Sei sulla pagina 1di 345

MODEL PENGELOLAAN KAWASAN PERIKANAN

TANGKAP DI TELUK BANTEN

DWI ERNANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan


Kawasan Perikanan Tangkap di Teluk Banten adalah karya saya dengan arahan
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Dwi Ernaningsih
NRP C462080011
ABSTRACT

DWI ERNANINGSIH. 2012. Model of Management of Capture Fisheries Area in


Banten Bay. Supervised by DOMU SIMBOLON, EKO SRI WIYONO, and ARI
PURBAYANTO.

Banten Bay is area which quite rapid development for many activities.
Industrial waste disposal, domestic, over fishing, coral exploitation, reclamation,
vessel traffic, and environmental damage, cause interest multi sector conflict in
managing sea area. General objective of the research is to create model of
management of sustainable capture fisheries area in Banten Bay. The specific
objectives are to (1) determine utilization status and development prospect of
capture fisheries; (2) determine leading commodity; (3) determine
environmentally friendly fishing gears, (4) establish utilization zone; (5) arrange
policy strategy in managing capture fisheries; and (6) simulate of model of
management of capture fisheries. Evaluating utilization status and development
prospect of capture fisheries was conducted using surplus production method
with bionomic model. Determination of leading commodity was conducted with
LQ value, IS, and descriptive method. Environmental and sustainable fishing gear
was analyzed using CCRF criteria with scoring method approach. Zoning of
capture fisheries area utilization was conducted by GIS. Management strategy of
capture fisheries area was conducted with SWOT and AHP. Simulate of model of
management of capture fisheries was conducted with LGP and model simulation
of sustainable fish resources and salary fisherman. The result showed that
utilization status and development prospect of capture fisheries in Banten Bay
can still be developed for 9 species from 23 species. Squid, anchovy, and crab
were commodities with high comparative advantages. Hand line, boat lift net, and
gillnet were environmentally fishing gears. Zoning of Banten Bay utilization are
consist of aquaculture, recreation, conservation, capture fisheries, fishing port,
and industrial zone. Zone of capture fisheries was composed base on fishing
ground eligibility indicator, suitability of fishing gear with fishing ground, minimum
of conflict potency, availability of infrastructure, and environmental carrying
capacity. Capture fisheries zone is divided into three zones, that are (i) passive
zone, (ii) passive and outboard fishing boat zone, (iii) active and inboard fishing
boat zone. Based on LGP analysis, maximum catch was 1.747,259 ton/year,
alocation for fishing gear of gillnet, danish seine net, set lift net, boat lift net, boat
seine, hand line, guiding barrier trap, and monofilament gillnet were 3, 11, 11, 6,
2, 5, 0 and 0 unit, respectively. The proposed strategy in managing Banten Bay
area were (1) utilization strategic location of Banten Bay with optimalization
leading commodity for providing fish demand; (2) taking advantage of high
availability of human resources and fisherman concern to manage capture
fisheries area; (3) utilization local government support and regional autonomy to
make policy in structuring and expansion of fishing area and involving coastal
communities in the management. Model of management of capture fisheries area
in Banten Bay can be increase of salary fisherman as much as 25% from first
scenario and take care of sustainable fish resources the periode of time 18 years.

Keywords: area, capture fisheries, development, management, model, Banten


Bay
RINGKASAN

DWI ERNANINGSIH. 2012. Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap di


Teluk Banten. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON, EKO SRI WIYONO, dan ARI
PURBAYANTO.

Perikanan tangkap di Teluk Banten merupakan kegiatan yang diusahakan


oleh masyarakat (artisanal fisheries) dengan beragam alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan yang multi spesies. Kawasan Teluk Banten
merupakan kawasan yang saat ini cukup pesat perkembangannya. Hal ini
diindikasikan dengan tingkat pertumbuhan perumahan, industri dan jasa yang
cukup tinggi di-catchment area dari Teluk Banten. Berkembangnya industri di
sepanjang pesisir Teluk Banten mengakibatkan terjadinya upaya reklamasi
pantai. Akibat aktivitas ini termasuk pembuangan limbah industri, limbah
domestik, penangkapan ikan yang berlebihan, pengambilan karang, pengurugan
laut, lalu-lintas perahu di kawasan Teluk Banten, hilangnya kawasan bakau, dan
perubahan garis pantai dari Teluk Banten mengakibatkan terjadinya kerusakan
lingkungan. Kondisi demikian, mengundang konflik kepentingan (interest conflict)
multi sektor dalam pengelolaan kawasan laut.
Pengembangan kawasan (wilayah) berbasis komoditas unggulan
merupakan salah satu konsep pengembangan wilayah yang ada. Kawasan
Teluk Banten dapat dikatakan kawasan yang memiliki daya saing, dicirikan
dengan adanya faktor-faktor penentu keunggulan, yaitu memiliki faktor produksi
dalam perikanan tangkap, adanya peluang permintaan pasar, industri
pendukung, persaingan domestik, dan terbukanya peluang usaha. Daya saing
suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan
komparatif. Dengan demikian pengembangan kawasan perikanan tangkap di
Teluk Banten dapat didasarkan pada keunggulan komoditas yang dihasilkan,
yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Model pengelolaan perikanan tangkap yang memperhatikan kelestarian sumber
daya ikan dan lingkungannya, status pemanfaatan perikanan tangkap, zonasi
pemanfaatan kawasan, jenis teknologi penangkapan ikan yang ramah
lingkungan, serta pengembangan kawasan berdasarkan komoditas unggulan
diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang terjadi. Keterlibatan
pemerintah daerah Kabupaten Serang selaku pengambil kebijakan pengelolaan
Teluk Banten harus melihat potensi sumber daya ikan, dan sumber daya
manusia dalam mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ikan dengan
mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat dan kelestarian
fungsi ekologis sumber daya pesisir dan lautan. Pengelolaan potensi sumber
daya ikan harus terencana dan terkendali pemanfaatannya agar dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan
datang. Dengan demikian perlu dilakukan simulasi dampak penerapan model
terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menentukan status pemanfaatan dan
peluang pengembangan perikanan tangkap; (2) Menentukan komoditas
unggulan komparatif; (3) Menentukan teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan dan berkelanjutan; (4) Menyusun zonasi pemanfaatan kawasan; (5)
Menyusun strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; (6)
Mensimulasikan model pengelolaan kawasan perikanan tangkap terhadap
kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan.
Evaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap dilakukan dengan menggunakan metode surplus produksi, dan model
bionomi. Penentuan komoditi unggulan dilakukan dengan menggunakan metode
LQ, IS, dan deskriptif. Teknologi penangkapan ramah lingkungan dan
berkelanjutan dianalisis dengan menggunakan analisis multi-kriteria yang
meliputi aspek biologi, teknik, sosial, dan ekonomi yang didasarkan pada
sembilan kriteria yang terdapat dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF), dilakukan dengan pendekatan metode skoring. Zonasi pemanfaatan
kawasan perikanan tangkap dianalisis dengan terlebih dahulu menetapkan
indikator dan kriteria penyusunan zonasi perikanan tangkap, penentuan lokasi
dan musim penangkapan, alokasi alat tangkap, yang selanjutnya dipetakan
dengan menggunakan metode GIS. Strategi pengelolaan kawasan perikanan
tangkap dengan menggunakan analisis SWOT dan AHP. Simulasi model
pengelolaan kawasan perikanan tangkap dilakukan dengan terlebih dahulu
menetapkan alokasi alat tangkap dengan menggunakan pendekatan wilayah,
dan model optimasi dengan LGP, dilanjutkan dengan simulasi model terhadap
sumber daya ikan dan pendapatan nelayan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status pemanfaatan dan peluang
pengembangan perikanan tangkap di kawasan Teluk Banten masih dapat
dikembangkan terhadap 9 jenis ikan dari 23 jenis ikan yang dominan. Cumi-cumi,
teri, dan rajungan merupakan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif
tinggi dalam perikanan tangkap. Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan
dan berkelanjutan yaitu pancing ulur, bagan perahu, dan gill net. Zonasi
pemanfaatan kawasan Teluk Banten terdiri dari zona perikanan budidaya,
pariwisata, rehabilitasi terumbu karang, dan perikanan tangkap, serta di daerah
pesisir berupa zona pelabuhan, industri, dan pertambakan. Zonasi perikanan
tangkap disusun berdasarkan indikator kelayakan daerah penangkapan ikan,
kesesuaian alat tangkap dengan lokasi penangkapan, peluang konflik kecil,
ketersediaan sarana prasarana, dan adanya daya dukung lingkungan. Zona
perikanan tangkap dibagi kedalam tiga zona yaitu (i) zona pasif, (ii) zona pasif
dan perahu motor tempel, serta (iii) zona aktif dan kapal motor. Pembagian zona
didasarkan pada teknik penangkapan, dan kemampuan armada penangkapan,
serta target spesies tiap jenis alat tangkap. Zonasi yang disusun dimaksudkan
untuk mengurangi terjadinya konflik, dan penataan ruang bersama. Berdasarkan
analisis LGP, alokasi unit penangkapan gill net, dogol, bagan tancap, bagan
perahu, payang, pancing ulur, sero, dan rampus, berturut-turut adalah 3, 11, 11,
6, 2, 5, 0, dan 0 unit. Strategi yang diusulkan dalam pengelolaan kawasan Teluk
Banten adalah: (1) Memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang cukup strategis, dan
mengoptimalkan jenis ikan unggulan untuk memenuhi permintaan ikan; (2)
Memanfaatkan jumlah SDM yang besar dan kepedulian nelayan terhadap upaya
pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten; (3) Memanfaatkan
dukungan PEMDA dan adanya otonomi daerah untuk membuat kebijakan dalam
penataan dan perluasan wilayah tangkap dan pelibatan masyarakat pesisir
dalam pengelolaan. Berdasarkan hasil analisis optimasi dengan Linier Goal
Programming (LGP), diperoleh hasil bahwa jumlah hasil tangkapan maksimum
sebesar 1.747,259 ton, dicapai pada saat upaya penangkapan gill net 1.000
trip/th, dogol 835 trip/th, bagan tancap 1.000 trip/th, bagan perahu 1.885, payang
682 trip/th, dan pancing 495 trip/th. Model pengelolaan kawasan perikanan
tangkap di Teluk Banten mampu meningkatkan pendapatan nelayan sebesar
25% dari skenario pertama dan menjaga kelestarian sumber daya ikan dalam
jangka waktu 18 tahun.

Kata kunci: model, pengelolaan, pengembangan, kawasan, perikanan tangkap,


Teluk Banten
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGELOLAAN KAWASAN PERIKANAN
TANGKAP DI TELUK BANTEN

DWI ERNANINGSIH

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc
2. Dr.Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:


1. Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc
2. Ir. Sapta Putra, M.Sc., Ph.D
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap Di Teluk


Banten
Nama Mahasiswa : Dwi Ernaningsih
NRP : C 462080011
Mayor : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si


Ketua

Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, M.Sc
Anggota Anggota

Diketahui

Mayor SPT Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ketua,

Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


NIP. 196203031988031001 NIP. 196508141990021001

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang Jawa Tengah pada tanggal


6 April 1969 dari ayah H. Gimo Harsono dan ibu Hj. Siti
Muchayah. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara.
Penulis merupakan istri dari Ir. Bayu Witono, dan dikaruniai satu
orang putra yang bernama Fadhiil Akmal.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program
Studi Teknologi Kelautan Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada
tahun 2003. Pada tahun 2008, penulis kembali melanjutkan ke Program Doktor
pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Pascasarjana IPB.
Penulis saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta. Jabatan
struktural yang pernah diterima adalah Ketua Jurusan PSP periode 1995-2005,
Ketua Komisi Jaminan Mutu periode 2005-2008, dan saat ini sebagai Pjs. Dekan
FPIK USNI Jakarta. Selama pendidikan, penulis mendapatkan beasiswa dari
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) berupa Beasiswa Pendidikan
Pasca Sarjana (BPPS).
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi dengan judul “Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap di
Teluk Banten” ini dengan baik.
Teluk Banten merupakan kawasan yang dimanfaatkan oleh banyak
kegiatan baik pada daerah pesisir maupun perairannya. Pengelolaan perikanan
tangkap di Teluk Banten saat ini belum ada. Karenanya penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menyusun model pengelolaan kawasan perikanan
tangkap di Teluk Banten. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1)
Menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap; (2) Menentukan komoditas unggulan komparatif; (3) Menentukan
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan; (4) Menyusun
zonasi pemanfaatan kawasan; (5) Menyusun strategi kebijakan pengelolaan
perikanan tangkap; dan (6) Mensimulasikan model pengelolaan kawasan
perikanan tangkap terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan
nelayan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada Bapak Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si, Bapak Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi.,
M.Si, dan Bapak Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, MSc atas kesediaannya untuk
membimbing penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1) Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc dan Dr.Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai
penguji luar komisi pada ujian tertutup;
2) Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc dan Ir. Sapta Putra, M.Sc., Ph.D
sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka;
3) Prof.Dr. Lijan P. Sinambela, M.M., M.Pd, Rektor USNI Jakarta yang telah
memberikan ijin tugas belajar dan dorongan untuk menyelesaikan studi;
4) Ditjen DIKTI yang telah memberikan bantuan beasiswa berupa biaya
pendidikan pascasarjana (BPPS) selama menempuh pendidikan di IPB;
5) Nelayan-nelayan di Teluk Banten;
6) DKP Provinsi Banten, dan DKP Kab. Serang beserta staf;
7) BLHD Serang;
8) Kepala PPN Karangantu beserta staf;
9) Kepala TPI Terate, TPI Wadas, dan TPI Kepuh;
10) Saudara Irfan Yulianto, S.Pi., M.Si atas bantuannya;
11) Kedua orang tua, suami dan anak serta keluarga besar atas segala
bantuan, doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang telah diberikan
secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan;
12) Rekan-rekan mayor SPT dan TPT angkatan 2008 dan rekan-rekan Dosen
di FPIK USNI Jakarta, atas bantuan dan dorongannya.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan
penyempurnaan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012

Dwi Ernaningsih
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xxii


DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xxv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xxvii
1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................ .. 12
1.4 Hipotesis..................................................................................... .. 13
1.5 Manfaat Penelitian....................................................................... . 13
1.6 Kerangka Pemikiran.................................................................... . 13
1.7 Novelty.......................................................................................... 17
2. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 19
2.1 Karakteristik Perikanan Pantai.................................................... . 19
2.2 Wilayah/Kawasan....................................................................... .. 20
2.2.1 Pengertian dan karakteristik wilayah laut dan pesisir .......... 21
2.2.2 Pengembangan wilayah................................................... ... 25
2.3 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan......................................... 31
2.3.1 Sumber daya ikan.............................................................. .. 31
2.3.2 Pengertian pengelolaan perikanan................................... ... 32
2.3.3 Model-model pengelolaan................................................ ... 34
2.3.4 Isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah
laut dan pesisir............................................................... ..... 41
2.4 Sistem........................................................................................... 45
2.4.1 Teori sistem.................................................................... ..... 45
2.4.2 Sistem perikanan tangkap............................................. ...... 45
2.4.3 Simulasi sistem.................................................................... 48
2.5 Konsep Zonasi.............................................................................. 49
2.6 Komoditas Unggulan............................................................... ..... 51
2.7 Kebijakan Kelautan dan Perikanan......................................... ..... 53
2.8 Pemodelan dalam Perikanan................................................... .... 55
3. METODOLOGI................................................................................. .... 59
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian................................................... ..... 59
3.2 Metode Penelitian.................................................................... ..... 59
3.3 Metode Pengumpulan Data...................................................... .... 59
3.4 Analisis Data................................................................................. 62
3.4.1 Status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
Tangkap .............................................................................. 63
3.4.1.1 Potensi sumber daya ikan ....................................... 63
3.4.1.2 Model bio-ekonomi (bionomi)................................. .. 64
3.4.2 Komoditi unggulan............................................................ .... 64
3.4.2.1 Keunggulan komparatif......................................... .... 64
3.4.2.2 Indeks spesialisasi................................................. ... 65
3.4.2.3 Keunggulan kompetitif........................................... ... 66
3.4.2.4 Deskriptif............................................................ ....... 66

xix
3.4.3 Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan
dan berkelanjutan............................................................. ............. 67
3.4.4 Zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten ....................... 71
3.4.4.1 Identifikasi penggunaan kawasan.............................. 71
3.4.4.2 Zonasi perikanan tangkap.......................................... 71
3.4.4.3 Pemetaan potensi konflik............................................ 74
3.4.5 Strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap 75
3.4.6 Simulasi model pengelolaan dan pengembangan kawasan
perikanan tangkap................................................................ 79
4. KEADAAN UMUM PERIKANAN TELUK BANTEN................................ 87
4.1 Kondisi Perikanan Tangkap ...........................…….......................... 87
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Teluk Banten.................................... 97
4.2.1 Hidro-oseanografi lingkungan pesisir dan laut ..................... 97
4.2.2 Batimetri.................................................................................. 98
4.2.3 Angin muson dan tinggi muka laut.......................................... 99
4.2.4 Arus laut................................................................................ 100
4.2.5 Suhu permukaan laut dan klorofil-a..................................... . 100
5. HASIL PENELITIAN................................................................................ 103
5.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan
Tangkap............................................................................................... 103
5.1.1 Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan............ 103
5.1.2 Model bio-ekonomi (bionomi) .............................................. 107
5.2 Komoditi Unggulan ....................................................................... 110
5.2.1 Model location quotient (LQ).......................................... ...... 110
5.2.2 Indeks spesialisasi (IS).................................................. ....... 111
5.2.3 Deskriptif............................................................................... 111
5.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan ................................................................................ 112
5.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten.......................... ..... 116
5.4.1 Review tata ruang........................................................... ...... 116
5.4.2 Zona perikanan budidaya.............................................. ....... 124
5.4.3 Zona pariwisata............................................................. ....... 124
5.4.4 Zona pelabuhan.................................................................... 125
5.4.5 Zona industri.................................................................. ....... 126
5.4.6 Rehabilitasi terumbu karang.......................................... ....... 126
5.4.7 Zona perikanan tangkap................................................ ....... 127
5.4.8 Pemetaan potensi konflik....................................................... 137
5.5 Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
Teluk Banten........................................................................... ...... 139
5.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap....... .. 144
5.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan...................................... ....... 144
5.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan................................ ....... 146
5.6.3 Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk
Banten............................................................................ ............... 156
6. PEMBAHASAN..................................................................................... 159
6.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan
Tangkap.................................................................................. ............ 159
6.2 Komoditi Unggulan................................................................. ....... 170
6.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan............................................................................ ..... 174
6.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten............................. .. 178

xx
6.5 Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
Teluk Banten........................................................................... ............ 183
6.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap...... ... 190
6.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan .............................................. 190
6.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan......................................... 192
7. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 197
7.1 Kesimpulan ............................................................................ 197
7.2 Saran ..................................................................................... 198
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ ...... 199
LAMPIRAN............................................................................................. ... 209

xxi
xxii
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Indikator Keberhasilan Ko-Manajemen .............................................. 38
2. Nama dan Posisi TPI Lokasi Pengambilan Sampel........................... . 59
3. Jenis dan Sumber Data Primer.......................................................... . 60
4. KriteriaTeknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan Nilai
Bobot................................................................................................. .. 69
5. Skala Banding Berpasang berdasarkan Taraf Relatif Pentingnya..... . 79
6. Nilai Random Consistency Index (RI) untuk Jumlah Elemen (n)
1 sampai dengan 10…………………………………………………….. .. 79
7. Sumber Daya Ikan di Teluk Banten Tahun 2005-2009...................... . 88
8. Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009................. . 89
9. Trip Tiap Jenis Alat Tangkap............................................................. .. 90
10. Spesifikasi Pancing Ulur di Teluk Banten......................................... ... 96
11. Hasil Analisis Potensi Sumber Daya Ikan (Schaefer) di
Teluk Banten...................................................................................... 104
12. Hasil Analisis Ekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Pelagis .................... 108
13. Hasil Analisis Ekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Demersal................. 109
14. Nilai LQ Komoditi Unggulan ............................................................... 111
15. Perhitungan Indeks Spesialisasi Komoditi Unggulan di Kawasan
Teluk Banten...................................................................................... 111
16. Hasil Skoring Penentuan Komoditi Unggulan di KawasanTeluk
Banten...................................................................................... .......... 112
17. Matrik Keragaan Aspek Biologi dari Teknologi Penangkapan ........... 113
18. Matrik Keragaan Aspek Teknik dari Teknologi Penangkapan ............ 114
19. Matrik Keragaan Aspek Sosial dari Teknologi Penangkapan ............. 114
20. Matrik Keragaan Aspek Ekonomi dari Teknologi Penangkapan........... 115
21. Jenis Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkunga di Teluk
Banten………………………………………………………………………. 115
22. Indikator dan Kriteria Penentuan Zonasi Perikanan Tangkap........... .. 128
23. Musim Penangkapan Ikan Pelagis.................................................... .. 129
24. Musim Penangkapan Ikan Demersal................................................ .. 130
25. Tingkat Pemanfaatan Daerah Penangkapan di Teluk Banten........... . 131
26. Posisi Alat Tangkap dan Jalur Penangkapan.................................... .. 133
xxiii
27. Jenis Alat Tangkap, Jenis Ikan dan Fishing Ground........................... 135
28. Karakteristik Zona Perikanan Tangkap di Teluk Banten.............. ....... 137
29. Peta Kemungkinan Konflik dalam Pemanfaatan Ruang Bersama.. .... 138
30. Evaluasi Faktor Internal (IFAS)......................................................... .. 140
31. Evaluasi Faktor Eksternal (EFAS).................................................... ... 141
32. Matriks SWOT Pengelolaan Teluk Banten....................................... ... 142
33. Alokasi Unit Penangkapan Ikan menurut Luas Wilayah Teluk Banten
dan LGP........................................................................................... ... 147
34. Simulasi Optimasi Manajemen Sumber Daya Ikan di Teluk Banten... 148
35. Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi dan Keuntungan Tiap Jenis
Ikan Skenario 1.................................................................................... 150
36. Trend Upaya Penangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap........................ . 150
37. Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi dan Keuntungan Tiap Jenis
Ikan Skenario 2..................................................................................... 154
38. Peraturan Perundangan Lingkungan Pesisir, Laut, dan Pengelolaan
Perikanan Tangkap di Teluk Banten.................................................... 188

xxiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Kerangka Pemikiran........................................................................... 18
2. Ilustrasi Keterkaitan Penataan Ruang secara Fungsi Utama dan
Administrasi...................................................................................... ... 30
3. Kerangka Model Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Pesisir....... .. 42
4. Sistem Perikanan Berkelanjutan....................................................... .. 47
5. Sistem Perikanan Tangkap................................................................ . 48
6. Intersepsi Dunia Model dengan Dunia Nyata................................... ... 56
7. Sekuen Proses Pemodelan.............................................................. ... 57
8. Skematis Analisis SWOT................................................................... . 76
9. Matriks SWOT.................................................................................... . 77
10. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian..................................................... 85
11. Komposisi Alat Tangkap di Kawasan Teluk Banten Tahun 2009...... .. 91
12. Batimetri di Bagian Utara Banten........................................................ 99
13. Sebaran SPL di Perairan Utara Teluk Banten Tahun 2007-2008.......... 102
14. Sebaran Klorofil-a (mg/m3) di Perairan Utara Teluk Banten Tahun
2007-2009.......................................................................................... 102
15. Hubungan Effort (Trip/Th) dengan CPUE (Ton/Trip) Ikan Pelagis.... . 105
16. Hubungan Effort (Trip/Th) dengan CPUE (Ton/Trip) Ikan Demersal 106
17. Grafik Bionomi Cumi-cumi................................................................ 107
18. Grafik Bionomi Rajungan……………………………………………. 110
19. Peta Eksisting Tutupan Lahan Pesisir Teluk Banten .......................... 121
20. Peta Pola Ruang Kawasan Pesisir Teluk Banten ............................... 122
21. Peta Zonasi Umum Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten ................. 123
22. Peta Fishing Ground dan Jalur Penangkapan di Kawasan Teluk
Banten ............................................................................................... 134
23. Zonasi Perikanan Tangkap di Teluk Banten ....................................... 136
24. Posisi Pengelolaan Teluk Banten........................................................ 141
25. Hierarki Penentuan Tujuan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
di Teluk Banten................................................................................... 144
26. Simulasi Skenario Pertama ................................................................ 149
27. Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 1...................... 151
28. Simulasi Skenario Kedua................................................................. ... 153
xxv
29. Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 2.................... .. 155
30. Model Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Tangkap
di Teluk Banten.................................................................................... 157
31. Proses Pengolahan Rajungan............................................................ . 171

xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lokasi Penelitian................................................................................. 209
2. Hasil Tangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009.......... ... 210
3. Konstruksi Gill net............................................................................ .... 215
4. Konstruksi Dogol............................................................................. ..... 216
5. Konstruksi Bagan Tancap............................................................... ..... 218
6. Gambar Bagan Perahu (Jaring Congkel)..................................... ........ 219
7. Konstruksi Payang........................................................................... .... 220
8. Konstruksi Pancing Ulur................................................................... .... 221
9. Konstruksi Sero............................................................................... ..... 224
10. Konstruksi Rampus......................................................................... .... 225
11.Contoh Perhitungan Standarisasi Alat Tangkap............................. ..... 226
12.Contoh Perhitungan Bionomi dengan Program Maple...................... ... 227
13. Perhitungan Analisa Usaha Gill net..................................................... 273
14. Perhitungan Analisa Usaha Dogol................................................ ...... 275
15. Perhitungan Analisa Usaha Bagan Tancap.................................. ...... 277
16. Perhitungan Analisa Usaha Bagan Perahu................................... ...... 278
17. Perhitungan Analisa Usaha Payang.................................................... 279
18. Perhitungan Analisa Usaha Pancing Ulur .......................................... 281
19. Perhitungan Analisa Usaha Sero.................................................. ...... 282
20. Perhitungan Analisa Usaha Rampus............................................. ..... 283
21. Lokasi Budidaya Rumput Laut di Sebelah Selatan P. Panjang.......... . 284
22.Indeks Musim Penangkapan Ikan Pelagis....................................... .... 285
23.Indeks Musim Penangkapan Ikan Demersal.................................. ...... 286
24. Pembangunan Industri di Bojonegara.......................................... ....... 287
25. Fungsi Tujuan..................................................................................... . 288
26. Fungsi Pembatas............................................................................... . 289
27. Hasil Perhitungan LGP dengan Program LINDO.................................. 292
28. Perhitungan Simulasi Skenario 1...................................................... .. 295
29. Perhitungan Simulasi Skenario 2....................................................... . 301
30. Lingkungan Perairan dan Bakau yang Tercemar di Belakang Pabrik
Gula Refinasi………………………………………………………………. 311

xxvii
xxviii
DAFTAR ISTILAH

Alat Penangkapan Sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang


Ikan dipergunakan untuk menangkap ikan.

Alokasi jumlah kapal perikanan yang diizinkan untuk beroperasi di


wilayah perairan, pelabuhan pangkalan, dan/atau
pelabuhan muat/singgah tertentu berdasarkan
pertimbangan ketersediaan dan kelestarian sumber daya
ikan.

Berkelanjutan Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana


laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju
pemulihan sumber daya tersebut.

Biodiversity Keanekaragaman hayati yang ada di dalam suatu habitat


yang menunjukkan produktivitas suatu perairan.

Bioekonomi Pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya


ikan.

EMEY Upaya penangkapan optimal pada saat keuntungan


maksimal.

EMSY Upaya penangkapan optimal pada kondisi lestari.

EOA Upaya penangkapan pada saat akses terbuka.

Ekosistem Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal


balik yang tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya.

Ikan Segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari


siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

Internal Rate of Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present
Return (IRR) value sama dengan nol.

Habitat lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan


berkembang secara alami.

Kawasan Bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki


fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria
karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya.
Kawasan Strategis Wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
Nasional mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan,
termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan
dunia;
xxix
Kebijakan Arah kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan; atau intervensi pemerintah (dan publik) untuk
mencari pemecahan masalah dalam pembangunan dan
mendukung proses pembangunan yang lebih baik.

Kelembagaan Kumpulan orang yang tergabung dalam suatu wadah yang


disatukan untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan.

Keunggulan Keunggulan suatu sektor/komoditi dalam suatu wilayah


komparatif relatif terhadap suatu sektor/komoditi pada wilayah lainnya
dalam suatu pulau.

Komoditas Suatu jenis komoditas yang paling diminati dan memiliki


Unggulan nilai jual tinggi serta diharapkan mampu memberikan
pemasukan yang besar dibandingkan dengan jenis yang
lainnya.

Konflik Interaksi yang tidak kompatibel antara dua sistem atau


lebih

Konservasi Perlindungan dan pemakaian sumber daya alam (SDA)


menurut prinsip yang menjamin keuntungan ekonomi sosial
yang tertinggi secara lestari.

Konservasi SDA Pengelolaan SDA yang menjamin pemanfaatannya secara


bijaksana bagi sumber daya terbaharui dan menjamin
kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Konservasi Upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan SDI,


Sumber Daya Ikan termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin
(SDI) keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragaman SDI.

Masyarakat Orang yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi


Nelayan dengan potensi dan kondisi SDI.

Model Abstraksi dari kondisi yang sesungguhnya di lapangan.

MEY Keuntungan maksimum dalam usaha penangkapan.

MSY Hasil tangkapan maksimum lestari.

Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam


operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau
tanaman air.

Net Benefit Cost Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total
Ratio (Net B/C) biaya produksi.

Net Present Value Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai

xxx
(NPV) sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.

Open Access (OA) Pemanfaatan SDI secara bebas, tidak ada larangan bagi
pengguna SDI untuk ikut memanfaatkan dan meningkatkan
jumlah kapal atau upaya penangkapan (effort). Effort sudah
tidak menguntungkan bagi nelayan, karena besarnya biaya
yang dikeluarkan untuk melaut sama dengan penerimaan
yang diperoleh (break event point).

Pakar (expert) Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan


pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.

Pelabuhan Tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya


Perikanan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar,
berlabuh dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang perikanan.

Pengelolaan Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam


Perikanan pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi SDA, dan implementasi
serta penegakan hukum dari peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk
mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Pengembangan Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada


sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu
kemajuan.

Perikanan Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan


dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis
perikanan.

Perikanan Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak


Tangkap dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa
pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.

Perikanan kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau


Budidaya membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam
lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.

xxxi
Pulau Kecil Pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
beserta kesatuan ekosistemnya.

Rencana Tata Rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah
Ruang Wilayah provinsi, yang merupakan penjabaran dari RTRWN, dan
(RTRW) Provinsi yang berisi: tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang
wilayah provinsi, rencana struktur ruang wilayah provinsi,
rencana pola ruang wilayah provinsi, penetapan kawasan
strategis provinsi, arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah provinsi

Rencana Tata Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang


Ruang Wilayah menetapkan lokasi kawasan yang harus dilindungi, lokasi
Kabupaten/Kota pengembangan kawasan budi daya termasuk kawasan
(RTRWK) produksi dan kawasan pemukiman, pola jaringan
prasarana dan wilayah-wilayah dalam Kabupaten yang
akan diprioritaskan pengembangannya dalam kurun waktu
perencanaan.

Ruang Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
kehidupannya.

Sistem Sekumpulan elemen-elemen yang saling berhubungan


melalui berbagai bentuk interaksi dan bekerjasama untuk
mencapai suatu tujuan yang berguna.

Sistem Informasi Sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan


Geografis (SIG) data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi.
Sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk
pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan
keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya.

Stakeholder Pihak yang berkepentingan atau para pemangku


kepentingan.

Sumber Daya Ikan Potensi semua jenis ikan.


(SDI)

Sumber Daya Terdiri dari SDI, sumber daya lingkungan serta sumber
Perikanan daya buatan manusia yang digunakan untuk
memanfaatkan SDI.

Tata Ruang Wujud struktur ruang dan pola ruang.

Unit Penangkapan Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan


Ikan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan
nelayan.

xxxii
Wilayah Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.

Wilayah Pesisir Daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Zona Wilayah yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi
ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Zona Inti Zona yang mutlak dilindungi, karena di dalamnya tidak


(core zone) diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas
manusia.

Zona pemanfaatan Zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi
dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia,
dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan
dalam suatu kawasan konservasi.

Zona perlindungan Zona yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, yang
(preservation zone) merupakan areal untuk mendukung upaya perlindungan
spesies, pengembangbiakan alami jenis-jenis satwa liar,
termasuk satwa migran serta proses-proses ekologis alami
yang terjadi di dalamnya.

Zona rehabilitasi Zona yang diperuntukkan untuk kepentingan pemulihan


(rehabilitation kondisi ekosistem terumbu karang yang telah mengalami
zone) kerusakan sekitar 75%.

Zonasi Proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara


geografis ke dalam sub-sub wilayah, dimana setiap sub
wilayah dirancang untuk penggunaan khusus.
Suatu proses pengaturan ruang menjadi zona-zona.

xxxiii
1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan perikanan tangkap saat ini masih menjadi alternatif utama bagi
sebagian besar nelayan tradisional Indonesia. Kurang lebih 90% dari total
armada penangkapan yang ada, diantaranya adalah perikanan skala kecil yang
terkonsentrasi di daerah pantai. Minimnya modal dan teknologi penangkapan
telah mendorong nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan (Wiyono
2006). Peningkatan tekanan penangkapan di wilayah pantai menyebabkan
populasi ikan yang berukuran besar semakin menipis sehingga penangkapan
menghasilkan ikan-ikan yang semakin kecil ukurannya dan muda usianya.
Sebagai akibatnya tekanan terhadap perikanaan pantai semakin besar dan
berpotensi menimbulkan kerawanan ekologi, ekonomi, maupun sosial.
Meskipun memberikan peranan yang sangat strategis, perhatian terhadap
pengelolaan perikanan tangkap skala kecil ini dirasakan masih belum memadai.
Secara de facto, perikanan skala kecil dibiarkan berkembang bebas tanpa suatu
kebijakan yang tegas untuk mengaturnya. Kalaupun ada, peraturan yang
diterbitkan belum mampu menyentuh akar persoalan yang ada. Di tempat-tempat
yang perikanannya tidak diatur secara tegas, kepemilikan dan kewenangannya
yang tidak jelas menyebabkan masyarakat nelayan pantai tidak dapat berbuat
banyak untuk melindungi sumberdaya ikan yang menjadi sumber mata
pencahariannya. Untuk melindungi potensi dan habitat sumberdaya ikan agar
dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan diperlukan kegiatan pengaturan dan
penataan pemanfaatan sumberdaya secara baik yaitu suatu proses pengelolaan
sumberdaya perikanan (Murdiyanto 2004).
Kondisi tekanan penduduk yang tinggi di wilayah pesisir menyebabkan
adanya tuntutan pendayagunaan sumberdaya yang terus meningkat dari waktu
ke waktu. Kondisi ini memicu terjadinya pengelolaan secara eksploitatif dan
pada gilirannya keseimbangan lingkungan akan terganggu. Oleh sebab itu
pemanfaatan sumberdaya perlu mempertimbangkan kemampuan daya dukung
wilayah setempat. Daya dukung tersebut tidak hanya terdiri dari aspek fisik saja
tetapi juga meliputi aspek non fisik. Aspek non fisik tersebut antara lain adalah
teknologi dan budaya lokal yang diharapkan dapat membangkitkan energi sosial
melalui pemberdayaan kelompok masyarakat guna memelihara dan
2

memanfaatkan sumber daya pada suatu wilayah tertentu (Haluan dan


Rakhmadevi 2006).
Peningkatan kemampuan masyarakat nelayan dalam memanfaatkan
teknologi dan budaya lokal dapat dipandang sebagai salah satu cara yang dapat
ditempuh guna memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki
oleh masyarakat di wilayah pesisir. Karena itu upaya peningkatan kemampuan
dalam memanfaatkan teknologi dan budaya lokal sangat perlu untuk dilakukan
dan diadakan.
Pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan dua pendekatan
yaitu pendekatan berbasis masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah.
Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang berbasis pemerintah
(pemerintah pusat), selama ini dianggap kurang berhasil karena banyak
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat khususnya di daerah.
Kondisi ini tentunya diharapkan dapat diperbaiki baik oleh pemerintah maupun
masyarakat di daerah terutama setelah adanya kewenangan pengelolaan melalui
UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Serang
2009-2029, Teluk Banten dijadikan sebagai salah satu kawasan strategis.
Kawasan strategis Teluk Banten, ditetapkan sebagai kawasan pengembangan
pemanfaatan ruang berupa permukiman, kepariwisataan, pengembangan jasa
kepelabuhanan serta pusat pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengelolaan,
pemanfaatan serta konservasi sumber daya alam dan potensi kelautan.
Termasuk di dalamnya adalah pulau-pulau kecil yang ada di Teluk Banten yaitu
Pulau Tarahan, Pulau Kemanisan, Pulau Cikantung, Pulau Panjang, Pulau
Semut, Pulau Kubur, Pulau Lima, Pulau Gedang, Pulau Satu, Pulau Pamujan
Besar, Pulau Pamujan Kecil, dan Pulau Tunda.
Perikanan tangkap di Teluk Banten merupakan kegiatan yang diusahakan
oleh masyarakat (artisanal fisheries) dengan beragam alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan yang multi spesies (Resmiati et al. 2002).
Jenis alat tangkap yang digunakan adalah gill net, bagan, payang, jaring udang,
jaring klitik, dan pancing dengan hasil tangkapan ikan peperek, teri, lemuru,
tongkol, tembang, tenggiri, pari, manyung, dan udang. Musim ikan pada bulan
April-Oktober dengan puncak musim pada bulan Agustus-September, sedangkan
udang dapat diperoleh di sepanjang musim (Buku Saku Banten 2007). Armada
penangkapan didominasi oleh perahu dengan motor tempel, perahu papan kecil
3

dan kapal motor < 5 GT (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT.
Plarenco 2007). Di kawasan Teluk Banten terdapat 5 tempat pendaratan ikan
(TPI) yang berada di tiga kecamatan yaitu TPI Karangantu dan TPI Pulau
Panjang (Kecamatan Kasemen), TPI Terate (Kecamatan Kramatwatu), TPI
Wadas dan TPI Kepuh (Kecamatan Bojonegara) (www.dkp-banten.go.id 2009).
Kawasan Teluk Banten merupakan kawasan yang saat ini cukup pesat
perkembangannya. Hal ini diindikasikan dengan tingkat pertumbuhan
perumahan, industri dan jasa yang cukup tinggi di-catchment area dari Teluk
Banten. Sebagian daerah pesisirnya termasuk Kota Serang, sedang mengalami
industrialisasi yang cepat dan di dekatnya terdapat Pelabuhan Merak. Di Teluk
Banten saja tidak kurang lima sungai yang diantaranya mempunyai hulu di lima
kota dan kabupaten. Industri juga dibangun di sepanjang pesisir laut Teluk
Banten. Di Bojonegara tidak kurang 50 industri telah bermukim disini.
Saat ini di wilayah Bojonegara telah dibangun pelabuhan internasional
seluas 1.100 ha. Di sekitar kawasan tersebut telah berdiri kawasan industri yang
direncanakan mencapai 1.372 ha meliputi sebagian desa Salira, Mangunreja,
Sumureja, Mangkunegara, Bojonegara, Ukisari, Margasari, Argawana, Margagiri.
Jenis industri yang dikembangkan adalah industri logam dasar, kimia dasar,
rekayasa dan rancang bangun (bkpm go.id 2009).
Berkembangnya industri di sepanjang pesisir Teluk Banten
mengakibatkan terjadinya upaya reklamasi pantai. Akibat aktivitas ini termasuk
pembuangan limbah industri, aktivitas domestik antara lain limbah rumah tangga
atau sampah, aktivitas kapal baik kapal niaga, dan kapal nelayan asing antara
lain penggunaan jaring arad (mini trawl), menyebabkan 70 dari 100 ha padang
lamun di Teluk Banten mengalami kerusakan yang kritis (Kiswara 2004).
Kerusakan padang lamun terletak di antara wilayah pesisir Kecamatan
Kramatwatu dan Kecamatan Bojonegara (Radar Banten 2008).
Permasalahan lain adalah penangkapan ikan yang berlebihan (Diana
2001), pengambilan karang hidup dan karang mati (Radar Banten 2008),
pemakaian alat tangkap ikan yang merusak (Hendarsih 2007), pengurugan laut,
lalu-lintas perahu di kawasan Teluk Banten, hilangnya kawasan bakau, dan
perubahan garis pantai dari Teluk Banten baik oleh abrasi maupun sedimentasi,
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Kondisi demikian, mengundang konflik kepentingan (interest conflict) multi
sektoral dalam pengelolaan kawasan laut. Tidak jarang antara nelayan dengan
4

penambang pasir, industri dengan pembudidaya tambak dan pecinta lingkungan


hidup harus berseberangan. Hal ini disebabkan masing–masing mempunyai
kepentingan. Kalau ini dibiarkan terus, maka yang akan mengalami dampak
pertama adalah masyarakat pesisir dan biota yang terkandung di dalamnya.
Namun dalam pengelolaan kawasan ini, tetap tidak mengesampingkan faktor
ekonomi yang menjadi motivasi masyarakat ikut serta dalam menjaga
konservasi. Jadi transformasi pendekatan pengelolaan perikanan berbasis stok
(stock based management) menjadi pengelolaan perikanan berbasis ekologi
(ecological based management). Berdasarkan kondisi demikian Kawasan Teluk
Banten direncanakan akan menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD),
namun sampai sekarang belum terlaksana.
Kebijakan pembangunan industri perikanan di Provinsi Banten diarahkan
pada konsep pengembangan berbasis kawasan (cluster based fishery). Sejauh
ini DKP Provinsi Banten sudah menetapkan beberapa daerah sebagai kawasan
industri kelautan perikanan Banten, di antaranya adalah : (1) Klaster rumput laut
jenis cotoni di Pulau Panjang, Kab. Serang, (2) Klaster kerang hijau di
Panimbang, Kab. Pandeglang, (3) Klaster Kerapu di Cigorondong, Kab.
Pandeglang, (4) Klaster rumput laut jenis gracilaria di Tenjo Ayu, Tanara, Kab.
Serang, (5) Klaster Ikan Hias di Kab. dan Kota Tangerang, (6) Klaster perikanan
tangkap di PPP Labuan, Kab. Pandeglang (Soegiharto 2008). Sistem klaster
yang ada di Teluk Banten, saat ini yang diunggulkan adalah rumput laut (Pulau
Panjang) dan belum ada hasil perikanan tangkap yang diunggulkan. Sistem
zonasi pemanfaatan kawasan yang merupakan kawasan terintegrasi di Teluk
Banten saat ini belum ada, sehingga perlu dilakukan kajian secara mendalam
dan menyeluruh dari berbagai aspek.
Terkait dengan pengelolaan kawasan perikanan, kebijakan yang
direkomendasikan (Soegiharto 2008) adalah (1) perlunya lembaga pengelola
kawasan (sebuah lembaga yang bekerja secara purna waktu), (2) penanganan
gangguan masalah sosial (pencurian, pengrusakan, intimidasi keamanan, dan
lain-lain), dan (3) penataan klaster perikanan tangkap (pengembangan
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kab. Pandeglang). Beberapa hal
yang paling mendapat perhatian dari klaster perikanan tangkap adalah: (1)
Penataan jenis dan jumlah kapal perikanan, alat tangkap, alat bantu
penangkapan, jalur penangkapan serta wilayah penangkapan, (2) peningkatan
5

apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan sumberdaya kelautan


dan perikanan.
Salah satu konsep yang ditawarkan Kementerian Lingkungan Hidup (LH)
Republik Indonesia untuk mengelola Teluk Banten secara berkelanjutan, yakni
memperhatikan keseimbangan kepentingan antara ekologi, sosial, dan ekonomi
adalah Integrated River Basin Coastal Management (ICM). Berdasarkan prinsip
ini ada lima strategi pengelolaan Teluk Banten yaitu (1) strategi komunikasi dan
informasi antar stakeholder yang terdiri atas pemerintah, masyarakat, dunia
usaha, pakar, dan lembaga-lembaga non pemerintah; (2) strategi mitigasi, yakni
mencegah, meminimalkan, dan merehabilitasi dampak negatif bencana alam; (3)
strategi membangun Teluk Banten yang berkelanjutan dan menjamin kelestarian
lingkungan, sumberdaya alam, fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi; (4) strategi
melindungi dan melestarikan habitat dan ekosistem serta keanekaragaman
hayati dari hulu sampai hilir; (5) strategi keberlanjutan yakni upaya agar strategi,
program, dan rencana aksi pengelolaan Teluk Banten dapat dilaksanakan secara
berkelanjutan (Agustina 2008). Konsep tersebut juga disampaikan oleh Asisten
Daerah Kabupaten Serang, bahwa pengelolaan Teluk Banten dilakukan secara
berkelanjutan dengan didasarkan pada keseimbangan antara teknologi, sosial
dan ekonomi.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), menjelaskan
bahwa Teluk Banten merupakan salah satu kawasan pengembangan fungsional
kelautan yang ditekankan pada pengembangan pembudidayaan rumput laut,
kerapu, mutiara, udang dan peningkatan produksi perikanan laut. Dinas Kelautan
dan Perikanan Provinsi Banten dan PT. Plarenco (2007) dalam laporan akhirnya
tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Banten menetapkan pola pengelolaan perikanan sebagai berikut:
1) Registrasi Nelayan. Setiap nelayan diwajibkan memilki Kartu Tanda Nelayan
(KTN) dan hanya nelayan skala kecil dan skala besar yang memiliki KTN
yang boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan di perairan laut provinsi
Banten (Selat Sunda, Laut Jawa bagian barat dan Samudera Hindia selatan
Jawa Barat). Setiap nelayan andon yang akan melakukan kegiatan
penangkapan ikan di perairan laut Provinsi Banten harus memiliki Kartu
Tanda Nelayan Andon (KTNA). Penerbitan KTN dan KTNA dilakukan dalam
jumlah terbatas.
6

2) Pengendalian Zona Penangkapan. Wilayah Perikanan Selat Sunda, Laut


Jawa bagian barat maupun Samudera Hindia bagian selatan Provinsi Banten
masing-masing dibagi menjadi 2 (dua) Jalur Penangkapan Ikan:
(1) Jalur Penangkapan Ikan 1, yang meliputi perairan pantai yang diukur dari
permukaan air surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 mil ke
arah laut dan dibagi menjadi 2 (dua) sub jalur. Sub Jalur Penangkapan
Ikan 1a meliputi perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada
surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut dan Sub Jalur
Penangkapan Ikan 1b meliputi perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut
sampai dengan 6 (enam) mil laut.
(2) Jalur Penangkapan Ikan 2 meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan
Ikan 1 sampai dengan 12 (dua belas) mil laut ke arah laut. Di setiap jalur
penangkapan ikan di Perairan Selat Sunda, kapal atau perahu
penangkapan ikan dilarang beroperasi kecuali memenuhi persyaratan
berikut:
i) Pada Jalur Penangkapan Ikan 1a, alat dan kapal penangkapan
ikan yang diperbolehkan beroperasi adalah alat penangkap ikan
yang menetap, alat penangkap ikan tidak menetap yang tidak
dimodifikasi, dan kapal perikanan tanpa motor dengan ukuran
panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m.
ii) Pada Jalur Penangkapan Ikan 1b, alat dan kapal penangkapan
ikan yang diperbolehkan beroperasi adalah alat penangkap ikan
tidak menetap yang dimodifikasi, kapal perikanan yang terdiri
dari tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran
panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m, bermotor tempel dan
bermotor- dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal
12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau, pukat cincin
(purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m, serta jaring
insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1 000 m.
iii) Semua kapal perikanan dan alat penangkapan ikan yang
diperbolehkan beroperasi di Sub Jalur Penangkapan Ikan 1a
boleh dioperasikan pada Sub Jalur Penangkapan Ikan 1b.
iv) Pada Jalur Penangkapan Ikan 2, kapal perikanan yang boleh
beroperasi adalah kapal perikanan bermotor-dalam berukuran
maksimal 60 GT dan kapal perikanan dengan menggunakan alat
7

penangkap ikan: pukat cincin (purse seine) berukuran panjang


maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1
(satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1.000 m
dengan cara pengoperasian menggunakan 2 (dua) kapal ganda
yang bukan grup, pancing tuna (tuna long line) maksimal 1.200
buah mata pancing, dan jaring insang hanyut (drift gill net)
berukuran panjang maksimal 2.500 m.
v) Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan
Ikan 2, wajib diberi tanda pengenal dengan mengecat minimal ¼
(seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna oranye.
vi) Semua kapal perikanan dan alat penangkapan ikan yang
diperbolehkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan 1 boleh
dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan 2.
vii) Dikecualikan dari ketentuan Jalur-Jalur Penangkapan Ikan
tersebut di atas adalah kapal perikanan bermotor yang
melakukan kegiatan penelitian, survei, eksplorasi dan latihan
penangkapan ikan yang telah memperoleh persetujuan dari
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
(3) Pengendalian Kapal. Kapal penangkapan ikan harus diperiksa, didaftarkan
dan memiliki ijin sebelum memulai operasi. Penggantian kapal penangkapan
ikan dengan kapal yang berbobot lebih tinggi hanya diijinkan dengan ijin
tertulis dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Banten.
(4) Pengendalian Alat Penangkapan Ikan. Semua alat penangkapan ikan harus
memiliki ijin penangkapan dan harus diperbaharui setiap tahun. Semua alat
penangkap ikan yang dipergunakan pada setiap Jalur Penangkapan Ikan
wajib diberi Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan. Ketentuan mengenai
penggunaan Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan ditetapkan lebih lanjut
oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Banten. Jaring insang
dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inch) dan purse seine
dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inch) dilarang untuk
dioperasikan di semua Jalur Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring
angkat (lift net). Ukuran minimum mata jaring pada kantong pukat ikan dan
sejenisnya yang boleh dipergunakan adalah 38 mm. Alat penangkapan ikan
yang menggunakan arus listrik, cahaya lampu dengan daya > 30 kw, racun
dan bahan peledak dilarang digunakan di perairan Selat Sunda.
8

(5) Pengendalian Daerah Perlindungan Laut (DPL). Untuk menjamin kelestarian


sumber daya ikan perlu ditetapkan daerah perlindungan laut yang merupakan
daerah pemijahan dan atau pembesaran hewan-hewan air yang terancam
punah. Di daerah perlindungan laut ini dilarang melakukan kegiatan
penangkapan ikan.
(6) Perijinan. Untuk sementara, tidak ada penerbitan ijin penangkapan ikan baru
kecuali jika ada rekomendasi dari hasil pemantauan dan evaluasi sumber
daya ikan di Selat Sunda, Laut Jawa bagian barat dan Samudera Hindia
bagian selatan Provinsi Banten.
Teluk Banten berada pada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kasemen
(Kota Banten), Kramatwatu, dan Bojonegara (Kabupaten Serang, termasuk
Serang Utara). Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah (Perda)
No. 2 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Serang
tahun 2009-2029 pasal 11 bahwa Kebijakan Sentra Kawasan Pengembangan
Serang Utara, antara lain: pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau di
perairan Teluk Banten; pengembangan pariwisata; pengembangan konservasi
dan rehabilitasi pantai; pengembangan perikanan dan ternak unggas;
pengembangan agro industri dan industri perikanan; dan pengembangan
pemukiman. Bojonegara ditetapkan sebagai Sentra Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) antara lain sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN); meningkatkan
keterkaitan antar kota, baik secara fungsional dengan mengembangkan fungsi
pelayanan kota yang terintegrasi satu sama lain maupun secara spasial dengan
meningkatkan aksesibilitasnya terutama melalui pengembangan prasarana
perhubungan; mengembangkan pusat pelabuhan samudera; mengembangkan
dan meningkatkan zona industri logam dasar, kimia, mesin dan rancang bangun;
mengarahkan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan skala regional
dan skala wilayah; dan menjaga kelestarian hutan. Pada pasal 18 disebutkan
strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya diarahkan untuk
mengakomodasikan kegiatan produksi (pertanian tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, perikanan), permukiman, kegiatan pertambangan, industri,
pariwisata serta hankam; pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan budi
daya, agar tidak terjadi konflik antar kegiatan/sektor; pengelolaan wilayah pesisir
dan kelautan dilaksanakan dengan mewujudkan kesinambungan (keberlanjutan)
pemanfaatan ruang kawasan pesisir, mengembangkan wilayah pesisir sesuai
dengan karakteristik wilayah pesisir, mengendalikan pembangunan di wilayah
9

pesisir untuk menjaga kelestarian ekosistem alamiah pesisir, meningkatkan


peran serta mengembalikan kondisi rona lingkungan wilayah pesisir yang rusak
agar fungsi ekologisnya dapat berjalan secara optimal.
Peraturan Daerah Kabupaten Serang No. 2 tahun 2009 tersebut
merupakan upaya Pemda Serang untuk melaksanakan kewenangan pemerintah
daerah dalam mengelola sumberdaya di wilayah laut sesuai dengan pasal 18 UU
No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan mengelola
sumberdaya di wilayah laut untuk kabupaten/kota sejauh 4 mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas, namun sampai dengan saat ini Teluk Banten
sebagai bagian dari kawasan Serang Utara belum dikelola dengan baik
perikanan tangkapnya. Terutama yang berkaitan dengan pengaturan jenis dan
jumlah alat tangkap, dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
Berdasarkan informasi yang telah disampaikan sebelumnya menunjukkan
bahwa sampai saat ini belum ada model pengelolaan dan pengembangan
kawasan perikanan tangkap berdasarkan komoditas unggulan tertentu yang
diterapkan di Teluk Banten walaupun berbagai jenis pengelolaan telah banyak
ditawarkan baik yang merupakan hasil kajian maupun dibicarakan dalam forum-
forum seminar. Untuk itu perlu dikaji secara lebih mendalam model pengelolaan
dan pengembangan kawasan perikanan tangkap yang tepat sesuai dengan
karakter perairan Teluk Banten dan situasi yang ada.

1.2 Perumusan Masalah


Permasalahan yang ada di Teluk Banten dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
(1) Kerusakan lingkungan:
i) Penggunaan alat tangkap yang merusak yaitu penangkapan ikan dengan
sianida (pengeboman), dan penggunaan jaring muroami;
ii) Pencemaran (kadar logam berat Pb dalam sedimen 5,95-15,16 ppm; Cd=
<0,001-0,001 ppm; Zn= 20,18-69,22 ppm; Ni= 2,32-8,68 ppm; Cu= 2,11-
10,67 ppm (Rochyatun et al. 2005) yang dominan disebabkan oleh
buangan limbah industri diikuti limbah dari rumah tangga dan kapal yang
melintasi teluk);
iii) Rusaknya padang lamun yang disebabkan oleh limbah industri.
Penurunan luas padang lamun di pantai barat Teluk Banten dari tahun
1989 sampai tahun 2006 seluas 23,9 ha atau telah terjadi pengurangan
10

luasan padang lamun rata-rata seluas 1,4 ha/tahun (www.menlh.go.id


2008).
iv) Kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh pengeboman ikan di
terumbu karang (www.bapedaldabanten.go.id 2009), penangkapan ikan
dengan sianida, penambangan karang, penggunaan jaring muroami,
maupun karena pencemaran air laut dan sedimentasi (Pratiwi 2006);1
v) Hilangnya kawasan hutan bakau yang disebabkan oleh kegiatan
reklamasi pantai maupun pertambakan. Pada tahun 2002 sebaran
mangrove di Kecamatan Bojonegara 26,59 ha, Kecamatan Kramatwatu
1,03 ha, Kecamatan Pontang 16,53 ha (www.bapedaldabanten.go.id
2009). Akibat hilangnya kawasan hutan bakau ini adalah terjadinya
abrasi dan intrusi air laut sehingga air tawar menjadi langka. Sebagai
contoh intrusi air laut terjadi di Banten-Kasemen yang berpengaruh
sampai 1 km ke arah darat (www.bapedaldabanten.go.id 2009).
vi) Perubahan garis pantai baik berupa abrasi maupun akresi/sedimentasi.
Abrasi yang terjadi sebagian besar diakibatkan olef faktor alam dan
kegiatan manusia seperti pertambakan, penebangan hutan mangrove,
penggalian pasir pantai, maupun reklamasi. Abrasi terjadi di tepi jalan
dekat Pelabuhan Bojonegara-Serang, dan akresi/sedimentasi terjadi di
Desa Sukajaya Kecamatan Pontang (2,5 km), Desa Banten Kecamatan
Kasemen (2,5 km), dan di Desa Terate Kecamatan Kramatwatu (1 km)
(www.bapedaldabanten.go.id 2009).
(2) Penurunan hasil tangkapan yang diindikasikan dengan turunnya rata-rata
produksi lima tahun terakhir (2005-2009).
(3) Sosial ekonomi:
i) Konflik kepentingan/interest conflict multi sektoral dalam pemanfaatan
dan pengelolaan kawasan laut secara bersama;
ii) Tingkat kesadaran nelayan terhadap kelestarian sumberdaya perikanan
relatif rendah, diindikasikan dengan penggunaan alat tangkap yang
merusak lingkungan;
iii) Kondisi kesejahteraan nelayan yang di bawah standar Provinsi Banten.
Sebagai informasi pendapatan rata-rata nelayan Kabupaten Serang
(Teluk Banten merupakan bagian dari Kabupaten Serang) pada tahun
2007 sebesar Rp11.558.000/orang/tahun sedangkan Provinsi Banten
11

Rp15.512.000/orang/tahun. Kabupaten Serang terendah kedua setelah


Kabupaten Lebak (Buku Saku Banten 2007).
(4) Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap untuk Teluk Banten belum
ada.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap
yang merusak, pencemaran baik oleh limbah industri dan domestik, dan
reklamasi pantai berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan, penurunan hasil
tangkapan nelayan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang diindikasikan
dengan adanya konflik kepentingan multi sektoral dalam pemanfaatan kawasan
laut, dan rendahnya kesejahteraan nelayan. Di sisi lain model pengelolaan
kawasan perikanan tangkap belum ada. Dengan demikian perlu dilakukan kajian
mengenai model pengelolaan kawasan perikanan tangkap berkelanjutan yang
paling sesuai dengan kondisi riil teluk.
Pengembangan kawasan (wilayah) berbasis komoditas unggulan
merupakan salah satu konsep pengembangan wilayah yang ada (Mangiri, 2000
diacu dalam Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Kawasan Teluk Banten dapat
dikatakan kawasan yang memiliki daya saing, dicirikan dengan adanya faktor-
faktor penentu keunggulan, yaitu memiliki faktor produksi dalam perikanan
tangkap, adanya peluang permintaan pasar akan produk ikan, adanya industri
pendukung, adanya persaingan domestik, dan terbukanya peluang usaha. Daya
saing suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan pendekatan
keunggulan komparatif dan kompetitif. Dengan demikian pengembangan
kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten dapat didasarkan pada keunggulan
komoditas yang dihasilkan, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan nelayan. Model pengelolaan perikanan tangkap yang
memperhatikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, jenis teknologi
penangkapan ikan yang ramah lingkungan, zonasi pemanfaatan kawasan, serta
pengembangan kawasan berdasarkan komoditas unggulan diharapkan dapat
mengatasi permasalahan yang terjadi pada kawasan Teluk Banten. Keterlibatan
pemerintah daerah Kabupaten Serang selaku pengambil kebijakan pengelolaan
Teluk Banten harus melihat potensi sumber daya ikan, dan sumber daya
manusia dalam mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ikan dengan
mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat dan kelestarian
fungsi ekologis sumber daya pesisir dan lautan. Pengelolaan potensi sumber
daya ikan harus terencana dan terkendali pemanfaatannya agar dapat
12

meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan
datang. Dengan demikian perlu dilakukan simulasi dampak penerapan model
terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan.
Berbagai kajian telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya
dengan topik dan tujuan yang berbeda. Sehubungan dengan fakta-fakta empiris
di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1) Bagaimana status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di kawasan Teluk Banten?
2) Jenis hasil tangkapan apa yang merupakan komoditas unggulan perikanan
tangkap?
3) Apa saja teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan?
4) Bagaimana zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten?
5) Apa saja strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap Teluk
Banten?
6) Bagaimana simulasi dampak penerapan model terhadap kelestarian sumber
daya ikan dan pendapatan nelayan Teluk Banten?

1.3 Tujuan Penelitian


Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun model
pengelolaan kawasan perikanan tangkap berkelanjutan di Teluk Banten. Tujuan
khusus dari penelitian ini adalah:
(1) Menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan
perikanan tangkap di kawasan Teluk Banten;
(2) Menentukan komoditas unggulan komparatif dalam pengembangan
kawasan perikanan tangkap;
(3) Menentukan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan
berkelanjutan;
(4) Menyusun zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten;
(5) Menyusun strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap;
(6) Mensimulasikan model pengelolaan kawasan perikanan tangkap
terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di
Teluk Banten.
13

1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah perikanan tangkap di Teluk Banten masih
dapat dikembangkan, memiliki keunggulan komparatif yang tinggi, beberapa
teknologi penangkapan ikan dikategorikan ramah lingkungan yang didukung
dengan zonasi dan strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap
yang tepat.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah:
(1) Memberi masukan bagi pengambil kebijakan dalam mengelola kawasan
perikanan tangkap berbasis komoditas unggulan.
(2) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan
tangkap, memberikan gambaran tentang model pengelolaan kawasan
perikanan tangkap pada lokasi dengan permasalahan yang kompleks.
(3) Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan dalam penyusunan
zonasi kawasan perikanan tangkap.
(4) Bagi pengembangan teori pengelolaan perikanan tangkap yang
berbasis pada pendekatan kawasan.
(5) Bagi penelitian selanjutnya, memberikan kerangka dasar model
pengelolaan kawasan perikanan tangkap yang akan diterapkan di
daerah teluk dengan berbagai macam permasalahan.

1.6 Kerangka Pemikiran


Pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan merupakan suatu proses
mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia yakni
dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan daya
dukung sumber daya alam. Perairan laut bersifat open acces, dimana tidak ada
pemilikan individual (individual property right) atas daerah penangkapan dan
tidak ada regulasi yang mengkontrol tingkat upaya penangkapan, nelayan secara
individual tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi stok ikan dan
berkelanjutan. Agar tidak terjadi konflik diantara pemanfaat laut, maka perlu
dibuat peraturan perundang-undangan perikanan, baik yang berlaku secara lokal,
nasional, regional maupun internasional. Dengan demikian, pengelolaan
perikanan merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para
stakeholder yang senantiasa berkembang.
14

Konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sebagaimana


diamanatkan FAO melalui perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct
for responsible fisheries) dan kelestarian sumberdaya ikan dengan cara
memanfaatkannya seoptimum mungkin, menjadi fokus perhatian dunia. Upaya
perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya ikan secara komprehensif
dan berhasil guna, hendaknya ditindaklanjuti dengan penyiapan pembangunan
yang baik. Dengan pengelolaan yang tepat dan optimal, maka diharapkan dapat
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan (Purbayanto
et al. 2004).
Terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan dalam
pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Munasinghe
(2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan
pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep “equity” lingkungan dan ekonomi
dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek
ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan; dan (4)
dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Dahuri (2001)
menyatakan tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya pembangunan
berkelanjutan yaitu: keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan
berkelanjutan. Adapun menurut Charles (2001) konsep pembangunan
berkelanjutan mengandung aspek:
(1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga
melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas
ekosistem dengan perhatian utama;
(2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan
pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai
tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian
keberlanjutan;
(3) Keberlanjutan komunitas: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas
atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang
berkelanjutan;
(4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial
dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan
perikanan.
Charles (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen kunci dalam
sistem perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam (natural system) yang
15

mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human
system) yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas
perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya, dan (3) sistem pengelolaan
perikanan (fishery management system) yang mencakup perencanaan dan
kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan
penelitian perikanan. Dengan demikian, sistem perikanan adalah sistem yang
kompleks. Kompleks didefinisikan apabila sistem tersebut memiliki sejumlah
unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis.
Selanjutnya Charles (2001) mengungkapkan, bahwa dalam prakteknya
keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, yaitu: (1) banyaknya
tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies
dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok
nelayan beserta interaksinya dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4)
banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi antar mereka; (5) struktur sosial dan
pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan
diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumberdaya ikan, nelayan dan
lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem
perikanan.
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian
yang telah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian ini dimulai dengan
mengevaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di kawasan Teluk Banten dilanjutkan dengan menentukan komoditas
unggulan hasil perikanan tangkap; menentukan teknologi penangkapan ikan
yang ramah lingkungan; menyusun zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten
agar tidak terjadi konflik kepentingan mengingat kawasan ini dimanfaatkan oleh
berbagai aktivitas yaitu perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata,
kawasan konservasi, buangan limbah industri dan rumah tangga dan di daerah
pesisirnya tumbuh berbagai macam industri. Penentuan komoditas unggulan
diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan nelayan dan PAD
bagi pemerintah setempat. Keterkaitan antara potensi SDI, jenis ikan unggulan,
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, penataan kawasan perikanan
tangkap dan pengelolaan perikanan tangkap yang menjamin keberlangsungan
usaha penangkapan disusun untuk mendapatkan model yang tepat.
Kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Banten dan Kabupaten Serang terkait pemanfaatan
16

sumberdaya ikan (SDI), alat tangkap dan jalur penangkapan? Adakah terjadi
konflik pemanfaatan kawasan perairan dengan aktivitas lain? Bagaimana
dampak pemanfaatan SDI terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi,
etika dan kelembagaan? Apabila hal tersebut telah dievaluasi, maka model
pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten dapat disusun, dan
selanjutnya dapat dilakukan simulasi model pengelolaan kawasan perikanan
tangkap terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di
Teluk Banten.
Evaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di Kawasan Teluk Banten dilakukan dengan cara menghitung besarnya
nilai CPUE, MSY, dan MEY; penentuan komoditas unggulan dilakukan dengan
cara menghitung keunggulan komparatif sumber daya ikan yang sudah terlebih
dahulu dianalisis secara bio-ekonomi. Penentuan teknologi penangkapan ikan
ramah lingkungan dilakukan dengan cara melakukan seleksi terhadap alat
tangkap yang telah distandarisasi, dengan melakukan pembobotan terhadap
sembilan kriteria yang terdapat pada code of conduct for responsible fisheries
(CCRF). Zona pemanfaatan kawasan Teluk Banten, terdiri dari zona perikanan
budidaya, pariwisata, dan perikanan tangkap. Zonasi perikanan budidaya dan
pariwisata disusun dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya (kajian pustaka), sedangkan zonasi perikanan tangkap
disusun dengan kriteria penentuan musim dan daerah penangkapan, kondisi
lingkungan yang mendukung, serta penghitungan luasan area yang diperlukan
tiap jenis alat tangkap. Penentuan musim dilakukan dengan menghitung indeks
musim penangkapan, hasil pustaka dan wawancara dengan nelayan. Adapun
daerah penangkapan diperoleh dari analisis inderaja meliputi suhu permukaan
laut (SPL), dan klorofil-a, sedangkan kondisi lingkungan diperoleh dari studi
pustaka yang dibandingkan dengan pengukuran langsung. Model pengelolaan
kawasan perikanan tangkap disusun dengan pendekatan mengkaji kebijakan
pemerintah daerah setempat terkait pengelolaan perikanan tangkap dengan
menggunakan analisis SWOT. Model yang diusulkan berupa model konseptual
pengelolaan kawasan teluk. Adapun kerangka pendekatan perencanaan
pengelolaan kawasan perikanan tangkap harus memperhatikan kondisi dan
potensi, menentukan pendekatan strategi untuk pemanfaatan sumber daya yang
optimum dengan memperhatikan pendekatan kehati-hatian yang menyeluruh
untuk mendapatkan pembangunan yang berkelanjutan. Indikator pencapaian
17

adalah: (a) tingkat pencemaran; (b) sejauh mana terjadi over eksploitasi sumber
daya alam; (c) tingkat degradasi fisik habitat; (d) ketersediaan SDI untuk
pengembangan perikanan tangkap; (e) terjadinya konflik penggunaan ruang; (f)
kemiskinan; (g) efisiensi ekonomi; (h) sosial equity; dan (i) keberlanjutan ekologi.
Masing-masing indikator pencapaian akan dievaluasi sehingga dapat
menemukan model yang paling tepat. Strategi kebijakan yang diusulkan
dianalisis dengan metode AHP, yang selanjutnya disimulasikan terhadap
kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di Teluk Banten dengan
menggunakan pendekatan optimasi. Analisis yang digunakan adalah metode
linier goal programming (LGP). Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat
pada Gambar 1.

1.7 Novelty
Novelty (kebaruan) dari penelitian ini adalah tersusunnya indikator dan
kriteria penyusunan zonasi kawasan perikanan tangkap dan zonasi perikanan
tangkap berdasarkan pendekatan wilayah (kawasan). Zonasi yang ada saat ini
adalah zonasi daerah pesisir dengan pengelompokan menjadi zona inti, zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Zona inti
diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan
pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan
habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan cara yang ramah
lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan
pengembangan, serta pendidikan. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi
perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan
pengembangan, serta pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona
inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi
dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona perlindungan,
zona rehabilitasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini menyusun zonasi
perikanan tangkap yang ada dalam zona pemanfaatan.
18

· Degradasi lingkungan; · Perikanan skala kecil;


· Reklamasi pantai; · Lokasi strategis;
· Hasil tangkapan berkurang; · Potensi SDI cukup besar;
· Kesadaran nelayan rendah; · Jumlah SDM banyak;
· Tingkat pendapatan kecil · Otonomi daerah

Kebijakan:
q Pembangunan industri
Multi user: perikananàPengembangan berbasis
q Perikanan budidaya; kawasan (Sugiharto 2008);
q Pariwisata; Pengelolaan q Rencana pengelolaan perikanan
q Industri; perikanan tangkap sumberdaya kelautan dan pantai
q Pelabuhan; Banten (DKP Prov. Banten dan PT.
q Rehabilitasi terumbu karag; Plarenco 2007);
q Perikanan tangkap q ICM (Agustina 2008)
q RTRW Kab. Serang 2009-2029

Sistem Sistem Sistem pengelolaan


alam manusia perikanan

SDI: TPI ramah Nelayan Strategi


Komoditas Zonasi pemanfaatan
§ Status lingkungan kebijakan
unggulan kawasan
pemanfaatan;
§ Musim & DPI

Simulasi model

Model

Gambar 1 Kerangka Pemikiran.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Perikanan Pantai


Pesisir pantai biasanya dicirikan oleh perikanan yang beragam alat
(multigear) dan beragam hasil tangkapan (multispecies). Perikanan dengan ciri
seperti ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan perikanan
tunggal. Pada perikanan multispecies, penangkapan terhadap suatu spesies
baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi spesies yang
lain yang bukan target utama penangkapan. Dengan demikian upaya
pengaturan jumlah tangkapan harus dilakukan secara hati-hati dan terintegrasi
antar spesies ikan yang ada. Kompleksnya perikanan pantai juga dicirikan oleh
banyaknya ragam alat tangkap yang dioperasikan (multigear). Pembatasan
suatu jenis alat tangkap akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan yang
didaratkan, yang pada gilirannya juga akan berdampak pada stok sumberdaya
ikan secara keseluruhan, mengingat spesies yang ada selama ini telah
membangun rantai kehidupan yang harmoni. Hal ini menuntut suatu sistem
pengelolaan penangkapan ikan yang spesifik dibanding perikanan di daerah
lainnya (Wiyono 2006).
Lebih lanjut Wiyono (2006) merinci karakteristik perikanan tangkap di
Indonesia sebagai berikut:
(1) Perikanan multigear-multispecies;
(2) Produktivitas dan pendapatan per kapita rendah;
(3) Labor-intensive;
(4) 80% didominasi perikanan artisanal skala kecil;
(5) Aktifitas perikanan terkonsentrasi di perairan bagian barat Indonesia;
(6) Kebijakan perikanan difokuskan untuk meningkatkan Gross National
Product (GNP) melalui peningkatan total hasil tangkapan;
(7) Tujuan pengelolaan perikanan ditentukan dengan Maximum Sustainable
Yield (MSY).
Panayatou (1982) mengklasifikasikan perikanan di dunia ini menjadi dua
kelas, yaitu skala kecil atau perikanan tradisional dan perikanan skala besar atau
perikanan industri. Dikemukakan pula bahwa sebenarnya tidak ada definisi yang
standard atas perikanan skala kecil dan skala besar. Pengklasifikasian di
beberapa negara yang sangat beragam, kalau di Indonesia dan Philipina
didasarkan atas ukuran kapal, di Thailand didasarkan atas tipe alat tangkap, di
20

Hongkong didasarkan atas jarak dari pantai dan di Malaysia merupakan


kombinasi dari ketiganya.
Namun demikian Panayatou (1982) mengemukakan bahwa pemban-
dingan antara perikanan skala besar dan perikanan skala kecil dapat dilakukan
dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang
digunakan dan kepemilikan. Perikanan skala kecil biasanya rendah teknologi,
labor-intensive dengan rendah modal, dan biasanya pemilik adalah yang
mengoperasikan kapal.

