Toba
menjadi terdiri dari :
1. Curah Hujan Danau (I1)
2. Run Off (I2)
3. Debit Sungai Lau Renun (I3)
4. Aliran Air Yang Lain ( I4)
Secara total jumlah air yang masuk ke Danau Toba adalah IW = I1 + I2 +
I3 + I4, seperti yang disajikan pada Tabel 40.

Tabel 40 Jumlah Air Yang Masuk ke Danau Toba ( x 1.000.000 m3)


3
Jumlah air yang masuk ke Air Danau Toba (x1.000.000 m )
Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des Jumlah
1997 406,72 479,16 780,74 719,66 485,17 345,66 602,70 322,71 362,99 378,73 750,80 493,59 6.128,64
1998 500,16 414,54 242,52 269,63 218,89 251,99 549,49 1.047,49 715,30 339,13 694,43 686,81 5.930,37
1999 677,33 575,44 654,27 638,71 454,41 359,94 315,08 461,74 1.071,73 936,03 581,18 642,85 7.368,70
2000 535,94 512,58 686,97 639,68 296,74 260,67 160,24 437,27 773,81 431,90 536,52 509,06 5.781,37
2001 549,22 430,43 449,11 576,12 252,38 257,54 246,15 295,69 505,21 414,19 496,30 803,36 5.275,69
2002 844,90 333,57 424,11 766,62 644,08 248,87 245,92 251,73 489,71 1.077,79 758,51 529,20 6.615,01
2003 855,03 734,28 825,19 1.062,58 526,49 524,35 543,21 623,70 427,70 664,09 937,47 807,83 8.531,92
2004 544,05 848,04 689,84 1.039,89 685,84 196,86 563,54 162,41 1.012,43 850,36 1.018,50 871,90 8.483,67
2005 854,16 321,33 597,81 764,24 309,48 256,36 332,02 477,62 368,45 1.238,24 987,77 584,87 7.092,35
2006 768,19 848,93 554,35 961,53 725,39 361,72 147,56 463,51 565,69 953,26 859,35 786,85 7.996,33
2007 624,17 531,54 509,65 1.002,38 785,06 591,47 411,92 477,79 686,17 968,32 644,09 726,86 7.959,43
Rata2 650,90 548,17 583,14 767,36 489,45 332,31 374,35 456,51 634,47 750,18 751,36 676,65 7.014,86

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah air bulanan rata-rata yang


masuk ke Danau Toba adalah sebesar 584,57x106 m3 dan rata-rata pertahunnya
adalah 7.014,86 x106 m3.

i. Koreksi jumlah air yang ke luar dari Danau Toba


Dengan memperhatikan hal tersebut di atas maka ada koreksi terhadap
total air yang ke luar dari Danau Toba dengan memperhitungkan aliran air yang
keluar dari Danau Toba. Sehubungan dengan adanya debit tersebut di atas maka
selanjutnya perhitungan neraca air akan memperhitungkan perkiraan besar debit
yang lain yang keluar dan yang masuk, besarnya adalah :
1. Evaporasi Danau Toba, (Ow1)
2. Debit Aliran Sungai Asahan untuk kebutuhan PLTA (Ow2)
3. Debit Kebutuhan Air Penduduk dan Industri(Ow3)
4. Debit yang lain air ke luar Danau Toba (Ow4),
seperti disajikan pada Tabel 41.

 
 
128

Tabel 41 Keluaran Air dari Danau Toba


3
Jumlah air yang ke luar dari Danau Toba (x1.000.000 m )
Tahun
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des Jumlah
1997 352,34 538,89 747,87 678,53 548,40 554,18 690,07 571,63 584,48 503,76 705,41 505,38 6.980,95
1998 570,93 593,29 392,29 458,59 382,30 387,80 634,66 941,95 425,37 390,57 671,40 688,99 6.538,11
1999 426,52 405,42 511,05 414,86 362,71 378,72 370,79 554,71 861,06 385,47 368,69 391,20 5.431,20
2000 394,38 560,71 667,51 515,40 378,43 427,08 435,53 436,34 1.014,46 365,66 652,68 416,06 6.264,26
2001 383,99 362,52 521,68 631,60 243,04 470,38 510,84 531,73 627,95 477,66 439,61 671,99 5.872,97
2002 555,31 305,96 522,61 672,43 464,37 243,29 468,69 422,54 561,93 953,63 471,41 313,67 5.955,85
2003 680,56 473,97 719,04 897,97 368,55 673,41 382,52 701,91 576,16 691,80 867,37 470,27 7.503,51
2004 601,60 845,48 608,64 1.069,03 701,25 483,06 817,67 435,43 1.155,94 661,47 764,40 494,09 8.638,08
2005 682,85 424,32 755,48 674,77 431,93 508,82 588,05 761,21 516,44 1.229,43 939,16 522,26 8.034,71
2006 674,38 963,07 686,27 963,08 647,99 384,40 359,72 747,14 597,38 989,42 695,62 660,44 8.368,92
2007 385,50 525,39 511,64 836,63 606,28 404,54 524,16 528,35 613,76 988,24 623,75 610,40 7.158,64
Rata2 518,94 545,36 604,01 710,26 466,84 446,88 525,70 602,99 684,99 694,28 654,50 522,25 6.977,02

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah air bulanan rata-rata yang ke


luar dari Danau Toba adalah sebesar 581,42 x 1.000.000 m3 dan rata-rata
pertahunnya adalah 6.977,02 x 1.000.000 m3.

4.2.4 Neraca Air Danau Toba


Perhitungan neraca air pada Danau Toba dilakukan dengan menghitung
hal-hal sebagai berikut :
a. Jumlah air yang masuk ke Danau Toba atau Inflow Water (Iw)
b. Jumlah air yang keluar dari Danau Toba atau Outflow Water (Ow)
c. Selisih debit air antara yang masuk dan yang keluar (ds)
dS = (Iw1 + Iw2 + Iw3+Iw4) - (Ow + Ow2 + Ow3+Ow4)
Perhitungan neraca air pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2007 pada
daerah tangkapan air Danau Toba disajikan pada Tabel 41 dan Gambar 34

Tabel 41 Neraca Air Danau Toba tahun 1997-2007 ( x 106 m3)

Tahun Air Yg Masuk Air Yg Keluar Selisih


1997 6.128,64 6.980,95 (852,31)
1998 5.930,37 6.538,11 (607,74)
1999 7.368,70 5.431,20 1.937,49
2000 5.781,37 6.264,26 (482,89)
2001 5.275,69 5.872,97 (597,28)
2002 6.615,01 5.955,85 659,16
2003 8.531,92 7.503,51 1.028,41
2004 8.483,67 8.638,08 (154,41)
2005 7.092,35 8.034,71 (942,37)
2006 7.996,33 8.368,92 (372,59)
2007 7.959,43 7.158,64 800,79
Jumlah             77.163,47            76.747,21                  416,26
129
 

Gambar 34 Neraca Air Danau Toba

Hasil perhitungan neraca air tahun 1997-2007 yang dijelaskan pada Tabel
41, menunjukkan bahwa jumlah air selama 11 tahun Danau Toba masih
menunjukkan kelebihan air sebanyak 416,26 juta m3dan tinggi permukaan air
berada diantara 902.4-905,5 m dpl. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa daerah
tangkapan air Danau Toba mengalami defisisit setiap tahunnya. Pada tahun 1999,
2003 dan tahun 2007 DTA Danau Toba mengalami kelebihan air tetapi cenderung
kelebihan tersebut semakin berkurang setiap 4 tahun. Secara berurutan kelebihan
tersebut dari tahun 1997, 2003 dan 2007 adalah 1937,49 juta m3, 1028,41 juta m3
dan 800,79 juta m3. Dari angka tersebut dapat diduga untuk tahun berikutnya
sudah semakin turun dan cenderung terjadi defisit air yang semakin besar
Pada tahun 1997 sampai dengan tahun 1998 dan dari tahun 2000 sampai
dengan tahun 2001 serta tahun 2004 sampai tahun 2006 jumlah keluaran air dari
Danau Toba lebih besar dari jumlah air yang masuk ke Danau Toba. Namun pada
tahun dari tahun 1998 sampai akhir tahun 1999 dan tahun 2001 sampai dengan
tahun 2004 jumlah air yang masuk ke Danau Toba lebih besar dari air yang ke
luar dari Danau Toba. Volume air Danau Toba semakin lama semakin berkurang
sementara tinggi permukaan air danau relatip sama.

 
 
130

4.2.5 Tinggi Permukaan Air Danau Toba


Kondisi tinggi permukaan air Danau Toba periode tahun 1997 - 2007
berada diantara 902,50 – 905,00 m dpl seperti disajikan pada Gambar 35.

Gambar 35 Tinggi permukaan air Danau Toba 1997-2007

Berdasarkan data tinggi muka air dari tahun 1997-2007 menunjukkan


fluktuasi muka air sekitar 2,8 meter. Muka air tertinggi terjadi pada bulan Januari
tahun 2004 sebesar 905,08 m dpl dan terendah terjadi pada bulan Juli tahun 1998
sebesar 902,28 m. Tinggi muka air merupakan refleksi dari neraca air yang terjadi
di daerah tangkapan air. Dari hasil analisis ditemukan tinggi permukan danau rata-
rata berada pada elevasi 903,85 m dpl.
4.2.6 Implikasi Perubahan Penggunaan Lahan dan Tinggi Muka Air
Tinggi muka air danau dihitung dari tinggi pada saat pengamatan ditambah
dengan tambahan air yang masuk atau yang keluar dalam satuan meter. Tinggi
muka air Danau Toba tahun 1997- 2007 disajikan pada Tabel 42.
Tabel 42 Ketinggian Permukaan Air Danau Toba tahun 1997-2007

Tahun Tinggi permukaan air Danau Toba (m dpl)


Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nop Des
1997 903,14 902,97 902,83 904,09 904,03 903,83 903,75 903,51 903,30 903,18 903,22 903,21
1998 902,87 903,03 903,17 902,64 902,49 902,36 902,28 902,38 902,66 902,61 902,63 902,63
1999 904,62 904,57 904,59 903,38 903,47 903,45 903,40 903,31 903,51 904,04 904,24 904,48
2000 904,19 904,25 904,18 904,71 904,63 904,47 904,21 904,21 903,98 904,04 903,93 904,02
2001 903,73 903,76 903,66 904,13 904,13 903,93 903,68 903,45 903,33 903,28 903,33 903,45
2002 904,25 904,50 904,60 903,75 903,92 903,93 903,72 903,55 903,49 903,60 903,88 904,08
2003 905,02 905,02 905,09 904,76 904,91 904,77 904,92 904,85 904,70 904,68 904,74 905,07
2004 905,08 904,99 904,84 905,07 905,05 904,78 904,53 904,27 904,14 904,32 904,56 904,92
2005 904,11 904,00 903,88 904,92 904,81 904,56 904,32 904,05 903,91 903,92 903,96 904,02
2006 903,77 903,78 903,78 903,87 903,95 903,93 903,72 903,45 903,42 903,39 903,54 903,66
2007 904,42 904,44 904,50 903,94 904,11 904,29 904,18 904,13 904,20 904,18 904,20 904,31
Rata-rata 904,11 904,12 904,10 904,11 904,14 904,03 903,88 903,74 903,69 903,75 903,84 903,99
131
 

a. Hubungan antara perubahan luas hutan dengan tinggi permukaan air


dan curah hujan di DTA Danau Toba
Hutan sebagai vegetasi penutup lahan berfungsi untuk menyerap sebagian
dari curah hujan sehingga mengurangi aliran air limpasan permukaan kemudian
menyimpan dan mengalirkan melalui akarnya ke dalam tanah. Dengan demikian
hutan berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air permukaan. Jika terjadi
perubahan luasan hutan maka akan terjadi juga perubahan besaran nilai aliran
limpasan air permukaan. Perubahan luasan hutan akan mempengaruhi besaran
nilai evapotranspirasi sehingga mempengaruhi siklus hidrologi suatu daerah
tangkapan air, selanjutnya juga mempengaruhi curah hujan. Oleh karena itu perlu
diketahui hubungan perubahan luasan hutan terhadap curah hujan dan tinggi
permukaan air. Berdasarkan data yang diperoleh perubahan luasan hutan dan
curah hujan serta tinggi permukaan pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba
seperti yang disajikan pada Tabel 43 dan berdasarkan analisa dengan
menggunakan program Minitab 15 maka didapatkan persamaan regresi WL = 901
+ 0,0142 CH – 0,000001 Htn, dimana WL adalah tinggi permukaan air danau, CH
adalah curah hujan dan Htn adalah hutan.

Tabel 43 Tinggi permukaan air, curah hujan dan luas hutan

Tinggi Muka Air Curah Hujan rata-


Luas Hutan
Tahun Danau rata
m mm/bl Ha
1997 903,42 163,96 105.404,54
1998 902,65 144,78 105.404,54
1999 903,92 172,75 105.404,54
2000 904,23 145,68 105.404,54
2001 903,65 140,91 105.404,54
2002 903,94 178,58 59.987,27
2003 904,88 217,26 59.987,27
2004 904,71 218,35 59.987,27
2005 904,20 186,93 59.987,27
2006 903,69 204,67 59.987,27
2007 904,24 203,10 59.987,27

Hasil pengamatan tinggi permukaan air Danau pada tahun 2001 berbeda
dengan pada tahun 2005 seperti disajikan pada Gambar 36. Pada tahun 2001
tinggi permukaan air danau berada diantara 903,4 mm/bl sampai dengan 904,3
mm/bl sementara pada tahun 2005 tinggi permukaan air danau berada antara
904,00 mm/bl sampai dengan 905,00 mm/bl artinya terjadi peningkatan tinggi
permukaan air.

 
 
132

Penggunaan Lahan Tahun 2001

(m dpl )
Tinggi permukaan air
905.0

904.5
904.0
903.5

903.0
902.5

49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Bulan ke 49 = Jan 2001 dan Bulan ke 60 = Des 2001

Penggunaan Lahan Tahun 2005


Tinggi permukaan air
( m dpl)

905.0
904.5
904.0
903.5
903.0
902.5

97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108


Bulan ke 49 = Jan 2005 dan Bulan ke 60 = Des 2005
 

Gambar 36 Tinggi Permukaan Air Danau Toba, tahun 2001 dan 2005

b. Implikasi perubahan tutupan lahan terhadap Aliran Limpasan


Limpasan (RO) adalah jumlah air dari daratan yang masuk ke danau yang
merupakan jumlah air limpasan permukaan (DRO) dan aliran di bawah
permukaan tanah (BF) yang masuk ke danau, dirumuskan sebagai berikut :
RO = DRO + Bf
Hasil analisis didapat suatu hubungan yang kuat antara perubahan tutupan
luasan lahan dengan debit aliran limpasan dimana semakin besar nilai faktor
tutupan lahan maka nilai limpasan permukaan semakin besar. Nilai singkapan
lahan berubah dari nilai m = 0,2 pada tahun 2001 menjadi m = 0,35 pada tahun
2005 serta tahun 2007 menjadi m = 0,3 yang ditunjukkan dari perubahan luas
tutupan lahan dari beberapa kelompok tutupan lahan.Dari analisis multiple
regression didapat hubungan antara perubahan tataguna lahan dengan aliran
limpasan mengikuti persamaan Y = A + BX1+CX2+DX3+EX4+FX5+GX6+
HX7. Dimana, Y = Debit Aliran Limpasan (mm/bl); X1 = Luas Hutan (Ha); X2 =
133
 

Luas Kebun Campuran (Ha); X3 = Luas Sawah (Ha); X4 = Luas Semak


Belukar (Ha); X5 = Luas Lahan Terbuka (Ha); X6 = Luas Tegalan (Ha); X7 =
Luas Pemukiman (Ha). Nilai korelasi parsial dapat dilihat bahwa perubahan
tataguna yang paling berpengaruh terhadap aliran limpasan permukaan adalah
hutan dan kebun campuran. Dengan menggunakan dengan software MiniTab 14,
maka didapat persamaan:

DRO = 224 – 0,00028 Hutan + 0,0071 Kebun Campuran

Persamaan tersebut dapat dikemukakan bahwa variabel yang berpengaruh


positif terhadap DRO adalah hutan, kebun campuran artinya jika terjadi
perubahan kedua variable tersebut maka akan diikuti dengan perubahan aliran air
limpasan permukaan.Dari hasil monitoring terhadap perubahan penggunaan lahan
maka didapat kondisi evapotranspirasi dan limpasan air permukaan yang berbeda
dari tahun 2001 dengan tahun 2005 seperti dijelaskan pada Gambar 36.
Kondisi curah hujan pada tahun 2001 pada bulan April dan bulan
Nopember sampai dengan Desember terdapat curah hujan yang tinggi diatas 200
mm/bl. Pada tahun 2005 luas lahan yang bervegetasi semakin berkurang dan
curah hujan diatas 200 mm/bl terdapat pada April dan pada bulan Oktober-
Desember. Pada tahun 2001 dan tahun 2005 curah hujan senantiasa lebih besar
dari pada Evapotranspirasi sehingga terjadi kondisi surplus air hujan. Limpasan
air permukaan (DRO) semakin meningkat dari tahun 2001(sebesar 50 mm/bulan
pada bulan Nopember) ke tahun 2005 sebesar 200 mm/bl. Hal ini diduga akibat
dari jumlah luasan lahan yang bervegetasi semakin berkurang sehingga air
limpasan semakin besar.

