Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
DWI ERNANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dwi Ernaningsih
NRP C462080011
ABSTRACT
Banten Bay is area which quite rapid development for many activities.
Industrial waste disposal, domestic, over fishing, coral exploitation, reclamation,
vessel traffic, and environmental damage, cause interest multi sector conflict in
managing sea area. General objective of the research is to create model of
management of sustainable capture fisheries area in Banten Bay. The specific
objectives are to (1) determine utilization status and development prospect of
capture fisheries; (2) determine leading commodity; (3) determine
environmentally friendly fishing gears, (4) establish utilization zone; (5) arrange
policy strategy in managing capture fisheries; and (6) simulate of model of
management of capture fisheries. Evaluating utilization status and development
prospect of capture fisheries was conducted using surplus production method
with bionomic model. Determination of leading commodity was conducted with
LQ value, IS, and descriptive method. Environmental and sustainable fishing gear
was analyzed using CCRF criteria with scoring method approach. Zoning of
capture fisheries area utilization was conducted by GIS. Management strategy of
capture fisheries area was conducted with SWOT and AHP. Simulate of model of
management of capture fisheries was conducted with LGP and model simulation
of sustainable fish resources and salary fisherman. The result showed that
utilization status and development prospect of capture fisheries in Banten Bay
can still be developed for 9 species from 23 species. Squid, anchovy, and crab
were commodities with high comparative advantages. Hand line, boat lift net, and
gillnet were environmentally fishing gears. Zoning of Banten Bay utilization are
consist of aquaculture, recreation, conservation, capture fisheries, fishing port,
and industrial zone. Zone of capture fisheries was composed base on fishing
ground eligibility indicator, suitability of fishing gear with fishing ground, minimum
of conflict potency, availability of infrastructure, and environmental carrying
capacity. Capture fisheries zone is divided into three zones, that are (i) passive
zone, (ii) passive and outboard fishing boat zone, (iii) active and inboard fishing
boat zone. Based on LGP analysis, maximum catch was 1.747,259 ton/year,
alocation for fishing gear of gillnet, danish seine net, set lift net, boat lift net, boat
seine, hand line, guiding barrier trap, and monofilament gillnet were 3, 11, 11, 6,
2, 5, 0 and 0 unit, respectively. The proposed strategy in managing Banten Bay
area were (1) utilization strategic location of Banten Bay with optimalization
leading commodity for providing fish demand; (2) taking advantage of high
availability of human resources and fisherman concern to manage capture
fisheries area; (3) utilization local government support and regional autonomy to
make policy in structuring and expansion of fishing area and involving coastal
communities in the management. Model of management of capture fisheries area
in Banten Bay can be increase of salary fisherman as much as 25% from first
scenario and take care of sustainable fish resources the periode of time 18 years.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL PENGELOLAAN KAWASAN PERIKANAN
TANGKAP DI TELUK BANTEN
DWI ERNANINGSIH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc
2. Dr.Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
disertasi dengan judul “Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap di
Teluk Banten” ini dengan baik.
Teluk Banten merupakan kawasan yang dimanfaatkan oleh banyak
kegiatan baik pada daerah pesisir maupun perairannya. Pengelolaan perikanan
tangkap di Teluk Banten saat ini belum ada. Karenanya penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menyusun model pengelolaan kawasan perikanan
tangkap di Teluk Banten. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1)
Menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap; (2) Menentukan komoditas unggulan komparatif; (3) Menentukan
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan; (4) Menyusun
zonasi pemanfaatan kawasan; (5) Menyusun strategi kebijakan pengelolaan
perikanan tangkap; dan (6) Mensimulasikan model pengelolaan kawasan
perikanan tangkap terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan
nelayan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya
kepada Bapak Dr.Ir. Domu Simbolon, M.Si, Bapak Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi.,
M.Si, dan Bapak Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, MSc atas kesediaannya untuk
membimbing penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1) Dr.Ir. Budy Wiryawan, M.Sc dan Dr.Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai
penguji luar komisi pada ujian tertutup;
2) Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc dan Ir. Sapta Putra, M.Sc., Ph.D
sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka;
3) Prof.Dr. Lijan P. Sinambela, M.M., M.Pd, Rektor USNI Jakarta yang telah
memberikan ijin tugas belajar dan dorongan untuk menyelesaikan studi;
4) Ditjen DIKTI yang telah memberikan bantuan beasiswa berupa biaya
pendidikan pascasarjana (BPPS) selama menempuh pendidikan di IPB;
5) Nelayan-nelayan di Teluk Banten;
6) DKP Provinsi Banten, dan DKP Kab. Serang beserta staf;
7) BLHD Serang;
8) Kepala PPN Karangantu beserta staf;
9) Kepala TPI Terate, TPI Wadas, dan TPI Kepuh;
10) Saudara Irfan Yulianto, S.Pi., M.Si atas bantuannya;
11) Kedua orang tua, suami dan anak serta keluarga besar atas segala
bantuan, doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang telah diberikan
secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan;
12) Rekan-rekan mayor SPT dan TPT angkatan 2008 dan rekan-rekan Dosen
di FPIK USNI Jakarta, atas bantuan dan dorongannya.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan dan
penyempurnaan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Dwi Ernaningsih
DAFTAR ISI
Halaman
xix
3.4.3 Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan
dan berkelanjutan............................................................. ............. 67
3.4.4 Zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten ....................... 71
3.4.4.1 Identifikasi penggunaan kawasan.............................. 71
3.4.4.2 Zonasi perikanan tangkap.......................................... 71
3.4.4.3 Pemetaan potensi konflik............................................ 74
3.4.5 Strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap 75
3.4.6 Simulasi model pengelolaan dan pengembangan kawasan
perikanan tangkap................................................................ 79
4. KEADAAN UMUM PERIKANAN TELUK BANTEN................................ 87
4.1 Kondisi Perikanan Tangkap ...........................…….......................... 87
4.2 Kondisi Lingkungan Perairan Teluk Banten.................................... 97
4.2.1 Hidro-oseanografi lingkungan pesisir dan laut ..................... 97
4.2.2 Batimetri.................................................................................. 98
4.2.3 Angin muson dan tinggi muka laut.......................................... 99
4.2.4 Arus laut................................................................................ 100
4.2.5 Suhu permukaan laut dan klorofil-a..................................... . 100
5. HASIL PENELITIAN................................................................................ 103
5.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan
Tangkap............................................................................................... 103
5.1.1 Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan............ 103
5.1.2 Model bio-ekonomi (bionomi) .............................................. 107
5.2 Komoditi Unggulan ....................................................................... 110
5.2.1 Model location quotient (LQ).......................................... ...... 110
5.2.2 Indeks spesialisasi (IS).................................................. ....... 111
5.2.3 Deskriptif............................................................................... 111
5.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan ................................................................................ 112
5.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten.......................... ..... 116
5.4.1 Review tata ruang........................................................... ...... 116
5.4.2 Zona perikanan budidaya.............................................. ....... 124
5.4.3 Zona pariwisata............................................................. ....... 124
5.4.4 Zona pelabuhan.................................................................... 125
5.4.5 Zona industri.................................................................. ....... 126
5.4.6 Rehabilitasi terumbu karang.......................................... ....... 126
5.4.7 Zona perikanan tangkap................................................ ....... 127
5.4.8 Pemetaan potensi konflik....................................................... 137
5.5 Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
Teluk Banten........................................................................... ...... 139
5.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap....... .. 144
5.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan...................................... ....... 144
5.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan................................ ....... 146
5.6.3 Model pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk
Banten............................................................................ ............... 156
6. PEMBAHASAN..................................................................................... 159
6.1 Status Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Perikanan
Tangkap.................................................................................. ............ 159
6.2 Komoditi Unggulan................................................................. ....... 170
6.3 Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan
Berkelanjutan............................................................................ ..... 174
6.4 Zonasi Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten............................. .. 178
xx
6.5 Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
Teluk Banten........................................................................... ............ 183
6.6 Simulasi Model Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap...... ... 190
6.6.1 Alokasi unit penangkapan ikan .............................................. 190
6.6.2 Simulasi usaha penangkapan ikan......................................... 192
7. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 197
7.1 Kesimpulan ............................................................................ 197
7.2 Saran ..................................................................................... 198
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ ...... 199
LAMPIRAN............................................................................................. ... 209
xxi
xxii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Indikator Keberhasilan Ko-Manajemen .............................................. 38
2. Nama dan Posisi TPI Lokasi Pengambilan Sampel........................... . 59
3. Jenis dan Sumber Data Primer.......................................................... . 60
4. KriteriaTeknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan dan Nilai
Bobot................................................................................................. .. 69
5. Skala Banding Berpasang berdasarkan Taraf Relatif Pentingnya..... . 79
6. Nilai Random Consistency Index (RI) untuk Jumlah Elemen (n)
1 sampai dengan 10…………………………………………………….. .. 79
7. Sumber Daya Ikan di Teluk Banten Tahun 2005-2009...................... . 88
8. Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009................. . 89
9. Trip Tiap Jenis Alat Tangkap............................................................. .. 90
10. Spesifikasi Pancing Ulur di Teluk Banten......................................... ... 96
11. Hasil Analisis Potensi Sumber Daya Ikan (Schaefer) di
Teluk Banten...................................................................................... 104
12. Hasil Analisis Ekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Pelagis .................... 108
13. Hasil Analisis Ekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Demersal................. 109
14. Nilai LQ Komoditi Unggulan ............................................................... 111
15. Perhitungan Indeks Spesialisasi Komoditi Unggulan di Kawasan
Teluk Banten...................................................................................... 111
16. Hasil Skoring Penentuan Komoditi Unggulan di KawasanTeluk
Banten...................................................................................... .......... 112
17. Matrik Keragaan Aspek Biologi dari Teknologi Penangkapan ........... 113
18. Matrik Keragaan Aspek Teknik dari Teknologi Penangkapan ............ 114
19. Matrik Keragaan Aspek Sosial dari Teknologi Penangkapan ............. 114
20. Matrik Keragaan Aspek Ekonomi dari Teknologi Penangkapan........... 115
21. Jenis Teknologi Penangkapan Ikan Ramah Lingkunga di Teluk
Banten………………………………………………………………………. 115
22. Indikator dan Kriteria Penentuan Zonasi Perikanan Tangkap........... .. 128
23. Musim Penangkapan Ikan Pelagis.................................................... .. 129
24. Musim Penangkapan Ikan Demersal................................................ .. 130
25. Tingkat Pemanfaatan Daerah Penangkapan di Teluk Banten........... . 131
26. Posisi Alat Tangkap dan Jalur Penangkapan.................................... .. 133
xxiii
27. Jenis Alat Tangkap, Jenis Ikan dan Fishing Ground........................... 135
28. Karakteristik Zona Perikanan Tangkap di Teluk Banten.............. ....... 137
29. Peta Kemungkinan Konflik dalam Pemanfaatan Ruang Bersama.. .... 138
30. Evaluasi Faktor Internal (IFAS)......................................................... .. 140
31. Evaluasi Faktor Eksternal (EFAS).................................................... ... 141
32. Matriks SWOT Pengelolaan Teluk Banten....................................... ... 142
33. Alokasi Unit Penangkapan Ikan menurut Luas Wilayah Teluk Banten
dan LGP........................................................................................... ... 147
34. Simulasi Optimasi Manajemen Sumber Daya Ikan di Teluk Banten... 148
35. Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi dan Keuntungan Tiap Jenis
Ikan Skenario 1.................................................................................... 150
36. Trend Upaya Penangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap........................ . 150
37. Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi dan Keuntungan Tiap Jenis
Ikan Skenario 2..................................................................................... 154
38. Peraturan Perundangan Lingkungan Pesisir, Laut, dan Pengelolaan
Perikanan Tangkap di Teluk Banten.................................................... 188
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka Pemikiran........................................................................... 18
2. Ilustrasi Keterkaitan Penataan Ruang secara Fungsi Utama dan
Administrasi...................................................................................... ... 30
3. Kerangka Model Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Pesisir....... .. 42
4. Sistem Perikanan Berkelanjutan....................................................... .. 47
5. Sistem Perikanan Tangkap................................................................ . 48
6. Intersepsi Dunia Model dengan Dunia Nyata................................... ... 56
7. Sekuen Proses Pemodelan.............................................................. ... 57
8. Skematis Analisis SWOT................................................................... . 76
9. Matriks SWOT.................................................................................... . 77
10. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian..................................................... 85
11. Komposisi Alat Tangkap di Kawasan Teluk Banten Tahun 2009...... .. 91
12. Batimetri di Bagian Utara Banten........................................................ 99
13. Sebaran SPL di Perairan Utara Teluk Banten Tahun 2007-2008.......... 102
14. Sebaran Klorofil-a (mg/m3) di Perairan Utara Teluk Banten Tahun
2007-2009.......................................................................................... 102
15. Hubungan Effort (Trip/Th) dengan CPUE (Ton/Trip) Ikan Pelagis.... . 105
16. Hubungan Effort (Trip/Th) dengan CPUE (Ton/Trip) Ikan Demersal 106
17. Grafik Bionomi Cumi-cumi................................................................ 107
18. Grafik Bionomi Rajungan……………………………………………. 110
19. Peta Eksisting Tutupan Lahan Pesisir Teluk Banten .......................... 121
20. Peta Pola Ruang Kawasan Pesisir Teluk Banten ............................... 122
21. Peta Zonasi Umum Pemanfaatan Kawasan Teluk Banten ................. 123
22. Peta Fishing Ground dan Jalur Penangkapan di Kawasan Teluk
Banten ............................................................................................... 134
23. Zonasi Perikanan Tangkap di Teluk Banten ....................................... 136
24. Posisi Pengelolaan Teluk Banten........................................................ 141
25. Hierarki Penentuan Tujuan Pengelolaan Kawasan Perikanan Tangkap
di Teluk Banten................................................................................... 144
26. Simulasi Skenario Pertama ................................................................ 149
27. Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 1...................... 151
28. Simulasi Skenario Kedua................................................................. ... 153
xxv
29. Simulasi Produksi Tiap Jenis Alat Tangkap Skenario 2.................... .. 155
30. Model Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Tangkap
di Teluk Banten.................................................................................... 157
31. Proses Pengolahan Rajungan............................................................ . 171
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lokasi Penelitian................................................................................. 209
2. Hasil Tangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009.......... ... 210
3. Konstruksi Gill net............................................................................ .... 215
4. Konstruksi Dogol............................................................................. ..... 216
5. Konstruksi Bagan Tancap............................................................... ..... 218
6. Gambar Bagan Perahu (Jaring Congkel)..................................... ........ 219
7. Konstruksi Payang........................................................................... .... 220
8. Konstruksi Pancing Ulur................................................................... .... 221
9. Konstruksi Sero............................................................................... ..... 224
10. Konstruksi Rampus......................................................................... .... 225
11.Contoh Perhitungan Standarisasi Alat Tangkap............................. ..... 226
12.Contoh Perhitungan Bionomi dengan Program Maple...................... ... 227
13. Perhitungan Analisa Usaha Gill net..................................................... 273
14. Perhitungan Analisa Usaha Dogol................................................ ...... 275
15. Perhitungan Analisa Usaha Bagan Tancap.................................. ...... 277
16. Perhitungan Analisa Usaha Bagan Perahu................................... ...... 278
17. Perhitungan Analisa Usaha Payang.................................................... 279
18. Perhitungan Analisa Usaha Pancing Ulur .......................................... 281
19. Perhitungan Analisa Usaha Sero.................................................. ...... 282
20. Perhitungan Analisa Usaha Rampus............................................. ..... 283
21. Lokasi Budidaya Rumput Laut di Sebelah Selatan P. Panjang.......... . 284
22.Indeks Musim Penangkapan Ikan Pelagis....................................... .... 285
23.Indeks Musim Penangkapan Ikan Demersal.................................. ...... 286
24. Pembangunan Industri di Bojonegara.......................................... ....... 287
25. Fungsi Tujuan..................................................................................... . 288
26. Fungsi Pembatas............................................................................... . 289
27. Hasil Perhitungan LGP dengan Program LINDO.................................. 292
28. Perhitungan Simulasi Skenario 1...................................................... .. 295
29. Perhitungan Simulasi Skenario 2....................................................... . 301
30. Lingkungan Perairan dan Bakau yang Tercemar di Belakang Pabrik
Gula Refinasi………………………………………………………………. 311
xxvii
xxviii
DAFTAR ISTILAH
Internal Rate of Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present
Return (IRR) value sama dengan nol.
Net Benefit Cost Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total
Ratio (Net B/C) biaya produksi.
Net Present Value Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai
xxx
(NPV) sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Open Access (OA) Pemanfaatan SDI secara bebas, tidak ada larangan bagi
pengguna SDI untuk ikut memanfaatkan dan meningkatkan
jumlah kapal atau upaya penangkapan (effort). Effort sudah
tidak menguntungkan bagi nelayan, karena besarnya biaya
yang dikeluarkan untuk melaut sama dengan penerimaan
yang diperoleh (break event point).
xxxi
Pulau Kecil Pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
beserta kesatuan ekosistemnya.
Rencana Tata Rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah
Ruang Wilayah provinsi, yang merupakan penjabaran dari RTRWN, dan
(RTRW) Provinsi yang berisi: tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang
wilayah provinsi, rencana struktur ruang wilayah provinsi,
rencana pola ruang wilayah provinsi, penetapan kawasan
strategis provinsi, arahan pemanfaatan ruang wilayah
provinsi, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah provinsi
Ruang Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan
kehidupannya.
Sumber Daya Terdiri dari SDI, sumber daya lingkungan serta sumber
Perikanan daya buatan manusia yang digunakan untuk
memanfaatkan SDI.
xxxii
Wilayah Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
Wilayah Pesisir Daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Zona Wilayah yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi
ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Zona pemanfaatan Zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi
dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia,
dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan
dalam suatu kawasan konservasi.
Zona perlindungan Zona yang diperuntukkan untuk melindungi zona inti, yang
(preservation zone) merupakan areal untuk mendukung upaya perlindungan
spesies, pengembangbiakan alami jenis-jenis satwa liar,
termasuk satwa migran serta proses-proses ekologis alami
yang terjadi di dalamnya.
xxxiii
1. PENDAHULUAN
dan kapal motor < 5 GT (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT.
Plarenco 2007). Di kawasan Teluk Banten terdapat 5 tempat pendaratan ikan
(TPI) yang berada di tiga kecamatan yaitu TPI Karangantu dan TPI Pulau
Panjang (Kecamatan Kasemen), TPI Terate (Kecamatan Kramatwatu), TPI
Wadas dan TPI Kepuh (Kecamatan Bojonegara) (www.dkp-banten.go.id 2009).
Kawasan Teluk Banten merupakan kawasan yang saat ini cukup pesat
perkembangannya. Hal ini diindikasikan dengan tingkat pertumbuhan
perumahan, industri dan jasa yang cukup tinggi di-catchment area dari Teluk
Banten. Sebagian daerah pesisirnya termasuk Kota Serang, sedang mengalami
industrialisasi yang cepat dan di dekatnya terdapat Pelabuhan Merak. Di Teluk
Banten saja tidak kurang lima sungai yang diantaranya mempunyai hulu di lima
kota dan kabupaten. Industri juga dibangun di sepanjang pesisir laut Teluk
Banten. Di Bojonegara tidak kurang 50 industri telah bermukim disini.
Saat ini di wilayah Bojonegara telah dibangun pelabuhan internasional
seluas 1.100 ha. Di sekitar kawasan tersebut telah berdiri kawasan industri yang
direncanakan mencapai 1.372 ha meliputi sebagian desa Salira, Mangunreja,
Sumureja, Mangkunegara, Bojonegara, Ukisari, Margasari, Argawana, Margagiri.
Jenis industri yang dikembangkan adalah industri logam dasar, kimia dasar,
rekayasa dan rancang bangun (bkpm go.id 2009).
Berkembangnya industri di sepanjang pesisir Teluk Banten
mengakibatkan terjadinya upaya reklamasi pantai. Akibat aktivitas ini termasuk
pembuangan limbah industri, aktivitas domestik antara lain limbah rumah tangga
atau sampah, aktivitas kapal baik kapal niaga, dan kapal nelayan asing antara
lain penggunaan jaring arad (mini trawl), menyebabkan 70 dari 100 ha padang
lamun di Teluk Banten mengalami kerusakan yang kritis (Kiswara 2004).
Kerusakan padang lamun terletak di antara wilayah pesisir Kecamatan
Kramatwatu dan Kecamatan Bojonegara (Radar Banten 2008).
Permasalahan lain adalah penangkapan ikan yang berlebihan (Diana
2001), pengambilan karang hidup dan karang mati (Radar Banten 2008),
pemakaian alat tangkap ikan yang merusak (Hendarsih 2007), pengurugan laut,
lalu-lintas perahu di kawasan Teluk Banten, hilangnya kawasan bakau, dan
perubahan garis pantai dari Teluk Banten baik oleh abrasi maupun sedimentasi,
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Kondisi demikian, mengundang konflik kepentingan (interest conflict) multi
sektoral dalam pengelolaan kawasan laut. Tidak jarang antara nelayan dengan
4
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan
datang. Dengan demikian perlu dilakukan simulasi dampak penerapan model
terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan.
Berbagai kajian telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya
dengan topik dan tujuan yang berbeda. Sehubungan dengan fakta-fakta empiris
di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1) Bagaimana status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di kawasan Teluk Banten?
2) Jenis hasil tangkapan apa yang merupakan komoditas unggulan perikanan
tangkap?
3) Apa saja teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan?
4) Bagaimana zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten?
5) Apa saja strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap Teluk
Banten?
6) Bagaimana simulasi dampak penerapan model terhadap kelestarian sumber
daya ikan dan pendapatan nelayan Teluk Banten?
1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah perikanan tangkap di Teluk Banten masih
dapat dikembangkan, memiliki keunggulan komparatif yang tinggi, beberapa
teknologi penangkapan ikan dikategorikan ramah lingkungan yang didukung
dengan zonasi dan strategi kebijakan pengelolaan kawasan perikanan tangkap
yang tepat.
mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human
system) yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas
perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya, dan (3) sistem pengelolaan
perikanan (fishery management system) yang mencakup perencanaan dan
kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan
penelitian perikanan. Dengan demikian, sistem perikanan adalah sistem yang
kompleks. Kompleks didefinisikan apabila sistem tersebut memiliki sejumlah
unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis.
Selanjutnya Charles (2001) mengungkapkan, bahwa dalam prakteknya
keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, yaitu: (1) banyaknya
tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies
dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok
nelayan beserta interaksinya dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4)
banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi antar mereka; (5) struktur sosial dan
pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan
diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumberdaya ikan, nelayan dan
lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem
perikanan.
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian
yang telah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian ini dimulai dengan
mengevaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di kawasan Teluk Banten dilanjutkan dengan menentukan komoditas
unggulan hasil perikanan tangkap; menentukan teknologi penangkapan ikan
yang ramah lingkungan; menyusun zonasi pemanfaatan kawasan Teluk Banten
agar tidak terjadi konflik kepentingan mengingat kawasan ini dimanfaatkan oleh
berbagai aktivitas yaitu perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata,
kawasan konservasi, buangan limbah industri dan rumah tangga dan di daerah
pesisirnya tumbuh berbagai macam industri. Penentuan komoditas unggulan
diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan nelayan dan PAD
bagi pemerintah setempat. Keterkaitan antara potensi SDI, jenis ikan unggulan,
teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, penataan kawasan perikanan
tangkap dan pengelolaan perikanan tangkap yang menjamin keberlangsungan
usaha penangkapan disusun untuk mendapatkan model yang tepat.
Kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Banten dan Kabupaten Serang terkait pemanfaatan
16
sumberdaya ikan (SDI), alat tangkap dan jalur penangkapan? Adakah terjadi
konflik pemanfaatan kawasan perairan dengan aktivitas lain? Bagaimana
dampak pemanfaatan SDI terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi,
etika dan kelembagaan? Apabila hal tersebut telah dievaluasi, maka model
pengelolaan kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten dapat disusun, dan
selanjutnya dapat dilakukan simulasi model pengelolaan kawasan perikanan
tangkap terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di
Teluk Banten.
Evaluasi status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan
tangkap di Kawasan Teluk Banten dilakukan dengan cara menghitung besarnya
nilai CPUE, MSY, dan MEY; penentuan komoditas unggulan dilakukan dengan
cara menghitung keunggulan komparatif sumber daya ikan yang sudah terlebih
dahulu dianalisis secara bio-ekonomi. Penentuan teknologi penangkapan ikan
ramah lingkungan dilakukan dengan cara melakukan seleksi terhadap alat
tangkap yang telah distandarisasi, dengan melakukan pembobotan terhadap
sembilan kriteria yang terdapat pada code of conduct for responsible fisheries
(CCRF). Zona pemanfaatan kawasan Teluk Banten, terdiri dari zona perikanan
budidaya, pariwisata, dan perikanan tangkap. Zonasi perikanan budidaya dan
pariwisata disusun dengan kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya (kajian pustaka), sedangkan zonasi perikanan tangkap
disusun dengan kriteria penentuan musim dan daerah penangkapan, kondisi
lingkungan yang mendukung, serta penghitungan luasan area yang diperlukan
tiap jenis alat tangkap. Penentuan musim dilakukan dengan menghitung indeks
musim penangkapan, hasil pustaka dan wawancara dengan nelayan. Adapun
daerah penangkapan diperoleh dari analisis inderaja meliputi suhu permukaan
laut (SPL), dan klorofil-a, sedangkan kondisi lingkungan diperoleh dari studi
pustaka yang dibandingkan dengan pengukuran langsung. Model pengelolaan
kawasan perikanan tangkap disusun dengan pendekatan mengkaji kebijakan
pemerintah daerah setempat terkait pengelolaan perikanan tangkap dengan
menggunakan analisis SWOT. Model yang diusulkan berupa model konseptual
pengelolaan kawasan teluk. Adapun kerangka pendekatan perencanaan
pengelolaan kawasan perikanan tangkap harus memperhatikan kondisi dan
potensi, menentukan pendekatan strategi untuk pemanfaatan sumber daya yang
optimum dengan memperhatikan pendekatan kehati-hatian yang menyeluruh
untuk mendapatkan pembangunan yang berkelanjutan. Indikator pencapaian
17
adalah: (a) tingkat pencemaran; (b) sejauh mana terjadi over eksploitasi sumber
daya alam; (c) tingkat degradasi fisik habitat; (d) ketersediaan SDI untuk
pengembangan perikanan tangkap; (e) terjadinya konflik penggunaan ruang; (f)
kemiskinan; (g) efisiensi ekonomi; (h) sosial equity; dan (i) keberlanjutan ekologi.
Masing-masing indikator pencapaian akan dievaluasi sehingga dapat
menemukan model yang paling tepat. Strategi kebijakan yang diusulkan
dianalisis dengan metode AHP, yang selanjutnya disimulasikan terhadap
kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan nelayan di Teluk Banten dengan
menggunakan pendekatan optimasi. Analisis yang digunakan adalah metode
linier goal programming (LGP). Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat
pada Gambar 1.
1.7 Novelty
Novelty (kebaruan) dari penelitian ini adalah tersusunnya indikator dan
kriteria penyusunan zonasi kawasan perikanan tangkap dan zonasi perikanan
tangkap berdasarkan pendekatan wilayah (kawasan). Zonasi yang ada saat ini
adalah zonasi daerah pesisir dengan pengelompokan menjadi zona inti, zona
perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Zona inti
diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan
pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan
habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan cara yang ramah
lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan
pengembangan, serta pendidikan. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi
perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan
pengembangan, serta pendidikan. Zona lainnya merupakan zona di luar zona
inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan yang karena fungsi
dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona perlindungan,
zona rehabilitasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini menyusun zonasi
perikanan tangkap yang ada dalam zona pemanfaatan.
18
Kebijakan:
q Pembangunan industri
Multi user: perikananàPengembangan berbasis
q Perikanan budidaya; kawasan (Sugiharto 2008);
q Pariwisata; Pengelolaan q Rencana pengelolaan perikanan
q Industri; perikanan tangkap sumberdaya kelautan dan pantai
q Pelabuhan; Banten (DKP Prov. Banten dan PT.
q Rehabilitasi terumbu karag; Plarenco 2007);
q Perikanan tangkap q ICM (Agustina 2008)
q RTRW Kab. Serang 2009-2029
Simulasi model
Model
2.2 Wilayah/Kawasan
Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti
“wilayah”, ”kawasan”, ”daerah”, ’regional”, ”area’, ”ruang”, dan istilah-istilah
sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya
walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-
beda. Ketidakkonsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan
pemahaman dan sering membingungkan. Secara teoritik, tidak ada perbedaan
nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara
umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Istilah kawasan di Indonesia
digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu,
definisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi
dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan
sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap
kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya
memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang
dikembangkan tersebut (Rustiadi et al. 2009).
Secara yuridis, dalam Undang-undang No. 26/2007 tentang Penataan
Ruang, pengertian ”wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan
pengertian ”kawasan” menurut Undang-undang Penataan Ruang adalah wilayah
dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Sementara itu, pengertian ”daerah”
walaupun tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai
unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
Menurut Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang dimaksud dengan kawasan adalah wilayah
21
pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan
berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya. Kawasan pemanfaatan umum adalah bagian
dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukannya bagi berbagai sektor
kegiatan.
Berbagai macam konsep wilayah yang dikemukakan para ahli
diantaranya adalah (Rustiadi et al 2009):
1) Johnston (1976), memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi
spasial dan merekomendasikan dua tipe wilayah: (a) wilayah formal,
merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik,
dan (b) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan
menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat;
2) Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial
atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu Negara, Negara bagian,
provinsi, distrik (kabupaten), dan pedesaan;
3) Richardson (1996), Cliff dan Frey (1977), membagi wilayah kedalam tiga
kategori: (a) wilayah homogen (uniform atau homogeneous region), (b)
wilayah nodal, dan (c) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region);
4) Rustiadi et al (2009), kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu
menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal adalah: (a) wilayah
homogen, (b) wilayah sistem/fungsional, dan (c) wilayah perencanaan/
pengelolaan.
prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk
kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
dimaksud. Ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh
neIayan kecil.
Wilayah pesisir dapat dimasukkan dalam konsep wilayah sistem
kompleks, memiliki beberapa sub-sistem penyusun yang meliputi sistem ekologi
(ekosistem), sistem sosial, dan sistem ekonomi. Wilayah pesisir merupakan
interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan
dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi,
wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi
antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat,
wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian
laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dengan
memperhatikan aspek kewenangan daerah di wilayah laut, dapat disimpulkan
bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah administrasi Daerah Propinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota.
Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa
ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan
habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Menurut UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil, perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan
meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau dan laguna.
Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan
sebagai berikut:
1) Laut merupakan sumber dari common property resources (sumberdaya milik
bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi publik/kepentingan umum.
24
dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti
dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumber daya ikan,
agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.
Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi
oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu rekruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil
tangkapan.
Pengelolaan sumber daya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumber
daya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumber daya
dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumber
daya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi
pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi
pada manusia (social oriented).
Pengelolaan sumber daya ikan dengan menggunakan pendekatan
Maximum Sustainable Yield telah mendapat tantangan cukup keras, terutama
dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian yield yang
maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini
berangkat dari adanya masalah diminishing return yang menunjukkan bahwa
kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan
effort (Lawson 1984). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam
pengelolaan sumber daya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang
dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY.
Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu
menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost.
Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua pendekatan di atas kemudian
melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana
dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985). Secara umum
konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat
dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian,
besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah
yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Konsep
pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY,
diantaranya adalah :
(1) Berkurangnya risiko terjadinya deplesi dari stok ikan;
(2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar;
(3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu.
36
return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian
maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasar atau
langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan berbasis
lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati di luar
sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejah-
teraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-
prinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian pembangunan lebih
diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi makro. Pembangunan
komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis
antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan
akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan,
modal, manajemen yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua
aspek. Untuk itu setiap sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan.
Kebanyakan masyarakat pesisir memang bergantung pada kegiatan sektor
kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa semua orang harus
bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri pada
perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan
produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan
kesejahteraan. Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan
tragedi milik bersama.
Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan
sosial. Keberlanjutan ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari
pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitan ini maka perlu
ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan
akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa pembangunan
tidak melawan, merusak dan atau menggantikan sistem dan nilai sosial yang
positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.
PSPBM bersifat spesifik lokal, unik dan tidak ditemukan sama persis pada
dua atau lebih daerah yang berbeda. Berikut ini adalah beberapa contoh budaya
lokal:
(1) Sasi di P. Saparua Maluku (Nikijuluw 1994), yaitu suatu sistem
pengaturan pemanfaatan sumber daya alam (hutan dan laut) bagi anak
negeri (penduduk desa setempat) maupun pendatang. Aturan sasi ini
40
2.3.4 Isu dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir
Berdasarkan karakteristik wilayah laut dan pesisir, wilayah laut dan pesisir
menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang
sebagai berikut (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003):
1) Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar
sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumber
daya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang open acces
sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama
bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam hal
ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam
pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga
antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun tangkapan (ii)
pariwisata bahari dan pantai (iii) industri maritim seperti perkapalan (iv),
pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; (v)
perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah (vi)
kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove),
terumbu karang dan biota laut lainnya.
Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai
konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi
menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan
kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom.
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan
untuk mengelola sumber daya laut. Kewenangan itu meliputi eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan yang
dimaksud dalam pasal ini adalah pengaturan administratif, pengaturan tata
ruang, penegakan hukum terhadap aturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
42
Implementasi program:
Pandangan calon peserta Sosialisasi program
Pelatihan
Pelaksanaan keg. ekonomi
Pelaksanaan keg. sosial, Monitoring &
Pendampingan evaluasi
lingkungan & fasilitas
Penguatan kelembagaan
sosial ekonomi
dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari
sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan pendangkalan laut di
kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan pengerukan, tetapi
harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung dan pembangunan
waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di wilayah ini harus
diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai
(DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan pengelolaan, dimana
keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang harus diperhatikan.
4) Pemanfaatan potensi sumberdaya kemaritiman yang tidak optimal, terutama
di wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan perikanan
merupakan prime mover pengembangan wilayah. Hal ini diindikasikan antara
lain oleh (i) kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing di perairan Indonesia;
(ii) tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang melebihi potensi; (iii)
pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang belum optimal; (iv)
pemanfaatan potensi budidaya perikanan yang masih rendah; dan (v) nilai
investasi baik PMA dan PMDN yang masuk, pada bidang kelautan dan
perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di
Indonesia.
5) Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut dan
pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih
banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak
adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap sistem-sistem tradisional
serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks ini,
RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut
aturan-aturan pelaksanaannya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai
guidance dalam pengelolaan wilayah pesisir.
6) Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan
global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu
diantisipasi penanganannya. Diperkirakan akan ada 30 kota pantai di
Indonesia yang potensial terkena dampak pemanasan global (20 kota di KBI
dan 10 kota di KTI). Secara umum kenaikan muka air laut akan
mengakibatkan dampak sebagai berikut: (i) meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir, (ii) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan
mangrove, (iii) meluasnya intrusi air laut, (iv) ancaman terhadap kegiatan
44
2.4 Sistem
2.4.1 Teori sistem
Manetsch dan Park (1974) mendefinisikan sistem sebagai satu set
elemen atau komponen yang saling berkaitan sau dengan lainnya dan
terorganisir untuk menghasilkan suatu tujuan. Tiga syarat agar pendekatan
sistem dapat bekerja dengan baik adalah: (1) tujuan sistem ditentukan dengan
pasti, (2) proses pengambilan keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat
dipusatkan dan (3) memungkinkan perencanaan jangka panjang.
Dent dan Blackie (1979) menyatakan bahwa penelitian sistem akan
menyangkut dua hal, yaitu (1) analisis komponen dan hubungannya serta (2)
proses sintesa yang mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan
sistem aslinya. Hal yang penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan
batas sistem agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Pendekatan
sistem menurut Eriyatno (1983) akan memberikan metode yang logis untuk
penanganan masalah, selain itu juga merupakan alat yang memungkinkan untuk
mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi serta mendesain sistem secara
keseluruhan.
Community
Aquatic
environment
HUMAN SYSTEM
Harvester
Fisher Fishing
1 2
groups technology
P F= processing
Community
D= distribution
C Post- D
M= market
harvest W= wholesale
3 M
R (4) R= retail
C= consumers
Household W
(1) User conflicts
Socioeconomic (2) Gear conflicts
environment (3) Community
economics and social
External forces interactions
(e.g. macroeconomic policies) (4) Marketing channels
tiga subsistem, yaitu (1) subsistem usaha perikanan, (2) subsistem pelabuhan
perikanan, fungsionalitas dan aksesibilitas, dan (3) subsistem kebijakan dan
kelembagaan perikanan (Nurani 2008, 2010) (Gambar 5).
Manajemen Manajemen
Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Pelabuhan Perikanan
Kebijakan & Kelembagaan
Fungsionalitas dan
Perikanan
Aksesibilitas
Manajemen
Mendukung
Mendukung
Kebutuhan
Kebutuhan
Usaha Perikanan
Memberikan
manfaat bagi
analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang
menerima manfaat tersebut (Kadariah et al 1978). Lebih lanjut dikatakan bahwa
konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan
kompetitif atau sering disebut “revealed competitive advantage” yang merupakan
pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.
Selanjutnya dikatakan suatu negara atau daerah yang memiliki keunggulan
komparatif atau kompetitif menunjukkan keunggulan baik dalam potensi alam,
penguasaan teknologi, maupun kemampuan managerial dalam kegiatan yang
bersangkutan.
Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah atau negara sangat
tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di
wilayahnya. Nilai strategis setiap sektor di dalam memacu menjadi pendorong
utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Sektor
ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis
dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan
kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar
wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik
untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan
sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani
pasar di daerahnya sendiri, dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang
(Fauzi dan Anna 2005).
daerah perlindungan bagi spesies yang langka dan menindak tegas para
perusak lingkungan.
Besarnya potensi sumberdaya ikan disertai dengan kompleksitas
permasalahan, baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era
pemerintahan orde baru yang sentralistik. Hal ini dicerminkan dengan
kemiskinan yang masih melilit masyarakat nelayan. Adrianto dan Kusumastanto
(2004) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab
ketidakseimbangan dalam pembangunan perikanan Indonesia, yaitu: (1) masih
rendahnya muatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan, yang dicerminkan
dengan 87% perikanan tradisional; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih
kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dengan demikian, agar tercipta
pembangunan perikanan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan perikanan.
Dunia
Nyata
Pemodelan
Dunia
Model
Gambar 6 Intersepsi Dunia Model dengan Dunia Nyata (Fauzi dan Anna 2005).
Identifikasi
Membangun Asumsi
Konstruksi Model
Analisis
Interpretasi
N
Validasi
Implementasi
Tabel 3 (lanjutan)
No Jenis Data Sumber Data Keterangan
9. Nelayan DKP Provinsi Banten dan Dikelompokkan
Kabupaten Serang berdasarkan nelayan
tetap, pendatang,
utama & sambilan
10. Informasi sosial, i) BPS Provinsi Banten
ekonomi & ii) Wawancara dengan nelayan
budaya dan masyarakat sekitar Teluk
Banten
11. Informasi jaringan i) DKP Provinsi Banten dan
pasar hasil Kabupaten Serang
perikanan ii) Wawancara dengan
tangkap pedagang dan pengolah ikan
12. Informasi i) Survei lapang
keberadaan ii) Wawancara
lembaga formal
dan non formal
pengelola
kawasan
13. Informasi i) DKP Provinsi Banten dan
kebijakan Kabupaten Serang
pemerintah ii) Penyebaran kuesioner
daerah terkait untuk analisis SWOT dan
pengelolaan AHP
perikanan
tangkap
146 orang), dogol (3 orang, atau 9% dari 32 orang), bagan perahu (4 orang, atau
8% dari 24 orang), bagan tancap (1 orang, atau 4% dari 52 orang), payang (6
orang, atau 5% dari 120 orang), pancing ulur (2 orang, atau 6% dari 24 orang),
sero (1 orang, atau 2% dari 45 orang), dan rampus (6 orang, atau 7% dari 40
orang). Jumlah sampel diambil secara purposive sampling sehingga dianggap
mewakili populasi yang ada.
Data yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah daerah terkait
dengan pengelolaan Teluk Banten dikumpulkan dengan cara menyebarkan
kuesioner kepada 9 responden yang dianggap mewakili populasi (purposive
sampling) untuk kebutuhan analisis SWOT. Kesembilan responden tersebut
terdiri dari tujuh orang staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang,
dan dua orang staf PPN Karangantu. Adapun untuk kebutuhan analisis AHP,
kuesioner disebarkan kepada 11 responden, terdiri dari pemilik kapal (satu
orang), petugas TPI (satu orang), staf DKP Provinsi Banten (dua orang), kepala
dan staf DKP Kabupaten Serang (tujuh orang).
Data sekunder bersumber dari berbagai hasil-hasil penelitian sebelumnya
dan atau laporan-laporan institusional pada sejumlah sektor produksi yang ada.
Sektor produksi yang dimaksud, tidak saja pada kelompok sektor primer akan
tetapi juga mencakup kelompok sektor sekunder dan tersier. Jenis data sekunder
yang dibutuhkan untuk keperluan penyusunan profil investasi ini antara lain
menyangkut potensi produksi, potensi kebutuhan pasar baik lokal/domestik
maupun pasar ekspor, potensi ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya
manusia, harga produk untuk pasar lokal/domestik dan ekspor. Studi literatur
terhadap model pengelolaan dan pengembangan wilayah serta identifikasi faktor-
faktor pengembangan kawasan; dan diskusi dengan pakar dan narasumber.
q 2 Kf 2
Y qKf (3-1)
r
Keterangan:
r = recruitment
K = carrying capacity
q = fishing capacity
f = Effort
Kapal A sering disebut sebagai kapal standar, sehingga apabila jumlah kapal A
(NA) dan jumlah kapal B (NB) maka upaya penangkapan secara keseluruhan
adalah:
Ftotal 1.0 * NA PA( B) * NB (3-6)
TR TC pY cf (3-9)
Keterangan:
Ci = Jumlah produksi jenis ikan i pada lokasi penelitian
Ct = Jumlah produksi jenis ikan i pada Provinsi Banten
Yl = Total produksi seluruh jenis ikan pada lokasi penelitian
Yp = Total produksi seluruh jenis ikan pada Provinsi Banten
Keputusan yang diambil semakin besar nilai IS, maka akan semakin tinggi tingkat
spesialisasi sektoral/komoditi di wilayah tersebut yang terkonsentrasi pada
sektor-sektor yang mempunyai nilai selisih persentase positif.
3.4.2.4 Deskriptif
Analisa secara deskriptif dilakukan dengan menggunakan pendekatan
metode skoring, dilakukan terhadap beberapa parameter yang bisa dijadikan
acuan yang menunjukkan komoditi unggulan yaitu nilai produksi, harga, wilayah
pemasaran, dan nilai tambah tiap sumber daya ikan yang menguntungkan
secara bionomi, yang selanjutnya dilakukan standarisasi fungsi nilai. Parameter
nilai produksi didasarkan pada tinggi rendahnya nilai produksi pada jenis ikan
unggulan. Skor 1 diberikan pada jenis ikan yang memiliki nilai produksi tertinggi
diantara komoditi unggulan, dan skor 0 pada jenis ikan yang memiliki nilai
produksi terendah. Jenis ikan yang memiliki nilai produksi diantara nilai terendah
dan tertinggi diberi skor sesuai dengan hasil perhitungan fungsi nilai.
Penentuan skor pada parameter harga ikan, sama dengan parameter nilai
produksi, yaitu didasarkan pada tinggi rendahnya harga jual ikan diantara
komoditi unggulan. Skor 1 diberikan pada jenis ikan yang memiliki harga jual
ikan tertinggi diantara komoditi unggulan, dan skor 0 pada jenis ikan yang
memiliki harga jual ikan terendah. Jenis ikan yang memiliki harga jual diantara
nilai terendah dan tertinggi diberi skor sesuai dengan hasil perhitungan fungsi
nilai.
Wilayah pemasaran didasarkan pada jangkauan pemasaran yaitu lokal,
nasional, dan internasional (ekspor). Jangkauan pasar lokal diberi skor 1,
nasional diberi skor 2, dan internasional (ekspor) diberi skor 3.
Penilaian terhadap adanya nilai tambah pada ikan didasarkan pada ada
tidaknya produk lanjutan (produk olahan setelah produk segar pasca
penangkapan) dan jumlah tenaga kerja yang terlibat (selain ABK). Skor 1
diberikan pada produk ikan yang dijual hanya dalam bentuk segar dan tidak ada
67
tenaga kerja yang dilibatkan, skor 2 diberikan pada produk ikan yang dijual dalam
bentuk segar, olahan asin kering maupun rebus dengan melibatkan tenaga kerja
kurang dari lima orang, dan skor 3 diberikan pada produk ikan yang dijual dalam
bentuk segar, olahan asin kering maupun rebus dengan melibatkan tenaga kerja
lebih dari lima orang.
Xi = kriteria ke-i
Selanjutnya fungsi nilai masing-masing kriteria pada tiap alat tangkap di
jumlahkan, dan dirata-ratakan untuk mendapatkan urutan ranking. Alat tangkap
yang memiliki fungsi nilai tertinggi adalah alat tangkap yang paling ramah
lingkungan.
Aspek biologi meliputi: (i) tidak merusak habitat, tempat tinggal dan
berkembang biak ikan dan organisme lainnya; (ii) menghasilkan ikan yang
bermutu baik; (iii) produk tidak membahayakan konsumen; (iv) alat tangkap tidak
membahayakan keanekaan sumber daya hayati (biodiversity); dan (v) tidak
menangkap jenis yang dilindungi undang-undang atau terancam punah. Aspek
teknik meliputi: (i) selektivitas alat tangkap terhadap jenis ikan; (ii) tidak
membahayakan nelayan yang menangkap ikan; dan (iii) hasil tangkapan yang
terbuang minimum (minimum bycatch). Aspek sosial yang dianalisis adalah (i)
tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan (ii) jumlah tenaga kerja yang
terserap. Tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dalam hal ini alat
tangkap dioperasikan secara legal, yaitu (i) beroperasi di daerah penangkapan
yang diijinkan; (ii) mengoperasikan jenis alat yang ditetapkan; (iii)
mengoperasikan ukuran alat yang diijinkan; (iv) mengoperasikan jumlah alat
yang ditentukan; dan (v) memiliki kelengkapan dokumen usaha. Skor yang
diberikan untuk aspek sosial adalah satu, apabila memenuhi kurang dari tiga
syarat yang ditetapkan; dua, apabila memenuhi tiga syarat yang ditetapkan; tiga,
apabila memenuhi empat syarat yang ditetapkan; empat, apabila memenuhi
seluruh syarat yang ditetapkan.