2.2 Wilayah/Kawasan
Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti
“wilayah”, ”kawasan”, ”daerah”, ’regional”, ”area’, ”ruang”, dan istilah-istilah
sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya
walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-
beda. Ketidakkonsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan
pemahaman dan sering membingungkan. Secara teoritik, tidak ada perbedaan
nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara
umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Istilah kawasan di Indonesia
digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu,
definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi
dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap
kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya
memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang
dikembangkan tersebut (Rustiadi et al. 2009).
Secara yuridis, dalam Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan
Ruang, pengertian ”wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan
pengertian ”kawasan” menurut Undang-undang Penataan Ruang adalah wilayah
dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Sementara itu, pengertian ”daerah”
walaupun tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai
unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
Menurut Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang dimaksud dengan kawasan adalah wilayah
21

pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan
berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya. Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian
dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukannya bagi berbagai sektor
kegiatan.
Berbagai macam konsep wilayah yang dikemukakan para ahli
diantaranya adalah (Rustiadi et al 2009):
1) Johnston (1976), memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi
spasial dan merekomendasikan dua tipe wilayah: (a) wilayah formal,
merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik,
dan (b) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan
menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat;
2) Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial
atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu Negara, Negara bagian,
provinsi, distrik (kabupaten), dan pedesaan;
3) Richardson (1996), Cliff dan Frey (1977), membagi wilayah kedalam tiga
kategori: (a) wilayah homogen (uniform atau homogeneous region), (b)
wilayah nodal, dan (c) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region);
4) Rustiadi et al (2009), kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu
menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal adalah: (a) wilayah
homogen, (b) wilayah sistem/fungsional, dan (c) wilayah perencanaan/
pengelolaan.

2.2.1 Pengertian dan karakteristik wilayah laut dan pesisir


Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan
Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup:
1) Laut teritorial Indonesia; adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia,
2) Perairan Kepulauan; adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam
garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak
dari pantai.
3) Perairan pedalaman; adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat
dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya
semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis
penutup.
22

Pada pasal 2 ayat 2 UU No. 6/1996 ditegaskan bahwa perairan di sekitar,


di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang
menjadi bagian dari daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah
daratan Negara Republik Indonesia…”. Pemahaman tersebut menegaskan
bahwa laut dan daratan merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Di luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak
eksklusif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation
Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
Sebagaimana ZEE, Indonesia juga memiliki hak untuk berdaulat atas
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di landas
kontinen. Hak pemanfaatan sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen
merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan
pembangunan, sejak dari perencanaan hingga pengendalian pemanfaatannya.
Mengingat salah satu aspek penataan ruang adalah pemanfaatan sumber daya
untuk kesejahteraan masyarakat, ruang lautan menurut UU 24/1992 mencakup
laut teritorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia, mengingat Indonesia memiliki hak
untuk mengelola sumber daya yang di ada dalamnya.
Pengertian laut menurut UU 24/1992 tentang Penataan Ruang dapat
diinterpretasikan dari ketentuan Pasal 9, bahwa laut merupakan unsur ruang
wilayah yang penataannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah.
Bersarkan pasal 18 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan
daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut meliputi: (1) eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; (2) pengaturan
administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum terhadap
peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya
oleh Pemerintah; (5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan (6) ikut serta
dalam pertahanan kedaulatan negara. Kewenangan mengelola sumber daya di
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga)
dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut
antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai
23

prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk
kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
dimaksud. Ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh
neIayan kecil.
Wilayah pesisir dapat dimasukkan dalam konsep wilayah sistem
kompleks, memiliki beberapa sub-sistem penyusun yang meliputi sistem ekologi
(ekosistem), sistem sosial, dan sistem ekonomi. Wilayah pesisir merupakan
interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan
dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi,
wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi
antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat,
wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dengan
memperhatikan aspek kewenangan daerah di wilayah laut, dapat disimpulkan
bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah administrasi Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota.
Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa
ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan
habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Menurut UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan
meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau dan laguna.
Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan
sebagai berikut:
1) Laut merupakan sumber dari common property resources (sumberdaya milik
bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi publik/kepentingan umum.
24

2) Laut merupakan open access regime, memungkinkan siapapun


memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.
3) Laut bersifat fluida, dimana sumberdaya (biota laut) dan dinamika
hydrooceanography tidak dapat disekat/dikapling.
4) Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang
relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik dengan
memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan.
5) Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik yang
terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), wilayah laut
dan pesisir beserta sumber daya alamnya memiliki makna strategis bagi
pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu
pilar ekonomi nasional. Selain itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa
ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-
fakta tersebut antara lain adalah:
1) Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60%
dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari
garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
2) Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing
daerah otonom tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
3) Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar
mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai
asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai
ekonomi dan finansial yang sangat besar.
4) Secara ekonomi, hasil sumber daya pesisir telah memberikan kontribusi
terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain
itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future
resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini
belum dikembangkan secara optimal.
5) Wilayah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen
(exporter) sekaligus sebagai simpul transportasi laut di wilayah Asia Pasifik.
25

Sebagaimana diketahui, pasar Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 70-


80% pasar ekspor dunia.
6) Wilayah pesisir kaya akan beberapa sumberdaya pesisir dan lautan yang
potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi pertambangan, perikanan,
pariwisata bahari, dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural
biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan ecotourism.
7) Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia
terdapat di Indonesia.
8) Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan
antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi
terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Salah satu kunci dalam memanfaatkan sumber daya pesisir yang demikian besar
dan memiliki karakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan
kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

2.2.2 Pengembangan wilayah


Rustiadi et al. (2009) menyatakan bahwa perencanaan pengembangan
wilayah secara umum ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu: (1) inventarisasi,
klasifikasi, dan evaluasi sumber daya, (2) aspek ekonomi, (3) aspek
kelembagaan (institusional), dan (4) aspek lokasi/spasial. Pengembangan
wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan
hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan
ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Berdasarkan UU No. 26/2007,
konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia secara legal dan empirikal harus
mengikuti kaidah pendekatan yang bersifat gabungan (mixed-concept), yaitu
adanya struktur ruang yang terdiri dari pusat-pusat permukiman dan jaringan
infrastruktur wilayah, dan pola ruang yang terdiri dari pengaturan kawasan yang
berfungsi melindungi kelestarian lingkungan hidup (ecological approach) serta
kawasan budidaya untuk kegiatan manusia meningkatkan produktivitasnya.
Berbagai konsep pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah
(Bappenas 2009a):
(1) Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya, yaitu: (i)
pengembangan wilayah berbasis sumberdaya; (ii) pengembangan wilayah
26

berbasis komoditas unggulan; (iii) pengembangan wilayah berbasis


efisiensi; (iv) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.
(2) Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi
wilayah kedalam: (i) pusat pertumbuhan; (ii) integrasi fungsional; (iii)
desentralisasi.
(3) Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan
kerjasama antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.
(4) Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus
pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja
produksi sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi
pengembangannya. Cluster yang berhasil adalah cluster yang
terspesialisasi, memiliki daya saing dan keunggulan komparatif, dan
berorientasi eksternal. Rosenfeld (1997) mengidentifikasi karakteristik
cluster wilayah yang berhasil, yaitu adanya spesialisasi, jaringan lokal,
akses yang baik pada permodalan, institusi penelitian dan pengembangan
serta pendidikan, mempunyai tenaga kerja yang berkualitas, melakukan
kerjasama yang baik antara perusahaan dan lembaga lainnya, mengikuti
perkembangan teknologi, dan adanya tingkat inovasi yang tinggi.
Untuk mengembangkan cluster, perlu dilakukan beberapa tindakan,
yaitu: (1) memahami kondisi dan standar ekonomi kawasan; (2) menjalin
kerjasama; (3) mengelola dan meningkatkan pelayanan; (4)
mengembangkan tenaga ahli; (5) mendorong inovasi dan kewirausahaan;
dan (6) mengembangkan pemasaran dan memberi label khas bagi
kawasan.
Selanjutnya konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada
prinsip: (1) berbasis pada sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik
daerah; (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai
keterkaitan kuat ke depan dan ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. Pengembangan suatu wilayah harus
berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal, sekaligus mengantisipasi
perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal meliputi pola-pola
pengembangan SDM, informasi pasar, sumberdaya modal dan investasi,
kebijakan dalam investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan
kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta berbagai kerjasama
27

dan kemitraan. Sedangkan faktor eksternal meliputi masalah kesenjangan


wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, perdagangan bebas,
serta otonomi daerah.
Pengelolaan pengembangan kawasan andalan pada dasarnya adalah
meningkatkan daya saing kawasan dan produk unggulannya. Idealnya
pengelolaan kawasan dimulai dengan menentukan visi dan misi pengembangan
kawasan andalan. Kemudian disusun strategi pengembangan, serta
mengembangkan hubungan pemerintah dan dunia usaha. Dalam hal ini
diperlukan beberapa kebijakan, meliputi: (1) kebijakan investasi, yang terkait
dengan produk unggulan kawasan, insentif, dan promosi; (2) kebijakan
pengembangan kawasan, yang dilaksanakan melalui identifikasi faktor penentu
pengembangan industri, formulasi visi pengembangan industri daerah, dan
identifikasi strategi pendukung yang sesuai; (3) kebijakan perdagangan, yang
mengatur hubungan perdagangan antardaerah dan antarsektor, serta
meminimalisasi hambatan-hambatannya; (4) kebijakan pengembangan
infrastruktur fisik dan non fisik (SDM); (5) kebijakan pengembangan
kelembagaan, yang mencakup mekanisme pengambilan keputusan di lingkungan
pemerintah, penciptaan regulasi, serta sosial dan budaya masyarakat.
Perencanaan wilayah adalah suatu aktivitas manusia dalam usaha untuk
memanfaatkan suatu sumberdaya ruang yang terbatas yang tersedia di atas
bumi dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari suatu
ruang. Menurut Kusumastanto dan Sinaga (2009), konsep pengembangan
wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-
dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai
bentuk penerapannya yang bersifat dinamis. Dengan kata lain, konsep
pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai
teori dan model yang senantiasa berkembang dan telah diujiterapkan serta
kemudian dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Dalam sejarah
perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa
landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard
sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat
dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial-
ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1950-an) yang
memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen
28

bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced


development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang
menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan
menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat adalah Friedmann
(era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna
mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal
dengan teori pusat pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang
memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages)
dalam pengembangan wilayah.
Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas
kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran
cemerlang putra-putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan
gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif akan mampu
mempercepat terjadinya pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)
memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota yang hirarki prasarana
jalan melalui Orde Kota. Selanjutnya adalah Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang
memperkenalkan konsep Pola dan Struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi
utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada era 90-an,
konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan
wilayah, misal antara KTI (Kawasan Timur Indonesia) dan KBI (Kawasan Barat
Indonesia), antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan
perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium,
bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk
mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berpijak pada teori-teori di atas maka pembangunan seyogyanya tidak
hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat
parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi
tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik
dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumberdaya sebagai
unsur utama pembentuk ruang (sumber daya alam, buatan, manusia dan sistem
aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang
melingkupinya. Selanjutnya, dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan
nasional yang bersifat kewilayahan maka upaya pengembangan wilayah
ditempuh melalui proses penataan ruang (spatial planning process), yang terdiri
atas 3 (tiga) hal :
29

1) proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata


ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai guidance of future actions RTRW
pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi
manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi,
selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup
serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development
sustainability).
2) proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana
tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
3) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap
sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Selain merupakan proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan
pembangunan, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang
memiliki landasan hukum untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah. Di
Indonesia, penataan ruang telah ditetapkan melalui UU No.26/2007 yang
merupakan pengganti dari UU No. 24/1992. Berdasarkan UU No.26/2007
tentang Penataan Ruang, khususnya pasal 3, termuat tujuan penyelenggaraan
penataan ruang, yakni mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan: (1) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan; (2) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan
(3) terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Selanjutnya pada Pasal 4
disebutkan bahwa penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi
utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis
kawasan.
Sesuai dengan UU 26/2007 tentang penataan ruang, sistem perencanaan
tata ruang wilayah diselenggarakan secara berhirarkis menurut kewenangan
administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW
Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci. Penyusunan
rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada: (1) Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi; (2) pedoman dan
petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; (3) rencana pembangunan jangka
30

panjang daerah dan harus memperhatikan: (i) perkembangan permasalahan


provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten; (ii) upaya
pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten; (iii)
keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten; (iv) daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup; (v) rencana pembangunan jangka panjang daerah;
(vi) rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan; dan (vii) rencana
tata ruang kawasan strategis kabupaten.

Gambar 2 Ilustrasi Keterkaitan Penataan Ruang secara Fungsi Utama dan


Administrasi (Rustiadi et al 2009).
31

2.3 Pengelolaan Sumber Daya Perikanan


2.3.1 Sumber daya Ikan
Ikan adalah salah satu bentuk sumber daya alam yang bersifat renewable
atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri. Disamping sifat
renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada
umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya
pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat
umum. Sifat sumber daya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi,
antara lain:
(1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi
berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan
tenaga kerja berlebihan (over employment).
(2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara
(state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau
oleh swasta/perorangan (private property rights).
Dengan sifat-sifat sumber daya seperti di atas, menjadikan sumber daya ikan
bersifat unik, dan setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber
daya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara.
Pada hakekatnya masalah sumber daya milik bersama, berkaitan erat
dengan persoalan-persoalan eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan. Hal
ini disebabkan oleh karena adanya pendapat masyarakat yang mengatakan
bahwa sumber daya milik bersama adalah sumber daya milik setiap orang, yang
berarti dimungkinkannya bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas
masuk untuk mengambil manfaat. Selanjutnya, hal ini akan berakibat terjadinya
interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya
tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau perusahaan,
sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Dengan demikian, secara
prinsip sumber daya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara
bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas
(disekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecenderungan
pengelolaan secara deplesi.
Pengertian deplesi disini adalah suatu cara pengambilan sumber daya
alam secara besar-besaran, yang biasanya dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan akan bahan mentah. Dalam kaitannya dengan sumber daya
perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi walaupun dapat
32

diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat dampaknya terhadap


lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.
Lebih lanjut, Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus
yang dimiliki oleh sumber daya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat
khusus tersebut adalah :
(1) Ekskludabilitas
Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan
terhadap akses ke sumber daya. Upaya pengendalian dan pengawasan ini
menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik sumber daya ikan yang
dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang
akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumber
daya ikan yang ada didalamnya, sementara di sisi lain otoritas manajemen
sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar.
(2) Substraktabilitas
Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan
dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki
oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumber daya
melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang
didalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia akan selalu berpengaruh
secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumber
daya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan
menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik
antara rasionalitas individu dan kolektif.
(3) Indivisibilitas
Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumber daya milik
bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara
administratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas
menajemen.

2.3.2 Pengertian pengelolaan perikanan


Pengelolaan perikanan menurut FAO adalah proses yang terpadu antara
pengumpulan informasi, melakukan analisis, membuat perencanaan, melakukan
konsultasi, pengambilan keputusan, menentukan alokasi sumber daya serta
perumusan dan pelaksanaan, bila diperlukan menggunakan penegakan hukum
dari aturan dan peraturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan
tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumber daya dan tercapainya
33

tujuan perikanan lainnya. UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan,


mendefinisikan pengelolaan sumber daya perikanan adalah semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang
diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati
perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Mulyana (2008) mengatakan bahwa pengelolaan perikanan bersifat
kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik,
serta bertujuan untuk tercapainya optimalisasi ekonomi pemanfaatan sumber
daya ikan sekaligus terjaga kelestariannya. Sedangkan menurut Cochrane
(2002), tujuan (goal) umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 (empat)
aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan sosial meliputi tujuan-
tujuan politis dan budaya. Contoh masing-masing tujuan tersebut yaitu:
(1) untuk menjaga sumber daya ikan pada kondisi atau di atas tingkat
yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas (tujuan biologi);
(2) untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik
serta sumber daya non-target (by-catch), serta sumber daya lainnya
yang terkait (tujuan ekologi);
(3) untuk memaksimalkan pendapatan nelayan (tujuan ekonomi);
(4) untuk memaksimalkan peluang kerja/mata pencaharian nelayan atau
masyarakat yang terlibat (tujuan sosial).
FAO (1995) mengamanatkan dalam pengelolaan perikanan yang
bertanggung jawab dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries untuk
dapat menggunakan pendekatan sistem dalam pengelolaan perikanan atau
biasa dikenal dengan Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAF).
Walaupun dalam pelaksanaannya pendekatan ini belum berhasil di banyak
negara termasuk Indonesia. Pendekatan ekosistem ditinjau dari beberapa aspek
yaitu sumber daya perikanan (spesies target), ekologi, ekonomi, dan sosial (FAO
2005). Lebih lanjut Purwaka (2008) mengatakan bahwa pengelolaan dan
penataan pembangunan pesisir dan laut harus berintikan kegiatan-kegiatan
perencanaan, penataan, pelaksanaan rencana/pemanfaatan sumber daya pesisir
dan laut, serta pengawasan dengan sistem MCS (monitoring, control and
surveillance) yang pro-poor, pro-job dan pro-growth. Pengelolaan dan penataan
34

pembangunan pesisir dan laut tersebut dilakukan secara terpadu melalui


pendekatan resource-based, community-based dan market-based dalam
kerangka hukum dan kelembagaan serta dengan mempertimbangkan berbagai
faktor yang berpengaruh terhadap pesisir dan laut, dan dengan berwawasankan
Wawasan Nusantara sebagai wawasan kewilayahan dan wawasan
pembangunan.
Tujuan pengelolaan dapat dibedakan menjadi empat macam, yang
berorientasi pada (Murdiyanto 2004): (1) aspek biologi; (2) aspek ekonomi; (3)
aspek sosial, dan (4) aspek rekreasi. Pengelolaan yang berorientasi pada aspek
biologi bertujuan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya ikan dengan
menghasilkan jumlah tangkapan yang maksimum secara berkelanjutan untuk
waktu yang tidak terbatas. Perlu dipertimbangkan indikator terhadap hasil
tangkapan yaitu: (i) berat atau jumlah ikan yang dapat ditangkap; (ii) ukuran rata-
rata atau distribusi ukuran ikan yang tertangkap. Indikator kedua dapat
digunakan untuk menentukan kondisi potensi ikan sebagai akibat penangkapan
yang berlebihan.
Tujuan ekonomi erat hubungannya dengan bagaimana pemanfaatan
sumber daya ikan berkontribusi pada kebutuhan masyarakat, yaitu
memaksimumkan keuntungan bersih dari suatu kegiatan penangkapan ikan
dengan cara memaksimumkan perbedaan antara nilai jual ikan yang didaratkan
dengan biaya yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan ikan tersebut.
Indikator tercapainya pengelolaan berdasarkan aspek sosial adalah peningkatan
jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, pemerataan pendapatan dan
terpeliharanya pola hidup masyarakat pantai. Sedangkan indikator keberhasilan
pengelolaan berdasarkan aspek rekreasi adalah peningkatan pendapatan daerah
yang diperoleh dari penyelenggaraan perikanan rekreasi.
Pengelolaan sumber daya perikanan pantai dapat dilaksanakan dengan
beberapa alternatif pendekatan yaitu pengelolaan oleh pemerintah, pengelolaan
berbasis komunitas, pengelolaan secara partisipatif, dan pendekatan
pencegahan (precautionary approach) dengan tujuan konservasi sumber daya.

2.3.3 Model-model pengelolaan


(1) Pengelolaan berbasis sumber daya
Pengelolaan sumber daya perikanan umumnya didasarkan pada konsep
“hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut
dengan “MSY”. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang
35

dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti
dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumber daya ikan,
agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.
Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi
oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu rekruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil
tangkapan.
Pengelolaan sumber daya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumber
daya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumber daya
dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumber
daya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi
pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi
pada manusia (social oriented).
Pengelolaan sumber daya ikan dengan menggunakan pendekatan
Maximum Sustainable Yield telah mendapat tantangan cukup keras, terutama
dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian yield yang
maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini
berangkat dari adanya masalah diminishing return yang menunjukkan bahwa
kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan
effort (Lawson 1984). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam
pengelolaan sumber daya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang
dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY.
Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu
menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost.
Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua pendekatan di atas kemudian
melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana
dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985). Secara umum
konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat
dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian,
besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah
yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Konsep
pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY,
diantaranya adalah :
(1) Berkurangnya risiko terjadinya deplesi dari stok ikan;
(2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar;
(3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu.
36

Dalam kaitan ini terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan


didalam mengelola sumber daya perikanan, agar tujuan pengelolaan dapat
tercapai. Pendekatan dimaksud sebagaimana dikemukakan oleh Gulland dalam
Widodo dan Nurhudah (1985) adalah sebagai berikut :
(1) Pembatasan alat tangkap;
(2) Penutupan daerah penangkapan ikan;
(3) Penutupan musim penangkapan ikan;
(4) Pemberlakuan kuota penangkapan ikan;
(5) Pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran;
(6) Penetapan jumlah hasil tangkapan setiap kapal.

(2) Pengelolaan berbasis masyarakat


Pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat (PSPBM)
adalah suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya perikanannya sendiri dengan
terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta
aspirasinya. PSPBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada
masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya
menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka (Nikijuluw
2002). Yang dimaksud dengan masyarakat adalah sekelompok orang atau
komunitas di daerah pantai yang mempunyai tujuan yang sama yaitu
memanfaatkan sumber daya ikan dengan mengambil hasil laut di wilayah
perairan pantai untuk memenuhi kebutuhannya dan sebagai mata
pencahariannya (Murdiyanto 2004).
Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dalam mengelola
sumber daya adalah upaya mendekatkan masyarakat dengan sumber daya yang
dimanfaatkannya bagi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Dalam mencapai
pemenuhan kebutuhannya pada dasarnya setiap anggota komunitas, sebagai
nelayan akan saling berkompetisi dengan nelayan lainnya. Tidak jarang masalah
kompetisi ini lama kelamaan dapat berkembang menjadi potensi konflik, yang
bila tidak dapat dikendalikan akan menjadi benturan fisik antara sesama nelayan
dalam melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-hari. Kompetisi dalam
mengambil hasil laut dapat mendorong nelayan untuk melakukan praktek
penangkapan secara berlebihan dan tidak bertanggung jawab yaitu melakukan
penangkapan dengan alat dan cara yang dapat merusak habitat dan
lingkungannya. Untuk mencegah terjadinya berbagai konflik dan praktek
37

penangkapan yang tidak ramah lingkungan yang berujung pada kerusakan


sumber daya dan lingkungannya, kiranya masyarakat perlu menyadari
pentingnya memupuk rasa tanggung jawab dan kebersamaan dalam
merencanakan dan mencapai tujuan pengelolaan sumber daya pantai dan laut
sebagai lahan kehidupannya.
Secara politis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya sudah menjadi komitmen pemerintah untuk
dikembangkan dengan dikeluarkannya UU RI No. 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pada Bab XI Pasal 70
dinyatakan bahwa: 1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Peran masyarakat dapat berupa: (1) Pengawasan sosial, (2)
Pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau penyampaian
informasi, dan/atau laporan. Peran masyarakat dilakukan untuk: (1)
Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; (2) Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan;
(3) Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; (4)
Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial; (5) Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Partisipasi masyarakat/pengguna di dalam pemanfaatan sumber daya ini
lebih dikenal dengan ko-manajemen. Ko-manajemen ini dapat dibangun
berdasarkan tradisi pengelolaan sumber daya yang sudah dimiliki masyarakat
(community based fisheries management) atau dengan kata lain tradisi ini
sebagai pintu masuk bagi pelembagaan ko-manajemen (Nikijuluw 2002).
Indikator keberhasilan ko-manajemen dapat dilihat pada Tabel 1.
Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan
sebagai komponen yang paling banyak, serta cakupan atau batasan
pemberdayaan maka sudah tentu pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara
komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development
Bank (ADB) diacu dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki
ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3)
berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan.
38

Tabel 1 Indikator Keberhasilan Ko-manajemen

Kriteria Indikator Cara Mengukur


Tingkat Peningkatan relatif Secara kuantitatif
pendapatan pendapatan membandingkan pendapatan
masyarakat lokal sebelum dan sesudah diterapkan
ko-manajemen. Tingkat inflasi
harus diperhitungkan dengan
melihat kualitas hidup masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan
primer & sekunder
Pendidikan Peningkatan jumlah Perbandingan jumlah relatif
formal dan masyarakat yang lulusan masyarakat lokal dari pen-
informal mengikuti didikan formal & informal
pendidikan formal
dan informal
Kesadaran Meningkatkan Semakin berkurangnya kegiatan
masyarakat kesadaran dan yang bersifat merusak dan se-
tanggung jawab ma- baliknya semakin banyak kegiatan
syarakat dalam yang menunjang kelestarian
menjaga dan sumber daya alam
memelihara
sumberdaya alam
Motivasi Meningkatnya Semakin banyak usulan dan ke-
motivasi masyarakat inginan masyarakat yang disam-
dalam proses paikan dalam penyusunan peren-
pengelolaan canaan dan pelaksanaan ko-
manajemen dan semakin mening-
katnya peranan masyarakat
dalam proses-proses pengelolaan
sumberdaya alam
Kreativitas Meningkatnya Jumlah dan variasi pemanfaatan
dan bentuk dan variasi sumber daya yang dilakukan ma-
kemandirian pemanfaatan syarakat
sumber daya alam
yang lestari oleh
masyarakat
Pengakuan Diakuinya hukum Jumlah dan intensitas
hak tradisional atau pelaksanaan aturan lokal dan
masyarakat lokal tradisional
dlm pelaksanaan
pengelolaan sumber
daya alam
Program Terbentuknya Efisiensi dan intensitas program
kemitraan program kemitraan kemitraan dalam menunjang ke-
dlm pemanfaatan giatan masyarakat lokal
sumber daya alam
Sumber: Dahuri et al. (1998).

Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja


dilakukan setempat tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya
39

return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian
maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau
langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis
lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar
sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejah-
teraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-
prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih
diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan
komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis
antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan
akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan,
modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua
aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan.
Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor
kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus
bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada
perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan
produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan
kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan
tragedi milik bersama.
Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan
sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari
pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitan ini maka perlu
ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan
akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan
tidak melawan, merusak dan atau menggantikan sistem dan nilai sosial yang
positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.
PSPBM bersifat spesifik lokal, unik dan tidak ditemukan sama persis pada
dua atau lebih daerah yang berbeda. Berikut ini adalah beberapa contoh budaya
lokal:
(1) Sasi di P. Saparua Maluku (Nikijuluw 1994), yaitu suatu sistem
pengaturan pemanfaatan sumber daya alam (hutan dan laut) bagi anak
negeri (penduduk desa setempat) maupun pendatang. Aturan sasi ini
40

berdasarkan adat dan agama, memiliki sangsi serta perangkat pelaksana


dan pengawas yang terdiri dari pemerintah desa, elit desa lainnya serta
pemimpin agama dan pemimpin adat.
(2) Pengelolaan perairan pesisir Desa Tanjung Barari, Biak (Nikijuluw 1995),
yaitu pemberian ijin bagi pendatang untuk menangkap ikan dengan
membayar sebesar Rp5 000.00 setiap kali operasi penangkapan (trip),
jika menetap membayar Rp50 000.00 setiap bulan kepada pemerintah
desa. Tidak diperkenankan menggunakan bahan peledak dan racun ikan
dalam menangkap, jika melanggar ditegur disertai dengan surat
pemberitahuan tentang pelanggaran itu kepada pemerintah desa asal
yang bersangkutan, camat, dan polisi kecamatan.
(3) Sistem rumpon Lampung Selatan (Nikijuluw and Naamin 1994),
mengembangkan neotradisional untuk meningkatkan efisiensi
penangkapan ikan, yaitu dengan memanfaatkan rumpon secara bersama
antara nelayan payang (pemilik) dan nelayan pancing, sehingga tidak
menimbulkan terjadinya konflik.
Beberapa keadaan di atas menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan
berbasis masyarakat memiliki kelebihan sebagai berikut:
(1) Sesuai aspirasi dan budaya lokal;
(2) Diterima masyarakat lokal;
(3) Pengawasan dilakukan dengan mudah.
Meskipun banyak kelebihannya, pengelolaan perikanan berbasis masyarakat ini
memiliki kelemahan yaitu:
(1) Tidak mengatasi masalah interkomunitas;
(2) Bersifat lokal, jika muncul masalah besar sulit dipecahkan;
(3) Mudah dipengaruhi faktor eksternal, diantaranya: i) migrasi serta mobilitas
penduduk yang membuat masyarakat membaur hingga hilang identitas
masyarakat lokal; ii) perubahan komposisi usia penduduk; iii)
perkembangan perdagangan yang begitu intensif terhadap komoditas
yang dikelola; iv) pergantian sistem pemerintahan.
(4) Sulit mencapai skala ekonomi;
(5) Tingginya biaya institusionalisasi, dipergunakan untuk biaya edukasi,
penyadaran dan sosialisasi, perumusan aturan, dan pembentukan
organisasi.
41

Salah satu kerangka model pedoman pemberdayaan masyarakat pesisir


(pantai) dapat dilihat pada Gambar 3.

2.3.4 Isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir
Berdasarkan karakteristik wilayah laut dan pesisir, wilayah laut dan pesisir
menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang
sebagai berikut (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003):
1) Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar
sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumber
daya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang open acces
sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama
bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam hal
ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam
pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga
antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun tangkapan (ii)
pariwisata bahari dan pantai (iii) industri maritim seperti perkapalan (iv),
pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; (v)
perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah (vi)
kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove),
terumbu karang dan biota laut lainnya.
Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai
konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi
menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan
kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom.
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumber daya laut. Kewenangan itu meliputi eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan yang
dimaksud dalam pasal ini adalah pengaturan administratif, pengaturan tata
ruang, penegakan hukum terhadap aturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
42

Identitas Analisis Data


(Potensi &  Prioritas Penyusunan
Permasalahan): pemanfaatan pedoman
 SDM  Tek. Budaya pemberdayaan
 SDA lokal masyarakat pesisir
 SD Perikanan
 Teknologi
lokal
 Budaya lokal Program
 Keg.sosek Program Program lingkungan
 Sarana & ekonomi sosial & fasilitas
prasarana
 Kelembagaan

Implementasi program:
 Pandangan calon peserta Sosialisasi program
 Pelatihan
 Pelaksanaan keg. ekonomi
 Pelaksanaan keg. sosial, Monitoring &
Pendampingan evaluasi
lingkungan & fasilitas
 Penguatan kelembagaan
sosial ekonomi

Gambar 3 Kerangka Model Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (Dahuri


et al 1998).

2) Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil


yang bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar
dari 126 kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian penyempurnaan
RTRWN merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
3) Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari
dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini
merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai interface antara
ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan
antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka
pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari
pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah tersebut. Berbagai
dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir merupakan akibat dari
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di wilayah daratan beserta
perubahan rona lingkungan yang diakibatkannya. Penanggulangan
permasalahan yang muncul di wilayah laut dan pesisir ini tidak dapat
43

dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari
sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan pendangkalan laut di
kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan pengerukan, tetapi
harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung dan pembangunan
waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di wilayah ini harus
diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai
(DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan pengelolaan, dimana
keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang harus diperhatikan.
4) Pemanfaatan potensi sumberdaya kemaritiman yang tidak optimal, terutama
di wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan perikanan
merupakan prime mover pengembangan wilayah. Hal ini diindikasikan antara
lain oleh (i) kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing di perairan Indonesia;
(ii) tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang melebihi potensi; (iii)
pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang belum optimal; (iv)
pemanfaatan potensi budidaya perikanan yang masih rendah; dan (v) nilai
investasi baik PMA dan PMDN yang masuk, pada bidang kelautan dan
perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di
Indonesia.
5) Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut dan
pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih
banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak
adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap sistem-sistem tradisional
serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks ini,
RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut
aturan-aturan pelaksanaannya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai
guidance dalam pengelolaan wilayah pesisir.
6) Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan
global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu
diantisipasi penanganannya. Diperkirakan akan ada 30 kota pantai di
Indonesia yang potensial terkena dampak pemanasan global (20 kota di KBI
dan 10 kota di KTI). Secara umum kenaikan muka air laut akan
mengakibatkan dampak sebagai berikut: (i) meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir, (ii) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan
mangrove, (iii) meluasnya intrusi air laut, (iv) ancaman terhadap kegiatan
44

sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (v) berkurangnya luas daratan atau


hilangnya pulau-pulau kecil.
Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi kerusakan biofisik wilayah
pesisir adalah:
i) Overeksploitasi sumber daya hayati laut akibat penangkapan ikan yang
melampaui potensi (overfishing), pencemaran dan degradasi fisik hutan
mangrove dan terumbu karang sebagai sumber makanan biota laut tropis.
ii) Pencemaran akibat kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian di
darat (land-based pollution sources) maupun akibat kegiatan di laut
(marinebased pollution sources) termasuk perhubungan laut dan kapal
tanker dan kegiatan pertambangan dan energi lepas pantai.
iii) Bencana alam seperti tsunami, banjir, erosi, dan badai.
iv) Konflik pemanfaatan ruang seperti antara pertanian dan kegiatan di
daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, permukiman. Konflik
pemanfaatan ruang disebabkan terutama karena tidak adanya aturan
yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumber daya yang
terdapat di kawasan pesisir dan lautan.
v) Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap
pemanfaatan sumber daya pesisir yang tidak terkendali. Salah satu faktor
penyebabnya adalah belum adanya konsep pembangunan masyarakat
pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumber daya pesisir.
7) Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat
sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum
menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan
kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan
yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost, dan cenderung
merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara
penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat
terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu
dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta
dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local
unique).
45

2.4 Sistem
2.4.1 Teori sistem
Manetsch dan Park (1974) mendefinisikan sistem sebagai satu set
elemen atau komponen yang saling berkaitan sau dengan lainnya dan
terorganisir untuk menghasilkan suatu tujuan. Tiga syarat agar pendekatan
sistem dapat bekerja dengan baik adalah: (1) tujuan sistem ditentukan dengan
pasti, (2) proses pengambilan keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat
dipusatkan dan (3) memungkinkan perencanaan jangka panjang.
Dent dan Blackie (1979) menyatakan bahwa penelitian sistem akan
menyangkut dua hal, yaitu (1) analisis komponen dan hubungannya serta (2)
proses sintesa yang mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan
sistem aslinya. Hal yang penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan
batas sistem agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Pendekatan
sistem menurut Eriyatno (1983) akan memberikan metode yang logis untuk
penanganan masalah, selain itu juga merupakan alat yang memungkinkan untuk
mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi serta mendesain sistem secara
keseluruhan.

2.4.2 Sistem perikanan tangkap


Seijo et al (1998) menyatakan bahwa sistem perikanan disusun atas tiga
subsistem yang saling berinteraksi, yaitu: (1) subsistem sumber daya, (2)
pengguna sumber daya dan (3) manajemen sumber daya. Asumsi utama dari
sistem ini adalah parameter eksogenus tidak berperan dalam sistem. Subsistem
sumber daya meliputi: (1) aspek daur hidup spesies, seperti biologi reproduksi
dan rekruitmen, dinamika pertumbuhan dan mortalitas; (2) faktor lingkungan yang
menyebabkan kelimpahan dan distribusi spatio-temporal, dan (3) faktor ekologi.
Subsistem pengguna sumberdaya, meliputi keseluruhan parameter yang
digunakan dalam fungsi eksplisit upaya penangkapan ikan seperti tipe kapal
yang digunakan untuk menangkap suatu spesies atau populasi. Selain faktor-
faktor tersebut, faktor lain yang masuk dalam subsistem ini adalah kurva
selektivitas alat atas spesies, ukuran/umur dan tipe kapal, serta harga target
spesies. Sedangkan subsistem manajemen sumber daya yang ditujukan untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang diusulkan dalam manajemen sumberdaya,
adalah suatu kebutuhan pendekatan yang mungkin dipertimbangkan untuk
intervensi pemerintah, berupa seleksi kriteria untuk strategi manajemen.
46

Sistem perikanan menurut Charles (2001) mencakup tiga subsistem


(Gambar 4), yaitu:
(1) Alam (sumber daya ikan dan lingkungannya).
Subsistem alam (sumber daya ikan dan lingkungannya) meliputi tiga
komponen, yaitu (i) ikan, (ii) ekosistem, dan (iii) lingkungan biofisiknya.
(2) Manusia (sumber daya manusia beserta kegiatannya).
Subsistem sumber daya manusia meliputi empat komponen yaitu (i) nelayan
dengan kegiatan memproduksi ikan, (ii) kegiatan pasca panen, distribusi,
pemasaran dan konsumen, (iii) rumah tangga nelayan dan masyarakat
perikanan, serta (iv) kondisi sosial, ekonomi dan budaya.
(3) Manajemen perikanan.
Subsistem manajemen perikanan meliputi empat komponen yaitu (i)
perencanaan dan kebijakan perikanan, (ii) pengelolaan perikanan, (iii)
pengembangan, dan (vi) penelitian.
Selanjutnya Charles (2001) juga menyatakan perhatian penting dalam hal
keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah
tangkapan dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan aspek
perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada
masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Keberlanjutan secara
ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap
sumber daya. Keberlanjutan secara ekonomi terkait dengan manfaat makro bagi
penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku
pemanfaat sumber daya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada
perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan,
penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka
panjang.
Perikanan menurut UU No. 31 tahun 2004 adalah kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Sedangkan
penangkapan ikan (perikanan tangkap) adalah kegiatan untuk memperoleh ikan
di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara
apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
47

mengawetkannya. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan


penangkapan ikan yang dimaksudkan adalah tujuan untuk mendapatkan
keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah
lainnya seperti, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap
protein hewani, devisa serta pendapatan daerah lain.

NATURAL ECOSYSTEM MANAGEMENT


SYSTEM

Community

Policy and Fishery


planning management

Fish species Fishery Fishery


development research
Habitat

Aquatic
environment

External forces External forces


(e.g. climate change) (e.g. government downsizing)

HUMAN SYSTEM

Harvester

Fisher Fishing
1 2
groups technology

P F= processing
Community
D= distribution
C Post- D
M= market
harvest W= wholesale
3 M
R (4) R= retail
C= consumers
Household W
(1) User conflicts
Socioeconomic (2) Gear conflicts
environment (3) Community
economics and social
External forces interactions
(e.g. macroeconomic policies) (4) Marketing channels

Gambar 4 Sistem Perikanan Berkelanjutan (Charles 2001).


Perikanan tangkap dalam hal ini didefinisikan meliputi kegiatan bisnis dan
pengelolaan. Berdasarkan definisi sistem menurut Charles (2001) dan UU
31/2004, maka komponen struktur sistem pengembangan perikanan terdiri atas
48

tiga subsistem, yaitu (1) subsistem usaha perikanan, (2) subsistem pelabuhan
perikanan, fungsionalitas dan aksesibilitas, dan (3) subsistem kebijakan dan
kelembagaan perikanan (Nurani 2008, 2010) (Gambar 5).

Manajemen Manajemen
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan

Pelabuhan Perikanan
Kebijakan & Kelembagaan
Fungsionalitas dan
Perikanan
Aksesibilitas
Manajemen
Mendukung

Mendukung
Kebutuhan

Kebutuhan
Usaha Perikanan

- Jenis SDI - Jenis Teknologi


- Jumlah SDI Ketersediaan Unit - Nelayan
- Daya Dukung Lingkungan Sumber Daya Penangkapan - Kelayakan Teknis
- Koefisien Pertumbuhan Ikan Ikan & Finansial

Memberikan
manfaat bagi

- Peningkatan keuntungan usaha


- Peningkatan kesejahteraan nelayan
- Penyerapan tenaga kerja
- Peningkatan PAD/devisa
- Perkembangan perekonomian dan pembangunan daerah

Gambar 5 Struktur Sistem Pengembangan Perikanan (Nurani 2008, 2010).

2.4.3 Simulasi sistem


Simulasi menurut Eriyatno (2003) adalah merupakan aktivitas dimana
pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu
49

sistem melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan


sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang
sebenarnya. Dengan demikian simulasi berkepentingan dengan pembentukan
serta pemanfaatan model-model yang secara realistis menyatakan penampakan
sistem pada jalur waktu. Lebih lanjut dikatakan Eriyatno (2003) bahwa manfaat
utama dari penggunaan simulasi adalah sifat fleksibilitasnya, dimana setiap
permasalahan secara praktis yang mengandung resiko dapat dikaji dengan
simulasi dalam derajat ketepatan yang memadai. Dibandingkan dengan cara-
cara penyelesaian yang lainnya simulasi hanya memiliki batasan-batasan yang
relatif sedikit dan realistis, sehingga penggunaannya tidak terbatas (Gottfried
1984).
Simulasi merupakan salah satu kegiatan dalam analisis sistem yang
secara garis besar meliputi tiga kegiatan: (1) merumuskan model yang
menggambarkan sistem dan proses yang terjadi di dalamnya; (2) melakukan
eksperimen; (3) menggunakan model dan data untuk memecahkan masalah.
Simulasi digunakan untuk membuat peramalan secara terintegrasi mengenai
fenomena perilaku sistem yang akan terjadi berdasarkan nilai-nilai peubah dari
kodel (Pramudya 1989).
Hasil akhir dari simulasi umumnya adalah berupa informasi dalam bentuk
angka tentang kinerja sistem, sehingga belum memberikan kepada hubungan
sebab-akibat. Simulasi lebih menunjukkan suatu estimasi statistik dan lebih
cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk
mencapai titik optimum dibandingkan hasil yang eksak (Eriyatno 2003).

2.5 Konsep Zonasi


Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui
penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya
dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan
dalam ekosistem pesisir. Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap
satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada
kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin (Permen Kelautan dan Perikanan RI No. PER. 16/MEN/2008).
50

Pengelolaan perikanan dengan sistem klaster dilandasi Peraturan Menteri


Nomor 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 74. Klaster
perikanan ditetapkan berdasarkan batas koordinat daerah penangkapan ikan.
Dalam Pasal 74 Permen No 5/2008 diamanatkan bahwa usaha perikanan
tangkap berbasis klaster harus memperhatikan kepentingan nelayan lokal
setempat dan nelayan yang telah mengantongi surat izin penangkapan ikan pada
areal tangkapan tertentu. Selain itu, keterpaduan kegiatan usaha penangkapan
ikan berbasis klaster dengan unit pengolahan ikan pada wilayah tertentu.
Zonasi perikanan tangkap akan diberlakukan pada 11 wilayah
pengelolaan perikanan. Cakupannya mulai dari tepi pantai hingga melampaui
batas 12 mil perairan atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Klaster
penangkapan ikan itu memberi hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk
mengelola kawasan tangkap. Ada beberapa model pengelolaan klaster yang kini
sedang dikaji, antara lain, pengelola klaster terdiri dari nelayan dengan armada
inti berkapasitas kapal di atas 30 gross ton (GT) sebanyak 75% dan armada lokal
dengan kapasitas di bawah 30 GT sekitar 25%. Nelayan dan armada lokal dapat
membentuk konsorsium untuk ikut mengelola klaster.
Sistem klaster perikanan tangkap mengingatkan pada program serupa
yang kini juga masih digodok DKP, yakni hak pengusahaan perairan pesisir
(HP3). HP3 mengamanatkan zonasi pemanfaatan perairan untuk kegiatan usaha
perikanan tangkap dan budidaya. HP3 memberikan peluang bagi privatisasi
sumberdaya pesisir selama 20 tahun dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak
lain. Saat digulirkan tahun 2008, program HP3 juga menuai protes dari sejumlah
kalangan. Kebijakan yang memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir
berpotensi menimbulkan pemusatan hak pengusahaan pesisir ke pemodal kuat.
HP3 juga dikhawatirkan membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir
pemilik modal dan tidak mampu melindungi nelayan.
Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan tahun 2006 merilis,
hampir seluruh perairan Indonesia telah mengalami tingkat eksploitasi
sumberdaya perikanan yang melebihi ambang batas dan berlebih. Nelayan
tradisional khawatir, pembentukan klaster memicu perebutan lahan penangkapan
ikan antara nelayan kecil dan pengusaha besar. Kebijakan klaster penangkapan
ikan yang membagi laut dalam kapling-kapling seharusnya mempertimbangkan
faktor sosial dan historis masyarakat pesisir dan nelayan tradisional secara arif.
51

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.


16/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari
kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis
nasional tertentu, dan alur laut. Kawasan pemanfaatan umum dapat
digunakan untuk zona pariwisata, pemukiman, pelabuhan, pertanian,
hutan, pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri,
infrastruktur umum dan zona pemanfaatan terbatas sesuai dengan
karakteristik biogeofisik lingkungannya. Kawasan konservasi dapat
dimanfaatkan untuk zona konservasi perairan, konservasi pesisir dan
pulau-pulau kecil, konservasi maritim, dan/atau sempadan pantai.
Kawasan strategis nasional tertentu dapat dimanfaatkan untuk zona
pertahanan keamanan, situs warisan dunia, perbatasan dan pulau-pulau
kecil terluar. Alur laut dapat dimanfaatkan untuk alur pelayaran, alur sarana
umum, dan alur migrasi ikan, serta pipa dan kabel bawah laut.

2.6 Komoditas Unggulan


Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah
suatu komoditas tergolong unggul atau tidak bagi suatu wilayah. Kriteria-kriteria
tersebut, adalah (Daryanto dan Hafizrianda 2010): (1) harus mampu menjadi
penggerak utama (prime mover) pembangunan perekonomian, (2) mempunyai
keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang
kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya, (3) mampu
bersaing dengan produk/komoditas sejenis dari wilayah lain (competitiveness) di
pasar nasional maupun internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi,
maupun kualitas pelayanan, (4) memiliki keterkaitan dengan wilayah lain
(regional linkages), baik dalam hal pasar (konsumen) maupun pasokan bahan
baku, (5) memiliki status teknologi (state-of-the-art) yang terus meningkat, (6)
mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala
produksinya, (7) dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, (8) tidak rentan
terhadap gejolak eksternal dan internal, (9) pengembangannya harus
mendapatkan berbagai bentuk dukungan (keamanan, sosial, budaya, informasi
dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif, dan lainnya, dan
(10) pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan
52

lingkungan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kriteria-kriteria komoditas


unggulan adalah: (1) kontributif, (2) artikulatif, (3) progresif, (4) tangguh, dan (5)
promotif.
Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menganalisis komoditi unggulan
perikanan tangkap adalah: tingkat produksi, permintaan/peluang pasar (lokal,
antar pulau, ekspor), prasarana dan sarana penunjang, keterkaitan ke depan dan
ke belakang, skala pengembangan, dukungan dan peran dalam kebijakan
regional maupun nasional, penyerapan tenaga kerja, dan ketersediaan tenaga
kerja (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kupang dan Lembaga
Penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang 2006).
Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan
pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Simatupang (1991),
Sudaryanto dan Simatupang (1993) diacu dalam Saptana et al. (2002),
mengatakan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya
saing (keunggulan) potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila
perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki
keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi.
Sedangkan Djakapermana (2010), menyatakan bahwa keunggulan komparatif
(comparative advantage) merupakan keunggulan suatu sektor/komoditi dalam
suatu wilayah relatif terhadap suatu sektor/komoditi pada wilayah lainnya dalam
suatu pulau. Model-model analisis yang digunakan untuk mengetahui
komoditi/sektor yang memiliki keunggulan komparatif adalah index of regional
specialization (IRS) dan location quotient (LQ). Keunggulan komparatif bersifat
dinamis. Suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu
secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara
lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang mempengaruhinya yaitu
ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi.
Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan keunggulan
suatu sektor/komoditi relatif terhadap sektor lainnya dalam suatu wilayah. Model
analisis yang digunakan untuk menentukan keunggulan kompetitif adalah analisis
input-output (I-O).
Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan
ekonomi, sedangkan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu
aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari
sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan
53

analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang
menerima manfaat tersebut (Kadariah et al 1978). Lebih lanjut dikatakan bahwa
konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan
kompetitif atau sering disebut “revealed competitive advantage” yang merupakan
pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.
Selanjutnya dikatakan suatu negara atau daerah yang memiliki keunggulan
komparatif atau kompetitif menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam,
penguasaan teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang
bersangkutan.
Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat
tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di
wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong
utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor
ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis
dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan
kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar
wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik
untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan
sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani
pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang
(Fauzi dan Anna 2005).

2.7 Kebijakan Kelautan dan Perikanan


Menurut Jones (1977), kebijakan perikanan adalah serangkaian
keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor perikanan
berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam
situasi yang dikuasai oleh aktor atau kelompok tersebut. Lebih lanjut Jones
(1977) menyatakan kebijakan perikanan adalah suatu keputusan pemerintah
untuk memecahkan masalah-masalah negara atau masyarakat nelayan.
Kebijakan (policy) adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk meningkatkan
sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan memerlukan
keterpaduan pembangunan pada masing-masing sektor. Kebijakan komprehensif
di bidang kelautan dan perikanan yang meletakkan prinsip keadilan (equity),
54

demokratisasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut menjadi


sebuah kebutuhan yang mendesak. Dalam rangka meningkatkan semangat
keterpaduan pembangunan kelautan dan perikanan, arah kebijakan makro
pembangunan bidang Kelautan dan Perikanan adalah sebagai berikut
(Bappenas 2009b):
1) Menyatukan komitmen politik dari para penentu kebijakan dalam
mengedepankan pembangunan kelautan dan perikanan dan perlu
menyusun Undang-Undang Kelautan Nasional yang sinergi dan
terintegrasi.
2) Menentukan dan menetapkan batas-batas wilayah perairan pedalaman,
sehingga kapal dari negara lain tidak diperbolehkan melewati perairan
tersebut tanpa kecuali.
3) Menentukan dan menetapkan batas-batas perairan zona tambahan (12-
24 mil laut), sehingga pemerintah Indonesia dapat melaksanakan
kewenangan untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di
bidang bea dan cukai, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan
imigrasi dan menjamin pelaksanaan hukum.
4) Merevisi UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEEI karena adanya perubahan
titik pangkal perairan Indonesia, seperti yang tercantum dalam PP No 38
Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia. Dengan demikian berbagai bentuk pelanggaran
yang terjadi di wilayah ZEEI dapat ditindak sesuai dengan ketentuan
tersebut.
5) Mengkaji, menentukan dan menetapkan landas kontinen Indonesia di luar
200 mil sampai 350 mil. Hasil kajian ini dapat dijadikan dasar dalam
pengajuan klaim ke Komisi Landas Kontinen PBB sebelum tanggal 16
November 2009.
6) Meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek geopolitik dan
geostrategis kepada seluruh komponen. Selain itu juga armada
pengamanan laut perlu diperkuat dan ditambah baik kualitas maupun
kuantitasnya dalam kaitannya untuk menjaga keutuhan NKRI dan
keutuhan sumber daya alam.
7) Mengatasi masalah kerusakan lingkungan di wilayah pesisir, dilakukan
rehabilitasi lahan pesisir yang sudah terdegradasi, memperluas daerah-
55

daerah perlindungan bagi spesies yang langka dan menindak tegas para
perusak lingkungan.
Besarnya potensi sumberdaya ikan disertai dengan kompleksitas
permasalahan, baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era
pemerintahan orde baru yang sentralistik. Hal ini dicerminkan dengan
kemiskinan yang masih melilit masyarakat nelayan. Adrianto dan Kusumastanto
(2004) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab
ketidakseimbangan dalam pembangunan perikanan Indonesia, yaitu: (1) masih
rendahnya muatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan, yang dicerminkan
dengan 87% perikanan tradisional; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih
kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dengan demikian, agar tercipta
pembangunan perikanan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan perikanan.

2.8 Pemodelan dalam Perikanan


Seijo et al. (1998) menyatakan bahwa sistem perikanan disusun atas tiga
subsistem yang saling berinteraksi, yaitu: (1) subsistem sumber daya, (2)
pengguna sumber daya, dan (3) manajemen sumber daya. Asumsi utama dari
sistem ini adalah parameter eksogenus tidak berperan dalam sistem. Subsistem
sumberdaya meliputi: (1) aspek daur hidup spesies, seperti biologi reproduksi
dan rekruitmen, dinamika pertumbuhan dan mortalitas; (2) faktor lingkungan yang
menyebabkan kelimpahan dan distribusi spatio-temporal; dan (3) faktor ekologi.
Subsistem pengguna sumberdaya, meliputi keseluruhan parameter yang
digunakan dalam fungsi eksplisit upaya penangkapan ikan seperti tipe kapal
yang digunakan untuk menangkap suatu spesies atau populasi. Selain faktor-
faktor tersebut, faktor lain yang masuk dalam subsistem ini adalah kurva
selektivitas alat atas spesies, ukuran/umur dan tipe kapal, serta harga target
spesies. Sedangkan susbsistem manajemen sumberdaya yang ditujukan untuk
mencapai tujuan atau sasaran yang diusulkan dalam manajemen sumberdaya,
adalah suatu kebutuhan pendekatan yang mungkin dipertimbangkan untuk
intervensi pemerintah, berupa seleksi kriteria untuk strategi manajemen.
Model adalah gambaran/deskripsi formal, dalam bentuk kata-kata,
diagram dan/atau persamaan matematis suatu sistem sehingga memberikan
gambaran mengenai keadaan yang sebenarnya (Tarumingkeng 1994). Model
biasanya digunakan sebagai pengganti sistem yang nyata, terutama sebagai alat
bantu untuk mempelajari fenomena yang kompleks, sehingga model merupakan
56

alat yang sangat berguna dalam mengevaluasi keadaan ataupun mendasari


pengambilan keputusan (Deent dan Balckie 1979). Sedangkan model menurut
Fauzi dan Anna (2005) adalah representasi suatu realitas dari seorang pemodel.
Dengan kata lain, model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan
dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran
atau merepresentasikan ini disebut sebagai modelling atau pemodelan yang tak
lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Secara skematis,
proses pemodelan dapat digambarkan pada Gambar 6.

Ditampilkan melalui indra persepsi

Dunia
Nyata

Pemodelan

Dunia
Model

Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir

Gambar 6 Intersepsi Dunia Model dengan Dunia Nyata (Fauzi dan Anna 2005).

Secara umum model dapat dikategorikan berdasarkan skala waktu dan


tingkat komplesitas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Model statis
adalah model yang tidak mempertimbangkan aspek waktu dan jika
mempertimbangkan aspek waktu disebut model dinamik. Sedangkan model
yang dibangun dengan mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih
menggambarkan realitas dunia nyata disebut model deterministik. Jika
ketidakpastian dimasukkan ke dalam model disebut model stochastic. Interaksi
antara skala waktu dan ketidakpastian akan menghasilkan model yang lebih
kompleks yang disebut model dinamic-stochastic. Model matematika dibangun
berdasar atas serangkaian pernyataan, asumsi dan persamaan, untuk
memberikan penjelasan yang memadai pada kegiatan yang dikaji. Model berisi
hubungan sebab-akibat hubungan antara tiga subsistem dan jika akurat akan
menjadi alat yang ampuh untuk mengevaluasi dampak bioekonomi alternatif
strategi manajemen dan untuk membuat percobaan simulasi (Seijo et al. 1998).
Model yang reliable dibangun berdasarkan beberapa tahap seperti terlihat
pada Gambar 7.
57

Identifikasi

Membangun Asumsi

Konstruksi Model

Analisis

Interpretasi

N
Validasi

Implementasi

Gambar 7 Sekuen Proses Pemodelan (Fauzi dan Anna 2005).


3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun dimulai dari
penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian di lapangan hingga penyusunan
disertasi bulan Oktober 2010. Kegiatan penelitian di lapangan dilaksanakan
selama 4 (empat) bulan, dimulai pada bulan Januari-April 2010 di Teluk Banten.
Teluk Banten merupakan salah satu wilayah pesisir di perairan Indonesia,
terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, yang secara geografis terletak
pada posisi 5°53’07”-6°01’49” LS dan 106°04’30”-106°16’39” BT, dengan luas
19.556,213 ha, berada lebih kurang 10 km sebelah utara kota Serang atau
sekitar 60 km sebelah barat kota Jakarta (Lampiran 1).

3.2 Metode Penelitian


Metode yang digunakan adalah metode survei dengan teknik wawancara
dan observasi atau supervisi langsung pada lokasi penangkapan ikan.
Pengarahan wawancara serta ketepatan pengumpulan data yang dibutuhkan,
berpedoman pada daftar pertanyaan terstruktur. Teknik penetapan sampling
lokasi/wilayah dilakukan secara purposive didasarkan pada potensi dan daya
dukung pengembangan komoditi sumberdaya ikan. Lokasi sampling yang
diambil adalah Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang berada pada kecamatan di
sekitar Teluk Banten yaitu Kecamatan Kasemen, Kramatwatu, dan Bojonegara
dengan posisi koordinat seperti tertera pada Tabel 2.
Tabel 2 Nama dan Posisi TPI Lokasi Pengambilan Sampel

No Lintang Selatan Bujur Timur Lokasi Desa Kecamatan Kab/Kota


Kota
o o
1 6 1’ 59,99” 106 9’ 0,00” Karangantu Banten Kasemen Serang
Kab.
o o
2 6 0’ 21,38” 106 5’ 50,28” Terate Terate Kramatwatu Serang
Kab.
o o
3 5 59’ 0,53” 106 5’ 36,96” Wadas Wadas Bojonegara Serang
Kab.
o o
4 5 57’ 8,60” 106 6’ 22,68” Kepuh Margagiri Bojonegara Serang

3.3 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder.
Pengelompokan data primer didasarkan pada tujuan penelitian. Jenis dan
sumber data primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 3.
60

Tabel 3 Jenis dan Sumber Data Primer


No Jenis Data Sumber Data Keterangan
1. Informasi i) Dinas Kelautan dan Untuk zonasi
pemanfaatan Perikanan (DKP) Propinsi pemanfaatan
ruang Banten dan Kabupaten kawasan
Serang
ii) Dinas Perindustrian &
Perdagangan Provinsi
Banten
iii) BLHD Provinsi Banten
iv) Dinas Pariwisata Provinsi
Banten & Kabupaten
Serang
v) Dinas Tata Kota
vi) Bappeda Provinsi Banten
vii) Survei pemanfaatan ruang
Teluk Banten menggunakan
kapal penngawas Dinas
Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Serang
2. Data GIS untuk informasi
daerah penangkapan
3. Data citra SPL Diunduh di
dan chlorofil-a www.gsfc.nasa.gov
Teluk Banten
tahun 2007-2008
4. Produksi hasil i) DKP Provinsi Banten dan Dikelompokkan
tangkapan Kabupaten Serang berdasarkan jenis
ii) PPN Karangantu ikan dan alat tangkap
iii) Wawancara dengan nelayan selama 5 tahun
terakhir. Data primer
di lapangan diambil
pada bulan Januari-
April 2010
5. Upaya i) DKP Provinsi Banten dan
penangkapan Kabupaten Serang
ii) PPN Karangantu
iii) Wawancara dengan nelayan
6. Jenis alat i) DKP Provinsi Banten dan Dikelompokkan
tangkap & Kabupaten Serang berdasarkan ukuran
metode ii) Wawancara dengan nelayan dan jenis alat
penangkapan iii) Survei lapang tangkap yang
dioperasikan
7. Kapal penangkap i) DKP Provinsi Banten dan Dikelompokkan
Kabupaten Serang berdasarkan ukuran
ii) Wawancara dengan nelayan kapal penangkap
(LxBxD & GT kapal)
8. Data ekologi i) BLHD Provinsi Banten
ii) Data pengukuran di lapangan
yang dilakukan oleh BRPL
Muara Baru Jakarta pada
bulan April 2010
61

Tabel 3 (lanjutan)
No Jenis Data Sumber Data Keterangan
9. Nelayan DKP Provinsi Banten dan Dikelompokkan
Kabupaten Serang berdasarkan nelayan
tetap, pendatang,
utama & sambilan
10. Informasi sosial, i) BPS Provinsi Banten
ekonomi & ii) Wawancara dengan nelayan
budaya dan masyarakat sekitar Teluk
Banten
11. Informasi jaringan i) DKP Provinsi Banten dan
pasar hasil Kabupaten Serang
perikanan ii) Wawancara dengan
tangkap pedagang dan pengolah ikan
12. Informasi i) Survei lapang
keberadaan ii) Wawancara
lembaga formal
dan non formal
pengelola
kawasan
13. Informasi i) DKP Provinsi Banten dan
kebijakan Kabupaten Serang
pemerintah ii) Penyebaran kuesioner
daerah terkait untuk analisis SWOT dan
pengelolaan AHP
perikanan
tangkap

Survei pemanfaatan ruang dan kondisi riil teluk dilakukan dengan


menggunakan kapal pengawas milik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Serang. Penentuan titik ordinat aktivitas pemanfaatan teluk untuk perikanan
tangkap dan budidaya dilakukan dengan menggunakan GPS. Informasi yang
terkait unit penangkapan ikan diperoleh dengan menggunakan wawancara dan
penyebaran kuesioner. Kuisioner terdiri dari kuisioner unit penangkapan ikan, di
dalamnya berisi tentang alat tangkap (jenis, dimensi, harga), kapal/perahu (jenis,
dimensi, harga), alat bantu penangkapan, operasi penangkapan penangkapan
ikan (jumlah ABK, sistem bagi hasil, biaya dan waktu operasi penangkapan,
metode operasi, komposisi hasil tangkapan pada waktu musim paceklik, sedang,
dan puncak, daerah penangkapan, pemasaran hasil tangkapan), pembiayaan.
Kuisioner kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan meliputi persepsi lokal
terhadap kondisi, potensi konflik, dan nilai ekonomi sumber daya perikanan,
organisasi nelayan, sosial ekonomi nelayan, dan peningkatan kapasitas nelayan.
Wawancara dilakukan terhadap nelayan yang ada di Karangantu, Terate,
Wadas dan Kepuh, yang memiliki alat tangkap gill net (15 orang, atau 10% dari
62

146 orang), dogol (3 orang, atau 9% dari 32 orang), bagan perahu (4 orang, atau
8% dari 24 orang), bagan tancap (1 orang, atau 4% dari 52 orang), payang (6
orang, atau 5% dari 120 orang), pancing ulur (2 orang, atau 6% dari 24 orang),
sero (1 orang, atau 2% dari 45 orang), dan rampus (6 orang, atau 7% dari 40
orang). Jumlah sampel diambil secara purposive sampling sehingga dianggap
mewakili populasi yang ada.
Data yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah terkait
dengan pengelolaan Teluk Banten dikumpulkan dengan cara menyebarkan
kuesioner kepada 9 responden yang dianggap mewakili populasi (purposive
sampling) untuk kebutuhan analisis SWOT. Kesembilan responden tersebut
terdiri dari tujuh orang staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang,
dan dua orang staf PPN Karangantu. Adapun untuk kebutuhan analisis AHP,
kuesioner disebarkan kepada 11 responden, terdiri dari pemilik kapal (satu
orang), petugas TPI (satu orang), staf DKP Provinsi Banten (dua orang), kepala
dan staf DKP Kabupaten Serang (tujuh orang).
Data sekunder bersumber dari berbagai hasil-hasil penelitian sebelumnya
dan atau laporan-laporan institusional pada sejumlah sektor produksi yang ada.
Sektor produksi yang dimaksud, tidak saja pada kelompok sektor primer akan
tetapi juga mencakup kelompok sektor sekunder dan tersier. Jenis data sekunder
yang dibutuhkan untuk keperluan penyusunan profil investasi ini antara lain
menyangkut potensi produksi, potensi kebutuhan pasar baik lokal/domestik
maupun pasar ekspor, potensi ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya
manusia, harga produk untuk pasar lokal/domestik dan ekspor. Studi literatur
terhadap model pengelolaan dan pengembangan wilayah serta identifikasi faktor-
faktor pengembangan kawasan; dan diskusi dengan pakar dan narasumber.

3.4 Analisis Data


Analisis data ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian: (1)
Mengevaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di kawasan Teluk Banten; (2) Menentukan komoditas unggulan dalam
pengembangan kawasan perikanan tangkap; (3) Menentukan teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan; (4) Menyusun zonasi pemanfaatan
kawasan Teluk Banten; (5) Menyusun strategi kebijakan pengelolaan kawasan
perikanan tangkap; (6) Mensimulasikan model pengelolaan kawasan perikanan
63

tangkap terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di


Teluk Banten.

3.4.1 Status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan tangkap


3.4.1.1 Potensi sumber daya ikan
Metode Produksi Surplus digunakan untuk menghitung potensi lestari
(MSY) dan upaya optimum dengan cara menganalisis hubungan upaya
penangkapan (f) dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Data yang
diperlukan berupa data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort),
sedangkan pengolahan data melalui pendekatan Schaefer. Hubungan hasil
tangkapan (catch) dengan upaya penangkapan (effort) (Schaefer 1957) adalah:

q 2 Kf 2
Y  qKf  (3-1)
r

Keterangan:
r = recruitment
K = carrying capacity
q = fishing capacity
f = Effort

Mengingat sifat perikanan di daerah tropis khususnya di Indonesia adalah


multispecies dan multigear, maka untuk menghitung potensi didasarkan pada
perhitungan tiap spesies.
Karena nilai q, K dan r merupakan suatu konstanta yang nilainya bisa
diketahui, maka fungsi tersebut di atas dapat disederhanakan menjadi:
2
Y  af  bf jika f a / b atau Y  0 jika f  a / b (3-2)
Nilai maksimum dari persamaan tersebut akan dicapai pada saat upaya:
a
f msy  0.5 * (3-3)
b

Dan hasil tangkapan maksimumnya pada tingkat fmsy:


a2
C msy  0.25 * (3-4)
b
Upaya penangkapan optimum yang diperoleh berdasarkan perhitungan
model surplus produksi adalah merupakan upaya penangkapan standar yang
disusun atas beberapa jenis alat penangkapan ikan, sehingga jumlah upaya
penangkapan ikan dari masing-masing jenis alat penangkapan ikan harus
64

diketahui. Standarisasi alat tangkap dilakukan dengan menggunakan metode


langsung seperti yang diusulkan oleh Robson (1966) diacu dalam Guland (1983).
Metode ini bekerja berdasarkan konsep daya tangkap relatif. Bila dua kapal
melakukan penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi
yang sama, maka daya tangkap relatif kapal A relatif terhadap kapal B adalah:

PA(B) = CPUE dari kapal B (3-5)


CPUE dari kapal A

Kapal A sering disebut sebagai kapal standar, sehingga apabila jumlah kapal A
(NA) dan jumlah kapal B (NB) maka upaya penangkapan secara keseluruhan
adalah:
Ftotal  1.0 * NA  PA( B) * NB (3-6)

3.4.1.2 Model bio-ekonomi (bionomi)


Model bio-ekonomi penangkapan ikan biasanya didasarkan pada model
biologi Schaefer (1954, 1957) dan model ekonomi dari Gordon (1954). Clark
(1985) kemudian menyebut persamaan tersebut sebagai model Gordon-
Schaefer. Menurut Gordon (1954) asumsi dasar yang digunakan dalam model
ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan
adalah elastis sempurna. Harga ikan (p) dan biaya marginal upaya penangkapan
masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi
masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Berdasarkan asumsi
tersebut, total penerimaan dari usaha penangkapan (TR) digambarkan dengan
persamaan:
TR  pY (3-7)
Sedangkan total biaya penangkapan (TC) digambarkan dengan persamaan:
TC  cf (3-8)

Penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan ikan ( ) adalah:

  TR  TC  pY  cf (3-9)

3.4.2 Komoditi unggulan


3.4.2.1 Keunggulan komparatif
Komoditi unggulan dianalisis dengan menghitung Location Quotient (LQ)
dan indeks spesialisasi (IS). Indeks LQ merupakan indikator sederhana yang
dapat menunjukkan kekuatan atau besar kecilnya peranan suatu sektor dalam
65

suatu daerah dibandingkan dengan daerah di atasnya atau wilayah referensi


(Daryanto dan Hufizrianda 2010). Besarnya nilai LQ dapat didekati dengan
pendekatan tenaga kerja dan nilai tambah (Daryanto dan Hufizrianda 2010),
dalam penelitian ini dimodifikasi dengan pendekatan jumlah produksi sumber
daya ikan yang secara bionomi menguntungkan. Model LQ dengan pendekatan
jumlah produksi adalah:
 Ci 
 Ct 
LQ    (3-10)
 Yl 
 Yp 

Keterangan:
Ci = Jumlah produksi jenis ikan i pada lokasi penelitian
Ct = Jumlah produksi jenis ikan i pada Provinsi Banten
Yl = Total produksi seluruh jenis ikan pada lokasi penelitian
Yp = Total produksi seluruh jenis ikan pada Provinsi Banten

LQ>1, menunjukkan bahwa suatu komoditi memiliki potensi ekspor (sektor


basis), kemampuan terlokalisasi di suatu wilayah, dan memiliki daya-saing
sebagai suatu komoditas unggulan dibandingkan wilayah lainnya. LQ<1,
komoditi tersebut diimpor, dan LQ=1, menunjukkan komoditi tersebut bersifat
tertutup karena tidak melakukan transaksi ke dan dari luar wilayah.

3.4.2.2 Indeks spesialisasi (IS)


Analisis indeks spesialisasi merupakan salah satu cara untuk mengukur
perilaku kegiatan ekonomi secara keseluruhan (Daryanto dan Hafizrianda 2010).
Pendekatan yang dilakukan sama dengan LQ, yakni berdasarkan pendekatan
produksi yang dihitung melalui tahapan:
1) menghitung persentase jumlah produksi tiap jenis ikan di Teluk Banten
terhadap total produksinya;
2) menghitung persentase jumlah produksi tiap jenis ikan di Provinsi
Banten terhadap total produksinya;
3) menghitung selisih antara prosentase yang diperoleh pada tahap ke-1
dengan ke-2, kemudian nilai-nilai selisih yang bertanda positif
dijumlahkan, selanjutnya total nilai tersebut dibagi dengan 100 untuk
mendapatkan nilai IS.
66

Keputusan yang diambil semakin besar nilai IS, maka akan semakin tinggi tingkat
spesialisasi sektoral/komoditi di wilayah tersebut yang terkonsentrasi pada
sektor-sektor yang mempunyai nilai selisih persentase positif.