4.3 PERSEPSI PAKAR


4.3.1 Struktur Hirarki
Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hirarki atau jaringan
dari permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarki terdapat tujuan utama,
kriteria, sub criteria dan alternatif yang akan dibahas. Perbandingan pasangan
dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam struktur. Hasil dari

 
 
134

perbandingan pasangan ini akan membentuk matrik dimana skala rasio diturunkan
dalam bentuk eigen vektor utama atau fungsi eigen.Analisis kebijakan ini disusun
atas lima level/hierarki, seperti yang disajikan pada Gambar 37.
4.3.2 Penyusunan Kuesioner dan Identitas Pakar
Setelah itu dilakukan penyusunan kuesioner berdasarkan level/hierarkhi
dan diisi dengan jawaban pertanyaan dari pakar.Diskusi difokuskan pada
pertanyaan-pertanyaan spesifik untuk memperoleh pemahaman yang mendalam
dari sudut pandang dan pengalaman pakar, persepsi, pengetahuan, dan sikap
tentang kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba yang berkelanjutan.
Kuesioner ditanyakan kepada 11 pakar. Identitas pakar yang diwawancarai adalah
disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44 Daftar pakar yang diwawancarai tentang persepsi Danau Toba

No. Nama Alamat Profesi


1. Prof.Dr.Ing.Ternala Barus, MSc Medan Akademisi USU
2. Dr.Ir.Fritz. Sihombing,STh P. Siantar/Kab.Simalungun Akademisi UNH
3. Dr.Edward Simajuntak,MSc Medan /BKPEKDT Lembaga
4. Annevte Horschmann Tuktuksiadong/Samosir LSM
5. Drs. Amistan Purba, S.Si, MM Humbang Hasundutan Masyarakat
6. Drs. Ervan Ghani, M.IP Balige/Tobasa Masyarakat
7. Ir. E. Siagian, MSc Jakarta /Otorita Asahan Pengusaha
8. Drs. Ketaren, MSc Berastagi/Tanah Karo Masyarakat
9. Dr.Ir.H.Indrautama, Msc Medan BLH Sumut Pemerintah
10. Dr.Ir.Budi S, MSc Jakarta/PU Pemerintah
11. Dr.Ir.Indah Anggreani,M.Si Kepala BTKLPPN Medan Pemerintah

4.3.3 Analisis Kebijakan


Penetapan prioritas kebijakan dalam AHP dilakukan dengan menangkap
secara rasional persepsi pakar dan praktisi, kemudian mengkonversi faktor-faktor
yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat
dibandingkan. Tahap terpenting dari AHP adalah penilaian perbandingan
berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan
antar komponen dalam suatu tingkat hirarki (Saaty, 1993). Pengolahan data
dilakukan dengan berbasis komputer menggunakan perangkat lunak Expert
Choice 2000. Hasil analisis kebijakan dengan AHP disajikan pada Gambar 37 dan
Tabel 45
135
 

KEBIJAKAN KONSERVASI
SUMBERDAYA AIR DANAU Fokus 
TOBA YAN BERKELANJUTAN 

Faktor 
SUMBER DAYA SUMBER DAYA KEBIJAKAN TEKNOLOGI
ALAM MANUSIA PEMERINTAH
0,096
0,261 0,129 0,513

Aktor 

Pemerintah Masyarakat Pengusaha Akademisi LSM


0,491 0,197 0,168 0,074
0,070

Tujuan 
EKOLOGI NERACA SOSIAL EKONOMI
AIR
0,272 0,198 0,234
0,296

Alternatif 

KONSERVASI KONSERVASI KONSERVASI KONSERVASI KONSERVASI


HUTAN KAWASAN KAWASAN KAWASAN KAWASAN
PADA PERTANIAN PEMUKIMAN PARIWISATA INDUSTRI
KAWASAN
BERHUTAN

0,333 0,256 0,189 0,157 0,065

Gambar 37. Hirarki penentuan kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba

4.3.4 Prioritas Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba yang


Berkelanjutan
Berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan penelitian di lapangan ada 4
level hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi kebijakan dan strategi
konservasi sumberdaya air Danau Toba, yaitu: (1) level fokus; (2) level aktor; (3)
level tujuan dan (4) level pilihan strategi (alternatif). Level-level tersebut
kemudian diuraikan lagi menjadi sub level (sub kriteria) berdasarkan diskusi
dengan pakar. Hasil analisis AHP secara terperinci seperti pada Tabel 45.

 
 
136

Tabel 45 AHP Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air DT

Tingkat
No. Elemen Pendapat Pakar
Prioritas
I. Fokus
Konservasi Sumberdaya Air

II. Faktor
1. Kebijakan Pemerintah 0,513 1
2. Sumber Daya Alam 0,261 2
3. Sumberdaya Manusia 0,129 3
4. Teknologi 0,096 4
III Tujuan
1. Pemerintah 0,491 1
2. Masyarakat 0,197 2
3. Pengusaha 0,168 3
4. Akademisi 0,074 4
5. LSM 0,070 5
IV Tujuan
1. Neraca Air 0,296 1
2. Ekologi 0,272 2
3. Ekonomi 0,234 3
4. Sosial 0,198 4
V. Alternatif Kebijakan
1. Konservasi Hutan pada Kawasan Hutan 0,491 1
2. Konservasi Kawasan Pertanian 0,197 2
3. Konservasi Kawasan Pemukiman 0,168 3
4. Konservasi Kawasan Industri 0,074 4
5. Konservasi Kawasan Pariwisata 0,070 5

Peran masing-masing stakeholder dan strategi konservasi sumberdaya air


Danau Toba, difokuskan pada konservasu sumberdaya air di sekitar kawasan
Danau Toba karena besaran (size) dan kompleksitas permasalahan dan
ketergantungan masing-masing sektor dan pihak yang terkait dalam suatu
kawasan merupakan salah satu alat yang berpengaruh untuk efisiensi pencapaian
tujuan pelaksanaan kebijakan konservasi bagi wilayah sekitar.
a. Faktor
Level pertama adalah fokus yaitu : Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air
Danau Toba yang Berkelanjutan. Level kedua adalah faktor terdiri dari 4 sub
level yaitu 1). Sumberdaya Alam, 2). Sumberdaya Manusia, 3). Kebijakan
Pemerintah, dan 4). Teknologi. Level ketiga adalah Aktor yang terdiri dari 5 sub
level yaitu 1). Pemerintah, 2). Masyarakat, 3). Pengusaha, 4). Akademisi, dan 5).
137
 

LSM. Level keempat adalah Tujuan yang terdiri dari 5 sub level yaitu 1).
Ekologi, 2). Neraca Air, 3). Sosial, 4). Kelembagaan, dan 5). Ekonomi. Level
kelima adalah Alternatif terdiri dari 5 sub level yaitu 1). Konservasi Hutan pada
Kawasan Berhutan, 2). Konservasi Kawasan Pertanian, 3). Konservasi Kawasan
Pemukinan, 4). Konservasi Kawasan Pariwisata, dan 5). Konservasi Kawasan
Industri. Garis-garis yang menghubungkan kotak-kotak antar level merupakan
hubungan yang perlu diukur dengan perbandingan pasangan dengan arah ke level
yang lebih tinggi. Level 1 merupakan fokus dari penelitian yakni Kebijakan
Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba yang Berkelanjutan.
Faktor-faktor pada level 2 diukur dengan perbandingan pasangan berarah
ke level 1. Misalnya didalam Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba
yang Berkelanjutan, mana yang lebih penting antara faktor sumberdaya manusia
dan sumberdaya alam. Mana yang lebih penting antara faktor sumberdaya
manusia dan kebijakan pemerintah,antara sumberdaya manusia dan teknologi,
antara kebijakan pemerintah dan teknologi, dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut
diukur secara relatif antara satu dengan yang lain, dengan skala pengukuran relatif
1 hingga 9, seperti yang tertera dalam Tabel AHP.
Dari analisa AHP yang dilakukan, seperti ditunjukkan dalam Tabel AHP,
responden/pakar menganggap faktor kebijakan pemerintah sebagai prioritas
utama, yaitu 51,3% dan urutan prioritas pilihan pakar selanjutnya adalah faktor
sumberdaya alam (26,1%), sumberdaya manusia (12,9%) dan teknologi (9,6%),
sebagaimana tertera pada gambar berikut ini.

Gambar38. Faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan konservasi sumberdaya


air Danau Toba

 
 
138

b. Aktor
Sehubungan para pakar/responden memilih kebijakan pemerintah sebagai
faktor yang paling penting, maka tentu saja aktor yang dapat melakukan
penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan Kebijakan Konservasi
Sumberdaya Air Danau Toba yang Berkelanjutan adalah pemerintah (49,1%),
masyarakat (19,7%) dan pengusaha (16,8%). Sedangkan aktor yang paling tidak
berperan terhadap kebijakan pemerintah adalah akademisi (7,4%) dan LSM (7 %).
Gambarberikut inimenunjukkan bahwa pada level 3 (aktor) diperoleh hasil
analisis yaitu pemerintah merupakan aktor yang paling berperan dalam penentuan
kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba. Hal ini menunjukkan bahwa
aspirasi pemerintah menjadi fokus perhatian dalam penentuan kebijakan
konservasi sumberdaya air. Pemerintah dalam hal ini memegang otoritas dalam
perencanaan dan pembangunan kawasan serta berperan menjamin kelestarian
pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat. Adapun prioritas aktor
yang berpengaruh pada kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba yang
Berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 39

Gambar39. Tingkat kepentingan stakeholder terhadap kebijakan konservasi


sumberdaya air Danau Toba yang Berkelanjutan

Pemerintah juga merupakan wakil pemerintah pusat dan propinsi dalam


penyelenggaraan kewenangan pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Selain itu,
pengelola kawasan Danau Toba berada merupakan aktor yang paling dominan
pengaruhnya dalam kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba diharapkan
mampu menfasilitasi setiap kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan Danau Toba
139
 

dalam bentuk program-program pengelolaan lingkungan yang dapat dilaksanakan


dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi pengelola maupun
masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan
masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik secara
pendidikan maupun ekonomi.
Pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh
kegiatan di Danau Toba, sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan
dampak negatif baik untuk lingkungan maupun masyarakat. Pemerintah memiliki
wewenang dan kapasitas dalam menentukan kegiatan yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Pemerintah mempunyai andil besar dalam penetapan pengelolaan
lingkungan. Secara umum pemerintah berperan sebagai koordinator pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan dari berbagai wilayah sekitarnya dan
selanjutnya menjadi koordinator di daerah masing-masing. Sehingga ada
kesamaan persepsi, dan semakin meningkatnya kemampuan serta mekanisme
kerja dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara profesional dan
memenuhi kriteria ekosentris. Dalam pengembangan kawasan tentunya didukung
oleh para stakeholder yang terkait.
Aktor yang menjadi prioritas kedua adalah masyarakat. Masyarakat
merupakan aktor yang terkait langsung dengan keberadaan Danau Toba sehingga
merupakan aktor yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan
konservasi sumberdaya air Danau Toba. Aktor pengusaha dan akademisi
merupakan prioritas aktor ketiga dan keempat. Kedua aktor ini perlu dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan kebijakan konservasi sumberdaya air Danau
Toba. Pada tahap implementasi, kedua aktor ini perlu dilibatkan dalam proses
pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
Keberadaan pengusaha akan menjamin iklim kondusif terhadap
pertumbuhan ekonomi di sekitar kawasan artinya pengusaha tetap menanamkan
modalnya pada usaha perlindungan kawasan dampak merosotnya ekonomi dapat
dihindarkan. Keterlibatan pengusaha tidak selalu memberikan dampak negatif
terhadap pengendalian ruang kawasan selama usaha yang dilakukan memberikan
konstribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan masyarakat sekitar.
Sedangkan masyarakat merupakan kelompok yang akan merasakan dampak dari

 
 
140

pembangunan itu baik dari segi ekonomi, lingkungan maupun sosial budaya,
sehingga segala keputusan yang akan diambil dalam pengelolaan suatu kawasan
selayaknya masyarakat ikut dalam pengambilan keputusan tersebut termasuk
melakukan pengawasan.Dalam konservasi sumberdaya air Danau Toba diperlukan
tanggung jawab bersama artinya semua stakeholder mampu bekerjasama dengan
prinsip keterpaduan secara simbiosis atau saling menguntungkan sehingga tidak
ada pihak yang dirugikan.

c. Tujuan
Harapan para pakar, kebijakan pemerintah untuk konservasi sumberdaya
air Danau Toba adalah dengan mewujudkan tujuan neraca air adalah sebesar
29,6%, kemudian mewujudkan tujuan ekologi adalah sebesar 27,3%, mewujudkan
tujuan ekonomi adalah sebesar 23,4% dan terakhir untuk tujuan sosial adalah
sebesar 19,8%. Hasil diskusi dengan pakar, pihak terkait dan penelitian di
lapangan, level tujuan diuraikan lagi menjadi beberapa sub level yaitu: Neraca
Air, Ekologi, Ekonomi, Sosial. Hasil analisis pendapat para pakar terhadap 4
(empat) sub level tujuan tersebut diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam
konservasi sumberdaya air Danau Toba, seperti terlihat pada Gambar 40.

Gambar 40 Tujuan yang dikehendaki pada kebijakan konservasi sumberdaya air

Tingginya nilai skor tujuan neraca air dan ekologi dibandingkan dengan
tujuan lainnya menunjukkan bahwa neraca air dan ekologi menjadi perhatian
utama konservasi sumberdaya air Danau Toba. Karena keberlanjutan neraca air
dan ekologi sebagai parameter dan asset utama yang menyediakan kebutuhan
manusia. Lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk
141
 

mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas ekonomi


jangka panjang. Diharapkan melalui kegiatan pengelolaan lingkungan dampak
negatif yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dapat diminimalkan. Dengan
demikian keberlanjutan nerca air dan ekologi dalam konservasi sumberdaya air
Danau Toba mempunyai implikasi yang luas menyebar ke hilir dan ke hulu karena
Danau Toba adalah sebuah ekosistem yang memiliki ketergantungan antara
mahluk yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan
hubungan simbiosis berbagai stakeholder dalam rangka mendukung pengelolaan
kawasan secara berkelanjutan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa dalam konservasi sumberdaya air Danau
Toba yang berkelanjutan, secara langsung neraca air dan ekologi menunjukkan
adanya keterkaitan dan ketergantungan antar ekosistem baik ekosistem yang
berada dalam kawasan maupun di luar atau sekitar kawasan sehingga diperlukan
pola tata ruang yang menyerasikan tata guna tanah, tata guna air dan sumberdaya
lainnya dalam suatu keterpaduan sebagai suatu kesatuan tatanan lingkungan hidup
yang dinamis dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang, dilakukan secara terpadu,
menyeluruh yang mencakup pertimbangan daya dukung lingkungan, berdayaguna
dan berhasil guna, penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang
sesuai dengan potensi dan fungsi ruang sehingga dapat menjamin terwujudnya
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang
serta kelestarian kemampuan daya dukung sumber alam dengan memperlihatkan
kepentingan masa depan.
Tujuan neraca air dan ekologi konservasi sumberdaya air Danau Toba
diharapkan mampu mengkoordinasikan antara berbagai jenis penggunaan dengan
tetap memelihara kelestarian fungsi dan tatanan lingkungan serta mencegah
pengelolaan tanah oleh perorangan atau sekelompok orang yang merugikan
kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan pembangunan berkelanjutan
artinya dalam memanfaatkannya tidak boleh ditempuh cara-cara yang merusaknya
(Sugandhy, 1999). Pada tujuan neraca air dan ekologi, manfaat yang diharapkan
adalah terjaganya kawasan resapan air, kelestarian ekosistem hutan dan fungsinya
dan penggunaan lahan yang sesuai tata ruang, kualitas udara dan daya dukung
lingkungan. Terjaganya kawasan resapan air, kelestarian ekosistem hutan dan

 
 