Aspek ekonomi meliputi: (i) biaya investasi murah; dan (ii) usaha
menguntungkan secara ekonomi (profitable). Selanjutnya analisis teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan dilanjutkan dengan analisis keberlanjutan
(sustainable fisheries) yang dilakukan secara deskriptif, didasarkan pada kriteria
(Simbolon 2004):
1) Mengikuti ketentuan total allowable catch;
2) Kontinuitas produksi tejamin;
3) Pasar/pembeli yang terjamin dan jelas.
69
Tabel 4 (Lanjutan)
Tabel 4 (Lanjutan)
9. Diterima secara Penerimaan masyarakat terhadap suatu alat
sosial tangkap, akan sangat tergantung pada kondisi
sosial, ekonomi, dan budaya di suatu tempat.
Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat
bila: (1) biaya investasi murah, (2)
menguntungkan secara ekonomi, (3) tidak
bertentangan dengan budaya setempat, (4) tidak
bertentangan dengan peraturan yang ada.
Pembobotan kriteria ditetapkan dengan menilai
kenyataan di lapangan bahwa:
i) Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir 1
persyaratan di atas
ii) Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir 2
persyaratan di atas
iii) Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir 3
persyaratan di atas
iv) Alat tangkap memenuhi semua persyaratan di 4
atas
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan 2006.
yang digunakan telah diolah dengan analisa split windows dengan pemrosesan
citra kanal 4 dan 5 menggunakan algoritma Mc.Millin & Crosby: SPL=T4+2,702
(T4-T5)-0,582.
Citra klorofil-a merupakan data sensor visible MODIS (Moderate-
resolution Imaging Spectroradiometer) periode Januari 2007–Desember 2008
(citra komposit bulanan) dalam format GAC (Global Area Coverage) yang
kemudian dibatasi pada daerah pengamatan dengan batasan geografis 5°53’07”-
6°01’49” LS dan 106°04’30”-106°16’39” BT. Data ini bersumber dari
website:http://gsfc.nasa.gov/. Untuk memudahkan pengamatan pola sebaran
klorofil-a, maka nilai digital klorofil-a pada citra diolah tersendiri dan bisa di-
overlay pada citra, sehingga dapat menampilkan kontur nilai sebaran klorofil-a.
Fitoplankton (klorofil-a) perairan merupakan salah satu komponen biologi
laut yang penting terutama untuk memetakan potensi sumber daya hayati laut.
Hal ini didukung oleh kondisi bahwa cahaya di perairan Indonesia cukup banyak
sepanjang tahun, sehingga apabila terjadi sedikit kenaikan atau penurunan
kandungan klorofil perairan maka ini adalah diakibatkan oleh proses oseanografi
termasuk adanya perubahan kontribusi jumlah kandungan zat makanan dari
daratan. Sedangkan populasi plankton dapat berubah dari tahun ke tahun, terkait
dengan perubakan iklim musiman dan tahunan.
Adapun kondisi perairan dan dampak lingkungan dianalisis berdasarkan
hasil-hasil penelitian yang telah ada dilengkapi dengan data citra terkini. Seluruh
analisis selanjutnya dipetakan untuk masing-masing pemanfaatan kawasan
sehingga terlihat kesesuaiannya ataukah terjadi tumpah tindih pemanfaatan,
dengan menggunakan metode GIS. Tahapan yang dilakukan dalam metode GIS
adalah pengumpulan data dengan melakukan verifikasi di lapangan,
pengambilan data posisi setiap aktifitas yang ada di kawasan Teluk Banten,
penentuan kriteria, digitasi, dan penyusunan zona. Kesesuaian pemanfaatan
kawasan dikaji berdasarkan rencana tata ruang kawasan perairan Teluk Banten
yang dibuat Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Serang.
Berbagai peluang
Kuadran IV Kuadran II
(mendukung strategi defensif) (mendukung strategi diversifikasi)
Berbagai ancaman
menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi. Salah satu dari empat
set kemungkinan alternatif strategis inilah yang diharapkan dari analisis SWOT
untuk digunakan dalam strategi suatu instansi.
Empat set alternatif strategis yang dihasilkan dari matriks SWOT adalah
sebagai berikut:
1) Strategi SO
Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran instansi, yaitu dengan
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang
yang sebesar-besarnya.
2) Strategi ST
Merupakan strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh instansi
untuk mengatasi ancaman.
3) Strategi WO
Strategi ini dimanfaatkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada
dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
4) Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
IFAS
STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
Tentukan faktor-faktor Tentukan faktor-faktor
EFAS kekuatan internal kelemahan internal
daerah pemasaran dan memberi label khas bagi kawasan. Sedangkan faktor
eksternal meliputi masalah kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas
otonomi daerah, perdagangan bebas, serta otonomi daerah. Formulasi strategi
disusun dengan cara menentukan faktor-faktor strategis eksternal, menentukan
faktor-faktor strategis internal dan perumusan alternatif strategi.
Prioritas strategi yang akan dilaksanakan diperoleh dengan
menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah pertama yang
dilakukan dalam AHP adalah penyusunan struktur hierarki. Struktur hierarki
dilakukan dengan mengawali tujuan umum sebagai tujuan utama (level 1),
dilanjutkan dengan sub tujuan/kriteria (level 2) dan kemungkinan alternatif pada
tingkatan kriteria paling bawah (level 3). Langkah selanjutnya adalah membuat
skala banding berpasang, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang ada
dengan beberapa alternatif yang ditawarkan. Skala banding berpasang ini dibuat
berdasarkan tingkatan kualitatif dari sub kriteria yang dikuantitatifkan dengan
tujuan untuk mendapatkan suatu skala baru yang memungkinkan untuk
melakukan perbandingan antar beberapa alternatif. Analisis banding berpasang
secara menyeluruh merupakan analisis perbandingan dari dua kriteria utama
yang digunakan dalam analisis ini. Sistem pembobotan pada skala banding
berpasang menggunakan tabel panduan skala banding berpasang seperti
disajikan pada Tabel 5.
Prinsip konsistensi logis harus dilakukan mengingat konsistensi sangat
penting dalam pengambilan keputusan. Konsisten memiliki dua makna yaitu:
pertama, obyek yang serupa dikelompokkan sesuai keragaman dan
relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-
obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi
menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (consistency
ratio: CR). Nilai rasio konsistensi tidak lebih dari 10%. Jika rasio konsistensi
lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungkin acak dan perlu diperbaiki (Saaty
1993 dan Marimin 2004). Nilai indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai 10
yang digunakan untuk menentukan rasio konsistensi (CR) seperti tercantum
pada Tabel 6.
79
Tabel 6 Nilai Random Consistency Index (RI) untuk Jumlah Elemen (n) 1 sampai
dengan 10
N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Keterangan:
Xj = Jenis alat tangkap ke-i 5 = Payang (Py)
1 = Gill net (Gn) 6 = Pancing ulur (Pc)
2 = Dogol (Dg) 7 = Sero (Sr)
3 = Bagan tancap (Bt) 8 = Rampus (Rp)
4 = Bagan perahu (Bp) CPUE = Catch per unit effort (hasil tangkapan
tiap upaya penangkapan)
CPUEX
i 1
i C MSYij atau
Y * v j C msy (i )
n n
ij (3-16)
i 1 j 1
Keterangan:
Yij = Produktivitas alat tangkap j terhadap ikan i (CPUEij)
vj = Jumlah jenis alat tangkap j
Cmsy(i) = Hasil tangkapan maksimum lestari
FPI * v j E msyi
n n
ij (3-17)
i 1 j 1
Keterangan:
FPIij = daya tangkap alat tangkap j terhadap jenis ikan i
Vj = Jumlah jenis alat tangkap j
Emsy (i) = upaya penangkapan maksimum lestari
JTK X
i 1
i i TK (3-18)
Keterangan:
JTK = Jumlah tenaga kerja tiap jenis alat tangkap i (orang/unit)
TK = Jumlah tenaga kerja yang dapat terserap (orang)
dan rampus dihitung dengan pendekatan luas sapuan trammel net yang
berbentuk seperempat lingkaran dengan radius/jari-jarinya adalah panjang jaring
(Gunaisah 2008). Luas sapuan:
L 1 / 4 r 2 (3-19)
Luas sapuan dogol dihitung berdasarkan luas sapuan trawl (swept area) (Spare
and Venema 1998):
a D hr X 2 ; (3-20)
D V t
Keterangan:
a = Luas sapuan dogol
V = Kecepatan penarikan jaring pada permukaan dasar
hr = Panjang tali ris atas
t = Lama penarikan jaring
X2 = Fraksi panjang ris atas (X2=0.5, Pauly 1980)
hr x X2 = Bukaan sayap/lebar alur yang disapu trawl
Luas sapuan bagan tancap dihitung berdasarkan luas jaring yang berbentuk
bujur sangkar, dengan pertimbangan bahwa lampu petromaks (4 unit) dipasang
berada kurang lebih 50 cm hingga 100 cm di atas permukaan air, sehingga daya
pancar cahaya petromaks tidak melebihi luas area jaring. Luas area bagan
tancap:
L pl (3-21)
Luas bagan perahu dihitung berdasarkan jarak pancar lampu tembak yang
dihidupkan pertama kali, yang melebihi panjang kapal penangkap, didekati
dengan luas bujur sangkar jaring penangkap. Luas area bagan perahu:
L pl (3-22)
Luas payang dihitung berdasarkan luas lingkaran, dengan pertimbangan bahwa
jaring payang dioperasikan dengan melingkari area penangkapan. Luas area
payang:
L r 2 (3-23)
Luas pancing ulur, didekati berdasarkan ukuran panjang kapal yang digunakan,
dengan pertimbangan bahwa pancing yang berpengaruh adalah kedalaman
mata pancing. Apabila tali pancing terdorong oleh arus lebar sapuan tidak
melebihi dari panjang kapalnya. Luas area pancing ulur:
L LOAkapal (3-24)
83
Luas sero, dihitung berdasarkan ukuran panjang penaju dan lebar sayap alat
tangkap. Dengan demikian luas area penangkapan seluruh alat tangkap dihitung
dengan menggunakan rumus:
n
A X
i 1
i i LA (3-25)
Keterangan:
Ai = Luas area penangkapan tiap jenis alat tangkap
LA = Luas area total Teluk Banten
Riset
Citra
Harga Nilai Wilayah Nilai By
Effort Produksi UPI MPI SAT Ekologi SPL & Kebijakan
ikan produksi pasar tambah catch
klorofil
Surplus Produksi
LQ dan IS Multi kriteria MODIS SWOT
MSY
IMP Strategi
SPL &
klorofil-a
Bionomi AHP
Deskriptif Musim
1) Gillnet
(i) Konstruksi
Gillnet yang ada di Teluk Banten terdiri dari jaring milenium, jaring
puslon/silir (hasil wawancara dengan nelayan), dan bottom gillnet (jaring
rajungan) yang masing-masing memiliki ikan tujuan tangkap yang berbeda.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, jaring milenium dioperasikan
untuk menangkap ikan tongkol dan bawal sebagai tangkapan utama, serta ikan
kakap, dan tengiri sebagai hasil tangkapan sampingan. Jaring puslon ditujukan
untuk menangkap ikan kembung banjar, tongkol, dan tenggiri, sedangkan jaring
rajungan untuk menangkap rajungan.
Jaring milenium berukuran panjang 30 m dan tinggi 9 m, dengan ukuran
mata jaring sebesar 37,8 inchi. Jaring puslon memiliki panjang kurang lebih 1
km, dan tinggi sekitar 11 m. Konstruksi jaring puslon berbeda dengan jaring
milenium, jika jaring milenium memiliki satu jenis benang di seluruh tubuh jaring,
sedangkan jaring puslon berbeda. Satu badan jaring puslon terdiri dari tiga
ukuran benang dan jumlah mata yang berbeda. Dua puluh lima mata bagian atas
menggunakan benang no. 6D, bagian tengah sebanyak 300 mata dengan
benang no. 3, dan bagian bawah sebanyak 25 mata dengan benang no. 6, di
bagian bawah jaring dilengkapi dengan batu yang terbuat dari semen, berfungsi
sebagai pemberat.
91
Rampus
17% Gill net
27%
Sero
8%
Pancing Dogol
6% 6%
Bagan Perahu
Payang 10%
22%
Bagan Tancap
4%
Jaring rajungan memiliki panjang 400 m dan tinggi 1 m, dengan ukuran mata
jaring sebesar 4 inchi. Bahan jaring terbuat dari nilon bernomor 25. Konstruksi
masing-masing tipe gillnet dapat dlihat pada Lampiran 3.
2) Dogol
(i) Konstruksi
Jenis alat tangkap dogol di Karangantu terdiri dari dogol/cantrang, dan
lampara dasar. Bentuk dan konstruksi cantrang dan lampara dasar umumnya
92
3) Bagan Tancap
(i) Konstruksi
Komponen bagan terdiri dari bangunan bagan, jaring bagan (waring), dan
alat pendukung (petromaks, tali pengantung petromaks, keranjang ikan, dan
serok). Bangunan bagan terbuat dari bambu dengan diameter 8-10 cm, setiap
bangunan bagan umumnya memiliki tiang pancang yang berjumlah 24 atau 25
batang. Berdasarkan wawancara dengan nelayan setempat, ukuran bangunan
bagan bervariasi dari 9 x 9 m hingga 12 x 12 m.
Waring sebagai komponen penting kegiatan penangkapan bagan, terbuat
dari polyamide monofilament berwarna hitam dengan ukuran mata jaring 0,3-0,5
cm, dan panjang 12-13 m. Supaya waring atau jaring bagan dapat terbentang
dengan sempurna maka pada bagian tepi waring dibuat bingkai dari bambu
dengan ukuran 10 x 10 m. Bila panjang waring 13 m dan bingkainya berukuran
10 m maka tinggi waring diperkirakan mencapai 2 m (Lampiran 5). Bambu
bingkai waring biasanya dilubangi pada setiap ruasnya. Hal ini bertujuan agar
rongga-rongga bambu dapat terisi oleh air, sehingga bambu menjadi berat
mudah tenggelam dengan cepat. Pada bagian tengah dari alat tangkap bagan
terdapat bangunan yang menyerupai gubuk/rumah bagan. Bangunan ini
berfungsi untuk berlindung bagi nelayan dari terpaan angin dan hujan. Selain itu,
93
rumah bagan ini juga berfungsi sebagai tempat istirahat bagi nelayan pada sela
waktu setting hingga hauling.
Lampu petromaks merupakan sumber cahaya dan alat bantu utama
kegiatan penangkapan bagan tancap. Jumlah petromaks yang digunakan oleh
nelayan rata-rata 4 unit. Petromaks ini dipasang di bagian tengah bangunan
bagan. Bahan bakar petromaks umumnya menggunakan minyak tanah, namun
nelayan di Teluk Banten menggunakan campuran solar dan minyak tanah,
dikarenakan kelangkaan minyak tanah.
4) Bagan Perahu
(i) Konstruksi
Bagan perahu yang ada di Teluk Banten memiliki karakteristik tersendiri.
Kapal motor berukuran 15 x 3 x 1 m, dengan mesin inboard berkekuatan 30 PK
dilengkapi dengan waring berukuran 9 m2 dengan mesh size sebesar 2 inchi.
Lampu sebanyak 13 buah terdiri dari lampu tembak 3 buah, lampu kap sebanyak
9 buah, dan lampu pengantar sebanyak 1 buah. Masing-masing lampu
berkekuatan 190 watt (Lampiran 6).
5) Payang
(i) Konstruksi
Konstruksi payang tingker tidak berbeda dengan jenis payang lain yang
ada di Indonesia, hanya payang ini dilengkapi dengan lampu sebagai alat bantu
penangkapan. Payang terdiri dari dua buah sayap, badan, dan kantong. Pada
bagian sayap, menggunakan jaring dengan mesh size 10 dan 12 inchi, badan
jaring menggunakan mesh size 4, 1,5, 1,25, dan 1 inchi yang dipasang
berurutan, sedangkan kantong menggunakan ukuran mata jaring 0,75 dan 0,5
inchi. Dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari busa karet, dan pemberat
dari batu (Lampiran 7). Kapal dilengkapi dengan lampu sebanyak 6-8 lampu,
95
dengan kekuatan sebanyak 10.000 watt yang dinyalakan dengan genset dan
dinamo.
6) Pancing Ulur
(i) Konstruksi
Konstruski pancing ulur di Teluk Banten berbeda-beda, baik yang berasal
dari TPI Karangantu maupun TPI Terate (Lampiran 8). Di Karangantu, pancing
ulur hanya digunakan untuk menangkap ikan tengiri dan kembung, sedangkan di
Terate tidak memiliki konstruksi khusus untuk ikan tertentu. Spesifikasi pancing
ulur di Teluk Banten dapat dilihat pada Tabel 10, menunjukkan bahwa pancing
ulur benar-benar selektif karena konstruksi alat tangkap disesuaikan dengan ikan
tujuan tangkap.
7) Sero
(i) Konstruksi
Sero terdiri dari empat bagian penting yaitu penajo, sayap, badan, dan
bunuhan. Sayap beukuran panjang kurang lebih 30 m, terbuat dari benang
polyethylen (PE) no.9 dengan diameter mata jaring 1,5 inchi. Badan terdiri dari
kamar-kamar, dengan jumlah yang bervariasi. Penajo berfungsi untuk
menghalangi jalannya ikan, terbuat dari benang no. 9, dengan diameter mata
jaring 2,5 inchi (Lampiran 9).
96
8) Rampus
(i) Konstruksi
Konstruksi rampus sama dengan gillnet yang lain, setiap nelayan memiliki
ukuran rampus yang berbeda-beda. Ada yang memiliki rampus dengan panjang
100 mata dan tinggi 200 mata. Jaring terbuat dari benang bernomor 26, dengan
ukuran mata jaring sebesar 2 inchi pada seluruh tubuh jaring (webbing). Jika
perahu besar ada yang membawa rampus sebanyak 12 piece, satu piece
berukuran panjang 60 m dan tinggi 4,5 m, ukuran mata jaring 5 inchi dan benang
97
bernomor 100 warna putih. Dilengkapi dengan pelampung, dan pemberat yang
terbuat dari timah. Rampus jenis ini dipasang menetap di dasar perairan,
sebagai jangkar digunakan batu seberat lebih kurang 10 kg. Beberapa nelayan,
pada webbingnya menggunakan mesh size 1,75 inchi, dan 4 inchi (Lampiran 10).
Alat tangkap dengan ukuran yang berbeda ini tidak dibawa secara bersamaan
tetapi tergantung musim ikan tujuan tangkap, ukuran mata jaring 1,75 inchi
digunakan untuk menangkap kembung, pepetek, dan kuro.
4.2.1 Batimetri
Wilayah perairan bagian utara Banten berada di atas dangkalan Sunda
Besar, yang menghubungkan diantara pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa,
dengan kedalaman kurang dari 40 m. Kedalaman di Laut Jawa umumnya
meningkat kearah timur, dimana di bagian dekat pantai Sumatera memiliki
kedalaman sekitar 20 m, sedangkan semakin kearah timur kedalamannya dapat
mencapai 60 m. Di kawasan Teluk Banten kedalaman perairan umumnya
kurang dari 10m, kecuali di bagian baratdaya Pulau Panjang sekitar 12 m.
Pada bagian utara perairan antara Teluk Banten dan pantai Lontar,
perubahan pola batimetri dapat terjadi secara cepat yang terkait dengan adanya
aktivitas penambangan pasir laut di wilayah perairan itu. Apabila terjadi
penambangan pasir laut secara intensif, maka batimetri perairan di sekitar
wilayah itu akan berubah. Kubangan dasar laut yang terbentuk akan terisi oleh
sedimen hasil longsoran dari sekitarnya karena adanya arus dasar perairan.
Arah longsoran sedimen dan lamanya waktu untuk pengisian sedimen terhadap
99
kubangan tersebut akan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti arah dan
kekuatan arus dasar perairan, dan lerengan dasar laut.
negatif, yang berarti angin Muson bertiup kearah barat. Di bagian utara Banten
rerata kecepatan maksimum angin Muson lebih tinggi terjadi dalam periode
musim barat (sekitar 7 m/s). Di bagian selatan Banten tiupan angin dari arah
Tenggara berlangsung lebih lama dengan rerata kecepatan angin mencapai 7
m/s.
Angin Muson yang bertiup di atas permukaan laut dapat menyeret massa
air permukaan sehingga menimbulkan arus laut yang dikenal sebagai arus
Musim, serta gelombang permukaan. Di wilayah utara dan selatan perairan
Banten, penumpukan massa air yang dibawa arus musim ini dapat menimbulkan
perbedaan tinggi muka antara bagian utara Selat Sunda dengan bagian
selatannya. Dalam periode musim Timur perbedaan tinggi muka laut ini
mencapai sekitar 10 cm, dimana ujung utara Selat Sunda lebih tinggi dari pada
ujung selatannya. Sebaliknya, dalam periode musim Barat, tinggi muka laut di
bagian selatan lebih tinggi dari bagian utaranya. Perbedaan tinggi muka laut ini
dapat terbentuk arus yang mengalir kearah selatan dalam musim Timur dan ke
utara dalam musim Barat.
suhu terendah terdapat pada bulan Desember dan suhu tertinggi pada bulan
April, sedangkan pada tahun 2008 suhu terendah 27,06ºC di bulan Februari dan
suhu tertinggi 30,67ºC di bulan Mei (Gambar 12). Sebaran SPL berdasarkan
musim penangkapan menunjukkan suatu pola. Pada saat musim barat
(November-Januari) suhu berkisar 29-30 ºC, musim peralihan dari barat ke timur
antara (Pebruari-April) 28,5-31 ºC, musim timur (Mei-Juli) 30-31 ºC, namun pada
tahun 2008 menunjukkan ada pergeseran yaitu suhu menjadi lebih dingin
sebesar 28,5-29,5 ºC. Pada saat musim peralihan timur ke barat (Agustus-
Oktober) pada tahun 2008 menunjukkan terjadinya kenaikan suhu kembali
menjadi sebesar 29-31 ºC, kondisi ini agak berbeda dengan tahun 2007 yang
berkisar 29-30 ºC. Berdasarkan hasil pengolahan data citra MODIS Aqua tahun
2007-2008 diperoleh nilai klorofil-a perairan Utara Teluk Banten seperti terlihat
pada Gambar 13.