3.4.2.3 Keunggulan kompetitif


Keunggulan kompetitif dapat didekati dengan menggunakan analisis
input-output (I-O). Analisis I-O dapat menunjukkan seberapa besar aliran
keterkaitan antarsektor dalam suatu perekonomian (Daryanto dan Hafizrianda
2010, Djakapermana 2010). Mengingat keterbatasan data terkait dengan analisis
ini, maka keunggulan kompetitif tidak dilakukan.

3.4.2.4 Deskriptif
Analisa secara deskriptif dilakukan dengan menggunakan pendekatan
metode skoring, dilakukan terhadap beberapa parameter yang bisa dijadikan
acuan yang menunjukkan komoditi unggulan yaitu nilai produksi, harga, wilayah
pemasaran, dan nilai tambah tiap sumber daya ikan yang menguntungkan
secara bionomi, yang selanjutnya dilakukan standarisasi fungsi nilai. Parameter
nilai produksi didasarkan pada tinggi rendahnya nilai produksi pada jenis ikan
unggulan. Skor 1 diberikan pada jenis ikan yang memiliki nilai produksi tertinggi
diantara komoditi unggulan, dan skor 0 pada jenis ikan yang memiliki nilai
produksi terendah. Jenis ikan yang memiliki nilai produksi diantara nilai terendah
dan tertinggi diberi skor sesuai dengan hasil perhitungan fungsi nilai.
Penentuan skor pada parameter harga ikan, sama dengan parameter nilai
produksi, yaitu didasarkan pada tinggi rendahnya harga jual ikan diantara
komoditi unggulan. Skor 1 diberikan pada jenis ikan yang memiliki harga jual
ikan tertinggi diantara komoditi unggulan, dan skor 0 pada jenis ikan yang
memiliki harga jual ikan terendah. Jenis ikan yang memiliki harga jual diantara
nilai terendah dan tertinggi diberi skor sesuai dengan hasil perhitungan fungsi
nilai.
Wilayah pemasaran didasarkan pada jangkauan pemasaran yaitu lokal,
nasional, dan internasional (ekspor). Jangkauan pasar lokal diberi skor 1,
nasional diberi skor 2, dan internasional (ekspor) diberi skor 3.
Penilaian terhadap adanya nilai tambah pada ikan didasarkan pada ada
tidaknya produk lanjutan (produk olahan setelah produk segar pasca
penangkapan) dan jumlah tenaga kerja yang terlibat (selain ABK). Skor 1
diberikan pada produk ikan yang dijual hanya dalam bentuk segar dan tidak ada
67

tenaga kerja yang dilibatkan, skor 2 diberikan pada produk ikan yang dijual dalam
bentuk segar, olahan asin kering maupun rebus dengan melibatkan tenaga kerja
kurang dari lima orang, dan skor 3 diberikan pada produk ikan yang dijual dalam
bentuk segar, olahan asin kering maupun rebus dengan melibatkan tenaga kerja
lebih dari lima orang.

3.4.3 Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan


Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan adalah teknologi
penangkapan ikan pada suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut tidak
merusak dasar perairan, tidak berdampak negatif terhadap biodiversity, target
resources dan non target resources. Analisis teknik dilakukan untuk melihat jenis
alat tangkap apa saja yang digunakan dikaitkan dengan jenis hasil tangkapan
yang diunggulkan.
Seleksi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dilakukan dengan
menggunakan analisis multi-kriteria, yang meliputi aspek biologi, teknik, sosial,
dan ekonomi. Kriteria yang digunakan dalam penelitian didasarkan pada
sembilan kriteria yang terdapat dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF). Penilaian dilakukan dengan cara mengamati teknologi penangkapan
setiap jenis alat tangkap yang ada di Teluk Banten dan membandingkannya
dengan kriteria CCRF untuk diberikan bobot penilaian. Berdasarkan kriteria dan
pembobotan tersebut, maka selanjutnya dilakukan analisis dengan
menggunakan metode skoring. Skor terendah diberikan nilai 1 dan tertinggi
diberi nilai sesuai dengan urutan pembobotan yang terbaik (Tabel 4). Masing-
masing jenis alat tangkap diberi skor pada setiap kriteria dan sub kriteria
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan. Langkah berikutnya adalah
standarisasi nilai dengan menggunakan fungsi nilai (Mangkusubroto dan Trisnadi
1987), dengan rumus:
X  Xo
V ( x)  ; V ( A)  Vi ( Xi ) , untuk i= 1,2,3,.......,n (3-11)
Xi  Xo
Keterangan:
V(x) = fungsi nilai dari variabel x;
X = variabel x;
Xo = nilai terburuk kriteria x;
V(A) = fungsi nilai dari alternatif A;
Vi(Xi) = fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i;
68

Xi = kriteria ke-i
Selanjutnya fungsi nilai masing-masing kriteria pada tiap alat tangkap di
jumlahkan, dan dirata-ratakan untuk mendapatkan urutan ranking. Alat tangkap
yang memiliki fungsi nilai tertinggi adalah alat tangkap yang paling ramah
lingkungan.
Aspek biologi meliputi: (i) tidak merusak habitat, tempat tinggal dan
berkembang biak ikan dan organisme lainnya; (ii) menghasilkan ikan yang
bermutu baik; (iii) produk tidak membahayakan konsumen; (iv) alat tangkap tidak
membahayakan keanekaan sumber daya hayati (biodiversity); dan (v) tidak
menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah. Aspek
teknik meliputi: (i) selektivitas alat tangkap terhadap jenis ikan; (ii) tidak
membahayakan nelayan yang menangkap ikan; dan (iii) hasil tangkapan yang
terbuang minimum (minimum bycatch). Aspek sosial yang dianalisis adalah (i)
tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan (ii) jumlah tenaga kerja yang
terserap. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dalam hal ini alat
tangkap dioperasikan secara legal, yaitu (i) beroperasi di daerah penangkapan
yang diijinkan; (ii) mengoperasikan jenis alat yang ditetapkan; (iii)
mengoperasikan ukuran alat yang diijinkan; (iv) mengoperasikan jumlah alat
yang ditentukan; dan (v) memiliki kelengkapan dokumen usaha. Skor yang
diberikan untuk aspek sosial adalah satu, apabila memenuhi kurang dari tiga
syarat yang ditetapkan; dua, apabila memenuhi tiga syarat yang ditetapkan; tiga,
apabila memenuhi empat syarat yang ditetapkan; empat, apabila memenuhi
seluruh syarat yang ditetapkan.
Aspek ekonomi meliputi: (i) biaya investasi murah; dan (ii) usaha
menguntungkan secara ekonomi (profitable). Selanjutnya analisis teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan dilanjutkan dengan analisis keberlanjutan
(sustainable fisheries) yang dilakukan secara deskriptif, didasarkan pada kriteria
(Simbolon 2004):
1) Mengikuti ketentuan total allowable catch;
2) Kontinuitas produksi tejamin;
3) Pasar/pembeli yang terjamin dan jelas.
69

Tabel 4 KriteriaTeknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan Nilai Bobot


No Kriteria Penjelasan Bobot
1. Memiliki Alat tangkap tersebut diupayakan hanya dapat
selektivitas yang menangkap ikan/organisme lain yang menjadi
tinggi sasaran penangkapan saja. Ada dua macam
selektivitas yang menjadi sub kriteria, yaitu
selektivitas ukuran dan selektivitas jenis. Sub
kriteria ini terdiri dari:
i) Alat menangkap lebih dari tiga spesies 1
dengan ukuran yang berbeda jauh
ii) Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran 2
yang berbeda jauh
iii) Alat menangkap kurang dari tiga spesies 3
dengan ukuran yang kurang lebih sama
iv) Alat menangkap satu spesies saja dengan 4
ukuran yang kurang lebih sama
2. Tidak merusak Kriteria yang ditetapkan berdasarkan luas dan
habitat, tempat tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat
tinggal dan penangkapan, dengan pembobotan:
berkembang biak i) Menyebabkan kerusakan habitat pada 1
ikan dan wilayah yang luas
organisme ii) Menyebabkan kerusakan habitat pada 2
lainnya wilayah yang sempit
iii) Menyebabkan sebagian habitat pada wilayah 3
yang sempit
iv) Aman bagi habitat (tidak merusak habitat) 4
3. Tidak Keselamatan manusia menjadi syarat
pembahayakan penangkapan ikan, karena bagaimana pun,
nelayan manusia merupakan bagian yang penting bagi
(penangkap ikan) keberlangsungan perikanan yang produktif.
Pembobotan resiko diterapkan berdasarkan pada
tingkat bahaya dan dampak yang mungkin dialami
oleh nelayan, yaitu:
i) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat 1
berakibat kematian pada nelayan
ii) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat 2
berakibat cacat menetap (permanen) pada
nelayan
iii) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat 3
berakibat gangguan kesehatan yang sifatnya
sementara
iv) Alat tangkap aman bagi nelayan 4
4. Menghasilkan Tingkat kualitas ikan ditentukan berdasarkan
ikan yang kondisi hasil tangkapan secara morfologis
bermutu baik (bentuknya), dengan pembobotan:
i) kan mati dan busuk 1
ii) Ikan mati, segar, dan cacat fisik 2
iii) Ikan mati dan segar 3
iv) Ikan hidup 4
70

Tabel 4 (Lanjutan)

5. Produk tidak Ikan yang ditangkap dengan peledakan bom,


membahaya kan pupuk kimia atau racun sianida kemungkinan
kesehatan tercemar oleh racun. Pembobotan kriteria ini
konsumen ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang
mungkin dialami konsumen yang harus menjadi
pertimbangan adalah:
i) Berpeluang besar menyebabkan kematian 1
konsumen
ii) Berpeluang menyebabkan gangguan 2
kesehatan konsumen
iii) Berpeluang sangat kecil bagi gangguan 3
kesehatan konsumen
iv) Aman bagi konsumen 4
6. Hasil tangkapan Alat tangkap yang tidak selektif mengakibatkan
yang terbuang hasil tangkapan yang terbuang akan meningkat,
minimum karena banyak jenis non-target yang turut
tertangkap. Hasil tangkapan non-target, ada yang
bisa dimanfaatkan dan ada yang tidak.
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan
pada hal berikut:
i) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri 1
dari beberapa jenis (spesies) yang tidak laku
dijual di pasar
ii) by-catch terdiri dari beberapa jenis dan ada 2
yang laku dijual di pasar
iii) by-catch kurang dari tiga jenis dan laku dijual 3
di pasar
iv) by-catch kurang dari tiga jenis dan berharga 4
tinggi di pasar
7. Alat tangkap Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan
yang digunakan pada hal berikut:
harus i) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan 1
memberikan kematian semua mahluk hidup dan merusak
dampak habitat
minimum ii) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan 2
terhadap kematian beberapa spesies dan merusak
keanekaan habitat
sumberdaya iii) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan 3
hayati kematian beberapa spesies tetapi tidak
(biodiversity) merusak habitat
iv) Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati 4
8. Tidak Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies
menangkap jenis yang dilindungi undang-undang ditetapkan
yang dilindungi berdasarkan kenyataan bahwa:
undang-undang i) Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat 1
atau ii) Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap 2
terancam punah alat
iii) Ikan yang dilindungi pernah tertangkap 3
iv) Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap 4
71

Tabel 4 (Lanjutan)
9. Diterima secara Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat
sosial tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat.
Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat
bila: (1) biaya investasi murah, (2)
menguntungkan secara ekonomi, (3) tidak
bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak
bertentangan dengan peraturan yang ada.
Pembobotan kriteria ditetapkan dengan menilai
kenyataan di lapangan bahwa:
i) Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir 1
persyaratan di atas
ii) Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir 2
persyaratan di atas
iii) Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir 3
persyaratan di atas
iv) Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di 4
atas
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2006.

3.4.4 Zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten


3.4.4.1 Identifikasi penggunaan kawasan
Kawasan Teluk Banten dimanfaatkan oleh kegiatan perikanan budidaya,
pariwisata bahari dan perikanan tangkap. Zona perikanan budidaya dan
pariwisata bahari dipetakan pada kawasan Teluk Banten berdasarkan kajian
pustaka yang berupa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, disertai
dengan pengamatan langsung di lapangan.

3.4.4.2 Zonasi perikanan tangkap


Zona pemanfaatan perikanan tangkap dibuat melalui tahapan (1)
menentukan musim dan daerah penangkapan, (2) menentukan indikator dan
kriteria zonasi perikanan tangkap, (3) menyusun zonasi kawasan perikanan
tangkap.
Musim penangkapan dianalisis dengan menghitung indeks musim
penangkapan dan kajian pustaka serta wawancara dengan nelayan. Informasi
mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu operasi
penangkapan ikan agar memperkecil resiko kerugian. Perhitungan pola musim
penangkapan digunakan data hasil tangkapan tiap jenis ikan setiap bulan. Data
produksi yang diperoleh dari lapangan memiliki peluang yang tidak sama benar
dengan distribusi normal, maka digunakan metode rata-rata bergerak sehingga
diperoleh data yang mendekati ideal.
72

Pola musim penangkapan diperoleh dengan menggunakan model


dekomposisi multiplikatif (Gaspersz 1992):
Yt  It * Tt * Ct * Et (3-12)
Keterangan:
Yt = Banyaknya produksi ikan tiap spesies pada bulan ke-t (periode ke-t)
It = Pengaruh komponen musiman terhadap produksi ikan tiap spesies
pada periode ke-t
Tt = Pengaruh komponen trend terhadap produksi ikan tiap spesies pada
periode ke-t
Ct = Pengaruh komponen siklik terhadap produksi ikan tiap spesies pada
periode ke-t
Et = Pengaruh galat yang timbul pada periode ke-t

Tahap-tahap analisis adalah sebagai berikut:


1) Menentukan nilai rata-rata bergerak (moving average) selama 12 bulan
(Mt) untuk memperoleh pengaruh trend dan siklik:
Mt  Tt * Ct (3-13)
Keterangan:
Y1  Y 2  ....  Y12
Mt 
12
2) Pengaruh musiman, diperoleh dengan cara membagi data aktual produksi
ikan tiap spesies (Yt) dengan nilai rata-rata bergerak (Mt):
Yt
 It * Et (3-14)
Mt
3) Penghilangan pengaruh galat melalui merata-ratakan nilai pada bulan
yang sama. Dekomposisi nilai rasio data aktual terhadap rata-rata
bergerak menggunakan suatu pendekatan metode rata-rata medial.
Rata-rata medial adalah nilai rata-rata dari setiap bulan setelah nilai
terbesar dan terkecil dari angka-angka tersebut dikeluarkan (tidak
diperhitungkan). Indeks musim diperoleh dengan menggandakan nilai
rata-rata medial dengan faktor koreksi (k). Nilai k diperoleh dari 1.200
dibagi dengan nilai total rata-rata medial, hal ini agar total indeks musim
selama setahun adalah 1.200 atau rata-rata sama dengan 100.
Penentuan pola musim penangkapan dengan metode rata-rata bergerak
(moving average) mempunyai keuntungan yaitu dapat mengisolasi fluktuasi
musiman sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan
penangkapan ikan. Keuntungan yang lain adalah dapat menghilangkan
kecenderungan yang biasa dijumpai pada deret waktu (time series).
73

Penentuan musim penangkapan dibedakan berdasarkan musim puncak,


sedang dan paceklik. Musim puncak diindikasikan dengan nilai indeks musim
penangkapan di atas 100, musim sedang 50-100, dan musim paceklik < 50.
Analisis terhadap daerah penangkapan ikan dilakukan berdasarkan data
letak lokasi penangkapan ikan oleh nelayan dan data penunjang berupa data
sekunder kondisi oseanografi perairan hasil penelitian sebelumnya dan citra
satelit. Informasi daerah penangkapan ikan dari nelayan diperoleh dengan cara
wawancara langsung dengan alat bantu peta perairan Laut Jawa, Teluk Banten
dan Kepulauan Seribu yang telah diberi grid. Nelayan suatu jenis alat tangkap
diminta untuk menunjukkan daerah operasi penangkapannya pada setiap
bulannya dan menentukan hasil tangkapan utamanya. Untuk mempertajam
informasi yang diperoleh dari nelayan kemudian dilakukan analisis kondisi
lingkungan perairan. Data oseanografi dan meteorologi yang diperoleh dari
instansi terkait diolah untuk menjawab korelasi yang terjadi antara keberadaan
ikan dan lingkungannya.
Model penentuan fishing ground juga dilakukan dengan data MODIS yang
menggunakan dua parameter yaitu parameter suhu permukaan laut dan
konsentrasi klorofil-a. Untuk mengetahui dinamic features sebaran SPL dan
klorofil-a permukaan yang menggambarkan berlangsungnya berbagai proses
oseanografi seperti pola arus dan kesuburan perairan (yang direpresentasikan
dengan tingkat produktivitas berupa kelimpahan klorofil-a/fitoplankton) dilakukan
dengan analisis digital dan visual citra sensor AVHRR dan MODIS.
Citra satelit dari data sensor thermal satelit NOAA-AVHRR (National
Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution
Radiometer), selain dapat digunakan untuk mengamati SPL, sekaligus dari citra
dapat diamati pola arus permukaan dengan melihat kecenderungan pergerakan
massa air yang tergambar pada pola sebaran SPL. Data sensor visible dari
sensor MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer) dapat
digunakan untuk mengetahui sebaran dan konsentrasi klorofil-a (produktifitas
primer) yang menggambarkan kesuburan perairan.
Sumber data yang diolah untuk menghasilkan citra SPL merupakan data
format GAC (Global Area Coverage) sensor AVHRR yang di-download dari
sumber data NOAA (NASA) untuk melengkapi data bulanan yang tidak ter-cover
data LAC (Local Area Coverage). Data yang digunakan merupakan data time
series periode 2007-2008 dalam format citra komposit (data download). Data
74

yang digunakan telah diolah dengan analisa split windows dengan pemrosesan
citra kanal 4 dan 5 menggunakan algoritma Mc.Millin & Crosby: SPL=T4+2,702
(T4-T5)-0,582.
Citra klorofil-a merupakan data sensor visible MODIS (Moderate-
resolution Imaging Spectroradiometer) periode Januari 2007–Desember 2008
(citra komposit bulanan) dalam format GAC (Global Area Coverage) yang
kemudian dibatasi pada daerah pengamatan dengan batasan geografis 5°53’07”-
6°01’49” LS dan 106°04’30”-106°16’39” BT. Data ini bersumber dari
website:http://gsfc.nasa.gov/. Untuk memudahkan pengamatan pola sebaran
klorofil-a, maka nilai digital klorofil-a pada citra diolah tersendiri dan bisa di-
overlay pada citra, sehingga dapat menampilkan kontur nilai sebaran klorofil-a.
Fitoplankton (klorofil-a) perairan merupakan salah satu komponen biologi
laut yang penting terutama untuk memetakan potensi sumber daya hayati laut.
Hal ini didukung oleh kondisi bahwa cahaya di perairan Indonesia cukup banyak
sepanjang tahun, sehingga apabila terjadi sedikit kenaikan atau penurunan
kandungan klorofil perairan maka ini adalah diakibatkan oleh proses oseanografi
termasuk adanya perubahan kontribusi jumlah kandungan zat makanan dari
daratan. Sedangkan populasi plankton dapat berubah dari tahun ke tahun, terkait
dengan perubakan iklim musiman dan tahunan.
Adapun kondisi perairan dan dampak lingkungan dianalisis berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah ada dilengkapi dengan data citra terkini. Seluruh
analisis selanjutnya dipetakan untuk masing-masing pemanfaatan kawasan
sehingga terlihat kesesuaiannya ataukah terjadi tumpah tindih pemanfaatan,
dengan menggunakan metode GIS. Tahapan yang dilakukan dalam metode GIS
adalah pengumpulan data dengan melakukan verifikasi di lapangan,
pengambilan data posisi setiap aktifitas yang ada di kawasan Teluk Banten,
penentuan kriteria, digitasi, dan penyusunan zona. Kesesuaian pemanfaatan
kawasan dikaji berdasarkan rencana tata ruang kawasan perairan Teluk Banten
yang dibuat Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Serang.

3.4.4.3 Pemetaan potensi konflik


Pemetaan potensi konflik dilakukan dengan melakukan pengamatan di
lapangan dan wawacara dengan pengguna kawasan teluk, yang selanjutnya
dipetakan dalam bentuk matriks.
75

3.4.5 Strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap


Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten
merupakan model konseptual yang disusun berdasarkan hasil analisis terhadap
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah daerah setempat.
Penentuan skenario kebijakan dilakukan melalui survei dengan menggali
sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan upaya pengelolaan kawasan
perikanan tangkap di Teluk Banten bersumber dari masyarakat, pemerintah dan
swasta. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi model pengelolaan kawasan
perikanan tangkap yang sesuai dengan kemauan stakeholders perikanan
tangkap. Berdasarkan hasil survei ini kemudian dilakukan analisis SWOT.
SWOT adalah analisis yang banyak digunakan para perencana strategis
daerah atau bisnis (strategic planner), metode ini digunakan dalam menghasilkan
suatu perencanaan strategis pengembangan daerah dan bisnis (Rangkuti 2009).
Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Matriks SWOT dapat digambarkan sebagaimana hasil identifikasi dan
perhitungan, dilakukan dengan menggunakan analisa IFAS (Internal Factor
Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary). Adapun
langkah untuk melakukan analisis SWOT adalah sebagai berikut (Rangkuti,
2009):
1) Pembobotan dengan analisis SWOT
i) Menentukan faktor-faktor kelemahan dan kekuatan, serta faktor peluang
dan ancaman.
ii) Memberi bobot pada masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai
dari 1,00 (paling penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting),
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis instansi.
Jumlah bobot tidak boleh lebih dari skor total 1,00.
iii) Memberi rating untuk masing-masing faktor dengan menggunakan skala
mulai dari 4 (sangat baik) sampai dengan 1 (di bawah rata-rata).
iv) Mengalikan bobot dan rating untuk menentukan skor tiap-tiap faktor.
v) Menjumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor
pembobotan.
2) Berdasarkan total skor dari masing-masing kriteria S-W-O-T, digunakan
dalam penggambaran posisinya pada matriks SWOT (Gambar 8).
76

Berbagai peluang

Kuadran III Kuadran I


(mendukung strategi turn-around) (mendukung strategi agresif)

Kelemahan internal Kekuatan internal

Kuadran IV Kuadran II
(mendukung strategi defensif) (mendukung strategi diversifikasi)

Berbagai ancaman

Gambar 8 Skematis Analisis SWOT.

Kuadran I : Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Instansi


memberi peluang dan kekuatan sehingga dapat
memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang dapat
diterapkan dalam strategi ini adalah mendukung kebijakan
pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).
Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, instansi ini masih
mempunyai kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus
diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi
diversifikasi.
Kuadran III : Instansi menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain
pihak ia menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal.
Fokus strategi ini adalah meminimalkan masalah-masalah
internal instansi sehingga dapat merebut peluang dengan
lebih baik.
Kuadran IV : Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan,
instansi sedang mengalami berbagai ancaman dan
kelemahan internal.

Matriks SWOT (Gambar 9) dapat menggambarkan secara jelas berbagai


peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi instansi dapat disesuaikan
dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat
77

menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi. Salah satu dari empat
set kemungkinan alternatif strategis inilah yang diharapkan dari analisis SWOT
untuk digunakan dalam strategi suatu instansi.
Empat set alternatif strategis yang dihasilkan dari matriks SWOT adalah
sebagai berikut:
1) Strategi SO
Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran instansi, yaitu dengan
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang
yang sebesar-besarnya.
2) Strategi ST
Merupakan strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh instansi
untuk mengatasi ancaman.
3) Strategi WO
Strategi ini dimanfaatkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada
dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
4) Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

IFAS
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
 Tentukan faktor-faktor  Tentukan faktor-faktor
EFAS kekuatan internal kelemahan internal

OPPORTUNITIES (O) STRATEGI SO STRATEGI WO


 Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
peluang eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk memanfaatkan kelemahan untuk
peluang Memanfaatkan peluang

THREATS (T) STRATEGI ST STRATEGI WT


 Tentukan faktor-faktor Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang
ancaman eksternal menggunakan kekuatan meminimalkan
untuk mengatasi kelemahan dan
ancaman menghindari ancaman

Gambar 9 Matrik SWOT.

Identifikasi kondisi internal meliputi (i) kondisi dan standar ekonomi


kawasan; (ii) jalinan kerjasama antara perikanan tangkap dengan sektor lain; (iii)
pola-pola pengembangan SDM; (iv) sumber daya modal dan investasi; (v)
pengembangan investasi; (vi) kelembagaan lokal dan pemerintahan; serta (vii)
78

daerah pemasaran dan memberi label khas bagi kawasan. Sedangkan faktor
eksternal meliputi masalah kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas
otonomi daerah, perdagangan bebas, serta otonomi daerah. Formulasi strategi
disusun dengan cara menentukan faktor-faktor strategis eksternal, menentukan
faktor-faktor strategis internal dan perumusan alternatif strategi.
Prioritas strategi yang akan dilaksanakan diperoleh dengan
menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah pertama yang
dilakukan dalam AHP adalah penyusunan struktur hierarki. Struktur hierarki
dilakukan dengan mengawali tujuan umum sebagai tujuan utama (level 1),
dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2) dan kemungkinan alternatif pada
tingkatan kriteria paling bawah (level 3). Langkah selanjutnya adalah membuat
skala banding berpasang, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada
dengan beberapa alternatif yang ditawarkan. Skala banding berpasang ini dibuat
berdasarkan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan
tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk
melakukan perbandingan antar beberapa alternatif. Analisis banding berpasang
secara menyeluruh merupakan analisis perbandingan dari dua kriteria utama
yang digunakan dalam analisis ini. Sistem pembobotan pada skala banding
berpasang menggunakan tabel panduan skala banding berpasang seperti
disajikan pada Tabel 5.
Prinsip konsistensi logis harus dilakukan mengingat konsistensi sangat
penting dalam pengambilan keputusan. Konsisten memiliki dua makna yaitu:
pertama, obyek yang serupa dikelompokkan sesuai keragaman dan
relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-
obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi
menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency
ratio: CR). Nilai rasio konsistensi tidak lebih dari 10%. Jika rasio konsistensi
lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungkin acak dan perlu diperbaiki (Saaty
1993 dan Marimin 2004). Nilai indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai 10
yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) seperti tercantum
pada Tabel 6.
79

Tabel 5 Skala Banding Berpasang Berdasarkan Taraf Relatif Pentingnya


Intensitas Definisi Penjelasan
Pentingnya
1 Kedua elemen sama Dua elemen menyumbangkan
pentingnya sifat sama besar pada sifat itu
3 Elemen yang satu sedikit Pengalaman dan pertimbangan
lebih penting dibandingkan sedikit menyokong satu elemen
elemen yang lainnya atas lainnya
5 Elemen yang satu esensial Pengalaman dan pertimbangan
atau sangat penting dengan kuat menyokong satu
dibanding elemen yang elemen atas elemen lainnya
lainnya
7 Satu elemen jelas lebih Suatu elemen dengan kuat
penting dari elemen lainnya disokong dan dominannya telah
terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih Bukti yang menyokong elemen
penting dibandingkan elemen yang satu atas yang lain
yang lainnya memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua Kompromi diperlukan antara dua
pertimbangan yang pertimbangan
berdekatan
Kebalikan Jika satu aktivitas mendapat
satu angka dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j
mempunyai nilai
kebalikannya bila
dibandingkan dengan i
Sumber: Saaty (1993).

Tabel 6 Nilai Random Consistency Index (RI) untuk Jumlah Elemen (n) 1 sampai
dengan 10

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49

Sumber: Mulyono (1991)

3.4.6 Simulasi model pengelolaan kawasan perikanan tangkap


Simulasi model dilakukan dengan cara menganalisis berbagai alternatif
kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap, dan mensimulasikan
beberapa skenario kebijakan yang diusulkan. Analisis dilakukan terhadap kondisi
sebelum ada model pengelolaan, pada saat penelitian dan setelah model
tersusun dengan menggunakan simulasi. Simulasi model dilakukan dengan
menggunakan pendekatan optimasi berkendala yaitu dengan program linier goal
80

programming (LGP), yang penyelesaiannya dibantu dengan program LINDO


(Siswanto 1993).
Optimisasi manajemen usaha penangkapan ikan yang dilakukan
dimaksudkan untuk mencari nilai optimum upaya penangkapan masing-masing
alat tangkap yang dioperasikan di Teluk Banten sehingga mendapatkan total
hasil tangkapan yang maksimum. Model pendekatan yang digunakan adalah
dengan menggunakan aplikasi linier programming. Elemen-elemen yang
digunakan dalam model ini terdiri atas: 1) fungsi tujuan, yaitu total hasil
tangkapan maksimum dari usaha penangkapan ikan, 2) fungsi pembatas, terdiri
dari nilai hasil tangkapan maksimum (Cmsy), upaya penangkapan maksimum
(Emsy), jumlah tenaga kerja yang optimum, serta batasan area penangkapan.

(1) Fungsi tujuan


Fungsi tujuan dari penelitian ini adalah memaksimumkan hasil tangkapan
dari berbagai jenis alat tangkap:
n
MaksHT   CPUEX i (3-15)
i 1

Keterangan:
Xj = Jenis alat tangkap ke-i 5 = Payang (Py)
1 = Gill net (Gn) 6 = Pancing ulur (Pc)
2 = Dogol (Dg) 7 = Sero (Sr)
3 = Bagan tancap (Bt) 8 = Rampus (Rp)
4 = Bagan perahu (Bp) CPUE = Catch per unit effort (hasil tangkapan
tiap upaya penangkapan)

(2) Fungsi pembatas


Dalam melakukan manajemen sumberdaya perikanan, jumlah hasil
tangkapan dan upaya penangkapan yang diperbolehkan hanya didasarkan pada
nilai optimum hasil tangkapan dan upaya penangkapan yang digunakannya atau
sering disebut sebagai nilai maximum sustainable yield (MSY). Penangkapan
akan lestari dan hasil tangkapan yang maksimum pada saat mencapai nilai MSY.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pengkajian ini nilai-nilai upaya
penangkapan (Emsy) dan nilai hasil tangkapan (Cmsy) pada kondisi MSY dijadikan
sebagai faktor pembatas yang tidak boleh dilampaui dalam pemanfaatan sumber
daya.
81

(i) Hasil tangkapan lestari (Cmsy)


Suatu jenis ikan di daerah tropis dapat ditangkap oleh lebih dari satu jenis
alat tangkap, sehingga penggabungan hasil tangkapan dari beberapa jenis alat
tangkap ikan harus ≤ Cmsy.
n

 CPUEX
i 1
i  C MSYij atau

 Y * v j   C msy (i )
n n

ij (3-16)
i 1 j 1

Keterangan:
Yij = Produktivitas alat tangkap j terhadap ikan i (CPUEij)
vj = Jumlah jenis alat tangkap j
Cmsy(i) = Hasil tangkapan maksimum lestari

(ii) Upaya penangkapan lestari (Emsy)


Upaya penangkapan per jenis alat penangkapan terhadap suatu jenis
ikan, dapat dihitung berdasarkan rumus:

 FPI * v j   E msyi 
n n

ij (3-17)
i 1 j 1

Keterangan:
FPIij = daya tangkap alat tangkap j terhadap jenis ikan i
Vj = Jumlah jenis alat tangkap j
Emsy (i) = upaya penangkapan maksimum lestari

(iii) Penyerapan tenaga kerja bagi usaha perikanan tangkap (orang)


Jumlah penyerapan tenaga kerja diperoleh dari jumlah nelayan yang
tercatat di laporan statistik perikanan tangkap Kabupaten Serang tahun 2009
sebanyak 1.314 orang. Koefisien tiap persamaan diperoleh dari hasil wawancara
dengan responden (pemilik kapal) terhadap kebutuhan rata-rata tenaga kerja per
alat tangkap per trip. Model persamaannya dapat dirumuskan:
n

 JTK X
i 1
i i  TK (3-18)

Keterangan:
JTK = Jumlah tenaga kerja tiap jenis alat tangkap i (orang/unit)
TK = Jumlah tenaga kerja yang dapat terserap (orang)

(iv) Luas area penangkapan


Luas area penangkapan tiap jenis alat tangkap dihitung berdasarkan luas
sapuan pengoperasian tiap jenis alat tangkap. Luas area penangkapan gill net,
82

dan rampus dihitung dengan pendekatan luas sapuan trammel net yang
berbentuk seperempat lingkaran dengan radius/jari-jarinya adalah panjang jaring
(Gunaisah 2008). Luas sapuan:
L  1 / 4  r 2 (3-19)
Luas sapuan dogol dihitung berdasarkan luas sapuan trawl (swept area) (Spare
and Venema 1998):
a  D  hr  X 2 ; (3-20)

D V t
Keterangan:
a = Luas sapuan dogol
V = Kecepatan penarikan jaring pada permukaan dasar
hr = Panjang tali ris atas
t = Lama penarikan jaring
X2 = Fraksi panjang ris atas (X2=0.5, Pauly 1980)
hr x X2 = Bukaan sayap/lebar alur yang disapu trawl

Luas sapuan bagan tancap dihitung berdasarkan luas jaring yang berbentuk
bujur sangkar, dengan pertimbangan bahwa lampu petromaks (4 unit) dipasang
berada kurang lebih 50 cm hingga 100 cm di atas permukaan air, sehingga daya
pancar cahaya petromaks tidak melebihi luas area jaring. Luas area bagan
tancap:
L  pl (3-21)
Luas bagan perahu dihitung berdasarkan jarak pancar lampu tembak yang
dihidupkan pertama kali, yang melebihi panjang kapal penangkap, didekati
dengan luas bujur sangkar jaring penangkap. Luas area bagan perahu:
L  pl (3-22)
Luas payang dihitung berdasarkan luas lingkaran, dengan pertimbangan bahwa
jaring payang dioperasikan dengan melingkari area penangkapan. Luas area
payang:
L  r 2 (3-23)
Luas pancing ulur, didekati berdasarkan ukuran panjang kapal yang digunakan,
dengan pertimbangan bahwa pancing yang berpengaruh adalah kedalaman
mata pancing. Apabila tali pancing terdorong oleh arus lebar sapuan tidak
melebihi dari panjang kapalnya. Luas area pancing ulur:
L  LOAkapal (3-24)
83

Luas sero, dihitung berdasarkan ukuran panjang penaju dan lebar sayap alat
tangkap. Dengan demikian luas area penangkapan seluruh alat tangkap dihitung
dengan menggunakan rumus:
n

A X
i 1
i i  LA (3-25)

Keterangan:
Ai = Luas area penangkapan tiap jenis alat tangkap
LA = Luas area total Teluk Banten

Berdasarkan nilai-nilai optimum yang diperoleh dari model, kemudian


dilakukan skenario alternatif kebijakan. Perilaku sistem dengan berubahnya
jumlah armada penangkapan diketahui dengan cara melakukan simulasi model.
Analisis terhadap berbagai alternatif kebijakan tersebut dilakukan dengan cara
mengevaluasi dampak dari berubahnya upaya penangkapan yang dioperasikan
terhadap stok sumber daya, hasil tangkapan, pertumbuhan stok sumber daya
ikan, serta rente ekonomi yang dihasilkan. Salah satu kriteria pemilihan terhadap
alternatif terbaik adalah didasarkan atas nilai maximum sustainable yield (MSY)
dari sumber daya tersebut. Asumsi yang digunakan dalam simulasi model ini
adalah setiap spesies seolah-olah hanya ditangkap oleh satu jenis alat tangkap
tertentu.
Simulasi model terhadap tingkat kesejahteraan nelayan dalam hal ini
pendapatan nelayan dihitung dari bagi hasil. Pengamatan terhadap kondisi
sosial dimaksudkan untuk melihat kondisi sosial masyarakat/nelayan yang
berada di wilayah Teluk Banten dalam memanfaatkan sumber daya ikan.
Perilaku dan kondisi sosial tersebut perlu “dipotret” untuk memastikan bahwa
pemanfaatan sumber daya ikan berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
Tingkat kesejahteraan masyarakat dilihat dari besar pendapatan dan
pengeluaran, strategi pengelolaan keuangan, pemilikan aset rumah tangga, serta
kondisi sanitasi dan lingkungan pemukiman. Menurut Sukirno (1985) diacu dalam
Sobari dan Suswanti (2007) kesejahteran adalah suatu yang bersifat subyektif
dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-
beda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. BPS (1991)
menyatakan bahwa kesejahteraan bersifat subyektif, sehingga ukuran
kesejahteraan bagi setiap individu atau keluarga berbeda satu sama lain.
Kebutuhan dasar erat kaitannya dengan kemiskinan. Apabila kebutuhan dasar
belum terpenuhi oleh individu atau keluarga, maka dikatakan bahwa individu atau
84

keluarga berada di bawah garis kemiskinan, Menurut BPS (1996), pendapatan


per kapita sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan ekonomi
masyarakat. Ekonomi masyarakat yang makmur ditunjukkan oleh pendapatan
per kapita yang tinggi, dan sebaliknya ekonomi masyarakat yang kurang makmur
ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang rendah.
Tingkat pendapatan nelayan dihitung berdasarkan pendapatan nelayan
yang diperoleh melalui sistem bagi hasil yang diterapkan pada tiap jenis alat
tangkap dalam satu trip penangkapan. Total pendapatan dihitung dari seluruh
pendapatan tiap trip yang dilakukan selama satu tahun. Selanjutnya pendapatan
yang diterima nelayan dibandingkan dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten
(UMK) Serang tahun 2012. UMK Kabupaten Serang sebesar Rp 1.320.000,- dan
Kota Serang sebesar Rp 1.230.000,- (SK Gubernur Banten no. 561/Kep-1-
Huk/2012).
Kondisi budaya masyarakat termasuk adat/kebiasaan yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat yang terkait dengan pengelolaan perikanan maupun
yang tidak tetapi berpengaruh terhadap sikap dan kebiasaan nelayan dalam
menangkap ikan, akan diamati dan diteliti secara mendalam. Adapun diagram alir
pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.
83

Riset

Citra
Harga Nilai Wilayah Nilai By
Effort Produksi UPI MPI SAT Ekologi SPL & Kebijakan
ikan produksi pasar tambah catch
klorofil

Surplus Produksi
LQ dan IS Multi kriteria MODIS SWOT

MSY
IMP Strategi
SPL &
klorofil-a

Bionomi AHP
Deskriptif Musim

MEY Musim & DPI Prioritas

Status pemanfaatan TPI ramah Zonasi pemanfaatan


Komoditi unggulan Strategi kebijakan
perikanan tangkap lingkungan kawasan

Keterangan: Simulasi Model


(LGP)
= input (data) UPI = unit penangkaan ikan
TPI = teknologi penangkapan ikan
= proses (analisis) MPI = metode penangkapan ikan
SAT = selektivitas alat tangkap
= output IMP = indeks musim penangkapan
LQ = location quotient Model terpilih
IS = indeks spesialisasi

Gambar 10 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian.


85
4. KEADAAN UMUM PERIKANAN TELUK BANTEN

4.1. Kondisi Perikanan Tangkap


(1) Sumber daya ikan
Berdasarkan hasil pendataan seluruh jenis ikan yang didaratkan di 4 TPI
terdapat 60 jenis ikan baik ikan pelagis maupun demersal, namun seluruh jenis
ikan tersebut tidak ditemukan setiap tahun sehingga tidak ditampilkan dan
dihitung seluruhnya. Jenis ikan yang dihitung potensi dan tingkat
pemanfaatannya adalah jenis-jenis ikan yang ditemukan sepanjang tahun, yang
selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelompok ikan pelagis dan demersal
(Tabel 7) yang ditangkap oleh berbagai jenis alat tangkap. Masing-masing jenis
alat tangkap dioperasikan sesuai dengan ikan tujuan tangkapan, namun
demikian tetap tertangkap jenis ikan lain sehingga satu jenis ikan bisa ditangkap
oleh lebih dari satu jenis alat tangkap.
Beberapa jenis ikan hanya ditemukan di TPI tertentu, seperti ikan kurisi,
rajungan, bawal hitam, ekor kuning, dan beloso, ditemukan di Karangantu. Jenis
ikan kembung, cumi-cumi, tembang, teri, dan pepetek, merupakan jenis ikan
yang tertangkap di semua TPI, terlihat dari produksi hasil tangkapan yang cukup
besar dibandingkan jenis ikan yang lain. Berbagai jenis ikan tersebut ditangkap
oleh berbagai jenis alat tangkap (Tabel 8), dengan jenis yang tidak senantiasa
sama di tiap TPI. Dogol (termasuk di dalamnya lampara dasar dan cantrang),
dan sero merupakan jenis alat tangkap yang hanya ada di Karangantu. Gillnet di
Karangantu merupakan jenis alat tangkap yang termasuk di dalamnya jaring
rajungan, set gillnet, dan drift gillnet. Payang merupakan jenis alat tangkap yang
ditemukan di semua TPI, dan payang yang memiliki ciri khusus hanya ditemukan
di TPI Terate. Payang di Terate disebut dengan ”Payang Tingker”, yaitu payang
yang dilengkapi dengan alat bantu lampu dan dioperasikan secara melingkar.
Payang tingker ini merupakan alat tangkap yang dominan di Terate.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase rata-rata pertumbuhan produksi
ikan tiap tahun terbesar adalah cumi-cumi (61,61%), hal ini menunjukkan bahwa
produksi cumi-cumi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Keadaan ini jauh
berbeda dengan ikan layang yang terus mengalami penurunan produksi tiap
tahunnya sebesar 13,99%. Adapun ikan demersal terdapat 3 jenis ikan yang
mengalami penurunan produksi, yaitu ikan pepetek (5,96%), kakap merah
(31,19%), dan layur (35,71%).
88

Tabel 7 Sumber Daya Ikan di Teluk Banten Tahun 2005-2009


Produksi Sumber daya Ikan (Ton) Tiap Tahun Rata-rata
Pertum-
No Ikan pelagis 2005 2006 2007 2008 2009 buhan (%)
1 Kembung 122,35 144,54 231,75 196,96 136,32 8,17
(Rastrelliger spp)
2 Cumi-cumi 52,78 49,73 127,98 220,16 270,41 61,61
(Loligo sp)
3 Tembang 211,56 280,14 328,91 360,80 288,73 9,89
(Sardinella
fimbriata)
4 Teri (Stolephorus 214,51 231,27 193,31 221,42 253,35 5,09
spp)
5 Selar (Selar spp) 76,60 90,83 135,58 107,00 134,08 18,02
6 Tongkol 44,11 50,49 29,38 11,27 20,28 -2,25
(Euthynnus spp)
7 Layang 74,31 31,50 29,11 41,87 27,38 -13,99
(Decapterus spp)
8 Lemuru 24,75 10,93 38,54 37,19 28,30 42,33
(Sardinella lemuru)
9 Tenggiri 14,85 27,15 21,70 13,94 36,22 46,72
(Scomberomorus
commersoni)
10 Belanak (Mugil 24,85 29,19 15,11 26,25 20,58 5,35
spp)
11 Cucut 17,17 2,55 3,45 9,89 7,31 27,74
(Carcarinidae)
Jumlah 993,92 1.056,92 1.315,93 1.361,47 1.306,26 6,19
Ikan demersal
1 Kurisi 116,09 108,60 161,11 114,72 83,29 -3,57
(Nemipterus spp)
2 Rajungan 113,35 12,95 50,36 87,50 49,17 57,57
(Portunus spp)
3 Pepetek 426,93 550,85 500,28 463,15 295,17 -5,96
(Leiognathidae)
4 Kakap Merah 20,42 21,39 16,00 9,17 3,52 -31,19
(Lutjanus spp)
5 Pari (Trigonidae) 11,84 13,46 12,75 20,95 16,00 12,27
6 Udang (Penaeus 31,36 8,83 18,03 22,41 24,80 16,83
merguensis &
Metapenaeus spp)
7 Kuwe (Caranx 17,05 28,37 31,54 12,06 22,31 25,18
spp)
8 Bawal Hitam 6,47 14,03 3,58 2,67 5,80 33,61
(Fermio niger)
9 Layur (Trichiurus 104,47 71,07 84,24 22,19 9,82 -35,71
spp)
10 Ekor Kuning 1,44 3,86 1,48 2,28 1,95 36,47
(Caesio spp)
11 Beloso (Saurida 50,46 26,31 45,54 34,32 50,90 12,23
spp)
12 Manyung 21,01 32,33 25,35 19,93 19,93 2,73
(Tachysurus spp)
Jumlah 804,79 783,43 789,16 696,62 499,38 -10,49
Ikan lain 141,90 252,08 266,65 370,23 559,89 27,76
Keterangan: ikan lain adalah ikan campur pelagis dan demersal yang tidak ditemukan sepanjang
tahun (2005-2009), dan jumlahnya relatif sedikit.
89

Peningkatan produksi ikan tiap tahunnya, ternyata dihasilkan dari alat


tangkap gill net, yaitu sebesar 103,12%. Hal ini menunjukkan bahwa gill net
merupakan alat tangkap yang paling produktif. Bagan perahu dan dogol juga
mengalami pertumbuhan yang positif, masing-masing sebesar 41,16% dan
12,97% (Tabel 8). Adapun berbagai jenis ikan yang tertangkap masing-masing
alat tangkap dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 8 Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009
Produksi Ikan Per Tahun (Ton) Rata-rata
Jenis Alat Pertum-
Tangkap 2005 2006 2007 2008 2009 buhan (%)
Gill net 40,39 199,84 230,48 134,86 194,00 103,12
Dogol 773,71 810,56 1 128,05 767,66 1 073,86 12,97
Bagan Tancap 673,69 480,64 678,37 481,20 219,89 -17,72
Bagan Perahu 0 0 0 359,56 507,57 41,16
Payang 316,13 443,53 258,66 216,05 146,86 -12,47
Pancing Ulur 136,69 151,31 76,18 37,74 45,57 -17,17
Sero 0 0 0 333,70 144,79 -56,61
Rampus 0 6,56 0 97,55 33,00 -83,09
Jumlah 1.940,61 2.092,43 2.371,74 2.428,32 2.365,53 5,24
Sumber: data diolah dari PPP Karangantu, TPI Terate, TPI Wadas, dan TPI Kepuh
(2010).

(2) Upaya penangkapan (effort)


Produktivitas alat tangkap tidak dapat dipisahkan dengan banyaknya
upaya penangkapan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa upaya penangkapan terbesar
adalah gill net yang setiap tahunnya mengalami peningkatan sebesar 45,29%,
sedangkan tiga alat tangkap yang lain mengalami penurunan setiap tahunnya.
Jika dikaitkan dengan Tabel 8 terlihat bahwa alat tangkap gill net mengalami
peningkatan produksi paling besar dibanding ketujuh alat tangkap yang lain
(103,12%). Dengan demikian gill net termasuk alat tangkap yang paling
produktif, karena peningkatan upaya penangkapan seiring dengan peningkatan
jumlah hasil tangkapan. Penurunan upaya penangkapan rampus terbesar,
karena data tidak kontinyu pada setiap tahunnya.

(3) Alat penangkap ikan


Pada tahun 2009 gill net merupakan alat tangkap yang paling besar
jumlahnya (27%) dibandingkan dengn alat tangkap yang lain. Jumlah terbesar
(22% atau 122 unit) ditemukan di Karangantu, sedangkan payang menempati
urutan kedua (22%). Payang sendiri dapat ditemukan di keempat TPI lokasi
penelitian (Gambar 11).
90

Tabel 9 Trip Tiap Jenis Alat Tangkap


Jenis Alat Trip Per Tahun Rata-rata
Tangkap 2005 2006 2007 2008 2009 Pertumbuhan (%)
Gill net 820 1.013 1.328 2.305 3.526 45,29
Dogol 1.162 569 882 1.351 1.804 22,67
Bagan Tancap 1.637 1.188 2.049 4.068 1.146 17,94
Bagan Perahu 0 0 0 388 2.883 643,04
Payang 1.885 2.185 2.682 2.065 1.487 -3.08
Pancing Ulur 705 568 980 249 331 2.86
Sero 0 0 0 1.859 1.717 -1.91
Rampus 0 128 0 607 467 -61.53
Sumber: data diolah dari PPP Karangantu, TPI Terate, TPI Wadas, dan TPI Kepuh
(2010).

1) Gillnet
(i) Konstruksi
Gillnet yang ada di Teluk Banten terdiri dari jaring milenium, jaring
puslon/silir (hasil wawancara dengan nelayan), dan bottom gillnet (jaring
rajungan) yang masing-masing memiliki ikan tujuan tangkap yang berbeda.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, jaring milenium dioperasikan
untuk menangkap ikan tongkol dan bawal sebagai tangkapan utama, serta ikan
kakap, dan tengiri sebagai hasil tangkapan sampingan. Jaring puslon ditujukan
untuk menangkap ikan kembung banjar, tongkol, dan tenggiri, sedangkan jaring
rajungan untuk menangkap rajungan.
Jaring milenium berukuran panjang 30 m dan tinggi 9 m, dengan ukuran
mata jaring sebesar 37,8 inchi. Jaring puslon memiliki panjang kurang lebih 1
km, dan tinggi sekitar 11 m. Konstruksi jaring puslon berbeda dengan jaring
milenium, jika jaring milenium memiliki satu jenis benang di seluruh tubuh jaring,
sedangkan jaring puslon berbeda. Satu badan jaring puslon terdiri dari tiga
ukuran benang dan jumlah mata yang berbeda. Dua puluh lima mata bagian atas
menggunakan benang no. 6D, bagian tengah sebanyak 300 mata dengan
benang no. 3, dan bagian bawah sebanyak 25 mata dengan benang no. 6, di
bagian bawah jaring dilengkapi dengan batu yang terbuat dari semen, berfungsi
sebagai pemberat.
91

Rampus
17% Gill net
27%
Sero
8%
Pancing Dogol
6% 6%
Bagan Perahu
Payang 10%
22%
Bagan Tancap
4%

Gambar 11 Komposisi Alat Tangkap di Kawasan Teluk Banten Tahun 2009.

Jaring rajungan memiliki panjang 400 m dan tinggi 1 m, dengan ukuran mata
jaring sebesar 4 inchi. Bahan jaring terbuat dari nilon bernomor 25. Konstruksi
masing-masing tipe gillnet dapat dlihat pada Lampiran 3.

(ii) Metode pengoperasian


Metode pengoperasian jaring milenium dan puslon sama yaitu dengan
cara dihanyutkan dalam perairan (drift gillnet) mengikuti arah arus. Setting
(tawur) diawali dengan penurunan pelampung tanda, dan seterusnya sampai
pada ujung pelampung tanda yang terakhir, membutuhkan waktu sekitar satu
jam. Driffting (menghanyut) membutuhkan waktu 3-4 jam, dan hauling
(penarikan) membutuhkan waktu sekitar 1 sampai dengan 2 jam. Waktu yang
dibutuhkan masing-masing tahapan sangat bergantung pada panjang-pendeknya
(jumlah tinting/piece) dari gillnet. Sedangkan jaring rajungan dipasang menetap
di dasar perairan (bottom set gillnet). Setting dilakukan pada malam hari sekitar
jam 12 selama kurang lebih satu jam. Perendaman dilakukan selama 3 jam dan
hauling selama kurang lebih 1 jam untuk setiap tinting. Proses pengoperasian
jaring rajungan ini dilakukan setelah hauling jaring rajungan yang sudah
direndam sebelumnya begitu seterusnya.

2) Dogol
(i) Konstruksi
Jenis alat tangkap dogol di Karangantu terdiri dari dogol/cantrang, dan
lampara dasar. Bentuk dan konstruksi cantrang dan lampara dasar umumnya
92

tidak jauh berbeda. Namun lampara dasar di Karangantu telah dimodifikasi


dengan menambahkan rantai pengejut (tickler chain) pada dasar atau bagian
bawah alat tangkap, dan otterboard (pembuka mulut jaring). Lampara dasar
memiliki jaring yang berbentuk kerucut dan terdiri atas tiga bagian, yaitu: dua
lembar sayap (wing), tali penarik sebagai penghubung ke dua sayap di atas
(warp), badan (body), dan kantong (cod end). Konstruksi kedua alat ini dapat
dilihat pada Lampiran 4.

(ii) Metode pengoperasian


Lampara dasar dioperasikan dengan cara ditarik pada dasar perairan
oleh satu kapal dalam jangka waktu tertentu. Jaring ditarik secara horizontal
(mendatar) di dalam air. Alat ini dilengkapi dengan papan pembuka mulut jaring
(otter board) yang membuat mulut jaring terbuka selama kegiatan penangkapan
dilakukan. Penurunan jaring dimulai dari kantong, badan dan terakhir bagian
mulut. kaki kanan setelah itu ditarik dengan kapal bergerak.

3) Bagan Tancap
(i) Konstruksi
Komponen bagan terdiri dari bangunan bagan, jaring bagan (waring), dan
alat pendukung (petromaks, tali pengantung petromaks, keranjang ikan, dan
serok). Bangunan bagan terbuat dari bambu dengan diameter 8-10 cm, setiap
bangunan bagan umumnya memiliki tiang pancang yang berjumlah 24 atau 25
batang. Berdasarkan wawancara dengan nelayan setempat, ukuran bangunan
bagan bervariasi dari 9 x 9 m hingga 12 x 12 m.
Waring sebagai komponen penting kegiatan penangkapan bagan, terbuat
dari polyamide monofilament berwarna hitam dengan ukuran mata jaring 0,3-0,5
cm, dan panjang 12-13 m. Supaya waring atau jaring bagan dapat terbentang
dengan sempurna maka pada bagian tepi waring dibuat bingkai dari bambu
dengan ukuran 10 x 10 m. Bila panjang waring 13 m dan bingkainya berukuran
10 m maka tinggi waring diperkirakan mencapai 2 m (Lampiran 5). Bambu
bingkai waring biasanya dilubangi pada setiap ruasnya. Hal ini bertujuan agar
rongga-rongga bambu dapat terisi oleh air, sehingga bambu menjadi berat
mudah tenggelam dengan cepat. Pada bagian tengah dari alat tangkap bagan
terdapat bangunan yang menyerupai gubuk/rumah bagan. Bangunan ini
berfungsi untuk berlindung bagi nelayan dari terpaan angin dan hujan. Selain itu,
93

rumah bagan ini juga berfungsi sebagai tempat istirahat bagi nelayan pada sela
waktu setting hingga hauling.
Lampu petromaks merupakan sumber cahaya dan alat bantu utama
kegiatan penangkapan bagan tancap. Jumlah petromaks yang digunakan oleh
nelayan rata-rata 4 unit. Petromaks ini dipasang di bagian tengah bangunan
bagan. Bahan bakar petromaks umumnya menggunakan minyak tanah, namun
nelayan di Teluk Banten menggunakan campuran solar dan minyak tanah,
dikarenakan kelangkaan minyak tanah.

(ii) Metode pengoperasian


Bagan mulai dioperasikan pukul 18.00 WIB. Pengoperasian bagan
dimulai dengan menurunkan waring secara perlahan-lahan hingga kedalaman
maksimum, biasanya 12-15 m. Setelah waring selesai diturunkan nelayan
mempersiapkan petromaks untuk dinyalakan. Petromaks diturunkan satu persatu
dan menggantungnya tepat di bawah bangunan bagan. Penggantungan
dilakukan sedemikian rupa sehingga petromaks berada kurang lebih 50-100 cm
di atas permukaan air. Setelah semua terpasang pada posisinya nelayan
kemudian menunggu dan memperhatikan kondisi lingkungan (cahaya petromaks,
arus, angin, dan kedatangan ikan). Setelah satu jam biasanya tekanan
petromaks dengan memompanya sehingga cahayanya stabil dan tidak redup.
Proses hauling rata-rata dilakukan setelah 2-3 jam setelah setting, namun
patokan waktu ini tidak selalu sama tergantung kondisi ikan, bila sebelum 2 jam
ikan telah datang nelayan mengangkat jaring, begitu pula sebaliknya. Proses
hauling dimulai dengan mengurangi jumlah petromaks dari 4 unit menjadi 2 unit.
Hal ini dilakukan untuk mengkonsentrasikan ikan di sekitar cahaya (petromaks).
Setelah itu, lampu yang tersisa diangkat menjauhi permukaan air dengan cara
menarik tali penggantung petromaks, sedemikian rupa sehingga petromaks tepat
ada di bawah bangunan bagan dengan jarak sekitar 100 cm. Proses selanjutnya
adalah penarikan waring, proses ini dimulai dengan memutar roller secara
perlahan-lahan, hal ini dilakukan agar ikan tidak terkejut dan meloloskan diri dari
waring. Putaran roller semakin dipercepat pada saat waring mendekati
permukaan air, hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah ikan yang lolos karena
ikan mengetahui ada benda asing yang bergerak mendekatinya. Roller terus
diputar hingga bingkai waring menyentuh lantai/rangka bagan bagian atas.
Proses terakhir dari pengoperasian bagan adalah memindahkan hasil
tangkapan yang berada di bawah waring ke keranjang dengan menggunakan
94

serok. Setelah itu, ikan yang tertangkap dikelompokkan berdasarkan jenisnya


masing-masing. Proses pengoperasian bagan diulangi hingga 4-5 kali setting
setiap malamnya.

4) Bagan Perahu
(i) Konstruksi
Bagan perahu yang ada di Teluk Banten memiliki karakteristik tersendiri.
Kapal motor berukuran 15 x 3 x 1 m, dengan mesin inboard berkekuatan 30 PK
dilengkapi dengan waring berukuran 9 m2 dengan mesh size sebesar 2 inchi.
Lampu sebanyak 13 buah terdiri dari lampu tembak 3 buah, lampu kap sebanyak
9 buah, dan lampu pengantar sebanyak 1 buah. Masing-masing lampu
berkekuatan 190 watt (Lampiran 6).

(ii) Metode pengoperasian


Pengoperasian ”bagan congkel” diawali dengan menurunkan jaring dan
menyalakan seluruh lampu ”tembak”, dilanjutkan dengan lampu pengantar yang
berfungsi untuk memfokuskan ikan, selanjutnya lampu kap dinyalakan. Setelah
setengah jam lampu ”tembak” bagian belakang dimatikan, satu menit setelah itu
lampu ”tembak” samping dimatikan, begitu seterusnya, dilanjutkan dengan lampu
kap ujung dimatikan, dan terakhir lampu pengantar. Perendaman jaring
berlangsung selama 2 jam, setelah itu jaring diangkat dengan cara digulung oleh
dua orang. Setelah sampai di atas hasil tangkapan diambil dengan
menggunakan serok berdiameter 1 m dengan panjang tangkai 0,5 m. Dalam
satu malam dapat dilaksanakan 5-9 kali tawur.

5) Payang
(i) Konstruksi
Konstruksi payang tingker tidak berbeda dengan jenis payang lain yang
ada di Indonesia, hanya payang ini dilengkapi dengan lampu sebagai alat bantu
penangkapan. Payang terdiri dari dua buah sayap, badan, dan kantong. Pada
bagian sayap, menggunakan jaring dengan mesh size 10 dan 12 inchi, badan
jaring menggunakan mesh size 4, 1,5, 1,25, dan 1 inchi yang dipasang
berurutan, sedangkan kantong menggunakan ukuran mata jaring 0,75 dan 0,5
inchi. Dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari busa karet, dan pemberat
dari batu (Lampiran 7). Kapal dilengkapi dengan lampu sebanyak 6-8 lampu,
95

dengan kekuatan sebanyak 10.000 watt yang dinyalakan dengan genset dan
dinamo.

(ii) Metode pengoperasian


Lampu besar dinyalakan setelah kapal sampai di lokasi penangkapan.
Tujuan dinyalakan lampu besar ini adalah untuk mengumpulkan ikan. Setelah
ikan berkumpul, perahu kecil dan lampu berkekuatan 200 watt sebanyak 2 buah
diturunkan, diikuti dengan penurunan jaring dengan cara melingkari perahu kecil
tersebut kurang lebih selama 0,25 jam. Setelah sempurna pelingkaran, jaring
langsung ditarik selama kurang lebih 0,25 jam.

6) Pancing Ulur
(i) Konstruksi
Konstruski pancing ulur di Teluk Banten berbeda-beda, baik yang berasal
dari TPI Karangantu maupun TPI Terate (Lampiran 8). Di Karangantu, pancing
ulur hanya digunakan untuk menangkap ikan tengiri dan kembung, sedangkan di
Terate tidak memiliki konstruksi khusus untuk ikan tertentu. Spesifikasi pancing
ulur di Teluk Banten dapat dilihat pada Tabel 10, menunjukkan bahwa pancing
ulur benar-benar selektif karena konstruksi alat tangkap disesuaikan dengan ikan
tujuan tangkap.

(ii) Metode pengoperasian


Pengoperasian pancing ulur cukup sederhana. Pancing diulur sampai
pada kedalaman yang diinginkan, penggulung pancing tetap dipegang oleh
nelayan sampai dirasakan ada ikan yang menarik-narik pancing, lalu pancing
langsung diangkat.

7) Sero
(i) Konstruksi
Sero terdiri dari empat bagian penting yaitu penajo, sayap, badan, dan
bunuhan. Sayap beukuran panjang kurang lebih 30 m, terbuat dari benang
polyethylen (PE) no.9 dengan diameter mata jaring 1,5 inchi. Badan terdiri dari
kamar-kamar, dengan jumlah yang bervariasi. Penajo berfungsi untuk
menghalangi jalannya ikan, terbuat dari benang no. 9, dengan diameter mata
jaring 2,5 inchi (Lampiran 9).
96

Tabel 10 Spesifikasi Pancing Ulur di Teluk Banten


No Spesifikasi Pancing ulur di
TPI Karangantu TPI Terate
1 Main line Benang no. Benang no. 8 Benang no. 8 di
200 siang hari dan no.
500-700 di malam
hari
2 Swivel/kili-kili Ada satu Tidak ada Tidak ada
buah
3 Kail pada branch No. 8 No. 16 No. 15 di siang
line hari, dan no. 7 atau
8 di malam hari
4 Dilengkapi timah Ada Tidak ada Tidak ada
sebagai pemberat
5 Dioperasikan 20-30 m 15-20 m 25 m
pada kedalaman
6 Umpan Alami: ikan Alami: rebon Alami: rebon dan
kembung dan cumi dicincang
tembang utuh Buatan: plastik
(segar) (mirip udang), bulu
ayam
7 Target Tenggiri Kembung Cumi (musim
penangkapan hujan); Kembung
dan manyung
(musim kemarau)

(ii) Metode pengoperasian


Sero dipasang pada daerah yang relatif dangkal (3-3,5 m) dengan cara
menghadang arus, sehingga pada waktu pasang terendam air, sedang waktu
surut tidak tergenang air, kondisi ini dimanfaatkan untuk pengambilan hasil
tangkapan. Sero merupakan alat tangkap pasif, hasil tangkapan berupa ikan-
ikan pantai (kurisi, sembilang, kuro) yang terbawa arus masuk ke dalam kamar-
kamar, tertangkap pula cumi-cumi, dan udang serta rajungan. Pengambilan hasil
tangkapan dilakukan dengan menggunakan serok, berdiameter 30 cm dengan
panjang pegangan 3 m.

8) Rampus
(i) Konstruksi
Konstruksi rampus sama dengan gillnet yang lain, setiap nelayan memiliki
ukuran rampus yang berbeda-beda. Ada yang memiliki rampus dengan panjang
100 mata dan tinggi 200 mata. Jaring terbuat dari benang bernomor 26, dengan
ukuran mata jaring sebesar 2 inchi pada seluruh tubuh jaring (webbing). Jika
perahu besar ada yang membawa rampus sebanyak 12 piece, satu piece
berukuran panjang 60 m dan tinggi 4,5 m, ukuran mata jaring 5 inchi dan benang
97

bernomor 100 warna putih. Dilengkapi dengan pelampung, dan pemberat yang
terbuat dari timah. Rampus jenis ini dipasang menetap di dasar perairan,
sebagai jangkar digunakan batu seberat lebih kurang 10 kg. Beberapa nelayan,
pada webbingnya menggunakan mesh size 1,75 inchi, dan 4 inchi (Lampiran 10).
Alat tangkap dengan ukuran yang berbeda ini tidak dibawa secara bersamaan
tetapi tergantung musim ikan tujuan tangkap, ukuran mata jaring 1,75 inchi
digunakan untuk menangkap kembung, pepetek, dan kuro.

(ii) Metode pengoperasian


Tahap pengoperasian rampus terdiri dari tiga tahap, yaitu setting yang
dilakukan selama kurang lebih 1 jam, perendaman sekitar 1 jam, dan apabila
arus tenang sampai 2 jam, serta terakhir hauling berlangsung sekitar 1,5 jam.
Setting dimulai dengan menurunkan pelampung, diikuti dengan pemberat dari
batu, setelah itu seluruh jaring.

4.2 Kondisi lingkungan perairan


4.2.1 Hidro-oseanografi lingkungan pesisir dan laut
Perairan pesisir dan laut di wilayah Propinsi Banten secara oseanografis
dapat dikelompokkan kedalam tiga bagian karena masing-masing perairan
memiliki karakteristik yang cukup unik. Di bagian utara, wilayah perairan ini
berhadapan langsung dengan Laut Jawa, sehingga kondisi oseanografi di
perairan pesisir dan lautnya akan dipengaruhi oleh dinamika laut-atmosfer di Laut
Jawa, seperti munculnya arus musim yang secara dominan mempengaruhi
variasi musiman suhu dan salinitas perairan, serta timbulnya gelombang
berpengaruh terhadap proses fisik di tepi pantai, misalnya proses abrasi pantai
dan angkutan sedimen di pantai. Di bagian barat, perairan ini berupa selat, yang
menghubungkan antara Laut Jawa dengan Samudera Hindia. Dalam periode
musim Timur yang berlangsung antara bulan Juli sampai September, sebagian
massa air Laut Jawa yang relatif lebih hangat dan tawar mengalir ke Samudera
Hindia. Sebaliknya, dalam periode musim Barat (Desember-Februari) sebagian
massa air dari Samudera Hindia dapat mempengaruhi perairan Selat Sunda ini.
Sehingga perairan selat ini memiliki sifat ambang antara perairan samudera dan
laut. Di bagian selatan, sistem perairan Samudera Hindia secara dominan
berpengaruh terhadap sifat oseanografi di wilayah pesisir dan laut ini, seperti
terlihat dari jenis pasang surut, kondisi arus, dan munculnya fenomena upwelling.
98

Teluk Banten yang terbentuk oleh sedimen pada lingkungan marin,


material berasal dari Cikangkung, Ciujung, dan beberapa sungai di Kabupaten
Tangerang, sehingga tidak dapat menjadi batuan padu yang stabil dari sudut
pandang geologi teknik. Materi penyusun sedimen berasal dari sungai-sungai di
Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang yang bermuara di Teluk Banten
dan perairan sebelah timur Teluk Banten. Sedimen yang terangkut oleh sungai-
sungai tersebut terdiri atas: lempung, geluh, pasir volkanis, dan bahan organis.
Sedimen yang berasal dari perairan di sebelah barat relatif sangat kecil, karena
kedudukan Teluk Banten bagian barat terhalang oleh Pantai Pulo Ampel dan
Bojonegara yang merupakan lereng Kaki Gunungapi Gede, sehingga sedimen
yang mengendap di Teluk Banten didominasi oleh sedimen yang berasal dari
sungai-sungai di Kabupaten Serang dan Tangerang, serta sedimen yang
diangkut oleh arus laut, yang umumnya bertekstur halus hingga sedang. Oleh
karena itu sedimen di Perairan Teluk Banten bersifat lumpur dengan tekstur
geluh hingga pasir.
Perairan bagian timur dalam perkembangannya membentuk dataran
aluvial, dataran fluvio-marine dan rataan lumpur, sedangkan di bagian barat
endapan material volkanis yang berupa lahar dan lava. Terumbu karang dapat
berkembang dengan baik menumpang pada endapan lahar dan aliran lava di
Pantai Barat Kabupaten Serang.

4.2.1 Batimetri
Wilayah perairan bagian utara Banten berada di atas dangkalan Sunda
Besar, yang menghubungkan diantara pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa,
dengan kedalaman kurang dari 40 m. Kedalaman di Laut Jawa umumnya
meningkat kearah timur, dimana di bagian dekat pantai Sumatera memiliki
kedalaman sekitar 20 m, sedangkan semakin kearah timur kedalamannya dapat
mencapai 60 m. Di kawasan Teluk Banten kedalaman perairan umumnya
kurang dari 10m, kecuali di bagian baratdaya Pulau Panjang sekitar 12 m.
Pada bagian utara perairan antara Teluk Banten dan pantai Lontar,
perubahan pola batimetri dapat terjadi secara cepat yang terkait dengan adanya
aktivitas penambangan pasir laut di wilayah perairan itu. Apabila terjadi
penambangan pasir laut secara intensif, maka batimetri perairan di sekitar
wilayah itu akan berubah. Kubangan dasar laut yang terbentuk akan terisi oleh
sedimen hasil longsoran dari sekitarnya karena adanya arus dasar perairan.
Arah longsoran sedimen dan lamanya waktu untuk pengisian sedimen terhadap
99

kubangan tersebut akan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti arah dan
kekuatan arus dasar perairan, dan lerengan dasar laut.

Gambar 12 Batimetri di Bagian Utara Banten (interval kontur 2 m) (Bapedal


Provinsi Banten dan PKSPL IPB 2004).

4.2.3 Angin muson dan tinggi muka laut


Perairan pesisir dan laut Banten, seperti halnya dengan wilayah lain di
Asia Tenggara, sangat dipengaruhi oleh sistem angin Muson Australia. Angin
Muson (monsoon) ini berbalik arah dua kali dalam setahun. Dalam periode
musim Barat (Desember-Februari) angin Muson di wilayah perairan Banten
bertiup umumnya dari arah barat–baratlaut, sedangkan dalam musim Timur (Juni
-Agustus) angin Muson bertiup dari arah timur – tenggara. Musim Peralihan dari
Barat ke Timur (Maret-Mei) dan dari musim Timur ke Barat (September-
November) umumnya arah tiupan angin bervariasi dengan kecepatan yang relatif
lemah.
Pembalikan arah tiupan angin secara jelas terlihat pada komponen angin
arah timur-barat (komponen zonal). Di wilayah utara Banten, yang berada pada
sumbu utama angin Muson, komponen angin zonal bernilai positif selama
periode musim Barat, yang berarti angin Muson secara mantap bertiup kearah
timur. Sebaliknya, dalam periode musim Timur komponen angin zonal menjadi
100

negatif, yang berarti angin Muson bertiup kearah barat. Di bagian utara Banten
rerata kecepatan maksimum angin Muson lebih tinggi terjadi dalam periode
musim barat (sekitar 7 m/s). Di bagian selatan Banten tiupan angin dari arah
Tenggara berlangsung lebih lama dengan rerata kecepatan angin mencapai 7
m/s.
Angin Muson yang bertiup di atas permukaan laut dapat menyeret massa
air permukaan sehingga menimbulkan arus laut yang dikenal sebagai arus
Musim, serta gelombang permukaan. Di wilayah utara dan selatan perairan
Banten, penumpukan massa air yang dibawa arus musim ini dapat menimbulkan
perbedaan tinggi muka antara bagian utara Selat Sunda dengan bagian
selatannya. Dalam periode musim Timur perbedaan tinggi muka laut ini
mencapai sekitar 10 cm, dimana ujung utara Selat Sunda lebih tinggi dari pada
ujung selatannya. Sebaliknya, dalam periode musim Barat, tinggi muka laut di
bagian selatan lebih tinggi dari bagian utaranya. Perbedaan tinggi muka laut ini
dapat terbentuk arus yang mengalir kearah selatan dalam musim Timur dan ke
utara dalam musim Barat.