142

penggunaan lahan sesuai tata ruang menjadi prioritas utama dalam konservasi
sumberdaya air Danau Toba. Hal ini disebabkan karena pakar menilai bahwa air,
vegetasi dan aktivitas manusia dalam pemanfaatan ruang merupakan satu
kesatuan, yang satu sama lain membentuk hubungan timbal balik dalam sistem
hidrologi. Aktivitas manusia yang membabat hutan, menebangi pohon pelindung,
merusak sempadan sungai, serta membuang sampah sembarangan menyebabkan
berkurangnya daya dukung lahan untuk menyerap air hujan. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan hutan sehingga menimbulkan bencana alam
seperti banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor.
Selama ini tingkat kesadaran masyarakat terhadap fungsi vegetasi, sungai,
danau dan waduk sebagai daerah resapan air sangat rendah. Oleh karena itu
menjadi tanggung jawab besar bagi pemerintah sebagai pengelola kawasan
konservasi sumberdaya air Danau Toba. Kondisi ini memaksa pemerintah daerah
untuk melakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan tentang pentingnya menjaga
kelestarian Danau Toba sebagai daerah resapan air. Selain itu pelaku perusakan
kawasan konservasi harus ditindak tegas dengan memberikan hukuman dan sanksi
yang seberat-beratnya sehingga menimbulkan efek jera. Mengembalikan fungsi
daerah resapan air dapat juga dilakukan melalui penggunaan ruang sesuai dengan
peruntukannya artinnya bahwa kawasan Danau Toba harus tetap dipertahankan
keberadaannya dengan mengendalikan jumlah urban sprawl yang mengarah ke
Danau Toba melalui penerbitan peraturan yang melarang penduduk sekitar atau
penduduk perkotaan untuk mengkonversi lahan menjadi daearah pemukiman atau
lainnya yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kesesuaian lahan. Pengaturan
dapat dilakukan dengan memperketat sistem perizinan yang sudah ada sehingga
mempersulit akses penduduk untuk konservasi sumberdaya air Danau Toba secara
berkelanjutan hal penting yang perlu juga diperhatikan adalah pemanfaatan ruang
sebab apabila pengaturan ruang di Danau Toba tidak terarah dengan baik akan
menimbulkan konflik pemanfaatan lahan sebagai akibat dari semakin
meningkatnya jumlah penduduk urban ke Danau Toba.
Sebagaimana diketahui bahwa permasalahan utama dalam konservasi
sumberdaya air Danau Toba adalah belum berfungsinya secara optimal penataan
ruang dalam rangka menyelaraskan, mensinkronkan dan memadukan berbagai
143
 

rencana dan program sektor. Berbagai fenomena bencana seperti banjir, longsor
dan kekeringan serta berkurangnya kawasan konservasi pada dasarnya merupakan
indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang, antara
manusia dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian
lingkungan. Disisi lain dalam penerapannya sering terjadi inkonsistensi antara
Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaan lahan/pemanfaatan
ruang yang tidak berwawasan lingkungan. Berbagai dampak yang timbul akibat
ketidakselarasan dalam pemanfaatan ruang kawasan konservasi seperti hilangnya
estetika Danau Toba, pola pembangunan permukiman yang mengarah ke sekitar
kawasan, dan hilangnya akses masyarakat ke Danau Toba.
Untuk mengoptimalkan peran Danau Toba yang multiuse, dalam rangka
menghindari terjadinya kompetisi, konflik, dan perbedaan kepentingan, maka
secara operasional perlu dilakukan penzonasian kawasan untuk menclusterkan
kegiatan yang kompatibel dan memisahkan yang in compatible berdasarkan
aktivitas dan fungsi-fungsi wilayah. Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan
pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan yang mana
kegiatan-kegiatan dilarang dan diijinkan untuk setiap zona peruntukkan. Atau
dengan kata lain sebagai upaya untuk menciptakan suatu keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan kegiatan konservasi sumberdaya air
Danau Toba. Selain tujuan neraca air dan ekologi, tujuan ekonomi juga sangat
berpengaruh terhadap Kebijakan Konservasi Sumberdaya Air di kawasan Danau
Toba. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, subkriteria yang perlu diperhatikan
adalah keberlanjutan usaha, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
penyediaan infrastruktur.
Untuk mendukung konservasi sumberdaya air Danau Toba, yang harus
diprioritaskan adalah adanya pertumbuhan ekonomi yang mampu mendorong
terbentuknya usaha-usaha kecil atau menengah yang didirikan oleh mayarakat
secara swadaya dengan bantuan modal dari pihak pengelola, sehingga terjadi
simbiosis antara pihak-pihak yang terkait dan sinergi yang mempertinggi kinerja
ekonomi masyarakat dan lingkungan. Keberadaan Danau Toba diharapkan
mampu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak
pembangunan ekonomi di wilayahnya secara berimbang (balanced development)

 
 
144

antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak sehingga


memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat serta
dapat mencegah kegiatan perambahan hutan.
Untuk meningkatkan PAD kegiatan wisata ke arah Danau Toba harus
mampu menarik perhatian pengunjung dengan menyediakan sarana dan prasarana
penunjang yang memudahkan akses pengunjung Danau Toba. Pengelola harus
mampu memelihara, melindungi dan atau berkonstribusi untuk memperbaiki
sumberdaya alam sehingga memberikan nilai eksotik dan spesifik wilayah.
Sebagai keunggulan kompetitif yang mampu bersaing serta mampu menarik
wisatawan lebih banyak.
Keberadaan Danau Toba diharapkan mampu menciptakan iklim kondusif
terhadap tumbuhnya usaha perekonomian rakyat sekitar sehingga mampu
meningkatkan taraf hidup dan kesempatan kerja. Peningkatan taraf hidup akan
sejalan dengan usaha penciptaan lapangan kerja melalui alokasi kegiatan yang
tepat pada kawasan penyangga dan kawasan budidaya sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pengembangan keanekaragaman
hayati terhadap kelangsungan usaha peningkatan produksi komoditi pertanian
merupakan langkah peningkatan kemakmuran (prosperity) yang perlu
dioptimalkan demi mencapai peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan
PAD. Usaha tersebut, sejauh manfaat sosial ekonomi tinggi dan dampak negatif
kendala lingkungan kecil, dimungkinkan pengupayaannya dengan dukungan
keberlanjutan alokasi lahan dan konservasi sumberdaya airnya.
Kekhasan dan budaya yang dimiliki Danau Toba harus disadari potensinya
oleh seluruh lapisan masyarakat melalui gerakan sadar wisata. Gerakan sadar
wisata bukan berarti menyadarkan masyarakat untuk giat berdarmawisata saja,
melainkan lebih penting dari itu adalah menyadarkan masyarakat untuk bertindak
menghargai keunikan alam dan budaya setempat agar tetap lestari dan indah untuk
selanjutnya dapat nikmati oleh turis, baik asing maupun domestik untuk menjadi
nilai tambah ekonomi (Sugandhy, 1999).
Konservasi sumberdaya air di kawasan Danau Toba dari dimensi ekonomi
tentunya harus didukung oleh infrastruktur yang memadai. Keberadaan Danau
Toba di suatu daerah sangat terkait dengan wilayah sekitarnya. Keterkaitan
145
 

tersebut dapat berupa keterkaitan secara fisik, sosial dan ekonomi seperti adanya
jaringan jalan, jaringan telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya untuk
mendukung pergerakan roda perekonomian masyarakat di sekitar kawasan. Ini
berarti keberadaan Danau Toba dituntut secara sukarela untuk menyediakan
infrastruktur yang diperlukan baik yang dibutuhkan oleh Danau Toba untuk
aktivitasnya sendiri demi menjamin kelancaran usahanya maupun infratruktur
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Tujuan lain yang berpengaruh dalam konservasi sumberdaya air Danau
Toba adalah keberlanjutan sosial. Manfaat yang diharapkan adalah meningkatnya
peran masyarakat dalam usaha konservasi sumberdaya air di Danau Toba sebagai
langkah pelestarian dan perlindungan lingkungan. Dalam penyelenggaraan
penataan ruang, pelaksanaan hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat
sangat diperlukan untuk memperbaiki mutu perencanaan, membantu terwujudnya
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, serta
menaati keputusan-keputusan dalam rangka penertiban pemanfaatan ruang. Dalam
rangka memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui rencana tata ruang,
pemerintah berkewajiban mengumumkan atau menyebarluaskan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat
mengetahui dengan mudah (Sugandhy, 1999).
Keberadaan masyarakat di sekitar kawasan sangat penting untuk
diperhatikan hal ini bertujuan untuk minimisasi konflik kepentingan dalam
konservasi sumberdaya air Danau Toba. Diharapkan keberadaan Danau Toba
mampu memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan sosial masyarakat
khususnya sekitar Danau Toba misalnya penyediaan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat lokal. Banyaknya stakeholder yang terlibat dalam konservasi
sumberdaya air Danau Toba, diharapkan mampu bersimbiosis dalam penggunaan
sumberdaya sehingga memberikan keuntungan kepada stakeholder.
Pengelolaan dan pengendalian konservasi sumberdaya air Danau Toba
memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan. Konservasi sumberdaya air Danau
Toba harus mampu memberikan dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat sekitar melalui program-program pemberdayaan dan keterlibatan

 
 
146

masyarakat secara langsung dalam kegiatan pemanfaatan atau budidaya, hal ini
akan mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di
lingkungan masyarakat sekitar kawasan sehingga menjamin stabilitas penduduk
dalam memenuhi kebutuhan dasar dan memperhatikan keanekaragaman budaya
lokal (dengan mengakui dan menghargai sistem sosial dan kebudayaan yang
berlaku, mendorong partisipasi masyarakat lokal sehingga mampu mendefinisikan
kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung
jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada
akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka, serta
mengurangi angka kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja bagi
masyarakat lokal.
Dalam kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba yang
berkelanjutan, pertimbangan aspek sosial sangat penting karena pembangunan
yang tidak sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat selain kurang
memenuhi sasaran, juga mempengaruhi keadaan lingkungan. Perkembangan dan
perubahan lingkungan yang terjadi menyebabkan menurunnya kondisi
lingkungan, timbulnya ketegangan sosial dan konflik yang menyebabkan tidak
diindahkannya masalah-masalah yang bersifat persahabatan. Sehingga interaksi
manusia dengan alam yang tadinya serasi dan seimbang menjadi destruktif
sifatnya. Aspek sosial menyangkut sikap masyarakat dan individu dalam
memandang kehidupan (norma budaya), kerja dan wewenang, struktur
administrasi dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah/publik maupun
swasta, hukum, pola-pola kekerabatan dan agama, tradisi budaya, wewenang dan
integritas instansi pemerintah, partisipasi masyarakat dalam perumusan keputusan
dan kegiatan pembangunan serta keluwesan atau kekakuan ekonomi dan sosial.
Oleh karena itu pihak pengelola harus mengetahui aturan masyarakat yang
berlaku di kawasan yang akan dibangun sehingga pengalokasian sumberdaya dan
distribusi pendapatan tepat sasaran dan tidak melanggar norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat. Pihak pengelola harus memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk terlibat dalam seluruh kegiatan pemanfaatan yang
berkaitan dengan keberadaan Danau Toba. Sehingga tingkat pengangguran dapat
dikurangi dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan hal ini akan
147
 

mempengaruhi penilaian masyarakat yang positip terhadap keberadaan Danau


Toba. Penciptaan lapangan kerja juga dapat mempercepat laju pembangunan
ekonomi. Terciptanya lebih banyak lapangan kerja dan kesempatan kerja berarti
tersedianya lebih banyak sumber-sumber pendapatan potensial bagi kalangan
penduduk miskin.
Alternatif Kebijakan
Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam
kebijakan konservasi sumberdaya air Danau Toba seperti diuraikan diatas,
berbagai alternatif strategi kebijakan dinyatakan dalam Gambar 41.

Ga
mbar 41. Prioritas kebijakan konservasi sumberdaya air kawasan Danau Toba.

Alternatif kebijakan untuk mewujudkan harapan-harapan responden


tersebut adalah dengan mengimplementasikan Konservasi Hutan pada Kawasan
Berhutan (33,3%) dengan urutan prioritas pilihan alternatif kebijakan berikutnya
adalah Konservasi Kawasan Pertanian (26,1%), Konservasi Kawasan Pemukiman
(18,9%), Konservasi Kawasan Industri (15,7%) dan terakhir Konservasi Kawasan
Pariwisata yaitu sebesar 6,5%. Artinya saat ini menurut pandangan para pakar
untuk Konservasi Sumberdaya Air Danau Toba yang Berkelanjutan perlu dikelola
Konservasi Hutan pada Kawasan Berhutan, karena dianggap selama ini masih
terabaikan. Akibatnya terjadi penebangan hutan yang tidak terkendali sehingga
menimbulkan gambaran kawasan berhutan menjadikurang dipelihara, rusak dan
tidak beraturan, dan sebagainya.

 
 
148

4.4 PEMODELAN
4.4.1 Analisis Kebutuhan
Hasil wawancara kepada pihak yang mempunyai kepentingan
danketerkaitan terhadap konservasi air Danau Toba, didapatkan kebutuhan
stakeholder seperti disajikan dalam Tabel 46

Table 46 Perkiraan Kebutuhan Stake Holder

No. Stakeholder Kebutuhan

1 Masyarakat Lokal Kualitas Air tidak turun


Masyarakat lokal yaitu masyarakat Kuantitas Air tidak turun
yang tinggal di sekitar danau yang Kebersihan dan keindahan
memanfaatkan perairan danau danau terjaga
untuk berbagai kepentingan Pendapatan meningkat
Penyediaan lapangan kerja
Budidaya perikanan tetap jalan
Hasil tangkapan ikan tidak
menurun

2 Instansi Terkait Elevasi Air danau tidak


Instansi terkait yaitu dinas instansi menurun
pemerintah daerah yang Peningkatan PAD
mempunyai hubungan keterkaitan Penyediaan lapangan kerja
dengan perairan danau Keindahan danau terjaga
Kualitas Air tidak turun
Kuantitas Air tidak turun
Peningkatan perekonomian
masyarakat

3 Lembaga Sosial Kelestarian danau terjamin


MasyarakatLembaga yang peduli Pendapatan Masyarakat
terhadap kelestarian perairan danau meningkat

4 Akademisi ( Peneliti ) Keanekaragaman Hayati terjaga


Lembaga yang melakukan Kualitas Air tidak turun
penelitian pada perairan danau Kuantitas Air tidak turun

5 BUMN : PLTA Ketinggian muka air danau tetap


Perusahaan yang melakukan stabil Kualitas air danau tetap
kegiatan usaha di perairan danau baik
149
 

4.4.2 Formulasi Permasalahan


Permasalahan sistem pada dasarnya adalah terdapatnya perbedaan antara
kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Pada kondisi nyata di lapangan,
permasalahan sistem ditunjukan oleh adanya kecenderungan terjadinya penurunan
permukaan air Danau Toba. Jumlah air yang diindikasikan oleh tinggi permukaan
air harus berada pada kisaran yang ditetapkan terutama pada bulan-bulan kering
sehingga kebutuhan air terpenuhi.Berkurangnya ketersediaan air akan
mengganggu kelangsungan operasional PLTA dan terganggunya ekosistem danau.
Sebaliknya jika terlalu banyak ketersediaan air maka muka air danau akan naik
bahkan terjadi banjir yang berakibat terhadap terganggunya ekosistem di
pinggiran danau.
4.4.3 Identifikasi Sistim
Identifikasi sistem dilakukan dengan membuat diagram input output,
diagram sebab akibat dan diagram alir (struktur model) untuk melihat variabel
yang dikelompokkan menjadi
(1)Variabel input yang tidak terkontrol :Curah Hujan, Iklim, Koefisien
Infiltrasi, Evapotranspirasi, Evaporasi dan Debit dari luar DTA
(2)Variabel input yang terkontrol :
Faktor Tutupan Lahan, Koefisien Infiltrasi, Debit Air ke Sungai
Asahan, Fraksi Pertumbuhan Penduduk, Kebutuhan Air Penduduk,
Kebutuhan Air Industri dan Debit Sungai La Renun.
(3) Variabel Lingkungan :
Luas dan letak DTA Danau
(4)Variabel Output yang dikehendaki :
Neraca air positip dan tinggi muka air yang stabil
(5) Variabel Output yang tidak dikehendaki :
Penurunan tinggi muka air danau, degradasi lahan dan pengurangan
luas hutan

Diagram I-O disajikan pada Gambar 42 dan Causal Loop Diagram pada
Gambar 43

 
 
150

  INPUT LINGKUNGAN
Peraturan Pemerintah
INPUT TIDAK
OUTPUT YANG
TERKONTROL
DIKENHENDAKI
1. Curah Hujan
1. Tinggi Muka Air yang stabil
2. Evapotranspirasi
2. Neraca Air Positip
3. Evaporasi Danau
4. Jenis Tanah
5. Topografi