Pada Gambar 13 terlihat bahwa nilai klorofil-a terendah 0,29 mg/m3 pada
bulan April 2007 dan tertinggi 5,06 mg/m3 pada bulan Juli 2008. Tingginya nilai
klorofil ini disebabkan oleh data yang ada di pantai tidak dibersihkan. Suburnya
perairan di daerah pantai karena dipengaruhi oleh pasokan nutrien yang berasal
dari darat melalui aliran sungai yang bermuara ke perairan Teluk Banten, yaitu
sungai Cibanten dan Ciujung serta beberapa sungai kecil. Kondisi ini sama
dengan apa yang terjadi di Teluk Jakarta. Afdal dan Riyono (2008), menyatakan
bahwa eutrofikasi (peningkatan unsur hara/nutrien yaitu fosfat, nitrat dan silikat)
sangat jelas terlihat di depan muara-muara sungai. Konsentrasi klorofil-a
merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan indikator terjadinya
eutrofikasi. Nilai rata-rata klorofil-a pada tahun 2008 adalah 0,38 mg/m3, masih
dikatakan tinggi. Tingginya konsentrasi kolorofil-a ini dipengaruhi oleh terjadinya
pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan perairan melalui berbagai proses
dinamika massa air, diantaranya upwelling, percampuran vertikal massa air serta
pola pergerakkan massa air, yang membawa massa air kaya nutrien dari
perairan sekitarnya. Kandungan klorofil juga sangat dipengaruhi oleh cahaya,
oksigen dan karbohidrat.
Pola sebaran klorofil-a selama tahun 2007-2008 juga hampir sama, hanya
pada bulan Agustus yang cenderung memiliki nilai klorofil-a tinggi. Pada bulan
Mei 2008 terlihat nilai klorofil-a yang sangat kecil yaitu di bawah 1 mg/m3.
102
32.00
31.00
30.00
SPL (oC)
29.00
28.00
27.00
26.00
ei
ei
pt
ar
ar
l
n
n
ov
ov
p
Ju
Ju
Ja
Ja
Se
M
M
M
Se
N
N
2007 2008
7.00
6.00
5.00
Klorofil-a (mg/m3)
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
ei
ei
ar
ar
l
l
n
n
ov
ov
p
p
Ju
Ju
Ja
Ja
Se
Se
M
M
M
M
N
2007 2008
Tabel 11 Hasil Analisis Potensi Sumber Daya Ikan (Schaefer) di Teluk Banten
Komponen Peluang
Jenis Ikan C act CMSY EMSY E act TP TU Pengem-
(ton) (ton/th) (trip/th) (trip/th) (%) (%) bangan
Pelagis
Teri 222,77 272,36 4.411 3.110 81,79 70,51 Sedang
Lemuru 27,94 36,28 4.593 2.593 77,01 56,46 Tinggi
Selar 108,82 146,84 2.466 2.642 74,11 107,14 Tinggi
Tenggiri 22,77 35,44 2.250 2.106 64,25 93,60 Tinggi
Kembung 166,39 263,27 7.565 4.416 63,20 58,37 Tinggi
Layang 40,84 76,85 4.686 6.263 53,14 133,65 Tinggi
Belanak 23,19 48,71 5.353 4.705 47,61 87,89 Sangat tinggi
Cucut 8,07 17,11 3.719 3.716 47,17 99,92 Sangat tinggi
Tembang 294,03 633,18 6.103 6.945 46,44 113,80 Sangat tinggi
Cumi-cumi 144,17 363,86 13.731 3.282 39,62 23,90 Sangat tinggi
Tongkol 31,11 82,76 3.779 3.068 37,59 81,19 Sangat tinggi
Demersal ,
Kurisi 116,76 141,22 1.328 1.404 82,68 105,72 Sedang
Pari 15,00 18,43 1.589 1.621 81,39 102,01 Sedang
Beloso 41,51 54,18 1.785 1.543 76,61 86,44 Tinggi
Kakap merah 14,10 18,47 1.612 1.111 76,34 68,92 Tinggi
Kuwe 22,27 29,51 2.130 1.355 75,47 63,62 Tinggi
Ekor kuning 2,20 3,01 523 655 73,09 125,24 Tinggi
Layur 58,36 85,33 1.443 1.752 68,39 121,41 Tinggi
Bawal hitam 6,53 12,52 1.154 1.531 52,16 132,67 Tinggi
Pepetek 447,28 877,54 1.755 2.363 50,97 134,64 Tinggi
Udang 21,09 46,22 6.699 5.541 45,63 82,71 Sangat tinggi
Manyung 23,71 52,97 3.784 4.221 44,76 111,55 Sangat tinggi
Rajungan 62,67 141,90 7.754 6.265 44,16 80,80 Sangat tinggi
Keterangan:
C act: hasil tangkapan aktual; CMSY: produksi pada tingkat MSY; EMSY: upaya
penangkapan pada tingkat MSY; E act: upaya penangkapan aktual; TP: tingkat
pemanfaatan; TU: tingkat upaya penangkapan; kriteria peluang pengambangan: sangat
tinggi jika TP < 50%, tinggi jika 50% ≤ TP < 80%, sedang jika 80% ≤ TP < 100%, dan
rendah jika TP ≥ 100%.
Kondisi sumberdaya ikan demersal juga sama seperti ikan pelagis, pada
Gambar 15 terlihat bahwa dengan penambahan upaya penangkapan
menyebabkan terjadinya penurunan hasil tangkapan. Rajungan merupakan
salah satu komoditi ikan demersal yang memiliki peluang pengembangan sangat
tinggi, karena potensinya yang cukup besar (141,90 ton/th), namun tingkat
pemanfaatannya masih rendah (44,16%). Hanya saja perlu kehati-hatian
mengingat tingkat upaya penangkapan telah melebihi 80%.
105
0.10
0.10 0.25
y = -2E-06x + 0.053
CPUE (ton/trip)
CPUE (ton/Trip)
0.08
CPUE (ton/trip)
y = -5E-06x + 0.0696 0.08 0.20
R2 = 0.0642 y = -2E-05x + 0.2075
R2 = 0.6798
0.06 0.06 0.15 R2 = 0.9365
0.04 0.04 0.10
0.02 0.02 0.05
0.00 0.00 0.00
0 5000 10000 15000 0 2000 4000 6000 8000 0 5000 10000 15000
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Kembung Cumi-cumi Tembang
0.08
0.12 y = -1E-05x + 0.1235 CPUE (ton/trip) 0.15 y = -2E-05x + 0.1191
CPUE (ton/trip)
CPUE (ton/trip)
CPUE (ton/trip)
CPUE (ton/trip)
R2 = 0.1347 0.03
0.03 R2 = 0.7666 0.02
0.02
0.02 0.01 0.02
0.01
0.01 0.01
0.01
0.00 0.00 0.00
0 2500 5000 7500 10000 0 2000 4000 6000 0 1000 2000 3000 4000
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Layang Lemuru Tengiri
y = -1E-06x + 0.0092
CPUE (ton/trip)
0.02
0.02 R2 = 0.4149
0.01
0.01
0.01
0.01
0.00 0.00
0 5000 10000
-0.01 0 2500 5000 7500 10000 12500 -0.01
Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Belanak Cucut
CPUE (ton/trip)
0.16
R2 = 0.373 1.00
CPUE (ton/trip)
0.14 0.06 y = -0.0003x + 1.0002
CPUE (ton/trip)
0.12 0.80
R2 = 0.8578
0.10 0.04 0.60
0.08
y = -8E-05x + 0.2127 0.02 0.40
0.06
0.04 R2 = 0.8408 0.20
0.02 0.00 0.00
0.00 0 5000 10000 15000 20000 0 1000 2000 3000 4000
-0.02
0 500 1000 1500 2000 2500
Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Effort (trip/th)
Kurisi
Rajungan Pepetek
y = -7E-06x + 0.0232
CPUE (ton/trip)
y = -7E-06x + 0.0229
CPUE (ton/trip)
0.03 0.02 R2 = 0.6645 0.03
0.02 R2 = 0.2316 y = -1E-06x + 0.0138
0.02 0.02
0.02 0.01 R2 = 0.3785
0.02
0.01 0.01 0.01
0.01 0.00 0.01
0.00 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0.00
0 1000 2000 3000 0 2500 5000 7500 10000 12500 15000
y = -4E-05x + 0.1183
0.03 0.10
0.04 y = -6E-06x + 0.0277 R2 = 0.8553
CPUE (ton/trip)
CPUE (ton/trip)
0.03 R2 = 0.3465
0.02 R2 = 0.5828 0.06
0.02 0.02
0.04
0.01
0.01 0.02
0.01
0.00 0.00 0.00
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -0.01 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -0.02 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Kuwe Bawal Hitam Layur
0.01
y = -1E-05x + 0.0115 0.04
CPUE (ton/trip)
0.03
0.01 0.04 R2 = 0.7893
0.00 0.03 0.02
0.02 0.01
0.00
0.01
0.00 0.00
0.00
0 250 500 750 1000 1250 0 2500 5000 7500 10000
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 -0.01
Effort (trip/th) Effort (trip/th) Effort (trip/th)
Ekor Kuning Beloso Manyung
300 6000
Catch (Ton/th)
250 5000
200 4000
150 3000
50 1000
0 0
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000
Effort (Trip/th)
Cum i-cum i
Keterangan:
MEY : maximum economic yield
MSY : maximum sustainable yield
OA : open acces
MEY sebesar 1,24 milyar rupiah yang dicapai pada saat upaya penangkapan
sebanyak 1.422 trip, dan hasil tangkapan sebesar 85, 32 ton (Tabel 13).
Keterangan:
MEY : maximum economic yield
MSY : maximum sustainable yield
OA : open acces
berada di bawah tingkat MEY dan MSY. Hal ini diduga karena tiga hal. Pertama
adalah jumlah sumber daya ikan di Teluk Banten berkurang, kedua adalah ikan
tidak didaratkan di TPI yang ada di Teluk Banten, dan yang ketiga adalah
produksi ikan tidak tercatat dengan baik (Contoh perhitungan model bionomi
dapat dilihat pada Lampiran 12).
MEY=141,80 ton
MSY=141,90 ton
160 4000
Phi=Rp3,36 milyar
140 3500
120 3000
Catch (Ton/th)
100 2500
80 2000
60 1500
40 OA=15,08 ton 1000
20 500
0 0
0 2500 5000 7500 10000 12500 15000 17500
Effort (Trip/th)
Rajungan
kedelapan jenis ikan ini di kawasan Teluk Banten kurang, sehingga perlu suplai
dari daerah lain, namun ketiganya dapat digantikan degan jenis ikan lain yang
cukup beragam jenisnya.
5.2.3 Deskriptif
Berdasarkan pendekatan secara deskriptif, yang diukur berdasarkan nilai
produksi, harga ikan, wilayah pemasaran, dan nilai tambah maka diperoleh hasil
112
bahwa rajungan, teri, dan cumi-cumi, merupakan tiga jenis ikan yang dapat
dijadikan unggulan (Tabel 16).
Nama Nilai
Komoditi Produksi Harga
No. Ikan (Rp 000) FN (Rp) FN WP FN NT FN Total RFN RK
1 Kembung 2.03.,805 0,27 15.000 0,26 1 0,00 1 0,00 0,53 0,13 7
2 Cumi-cumi 7.433.191 1,00 27.000 0,70 2 0,50 1 0,00 2,20 0,55 3
3 Teri 2.102.331 0,28 8.000 0,00 3 1,00 3 1,00 2,28 0,57 2
4 Tongkol 307.643 0,04 15.000 0,26 1 0,00 1 0,00 0,30 0,07 8
5 Lemuru 21.440 0,00 8.000 0,00 1 0,00 1 0,00 0,00 0,00 9
6 Rajungan 1.133.047 0,15 23.000 0,56 3 1,00 3 1,00 2,71 0,68 1
7 Kakap merah 98.084 0,01 28.000 0,74 1 0,00 1 0,00 0,75 0,19 6
8 Udang 674.417 0,09 35.000 1,00 1 0,00 1 0,00 1,09 0,27 4
9 Kuwe 624.114 0,08 28.000 0,74 1 0,00 1 0,00 0,82 0,21 5
Keterangan: FN = fungsi nilai; WP = wilayah pemasaran; NT = nilai tambah; RFN = rataan fungsi nilai;
RK = ranking
fungsi nilai diperoleh hasil bahwa pancing ulur menempati urutan pertama jenis
teknologi penangkapan ikan yang secara biologi ramah lingkungan. Diikuti oleh
alat tangkap bagan perahu, gill net, payang, rampus, sero, bagan tancap, dan
dogol (Tabel 17).
Keterangan: FN: fungsi nilai; RFN: rataan fungsi nilai; RK: ranking; TMH: tidak merusak habitat;
HTB: hasil tangkapan bermutu baik; TMK: produk tidak membahayakan konsumen; BIO: alat
tangkap tidak membahayakan keanekaan sumber daya hayati; TMD: alat tangkap tidak
menangkap jenis ikan yang dilindungi undang-undang atau terancam punah
1 Gillnet 14.200 0,06 26.124 0,05 2,92 0,06 0,54 1,00 1,16 0,29 7
2 Dogol 140.000 1 525.733 0,85 1,75 0,02 0,27 0,97 2,85 0,71 1
3 Bagan Tancap 6.000 0 617.100 1 24,38 0,67 0,01 0,95 2,62 0,65 3
4 Bagan Perahu 88.080 0,61 344.307 0,56 3,54 0,08 0,26 0,97 2,22 0,55 4
5 Payang 87.200 0,61 304.100 0,49 2,84 0,06 0,29 0,97 2,13 0,53 5
6 Pancing ulur 36.960 0,23 428.540 0,70 3,03 0,06 0,09 0,95 1,94 0,49 6
7 Sero 10.000 0,03 253.700 0,41 35,75 1 0,04 0,95 2,39 0,60 2
Keterangan: R/C = Revenue Cost Ratio; PP = payback periode; FN: fungsi nilai; RFN: rataan fungsi nilai;
RK: ranking
Keterangan: Bio: aspek biologi; Tek: aspek teknik; Sos: aspek sosial; Eko: aspek
ekonomi; RFN: rataan fungsi nilai; RK: ranking.
pemerintahan Kota Serang, (3) pusat pendidikan, seni dan olah raga, (4) pusat
budaya dan pariwisata, (5) pusat transportasi regional, (6) pusat perdagangan
dan jasa skala regional. Kota Serang sebagai fungsi sekunder, yaitu: (1)
permukiman/perumahan perkotaan, dan (2) pusat pelayanan fasilitas perkotaan
(perdagangan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, olah raga dan peribadatan).
Rencana pola ruang kawasan budidaya meliputi rencana pola ruang kawasan
budidaya non terbangun dan kawasan budidaya terbangun. Berdasarkan jenis
kegiatan fungsional kota, rencana pola uang kawasan budidaya non terbangun di
Kota Serang, adalah: (1) pertanian; (2) perkebunan; (3) perikanan, rencana
pemanfaatan ruang kawasan perikanan budidaya diarahkan tersebar di wilayah
Pantai Utara Kasemen, yaitu di Desa Sawah Luhur, sedangkan untuk perikanan
tangkap diarahkan untuk pengembangan Kawasan Pelabuhan Karangantu; (4)
pertambangan. Rencana pola pemanfaatan ruang kawasan budidaya terbangun,
terdiri dari:
(1) permukiman;
(2) perkantoran/perumahan;
(3) perdagangan/jasa;
(4) pendidikan;
(5) kesehatan;
(6) industri;
(7) pariwisata dan rekreasi, diantaranya:
(i) mengarahkan Desa Banten Kecamatan Kasemen sebagai kawasan
wisata cagar budaya dan cagar alam serta kawasan konservasi;
(ii) mengarahkan Desa Banten dan Desa Sawah Luhur Kecamatan Kasemen
sebagai kawasan wisata pantai;
(iii) mengarahkan Desa Banten, Desa Kasunyatan, Desa Margaluyu
Kecamatan Kasemen sebagai kawasan konservasi bangunan dengan
melestarikan bangunan tua dan bersejarah.
Berdasarkan pengamatan di lapangan pemanfaatan lahan di sekitar Teluk
Banten (wilayah darat) diperuntukkan bagi budidaya lahan basah, dan
permukiman (Gambar 19). Peta pola ruang pesisir Teluk Banten dapat dilihat
pada Gambar 20.
121
terpendek adalah cumi-cumi. Secara umum, kondisi musim sedang terjadi pada
bulan Juli dan Agustus (musim timur), sedangkan musim paceklik terjadi pada
bulan September-Oktober (musim peralihan dari timur ke barat), kecuali teri, dan
tenggiri yang tidak mengalami musim paceklik. Nelayan sendiri menyampaikan
bahwa ikan tembang dan layang terdapat pada bulan November hingga April,
ikan teri pada bulan Agustus hingga Oktober.
Keterangan:
: puncak : sedang : paceklik
Pada saat musim peralihan timur ke barat yaitu pada bulan Oktober
merupakan musim penangkapan layur, ekor kuning, dan beloso. Bulan
November sampai dengan Februari merupakan musim puncak penangkapan
rajungan, dan kuwe, sedangkan ikan kakap merah pada bulan November sampai
dengan Januari. Pada saat awal musim barat yaitu bulan Desember, hampir
semua jenis ikan demersal banyak tertangkap (IMP>100) kecuali udang dan
beloso (Lampiran 23).
Berdasarkan wawancara dengan nelayan, musim ikan kuwe, kakap
merah, manyung, dan cucut pada bulan Desember-Januari, pari pada bulan
Desember-April, dan ikan pepetek ditemukan di seluruh bulan. Adapun musim
puncak, sedang, dan paceklik tiap jenis ikan demersal dapat dilihat pada Tabel
24.
Pada Tabel 24 terlihat bahwa layur, beloso, dan manyung merupakan
ikan yang ditemukan sepanjang tahun. Musim paceklik tiap jenis ikan juga
berbeda, ikan ekor kuning memiliki musim paceklik terlama yaitu lima bulan
(Februari-Juni).
130
Keterangan:
: puncak : sedang : paceklik
Keterangan:
KS = Perairan Kepulauan Seribu PT = Perairan sekitar P. Tunda
PS = Perairan sekitar P. Sangiang PP = Perairan sekitar P. Panjang
LP = Perairan Lampung LM = Perairan sekitar P. Lima
SS = Selat Sunda BS = Perairan sekitar P. Pamujan Besar
PB = Perairan sekitar P. Bangka AY = Anyer
VIII, alat tangkap yang ada di Teluk Banten tidak menyalahi ketentuan yang
berlaku, meskipun terjadi perubahan jarak jalur penangkapan. Pada Permen KP
tersebut jalur penangkapan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 mil laut
yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. Jalur penangkapan I B,
meliputi perairan pantai di luar 2 mil laut sampai dengan 4 mil laut. Jalur
penangkapan II, meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai
dengan 12 mil laut diukur dari permukaan laut pada surut terendah. Untuk
memperjelas posisi alat tangkap dan jalur penangkapan pada dua ketentuan
yang berlaku dapat dilihat pada Tabel 26.
Berdasarkan gambar peta daerah penangkapan ikan (Gambar 22),
terlihat bahwa daerah penangkapan ikan terkonsentrasi di sekitar P. Panjang, P.
Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, P. Lima, serta P. Tunda. Beberapa daerah
penangkapan di luar teluk namun masih dalam perairan Kabupaten Serang
adalah sekitar P. Sangiang (Desa Cikoneng Kecamatan Anyer, Selat Sunda).
Bahkan beberapa alat tangkap ke lokasi penangkapan yang jauh yaitu perairan
Kepulauan Seribu, Lampung, dan P. Bangka. Seluruh daerah penangkapan
tersebut dimanfaatkan oleh berbagai alat tangkap (Tabel 27). Pada Tabel 27
terlihat bahwa daerah penangkapan untuk dogol harus dikembalikan ke daerah
penangkapan yang seharusnya sesuai dengan apa yang tertera dalam SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan), serta diawasi penggunaan otterboard, dan tickler
chain saat pengoperaian alat tangkap.
Pengembangan kawasan perikanan tangkap dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kawasan konservasi terumbu karang. Alat tangkap yang dapat
digunakan pada lokasi ini adalah pancing ulur. Alat tangkap rampus yang
dioperasikan di P. Lima dialihkan ke lokasi lain yaitu P. Panjang dan P. Pamujan
Besar. Pengaturan jenis alat tangkap, area penangkapan masing-masing alat
tangkap, dan musim penangkapan perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya
konflik pemanfaatan fishing ground antar alat tangkap, terutama dogol dengan
alat tangkap tradisional lain.
133
Zonasi perikanan tangkap dibagi ke dalam tiga zona yaitu (1) zona pasif,
(2) zona pasif dan perahu motor tempel, dan (3) zona aktif dan kapal motor
(Gambar 23). Zona I diperuntukan bagi alat tangkap bagan tancap, dan sero;
zona II diperuntukan bagi alat tangkap gill net dan rampus; zona III diperuntukan
bagi alat tangkap dogol, bagan perahu, payang, dan pancing ulur. Pembagian ini
didasarkan pada pertimbangan teknik penangkapan, kemampuan armada
penangkapan yang digunakan (termasuk ukuran mesin), dan ikan tujuan tangkap
(target species) serta jalur penangkapan yang telah ditetapkan oleh Dinas
136
N Karakteristik Zona
o I II III
1. Luas area 1.374,6 ha 2.962,6 ha 18.928,7 ha
2. Jalur 1a (3 mil dari 1a (3 mil dari 1b (6 mil dari
penangkapan pantai) pantai) pantai)
3. Fishing Barat & timur P. Timur P. Panjang, P. Tunda, P.
ground Panjang, P. P. Pamujan Besar, Sangiang, Utara P.
Pamujan Besar P. Lima Panjang
4. Jenis ikan Teri, selar, Teri, selar, Kurisi, cumi-cumi,
kembung, kembung, tongkol, tenggiri,
tembang, layang, tembang, layang, kembung, lemuru,
udang rajungan, pepetek, pepetek
kuwe
5. Kedalaman < 10 m < 10 m 10-20 m
6. Kecepatan 20-40 cm/s 20-40 cm/s 20-40 cm/s
arus
7. Angin muson Musim barat Musim barat Musim barat
Australia (Des s/d Feb), (Des s/d Feb), (Des s/d Feb),
berbalik 2 kali bertiup dari bertiup dari barat bertiup dari barat
dalam barat ke barat ke barat laut; ke barat laut;
laut; Musim timur Musim timur
setahun
Musim timur (Juni s/d Agt), (Juni s/d Agt),
(Juni s/d Agt), bertiup dari timur bertiup dari timur
bertiup dari timur ke tenggara; ke tenggara;
ke tenggara; Musim peralihan Musim peralihan
Musim peralihan (Maret s/d Mei), (Maret s/d Mei),
(Maret s/d Mei), dari barat ke dari barat ke
dari barat ke timur; (Sept s/d timur; (Sept s/d
timur; (Sept s/d Nov) dari timur Nov) dari timur
Nov) dari timur ke barat. ke barat.
ke barat.