4.2.4 Arus laut


Pergerakan massa air secara mendatar (arus) di suatu perairan terbentuk
karena beberapa faktor, seperti oleh seretan angin, pasang surut, dan perbedaan
densitas air laut. Di wilayah perairan Banten bagian utara, arus laut utamanya
terjadi karena pengaruh angin Muson dan pasang surut. Mengingat wilayah
utara Banten berada dalam sumbu utama angin Muson, arus musim yang
terbentuk mengalir kearah timur selama periode musim Barat (Desember-
Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-Agustus) arus musim
mengalir secara dominan kearah barat. Kecepatan arus Musim berkisar antara
20 sampai 40 cm/s. Pasang surut di perairan utara Banten berasal dari
samudera Hindia yang merambat masuk melalui perairan Selat Sunda.
Sehingga secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang surut diperkirakan
bergerak kearah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya kearah selatan
dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan morfologi pantai
dapat memodifikasi arus tersebut.

4.2.5 Suhu permukaan laut dan klorofil-a


Berdasarkan hasil pengolahan citra suhu permukaan laut (SPL) tahun
2007 diperoleh hasil bahwa SPL Teluk Banten berkisar 27,91º-30,98ºC, dimana
101

suhu terendah terdapat pada bulan Desember dan suhu tertinggi pada bulan
April, sedangkan pada tahun 2008 suhu terendah 27,06ºC di bulan Februari dan
suhu tertinggi 30,67ºC di bulan Mei (Gambar 12). Sebaran SPL berdasarkan
musim penangkapan menunjukkan suatu pola. Pada saat musim barat
(November-Januari) suhu berkisar 29-30 ºC, musim peralihan dari barat ke timur
antara (Pebruari-April) 28,5-31 ºC, musim timur (Mei-Juli) 30-31 ºC, namun pada
tahun 2008 menunjukkan ada pergeseran yaitu suhu menjadi lebih dingin
sebesar 28,5-29,5 ºC. Pada saat musim peralihan timur ke barat (Agustus-
Oktober) pada tahun 2008 menunjukkan terjadinya kenaikan suhu kembali
menjadi sebesar 29-31 ºC, kondisi ini agak berbeda dengan tahun 2007 yang
berkisar 29-30 ºC. Berdasarkan hasil pengolahan data citra MODIS Aqua tahun
2007-2008 diperoleh nilai klorofil-a perairan Utara Teluk Banten seperti terlihat
pada Gambar 13.
Pada Gambar 13 terlihat bahwa nilai klorofil-a terendah 0,29 mg/m3 pada
bulan April 2007 dan tertinggi 5,06 mg/m3 pada bulan Juli 2008. Tingginya nilai
klorofil ini disebabkan oleh data yang ada di pantai tidak dibersihkan. Suburnya
perairan di daerah pantai karena dipengaruhi oleh pasokan nutrien yang berasal
dari darat melalui aliran sungai yang bermuara ke perairan Teluk Banten, yaitu
sungai Cibanten dan Ciujung serta beberapa sungai kecil. Kondisi ini sama
dengan apa yang terjadi di Teluk Jakarta. Afdal dan Riyono (2008), menyatakan
bahwa eutrofikasi (peningkatan unsur hara/nutrien yaitu fosfat, nitrat dan silikat)
sangat jelas terlihat di depan muara-muara sungai. Konsentrasi klorofil-a
merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan indikator terjadinya
eutrofikasi. Nilai rata-rata klorofil-a pada tahun 2008 adalah 0,38 mg/m3, masih
dikatakan tinggi. Tingginya konsentrasi kolorofil-a ini dipengaruhi oleh terjadinya
pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan perairan melalui berbagai proses
dinamika massa air, diantaranya upwelling, percampuran vertikal massa air serta
pola pergerakkan massa air, yang membawa massa air kaya nutrien dari
perairan sekitarnya. Kandungan klorofil juga sangat dipengaruhi oleh cahaya,
oksigen dan karbohidrat.
Pola sebaran klorofil-a selama tahun 2007-2008 juga hampir sama, hanya
pada bulan Agustus yang cenderung memiliki nilai klorofil-a tinggi. Pada bulan
Mei 2008 terlihat nilai klorofil-a yang sangat kecil yaitu di bawah 1 mg/m3.
102

32.00

31.00

30.00
SPL (oC)

29.00

28.00

27.00

26.00
ei

ei

pt
ar

ar

l
n

n
ov

ov
p
Ju

Ju
Ja

Ja
Se
M

M
M

Se
N

N
2007 2008

Sumber: www.gsfc.nasa.goc (2010)

Gambar 13 Sebaran SPL di Perairan Utara Teluk Banten Tahun 2007-2008.

7.00

6.00

5.00
Klorofil-a (mg/m3)

4.00

3.00

2.00

1.00

0.00
ei

ei
ar

ar
l

l
n

n
ov

ov
p

p
Ju

Ju
Ja

Ja
Se

Se
M

M
M

M
N

2007 2008

Gambar 14 Sebaran Klorofil-a (mg/m3) di Perairan Utara Teluk Banten Tahun


2007 – 2008.
5. HASIL PENELITIAN

5.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap


5.1.1 Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
Berdasarkan analisis estimasi potensi sumberdaya ikan terhadap
kelompok ikan pelagis menggunakan metode surplus production terlihat bahwa
tingkat pemanfaatan ikan teri di atas 80%, menunjukkan peluang pengembangan
sedang. Artinya upaya penangkapan masih dapat ditingkatkan sampai pada
batas MSY. Lima jenis ikan memiliki peluang pengembangan tinggi karena
tingkat pemanfaatannya lebih besar sama dengan 50% dan kurang dari 80%
yaitu ikan lemuru, selar, tenggiri, kembung, dan layang. Kelima jenis ikan yang
lain yaitu belanak, cucut, tembang, cumi-cmi, dan tongkol memiliki peluang
pengembangan sangat tinggi (tingkat pemanfaatan di bawah 50%) (Tabel 11).
Cumi-cumi merupakan jenis ikan pelagis yang memiliki peluang sangat tinggi
untuk dikembangkan, dengan tingkat upaya penangkapan masih sebesar 23,9%.
Pada kelompok ikan demersal yang memilki peluang sangat tinggi untuk
dikembangkan adalah udang, manyung, dan rajungan. Manyung memiliki tingkat
upaya penangkapan di atas 100% menunjukkan bahwa jenis ikan ini bukan
merupakan target penangkapan. Manyung tertangkap dengan dogol, bagan
tancap, payang, dan pancing. Kelompok ikan demersal yang tingkat
pemanfaatannya sudah melebihi 80% adalah ikan kurisi, dan pari (peluang
pengembangan sedang). Beloso, kakap merah, kuwe, ekor kuning, layur, bawal
hitam, dan pepetek merupakan jenis ikan yang memiliki peluang pengembangan
tinggi untuk dikembangkan. Perlu diwaspadai terkait dengan tingkat upaya
penangkapan yang melebihi 100% pada penangkapan ikan kurisi, pari, ekor
kuning, layur, bawal hitam, dan pepetek.
Seluruh jenis ikan pelagis menunjukkan kecenderungan terjadi penurunan
hasil tangkapan apabila jumlah upaya penangkapan (trip) ditambah. Hanya
cumi-cumi yang memiliki kecenderungan relatif stabil (tidak terlalu curam), yang
ternyata tingkat pemanfaatannya paling kecil yaitu sebesar 39,62%. Hubungan
effort dengan CPUE ikan pelagis dapat dilihat pada Gambar 14.
104

Tabel 11 Hasil Analisis Potensi Sumber Daya Ikan (Schaefer) di Teluk Banten

Komponen Peluang
Jenis Ikan C act CMSY EMSY E act TP TU Pengem-
(ton) (ton/th) (trip/th) (trip/th) (%) (%) bangan
Pelagis
Teri 222,77 272,36 4.411 3.110 81,79 70,51 Sedang
Lemuru 27,94 36,28 4.593 2.593 77,01 56,46 Tinggi
Selar 108,82 146,84 2.466 2.642 74,11 107,14 Tinggi
Tenggiri 22,77 35,44 2.250 2.106 64,25 93,60 Tinggi
Kembung 166,39 263,27 7.565 4.416 63,20 58,37 Tinggi
Layang 40,84 76,85 4.686 6.263 53,14 133,65 Tinggi
Belanak 23,19 48,71 5.353 4.705 47,61 87,89 Sangat tinggi
Cucut 8,07 17,11 3.719 3.716 47,17 99,92 Sangat tinggi
Tembang 294,03 633,18 6.103 6.945 46,44 113,80 Sangat tinggi
Cumi-cumi 144,17 363,86 13.731 3.282 39,62 23,90 Sangat tinggi
Tongkol 31,11 82,76 3.779 3.068 37,59 81,19 Sangat tinggi
Demersal ,
Kurisi 116,76 141,22 1.328 1.404 82,68 105,72 Sedang
Pari 15,00 18,43 1.589 1.621 81,39 102,01 Sedang
Beloso 41,51 54,18 1.785 1.543 76,61 86,44 Tinggi
Kakap merah 14,10 18,47 1.612 1.111 76,34 68,92 Tinggi
Kuwe 22,27 29,51 2.130 1.355 75,47 63,62 Tinggi
Ekor kuning 2,20 3,01 523 655 73,09 125,24 Tinggi
Layur 58,36 85,33 1.443 1.752 68,39 121,41 Tinggi
Bawal hitam 6,53 12,52 1.154 1.531 52,16 132,67 Tinggi
Pepetek 447,28 877,54 1.755 2.363 50,97 134,64 Tinggi
Udang 21,09 46,22 6.699 5.541 45,63 82,71 Sangat tinggi
Manyung 23,71 52,97 3.784 4.221 44,76 111,55 Sangat tinggi
Rajungan 62,67 141,90 7.754 6.265 44,16 80,80 Sangat tinggi

Keterangan:
C act: hasil tangkapan aktual; CMSY: produksi pada tingkat MSY; EMSY: upaya
penangkapan pada tingkat MSY; E act: upaya penangkapan aktual; TP: tingkat
pemanfaatan; TU: tingkat upaya penangkapan; kriteria peluang pengambangan: sangat
tinggi jika TP < 50%, tinggi jika 50% ≤ TP < 80%, sedang jika 80% ≤ TP < 100%, dan
rendah jika TP ≥ 100%.

Kondisi sumberdaya ikan demersal juga sama seperti ikan pelagis, pada
Gambar 15 terlihat bahwa dengan penambahan upaya penangkapan
menyebabkan terjadinya penurunan hasil tangkapan. Rajungan merupakan
salah satu komoditi ikan demersal yang memiliki peluang pengembangan sangat
tinggi, karena potensinya yang cukup besar (141,90 ton/th), namun tingkat
pemanfaatannya masih rendah (44,16%). Hanya saja perlu kehati-hatian
mengingat tingkat upaya penangkapan telah melebihi 80%.
105

0.10
0.10 0.25
y = -2E-06x + 0.053
CPUE (ton/trip)

CPUE (ton/Trip)
0.08

CPUE (ton/trip)
y = -5E-06x + 0.0696 0.08 0.20
R2 = 0.0642 y = -2E-05x + 0.2075
R2 = 0.6798
0.06 0.06 0.15 R2 = 0.9365
0.04 0.04 0.10
0.02 0.02 0.05
0.00 0.00 0.00
0 5000 10000 15000 0 2000 4000 6000 8000 0 5000 10000 15000
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Kembung Cumi-cumi Tembang

0.08
0.12 y = -1E-05x + 0.1235 CPUE (ton/trip) 0.15 y = -2E-05x + 0.1191

CPUE (ton/trip)
CPUE (ton/trip)

0.10 R2 = 0.9119 0.06 y = -6E-06x + 0.0438


R2 = 0.9475
0.08 0.10 0.04 R2 = 0.4635
0.06
0.04 0.05 0.02
0.02 0.00
0.00 0.00
0 2000 4000 6000 0 2500 5000 7500 10000
0 5000 10000 -0.02

Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)


Teri Selar Tongkol

0.04 0.02 y = -2E-06x + 0.0158 0.03 y = -7E-06x + 0.0315


y = -3E-06x + 0.0328 R2 = 0.8524
CPUE (ton/trip)

CPUE (ton/trip)

CPUE (ton/trip)

R2 = 0.1347 0.03
0.03 R2 = 0.7666 0.02
0.02
0.02 0.01 0.02
0.01
0.01 0.01
0.01
0.00 0.00 0.00
0 2500 5000 7500 10000 0 2000 4000 6000 0 1000 2000 3000 4000
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Layang Lemuru Tengiri

0.03 y = -2E-06x + 0.0182 0.02


0.02 R2 = 0.6633
CPUE (ton/trip)

y = -1E-06x + 0.0092
CPUE (ton/trip)

0.02
0.02 R2 = 0.4149
0.01
0.01
0.01
0.01
0.00 0.00
0 5000 10000
-0.01 0 2500 5000 7500 10000 12500 -0.01
Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Belanak Cucut

Gambar 15 Hubungan Effort (Trip/Th) dengan CPUE (Ton/Trip) Ikan Pelagis.


106

0.18 0.08 y = -2E-06x + 0.0366 1.20

CPUE (ton/trip)
0.16
R2 = 0.373 1.00

CPUE (ton/trip)
0.14 0.06 y = -0.0003x + 1.0002
CPUE (ton/trip)

0.12 0.80
R2 = 0.8578
0.10 0.04 0.60
0.08
y = -8E-05x + 0.2127 0.02 0.40
0.06
0.04 R2 = 0.8408 0.20
0.02 0.00 0.00
0.00 0 5000 10000 15000 20000 0 1000 2000 3000 4000
-0.02
0 500 1000 1500 2000 2500
Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Effort (trip/th)
Kurisi
Rajungan Pepetek

0.03 0.03 0.03


CPUE (ton/trip)

y = -7E-06x + 0.0232
CPUE (ton/trip)

y = -7E-06x + 0.0229

CPUE (ton/trip)
0.03 0.02 R2 = 0.6645 0.03
0.02 R2 = 0.2316 y = -1E-06x + 0.0138
0.02 0.02
0.02 0.01 R2 = 0.3785
0.02
0.01 0.01 0.01
0.01 0.00 0.01
0.00 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0.00
0 1000 2000 3000 0 2500 5000 7500 10000 12500 15000

Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)


Kakap Merah Pari Udang

y = -4E-05x + 0.1183
0.03 0.10
0.04 y = -6E-06x + 0.0277 R2 = 0.8553
CPUE (ton/trip)

0.03 y = -9E-06x + 0.0217 0.08


CPUE (ton/trip)

CPUE (ton/trip)

0.03 R2 = 0.3465
0.02 R2 = 0.5828 0.06
0.02 0.02
0.04
0.01
0.01 0.02
0.01
0.00 0.00 0.00
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -0.01 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -0.02 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Kuwe Bawal Hitam Layur

0.01
y = -1E-05x + 0.0115 0.04
CPUE (ton/trip)

0.06 y = -2E-05x + 0.0607


0.01 R2 = 0.848
CPUE (ton/trip)

0.05 R2 = 0.9556 y = -4E-06x + 0.028


CPUE (ton/trip)

0.03
0.01 0.04 R2 = 0.7893
0.00 0.03 0.02
0.02 0.01
0.00
0.01
0.00 0.00
0.00
0 250 500 750 1000 1250 0 2500 5000 7500 10000
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -0.01
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Ekor Kuning Beloso Manyung

Gambar 16 Hubungan Effort (Trip/Th) dengan CPUE (Ton/Trip) Ikan Demersal.


107

5.1.2 Model bio-ekonomi (bionomi)


Berdasarkan hasil analisis model Gordon-Schaefer, diperoleh hasil bahwa
beberapa usaha penangkapan ikan pelagis merugi (kondisi aktual), yaitu ikan
belanak, dan cucut. Kondisi ini disebabkan oleh sedikitnya produksi (di bawah
MSY), sedikitnya penerimaan, dan besarnya biaya produksi. Pada satu sisi
upaya penangkapan telah melebihi EMEY dan mendekati EMSY untuk cucut (Tabel
12). Usaha penangkapan cumi-cumi, merupakan usaha penangkapan yang
paling menguntungkan, terbukti dengan keuntungan pada tingkat MEY sebesar
6,94 milyar rupiah yang dicapai pada saat upaya penangkapan sebanyak 13.407
trip dan hasil tangkapan sebesar 363,66 ton. Kondisi ini jauh lebih besar pada
saat kondisi aktual, sehingga usaha penangkapan cumi-cumi masih dapat
ditingkatkan lagi (Gambar 16). Diikuti dengan ikan kembung, teri, tembang, dan
tongkol masing-masing memiliki keuntungan pada tingkat MEY sebesar 4,8
milyar rupiah, 3,64 milyar rupiah, 1,75 milyar rupiah, dan 1,02 milyar rupiah.
Upaya penangkapan pada tingkat open acces, merupakan titik maksimum tidak
dibolehkan melakukan penambahan upaya penangkapan dikarenakan usaha
penangkapan akan merugi (zero rent). Adapun upaya penangkapan pada
tingkat MEY dan MSY merupakan resource rent. Beberapa jenis ikan berada
pada kondisi upaya penangkapan aktual lebih besar dari upaya penangkapan
pada tingkat MEY dan MSY, yaitu tembang, selar, dan layang. Sedangkan
tenggiri dan belanak upaya penangkapan aktualnya lebih besar dari upaya
penangkapan pada tingkat MEY namun lebih kecil pada tingkat MSY (Tabel 12).
MSY=363,86 ton
400 MEY=363,66 ton 8000

350 Phi=Rp6,94 milyar 7000

300 6000
Catch (Ton/th)

250 5000

200 4000

150 3000

100 OA=33,52 ton 2000

50 1000

0 0
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000
Effort (Trip/th)
Cum i-cum i

Catch TR (x1000000) TC (x1000000)

Gambar 17 Grafik Bionomi Cumi-cumi.


108

Tabel 12 Hasil Analisis Ekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Pelagis

Jenis ikan Kriteria Aktual MEY MSY OA


Kembung Produksi (ton) 166,39 262,74 263,27 45,16
Effort (trip) 4.416 7.226 7.565 14.451
Keuntungan (juta Rp) 3.051,80 4.803,18 4.792.57 0
Cumi-cumi Produksi (ton) 144,17 363,66 363,86 33,52
Effort (trip) 3.282 13.407 13.731 26.813
Keuntungan (juta Rp) 2.810,35 6.937,99 6.933,94 0
Tembang Produksi (ton) 294,03 632,16 633,18 97,63
Effort (trip) 6.495 5.858 6.103 11.716
Keuntungan (juta Rp) 708,47 1.750,03 1.746,97 0
Teri Produksi (ton) 222,77 272,34 272,36 9,71
Effort (trip) 3.110 4.371 4.411 8.742
Keuntungan (juta Rp) 2.960.75 3.611.02 3.610.72 0
Selar Produksi (ton) 108,82 146,58 146,84 23,62
Effort (trip) 3.642 2.362 2.466 4.725
Keuntungan (juta Rp) 478,05 673,85 672,56 0
Tongkol Produksi (ton) 31,11 82,01 82,76 28,50
Effort (trip) 3.068 3.420 3.779 6.839
Keuntungan (juta Rp) 274,90 1.016,48 1.000,52 0
Layang Produksi (ton) 40,84 76,54 76,85 18,28
Effort (trip) 6.263 4.388 4.685 8.776
Keuntungan (juta Rp) 333,51 808,73 805,01 0
Lemuru Produksi (ton) 27,94 36,21 36,28 6,19
Effort (trip) 2.593 3.206 4.593 8.776
Keuntungan (juta Rp) 74,88 71,36 66,60 0
Tenggiri Produksi (ton) 22,77 35,28 35,44 8,75
Effort (trip) 2.106 2.101 2.250 4.202
Keuntungan (juta Rp) 551,63 927,15 922,50 0
Belanak Produksi (ton) 23,19 48,45 48,71 13,23
Effort (trip) 4.705 4.961 5.353 9.922
Keuntungan (juta Rp) -59,32 627,54 623,62 0
Cucut Produksi (ton) 8,07 9,21 17,11 14,91
Effort (trip) 3.716 1.192 3.719 2.385
Keuntungan (juta Rp) -151,55 17,59 -61,36 0

Keterangan:
MEY : maximum economic yield
MSY : maximum sustainable yield
OA : open acces

Pada kelompok ikan demersal usaha penangkapan rajungan yang paling


menguntungkan, terbukti dengan keuntungan pada tingkat MEY sebesar 3,36
milyar rupiah, yang dicapai pada saat upaya penangkapan sebanyak 7.547 trip
dan hasil tangkapan sebesar 141,80 ton (Gambar 17). Pada faktanya produksi
rajungan baru sebesar 62,67 ton. Udang juga memperoleh keuntungan cukup
besar. Keuntungan pada tingkat MEY udang dicapai pada saat upaya
penangkapan sebanyak 6.478 trip dan hasil tangkapan sebesar 46,17 ton,
dengan keuntungan sebesar 2,38 milyar rupiah. Usaha penangkapan kuwe juga
menguntungkan, terlihat dari besarnya keuntungan yang diperoleh pada tingkat
109

MEY sebesar 1,24 milyar rupiah yang dicapai pada saat upaya penangkapan
sebanyak 1.422 trip, dan hasil tangkapan sebesar 85, 32 ton (Tabel 13).

Tabel 13 Hasil Analisis Ekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Demersal


Jenis ikan Kriteria Aktual MEY MSY OA
Kurisi Produksi (ton) 116,76 141,00 141,22 21,26
Effort (trip) 1.404 1.276 1.327 2.552
Keuntungan (juta Rp) 315,18 391,11 390,46 0
Rajungan Produksi (ton) 62,67 141,80 141,90 15,08
Effort (trip) 6.265 7.542 7.754 15.085
Keuntungan (juta Rp) 1.410,13 3.356,36 3.353,71 0
Pepetek Produksi (ton) 447,28 877,48 877,54 29,00
Effort (trip) 2.363 1.740 1.755 3.480
Keuntungan (juta Rp) 1.282,77 2.588,94 2.588,76 0
Kakap merah Produksi (ton) 14,10 18,34 18,47 5,60
Effort (trip) 1.111 1.479 1.613 2.959
Keuntungan (juta Rp) 395,86 512,73 508,56 0
Pari Produksi (ton) 15,00 17,84 18,43 10,86
Effort (trip) 1.621 1.304 1.589 2.607
Keuntungan (juta Rp) 49,48 74,44 70,87 0
Udang Produksi (ton) 21,09 46,17 46,22 5,89
Effort (trip) 5.541 6.478 6.699 12.957
Keuntungan (juta Rp) 1.021,43 2.377,56 2.374,81 0
Kuwe Produksi (ton) 22,27 29,37 29,51 7,52
Effort (trip) 1.350 1.985 2.131 3.970
Keuntungan (juta Rp) 650,54 845,25 840,70 0
Bawal hitam Produksi (ton) 6,53 12,51 12,52 1,59
Effort (trip) 1.531 1.116 1.154 2.233
Keuntungan (juta Rp) 190,28 409,95 409,47 0
Layur Produksi (ton) 58,36 85,32 85,33 4,74
Effort (trip) 1.752 1.422 1.443 2.845
Keuntungan (juta Rp) 831,60 1.244,21 1.243,95 0
Ekor kuning Produksi (ton) 2,20 2,86 3,01 2,05
Effort (trip) 655 409,09 522,73 818,19
Keuntungan (juta Rp) 14,06 46,02 42,47 0
Beloso Produksi (ton) 41,51 53,82 54,18 16,38
Effort (trip) 1.543 1.638 1.785 3.276
Keuntungan (juta Rp) 168,98 228,12 226,29 0
Manyung Produksi (ton) 23,71 51,41 52,97 30,14
Effort (trip) 4.221 3.134 3.784 6.268
Keuntungan (juta Rp) 44,42 472,49 452,16 0

Keterangan:
MEY : maximum economic yield
MSY : maximum sustainable yield
OA : open acces

Pada Tabel 13 terlihat bahwa upaya penangkapan yang dilakukan


terhadap beberapa jenis ikan kondisinya telah melebihi upaya penangkapan
pada tingkat MEY dan MSY namun masih di bawah tingkat open acces, yaitu
kurisi, pepetek, pari, bawal hitam, layur, dan manyung. Namun yang menarik
pada pepetek, dan layur adalah keduanya memiliki jumlah produksi aktualnya
110

berada di bawah tingkat MEY dan MSY. Hal ini diduga karena tiga hal. Pertama
adalah jumlah sumber daya ikan di Teluk Banten berkurang, kedua adalah ikan
tidak didaratkan di TPI yang ada di Teluk Banten, dan yang ketiga adalah
produksi ikan tidak tercatat dengan baik (Contoh perhitungan model bionomi
dapat dilihat pada Lampiran 12).

MEY=141,80 ton
MSY=141,90 ton
160 4000
Phi=Rp3,36 milyar
140 3500
120 3000
Catch (Ton/th)

100 2500
80 2000
60 1500
40 OA=15,08 ton 1000
20 500
0 0
0 2500 5000 7500 10000 12500 15000 17500
Effort (Trip/th)
Rajungan

Catch TR (x1000000) TC (x1000000)

Gambar 18 Grafik Bionomi Rajungan.

5.2 Komoditi Unggulan


5.2.1 Model location quotient (LQ)
Berdasarkan hasil perhitungan bionomi terhadap 23 jenis ikan
menunjukkan bahwa hanya 9 jenis ikan yang masih menguntungkan secara
ekonomi dan kondisi upaya penangkapannya belum optimal. Lima jenis dari
sembilan jenis ikan merupakan ikan pelagis dan 4 jenis ikan demersal.
Kesembilan jenis ikan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
model location quotient (LQ) untuk menentukan komoditi unggulan berdasarkan
kriteria jumlah produksi.
Berdasarkan analisis model LQ diperoleh bahwa cumi-cumi, teri, dan
rajungan mendapatkan nilai lebih dari satu (LQ>1). Hal ini menunjukkan bahwa
cumi-cumi, teri, dan rajungan juga memiliki peluang ekspor. Sedangkan keenam
jenis yang lain memiliki nilai LQ<1 (Tabel 14). Kecilnya nilai LQ ini dikarenakan
rendahnya produksi, mengingat yang dijadikan dasar perhitungan LQ adalah
besarnya produksi hasil tangkapan. LQ<1, bukan berarti kebutuhan terhadap
111

kedelapan jenis ikan ini di kawasan Teluk Banten kurang, sehingga perlu suplai
dari daerah lain, namun ketiganya dapat digantikan degan jenis ikan lain yang
cukup beragam jenisnya.

Tabel 14 Nilai LQ Komoditi Unggulan


No. Jenis Ikan Nilai LQ
1 Kembung 0,60
2 Cumi-cumi 2,81
3 Teri 2,00
4 Tongkol 0,15
5 Lemuru 0,83
6 Rajungan 1,70
7 Kakap merah 0,08
8 Udang 0,39
9 Kuwe 0,45

5.2.2 Indeks spesialisasi (IS)


Berdasarkan hasil perhitungan indeks spesialisasi terhadap kesembilan
jenis ikan, diperoleh bahwa delapan jenis ikan memiliki selisih negatif yaitu kurisi,
kembung, tongkol, lemuru, tenggiri, kakap merah, udang, dan kuwe (Tabel 15).
Nilai IS sebesar 0,39 menunjukkan tingkat spesialisasi komoditi unggulan rendah
di kawasan Teluk Banten, ini berarti konsentrasi komoditi unggulan cukup merata
di kawasan Teluk Banten, yaitu cumi-cumi di TPI Karangantu, TPI Terate, dan
TPI Kepuh, teri di TPI Wadas (Bojonegara), rajungan di Karangantu.

Tabel 15 Perhitungan Indeks Spesialisasi Komoditi Unggulan di Kawasan Teluk


Banten

Jenis Prod.Teluk Persen Prod. Prov. Persen


No Komoditi Banten (Ton) (%) Banten (Ton) (%) Selisih IS
1 Kembung 136,32 16,74 4848,80 27,76 -11,02 0.39
2 Cumi-cumi 270,41 33,20 2064,00 11,82 21,38
3 Teri 253,35 31,11 2721,20 15,58 15,53
4 Tongkol 20,28 2,49 2886,10 16,52 -14,03
5 Lemuru 34,32 4,21 883,70 5,06 -0,85
6 Rajungan 49,17 6,04 619,20 3,54 2,49
7 Kakap merah 3,52 0,43 1003,10 5,74 -5,31
8 Udang 24,80 3,04 1376,60 7,88 -4,84
9 Kuwe 22.31 2,74 1064,20 6,09 -3,35
Total produksi 814,47 17.466,90

5.2.3 Deskriptif
Berdasarkan pendekatan secara deskriptif, yang diukur berdasarkan nilai
produksi, harga ikan, wilayah pemasaran, dan nilai tambah maka diperoleh hasil
112

bahwa rajungan, teri, dan cumi-cumi, merupakan tiga jenis ikan yang dapat
dijadikan unggulan (Tabel 16).

Tabel 16 Hasil Skoring Penentuan Komoditi Unggulan di Kawasan Teluk Banten

Nama Nilai
Komoditi Produksi Harga
No. Ikan (Rp 000) FN (Rp) FN WP FN NT FN Total RFN RK
1 Kembung 2.03.,805 0,27 15.000 0,26 1 0,00 1 0,00 0,53 0,13 7
2 Cumi-cumi 7.433.191 1,00 27.000 0,70 2 0,50 1 0,00 2,20 0,55 3
3 Teri 2.102.331 0,28 8.000 0,00 3 1,00 3 1,00 2,28 0,57 2
4 Tongkol 307.643 0,04 15.000 0,26 1 0,00 1 0,00 0,30 0,07 8
5 Lemuru 21.440 0,00 8.000 0,00 1 0,00 1 0,00 0,00 0,00 9
6 Rajungan 1.133.047 0,15 23.000 0,56 3 1,00 3 1,00 2,71 0,68 1
7 Kakap merah 98.084 0,01 28.000 0,74 1 0,00 1 0,00 0,75 0,19 6
8 Udang 674.417 0,09 35.000 1,00 1 0,00 1 0,00 1,09 0,27 4
9 Kuwe 624.114 0,08 28.000 0,74 1 0,00 1 0,00 0,82 0,21 5

Keterangan: FN = fungsi nilai; WP = wilayah pemasaran; NT = nilai tambah; RFN = rataan fungsi nilai;
RK = ranking

Ketiga jenis ikan unggulan tersebut hanya teri yang tingkat


pemanfaatannya di atas 80% (81,79%). Kedua jenis ikan yang lain masih
memiliki peluang pengembangan sangat tinggi dengan tingkat pemanfaatan
sebesar 39,62% untuk cumi-cumi, dan 44,16% untuk rajungan.

5.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan


Seleksi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yang didasarkan
pada sembilan kriteria yang terdapat dalam Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF) dilakukan terhadap delapan unit penangkapan yang digunakan
untuk menangkap komoditi unggulan di Teluk Banten yaitu gill net, dogol, bagan
tancap, bagan perahu, payang, pancing ulur, sero, dan rampus. Alat tangkap
yang termasuk dalam gill net, yang dianalisis hanya jaring rajungan, dengan
pertimbangan bahwa alat tangkap ini hanya ditujukan untuk menangkap
rajungan. Kesembilan kriteria dikelompokkan ke dalam aspek biologi, tenik,
sosial, dan ekonomi.
(1) Aspek biologi
Kriteria yang termasuk pada aspek biologi dalam penentuan teknologi
penangkapan ramah lingkungan terdiri dari alat tangkap tidak merusak
lingkungan, hasil tangkapan bermutu baik, produk tidak membahayakan
konsumen, alat tangkap tidak membahayakan keanekaan sumber daya hayati,
dan alat tangkap tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi undang-undang
atau terancam punah. Berdasarkan metode skoring dengan menggunakan
113

fungsi nilai diperoleh hasil bahwa pancing ulur menempati urutan pertama jenis
teknologi penangkapan ikan yang secara biologi ramah lingkungan. Diikuti oleh
alat tangkap bagan perahu, gill net, payang, rampus, sero, bagan tancap, dan
dogol (Tabel 17).

Tabel 17 Matrik Keragaan Aspek Biologi dari Teknologi Penangkapan


No. Jenis Teknologi TMH FN HTB FN TMK FN BIO FN TMD FN Total RFN RK
1 Gillnet 3 0,67 3 0,5 4 1 3 0,5 4 1 3,67 0,73 3
2 Dogol 1 0 2 0 4 1 2 0 3 0 1,00 0,20 8
3 Bagan Tancap 2 0,33 3 0,5 4 1 2 0 4 1 2,83 0,57 7
4 Bagan Perahu 4 1 3 0,5 4 1 4 1 4 1 4,50 0,90 2
5 Payang 3 0,67 3 0,5 4 1 3 0,5 4 1 3,67 0,73 4
6 Pancing ulur 4 1 4 1 4 1 4 1 4 1 5,00 1,00 1
7 Sero 2 0,33 4 1 4 1 2 0 4 1 3,33 0,67 6
8 Rampus 3 0,67 3 0,5 4 1 3 0,5 4 1 3,67 0,73 5

Keterangan: FN: fungsi nilai; RFN: rataan fungsi nilai; RK: ranking; TMH: tidak merusak habitat;
HTB: hasil tangkapan bermutu baik; TMK: produk tidak membahayakan konsumen; BIO: alat
tangkap tidak membahayakan keanekaan sumber daya hayati; TMD: alat tangkap tidak
menangkap jenis ikan yang dilindungi undang-undang atau terancam punah

(2) Aspek teknik


Kriteria aspek teknik yang dianalisis dalam penentuan teknologi
penangkapan ikan meliputi: (i) selektivitas alat tangkap terhadap jenis ikan; (ii)
tidak membahayakan nelayan yang menangkap ikan; dan (iii) hasil tangkapan
yang terbuang minimum (minimum by-catch). Berdasarkan metode skoring
diperoleh hasil bahwa pancing ulur masih menempati urutan pertama teknologi
penangkapan ikan yang secara teknis ramah lingkungan, diikuti dengan gill net,
rampus, bagan tancap, bagan perahu, sero, payang, dan dogol (Tabel 18).
Pancing ulur merupakan alat tangkap yang paling selektif. Berbeda
halnya dengan dogol, alat tangkap ini menangkap semua jenis ikan yang tersapu
saat dioperasikan. Dogol memiliki tingkat selektivitas yang sangat rendah. Hal ini
terlihat dari beragamnya jenis ikan yang tertangkap, tidak hanya ikan demersal
namun juga ikan pelagis. Selektivitas rendah menunjukkan bahwa hasil
tangkapan sampingan (by-catch) tinggi (Tabel 18).

(3) Aspek sosial


Kriteria aspek sosial yang dianalisis dalam penentuan teknologi
penangkapan adalah tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan jumlah
tenaga kerja yang terserap. Berdasarkan hasil analisis dengan metode skoring
114

menunjukkan bahwa bagan perahu menempati urutan pertama, diikuti dengan


payang, pancing ulur, gill net, rampus, dogol, bagan tancap, dan sero (Tabel 19).

Tabel 18 Matrik Keragaan Aspek Teknik dari Teknologi Penangkapan


Jenis
No. Teknologi SLT FN TMN FN MBC FN Total RFN RK
1 Gillnet 3 0,67 4 1 3 0,67 2,33 0,78 2
2 Dogol 1 0 3 0 1 0 0,00 0 8
3 Bagan Tancap 2 0,33 4 1 2 0,33 1,67 0,56 5
4 Bagan Perahu 2 0,33 4 1 2 0,33 1,67 0,56 4
5 Payang 2 0,33 3 0 2 0,33 0,67 0,22 7
6 Pancing ulur 4 1 4 1 4 1 3,00 1 1
7 Sero 1 0 4 1 2 0,33 1,33 0,44 6
8 Rampus 3 0,67 4 1 2 0,33 2,00 0,67 3
Keterangan: FN: fungsi nilai; RFN: rataan fungsi nilai; RK: ranking; SLT: selektif terhadap jenis ikan hasil
tangkapan; TMN: tidak membahayakan nelayan yang menangkap ikan; MBC: minimum by catch:

Tabel 19 Matrik Keragaan Aspek Sosial dari Teknologi Penangkapan


No. Jenis Teknologi TBP FN JTK FN Total RFN RK
1 Gill net 4 1 3 0,29 1,29 0,64 4
2 Dogol 1 0 8 1 1 0,50 6
3 Bagan Tancap 4 1 1 0 1 0,50 7
4 Bagan Perahu 4 1 5 0,57 1,57 0,79 1
5 Payang 3 0,67 7 0,86 1,52 0,76 2
6 Pancing ulur 4 1 4 0,43 1,43 0,71 3
7 Sero 4 1 1 0 1 0,50 8
8 Rampus 4 1 3 0,29 1,29 0,64 5
Keterangan: FN: fungsi nilai; RFN: rataan fungsi nilai; RK: ranking; TBP: tidak bertentagan dengan peraturan
yang ada; JTK: jumlah tenaga kerja yang terserap

(4) Aspek ekonomi


Kriteria aspek ekonomi yang dianalisis dalam penentuan teknologi
penangkapan meliputi: (i) biaya investasi murah; dan (ii) usaha menguntungkan
secara ekonomi (profitable). Berdasarkan hasil metode skoring, memperlihatkan
bahwa dogol merupakan alat tangkap yang paling menguntungkan secara
ekonomi, diikuti sero, bagan tancap, bagan perahu, payang, pancing ulur, gill net,
dan rampus (Tabel 20).
Berdasarkan evaluasi aspek terhadap aspek biologi, teknik, sosial, dan
ekonomi, urutan pertama alat tangkap yang paling ramah lingkungan adalah
pancing ulur. Urutan kedua dan ketiga secara berturut-turut adalah bagan
perahu, dan gill net (Tabel 21).
115

Tabel 20 Matrik Keragaan Aspek Ekonomi dari Teknologi Penangkapan


No Jenis Inves- FN Keun- FN Nilai FN PP FN Total RF R
Teknologi tasi (Rp tungan R/C FN N K
000) (Rp 000)

1 Gillnet 14.200 0,06 26.124 0,05 2,92 0,06 0,54 1,00 1,16 0,29 7

2 Dogol 140.000 1 525.733 0,85 1,75 0,02 0,27 0,97 2,85 0,71 1

3 Bagan Tancap 6.000 0 617.100 1 24,38 0,67 0,01 0,95 2,62 0,65 3

4 Bagan Perahu 88.080 0,61 344.307 0,56 3,54 0,08 0,26 0,97 2,22 0,55 4

5 Payang 87.200 0,61 304.100 0,49 2,84 0,06 0,29 0,97 2,13 0,53 5

6 Pancing ulur 36.960 0,23 428.540 0,70 3,03 0,06 0,09 0,95 1,94 0,49 6

7 Sero 10.000 0,03 253.700 0,41 35,75 1 0,04 0,95 2,39 0,60 2

8 Rampus 19.000 0,10 -2.050 0 0,92 0 -9,27 0 0,10 0,02 8

Keterangan: R/C = Revenue Cost Ratio; PP = payback periode; FN: fungsi nilai; RFN: rataan fungsi nilai;
RK: ranking

Tabel 21 Jenis Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan di Teluk Banten

No. Jenis Teknologi Bio Tek Sos Eko Total RFN RK


1 Gillnet 0,73 0,78 0,64 0,40 2,55 0,64 3
2 Dogol 0,20 0,00 0,50 0,72 1,42 0,36 8
3 Bagan Tancap 0,57 0,56 0,50 0,64 2,26 0,57 5
4 Bagan Perahu 0,90 0,56 0,79 0,60 2,84 0,71 2
5 Payang 0,73 0,22 0,76 0,58 2,30 0,57 4
6 Pancing ulur 1,00 1,00 0,71 0,51 3,22 0,81 1
7 Sero 0,67 0,44 0,50 0,65 2,26 0,56 6
8 Rampus 0,73 0,67 0,64 0,02 2,07 0,52 7

Keterangan: Bio: aspek biologi; Tek: aspek teknik; Sos: aspek sosial; Eko: aspek
ekonomi; RFN: rataan fungsi nilai; RK: ranking.

Evaluasi keberlanjutan usaha perikanan tangkap terhadap kedelapan


jenis alat tangkap berdasarkan ketentuan total allowable catch menunjukkan
bahwa pancing ulur tingkat pengupayaannya masih sangat rendah yaitu sebesar
33,64%. Pancing ulur walaupun tidak dapat digunakan untuk menangkap tiga
jenis komoditi unggulan (rajungan, teri, dan cumi-cumi), namun dapat
dioptimalkan untuk menangkap kembung, kakap merah, dan kuwe. Bagan
perahu, karena bukan merupakan alat tangkap standar belum teridentifikasi
besarnya tingkat pengupayaannya (baru terdata tahun 2009), namun memiliki
peluang cukup besar untuk dikembangkan, terutama untuk menangkap teri, dan
cumi-cumi. Tingkat pengupayaan gill net sebesar 38,21%, dapat dioptimalkan
untuk menangkap rajungan. Ketiga jenis alat tangkap ini merupakan alat tangkap
116

yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta dapat dimanfaatkan untuk


menangkap ikan komoditi unggulan.

5.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten


5.4.1 Review tata ruang
Berdasarkan RTRW Provinsi Banten 2010-2030 (Perda Provinsi Banten
no. 2 tahun 2011), Kabupaten dan Kota Serang masuk ke dalam wilayah kerja
pembangunan (WKP II) bersama dengan Kota Cilegon yang diarahkan untuk
pengembangan kegiatan pemerintahan, pendidikan, kehutanan, pertanian,
industri, pelabuhan, pergudangan, pariwisata, jasa, perdagangan, dan
pertambangan. Kebijakan dan strategi penataan ruang daerah meliputi
kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang; pola ruang kawasan
lindung; pola ruang kawasan budi daya; kawasan laut, pesisir, dan pulau-pulau
kecil; serta kawasan strategis. Struktur ruang Provinsi Banten direncanakan
sebagai (1) penghubung antara Pulau Jawa bagian barat dengan Pulau
Sumatera; (2) menetapkan Banten sebagai simpul transportasi nasional (pusat
penyebaran primer) Bandara Soekarno-Hatta dan pelabuhan internasional
Bojonegara sebagai kesatuan sistem dengan Tanjung Priok (DKI Jakarta); dan
(3) menetapkan pusat kegiatan nasional (PKN): Tangerang, Tangerang Selatan,
Serang dan Cilegon, dan pusat kegiatan wilayah (PKW): Rangkasbitung, dan
Pandeglang.
Pola ruang kawasan budi daya meliputi: (1) kawasan peruntukan hutan
produksi; (2) kawasan peruntukan pertanian; (3) kawasan peruntukan
perkebunan; (4 kawasan peruntukan perikanan; (5) kawasan peruntukan
pertambangan; (6) kawasan peruntukan industri; (7) kawasan peruntukan
pariwisata; (8) kawasan peruntukan permukiman. Pola ruang kawasan budi daya
dikategorikan sebagai kawasan perkotaan dengan luas mencapai kurang lebih
152.651 Ha (17,65%) dari luas Daerah. Penetapan kawasan strategis dari sudut
kepentingan pertumbuhan ekonomi diarahkan pada: (1) kawasan strategis
nasional meliputi: Kawasan Selat Sunda, dan Kawasan perkotaan
jabodetabekpunjur khususnya Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan
Kabupaten Tangerang; (2) kawasan strategis provinsi diantaranya adalah
kawasan strategis ekonomi Bojonegara di Kabupaten Serang; Banten Water
Front City di Kota Serang; kawasan Sport City di Kota Serang; dan KP3B
(Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten) di Kota Serang.
117

Berdasarkan Perda Kabupaten Serang no. 2 tahun 2009 tentang tata


ruang wilayah Kabupaten Serang tahun 2009-2029, wilayah perencanaan tata
ruang dalam RTRW Kabupaten Serang adalah daerah dalam pengertian wilayah
administrasi yang meliputi dua puluh delapan kecamatan, tiga kecamatan
diantaranya berada di pesisir Teluk Banten yaitu: Kecamatan Bojonegara,
Kecamatan Pulo Ampel, dan Kecamatan Kramatwatu. Penataan ruang wilayah
kabupaten bertujuan untuk mewujudkan:
1) Perkembangan antara wilayah secara sinergis dan berkelanjutan sesuai
potensi dan fungsi masing-masing wilayah;
2) Optimalisasi pemanfaatan ruang sesuai daya dukung lahan melalui
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam, sumber daya buatan
dengan memperhatikan sumber daya manusia;
3) Pemanfaatan ruang yang berkualitas serta keterpaduan antara
pembangunan infrastruktur wilayah dengan pusat-pusat pelayanan
perkotaan dan perdesaan;
4) Kepastian hukum dalam berinvestasi pada berbagai sektor pembangunan;
5) Keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka
mempertahankan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Kebijakan pengembangan sentra kewilayahan untuk kawasan
pengembangan Serang Utara menetapkan:
1) Kawasan Kecamatan Pontang sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);
2) Sebagian Kecamatan Pontang, Kecamatan Tirtayasa dan Kecamatan
Tanara sebagai kawasan pengembangan pelabuhan, pertanian dan
perikanan;
3) Pengembangan pertanian lahan basah;
4) Pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau di perairan teluk Banten;
5) Pengembangan Pusdiklat;
6) Pengembangan pariwisata;
7) Pengembangan konservasi dan rehabilitasi pantai;
8) Pengembangan perikanan dan ternak unggas;
9) Pengembangan agro industri dan industri perikanan;
10) Pengembangan pemukiman.
Kebijakan Sentra Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bojonegara, antara lain
menetapkan:
118

1) Kawasan Bojonegara sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN);


2) Pengembangan pusat pelabuhan samudera;
3) Pengembangan industri logam dasar, kimia, mesin dan rancang bangun;
4) Pengembangan jasa dan perdagangan;
5) Pengembangan permukiman;
6) Pengembangan pertanian lahan kering dan kehutanan.
Strategi pengembangan sentra kewilayahan kawasan pengembangan
Serang Utara, antara lain:
1) Mengembangkan pelabuhan, pertanian dan perikanan;
2) Peningkatan pengelolaan pulau-pulau di perairan Teluk Banten;
3) Pengembangan pusdiklat, pariwisata dan konservasi serta rehabilitasi
pantai;
4) Mengembangkan perikanan dan ternak unggas;
5) Peningkatan agro-industri dan industri perikanan;
6) Pemerataan pemukiman.
Adapun strategi sentra Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bojonegara, antara lain:
1) Menetapkan kawasan Bojonegara sebagai Pusat Kegiatan Nasional
(PKN);
2) Meningkatkan keterkaitan antar kota, baik secara fungsional dengan
mengembangkan fungsi pelayanan kota yang terintegrasi satu sama lain
maupun secara spasial dengan meningkatkan aksesibilitasnya terutama
melalui pengembangan prasarana perhubungan;
3) Mengembangkan pusat pelabuhan samudera;
4) Mengembangkan dan meningkatkan zona industri logam dasar, kimia,
mesin dan rancang bangun;
5) Mengarahkan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan skala
regional dan skala wilayah;
6) Menjaga kelestarian hutan.
Strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan budi daya terkait
dengan pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan dilaksanakan dengan
mewujudkan kesinambungan (keberlanjutan) pemanfaatan ruang kawasan
pesisir, mengembangkan wilayah pesisir sesuai dengan karakteristik wilayah
pesisir, mengendalikan pembangunan di wilayah pesisir untuk menjaga
kelestarian ekosistem alamiah pesisir, meningkatkan peran serta mengembalikan
kondisi rona lingkungan wilayah pesisir yang rusak agar fungsi ekologisnya dapat
119

berjalan secara optimal. Kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan


ekonomi adalah kawasan strategis Bojonegara, kawasan strategis Teluk Banten,
kawasan strategis Serang Utara, kawasan strategis Serang Timur dan kawasan
strategis Serang Barat.
Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan sempadan pantai adalah:
1) Pantai di Serang Barat dan Serang Utara jarak sempadan pantai adalah
100 (seratus) meter;
2) Untuk pantai yang berbatasan langsung dengan jurang (tebing), jarak
sempadan pantai mengikuti ketentuan sempadan jurang;
3) Kegiatan pemanfaatan kawasan sempadan pantai diarahkan untuk
mempertahankan fungsi lindung kawasan (konservasi);
4) Kepemilikan lahan yang berbatasan dengan pantai diwajibkan
menyediakan ruang terbuka publik (public space) minimal 3 (tiga) meter
sepanjang garis pantai untuk jalan inspeksi dan/atau taman telajakan
dengan batas ketinggian pagar maksimal 1,5 meter.
Ketentuan peraturan zonasi pada kawasan peruntukan kegiatan perikanan
dimaksudkan untuk: 1) Peningkatan produktifitas perikanan; 2) Meningkatkan
sarana dan prasarana perikanan; 3) Pengembangan budi daya perikanan laut
dan darat melalui budi daya di sawah dan di kolam air; 4) Pengembangan
kegiatan perikanan tradisional penunjang pariwisata; dan 5) Pengembangan
kegiatan perikanan skala menengah/besar. Adapun terkait dengan ketentuan
peraturan zonasi pada kawasan peruntukan pariwisata adalah sebagai berikut:
1) Pengembangan kawasan pariwisata harus tetap memperhatikan
kelestarian ekosistem kawasan pesisir;
2) Pengembangan kawasan pariwisata harus tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lindung;
3) Peningkatan kualitas pariwisata agar terwujud “pariwisata berkualitas”;
4) Mengendalikan pertumbuhan sarana dan prasarana pariwisata;
5) Pengembangan kawasan pariwisata didukung oleh pengembangan
kawasan penunjang pariwisata serta obyek dan daya tarik wisata;
6) Optimalisasi pemanfaatan lahan-lahan tidur yang sementara tidak
diusahakan.
Berdasarkan RTRW Kota Serang tahun 2008-2028, strategi
pengembangan dan peran Kota Serang diarahkan kepada terwujudnya fungsi
primer dan sekunder, yaitu sebagai: (1) pusat pemerintahan provinsi, (2) pusat
120

pemerintahan Kota Serang, (3) pusat pendidikan, seni dan olah raga, (4) pusat
budaya dan pariwisata, (5) pusat transportasi regional, (6) pusat perdagangan
dan jasa skala regional. Kota Serang sebagai fungsi sekunder, yaitu: (1)
permukiman/perumahan perkotaan, dan (2) pusat pelayanan fasilitas perkotaan
(perdagangan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, olah raga dan peribadatan).
Rencana pola ruang kawasan budidaya meliputi rencana pola ruang kawasan
budidaya non terbangun dan kawasan budidaya terbangun. Berdasarkan jenis
kegiatan fungsional kota, rencana pola uang kawasan budidaya non terbangun di
Kota Serang, adalah: (1) pertanian; (2) perkebunan; (3) perikanan, rencana
pemanfaatan ruang kawasan perikanan budidaya diarahkan tersebar di wilayah
Pantai Utara Kasemen, yaitu di Desa Sawah Luhur, sedangkan untuk perikanan
tangkap diarahkan untuk pengembangan Kawasan Pelabuhan Karangantu; (4)
pertambangan. Rencana pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya terbangun,
terdiri dari:
(1) permukiman;
(2) perkantoran/perumahan;
(3) perdagangan/jasa;
(4) pendidikan;
(5) kesehatan;
(6) industri;
(7) pariwisata dan rekreasi, diantaranya:
(i) mengarahkan Desa Banten Kecamatan Kasemen sebagai kawasan
wisata cagar budaya dan cagar alam serta kawasan konservasi;
(ii) mengarahkan Desa Banten dan Desa Sawah Luhur Kecamatan Kasemen
sebagai kawasan wisata pantai;
(iii) mengarahkan Desa Banten, Desa Kasunyatan, Desa Margaluyu
Kecamatan Kasemen sebagai kawasan konservasi bangunan dengan
melestarikan bangunan tua dan bersejarah.
Berdasarkan pengamatan di lapangan pemanfaatan lahan di sekitar Teluk
Banten (wilayah darat) diperuntukkan bagi budidaya lahan basah, dan
permukiman (Gambar 19). Peta pola ruang pesisir Teluk Banten dapat dilihat
pada Gambar 20.
121

Gambar 19 Peta Eksisting Tutupan Lahan Pesisir Teluk Banten.


122

Gambar 20 Peta Pola Ruang Kawasan Pesisir Teluk Banten.


123

Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui


penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya
dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan
dalam ekosistem pesisir. Kawasan laut Teluk Banten sendiri saat ini
dimanfaatkan oleh berbagai kegiatan, yaitu perikanan budidaya, pariwisata,
pelabuhan, industri, rehabilitasi terumbu karang, dan perikanan tangkap, seperti
terlihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Peta Zonasi Umum Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten.


124

5.4.2 Zona perikanan budidaya


Zona perikanan budidaya merupakan salah satu zona dari kawasan
pemanfaatan umum. Di Teluk Banten zona perikanan budidaya meliputi sub
zona rumput laut, karamba jaring apung (budidaya kerapu), dan pertambakan.
Sub zona rumput laut terdapat di sebelah selatan sampai barat P. Panjang
(Lampiran 21). Rumput laut yang banyak dibudidayakan di P. Panjang adalah
jenis Eucheuma cottonii. Wilayah pesisir bagian selatan P. Panjang banyak
ditumbuhi rumput laut karena mempunyai perairan yang tenang, kecuali wilayah
pesisir utara karena mempunyai gelombang yang besar akibat pengaruh Laut
Jawa. Saat ini jumlah rumah tangga pembudidaya rumput laut sebanyak 167
orang, dengan produksi sebesar 6.012.000 kg/tahun, dan harga rumput laut
Rp2.500/kg.
Pulau Panjang secara fisik mempunyai letak yang strategis karena
berdekatan dengan Bojonegara dan terletak di Teluk Banten, sebelah utara
pulau dibatasi oleh Laut Jawa. Pengaruh gelombang laut yang disebabkan
pengaruh kedua wilayah itu berdampak pula pada P. Panjang. Abrasi pantai di
P. Panjang bisa mencapai lebih kurang 3 ha akibat adanya gelombang besar.
Budidaya perikanan dengan menggunakan sistem Karamba Jaring Apung
(KJA) berada di bagian pesisir timur P. Panjang yaitu perairan yang berada di
sekitar P. Semut dimana kawasan tersebut berdekatan dengan kawasan
konservasi karang. Luas area KJA adalah 32,28 ha dan budidaya rumput laut
73,25 ha. Kawasan budidaya perikanan lainnya adalah kawasan pertambakan
seluas 2.191,91 ha yang berada di Kecamatan Pontang (Desa Domas) dan
Tirtayasa. Kecamatan Pontang, Tirtayasa dan Tanara direncanakan menjadi
kawasan minapolitan Kabupaten Serang.

5.4.3 Zona pariwisata


Berdasarkan pengamatan, kawasan wisata bahari di Teluk Banten belum
ada. Kawasan pariwisata saat ini adalah daerah konservasi Pulau Burung, yang
berada di daerah pesisir. Berbeda dengan daerah lain yang sudah terkenal yaitu
Anyer, Carita, Karang Bolong, dan Tanjung Lesung, yang merupakan daerah
wisata pantai di wilayah Provinsi Banten. Namun demikian di Teluk Banten
terdapat beberapa potensi yang dapat dijadikan tempat wisata pantai yaitu pasir
putih di sebelah barat P. Panjang, dan di P. Tarahan (depan P. Panjang) yang
berada di sebelah timur sampai dengan selatan pulau, serta memiliki air yang
125

jernih. Transportasi menuju Pulau Tarahan sangat mudah, sehingga mendukung


keberadaan pulau ini sebagai alternatif lokasi wisata.
Beberapa lokasi memiliki potensi cukup baik untuk dijadikan sebagai
taman laut (sea garden) berupa diving area atau snorkling area. Di sekitar P.
Panjang juga terdapat beberapa pulau kecil yang masih belum dimanfaatkan
potensinya secara maksimal. Namun sampai saat ini, lokasi tersebut belum
dijadikan sebagai obyek wisata yang serius oleh pemerintah daerah setempat,
padahal P. Panjang juga memiliki produk yang dapat dijadikan oleh-oleh
wisatawan yaitu dodol rumput laut. Jenis rekreasi potensial yang dapat
dikembangkan adalah mina wisata, memancing ataupun berlayar mengelilingi
pulau. Lokasi wisata lainnya adalah daerah konservasi terumbu karang yang
dapat dijadikan lokasi diving. Sarana transportasi menuju P. Panjang juga
mudah, yaitu melalui Grenyang (Bojonegara) setiap hari ada kapal penumpang
yang menuju P. Panjang. Pulau Tunda juga merupakan pulau berpenghuni yang
dapat dijadikan lokasi wisata berupa penyelaman, hanya jalur transportasi umum
menuju lokasi belum tersedia. Selama ini penduduk P. Tunda menggunakan
kapal nelayan untuk menumpang menuju kota yaitu lewat Kasemen Karangantu.

5.4.4 Zona pelabuhan


Pada pesisir Teluk Banten terdapat dua jenis pelabuhan, yang pertama
adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu, dan Pelabuhan
Samudera Niaga di Bojonegara (masih direncanakan pembangunannya). PPN
Karangantu mulai berubah status yang semula Pelabuhan Perikanan Pantai
(PPP) Karangantu menjadi PPN sejak tanggal 30 Desember 2010, yaitu dengan
diterbitkannya peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. PER.29/Men/
2010 tentang perubahan kedua atas peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. PER.06/Men/2007 tentang organisasi dan tata kerja pelabuhan perikanan.
PPN Karangantu berada pada Desa Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang.
Berdasarkan rencana pemerintah Kota Serang tentang pembangunan Waterfront
City, Desa Banten Karangantu dijadikan kawasan potensial yaitu zona inti
kawasan pusat pengembangan (KPP) Banten Lama dan Karangantu. Salah satu
arahan fungsi KPP Banten Lama dan Karangantu adalah dijadikan kawasan
pariwisata dan Pelabuhan Perikanan Nusantara. Dengan demikian PPN
Karangantu akan didukung sarana prasarana agar bisa menopang ekonomi kota
Serang, walaupun secara organisasi PPN Karangantu di bawah pengelolaan
DKP Pusat. Jalur transportasi yang dipersiapkan adalah (1) jalan poros nasional
126

Kasemen-Banten Lama; (2) jalan poros provinsi Kasemen-Sport Area-


Karangantu.

5.4.5 Zona Industri


Pusat pengembangan kegiatan industri di wilayah Kabupaten Serang
adalah di Kawasan Bojonegara (Lampiran 24) dan di Serang Timur khususnya di
wilayah Cikande. Zona Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bojonegara meliputi
area yang luasnya sekitar 6.399,5 ha. Zona ini menampung 147 perusahaan
yang bergerak di bidang industri mesin logam dasar, industri kimia, industri
maritim dan pelabuhan.
Bersarkan pola ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW Provinsi
Banten 2010-2030, zona industri direncanakan disepanjang pesisir Teluk Banten
(Gambar 20). Keadaan ini akan berdampak pada aktivitas perikanan yang ada di
kawasan Teluk. Resiko terjadinya pencemaran semakin besar, mengingat
limbah industri semuanya dibuang ke perairan Teluk Banten. Hal ini akan
berakibat kepada kelangsungan hidup biota yang ada di laut.

5.4.6 Rehabilitasi terumbu karang


Terumbu karang terdapat di sekitar Teluk Banten terdapat pada
kedalaman antara 4-6 m. Kawasan rehabilitasi terumbu karang di sekitar Pulau
Panjang, Pulau Kubur, dan Pulau Pamujan. Jenis-jenis karang yang dijumpai
didominasi oleh bentuk-bentuk masif dengan polip yang besar dan bentuk daun
(foliose). Kondisi ini diduga disebabkan oleh keruhnya perairan oleh sedimentasi
yang tinggi (DKP Kabupaten Serang 2009). Pada kawasan terumbu karang
ditemukan berbagai jenis ikan karang baik ikan konsumsi maupun ikan hias.
Jenis-jenis ikan karang tersebut diantaranya adalah kakap (Plectorhynchus
celebicus), ekor kuning (Caesio spp), kerapu (Ephinephelus), kepe-kepe
(Chaetodon ornatissimus), dakocan (Dascyllus sp), dan keling (Thalossoma
lunare).
Beberapa biota laut lain yang memiliki nilai penting dijumpai di sekitar
pulau Kubur dan Pulau Pamujan yaitu jenis kerang Perighlypta clathrata yang
hidup di daerah pasir di sekitar terumbu karang. Selain itu juga terdapat kerang
Kima (Tridacna Spp.) yang dijumpai di beberapa lokasi seperti di Pulau Kubur,
Pulau Panjang, dan Pulau Tunda.
127

5.4.7 Zona perikanan tangkap


Penentuan zona perikanan tangkap didasarkan pada hasil survei daerah
penangkapan tiap jenis alat tangkap di kawasan Teluk Banten, dan
dikombinasikan dengan hasil perhitungan indeks musim penangkapan serta
wawancara dengan nelayan. Penataan daerah penangkapan dalam rangka
pengembangan kawasan perikanan tangkap tetap memperhatikan ketersediaan
sumberdaya ikan, kelayakan daerah penangkapan tiap jenis alat tangkap, dan
pemanfaatan ruang bersama antar alat tangkap sehingga dapat meminimalisir
konflik antar alat tangkap.

(1) Indikator dan kriteria zonasi perikanan tangkap


Penyusunan zonasi perikanan tangkap didasarkan pada kelayakan
daerah penangkapan (kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan sumber
daya ikan) tiap jenis alat tangkap, kesesuaian alat tangkap dengan lokasi
penangkapan, peluang konflik kecil, ketersediaan sarana prasarana, dan adanya
daya dukung lingkungan (Tabel 22).

(2) Musim dan daerah penangkapan


Musim dan daerah penangkapan merupakan salah satu indikator
kelayakan daerah penangkapan ikan.

(i) Musim penangkapan


Secara umum penangkapan di Indonesia dikelompokkan ke dalam musim
barat (Desember-Februari), musim peralihan satu (Maret-Mei), musim timur
(Juni-Agustus), dan musim peralihan dua (September-November). Berdasarkan
hasil perhitungan terhadap indeks musim penangkapan, diperoleh hasil bahwa
puncak musim penangkapan cumi-cumi pada bulan April dan ikan layang pada
bulan November, hal ini ditunjukkan dengan indeks musim penangkapan cumi-
cumi 297 sedangkan ikan layang 300. Pada Lampiran 22 terlihat bahwa selama
bulan Desember rata-rata beberapa jenis ikan pelagis memiliki indeks musim
penangkapan di atas 100, hanya cumi-cumi, lemuru, dan cucut yang di bawah
100. Hal ini menunjukkan bahwa pada bulan Desember untuk ketiga jenis ikan
tersebut bukan merupakan musim penangkapan. Musim puncak, sedang, dan
paceklik untuk ikan pelagis di perairan Teluk Banten dapat dilihat pada Tabel 23.
128

Tabel 22 Indikator dan Kriteria Penentuan Zonasi Perikanan Tangkap

No Indikator Kriteria teknis


1. Kelayakan daerah penangkapan
ikan:
i) lingkungan perairan mendukung  Suhu penyebaran ikan antara 29-
31ºC, dan pada saat puncak musim
penangkapan antara 29-30ºC;
 Kandungan klorofil-a sekitar 0,6
mg/m3;
ii) ketersediaan sumberdaya ikan  Tingkat pemanfaatan sumber daya
ikan lebih kecil dari TAC, yaitu
maksimal 70% dari nilai MSY
2. Kesesuaian alat tangkap dengan Alat tangkap menangkap ikan sesuai
lokasi penangkapan dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan
(SIPI)
3. Peluang konflik kecil  Pemanfaatan zona yang telah
ditetapkan sesuai dengan
peruntukan;
 Harus diperkuat dengan peraturan
resmi dari Pemerintah Daerah
setempat;
 Nelayan andong tidak
diperkenankan masuk;
 Kesadaran nelayan;
 Pengawasan antar pengguna zona.
4. Ketersediaan sarana prasarana  Penunjang produksi (pelabuhan
perikanan atau tempat pendaratan
ikan, toko alat tangkap, fasilitas
docking kapal);
 Pengolahan (industri pengolah,
suplai es);
 Pemasaran (sarana transportasi,
daerah pasar).
5. Adanya daya dukung lingkungan  Tingkat pencemaran lingkungan
perairan di bawah batas ambang
yang telah ditetapkan;
 Kebijakan pemerintah yang
komprehensif (kebijakan lintas
sektor)

Pada Tabel 23 terlihat bahwa musim puncak penangkapan terjadi pada


bulan November sampai dengan Februari untuk ikan kembung, dan teri, diikuti
cumi-cumi pada bulan Februari sampai dengan April. Musim puncak
penangkapan terjadi lagi pada bulan Maret sampai dengan Juli untuk ikan kurisi,
April sampai dengan Juni untuk kembung, dan Mei sampai dengan Juli untuk teri.
Tongkol memiliki puncak musim penangkapan terpanjang, terjadi pada bulan
November sampai dengan Juni, sedangkan puncak musim penangkapan
129

terpendek adalah cumi-cumi. Secara umum, kondisi musim sedang terjadi pada
bulan Juli dan Agustus (musim timur), sedangkan musim paceklik terjadi pada
bulan September-Oktober (musim peralihan dari timur ke barat), kecuali teri, dan
tenggiri yang tidak mengalami musim paceklik. Nelayan sendiri menyampaikan
bahwa ikan tembang dan layang terdapat pada bulan November hingga April,
ikan teri pada bulan Agustus hingga Oktober.