MODEL KONSERVASI
SUMBER DAYA AIR
DANAU TOBA

INPUT TERKONTROL OUTPUT YANG TIDAK


1. Faktor Singkapan Lahan DIKENHENDAKI
2. Nilai Koefisien Infiltrasi 1. Penurunan Tinggi Muka Air
3. Debit ke Sungai Asahan Danau
4. Pertumbuhan Penduduk 2. Degradasi Lahan
5. Debit La Renun 3. Pengurangan luas hutan

UMPAN BALIK

Gambar42 Diagram I-O

Causal Loop Diagram

Pertumbuhan Penduduk +

Penggunaan Lahan
+
+
+
Kebutuhan
Air Evapotranspirasi

Pemanfaatan Air
+ +
+

Neraca Air Presipitasi


+

+ Aliran
+ +
Permukaan
-
+
+
Evaporasi
Ketersediaan
air danau +
Resapan air
+ dan Aliran
Dibawah Tanah

Gambar 43 Causal Loop Diagram


151
 

4.4.4 Rancang Bangun Model


Pemodelan dilakukan dengan membangun model dinamik, menggunakan
perangkat lunak program Powersim versi 2,5d. Pengembangan model terdiri dari
sub model ekonomi, sub model sosial dan sub model ekologi yang dilanjutkan
dengan sub model ketersediaan air dan sub model tinggi permukaan air danau
yang disajikan pada Gambar 44 dan rangkaian elemen pembentuk model disajikan
pada Gambar 45

Sub Model Sub Model


Ekonomi Sosial

Sub Model
Ekologi

Model
Neraca Air dan Tinggi
Permukaan Air

Gambar 44 Rangkaian sub model Neraca air

G
a
m
b
a
r

4
Gambar 45 Rangkaian elemen pembentuk model neraca air

 
 
152

Struktur Sub-Model Sosial Ekonomi


Struktur sub-model sosial ekonomi menggambarkan kuantitas kebutuhan
air yang diperlukan akibat dari keadaan pertumbuhan penduduk, kebutuhan air
penduduk, kebutuhan air sosial, kebutuhan air industri dan kebutuhan air untuk
PLTA Asahan sebagaimana disajikan pada Gambar 46

Penduduk Jlh_Penduduk
Laju_Penduduk KA_Industri PLTA_Asahan

KA_Penduduk

Fraksi_Penduduk
KA_Sosial_Ekonomi

Gambar 46 Struktur Sub-Model Sosial Ekonomi

Untuk memperkirakan jumlah penduduk pada masa yang akan datang dan
laju pertumbuhan dipergunakan formula analisis geometrik.Model pertumbuhan
pendudukyang digunakan adalah model pertumbuhan penduduk secara
geometrik(geometric rate of growth) dengan dasar bunga-berbunga
(bungamajemuk), dimana angka pertumbuhan (rate of growth ) sama untuksetiap
tahun, dengan rumus matematika :

Pt = Po( 1 + r)t,

dimana:
Pt = jumlah penduduk pada tahun ke-t.
Po = jumlah penduduk pada tahun awal.
r = angka rata-rata laju pertumbuhan penduduk.
T = jangka waktu (dalam tahun)

Peubah yang dipergunakan dalam menghitung kebutuhan air sosial dan


ekonomi ini adalah fraksi penduduk dan efisiensi debit kebutuhan air untuk PLTA
Asahan.
153
 

Struktur Sub model hidrologi (Ekologi)


Struktur submodel sosial ekologi menggambarkan kuantitas ketersediaan
air yang potensial dari keadaan kondisi ekologis DTA Danau Toba dengan
menggunakan Metode FJ.Mock yang disajikan pada Gambar 47

La_Renun

 
RO_Danau

Curah_Hujan d_Vn
Run_Off kVn_13

Base_Flow
Direct_Run_Off
Koefisien_Limpasan kVn_1
Rate_33 Rate_36

Water_Surplus
Koeff_Infiltrasi

Constant_17
Evapotranspirasi
Constant_15
Infiltrasi GW03

kxInf

Evapotranspirasi_Potensial kVn_011

kVn_01
Evaporasi_Aktual
Rate_37 Rate_38

Constant_19

Jumlah_Hari_Hujan_setiap_bulan GW01
Constant_18

Faktor_Tutupan_Lahan
e
Faktor_Resesi_k
 
 
Gambar 47 Sub model ekologi

Di dalam sub model ini seluruh proses perhitungan hidrologi dengan


metode F.J.Mock dipergunakan untuk menghitung jumlah run off ke danau serta
penyebarannya dalam setiap bulan. Seluruh rangkaian proses perhitungan dari
mulai evapotranspirasi, surplus curah hujan, infiltrasi, direct run off, base flow,
run off dibangun menjadi suatu sistem. Dan peubah yang dipergunakan adalah
faktor singkapan lahan, koefisien infiltrasi dan koefisien evapotranspirasi.

Struktur Sub-Model Neraca Air


Struktur sub-model neraca air dan tinggi muka air danau
menggambarkankuantitas masukan air ke Danau Toba dan keluaran air dari
Danau Toba, seperti disajikan pada Gambar 48

 
 
154

Gambar 48 Sub model neraca air

Model keluaran air dari danau terdiri dari penjumlahan kebutuhan air
rumah tangga, kebutuhan air sosial, kebutuhan air industri, kebutuhan air untuk
memutar turbin PLTA Asahan, keluaran air dari celah-celah lapisan dasar danau
dan evaporasi danau.Komponen keluaran ini digabung menjadi Keluaran air.
Model masukan air terdiri dari curah hujan di daratan, curah hujan yang langsung
jatuh ke danau, debit air yang berasal dari sungai Larenun dan debit air lain yang
merupakan dugaan air yang masuk dari beberapa cekungan air disekitar dan dari
luar daerah tangkapan air Danau Toba. Selisih antara masukan dan keluaran air
ditambah dengan elevasi permukaan air danau sebelumnya merupakan tinggi
permukaan air.

Struktur Model Gabungan


Struktur model gabungan merupakan gabungan submodel sosial ekonomi,
submodel hidrologi (ekologi) dan submodel neraca air seperti yang disajikan pada
Gambar 49. Di dalam model dinamis ini secara keseluruhan ada 5 (lima) peubah
input yang dipergunakan untuk menhasilkan beberapa out berupa strategi
kebijakan untuk memilih alternatip terbaik strategi konservasi.Peubah inpu
tersebut adalah pertumbuhan penduduk, efisiensi debit ke sungai Asahan, kofisien
infiltrasi, koefisien evapotranspirasi dan nilai faktor singkapan lahan.
155
 

PDDK_Simulasi Debit_Lain2
Penduduk
Laju_Penduduk
KAP
Efisiensi_PLTA
KAI
PDDK_Obsv
KAPI
PLTA
Fraksi_Penduduk

Evaporasi
Keluaran1
OutFlow_x_1000000
Rate_40

Level_4
MASUKAN Constant_21 KELUARAN Out Inflow Outflow
Kondisi_Neraca

Jlh_Inflow_x1000000_ WL_Perhitungan_ Constant_11


Rate_39

Constant_10 WL_Observasi
La_Renun
Ketersediaan_ Constant_20

IW

d_Vn
Debit_Lain1 RO_Danau

C_Hujan Run_Off Base_Flow kVn_13

Direct_Run_Off Koefisien_Limpasan
Water_Surplus kVn_1
Rate_33 Rate_36

Koeff_Infiltrasi

Eff_ET GW03
Constant_17
Infiltrasi
ET
Constant_15

kxInf

kVn_011
ETp

kVn_01
dE
Rate_37 Rate_38

Constant_19
GW01
Jumlah_Hari_Hujan_setiap_bulan
Constant_18
Faktor_Singkapan_Lahan
e
Faktor_Resesi_k

Gambar 49 Model Dinamis Ketersediaan dan Keluaran Air Danau Toba

Dengan adanya 5(lima) peubah input maka ada sejumlah kombinasi


strategi konservasi. Dari sejumlah kombinasi strategi tersebut maka dipilihkan
strategi yang terbaik untuk mencapai tujuan yakni neraca air dan tinggi muka air
yang diinginkan.

 
 
156

4.4.5 Pengujian Model


a. Validasi struktur model dilakukan terhadap 3 sub-model yaitu sub-model
sosial ekonomi, sub-model ekologisdan sub-model neraca air. Interaksi antara
variabel-variabel disetiap sub-model harus sesuai dengan sistem nyata.Validasi
struktur terhadap sub model kependudukan dilakukan untuk perhitungan jumlah
penduduk dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2017. Jumlah penduduk dengan
hasil simulasi dibandingkan dengan jumlah penduduk hasil perhitungan dengan
geometrik seperti disajikan pada Tabel 47 dan Gambar 50

Tabel 47 Jumlah Penduduk hasil simulasi dan geometrik


Jumlah Jumlah
Penduduk Penduduk
Tahun Hasil Hasil Perbedaan
Simulasi Geometrik
(jiwa) (jiwa)
2007 6.660 665.953          659.293
2008 673.315 673.529                  214
2009 680.759 681.190                  431
2010 688.285 688.939                  654
2011 695.895 696.776                  881
2012 703.588 704.703              1.115
2013 711.367 712.719              1.352
2014 719.231 720.827              1.596
2015 727.183 729.026              1.843
2016 735.222 737.319              2.097
2017 742.670 745.707              3.037

) 750,000 
a 740,000 
iw
j( 730,000 
k 720,000  Simulasi
u 710,000  Geometrik
d
u 700,000 
d
n
e 690,000 
p 680,000 
h
a
l 670,000 
m 660,000 
u
J
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tahun

Jumlah Penduduk Hasil Simulasi  (jiwa)
Jumlah Penduduk Hasil Geometrik (jiwa)

Gambar 50 Jumlah penduduk DTA Danau Toba tahun 2017 hasil


perhitungan simulasi dan geometrik
157
 

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara hasil simulasi


dengan hasil perhitungan dengan geometric sangat kecil dibawah 5 %, dengan
demikian model dainggap vakid secara struktur.
b. Validasi kinerja modeldilakukan setelah model dapat mengilustrasikan
kerja sistem untuk melihat akurasi model merepresentasikan kinerja sistem nyata.
Validasi dilakukan dengan cara membandingkan data output model dengan data
real yang telah diperoleh. Validasi model dilakukan dengan membandingkan
tinggi permukaan air danau perhitungan dengan tinggi permukaan air danau
pengamatan tahun 2009 seperti disajikan pada Tabel 48

Tabel 48 Tinggi permukaan air Danau Toba, tahun 2009

Tinggi permukaan air (m dpl)


No. Bulan
Observasi Simulasi
1 Jan 904,06 904,19
2 Peb 904,43 904,08
3 Mar 904,38 903,98
4 Apr 905,05 903,84
5 Mei 904,93 903,74
6 Jun 904,70 903,67
7 Jul 904,53 903,65
8 Ags 904,30 903,79
9 Sep 904,19 904,13
10 Okt 904,05 904,14
11 Nop 904,28 904,20
12 Des 904,38 904,26
Sumber WL Observasi : Otorita Asahan, Jakarta

Hasil pengujian model dengan cara grafis dan uji statistik menunjukkan
bahwa hubunganantara debit hasil model dengan hasil pengukuran di lapangan
cukup signifikan. Nilai uji korelasi menunjukkan nilai r-hitung sebesar 0,89lebih
besar dari r-tabel sebesar 0,576, terdapat korelasi yang kuat antara hasil simulasi
dari model dengan data observasi lapangan. Model dapat digunakan untuk analisis
ketersediaan air di Danau Toba denganmelakukan perencanaan alternatif
penggunaan lahan dan pengaturan debit air ke sungai Asahan.

 
 
158

4.5 PREDIKSI NERACA AIR


4.5.1 Curah Hujan Andalan
Untuk memperkirakan kondisi neraca keseimbangan air Danau Toba pada
masa yang akan datang (10 tahun dan 50 tahun) maka curah hujan sebagai input
pada model dinamis ini, terlebih dahulu dianalisis dengan menggunakan curah
hujan andalan dengan peluang 80%. Perhitungan Curah Hujan Andalan 80 %
memakai metoda log Pearson Type III. Sebagai contoh, perhitungan pada bulan
Mei disajikan pada Tabel 49 dan secara lengakap disajikan pada Tabel 50.
Tabel 49 Perhitungan Curah Hujan Andalan 80 %

(log Xi- (log Xi-


p=(m/(n+1))
Tahun n Mei Log Xi (log Xi) (log Perhitungan CH 80% 5 thn 10 thn 25 thn 50 thn
*100 %
ave)2 Xi)ave)3
1993 1 167.75 0.06 2.22 0.00 (0.00) Slog Xi 32.224 32.224 32.224 32.224 32.224
1994 2 183.19 0.13 2.26 0.00 0.00 (log Xi)ave 2.148 2.148 2.148 2.148 2.148
2
1995 3 264.28 0.19 2.42 0.03 0.01 S(log Xi-(log Xi)ave) 0.746 0.746 0.746 0.746 0.746
1996 4 52.25 0.25 1.72 0.28 (0.15) n-1 14.000 14.000 14.000 14.000 14.000
1997 5 116.98 0.31 2.07 0.03 (0.01) Slog Xi 0.231 0.231 0.231 0.231 0.231
3
1998 6 75.91 0.38 1.88 0.13 (0.05) S(log Xi-(log Xi)ave) (0.259) (0.259) (0.259) (0.259) (0.259)
3
1999 7 147.68 0.44 2.17 0.01 (0.00) (n-1)*(n-2)*(SlogXi) 2.239 2.239 2.239 2.239 2.239
2000 8 85.37 0.50 1.93 0.10 (0.03) Cs (1.74) (1.74) (1.74) (1.74) (1.74)
2001 9 88.24 0.56 1.95 0.09 (0.03) Peluang 80 % menggunakan
2002 10 199.51 0.63 2.30 0.00 0.00 Faktor Penyimpangan Kr
2003 11 164.23 0.69 2.22 0.00 (0.00) Distribusi Log Pearson Type III :
2004 12 211.26 0.75 2.32 0.01 0.00 Kr = (0.653) 0.857 1.177 1.473 1.641
2005 13 111.83 0.81 2.05 0.04 (0.01) Log Xi = (Log Xi)ave + Kr. Slog Xi =
2006 14 215.20 0.88 2.33 0.01 0.00 Log Xi = 1.998 2.346 2.420 2.488 2.527
2007 15 239.84 0.94 2.38 0.02 0.00 Xi 99.438 221.822 262.938 307.780 336.624

Tabel 50 Curah Hujan Andalan (80 %)

Curah hujan
Bulan Rata-rata andalan 80 %
mm/bl mm/bl
Jan 183,30 138,29
Peb 147,54 104,68
Mar 180,73 131,02
Apr 228,17 148,78
Mei 154,90 99,44
Jun 98,87 59,56
Jul 119,48 70,52
Aug 154,91 96,86
Sep 185,87 122,34
Okt 231,47 134,57
Nop 232,62 173,41
Des 199,62 144,84
159
 

Untuk menunjukkan gambaran curah hujan andalan dengan curah hujan


rata-rata yang terjadi di daerah tangkapan Danau Toba disajikan pada Gambar 51.

Curah hujan rata-rata

Curah hujan andalan 80 %

Gambar 51 Grafik Curah Hujan Andalan 80 %

Berdasarkan Curah Hujan pada peluang 80 % menunjukkan bahwa


setiap bulan ada terjadi hujan, pada bulan Januari-April dan bulan September-
Desember terjadi hujan dengan curah hujan diatas 100 mm/bl . Sementara bulan
Mei-Agustus terjadi hujan dengan curah hujan dibawah 100 mm/bl.

4.5.2 Skenario Kebijakan


Yang dimaksud dengan skenario kebijakan adalah skenario dengan
intervensi peubah dari model dinamis berdasarkan strategi konservasi untuk
mengendalikan neraca air dan tinggi muka air danaupada masa yang akan datang.
Prediksi kondisi neraca air dan tinggi permukaan air danau pada masa yang akan
datang (10 tahun dan 50 tahun yang akan datang) agar tercapai output yang
diinginkan, maka dilakukan dengan melaksanakan beberapa peubah intput dalam
pemodelan. Untuk mencapai neraca air yang positip dan tinggi muka air danau
yang stabil maka harus berangkat dari analisa komponen pembentuk neraca air.
Pada bab sebelumnya telah dibahas bahwa air yang masuk ke danau berasal dari :

 
 
160

1. Curah hujan surplus yang merupakan curah hujan yang jatuh di DTA
Danau Toba yang dikurangi dengan evapotranspirasi yang terjadi.
2. Curah hujan surplus yang jatuh di daratan, selanjutnya mengalir ke
danau melalui mekanisme air limpasan permukaan dan air bawah
tanah.
3. Curah hujan yang jatuh langsung ke danau.
4. Debit air sungai Larenun yang berasal dari daerah tangkapan air
lainnya atau bukandari DTA Danau Toba.
5. Debit air yang berasal dari cekungan air tanah disekitar DTA Danau
Toba.
Sementara itu, jumlah air yang ke luar dari Danau Toba, terdiri dari
komponen sebagai berikut :
1. Penguapan air dari danau atau evaporasi danau.
2. Debit air yang dilepas ke sungai Asahan untuk kebutuhan PLTA
Asahan
3. Kebutuhan air penduduk dan industri.
4. Debit yang diperkirakan ke luar dari danau melalui celah-celah lapisan
batu di dasar danau ke daerah yang lebih rendah elevasi
permukaannya.