8. Tinggi Musim barat Musim barat Musim barat
gelombang 1,03 m; 1,03 m; 1,03 m;
rata-rata Musim timur Musim timur Musim timur
0,76 m 0,76 m 0,76 m
Musim peralihan Musim peralihan Musim peralihan
< 0,5 m < 0,5 m < 0,5 m
9. Pasang surut Harian tunggal Harian tunggal Harian tunggal
10 Suhu 27,91º-30,98ºC 27,91º-30,98ºC 27,91º-30,98ºC
11 Sedimen Lanau pasiran Lanau pasiran Lanau pasiran
dasar
perairan
12 Ekosistem Lamun & terumbu Lamun & terumbu -
karang karang
memanfaatkan ruang perairan pantai yang cukup luas (72,35 ha). Interaksi yang
ada sampai saat ini tidak menimbulkan konflik sosial. Meskipun saat ini belum
terjadi konflik, dimungkinkan terjadi konflik pada masa mendatang apabila tidak
dikelola dengan baik. Alat tangkap yang dapat dioperasikan pada zona
bersinggungan adalah pancing ulur, dapat dioperasikan di kawasan wisata alam,
dan konservasi terumbu karang. Hal ini dengan pertimbangan bahwa pancing
ulur merupakan alat tangkap yang paling selektif, dan ramah lingkungan dengan
target penangkapan ikan kembung. Daerah penangkapan pancing ulur yang
digunakan untuk menangkap ikan tenggiri berada di luar teluk (sampai di
perairan Lampung). Alat tangkap yang menggunakan jaring tidak
direkomendasikan dioperasikan di terumbu karang, dikarenakan alat cepat rusak,
dan akan merusakkan terumbu karang. Pada lokasi wisata alam, dapat
dimanfaatkan untuk alat tangkap bagan perahu. Adapun pada lokasi budidaya
rumput laut, memang tidak dimanfaatkan untuk penangkapan, hanya pada sisi
sebelah barat P. Panjang digunakan sebagai tempat sandar bagan perahu yang
dimiliki oleh nelayan P. Panjang, dan kapal angkut yang difungsikan untuk
menyeberangkan masyarakat P. Panjang dari P. Panjang ke Grenyang dan
sebaliknya serta untuk mengangkut barang-barang kebutuhan masyarakat yang
dibeli dari kota, ataupun untuk membawa hasil bumi (kelapa, kayu) keluar pulau.
Peta kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang bersama dapat
dilihat pada Tabel 29. Kemungkinan konflik yang muncul antara pelabuhan niaga
dengan kegiatan budidaya perikanan, maupun perikanan tangkap adalah limbah
oli yang bisa mencemari perairan, sehingga mengganggu habitat ikan. Jalur
pelayaran kapal-kapal besar juga dimungkinkan terjadi persinggungan dengan
perahu nelayan. Kawasan industri, walaupun berada di daerah pesisir, namun
aktivitasnya dapat mengganggu aktivitas perikanan, baik perikanan budidaya
maupun tangkap. Buangan limbah industri, aktivitas reklamasi pantai berdampak
terganggunya ekosistem sekitar pantai.
Berbagai Peluang
(0.56,0.12)
0.12
Kuadran IV Kuadran II
Berbagai Ancaman
saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yang sangat berperan dalam
pengambilan kebijakan.
Kriteria
dasar, satu trip penangkapan membutuhkan waktu empat hari sehingga jumlah
unit alat tangkap ini sebanyak 11 unit, sedangkan cantrang melakukan
penangkapan secara one day fishing, sehingga jumlah unit alat tangkapnya
sebanyak 3 unit. Berdasarkan wawancara dengan nelayan, upaya
penangkapan efektif bagan tancap selama 3 bulan atau 90 hari, dengan
demikian jumlah alat tangkap ini sebanyak 11 unit. Bagan perahu, dan payang
melakukan penangkapan secara one day fishing, sehingga jumlah unit alat
tangkap bagan perahu sebanyak 6 unit, dan payang sebanyak 2 unit. Adapun
pancing melakukan penangkapan satu kali trip membutuhkan waktu 3 hari untuk
daerah penangkapan yang jauh (Lampung), sehingga dalam 300 hari berarti ada
100 trip, sehingga jumlah unit penangkapannya sebanyak 5 unit. Sero dan
rampus memperoleh nilai nol, yang berarti tidak direkomendasikan untuk
dioperasikan (Tabel 33).
Tabel 33 Alokasi Unit Penangkapan Ikan menurut Luas Wilayah Teluk Banten
dan LGP
Jumlah optimal tahun sekarang, yaitu kondisi optimal secara ekonomi dan
biologi tahun sekarang (2009). Pada tahun ini ternyata penambahan upaya
penangkapan alat tangkap gill net, dan dogol melebihi upaya penangkapan
optimal yang seharusnya, sedangkan bagan tancap, payang, dan pancing ulur
upaya penangkapannya masih di bawah kondisi optimal. Upaya penangkapan
optimal bagan perahu diasumsikan sama dengan kondisi riil, mengingat alat
tangkap ini baru efektif beroperasi tahun 2009. Sedangkan sero dan rampus
upaya penangkapan riil melebihi upaya penangkapan optimal.
Jumlah optimal prediksi tahun depan (2010), yaitu prediksi terhadap
perkembangan jumlah upaya penangkapan satu tahun ke depan berdasarkan
perkembangan sekarang, masing-masing jenis alat tangkap adalah gill net 1.000
trip/th, dogol 835 trip/th, bagan tancap 1.000 trip/th, bagan perahu 1.885, payang
682 trip/th, dan pancing 495 trip/th. Keuntungan yang diperoleh sebesar 14,4425
milyar rupiah per tahun.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh gambaran keragaan perikanan
tangkap di Teluk Banten, yaitu ada enam jenis alat tangkap yang
direkomendasikan untuk dioperasikan, ditujukan untuk menangkap 9 jenis ikan
unggulan, mengingat karakteristik perikanan di Indonesia adalah multi spesies.
Namun dalam pelaksanaannya nanti perlu diatur target spesies yang sesuai
dengan jenis alat tangkapnya, sehingga dapat dioptimalkan keuntungannya.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka ada dua skenario yang diusulkan, yaitu:
(1) Skenario pertama adalah: gill net 146 unit dengan 15.971 trip/th, dogol 32
unit dengan 22.074 trip/th , bagan tancap 24 unit dengan 7.622 trip/th, bagan
perahu 52 unit dengan 14.909 trip/th, payang 120 unit dengan 8.465 trip/th,
pancing ulur 34 unit dengan 10.058 trip/th, sero 45 unit dengan 7.234 trip/th,
148
menunjukkan estimasi produksi tiap jenis ikan, apabila tanpa manajemen. Tanda
anak panah, menunjukkan upaya manajemen, yaitu produksi dan upaya
penangkapan dibuat tetap. Asumsi yang dipergunakan adalah baik kelahiran
maupun kematian ikan dianggap seimbang.
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
200 200
250
90 40 160
(79,86,3068) (136,69, 6265)
80 35 140
(29,37, 2593)
70 30 120
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
60
25 100
50
20 80
40
15 60
30
10 40
20
10 5 20
0 0 0
0 10 20 30 40 0 500 1000 1500 2000 0 10 20 30 40 50 60
Tahun Tahun Tahun
20 50 35
(16,67, 1111) (44,94, 5541)
18 45
30 (25,63, 1355)
16 40
Produksi (ton/th)
14 35 25
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
12 30
20
10 25
20 15
8
6 15 10
4 10
5
2 5
0 0 0
0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 50 0 10 20 30 40 50
Tahun Tahun Tahun
Kembung apabila jumlah trip per tahunnya sebanyak 100, maka pada
tahun ke 153 produksi akan negatif. Cumi-cumi apabila jumlah trip per tahunnya
sebanyak 500, maka pada tahun ke-56, produksi akan negatif. Demikian pula
dengan jenis ikan yang lain. Simulasi tahun ke-n besarnya produksi optimal dan
keuntungan tiap jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 34.
150
Tabel 34 Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi Optimal dan Keuntungan Tiap
Jenis Ikan Skenario 1
300 400
350
250
300
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
200
250
150 200
150
100
100
50
50
0 0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Tahun Tahun
400
400
350 350
300 300
Produksi (ton/th)
250
Produksi (ton/th)
250
200
200
150
150
100
100 50
50 0
0 20 40 60 80 100
0 Tahun
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Tahun kembung cumi-cumi teri
Payang Pancing
90
70
80
60
70
Produksi (ton/th)
50
Produksi (ton/th)
60
50 40
40
30
30
20
20
10
10
0 0
0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun
Tahun
kembung cumi-cumi teri
tongkol lemuru rajungan
kembung tongkol rajungan
kakap merah udang kuwe kakap merah kuwe cumi-cumi
400 300
350
250
300
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
200
250
200 150
150
100
100
50
50
0 0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 0 50 100 150 200 250 300 350 400
Tahun Tahun
dibolehkan sebesar 60% dari CMSY dicapai dalam jangka waktu 18 tahun.
Lemuru, kakap merah, dan kuwe hanya bisa dimanfaatkan sampai 2 tahun ke
depan, sedangkan udang jangka waktunya panjang karena udang tertangkap
dalam jumlah yang sangat sedikit.
Pada Gambar 26 terlihat bahwa hanya satu jenis alat tangkap yang
memiliki kecenderungan menurun produksinya, yaitu pancing. Ketujuh alat
tangkap yang lain meningkat. Bagan perahu, dogol, dan bagan tancap lebih
menonjol dibanding yang lainnya. Hasil skenario ke-2, memang mengalokasikan
upaya penangkapan paling banyak pada bagan perahu (1.885 trip/th). Diikuti
dogol dan bagan tancap (masing-masing 1.00 trip/th).
Produksi (ton/th)
200 350 200
300
150 250 150
200
100 150 100
(149,79, 2558)
50 100 50
50
0 0 0
0 25 50 75 100 125 150 175 0 10 20 30 40 50 60 70 0 5 10 15 20 25 30 35
Tahun Tahun Tahun
140
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
80 25 120
20 100
60
80
40 15
60
10 40
20
20
0 5
0
0 10 20 30 40 50 60 0 0 10 20 30 40 50 60
Tahun 0 2 4 6 8 10 12 Tahun
Tahun
Produksi (ton/th)
14 25 25
12 20
20
10
15 15
8
6 10 10
4
5 5
2
0 0 0
0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30 0 10 20 30 40 50
Tahun Tahun Tahun
Tabel 37 Simulasi Tahun ke-n Besarnya Produksi dan Keuntungan Tiap Jenis
Ikan Skenario 2
Pada Gambar 28, terlihat bahwa sero bukan merupakan alat tangkap
yang produktif. Hanya beberapa jenis ikan saja yang tertangkap, dan pola
produksi menaik seiring dengan pertambahan tahun dalam jangka waktu yang
lama, dikarenakan nilai FPI nya sangat kecil. Pada skenario kedua, alat tangkap
sero tidak direkomendasikan untuk melakukan penangkapan, demikian pula
dengan rampus.
Kembung, tongkol, dan rajungan yang tertangkap dengan gill net,
grafiknya menunjukkan bahwa produksi optimum tidak berlangsung lama.
Kurang dari 50 tahun akan mengalami penurunan produksi. Pola-pola yang ada
dalam simulasi sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan. Model
pengelolaan yang diusulkan adalah mengatur upaya penangkapan tiap jenis alat
tangkap sesuai dengan skenario kedua, dengan tidak menghilangkan
keberadaan jumlah alat tangkap yang ada (lihat Tabel 33), dan tidak menambah
ijin penambahan alat tangkap baru.
155
300
100
90
250
80
70
Produksi (ton/th)
200
Produksi (ton/th)
60
50
150
40
30
100
20
10
50
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600
0
Tahun
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
Tahun
kembung cumi-cumi teri
450
500
400 450
350 400
Produksi (ton/th)
350
300
Produksi (ton/th)
300
250
250
200 200
150 150
100
100
50
50
0
0 0 50 100 150 200 250 300 350 400
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450
Tahun
Tahun
Payang Pancing
200
70
150 60
Produksi (ton/th)
50
100
Produksi (ton/th)
40
50
30
0 20
0 5 10 15 20 25 30 35
10
-50
0
-100 0 2 4 6 8 10 12
Tahun Tahun
kembung cumi-cumi teri
kembung tongkol rajungan
tongkol lemuru rajungan
kakap merah udang kuwe kakap merah kuwe cumi-cumi
500 100
450 90
400 80
350 70
Produksi (ton/th)
Produksi (ton/th)
300 60
250 50
200 40
150 30
100 20
50 10
0
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 700 0 50 100 150 200 250 300 350 400
Tahun Tahun
9 dari 23 jenis Cumi-cumi, teri, Pancing ulur, bagan Zona perikanan tangkap:
ikan masih dapat rajungan perahu, gill net Zona I: sero, bagan
dikembangkan tancap
Zona II: gill net, rampus
Zona III: dogol, bagan,
perahu, payang, pancing
Strategi kebijakan:
Memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang cukup strategis, dan mengoptimalkan jenis ikan unggulan
untuk memenuhi permintaan ekspor;
Memanfaatkan jumlah SDM yang besar dan kepedulian nelayan terhadap upaya pengelolaan
kawasan perikanan tangkap di Teluk Banten;
Memanfaatkan dukungan PEMDA dan adanya otonomi daerah untuk membuat kebijakan dalam
penataan dan perluasan wilayah tangkap dan pelibatan masyarakat pesisir dalam pengelolaan.
Tujuan pengelolaan diprioritaskan pada terjaminnya keberlanjutan usaha penangkapan ikan dengan
tetap memperhatikan potensi sumber daya ikan yang ada.
Simulasi:
Alokasi jumlah alat tangkap: gillnet 3 unit, dogol 11 unit, bagan
tancap 11 unit, bagan perahu 6 unit, payang 2 unit, pancng 5
unit, sero dan rampus tidak dialokasikan.
Meningkatkan pendapatan nelayan sebesar 25%;
Menjaga kelestarian SDI dalam jangka waktu 18 tahun
menurunnya produksi ikan tiap tahun sebesar 13,12%. Kondisi ini juga akan
berdampak pada terjadinya penurunan pendapatan nelayan, karena sulitnya
mendapatkan ikan. Kenyataan ini memang benar-benar terjadi pada saat
penelitian berlangsung sehingga di beberapa Desa seperti di Kepuh, mereka
melakukan pekerjaan sambilan bertani (sebagai buruh tani) ketika tidak musim
ikan, atau isteri ikut membantu bekerja sebagai buruh cuci. Keputusan
berpindah kepada pekerjaan lain tidak diikuti oleh seluruh nelayan yang ada,
mereka masih menggantungkan hidupnya dari laut dengan alasan mereka tidak
punya keahlian lain. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka kemiskinan
nelayan akan bertambah. Jika dikaitkan dengan hasil analisis bionomi diperoleh
bahwa usaha penangkapan ikan kurisi akan menguntungkan secara biologi
apabila trip penangkapan dilakukan sebanyak 1.276 kali trip dan hasil tangkapan
sebanyak 141,00 ton/th, dengan tingkat upaya penangkapan sebesar 105,72%.
Berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI no. KEP.45/MEN/2011 tentang
estimasi potensi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI,
menunjukkan bahwa kurisi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712 (Laut
Jawa) dikelompokkan ke dalam moderate, yang ditangkap pada kedalaman di
atas 40 m. Adapun di Teluk Banten kedalaman tertinggi adalah 20 m, dengan
demikian penambahan upaya penangkapan tidak dimungkinkan lagi mengingat
sudah melebii 100%.
Berdasarkan hasil analisis standarisasi alat tangkap, ternyata kurisi
ditangkap dengan dogol (lampara dasar). Lampara dasar di Karangantu pada
kurun waktu 2005-2009, merupakan alat tangkap yang paling produktif, tidak
hanya ikan dasar yang menjadi target utama penangkapan, tetapi juga ikan
pelagis. Berdasarkan peraturan yang ada, daerah penangkapan lampara dasar
adalah di atas 3 mil (perairan utara Laut Jawa Kabupaten Serang) dan
menggunakan ukuran mata jaring kantong lebih dari 1 inchi. Pada faktanya
terjadi pelanggaran dari ketentuan yang berlaku, yaitu adanya penambahan otter
board dan alat pemisah ikan pada alat tangkap, dan ukuran mata jaring bagian
kantong sebesar 2 cm (< 1 inchi, 1 inchi= 2,54 cm). Sehingga wajar apabila
produksi ikan paling besar disuplai dari alat tangkap ini. Dengan demikian upaya
penangkapan ikan kurisi bisa dikendalikan, mengingat saat ini alat tangkap
lampara dasar yang telah dimodifikasi seperti trawl mini dilarang penggunaannya
sejak diterbitkannya surat dari Ditjen Pengawasan dan Pengendalian SDKP No.
10.07.3./P2SDKP 5/TU.210/X/2009 tanggal 7 Oktober 2009. Dinas Kelautan dan
164
ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Soedjodinoto (1960), Hosniyanto
(2003), diacu dalam (Simbolon 2011), bahwa lemuru selain ditemukan di Selat
Bali juga ditemukan di selatan Ternate, Selat Madura, Selat Sunda, dan Teluk
Jakarta.
Ikan selar dan kembung, tingkat pemanfaatannya belum mencapai 80%
namun sudah di atas 50%. Keadaan ini sebenarnya masih berpeluang untuk
dikembangkan, namun apabila dikaitkan dengan grafik hubungan effort dengan
CPUE yang menunjukkan penurunan CPUE apabila terus dilakukan
penambahan upaya, maka kedua perikanan ini tidak mungkin dikembangkan
lagi. Apalagi jika dikaitkan dengan hasil analisis bionomi, menunjukkan bahwa
ikan selar akan mempunyai keuntungan maksimum jika upaya penangkapan
dilakukan sebanyak 2.362 kali trip, akan mendapatkan keuntungan sebesar
673,85 juta rupiah dengan hasil tangkapan sebanyak 146,58 ton/th. Selar
merupakan jenis ikan yang memiliki harga jual rendah yaitu hanya Rp5.000,-,/kg,
sehingga walaupun hasil tangkapan banyak tidak akan bisa menutupi biaya
produksi. Keadaan ini berbeda dengan kembung, kembung lebih
menguntungkan terlihat dari keuntungan maksimum sebesar 4.803,18 juta rupiah
yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 7.226 trip dan hasil
tangkapan sebanyak 262,74 ton/th. Berdasarkan kondisi ini, perikanan kembung
masih berpeluang untuk ditingkatkan pemanfaatan dan keuntungannya. Pancing
sebagai alat tangkap standar masih dapat dioptimalkan tingkat upayanya.
Ikan tembang banyak tertangkap dengan dogol, tingkat pemanfaatannya
sebesar 46,4%, upaya penangkapan aktual sebesar 6.495 trip/th telah melebihi
upaya optimum (fmsy) sebesar 6.103 trip. Pada satu sisi berdasarkan analisis
bionomi akan mendapatkan keuntungan maksimum sebesar 1.750,03 juta rupiah
apabila upaya penangkapan sebanyak 5.858 kali trip dengan hasil tangkapan
sebesar 632,16 ton/th. Namun faktanya keuntungan yang diperoleh sebesar
708,47 juta rupiah. Dengan demikian, sebenarnya masih berpeluang untuk
meningkatkan keuntungan tetapi tidak dengan penambahan upaya
penangkapan. Strategi yang dilakukan adalah mengupayakan pengurangan
upaya penangkapan sampai tingkat MEY sehingga dapat menekan biaya
produksi. Perikanan tembang diarahkan ditangkap dengan payang, dan dogol
diawasi jalur penangkapannya agar berada di luar teluk.
Produksi cumi-cumi senantiasa meningkat sejak tahun 2005-2009, hal ini
disebabkan karena ditangkap oleh payang yang ditemukan di semua TPI dan
166
bagan congkel (bagan perahu), yang dilengkapi dengan lampu pada satu tahun
terakhir. Jika dikaitkan hasil perhitungan standarisasi alat tangkap, cumi-cumi
banyak tertangkap dengan dogol karena memang alat tangkap ini sangat
produktif melakukan upaya penangkapan, tidak hanya ikan demersal saja tetapi
juga ikan pelagis, apalagi sebelum ada SK pelarangan dan sampai saat ini
memang belum ada yang dapat menggantikan. Keberadaan bagan perahu
sendiri hanya ditemukan di Karangantu, P. Panjang dan sebagian di Kepuh.
Perikanan cumi-cumi, baru dimanfaatkan sebesar 39,62%, sehingga masih
dapat dioptimalkan lagi mengingat perikanan cumi-cumi secara biologi dan
ekonomi menguntungkan. Bahkan keuntungan terbesar diperoleh perikanan ini
dibandingkan dengan jenis ikan lain. Keuntungan pada saat MEY adalah
6.937,99 juta rupiah yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar
13,407 trip dengan hasil tangkapan sebesar 363,66 ton. Penangkapan cumi-cumi
harus diupayakan menggunakan alat tangkap yang menggunakan lampu
sebagai alat bantu penangkapan seperti bagan perahu, karena memang efektif
dan hasil tangkapan masih segar. Perairan Teluk Banten pada saat musim
cumi-cumi, yaitu bulan Maret 2010 pada saat penelitian berlangsung hasil
tangkapannya mencapai 38,17 ton di Karangantu, dan 1,09 ton di Terate.
Berkurangnya sumber daya ikan pelagis disebabkan karena beberapa hal
diantaranya adalah sangat beragamnya alat tangkap yang digunakan, jumlah alat
tangkap banyak, daerah penangkapan yang terbatas dan semakin sempit. Untuk
menangkap cumi-cumi misalnya selain bagan juga tertangkap dengan payang,
gillnet dan bahkan sero. Bagan apung (bagan congkel) dan payang tingker
menggunakan fishing ground yang sama, kedua alat tangkap tersebut sama-
sama menggunakan alat bantu lampu untuk mengumpulkan ikan tujuan tangkap.
Dengan demikian kondisi ini juga harus dipecahkan, mungkin bisa diatur atau
diarahkan fishing ground yang lebih jauh dari kawasan Teluk Banten tetapi masih
dalam pengaturan wilayah tangkap Kabupaten Serang, yaitu sejauh 4 mil dari
pantai yang diukur pada saat surut terendah. Secara umum kondisi perikanan
pelagis kecil di Laut Jawa telah mengalami lebih tangkap, estimasi petensi
pelagis kecil di WPP 712 sebesar 380 ribu ton/tn.
Terkait dengan jumlah alat tangkap yang banyak, Pemerintah sudah
harus berpikir untuk menggunakan alat tangkap yang selektif, dan mendata
kembali secara langsung dan benar alat tangkap apa aja yang masih layak
dioperasikan dan yang betul-betul tidak dimanfaatkan lagi. Berdasarkan
167
rajungan (44,16%), udang (45,63%), dan manyung (44,76%). Jenis ikan yang
dimanfaatkan lebih dari 50% tapi masih di bawah 80% adalah pepetek (50,97%),
kakap merah (74,34%), kuwe (75,47%), layur (68,39%), bawal hitam (52,16%),
ekor kuning (73,09%) dan beloso (76,61%). Jenis ikan yang tingkat
pemanfaatannya di atas 80% adalah ikan pari (81,39%). Berdasarkan
standarisasi alat tangkap, keseluruh ikan tersebut ditangkap dengan pancing dan
dogol.
Upaya penangkapan optimum rajungan sebesar 7.754 trip, dan hasil
tangkapan pada kondisi MSY sebesar 141,90 ton/th. Berdasarkan analisis
bionomi, nilai MEY dicapai pada saat hasil tangkapan sebesar 141,80 ton/th,
dengan upaya penangkapan sebanyak 7.542 trip, dengan keuntungan
maksimum sebesar 3. 356,36 juta rupiah. Berdasarkan kondisi tersebut rajungan
memiliki prospek untuk dikembangkan. Namun demikian turunnya produksi
rajungan dari tahun 2005-2009, kemungkinan disebabkan oleh tidak
didaratkannya rajungan di TPI dan tidak melalui proses lelang, terutama yang
berasal dari jaring dan bubu rajungan. Nelayan langsung menjual hasil
tangkapannya ke pengumpul (pemilik kapal) untuk selanjutnya direbus dan
diproses sesuai pesanan pasar untuk ekspor. Keadaan ini menyebabkan
pencatatan menjadi tidak optimal, karena petugas TPI mendatangi pengumpul
dan hanya meminta retribusi, sehingga dimungkinkan jumlah tangkapan tidak
dilaporkan yang sesungguhnya. Rajungan memiliki nilai jual yang tinggi, yaitu
Rp25.000,- per kg. Sehingga usaha perikanan rajungan memiliki prospek untuk
dikembangkan namun tetap dengan pengaturan yang baik agar kelestarian
rajungan tetap terjaga.