Tabel 23 Musim Penangkapan Ikan Pelagis


IMP pada Bulan
Jenis Ikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kembung
Cumi-cumi
Tembang
Teri
Selar
Layang
Tongkol
Lemuru
Tenggiri
Belanak
Cucut

Keterangan:
: puncak : sedang : paceklik

Pada saat musim peralihan timur ke barat yaitu pada bulan Oktober
merupakan musim penangkapan layur, ekor kuning, dan beloso. Bulan
November sampai dengan Februari merupakan musim puncak penangkapan
rajungan, dan kuwe, sedangkan ikan kakap merah pada bulan November sampai
dengan Januari. Pada saat awal musim barat yaitu bulan Desember, hampir
semua jenis ikan demersal banyak tertangkap (IMP>100) kecuali udang dan
beloso (Lampiran 23).
Berdasarkan wawancara dengan nelayan, musim ikan kuwe, kakap
merah, manyung, dan cucut pada bulan Desember-Januari, pari pada bulan
Desember-April, dan ikan pepetek ditemukan di seluruh bulan. Adapun musim
puncak, sedang, dan paceklik tiap jenis ikan demersal dapat dilihat pada Tabel
24.
Pada Tabel 24 terlihat bahwa layur, beloso, dan manyung merupakan
ikan yang ditemukan sepanjang tahun. Musim paceklik tiap jenis ikan juga
berbeda, ikan ekor kuning memiliki musim paceklik terlama yaitu lima bulan
(Februari-Juni).
130

Tabel 24 Musim Penangkapan Ikan Demersal


IMP pada Bulan
Jenis Ikan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kurisi
Rajungan
Pepetek
Kakap merah
Pari
Udang
Kuwe
Bawal
Layur
Ekor kuning
Beloso
Manyung

Keterangan:
: puncak : sedang : paceklik

(ii) Daerah penangkapan (fishing ground)


Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, perairan sekitar Pulau
Tunda dan Pulau Panjang dimanfaatkan oleh nelayan bottom set gill net, dogol,
payang, pancing ulur, dan rampus. Bagan tancap hanya ditemukan di perairan
sekitar Pulau Panjang, sedangkan drift gill net, dogol, dan sero memanfaatkan
bersama perairan sekitar Pulau Pamujan Besar (Tabel 25 dan Gambar 22).
Penyebaran daerah penangkapan drift gill net (jaring milenium dan
puslon) cukup luas dibandingkan denga alat tangkap yang lain, hal ini didukung
dengan kemampuan kapal yang memadai (kapal motor berukuran 15 x 3 x 3 m).
Berdasarkan wawancara dengan pemilik alat tangkap, jaring milenium belum
lama dioperasikan, mulai digunakan pada saat terjadi pelarangan lampara dasar
(sebagai alat tangkap alternatif).
Tingkat pemanfaatan daerah penangkapan ikan oleh tiap jenis alat
tangkap beragam. Daerah penangkapan ikan yang hanya dimanfaatkan oleh
satu jenis alat tangkap adalah perairan sekitar Anyer, Pulau Sangiang, Selat
Sunda, Pulau Bangka, dan Pulau Lima. Perairan sekitar Pulau Tunda
merupakan daerah penagkapan yang paling banyak dimanfaatkan oleh enam
jenis alat tangkap (75%) dari delapan jenis alat tangkap yang ada. Tidak
meratanya pemanfaatan daerah penangkapan karena kemampuan armada
penangkapan yang terbatas, dan perairan di sekitar Pulau Tunda merupakan
perairan yang masih memiliki sumber daya ikan yang cukup besar.
131

Tabel 25 Tingkat Pemanfaatan Daerah Penangkapan di Teluk Banten dan


Perairan Sekitarnya

N Jenis Alat Daerah Penangkapan Ikan


o Tangkap Luar Teluk Banten Teluk Banten
AY KS PS LP SS PB PT PP LM BS
1 Gill net:
 Drift gill net
 Bottom set
gill net
2 Dogol
3 Bagan
Tancap
4 Bagan
Perahu
5 Payang
6 Pancing ulur
 Asal
Karangantu
 Asal Terate
7 Sero
8 Rampus
Tingkat 12,5 37,5 12,5 25 12,5 12,5 75 62,5 12,5 37,5
pemanfaatan DPI
(%)

Keterangan:
KS = Perairan Kepulauan Seribu PT = Perairan sekitar P. Tunda
PS = Perairan sekitar P. Sangiang PP = Perairan sekitar P. Panjang
LP = Perairan Lampung LM = Perairan sekitar P. Lima
SS = Selat Sunda BS = Perairan sekitar P. Pamujan Besar
PB = Perairan sekitar P. Bangka AY = Anyer

Pada Gambar 22 terlihat sebaran alat tangkap yang memanfaatkan Teluk


Banten sebagai daerah penangkapan beserta jalur penangkapan yang telah
ditentukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Empat jenis alat
tangkap (bagan tancap, sero, rampus, dan gill net) menangkap ikan pada jalur
penangkapan I A (perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut
yang terendah sampai dengan 3 mil laut), dan empat jenis alat tangkap yang lain
(dogol, payang, bagan perahu, dan pancing) menangkap ikan pada jalur
penangkapan I B (perairan pantai di luar 3 mil laut sampai dengan 6 mil laut).
Jika dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP)
RI no. 2/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan pada WPP-NRI, dirubah
dengan Permen KP no. 8/2011 terutama pada pasal 36 dengan menyebutkan
masa berlakunya Permen ini pada bulan Februari 2012, dirubah kembali dengan
Permen KP no. 5/2012 yang menyisipkan Bab VII A diantara Bab VII dan Bab
132

VIII, alat tangkap yang ada di Teluk Banten tidak menyalahi ketentuan yang
berlaku, meskipun terjadi perubahan jarak jalur penangkapan. Pada Permen KP
tersebut jalur penangkapan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 mil laut
yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. Jalur penangkapan I B,
meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut. Jalur
penangkapan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai
dengan 12 mil laut diukur dari permukaan laut pada surut terendah. Untuk
memperjelas posisi alat tangkap dan jalur penangkapan pada dua ketentuan
yang berlaku dapat dilihat pada Tabel 26.
Berdasarkan gambar peta daerah penangkapan ikan (Gambar 22),
terlihat bahwa daerah penangkapan ikan terkonsentrasi di sekitar P. Panjang, P.
Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, P. Lima, serta P. Tunda. Beberapa daerah
penangkapan di luar teluk namun masih dalam perairan Kabupaten Serang
adalah sekitar P. Sangiang (Desa Cikoneng Kecamatan Anyer, Selat Sunda).
Bahkan beberapa alat tangkap ke lokasi penangkapan yang jauh yaitu perairan
Kepulauan Seribu, Lampung, dan P. Bangka. Seluruh daerah penangkapan
tersebut dimanfaatkan oleh berbagai alat tangkap (Tabel 27). Pada Tabel 27
terlihat bahwa daerah penangkapan untuk dogol harus dikembalikan ke daerah
penangkapan yang seharusnya sesuai dengan apa yang tertera dalam SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan), serta diawasi penggunaan otterboard, dan tickler
chain saat pengoperaian alat tangkap.
Pengembangan kawasan perikanan tangkap dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kawasan konservasi terumbu karang. Alat tangkap yang dapat
digunakan pada lokasi ini adalah pancing ulur. Alat tangkap rampus yang
dioperasikan di P. Lima dialihkan ke lokasi lain yaitu P. Panjang dan P. Pamujan
Besar. Pengaturan jenis alat tangkap, area penangkapan masing-masing alat
tangkap, dan musim penangkapan perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya
konflik pemanfaatan fishing ground antar alat tangkap, terutama dogol dengan
alat tangkap tradisional lain.
133

Tabel 26 Posisi Alat Tangkap dan Jalur Penangkapan


Alat tangkap Spesifikasi teknis Jalur penangkapan Keterangan
Permen Teluk Permen Teluk
no.2/2011 Banten no.2/2011 Banten
Bagan tancap mesh size ≥ 1 mesh size IA dan IB IA Sesuai
mm 3-5 mm
Sero Panjang Lebih IA IA Sesuai
penaju ≤ 100 kurang
m 150 m
Rampus mesh size IA Sesuai
1,75, 2,
set gill net dan 4
dengan mesh inchi, MT
size ≥ 1,5 2 GT IB, II, III
Gill net inchi, KM ≤ 10 mesh size IA Sesuai
GT 1,5 inchi,
KM ≤ 5
GT
Dogol mesh size ≥ 1 mesh size IB, II, III IB Sesuai
inchi, tali ris 1,25 inchi,
atas ≤ 40 m, tali ris atas
KM 5-10 GT 30-45 m,
KM 5 GT
Payang mesh size ≥ 2 mesh size IB, II, III IB Sesuai
inchi, tali ris kantong
atas ≤ 100 m, sampai
KM 5-10 GT dengan
sayap terus
bertambah
besar,
mulai ½, ¾,
1, 1 ¼, 1
½, 4, 10.
dan 12
inchi, tali
ris atas 60
m, KM 4-5
GT
Bagan perahu mesh size ≥ 1 mesh size IB, dan II IB Sesuai
inchi, P ≤ 30 2 inchi, P
m L ≤ 30 m, 9m L9
lampu ≤ 2.000 m, lampu
watt, KM 5-0 2.000
GT watt, KM
5 GT
Pancing ulur Dioperasikan Mata Semua IB Sesuai
untuk semua pancing jalur di
ukuran kapal ukuran no. WPP-NRI
8 dan 16,
KM 2 GT
134

Gambar 22 Peta Fishing Ground dan Jalur Penangkapan di Kawasan Teluk


Banten.
135

Tabel 27 Jenis Alat Tangkap, Jenis Ikan, dan Fishing Ground


N Jenis Alat Jenis Ikan yang Fishing Ground Penataan
o Tangkap Tertangkap Fishing Ground
1 Gill net:
 Drift gill net Tongkol, tenggiri, P. Tunda, Kep. Tetap pada
kembung, bawal, kakap Seribu, Selat Sunda, lokasi FG yang
Lampung, Bangka semula
 Bottom set gill Rajungan Timur P. Panjang, Perairan sekitar
net P. Pamujan Besar Teluk
(perairan sekitar
Teluk), P. Tunda
2 Dogol:
 Cantrang Kembung, tongkol, P. Panjang, P. Seharusnya di
tenggiri, rucah, cumi- Pamujan Besar Utara Laut Jawa
cumi, kurisi, sebelah, Kab. Serang
pepetek, kuniran
 Lampara Kembung, selar, kurisi, P. Pamujan Besar Seharusnya di
dasar pepetek, kuwe, jolot Utara Laut Jawa
Kab. Serang
3 Bagan Tancap Teri, selar, cumi-cumi, Barat & timur P. Tetap pada
kembung, tembang, Panjang lokasi FG yang
layang, pepetek, udang, semula
kuwe
4 Bagan Perahu Kembung, cumi-cumi, P. Tunda, Kep. Tetap pada
teri, selar, tongkol, Seribu lokasi FG yang
tembang, layang, kurisi, semula
pepetek
5 Payang Cumi-cumi, layang, P. Panjag. P. Tetap pada
tongkol, kembung, Tunda, Kep. Seribu, lokasi FG yang
lemuru, tembang, Anyer, P. Sangiang semula
pepetek, rucah, belanak (Selat Sunda)
6 Pancing ulur Cumi-cumi, kembung, P. Panjang, P. Tetap pada
manyung, tenggiri, Tunda, Cirebon lokasi FG yang
(untuk tenggiri) semula
7 Sero Kurisi, kuro, sembilang, P. Pamujan Besar Tetap pada
cumi-cumi, udang, lokasi FG yang
rajungan semula
Ramp
8 Rampus Selar, kembung, P. Lima, P. Panjang, Tetap pada
pepetek, kuwe, kakap Pulokali, P. lokasi FG yang
merah, manyung, cucut, Pamujan Besar semula, kecuali
pari, jolot P. Lima

Zonasi perikanan tangkap dibagi ke dalam tiga zona yaitu (1) zona pasif,
(2) zona pasif dan perahu motor tempel, dan (3) zona aktif dan kapal motor
(Gambar 23). Zona I diperuntukan bagi alat tangkap bagan tancap, dan sero;
zona II diperuntukan bagi alat tangkap gill net dan rampus; zona III diperuntukan
bagi alat tangkap dogol, bagan perahu, payang, dan pancing ulur. Pembagian ini
didasarkan pada pertimbangan teknik penangkapan, kemampuan armada
penangkapan yang digunakan (termasuk ukuran mesin), dan ikan tujuan tangkap
(target species) serta jalur penangkapan yang telah ditetapkan oleh Dinas
136

Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Karakteristik masing-masing zona


dapat dilihat pada Tabel 28.

Gambar 23 Zonasi Perikanan Tangkap di Teluk Banten.


137

Tabel 28 Karakteristik Zona Perikanan Tangkap di Teluk Banten

N Karakteristik Zona
o I II III
1. Luas area 1.374,6 ha 2.962,6 ha 18.928,7 ha
2. Jalur 1a (3 mil dari 1a (3 mil dari 1b (6 mil dari
penangkapan pantai) pantai) pantai)
3. Fishing Barat & timur P. Timur P. Panjang, P. Tunda, P.
ground Panjang, P. P. Pamujan Besar, Sangiang, Utara P.
Pamujan Besar P. Lima Panjang
4. Jenis ikan Teri, selar, Teri, selar, Kurisi, cumi-cumi,
kembung, kembung, tongkol, tenggiri,
tembang, layang, tembang, layang, kembung, lemuru,
udang rajungan, pepetek, pepetek
kuwe
5. Kedalaman < 10 m < 10 m 10-20 m
6. Kecepatan 20-40 cm/s 20-40 cm/s 20-40 cm/s
arus
7. Angin muson  Musim barat  Musim barat  Musim barat
Australia (Des s/d Feb), (Des s/d Feb), (Des s/d Feb),
berbalik 2 kali bertiup dari bertiup dari barat bertiup dari barat
dalam barat ke barat ke barat laut; ke barat laut;
laut;  Musim timur  Musim timur
setahun
 Musim timur (Juni s/d Agt), (Juni s/d Agt),
(Juni s/d Agt), bertiup dari timur bertiup dari timur
bertiup dari timur ke tenggara; ke tenggara;
ke tenggara;  Musim peralihan  Musim peralihan
 Musim peralihan (Maret s/d Mei), (Maret s/d Mei),
(Maret s/d Mei), dari barat ke dari barat ke
dari barat ke timur; (Sept s/d timur; (Sept s/d
timur; (Sept s/d Nov) dari timur Nov) dari timur
Nov) dari timur ke barat. ke barat.
ke barat.
8. Tinggi  Musim barat  Musim barat  Musim barat
gelombang 1,03 m; 1,03 m; 1,03 m;
rata-rata  Musim timur  Musim timur  Musim timur
0,76 m 0,76 m 0,76 m
 Musim peralihan  Musim peralihan  Musim peralihan
< 0,5 m < 0,5 m < 0,5 m
9. Pasang surut Harian tunggal Harian tunggal Harian tunggal
10 Suhu 27,91º-30,98ºC 27,91º-30,98ºC 27,91º-30,98ºC
11 Sedimen Lanau pasiran Lanau pasiran Lanau pasiran
dasar
perairan
12 Ekosistem Lamun & terumbu Lamun & terumbu -
karang karang

5.4.8 Pemetaan potensi konflik


Interaksi pemanfaatan ruang yang terjadi di Teluk Banten terjadi pada
zona perikanan tangkap dengan kawasan rehabilitasi terumbu karang sebagai
kawasan pariwisata, kawasan wisata alam, dan kawasan budidaya karamba
jaring apung untuk budidaya ikan kerapu. Budidaya rumput laut yang berada di
sepanjang pantai selatan juga tidak menimbulkan konflik, walaupun
138

memanfaatkan ruang perairan pantai yang cukup luas (72,35 ha). Interaksi yang
ada sampai saat ini tidak menimbulkan konflik sosial. Meskipun saat ini belum
terjadi konflik, dimungkinkan terjadi konflik pada masa mendatang apabila tidak
dikelola dengan baik. Alat tangkap yang dapat dioperasikan pada zona
bersinggungan adalah pancing ulur, dapat dioperasikan di kawasan wisata alam,
dan konservasi terumbu karang. Hal ini dengan pertimbangan bahwa pancing
ulur merupakan alat tangkap yang paling selektif, dan ramah lingkungan dengan
target penangkapan ikan kembung. Daerah penangkapan pancing ulur yang
digunakan untuk menangkap ikan tenggiri berada di luar teluk (sampai di
perairan Lampung). Alat tangkap yang menggunakan jaring tidak
direkomendasikan dioperasikan di terumbu karang, dikarenakan alat cepat rusak,
dan akan merusakkan terumbu karang. Pada lokasi wisata alam, dapat
dimanfaatkan untuk alat tangkap bagan perahu. Adapun pada lokasi budidaya
rumput laut, memang tidak dimanfaatkan untuk penangkapan, hanya pada sisi
sebelah barat P. Panjang digunakan sebagai tempat sandar bagan perahu yang
dimiliki oleh nelayan P. Panjang, dan kapal angkut yang difungsikan untuk
menyeberangkan masyarakat P. Panjang dari P. Panjang ke Grenyang dan
sebaliknya serta untuk mengangkut barang-barang kebutuhan masyarakat yang
dibeli dari kota, ataupun untuk membawa hasil bumi (kelapa, kayu) keluar pulau.
Peta kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang bersama dapat
dilihat pada Tabel 29. Kemungkinan konflik yang muncul antara pelabuhan niaga
dengan kegiatan budidaya perikanan, maupun perikanan tangkap adalah limbah
oli yang bisa mencemari perairan, sehingga mengganggu habitat ikan. Jalur
pelayaran kapal-kapal besar juga dimungkinkan terjadi persinggungan dengan
perahu nelayan. Kawasan industri, walaupun berada di daerah pesisir, namun
aktivitasnya dapat mengganggu aktivitas perikanan, baik perikanan budidaya
maupun tangkap. Buangan limbah industri, aktivitas reklamasi pantai berdampak
terganggunya ekosistem sekitar pantai.

Tabel 29 Peta Kemungkinan Konflik dalam Pemanfaatan Ruang Bersama


Kegiatan Budidaya Pariwisata Perikanan Pelabuhan Industri
Perikanan Tangkap
Budidaya Perikanan N K K K
Pariwisata N D D K
Perikanan Tangkap K D K, D K
Pelabuhan K D K, D D
Industri K K K D
Keterangan: N: netral; K: konflik; D: saling dukung
139

Keberadaan perikanan budidaya tidak mengganggu kegiatan pariwisata,


demikian pula sebaliknya. Kegiatan yang saling mendukung yaitu pariwisata
dengan perikanan tangkap, pelabuhan dengan pariwisata, dan industri dengan
pelabuhan. Dukungan pariwisata terhadap perikanan tangkap berupa
dimanfaatkannya pancing ulur untuk kegiatan wisata mancing, demikian pula
sebaliknya adanya pariwisata menyebabkan naiknya permintaan ikan. Adanya
pelabuhan mendukung moda transportasi menuju lokasi wisata, dan adanya
pariwisata menyebabkan pelabuhan semakin ramai. Pelabuhan juga
memperlancar kegiatan indutri yang ada. Kegiatan industri juga membutuhkan
adanya pelabuhan yang dapat menjadi tempat keluar masuk kebutuhan barang
untuk industri. Berbeda halnya antara perikanan tangkap dengan pelabuhan.
Dukungan bisa terjadi antara pelabuhan perikanan dengan aktivitas perikanan
tangkap. Pelabuhan perikanan menyediakan sarana prasarana kebutuhan
penangkapan, dan perikanan tangkap membutuhkan pelabuhan perikanan
sebagai tempat mendaratkan hasil tangkapan dan pemasaran. Konflik akan
terjadi antara pelabuhan niaga dengan kegiatan penangkapan. Arus lalu lintas
kapal niaga dapat bersinggungan dengan kapal penangkap ikan.

5.5 Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap Teluk


Banten

Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor internal menunjukkan


bahwa jumlah sumber daya manusia (SDM) yang besar merupakan kekuatan
yang dimiliki oleh wilayah yang ada di sekitar Teluk Banten selain lokasinya
cukup strategis terhadap daerah perikanan tangkap lainnya seperti Selat Sunda,
dan perairan Kepulauan Seribu. Namun Teluk Banten juga memiliki kelemahan
diantaranya adalah tingginya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan di
kawasan Teluk Banten karena tingkat kesadaran masyarakat pesisir relatif
rendah terhadap kelestarian sumber daya ikan dan habitatnya (Tabel 30).
Pada Tabel 31 terlihat bahwa permintaan ikan yang berasal dari Teluk
Banten cukup tinggi, sehingga peluang perluasan wilayah tangkap nelayan Teluk
Banten cukup besar. Namun demikian ancaman yang perlu diwaspadai adalah
terjadinya kecenderungan menurunnya hasil tangkapan dikarenakan perubahan
iklim yang dalam dua tahun terakhir ini tidak menentu. Ancaman lain juga
timubul dengan adanya pencemaran perairan Teluk Banten akibat
perkembangan industri di Bojonegara.
140

Tabel 30 Evaluasi Faktor Internal (IFAS)


No Faktor-faktor Internal Bobot Rating Skor
KEKUATAN
1 Teluk Banten memiliki beberapa jenis ikan 0,09 3 0,26
unggulan yang berpeluang besar untuk
dikembangkan
2 Lokasi Teluk Banten cukup strategis terhadap 0,10 4 0,40
daerah perikanan tangkap lainnya
3 Jumlah sumberdaya manusia (SDM) yang 0,12 4 0,48
besar
4 Daerah pemasaran hasil tangkapan cukup 0,09 3 0,28
luas
5 Adanya dukungan Pemerintah Daerah 0,10 3 0,29
terhadap upaya penataan wilayah tangkap
nelayan pesisir Teluk Banten
6 Ketersediaan sarana prasarana penunjang 0,06 3 0,18
perikanan tangkap
TOTAL 1,89
KELEMAHAN
1 Cukup tingginya tingkat pencemaran dan 0,09 3 0,27
kerusakan lingkungan di kawasan Teluk
Banten
2 Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat 0,03 2 0,06
pesisir Teluk Banten
3 Kurang optimalnya tata ruang wilayah pesisir, 0,05 2 0,10
dan laut di Teluk Banten
4 Kurangnya kesadaran masyarakat pesisir 0,06 2 0,12
terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan
habitatnya
5 Kelembagaan lokal belum berjalan optimal 0,11 1 0,11
6 Kerjasama antar sektor belum terkoordinasi 0,10 1 0,10
dengan baik
TOTAL 1 0,77

Berdasarkan hasil evaluasi faktor-faktor internal dan eksternal dapat


diperlihatkan bahwa kondisi pengelolaan Teluk Banten berada pada kuadran I
(Gambar 24), yang berarti bahwa pemerintah daerah harus mengoptimalkan
kekuatan internal dan memaksimalkan peluang yang ada (Tabel 30). Dengan
demikian opsi strategi yang diusulkan adalah: (1) Memanfaatkan lokasi Teluk
Banten yang cukup strategis, dan mengoptimalkan jenis ikan unggulan untuk
memenuhi permintaan ekspor; (2) Memanfaatkan jumlah SDM yang besar dan
kepedulian nelayan terhadap upaya pengelolaan kawasan perikanan tangkap di
Teluk Banten; (3) Memanfaatkan dukungan PEMDA dan adanya otonomi daerah
untuk membuat kebijakan dalam penataan dan perluasan wilayah tangkap dan
pelibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan.
141

Berbagai Peluang

Kuadran III Kuadran I

(0.56,0.12)
0.12

Kelemahan Internal Kekuatan Internal


0.56

Kuadran IV Kuadran II

Berbagai Ancaman

Gambar 24 Posisi Pengelolaan Teluk Banten.


Tabel 31 Evaluasi Faktor Eksternal (EFAS)

No Faktor-faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Skor


PELUANG
1 Cukup tingginya peluang ekspor beberapa 0,09 3 0,27
komoditi ikan unggulan yang berasal dari
perairan Teluk Banten
2 Kepedulian nelayan terhadap upaya 0,09 3 0,27
pengelolaan kawasan perikanan tangkap
3 Adanya kemajuan teknologi di bidang 0,06 2 0,13
penangkapan ikan yang berpengaruh baik
terhadap peningkatan produksi perikanan
4 Jumlah bakul yang cukup banyak di TPI pesisir 0,09 3 0,26
Teluk Banten yang keberadaannya sangat
berperan dalam pendistribusian ikan
5 Adanya Otonomi Daerah berperan cukup besar 0,08 3 0,24
terhadap perkembangan dan peluang
pengelolaan kawasan Teluk Banten secara
intensif
6 Cukup besarnya peluang perluasan wilayah 0,10 3 0,31
tangkap nelayan di perairan Teluk Banten
TOTAL 1,48
ANCAMAN
1 Kecenderungan penurunan hasil tangkapan 0,04 4 0,17
ikan setiap tahun di Teluk Banten
2 Pencemaran perairan Teluk Banten akibat 0,11 3 0,32
perkembangan industri di Bojonegara
3 Adanya alat tangkap yang diduga menimbulkan 0,07 1 0,07
kerusakan lingkungan dan habitat ikan
4 Tidak adanya respon nelayan terhadap upaya 0,06 2 0,13
pengaturan waktu menangkap ikan
5 Konflik kepentingan antar sektor 0,06 2 0,13
6 Perubahan iklim terhadap jumlah hasil 0,14 3 0,41
tangkapan nelayan
TOTAL 1 1,23
142

Tabel 32 Matriks SWOT Pengelolaan Teluk Banten

Internal Kekuatan (S) Kelemahan (W)


1) Teluk Banten memiliki 1) Pencemaran dan kerusakan
beberapa jenis ikan unggulan lingkungan
yang berpeluang besar untuk 2) Rendahnya tingkat
dikembangkan pendidikan masyarakat
2) Lokasi cukup strategis pesisir
3) Jumlah SDM yang besar 3) Tata ruang wilayah pesisir
4) Daerah pemasaran hasil dan laut Teluk Banten belum
tangkapan cukup luas berjalan
5) Dukungan Pemda terhadap 4) Kesadaran masyarakat
upaya penataan wilayah pesisir terhadap kelestarian
tangkap SDI dan habitatnya
6) Ketersediaan sarana 5) Kelembagaan lokal belum
prasarana penunjang berjalan optimal
perikanan tangkap 6) Kerjasama antar sektor belum
terkoordinasi dengan baik
Eksternal
Peluang (O) Strategi SO Strategi WO
1) Cukup tingginya peluang 1) Memanfaatkan lokasi Teluk 1) Pelibatan seluruh elemen
ekspor beberapa Banten yang cukup strategis, masyarakat dalam menjaga
komoditi ikan unggulan dan mengoptimalkan jenis kelestarian SDI dan
yang berasal dari ikan unggulan untuk habitatnya
perairan Teluk Banten memenuhi permintaan ekspor 2) Memanfaatkan kewenangan
2) Kepedulian nelayan 2) Memanfaatkan jumlah SDM daerah untuk melakukan
terhadap upaya yang besar dan kepedulian penataan ruang wilayah
pengelolaan kawasan nelayan terhadap upaya pesisir, mengoptimalkan
perikanan tangkap pengelolaan kawasan kelembagaan lokal dan
3) Kemajuan teknologi di perikanan tangkap di Teluk menjalin kerjasama antar
bidang penangkapan Banten sektor
ikan 3) Memanfaatkan dukungan
4) Jumlah bakul yang cukup PEMDA dan adanya otonomi
banyak di TPI pesisir daerah untuk membuat
Teluk Banten kebijakan dalam penataan
5) Adanya Otonomi Daerah dan perluasan wilayah
6) Peluang perluasan tangkap dan pelibatan
wilayah tangkap nelayan masyarakat pesisir dalam
di perairan Teluk Banten pengelolaan

Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT


1) Kecenderungan 1) Pengelolaan potensi SDI 1) Peningkatan taraf pendidikan
penurunan hasil secara lestari dan nelayan diharapkan dapat
tangkapan ikan berkelanjutan dapat meningkatkan pengetahuan
2) Pencemaran perairan mengurangi penurunan hasil dan kesadaran akan
Teluk Banten akibat tangkapan kelestarian lingkungan
perkembangan industri di 2) Memanfaatkan jumlah SDM 2) Komunikasi intensif antar
Bojonegara yang besar untuk bersama- pengguna kawasan dan
3) Adanya alat tangkap sama menjaga lingkungan. pelibatan masyarakat dalam
yang diduga 3) Mengoptimalkan peran pengelolaan dapat mencegah
menimbulkan kerusakan pemerintah dalam menata konflik antar sektor.
lingkungan dan habitat pertumbuhan industri di
ikan sekitar Teluk Banten.
4) Tidak adanya respon 4) Pembinaan kepada nelayan
nelayan terhadap upaya perlu senantiasa dilakukan
pengaturan waktu untuk mencegah terjadinya
menangkap ikan tindak pelanggran,
5) Konflik kepentingan antar peningkatan pengetahuan
sektor dan kesadaran nelayan
6) Perubahan iklim terhadap
jumlah hasil tangkapan
nelayan
143

Analisis AHP dilakukan untuk mendapatkan usulan skala prioritas


strategis kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten,
dengan faktor-faktor kriteria yang berpengaruh yaitu:
1) Sumber daya ikan unggulan
2) Teknologi alat dan kapal penangkap ikan
3) Sumber daya manusia
4) Sarana dan prasarana penunjang
5) Kebijakan pemerintah
6) Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
Kebijakan tersebut bertujuan untuk:
1) Menjamin keberlanjutan usaha penangkapan ikan
2) Meningkatkan kesejahteraan nelayan
3) Mengurangi terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan kawasan
4) Mewujudkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
Kebijakan pertama dan kedua terkait dengan opsi strategi pertama, yang
menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan yang cukup besar menjamin
keberlanjutan usaha penangkapan ikan, diharapkan juga dapat meningkatkan
kesejahteraan nelayan. Kebijakan ketiga dan keempat terkait dengan opsi kedua
dan ketiga. Jumlah SDM yang besar dan kepedulian nelayan dalam pengelolaan
pemanfaatan kawasan dapat mengurangi terjadinya konflik, karena masyarakat
terlibat di dalamnya. Dukungan pemerintah daerah dalam menekan konflik juga
sangat penting.
Berdasarkan hasil analisis AHP diperoleh bahwa kebijakan yang diambil
oleh Pemda Kabupaten Banten seharusnya bertujuan untuk menjamin
keberlanjutan usaha penangkapan ikan (49,10%); meningkatkan kesejahteraan
nelayan (20,88%); mengurangi terjadinya konflik kepentingan pemanfaatan
kawasan (5,88%); dan mewujudkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
(1,79%). Adapun hierarki pengambilan kebijakan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 25. Pada Gambar 25 menunjukkan bahwa kebijakan yang akan diambil
oleh pemda setempat hendaknya memperhatikan potensi sumberdaya ikan yang
ada (33,57%); kemampuan sumber daya manusia (27,39%); kemampuan alat
dan kapal penangkap ikan (16,69%); ketersediaan sarana dan prasarana
penunjang (8,24%); dukungan kebijakan pemerintah (7,24%); dan adanya
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan (6,87%). Keseluruh faktor tersebut
144

saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yang sangat berperan dalam
pengambilan kebijakan.

Menentukan Tujuan Pengelolaan


Fokus Kawasan Perikanan Tangkap di Teluk
Banten

Kriteria

Potensi Kemampuan alat Ketersediaan Dukungan


Kemampuan Keterlibatan
dan kapal sarana dan kebijakan
sumberdaya ikan sumberdaya masyarakat dalam
penangkap ikan prasarana pemerintah
(0,3357) (0,1669) manusia (0,2739) pengelolaan
penunjang (0,0824) (0,0724) (0,0687)

Menjamin Meningkatkan Mengurangi terjadinya Mewujudkan


Kebijakan keberlanjutan usaha kesejahteraan konflik kepentingan keterlibatan
penangkapan ikan nelayan pemanfaatan kawasan masyarakat dalam
(0,4910) (0,2088) (0,0588) pengelolaan (0,0179)

Gambar 25 Hierarki Penentuan Tujuan Pengelolaan Kawasan Perikanan


Tangkap di Teluk Banten.

5.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap


5.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan
(1) Alokasi unit penangkapan berdasarkan luas wilayah
Salah satu perhitungan alokasi unit penangkapan ikan di Teluk Banten
dilakukan dengan mempertimbangkan luas wilayah Teluk Banten, jumlah input,
serta nilai ekonomi kegiatan penangkapan ikan. Faktor wilayah pengoperasian
unit penangkapan ikan dihitung dengan asumsi bahwa secara simultan unit
penangkapan melakukan penangkapan secara bersamaan dan alat tangkap lain
diasumsikan tidak beroperasi. Wilayah/zona pengoperasian untuk delapan jenis
alat tangkap dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona I untuk alat tangkap bagan
tancap, dan sero; zona II untuk alat tangkap gill net, dan rampus; zona III untuk
alat tangkap payang, lampara dasar (dogol), pancing, dan bagan perahu
(Gambar 23).
145

Berdasarkan perhitungan luas daerah operasi maka wilayah Teluk Banten


mampu mengoperasikan gill net, dogol, bagan tancap, bagan perahu, payang,
pancing ulur, sero, dan rampus, masing-masing sebesar 8, 37, 687, 1.683, 60,
838, 6, dan 2 unit. Alokasi unit penangkapan ikan di Teluk Banten dapat dilihat
pada Tabel 32.

(2) Alokasi unit penangkapan berdasarkan fungsi tujuan dan pembatas


Faktor input yang digunakan untuk menduga alokasi unit penangkapan
ikan di Teluk Banten adalah jumlah hasil tangkapan, jumlah trip, luas area tiap
jenis alat tangkap, dan jumlah tenaga kerja tiap jenis alat tangkap. Berdasarkan
data yang diperoleh di lapangan maka fungsi-fungsi yang digunakan untuk
menentukan jumlah unit penangkapan yang dapat dioperasikan berdasarkan
batasan yang ada, yaitu fungsi tujuan, dan fungsi pembatas. Fungsi tujuan yang
ingin dicapai adalah memaksimumkan produksi unit penangkapan ikan di Teluk
Banten yang ditentukan berdasarkan kemampuan rata-rata produksi masing-
masing alat tangkap per trip, perhitungan fungsi tujuan tersebut dilakukan
berdasarkan data produksi tahun 2005-2009 (dalam satuan ton), sebagaimana
disajikan pada Lampiran 25.
Fungsi pembatas kegiatan penangkapan ikan ditentukan berdasarkan (1)
hasil tangkapan lestari (Cmsy); (2) upaya penangkapan lestari (Emsy); (3)
penyerapan tenaga kerja; (4) luas area penangkapan; dan (5) fungsi non negatif.
Perhitungan dilakukan pada seluruh jenis ikan yang ada (23 spesies). Fungsi
pembatas kegiatan penangkapan ikan di Teluk Banten disajikan pada Lampiran
26.
Berdasarkan hasil analisis optimasi dengan Linier Goal Programming
(LGP) terhadap fungsi tujuan dan pembatas yang telah ditentukan sebelumnya,
diperoleh hasil bahwa jumlah hasil tangkapan maksimum sebesar 1.747,259 ton,
dicapai pada saat upaya penangkapan gill net 1.000 trip/th, dogol 835 trip/th,
bagan tancap 1.000 trip/th, bagan perahu 1.885, payang 682 trip/th, pancing 495
trip/th, sero dan rampus tidak direkomendasikan (hasil analisis LGP dengan
program LINDO dapat dilihat pada Lampiran 27). Apabila diasumsikan operasi
penangkapan yang dilakukan selama satu tahun sebanyak 300 hari, maka
jumlah unit penangkapan gill net: jaring milenium sebanyak 33 unit, karena jaring
mileniun membutuhkan waktu 10 hari untuk satu kali trip, sedangkan jaring
rajungan melakukan penangkapan satu kali trip satu hari (one day fishing)
sehingga jumlah unit penangkapannya sebanyak 3 unit. Adapun dogol: lampara
146

dasar, satu trip penangkapan membutuhkan waktu empat hari sehingga jumlah
unit alat tangkap ini sebanyak 11 unit, sedangkan cantrang melakukan
penangkapan secara one day fishing, sehingga jumlah unit alat tangkapnya
sebanyak 3 unit. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, upaya
penangkapan efektif bagan tancap selama 3 bulan atau 90 hari, dengan
demikian jumlah alat tangkap ini sebanyak 11 unit. Bagan perahu, dan payang
melakukan penangkapan secara one day fishing, sehingga jumlah unit alat
tangkap bagan perahu sebanyak 6 unit, dan payang sebanyak 2 unit. Adapun
pancing melakukan penangkapan satu kali trip membutuhkan waktu 3 hari untuk
daerah penangkapan yang jauh (Lampung), sehingga dalam 300 hari berarti ada
100 trip, sehingga jumlah unit penangkapannya sebanyak 5 unit. Sero dan
rampus memperoleh nilai nol, yang berarti tidak direkomendasikan untuk
dioperasikan (Tabel 33).

5.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan


Simulasi penangkapan sumber daya ikan dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana efek kegiatan penangkapan ikan akan memberikan manfaat
terhadap nelayan dan pemerintah. Simulasi didasarkan pada data kondisi tahun
lalu (2008), yaitu kondisi yang dipertimbangkan untuk memberikan jawaban atas
kejadian pada tahun sekarang.
Jumlah optimal tahun lalu (2008), yaitu kondisi optimal secara ekonomi
dan biologi yang dihasilkan berdasarkan perhitungan optimasi LP. Upaya
penangkapan bagan tancap telah melebihi batas ketentuan maksimum. Gill net,
sero dan rampus upaya penangkapan optimumnya sama dengan upaya
penangkapan riil, hal ini didasarkan bahwa gill net merupakan alat tangkap
standar bagi belanak, sedangkan perikanan belanak tidak menguntungkan.
Adapun sero dan rampus berdasarkan standarisasi alat tangkap bukan
merupakan alat tangkap standar bagi jenis ikan tertentu, dikarenakan datanya
tidak kontinu tiap tahun ditemukan.
Kondisi sekarang, yaitu suatu kondisi yang terjadi saat data terakhir
diambil untuk penelitian (2009). Hasil optimasi tahun sebelumnya
direkomendasikan untuk menambah upaya penangkapan kecuali bagan tancap,
pada saat sekarang beberapa alat tangkap menambah upaya penangkapan yaitu
dogol, pancing ulur, dan gill net, serta ada penambahan alat tangkap baru yaitu
bagan perahu (bagan congkel). Penambahan alat tangkap bagan perahu
berpengaruh besar terhadap penambahan pendapatan nelayan.
147

Tabel 33 Alokasi Unit Penangkapan Ikan menurut Luas Wilayah Teluk Banten
dan LGP

No Jenis Alat tangkap Jumlah alat tangkap (unit)


Tahun 2009 Luas wilayah LGP
1 Gill net 146 8 3
2 Dogol 32 37 11
3 Bagan tancap 52 687 11
4 Bagan perahu 24 1683 6
5 Payang 120 60 2
6 Pancing ulur 34 838 5
7 Sero 45 6 0
8 Rampus 90 2 0

Jumlah optimal tahun sekarang, yaitu kondisi optimal secara ekonomi dan
biologi tahun sekarang (2009). Pada tahun ini ternyata penambahan upaya
penangkapan alat tangkap gill net, dan dogol melebihi upaya penangkapan
optimal yang seharusnya, sedangkan bagan tancap, payang, dan pancing ulur
upaya penangkapannya masih di bawah kondisi optimal. Upaya penangkapan
optimal bagan perahu diasumsikan sama dengan kondisi riil, mengingat alat
tangkap ini baru efektif beroperasi tahun 2009. Sedangkan sero dan rampus
upaya penangkapan riil melebihi upaya penangkapan optimal.
Jumlah optimal prediksi tahun depan (2010), yaitu prediksi terhadap
perkembangan jumlah upaya penangkapan satu tahun ke depan berdasarkan
perkembangan sekarang, masing-masing jenis alat tangkap adalah gill net 1.000
trip/th, dogol 835 trip/th, bagan tancap 1.000 trip/th, bagan perahu 1.885, payang
682 trip/th, dan pancing 495 trip/th. Keuntungan yang diperoleh sebesar 14,4425
milyar rupiah per tahun.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh gambaran keragaan perikanan
tangkap di Teluk Banten, yaitu ada enam jenis alat tangkap yang
direkomendasikan untuk dioperasikan, ditujukan untuk menangkap 9 jenis ikan
unggulan, mengingat karakteristik perikanan di Indonesia adalah multi spesies.
Namun dalam pelaksanaannya nanti perlu diatur target spesies yang sesuai
dengan jenis alat tangkapnya, sehingga dapat dioptimalkan keuntungannya.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka ada dua skenario yang diusulkan, yaitu:
(1) Skenario pertama adalah: gill net 146 unit dengan 15.971 trip/th, dogol 32
unit dengan 22.074 trip/th , bagan tancap 24 unit dengan 7.622 trip/th, bagan
perahu 52 unit dengan 14.909 trip/th, payang 120 unit dengan 8.465 trip/th,
pancing ulur 34 unit dengan 10.058 trip/th, sero 45 unit dengan 7.234 trip/th,
148

dan rampus 90 unit dengan 17.686 trip/th. Total upaya penangkapan


sebanyak 104.019 trip, dengan jumlah alat tangkap sebanyak 543 unit.
Keuntungan yang diperoleh sebesar 14,772 milyar rupiah per tahun. Jumlah
RTP nelayan sebanyak 662 orang, sehingga pendapatan yang diterima tiap
nelayan per bulan sebesar Rp1.859.517,-. Total produksi hasil tangkapan
sebesar 964, 50 ton.
(2) Skenario kedua adalah menguji kondisi optimal tahun depan dengan usulan
kebijakan sero tidak direkomendasikan namun dengan bebarapa catatan,
serta mengusulkan upaya penangkapan gill net 1.000 trip/th, dogol 835
trip/th, bagan tancap 1.000 trip/th, bagan perahu 1.885 trip/th, payang 682
trip/th, pancing 495 trip/th, dan sero serta rampus 0 trip/th. Total upaya
penangkapan sebanyak 5.897 trip, dengan jumlah alat tangkap sebanyak 38
unit. Keuntungan yang diperoleh sebesar 14,667 milyar rupiah per tahun.
Jumlah RTP nelayan sebanyak 527 orang, sehingga pendapatan yang
diterima tiap nelayan per bulan sebesar Rp2.319.260,-. Total produksi hasil
tangkapan sebesar 983,99 ton.

Tabel 34 Simulasi Optimasi Manajemen Sumber Daya Ikan di Teluk Banten


N Alat tangkap Jml Jml opt. Skenario 1 Skenario 2
o opt. th kondisi
2008 sekarang
(2009)
1 Gill net 2.305 15.971 15.971 1.000
2 Dogol 1.944 22.074 22.074 835
3 Bagan tancap 2.175 7.622 7.622 1.000
4 Bagan perahu 0 14.909 14.909 1.885
5 Payang 2.800 8.465 8.465 682
6 Pancing ulur 2.292 10.058 10.058 495
7 Sero 1.859 7.234 7.234 0
8 Rampus 607 17.686 17.686 0
Keuntungan 14,772 14,667
(milyar Rp)

Berdasarkan dua skenario yang diusulkan, kemudian dilakukan simulasi


untuk menduga produksi hasil tangkapan tiap jenis ikan (9 spesies) sampai 20
tahun ke depan. Tahun pertama sampai dengan kelima merupakan data tahun
2005-2009. Tahun keenam adalah skenario pertama untuk estimasi tahun 2010,
tahun ketujuh untuk estimasi tahun 2011 dan seterusnya. Hasil simulasi dikaitkan
dengan produksi pada tingkat MSY sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan.
Simulasi skenario pertama dapat dilihat pada Gambar 26. Pada Gambar 26
149

menunjukkan estimasi produksi tiap jenis ikan, apabila tanpa manajemen. Tanda
anak panah, menunjukkan upaya manajemen, yaitu produksi dan upaya
penangkapan dibuat tetap. Asumsi yang dipergunakan adalah baik kelahiran
maupun kematian ikan dianggap seimbang.

kembung cumi-cumi teri

300 400 300


(260,87, 3400)
350
250 250
(217,24, 4416) 300
Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)
200 200
250

150 200 150


(153,23, 3282)
150
100 100
100
50 50
50
0
0 0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 10 20 30 40 50 60 0 10 20 30 40
Tahun Tahun Tahun

tongkol lemuru rajungan

90 40 160
(79,86,3068) (136,69, 6265)
80 35 140
(29,37, 2593)
70 30 120

Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)

60
25 100
50
20 80
40
15 60
30
10 40
20

10 5 20

0 0 0
0 10 20 30 40 0 500 1000 1500 2000 0 10 20 30 40 50 60
Tahun Tahun Tahun

kakap merah udang kuw e

20 50 35
(16,67, 1111) (44,94, 5541)
18 45
30 (25,63, 1355)
16 40
Produksi (ton/th)

14 35 25
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)

12 30
20
10 25
20 15
8

6 15 10
4 10
5
2 5

0 0 0
0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 50
Tahun Tahun Tahun

Gambar 26 Simulasi Skenario Pertama.

Kembung apabila jumlah trip per tahunnya sebanyak 100, maka pada
tahun ke 153 produksi akan negatif. Cumi-cumi apabila jumlah trip per tahunnya
sebanyak 500, maka pada tahun ke-56, produksi akan negatif. Demikian pula
dengan jenis ikan yang lain. Simulasi tahun ke-n besarnya produksi optimal dan
keuntungan tiap jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 34.
150

Simulasi produksi tiap jenis alat tangkap, di dalamnya berisi simulasi


produksi tiap jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap tersebut. Pada
Gambar 26 terlihat fluktuasi produksi tiap jenis ikan tiap tahunnya berbeda pada
alat tangkap yang berbeda. Kondisi ini disebabkan oleh faktor FPI tiap jenis ikan
yang berbeda. Nilai FPI digunakan untuk menghitung effort standar yang
selanjutnya digunakan untuk menghitung estimasi produksi. Upaya
penangkapan tiap jenis alat tangkap, mengikuti trend upaya penangkapan (Tabel
35).

Tabel 34 Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi Optimal dan Keuntungan Tiap
Jenis Ikan Skenario 1

N Jenis ikan Estimasi Simulasi Jumlah


o Produksi Effort Keuntungan tahun ke- trip /th
(ton) (trip) (milyar Rp) produksi
negatif
1 Kembung 217,24 4.416 3,341 153 100
2 Cumi-cumi 153,23 3.282 2,708 56 500
3 Teri 260,87 3.400 6,633 31 300
4 Tongkol 79,86 3.068 3,284 39 200
5 Lemuru 29,37 2.593 -0,457 20 500
6 Rajungan 136,69 6.265 2,739 53 300
7 Kakap merah 16,67 1.111 0,296 34 100
8 Udang 44,94 5.541 1,866 46 300
9 Kuwe 25,63 1.355 0,534 44 100

Tabel 36 Trend Upaya Penangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap


Jenis alat tangkap Trend upaya penangkapan
Skenario 1 Skenario 2
Gill net 670,4x – 212,8 165,2x + 797,6
Dogol 206,6x + 533,8 12,8x + 921,4
Bagan tancap 189,8x + 1448,2 160,6x + 1506,6
Bagan perahu 615,4x – 1192 415,8x - 792,8
Payang -91,6x + 2335,6 -252,6x + 7657,6
Pancing -106,7x + 886,7 -730x + 821,1
Sero 529,3x – 872,7 185,9x – 185,9
Rampus 141,3x – 183,5 47,9x +3,3
151

Gill net Dogol

300 400

350
250
300
Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)
200
250

150 200

150
100
100
50
50

0 0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Tahun Tahun

kembung cumi-cumi teri tongkol kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


rajungan kakap merah udang kuw e rajungan kakap merah udang kuwe

Bagan tancap Bagan perahu

400
400

350 350

300 300

Produksi (ton/th)
250
Produksi (ton/th)

250
200
200
150
150
100

100 50

50 0
0 20 40 60 80 100
0 Tahun
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Tahun kembung cumi-cumi teri

kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


tongkol lemuru rajungan
rajungan kakap merah udang kuw e kakap merah udang kuwe

Payang Pancing

90
70
80
60
70
Produksi (ton/th)

50
Produksi (ton/th)

60

50 40
40
30
30
20
20
10
10

0 0
0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun
Tahun
kembung cumi-cumi teri
tongkol lemuru rajungan
kembung tongkol rajungan
kakap merah udang kuwe kakap merah kuwe cumi-cumi

Sero Ram pus

400 300

350
250
300
Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)

200
250

200 150

150
100
100
50
50

0 0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 0 50 100 150 200 250 300 350 400
Tahun Tahun

kembung cumi-cumi teri tongkol kembung cumi-cumi teri tongkol


rajungan kakap merah udang kuw e rajungan kakap merah udang kuw e

Gambar 27 Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 1.


152

Trend upaya penangkapan yang mempengaruhi rentang waktu berbeda


tiap jenis alat tangkap. Pada Gambar 27 terlihat bahwa cumi-cumi yang
tertangkap dengan bagan perahu, jika tanpa manajemen masih dapat
dioptimalkan sampai dengan tahun ke 13. Berbeda halnya dengan gill net, cumi-
cumi hanya sedikit yang tertangkap dengan alat tangkap ini, sehingga grafiknya
meningkat namun cenderung datar dan kecenderungan menurunya relatif
membutuhkan waktu yang panjang. Hal ini dipengaruhi oleh nilai FPI yang
hanya sebesar 0,0042. Pola ini juga terjadi pada jenis ikan yang lain. Positif
mengalami peningkatan produksi, sedangkan payang, dan pancing memiliki
kecenderungan menurun.
Semua jenis ikan yang tertangkap dengan pancing, produksinya terus
menurun sampai dengan tahun ke-8. Hal ini juga terjadi pada alat tangkap
payang (sampai dengan tahun ke–25), namun produksinya relatif kecil.
Pada skenario kedua, keuntungan yang diperoleh nelayan sedikit lebih
kecil dibandingkan skenario 1, namun memiliki beberapa keunggulan, yaitu telah
memperhatikan batasan sumber daya ikan, upaya penangkapan optimum,
jumlah tenaga kerja yang terlibat, dan wllayah operasi penangkapan.
Perhitungan simulasi dapat dilihat pada Lampiran 28 dan 29.
Pada simulasi skenario kedua terdapat sedikit perbedaan dari skenario
pertama, yaitu cumi-cumi produksinya masih dapat ditingkatkan sampai tahun ke
20 dengan asumsi satu tahun melakukan upaya penangkapan sebanyak 500 trip
dengan keuntungan yang dapat dirasakan sampai tahun ke-35. Hal ini sesuai
dengan hasil seleksi komoditi unggulan yang menunjukkan bahwa cumi-cumi
memiliki prospek ekspor cukup besar, ditunjang dengan kondisi sumber daya
ikan yang besar. Alat tangkap alternatif bagi cumi-cumi adalah bagan perahu,
yang berdasarkan simulasi memiliki kecenderungan meningkat produksinya
(Gambar 26). Tongkol juga masih dapat ditingkatkan produksinya sampai tahun
ke-16 dengan upaya penangkapan sebanyak 200 trip/tahun. Beberapa jenis ikan
yang lain tidak banyak berbeda dengan skenario pertama. Secara umum untuk 9
jenis ikan yang diunggulkan hasil tangkapan lestarinya bervariasi, cumi-cumi
memiliki CMSY paling tinggi yaitu sebesar 456,52 ton/th, diikuti teri, kembung, dan
rajungan masing-masing sebesar 281,99 ton/th, 251,78 ton/th, dan 157,78
ton/th. Demikian pula dengan jangka waktu potensi lestarinya juga bervariasi
antara 5 sampai dengan 40 tahun, untuk kehati-hatian dan memperhatikan pola
ruang kawasan pesisir Teluk Banten maka ditetapkan jumlah tangkapan yang
153

dibolehkan sebesar 60% dari CMSY dicapai dalam jangka waktu 18 tahun.
Lemuru, kakap merah, dan kuwe hanya bisa dimanfaatkan sampai 2 tahun ke
depan, sedangkan udang jangka waktunya panjang karena udang tertangkap
dalam jumlah yang sangat sedikit.
Pada Gambar 26 terlihat bahwa hanya satu jenis alat tangkap yang
memiliki kecenderungan menurun produksinya, yaitu pancing. Ketujuh alat
tangkap yang lain meningkat. Bagan perahu, dogol, dan bagan tancap lebih
menonjol dibanding yang lainnya. Hasil skenario ke-2, memang mengalokasikan
upaya penangkapan paling banyak pada bagan perahu (1.885 trip/th). Diikuti
dogol dan bagan tancap (masing-masing 1.00 trip/th).

kembung cumi-cumi teri


(261,01, 3302)
300 500 300
(215,16, 4577) 450
250 400 250
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)
200 350 200
300
150 250 150
200
100 150 100
(149,79, 2558)
50 100 50
50
0 0 0
0 25 50 75 100 125 150 175 0 10 20 30 40 50 60 70 0 5 10 15 20 25 30 35
Tahun Tahun Tahun

(37,15, 2414) lemuru rajungan


tongkol
40

120 35 180 (144,98, 5795)


(98,29, 3796) 160
100 30
Produksi (ton/th)

140
Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)

80 25 120
20 100
60
80
40 15
60
10 40
20
20
0 5
0
0 10 20 30 40 50 60 0 0 10 20 30 40 50 60
Tahun 0 2 4 6 8 10 12 Tahun
Tahun

kakap merah udang kuw e

(17,57, 1188) (32,21, 3598)


20 35 35
18 (26,86, 1495)
30 30
16
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)

Produksi (ton/th)

14 25 25
12 20
20
10
15 15
8
6 10 10
4
5 5
2
0 0 0
0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30 0 10 20 30 40 50
Tahun Tahun Tahun

Gambar 28 Simulasi Skenario Kedua.


154

Tabel 37 Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi dan Keuntungan Tiap Jenis
Ikan Skenario 2

N Jenis ikan Estimasi Simulasi Jumlah


o Produksi Effort Keuntungan tahun ke- trip /th
(ton) (trip) (milyar Rp) produksi
negatif
1 Kembung 215,16 4.577 3,254 151 100
2 Cumi-cumi 149,79 2.558 2,932 58 500
3 Teri 262,01 3.302 3,492 32 300
4 Tongkol 98,29 3.796 1,237 Naik terus 200
5 Lemuru 37,15 2.414 0,125 11 500
6 Rajungan 144,98 5.795 3,480 56 300
7 Kakap merah 17,57 1.188 0,506 29 100
8 Udang 32,21 3.598 1,682 29 300
9 Kuwe 26,86 1.495 0,793 41 100

Pada Gambar 28, terlihat bahwa sero bukan merupakan alat tangkap
yang produktif. Hanya beberapa jenis ikan saja yang tertangkap, dan pola
produksi menaik seiring dengan pertambahan tahun dalam jangka waktu yang
lama, dikarenakan nilai FPI nya sangat kecil. Pada skenario kedua, alat tangkap
sero tidak direkomendasikan untuk melakukan penangkapan, demikian pula
dengan rampus.
Kembung, tongkol, dan rajungan yang tertangkap dengan gill net,
grafiknya menunjukkan bahwa produksi optimum tidak berlangsung lama.
Kurang dari 50 tahun akan mengalami penurunan produksi. Pola-pola yang ada
dalam simulasi sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan. Model
pengelolaan yang diusulkan adalah mengatur upaya penangkapan tiap jenis alat
tangkap sesuai dengan skenario kedua, dengan tidak menghilangkan
keberadaan jumlah alat tangkap yang ada (lihat Tabel 33), dan tidak menambah
ijin penambahan alat tangkap baru.
155

Gill net Dogol

300
100
90
250
80
70

Produksi (ton/th)
200
Produksi (ton/th)

60
50
150
40
30
100
20
10
50
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600
0
Tahun
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Tahun
kembung cumi-cumi teri

kembung cumi-cumi teri tongkol tongkol rajungan kakap merah


rajungan kakap merah udang kuw e udang kuw e lemuru

Bagan tancap Bagan perahu

450
500
400 450

350 400

Produksi (ton/th)
350
300
Produksi (ton/th)

300
250
250
200 200

150 150
100
100
50
50
0
0 0 50 100 150 200 250 300 350 400
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Tahun
Tahun

kembung cumi-cumi teri


kembung cumi-cumi teri
tongkol lemuru rajungan
tongkol lemuru rajungan
kakap merah udang kuw e kakap merah udang kuwe

Payang Pancing

200
70

150 60
Produksi (ton/th)

50
100
Produksi (ton/th)

40
50
30

0 20
0 5 10 15 20 25 30 35
10
-50

0
-100 0 2 4 6 8 10 12
Tahun Tahun
kembung cumi-cumi teri
kembung tongkol rajungan
tongkol lemuru rajungan
kakap merah udang kuwe kakap merah kuwe cumi-cumi

Sero Ram pus

500 100

450 90

400 80

350 70
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)

300 60

250 50

200 40

150 30

100 20

50 10

0
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Tahun Tahun

kembung cumi-cumi teri rajungan kembung cumi-cumi teri tongkol


kakap merah udang kuw e rajungan kakap merah udang kuw e

Gambar 29 Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 2.


156

5.6.3 Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten

Model pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan tangkap di


Teluk Banten merupakan model abstraksi yang disusun berdasarkan tahapan
identifikasi permasalahan, mencari solusi, melakukan pengelolaan, menentukan
model yang tepat, membangun model yang dianalisis dengan beberapa
pendekatan diantaranya adalah mengevaluasi status pemanfaatan perikanan
tangkap dengan menggunakan model surplus production dan model bionomi,
menentukan komoditi unggulan, menentukan teknologi penangkapan ikan ramah
lingkungan dan berkelanjutan, menyusun zonasi pemanfaatan kawasan
perikanan tangkap dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi
penggunaan kawasan, penentuan kriteria dan faktor penyusunan zonasi
perikanan tangkap, serta melakukan pemetaan konflik penggunaan kawasan.
Penzonasian dilakukan dengan menggunakan GIS. Penentuan strategi
kebijakan dilakukan dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal,
mengkaji kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dengan menggunakan
analisis SWOT dan AHP. Penentuan model yang tepat dilakukan dengan
simulasi model, dimulai dengan penentuan alokasi unit penangkapan dengan
pendekatan optimasi, dan wilayah, serta simulasi usaha penangapan ikan
dengan pendekatan program LGP dengan alat bantu LINDO (Gambar 29).
157

Pemanfaatan kawasan teluk oleh banyak aktivitas

Informasi yang butuhkan:


 UPI;
 Produksi dan upaya penangkapan;
 Informasi pemanfaatan ruang;
 Citra SPL dan klorofil-a;
Informasi
 Kondisi lingkungan;
 Kondisi sosial, ekonomi, budaya;
 Jaringan pasar hasil perikanan tangkap;
 Keberadaan lembaga formal dan non formal;
 Kebijakan pemda

Status Komoditi TPI ramah Zonasi kawasan


pemanfaatan unggulan lingkungan Teluk Banten

9 dari 23 jenis Cumi-cumi, teri, Pancing ulur, bagan Zona perikanan tangkap:
ikan masih dapat rajungan perahu, gill net  Zona I: sero, bagan
dikembangkan tancap
 Zona II: gill net, rampus
 Zona III: dogol, bagan,
perahu, payang, pancing

Strategi kebijakan:
 Memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang cukup strategis, dan mengoptimalkan jenis ikan unggulan
untuk memenuhi permintaan ekspor;
 Memanfaatkan jumlah SDM yang besar dan kepedulian nelayan terhadap upaya pengelolaan
kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten;
 Memanfaatkan dukungan PEMDA dan adanya otonomi daerah untuk membuat kebijakan dalam
penataan dan perluasan wilayah tangkap dan pelibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan.
Tujuan pengelolaan diprioritaskan pada terjaminnya keberlanjutan usaha penangkapan ikan dengan
tetap memperhatikan potensi sumber daya ikan yang ada.

Simulasi:
 Alokasi jumlah alat tangkap: gillnet 3 unit, dogol 11 unit, bagan
tancap 11 unit, bagan perahu 6 unit, payang 2 unit, pancng 5
unit, sero dan rampus tidak dialokasikan.
 Meningkatkan pendapatan nelayan sebesar 25%;
 Menjaga kelestarian SDI dalam jangka waktu 18 tahun

Gambar 30 Model Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Perikanan


Tangkap di Teluk Banten.
6. PEMBAHASAN

6.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan Tangkap


Cumi-cumi, tembang, teri, selar, dan pari merupakan jenis ikan yang
menunjukkan peningkatan produksi tiap tahunnya. Cumi-cumi dan teri
merupakan jenis ikan yang memiliki fototaksis positif, sehingga dimanfaatkan
oleh alat tangkap yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan.
Penangkapan dilakukan pada saat bulan gelap di setiap bulan terutama untuk
bagan tancap, bagan perahu, dan payang bondet (hanya di Wadas). Sedangkan
cumi-cumi selain ditangkap oleh bagan tancap, dan bagan perahu juga
tertangkap oleh payang, terutama payang ”congkel” yang ada di Terate. Pada
saat musim peralihan satu (Maret-Mei) merupakan musim cumi-cumi, puncak
penangkapan pada bulan April. SPL pada bulan April sekitar 30ºC dan
kandungan klorofil-a sekitar 0,6 mg/m3. Kondisi ini ternyata sama dengan apa
yang telah dikemukakan oleh Hendiarti (2008), yang menyatakan bahwa kondisi
suhu perairan Indonesia secara umum berkisar antara 25–33C, dan konsentrasi
klorofil-a permukaan perairan berkisar antara 0,02 – 50 mg/m3. Purbani, et.al.
(2010), suhu permukaan laut pada bulan Maret-Mei berkisar antara 30-32ºC
dan konsentrasi klorofil-a tertinggi pada bulan Februari dan Agustus (2,0-3,2
mg/m3). Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Simanjuntak (2007), yang
mengatakan bahwa rata-rata kadar oksigen terlarut tertinggi di lapisan
permukaan terjadi pada bulan April (5,70-6,27 ml/l; 6,18±0,11 ml/l). Selanjutnya
dikatakan bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi keadaan perikanan
pelagis di Indonesia, terutama di Laut Jawa yang didominasi oleh ikan pelagis
kecil: a) perairan samudra: D. macrosoma, A. sirm, R. kanagurta; b) neritic: D.
russelli; c) perairan pesisir: S. crumenophthalmus, S. gibbosa. Puncak musim
penangkapan pada bulan September-November (musim timur), dengan
fenomena oseanografi lebih hangat dan lebih kaya unsur hara. Adapun
tembang, selar dan pari banyak tertangkap dengan dogol, mengingat dogol
(lampara dasar) merupakan alat tangkap yang paling produktif, maka wajar
apabila ketiga jenis ikan ini produksi tiap tahunnya mengalami peningkatan.
Lampara dasar dianggap sebagai salah satu penyebab berkurangnya
ketersediaan ikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan lampara dasar sering
digunakan untuk menangkap udang, juga .menangkap ikan dan organisme lain
serta karena mobilitasnya dapat mengeruk dasar laut sehingga menimbulkan
160

kerusakan ekosistem yang parah. Lampara dasar berinteraksi secara langsung


dengan sedimen dasar yang dapat menyebabkan hilang atau rusaknya
organisme hidup yang sesil seperti rumput laut dan terumbu karang. Lampara
dasar, dengan kemampuan pengerukannya, dapat pula membongkar terumbu
karang atau batu dalam ukuran besar. Di dasar yang berpasir atau berlumpur,
lampara dasar dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup terumbu karang. Kerugian utama yang ditimbulkan lampara
dasar terhadap jenis (spesies) adalah tertangkapnya organisme kecil dan jenis-
jenis yang bukan sasaran penangkapan (non-target), yang biasanya dibuang
begitu saja di laut. Dampak terhadap spesies ini dapat dikurangi dengan
menggunakan jaring dengan ukuran tertentu yang dapat mengurangi peluang
tertangkapnya organisme yang berukuran kecil.
Produksi teri banyak dihasilkan dari bagan tancap dan bagan perahu.
Bagan tancap banyak terdapat di perairan sebelah barat P. Panjang (daerah
Kepuh) dan sebelah tenggara P. Panjang. Teri juga merupakan jenis ikan yang
memiliki sifat fototaksis positif tercahadap cahaya, sehingga sangat efektif
apabila ditangkap dengan bagan. Penangkapan ikan menggunakan bagan hanya
dilakukan pada malam hari (light fishery). Terutama pada saat bulan gelap, dan
menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Lampu berfungsi untuk
mengumpulkan ikan pada satu titik atau tempat untuk kemudian dilakukan
penangkapan. Brandt (1984), menyatakan bahwa keberhasilan penangkapan
ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya ditentukan oleh teknik
penangkapan, kondisi perairan dan lingkungan serta kualitas cahaya yang
digunakan untuk memikat perhatian ikan.
Perairan sekitar Pulau Panjang merupakan salah satu lokasi fishing
ground yang dimanfaatkan oleh alat tangkap gill net, dogol, bagan tancap,
payang, pancing ulur, dan rampus. Produksi teri cukup dominan di Kepuh,
Wadas, dan Karangantu. Teri selain dijual dalam bentuk segar juga diolah lebih
lanjut dalam bentuk asin kering. Teri galer asin dijual ke pasar lokal yaitu Serang
dan Rangkasbitung, sedangkan teri nasi untuk permintaan luar negeri (diekspor
ke Jepang dan Singapura). Dengan demikian perikanan teri merupakan
perikanan yang berpeluang untuk dikembangkan.
Penangkapan dengan bantuan cahaya, tidak hanya dilakukan oleh bagan
tancap maupun perahu, namun juga payang tingker, dengan lokasi penangkapan
yang berdekatan yaitu sekitar P. Panjang untuk alat tangkap bagan tancap dan
161

payang tingker. Sedangkan bagan perahu memanfaatkan perairan di sekitar P.


Tunda. Hal ini dikarenakan kemampuan armada penangkapan bagan perahu
cukup besar dengan mesin kapal berkekuatan sekitar 24 PK. Jenis ikan yang
tertangkap dengan ketiga jenis alat tangkap ini ternyata tidak hanya ikan yang
memiliki sifat fototaksis positif, tetapi juga berbagai jenis ikan pelagis diantaranya
adalah kembung, tembang, layang, lemuru dan selar. Hal ini diduga karena
kedalaman perairan teluk yang relatif dangkal yaitu sekitar 0-20 m. Kedalaman
sekitar 20 m ditemukan di sekitar P. Tunda dan Sangiang, sedangkan kedalaman
perairan di dalam teluk sekitar 12 m. Pada kedalaman 1–6 m di sekitar Teluk
Banten terdapat terumbu karang. Dasar perairan berupa lumpur berpasir, dan
lebih dalam lagi substrat perairan berupa campuran lumpur, pasir, dan patahan
karang (rubble). Namun demikian di Pulau Tunda terumbu karang dijumpai
sampai kedalaman 15 m. Visibility perairan antara 5–7 m.
Delapan jenis ikan pelagis dan 10 jenis ikan demersal tingkat produksinya
mengalami penurunan. Penurunan produksi kemungkinan disebabkan oleh
jumlah sumber daya ikan yang semakin sedikit, upaya penangkapan sedikit, atau
pendataan yang tidak lengkap (tidak tercatat). Sebagai contoh udang,
berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan mengatakan bahwa udang 10
tahun yang lalu masih banyak dibandingkan saat ini, dikarenakan perairan Teluk
Banten sudah tercemar buangan industri, sejak banyaknya bangunan industri
berdiri di sepanjang pesisir Bojonegara. Apa yang dikatakan nelayan ternyata
benar, terbukti dengan hilangnya padang lamun sekitar 75 ha pada bagian barat
Teluk Banten sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 (Kiswara 2004).
Penyebab utamanya adalah kegiatan pengurugan untuk kawasan industri,
dermaga, dan jetty. Padahal kita tahu bahwa lamun bermanfaat dalam
menstabilkan dasar perairan; menghasilkan dan mengikat sedimen menjadi satu;
dipergunakan untuk menyaring limbah cair; memberikan tempat hidup dan
berkembang biak bagi ikan dan berbagai biota laut; memberikan sumber
makanan dasar untuk ikan, penyu, duyung, dan binatang tidak bertulang
belakang; menyediakan suatu pilihan tempat mencari makan untuk biota bernilai
komersial (Kiswara 2004), berada di bagian barat Teluk Banten.
Parameter lingkungan lain yang berpengaruh terhadap keberadaan
udang adalah hutan bakau (mangrove). Hutan bakau merupakan daerah untuk
mencari makan, dan perlindungan bagi juvenile udang sebelum menjadi dewasa.
Udang kecil biasanya menempelkan dirinya di sekitar akar bakau untuk
162

menghindari serangan predator (Martosubroto 1977 diacu dalam Simbolon


2011). Ekosistem hutan bakau di Teluk Banten berada di bagian timur dan
selatan Pulau Panjang. Kondisi ekosistem hutan bakau di Teluk Banten sudah
mengalami kerusakan, umumnya dikarenakan penebangan, dan konversi lahan
untuk pertambakan (Bapedal Provinsi Banten dan PKSPL IPB 2004).
Rajungan termasuk salah satu sumberdaya ikan yang produksinya
menurun rata-rata sebesar 184,17%. Hal ini diduga karena pendataan yang
tidak “valid”, karena rajungan tidak didaratkan di TPI Karangantu (rajungan hanya
ada di Karangantu) tetapi langsung kepada pengumpul (orang yang dapat
menjadi penanggung biaya operasi dan bisa juga tidak, tetapi memiliki
keterkaitan secara sosial), petugas mendatangi pengumpul. Pengumpul
selanjutnya memprosesnya untuk direbus dan dikuliti selanjutnya dipilah-pilah
berdasarkan grade kualitas rajungan sebelum dikirim ke luar kota (Pemalang)
untuk selanjutnya diekspor. Kondisi tersebut juga diperkuat dengan hasil
wawancara dengan pengumpul, yaitu hasil tangkapan rajungan sudah menurun
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
upaya penangkapan yang terus menerus dilakukan, baik oleh alat tangkap gill
net (jaring rajungan), bubu rajungan, dan dogol. Padahal apabila kita melihat
pola musim rajungan terlihat bahwa musim banyak rajungan adalah pada saat
musim barat yaitu bulan November-Januari, walaupun penangkapan rajungan
dilakukan sepanjang tahun. Rajungan hidup di daerah yang memiliki subsrat
dasar perairan yang berlumpur barpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga
hingga tempat padang lamun. Habitat seperti ini sangat sesuai dengan kondisi
dasar perairan Teluk Banten. Rajungan dapat hidup sampai pada kedalaman 60
m. Teluk Banten memiliki kedalaman berkisar antara 0-20 m pada kondisi air
terndah. Pada umumnya kontur kedalaman 5 m menyebar sekitar 1,5-2 km
(pantai bagian barat dari Tanjung Grenyang, Bojonegara sampai ke Tanjung
Piatu, dekat P. Salira) menyebar sekitar 200-300 m dari pantai. Kedalaman 5-10
m menyebar di bagian tengah Teluk Banten, sedangkan kedalaman 10-20 m
menyebar mulai dari bagian utara dan pada alur barat (antara P. Panjang denga
pantai barat Teluk Banten) serta di sebelah selatan P. Panjang.
Tingkat pemanfaatan ikan teri (81,79%), kurisi (82,68%), dan pari
(81,39%) sudah melebihi dari jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB). Kondisi
ini apabila terus dilanjutkan dengan penambahan upaya penangkapan akan
membahayakan kondisi sumberdaya ikan, kondisi ini juga diperkuat dengan
163

menurunnya produksi ikan tiap tahun sebesar 13,12%. Kondisi ini juga akan
berdampak pada terjadinya penurunan pendapatan nelayan, karena sulitnya
mendapatkan ikan. Kenyataan ini memang benar-benar terjadi pada saat
penelitian berlangsung sehingga di beberapa Desa seperti di Kepuh, mereka
melakukan pekerjaan sambilan bertani (sebagai buruh tani) ketika tidak musim
ikan, atau isteri ikut membantu bekerja sebagai buruh cuci. Keputusan
berpindah kepada pekerjaan lain tidak diikuti oleh seluruh nelayan yang ada,
mereka masih menggantungkan hidupnya dari laut dengan alasan mereka tidak
punya keahlian lain. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka kemiskinan
nelayan akan bertambah. Jika dikaitkan dengan hasil analisis bionomi diperoleh
bahwa usaha penangkapan ikan kurisi akan menguntungkan secara biologi
apabila trip penangkapan dilakukan sebanyak 1.276 kali trip dan hasil tangkapan
sebanyak 141,00 ton/th, dengan tingkat upaya penangkapan sebesar 105,72%.
Berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI no. KEP.45/MEN/2011 tentang
estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI,
menunjukkan bahwa kurisi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712 (Laut
Jawa) dikelompokkan ke dalam moderate, yang ditangkap pada kedalaman di
atas 40 m. Adapun di Teluk Banten kedalaman tertinggi adalah 20 m, dengan
demikian penambahan upaya penangkapan tidak dimungkinkan lagi mengingat
sudah melebii 100%.
Berdasarkan hasil analisis standarisasi alat tangkap, ternyata kurisi
ditangkap dengan dogol (lampara dasar). Lampara dasar di Karangantu pada
kurun waktu 2005-2009, merupakan alat tangkap yang paling produktif, tidak
hanya ikan dasar yang menjadi target utama penangkapan, tetapi juga ikan
pelagis. Berdasarkan peraturan yang ada, daerah penangkapan lampara dasar
adalah di atas 3 mil (perairan utara Laut Jawa Kabupaten Serang) dan
menggunakan ukuran mata jaring kantong lebih dari 1 inchi. Pada faktanya
terjadi pelanggaran dari ketentuan yang berlaku, yaitu adanya penambahan otter
board dan alat pemisah ikan pada alat tangkap, dan ukuran mata jaring bagian
kantong sebesar 2 cm (< 1 inchi, 1 inchi= 2,54 cm). Sehingga wajar apabila
produksi ikan paling besar disuplai dari alat tangkap ini. Dengan demikian upaya
penangkapan ikan kurisi bisa dikendalikan, mengingat saat ini alat tangkap
lampara dasar yang telah dimodifikasi seperti trawl mini dilarang penggunaannya
sejak diterbitkannya surat dari Ditjen Pengawasan dan Pengendalian SDKP No.
10.07.3./P2SDKP 5/TU.210/X/2009 tanggal 7 Oktober 2009. Dinas Kelautan dan
164

Perikanan Provinsi Banten menetapkan tanggal 2 Februari 2010 sebagai batas


waktu pelarangan penggunaan alat tangkap ini di wilayah Banten, dan nelayan
diminta untuk mengganti alat tangkap tersebut dengan yang lain.
Bagan tancap adalah alat tangkap standar yang digunakan untuk
menangkap ikan teri. Pemanfaatan terhadap ikan teri telah melebihi JTB,
sehingga tidak diperlukan lagi penambahan upaya penangkapan, meskipun
berdasarkan data produksi memiliki trend meningkat setiap tahun (3,23%).
Namun berdasarkan hasil analisis bionomi diperoleh bahwa keuntungan
maksimum sebesar 3.611,02 juta rupiah dicapai pada saat trip penangkapan
sebanyak 4.371 kali dan hasil tangkapan sebanyak 272,34 ton/th. Dengan
demikian usaha penangkapan teri masih menguntungkan. Seiring dengan
dilarangnya lampara dasar yang telah dimodifikasi, maka mulai berkembang
“bagan congkel” yaitu bagan perahu yang dilengkapi dengan lampu sebanyak
10-13 buah, dan jumlah bagan tancap juga semakin berkurang. Kondisi ini bisa
menggantikan keberadaan bagan tancap tanpa mengurangi jumlah produksinya,
mengingat teri merupakan komoditi dengan harga jual yang cukup tinggi yaltu
Rp13.500,- per kg.
Kondisi aktual upaya penangkapan ikan pari telah melebihi upaya
penangkapan pada tingkat MEY, namun produksinya masih di bawah MEY. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh pari bukan merupakan target penangkapan
dari dogol. Berdasarkan hasil standarisasi alat tangkap dogol merupakan alat
tangkap standar untuk ikan kurisi, cumi-cumi, tembang, selar, rajungan, pari,
pepetek, udang, bawal hitam, layur, dan beloso. Hal ini wajar terjadi karena
bukaan mulut dogol selebar 4 m, dan apabila terbuka sempurna (memakai
otterboard) selebar 6 m, padahal kedalaman perairan Teluk Banten rata-rata 7 m
(kedalaman tertinggi sebesar 13 m).
Ikan lemuru, termasuk jenis ikan yang tingkat pemanfaatannya kurang
dari 80% namun mendekati 80% yaitu sebesar 77,01%, disisi lain tingkat upaya
penangkapan masih sebesar 56,46%. Hal ini berarti perlu adanya kehati-hatian
untuk melakukan penambahan upaya, walaupun masih dimungkinkan dilakukan.
Lemuru sendiri tertangkap dengan jaring payang, yang berasal dari dua TPI yaitu
TPI Terate dan Karangantu. Produksi ikan lemuru dari tahun 2005-2009 di Teluk
Banten terus mengalami penurunan, dengan rata-rata penurunan sebesar
22,44%. Hal ini diduga Teluk Banten merupakan perairan yang dilewati ikan
lemuru yang bermigrasi dari Teluk Jakarta ke Selat Sunda atau sebaliknya, hal
165

ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Soedjodinoto (1960), Hosniyanto
(2003), diacu dalam (Simbolon 2011), bahwa lemuru selain ditemukan di Selat
Bali juga ditemukan di selatan Ternate, Selat Madura, Selat Sunda, dan Teluk
Jakarta.
Ikan selar dan kembung, tingkat pemanfaatannya belum mencapai 80%
namun sudah di atas 50%. Keadaan ini sebenarnya masih berpeluang untuk
dikembangkan, namun apabila dikaitkan dengan grafik hubungan effort dengan
CPUE yang menunjukkan penurunan CPUE apabila terus dilakukan
penambahan upaya, maka kedua perikanan ini tidak mungkin dikembangkan
lagi. Apalagi jika dikaitkan dengan hasil analisis bionomi, menunjukkan bahwa
ikan selar akan mempunyai keuntungan maksimum jika upaya penangkapan
dilakukan sebanyak 2.362 kali trip, akan mendapatkan keuntungan sebesar
673,85 juta rupiah dengan hasil tangkapan sebanyak 146,58 ton/th. Selar
merupakan jenis ikan yang memiliki harga jual rendah yaitu hanya Rp5.000,-,/kg,
sehingga walaupun hasil tangkapan banyak tidak akan bisa menutupi biaya
produksi. Keadaan ini berbeda dengan kembung, kembung lebih
menguntungkan terlihat dari keuntungan maksimum sebesar 4.803,18 juta rupiah
yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 7.226 trip dan hasil
tangkapan sebanyak 262,74 ton/th. Berdasarkan kondisi ini, perikanan kembung
masih berpeluang untuk ditingkatkan pemanfaatan dan keuntungannya. Pancing
sebagai alat tangkap standar masih dapat dioptimalkan tingkat upayanya.
Ikan tembang banyak tertangkap dengan dogol, tingkat pemanfaatannya
sebesar 46,4%, upaya penangkapan aktual sebesar 6.495 trip/th telah melebihi
upaya optimum (fmsy) sebesar 6.103 trip. Pada satu sisi berdasarkan analisis
bionomi akan mendapatkan keuntungan maksimum sebesar 1.750,03 juta rupiah
apabila upaya penangkapan sebanyak 5.858 kali trip dengan hasil tangkapan
sebesar 632,16 ton/th. Namun faktanya keuntungan yang diperoleh sebesar
708,47 juta rupiah. Dengan demikian, sebenarnya masih berpeluang untuk
meningkatkan keuntungan tetapi tidak dengan penambahan upaya
penangkapan. Strategi yang dilakukan adalah mengupayakan pengurangan
upaya penangkapan sampai tingkat MEY sehingga dapat menekan biaya
produksi. Perikanan tembang diarahkan ditangkap dengan payang, dan dogol
diawasi jalur penangkapannya agar berada di luar teluk.
Produksi cumi-cumi senantiasa meningkat sejak tahun 2005-2009, hal ini
disebabkan karena ditangkap oleh payang yang ditemukan di semua TPI dan
166

bagan congkel (bagan perahu), yang dilengkapi dengan lampu pada satu tahun
terakhir. Jika dikaitkan hasil perhitungan standarisasi alat tangkap, cumi-cumi
banyak tertangkap dengan dogol karena memang alat tangkap ini sangat
produktif melakukan upaya penangkapan, tidak hanya ikan demersal saja tetapi
juga ikan pelagis, apalagi sebelum ada SK pelarangan dan sampai saat ini
memang belum ada yang dapat menggantikan. Keberadaan bagan perahu
sendiri hanya ditemukan di Karangantu, P. Panjang dan sebagian di Kepuh.
Perikanan cumi-cumi, baru dimanfaatkan sebesar 39,62%, sehingga masih
dapat dioptimalkan lagi mengingat perikanan cumi-cumi secara biologi dan
ekonomi menguntungkan. Bahkan keuntungan terbesar diperoleh perikanan ini
dibandingkan dengan jenis ikan lain. Keuntungan pada saat MEY adalah
6.937,99 juta rupiah yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar
13,407 trip dengan hasil tangkapan sebesar 363,66 ton. Penangkapan cumi-cumi
harus diupayakan menggunakan alat tangkap yang menggunakan lampu
sebagai alat bantu penangkapan seperti bagan perahu, karena memang efektif
dan hasil tangkapan masih segar. Perairan Teluk Banten pada saat musim
cumi-cumi, yaitu bulan Maret 2010 pada saat penelitian berlangsung hasil
tangkapannya mencapai 38,17 ton di Karangantu, dan 1,09 ton di Terate.
Berkurangnya sumber daya ikan pelagis disebabkan karena beberapa hal
diantaranya adalah sangat beragamnya alat tangkap yang digunakan, jumlah alat
tangkap banyak, daerah penangkapan yang terbatas dan semakin sempit. Untuk
menangkap cumi-cumi misalnya selain bagan juga tertangkap dengan payang,
gillnet dan bahkan sero. Bagan apung (bagan congkel) dan payang tingker
menggunakan fishing ground yang sama, kedua alat tangkap tersebut sama-
sama menggunakan alat bantu lampu untuk mengumpulkan ikan tujuan tangkap.
Dengan demikian kondisi ini juga harus dipecahkan, mungkin bisa diatur atau
diarahkan fishing ground yang lebih jauh dari kawasan Teluk Banten tetapi masih
dalam pengaturan wilayah tangkap Kabupaten Serang, yaitu sejauh 4 mil dari
pantai yang diukur pada saat surut terendah. Secara umum kondisi perikanan
pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami lebih tangkap, estimasi petensi
pelagis kecil di WPP 712 sebesar 380 ribu ton/tn.
Terkait dengan jumlah alat tangkap yang banyak, Pemerintah sudah
harus berpikir untuk menggunakan alat tangkap yang selektif, dan mendata
kembali secara langsung dan benar alat tangkap apa aja yang masih layak
dioperasikan dan yang betul-betul tidak dimanfaatkan lagi. Berdasarkan
167

pengamatan selama penelitian pendataan tidak berjalan secara optimal baik


terkait data hasil tangkapan maupun kapal penangkap ikan. Hanya satu TPI
yang efektif berjalan baik, yaitu TPI Terate. TPI Wadas dan Kepuh tidak ada
sistem lelang dan terkesan asal ada, sedangkan di TPI Karangantu walaupun
terjadi transaksi perdagangan yang ramai, namun kondisi nelayan tangkap masih
tergantung pada “juragan”. Satu juragan bisa menjadi pembeli lebih dari 10
kapal, dan pedagang pengecer maupun masyarakat biasa (penduduk maupun
wisatawan) bisa langsung membeli ke juragan sehingga kondisi ini menyulitkan
pendataan. Belum lagi masih ditemukan nelayan yang mendaratkan hasil
tangkapannya di Kali Cengkok, terutama untuk alat tangkap yang menangkap
ikan hias. Keadaan ini menjadi pekerjaan rumah Dinas Pertanian dan Kelautan
Kota Serang dan PPN Karangantu, agar pelabuhan Karangantu beroperasi
secara optimal, mengingat daerah ini merupakan konsentrasi permukiman
nelayan.
Bertolak dari keadaan tersebut maka pemerintah (Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Serang) hendaknya menata ulang lagi jenis dan jumlah
alat tangkap, terutama untuk ikan pelagis; tidak dibuka ijin baru untuk
menangkap; serta mengoptimalkan upaya penangkapan (trip) tetapi dengan alat
tangkap yang betul-betul efektif dan ramah lingkungan. Usulan seperti ini perlu
dikaji kembali mengingat kebijakan yang akan dibuat melibatkan banyak pihak.
Pemerintah bisa mengkaji kembali konsep sistem perikanan menurut Charles
(2001) dan konsep Gulland (1991) di dalam pengelolaan perikanan tangkap.
Berdasarkan analisis bionomi, menunjukkan bahwa usaha perikanan
cumi-cumi paling menguntungkan dengan alat tangkap standar dogol, diikuti
perikanan kembung yang ditangkap dengan pancing, teri dengan alat tangkap
bagan tancap, dan tembang dengan alat tangkap dogol serta beberapa ikan
yang lain menguntungkan tetapi tidak terlalu besar, yaitu yang ditangkap dengan
dogol. Apabila dogol diarahkan hanya untuk ikan demersal saja, maka payang
merupakan alternatif terbaik yang bisa dioptimalkan.
Produksi hasil tangkapan ikan demersal dari tahun ke tahun mengalami
fluktuasi. Trend produksi hasil tangkapan menunjukkan gejala penurunan
sehingga dikhawatirkan jika terus dilakukan upaya penangkapan akan
menurunkan produksi. Namun demikian apabila dikaitkan dengan hasil
perhitungan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diperoleh bahwa
beberapa ikan mempunyai tingkat pemanfaatan ikan di bawah 50% yaitu
168

rajungan (44,16%), udang (45,63%), dan manyung (44,76%). Jenis ikan yang
dimanfaatkan lebih dari 50% tapi masih di bawah 80% adalah pepetek (50,97%),
kakap merah (74,34%), kuwe (75,47%), layur (68,39%), bawal hitam (52,16%),
ekor kuning (73,09%) dan beloso (76,61%). Jenis ikan yang tingkat
pemanfaatannya di atas 80% adalah ikan pari (81,39%). Berdasarkan
standarisasi alat tangkap, keseluruh ikan tersebut ditangkap dengan pancing dan
dogol.
Upaya penangkapan optimum rajungan sebesar 7.754 trip, dan hasil
tangkapan pada kondisi MSY sebesar 141,90 ton/th. Berdasarkan analisis
bionomi, nilai MEY dicapai pada saat hasil tangkapan sebesar 141,80 ton/th,
dengan upaya penangkapan sebanyak 7.542 trip, dengan keuntungan
maksimum sebesar 3. 356,36 juta rupiah. Berdasarkan kondisi tersebut rajungan
memiliki prospek untuk dikembangkan. Namun demikian turunnya produksi
rajungan dari tahun 2005-2009, kemungkinan disebabkan oleh tidak
didaratkannya rajungan di TPI dan tidak melalui proses lelang, terutama yang
berasal dari jaring dan bubu rajungan. Nelayan langsung menjual hasil
tangkapannya ke pengumpul (pemilik kapal) untuk selanjutnya direbus dan
diproses sesuai pesanan pasar untuk ekspor. Keadaan ini menyebabkan
pencatatan menjadi tidak optimal, karena petugas TPI mendatangi pengumpul
dan hanya meminta retribusi, sehingga dimungkinkan jumlah tangkapan tidak
dilaporkan yang sesungguhnya. Rajungan memiliki nilai jual yang tinggi, yaitu
Rp25.000,- per kg. Sehingga usaha perikanan rajungan memiliki prospek untuk
dikembangkan namun tetap dengan pengaturan yang baik agar kelestarian
rajungan tetap terjaga.
Perikanan udang, juga memiliki prospek untuk dikembangkan, tingkat
pemanfaatan baru sebesar 45,63%, effort optimum sebanyak 6.699 trip, hasil
tangkapan saat MSY sebesar 46,22 ton/th. Rendahnya tingkat pemanfaatan
kemungkinan disebabkan karena sedikitnya sumberdaya ini. Udang yang
tertangkap di Karangantu merupakan akumulasi dari udang jerbung (udang
putih), dan udang dogol. Daerah asuhan (nursery ground) udang adalah di
daerah teluk yang mempunyai hutan bakau (mangrove), Teluk Banten sendiri
luasan hutan bakaunya sudah sangat berkurang, tepatnya di pesisir pantai Teluk
Banten. Mengingat daerah asuhan sangat sedikit, maka keberadaan udangpun
menjadi sangat sedikit. Berdasarkan analisis bionomi, perikanan udang juga
menguntungkan. Kondisi MEY terjadi pada saat tangkapan sebesar 46,17 ton/th,
169

dan upaya penangkapan sebesar 6.478 trip. Keuntungan maksimum diperoleh


sebesar 2.377,56 juta rupiah.
Perikanan kakap merah dan kuwe juga memiliki prospek untuk
dikembangkan. Tingkat pemanfaatan kakap merah sebesar 76,34% dan kuwe
75,47%, dengan effort optimum masing-masing sebesar 1.613 trip dan 2.131 trip.
Hasil tangkapan saat MSY sebesar 18,47 ton/th dan 29,51 ton/th, sedangkan
kondisi aktual sebesar 14,10 ton/th dan 22,27 ton/th. Kondisi ini masih
dimungkinkan untuk dioptimalkan lagi, apalagi keuntungan yang diperoleh pada
tingkat MEY sebesar 512,73 juta rupiah untuk kakap merah, dan 845,25 juta
rupiah untuk kuwe. Sumberdaya kakap merah di WPP 712 sudah mengalami
tangkap lebih (over exploited), sedangkan kuwe belum teridentifikasi.
Bawal hitam, dan ekor kuning, kondisi aktual penangkapan telah melebihi
upaya penangkapan pada tingkat MEY dan MSY, namun produksi hasil
tangkapan dan keuntungannya masih berada di bawah tingkat MEY dan MSY.
Hal ini menunjukkan bahwa baik bawal hitam maupun ekor kuning bukan
merupakan target penangkapan, tetapi kedua jenis ikan ini tertangkap dengan
dogol. Kemungkinan kedua adalah kedua jenis ikan ini jumlahnya sedikit di
perairan, terbukti dua tahun berturut-turut hasil tangkapannya sangat kecil (lihat
Tabel 7). Untuk meningkatkan keuntungan, tidak mungkin dilakukan
penambahan upaya penangkapan, sehingga untuk sementara tidak dilakukan
penangkapan bagi kedua jenis ikan ini. Demikian pula dengan manyung,
memilliki kondisi yang sama dengan bawal hitam dan ekor kuning. Manyung
ditangkap dengan pancing. Rendahnya tingkat pemanfaatan ikan manyung
kemungkinan disebabkan karena target utama penangkapan pancing bukan
manyung. Dengan jumlah produksi dan keuntungan yang kecil, bawal hitam, ekor
kuning, dan manyung tidak dapat dijadikan komoditi unggulan. Kondisi ini secara
umum tidak berbeda jauh dengan kondisi di Laut Jawa, yang menunjukkan
bahwa perikanan demersal telah mengalami fuly exploited (Kepmen KP no.
45/2011).
Berdasarkan kondisi riil saat ini perikanan belanak dan cucut tidak
menguntungkan, karena total biaya operasi penangkapan lebih besar dari total
pendapatan yang diterima nelayan. Jumlah produksi ikan belanak, dan cucut
sangat sedikit sehingga nilai jualnya tidak bisa menutupi biaya operasi
penangkapan, sedangkan ikan pepetek ditemukan di sepanjang tahun, namun
nilai jualnya sangat kecil. Kondisi effort aktual ikan pari melebihi effort pada
170

tingkat MEY dan MSY. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi tingkat
keuntungannya tidak sebesar pada saat MEY, walaupun secara biologi masih
layak untuk dioptimalkan. Beberapa jenis ikan seperti ikan kurisi, tembang,
layang, cucut, pepetek, pari, layur, dan manyung kondisi effort aktualnya melebihi
effort pada tingkat MSY. Hal ini menunjukkan bahwa baik secara ekonomi
maupun biologi keuntungan optimum tidak diperoleh, sehingga upaya
penangkapan tidak bisa ditambah lagi, jika ditambah suatu saat akan berada
pada posisi open acces. Pada kondisi open acces, maka akan terjadi kerugian
terbesar, sebab penambahan upaya akan mengurangi pendapatan yang diterima
nelayan. Adapun cumi-cumi, kondisi effort aktual masih jauh di bawah kondisi
MEY, dan MSY. Hal ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan cumi-cumi masih
dapat dioptimalkan lagi baik secara ekonomi maupun biologi.
Alat tangkap yang dapat digunakan adalah bagan perahu, mengingat alat
tangkap ini cukup efektif menangkap ikan dikarenakan kemampuan armada
penangkapannya. Jumlah bagan perahu saat ini sekitar 10% dari seluruh alat
tangkap yang beroperasi di Teluk Banten, sehingga masih bisa dioptimalkan
tanpa melakukan penambahan unit alat tangkap mengingat keberadaannya
cukup untuk kawasan Teluk Banten.

6.2 Komoditi Unggulan


Berdasarkan hasil evaluasi terhadap status pemanfaatan sumber daya
ikan menunjukkan bahwa tidak semua jenis ikan dapat dijadikan sebagai
komoditi unggulan. Hanya sembilan jenis ikan yang dapat dianalisis lebih lanjut,
yaitu kembung, cumi-cumi, teri, tongkol, lemuru, rajungan, kakap merah, udang,
dan kuwe. Berdasarkan analisis LQ diperoleh bahwa cumi-cumi, teri, dan
rajungan memperoleh nilai LQ diatas 1, masing-masing sebesar 2,81, 2,00 dan
1,70. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah produksinya paling banyak ditemukan
di Teluk Banten dibandingkan di provinsi Banten, dengan penyebaran yang
merata ditemukan di TPI lokasi penelitian. Hal ini ditunjukkan dengan nilai IS
sebesar 0,39.
Jumlah produksi yang banyak, belum menunjukkan bahwa ikan tersebut
layak dijadikan sebagai komoditi unggulan, sehingga perlu dilakukan beberapa
parameter tambahan yaitu nilai produksi, harga jual ikan, wilayah pemasaran,
dan nilai tambah produk. Analisis secara diskriptif, yang dibantu dengan
menggunakan metode skoring terhadap parameter nilai produksi, harga jual ikan,
171

wilayah pemasaran, dan nilai tambah menunjukkan bahwa rajungan merupakan


komoditi unggulan yang pertama. Rajungan hanya ada di Karangantu,
tertangkap dengan gill net (jaring rajungan), bubu, dan dogol. Rajungan dijual ke
penampung/pengumpul untuk diproses lebih lanjut. Banyaknya pengumpul di
Karangantu sebanyak 4 orang, yang masing-masing sudah memiliki pelanggan
tetap (nelayan penangkap). Rajungan dapat ditangkap di sepanjang tahun,
namun puncak musim pada musim barat dan awal musim peralihan satu
(November-Februari) oleh jaring rajungan, dan bulan Juni oleh bubu rajungan.
Keunggulan rajungan ini terletak pada wilayah pemasaran dan nilai
tambah yang ada. Pasar rajungan adalah untuk konsumsi ekspor. Berdasarkan
wawancara dengan pengolah rajungan diperoleh bahwa setelah melalui proses
perebusan, dan pengelupasan kulit, rajungan dipisahkan berdasarkan kondisi
daging dan dikelompokkan berdasarkan ukuran yaitu jumbo (daging kaki
belakang), lam (daging kaki depan), super lam (hancuran ujung capit), bf
(beckfin, yaitu hancuran dari daging jumbo), spesial, dan cloumit (daging capit).
Proses pengolahan rajungan seperti terlihat pada Gambar 31.

Rajungan

Dicuci bersih

Direbus (20 menit)

Pengelupasan kulit batok dan capit

Ruang proses (dimasukkan ke dalam toples)

Ditimbang tiap toples (1 atau 1,2 kg)

Pengemasan (satu box berisi 12 toples, ± 25 kg)

Gambar 31 Proses Pengolahan Rajungan.


172

Dalam satu hari pengolah mampu merebus satu kwintal rajungan yang
diperoleh dari 15 orang nelayan jaring dan bubu rajungan. Produk olahan
rajungan setiap hari diambil oleh eksportir yang berasal dari Bogor.
Nilai tambah rajungan terletak pada seluruh bagian tubuh rajungan tidak
terbuang, dan dapat melibatkan jumlah tenaga kerja yang cukup banyak
sehingga dapat meningkatkan ekonomi mayarakat sekitar. Cangkang rajungan
kering laku dijual Rp 2.000,-/kg sebagai bahan makanan ternak (dijual ke
Jakarta). Adapun jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan ini
sebanyak 19 orang, yang terdiri dari 16 orang piker (pemroses, seluruhnya
perempuan), dan 3 orang operator (mencuci sampai dengan merebus).
Tenaga kerja yang dilibatkan masih ada hubungan saudara dan
masyarakat sekitar. Upah yang diberikan kepada piker Rp 7.500,-/kg,
sedangkan untuk operator Rp 50.000,-/hari terkadang lebih tergantung banyak
sedikitnya rajungan yang direbus. Usaha pengolahan rajungan ini telah berjalan
sejak tahun 1997. Keadaan ini menggambarkan bahwa rajungan membuat
masyarakat di Karangantu terbantu secara ekonomi. Apabila hal ini dikelola
dengan baik, maka rajungan menjadi komoditi ungggulan khas Teluk Banten.
Pengelolaan dengan baik maksudnya adalah dimulai dari penataan
penangkapan, pendataan hasil tangkapan, sampai dengan jumlah yang diekspor
tercatat dengan baik, karena saat ini tidak ada dokumentasi pendataan yang baik
pada instansi terkait (DKP Kota Serang). Informasi tentang pengolah daging
rajungan di luar kawasan Teluk Banten tetapi masih dalam wilayah Kabupaten
Serang, juga terdapat di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa dengan produksi 4,6
ton/tahun, dan Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa dengan produksi 37
ton/tahun (DKP Kabupaten Serang 2009).
Unggulan kedua adalah teri. Teri juga memiliki keunggulan dari sisi
wilayah pemasaran dan nilai tambah. Wilayah pemasaran teri selain untuk
konsumsi lokal juga untuk kebutuhan ekspor. Teri yang tertangkap di kawasan
Teluk Banten terdiri dari jenis teri galer (tertangkap dengan alat tangkap dogol,
dan bagan tancap), teri lilin, dan teri nasi (tertangkap dengan alat tangkap
payang bondet). Teri galer diolah lebih lanjut menjadi teri asin yang dipasarkan
di Serang dan sekitarnya sampai dengan Rangkas Bitung. Teri lilin diasin dan
dijual ke Jakarta apabila produksi mencapai 1 ton, dan dijual lokal di Serang
apabila produksi hanya sedikit (1-2 dus) (hasil wawancara dengan nelayan). Teri
nasi juga diolah menjadi teri asin, dan dipasarkan ke luar negeri dengan tujuan
173

Singapura dan Jepang lelalui PT. Teri Mas (Kecamatan Pulo Ampel). Pengolah
teri asin skala kecil mengumpulkan ikannya ke perusahaan tersebut. Jumlah
tenaga kerja mencapai 50 orang apabila musim ikan teri, dan 10 orang apabila
ikan teri sedikit. Ikan teri diperoleh dari nelayan bondet yang ada di Wadas, juga
disuplai dari nelayan bagan apung yang berasal dari Carita, Labuan, Panimbang,
Lampung, dan Tangerang.
Teri nasi kualitas ekspor dikelompokkan ke dalam grade A dan B. Grade
A adalah teri putih dengan kadar garam sedikit dijual dengan harga 11-13
dollar/kg, dan grade B teri agak kekuningan dijual dengan harga 10 dollar/kg.
Produksi tiap bulan 10 ton yang dihasilkan dari produk teri basah 50 ton. Puncak
musim pada bulan Maret-Agustus, dan sedikit teri pada bulan September-
Februari (kurang lebih 2 ton). Berdasarkan hasil wawancara dengan anak
pemilik perusahaan, usaha teri ini sudah berjalan sejak tahun 1987, namun
menjadi PT sejak tahun 2002. PT. Teri Mas mengekspor sendiri produknya
apabila dalam jumlah besar (satu kali ekspor 8 ton) dan apabila sedikit dikirim ke
Surabaya untuk diekspor melalui Surabaya (pengumpul). Dalam satu bulan bisa
1-2 kali ekspor.
Jumlah tenaga kerja yang dilibatkan sebanyak ± 50 orang apabila musim
teri, dan 10 orang apabila sedikit. Tenaga kerja diupah secara harian.
Pengelolaan perusahaan oleh keluarga, namun pekerja harian melibatkan
masyarakat sekitar, sehingga menambah pendapatan masyarakat sekitar.
Dengan demikian teri merupakan produk unggulan untuk wilayah Bojonegara
(Wadas, dan Kepuh).
Pengolah teri nasi ditemukan di Desa Pulau Panjang sebanyak 7
pengolah dengan produksi 409 ton/tahun, Desa Argawana Kecamatan Pulo
Ampel 5 pengolah dengan produksi 286 ton, Desa Margagiri Kecamatan
Bojonegara 5 pengolah dengan produksi 109 ton, dan Desa Bojonegara
Kecamatan Bojonegara sebanyak 1 pengolah dengan produksi 26 ton/tahun.
Produksi yang luar biasa, namun belum diunggulkan menjadi komoditi unggulan
daerah dari hasil perikanan tangkap.
Komoditi unggulan yang ketiga adalah cumi-cumi. Cumi-cumi
mendapatkan nilai tertinggi untuk nilai produksi, sedangkan teri dan rajungan
pada wilayah pemasaran dan nilai tambah. Tingginya nilai produksi pada cumi-
cumi dikarenakan harganya yang cukup mahal serta jumlah produksi yang cukup
besar, terutama pada saat musim cumi-cumi, yang disuplai dari Karangantu,
174

Terate, dan Kepuh. Cumi-cumi dipasarkan dalam bentuk segar di sekitar Serang
dan Jakarta. Cumi-cumi bisa menjadi komoditi unggulan apabila dikelola dengan
baik, selama ini cumi-cumi dibawa ke Jakarta oleh pedagang, mengingat cumi-
cumi segar lebih disukai oleh konsumen (ukuran besar). Cumi-cumi segar cukup
besar terserap oleh pasar lokal dan luar daerah menyebabkan komoditi ini tidak
diekspor ke luar negeri. Bisa jadi cumi-cumi Teluk Banten diekspor dari Jakarta,
namun data ini tidak terdokumentasi dengan baik sehingga sulit melacaknya.
Padahal apabila kita lihat dari hasil LQ dan IS menunjukkan nilai yang paling baik
dibanding komoditi lainnya.

6.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan


Berdasarkan hasil seleksi alat tangkap yang ramah lingkungan, diperoleh
tiga alat tangkap yang diusulkan yaitu pancing ulur, bagan perahu, dan gill net.
Pancing merupakan alat tangkap yang paling ramah lingkungan dan
berkelanjutan, baik secara biologi maupun teknik alat tangkap ini tidak merusak
lingkungan habitat ikan. Pancing merupakan alat tangkap standar untuk
kembung, tongkol, tenggiri, cucut, kakap merah, kuwe, ekor kuning, dan
manyung. Penggunaan alat tangkap ini masih bisa dioptimalkan untuk
menangkap tongkol dan kembung, yang masih berpeluang untuk ditingkatkan
pemanfaatannya, walaupun tidak bisa digunakan untuk komoditi unggulan.
Bagan perahu mendapatkan ranking ke-2, dengan rata-rata fungsi nilai
sebesar 0,71. Diikuti dengan gill net (jaring rajungan), payang, bagan tancap,
sero, rampus, dan dogol. Berdasarkan aspek biologi, ada tiga kriteria yang
memperoleh skor 4, yaitu tidak merusak habitat, produk tidak membahayakan
konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi. Berdasarkan hasil
penelitian Kiswara (2004), dugong (duyung) merupakan spesies yang dilindungi
di Teluk Banten. Dugong hidup di daerah lamun, sedangkan bagan perahu tidak
dioperasikan di daerah lamun. Akhir tahun 2009 sampai dengan Maret 2010,
bagan perahu (“bagan congkel”) keberadaannya sangat dirasakan bagi nelayan,
karena cukup produktif menangkap ikan yang memiliki sifat fototaksis positif.
Hanya yang perlu diatur nantinya adalah jarak antar bagan, sehingga pengaruh
lampu akan optimal bagi ikan tujuan tangkap. Selain itu tetap dikontrol
perkembangan jumlah alat tangkapnya, sehingga tidak membahayakan
biodiversitas, dan mengurangi by-catch. Berdasarkan aspek teknik, bagan
perahu mendapatkan skor 4 untuk jenis alat tangkap yang tidak membahayakan
nelayan yang mengoperasikan. Sedangkan berdasarkan aspek sosial
175

mendapatkan ranking satu. Namun berdasarkan aspek ekonomi alat tangkap ini
mendapatkan ranking ke-4. Secara ekonomi, alat tangkap ini termasuk
menguntungkan, terbukti nilai R/C sebesar 3,54 walaupun investasinya cukup
besar yaitu Rp 88.080.00,-, namun dapat balik modal selama 0,26 tahun (3
bulan). Namun demikian bagan perahu, merupakan alat tangkap yang tidak
selektif, karena jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang sangat
kecil. Apabila alat tangkap ini diusulkan, yang perlu diperhatikan nantinya adalah
pengoperasian alat tangkap ini disesuaikan dengan musim ikan tujuan tangkap,
dan khusus untuk ikan yang memiliki fototaksis positif seperti teri, dan cumi-cumi
(komoditi unggulan), dengan tujuan untuk mengurangi by-catch.
Hal ini menunjukkan bahwa bagan perahu dapat dijadikan sebagai
alternatif alat tangkap cumi-cumi menggantikan dogol. Dari sisi kualitas hasil
tangkapan, bagan perahu menghasilkan hasil tangkapan berkualitas baik
dibandingkan dogol. Dogol hendaknya tetap diarahkan untuk menangkap ikan
demersal, sehingga betul-betul harus dipastikan bahwa alat tangkap ini
melakukan operasi penangkapan pada jalur yang telah ditentukan. Sesuai
dengan peraturan DKP kabupaten Serang, bahwa daerah penangkapan alat
tangkap dogol, dan lampara dasar di perairan Utara Laut Jawa Kabupaten
Serang. Namun pada faktanya hal ini dilanggar oleh nelayan.
Gillnet (jaring rajungan) mendapatkan rangking ke-3 kriteria ramah
ligkungan secara keseluruhan, ranking ke-2 dari aspek teknik, rangking ke-3
untuk aspek biologi, dan rangking ke-4 untuk aspek sosial, namun rangking ke-7
dari aspek ekonomi. Skor tertinggi untuk aspek biologi adalah hasil tangkapan
tidak membahayakan konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi
atau hampir punah. Jaring rajungan didesain untuk menangkap rajungan yaitu
dengan mengatur ukuran mata jaring sebesar 4 inchi, sehingga paling selektif
diantara alat tangkap yang lain. Jaring rajungan pada dasarnya dikelompokkan
ke dalam gill net, prinsip penangkapannya adalah ikan terjerat pada insangnya,
sehingga ikan akan berusaha melepaskan diri dari jaring, dan berakibat pada
kualitas hasil tangkapan. Hal ini juga terjadi pada rajungan, rajungan terbelit
pada badan ataupun capitnya sehingga perlu kehati-hatian pada saat
melepaskannya dari jaring. Perikanan gill net juga termasuk perikanan yang
sustainable dilihat dari sisi tingkat pemanfaatannya masih kurang dari 80%.
Payang merupakan alat tangkap yang mendapatkan rangking ke-4 kriteria
ramah lingkungan, mendapatkan skor tertinggi untik kriteria hasil tangkapan tidak
176

membahayakan konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi atau


hampir punah. Jenis payang yang dominan adalah ”payang tingker” yang
ditujukan untuk menangkap ikan yang memiliki fototaksis positif. Alat tangkap ini
juga merupakan alat tangkap alternatif bagi cumi-cumi.
Bagan tancap mendapatkan ranking kelima. Saat dioperasikan alat
tangkap tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan, hasil tangkapan
dalam kondisi segar dan apabila dikonsumsi tidak membahayakan konsumen,
tidak menangkap spesies yang dilindungi. Investasi pembuatan bagan tancap
cukup murah hanya sebesar Rp 6.000.000,- untuk umur teknis enam bulan.
Investasi hanya untuk pembelian bambu, waring, dan tali. Kapal tidak dijadikan
investasi karena di Teluk Banten, untuk perikanan bagan tancap kapal hanya
digunakan untuk mengantar dan menjemput nelayan yang mengoperasikan
bagan tancap. Kapal cukup dimiliki oleh satu orang, biaya kapal diberikan
kepada pemilik kapal sebesar 15% dari penjualan hasil tangkapan. Berdasarkan
perhitungan analisa usaha menunjukkan bahwa bagan tancap paling
menguntungkan karena pengembalian dana investasi cepat kembali kurang dari
satu bulan (Tabel 20). Terkait dengan kontinuitas produksi, alat tangkap ini
sangat bergantung pada musim dan arah angin, sehingga produksi hasil
tangkapan di setiap bulan bervariasi, bahkan kadang-kadang tidak memproleh
hasil, terutama pada saat angin utara yaitu sekitar bulan Desember dan Januari.
Rangking ke-6 dan ke-7 adalah sero dan rampus. Sero merupakan alat
tangkap pasif yang bertujuan menangkap ikan-ikan kecil yang ada di pesisir
pantai. Bahan baku terbuat dari kayu bakau, sehingga termasuk alat tangkap
yang tidak ramah linkungan. Rampus dari sisi aspek teknik mendapatkan
rangking ke-3 dan aspek biologi ranking ke-5. Berdasarkan aspek ekonomi,
rampus menempati urutan terakhir, karena memang tidak menguntungkan
secara ekonomi. Biaya produksi lebih besar dibandingkan hasil tangkapan yang
diperoleh, bahkan sering merugi.
Dogol, merupakan alat tangkap yang paling tidak ramah lingkungan.
Seperti dalam penjelasan sebelumnya, alat tangkap dogol merupakan lampara
dasar yang dimodifikasi, yaitu dengan tambahan otter board sehingga mulut
lampara terbuka sempurna. Hal ini berakibat kepada masuknya berbagai jenis
ikan ke dalam alat tangkap, apalagi alat ini dioperasikan dengan kapal yang
bergerak. Semua sumber daya ikan tersapu dan tergerak masuk ke dalam cod
end.
177

Menurut Subani dan Barus (1989), dogol berbeda dengan lampara dasar
dan cantrang. Pada lapaoran tahunan produksi ikan di PPP Karangantu, ketiga
jenis alat tangkap ini dimasukkan ke dalam dogol. Lampara pada awalnya
adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan umpan, sehingga
bentuknya agak berbeda dengan payang, walaupun sekilas mirip. Sayap pada
lampara sama panjang, dan kantong tidak berbentuk kerucut tetapi
menggelembung. Di Teluk Banten, sudah banyak mengalami modifikasi
sehingga mirip dengan mini trawl. Hal ini yang menyebabkan lampara yang
sudah dimodifikasi dilarang, dan memang mengeruk sumber daya ikan yang ada.
Beberapa nelayan yang melanggar telah mendapatkan sangsi, bahkan ada yang
sampai dipenjara. Dan memang sebelum ada tindakan dari petugas pengawas
perikanan, terjadi konflik sosial diantara para nelayan lampara dengan nelayan
alat tangkap lain. Walaupun secara ekonomi menguntungkan (R/C 1,75), dan
secara bioekonomi juga menguntungkan untuk perikanan rajungan dan layur,
perlu dilakukan penataan kembali. Sedangkan cantrang, berbeda dengan dogol
itu sendiri. Cantrang tergolong “Danish seine”. Pada bagian mulut, baik atas
maupun bawah sama panjang, hal ini berbeda dengan dogol. Dogol memiliki
mulut bagian atas lebih panjang hal ini dimaksudkan agar ikan tidak meloloskan
diri ke bagian atas jaring. Baik dogol maupun cantrang, digunakan untuk
menangkap ikan demersal dan udang. Dengan demikian dogol merupakan alat
tangkap yang tidak direkomendasikan dioperasikan di kawasan Teluk Banten
untuk dikembangkan apabila: 1) dimodifikasi seperti trawl, 2) jalur penangkapan
mengganggu jalur penangkapan kapal tradisional (jalur 1a dan 1b). Berdasarkan
evaluasi perikanan yang berkelanjutan, dogol bukan termasuk yang
direkomendasikan untuk dikembangkan bagi komoditi unggulan di Teluk Banten.
Pemberian penjelasan di tengah masyarakat tentang pentingnya alat
penangkapan ikan yang ramah lingkungan perlu senantiasa digalakkan.
Tindakan tegas memang sudah dilakukan, pengalihan kepada alat tangkap lain
juga sudah dilakukan, namun belum berhasil secara optimal. Pendapatan yang
diperoleh masih di bawah dari penggunaan lampara dasar. Bantuan
pemerintahpun dirasa masih belum merata. Berdasarkan fakta di lapangan
menunjukkan bahwa nelayan lampara dasar lebih makmur dibandingkan nelayan
gillnet, pancing, maupun rampus.
Dalam UU no. 27 tahun 2007 disebutkan bahwa suatu kawasan yang
dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, permukiman, pelabuhan, perikanan
178

tangkap, perikanan budidaya, serta pemanfaatan terbatas dan lain-lain disebut


dengan kawasan pemanfaatan umum. Kawasan Teluk Banten dimanfaatkan
oleh berbagai kegiatan sehingga dimungkinkan terjadinya konflik. Dalam
pengelolaan sumber daya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak
yang berkepantingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya
pesat.

6.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten


Berdasarkan hasil review tata ruang terlihat bahwa wilayah pesisir Teluk
Banten dimanfaatkan untuk kegiatan industri, permukiman, budidaya, dan
pelabuhan, baik pelabuhan perikanan (PPN Karangantu), maupun pelabuhan
internasional (di Bojonegara). Beberapa arahan pola ruang baik yang berasal
dari RTRW Provinsi Banten, Kabupaten dan Kota Serang memperlihatkan
beberapa kebijakan, yaitu kawasan strategis Bojonegara sebagai kawasan
ekonomi khusus (KEK), yaitu lokasi pengembangan kawasan industri terpadu
dan pelabuhan samudera, serta kawasan strategis Teluk Banten. Kawasan
strategis Teluk Banten, sebagai kawasan pengembangan pemanfaatan ruang
berupa permukiman, kepariwisataan, pengembangan jasa kepelabuhanan, serta
pusat pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengelolaan, pemanfaatan serta
konservasi sumber daya alam dan potensial kelautan. Sejalan dengan hal
tersebut rencana zonasi yang telah dibuat oleh Pemda Serang terkait dengan P.
Panjang dan P. Tunda sebagai pulau yang diperuntukan untuk kegiatan
permukiman dan kepariwisataan sudah tepat. Hal ini didasarkan pada faktanya
kedua pulau tersebut memang pulau yang berpenghuni, sehingga akses
transportasi dan prasarana penunjang tersedia, seperti sarana pendidikan,
kesehatan, penerangan, dan prasarana jalan. Sebagai lokasi pariwisata P.
Panjang memiliki pasir putih, dan lahan konservasi yang dapat dijadikan lokasi
penyelaman. Demikian pula di P. Tunda, selain untuk kegiatan memancing,
dapat juga digunakan untuk penyelaman.
Penataan zonasi di Teluk Banten, terutama di daerah pesisir pantai
menimbulkan persoalan baru. Zona industri di Kecamatan Bojonegara,
Puloampel dan Kramatwatu menimbulkan kerusakan ekosistem yang berdampak
pada kehidupan nelayan. Reklamasi pantai menyebabkan hilangnya hutan
bakau dan padang lamun sebagai habitat berbagai jenis ikan, termasuk udang.
Hal ini berakibat pada penurunan hasil tangkapan nelayan, dan semakin jauh
179

lokasi penangkapan. Belum lagi limbah industri yang menyebabkan tercemarnya


lingkungan perairan. Hal ini dapat dibuktikan dari data produksi tahun 2005-
2009, yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan hasil tangkapan, terlihat dari
trend tiap jenis ikan yang tertangkap di Teluk Banten (lihat Gambar 15 dan 16).
Fenomena ini ternyata merupakan suatu yang khas terjadi di hampir seluruh
perikanan pesisir di Indonesia. Murdiyanto (2004) menyebutkan bahwa praktek
salah urus dalam pengelolaan pembangunan di darat akan berdampak di laut
dengan timbulnya erosi pantai dan masuknya berbagai polutan, limbah, dan
partikel tanah ke laut. Penurunan hasil tangkapan dengan berbagai sebab akan
mendorong nelayan bergerak meluaskan kegiatannya ke luar daerah kabupaten
atau bahkan ke wilayah pengelolaan provinsi lainnya menjadi nelayan andon.
Kehadiran nelayan andon ini semakin menyulitkan pelaksanaan pengelolaan
perikanan pantai, baik untuk daerah asal nelayan ataupun untuk daerah
tujuannya. Fenomena ini juga terjadi di Teluk Banten, beberapa alat tangkap
melakukan penangkapan di luar teluk yaitu di Kepulauan Seribu bahkan ada
yang sampai ke perairan Lampung dan sekitarnya. Demikian pula sebaliknya
nelayan Karawang sampai di Teluk Banten.
Pencemaran limbah industri di perairan Teluk Banten terbukti terjadi
tepatnya di Kepuh. Limbah industri gula refinasi menyebabkan hitamnya
perairan dan menimbulkan bau yang menyengat serta di beberapa titik
menyebabkan rusaknya tanaman bakau (Lampiran 30). Dengan demikian zona
industri yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Serang hendaknya
juga memperhatikan dampak tumbuhnya industri terhadap lingkungan laut, tidak
hanya melihat dari sisi keuntungan ekonomi semata. Dengan demikian peta pola
ruang kawasan pesisir Teluk Banten (Gambar 21) yang ditetapkan Provinsi
Banten, dengan merubah lahan pesisir sebagai lahan industri perlu ditinjau
ulang. Tekanan bertambah besar di daerah pesisir akan berdampak pada
kondisi perikanan Teluk Banten.
Kondisi kualitas lingkungan terkadang ditutupi untuk kepentingan industri.
Suatu kejanggalan apabila kita melihat hasil uji sampel air laut di Teluk Banten
(tepatnya sekitar perairan PT. Angles, pabrik gula refinasi) pada bulan Desember
2009 yang dilakukan oleh BPLH Kabupaten Serang menunjukkan tidak
mengalami pencemaran. Parameter yang diuji meliputi parameter fisika (bau, zat
padat tersuspensi, suhu) dan parameter kimia (pH, NH3N, H2S, dan Cu)
semuanya menunjukkan di bawah batas ambang baku mutu (Kepmen LH no. 51
180

tahun 2004). Keadaan ini juga bertolak belakang dengan beberapa penelitian
yang telah dilakukan, diantaranya adalah Simanjuntak (2007) yang mengatakan
kondisi perairan Teluk Banten tercemar ringan, kadar oksigen terlarut yang
tertinggi ditemukan di lapisan permukaan (0 m), kadar oksigen terlarut menurun
dengan bertambahnya kedalaman dan perbedaan antar penurunan oksigen
terlarut antar kedalaman sebesar 0,07 mg/l. Muchtar (2002), mengatakan bahwa
kandungan fosfat dan nitrat di dekat pantai Bojonegara lebih tinggi pada bulan
April dan Oktober tahun 2001. Wijaya dan Ismail (2007), yang menyatakan
bahwa produktivitas primer perairan teluk yang terdapat di Kecamatan
Bojonegara, Cilegon, dan Serang relatif lebih rendah daripada kawasan-kawasan
lainnya, hal ini dikarenakan di kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai limbah
yang diakibatkan baik industri dan domestik yang hampir 100% mengalir ke
dalam teluk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Van Den Bergh, et al.,
(2003) diacu dalam Wijaya dan Ismail (2007), kecamatan Bojonegara
mempunyai limbah domestik 1.049.996 m3/tahun (lihat Gambar 19, peta
eksisiting tutupan lahan pesisir Teluk Banten yang didominasi untuk
permukiman) dan limbah industri 1.759.700 m3/tahun; Kecamatan Cilegon
masing-masing mempunyai limbah domestik sebesar 1.156.886 m3/tahun dan
limbah industri 4.354.849 m3/tahun, sedangkan kecamatan Serang mempunyai
limbah domestik 752.922 m3/tahun dan limbah industri 352.095 m3/tahun yang
seluruhnya masuk ke dalam Teluk Banten.
Zona perikanan budidaya yang telah ada saat ini tidak menimbulkan
konflik dengan nelayan tangkap, baik budidaya rumpul laut, karamba jaring
apung, maupun tambak bandeng di Desa Domas Kecamatan Pontang. Di lokasi
inipun mengeluhkan terjadinya pencemaran industri pabrik kertas yang buangan
limbahnya berdampak pada kualitas air tambak. Zona budidaya rumput laut di
sebelah selatan P. Panjang saat ini berjalan dengan baik, dan memang layak
dijadikan kawasan budidaya rumput laut, karena aman dari pengaruh arus
(terlindung pulau), dan memiliki sarana prasarana penunjang (dekat permukiman
nelayan, dan transportasi mudah). Hal ini sejalan persyaratan kawasan budidaya
rumput laut yang dikemukakan oleh DKP (2002), yaitu:
1) Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut
ditentukan dari tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang
ditentukan.
181

2) Keberadaan pertemuan antara dua massa air yang berbeda


karakteristiknya.
3) Kondisi geografis yang sesuai dengan peruntukannya.
4) Karakteristik fisik perairan yang sesuai dengan peruntukannya.
5) Pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan
perikanan di pantai dilaksanakan dengan tidak mengubah kondisi pantai,
untuk menghindari proses erosi maupun sedimentasi.
Zona pariwisata dalam bentuk wisata mina bahari belum berjalan dengan
baik, sifatnya masih individual dan belum dikelola secara profesional oleh
pemerintah daerah setempat. Lokasi pariwisata yang diunggulkan di dekat Teluk
Banten adalah kawasan konservasi Cagar Alam Pulau Dua memiliki luas 30 ha,
dengan potensi burung (108 jenis burung dari 39 famili) dan vegetasi (85 jenis
tumbuhan yang tergolong 61 genera dan 40 famili) (DKP Provinsi Banten 2009).
Zona pelabuhan, terutama pelabuhan perikanan sangat mendukung
kegiatan penangkapan di Teluk Banten apalagi dengan adanya peningkatan
status, namun perlu didukung dengan kelayakan fasilitas fungsional yang
menunjukkan sebagai pelabuhan perikanan nusantara. Adapun pelabuhan
samudera untuk kegiatan niaga yang belum sempurna pembangunannya juga
harus memperhatikan dampak jika sudah beroperasi, mengingat arus lalu lintas
kapal besar akan semakin tinggi dan berbenturan dengan kapal-kapal
penangkap ikan. Namun dari dokumen yang ada hal ini tidak dipertimbangkan.
Kawasan pelabuhan niaga berada di Kecamatan Bojonegara, merupakan salah
satu kecamatan yang termasuk ke dalam Sentra Kawasan Ekonomi Khusus/KEK
(dua kecamatan yang lain adalah Puloampel dan Kramatwatu), oleh Pemkab
Serang (2009) diarahkan untuk:
(1) pengembangan pusat pelabuhan samudera
(2) pengembangan industri
(3) pengembangan jasa dan perdagangan
(4) pengembangan permukiman
(5) pengembangan pertanian lahan kering dan kehutanan.
Pelabuhan Bojonegara sebagai titik transit arus barang akan memiliki
peran yang sangat penting tidak saja untuk kawasan sekitarnya tetapi juga untuk
seluruh wilayah Serang, bahkan wilayah-wilayah yang lebih luas lagi.
Pembangunan pelabuhan Bojonegara dilakukan pada lahan yang akan
dibebaskan seluas 500 ha, ditambah dengan lahan hasil reklamasi pantai seluas
182

42 ha dan hasil reklamasi Pulokali seluas 37 ha (Lampiran 24). Sesuai dengan


kebijaksanaan PT. Pelabuhan Indonesia II, pelabuhan Bojonegara diperuntukkan
sebagai terminal peti kemas, multipurpose dan curah air. Pada pengembangan
jangka panjang, bahkan untuk menerima limpahan peti kemas dari Pelabuhan
Tanjung Priok.
Terminal peti kemas ditempakan pada zona sebelah barat laut. Pada
zona ini terdapat Pulokali yang dimanfaatkan sebagai breakwater alam. Untuk
pengembangan terminal peti kemas jangka panjang dimanfaatkan sebagai
terminal multipurpose. Dengan adanya kecenderungan, bahwa makin
meningkatnya volume arus muatan peti kemas, terminal multipurpose bergeser
ke zona bagian tengah, sehingga pada pengembangan jangka panjang terminal
multipurpose menempati zona bagian tengah. Terminal curah air sejak awal
ditempatkan pada zona tenggara. Kondisi ini akan semakin mendesak kegiatan
perikanan tangkap, dan dimungkinkan terjadinya konflik sosial.
Zona perikanan tangkap, pada dasarnya merupakan zona daerah
penangkapan ikan bagi berbagai jenis alat tangkap (8 jenis yang dominan).
Beberapa alat tangkap tidak diperkenankan beroperasi di daerah teluk yaitu
dogol (cantrang dan lampara dasar), drift gill net (gill net milinium, dan jaring
puslon), karena kapal berukuran > 5 GT dan merupakan alat tangkap yang
sangat produktif. Berbagai jenis alat tangkap yang lain seperti payang tingker,
dan bagan perahu (bagan congkel) diarahkan menangkap di atas P. Panjang
(utara P. Panjang) sampai dengan P. Tunda. Demikian pula dengan pancing
juga menggunakan fishing ground yang sama. Keempat alat tangkap tersebut
dikelompokkan kedalam zona 3, dengan luas wilayah sebesar 18.928,7 ha. Zona
2 digunakan untuk alat tangkap gill net (jaring rajungan) dan rampus, dengan
luas wilayah 2.962,6 ha. Zona 1 diperuntukkan bagi sero dan bagan tancap,
dengan luas wilayah 1.374,6 ha. Gill net dan rampus tidak direkomendasilkan
dioperasikan di daerah rehabilitasi karang maupun perairan pantai sekitar
industri. Demikian pula dengan bagan tancap, tetap pada posisinya karena alat
tangkap ini harus berada pada daerah yang cukup aman, dan terlindung dari
arus yang cukup kuat. Penyusunan zonasi ini dimaksudkan untuk mengurangi
konflik pemanfaatan lokasi penangkapan bersama, sekaligus dalam rangka
menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Dalam pelaksanaannya perlu dilakukan
sosialisasi terlebih dahulu kepada nelayan agar tidak terjadi salah paham, dan
nelayan dapat memahami pengaturan daerah penangkapan dengan baik.
183

Memang sulit melakukan penataan, untuk itu diperlukan kerja sama semua pihak
agar hal ini dapat dilaksanakan.
Berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah RTRW Kota Serang 2009-
2029, pada Pasal 21 disebutkan bahwa kawasan perikanan, meliputi: (1)
perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya air payau; (3) perikanan budidaya air
tawar; dan (4) perikanan budidaya laut. Kawasan perikanan tangkap meliputi:
1) Rencana pengembangan fisheries town di Karangantu dan
pengembangan outer ring fishing port, coldstorage dan wisata perikanan
di Karangantu.
2) Kawasan pengembangan utama komoditi perikanan di pantai utara di
Karangantu.
3) Pengembangan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Karangantu
menjadi Pelabuhan Nusantara.
4) Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Karangantu.
Rencana pengembangan outer ring fishing port (pelabuhan perikanan
lingkar luar) di Karangantu kurang tepat, dengan alasan secara teknis kedalaman
minimal adalah 24 m sedangkan di Teluk Banten rata-rata berkedalaman 7 m.
Dasar pertimbangan dibangunnya outer ring fishing port adalah untuk
optimalisasi pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan, pusat
pertumbuhan sektor perikanan dan kelautan pada wilayah terluar, dan berperan
mendukung strategi pengembangan kawasan. Keberadaan outer ring fishing port
diharapkan dapat menunjang usaha perikanan tangkap. Karangantu sendiri
adalah sebuah kota yang tidak termasuk ke dalam wilayah terluar.
Pengembangan PPP Karangantu menjadi Pelabuhan Nusantara telah terealisir
dengan Permen Kelautan Perikanan RI no. PER. 29/Men/2010 tanggal 30
Desember 2010.

6.5 Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap


Teluk Banten

Berdasarkan hasil analisis SWOT diperoleh bahwa posisi pengelolaan


Teluk Banten berada pada kuadran I pada titik koordinat 0,56, 0,12. Artinya
bahwa kebijakan yang dibuat hendaknya mengoptimalkan kekuatan internal yang
dimiliki sebesar 56% dan memanfaatkan peluang yang ada sebesar 12%.
Berdasarkan kondisi tersebut maka Pemda Kabupaten Serang harus
memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang cukup strategis, dan mengoptimalkan
184

jenis ikan unggulan untuk memenuhi permintaan ikan, terutama rajungan, teri,
dan cumi-cumi dan lima jenis ikan (kembung, tongkol, kakap merah, udang, dan
kuwe) yang secara bionomi masih menguntungkan. Lemuru belum dapat
direkomendasikan karena berdasarkan analisis LGP merugi. Pengelolaan
perikanan tangkap tidak semata-mata berdasarkan perhitungan bionomi, namun
juga tetap harus memperhatikan ekosistem. Kawasan perlindungan laut sebagai
alat dalam pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem (Wiadnya, D.G.R,
et.al., 2005). Saat ini kawasan konservasi di perairan Teluk Banten masih dalam
wacana, belum ada realisasinya. Namun demikian kawasan rehabilitasi terumbu
karang dapat dicoba sebagai kawasan perlindungan laut. Kawasan perlindungan
laut berfungsi sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman sumberdaya
hayati, dan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus
diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell &
Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000;
Ward, Heinemann & Evans, 2001 diacu dalam Wiadnya, D.G.R., et al. 2005).
Pemda Kabupaten Serang harus mengoptimalkan kekuatan SDM yang
cukup besar untuk terlibat dalam pengelolaan dan memanfaatkan posisi Teluk
Banten yang dekat dengan perairan Utara Jawa maupun Selat Sunda sebagai
area perluasan wilayah tangkap, terutama untuk armada penangkapan yang
memiliki kemampuan mengarungi perairan yang jauh dari pantai seperti lampara
dasar. Hal ini didasarkan pada pertimbangan untuk mengurangi tekanan
penangkapan di daerah pantai dan menghindari terjadinya konflik pemanfaatan
daerah penangkapan dengan nelayan kecil yang memiliki kemampuan armada
penangkapan terbatas, seperti rampus, dan jaring rajungan.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sangat penting karena
merekalah pelaku dalam menjaga lingkungan, karena pada hakekatnya tujuan
pengelolaan memiliki pendekatan aspek biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial
(Cochrane 2002, dan Murdiyanto 2004). Lebih lanjut Murdiyanto (2004)
mengemukaan bahwa pengelolaan sumber daya perikanan pantai dapat
dilaksanakan dengan beberapa alternatif pendekatan, salah satu diantaranya
adalah pengelolaan secara partisipatif, yang melibatkan masyarakat. Partisipasi
masyarakat/pengguna di dalam pemanfaatan sumber daya ini lebih dikenal
dengan ko-manajemen. Ko-manajemen ini dapat dibangun berdasarkan tradisi
pengelolaan sumber daya yang sudah dimiliki masyarakat (community based
fisheries management) (Nikijuluw 2002). Memberikan tanggung jawab kepada
185

masyarakat dalam mengelola sumber daya adalah upaya mendekatkan


masyarakat dengan sumber daya yang dimanfaatkannya bagi kelangsungan
hidup mereka sehari-hari. Dalam mencapai pemenuhan kebutuhannya pada
dasarnya setiap anggota komunitas, sebagai nelayan akan saling berkompetisi
dengan nelayan lainnya. Tidak jarang masalah kompetisi ini lama kelamaan
dapat berkembang menjadi potensi konflik, yang bila tidak dapat dikendalikan
akan menjadi benturan fisik antara sesama nelayan dalam melakukan aktivitas
pekerjaannya sehari-hari. Kompetisi dalam mengambil hasil laut dapat
mendorong nelayan untuk melakukan praktek penangkapan secara berlebihan
dan tidak bertanggung jawab yaitu melakukan penangkapan dengan alat dan
cara yang dapat merusak habitat dan lingkungannya. Untuk mencegah
terjadinya berbagai konflik dan praktek penangkapan yang tidak ramah
lingkungan yang berujung pada kerusakan sumber daya dan lingkungannya,
kiranya masyarakat perlu menyadari pentingnya memupuk rasa tanggung jawab
dan kebersamaan dalam merencanakan dan mencapai tujuan pengelolaan
sumber daya pantai dan laut sebagai lahan kehidupannya.
Adapun pengembangan wilayah tangkap selain didasarkan pada
peritmbangan untuk mengurangi tekanan di wilayan pantai (pesisir), juga
didasarkan pada konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya
yaitu: (i) pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (ii) pengembangan
wilayah berbasis komoditas unggulan; (iii) pengembangan wilayah berbasis
efisiensi; (iv) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan (Bappenas
2009a). Konsep pengembangan wilayah ini sering diaplikasikan untuk wilayah
daratan, namun konsep ini juga dapat digunakan untuk kawasan teluk ataupun
perairan terutama yang terkait dengan pengembangan wilayah berbasis sumber
daya dan berbasis komoditas unggulan. Dengan demikian konsep
pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip: (1) berbasis pada
sektor unggulan; (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah; (3) dilakukan
secara komprehensif dan terpadu; (4) mempunyai keterkaitan kuat ke depan dan
ke belakang; (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan
desentralisasi. Karakteristik sumber daya perikanan menurut Widodo dan
Nurhakim (2002), pada umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common
property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan
kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumber daya seperti ini menimbulkan
konsekuensi apabila tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala
186

eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment)


dan tenaga kerja berlebihan (over employment). Terkait dengan open acces,
maka dengan adanya penetapan zonasi kawasan perikanan tangkap di Teluk
Banten, open acces tidak berlaku lagi di Teluk Banten, sehingga lebih mudah
untuk dikontrol dan dikelola. Dengan demikian kawasan Teluk Banten bukan
pula bersifat common property tetapi sudah merupakan state property, karena
menjadi kewenangan pemerintah daerah setempat untuk mengelola.
Tingginya pencemaran Teluk Banten dapat dikendalikan dengan peran
Pemda setempat dalam membuat regulasi terkait dengan pendirian industri di
sepanjang pesisir pantai Bojonegara, dan regulasi pengolahan limbah sebelum
dibuang ke laut. Dengan demikian kerusakan lingkungan di daerah pesisir dapat
ditekan, yang pada akhirnya biota-biota di pesisir pantai dapat membentuk
ekosistem alami kembali sehingga kelestarian sumber daya perikanan dapat
terjaga.
Penurunan produksi hasil tangkapan selain diduga karena pencemaran
perairan, juga faktor perubahan iklim yang tidak menentu. Di Teluk Banten
dalam dua tahun terakhir dirasakan terjadinya penurunan hasil tangkapan karena
faktor iklim tersebut, sehingga jumlah operasi penangkapan menjadi berkurang.
Kirby et al., (2009) diacu dalam Grafton (2009), menyatakan bahwa perubahan
iklim akan meningkatkan tingkat ketidakpastian terhadap variasi populasi ikan
secara temporal maupun spasial, kestabilan dan daya dukung habitat serat
interaksi ekosistem. Pengaruh jangka pendek dari perubahan iklim hanya akan
berdampak pada beberapa ekosistem saja, namun dalam jangka panjang akan
mengakibatkan pengaruh tidak langsung terhadap ekosistem lautan (Cinner et
al., 2009 diacu dalam Grafton, 2009).
Seluruh kondisi demikian menjadi pertimbangan Pemda Kabupaten
Serang dalam membuat kebijakan terutama yang terkait dengan pengelolaan
Teluk Banten. Kebijakan lintas sektoral diperlukan dalam mengelola Teluk
Banten. Kelestarian sumber daya ikan bukan menjadi tanggung jawab Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten maupun Kota tetapi menjadi
tanggung jawab semua pihak yang memanfaatkan perairan Teluk Banten dan
kawasan darat pesisir Teluk Banten.
Berdasarkan analisis AHP menunjukkan bahwa tujuan pengelolaan
hendaknya berorientasi kepada keberlanjutan usaha penangkapan ikan (49,1%),
mengingat nelayan kehidupan ekonominya sangat bergantung pada laut.
187

Dengan demikian sumber daya perikanan harus dikelola dengan sebaik-baiknya


sehingga keberlanjutannya dapat dirasakan oleh generasi mendatang.
Pengelolaan harus mempertimbangkan kondisi potensi sumber daya (33,57%)
selain faktor-faktor yang lain seperti kemampuan SDM, armada penangkapan
dan sebagainya. Kondisi demikian sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
Charles (2001) yang menyatakan bahwa perhatian penting dalam hal
keberlanjutan (sustainability) tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah
tangkapan dan ketersediaan stok, melainkan mencakup keseluruhan aspek
perikanan mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada
masyarakat perikanan dan kelembagaan pengelolaan. Keberlanjutan secara
ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terhadap
sumber daya. Keberlanjutan secara ekonomi terkait dengan manfaat makro bagi
penyerapan tenaga kerja dan distribusi pendapatan secara layak bagi pelaku
pemanfaat sumber daya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada
perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan kelembagaan keuangan,
penatausahaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka
panjang.
Terkait dengan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan perlu
dicermati beberapa kebijakan atau peraturan perundangan yang telah
dikeluarkan sehingga kebijakan tersebut dapat mendukung prioritas pengelolaan
perikanan tangkap yang telah diperoleh dalam penelitian ini. Hasil dari analisis
kebijakan dan analisis isi, menghasilkan dampak dan kendala yang ada dari
penerapan peraturan perundagan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk
Banten, yang disajikan pada Tabel 38.
Pada Tabel 38 menunjukkan masih adanya beberapa kendala dalam
penerapan peraturan atau kebijakan untuk kegiatan pengelolaan perikanan
tangkap di Teluk Banten. Kerjasama berbagai pihak perlu dilakukan secara
intensif agar keberlanjutan pola ruang yang telah ditetapkan dapat berjalan.
Mengingat kendala-kendala dalam penerapan kebijakan tersebut lebih
disebabkan karena peraturan yang ada lebih bersifat sektoral, sehingga dalam
implementasinya seringkali menimbulkan friksi antar instansi.
188

Tabel 38 Peraturan Perundangan Lingkungan Pesisir, Laut, dan Pengelolaan


PerikananTangkap di Teluk Banten

No Peraturan Dampak Kendala


1. UU no. 45/2009 Pengelolaan perikanan tangkap Pengelolaan sudah
dilakukan berdasarkan asas melibatkan pihak dunia usaha
manfaat, keadilan, dan organisasi
kebersamaan, kemitraan, kemasyarakatan (LSM
kemandirian, pemerataan, Rekonvensi Bhumi &
keterpaduan, keterbukaan, Yayasan Bhumi Selaras),
efisiensi, kelestarian, dan namun partisipasi aktif dari
pembangunan yang organisasi kemasyarakatan
berkelanjutan. mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan,
sampai dengan tahap
pemantauan belum berjalan
optimal.

2. UU no. 26/2007 Proses penataan wilayah UU ini belum


(ruang) harus memperhatikan mengakomodasikan falsafah
konsep ruang sebagai satu konsep ekosistem. Falsafah
kesatuan wilayah (ruang) yang konsep ekosistem meliputi
merupakan kesatuan geografis sistem interaksi lingkungan
beserta segenap unsur terkait hidup (termasuk manusia)
yang batas dan sistemnya dari skala ruang geografis
ditentukan berdasarkan aspek yang kecil sampai global
administrasi dan fungsional. ekosistem bumi. Bukan
sebaliknya.

3. UU no. 27/2007 Setiap proses pemanfaatan dan UU ini telah


pengembangan wilayah pesisir mengakomodasikan konsep
dan pulau-pulau kecil, harus ekosistem, namun karena
memperhatikan dampak yang pengelolaan pesisir dan
ditimbulkan dari kegiatan pulau-pulau kecil melibatkan
tersebut terhadap ekosisitem banyak sektor, koordinasi,
(lingkungan dan manusianya). dan kelembagaan merupakan
kendala utama dalam
penerapan UU ini.

4. UU no. 32/2004 Pemda Tk. I (provinsi) berhak Pemda masih belum mampu
mengelola wilayah laut sejauh berkoordinasi dengan para
12 mil, sedangkan Pemda Tk. II pemegang kewenangan di
(kabupaten) berhak mengelola daerah, sehingga seringkali
wilayah lautnya sampai sejauh pengelolaan menjadi bersifat
6 mil dari garis pantai. sektoral.

5. Permen KP no. Pengaturan jalur penangkapan Produk hukum ini, terlihat


2/2011 ikan I sampai sejauh 4 mil laut, kurang matang dalam
jalu II di luar 4 mil laut sampai penyusunannya karena
dengan 12 mil laut. Permen ini mengalami perubahan
berlaku sejak Pebruari 2012 sampai dua kali. Permen ini
dengan terbitnya perubahan dibuat untuk mengatasi
Permen KP no. 2/2011 dengan permasalahan jalur
Peremen KP no. 8/2012, dan penangkapan ikan dan alat
disempurnakan dengan bantu penangkapan ikan
Permen 5/2012. yang ada di WPP-NRI,
189

Tabel 38 (Lanjutan)

No. Peraturan Dampak Kendala


namun karena hal ini
merupakan sesuatu yang
baru maka diperlukan
sosialisasi tidak hanya bagi
nelayan, instansi perikanan
namun juga pemerintah
daerah terkait dengan
kewenangan PEMDA dalam
pengelolaan wilayah laut.

6. Permen KP no. Kementerian Kelautan dan Pelaksanaan perencanaan


16/2008 Perikanan telah menerbitkan PWP3K di lapangan belum
pedoman zonasi provinsi, berjalan baru pada tahapan
kabupaten & kota sebagai menyusun renstra karena
arahan bagi daerah untuk perlu melibatkan banyak
menuyusun perencanaan pihak
PWP3K.

7. Perda Prov. RTRW Provinsi Banten 2010- Perencanaan tata ruang


Banten no. 2030 sebagai arahan dalam wilayah industri didasarkan
2/2011 penyusunan RTRW pada nilai ekonomi, tidak
Kabupaten/Kota memperhatikan dampak
industri bagi lingkungan
walaupun di dalam RTRW
sudah disebutkan
pencegahan dan
pengawasan, namun pada
pelaksanaannya tidak
berjalan sessuai dengan yang
diharapkan. Hal ini
dikarenakan tidak berjalannya
koordinasi antar sektor.

8. Perda Kab. Merupakan penjabaran dari Peruntukan pola ruang yang


Serang. Banten RTRW Provinsi dan menjadi sudah ditetapkan pada
no. 2/2009 matra ruang dari rencana pelaksanaannya belum
pembangunan jangka panjang dilakukan secara terpadu
daerah (RPJMD) antar sektor.

9. RTRW Kota Penetapan rencana Penetapan ini bukan


Serang 2009- pengembangan outer ring merupakan perencanaan
2029 fishing port Karangantu sebagai yang tepat ditinjau dari segi
bagian dari kawasan perikanan teknis dan makna dari
tangkap. pelabuhan perikanan lingkar
luar.

10. Perda Provinsi Bapedal adalah lembaga Data lingkungan tersimpan di


Banten no.51/ pemerintah yang ditunjuk untuk instansi tersebut, monitoring
2002 melakukan monitoring dan dan evaluasi dilaksanakan
evaluasi kondisi lingkungan sendiri tidak melibatkan
termasuk lingkungan perairan instansi lain yang terkait
seperti Dinas Kelautan dan
Perikanan.
190

Tabel 38 (Lanjutan)

No. Peraturan Dampak Kendala


11. Keputusan Pemberian ijin penambangan Dalam pelaksanaannya
Bupati Serang pasir laut lepas pantai di Desa banyak yang bertentangan
no. 540/Kep. Lontar Kecamatan Tirtayasa dengan ketentuan hukum
68-Huk/2003 Kabupaten Serang, berdampak yang berlaku, sehingga
memberikan ijin bagi PT. berakibat kerugian bagi
Jetstar untuk mekakukan masyarakat sekitar.
penggalian pasir laut. Diantaranya terjadinya
gangguan permanen
terhadap habitat dasar
perairan di lokasi tersebut,
dan abrasi pantai. Kondisi ini
juga mempengaruhi perairan
sekitarnya termasuk perairan
Teluk Banten, yang pada
akhirnya mempengaruhi
kegiatan penangkapan.

6.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap


6.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan
Alokasi unit penangkapan ikan berdasarkan pendekatan luas wilayah
Teluk Banten yang dapat dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan dan
dengan asumsi alat tangkap lain tidak dioperasikan diperoleh hasil bahwa dari
delapan jenis alat tangkap, ada dua jenis alat tangkap yang tidak mendapatkan
alokasi, yaitu rampus, dan sero. Rekomendasi ini muncul kemungkinan
disebabkan alat tangkap ini tidak memiliki data time series yang runtut, hanya
ditemukan data dari tahun 2008 dan 2009. Sero sendiri merupakan salah satu
alat tangkap yang menguntungkan secara ekonomi tapi tidak direkomendasikan
untuk menangkap komoditi unggulan, karena termasuk alat tangkap yang tidak
selektif. Sero hanya ditemukan di Karangantu, yang saat ini berjumlah 45 unit,
tidak mungkin seketika langsung dihapuskan, sehingga perlu dilakukan
pendekatan kepada nelayan agar secara bertahap beralih kepada alat tangkap
lain.
Berdasarkan analisis ekonomi, perikanan rampus merupakan perikanan
yang merugi. Hasil tangkapan sangat sedikit ketika musim paceklik, sedangkan
pada waktu puncakpun tidak terlalu banyak (Lampiran 20). Pada tahun 2009
jumlah alat tangkap rampus sebanyak 90 unit, sehingga perlu kebijakan yang
dapat menguntungkan banyak pihak. Pengalihan ke jenis alat tangkap lain, atau
alternatif mata pencaharian lain tetapi masih bidang perikanan merupakan
alternatif solusi yang dapat ditawarkan.
191

Keenam alat tangkap yang lain, dialokasikan dengan jumlah yang lebih
sedikit dibandingkan tahun 2009. Gill net direkomendasikan sebanyak 33 unit
untuk jaring milenium, dan 3 unit untuk jaring rajungan, memperlihatkan
pengurangan jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan kondisi tahun 2009
sebanyak 146 unit. Penataan ini dilakukan dengan mempertimbangkan jarak
pemasangan antar alat tangkap dan panjang alat tangkap yang digunakan.
Walaupun demikian bukan berarti jumlah gill net harus dikurangi, tetapi perlu
pengaturan saja tatkala dioperasikan. Kondisi ini juga terjadi pada dogol
sebanyak 11 unit, bagan tancap dialokasikan sebanyak 11 unit, sedangkan pada
tahun 2009 sebanyak 24 unit, begitu pula dengan bagan perahu yang
dialokasikan hanya sebanyak 6 unit padahal sebelumnya sebanyak 52 unit,
payang sebanyak 2 unit, pancing sebanyak 5 unit, dan sero serta rampus
sebanyak 0 unit. Penghapusan dua jenis alat tangkap ini merupakan kondisi
yang sulit. Namun demikian, bisa dicoba untuk diterapkan mengingat alat
tangkap ini hasil tangkapannya tidak terlalu banyak. Pengaturan bisa dilakukan
dengan cara menjadwal waktu operasi dan mengatur lokasi penangkapan.
Selama ini nelayan rampus melakukan operasi penangkapan menjelang subuh
dan pulang ke pangkalan sekitar jam 10 pagi. Waktu operasi disesuaikan dengan
tingkah laku ikan tujuan target, apabila hal ini sulit dilakukan maka perlu diatur
lokasi penangkapannya. Karena pada faktanya 90 unit alat tangkap tersebut
tidak beroperasi semuanya mengingat semakin berkurangnya hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil perhitungan bionomi dan analisa usaha, menunjukkan bahwa
usaha penangkapan rampus tidak menguntungkan (merugi).
Setiap jenis alat tangkap memiliki daerah penangkapan yang spesifik.
Berdasarkan kondisi ini, maka setiap alat tangkap dapat diatur lokasi
penangkapannya. Sebagai contoh bagan tancap, bagan tancap dipasang pada
daerah penangkapan yang memiliki dasar perairan lumpur berpasir, dan cukup
terlindung dari angin yang besar serta arus yang kuat. Mengingat kekuatan
bagan tancap hanya selama enam bulan, maka bagan tancap tidak dipasang di
tengah-tengah laut namun lebih banyak di sekitar pulau. Hal ini juga dengan
pertimbangan untuk tidak menghalangi alur pelayaran. Kondisi ini juga terjadi
pada sero. Sero dipasang pada daerah yang cukup dangkal, namun tetap
memperhatikan kondisi pasang surut sehingga sero masih terndam air ketika
surut. Pengoperasian bagan perahu sebanyak 6 unit merupakan hal yang perlu
192

disosialisasikan lebih lanjut, mengingat jumlah alat tangkap yang ada sebanyak
52 unit (pengurangan sebesar 11,5%).