Berdasarkan komponen pembentuk neraca air tersebut maka strategi


konservasi dilakukan dengan mempertimbangkan dan menganalisa serta
keberadaan komponen tersebut. Hasil dari analisa tersebut dilakukan menjadi
variable peubah untuk pemodelan neraca air Danau Toba. Dan untuk memprediksi
kondisi neraca air dan tinggi permukaan air danau yang diinginkan, maka
dilakukan pemilihan nilai peubah dengan skenario existing, optmis, moderat dan
pesimis seperti dijelaskan dibawah ini.Penentuan nilai peubah dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat kesulitan pencapaian nilai peubah dilapangan dan
hasil persepsi pakar tentang prioritas konservasi sumberdaya air di DTA Danau
Toba namun tetap untuk mencapai tujuan yakni neraca air yang positip serta
tinggi muka air berkisar 903,00-905,00 m dpl. Nilai peubah tersebut disajikan
pada Tabel 51.
161
 

a. Skenario Existing
Dilakukan sesuai dengan kondisi existing yang telah terjadi tanpa effort
apapun sehingga cukup mudah melaksanakan karena sudah terjadi hanya
melanjutkan saja tanpa ada usaha terhadap nilai peubah Pertumbuhan penduduk
sebesar 1,14%, koefisien infiltrasi sebesar 0.4, faktor singkapan lahan (m) adalah
0.35, fraksi evapotranspirasi adalah 1,0atau tidak ada upaya untuk memperkecil
evapotranspirasi serta debit air yang dilepas ke sungai Asahan untukkebutuhan air
PLTA Asahan adalah sebesar 91,69 m3/det atau 100% dari rata-rata pemakaian
debit selama tahun 1997-2007.

b. Skenario Optimis
Skenario optimisdilakukan dengan mempertimbangkan kemudahan
pencapaian tujuan dan upaya melaksanakan peubah cukup sulitnamun optimis
mencapai hasil yang diinginkan.Kebijakan yang dilakukan adalah
mempertahankan debit air yang dilepas ke sungai Asahan untuk kebutuhan air
PLTA Asahan sebesar 91,69 m3/det atau 100% dari rata-rata pemakaian debit
selama tahun 1997-2007. Kemudian menekan pertumbuhan penduduk menjadi
0,8% per tahun, memperkecil jumlah air yang melimpas dengan sampai mencapai
koefisien air limpasansebesar 0,55;mengupayakan memperbesar daya serap tanah
sehingga mempunyai koefisien infiltrasi sebesar 0,45;menambah jumlah luas
lahan yang bervegetasi sehingga nilai singkapan lahan menjadi 0,25 serta
mengupayakan memperkecil nilai evapotranspirasi menjadi 75% dari
evapotranspirasi existing.Dengan kebijakan tersebut di atas, maka neraca air
menjadi positip dengan perkataan lain kondisi neraca air Danau Toba menjadi
lebih baik 100 % dari kondisi existing serta tinggi muka air danau sesuai dengan
yang diinginkan berada pada elevasi yang diinginkan.

c. Skenario Moderat
Kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan pencapaian tujuan dan
upaya melaksanakan peubah lebih mudah namun tidak optimis mencapai hasil
yang diinginkan. Kebijakan yang dilakukan adalah mengendalikan pertumbuhan
penduduk menjadi 1,0 % per tahun, memperkecil jumlah air yang melimpas

 
 
162

dengan menambah koefisien air limpasan dari 0,6 menjadi 0,57; memperbaiki
daya serap tanah sehingga mempunyai koefisien infiltrasi sebesar 0,43;
menambah jumlah luas lahan yang bervegetasi sehingga nilai singkapan lahan
menjadi 0,30; memperkecil nilai evapotranspirasi menjadi 85% dari
evapotranspirasi existing serta debit air yang dilepas ke sungai Asahan untuk
kebutuhan air PLTA Asahan sebesar 91,69 m3/det atau 100% dari rata-rata
pemakaian debit selama tahun 1997-2007.Dengan kebijakan tersebut di atas, maka
neraca air menjadi positip dengan perkataan lain kondisi neraca air Danau Toba
menjadi lebih baik 75 % dari kondisi existing serta tinggi muka air danau sesuai
dengan yang diinginkan berada pada elevasi yang diinginkan.

d. Skenario Pesimis
Kebijakan dilakukan dengan mempertimbangkan kemudahan pencapaian
tujuan dan upaya melaksanakan peubah cukup mudah namun pesimis mencapai
hasil yang diinginkan.Kebijakan yang dilakukan adalah mengendalikan
pertumbuhan penduduk menjadi 1,2 % per tahun, memperkecil jumlah air yang
melimpas dengan menambah koefisien air limpasan dari 0,6 menjadi 0,58;
memperbaiki daya serap tanah sehingga mempunyai koefisien infiltrasi sebesar
0,42; menambah jumlah luas lahan yang bervegetasi sehingga nilai singkapan
lahan menjadi 0,32; memperkecil nilai evapotranspirasi menjadi 88% dari
evapotranspirasi existing serta debit air yang dilepas ke sungai Asahan untuk
kebutuhan air PLTA Asahan sebesar 91,69 m3/det atau 100% dari rata-rata
pemakaian debit selama tahun 1997-2007.Dengan kebijakan tersebut di atas, maka
neraca air menjadi positip dengan perkataan lain kondisi neraca air Danau Toba
menjadi lebih baik 50 % dari kondisi existing serta tinggi muka air danau sesuai
dengan yang diinginkan berada pada elevasi yang diinginkan.
163
 

Tabel 51 Daftar skenario peubah terkendali

Nilai
No. Skenario Peubah Terkendali Satuan
Peubah
1. EXISTING Pertumbuhan Penduduk (Fp) 1,14 % /thn
Tanpa Nilai Koefisien Infiltrasi (If) 0,40
melakukan Nilai Faktor Singkapan Lahan (m) 0,35
perubahan Debit ke PLTA Asahan (100%) 91,69 m3/det
terhadap peubah Efisiensi Evapotranspirasi 1,0
2. OPTIMIS Pertumbuhan Penduduk (Fp) 0,80 % /thn
Sulit melakukan Nilai Koefisien Infiltrasi (If) 0,45
peubah tetapi Nilai Faktor Singkapan Lahan (m) 0,25
hasil yang akan Debit ke PLTA Asahan (100%) 91,69 m3/det
dicapai optimis Efisiensi Evapotranspirasi 0,75
sesuai dengan
yang diinginkan
3. MODERAT Pertumbuhan Penduduk (Fp) 1,00 % /thn
Lebih mudah Nilai Koefisien Infiltrasi (If) 0,43
melakukan Nilai Faktor Singkapan Lahan (m) 0,30
peubah dan Debit ke PLTA Asahan (100%) 91,69 m3/det
tidak optimis Efisiensi Evapotranspirasi 0,85
mencapai hasil
yang diinginkan.
4. PESIMIS Pertumbuhan Penduduk (Fp) 1,20 % /thn
Mudah Nilai Koefisien Infiltrasi (If) 0,41
melakukan Nilai Faktor Singkapan Lahan (m) 0,32
peubah tetapi Debit ke PLTA Asahan (100%) 91,69 m3/det
pesimis Efisiensi Evapotranspirasi 0,88
mencapai hasil
yang diinginkan

 
 
164

4.5.3 Prediksi Neraca Air Danau Toba dengan status tanpa intervensi
Prediksi neraca air pada masa depan dengan status tanpa intervensi adalah
kondisi dimana tidak ada perubahan inputartinya tidak ada campur tangan dari
pemerintah sebagai pembuat kebijakan konservasi, kondisi dibiarkan seperti apa
adanya yang sudah terjadi. Pertumbuhan penduduk tetap sebesar 1,14% pertahun,
tidak ada upaya mengurangi air limpasan dan menambah kapasitas daya tangkap
air sehingga koefisien infiltrasi yang dipergunakan adalah 0,40, penggunaan lahan
tetap seperti semula dimana nilai singkapan lahan 35 % dan debit ke sungai
Asahan rata-rata dilepas sebesar 91,69 m3/det. Hasil simulasi menunjukkan, pada
tahun 2017 dan 2057 kondisi daerah tangkapan air Danau Toba sebagai berikut :
a. Penduduk
Jumlah penduduk dengan pertumbuhan 1,14% per tahun, pada tahun 2017
adalah 746.327 jiwa. Pada tahun 2057 jumlah penduduk di daerah tangkapan air
Danau Toba sebesar 1.172.375 jwa atau hampir 2 kali dari jumlah penduduk pada
tahun 2007 yakni sebesar 665.953 jiwa.

b. Ketersediaan air
Kondisi ketersediaan air pada tahun 2017 sampai tahun 2057 yang terdiri
dari kondisi air limpasan, resapan air atau infiltrasi, base flow dan run off adalah
tetap sama seperti dijelaskan oleh Gambar 52.

250

200 1
1
1
mm/bulan

1 Run_Off
150 1 1 1
3 1 3 Base_Flow
2
100 3 3 3
1 4 1 4 3 Direct_Run_Off
3 3 3
4 24 2 1 34 24 2
50 2 4 2 3 2 Infiltrasi
2 4 1 42 4
34 2
23
0 4 12
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Bulan : Jan - Des 2017

Gambar 52 Ketersediaan Air Danau Toba, tahun 2017 tanpa intervensi


165
 

c. Neraca Air
Hasil simulasi menunjukkan bahwa ketersediaan air pada tahun 2017
defisit 461,70 x 106m3dan pada tahun 2057 defisit bertambah menjadi sebesar
492,84 x106 m3 seperti dijelaskan pada Tabel 52

Tabel 52 Neraca Air DTA Danau Toba tahun 2017


Tanpa intervensi, ( x 1.000.000 m3)

Tahun 2017 Tahun 2057


Bulan
Masukan Keluaran Masukan Keluaran
Jan 741,08 707,56 741,08 710,14
Peb 799,35 970,05 799,35 972,63
Mar 535,96 716,73 535,96 719,31
Apr 927,23 961,43 927,23 964,02
Mei 695,55 639,10 695,55 641,69
Jun 336,79 363,18 336,79 365,78
Jul 144,06 367,19 144,06 369,79
Aug 439,83 718,72 439,83 721,32
Sep 541,70 559,69 541,70 562,29
Okt 920,86 946,40 920,86 949,01
Nop 849,93 701,96 849,93 704,56
Des 777,73 519,76 777,73 522,37
Total 7.710,07 8.171,77 7.710,07 8.202,91
Defisit (461,70) (492,84)

Simulasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kebutuhan air yang


semakin besar setiap tahunnya. Hal ini sejalan dengan kenaikan jumlah penduduk
sementara program reduce, reuse dan recycle tidak dijalankan. Sebaran neraca air
setiap bulannya pada tahun 2017 ditunjukkan oleh Grafik 53.
Jumlah air (x 1.000.000 m3)

1,200

1,000
2 1 1
800 2 1 2 2 1
1 1
2 1 2 2 2 MASUKAN
600 1 1
1 2 1 2 KELUARAN
2 2
400 1
12 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Bulan : Jan - Des 2017

Gambar 53 Grafik Neraca Air kondisi existing tahun 2017

 
 
166

Neraca air kondisi negatip terjadi mulai bulan Januari sampai dengan
bulan Oktober dan neraca air kondisi positip terjadi pada bulan Oktober sampai
dengan Desember.Sebaran neraca air setiap bulannya pada tahun 2057
ditunjukkan oleh Grafik 54.

Jumlah air (x1.000.000 m3)


1,200

1,000
2 1 1
800 2 1 2 2 1
1 1
2 1 2 2 2 MASUKAN
600 1 1
1 2 1 2 KELUARAN
1 2 2
400
12 2
200
1
109110111112113114115116117118119120121
Bulan : Jan - Des 2057

Gambar 54 Grafik Neraca Air kondisi ekisting tahun 2057

Neraca air kondisi negatip terjadi mulai bulan Januari sampai dengan
bulan Oktober dan neraca air kondisi positip terjadi pada bulan Oktober sampai
dengan Desember.

d. Sub model Tinggi Muka Air Danau


Tinggi muka air yang akan terjadi selama tahun 2017 pada kondisi
existing adalah berada pada kisaran 900,5 sampai dengan 901,3 seperti dijelaskan
pada Gambar 55.

906
Tinggi Permukaan Air (m)

905

904

903

902

901

900
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Tinggi Muka Air Danau Toba kondisi existing, tahun 2017

Gambar 55 Tinggi Muka Air Danau Toba, Kondisi Eksisting tahun 2017
167
 

906

Tinggi Permukaan Air (m)


905

904

903

902

901

900
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Tinggi Muka Air Danau Toba kondisi existing, tahun 2057

Gambar 56 Tinggi Muka Air Danau Toba, Kondisi Eksisting tahun 2057

Tinggi muka air yang akan terjadi selama tahun 2017 pada kondisi
existing berada pada kisaran 900,5 m dpl sampai dengan 901,3 m dpldan tinggi
muka air yang akan terjadi selama tahun 2057 pada kondisi existing adalah berada
pada kisaran terendah 900,2 m dpl sampai dengan tertinggi 901,1 m dpl.Kondisi
tinggi muka air tersebut berada dibawah 903,0 m dpl merupakan kondisi yang
tidak diinginkan, sehingga diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki kondisi
daerah tangkapan air.
Jumlah air untuk kebutuhan pemakaian air masih dapat terpenuhi tetapi
kondisi tersebut menyebabkan lingkungan bermasalah khususnya di seluruh tepi
Danau Toba karena tinggi muka air Danau Toba yang terendah turun sekitar 2 m
dari yang dipersyaratkan. Untuk memperbaiki kondisi ini, maka dilakukan
skenario. Skenario tersebut dilakukan dengan merubah beberapa input peubah
pada model sesuai dengan strategi konservasi yang telah disebutkan diatas..
Tinggi permukaan air terendah pada tahun 2017 menjadi 900,5 m dpl
artinya permukaan air danau turun 2,0 m dari tinggi permukaan air danau terendah
kondisi yang dipersyaratkan yakni 903,00 m dpl. Kalau dibiarkan terus sampai
dengan tahun 2057 maka tinggi permukaan Danau Toba turun menjadi 900,10 m
dpl.Kondisi ini adalah kondisi yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan
pemerintah karena sudah merusak ekosistem ditepi danau dan mengganggu
aktifitas operasional transportasi danau.

 
 
168

4.5.4 Prediksi Neraca Air Danau Toba dengan status intervensi/skenario


Untuk memperbaiki kondisi saat ini atau kondisi existing maka dilakukan
kebijakan terhadap faktor-faktor peubah dalam sistem pemodelan dengan maksud
untuk mencapai tujuan neraca yang optimal dan tinggi muka air danau yang masih
memenuhi persyaratan. Peubah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pertumbuhan penduduk dilakukan dengan skenario kebijakan optimis,
moderat dan pesimis secara berurutan adalah 0,8%; 1,0% dan 1,2%.
2. Pengurangan jumlah air limpasan dan menambah daya serap air oleh tanah,
dengan mempergunakan koefisisen infiltrasi pada skenario kebijakan optimis,
moderat dan pesimis secara berurutan adalah 0,45; 0,43 dan 0,41.
3. Pengendalian penggunaan lahan dari lahan non bervegetasi ke lahan
bervegetasi untuk menambah nilai singkapan lahan (m) dengan skenario
optimis, moderat dan pesimis secara berurutan sebesar 0,25; 0,30 dan 0,32
4. Pengaturan debit air ke sungai Asahan dengan besaran untuk seluruh skenario
sebesar 91,69 m3/det.
5. Mengganti tanaman penutup lahan dengan jenis tutupan lahan yang
memberikan koefisien evapotranspirasi untuk skenario optimis, moderat dan
pesimis masing-masing adalah 0,75; 0,82 dan 0,88.
Hasil simulasi secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Jumlah Penduduk
Perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2017 dengan beberapa skenario
disajikan pada Tabel 53 dan Gambar 57
Tabel 53 Penduduk DTA DT, Skenario 2017 (Jiwa)

Jumlah penduduk tahun 2017 (jiwa)


Tahun
Existing Optimis Moderat Pesimis
2008 665.953 665.953 665.953 665.953
2009 673.315 671.300 672.643 673.988
2010 680.759 676.690 679.400 682.121
2011 688.285 682.123 686.225 690.351
2012 695.895 687.600 693.119 698.681
2013 703.588 693.121 700.082 707.112
2014 711.367 698.687 707.115 715.644
2015 719.231 704.297 714.219 724.279
2016 727.183 709.952 721.394 733.018
2017 735.222 715.652 728.641 741.863
2018 742.670 721.399 735.961 750.814
169
 

Existing
Moderat
Pesimis

Optimis

Gambar 57 Jumlah penduduk dengan skenario, 2017

Kebijakan pertumbuhan penduduk dengan skenario optimis, dilakukan


dengan menurunkan pertumbuhan penduduk dari 1,14% menjadi 0,8% per tahun.
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada akhir tahun 2017,
penduduk bertambah 55.446 jiwa menjadi 721.399 jiwa atau sebesar 8,33%.
Untuk skenario moderat yang dilakukan adalah menurunkan pertumbuhan
penduduk dari 1,14% menjadi 1,00 % per tahun. Hasil analisis menunjukkan
bahwa jumlah penduduk pada akhir tahun 2017 penduduk bertambah sebanyak
70.008 jiwa menjadi 735.961 jiwa atau sebesar 10,51%. Pada skenario pesimis
yang dilakukan adalah dengan membiarkan pertumbuhan penduduk dari 1,14%
menjadi 1,20% per tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah penduduk
pada akhir tahun 2017 bertambah sebanyak 84.861 jiwa menjadi 750.814 jiwa
atau sebesar 12,74%. Perkiraan jumlah penduduk pada tahun 2057 dengan
beberapa skenario disajikan pada Tabel 53 dan Gambar 57.