Perikanan udang, juga memiliki prospek untuk dikembangkan, tingkat
pemanfaatan baru sebesar 45,63%, effort optimum sebanyak 6.699 trip, hasil
tangkapan saat MSY sebesar 46,22 ton/th. Rendahnya tingkat pemanfaatan
kemungkinan disebabkan karena sedikitnya sumberdaya ini. Udang yang
tertangkap di Karangantu merupakan akumulasi dari udang jerbung (udang
putih), dan udang dogol. Daerah asuhan (nursery ground) udang adalah di
daerah teluk yang mempunyai hutan bakau (mangrove), Teluk Banten sendiri
luasan hutan bakaunya sudah sangat berkurang, tepatnya di pesisir pantai Teluk
Banten. Mengingat daerah asuhan sangat sedikit, maka keberadaan udangpun
menjadi sangat sedikit. Berdasarkan analisis bionomi, perikanan udang juga
menguntungkan. Kondisi MEY terjadi pada saat tangkapan sebesar 46,17 ton/th,
169
tingkat MEY dan MSY. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi tingkat
keuntungannya tidak sebesar pada saat MEY, walaupun secara biologi masih
layak untuk dioptimalkan. Beberapa jenis ikan seperti ikan kurisi, tembang,
layang, cucut, pepetek, pari, layur, dan manyung kondisi effort aktualnya melebihi
effort pada tingkat MSY. Hal ini menunjukkan bahwa baik secara ekonomi
maupun biologi keuntungan optimum tidak diperoleh, sehingga upaya
penangkapan tidak bisa ditambah lagi, jika ditambah suatu saat akan berada
pada posisi open acces. Pada kondisi open acces, maka akan terjadi kerugian
terbesar, sebab penambahan upaya akan mengurangi pendapatan yang diterima
nelayan. Adapun cumi-cumi, kondisi effort aktual masih jauh di bawah kondisi
MEY, dan MSY. Hal ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan cumi-cumi masih
dapat dioptimalkan lagi baik secara ekonomi maupun biologi.
Alat tangkap yang dapat digunakan adalah bagan perahu, mengingat alat
tangkap ini cukup efektif menangkap ikan dikarenakan kemampuan armada
penangkapannya. Jumlah bagan perahu saat ini sekitar 10% dari seluruh alat
tangkap yang beroperasi di Teluk Banten, sehingga masih bisa dioptimalkan
tanpa melakukan penambahan unit alat tangkap mengingat keberadaannya
cukup untuk kawasan Teluk Banten.
Rajungan
Dicuci bersih
Dalam satu hari pengolah mampu merebus satu kwintal rajungan yang
diperoleh dari 15 orang nelayan jaring dan bubu rajungan. Produk olahan
rajungan setiap hari diambil oleh eksportir yang berasal dari Bogor.
Nilai tambah rajungan terletak pada seluruh bagian tubuh rajungan tidak
terbuang, dan dapat melibatkan jumlah tenaga kerja yang cukup banyak
sehingga dapat meningkatkan ekonomi mayarakat sekitar. Cangkang rajungan
kering laku dijual Rp 2.000,-/kg sebagai bahan makanan ternak (dijual ke
Jakarta). Adapun jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan ini
sebanyak 19 orang, yang terdiri dari 16 orang piker (pemroses, seluruhnya
perempuan), dan 3 orang operator (mencuci sampai dengan merebus).
Tenaga kerja yang dilibatkan masih ada hubungan saudara dan
masyarakat sekitar. Upah yang diberikan kepada piker Rp 7.500,-/kg,
sedangkan untuk operator Rp 50.000,-/hari terkadang lebih tergantung banyak
sedikitnya rajungan yang direbus. Usaha pengolahan rajungan ini telah berjalan
sejak tahun 1997. Keadaan ini menggambarkan bahwa rajungan membuat
masyarakat di Karangantu terbantu secara ekonomi. Apabila hal ini dikelola
dengan baik, maka rajungan menjadi komoditi ungggulan khas Teluk Banten.
Pengelolaan dengan baik maksudnya adalah dimulai dari penataan
penangkapan, pendataan hasil tangkapan, sampai dengan jumlah yang diekspor
tercatat dengan baik, karena saat ini tidak ada dokumentasi pendataan yang baik
pada instansi terkait (DKP Kota Serang). Informasi tentang pengolah daging
rajungan di luar kawasan Teluk Banten tetapi masih dalam wilayah Kabupaten
Serang, juga terdapat di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa dengan produksi 4,6
ton/tahun, dan Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa dengan produksi 37
ton/tahun (DKP Kabupaten Serang 2009).
Unggulan kedua adalah teri. Teri juga memiliki keunggulan dari sisi
wilayah pemasaran dan nilai tambah. Wilayah pemasaran teri selain untuk
konsumsi lokal juga untuk kebutuhan ekspor. Teri yang tertangkap di kawasan
Teluk Banten terdiri dari jenis teri galer (tertangkap dengan alat tangkap dogol,
dan bagan tancap), teri lilin, dan teri nasi (tertangkap dengan alat tangkap
payang bondet). Teri galer diolah lebih lanjut menjadi teri asin yang dipasarkan
di Serang dan sekitarnya sampai dengan Rangkas Bitung. Teri lilin diasin dan
dijual ke Jakarta apabila produksi mencapai 1 ton, dan dijual lokal di Serang
apabila produksi hanya sedikit (1-2 dus) (hasil wawancara dengan nelayan). Teri
nasi juga diolah menjadi teri asin, dan dipasarkan ke luar negeri dengan tujuan
173
Singapura dan Jepang lelalui PT. Teri Mas (Kecamatan Pulo Ampel). Pengolah
teri asin skala kecil mengumpulkan ikannya ke perusahaan tersebut. Jumlah
tenaga kerja mencapai 50 orang apabila musim ikan teri, dan 10 orang apabila
ikan teri sedikit. Ikan teri diperoleh dari nelayan bondet yang ada di Wadas, juga
disuplai dari nelayan bagan apung yang berasal dari Carita, Labuan, Panimbang,
Lampung, dan Tangerang.
Teri nasi kualitas ekspor dikelompokkan ke dalam grade A dan B. Grade
A adalah teri putih dengan kadar garam sedikit dijual dengan harga 11-13
dollar/kg, dan grade B teri agak kekuningan dijual dengan harga 10 dollar/kg.
Produksi tiap bulan 10 ton yang dihasilkan dari produk teri basah 50 ton. Puncak
musim pada bulan Maret-Agustus, dan sedikit teri pada bulan September-
Februari (kurang lebih 2 ton). Berdasarkan hasil wawancara dengan anak
pemilik perusahaan, usaha teri ini sudah berjalan sejak tahun 1987, namun
menjadi PT sejak tahun 2002. PT. Teri Mas mengekspor sendiri produknya
apabila dalam jumlah besar (satu kali ekspor 8 ton) dan apabila sedikit dikirim ke
Surabaya untuk diekspor melalui Surabaya (pengumpul). Dalam satu bulan bisa
1-2 kali ekspor.
Jumlah tenaga kerja yang dilibatkan sebanyak ± 50 orang apabila musim
teri, dan 10 orang apabila sedikit. Tenaga kerja diupah secara harian.
Pengelolaan perusahaan oleh keluarga, namun pekerja harian melibatkan
masyarakat sekitar, sehingga menambah pendapatan masyarakat sekitar.
Dengan demikian teri merupakan produk unggulan untuk wilayah Bojonegara
(Wadas, dan Kepuh).
Pengolah teri nasi ditemukan di Desa Pulau Panjang sebanyak 7
pengolah dengan produksi 409 ton/tahun, Desa Argawana Kecamatan Pulo
Ampel 5 pengolah dengan produksi 286 ton, Desa Margagiri Kecamatan
Bojonegara 5 pengolah dengan produksi 109 ton, dan Desa Bojonegara
Kecamatan Bojonegara sebanyak 1 pengolah dengan produksi 26 ton/tahun.
Produksi yang luar biasa, namun belum diunggulkan menjadi komoditi unggulan
daerah dari hasil perikanan tangkap.
Komoditi unggulan yang ketiga adalah cumi-cumi. Cumi-cumi
mendapatkan nilai tertinggi untuk nilai produksi, sedangkan teri dan rajungan
pada wilayah pemasaran dan nilai tambah. Tingginya nilai produksi pada cumi-
cumi dikarenakan harganya yang cukup mahal serta jumlah produksi yang cukup
besar, terutama pada saat musim cumi-cumi, yang disuplai dari Karangantu,
174
Terate, dan Kepuh. Cumi-cumi dipasarkan dalam bentuk segar di sekitar Serang
dan Jakarta. Cumi-cumi bisa menjadi komoditi unggulan apabila dikelola dengan
baik, selama ini cumi-cumi dibawa ke Jakarta oleh pedagang, mengingat cumi-
cumi segar lebih disukai oleh konsumen (ukuran besar). Cumi-cumi segar cukup
besar terserap oleh pasar lokal dan luar daerah menyebabkan komoditi ini tidak
diekspor ke luar negeri. Bisa jadi cumi-cumi Teluk Banten diekspor dari Jakarta,
namun data ini tidak terdokumentasi dengan baik sehingga sulit melacaknya.
Padahal apabila kita lihat dari hasil LQ dan IS menunjukkan nilai yang paling baik
dibanding komoditi lainnya.
mendapatkan ranking satu. Namun berdasarkan aspek ekonomi alat tangkap ini
mendapatkan ranking ke-4. Secara ekonomi, alat tangkap ini termasuk
menguntungkan, terbukti nilai R/C sebesar 3,54 walaupun investasinya cukup
besar yaitu Rp 88.080.00,-, namun dapat balik modal selama 0,26 tahun (3
bulan). Namun demikian bagan perahu, merupakan alat tangkap yang tidak
selektif, karena jaring yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang sangat
kecil. Apabila alat tangkap ini diusulkan, yang perlu diperhatikan nantinya adalah
pengoperasian alat tangkap ini disesuaikan dengan musim ikan tujuan tangkap,
dan khusus untuk ikan yang memiliki fototaksis positif seperti teri, dan cumi-cumi
(komoditi unggulan), dengan tujuan untuk mengurangi by-catch.
Hal ini menunjukkan bahwa bagan perahu dapat dijadikan sebagai
alternatif alat tangkap cumi-cumi menggantikan dogol. Dari sisi kualitas hasil
tangkapan, bagan perahu menghasilkan hasil tangkapan berkualitas baik
dibandingkan dogol. Dogol hendaknya tetap diarahkan untuk menangkap ikan
demersal, sehingga betul-betul harus dipastikan bahwa alat tangkap ini
melakukan operasi penangkapan pada jalur yang telah ditentukan. Sesuai
dengan peraturan DKP kabupaten Serang, bahwa daerah penangkapan alat
tangkap dogol, dan lampara dasar di perairan Utara Laut Jawa Kabupaten
Serang. Namun pada faktanya hal ini dilanggar oleh nelayan.
Gillnet (jaring rajungan) mendapatkan rangking ke-3 kriteria ramah
ligkungan secara keseluruhan, ranking ke-2 dari aspek teknik, rangking ke-3
untuk aspek biologi, dan rangking ke-4 untuk aspek sosial, namun rangking ke-7
dari aspek ekonomi. Skor tertinggi untuk aspek biologi adalah hasil tangkapan
tidak membahayakan konsumen, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi
atau hampir punah. Jaring rajungan didesain untuk menangkap rajungan yaitu
dengan mengatur ukuran mata jaring sebesar 4 inchi, sehingga paling selektif
diantara alat tangkap yang lain. Jaring rajungan pada dasarnya dikelompokkan
ke dalam gill net, prinsip penangkapannya adalah ikan terjerat pada insangnya,
sehingga ikan akan berusaha melepaskan diri dari jaring, dan berakibat pada
kualitas hasil tangkapan. Hal ini juga terjadi pada rajungan, rajungan terbelit
pada badan ataupun capitnya sehingga perlu kehati-hatian pada saat
melepaskannya dari jaring. Perikanan gill net juga termasuk perikanan yang
sustainable dilihat dari sisi tingkat pemanfaatannya masih kurang dari 80%.
Payang merupakan alat tangkap yang mendapatkan rangking ke-4 kriteria
ramah lingkungan, mendapatkan skor tertinggi untik kriteria hasil tangkapan tidak
176
Menurut Subani dan Barus (1989), dogol berbeda dengan lampara dasar
dan cantrang. Pada lapaoran tahunan produksi ikan di PPP Karangantu, ketiga
jenis alat tangkap ini dimasukkan ke dalam dogol. Lampara pada awalnya
adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan umpan, sehingga
bentuknya agak berbeda dengan payang, walaupun sekilas mirip. Sayap pada
lampara sama panjang, dan kantong tidak berbentuk kerucut tetapi
menggelembung. Di Teluk Banten, sudah banyak mengalami modifikasi
sehingga mirip dengan mini trawl. Hal ini yang menyebabkan lampara yang
sudah dimodifikasi dilarang, dan memang mengeruk sumber daya ikan yang ada.
Beberapa nelayan yang melanggar telah mendapatkan sangsi, bahkan ada yang
sampai dipenjara. Dan memang sebelum ada tindakan dari petugas pengawas
perikanan, terjadi konflik sosial diantara para nelayan lampara dengan nelayan
alat tangkap lain. Walaupun secara ekonomi menguntungkan (R/C 1,75), dan
secara bioekonomi juga menguntungkan untuk perikanan rajungan dan layur,
perlu dilakukan penataan kembali. Sedangkan cantrang, berbeda dengan dogol
itu sendiri. Cantrang tergolong “Danish seine”. Pada bagian mulut, baik atas
maupun bawah sama panjang, hal ini berbeda dengan dogol. Dogol memiliki
mulut bagian atas lebih panjang hal ini dimaksudkan agar ikan tidak meloloskan
diri ke bagian atas jaring. Baik dogol maupun cantrang, digunakan untuk
menangkap ikan demersal dan udang. Dengan demikian dogol merupakan alat
tangkap yang tidak direkomendasikan dioperasikan di kawasan Teluk Banten
untuk dikembangkan apabila: 1) dimodifikasi seperti trawl, 2) jalur penangkapan
mengganggu jalur penangkapan kapal tradisional (jalur 1a dan 1b). Berdasarkan
evaluasi perikanan yang berkelanjutan, dogol bukan termasuk yang
direkomendasikan untuk dikembangkan bagi komoditi unggulan di Teluk Banten.
Pemberian penjelasan di tengah masyarakat tentang pentingnya alat
penangkapan ikan yang ramah lingkungan perlu senantiasa digalakkan.
Tindakan tegas memang sudah dilakukan, pengalihan kepada alat tangkap lain
juga sudah dilakukan, namun belum berhasil secara optimal. Pendapatan yang
diperoleh masih di bawah dari penggunaan lampara dasar. Bantuan
pemerintahpun dirasa masih belum merata. Berdasarkan fakta di lapangan
menunjukkan bahwa nelayan lampara dasar lebih makmur dibandingkan nelayan
gillnet, pancing, maupun rampus.
Dalam UU no. 27 tahun 2007 disebutkan bahwa suatu kawasan yang
dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, permukiman, pelabuhan, perikanan
178
tahun 2004). Keadaan ini juga bertolak belakang dengan beberapa penelitian
yang telah dilakukan, diantaranya adalah Simanjuntak (2007) yang mengatakan
kondisi perairan Teluk Banten tercemar ringan, kadar oksigen terlarut yang
tertinggi ditemukan di lapisan permukaan (0 m), kadar oksigen terlarut menurun
dengan bertambahnya kedalaman dan perbedaan antar penurunan oksigen
terlarut antar kedalaman sebesar 0,07 mg/l. Muchtar (2002), mengatakan bahwa
kandungan fosfat dan nitrat di dekat pantai Bojonegara lebih tinggi pada bulan
April dan Oktober tahun 2001. Wijaya dan Ismail (2007), yang menyatakan
bahwa produktivitas primer perairan teluk yang terdapat di Kecamatan
Bojonegara, Cilegon, dan Serang relatif lebih rendah daripada kawasan-kawasan
lainnya, hal ini dikarenakan di kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai limbah
yang diakibatkan baik industri dan domestik yang hampir 100% mengalir ke
dalam teluk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Van Den Bergh, et al.,
(2003) diacu dalam Wijaya dan Ismail (2007), kecamatan Bojonegara
mempunyai limbah domestik 1.049.996 m3/tahun (lihat Gambar 19, peta
eksisiting tutupan lahan pesisir Teluk Banten yang didominasi untuk
permukiman) dan limbah industri 1.759.700 m3/tahun; Kecamatan Cilegon
masing-masing mempunyai limbah domestik sebesar 1.156.886 m3/tahun dan
limbah industri 4.354.849 m3/tahun, sedangkan kecamatan Serang mempunyai
limbah domestik 752.922 m3/tahun dan limbah industri 352.095 m3/tahun yang
seluruhnya masuk ke dalam Teluk Banten.
Zona perikanan budidaya yang telah ada saat ini tidak menimbulkan
konflik dengan nelayan tangkap, baik budidaya rumpul laut, karamba jaring
apung, maupun tambak bandeng di Desa Domas Kecamatan Pontang. Di lokasi
inipun mengeluhkan terjadinya pencemaran industri pabrik kertas yang buangan
limbahnya berdampak pada kualitas air tambak. Zona budidaya rumput laut di
sebelah selatan P. Panjang saat ini berjalan dengan baik, dan memang layak
dijadikan kawasan budidaya rumput laut, karena aman dari pengaruh arus
(terlindung pulau), dan memiliki sarana prasarana penunjang (dekat permukiman
nelayan, dan transportasi mudah). Hal ini sejalan persyaratan kawasan budidaya
rumput laut yang dikemukakan oleh DKP (2002), yaitu:
1) Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut
ditentukan dari tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang
ditentukan.
181
Memang sulit melakukan penataan, untuk itu diperlukan kerja sama semua pihak
agar hal ini dapat dilaksanakan.
Berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah RTRW Kota Serang 2009-
2029, pada Pasal 21 disebutkan bahwa kawasan perikanan, meliputi: (1)
perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya air payau; (3) perikanan budidaya air
tawar; dan (4) perikanan budidaya laut. Kawasan perikanan tangkap meliputi:
1) Rencana pengembangan fisheries town di Karangantu dan
pengembangan outer ring fishing port, coldstorage dan wisata perikanan
di Karangantu.
2) Kawasan pengembangan utama komoditi perikanan di pantai utara di
Karangantu.
3) Pengembangan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Karangantu
menjadi Pelabuhan Nusantara.
4) Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Karangantu.
Rencana pengembangan outer ring fishing port (pelabuhan perikanan
lingkar luar) di Karangantu kurang tepat, dengan alasan secara teknis kedalaman
minimal adalah 24 m sedangkan di Teluk Banten rata-rata berkedalaman 7 m.
Dasar pertimbangan dibangunnya outer ring fishing port adalah untuk
optimalisasi pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan, pusat
pertumbuhan sektor perikanan dan kelautan pada wilayah terluar, dan berperan
mendukung strategi pengembangan kawasan. Keberadaan outer ring fishing port
diharapkan dapat menunjang usaha perikanan tangkap. Karangantu sendiri
adalah sebuah kota yang tidak termasuk ke dalam wilayah terluar.
Pengembangan PPP Karangantu menjadi Pelabuhan Nusantara telah terealisir
dengan Permen Kelautan Perikanan RI no. PER. 29/Men/2010 tanggal 30
Desember 2010.
jenis ikan unggulan untuk memenuhi permintaan ikan, terutama rajungan, teri,
dan cumi-cumi dan lima jenis ikan (kembung, tongkol, kakap merah, udang, dan
kuwe) yang secara bionomi masih menguntungkan. Lemuru belum dapat
direkomendasikan karena berdasarkan analisis LGP merugi. Pengelolaan
perikanan tangkap tidak semata-mata berdasarkan perhitungan bionomi, namun
juga tetap harus memperhatikan ekosistem. Kawasan perlindungan laut sebagai
alat dalam pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem (Wiadnya, D.G.R,
et.al., 2005). Saat ini kawasan konservasi di perairan Teluk Banten masih dalam
wacana, belum ada realisasinya. Namun demikian kawasan rehabilitasi terumbu
karang dapat dicoba sebagai kawasan perlindungan laut. Kawasan perlindungan
laut berfungsi sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman sumberdaya
hayati, dan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang harus
diintegrasikan kedalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell &
Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000;
Ward, Heinemann & Evans, 2001 diacu dalam Wiadnya, D.G.R., et al. 2005).
Pemda Kabupaten Serang harus mengoptimalkan kekuatan SDM yang
cukup besar untuk terlibat dalam pengelolaan dan memanfaatkan posisi Teluk
Banten yang dekat dengan perairan Utara Jawa maupun Selat Sunda sebagai
area perluasan wilayah tangkap, terutama untuk armada penangkapan yang
memiliki kemampuan mengarungi perairan yang jauh dari pantai seperti lampara
dasar. Hal ini didasarkan pada pertimbangan untuk mengurangi tekanan
penangkapan di daerah pantai dan menghindari terjadinya konflik pemanfaatan
daerah penangkapan dengan nelayan kecil yang memiliki kemampuan armada
penangkapan terbatas, seperti rampus, dan jaring rajungan.
Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sangat penting karena
merekalah pelaku dalam menjaga lingkungan, karena pada hakekatnya tujuan
pengelolaan memiliki pendekatan aspek biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial
(Cochrane 2002, dan Murdiyanto 2004). Lebih lanjut Murdiyanto (2004)
mengemukaan bahwa pengelolaan sumber daya perikanan pantai dapat
dilaksanakan dengan beberapa alternatif pendekatan, salah satu diantaranya
adalah pengelolaan secara partisipatif, yang melibatkan masyarakat. Partisipasi
masyarakat/pengguna di dalam pemanfaatan sumber daya ini lebih dikenal
dengan ko-manajemen. Ko-manajemen ini dapat dibangun berdasarkan tradisi
pengelolaan sumber daya yang sudah dimiliki masyarakat (community based
fisheries management) (Nikijuluw 2002). Memberikan tanggung jawab kepada
185
4. UU no. 32/2004 Pemda Tk. I (provinsi) berhak Pemda masih belum mampu
mengelola wilayah laut sejauh berkoordinasi dengan para
12 mil, sedangkan Pemda Tk. II pemegang kewenangan di
(kabupaten) berhak mengelola daerah, sehingga seringkali
wilayah lautnya sampai sejauh pengelolaan menjadi bersifat
6 mil dari garis pantai. sektoral.
Tabel 38 (Lanjutan)
Tabel 38 (Lanjutan)
Keenam alat tangkap yang lain, dialokasikan dengan jumlah yang lebih
sedikit dibandingkan tahun 2009. Gill net direkomendasikan sebanyak 33 unit
untuk jaring milenium, dan 3 unit untuk jaring rajungan, memperlihatkan
pengurangan jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan kondisi tahun 2009
sebanyak 146 unit. Penataan ini dilakukan dengan mempertimbangkan jarak
pemasangan antar alat tangkap dan panjang alat tangkap yang digunakan.