6.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan


Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan Lindo diperoleh hasil
bahwa rampus dan sero tidak direkomendasikan untuk melakukan penangkapan,
dan keenam alat tangkap yang lain mengalami pengaturan alokasi jumlah alat
tangkap (pengaturan trip penangkapan). Berdasarkan kondisi demikian ada
dua skenario yang diusulkan yaitu rekomendasi pertama tetap berpegang pada
data kondisi optimal tahun 2009, dan rekomendasi kedua adalah kondisi optimal
tahun mendatang (tahun 2010). Kebijakan yang diambil adalah
mengkombinasikan kedua skenario tersebut dengan cara mengatur jumlah trip
penangkapan sesuai dengan skenario kedua, namun dengan tetap
mempertahankan jumlah alat tangkap yang ada. Untuk melakukan pengaturan
ini, maka langkah pertama adalah mendata ulang jumlah alat tangkap yang riil
beroperasi di wilayah Teluk Banten, langkah berikutnya adalah mengatur trip
penangkapan sesuai dengan musim penangkapan ikan tujuan target alat
tangkap. Hal ini dilakukan agar operasi penangkapan menjadi efektif, dan
kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga. Tidak bisa dipungkiri bahwa
karakteristik perikanan Indonesia adalah multi spesies dan multi gear, maka
langkah yang dibuat adalah mengatur lokasi penangkapan sesuai dengan
karakteristik alat tangkap. Alat tangkap yang dioperasikan menggunakan kapal
yang dilengkapi dengan mesin inboard harus berada pada jalur yang ditetapkan
oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT. Plarenco (2007).
Hal ini terkait dengan rencana pengelolaan perikanan sumber daya kelautan dan
perikanan yang mengatur pengendalian zona penangkapan dengan mengatur
jalur penangkapan, yaitu jalur penangkapan ikan I, meliputi sub jalur
penangkapan IA dan IB, sampai dengan batas 6 mil laut. Jika dikaitkan dengan
Permen no. 2/2011 yang membagi jalur penangkapan IA meliputi perairan pantai
sampai dengan 2 mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut
terendah. Jalur penangkapan I B, meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut
sampai dengan 4 mil laut. Jalur penangkapan II, meliputi perairan di luar jalur
penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut diukur dari permukaan laut pada
surut terendah. Kebijakan ini menunjukkan kewenangan pengelolaan pemerintah
kabupaten/kota sejauh 4 mil laut, dan provinsi 12 mil laut. Kedua kebijakan
193

tersebut tidak bertentangan karena alat tangkap yang diatur pada masing-masing
jalur telah sesuai (lihat Tabel 26).
Pada jalur penangkapan ikan IA, alat dan kapal penangkapan ikan yang
diperbolehkan beroperasi adalah alat penangkap ikan yang menetap, alat
penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan
tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. Pada
jalur penangkapan ikan IB, alat dan kapal penangkapan ikan yang diperbolehkan
beroperasi adalah alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal
perikanan yang terdiri dari tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran
panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m, bermotor tempel dan bermotor-dalam
dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5
GT dan atau, pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m,
serta jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1.000 m.
Apabila hal ini ditaati, kemungkinan besar konflik pemanfaatan kawasan tidak
terjadi.
Pengendalian upaya penangkapan perlu dilakukan, karena apabila
menghapuskan alat tangkap yang ada adalah tidak mungkin. Teknik pengaturan
upaya penangkapan tiap jenis alat tangkap, dibantu dengan pertimbangan musim
penangkapan, musim ikan target penangkapan, dan lokasi penangkapan yang
telah dibahas sebelumnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Widodo dan Suadi (2008) yang mengatakan bahwa salah satu teknik
pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian upaya
penangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian upaya penangkapan
dapat dilakukan melalui (1) pembatasan terhadap armada perikanan termasuk
jumlah, ukuran serta kekuatan mesin; (2) kombinasi penutupan daerah dan
musim penangkapan mampu membatasi jumlah penangkapan pada tingkat yang
dikehendaki; (3) pembatasan terhadap jenis alat dan teknik penangkapan.
Murdiyanto (2004) lebih rinci mengatakan bahwa pengendalian upaya
penangkapan (input control) mencakup pembatasan jumlah unit penangkapan
tertentu yang dapat dilakukan dengan cara mengurangi atau tidak menerbitkan
ijin penangkapan, membatasi jumlah waktu penangkapan dalam ijin atau dengan
menentukan ukuran terhadap kapal dan alat tangkap yang digunakan.
Dengan demikian pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan
dengan tidak mengeluarkan ijin baru penambahan alat tangkap bagi ketujuh jenis
alat tangkap yaitu gill net, dogol, bagan tancap, bagan perahu, payang, sero, dan
194

rampus, sedangkan pancing ulur dapat dikembangkan lagi agar alternatif ikan
unggulan dapat ditentukan yaitu ikan kembung. Kebijakan yang diusulkan ini
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan pada satu sisi, dan
meningkatkan kelestarian sumber daya ikan pada sisi yang lain.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa 9 jenis ikan tidak dapat ditingkatkan
pemanfaatannya sepanjang tahun, masing-masing memiliki keterbatasan pada
tingkat MEY. Rajungan masih dapat ditingkatkan produksinya sampai dengan 28
tahun ke depan, namun untuk kehati-hatian karena faktor lingkungan
(industrialisasi) bisa sampai 6 tahun kedepan (50% dari nilai MSY). Teri hanya
sampai empat tahun ke depan, dan cumi-cumi sampai sembilan tahun kedepan.
Namun demikian apabila pemerintah peduli terhadap kondisi sumber daya ikan,
maka ketersediaan sumber daya ikan ini masih dapat diperpanjang sampai 18
tahun ke depan. Hal ini perlu dilakukan kebijakan yang komprehensif dan
melibatkan sektor (instansi) lain yang terkait, seperti perindustrian, BPLHD,
Bappeda, bahkan Gubernur Banten. Kebijakan yang dibuat tidak hanya
berorientasi pada nilai ekonomi semata, tetapi juga keberlanjutan biologi,
maupun ekologi. Berdasarkan kondisi tersebut maka pengalokasian alat tangkap
bagan perahu, dan payang yang diarahkan untuk menangkap cumi-cumi,
dioperasikan pada zona 3. Cumi-cumi sendiri musim puncak penangkapan
sangat pendek yaitu bulan Pebruari-April, dan mengalami paceklik pada bulan
September-Oktober. Pada bulan November-Januari dapat dilakukan
penangkapan teri dan rajungan, dilanjutkan sampai bulan Februari untuk
rajungan, Mei-Juli untuk teri. Bulan-bulan yang lain dapat melakukan
penangkapan jenis ikan yang lain. Pada saat bulan November-Januari alat
tangkap dogol, pancing dapat beroperasi di zona 3, bagan tancap di zona 1, gill
net di zona 2. Februari-April, alat tangkap bagan perahu, payang beroperasi di
zona 3 untuk menangkap cumi-cumi, dan dogol menangkap ikan udang, serta
pancing untuk menangkap kembung dan tongkol. Pada zona 2 gill net dapat
menangkap rajungan, dan beberapa jenis ikan yang lain dengan rampus seperti
tembang.
Dalam pelaksanaan pengaturan upaya penangkapan dan zona
penangkapan, perlu melibatkan masyarakat dalam pengawasannya, untuk itu
perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada pengguna kawasan. Hal ini
bertujuan agar peraturan yang telah dibuat disepakati oleh banyak pihak.
Pengurangan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dapat dilakukan secara
195

bertahap, seiring dengan peningkatan kesadaran nelayan terhadap keberlanjutan


usaha penangkapan ikan. Pada sisi yang lain pengendalian ijin penangkapan,
dan ijin pembukaan industri di daerah pesisir semakin ditekan agar terjadi
keseimbangan ekologi.
Kawasan rehabilitasi terumbu karang tidak diisolir dari kegiatan
penangkapan, boleh dilakukan penangkapan oleh pancing, dan sangat diawasi
secara ketat terhadap nelayan yang menggunakan sianida untuk menangkap
ikan karang, termasuk yang mengambil karang hidup di tengah laut. Keterlibatan
semua pihak dalam pengelolaan sangat dibutuhkan.
Pada simulasi skenario kedua menunjukkan bahwa cumi-cumi
produksinya masih dapat ditingkatkan sampai tahun ke-20 (80% dari nilai MSY)
dan tahun ke-9 (50% dari nilai MSY) dengan asumsi satu tahun melakukan
upaya penangkapan sebanyak 500 trip dengan keuntungan yang dapat
dirasakan sampai tahun ke-20. Hal ini sesuai dengan hasil seleksi komoditi
unggulan yang menunjukkan bahwa cumi-cumi memiliki prospek ekspor cukup
besar, ditunjang dengan kondisi sumber daya ikan yang besar. Alat tangkap
alternatif bagi cumi-cumi adalah bagan perahu, yang berdasarkan simulasi
memiliki kecenderungan meningkat produksinya. Dengan demikian pemerintah
daerah dapat berkonsentrasi dalam melakukan pengelolaan sumber daya ini.
Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa apabila tanpa pengelolaan
sumber daya ikan akan habis, untuk mengkombinasikan skenario pertama dan
kedua merupakan pilihan yag tepat saat ini, dikarenakan tidak mungkin
menghilangkan begitu saja alat tangkap yang ada.
Apabila kondisi tersebut diterapkan, diharapkan peningkatan pendapatan
nelayan dapat dirasakan. Apabila skenario kedua dilaksanakan keuntungan
yang diperoleh sebesar 14,667 milyar rupiah/tahun. Jumlah rumah tangga
perikanan yang bergantung pada usaha penangkapan ikan ini sebanyak 682
RTP terdiri dari 244 RTP di Kecamatan Bojonegara, 109 RTP di Kecamatan
Kramatwatu, dan 329 RTP di Kecamaten Kasemen (BPS Kabupaten dan Kota
Serang 2009). Namun jika skenario ini dilaksanakan maka jumlah RTP yang
terlibat sebanyak 527 orang (dikurangi nelayan sero dan rampus), sehingga
setiap RTP mendapatkan pendapatan rata-rata tiap bulan sebesar
Rp2.319.260,-. Pendapatan sebesar ini telah melebihi dari upah minimum kota
atau kabupaten (UPK), Kabupaten Serang sebesar RP 1.320.000,- dan Kota
Serang sebesar Rp 1.230.000,- dan melebihi pendapatan pada skenario 1
196

sebesar Rp1.859.517,- (25% lebih besar). Keadaan ini menunjukkan bahwa


skenario 2 jika diterapkan, tidak hanya akan menjaga kelestarian sumber daya
ikan tetapi juga mampu meningkatkan pendapatan nelayan.
Pada saat penelitian, kondisi perekonomian nelayan berbeda-beda,
tergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan. Nelayan dogol yang paling
makmur dibandingkan nelayan yang lain. Hal ini terlihat dari pendapatan tiap
nelayan untuk nelayan dogol (lampara dasar) sebesar Rp 148.362.500,- per
tahun, dibandingkan dengan bagan perahu sebesar Rp 43.038.333,- per tahun.
Dan yang paling menyedihkan adalah kondisi nelayan rampus, yang memiliki
pendapatan minus, karena penjualan hasil tangkapan tidak dapat menutupi biaya
operasional. Kondisi ini hampir dialami oleh kebanyakan nelayan.
Berdasarkan kondisi demikian, diharapkan bahwa pengambilan kebijakan
yang tepat dalam menentukan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang
berorientasi kepada pendekatan kewilayahan dapat meningkatkan pendapatan
nelayan.
7. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan umum bahwa model pengelolaan dan pengembangan
kawasan perikanan tangkap berkelanjutan di Teluk Banten disusun dengan
pendekatan kewilayahan, pengelolaan berbasis ekosistem dan melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan. Hal ini dapat dicapai melalui kesimpulan rinci
sebagai berikut:
1) Status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan tangkap di
kawasan Teluk Banten masih dapat dikembangkan terhadap 9 jenis ikan
dari 23 jenis ikan yang dominan, yaitu kembung, cumi-cumi, teri, tongkol,
lemuru, rajungan, kakap merah, udang, dan bawal hitam.
2) Cumi-cumi, teri, dan rajungan, merupakan komoditi yang memiliki
keunggulan komparatif tinggi, namun secara deskriptif dengan beberapa
parameter yaitu nilai produksi, harga ikan, wilayah pemasaran, dan nilai
tambah menunjukkan bahwa rajungan menempati ranking satu, diikuti
teri, dan cumi-cumi.
3) Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan yaitu
pancing ulur, bagan perahu, dan gill net (tiga urutan terbesar) merupakan
alat tangkap yang digunakan untuk menangkap jenis ikan unggulan.
4) Kawasan Teluk Banten terdiri dari zona perikanan budidaya, zona
pariwisata, zona perikanan tangkap, zona rehabilitasi terumbu karang,
zona pelabuhan, dan zona industri. Zona perikanan tangkap, terdiri dari (i)
zona pasif, yang diperuntukkan bagi alat tangkap bagan tancap, dan sero;
(ii) zona pasif dan perahu motor tempel, diperuntukkan bagi alat tangkap
gill net dan jaring rampus, serta (iii) zona aktif dan kapal motor,
diperuntukkan bagi alat tangkap dogol, bagan perahu, payang, dan
pancing ulur.
5) Strategi kebijakan pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan
tangkap di Teluk Banten yaitu (i) Memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang
cukup strategis, dan mengoptimalkan jenis ikan unggulan untuk
memenuhi permintaan ekspor; (ii) Memanfaatkan jumlah SDM yang besar
dan kepedulian nelayan terhadap upaya pengelolaan kawasan perikanan
198

tangkap di Teluk Banten; (iii) Memanfaatkan dukungan PEMDA dan


adanya otonomi daerah untuk membuat kebijakan dalam penataan dan
perluasan wilayah tangkap dan pelibatan masyarakat pesisir dalam
pengelolaan.
6) Model pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan tangkap di
Teluk Banten mampu meningkatkan pendapatan nelayan sebesar 25%
dari skenario pertama dan menjaga kelestarian sumber daya ikan dalam
jangka waktu 18 tahun.

7.2 Saran
1) Pengelolaan yang serius dari pemerintah daerah terkait dengan komoditi
unggulan perikanan tangkap, sehinga diharapkan sebagai alternatf dalam
peningkatan pendapatan nelayan.
2) Sosialiasi penggunaan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan
harus senantiasa dilakukan agar dapat mengurangi aktivitas
penangkapan yang merusak lingkungan, diikuti dengan pengawasan di
tengah laut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang.
3) Perlu disosialisasikan pengaturan zona penangkapan sesuai alat
tangkap, karena dalam awal pelaksanaannya akan sulit dilakukan.
Disarankan untuk dilakukan uji coba.
4) Pemerintah daerah menghentikan penerbitan ijin baru penangkapan, dan
mengawasi pengaturan upaya penangkapan tiap jenis alat tagkap.
5) Perlu kebijakan lintas sektoral dalam pengelolaan kawasan Teluk Banten
agar kelestarian sumber daya ikan dapat terjaga dan pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan nelayan.
6) Perlu dilakukan kajian secara mendalam terkait pengaruh penggunaan
model pengelolaan kawasan perikanan tangkap terhadap tingkat
kesejahteraan nelayan selain parameter pendapatan nelayan,
dikarenakan terbatasnya data yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Adrianto L, Kusumastanto T. 2004. Penyusunan Rencana Pengelolaan


Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan
Kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Makalah pada Training of
Trainer (TOT) Marginal Fishing Community Development Pilot. Bappenas.
Cipayung 8 Oktober 2004.

Afdal dan Riyono, S.M. 2008. Sebaran Klorofil-a dan Hubungannya dengan
Eutrofikasi di Perairan Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia (2008) 34(3): 333-351 - ISSN 0125 – 9830.

Agustina H. 2008. Pengelolaan Teluk Banten Harus Berkelanjutan. Seminar


Sehari Forum Peduli Lingkungan Kabupaten Serang di Aula Setda II
Kabupaten Serang Tanggal 12 Maret 2008.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Banten dan Pusat


Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2004.
Penyusunan Rencana Induk (Grand Design) Pengelolaan Lingkungan
Hidup Pesisir dan Laut Privinsi Banten. Buku 1: Profil Lingkungan Pesisir
dan Laut. 300 hlm.

Banten Province Environmental Strategy (BPES)-WJEMP. Tinjauan Masalah


dan Penanganan Sumberdaya Air, Hutan, Wilayah Pesisir dan Laut di
Propinsi Banten. Diakses 2 Desember 2009.
http://www.bapedaldabanten.go.id/i/art/Kajian-Air-Hutan-Laut.pdf. 35 hlm.

Bappenas. 2009a. Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan


Andalan: Membangun Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan
Program. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal.
Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional.

Bappenas. 2009b. Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya


Kelautan dan Perikanan. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Hidup Direktorat Kelautan dan Perikanan. Diakses 10 Agustus
2009. http://www. bappenas.go.id_index.php_modul=filemanager&func =
download&pathext=contentExpress_kajian_&view=3.STRATEGI%20PENG
ELOLA.

Bkpm.go.id. 2009a. PT. Pelabuhan Indonesia II. Diakses 11 Juni 2009.


www.inaportz.co.id.

Bkpm.go.id. 2009b. Laporan Pendahuluan: Bantek Penjabaran Kawasan


Bojonegara dalam Pembangunan Wilayah Pelabuhan di Banten Diakses 11
Juni 2009.

BPS Kabupaten Serang. 2009. Kabupaten Serang Dalam Angka 2009. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Serang.
200

BPS Kota Serang. 2009. Kota Serang Dalam Angka 2009. Badan Pusat
Statistik Kota Serang.

Buku Saku Banten. 2007. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.

Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Saint Mary’s University.


Halifax, Nova Scotia. Canada: Balckwell Science. Ltd. 370 hlm.

Clarck CW. 1985. Bioeconomic Modelling of Fisheries Management. John


Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapure.

Cochrane KL. 2002. A Fishery Manager’s Guide Book: Management Measures


and Their Application. FAO Technical Paper 424. FAO.

Dahuri R. et al. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir


dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat. Kerjasama Ditjen Bangda
dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Laporan Akhir.

Dahuri R. 2001. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor


Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Lembaga Informasi dan studi
Pembangunan Indonesia (LISPI).

Daryanto A, Hafizrianda Y. 2010. Model-model Kuantitaif untuk Perencanaan


Pembangunan Ekonomi Daerah. Konsep dan Aplikasi. Bogor: IPB Press.
Hlm 31-47

Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan


Kesisteman. Bogor: IPB Presr. Hlm: 19-51, 110-115.

Dent JD, MJ. Blackie. 1979. System Simulation in Agriculture. London: Aplied
Service Publishers Ltd.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Panduan Jenis-jenis


Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Volume I. Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta: PT. Bina Marina Nusantara. Hlm 13-17. Diakses 7
Januari 2010. http://www.coremap.or.id/ downloads/Manual-
PENANGKAPAN_Ramah.pdf

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. 2009. Laporan Akhir


Minapolitan 2009. 205 hlm.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Buku Profil Penataan


Ruang Provinsi Banten. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Direktorat
Penataan Ruang Wilayah Tengah.

Diana S. 2001. Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap di Teluk Banten,


Kabupaten Serang. Diakses 17 Juli 2009. http://digilib.sith.itb.ac.id/
go.php?id=jbptitbbi-gdl-s2-2004-skalalisdi-167&node=1579 start=master
tesis dari JBPTITBBI/2004-10-26.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT. Plarenco. 2007.
Rencana Pengelolaan Perikanan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
201

Banten. Laporan Akhir (1 Januari-31 Desember 2007). Diakses 20


Oktober 2009. http://www.dkp-banten.go.id/info/pdf/rpp-banten.pdf.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Kupang dan Lembaga


Penelitian Universitas Nusa Cendana Kupang. 2006. Analisis Komoditas
Unggulan dan Peluang Usaha Penangkapan Ikan Pelagis Kecil. Laporan
Penelitian.

Eriyatno. 1983. Penerapan Analisis Sistem pada Pengendalian Industri Basis


Pertanian. Pertemuan Ilmiah Penerangan Analisis Sistem di Bidang
Pertanian, Ciawi Bogor. Bogor: Fateta IPB.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen.


Bogor: IPB Press. 175 hlm.

FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.

Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.


Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 343
hlm.

Gaspersz, V. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik


Industri. Bandung: Tarsito. Hlm 445-455.

Gell, F.R. & Roberts C.M. 2002. The Fishery Effects of Marine Reserves and
Fishery Closures. WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037,
USA. 89 p.

Gordon HS. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources:


The Fishery. Journal of Political Economy 61: 124-142.

Gottfried BS. 1984. Element of Stochastic Process Simulation. Prentice Hall


Inc. New Jersey: Englewood Cliffs.

Grafton , R. Quentin. 2009. Adaptation to Climate Change in Marine Capture


Fisheries. Environmental Economics Research Hub Research Reports.
ISSN 1835-9728. Australia: The Australian National University.

Gulland JA. 1991. Fish Stock Assesssment. A Manual of Basic Methods. Jhon
Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. 223 p.

Gunaisah E. 2008. Sumberdaya Udang Penaeid dan Prospek


Pengembangannya di Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Irian Jaya Barat
[tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Haluan J, Rahmadevi CC. 2006. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Laut di


Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat. (Kumpulan Pemikiran tentang
Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab). Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
202

Hendarsih. 2007. Membangun Pesisir Teluk Banten: Tak Semudah


Mengedipkan Mata. Kliping Dunia Mancing. Diakses 17 Juli 2009.
http://ikanmania. wordpress.com/2007/12/31/membangun-pesisir-teluk-
banten-tak-semudah-mengedipkan-mata/.

Hendiarti N. 2008. Hubungan antara Keberadaan Ikan Pelagis dengan


Fenomena Oseanografi dan Perubahan Iklim Musiman Berdasarkan
Analisis Data Penginderaan Jauh (The Existence of Pelagic Fish in Relation
to Oceanographic Phenomenon and Seasonal Climate Change Based on
Remote Sensing Data Analysis). Globe Volume 10 No.1 Juni 2008: 19-25.

Jones CO. 1977. An Introduction to the Study of Public Policy. Second Edition.
Massachusates: Duxbury Press.

Kadariah, Karlina L, Gray C. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta:


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

[Kepmen] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004.


Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2008. Status Lingkungan Hidup Indonesia.


Diakses 11 Desember 2009. http://www.menlh.go.id/slhi2008/5_Pesisir
dan Laut. pdf.

[Kepmen] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia no.


KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. 7 hlm.

Kiswara W. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri terhadap Penurunan


Luas Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Jakarta: Balitbang
Biologi, Puslitbang Oseanologi LIPI. http://www.coremap.or.id/downloads/
0587.pdf [21 Juli 2009].

Kiswara W. 2004. Kondisi Padang Lamun (Seagrass) di Perairan Teluk Banten


Tahun 1998-2001. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

Kusumastanto T, Sinaga P. 2009. Perencanaan Wilayah dalam Satuan Sistem


Teknologi Pengolahan Data Spasial Pesisir dan Laut. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB.

Manst, Park. 1974. System Analysis and Simulation with Application to


Economic and Social Systems Science. Michigan State University. USA.

Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


Jakarta: Grasindo. Hlm 58-65, 76-92.

Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan Aspek Penataan


Ruang dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Makalah
Disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43 Surabaya pada
Tanggal 8 Oktober 2003.
203

Muchtar M. 2002. Fluktuasi Fosfat dan Nitrat pada Musim Peralihan di Teluk
Banten. Jurnal Perairan Indonesia Oseanografi, Biologi, dan Lingkungan.
ISBN 979-8105—95-8. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta.
Diakses 10 Januari 2012. http:/www.coremap. or.id/downloads/1512.pdf.

Mulyana R. 2008. Pengelolaan Perikanan dan Teori Perizinan. Diakses 13


Desember 2008. http://www. Perizinan.dkp.go.id/berita_frame.php?id
=236&search=.

Munasinghe M. 2002. Analysing the Nexus of Sustainable and Climate Change:


An Overview. France: OECD.

Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai. Jakarta:


Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan
Perikanan. 199 hlm.

National Research Council. 2001. Marine Protected Areas. Tools for Sustaining
Ocean Ecosystems. National Academy Press, Washington, D.C. 272 pp.

Nikijuluw VPH. 1994. Sasi sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya


Berdasarkan Komunitas (PSBK) di Pulau Saparua, Maluku. Jakarta: Jurnal
Penelitian Perikanan Laut 93:79-82.

Nikijuluw VPH. 1995. Hak Ulayat dan Partisipasi Penduduk dalam Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Pantai. Laporan Survei MREP di Kabupaten Biak
Numfor, Irian Jaya. November 1995. 12 hlm.

Nikijuluw VPH, Naamin. 1994. Current and Future Community-Based Fishery


Management in Indonesia. Indonesia Agricultural Research and
Development Journal 16(2): 19-23.

Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: P3R


dan PT Pustaka Cidesindo.

Nurani TW. 2008. Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik


Potensi Daerah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. 298 hlm.

Nurani, TW. 2010. Model Pengelolaan Perikanan: Suatu Kajian Pendekatan


Sistem. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. 298 hlm.

Panayotou T. 1982. Management Concept for Small-Scale Fisheries: Economic


and Social Aspect. Rome: FAO-UN. 53p.

[Perda] Peraturan Daerah Kabupaten Serang No. 2 Tahun 2009 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Serang Tahun 2009-2029. 125
hlm.

[Perda] Peraturan Daerah Provinsi Banten No. 2 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030. 107 hlm.
204

[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.


PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap.

[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.


PER.16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. 27 hlm.

[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.


PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. 31 hlm.

[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.


PER.2/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan pada WPP-NRI. 33
hlm.

[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.


PER.8/2011 tentang perubahan atas Permen KP RI no.2/2011. 3 hlm.

[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.


PER 5/2012 tentang perubahan kedua atas Permen KP RI no.2/2011. 3
hlm.

Pratiwi R. 2006. Keanekaragaman Udang Alpheus spp Di Kepulauan Seribu


dan Teluk Banten. Jakarta: Jurnal Oseanologi dan Limnologi 40:1-14.

Purbani D, Sukresno B, Mustikasari E, Kusumah G, Tb. Solihuddin. 2010.


Optimalisasi Data Fisik Perairan untuk Kajian Kelimpahan dan Jenis Ikan di
Teluk Banten. Laporan Akhir. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya
Non Hayati BRKP. Departemen Kelautan dan Perikanan. 112 hlm.
Diakses 10 Januari 2012. http://km.ristek. go.id/assets/files/261.pdf.

Purbayanto A. et al. 2004. Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan


Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura.
Jakarta: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua dan SUCOFINDO.

Purwaka TH. 2008. Pengelolaan Lingkungan Pesisir dan Laut. Paper.


Disampaikan dalam Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir. Menado 26-29 Agustus 2008.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian. 2009. Mewujudkan


Keunggulan Komparatif menjadi Keunggulan Kompetitif Komoditas
Pertanian. Diakses 16 Oktober 2009. http://www.pustaka-deptan.go.id
/publikasi/wr261049.pdf.

Radar Banten. 2008. Pengelolaan Teluk Banten Harus Berkelanjutan. Diakses


17 Juli 2009. http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=
viewarticle&ortid=23693 13 Maret 2008.

Rangkuti F. 2009. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama. 188 hlm.
205

Resmiati T, Diana S, Astuty S. 2002. Komposisi Jenis Alat Tangkap yang


Beroperasi di Teluk Banten. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran Bandung. Diakses 17 Juli 2009. http://pustaka.
unpad.ac.id/wp.content/uploads/2009/07/komposisi_jenis_alat_tangkap pdf.

Roberts C.M. & J. P. Hawkins 2000. Fully-Protected Marine Reserves: A guide.


WWF Washington DC USA, University of York, York, UK. 131 pp.

Rochyatun E, Lestari, Rozak A. 2005. Kualitas Lingkungan Perairan Banten dan


Sekitarnya Ditinjau dari Kondisi Logam Berat. Jurnal Oseanologi dan
Limnologi 38: 23-46.

Rosenfeld, Sturat A. 2002. Creating Smart Systems: A Guide Cluster Strategies


in Less Favoured Regions, Carrbaoro, North Carolina, USA: Regional
Technology Strategies.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan


Wilayah (Diktat Kuliah). Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah (P4W_LPPM IPB) Kampus IPB Baranangsiang.
Bogor: Crestpent Press.

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.
Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. 270 hlm.

Saptana, Sumaryanto, Friyanto S. 2002. Analisis Keunggulan Komparatif dan


Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wonosobo Jawa Tengah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor:
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. Diakses 16
Oktober 2009. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/
udejournal/(8)soca-saptanadkk-komoditi kentang(1).pdf.

Schaefer MB. 1957. Some Consideration of Population Dynamics and


Economics in Relation to The Management of The Commercial Marine
Fisheries. Journal of Fisheries Research Board of Canada, 1-1: 669-681.

Seijo JC, O. Defeo, S. Salas. 1998. Fisheries Bioeconomics. Theory, Modelling


and Management. Rome: FAO. 108 p.

Simanjuntak M. 2007. Variasi Musiman Oksigen Terlarut di Perairan Teluk


Banten: 1. Pola Sebaran Oksigen Terlarut. Ilmu Kelautan, September
2007, volume 12 (3): 125-132. ISSN 0853-7291. http://isjd.pdii.lipi.go.id/
admin/jurnal/ 12307125132.pdf. [10 Januari 2012].

Simbolon DF. 2004. Suatu Studi tentang Potensi Pengembangan Sumbedaya


Ikan Cakalang dan Teknologi Penangkapan yang Ramah Lingkungan
(Study on Development Potency and Environmentally Friendly Fishing
Technology of Skipjack Resources). Buletin PSP, volume XIII, No. 1 April
2004: 48-67
206

Simbolon DF. 2011. Bioekologi dan Dinamika Daerah Penangkapan Ikan.


Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK IPB. ISBN:
978-979-1225-27-4.

Siswanto. 1993. Goal Programming dengan Menggunakan Lindo. Jakarta: Elex


Media Komputindo. 203 hlm.

Soegiharto R. 2008. Peran Wasdal dalam Pengembangan Cluster Industri


Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Diakses 10
Oktober 2009. www.dkp-banten.go.id.

Sparre P, SC. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis


(Terjemahan). FAO-Puslitbangkan-Balitbangkan. Jakarta.

Subani, W dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta. Hlm. 113-114.

Suwargana N, Arief M, Sidik H. 2000. Penentuan Suhu Permukaan Laut dan


Konsentrasi Klorofil untuk Pengembangan Model Prediksi SST/Fishing
Ground dengan Menggunakan Data MODIS. Jakarta: LAPAN.

Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi. Kajian Ekologi Kuantitaif.


Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krisna Dwipayana
Wacana. 284 hlm.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.


Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah


Daerah.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan


Ruang.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan
dan Perikanan. 61 hlm.

[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ward T. J., Heinemann D. & Evans N. 2001. The Role of Marine Reserves as
Fisheries Management Tools: a review of concepts, evidence and
international experience. Canberra, Australia: Bureau of Rural Sciences,
192pp.

Wiadnya, D.G.R., Djohani, R., Erdmann M.V., Halim A., Knight M., Mous, P.J.,
Pet J., and Pet-Soede, L., 2005. Kajian kebijakan pengelolaan perikanan
tangkap di Indonesia: menuju pembentukan kawasan perlindungan laut.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(3):65-77.
207

Widodo J., Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogjakarta:


Gadjah Mada University Press. Hlm 213-225.

Wijaya J., Ismail A. 2007. Distribusi Horisontal Suhu Permukaan Laut dan
Produktivitas Primer Perairan Teluk Banten, Provinsi Banten. Proceeding
Geo-Marine Research Forum 2007.

Wiyono ES. 2006. Analisis Kebijakan Perikanan Pantai di Indonesia. (Kumpulan


Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung
Jawab). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

www.banten.go.id. Profil Banten [10 Desember 2008].


209

Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian


210

Lampiran 2 Hasil Tangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009

Gill net

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Tgr Bln Cucut
2005 40,39 0,49 0,00 0,00 0,00 0,00 1,55 0,00 0,39 14,08 0,00
2006 199,84 36,66 0,00 0,00 0,00 3,68 13,81 0,00 11,06 22,02 0,56
2007 230,48 74,80 0,00 1,52 0,00 11,40 16,17 0,00 9,02 6,92 2,46
2008 134,86 61,50 0,90 4,34 0,10 3,40 2,95 0,10 0,17 5,64 3,68
2009 194,00 45,87 1,72 25,75 0,70 4,22 9,91 0,70 7,23 8,73 4,67
Total 219,32 2,62 31,61 0,80 22,70 44,39 0,80 27,86 57,39 11,37
Rata-rata 43,86 0,52 6,32 0,16 4,54 8,88 0,16 5,57 11,48 2,27

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kkp Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Ekn Pari
2005 40,39 1,49 0,00 0,00 17,13 0,10 0,00 0,00 0,27 0,00 2,12 0,00 2,23
2006 199,84 25,41 7,67 39,39 7,99 8,36 0,00 8,57 4,93 0,00 9,15 0,00 0,00
2007 230,48 13,74 13,65 20,72 35,18 4,95 0,19 7,21 1,75 0,15 3,19 0,07 3,89
2008 134,86 1,07 5,68 9,76 20,31 0,50 0,01 0,78 0,30 0,71 0,19 0,00 0,26
2009 194,00 0,60 4,83 10,19 21,43 0,09 0,06 0,42 1,71 4,15 0,03 0,00 2,43
Total 42,30 31,83 80,06 102,03 13,99 0,25 16,97 8,95 5,01 14,67 0,07 8.80
Rata-rata 8,46 6,37 16,01 20,41 2,80 0,05 3,39 1,79 1,00 2,93 0,01 1.76

Dogol

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Lmr Tgr Bln Cucut
2005 773,71 35,64 37,70 21,42 20,11 22,16 0,00 20,11 4,15 0,00 1,81 6,71
2006 810,56 31,69 24,81 120,81 8,94 48,21 0,00 8,94 0,00 0,00 0,00 0,00
2007 1.128,05 87,93 68,78 119,75 5,57 85,50 0,05 5,57 7,18 6,74 0,26 0,34
2008 767,66 21,39 53,55 50,35 1,43 36,19 0,00 1,43 3,64 5,51 3,62 0,60
2009 1.073,86 17,62 77,92 53,02 9,40 88,75 0,05 9,40 0,00 17,93 1,10 1,58
Total 194,27 262,75 365,34 45,44 280,81 0,10 45,44 14,97 30,17 6,79 9,23
Rata-rata 38,85 52,55 73,07 9,09 56,16 0,02 9,09 2,99 6,03 1,36 1,85

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kkp Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Ekn Pari
2005 773,71 113,83 4,83 142,10 73,50 1,29 6,47 3,31 27,73 48,50 82,82 0,00 9,42
2006 810,56 81,26 3,12 229,17 0,00 0,00 13,47 0,00 3,69 26,31 42,43 0,00 13,41
2007 1.128,05 145,10 5,95 247,55 4,94 4,07 2,58 11,46 1,05 43,50 62,86 0,00 8,51
2008 767,66 71,42 7,59 219,70 7,45 2,77 1,52 2,79 16,58 16,84 10,26 0,00 12,40
2009 1.073,86 78,14 11,00 170,38 21,59 1,94 4,71 15,89 3,23 40,64 7,92 0,41 11,69
Total 32,50 489,75 1008,9 107,48 10,07 28,76 33,44 52,28 175,79 206,29 0,41 55,42
Rata-rata 6,50 97,95 201,78 21,50 2,01 5,75 6,69 10,46 35,16 41,26 0,08 11,08
211

Lampiran 2 (Lanjutan)

Bagan tancap

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Lmr Tgr Bln Cucut
2005 673,69 28,57 10,91 143,38 158,23 21,52 0,35 155,23 0,00 0,52 4.80 0,12
2006 480,64 15,13 11,51 95,89 120,26 6,80 0,00 115,22 0,00 0,00 6.95 0,00
2007 678,37 23,02 41,28 159,60 156,41 21,90 0,21 152,71 7,42 0,28 5.27 0,00
2008 481,20 21,01 46,77 108,08 135,84 12,03 0,62 134,19 2,62 1,09 5.35 1,35
2009 21989 1,67 4,25 40,57 87,13 6,86 0,13 83,62 0,00 0,36 4.75 0,08
Total 89,40 114,72 547,51 657,87 69,10 1,31 640,97 10,04 2,25 27.11 1,55
Rata-rata 17,88 22,94 109,50 131,57 13,82 0,26 128,19 2,01 0,45 5.42 0,31

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kakap Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Pari
2005 673,69 0,77 1,19 244,04 20,82 0,00 0,00 2,90 1,24 1,96 13,92 0,08
2006 480,64 0,00 0,71 167,66 3,14 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 6,40 0,00
2007 678,37 1,11 0,85 176,88 9,64 0,14 0,15 1,25 1,21 1,40 16,47 0,13
2008 481,20 0,38 1,00 118,50 441 0,08 0,17 0,46 0,77 0,37 3,17 0,07
2009 219,89 0,10 0,56 61,88 0,53 0,00 0,13 0,21 0,93 0,39 0,09 0,00
Total 2,36 4,30 768,96 38,54 0,21 0,45 4,82 4,15 4,12 40,05 0,27
Rata-rata 0,47 0,86 153,79 7,71 0,04 0,09 0,96 0,83 0,82 8,01 0,05

Bagan perahu

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Lmr Tgr Bln Cucut
2005 0.00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2006 0.00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2007 0.00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2008 359,56 25,09 67,78 93,48 48,43 13,84 1,79 48,43 0,79 1,14 2,95 1,38
2009 507,57 24,46 145,78 95,98 137,73 14,20 8,38 137,38 2,74 0,47 1,74 0,11
Total 49,55 213,56 189,46 186,16 28.03 10,17 185,81 3,53 1,62 4,69 1,49
Rata-rata 9,91 42,71 37,89 37,23 5,61 2,03 37,16 0,71 0,32 0,94 0,30

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kkp Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Ekn Pari
2005 0.00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2006 0.00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2007 0.00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2008 359,56 1,06 0,96 59,65 7,14 0,11 0,24 0,45 0,96 0,60 3,41 0,00 0,36
2009 507,57 0,05 0,78 28,11 1,38 0,03 0,07 0,43 1,79 0,31 0,52 0,03 0,01
Total 1,10 1,74 87,76 8,52 0,14 0,32 0,88 2,75 0,90 3,93 0,03 0,37
Rata-rata 2E-293 0,35 17,55 1,70 0,03 0,06 0,18 0,55 0,18 0,79 0,01 0,07
212

Lampiran 2 (Lanjutan)

Payang

Tahun C Total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Lmr Tkl Bln Cucut
2005 310,75 26,44 8,13 46,75 36,11 31,46 10,81 35,95 20,60 0,00 4,16 0,00
2006 443,53 16,02 13,00 63,45 102,07 32,03 0,97 79,05 10,93 0,00 0,23 0,00
2007 258,66 25,26 17,37 48,05 31,33 7,52 0,51 22,97 23,94 0,00 2,66 0,00
2008 209,22 10,77 15,57 48,89 25,78 17,66 1,89 35,36 30,13 0,07 0,40 0,00
2009 146,86 11,59 16,10 40,18 12,62 10,77 0,01 7,13 25,57 0,14 1,22 0,00
Total 90,07 70,16 247,32 207,91 99,43 14,19 180,44 111,16 0,20 8,67 0,00
Rata-rata 18,01 14,03 49,46 41,58 19,89 2,84 36,09 22,23 0,04 1,73 0,00

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kkp Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Ekn Pari
2005 310,75 0,00 1,42 40,80 0,88 0,00 0,00 0,10 2,11 0,00 5,62 0,18 0,53
2006 443,53 0,00 1,14 114,64 1,82 0,00 0,56 0,15 0,22 0,00 13,09 0,00 0,05
2007 258,66 0,00 1,74 55,14 0,60 0,00 0,67 0,09 10,14 0,49 1,72 0,00 0,23
2008 209,22 0,25 1,29 13,52 0,92 0,00 0,46 0,11 6,77 0,58 0,60 0,00 0,00
2009 146,86 0,34 0,17 7,57 0,54 0,02 0,03 0,01 8,34 0,35 0,37 0,00 0,09
Total 0,58 5,77 231,67 4,76 0,02 1,72 0,47 27,57 1,42 21,41 0,18 0,90
Rata-rata 0,12 1,15 46,33 0,95 0,00 0,34 0,09 5,51 0,28 4,28 0,04 0,18

Pancing

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Selar Tkl Tgr Bln Cucut
2005 139,08 31,22 0,00 0,00 1,47 33,80 13,94 0,00 10,34
2006 151,31 45,04 0,40 0,00 0,12 35,71 16,08 0,00 0,00
2007 76,18 20,76 0,55 0,00 9,26 12,44 5,66 0,00 0,65
2008 37,74 13,04 0,90 0,00 8,24 1,07 0,77 0,00 0,31
2009 45,57 16,16 24,28 0,51 1,15 0,77 8,49 1,54 0,66
Total 126,22 26,13 0,51 20,23 83,79 44,95 1,54 11,96
Rata-rata 25,24 5,23 0,10 4,05 16,76 8,99 0,31 2,39

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Rjg Kakap Bwl Kuwe Ekn
2005 139,08 0,00 13,56 1,03 19,02 0,00 10,74 3,65
2006 151,31 1,94 16,17 0,00 13,01 0,00 18,99 3,86
2007 76,18 1,16 3,15 0,00 6,85 0,00 11,54 1,41
2008 37,74 0,60 1,04 0,00 3,58 0,00 4,58 2,28
2009 45,57 0,41 1,04 0,00 1,24 0,06 4,94 1,04
Total 4,11 34,96 1,03 43,70 0,06 50,79 12,23
Rata-rata 0,82 6,99 0,21 8,74 0,01 10,16 2,45
213

Lampiran 2 (Lanjutan)

Sero

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Lmr Tgr Bln Cucut
2005 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2006 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2007 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2008 333,70 19,83 34,33 55,52 7,45 11,80 0,00 7,45 0,00 0,78 4,00 2,57
2009 144,79 3,91 0,29 30,00 5,71 7,58 0,19 5,71 0,00 0,86 1,42 0,20
Total 23,74 34,62 85,52 13,16 19,38 0,19 13,16 0,00 1,63 5,41 2,76
Rata-rata 4,75 6,92 17,10 2,63 3,88 0,04 2,63 0,00 0,33 1,08 0,55

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kakap Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Ekn Pari
2005 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2006 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2007 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2008 333,70 35,35 0,76 32,82 8,07 0,63 0,58 0,69 9,51 15,93 2,90 0,00 7,85
2009 144,79 3,22 1,27 15,70 3,29 0,17 0,73 0,35 8,69 4,46 0,90 0,47 1,62
Total 38,58 2,03 48,53 11,36 0,80 1,31 1,04 18,20 20,38 3,80 0,47 9,47
Rata-rata 7,72 0,41 9,71 2,27 0,16 0,26 0,21 3,64 4,08 0,76 0,09 1,89

Rampus

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis (Ton)


Kbg Cmi Tbg Teri Selar Tkl Lyg Lmr Tgr Bln Cucut
2005 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2006 6,56 0,00 0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,76
2007 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2008 6,95 0,05 0,00 0,15 0,62 0,00 0,17 0,62 0,00 0,62 0,00 0,00
2009 33,00 15,04 0,08 2,73 0,08 0,56 0,85 0,08 0,00 0,75 0,07 0,02
Total 15,09 0,10 2,87 0,70 0,56 1,02 0,70 0,00 1,37 0,07 1,78
Rata-rata 3,02 0.02 0,57 0,14 0,11 0,20 0,14 0,00 0,27 0,01 0,36

Tahun C total Hasil Tangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal (Ton)


Krs Myg Ppt Rjg Kakap Bwl Kuwe Udg Bls Lyr Ekn Pari
2005 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2006 6,56 0,00 3,53 0,00 0,00 0,02 0,00 0,66 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2007 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
2008 6,95 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 0,00 0,00 0,00 1,66 0,00 0,00
2009 33,00 0,43 0,29 1,34 0,43 0,03 0,01 0,06 0,12 0,60 0,00 0,01 0,18
Total 0,43 3,82 1,34 0,43 0,05 0,05 0,72 0,12 0,60 1,66 0,01 0,18
Rata-rata 0,09 0,76 0,27 0,09 0,01 0,01 0,14 0,02 0,12 0,33 0,00 0,04
214

Keterangan:

Krs = Kurisi Myg = Manyung


Kbg = Kembung Ppt = Pepetek
Cmi = Cumi-cumi Rjg = Rajungan
Tbg = Tembang Bwl = Bawal
Tkl = Tongkol Udg = Udang
Lyg = Layang Bls = Beloso
Lmr = Lemuru Lyr = Layur
Tgr = Tenggiri Ekn = Ekor kuning
Bln = Belanak
215

Lampiran 3 Konstruksi Gill net

Jaring rajungan

150 m
Karet
sandal

0.7 m

timah
4
inchi

Jaring millennium

pelampung

30 m

3m

9m

13.5 m

Pemberat
semen

37.8 inchi
216

Lampiran 4 Konstruksi Cantrang

Sumber: Badrudin (2006)


217

Lampiran 4 Konstruksi Dogol (Lampara Dasar) (Lanjutan)

Sumber: Badrudin (2006)


218

Lampiran 5 Konstruksi Bagan Tancap

Sumber: Dokumentasi Penelitian (2010)


219

Lampiran 6 Gambar Bagan Perahu (Jaring Congkel)

Sumber: Dokumentasi Penelitian (2010)


220

Lampiran 7 Konstruksi Payang.

Tali selambar

3 kps 1,5 kps 2 kps 2 kps 4 kps 7 kps 5 kps

35 kps

50-60
kps

12' 10' 4' 1,5' 1,25' 1' 0,75' 0,5'


12 kps Mesh size

Pemberat,
batu (1,5 kg) Cakel, berfungsi sebagai
pemberat, 3 kg
Pelampung, busa karet
panjang ± 30 cm

Keterangan: 1 kps= 1 kepas = 160 cm


221

Lampiran 8 Konstruksi Pancing Ulur.

Gambar pancing ulur tujuan penangkapan tenggiri

Sumber: Dokumentasi Penelitian (2010)


222

Lampiran 8 (Lanjutan)
223

Lampiran 8 (Lanjutan)
224

Lampiran 9 Konstruksi Sero.

15,5 m

6m

Mesh size 150 m


4m
1,5'
Penajo (jaring dg mesh
size 25', benang no.9)

Kantong
(waring)

pintu

Sayap 30 m, PE
no.9, mesh size 1,5'
225

Lampiran 10 Konstruksi Rampus.

3000 m PE Ø 20 mm

3000 m

23m
m PA 2" 32mm

3000 m

3000 m PE Ø 40 mm

Mesh size 4 inchi 3m

Keterangan:
1. Pelampung bendera
2. Pelampung (gabus) 70 buah tiap piece
3. Tali ris atas (PE Ø 20 mm)
4. Pelampung bola (fibre)
5. Pemberat utama (batu) 10 kg
6. Tal iris bawah (PE Ø 40 mm)
7. Pemberat (Pb Ø 25 mm) 3 kg tiap piece
226

Lampiran 11 Contoh Perhitungan Standarisasi Alat Tangkap.

Kurisi
Gillnet Dogol Bagan Tancap Bagan Perahu
Tahun C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE
2005 1.49 820 0.0018 113.83 1,162 0.0980 0.77 1,637 0.0005 0.00 0 0.0000
2006 25.41 1,013 0.0251 81.26 569 0.1428 0.00 1,188 0.0000 0.00 0 0.0000
2007 13.74 1,328 0.0103 145.10 882 0.1645 1.11 2,049 0.0005 0.00 0 0.0000
2008 1.07 2,305 0.0005 71.42 1,351 0.0529 0.38 4,068 0.0001 1.06 388 0.0027
2009 0.60 3,526 0.0002 78.14 1,804 0.0433 0.10 1,146 0.0001 0.05 2,883 0.0000
Total 42.30 8992 0.0379 489.75 5768 0.5015 2.36 10088 0.0012 1.10 3271 0.0027
2
Rata 8.46 1798 0.0076 97.95 1154 0.1003 0.47 2018 0.0002 0.22 654 0.0005

Payang Pancing Sero Rampus


C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE
0.00 1,885 0.0000 0.00 705 0.0000 0.00 0 0.000 0.00 0 0.0000
0.00 2,185 0.0000 1.94 568 0.0034 0.00 0 0.000 0.00 128 0.0000
0.00 2,682 0.0000 1.16 980 0.0012 0.00 0 0.000 0.00 0 0.0000
0.25 2,065 0.0001 0.60 249 0.0024 35.35 1,859 0.019 4.60 607 0.0076
0.34 1,487 0.0002 0.41 331 0.0012 3.22 1,717 0.002 0.43 467 0.0009
0.58 10304 0.0003 4.11 2833 0.0083 38.58 3576 0.021 5.02 1202 0.0085
0.12 2061 0.0001 0.82 567 0.0017 7.72 715 0.004 1.00 240 0.0017

FPI
Tahun G D BT BP Py Pc S R
2005 0.019 1 0.0048 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2006 0.176 1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0239 0.0000 0.0000
2007 0.063 1 0.0033 0.0000 0.0000 0.0072 0.0000 0.0000
2008 0.009 1 0.0018 0.0515 0.0023 0.0457 0.3597 0.1433
2009 0.004 1 0.0020 0.0004 0.0052 0.0287 0.0433 0.0211
Total 0.270 5 0.0119 0.0519 0.0075 0.1055 0.4031 0.1643
Rata2 0.054 1 0.0024 0.0104 0.0015 0.0211 0.0806 0.0329

Tahun C total E std CPUE std


2005 116.09 1185 0.0980
2006 108.60 760 0.1428
2007 161.11 979 0.1645
2008 114.72 2170 0.0529
2009 83.29 1923 0.0433
Total 583.81 7018 0.5015
Rata2 116.76 1404 0.1003
227

Lampiran 12 Perhitungan Bionomi dengan Program Maple.

(1) Kembung

> a:=0.0696;
a := 0.0696
> b:=-0.0000046;
b := -0.46 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=20000000;
p := 20000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 7565.217390
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0696 E0.46 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 0.1392000000 107 E92.0000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 263.2695652
> plot(TR,E=0..15200);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 263.2695652
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.5265391304 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.4728260869 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4792565217 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0696 E0.46 10-5 E 2
> plot(h,E=0..15200);

> TR:=p*h;
TR := 0.1392000000 107 E92.0000000 E2
> plot(TR,E=0..15200);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
228

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..15200);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..15200);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 14451.08696
> phi:=p*h-c*E;
 := 0.1329500000 107 E92.0000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 14451.08696
> diff(phi,E);
0.1329500000 107184.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1329500000 107184.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
7225.543478
> Emey:=7225.543478;
Emey := 7225.543478
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 262.7388248
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.5254776496 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.4515964674 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4803180029 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 14451.08696
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 45.1596462
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.9031929240 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.9031929350 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -11.0
229

Lampiran 12 (Lanjutan)

(2) Cumi-cumi

> a:=0.0530;
a := 0.0530
> b:=-0.00000193;
b := -0.193 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=20000000;
p := 20000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 13730.56995
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0530 E0.193 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 0.1060000000 107 E38.60000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 363.8601038
> plot(TR,E=0..27600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 363.8601036
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7277202072 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3432642488 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.6933937823 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0530 E0.193 10-5 E 2
> plot(h,E=0..27600);

> TR:=p*h;
TR := 0.1060000000 107 E38.60000000 E2
> plot(TR,E=0..27600);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
230

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..27600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..27600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 26813.47150
> phi:=p*h-c*E;
 := 0.1035000000 107 E38.60000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 26813.47150
> diff(phi,E);
0.1035000000 10777.20000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1035000000 10777.20000000 E
> fsolve(y=0,E);
13406.73575
> Emey:=13406.73575;
Emey := 13406.73575
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 363.6577072
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7273154144 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3351683938 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.6937985750 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 26813.47150
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 33.516840
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.6703368000 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.6703367875 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 12.5
231

Lampiran 12 (Lanjutan)

(3) Tembang

> a:=0.2075;
a := 0.2075
> b:=-0.000017;
b := -0.000017
> c:=25000;
c := 25000
> p:=3000000;
p := 3000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 6102.941175
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2075 E0.000017 E2
> TR:=p*h;
TR := 622500.0000 E51.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 633.1801470
> plot(TR,E=0..12400);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 633.1801472
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1899540442 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1525735294 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.1746966913 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2075 E0.000017 E2
> plot(h,E=0..12400);

> TR:=p*h;
TR := 622500.0000 E51.000000 E2
> plot(TR,E=0..12400);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
232

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..12400);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..12400);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 11715.68627
> phi:=p*h-c*E;
 := 597500.0000 E51.000000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 11715.68627
> diff(phi,E);
597500.0000102.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 597500.0000102.000000 E
> fsolve(y=0,E);
5857.843137
> Emey:=5857.843137;
Emey := 5857.843137
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 632.1589053
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1896476716 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1464460784 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1750030638 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 11715.68627
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 97.630719
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2928921570 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2928921568 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.2
233

Lampiran 12 (Lanjutan)

(4) Teri

> a:=0.1235;
a := 0.1235
> b:=-0.000014;
b := -0.000014
> c:=15000;
c := 15000
> p:=13500000;
p := 13500000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 4410.714286
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1235 E0.000014 E2
> TR:=p*h;
TR := 0.1667250000 107 E189.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 272.3616072
> plot(TR,E=0..9000);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 272.3616072
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.3676881697 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.6616071429 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.3610720983 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1235 E0.000014 E2
> plot(h,E=0..9000);

> TR:=p*h;
TR := 0.1667250000 107 E189.000000 E2
> plot(TR,E=0..9000);

> TC:=c*E;
TC := 15000 E
234

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..9000);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..9000);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 8742.063492
> phi:=p*h-c*E;
 := 0.1652250000 107 E189.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 8742.063492
> diff(phi,E);
0.1652250000 107378.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1652250000 107378.000000 E
> fsolve(y=0,E);
4371.031746
> Emey:=4371.031746;
Emey := 4371.031746
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 272.3395613
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.3676584078 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.6556547619 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.3611018602 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 8742.063492
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 9.713404
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1311309540 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1311309524 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 1.6
235

Lampiran 12 (Lanjutan)

(5) Selar

> a:=0.1191;
a := 0.1191
> b:=-0.00002415;
b := -0.00002415
> c:=25000;
c := 25000
> p:=5000000;
p := 5000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 2465.838510
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1191 E0.00002415 E2
> TR:=p*h;
TR := 595500.0000 E120.7500000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 146.8406832
> plot(TR,E=0..5000);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 146.8406832
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7342034160 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.6164596275 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.6725574532 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1191 E0.00002415 E2
> plot(h,E=0..5000);

> TR:=p*h;
TR := 595500.0000 E120.7500000 E2
> plot(TR,E=0..5000);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
236

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..5000);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..5000);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 4724.637681
> phi:=p*h-c*E;
 := 570500.0000 E120.7500000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 4724.637681
> diff(phi,E);
570500.0000241.5000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 570500.0000241.5000000 E
> fsolve(y=0,E);
2362.318841
> Emey:=2362.318841;
Emey := 2362.318841
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 146.5818841
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7329094205 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.5905797102 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.6738514495 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 4724.637682
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 23.6231882
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1181159410 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1181159420 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.0
237

Lampiran 12 (Lanjutan)

(6) Tongkol

> a:=0.0438;
a := 0.0438
> b:=-0.000005795;
b := -0.5795 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=15000000;
p := 15000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 3779.119931
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0438 E0.5795 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 657000.0000 E86.92500000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 82.76272650
> plot(TR,E=0..7600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 82.76272653
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1241440898 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2361949957 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.1005245902 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0438 E0.5795 10-5 E 2
> plot(h,E=0..7600);

> TR:=p*h;
TR := 657000.0000 E86.92500000 E2
> plot(TR,E=0..7600);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
238

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..7600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..7600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 6839.229221
> phi:=p*h-c*E;
 := 594500.0000 E86.92500000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 6839.229221
> diff(phi,E);
594500.0000173.8500000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 594500.0000173.8500000 E
> fsolve(y=0,E);
3419.614610
> Emey:=3419.614610;
Emey := 3419.614610
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 82.01375706
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1230206356 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.2137259131 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1016480443 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 6839.229220
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 28.4967884
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.4274518260 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.4274518262 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.2
239

Lampiran 12 (Lanjutan)

(7) Layang

> a:=0.0328;
a := 0.0328
> b:=-0.0000035;
b := -0.35 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=12000000;
p := 12000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 4685.714286
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0328 E0.35 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 393600.0000 E42.0000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 76.84571428
> plot(TR,E=0..9400);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 76.84571430
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.9221485716 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1171428572 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.8050057144 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0328 E0.35 10-5 E 2
> plot(h,E=0..9400);

> TR:=p*h;
TR := 393600.0000 E42.0000000 E2
> plot(TR,E=0..9400);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
240

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..9400);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..9400);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 8776.190476
> phi:=p*h-c*E;
 := 368600.0000 E42.0000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 8776.190476
> diff(phi,E);
368600.000084.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 368600.000084.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
4388.095238
> Emey:=4388.095238;
Emey := 4388.095238
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 76.53569443
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.9184283332 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1097023810 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.8087259522 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 8776.190476
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 18.2837302
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2194047624 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2194047619 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.5
241

Lampiran 12 (Lanjutan)

(8) Lemuru

> a:=0.0158;
a := 0.0158
> b:=-0.00000172;
b := -0.172 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=5000000;
p := 5000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 4593.023256
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0158 E0.172 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 79000.0000 E8.60000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 36.28488372
> plot(TR,E=0..9200);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 36.28488372
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1814244186 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1148255814 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.665988372 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0158 E0.172 10-5 E 2
> plot(h,E=0..9200);

> TR:=p*h;
TR := 79000.0000 E8.60000000 E2
> plot(TR,E=0..9200);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
242

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..9200);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..9200);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 6279.069767
> phi:=p*h-c*E;
 := 54000.0000 E8.60000000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 6279.069767
> diff(phi,E);
54000.000017.20000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 54000.000017.20000000 E
> fsolve(y=0,E);
3139.534884
> Emey:=3139.534884;
Emey := 3205.882353
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 36.21265147
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1810632574 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1097023810 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.713608764 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 8776.190476
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 6.1867964
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3093398200 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2194047619 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.1884707799 109
243

Lampiran 12 (Lanjutan)

(9) Tenggiri

> a:=0.0315;
a := 0.0315
> b:=-0.000007;
b := -0.7 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=30000000;
p := 30000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 2250.000000
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0315 E0.7 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 945000.0000 E210.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 35.43750000
> plot(TR,E=0..4600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 35.43750000
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1063125000 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1406250000 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.9225000000 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0315 E0.7 10-5 E 2
> plot(h,E=0..4600);

> TR:=p*h;
TR := 945000.0000 E210.000000 E2
> plot(TR,E=0..4600);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
244

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..4600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..4600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 4202.380952
> phi:=p*h-c*E;
 := 882500.0000 E210.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 4202.380952
> diff(phi,E);
882500.0000420.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 882500.0000420.000000 E
> fsolve(y=0,E);
2101.190476
> Emey:=2101.190476;
Emey := 2101.190476
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 35.28249008
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1058474702 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1313244048 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.9271502972 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 4202.380952
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 8.7549603
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2626488090 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2626488095 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.5
245

Lampiran 12 (Lanjutan)

(10) Belanak

> a:=0.0182;
a := 0.0182
> b:=-0.0000017;
b := -0.17 10-5
> c:=20000;
c := 20000
> p:=15000000;
p := 15000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 5352.941175
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0182 E0.17 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 273000.0000 E25.5000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 48.71176470
> plot(TR,E=0..10800);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 48.71176471
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7306764706 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1070588235 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.6236176471 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0182 E0.17 10-5 E 2
> plot(h,E=0..10800);

> TR:=p*h;
TR := 273000.0000 E25.5000000 E2
> plot(TR,E=0..10800);

> TC:=c*E;
TC := 20000 E
246

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..10800);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..10800);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 9921.568627
> phi:=p*h-c*E;
 := 253000.0000 E25.5000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 9921.568627
> diff(phi,E);
253000.000051.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 253000.000051.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
4960.784314
> Emey:=4960.784314;
Emey := 4960.784314
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 48.45032679
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7267549018 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.9921568628 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.6275392155 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 9921.568628
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 13.2287581
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1984313715 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1984313726 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.1
247

Lampiran 12 (Lanjutan)

(11) Cucut

> a:=0.0092;
a := 0.0092
> b:=-0.000001237;
b := -0.1237 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=10000000;
p := 10000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 3718.674212
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0092 E0.1237 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 92000.0000 E12.37000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 17.10590138
> plot(TR,E=0..7600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 17.10590137
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1710590137 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2324171382 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := -0.613581245 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0092 E0.1237 10-5 E 2
> plot(h,E=0..7600);

> TR:=p*h;
TR := 92000.0000 E12.37000000 E2
> plot(TR,E=0..7600);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
248

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..7600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..7600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 2384.801940
> phi:=p*h-c*E;
 := 29500.0000 E12.37000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2384.801940
> diff(phi,E);
29500.000024.74000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 29500.000024.74000000 E
> fsolve(y=0,E);
1192.400970
> Emey:=1192.400970;
Emey := 1192.400970
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 9.211297490
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.9211297490 108
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.7452506062 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1758791428 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2384.801940
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 14.90501213
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1490501213 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1490501212 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.1
249

Lampiran 12 (Lanjutan)

(12) Kurisi

> a:=0.2127;
a := 0.2127
> b:=-0.00008009;
b := -0.00008009
> c:=25000;
c := 25000
> p:=3000000;
p := 3000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1327.881134
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2127 E0.00008009 E2
> TR:=p*h;
TR := 638100.0000 E240.2700000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 141.2201586
> plot(TR,E=0..2700);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 141.2201586
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.4236604758 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3319702835 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.3904634474 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2127 E0.00008009 E2
> plot(h,E=0..2700);

> TR:=p*h;
TR := 638100.0000 E240.2700000 E2
> plot(TR,E=0..2700);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
250

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..2700);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..2700);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 2551.712657
> phi:=p*h-c*E;
 := 613100.0000 E240.2700000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2551.712657
> diff(phi,E);
613100.0000480.5400000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 613100.0000480.5400000 E
> fsolve(y=0,E);
1275.856328
> Emey:=1275.856328;
Emey := 1275.856328
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 141.0033886
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.4230101658 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3189640820 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.3911137576 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2551.712656
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 21.2642722
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.6379281660 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.6379281640 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.20
251

Lampiran 12 (Lanjutan)

(13) Rajungan

> a:=0.0366;
a := 0.0366
> b:=-0.00000236;
b := -0.236 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=25000000;
p := 25000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 7754.237290
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0366 E0.236 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 915000.0000 E59.00000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 141.9025424
> plot(TR,E=0..15600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 141.9025424
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.3547563560 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1938559322 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.3353707628 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0366 E0.236 10-5 E 2
> plot(h,E=0..15600);

> TR:=p*h;
TR := 915000.0000 E59.00000000 E2
> plot(TR,E=0..15600);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
252

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..15600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..15600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 15084.74576
> phi:=p*h-c*E;
 := 890000.0000 E59.00000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 15084.74576
> diff(phi,E);
890000.0000118.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 890000.0000118.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
7542.372881
> Emey:=7542.372881;
Emey := 7542.372881
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 141.7966101
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.3544915252 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1885593220 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.3356355930 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 15084.74576
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 15.0847459
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3771186475 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.3771186440 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 3.5
253

Lampiran 12 (Lanjutan)

(14) Pepetek

> a:=1.0002;
a := 1.0002
> b:=-0.000285;
b := -0.000285
> c:=25000;
c := 25000
> p:=3000000;
p := 3000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1754.736842
> h:=a*E+b*E^2;
h := 1.0002 E0.000285 E2
> TR:=p*h;
TR := 0.3000600000 107 E855.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 877.5438948
> plot(TR,E=0..3600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 877.5438943
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.2632631683 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.4386842105 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.2588763262 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 1.0002 E0.000285 E2
> plot(h,E=0..3600);

> TR:=p*h;
TR := 0.3000600000 107 E855.000000 E2
> plot(TR,E=0..3600);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
254

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..3600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 3480.233918
> phi:=p*h-c*E;
 := 0.2975600000 107 E855.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 3480.233918
> diff(phi,E);
0.2975600000 1071710.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.2975600000 1071710.000000 E
> fsolve(y=0,E);
1740.116959
> Emey:=1740.116959;
Emey := 1740.116959
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 877.4829782
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.2632448935 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.4350292398 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.2588946011 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 3480.233918
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 29.001951
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.8700585300 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.8700584795 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 5.05
255

Lampiran 12 (Lanjutan)

(15) Kakap merah

> a:=0.0229;
a := 0.0229
> b:=-0.0000071;
b := -0.71 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=33000000;
p := 33000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1612.676056
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0229 E0.71 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 755700.0000 E234.3000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 18.46514084
> plot(TR,E=0..3300);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 18.46514084
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.6093496477 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1007922535 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.5085573942 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0229 E0.71 10-5 E 2
> plot(h,E=0..3300);

> TR:=p*h;
TR := 755700.0000 E234.3000000 E2
> plot(TR,E=0..3300);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
256

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..3300);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3300);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 2958.600085
> phi:=p*h-c*E;
 := 693200.0000 E234.3000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2958.600085
> diff(phi,E);
693200.0000468.6000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 693200.0000468.6000000 E
> fsolve(y=0,E);
1479.300043
> Emey:=1479.300043;
Emey := 1479.300043
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 18.33883780
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.6051816474 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.9245625269 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.5127253947 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2958.600086
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 5.60340924
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1849125049 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1849125054 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.5
257

Lampiran 12 (Lanjutan)

(16) Pari

> a:=0.0232;
a := 0.0232
> b:=-0.0000073;
b := -0.73 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=6000000;
p := 6000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1589.041096
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0232 E0.73 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 139200.0000 E43.8000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 18.43287671
> plot(TR,E=0..3200);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 18.43287671
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1105972603 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3972602740 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.7087123290 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0232 E0.73 10-5 E 2
> plot(h,E=0..3200);

> TR:=p*h;
TR := 139200.0000 E43.8000000 E2
> plot(TR,E=0..3200);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
258

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..3200);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3200);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 2607.305936
> phi:=p*h-c*E;
 := 114200.0000 E43.8000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2607.305936
> diff(phi,E);
114200.000087.6000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 114200.000087.6000000 E
> fsolve(y=0,E);
1303.652968
> Emey:=1303.652968;
Emey := 1303.652968
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 17.83831811
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1070299087 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3259132420 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.7443858450 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2607.305936
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 10.86377474
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.6518264844 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.6518264840 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.04
259

Lampiran 12 (Lanjutan)

(17) Udang

> a:=0.0138;
a := 0.0138
> b:=-0.00000103;
b := -0.103 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=55000000;
p := 55000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 6699.029125
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0138 E0.103 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 759000.0000 E56.65000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 46.22330098
> plot(TR,E=0..13400);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 46.22330096
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.2542281553 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1674757281 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.2374805825 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0138 E0.103 10-5 E 2
> plot(h,E=0..13400);

> TR:=p*h;
TR := 759000.0000 E56.65000000 E2
> plot(TR,E=0..13400);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
260

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..13400);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..13400);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 12956.75199
> phi:=p*h-c*E;
 := 734000.0000 E56.65000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 12956.75199
> diff(phi,E);
734000.0000113.3000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 734000.0000113.3000000 E
> fsolve(y=0,E);
6478.375993
> Emey:=6478.375993;
Emey := 6478.375993
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 46.17315252
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.2539523389 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1619593998 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.2377563989 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 12956.75199
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 5.8894327
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3239187985 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.3239187998 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.3
261

Lampiran 12 (Lanjutan)

(18) Kuwe

> a:=0.0277;
a := 0.0277
> b:=-0.0000065;
b := -0.65 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=33000000;
p := 33000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 2130.769231
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0277 E0.65 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 914100.0000 E214.5000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 29.51115385
> plot(TR,E=0..4300);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 29.51115385
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.9738680770 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1331730769 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.8406950001 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0277 E0.65 10-5 E 2
> plot(h,E=0..4300);

> TR:=p*h;
TR := 914100.0000 E214.5000000 E2
> plot(TR,E=0..4300);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
262

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..4300);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..4300);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 3970.163170
> phi:=p*h-c*E;
 := 851600.0000 E214.5000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 3970.163170
> diff(phi,E);
851600.0000429.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 851600.0000429.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
1985.081585
> Emey:=1985.08158;
Emey := 1985.08158
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 29.37319206
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.9693153380 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1240675988 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.8452477392 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 3970.16316
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 7.5192486
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2481352038 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2481351975 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 6.3
263

Lampiran 12 (Lanjutan)

(19) Bawal hitam

> a:=0.0217;
a := 0.0217
> b:=-0.0000094;
b := -0.94 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=35000000;
p := 35000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1154.255319
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0217 E0.94 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 759500.0000 E329.0000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 12.52367021
> plot(TR,E=0..2400);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 12.52367021
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.4383284574 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2885638298 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4094720744 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0217 E0.94 10-5 E 2
> plot(h,E=0..2400);

> TR:=p*h;
TR := 759500.0000 E329.0000000 E2
> plot(TR,E=0..2400);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
264

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..2400);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..2400);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 2232.522796
> phi:=p*h-c*E;
 := 734500.0000 E329.0000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2232.522796
> diff(phi,E);
734500.0000658.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 734500.0000658.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
1116.261398
> Emey:=1116.261398;
Emey := 1116.261398
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 12.51010096
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.4378535336 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.2790653495 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4099469986 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2232.522796
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 1.59465914
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.5581306990 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.5581306990 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.
265

Lampiran 12 (Lanjutan)

(20) Layur

> a:=0.1183;
a := 0.1183
> b:=-0.000041;
b := -0.000041
> c:=25000;
c := 25000
> p:=15000000;
p := 15000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1442.682927
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1183 E0.000041 E2
> TR:=p*h;
TR := 0.1774500000 107 E615.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 85.33469512
> plot(TR,E=0..2900);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 85.33469515
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1280020427 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3606707318 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.1243953354 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1183 E0.000041 E2
> plot(h,E=0..2900);