Tabel 54 Penduduk DTA DT, Skenario 2057 (Jiwa)

Jumlah penduduk tahun 2057 (jiwa)


Tahun
Eksisting Optimis Moderat Pesimis
2007 665.953 665.953 665.953 665.953
2017 745.707 721.399 735.961 750.814
2027 835.012 781.461 813.328 846.489
2037 935.012 846.524 898.829 954.356
2047 1.046.989 917.004 993.318 1.075.968
2057 1.172.375 993.352 1.097.740 1.213.077

 
 
170

Pesimis 
Eksisting 
Moderat 
Optimis 

Gambar 58 Jumlah penduduk dengan skenario, 2057

Jumlah penduduk pada tahun 2057 dengan skenario optimis dengan


pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%/tahun, menjadi sebesar 993.352 jiwa atau
naik 1,49 kali dari jumlah penduduk pada tahun 2007. Pada skenario moderat
dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,0%/tahun, jumlah penduduk menjadi
1.097.740 jiwa atau naik 1,65 kali dari jumlah penduduk tahun 2007. Pada
skenario pesimis denganpertumbuhan penduduk sebesar 1,2% /tahun, jumlah
penduduk menjadi 1.213.077 jiwa atau 1,83 kali dari jumlah penduduk tahun
2007.
Peningkatan jumlah penduduk pada tahun2017 dan 2057 akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan air dan selanjutnya akan
mempengaruhi secara langsung neraca air Danau Toba di masa yang akan datang.
Oleh karena itu seluruh skenario baik optimis, moderat maupun pesimis untuk
pertumbuhan penduduk dipilihkan kebijakan menurunkan angka pertumbuhan.
Hal ini mengingat bahwa tekanan penduduk di DTA Danau Toba sangatlah besar
saat ini sementara ketersediaan lahan pertanian sesuai dengan kemampuan lahan
dan kesesuaian lahan adalah terbatas, oleh karena itu salah satu kebijakan yang
harus dilakukan adalah menurunkan angka pertumbuhan penduduk hingga 0,8%
per tahun.
171
 

b. Ketersediaan Air
Kondisi ketersediaan air di DTA Danau Toba pada tahun 2017 untuk
skenario optimis, moderat dan pesimis disajikan pada Gambar 59.
Jumlah air ( mm / bulan )

250

200 1 1 1
1 1 Run_Off
1 1
150 1
3 3 Base_Flow
1 2
100 3 4 1 4 3
3 Direct_Run_Off
2 4 2 4 3 4 2 1 2 4 2 3
2 3 4
50 2 1 3 4 3 2
Infiltrasi
4 3 4 2 2 4
2 3
4
0 1 2
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Skenario Optimis : Jan - Des Tahun 2017

250
Jumlah air (mm/bulan)

200 1
1 1
1 1 Run_Off
1 1
150 1
3 3 Base_Flow
2
100 3 1 4 1 4 3
3 3 Direct_Run_Off
3 4 1 2 4 3
2 4 2 4 2 2 3 3 4 2
50 3 2 Infiltrasi
2 1 4 4
4 3 4 2 2
2 3
0 4 1 2
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Skenario Moderat : Jan - Des 2017

250
Jumlah air (mm/bulan)

200 1
1 1
1 1 Run_Off
1
150 1 1
3 3 Base_Flow
2
100 3 3 1 1 3
4 4 3 Direct_Run_Off
3 3 3
1 2 4
2 4 2 4 4 2 2 3
3 4
2
2
Infiltrasi
50 4 1
2 4 4
3 4 2 2
2 3
0 4 1 2
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120
Skenario Pesimis : Jan - Des 2017

Gambar 59 Komparasi Ketersediaan Air Danau Toba, skenario Optimis,


Moderat dan Pesimis tahun 2017

Hasil simulasi menunjukkan bahwa air limpasan semakin mengecil dari


skenario optimis, moderat dan pesimis , tetapi untuk infiltrasi semakin membesar.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk memperkecil air limpasan dan
memperbesar air yang terinfiltrasi tercapai. Kondisi ini pada tahun 2017 sama
dengan pada kondisi tahun 2057, sehingga diharapkan dengan melakukan
konservasi lahan maka dapat memperbaiki kondisi hidrologi kearah yang lebih

 
 
172

baik khususnya di daerah tangkapan air Danau Toba sampai pada tahun 2057.
Dari hasil simulasi dapat dijelaskan bahwa jumlah air limpasan dan air yang
infiltrasi selama satu tahun akan menjadi jumlah dari total Run Off selama satu
tahun, hanya penyebarannya yang berbeda pada setiap bulannya untuk masing-
masing skenario.
c. Neraca Air
Hasil simulasi neraca air untuk skenario optimis, moderat dan pesimis
tahun 2017 disajikan pada Tabel 55 dan tahun 2057 disajikan pada Tabel 56.
Tabel 55 Skenario Neraca Air Danau Toba tahun 2017
Neraca Air 2017 (x1.000.000 m3)
Bulan Optimis Moderat Pesimis
Masukan Keluar Masukan Keluar Masukan Keluar
Jan 784,09 707,43 768,38 707,50 764,28 707,58
Feb 835,43 969,91 822,80 969,99 820,14 970,07
Mar 585,32 716,59 567,11 716,67 562,09 716,75
Apr 951,90 961,29 942,93 961,37 943,29 961,45
Mei 743,34 638,96 725,72 639,04 720,85 639,13
Jun 382,46 363,04 366,84 363,12 362,91 363,21
Jul 144,06 367,05 144,06 367,13 144,06 367,21
Aug 476,80 718,58 463,92 718,66 461,88 718,75
Sep 586,83 559,54 570,12 559,63 566,69 559,71
Okt 959,35 946,26 944,55 946,34 943,97 946,43
Nop 901,41 701,81 881,38 701,90 875,81 701,98
Des 828,14 519,61 808,71 519,70 803,08 519,79
Jumlah 8.179,13 8.170,07 8.006,52 8.171,05 7.969,05 8.172,06
Neraca Air 9,06 -164,53 -203,01

Tabel 56 Skenario Neraca Air Danau Toba, tahun 2057


Neraca Air tahun 2057 (x1.000.000 m3)
Bulan Optimis Moderat Pesimis
Masukan Keluar Masukan Keluar Masukan Keluar
Jan 784,09 709,06 768,38 709,67 764,28 710,35
Feb 835,43 971,55 822,80 972,16 820,14 972,84
Mar 585,32 718,22 567,11 718,84 562,09 719,52
Apr 951,90 962,93 942,93 963,55 943,29 964,23
Mei 743,34 640,60 725,72 641,22 720,85 641,90
Jun 382,46 364,68 366,84 365,30 362,91 365,99
Jul 144,06 368,69 144,06 369,31 144,06 370,00
Aug 476,80 720,22 463,92 720,85 461,88 721,54
Sep 586,83 561,18 570,12 561,81 566,69 562,50
Okt 959,35 947,90 944,55 948,53 943,97 949,22
Nop 901,41 703,46 881,38 704,09 875,81 704,78
Des 828,14 521,26 808,71 521,89 803,08 522,58
Jumlah 8.179,13 8.189,75 8.006,52 8.197,22 7.969,05 8.205,45
Neraca Air -10,62 -190,70 -236,40
173
 

Penyebaran air dalam tahun 2017 disajikan pada Gambar 60

Jumlah air (x 1.000.000 m3)


1,200

1,000
2 1 1
800 2 1 2 2 1
1 1
2 1 2 2 2 MASUKAN
600 1 1
1 2 1 2 KELUARAN
2 2
400 1
12 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Skenario Optimis : Jan - Des 2017
Jumlah Air (x1.000.000 m3)

1,200

1,000
2 1 1
800 2 1 2 2 1 1
1 1
2 2 2 2
600 1 MASUKAN
1 1 1
2 2 2
400 1 KELUARAN
12 2 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Skenario Moderat : Jan - Des 2017
Jumlah air (x1.000.000m3)

1,200

1,000
2 1 1
800 1 2 2 1
12 1 2 2
1
2 2
600 1 MASUKAN
1 1 1
2 2 2
400 1 KELUARAN
12 2 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Skenario Pesimis: Jan - Des 2017

Gambar 60 Grafik Komparasi Skenario Neraca Air, Tahun 2017

 
 
174

Penyebaran air dalam tahun 2057 disajikan pada Gambar 61

Jumlah air ( x 1.000.000 m3)


1,200

1,000
2 1 1
1
800 1 2 1 2 2 1
2 1 2 2 2 MASUKAN
600 1 1
1 1
2 2 2 KELUARAN
400 1 2
12 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Skenario Optimis : Jan - Des 2057  
Jumlah air ( x 1.000.000 m3)

1,200

1,000
2 1 1
800 2 1 2 2 1 1
1 2 1 2 2 2 1
600 MASUKAN
1 1 1
2 2 2
400 1 KELUARAN
12 2 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Skenario Moderat : Jan - Des 2057
Jumlah air ( x1.000.000 m3)

1,200
1,000
2 1 1
800 2 1 2 2 1 1
1 2 1 2 2 MASUKAN
2 1
600 1
1 2 1 2
1 2 KELUARAN
400 2
12 2
200
1
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Skenario Pesimis,: Jan - Des 2057

Gambar 61 Grafik Komparasi Skenario Neraca Air,Tahun 2057

Skenario Optimis
Hasil simulasi dengan skenario optimis, menunjukkan bahwa neraca air
pada tahun 2017 positip dimana keluaran air lebih kecil dari masukan air sebesar
9,06x 106 m3. Dari tabel menunjukkan bahwa selama tahun 2017 jumlah air yang
masuk adalah 8.179,13 x106 m3dan jumlah air yang keluar sebesar 8.170,07x106
m3. Kondisi neraca negatip atau keluaran air lebih besar dari masukan air selama
tahun 2017 terjadi pada bulan Februari sampai dengan April dan pada bulan Juli
sampai dengan Augustus. Kondisi neraca air positip pada tahun 2017 terjadi pada
bulan Mei dan Juni serta pada bulan September sampai dengan bulan Desember.
175
 

Hasil simulasi dengan skenario optimis, menunjukkan bahwa neraca air


pada tahun 2057 negatip dimana keluaran air lebih besar dari masukan air sebesar
10,62x 106 m3. Dati tabel menunjukkan bahwa jumlah air yang masuk selama
tahun 2057 adalah sebesar 8.179,13 x106 m3dan jumlah air yang keluar adalah
sebesar 8.189,75 x106 m3. Kondisi neraca positip atau keluran air lebih besar dari
masukan air, terjadi pada bulan Januari, Juni dan September sampai dengan
Desember. Sementara itu, kondisi neraca air negatip terjadi pada bulan Februari
sampai dengan Mei.
Skenario Moderat
Hasil simulasi dengan skenario optimis, menunjukkan bahwa neraca air
pada tahun 2017 negatip dimana keluaran air lebih besar dari masukan air sebesar
164,53x 106 m3. Dari tabel menunjukkan bahwa selama tahun 2017 jumlah air
yang masuk adalah 8.006,52 x106 m3dan jumlah air yang keluar sebesar
8.170,05x106 m3. Kondisi neraca negatip atau keluaran air lebih besar dari
masukan air selama tahun 2017 terjadi pada bulan Februari sampai dengan April
dan pada bulan Juli sampai dengan Augustus. Kondisi neraca air positip pada
tahun 2017 terjadi pada bulan Mei dan Juni serta pada bulan September sampai
dengan bulan Desember.
Hasil simulasi dengan skenario moderat, menunjukkan bahwa neraca air
pada tahun 2057 negatip dimana keluaran air lebih besar dari masukan air sebesar
190,70x 106 m3. Dati tabel menunjukkan bahwa jumlah air yang masuk selama
tahun 2057 adalah 8.006,52 x 106 m3dan jumlah air yang keluara sebesar 8.197,22
x106 m3. Kondisi neraca positip atau keluran air lebih kecil dari masukan air
selama tahun 2057 terjadi 6(enam) bulan yakni pada bulan Januari, Mei, Juni,
September, Nopember dan Desember. Kondisi neraca air negatip pada tahun 2057
terjadi 6(enam) bulan yaitu pada bulan Februari, Maret, April, Juli, Agustus dan
Oktober.
Skenario Pesimis
Hasil simulasi dengan skenario optimis, menunjukkan bahwa neraca air
pada tahun 2017 negatip dimana keluaran air lebih besar dari masukan air sebesar
220.11x 106 m3. Dari tabel menunjukkan bahwa jumlah air yang masuk selama
tahun 2017 adalah 7.951,95 x 106 m3dan jumlah air yang keluaran sebesar

 
 
176

8.172,06 x 106 m3. Kondisi neraca negatip atau keluaran air lebih besar dari
masukan air selama tahun 2017 terjadi 8 (delapan) bulan yaitu pada bulan
Februari sampai dengan April dan pada bulan Juni sampai dengan September.
Kondisi neraca air positip terjadi 4(empat) bulan yakni pada tahun 2017 terjadi
pada bulan Mei dan Juni serta pada bulan Oktober sampai dengan bulan
Desember.
Hasil simulasi dengan skenario pesimis, menunjukkan bahwa neraca air
pada tahun 2057 negatip dimana keluaran air lebih besar dari masukan air sebesar
236,40x 106 m3. Dati tabel menunjukkan bahwa jumlah air yang masuk selama
tahun 2057 adalah 7.969,05 x 106 m3 dan jumlah air yang keluaran sebesar
8.205,45 x106 m3. Kondisi neraca negatip atau keluaran air lebih besar dari
masukan air selama tahun 2057 terjadi terjadi 8 (delapan) bulan pada bulan
Februari sampai dengan April dan pada bulan Juni sampai dengan Oktober.
Kondisi neraca air positip pada tahun 2057 terjadi 4(empat) bulan yaitu pada
bulan Januari dan Mei serta pada bulan Nopember dan Desember.

d. Tinggi Muka Air


Hasil simulasi tinggi permukaan air Danau Toba untuk skenario optimis,
moderat dan pesimis pada tahun 2017 disajikan pada Tabel 57

Tabel 57 Tinggi Muka Air Danau Toba, Skenario 2017

Tinggi permukaan air tahun 2017 (m dpl)


Bulan
Eksisting Optimis Moderat Pesimis
Jan 901,71 905,74 904,11 903,76
Feb 901,55 905,61 903,97 903,61
Mar 901,38 905,48 903,82 903,47
Apr 901,35 905,47 903,81 903,45
Mei 901,40 905,57 903,89 903,53
Jun 901,38 905,59 903,89 903,53
Jul 901,17 905,38 903,68 903,31
Aug 900,91 905,15 903,44 903,07
Sep 900,89 905,17 903,45 903,07
Okt 900,87 905,19 903,44 903,07
Nop 901,01 905,38 903,62 903,24
Des 901,26 905,67 903,89 903,51
177
 

Hasil simulasi tinggi permukaan air Danau Toba untuk skenario optimis,
moderat dan pesimis pada tahun 2057 disajikan pada Tabel 58
 
Tabel 58 Tinggi permukaan air Danau Toba, Skenario 2057

Tinggi permukaan air tahun 2057 (m dpl)


Bulan
Eksisting Optimis Moderat Pesimis
Jan 901,22 905,57 903,89 903,48
Feb 901,06 905,44 903,75 903,34
Mar 900,89 905,32 903,60 903,19
Apr 900,85 905,30 903,58 903,17
Mei 900,90 905,40 903,66 903,24
Jun 900,88 905,42 903,67 903,24
Jul 900,66 905,21 903,45 903,02
Aug 900,39 904,97 903,20 902,78
Sep 900,38 905,00 903,21 902,78
Okt 900,35 905,01 903,21 902,77
Nop 900,49 905,20 903,38 902,94
Des 900,74 905,49 903,65 903,21

Gambaran tentang tinggi permukaan air Danau Toba untuk skenario


optimis, moderat dan pesimis pada tahun 2017 disajikan pada Gambar 62

Optimis 

Moderat 

Pesimis 

Eksisting

Gambar 62 Skenario tinggi permukaan air Danau Toba, 2017


 
 
178

Gambaran tentang tinggi permukaan air Danau Toba untuk skenario


optimis, moderat dan pesimis dan pada tahun 2057 disajikan pada Tabel 63

Optimis

Moderat 

Pesimis

Eksisting 

Gambar 63 Skenario tinggi permukaan air Danau Toba, 2057

Skenario Optimis
Hasil simulasidengan skenario optimis, menunjukkan bahwa tinggi
permukaan air Danau Toba pada tahun 2017 yang terendah berada pada elevasi
904,90 m dpl dan yang tertinggi berada pada elevasi 905,47m dpl. Kedua posisi
tersebut masih berada di dalam batas tinggi permukaan air danau yang diinginkan
yakni berkisar pada elevasi 903,00 -905,50 mdpl.Hasil simulasidengan skenario
optimis, menunjukkan bahwa tinggi permukaan air Danau Toba pada tahun 2057
yang terendah berada pada elevasi 904,73 m dpl dan yang tertinggi berada pada
elevasi 905,31. Kedua posisi tersebut masih berada di dalam batas tinggi
permukaan air danau yang diinginkan yakni berkisar pada elevasi 903,00 -905,50
m dpl.