Walaupun demikian bukan berarti jumlah gill net harus dikurangi, tetapi perlu
pengaturan saja tatkala dioperasikan. Kondisi ini juga terjadi pada dogol
sebanyak 11 unit, bagan tancap dialokasikan sebanyak 11 unit, sedangkan pada
tahun 2009 sebanyak 24 unit, begitu pula dengan bagan perahu yang
dialokasikan hanya sebanyak 6 unit padahal sebelumnya sebanyak 52 unit,
payang sebanyak 2 unit, pancing sebanyak 5 unit, dan sero serta rampus
sebanyak 0 unit. Penghapusan dua jenis alat tangkap ini merupakan kondisi
yang sulit. Namun demikian, bisa dicoba untuk diterapkan mengingat alat
tangkap ini hasil tangkapannya tidak terlalu banyak. Pengaturan bisa dilakukan
dengan cara menjadwal waktu operasi dan mengatur lokasi penangkapan.
Selama ini nelayan rampus melakukan operasi penangkapan menjelang subuh
dan pulang ke pangkalan sekitar jam 10 pagi. Waktu operasi disesuaikan dengan
tingkah laku ikan tujuan target, apabila hal ini sulit dilakukan maka perlu diatur
lokasi penangkapannya. Karena pada faktanya 90 unit alat tangkap tersebut
tidak beroperasi semuanya mengingat semakin berkurangnya hasil tangkapan.
Berdasarkan hasil perhitungan bionomi dan analisa usaha, menunjukkan bahwa
usaha penangkapan rampus tidak menguntungkan (merugi).
Setiap jenis alat tangkap memiliki daerah penangkapan yang spesifik.
Berdasarkan kondisi ini, maka setiap alat tangkap dapat diatur lokasi
penangkapannya. Sebagai contoh bagan tancap, bagan tancap dipasang pada
daerah penangkapan yang memiliki dasar perairan lumpur berpasir, dan cukup
terlindung dari angin yang besar serta arus yang kuat. Mengingat kekuatan
bagan tancap hanya selama enam bulan, maka bagan tancap tidak dipasang di
tengah-tengah laut namun lebih banyak di sekitar pulau. Hal ini juga dengan
pertimbangan untuk tidak menghalangi alur pelayaran. Kondisi ini juga terjadi
pada sero. Sero dipasang pada daerah yang cukup dangkal, namun tetap
memperhatikan kondisi pasang surut sehingga sero masih terndam air ketika
surut. Pengoperasian bagan perahu sebanyak 6 unit merupakan hal yang perlu
192
disosialisasikan lebih lanjut, mengingat jumlah alat tangkap yang ada sebanyak
52 unit (pengurangan sebesar 11,5%).
tersebut tidak bertentangan karena alat tangkap yang diatur pada masing-masing
jalur telah sesuai (lihat Tabel 26).
Pada jalur penangkapan ikan IA, alat dan kapal penangkapan ikan yang
diperbolehkan beroperasi adalah alat penangkap ikan yang menetap, alat
penangkap ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi, dan kapal perikanan
tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m. Pada
jalur penangkapan ikan IB, alat dan kapal penangkapan ikan yang diperbolehkan
beroperasi adalah alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal
perikanan yang terdiri dari tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran
panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m, bermotor tempel dan bermotor-dalam
dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5
GT dan atau, pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m,
serta jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1.000 m.
Apabila hal ini ditaati, kemungkinan besar konflik pemanfaatan kawasan tidak
terjadi.
Pengendalian upaya penangkapan perlu dilakukan, karena apabila
menghapuskan alat tangkap yang ada adalah tidak mungkin. Teknik pengaturan
upaya penangkapan tiap jenis alat tangkap, dibantu dengan pertimbangan musim
penangkapan, musim ikan target penangkapan, dan lokasi penangkapan yang
telah dibahas sebelumnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh
Widodo dan Suadi (2008) yang mengatakan bahwa salah satu teknik
pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian upaya
penangkapan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengendalian upaya penangkapan
dapat dilakukan melalui (1) pembatasan terhadap armada perikanan termasuk
jumlah, ukuran serta kekuatan mesin; (2) kombinasi penutupan daerah dan
musim penangkapan mampu membatasi jumlah penangkapan pada tingkat yang
dikehendaki; (3) pembatasan terhadap jenis alat dan teknik penangkapan.
Murdiyanto (2004) lebih rinci mengatakan bahwa pengendalian upaya
penangkapan (input control) mencakup pembatasan jumlah unit penangkapan
tertentu yang dapat dilakukan dengan cara mengurangi atau tidak menerbitkan
ijin penangkapan, membatasi jumlah waktu penangkapan dalam ijin atau dengan
menentukan ukuran terhadap kapal dan alat tangkap yang digunakan.
Dengan demikian pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan
dengan tidak mengeluarkan ijin baru penambahan alat tangkap bagi ketujuh jenis
alat tangkap yaitu gill net, dogol, bagan tancap, bagan perahu, payang, sero, dan
194
rampus, sedangkan pancing ulur dapat dikembangkan lagi agar alternatif ikan
unggulan dapat ditentukan yaitu ikan kembung. Kebijakan yang diusulkan ini
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan pada satu sisi, dan
meningkatkan kelestarian sumber daya ikan pada sisi yang lain.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa 9 jenis ikan tidak dapat ditingkatkan
pemanfaatannya sepanjang tahun, masing-masing memiliki keterbatasan pada
tingkat MEY. Rajungan masih dapat ditingkatkan produksinya sampai dengan 28
tahun ke depan, namun untuk kehati-hatian karena faktor lingkungan
(industrialisasi) bisa sampai 6 tahun kedepan (50% dari nilai MSY). Teri hanya
sampai empat tahun ke depan, dan cumi-cumi sampai sembilan tahun kedepan.
Namun demikian apabila pemerintah peduli terhadap kondisi sumber daya ikan,
maka ketersediaan sumber daya ikan ini masih dapat diperpanjang sampai 18
tahun ke depan. Hal ini perlu dilakukan kebijakan yang komprehensif dan
melibatkan sektor (instansi) lain yang terkait, seperti perindustrian, BPLHD,
Bappeda, bahkan Gubernur Banten. Kebijakan yang dibuat tidak hanya
berorientasi pada nilai ekonomi semata, tetapi juga keberlanjutan biologi,
maupun ekologi. Berdasarkan kondisi tersebut maka pengalokasian alat tangkap
bagan perahu, dan payang yang diarahkan untuk menangkap cumi-cumi,
dioperasikan pada zona 3. Cumi-cumi sendiri musim puncak penangkapan
sangat pendek yaitu bulan Pebruari-April, dan mengalami paceklik pada bulan
September-Oktober. Pada bulan November-Januari dapat dilakukan
penangkapan teri dan rajungan, dilanjutkan sampai bulan Februari untuk
rajungan, Mei-Juli untuk teri. Bulan-bulan yang lain dapat melakukan
penangkapan jenis ikan yang lain. Pada saat bulan November-Januari alat
tangkap dogol, pancing dapat beroperasi di zona 3, bagan tancap di zona 1, gill
net di zona 2. Februari-April, alat tangkap bagan perahu, payang beroperasi di
zona 3 untuk menangkap cumi-cumi, dan dogol menangkap ikan udang, serta
pancing untuk menangkap kembung dan tongkol. Pada zona 2 gill net dapat
menangkap rajungan, dan beberapa jenis ikan yang lain dengan rampus seperti
tembang.
Dalam pelaksanaan pengaturan upaya penangkapan dan zona
penangkapan, perlu melibatkan masyarakat dalam pengawasannya, untuk itu
perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada pengguna kawasan. Hal ini
bertujuan agar peraturan yang telah dibuat disepakati oleh banyak pihak.
Pengurangan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dapat dilakukan secara
195
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan umum bahwa model pengelolaan dan pengembangan
kawasan perikanan tangkap berkelanjutan di Teluk Banten disusun dengan
pendekatan kewilayahan, pengelolaan berbasis ekosistem dan melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan. Hal ini dapat dicapai melalui kesimpulan rinci
sebagai berikut:
1) Status pemanfaatan dan peluang pengembangan perikanan tangkap di
kawasan Teluk Banten masih dapat dikembangkan terhadap 9 jenis ikan
dari 23 jenis ikan yang dominan, yaitu kembung, cumi-cumi, teri, tongkol,
lemuru, rajungan, kakap merah, udang, dan bawal hitam.
2) Cumi-cumi, teri, dan rajungan, merupakan komoditi yang memiliki
keunggulan komparatif tinggi, namun secara deskriptif dengan beberapa
parameter yaitu nilai produksi, harga ikan, wilayah pemasaran, dan nilai
tambah menunjukkan bahwa rajungan menempati ranking satu, diikuti
teri, dan cumi-cumi.
3) Teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan dan berkelanjutan yaitu
pancing ulur, bagan perahu, dan gill net (tiga urutan terbesar) merupakan
alat tangkap yang digunakan untuk menangkap jenis ikan unggulan.
4) Kawasan Teluk Banten terdiri dari zona perikanan budidaya, zona
pariwisata, zona perikanan tangkap, zona rehabilitasi terumbu karang,
zona pelabuhan, dan zona industri. Zona perikanan tangkap, terdiri dari (i)
zona pasif, yang diperuntukkan bagi alat tangkap bagan tancap, dan sero;
(ii) zona pasif dan perahu motor tempel, diperuntukkan bagi alat tangkap
gill net dan jaring rampus, serta (iii) zona aktif dan kapal motor,
diperuntukkan bagi alat tangkap dogol, bagan perahu, payang, dan
pancing ulur.
5) Strategi kebijakan pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan
tangkap di Teluk Banten yaitu (i) Memanfaatkan lokasi Teluk Banten yang
cukup strategis, dan mengoptimalkan jenis ikan unggulan untuk
memenuhi permintaan ekspor; (ii) Memanfaatkan jumlah SDM yang besar
dan kepedulian nelayan terhadap upaya pengelolaan kawasan perikanan
198
7.2 Saran
1) Pengelolaan yang serius dari pemerintah daerah terkait dengan komoditi
unggulan perikanan tangkap, sehinga diharapkan sebagai alternatf dalam
peningkatan pendapatan nelayan.
2) Sosialiasi penggunaan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan
harus senantiasa dilakukan agar dapat mengurangi aktivitas
penangkapan yang merusak lingkungan, diikuti dengan pengawasan di
tengah laut oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang.
3) Perlu disosialisasikan pengaturan zona penangkapan sesuai alat
tangkap, karena dalam awal pelaksanaannya akan sulit dilakukan.
Disarankan untuk dilakukan uji coba.
4) Pemerintah daerah menghentikan penerbitan ijin baru penangkapan, dan
mengawasi pengaturan upaya penangkapan tiap jenis alat tagkap.
5) Perlu kebijakan lintas sektoral dalam pengelolaan kawasan Teluk Banten
agar kelestarian sumber daya ikan dapat terjaga dan pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan nelayan.
6) Perlu dilakukan kajian secara mendalam terkait pengaruh penggunaan
model pengelolaan kawasan perikanan tangkap terhadap tingkat
kesejahteraan nelayan selain parameter pendapatan nelayan,
dikarenakan terbatasnya data yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Afdal dan Riyono, S.M. 2008. Sebaran Klorofil-a dan Hubungannya dengan
Eutrofikasi di Perairan Teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia (2008) 34(3): 333-351 - ISSN 0125 – 9830.
BPS Kabupaten Serang. 2009. Kabupaten Serang Dalam Angka 2009. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Serang.
200
BPS Kota Serang. 2009. Kota Serang Dalam Angka 2009. Badan Pusat
Statistik Kota Serang.
Buku Saku Banten. 2007. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.
Dent JD, MJ. Blackie. 1979. System Simulation in Agriculture. London: Aplied
Service Publishers Ltd.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten dan PT. Plarenco. 2007.
Rencana Pengelolaan Perikanan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
201
Gell, F.R. & Roberts C.M. 2002. The Fishery Effects of Marine Reserves and
Fishery Closures. WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037,
USA. 89 p.
Gulland JA. 1991. Fish Stock Assesssment. A Manual of Basic Methods. Jhon
Wiley & Sons. Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore. 223 p.
Jones CO. 1977. An Introduction to the Study of Public Policy. Second Edition.
Massachusates: Duxbury Press.
Muchtar M. 2002. Fluktuasi Fosfat dan Nitrat pada Musim Peralihan di Teluk
Banten. Jurnal Perairan Indonesia Oseanografi, Biologi, dan Lingkungan.
ISBN 979-8105—95-8. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta.
Diakses 10 Januari 2012. http:/www.coremap. or.id/downloads/1512.pdf.
National Research Council. 2001. Marine Protected Areas. Tools for Sustaining
Ocean Ecosystems. National Academy Press, Washington, D.C. 272 pp.
Nikijuluw VPH. 1995. Hak Ulayat dan Partisipasi Penduduk dalam Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Pantai. Laporan Survei MREP di Kabupaten Biak
Numfor, Irian Jaya. November 1995. 12 hlm.
[Perda] Peraturan Daerah Provinsi Banten No. 2 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030. 107 hlm.
204
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki
Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks.
Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. 270 hlm.
Subani, W dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50. Balai Penelitian
Perikanan Laut. Jakarta. Hlm. 113-114.
Ward T. J., Heinemann D. & Evans N. 2001. The Role of Marine Reserves as
Fisheries Management Tools: a review of concepts, evidence and
international experience. Canberra, Australia: Bureau of Rural Sciences,
192pp.
Wiadnya, D.G.R., Djohani, R., Erdmann M.V., Halim A., Knight M., Mous, P.J.,
Pet J., and Pet-Soede, L., 2005. Kajian kebijakan pengelolaan perikanan
tangkap di Indonesia: menuju pembentukan kawasan perlindungan laut.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 11(3):65-77.
207
Wijaya J., Ismail A. 2007. Distribusi Horisontal Suhu Permukaan Laut dan
Produktivitas Primer Perairan Teluk Banten, Provinsi Banten. Proceeding
Geo-Marine Research Forum 2007.
Gill net
Dogol
Lampiran 2 (Lanjutan)
Bagan tancap
Bagan perahu
Lampiran 2 (Lanjutan)
Payang
Pancing
Lampiran 2 (Lanjutan)
Sero
Rampus
Keterangan:
Jaring rajungan
150 m
Karet
sandal
0.7 m
timah
4
inchi
Jaring millennium
pelampung
30 m
3m
9m
13.5 m
Pemberat
semen
37.8 inchi
216
Tali selambar
35 kps
50-60
kps
Pemberat,
batu (1,5 kg) Cakel, berfungsi sebagai
pemberat, 3 kg
Pelampung, busa karet
panjang ± 30 cm
Lampiran 8 (Lanjutan)
223
Lampiran 8 (Lanjutan)
224
15,5 m
6m
Kantong
(waring)
pintu
Sayap 30 m, PE
no.9, mesh size 1,5'
225
3000 m PE Ø 20 mm
3000 m
23m
m PA 2" 32mm
3000 m
3000 m PE Ø 40 mm
Keterangan:
1. Pelampung bendera
2. Pelampung (gabus) 70 buah tiap piece
3. Tali ris atas (PE Ø 20 mm)
4. Pelampung bola (fibre)
5. Pemberat utama (batu) 10 kg
6. Tal iris bawah (PE Ø 40 mm)
7. Pemberat (Pb Ø 25 mm) 3 kg tiap piece
226
Kurisi
Gillnet Dogol Bagan Tancap Bagan Perahu
Tahun C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE C (ton) E (trip) CPUE
2005 1.49 820 0.0018 113.83 1,162 0.0980 0.77 1,637 0.0005 0.00 0 0.0000
2006 25.41 1,013 0.0251 81.26 569 0.1428 0.00 1,188 0.0000 0.00 0 0.0000
2007 13.74 1,328 0.0103 145.10 882 0.1645 1.11 2,049 0.0005 0.00 0 0.0000
2008 1.07 2,305 0.0005 71.42 1,351 0.0529 0.38 4,068 0.0001 1.06 388 0.0027
2009 0.60 3,526 0.0002 78.14 1,804 0.0433 0.10 1,146 0.0001 0.05 2,883 0.0000
Total 42.30 8992 0.0379 489.75 5768 0.5015 2.36 10088 0.0012 1.10 3271 0.0027
2
Rata 8.46 1798 0.0076 97.95 1154 0.1003 0.47 2018 0.0002 0.22 654 0.0005
FPI
Tahun G D BT BP Py Pc S R
2005 0.019 1 0.0048 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
2006 0.176 1 0.0000 0.0000 0.0000 0.0239 0.0000 0.0000
2007 0.063 1 0.0033 0.0000 0.0000 0.0072 0.0000 0.0000
2008 0.009 1 0.0018 0.0515 0.0023 0.0457 0.3597 0.1433
2009 0.004 1 0.0020 0.0004 0.0052 0.0287 0.0433 0.0211
Total 0.270 5 0.0119 0.0519 0.0075 0.1055 0.4031 0.1643
Rata2 0.054 1 0.0024 0.0104 0.0015 0.0211 0.0806 0.0329
(1) Kembung
> a:=0.0696;
a := 0.0696
> b:=-0.0000046;
b := -0.46 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=20000000;
p := 20000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 7565.217390
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0696 E0.46 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 0.1392000000 107 E92.0000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 263.2695652
> plot(TR,E=0..15200);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 263.2695652
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.5265391304 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.4728260869 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4792565217 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0696 E0.46 10-5 E 2
> plot(h,E=0..15200);
> TR:=p*h;
TR := 0.1392000000 107 E92.0000000 E2
> plot(TR,E=0..15200);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
228
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..15200);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..15200);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 14451.08696
> phi:=p*h-c*E;
:= 0.1329500000 107 E92.0000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 14451.08696
> diff(phi,E);
0.1329500000 107184.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1329500000 107184.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
7225.543478
> Emey:=7225.543478;
Emey := 7225.543478
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 262.7388248
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.5254776496 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.4515964674 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4803180029 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 14451.08696
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 45.1596462
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.9031929240 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.9031929350 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -11.0
229
Lampiran 12 (Lanjutan)
(2) Cumi-cumi
> a:=0.0530;
a := 0.0530
> b:=-0.00000193;
b := -0.193 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=20000000;
p := 20000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 13730.56995
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0530 E0.193 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 0.1060000000 107 E38.60000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 363.8601038
> plot(TR,E=0..27600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 363.8601036
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7277202072 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3432642488 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.6933937823 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0530 E0.193 10-5 E 2
> plot(h,E=0..27600);
> TR:=p*h;
TR := 0.1060000000 107 E38.60000000 E2
> plot(TR,E=0..27600);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
230
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..27600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..27600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 26813.47150
> phi:=p*h-c*E;
:= 0.1035000000 107 E38.60000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 26813.47150
> diff(phi,E);
0.1035000000 10777.20000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1035000000 10777.20000000 E
> fsolve(y=0,E);
13406.73575
> Emey:=13406.73575;
Emey := 13406.73575
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 363.6577072
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7273154144 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3351683938 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.6937985750 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 26813.47150
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 33.516840
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.6703368000 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.6703367875 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 12.5
231
Lampiran 12 (Lanjutan)
(3) Tembang
> a:=0.2075;
a := 0.2075
> b:=-0.000017;
b := -0.000017
> c:=25000;
c := 25000
> p:=3000000;
p := 3000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 6102.941175
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2075 E0.000017 E2
> TR:=p*h;
TR := 622500.0000 E51.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 633.1801470
> plot(TR,E=0..12400);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 633.1801472
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1899540442 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1525735294 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.1746966913 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2075 E0.000017 E2
> plot(h,E=0..12400);
> TR:=p*h;
TR := 622500.0000 E51.000000 E2
> plot(TR,E=0..12400);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
232
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..12400);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..12400);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 11715.68627
> phi:=p*h-c*E;
:= 597500.0000 E51.000000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 11715.68627
> diff(phi,E);
597500.0000102.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 597500.0000102.000000 E
> fsolve(y=0,E);
5857.843137
> Emey:=5857.843137;
Emey := 5857.843137
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 632.1589053
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1896476716 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1464460784 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1750030638 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 11715.68627
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 97.630719
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2928921570 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2928921568 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.2
233
Lampiran 12 (Lanjutan)
(4) Teri
> a:=0.1235;
a := 0.1235
> b:=-0.000014;
b := -0.000014
> c:=15000;
c := 15000
> p:=13500000;
p := 13500000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 4410.714286
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1235 E0.000014 E2
> TR:=p*h;
TR := 0.1667250000 107 E189.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 272.3616072
> plot(TR,E=0..9000);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 272.3616072
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.3676881697 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.6616071429 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.3610720983 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1235 E0.000014 E2
> plot(h,E=0..9000);
> TR:=p*h;
TR := 0.1667250000 107 E189.000000 E2
> plot(TR,E=0..9000);
> TC:=c*E;
TC := 15000 E
234
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..9000);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..9000);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 8742.063492
> phi:=p*h-c*E;
:= 0.1652250000 107 E189.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 8742.063492
> diff(phi,E);
0.1652250000 107378.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1652250000 107378.000000 E
> fsolve(y=0,E);
4371.031746
> Emey:=4371.031746;
Emey := 4371.031746
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 272.3395613
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.3676584078 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.6556547619 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.3611018602 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 8742.063492
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 9.713404
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1311309540 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1311309524 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 1.6
235
Lampiran 12 (Lanjutan)
(5) Selar
> a:=0.1191;
a := 0.1191
> b:=-0.00002415;
b := -0.00002415
> c:=25000;
c := 25000
> p:=5000000;
p := 5000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 2465.838510
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1191 E0.00002415 E2
> TR:=p*h;
TR := 595500.0000 E120.7500000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 146.8406832
> plot(TR,E=0..5000);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 146.8406832
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7342034160 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.6164596275 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.6725574532 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1191 E0.00002415 E2
> plot(h,E=0..5000);
> TR:=p*h;
TR := 595500.0000 E120.7500000 E2
> plot(TR,E=0..5000);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
236
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..5000);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..5000);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 4724.637681
> phi:=p*h-c*E;
:= 570500.0000 E120.7500000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 4724.637681
> diff(phi,E);
570500.0000241.5000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 570500.0000241.5000000 E
> fsolve(y=0,E);
2362.318841
> Emey:=2362.318841;
Emey := 2362.318841
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 146.5818841
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7329094205 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.5905797102 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.6738514495 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 4724.637682
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 23.6231882
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1181159410 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1181159420 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.0
237
Lampiran 12 (Lanjutan)
(6) Tongkol
> a:=0.0438;
a := 0.0438
> b:=-0.000005795;
b := -0.5795 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=15000000;
p := 15000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 3779.119931
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0438 E0.5795 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 657000.0000 E86.92500000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 82.76272650
> plot(TR,E=0..7600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 82.76272653
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1241440898 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2361949957 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.1005245902 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0438 E0.5795 10-5 E 2
> plot(h,E=0..7600);
> TR:=p*h;
TR := 657000.0000 E86.92500000 E2
> plot(TR,E=0..7600);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
238
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..7600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..7600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 6839.229221
> phi:=p*h-c*E;
:= 594500.0000 E86.92500000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 6839.229221
> diff(phi,E);
594500.0000173.8500000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 594500.0000173.8500000 E
> fsolve(y=0,E);
3419.614610
> Emey:=3419.614610;
Emey := 3419.614610
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 82.01375706
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1230206356 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.2137259131 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1016480443 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 6839.229220
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 28.4967884
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.4274518260 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.4274518262 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.2
239
Lampiran 12 (Lanjutan)
(7) Layang
> a:=0.0328;
a := 0.0328
> b:=-0.0000035;
b := -0.35 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=12000000;
p := 12000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 4685.714286
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0328 E0.35 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 393600.0000 E42.0000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 76.84571428
> plot(TR,E=0..9400);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 76.84571430
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.9221485716 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1171428572 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.8050057144 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0328 E0.35 10-5 E 2
> plot(h,E=0..9400);
> TR:=p*h;
TR := 393600.0000 E42.0000000 E2
> plot(TR,E=0..9400);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
240
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..9400);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..9400);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 8776.190476
> phi:=p*h-c*E;
:= 368600.0000 E42.0000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 8776.190476
> diff(phi,E);
368600.000084.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 368600.000084.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
4388.095238
> Emey:=4388.095238;
Emey := 4388.095238
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 76.53569443
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.9184283332 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1097023810 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.8087259522 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 8776.190476
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 18.2837302
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2194047624 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2194047619 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.5
241
Lampiran 12 (Lanjutan)
(8) Lemuru
> a:=0.0158;
a := 0.0158
> b:=-0.00000172;
b := -0.172 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=5000000;
p := 5000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 4593.023256
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0158 E0.172 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 79000.0000 E8.60000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 36.28488372
> plot(TR,E=0..9200);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 36.28488372
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1814244186 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1148255814 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.665988372 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0158 E0.172 10-5 E 2
> plot(h,E=0..9200);
> TR:=p*h;
TR := 79000.0000 E8.60000000 E2
> plot(TR,E=0..9200);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
242
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..9200);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..9200);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 6279.069767
> phi:=p*h-c*E;
:= 54000.0000 E8.60000000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 6279.069767
> diff(phi,E);
54000.000017.20000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 54000.000017.20000000 E
> fsolve(y=0,E);
3139.534884
> Emey:=3139.534884;
Emey := 3205.882353
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 36.21265147
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1810632574 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1097023810 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.713608764 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 8776.190476
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 6.1867964
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3093398200 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2194047619 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.1884707799 109
243
Lampiran 12 (Lanjutan)
(9) Tenggiri
> a:=0.0315;
a := 0.0315
> b:=-0.000007;
b := -0.7 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=30000000;
p := 30000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 2250.000000
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0315 E0.7 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 945000.0000 E210.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 35.43750000
> plot(TR,E=0..4600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 35.43750000
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1063125000 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1406250000 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.9225000000 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0315 E0.7 10-5 E 2
> plot(h,E=0..4600);
> TR:=p*h;
TR := 945000.0000 E210.000000 E2
> plot(TR,E=0..4600);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
244
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..4600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..4600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 4202.380952
> phi:=p*h-c*E;
:= 882500.0000 E210.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 4202.380952