> TR:=p*h;
TR := 0.1774500000 107 E615.000000 E2
> plot(TR,E=0..2900);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
266

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..2900);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..2900);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 2844.715447
> phi:=p*h-c*E;
 := 0.1749500000 107 E615.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2844.715447
> diff(phi,E);
0.1749500000 1071230.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1749500000 1071230.000000 E
> fsolve(y=0,E);
1422.357724
> Emey:=1422.357724;
Emey := 1422.357724
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 85.31775740
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1279766361 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3555894310 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1244207418 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2844.715448
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 4.7411923
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.7111788450 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.7111788620 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.70
267

Lampiran 12 (Lanjutan)

(21) Ekor kuning

> a:=0.0115;
a := 0.0115
> b:=-0.000011;
b := -0.000011
> c:=62500;
c := 62500
> p:=25000000;
p := 25000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 522.7272725
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0115 E0.000011 E2
> TR:=p*h;
TR := 287500.0000 E275.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 3.005681818
> plot(TR,E=0..1060);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 3.005681819
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7514204548 108
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3267045453 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4247159095 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0115 E0.000011 E2
> plot(h,E=0..1060);

> TR:=p*h;
TR := 287500.0000 E275.000000 E2
> plot(TR,E=0..1060);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
268

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..1060);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..1060);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 818.1818182
> phi:=p*h-c*E;
 := 225000.0000 E275.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 818.1818182
> diff(phi,E);
225000.0000550.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 225000.0000550.000000 E
> fsolve(y=0,E);
409.0909091
> Emey:=409.0909091;
Emey := 409.0909091
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 2.863636364
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7159090910 108
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.2556818182 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4602272728 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 818.1818182
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 2.045454545
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.5113636362 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.5113636364 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.02
269

Lampiran 12 (Lanjutan)

(22) Beloso

> a:=0.0607;
a := 0.0607
> b:=-0.000017;
b := -0.000017
> c:=25000;
c := 25000
> p:=5000000;
p := 5000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1785.294118
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0607 E0.000017 E2
> TR:=p*h;
TR := 303500.0000 E85.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 54.18367648
> plot(TR,E=0..3600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 54.18367650
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.2709183825 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.4463235295 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.2262860296 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0607 E0.000017 E2
> plot(h,E=0..3600);

> TR:=p*h;
TR := 303500.0000 E85.000000 E2
> plot(TR,E=0..3600);

> TC:=c*E;
TC := 25000 E
270

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..3600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 3276.470588
> phi:=p*h-c*E;
 := 278500.0000 E85.000000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 3276.470588
> diff(phi,E);
278500.0000170.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 278500.0000170.000000 E
> fsolve(y=0,E);
1638.235294
> Emey:=1638.235294;
Emey := 1638.235294
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 53.81602941
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.2690801470 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.4095588235 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.2281242646 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 3276.470588
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 16.3823530
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.8191176500 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.8191176470 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.30
271

Lampiran 12 (Lanjutan)

(23) Manyung

> a:=0.0280;
a := 0.0280
> b:=-0.0000037;
b := -0.37 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=13000000;
p := 13000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 3783.783784
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0280 E0.37 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 364000.0000 E48.1000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 52.97297298
> plot(TR,E=0..7600);

> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 52.97297304
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.6886486495 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2364864865 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4521621630 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0280 E0.37 10-5 E 2
> plot(h,E=0..7600);

> TR:=p*h;
TR := 364000.0000 E48.1000000 E2
> plot(TR,E=0..7600);

> TC:=c*E;
TC := 62500 E
272

Lampiran 12 (Lanjutan)

> plot(TC,E=0..7600);

> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..7600);

> fsolve(TR=TC,E);
0., 6268.191268
> phi:=p*h-c*E;
 := 301500.0000 E48.1000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 6268.191268
> diff(phi,E);
301500.000096.2000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 301500.000096.2000000 E
> fsolve(y=0,E);
3134.095634
> Emey:=3134.095634;
Emey := 3134.095634
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 51.41122261
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.6683458939 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1958809771 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4724649168 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 6268.191268
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 30.1355350
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3917619550 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.3917619542 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.8
273

Lampiran 13 Perhitungan Analisa Usaha Gill net

(1) Jaring millenium


Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 25.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 5 th) 75.000.000
3 Harga mesin (umur teknis 2 th) 15.000.000
Jumlah 115.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 2.500.000
2 Penyusutan alat tangkap 15.000.000
3 Penyusutan mesin 7.500.000
4 Perawatan kapal 10.000.000
Jumlah 35.000.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 350 ribu x 12 4.200.000
2 Biaya operasi penangkapan 30 trip x 5 juta 150.000.000
Jumlah 154.200.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 189.200.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan tongkol 1500 kg x 30 x 10 rb 450.000.000
2 Penjualan tengiri 1000 kg x 30 x 30 rb 900.000.000
Jumlah 1.350.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 1.160.800.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 58.040.000
2 Nahkoda 58.040.000
3 ABK (6 orang), pendapatan tiap nelayan 87.060.000
VIII. Biaya variabel 763.620.000
IX. Biaya total per tahun 798.620.000

R/C 7,14 untung


ROI 10,09
PP 0,10
274

Lampiran 13 (Lanjutan)

(2) Jaring rajungan


Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 7.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 0,5 bulan) 7.200.000
3 Harga mesin (umur teknis 2 th) 0
Jumlah 14.200.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 700.000
2 Penyusutan alat tangkap 7.200.000
3 Perawatan mesin 3.000.000
4 Perawatan kapal 1.000.000
Jumlah 11.900.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 17 ribu x 3,5 x 4 1.000.000
2 Biaya operasi penangkapan 720.000
Jumlah 1.720.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 13.620.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan rajungan 22.176.000
2 Penghasilan dari nelayan lain 17.568.000
Jml 39.744.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 26.124.000
VII. Bagi hasil (tidak ada bagi hasil)
1 Pemilik
2 Nahkoda
3 ABK (6 orang), pendapatan tiap nelayan
VIII. Biaya variabel 27.844.000
IX. Biaya total per tahun 39.744.000

R/C 2,92 untung


ROI 1,84
PP 0,54
275

Lampiran 14 Perhitungan Analisa Usaha Dogol

(1) Lampara dasar


Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 3 th) 80.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 1 th) 5.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 1 th) 55.000.000
Jumlah 140.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 26.666.667
2 Penyusutan alat tangkap 5.000.000
3 Penyusutan mesin utama 55.000.000
4 Perawatan mesin 5.000.000
5 Perawatan kapal 7.000.000
Jumlah 98.666.667
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
Biaya operasi penangkapan 600.000.000
Jumlah 600.000.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 698.666.667
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi 500 kgx75 tripx26000 975.000.000
2 Penjualan kurisi 50 kgx75 tripx10000 37.500.000
3 Penjualan ikan kembung 200 kgx75 tripx12000 180.000.000
4 Penjualan ikan pepetek 300 kgx75 tripx500 11.250.000
5 Penjualan ikan rucah 50 kgx75 tripx5000 18.750.000
6 Penjualan ikan selar 50 kgx5000 250.000
7 Penjualan kuwe 50 kgx33000 1.650.000
Jumlah 1.224.400.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 1.186.900.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 593.450.000
2 Nahkoda
3 ABK (4 orang), pendapatan tiap nelayan 148.362.500
VIII. Biaya variabel 1.193.450.000
IX. Biaya total per tahun 1.292.116.667

R/C 1,75 untung


ROI 8,48
PP 0,2
276

Lampiran 14 (Lanjutan)

(2) Cantrang
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 5 th) 30.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 2 th) 7.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 10 th) 30.000.000
4 Harga mesin bantu (umur teknis 1 th) 4.000.000
Jumlah 71.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 6.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 3.500.000
3 Penyusutan mesin utama 3.000.000
4 Penyusutan mesin bantu 4.000.000
5 Perawatan kapal dan mesin 3.100.000
Jumlah 19.600.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 1.500.000
2 Biaya operasi penangkapan 165.000.000
Jml 166.500.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 186.100.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi 30 kgx300 tripx20000 180.000.000
2 Penjualan kurisi 7 kgx300 tripx5000 10.500.000
3 Penjualan ikan sebelah 1 kgx300 tripx1000 3.000.000
4 Penjualan ikan pepetek 1 kgx300 tripx1000 300.000
5 Ikan rucah 20 kgx300 tripx1000 6.000.000
Jml 199.800.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 13.700.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 6.850.000
2 Nahkoda
3 ABK (8 orang), pendapatan tiap nelayan 856.250
VIII. Biaya variabel 173.350.000
IX. Biaya total per tahun 192.950.000

R/C 1,07 untung


ROI 0,19
PP 5,18
277

Lampiran 15 Perhitungan Analisa Usaha Bagan Tancap

Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga alat tangkap (umur teknis 6 bln) 6.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan alat tangkap 12.000.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Biaya operasi penangkapan 14.400.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 26.400.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan teri musim puncak 450.000.000
musim sedang 36.000.000
2 Penjualan tembang musim puncak 135.000.000
musim sedang 22.500.000
Jumlah 643.500.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 617.100.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik kapal 96.525.000
VIII. Biaya variabel 110.925.000
IX. Biaya total per tahun 122.925.000

R/C 24,38 untung


ROI 23,38
PP 0,01
278

Lampiran 16 Perhitungan Analisa Usaha Bagan Perahu

Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 30.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 10 th) 50.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 2 th) 6.000.000
4 Lampu (umur teknis 3 th) 2.080.000
Jumlah 88.080.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 3.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 5.000.000
3 Penyusutan mesin utama 3.000.000
4 Penyusutan lampu 693.333
5 Perawatan kapal 4.000.000
6 Perawatan mesin 4.000.000
Jumlah 15.693.333
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
Biaya operasi penangkapan 120.000.000
Jumlah 120.000.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 135.693.333
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi-cumi 50kgx300 tripx20000 300.000.000
2 Penjualan kembung 40 kgx300 tripx10000 120.000.000
3 Penjualan ikan tembang 100 kgx300 tripx1500 45.000.000
4 Penjualan pepetek 50 kgx300 tripx1000 15.000.000
Jumlah 480.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 344.306.667
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 172.153.333
2 Nahkoda 43.038.333
3 ABK (4 orang), pendapatan tiap nelayan 43.038.333
VIII. Biaya variabel 292.153.333
IX. Biaya total per tahun 307.846.667

R/C 3,54 untung


ROI 3,91
PP 0,26
279

Lampiran 17 Perhitungan Analisa Usaha Payang (Payang Tingker)

Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 12 th) 60.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 5 th) 10.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 5 th) 10.000.000
4 Lampu (umur teknis 3 th) 7.200.000
Jumlah 87.200.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 5.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 2.000.000
3 Penyusutan mesin utama 2.000.000
4 Penyusutan lampu 2.400.000
5 Perawatan kapal 2.800.000
6 Perawatan lampu 1.920.000
Jumlah 14.200.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 1.200.000
2 Biaya operasi penangkapan 150.000.000
Jumlah 151.200.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 165.400.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan lemuru 130 kgx30 tripx5000 195.000.000
2 Penjualan layang 30 kgx300 tripx8000 72.000.000
3 Penjualan ikan tembang 120 kgx300 tripx3000 108.000.000
4 Penjualan tongkol 50 kgx300 tripx10000 150.000.000
5 Penjualan kembung 20 kgx300 tripx20000 120.000.000
Jumlah 645.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 479.600.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 239.800.000
2 Nahkoda 58.237.143
3 ABK (7 orang), pendapatan tiap nelayan 34.257.143
VIII. Biaya variabel 391.000.000
IX. Biaya total per tahun 405.200.000

R/C 3,90 untung


ROI 5,50
PP 0,18
280

Lampiran 17 (Lanjutan)

Payang

I. INVESTASI
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 15.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 3 th) 5.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 4 th) 3.000.000
4 Lampu (umur teknis 3 th) 0
Jumlah 23.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 1.500.000
2 Penyusutan alat tangkap 1.666.667
3 Penyusutan mesin utama 750.000
4 Penyusutan lampu 0
5 Perawatan kapal 500.000
6 Perawatan lampu 0
Jumlah 4.416.667
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 2.400.000
2 Biaya operasi penangkapan 60.000.000
Jumlah 62.400.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 66.816.667
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan teri nasi 72.000.000
2 Penjualan pari 5.400.000
3 Penjualan ikan tembang
4 Penjualan tongkol
Penjualan
5 kembung
Jumlah 77.400.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 10.583.333
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 4.233.333
2 Nahkoda 1.217.083
3 ABK (8 orang), pendapatan tiap nelayan 793.750
VIII. Biaya variabel 66.633.333
IX. Biaya total per tahun 71.050.000

R/C 1,16 untung


ROI 0,46
PP 2,17
281

Lampiran 18 Perhitungan Analisa Usaha Pancing Ulur

Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 20 th) 30.000.000
2 Harga alat tangkap untuk tengiri (umur teknis 1 bln) 960.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 10 th) 6.000.000
Jumlah 36.960.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 1.500.000
2 Penyusutan alat tangkap 960.000
3 Penyusutan mesin utama 600.000
4 Perawatan kapal 6.000.000
Jumlah 9.060.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 2.400.000
2 Biaya operasi penangkapan 200.000.000
Jumlah 202.400.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 211.460.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan tengiri 100 kgx200 tripx32000 640.000.000
Jumlah 640.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 428.540.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 128.562.000
2 Nahkoda 64.281.000
3 ABK (6 orang), pendapatan tiap nelayan 21.427.000
VIII. Biaya variabel 330.962.000
IX. Biaya total per tahun 340.022.000

R/C 3,03 untung


ROI 11,59
PP 0,09
282

Lampiran 19 Perhitungan Analisa Usaha Sero

Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 0
2 Harga alat tangkap (umur teknis 10 th) 10.000.000
3 Harga mesin (umur teknis 2 th) 0
Jumlah 10.000.000
II. BIAYA TETAP PER
TAHUN
Penyusutan
1 kapal 0
2 Penyusutan alat tangkap 1.000.000
Penyusutan
3 mesin 0
4 Perawatan alat tangkap 3.600.000
Jumlah 4.600.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
Biaya operasi penangkapan 270 trip x 10000 2.700.000
Jumlah 2.700.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 7.300.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi-cumi 50 kgx180
tripx25000 225.000.000
2 Penjualan udang 5 kgx180 tripx40000 36.000.000
3 Penjualan rajungan 5 kgx120 tripx22000 13.200.000
4 Penjualan ikan rucah 95 kgx180
tripx2000 34.200.000
Jumlah 261.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 253.700.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik kapal 65.250.000

VIII. Biaya variabel 191.150.000


IX. Biaya total per tahun 195.750.000

R/C 35,75 untung


ROI 25,37
PP 0,04
283

Lampiran 20 Perhitungan Analisa Usaha Rampus

I. INVESTASI Besarnya
Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 3 th) 3.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 3 th) 15.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 1 th) 1.000.000
Jml 19.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 1.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 5.000.000
3 Penyusutan mesin utama 1.000.000
Jml 7.000.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 2.400.000
2 Biaya operasi penangkapan (perbekalan):
solar 8 liter x 5000 X 300 trip 12.000.000
rokok 10000 x 300 trip 3.000.000
Sub jml 15.000.000
Jml 17,400,000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 24.400.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
Musim puncak:
1 Penjualan selar 3 kgx50 tripx8000 1.200.000
2 Penjualan kembung 2 kgx50 tripx14000 1.400.000
3 Penjualan kakap 3 kg x 50 trip x 25000 3.750.000
4 Penjualan layur 10 kg x 50 trip x 6000 3.000.000
5 Penjualan tenggiri 3 kg x 50 x 30000 4,500,000
Sub jml 13.850.000
Musim sedang sampai dengan paceklik
1 Penjualan selar 1.5 kgx100 tripx10000 1.500.000
2 Penjualan kembung 0.5 kgx50 tripx16000 400.000
3 Penjualan kakap 1 kg x 100 trip x 30000 3.000.000
4 Penjualan layur 3 kg x 100 trip x 7000 2.100.000
5 Penjualan tenggiri 1 kg x 50 trip x 30000 1.500.000
Sub jml 8.500.000
Jml 22.350.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun
(Phi) -2.050.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik -1.025.000
2 Nahkoda
3 ABK (3 orang), pendapatan tiap nelayan -341.667
VIII. Biaya variabel 16.375.000
IX. Biaya total per tahun 23.375.000

R/C 0,92 rugi


ROI -0,11
PP -9,27
284

Lampiran 21 Lokasi Budidaya Rumput Laut di Sebelah Selatan P. Panjang.


285

Lampiran 22 Indeks Musim Penangkapan Ikan Pelagis

Indeks Musim Penangkapan Tiap Jenis Ikan Pelagis


Bulan
Kbg Cumi2 Tbg Teri Selar Lyg Tkl Lmr Tgr Bln Cct
Januari 130 98 196 151 187 125 115 76 90 161 49
Februari 104 103 120 128 77 114 117 92 101 138 18
Maret 69 153 50 59 85 71 144 131 111 26 48
April 117 297 119 82 126 76 123 112 149 90 122
Mei 128 90 90 106 87 167 122 139 112 87 25
Juni 136 98 76 106 195 14 101 163 104 93 101
Juli 73 71 79 120 80 20 62 86 59 65 225
Agustus 89 86 70 87 68 21 74 81 65 74 177
September 61 31 43 50 40 45 38 89 61 71 164
Oktober 29 24 69 89 52 127 36 72 81 77 186
November 134 71 181 117 86 300 146 114 137 159 60
Desember 131 77 106 105 118 119 122 45 131 159 25
Jumlah 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200

Keterangan:

Krs : Kurisi Lmr : Lemuru


Kbg : Kembung Tgr : Tenggiri
Tbg : Tembang Bln : Belanak
Lyg : Layang Cct : Cucut
Tkl : Tongkol
286

Lampiran 23 Indeks Musim Penangkapan Ikan Demersal.

Indeks Musim Penangkapan Tiap Jenis Ikan Demersal


Bulan Kkp Ekor
Krs Rjg Ppt mrh Pari Udg Kuwe Bwl Lyr kng Beloso Manyung
Januari 101 152 141 149 141 87 144 119 90 149 79 93
Februari 93 153 109 95 109 299 106 75 118 3 126 111
Maret 106 65 38 47 38 77 55 51 103 15 111 80
April 114 85 75 52 75 90 99 60 89 19 112 82
Mei 104 126 127 64 127 97 93 98 97 10 128 85
Juni 137 26 101 74 101 110 209 22 115 10 115 132
Juli 102 40 100 51 100 113 78 121 97 107 114 106
Agustus 91 29 81 79 81 41 97 84 97 76 94 78
September 45 66 63 45 63 106 47 118 60 64 62 51
Oktober 39 70 109 65 109 74 51 173 73 458 69 133
November 139 217 105 320 105 60 115 100 126 146 110 130
Desember 129 169 151 159 151 47 107 180 135 144 82 117
Jumlah 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200 1200

Keterangan:

Rjg : Rajungan Bwl : Bawal


Ppt : Pepetek Lyr : Layur
Kkp mrh : Kakap merah Ekor kng : Ekor kuning
Udg : Udang
287

Lampiran 24 Pembangunan Industri di Bojonegara.


288

Lampiran 25 Fungsi Tujuan

Persamaan produksi unit penangkapan ikan di Teluk Banten:

Max 0,11Gn+0,91Dg+0,29Bt+0,22Bp+0,13Py+0,17Pc+0,05Sr+0,03Rp

Max = Maksimumkan
Gn = Gill net
Dg = Dogol
Bt = Bagan tancap
Bp = Bagan perahu
Py = Payang
Pc = Pancing
Sr = Sero
Rp = Rampus
289

Lampiran 26 Fungsi Pembatas

(1) Hasil tangkapan lestari:

Kembung : 0,0266Gn+0,0423Dg+0,0096Bt+0,0146Bp+0,0088Py+0,0492Pc+0,0026Sr+
0,0145Rp<=263,27
Cumi- : 0,0002Gn+0,0467Dg+0,0103Bt+0,0451Bp+0,007Py+0,001Pc+0,0065
cumi Sr+0,0002Rp <=383,86
Tembang : 0,0021Gn+0,0866Dg+0,0616Bt+0,00548Bp+0,0245Py+0,0003Pc+
0,0095Sr+0,0012Rp<=633,18
Teri : 0,0091Dg+0,0767Bt+0,0345Bp+0,0199Py+0,0015Sr+0,0002Rp<=
272,36
Selar : 0,003Gn+0,0553Dg+0,0077Bt+0,0081Bp+0,01Py+0,0097Pc+0,0022
Sr+0,0015Rp<=146,84
Tongkol : 0,0064Gn+0,0001Bt+0,0015Bp+0,012Py+0,026Pc+0,0013Rp<=82,76
Layang : 0,0085Dg+0,0037Bt+0,0051Bp+0,011Py+0,0003Pc+0,001Sr+0,0001
Rp<=76,85
Lemuru : 0,0029Dg+0,0009Bt+0,0006Bp+0,0113Py<=36,28
Tenggiri : 0,0041Gn+0,0043Dg+0,0002Bt+0,0006Bp+0,0167Pc+0,0002Sr+0,00
17Rp<=35,44
Belanak : 0,0098Gn+0,001Dg+0,034Bt+0,0016Bp+0,0009Py+0,0009Pc+0,0006
Sr+0,0014Rp<=48,71
Cucut : 0,0012Gn+0,0015Dg+0,0001Bt+0,0007Bp+0,0037Pc+0,0003Sr<=17,
11
Kurisi : 0,0076Gn+0,1003Dg+0,0002Bt+0,0003Bp+0,0001Py+0,0017Pc+0,00
42Sr+0,0017Rp<=141,22
Rajungan : 0,014Gn+0,0173Dg+0,0043Bt+0,0038Bp+0,0005Py+0,0003Pc+0,001
3Sr+0,0131Rp<=141,90
Pepetek : 0,0123Gn+0,2126Dg+0,0919Bt+0,0327Bp+0,0213Py+0,0054Sr+0,00
36Rp<=877,54
Kakap : 0,0025Gn+0,0018Dg+0,0001Bp+0,015Pc+0,0001Sr+0,0005Rp<=18,
merah 47
Pari : 0,0013Gn+0,0114Dg+0,0002Bp+0,001Sr+0,0001Rp<=18,43
Udang : 0,0014Gn+0,0081Dg+0,0005Bt+0,0006Bp+0,0028Py+0,002Sr+0,000
2Rp<=46,22
Kuwe : 0,0029Gn+0,0053Dg+0,0005Bt+0,0003Bp+0,0188Pc+0,0001Sr+0,00
08Rp<=29,51
Bawal : 0,0072Dg+0,0001Bp+0,0001Py+0,0001Sr<=12,52
hitam
Layur : 0,0028Gn+0,0458Dg+0,0046Bt+0,0018Bp+0,002Py+0,0004Sr+0,000
5Rp<=85,33
Ekor : 0,0045Pc+0,0001Sr<=3,01
kuning
Beloso : 0,0003Gn+0,0345Dg+0,0005Bt+0,0003Bp+0,0001Py+0,0022Sr+0,00
03Rp<=54,18
Manyung : 0,0043Gn+0,0056Dg+0,0005Bt+0,0005Bp+0,0005Py+0,0116Pc+0,00
02Sr+0,0006Rp<=52,97
290

(2) Upaya penangkapan lestari:

Kembung : 0,7810Gn+1,3208Dg+0,2427Bt+0,02817Bp+0,2226Py+Pc+0,0501Sr
+0,2850Rp<=7565
Cumi- : 0,0042Gn+Dg+0,2172Bt+0,1156Bp+0,1618Py+0,024Pc+0,1587Sr+0,
cumi 0045Rp<=13731
Tembang : 0,0615Gn+Dg+1,5245Bt+1,5195Bp+0,6338Py+0,0104Pc+0,2792Sr+
0,0410Rp<=6103
Teri : 0,0008Gn+0,1034Dg+Bt+0,8733Bp+0,2648Py+0,0328Sr+0,0066Rp<
=4411
Selar : 0,0427Gn+Dg+0,2199Bt+0,2863Bp+0,3087Py+0,3029Pc+0,0653Sr+
0,0503Rp<=2466
Tongkol : 0,5433Gn+0,0033Dg+0,0194Bt+0,4637Bp+0,066Py+Pc+0,0093Sr+0,
3809Rp<=3779
Layang : 0,0001Gn+2,4010Dg+0,689Bt+0,6755Bp+Py+0,0757Pc+0,155Sr+0,0
076Rp<=4686
Lemuru : 0,2848Dg+0,09Bt+0,039Bp+Py<=4593
Tenggiri : 0,3371Gn+0,5555Dg+0,0244Bt+0,1556Bp+0,0024Py+Pc+0,0258Sr+
0,3775Rp<=2250
Belanak : Gn+0,2978Dg+0,6287Bt+0,6710Bp+0,1471Py+0,3763Pc+0,2425Sr+
0,5913Rp<=5353
Cucut : 0,9490Gn+0,3553Dg+0,0615Bt+0,5789Bp+0,0001Py+Pc+0,2337Sr+
0,0041Rp<=3719
Kurisi : 0,054Gn+Dg+0,0024Bt+0,0104Bp+0,0015Py+0,0211Pc+00806Sr+0,
0329Rp<=1328
Rajungan : 1,4326Gn+Dg+0,2551Bt+0,6752Bp+0,0317Py+0,0046Pc+0,1895Sr+
2,3575p<=7754
Pepetek : 0,0224Gn+Dg+0,4555Bt+0,2097Bp+0,0689Py+0,0411Sr+0,02478Rp
<=1755
Kakap : 0,184Gn+0,2262Dg+0,0022Bt+0,0046Bp+0,0006Py+Pc+0,0101Sr+0,
merah 0378Rp<=1613
Pari : 0,1514Gn+Dg+0,0028Bt+0,0206Bp+0,0054Py+0,1211Sr+0,0117Rp<
=1589
Udang : 0,2632Gn+Dg+0,1312Bt+0,2450Bp+1,0065Py+0,9285Sr+0,0639Rp<
=6699
Kuwe : 0,148Gn+0,3985Dg+0,0373Bt+0,0146Bp+0,0024Py+Pc+0,0068Sr+0,
0412Rp<=2131
Bawal : 0,0114Gn+Dg+0,0213Bt+0,113Bp+0,0305Py+0,0148Pc+0,0879Sr+0,
hitam 0381Rp<=1154
Layur : 0,0407Gn+Dg+0,0849Bt+0,2396Bp+0,0453Py+0,0649Sr+0,0719Rp<
=1443
Ekor : 0,0072Gn+0,0144Dg+0,0006Bp+0,0108Py+Pc+0,0173Sr+0,0011Rp<
kuning =523
Beloso : 0,011Gn+Dg+0,013Bt+0,0256Bp+0,0074Py+0,1605Sr+0,0114Rp<=1
785
Manyung : 0,8973Gn+1,159Dg+0,0803Bt+0,1359Bp+0,089Py+Pc+0,0666Sr+0,1
651Rp<=3784

(3) Luas area penangkapan:


35,608Gn+0,10Dg+0,01Bt+0,023Bp+0,636Py+0,0452Pc+0,048Sr+0,24Rp<=36214
291

Lampiran 26 (Lanjutan)

(4) Penyerapan tenaga kerja:


6Gn+8Dg+2Bt+5Bp+7Py+6Pc+2Sr+3Rp>=1314

(5) Batasan non negatif:

Gn>=0
Dg>=0
Bt>=0
Bp>=0
Py>=0
Pc>=0
Sr>=0
Rp>=0
END

Keterangan:
Gn : Armada penangkapan gill net
Dg : Armada penangkapan dogol
Bt : Armada penangkapan bagan tancap
Bp : Armada penangkapan bagan perahu
Py : Armada penangkapan paying
Pc : Armada penangkapan pancing ulur
Sr : Armada penangkapan sero
Rp : Armada penangkapan rampus
292

Lampiran 27 Hasil Perhitungan LGP dengan Program LINDO

LP OPTIMUM FOUND AT STEP 2


OBJECTIVE FUNCTION VALUE
1) 1747.259

VARIABLE VALUE REDUCED COST


GN 1000.371155 0.000000
DG 834.982117 0.000000
BT 999.908264 0.000000
BP 1884.516357 0.000000
PY 681.687622 0.000000
PC 495.280640 0.000000
SR 0.000000 0.005710
RP 0.000000 0.010150
P 0.000000 0.000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES


2) 133.860672 0.000000
3) 244.108429 0.000000
4) 469.998352 0.000000
5) 109.487297 0.000000
6) 63.079399 0.000000
7) 52.373310 0.000000
8) 48.794811 0.000000
9) 24.124855 0.000000
10) 18.146177 0.000000
11) 0.000000 1.829837
12) 11.405391 0.000000
13) 48.192993 0.000000
14) 101.499413 0.000000
15) 519.683044 0.000000
16) 6.848443 0.000000
17) 7.233818 0.000000
18) 34.516735 0.000000
19) 11.806933 0.000000
20) 6.251509 0.000000
21) 34.931698 0.000000
22) 0.781237 0.000000
23) 23.939529 0.000000
24) 36.464191 0.000000
25) 4738.077148 0.000000
26) 12334.602539 0.000000
27) 381.407684 0.000000
28) 1497.695190 0.000000
29) 468.427704 0.000000
30) 1799.222412 0.000000
31) 0.000000 0.086896
32) 3510.021729 0.000000
33) 634.397156 0.000000
34) 1924.167969 0.000000
35) 825.188904 0.000000
293

Lampiran 27 (Lanjutan)

36) 405.526154 0.000000


37) 3934.496338 0.000000
38) 0.000000 0.293358
39) 733.500488 0.000000
40) 557.259827 0.000000
41) 4321.707031 0.000000
42) 4321.707031 0.000000
43) 1088.477539 0.000000
44) 45.243649 0.000000
45) 0.000000 0.403655
46) 0.000000 0.161689
47) 872.726929 0.000000
48) 1026.273315 0.000000
49) 0.000000 0.001907
50) 30533.978516 0.000000
51) 1000.371155 0.000000
52) 834.982117 0.000000
53) 999.908264 0.000000
54) 1884.516357 0.000000
55) 681.687622 0.000000
56) 495.280640 0.000000
57) 0.000000 0.000000
58) 0.000000 0.000000

NO. ITERATIONS= 2

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:


OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
GN 0.110000 4.476631 0.068506
DG 0.910000 0.033116 0.058501
BT 0.290000 0.351470 0.087237
BP 0.220000 0.013587 0.007952
PY 0.130000 0.031681 0.079295
PC 0.170000 3.507965 0.161718
SR 0.050000 0.005710 INFINITY
RP 0.030000 0.010150 INFINITY
P 0.000000 0.000000 INFINITY

RIGHTHAND SIDE RANGES


ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
2 263.269989 INFINITY 133.860672
3 383.859985 INFINITY 244.108429
4 633.179993 INFINITY 469.998352
5 272.359985 INFINITY 109.487297
6 146.839996 INFINITY 63.079399
7 82.760002 INFINITY 52.373310
8 76.849998 INFINITY 48.794811
294

Lampiran 27 (Lanjutan)

9 36.279999 INFINITY 24.124855


10 35.439999 INFINITY 18.146177
11 48.709999 1.259609 1.512183
12 17.110001 INFINITY 11.405391
13 141.220001 INFINITY 48.192993
14 141.899994 INFINITY 101.499413
15 877.539978 INFINITY 519.683044
16 18.469999 INFINITY 6.848443
17 18.430000 INFINITY 7.233818
18 46.220001 INFINITY 34.516735
19 29.510000 INFINITY 11.806933
20 12.520000 INFINITY 6.251509
21 85.330002 INFINITY 34.931698
22 3.010000 INFINITY 0.781237
23 54.180000 INFINITY 23.939529
24 52.970001 INFINITY 36.464191
25 7565.000000 INFINITY 4738.077148
26 13731.000000 INFINITY 12334.602539
27 6103.000000 INFINITY 381.407684
28 4411.000000 INFINITY 1497.695190
29 2466.000000 INFINITY 468.427704
30 3779.000000 INFINITY 1799.222412
31 4686.000000 344.04849 622.055664
32 4593.000000 INFINITY 3510.021729
33 2250.000000 INFINITY 634.397156
34 5353.000000 INFINITY 1924.167969
35 3719.000000 INFINITY 825.188904
36 1328.000000 INFINITY 405.526154
37 7754.000000 INFINITY 3934.496338
38 1755.000000 17.064962 15.088630
39 1613.000000 INFINITY 733.500488
40 1589.000000 INFINITY 557.259827
41 6699.000000 INFINITY 4321.707031
42 6699.000000 INFINITY 4321.707031
43 2131.000000 INFINITY 1088.477539
44 1154.000000 INFINITY 45.243649
45 1443.000000 16.350161 30.830410
46 523.000000 73.639084 495.368561
47 1785.000000 INFINITY 872.726929
48 3784.000000 INFINITY 1026.273315
49 36214.000000 5288.622070 4132.058105
50 1314.000000 30533.978516 INFINITY
51 0.000000 1000.371155 INFINITY
52 0.000000 834.982117 INFINITY
53 0.000000 999.908264 INFINITY
54 0.000000 1884.516357 INFINITY
55 0.000000 681.687622 INFINITY
56 0.000000 495.280640 INFINITY
57 0.000000 0.000000 INFINITY
58 0.000000 0.000000 INFINITY
295

Lampiran 28 Perhitungan Simulasi Skenario 1

No a b Catch Effort
Jenis Ikan (ton) (trip)
1 Kembung 0.0696 -4.60E-06 217.24 4416
2 Cumi-cumi 0.0530 -1.93E-06 153.23 3282
3 Teri 0.1235 -1.40E-05 260.87 3400
4 Tongkol 0.0438 -5.80E-06 79.86 3068
5 Lemuru 0.0158 -1.72E-06 29.37 2593
6 Rajungan 0.0366 -2.36E-06 136.69 6265
7 Kakap merah 0.0229 -7.10E-06 16.67 1111
8 Udang 0.0138 -1.03E-06 44.94 5541
9 Kuwe 0.0277 -6.50E-06 25.63 1355

Yest = Y estimasi = a*f-b*f^2

Tahun kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 100 6.91 500 26.04 300 35.79 200 8.53 500 7.47
3 200 13.74 1000 51.12 600 69.06 400 16.59 1000 14.08
4 300 20.47 1500 75.23 900 99.81 600 24.19 1500 19.83
5 400 27.10 2000 98.37 1200 128.04 800 31.33 2000 24.72
6 500 33.65 2500 120.56 1500 153.75 1000 38.01 2500 28.75
7 600 40.10 3000 141.77 1800 176.94 1200 44.22 3000 31.92
8 700 46.47 3500 162.02 2100 197.61 1400 49.96 3500 34.23
9 800 52.74 4000 181.31 2400 215.76 1600 55.24 4000 35.68
10 900 58.91 4500 199.63 2700 231.39 1800 60.06 4500 36.27
11 1000 65.00 5000 216.99 3000 244.50 2000 64.42 5000 36.00
12 1100 70.99 5500 233.38 3300 255.09 2200 68.31 5500 34.87
13 1200 76.90 6000 248.80 3600 263.16 2400 71.74 6000 32.88
14 1300 82.71 6500 263.27 3900 268.71 2600 74.71 6500 30.03
15 1400 88.42 7000 276.76 4200 271.74 2800 77.21 7000 26.32
16 1500 94.05 7500 289.29 4500 272.25 3000 79.25 7500 21.75
17 1600 99.58 8000 300.86 4800 270.24 3200 80.82 8000 16.32
18 1700 105.03 8500 311.46 5100 265.71 3400 81.93 8500 10.03
19 1800 110.38 9000 321.10 5400 258.66 3600 82.58 9000 2.88
20 1900 115.63 9500 329.77 5700 249.09 3800 82.76 9500 -5.13
21 2000 120.80 10000 337.47 6000 237.00 4000 82.48
22 2100 125.87 10500 344.22 6300 222.39 4200 81.74
23 2200 130.86 11000 349.99 6600 205.26 4400 80.53
24 2300 135.75 11500 354.80 6900 185.61 4600 78.86
25 2400 140.54 12000 358.65 7200 163.44 4800 76.72
26 2500 145.25 12500 361.53 7500 138.75 5000 74.13
27 2600 149.86 13000 363.45 7800 111.54 5200 71.06
28 2700 154.39 13500 364.40 8100 81.81 5400 67.54
29 2800 158.82 14000 364.38 8400 49.56 5600 63.55
30 2900 163.15 14500 363.40 8700 14.79 5800 59.10
31 3000 167.40 15000 361.46 9000 -22.50 6000 54.18
296

Lampiran 28 (Lanjutan)

Tahun kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest

32 3100 171.55 15500 358.55 6200


33 3200 175.62 16000 354.68 6400
34 3300 179.59 16500 349.84 6600
35 3400 183.46 17000 344.04 6800
36 3500 187.25 17500 337.27 7000
37 3600 190.94 18000 329.53 7200
38 3700 194.55 18500 320.83 7400
39 3800 198.06 19000 311.17 7600
40 3900 201.47 19500 300.54
41 4000 204.80 20000 288.95
42 4100 208.03 20500 276.39
43 4200 211.18 21000 262.87
44 4300 214.23 21500 248.38
45 4400 217.18 22000 232.92
46 4500 220.05 22500 216.50
47 4600 222.82 23000 199.12
48 4700 225.51 23500 180.77
49 4800 228.10 24000 161.46
50 4900 230.59 24500 141.18
51 5000 233.00 25000 119.93
52 5100 235.31 25500 97.73
53 5200 237.54 26000 74.55
54 5300 239.67 26500 50.41
55 5400 241.70 27000 25.31
56 5500 243.65 27500 -0.76
57 5600 245.50
58 5700 247.27
59 5800 248.94
60 5900 250.51
61 6000 252.00
62 6100 253.39
63 6200 254.70
64 6300 255.91
65 6400 257.02
66 6500 258.05
67 6600 258.98
68 6700 259.83
69 6800 260.58
70 6900 261.23
71 7000 261.80
72 7100 262.27
73 7200 262.66
74 7300 262.95
75 7400 263.14
76 7500 263.25
77 7600 263.26
78 7700 263.19
297

Lampiran 28 (Lanjutan)

Tahun kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
79 7800 263.02
80 7900 262.75
81 8000 262.40
82 8100 261.95
83 8200 261.42
84 8300 260.79
85 8400 260.06
86 8500 259.25
87 8600 258.34
88 8700 257.35
89 8800 256.26
90 8900 255.07
91 9000 253.80
92 9100 252.43
93 9200 250.98
94 9300 249.43
95 9400 247.78
96 9500 246.05
97 9600 244.22
98 9700 242.31
99 9800 240.30
100 9900 238.19
101 10000 236.00
102 10100 233.71
103 10200 231.34
104 10300 228.87
105 10400 226.30
106 10500 223.65
107 10600 220.90
108 10700 218.07
109 10800 215.14
110 10900 212.11
111 11000 209.00
112 11100 205.79
113 11200 202.50
114 11300 199.11
115 11400 195.62
116 11500 192.05
117 11600 188.38
118 11700 184.63
119 11800 180.78
120 11900 176.83
121 12000 172.80
122 12100 168.67
123 12200 164.46
124 12300 160.15
125 12400 155.74
126 12500 151.25
298

Lampiran 28 (Lanjutan)

Tahun kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
127 12600 146.66
128 12700 141.99
129 12800 137.22
130 12900 132.35
131 13000 127.40
132 13100 122.35
133 13200 117.22
134 13300 111.99
135 13400 106.66
136 13500 101.25
137 13600 95.74
138 13700 90.15
139 13800 84.46
140 13900 78.67
141 14000 72.80
142 14100 66.83
143 14200 60.78
144 14300 54.63
145 14400 48.38
146 14500 42.05
147 14600 35.62
148 14700 29.11
149 14800 22.50
150 14900 15.79
151 15000 9.00
152 15100 2.11
153 15200 -4.86

FPI
No Jenis Ikan GN DG BT BP PY PC SR RP
1 Kembung 0.7810 1.3208 0.2427 0.2817 0.2226 1.0000 0.0501 0.2850
2 Cumi-cumi 0.0042 1.0000 0.2172 1.1156 0.1618 0.0240 0.1587 0.0045
3 Teri 0.0008 0.1034 1.0000 0.8733 0.2648 0.0000 0.0328 0.0066
4 Tongkol 0.5433 0.0033 0.0194 0.4637 0.0660 1.0000 0.0093 0.3809
5 Lemuru 0.0000 0.2848 0.0900 0.0390 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 Rajungan 1.4326 1.0000 0.2551 0.6752 0.0317 0.0046 0.1895 2.3575
7 Kakap merah 0.1840 0.2262 0.0022 0.0046 0.0006 1.0000 0.0101 0.0378
8 Udang 0.2632 1.0000 0.1312 0.2450 1.0065 0.0000 0.9285 0.0639
9 Kuwe 0.1480 0.3985 0.0373 0.0146 0.0024 1.0000 0.0068 0.0412
299

Lampiran 28 (Lanjutan)

GN 670.4X -212.8

kembung cumi-cumi teri tongkol rajungan


th Effort E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
1 820 640 42.6858 3 0.1836 1 0.0794 445 18.3614 1175 39.7388
2 1,013 791 52.1840 4 0.2268 1 0.0981 550 22.3487 1451 48.1450
3 1,328 1037 67.2373 6 0.2973 1 0.1286 721 28.5828 1903 61.0898
4 2,305 1800 110.3849 10 0.5160 2 0.2232 1252 45.7596 3302 95.1254
5 3,526 2754 156.7785 15 0.7892 3 0.3414 1916 62.6363 5051 124.6620
6 3810 2975 166.3571 16 0.8526 3 0.3689 2070 65.8264 5458 129.4556
7 4480 3499 187.2054 19 1.0025 4 0.4338 2434 72.2739 6418 137.6894
8 5150 4022 205.5318 22 1.1524 4 0.4986 2798 77.1840 7379 141.5694
9 5821 4546 221.3361 25 1.3023 5 0.5635 3162 80.5569 8339 141.0956
10 6491 5070 234.6185 27 1.4522 5 0.6284 3526 82.3925 9299 136.2680
11 7162 5593 245.3789 30 1.6020 6 0.6932 3891 82.6908 10260 127.0866
12 7832 6117 253.6174 33 1.7518 6 0.7581 4255 81.4518 11220 113.5514
13 8502 6640 259.3339 36 1.9015 7 0.8229 4619 78.6756 12181 95.6624
14 9173 7164 262.5284 39 2.0512 7 0.8878 4983 74.3621 13141 73.4196
15 9843 7687 263.2009 42 2.2009 8 0.9526 5347 68.5113 14102 46.8229
16 10514 8211 261.3515 44 2.3506 8 1.0174 5712 61.1232 15062 15.8725
17 11184 8735 256.9801 47 2.5002 9 1.0822 6076 52.1979 16022 -19.4317
18 11854 9258 250.0867 50 2.6498 9 1.1470 6440 41.7353
19 12525 9782 240.6713 53 2.7993 10 1.2118 6804 29.7354
20 13195 10305 228.7340 56 2.9489 10 1.2766 7168 16.1982
21 13866 10829 214.2747 59 3.0984 11 1.3414 7532 1.1238
22 14536 11352 197.2935 61 3.2479 11 1.4061 7897 -15.4879
23 15206 11876 177.7902 64 3.3973 12 1.4709
24 15877 12400 155.7650 67 3.5467 12 1.5357
25 16547 12923 131.2179 70 3.6961 13 1.6004
26 17218 13447 104.1487 73 3.8454 14 1.6651
27 17888 13970 74.5576 76 3.9947 14 1.7299
28 18558 14494 42.4445 78 4.1440 15 1.7946
29 19229 15017 7.8094 81 4.2933 15 1.8593
30 19899 15541 -29.3476 84 4.4425 16 1.9240

kakap merah udang kuwe


E std Yest E std Yest E std Yest
151 3.2939 216 2.9180 121 3.2667
186 4.0221 267 3.5872 150 4.0077
244 5.1723 350 4.6650 197 5.1944
424 8.4360 607 7.8941 341 8.6951
649 11.8696 928 11.6880 522 12.6877
701 12.5645 1003 12.5308 564 13.5543
824 14.0535 1179 14.4654 663 15.5117
948 15.3263 1356 16.3191 762 17.3411
1071 16.3830 1532 18.0918 862 19.0425
1195 17.2236 1709 19.7835 961 20.6158
1318 17.8481 1885 21.3943 1060 22.0610
1441 18.2565 2062 22.9241 1159 23.3782
300

Lampiran 28 (Lanjutan)

kakap merah udang kuwe


E std Yest E std Yest E std Yest
1565 18.4487 2238 24.3730 1259 24.5674
1688 18.4249 2414 25.7409 1358 25.6286
1811 18.1849 2591 27.0278 1457 26.5617
1935 17.7288 2767 28.2338 1556 27.3667
2058 17.0566 2944 29.3588 1656 28.0438
2181 16.1682 3120 30.4029 1755 28.5927
2305 15.0638 3297 31.3660 1854 29.0137
2428 13.7432 3473 32.2481 1953 29.3066
2552 12.2065 3650 33.0493 2053 29.4714
2675 10.4537 3826 33.7695 2152 29.5083
2798 8.4848 4003 34.4088 2251 29.4170
2922 6.2998 4179 34.9671 2350 29.1978
3045 3.8986 4356 35.4444 2450 28.8505
3168 1.2814 4532 35.8408 2549 28.3752
3292 -1.5520 4708 36.1562 2648 27.7718
4885 36.3907 2747 27.0404
5061 36.5442 2847 26.1809
5238 36.6167 2946 25.1934
5414 36.6083 3045 24.0779
5591 36.5189 3144 22.8343
5767 36.3486 3244 21.4627
5944 36.0973 3343 19.9630
6120 35.7651 3442 18.3353
6297 35.3518 3541 16.5796
6473 34.8577 3640 14.6958
6649 34.2825 3740 12.6840
6826 33.6264 3839 10.5441
7002 32.8894 3938 8.2762
7179 32.0714 4037 5.8803
7355 31.1724 4137 3.3563
7532 30.1925 4236 0.7043
7708 29.1316 4335 -2.0757
7885 27.9897
8061 26.7669
8238 25.4631
8414 24.0784
8591 22.6127
8767 21.0661
8943 19.4385
9120 17.7299
9296 15.9404
9473 14.0699
9649 12.1184
9826 10.0860
10002 7.9726
10179 5.7783
10355 3.5030
10532 1.1468
10708 -1.2904
301

Lampiran 29 Perhitungan Simulasi Skenario 2

No Jenis Ikan a b Catch Effort


(ton) (trip)
1 Kembung 0.0681 -4.6E-06 215.16 4577
2 Cumi-cumi 0.0644 -2.3E-06 149.79 2558
3 Teri 0.1253 -1.4E-05 262.01 3302
4 Tongkol 0.0395 -3.6E-06 98.29 3796
5 Lemuru 0.0326 -7.1E-06 37.15 2414
6 Rajungan 0.0389 -2.4E-06 144.98 5795
7 Kakap merah 0.0263 -9.7E-06 17.57 1188
8 Udang 0.0157 -1.9E-06 32.21 3598
9 Kuwe 0.0288 -7.2E-06 26.86 1495

Yest = Y estimasi = a*f-b*f^2

Th kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
1 0 0 0 0.00 0 0 0 0 0 0
2 100 6.76 500 31.61 300 36.34 200 7.76 500 14.50
3 200 13.43 1000 62.09 600 70.18 400 15.23 1000 25.45
4 300 20.00 1500 91.44 900 101.51 600 22.42 1500 32.84
5 400 26.49 2000 119.65 1200 130.34 800 29.32 2000 36.67
6 500 32.88 2500 146.73 1500 156.66 1000 35.93 2500 36.94
7 600 39.18 3000 172.68 1800 180.47 1200 42.25 3000 33.66
8 700 45.39 3500 197.49 2100 201.78 1400 48.29 3500 26.82
9 800 51.50 4000 221.16 2400 220.58 1600 54.04 4000 16.43
10 900 57.53 4500 243.70 2700 236.88 1800 59.50 4500 2.47
11 1000 63.46 5000 265.11 3000 250.67 2000 64.68 5000 -15.04
12 1100 69.30 5500 285.39 3300 261.95 2200 69.57 5500
13 1200 75.05 6000 304.53 3600 270.73 2400 74.17 6000
14 1300 80.71 6500 322.53 3900 277.00 2600 78.48 6500
15 1400 86.27 7000 339.41 4200 280.77 2800 82.51 7000
16 1500 91.74 7500 355.14 4500 282.03 3000 86.25 7500
17 1600 97.12 8000 369.75 4800 280.79 3200 89.70 8000
18 1700 102.41 8500 383.22 5100 277.04 3400 92.87 8500
19 1800 107.61 9000 395.55 5400 270.78 3600 95.74 9000
20 1900 112.71 9500 406.76 5700 262.02 3800 98.33 9500
21 2000 117.72 10000 416.82 6000 250.75 4000 100.64 10000
22 2100 122.64 10500 425.76 6300 236.98 4200 102.65 10500
23 2200 127.47 11000 433.56 6600 220.70 4400 104.38 11000
24 2300 132.21 11500 440.22 6900 201.91 4600 105.82 11500
25 2400 136.85 12000 445.76 7200 180.62 4800 106.98 12000
26 2500 141.41 12500 450.15 7500 156.82 5000 107.84 12500
27 2600 145.87 13000 453.42 7800 130.52 5200 108.42 13000
28 2700 150.24 13500 455.55 101.71 5400 108.72 13500
29 2800 154.51 14000 456.54 70.40 5600 108.72 14000
30 2900 158.70 14500 456.41 36.58 5800 108.44 14500
31 3000 162.79 15000 455.13 0.25 6000 107.87 15000
302

Lampiran 29 (Lanjutan)

Th kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
32 3100 166.79 15500 449.19 9300 -3.58 6200 107.01 15500 107.01
33 3200 170.70 16000 444.51 6400 105.87 16000 105.87
34 3300 174.52 16500 438.71 6600 104.44 16500 104.44
35 3400 178.24 17000 431.76 6800 102.72 17000 102.72
36 3500 181.87 17500 423.69 7000 100.71 17500 100.71
37 3600 185.41 18000 414.48 7200 98.42 18000 98.42
38 3700 188.86 18500 404.13 7400 95.84 18500 95.84
39 3800 192.22 19000 392.66 7600 92.97 19000 92.97
40 3900 195.48 19500 380.04 7800 89.82 19500 89.82
41 4000 198.66 20000 366.30 8000 86.38 20000 86.38
42 4100 201.74 20500 351.42 8200 82.65 20500 82.65
43 4200 204.73 21000 335.40 8400 78.63 21000 78.63
44 4300 207.62 21500 318.26 8600 74.33 21500 74.33
45 4400 210.43 22000 299.97 8800 69.74 22000 69.74
46 4500 213.14 22500 280.56 9000 64.86 22500 64.86
47 4600 215.76 23000 260.01 9200 59.70 23000 59.70
48 4700 218.29 23500 238.32 9400 54.25 23500 54.25
49 4800 220.73 24000 215.51 9600 48.51 24000 48.51
50 4900 223.07 24500 191.55 9800 42.48 24500 42.48
51 5000 225.33 25000 166.47 10000 36.17 25000 36.17
52 5100 227.49 25500 140.25 10200 29.56 25500 29.56
53 5200 229.56 26000 112.89 10400 22.68 26000 22.68
54 5300 231.53 26500 84.40 10600 15.50 26500 15.50
55 5400 233.42 27000 54.78 10800 8.04 27000 8.04
56 5500 235.21 27500 24.03 11000 0.29 27500 0.29
57 5600 236.91 28000 -7.86 11200 -7.75 28000 -7.75
58 5700 238.52 28500 11400 28500
59 5800 240.04 29000 11600 29000
60 5900 241.46 29500 11800 29500
61 6000 242.80 30000 12000 30000
62 6100 244.04 30500 12200 30500
63 6200 245.19 31000 12400 31000
64 6300 246.25 31500 12600 31500
65 6400 247.21 32000 12800 32000
66 6500 248.09 32500 13000 32500
67 6600 248.87 33000 13200 33000
68 6700 249.56 33500 13400 33500
69 6800 250.15 34000 13600 34000
70 6900 250.66 34500 13800 34500
71 7000 251.07 35000 14000 35000
72 7100 251.39 35500 14200 35500
73 7200 251.62 36000 14400 36000
74 7300 251.76 36500 14600 36500
75 7400 251.81 37000 14800 37000
76 7500 251.76 37500 15000 37500
77 7600 251.62 38000 15200 38000
78 7700 251.39 38500 15400 38500
79 7800 251.07 39000 15600 39000
303

Lampiran 29 (Lanjutan)

Th kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
80 7900 250.65
81 8000 250.15
82 8100 249.55
83 8200 248.86
84 8300 248.08
85 8400 247.20
86 8500 246.24
87 8600 245.18
88 8700 244.03
89 8800 242.79
90 8900 241.45
91 9000 240.03
92 9100 238.51
93 9200 236.90
94 9300 235.20
95 9400 233.40
96 9500 231.52
97 9600 229.54
98 9700 227.47
99 9800 225.31
100 9900 223.05
101 10000 220.71
102 10100 218.27
103 10200 215.74
104 10300 213.12
105 10400 210.40
106 10500 207.60
107 10600 204.70
108 10700 201.71
109 10800 198.63
110 10900 195.46
111 11000 192.19
112 11100 188.83
113 11200 185.38
114 11300 181.84
115 11400 178.21
116 11500 174.48
117 11600 170.67
118 11700 166.76
119 11800 162.75
120 11900 158.66
121 12000 154.48
122 12100 150.20
123 12200 145.83
124 12300 141.37
125 12400 136.81
126 12500 132.17
304

Lampiran 29 (Lanjutan)

Th kembung cumi-cumi teri tongkol lemuru


Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest Effort Yest
127 12600 127.43
128 12700 122.60
129 12800 117.68
130 12900 112.67
131 13000 107.56
132 13100 102.37
133 13200 97.08
134 13300 91.70
135 13400 86.22
136 13500 80.66
137 13700 75.00
138 13800 69.25
139 13900 63.41
140 14000 57.48
141 14100 51.45
142 14200 45.34
143 14300 39.13
144 14400 32.83
145 14500 26.43
146 14600 19.95
147 14700 13.37
148 14800 6.70
149 13700 -0.06

FPI
No Jenis Ikan GN DG BT BP PY PC SR RP
1 Kembung 1.0087 1.4101 0.2469 0.3264 0.2947 1.0000 0.0407 0.1531
2 Cumi-cumi 0.0056 1.0000 0.2091 1.0472 0.1622 0.0232 0.0932 0.0037
3 Teri 0.0019 0.1155 1.0000 0.9153 0.2849 0.0000 0.0240 0.0061
4 Tongkol 1.5714 0.0087 0.0264 0.7840 0.0671 1.0000 0.0000 0.2252
5 Lemuru 0.0000 0.2848 0.0900 0.0357 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 Rajungan 1.4968 1.0000 0.2515 0.6729 0.0317 0.0046 0.1575 2.3422
7 Kakap merah 0.1898 0.3540 0.0022 0.0053 0.0020 1.0000 0.0047 0.0342
8 Udang 0.2974 1.0000 0.0887 0.2247 1.0122 0.0000 0.3635 0.0352
9 Kuwe 0.1549 0.6616 0.0390 0.0172 0.0026 1.0000 0.0040 0.0396
305

Lampiran 29 (Lanjutan)

GN 165.2X + 797.6

kembung cumi-cumi teri tongkol


th Effort E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
1 820 827 53.1460 5 0.2979 2 0.1914 1289 44.9639
2 1,013 1022 64.7400 6 0.3680 2 0.2364 1592 53.8134
3 1,328 1339 82.9141 7 0.4824 2 0.3099 2087 66.8382
4 2,305 2325 133.3767 13 0.8372 4 0.5378 3622 96.0439
5 1000 1009 63.9700 6 0.3633 2 0.2334 1571 53.2381
6 1789 1804 107.8276 10 0.6498 3 0.4174 2811 82.7219
7 1954 1971 116.2754 11 0.7098 4 0.4559 3071 87.4995
8 2119 2138 124.4679 12 0.7697 4 0.4945 3330 91.7931
9 2284 2304 132.4049 13 0.8297 4 0.5330 3590 95.6028
10 2450 2471 140.0866 14 0.8897 5 0.5715 3849 98.9285
11 2615 2637 147.5128 15 0.9496 5 0.6100 4109 101.7703
12 2780 2804 154.6837 16 1.0096 5 0.6486 4369 104.1281
13 2945 2971 161.5993 17 1.0696 5 0.6871 4628 106.0021
14 3110 3137 168.2594 18 1.1295 6 0.7256 4888 107.3920
15 3276 3304 174.6641 18 1.1895 6 0.7641 5147 108.2981
16 3441 3471 180.8135 19 1.2494 6 0.8026 5407 108.7202
17 3606 3637 186.7075 20 1.3094 7 0.8411 5667 108.6584
18 3771 3804 192.3461 21 1.3693 7 0.8796 5926 108.1126
19 3936 3970 197.7293 22 1.4293 7 0.9181 6186 107.0829
20 4102 4137 202.8572 23 1.4892 8 0.9566 6445 105.5692
21 4267 4304 207.7296 24 1.5491 8 0.9951 6705 103.5717
22 4432 4470 212.3467 25 1.6090 8 1.0336 6965 101.0901
23 4597 4637 216.7084 26 1.6690 9 1.0721 7224 98.1247
24 4762 4804 220.8147 27 1.7289 9 1.1106 7484 94.6753
25 4928 4970 224.6657 28 1.7888 9 1.1491 7743 90.7420
26 5093 5137 228.2612 29 1.8487 9 1.1876 8003 86.3247
27 5258 5304 231.6014 30 1.9086 10 1.2260 8263 81.4235
28 5423 5470 234.6862 31 1.9685 10 1.2645 8522 76.0384
29 5588 5637 237.5156 32 2.0284 10 1.3030 8782 70.1693
30 5754 5803 240.0896 32 2.0883 11 1.3415 9041 63.8163
31 5919 5970 242.4083 33 2.1482 11 1.3799 9301 56.9793
32 6084 6137 244.4716 34 2.2081 11 1.4184 9561 49.6584
33 6249 6303 246.2794 35 2.2680 12 1.4569 9820 41.8536
34 6414 6470 247.8319 36 2.3278 12 1.4953 10080 33.5648
35 6580 6637 249.1291 37 2.3877 12 1.5338 10339 24.7921
36 6745 6803 250.1708 38 2.4476 13 1.5722 10599 15.5355
37 6910 6970 250.9572 39 2.5074 13 1.6107 10859 5.7949
38 7075 7136 251.4881 40 2.5673 13 1.6491 11118 -4.4296
39 7240 7303 251.7637 41 2.6272 13 1.6876
40 7406 7470 251.7839 42 2.6870 14 1.7260
41 7571 7636 251.5488 43 2.7469 14 1.7645
42 7736 7803 251.0582 44 2.8067 14 1.8029
43 7901 7970 250.3123 45 2.8666 15 1.8413
44 8066 8136 249.3110 46 2.9264 15 1.8798
45 8232 8303 248.0543 46 2.9862 15 1.9182
46 8397 8469 246.5422 47 3.0461 16 1.9566
306

Lampiran 29 (Lanjutan)

kembung cumi-cumi teri tongkol


th Effort E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
47 8562 8636 244.7748 48 3.1059 16 1.9951
48 8727 8803 242.7519 49 3.1657 16 2.0335
49 8892 8969 240.4737 50 3.2255 17 2.0719
50 9058 9136 237.9401 51 3.2853 17 2.1103
51 9223 9303 235.1511 52 3.3452 17 2.1488
52 9388 9469 232.1068 53 3.4050 17 2.1872
53 9553 9636 228.8070 54 3.4648 18 2.2256
54 9718 9803 225.2519 55 3.5246 18 2.2640
55 9884 9969 221.4414 56 3.5844 18 2.3024
56 10049 10136 217.3755 57 3.6441 19 2.3408
57 10214 10302 213.0542 58 3.7039 19 2.3792
58 10379 10469 208.4776 59 3.7637 19 2.4176
59 10544 10636 203.6455 60 3.8235 20 2.4560
60 10710 10802 198.5581 60 3.8833 20 2.4944
61 10875 10969 193.2153 61 3.9430 20 2.5328
62 11040 11136 187.6171 62 4.0028 21 2.5712
63 11205 11302 181.7636 63 4.0626 21 2.6095
64 11370 11469 175.6546 64 4.1223 21 2.6479
65 11536 11635 169.2903 65 4.1821 21 2.6863
66 11701 11802 162.6706 66 4.2418 22 2.7247
67 11866 11969 155.7955 67 4.3016 22 2.7631
68 12031 12135 148.6650 68 4.3613 22 2.8014
69 12196 12302 141.2792 69 4.4211 23 2.8398
70 12362 12469 133.6379 70 4.4808 23 2.8782
71 12527 12635 125.7413 71 4.5405 23 2.9165
72 12692 12802 117.5893 72 4.6003 24 2.9549
73 12857 12968 109.1820 73 4.6600 24 2.9932
74 13022 13135 100.5192 74 4.7197 24 3.0316
75 13188 13302 91.6011 74 4.7794 25 3.0700
76 13353 13468 82.4275 75 4.8391 25 3.1083
77 13518 13635 72.9986 76 4.8988 25 3.1467
78 13683 13802 63.3143 77 4.9586 25 3.1850
79 13848 13968 53.3747 78 5.0183 26 3.2233
80 14014 14135 43.1796 79 5.0779 26 3.2617
81 14179 14302 32.7292 80 5.1376 26 3.3000
82 14344 14468 22.0234 81 5.1973 27 3.3384
83 14509 14635 11.0622 82 5.2570 27 3.3767
84 14674 14801 -0.1544 83 5.3167 27 3.4150
85 14840 84 5.3764 28 3.4533
86 15005 85 5.4360 28 3.4917
87 15170 86 5.4957 28 3.5300
88 15335 87 5.5554 29 3.5683
89 15500 88 5.6150 29 3.6066
90 15666 88 5.6747 29 3.6449
91 15831 89 5.7343 29 3.6833
92 15996 90 5.7940 30 3.7216
93 16161 91 5.8536 30 3.7599
94 16326 92 5.9133 30 3.7982
307

Lampiran 29 (Lanjutan)

rajungan kakap merah udang kuwe


E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
1227 44.1773 156 3.8608 244 3.7168 127 3.5349
1516 53.5226 192 4.7012 301 4.5591 157 4.3330
1988 67.9138 252 6.0168 395 5.9075 206 5.6080
3450 105.7541 438 9.6561 686 9.8802 357 9.3440
1497 52.9057 190 4.6454 297 4.5028 155 4.2797
2677 87.0416 340 7.8164 532 7.8206 277 7.4113
2925 93.3423 371 8.4255 581 8.4894 303 8.0398
3172 99.3492 402 9.0154 630 9.1490 328 8.6590
3419 105.0623 434 9.5862 679 9.7997 354 9.2687
3667 110.4815 465 10.1380 729 10.4413 379 9.8689
3914 115.6068 496 10.6707 778 11.0738 405 10.4597
4161 120.4384 528 11.1843 827 11.6973 431 11.0410
4408 124.9760 559 11.6789 876 12.3117 456 11.6129
4656 129.2199 590 12.1543 925 12.9171 482 12.1753
4903 133.1699 622 12.6107 974 13.5134 507 12.7283
5150 136.8261 653 13.0480 1023 14.1007 533 13.2719
5397 140.1884 685 13.4662 1073 14.6789 558 13.8059
5645 143.2569 716 13.8653 1122 15.2481 584 14.3306
5892 146.0315 747 14.2453 1171 15.8082 610 14.8458
6139 148.5123 779 14.6063 1220 16.3593 635 15.3515
6387 150.6993 810 14.9482 1269 16.9014 661 15.8478
6634 152.5924 841 15.2710 1318 17.4343 686 16.3347
6881 154.1917 873 15.5747 1367 17.9583 712 16.8121
7128 155.4972 904 15.8593 1417 18.4732 738 17.2801
7376 156.5088 935 16.1249 1466 18.9790 763 17.7386
7623 157.2265 967 16.3713 1515 19.4758 789 18.1876
7870 157.6505 998 16.5987 1564 19.9635 814 18.6273
8117 157.7805 1030 16.8070 1613 20.4422 840 19.0574
8365 157.6168 1061 16.9963 1662 20.9118 865 19.4781
8612 157.1592 1092 17.1664 1711 21.3724 891 19.8894
8859 156.4078 1124 17.3175 1761 21.8239 917 20.2912
9107 155.3625 1155 17.4495 1810 22.2664 942 20.6836
9354 154.0234 1186 17.5624 1859 22.6998 968 21.0665
9601 152.3904 1218 17.6562 1908 23.1242 993 21.4400
9848 150.4637 1249 17.7309 1957 23.5396 1019 21.8041
10096 148.2430 1280 17.7866 2006 23.9458 1045 22.1586
10343 145.7286 1312 17.8231 2055 24.3431 1070 22.5038
10590 142.9202 1343 17.8406 2104 24.7312 1096 22.8395
10837 139.8181 1375 17.8391 2154 25.1104 1121 23.1657
11085 136.4221 1406 17.8184 2203 25.4805 1147 23.4825
11332 132.7323 1437 17.7786 2252 25.8415 1172 23.7898
11579 128.7486 1469 17.7198 2301 26.1935 1198 24.0877
11827 124.4711 1500 17.6419 2350 26.5364 1224 24.3762
12074 119.8998 1531 17.5449 2399 26.8703 1249 24.6552
12321 115.0346 1563 17.4288 2448 27.1951 1275 24.9247
12568 109.8755 1594 17.2937 2498 27.5109 1300 25.1849
308

Lampiran 29 (Lanjutan)

rajungan kakap merah udang kuwe


E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
12816 104.4227 1625 17.1394 2547 27.8176 1326 25.4355
13063 98.6760 1657 16.9661 2596 28.1153 1352 25.6767
13310 92.6354 1688 16.7737 2645 28.4039 1377 25.9085
13557 86.3010 1719 16.5622 2694 28.6835 1403 26.1308
13805 79.6728 1751 16.3317 2743 28.9541 1428 26.3437
14052 72.7508 1782 16.0820 2792 29.2155 1454 26.5471
14299 65.5348 1814 15.8133 2842 29.4680 1479 26.7410
14547 58.0251 1845 15.5255 2891 29.7113 1505 26.9256
14794 50.2215 1876 15.2186 2940 29.9457 1531 27.1006
15041 42.1241 1908 14.8926 2989 30.1710 1556 27.2663
15288 33.7328 1939 14.5476 3038 30.3872 1582 27.4224
15536 25.0477 1970 14.1834 3087 30.5944 1607 27.5692
15783 16.0688 2002 13.8002 3136 30.7925 1633 27.7065
16030 6.7960 2033 13.3979 3186 30.9816 1659 27.8343
16277 -2.7706 2064 12.9765 3235 31.1616 1684 27.9527
2096 12.5361 3284 31.3326 1710 28.0616
2127 12.0765 3333 31.4945 1735 28.1611
2159 11.5979 3382 31.6474 1761 28.2512
2190 11.1002 3431 31.7912 1786 28.3317
2221 10.5834 3480 31.9260 1812 28.4029
2253 10.0476 3529 32.0518 1838 28.4646
2284 9.4926 3579 32.1684 1863 28.5168
2315 8.9186 3628 32.2761 1889 28.5596
2347 8.3255 3677 32.3746 1914 28.5930
2378 7.7133 3726 32.4642 1940 28.6169
2409 7.0820 3775 32.5447 1966 28.6314
2441 6.4316 3824 32.6161 1991 28.6364
2472 5.7622 3873 32.6785 2017 28.6319
2504 5.0737 3923 32.7318 2042 28.6181
2535 4.3661 3972 32.7761 2068 28.5947
2566 3.6394 4021 32.8113 2093 28.5620
2598 2.8936 4070 32.8375 2119 28.5197
2629 2.1288 4119 32.8546 2145 28.4680
2660 1.3449 4168 32.8627 2170 28.4069
2692 0.5419 4217 32.8617 2196 28.3364
2723 -0.2802 4267 32.8517 2221 28.2563
4316 32.8326 2247 28.1669
4365 32.8045 2273 28.0680
4414 32.7674 2298 27.9596
4463 32.7211 2324 27.8418
4512 32.6659 2349 27.7145
4561 32.6015 2375 27.5778
4611 32.5282 2401 27.4317
4660 32.4458 2426 27.2761
4709 32.3543 2452 27.1110
4758 32.2538 2477 26.9365
4807 32.1442 2503 26.7526
309

Lampiran 29 (Lanjutan)

rajungan kakap merah udang kuwe


E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
4856 32.0256 2528 26.5592
4905 31.8979 2554 26.3563
4954 31.7612 2580 26.1440
5004 31.6154 2605 25.9223
5053 31.4606 2631 25.6911
5102 31.2967 2656 25.4505
5151 31.1238 2682 25.2004
5200 30.9418 2708 24.9409
5249 30.7508 2733 24.6719
5298 30.5508 2759 24.3935
5348 30.3416 2784 24.1056
5397 30.1235 2810 23.8083
5446 29.8962 2835 23.5015
5495 29.6600 2861 23.1853
5544 29.4147 2887 22.8596
5593 29.1603 2912 22.5245
5642 28.8969 2938 22.1799
5692 28.6244 2963 21.8259
5741 28.3429 2989 21.4625
5790 28.0523 3015 21.0896
5839 27.7527 3040 20.7072
5888 27.4440 3066 20.3154
5937 27.1263 3091 19.9142
5986 26.7995 3117 19.5035
6036 26.4637 3142 19.0833
6085 26.1188 3168 18.6537
6134 25.7649 3194 18.2147
6183 25.4019 3219 17.7662
6232 25.0299 3245 17.3083
6281 24.6489 3270 16.8409
6330 24.2587 3296 16.3641
6379 23.8596 3322 15.8778
6429 23.4513 3347 15.3821
6478 23.0341 3373 14.8769
6527 22.6077 3398 14.3623
6576 22.1724 3424 13.8382
6625 21.7280 3449 13.3047
6674 21.2745 3475 12.7617
6723 20.8120 3501 12.2093
6773 20.3404 3526 11.6474
6822 19.8598 3552 11.0761
6871 19.3701 3577 10.4954
6920 18.8714 3603 9.9051
6969 18.3636 3629 9.3055
7018 17.8468 3654 8.6964
7067 17.3209 3680 8.0778
7117 16.7860 3705 7.4498
310

Lampiran 29 (Lanjutan)

rajungan kakap merah udang kuwe


E std Yest E std Yest E std Yest E std Yest
7166 16.2420 3731 6.8124
7215 15.6890 3756 6.1655
7264 15.1269 3782 5.5092
7313 14.5558 3808 4.8434
7362 13.9757 3833 4.1681
7411 13.3864 3859 3.4834
7461 12.7882 3884 2.7893
7510 12.1808 3910 2.0857
7559 11.5645 3936 1.3727
7608 10.9390 3961 0.6502
7657 10.3046 3987 -0.0817
7706 9.6611
7755 9.0085
7804 8.3469
7854 7.6762
7903 6.9965
7952 6.3077
8001 5.6099
8050 4.9030
8099 4.1871
8148 3.4621
8198 2.7281
8247 1.9850
8296 1.2329
8345 0.4717
8394 -0.2985
311

Lampiran 30 Lingkungan Perairan dan Bakau yang Tercemar di Belakang Pabrik


Gula Refinasi.

Potrebbero piacerti anche