Skenario Moderat
Hasil simulasidengan skenario moderat, menunjukkan bahwa tinggi
permukaan air Danau Toba pada tahun 2017 yang terendah berada pada elevasi
903,92 m dpl dan yang tertinggi berada pada elevasi 904,55 m dpl. Kedua posisi
179
 

tersebut masih berada di dalam batas tinggi permukaan air danau yang diinginkan
yakni berkisar pada elevasi 903,00-905,50 m dpl.Hasil simulasidengan skenario,
menunjukkan bahwa tinggi permukaan air Danau Toba pada tahun 2057 yang
terendah berada pada elevasi 903,69 m dpl dan yang tertinggi berda pada elevasi
904,33 m dpl. Kedua posisi tersebut masih berada di dalam batas tinggi
permukaan air danau yang diinginkan yakni berkisar pada elevasi 903,00-905,50
m dpl.

Skenario Pesimis
Hasil simulasi dengan skenario pesimis, menunjukkan bahwa tinggi
permukaan air Danau Toba pada tahun 2017 yang terendah berada pada elevasi
902,91 m dpl dan yang tertinggi berada pada elevasi 903,61 m dpl. Kedua posisi
tersebut ada yang tidak berada di dalam batas tinggi permukaan air danau yang
diinginkan yakni kisaran elevasi 903,00 -905,50 m dpl yaitu pada bulan Agustus,
September dan Oktober. Pada bulan yang lainnya berada pada posisi yang
diinginkan.Hasil simulasidengan skenario pesimis, menunjukkan bahwa tinggi
permukaan air Danau Toba pada tahun 2057 yang terendah berada pada elevasi
902,62 m dpl dan yang tertinggi berada pada elevasi 903,34 m dpl. Kedua posisi
tersebut tidak berada di dalam batas tinggi permukaan air danau yang diinginkan
yakni kisaran elevasi 903,00 -905,50 m dpl.
Dari hasil simulasi tersebut di atas yang terbaik adalah pada skenario
optimis. Pada tahun 2017 neraca air menunjukkan bahwa jumlah air yang masuk
lebih besar dari yang keluar. Pasokan air ke PLTA Asahan dapat diberikan rata-
rata 100% sesuai dengan yang diinginkan. Tinggi muka air berada dalam batas
yang diinginkan yakni 905,30-905,50 m dpl serta perbedaan antara elevasi
tertinggi dengan elevasi terendah hanya 0,60 m ini menunjukkan bahwa skenario
berhasil dan cukup baik. Pada tahun 2057, neraca air menunjukkan bahwa
keluaran air sedikit lebih besar dari masukan air yaitu sebesar 10,62 x 106 m3. Hal
ini terjadi akibat dari pertambahan penduduk semakin besar sehingga kebutuhan
air juga semakin bertambah, namun hanya dalam jumlah yang relatip sedikit.

 
 
180

4.5.5 Strategi Konservasi Sumber Daya Air di DTA Danau Toba


Strategi konservasi disusun dengan tujuan memulihkan lingkungan
ekosistem daerah tangkapan air Danau Toba terutama ketersediaan air. Dengan
terlaksananya konservasi, maka diharapkan neraca air pada masa yang akan
datang selalu positip atau masukan air lebih besar dari keluaran air serta tinggi
permukaan air Danau Toba senantiasa berkisar antara 903,00 - 905,50 m dpl.
Strategi konservasi sumber daya air yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Memperkecil jumlah air limpasan yang berasal dari curah hujan, dengan
menambah luas lahan yang bervegetasi. Semakin besar luas lahan yang
bervegetasi maka semakin sedikit air yang melimpas di permukaan, karena air
yang jatuh ke daratan akan terlebih dahulu ditahan oleh daun tutupan lahan
yang bervegetasi dan tidak langsung membentur tanah serta melimpas ke
danau. Hal ini juga sangat membantu untuk memperlambat laju air limpasan
sehingga memperkecil erosi serta memberi kesempatan air masuk ke tanah
(infiltrasi). Pada tahun 2001 nilai singkapan lahan (m) adalah sebesar 0,35 dan
pada tahun 2007 sebesar 0,30 serta untuk kondisi berikutnya di masa yang
akan datang harus diupayakan nilai singkapan lahan berkisar 0,25.
2. Memperbesar nilai daya tangkap air dengan menambah nilai koefisien
infiltrasi. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki struktur tanah sehingga
daya serap air semakin besar, membuat bangunan untuk mengurangi
kecepatan aliran permukaan agar air lebih lama di daratan serta memberi
kesempatan air terinfiltrasi. Pada analisis neraca air tahun 1997-2007 nilai
koefisien infiltrasi dipergunakan sebesar 0,40 sesuai dengan kondisi topografi
daerah tangkapan air Danau Toba. Dengan melakukan upaya konservasi maka
nilai koefisien infiltrasi dapat ditingkatkan menjadi maksimum 0,45. Simulasi
model menunjukkan bahwa yang terbaik koefisien infiltrasi berkisar antara
0,43 sampai dengan 0,45.
3. Debit air yang berasal dari Larenun dapat dipertahankan dengan melakukan
konservasi pada daerah aliran sungai Larenun. Kebijakan konservasi tidak
sebatas di DTA Danau Toba tetapi harus termasuk DAS Larenun.
181
 

4. Debit air yang berasal dari cekungan air tanah disekitar kawasan Danau Toba,
merupakan hal yang khusus. Diperkirakan air tersebut berasal dari Cekungan
Air Tanah (CAT) disekitar Danau Toba. Untuk mempertahankan debit air ini
maka dalam kebijakan konservasi Danau Toba seharusnya wilayah cadangan
air tanah ini harus dilakukan juga upaya konservasi. Wahyudin (2010)
menyatakan di sekitar KDT terdapat 5 cekungan air tanah (CAT) yakni 3 CAT
lintas kabupaten (CAT Medan, CAT Sidakalang, CAT Tarutung) dan 2 CAT
dalam kabupaten (CAT Samosir dan CAT Porsea-Prapat)
5. Debit air yang dilepas ke sungai Asahan untuk kebutuhan PLTA Asahan, tetap
dipertahankan 100 % dari rata-rata saat ini yakni 91,69 m3/det (227
mm/bulan) dan tinggi muka air danau selalu berada pada elevasi yang
diinginkan yakni berkisar 903,00-905,00 m dpl. Hal ini dimaksudkan agar
tujuan ekonomi pemanfaatan Danau Toba tetap dipertahankan, PLTA dapat
berjalan dengan baik karena pasokan air tetap dapat terpenuhi namun tidak
mengganggu ekosistem di sekitar danau.
6. Pertumbuhan penduduk di DTA Danau Toba adalah sangat kecil yaitu sebesar
1,14% pertahun. Namun didalam perhitungan kebutuhan air pada masa yang
akan datang akan tetap berpengaruh, sehingga konservasi air dalam hal
pemakaian air oleh penduduk harus dilakukan upaya program kebijakan
Reduce, Reuse dan Recycle (R3). Dengan program R3 ini maka kebutuhan air
penduduk dan kebutuhan air industri. .
7. Mengganti tanaman penutup lahan di daerah tangkapan air Danau Toba dari
yang ada saat ini di DTA Danau Toba menjadi jenis tanaman yang berpotensi
mengurangi evapotranspirasi minimal sebesar 25 % dari kondisi yang ada saat
ini.
Keseluruhan pilihan tersebut diatas menunjukkan harus ada upaya yang
keras dan biaya yang sangat besar. Tetapi pilihan skenario kebijakan tersebut
lebih baik jika dibandingkan dengan upaya mengurangi pasokan air ke PLTA
Asahan. Pengurangan air ke Sungai Asahan akan mengakibatkan pengoperasian
PLTA Asahan menjadi berkurang dan ini adalah kondisi yang tidak diinginkan.
Kondisi yang diinginkan adalah neraca air positip dan tinggi muka air berada
selalu di antara 903,00 - 905,00 m dpl

 
 
183 
 

BAB V
SARAN DAN SIMPULAN
5.1 Simpulan
1. Kajian ekologis daerah tangkapan air Danau Toba dapat memberikan
informasi tentang kondisi potensial ketersediaan air di DTA Danau Toba. Hasil
penelitian terhadap kondisi ekologis daerah tangkapan air Danau Toba
menunjukkan bahwa daerah tangkapan air Danau Toba sudah terjadi degradasi
kualitas ekologis. Oleh karena itu diperlukan upaya konservasi untuk melakukan
perbaikan ekologis agar dapat dipertahankan fungsi Danau Toba secara maksimal.
Kesimpulan ini berdasarkan analisis data yang telah dibahas di atas, diantaranya
adalah:
a. Penggunaan lahan yang bervegetasi pada tahun 2001 adalah 68,64%
dan yang tidak bervegetasi adalah 31,36% dan tahun 2007 berubah menjadi
penggunaan lahan yang bervegetasi 63,77% dan yang tidak bervegetasi
sebesar 36,23% dari luas daratan DTA Danau Toba.
b. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan
mencapai 21,29 % pada tahun 2001 dan 30,01 % pada tahun 2007.
c. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRWP Sumatera Utara
mencapai 24,53% pada tahun 2001 dan 33,25% pada tahun 2007.
d. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW Danau Toba
29,47 % mencapai pada tahun 2001 dan 38,18 % pada tahun 2007
e. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Kawasan Hutan
berdasarkan SK 201 Menhut /2006, mencapai 26,68% pada tahun 2001 dan
35,39 % pada tahun 2007
f. Tekanan penduduk sangat tinggi yakni 3,5 yang berpotensi
penggunaan lahan kearah non pertanian khususnya ke kawasan lindung.
g. Dinamika perubahan penggunaan lahan yang dominan terjadi dari
suatu kawasan lahan penggunaan tertentu keseluruh penggunaan lainnya dan
sebaliknya dari seluruh jenis penggunaan lahan kepenggunaan lahan
tertentu.
Hal ini menggambarkan ketidakteraturan dari penggunaan lahan. Luas lahan yang
tidak bervegetasi menjadi dasar penentuan nilai faktor singkapan lahan pada
184 
 

perhitungan neraca air dengan metode F.J.Mock. Perubahan penggunaan lahan


tersebut diatas mempengaruhi terhadap neraca air daerah tangkapan air Danau
Toba. Singkapan lahan menjadi salah satu faktor peubah atau input terhadap
model dinamis neraca air.
2. Hasil penelitian terhadap kondisi Neraca air pada tahun 2007
menunjukkan bahwa masukan air lebih besar dari keluaran air. Namun pada tahun
2017 masukan air sudah jauh lebih kecildari keluaran air.Penelitian terhadap data
sekunder dari hasil pengamatan tinggi muka air di Danau Toba mulai tahun 1997-
2007, menunjukkan bahwa ada debit air dari luar Daerah Tangkapan Air Danau
Toba yang masuk ke Danau Toba selain dari pada debit Sungai Larenun. Juga
diduga ada air yang keluar dari Danau Toba ke wilayah yang mempunyai elevasi
yang lebih rendah. Debit air inilah dan curah hujan bersama dengan debit andalan
80%, yang dipergunakan oleh peneliti untuk pemodelan neraca air pada masa
yang akan datang.
3. Hasil analisis dengan menggunakan AHP terhadap persepsi pakar
menunjukkan bahwa pakar menganggap faktor yang paling menentukan didalam
konservasi sumber daya air Danau Toba adalah kebijakan pemerintah selanjutnya
secara berurutan faktor sumber daya alam, faktor sumber daya manusia dan faktor
teknologi. Pelaku atau aktor yang paling tepat melakukan penyusunan,
pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan Kebijakan Konservasi Sumberdaya
Air Danau Toba adalah pemerintah yang diikuti dengan masyarakat, pengusaha,
akademisi dan LSM. Para pakar berharap kebijakan pemerintah untuk konservasi
sumberdaya Air Danau Toba adalah dengan mewujudkan tujuan utama yaitu
stabilitas neraca air kemudian diikuti dengan tujuan ekologi, tujuan ekonomi dan
tujuan sosial. Alternatif kebijakan yang utama untuk mewujudkan harapan para
pakar tersebut adalah dengan mengimplementasikan konservasi hutan pada
kawasan hutan, Selanjutnya diikuti dengan konservasi kawasan pertanian,
konservasi kawasan pemukiman, konservasi kawasan industri dan terakhir
konservasi kawasan pariwisata. Kebijakan tersebut menjadi masukan atau input
penting terhadap rancang bangun model dinamis untuk memprediksi kondisi
neraca air pada masa yang akan datang DI dta Danau Toba.
185 
 

4. Model dinamis neraca air dibangun dari struktur jumlah air yang masuk dan
keluar dari Danau Toba. Jumlah Air yang masuk ke Danau Toba diperhitungkan
dari potensi ketersediaan air DTA Danau Toba dan debit air yang berasal dari luar
daerah tangkapan air DanauToba. Hasil simulasi menunjukkan, prediksi kondisi
masa yang akan datang diperlukan suatu tindakan konservasi sumber daya air
untuk memperbaiki kinerja air danau. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
model dapat mengatur debit air operasional yang optimal ke PLTA Asahan. Hasil
simulasi model menunjukkan bahwa untuk kondisi tahun 2017 sampai dengan
tahun 2057 skenario yang terbaik adalah mengendalikan pertumbuhan penduduk
antara 0,8%-1,0% pertahun, memperkecil jumlah air yang melimpas di permukaan
tanah dengan mengupayakan nilai koefisien limpasan antara 0,55-0,57; menambah
daya serap tanah terhadap air dengan menambah koefisien infiltrasi menjadi 0,43-
0,45; mengupayakan nilai faktor tutupan lahan antara 0,25-0,30; mengatur debit
air rata-rata yang di lepas ke Sungai Asahan 91,69 m3/det serta melakukan
penggantian tanaman tutupan lahan di DTA Danau Toba dengan tanaman yang
dapat mereduksi evapotranspirasi ekisting minimal 25%.

5.2 Saran
1. Untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya air Danau Toba yang
berkelanjutan maka kebijakan konservasi harus berorientasi kepada perbaikan
kemampuan lahan menyerap air, memperkecil jumlah dan laju air limpasan pada
saat musim hujan, mengupayakan agar penggunaan lahan disesuaikan dengan
kemampuan lahan di daerah tangkapan air Danau Toba.
2. Sehubungan dengan kecenderungan neraca air Danau Toba semakin besar
menjadi neraca air negatip di mana masukan air lebih kecil dari keluaran air maka
agar pemerintah melakukan suatu tindakan nyata untuk mencapai tujuan
konservasi sumber daya air Danau Toba yang berkelanjutan.
3. Untuk itu diperlukan studi lanjutan tentang Daerah Tangkapan Air Danau
Toba terutama tentang jenis tutupan lahan tanaman yang mereduksi minimal 25%
evapotranspirasi saat ini.

 
187

DAFTAR PUSTAKA

APHA. 1995. American Public Health Assosiation. American Water Works


Association. Standard Methods for the Examination of Water and Waste
Water 17th Ed. Washington

AswandidanSunandar AD.
2007.PeningkatanKapasitasRehabilitasiLahanKritisPada Daerah
Tangkapan Air Danau Toba, Prosiding Expose HasilPenelitian, 2007.
BalaiKehutananAekNauli. Medan

Agus,NoordwijkFM,RahayuS. 2004. DampakHidrologisHutan, Agroforestri,


danPertanianLahanKeringsebagaiDasarPemberianImbalankepadaPenghasi
lJasaLingkungan di Indonesia ProsidingLokakarya di Padang Singkarak,
Sumatera Barat, Indonesia

Anonim.2010. Prakarsa StrategisPengelolaanSumberDaya Air


untukMengatasiBanjirdanKekeringan di PulauJawa, LaporanAkhir

ArronofS. 1993. Geographic Information System: A Management Perspective.


WDLPublication :Otawa, Canada

Barus B,WiradisastraUS. 2000. SistemInformasiGeografi


(SaranaManajemendanSumberdaya). Lab.
PenginderaanJauhdanKartografi.Jurusan Tanah. IPB, Bogor

Bappedasu.2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara tahun


2010-2030Badan Perencanaan Pembangunan DaerahProvinsi Sumatera
Utara, Medan. p.5-4

Dephutbun.2000. PedomanSurveiSosialEkonomiKehutanan Indonesia (PSSEKI).


PusatPenelitianSosialEkonomiKehutanandan
Perkebunan.BadanLitbangKehutanandan
Perkebunan.DepartemenKehutanandan Perkebunan, Bogor.

DewiIN.2005. KajianSosialekonomibudayadanpersepsimasyarakatsekitarDanau
Tempe, ProfilPusatPenelitianSosialEkonomidanKebijakanKehutanan,
Dephut , Jakarta.

Ditjen RLPS.2009. Pedoman Monitoring danEvaluasi Daerah Aliran Sungai,


LampiranPeraturanDirekturJenderalRehabilitasiLahandanPerhutananSosia
l , No.P.04/V-SET/2009 , Tanggal 5 Maret 2009

Dojildo JR, BestGA. 1992. Chemistry of Water and Water Pollution. Ellis
Horwood Limited. New York.

Effendie MI. 2003.BiologiPerikanan ,YayasanPustaka Nusantara


Effendi H. 2003.TelaahKualitas Air BagiPengelolaanSumberdayadan
188

LingkunganPerairan. Kanisius.Yogyakarta.

Eriyatno. 2003. IlmuSistem. MeningkatkanMutudanEfektivitasManajemen.Jilid1


IPB Press. Bogor.

Eriyatno,SofyarF. 2007. RisetKebijakanMetodePenelitianUntukPascasarjana , IPB


Press, Bogor.

FAO. 1976. Frame Work for Land Evaluation. Soils Bulletin 32, Rome-Italy

Fardiaz S. 1992.Polusi air danUdara, Kamisul Yogyakarta

Hartrisari.2007.KonsepSistemdanPemodelanUntukIndustridanLingkungan,
SEAMEO BIOTROP , Bogor

HaslamSM. 1995. River Pollution an Ecological Perspective, Behalven Press,


London UK

Hakim N. 1988.Kesuburantanah.Penerbit UNILA. Lampung.

Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. EvaluasiKesesuaianLahan. Gama Press.


Yogyakarta

IUCN. 1980. World Conservation Strategy, Living Resource Conservation for


Sustainable Development. IUCN-UNEF-WWF 1980

Ilec. 2009.Danau Toba (Lake Toba).www.ilec.or.jp/database/asi/asi-10.html, 28


Januari 2010

Ilyas DS. 1998.StudiPemanfaatanRuang Daerah Tangkapan Air Danau Toba Serta


HubungannyaDengan RTRWP Sumut, USU e-Repository 2010

ITB.2001.
KajianTeknisPemanfaatanSumberDayaAlamdanLingkunganKawasanDan
au Toba, Bandung Jawa Barat

JICA. 2004. The Study on Integrated Regional Development and Environtmental


Conservation Management in The Area of Lake Toba with Participatory
Approach. PT.Indokei International. Jakarta

Juwono PT. 2009. SebuahKajianKebijakanBidangSumberDaya Air


dariSudutPandang Hidrologi,
DosenJurusanTeknikPengairanUniversitasBrawijaya

Kholil M. 2009. Model SimulasiPengembanganIndustriPerikanan di Konawea


Selatan denganPendekatanSistemDinamik
StaffPengajarUniversitasMercuBuana,http://research.mercubuana.ac.id,
tanggal 11 Desember 2009

 
 
189

Krebs CJ. 1989. Ecology Metodology, Harper and Rows Publisher. New York.

KlingebielAA, MontgomeryPM. 1973. Land Capability Classification,


Agric.Handb. No. 210, USDA-SCS 21p

KusratmokoE, SukantaD,TambunanMP, Sobirin. 2002.StudiHidrologiHutan Kota


KampusUniversitas Indonesia Depok, Makara Sains,Vol.6, No.1, April
2002, JurusanGeografi, Fak. MIPA, UI, Depok

Kehutanan.2001.PedomanPenyelenggaraanPengelolaan Daerah Aliran Sungai,


DepartemenKehutanan 2001, Jakarta.

Lablink.2010. http://www.lablink.or.id/Env/Hidro/air-quant.html, 28Januari 2010

Lee CD, WangSB andKuoCL. 1978.Bhentich and fish as biological indicator of


water quality with references of water pollution in developing countries.
Bangkok.

Limantara LM,JanuIsmoyoM,AndyS. 2008. Water Balance in the Teritip DAM,


Balikpapan, East Kalimantan AGRITEK VOL. 16 NO. 12 Desember
2008, ISSN. 0852-5426

LitbangSDA.2008. PengelolaanDanaudanWaduk di Indonesia,


BalaiLingkunganKeairan, PusatLitbang SDA.http://www.pusair-
pu.go.id.html[01Aug 2010]

LTEMP. 2004. InformasiUmumTentangEkosistemKawasanDanau Toba,


Dokumen0401.http://www.laketoba.org, html [01Maret2010]

Mahida UN. 1993. Pencemaran Air danPemanfaatanLimbahIndustri.PT. Raja


GrafindoPersada. Jakarta

MahbudB. 1990. PenilaianPencemaran Air denganIndeks. J. Penelitiandan


PengembanganPengairan 17: 10-17.

Manan S. 1983.PengaruhHutandanManajemen Daerah Aliran


Sungai.ProyekPengembangan/PeningkatanPerguruanTinggi.InstitutPertani
an Bogor. Bogor. Marganof, 2007. Model
PengendalianPencemaranPerairan di DanauManinjau Sumatera Barat,
SekolahPascaSarjana IPB

Marimin. 2009.TeoridanAplikasiSistemPakarDalamTeknologiManajerial, IPB


Press Bogor, CetakanKe – 3, 2009

Menteri. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 101/Menhut-II/2004


tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman Untuk Pemenuhan
Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas, Biro HukumdanOrganisasi Jakarta,

 
190

http:// www.dephut.go.id/INFORMASI/skep/skmenhut/101_04.htm, 25
juni2010

Messerli B, Ives JD. 1997. Mountains of the World. A Global Priority.


TheParthenon Publishing Group, New York/London

Mock FJ. 1973. Water Availability Appraisal. Basic study prepared


forFAO/UNDP Land Capability Appraisal Project. Bogor

MontarcihL. 2008. Neraca Air BendunganTeritip Kota Balikpapan Propinsi


Kalimantan Timur. JurnalAgritek Vol. 16 No. 12 Desember 2008 ISSN.
0852-5426 UniversitasBrawijaya

Novonty V,OlemH. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and


Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York.

NurwijayantoE. 2008.
AnalisisKawasanHutandanKawasanLindungDalamRangkaArahanPenataa
nRuang di Kabupaten Deli Serdang.Tesis Magister Sains, Program
StudiIlmuPerencanaan Wilayah. IPB, Bogor.

OtoritaAsahan, 2003. KerangkaDasarRencanaStrategisOtoritaAsahan,


http://www.otorita-asahan.go.id/Renstra, 1 Maret 2010

Ott.WR. 1978. Environmental Indices, Theory and Practice. Ann Arbor Science.
Michigan.

PasaribuHS. 1999. DAS


sebagaiSatuanPerencanaanTerpadudalamKaitannyadenganPengembangan
Wilayah danPengembanganSektoralBerbasiskanKonservasi Tanah dan
Air. Seminar SehariPERSAKI ”DAS
sebagaiSatuanPerencanaanTerpadudalamPengelolaanSumberDaya Air”;
Jakarta, 21 Desember 1999.

ParhusipH. 2005.Penelitian Air Tanah UntukPengembangan Daerah Irigasi di


NainggolanPulauSamosir, Departemen of Civil Engineering (2005 ) ITB

Pemdasu. 2009.KondisiUmumDanau Toba. http://www.pempropsu.go.id. Html


[01Maret 2010]

Pratondo BJ.2006.AplikasiInfrastruktur Data SpasialNasional(IDSN)


untukPengendalianKebakaranHutandanLahan. Kasus di
KabupatenSanggau Kalimantan Barat ,JurnalIlmiahGeomatika Vol.12
No.2 Desember 2006

PresidenRI. 2004. Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 2004 TentangSumberDaya


Air, Jakarta

 
 
191

Purnama S. 2009.Neraca Air di Pulau Bali,


FakultasGeografiUniversitasGadjahMada, Yogayakarta, Jurnal Forum
GeografiVol 23 No. 1 Juli 2009

PrawiraAY. 2005. AnalisisSpsialLahanKritis di Kota Bandung Utara


Menggunakan Open Sources Grass, PertemuanIlmiahTahunan MAPIN
XIV DepartemenTeknikGeodesi, FakultasTeknikSipildanLingkungan,
InstitutTeknologi Bandung - ITB, Indonesia

Rustiadi E,SaefulhakimS,PanujuDR.2006.PerencanaandanPengembangan
Wilayah.FakultasPertanian. IPB Bogor

PU.(Draft).Rencana Tata RuangKawasanStrategisNasional(KSN) Danau Toba,


LaporanAkhir “BantuanTeknisPenyusunanPenataanRuangKawasanDanau
Toba danSekitarnya”,
KementerianPekerjaanUmumDirektoratJenderalPenataanRuang, Jakarta
2011

Said R, Septri W, Hana I. 2009.TekananPenduduk, Overshoot


EkologiPulauJawadanMasaPemulihannya,.JurnalTransdisiplinSosiologi,
KomunikasidanEkologiManusia. ISSN 1978-4333. Vol.03 No. 01

Samosir.2010. Program OtoritaAsahan, BLHPP


KabupatenSamosirhttp://blhpp.wordpress.com/2009/11/06/program-
otorita-asahan/BLHPP Kab. Samosir.html [1 Feb 2010]

SarminingsihA. 2007. EvaluasiKekritisanLahan Daerah Aliran Sungai


danMendesaknyaLangkah-langkahKonservasi, JurnalPresipitasiVol 2. No.
1 Program studiTeknikLingkunganHidupFT.Undip Semarang

SetyowatiDL. 2008. PemodelanKetersediaan Air


untukPerencanaanPegendalianBanjir Kali BlorongKabupaten Kendal.
JurnalTeknikSipildanPerencanaanNomor2 , Volume 10, 2008

SoerianegaraI.1977.PengelolaanSumberDayaAlam. BagianI
.JurusanPengelolaanSumberDayaAlamdanLingkungan.SekolahPascasarjan
a, IPB.Bogor

SitorusS. 2009. EvaluasiSumberDayaLahan, PenerbitTarsitoCetakanke 3 Bandung

SimanihurukM. 2005.
PendekatanPartsipasifDalamPerencanaanKonservasiLingkungan Di
Daerah Tangkapan Air Danau Toba” JurnalWawasan, Oktober 2005,
Volume 11, Nomor 2
Siti ZY. 2008. RencanaPenataanKawasanWisata yang Berkelanjutan di Danau
Toba Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon). Program
StudiArsitekturLanskap, SekolahPascasarjana IPB

 
192

Sriharto Br. 1993. “AnalisisHidrologi”. PT Gramedia, Jakarta

SrihartoBr. 2000. “ HidrologiTeoriMasalahPenyelesaian”. Nafiri, Jakarta.

Sosrodarsono S,TakedaK. 1978.HidrologiUntukPengairan. PT.


PradnyaParamitaCetakankedua, Jakarta 2010

Sughandhy, Aca. 1999. PenataanRuangdalamPengelolaanLingkungan


Hidup.PT.GramediaPustakaUtama. Jakarta.

Suroso,SusantoHA. 2006. PengaruhPerubahan Tata GunaLahanTerhadap Debit


Banjir Daerah Aliran Sungai BanjaranJurnal T.Sipil, Vol. 3, No. 2,.Juli
2006

TampubolonR. 2007.StudiJasaLingkungan Di KawasanDanau Toba, Restoring


the Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area through
Community Development and Local Capacity Building for Forest and
Land Rehabilitation, Published by ITTO PROJECT PD 394/06, p 1-5

Yakin A. 1997. EkonomiSumberdayadanLingkungan. Jakarta:


AkademikaPresindo.

Yuzni SZ. 2008. RencanaPenataanKawasanWisataBerkelanjutan di Danau Toba


Sumatera Utara (Kasus: Sub DAS Naborsahon), Tesis,
SekolahPascasarjana IPB, 2008

WCED. 1988. HariDepan Kita Bersama. KomisiDuniaUntukLingkungandan


Pembangunan (WCED), PTGramedia, Jakarta

Wahyudin. 2010. Pengaturan pemanfaatan Air tanah di Kawasan Danau


TobaSeminar
PengelolaanEkosistemKawasanDanauTobaDirektoratPenataanRuang
Wilayah Nasional – DirjenPenataanRuangKementerianPekerjaanUmum,
Jakarta, 04 November 2010

WardoyoSTH. 1989. KriteriaKualitas Air UntukPertaniandanPerikanan.


Makalahpada Seminar PengendalianPencemaran Air. DirjenPengairan
DepartemenPekerjaanUmum. Bandung.

Warwick RM. 1986.A New Method for Detecting Pollution Effect on


MarineMacrobenthic Communities.Marine Biology.

Wijayaratna CM. 2000.Integrated Watershed Management – A Learning Process,


Soil Conservation and Watershed Management in Asia and the Pasific.
Tokyo: Asian Productivity Organization. 36-66.

WMO. 1974. International Glossary of Hydrology, WMO World Meteorological


Organization, Geneva.

 
 
Lampiran : DaftarSingkatan

AHP = Analytical Hierarchy Process


BF = Base Flow
BT = BujurTimur
BPEKDT = BadanPengelolaEkosistemKawasanDanau Toba
CH = CurahHujan
DTA = Daerah Tangkapan Air
DAS = Daerah AliaranSungai
DRO = Direct Run Off
DT = Danau Toba
ETp = EvapotranspirasiPotensial
ETa = EvapotranspirasiAktual
Ev =Evaporasi
ET =EvapotranspirasiTerbatas
Ha = Hektar
IW = Inflow Water
KAP = Kebutuhan Air Penduduk
KAI = Kebutuhan Air Industri
LSM = LembagaSosialMasyarakat
LTEMP = Lake Toba Ecosystem Management Program
MW = Mega watt
OW = Outflow Water
PLTA = PembangkitListrikTenaga Air
PDAM = Perusahaan Daerah Air Minum
PAD = PendapatanAsli Daerah
PU = PekerjaanUmum
RO = Run Off
RTRWP = Renacana Tata Ruang Wilayah Propinsi
SCH = Surplus CurahHujan
SIG = SistemInformasiGeografis
TP = TekananPenduduk
LU = Lintang Utara
USDA = United States Department of Agriculture
UU = Undang-Undang
WS =Water Surplus
WL = Water Level
WB = Water Balance
 

214 

 
193 
 

 
Gambar Lampiran 1 Peta Administrasi DTA Danau Toba
194 
 

Gambar Lampiran 2 Peta Ketinggian Tempat DTA Danau Toba


195 
 

 
Gambar Lampiran 3 Peta Kemiringan Lereng
196 
 

 
Gambar Lampiran 4 Peta Geologi DTA Danau Toba
197 
 

 
Gambar Lampiran 5 Peta Tanah DTA Danau Toba
198 
 

 
Gambar Lampiran 6 Peta Kawasan Hutan DTA Danau Toba
199 
 

 
Gambar Lampiran 7 Pata Tutupan Lahan DTA Danau Toba , tahun 2001
200 
 

 
Gambar Lampiran 8 Peta Tutupan Lahan DTA Danau Toba, 2007
201 
 

 
Gambar Lampiran 9 Peta Satuan Lahan DTA Danau Toba
202 
 

 
Gambar Lampiran 10 Peta Kemampuan Lahan DTA Danau Toba
203 
 

 
Gambar Lampiran 11 Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba (Draft)

Potrebbero piacerti anche