> diff(phi,E);
882500.0000420.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 882500.0000420.000000 E
> fsolve(y=0,E);
2101.190476
> Emey:=2101.190476;
Emey := 2101.190476
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 35.28249008
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1058474702 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1313244048 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.9271502972 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 4202.380952
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 8.7549603
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2626488090 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2626488095 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.5
245
Lampiran 12 (Lanjutan)
(10) Belanak
> a:=0.0182;
a := 0.0182
> b:=-0.0000017;
b := -0.17 10-5
> c:=20000;
c := 20000
> p:=15000000;
p := 15000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 5352.941175
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0182 E0.17 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 273000.0000 E25.5000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 48.71176470
> plot(TR,E=0..10800);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 48.71176471
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7306764706 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1070588235 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.6236176471 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0182 E0.17 10-5 E 2
> plot(h,E=0..10800);
> TR:=p*h;
TR := 273000.0000 E25.5000000 E2
> plot(TR,E=0..10800);
> TC:=c*E;
TC := 20000 E
246
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..10800);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..10800);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 9921.568627
> phi:=p*h-c*E;
:= 253000.0000 E25.5000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 9921.568627
> diff(phi,E);
253000.000051.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 253000.000051.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
4960.784314
> Emey:=4960.784314;
Emey := 4960.784314
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 48.45032679
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7267549018 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.9921568628 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.6275392155 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 9921.568628
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 13.2287581
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1984313715 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1984313726 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.1
247
Lampiran 12 (Lanjutan)
(11) Cucut
> a:=0.0092;
a := 0.0092
> b:=-0.000001237;
b := -0.1237 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=10000000;
p := 10000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 3718.674212
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0092 E0.1237 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 92000.0000 E12.37000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 17.10590138
> plot(TR,E=0..7600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 17.10590137
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1710590137 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2324171382 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := -0.613581245 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0092 E0.1237 10-5 E 2
> plot(h,E=0..7600);
> TR:=p*h;
TR := 92000.0000 E12.37000000 E2
> plot(TR,E=0..7600);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
248
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..7600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..7600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 2384.801940
> phi:=p*h-c*E;
:= 29500.0000 E12.37000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2384.801940
> diff(phi,E);
29500.000024.74000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 29500.000024.74000000 E
> fsolve(y=0,E);
1192.400970
> Emey:=1192.400970;
Emey := 1192.400970
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 9.211297490
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.9211297490 108
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.7452506062 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1758791428 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2384.801940
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 14.90501213
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1490501213 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1490501212 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.1
249
Lampiran 12 (Lanjutan)
(12) Kurisi
> a:=0.2127;
a := 0.2127
> b:=-0.00008009;
b := -0.00008009
> c:=25000;
c := 25000
> p:=3000000;
p := 3000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1327.881134
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2127 E0.00008009 E2
> TR:=p*h;
TR := 638100.0000 E240.2700000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 141.2201586
> plot(TR,E=0..2700);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 141.2201586
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.4236604758 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3319702835 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.3904634474 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.2127 E0.00008009 E2
> plot(h,E=0..2700);
> TR:=p*h;
TR := 638100.0000 E240.2700000 E2
> plot(TR,E=0..2700);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
250
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..2700);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..2700);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 2551.712657
> phi:=p*h-c*E;
:= 613100.0000 E240.2700000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2551.712657
> diff(phi,E);
613100.0000480.5400000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 613100.0000480.5400000 E
> fsolve(y=0,E);
1275.856328
> Emey:=1275.856328;
Emey := 1275.856328
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 141.0033886
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.4230101658 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3189640820 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.3911137576 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2551.712656
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 21.2642722
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.6379281660 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.6379281640 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.20
251
Lampiran 12 (Lanjutan)
(13) Rajungan
> a:=0.0366;
a := 0.0366
> b:=-0.00000236;
b := -0.236 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=25000000;
p := 25000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 7754.237290
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0366 E0.236 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 915000.0000 E59.00000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 141.9025424
> plot(TR,E=0..15600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 141.9025424
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.3547563560 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1938559322 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.3353707628 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0366 E0.236 10-5 E 2
> plot(h,E=0..15600);
> TR:=p*h;
TR := 915000.0000 E59.00000000 E2
> plot(TR,E=0..15600);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
252
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..15600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..15600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 15084.74576
> phi:=p*h-c*E;
:= 890000.0000 E59.00000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 15084.74576
> diff(phi,E);
890000.0000118.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 890000.0000118.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
7542.372881
> Emey:=7542.372881;
Emey := 7542.372881
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 141.7966101
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.3544915252 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1885593220 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.3356355930 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 15084.74576
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 15.0847459
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3771186475 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.3771186440 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 3.5
253
Lampiran 12 (Lanjutan)
(14) Pepetek
> a:=1.0002;
a := 1.0002
> b:=-0.000285;
b := -0.000285
> c:=25000;
c := 25000
> p:=3000000;
p := 3000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1754.736842
> h:=a*E+b*E^2;
h := 1.0002 E0.000285 E2
> TR:=p*h;
TR := 0.3000600000 107 E855.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 877.5438948
> plot(TR,E=0..3600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 877.5438943
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.2632631683 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.4386842105 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.2588763262 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 1.0002 E0.000285 E2
> plot(h,E=0..3600);
> TR:=p*h;
TR := 0.3000600000 107 E855.000000 E2
> plot(TR,E=0..3600);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
254
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..3600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 3480.233918
> phi:=p*h-c*E;
:= 0.2975600000 107 E855.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 3480.233918
> diff(phi,E);
0.2975600000 1071710.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.2975600000 1071710.000000 E
> fsolve(y=0,E);
1740.116959
> Emey:=1740.116959;
Emey := 1740.116959
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 877.4829782
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.2632448935 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.4350292398 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.2588946011 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 3480.233918
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 29.001951
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.8700585300 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.8700584795 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 5.05
255
Lampiran 12 (Lanjutan)
> a:=0.0229;
a := 0.0229
> b:=-0.0000071;
b := -0.71 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=33000000;
p := 33000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1612.676056
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0229 E0.71 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 755700.0000 E234.3000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 18.46514084
> plot(TR,E=0..3300);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 18.46514084
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.6093496477 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1007922535 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.5085573942 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0229 E0.71 10-5 E 2
> plot(h,E=0..3300);
> TR:=p*h;
TR := 755700.0000 E234.3000000 E2
> plot(TR,E=0..3300);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
256
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..3300);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3300);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 2958.600085
> phi:=p*h-c*E;
:= 693200.0000 E234.3000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2958.600085
> diff(phi,E);
693200.0000468.6000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 693200.0000468.6000000 E
> fsolve(y=0,E);
1479.300043
> Emey:=1479.300043;
Emey := 1479.300043
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 18.33883780
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.6051816474 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.9245625269 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.5127253947 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2958.600086
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 5.60340924
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.1849125049 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.1849125054 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.5
257
Lampiran 12 (Lanjutan)
(16) Pari
> a:=0.0232;
a := 0.0232
> b:=-0.0000073;
b := -0.73 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=6000000;
p := 6000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1589.041096
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0232 E0.73 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 139200.0000 E43.8000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 18.43287671
> plot(TR,E=0..3200);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 18.43287671
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1105972603 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3972602740 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.7087123290 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0232 E0.73 10-5 E 2
> plot(h,E=0..3200);
> TR:=p*h;
TR := 139200.0000 E43.8000000 E2
> plot(TR,E=0..3200);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
258
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..3200);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3200);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 2607.305936
> phi:=p*h-c*E;
:= 114200.0000 E43.8000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2607.305936
> diff(phi,E);
114200.000087.6000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 114200.000087.6000000 E
> fsolve(y=0,E);
1303.652968
> Emey:=1303.652968;
Emey := 1303.652968
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 17.83831811
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1070299087 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3259132420 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.7443858450 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2607.305936
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 10.86377474
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.6518264844 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.6518264840 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.04
259
Lampiran 12 (Lanjutan)
(17) Udang
> a:=0.0138;
a := 0.0138
> b:=-0.00000103;
b := -0.103 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=55000000;
p := 55000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 6699.029125
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0138 E0.103 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 759000.0000 E56.65000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 46.22330098
> plot(TR,E=0..13400);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 46.22330096
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.2542281553 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1674757281 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.2374805825 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0138 E0.103 10-5 E 2
> plot(h,E=0..13400);
> TR:=p*h;
TR := 759000.0000 E56.65000000 E2
> plot(TR,E=0..13400);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
260
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..13400);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..13400);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 12956.75199
> phi:=p*h-c*E;
:= 734000.0000 E56.65000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 12956.75199
> diff(phi,E);
734000.0000113.3000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 734000.0000113.3000000 E
> fsolve(y=0,E);
6478.375993
> Emey:=6478.375993;
Emey := 6478.375993
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 46.17315252
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.2539523389 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1619593998 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.2377563989 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 12956.75199
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 5.8894327
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3239187985 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.3239187998 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.3
261
Lampiran 12 (Lanjutan)
(18) Kuwe
> a:=0.0277;
a := 0.0277
> b:=-0.0000065;
b := -0.65 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=33000000;
p := 33000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 2130.769231
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0277 E0.65 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 914100.0000 E214.5000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 29.51115385
> plot(TR,E=0..4300);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 29.51115385
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.9738680770 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.1331730769 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.8406950001 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0277 E0.65 10-5 E 2
> plot(h,E=0..4300);
> TR:=p*h;
TR := 914100.0000 E214.5000000 E2
> plot(TR,E=0..4300);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
262
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..4300);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..4300);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 3970.163170
> phi:=p*h-c*E;
:= 851600.0000 E214.5000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 3970.163170
> diff(phi,E);
851600.0000429.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 851600.0000429.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
1985.081585
> Emey:=1985.08158;
Emey := 1985.08158
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 29.37319206
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.9693153380 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1240675988 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.8452477392 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 3970.16316
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 7.5192486
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.2481352038 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.2481351975 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 6.3
263
Lampiran 12 (Lanjutan)
> a:=0.0217;
a := 0.0217
> b:=-0.0000094;
b := -0.94 10-5
> c:=25000;
c := 25000
> p:=35000000;
p := 35000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1154.255319
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0217 E0.94 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 759500.0000 E329.0000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 12.52367021
> plot(TR,E=0..2400);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 12.52367021
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.4383284574 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2885638298 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4094720744 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0217 E0.94 10-5 E 2
> plot(h,E=0..2400);
> TR:=p*h;
TR := 759500.0000 E329.0000000 E2
> plot(TR,E=0..2400);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
264
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..2400);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..2400);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 2232.522796
> phi:=p*h-c*E;
:= 734500.0000 E329.0000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2232.522796
> diff(phi,E);
734500.0000658.0000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 734500.0000658.0000000 E
> fsolve(y=0,E);
1116.261398
> Emey:=1116.261398;
Emey := 1116.261398
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 12.51010096
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.4378535336 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.2790653495 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4099469986 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2232.522796
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 1.59465914
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.5581306990 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.5581306990 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.
265
Lampiran 12 (Lanjutan)
(20) Layur
> a:=0.1183;
a := 0.1183
> b:=-0.000041;
b := -0.000041
> c:=25000;
c := 25000
> p:=15000000;
p := 15000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1442.682927
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1183 E0.000041 E2
> TR:=p*h;
TR := 0.1774500000 107 E615.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 85.33469512
> plot(TR,E=0..2900);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 85.33469515
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.1280020427 1010
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3606707318 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.1243953354 1010
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.1183 E0.000041 E2
> plot(h,E=0..2900);
> TR:=p*h;
TR := 0.1774500000 107 E615.000000 E2
> plot(TR,E=0..2900);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
266
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..2900);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..2900);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 2844.715447
> phi:=p*h-c*E;
:= 0.1749500000 107 E615.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 2844.715447
> diff(phi,E);
0.1749500000 1071230.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 0.1749500000 1071230.000000 E
> fsolve(y=0,E);
1422.357724
> Emey:=1422.357724;
Emey := 1422.357724
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 85.31775740
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.1279766361 1010
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.3555894310 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.1244207418 1010
> EOA:=2*Emey;
EOA := 2844.715448
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 4.7411923
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.7111788450 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.7111788620 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -1.70
267
Lampiran 12 (Lanjutan)
> a:=0.0115;
a := 0.0115
> b:=-0.000011;
b := -0.000011
> c:=62500;
c := 62500
> p:=25000000;
p := 25000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 522.7272725
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0115 E0.000011 E2
> TR:=p*h;
TR := 287500.0000 E275.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 3.005681818
> plot(TR,E=0..1060);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 3.005681819
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.7514204548 108
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.3267045453 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4247159095 108
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0115 E0.000011 E2
> plot(h,E=0..1060);
> TR:=p*h;
TR := 287500.0000 E275.000000 E2
> plot(TR,E=0..1060);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
268
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..1060);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..1060);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 818.1818182
> phi:=p*h-c*E;
:= 225000.0000 E275.000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 818.1818182
> diff(phi,E);
225000.0000550.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 225000.0000550.000000 E
> fsolve(y=0,E);
409.0909091
> Emey:=409.0909091;
Emey := 409.0909091
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 2.863636364
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.7159090910 108
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.2556818182 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4602272728 108
> EOA:=2*Emey;
EOA := 818.1818182
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 2.045454545
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.5113636362 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.5113636364 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := -0.02
269
Lampiran 12 (Lanjutan)
(22) Beloso
> a:=0.0607;
a := 0.0607
> b:=-0.000017;
b := -0.000017
> c:=25000;
c := 25000
> p:=5000000;
p := 5000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 1785.294118
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0607 E0.000017 E2
> TR:=p*h;
TR := 303500.0000 E85.000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 54.18367648
> plot(TR,E=0..3600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 54.18367650
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.2709183825 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.4463235295 108
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.2262860296 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0607 E0.000017 E2
> plot(h,E=0..3600);
> TR:=p*h;
TR := 303500.0000 E85.000000 E2
> plot(TR,E=0..3600);
> TC:=c*E;
TC := 25000 E
270
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..3600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..3600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 3276.470588
> phi:=p*h-c*E;
:= 278500.0000 E85.000000 E 2
> fsolve(phi,E);
0., 3276.470588
> diff(phi,E);
278500.0000170.000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 278500.0000170.000000 E
> fsolve(y=0,E);
1638.235294
> Emey:=1638.235294;
Emey := 1638.235294
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 53.81602941
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.2690801470 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.4095588235 108
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.2281242646 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 3276.470588
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 16.3823530
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.8191176500 108
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.8191176470 108
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.30
271
Lampiran 12 (Lanjutan)
(23) Manyung
> a:=0.0280;
a := 0.0280
> b:=-0.0000037;
b := -0.37 10-5
> c:=62500;
c := 62500
> p:=13000000;
p := 13000000
> Emsy:=-a/(2*b);
Emsy := 3783.783784
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0280 E0.37 10-5 E 2
> TR:=p*h;
TR := 364000.0000 E48.1000000 E2
> hmsy:=-a^2/(4*b);
hmsy := 52.97297298
> plot(TR,E=0..7600);
> hmsy:=a*Emsy+b*Emsy^2;
hmsy := 52.97297304
> TRmsy:=p*hmsy;
TRmsy := 0.6886486495 109
> TCmsy:=c*Emsy;
TCmsy := 0.2364864865 109
> Phimsy:=TRmsy-TCmsy;
Phimsy := 0.4521621630 109
> h:=a*E+b*E^2;
h := 0.0280 E0.37 10-5 E 2
> plot(h,E=0..7600);
> TR:=p*h;
TR := 364000.0000 E48.1000000 E2
> plot(TR,E=0..7600);
> TC:=c*E;
TC := 62500 E
272
Lampiran 12 (Lanjutan)
> plot(TC,E=0..7600);
> plot({TR,(E),TC(E)},E=0..7600);
> fsolve(TR=TC,E);
0., 6268.191268
> phi:=p*h-c*E;
:= 301500.0000 E48.1000000 E2
> fsolve(phi,E);
0., 6268.191268
> diff(phi,E);
301500.000096.2000000 E
> y:=diff(phi,E);
y := 301500.000096.2000000 E
> fsolve(y=0,E);
3134.095634
> Emey:=3134.095634;
Emey := 3134.095634
> hmey:=a*Emey+b*Emey^2;
hmey := 51.41122261
> TRmey:=p*hmey;
TRmey := 0.6683458939 109
> TCmey:=c*Emey;
TCmey := 0.1958809771 109
> phimey:=TRmey-TCmey;
phimey := 0.4724649168 109
> EOA:=2*Emey;
EOA := 6268.191268
> hOA:=a*EOA+b*EOA^2;
hOA := 30.1355350
> TROA:=p*hOA;
TROA := 0.3917619550 109
> TCOA:=c*EOA;
TCOA := 0.3917619542 109
> phiOA:=TROA-TCOA;
phiOA := 0.8
273
Lampiran 13 (Lanjutan)
Lampiran 14 (Lanjutan)
(2) Cantrang
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 5 th) 30.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 2 th) 7.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 10 th) 30.000.000
4 Harga mesin bantu (umur teknis 1 th) 4.000.000
Jumlah 71.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 6.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 3.500.000
3 Penyusutan mesin utama 3.000.000
4 Penyusutan mesin bantu 4.000.000
5 Perawatan kapal dan mesin 3.100.000
Jumlah 19.600.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 1.500.000
2 Biaya operasi penangkapan 165.000.000
Jml 166.500.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 186.100.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi 30 kgx300 tripx20000 180.000.000
2 Penjualan kurisi 7 kgx300 tripx5000 10.500.000
3 Penjualan ikan sebelah 1 kgx300 tripx1000 3.000.000
4 Penjualan ikan pepetek 1 kgx300 tripx1000 300.000
5 Ikan rucah 20 kgx300 tripx1000 6.000.000
Jml 199.800.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 13.700.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 6.850.000
2 Nahkoda
3 ABK (8 orang), pendapatan tiap nelayan 856.250
VIII. Biaya variabel 173.350.000
IX. Biaya total per tahun 192.950.000
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga alat tangkap (umur teknis 6 bln) 6.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan alat tangkap 12.000.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Biaya operasi penangkapan 14.400.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 26.400.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan teri musim puncak 450.000.000
musim sedang 36.000.000
2 Penjualan tembang musim puncak 135.000.000
musim sedang 22.500.000
Jumlah 643.500.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 617.100.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik kapal 96.525.000
VIII. Biaya variabel 110.925.000
IX. Biaya total per tahun 122.925.000
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 30.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 10 th) 50.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 2 th) 6.000.000
4 Lampu (umur teknis 3 th) 2.080.000
Jumlah 88.080.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 3.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 5.000.000
3 Penyusutan mesin utama 3.000.000
4 Penyusutan lampu 693.333
5 Perawatan kapal 4.000.000
6 Perawatan mesin 4.000.000
Jumlah 15.693.333
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
Biaya operasi penangkapan 120.000.000
Jumlah 120.000.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 135.693.333
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi-cumi 50kgx300 tripx20000 300.000.000
2 Penjualan kembung 40 kgx300 tripx10000 120.000.000
3 Penjualan ikan tembang 100 kgx300 tripx1500 45.000.000
4 Penjualan pepetek 50 kgx300 tripx1000 15.000.000
Jumlah 480.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 344.306.667
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 172.153.333
2 Nahkoda 43.038.333
3 ABK (4 orang), pendapatan tiap nelayan 43.038.333
VIII. Biaya variabel 292.153.333
IX. Biaya total per tahun 307.846.667
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 12 th) 60.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 5 th) 10.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 5 th) 10.000.000
4 Lampu (umur teknis 3 th) 7.200.000
Jumlah 87.200.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 5.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 2.000.000
3 Penyusutan mesin utama 2.000.000
4 Penyusutan lampu 2.400.000
5 Perawatan kapal 2.800.000
6 Perawatan lampu 1.920.000
Jumlah 14.200.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 1.200.000
2 Biaya operasi penangkapan 150.000.000
Jumlah 151.200.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 165.400.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan lemuru 130 kgx30 tripx5000 195.000.000
2 Penjualan layang 30 kgx300 tripx8000 72.000.000
3 Penjualan ikan tembang 120 kgx300 tripx3000 108.000.000
4 Penjualan tongkol 50 kgx300 tripx10000 150.000.000
5 Penjualan kembung 20 kgx300 tripx20000 120.000.000
Jumlah 645.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 479.600.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 239.800.000
2 Nahkoda 58.237.143
3 ABK (7 orang), pendapatan tiap nelayan 34.257.143
VIII. Biaya variabel 391.000.000
IX. Biaya total per tahun 405.200.000
Lampiran 17 (Lanjutan)
Payang
I. INVESTASI
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 15.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 3 th) 5.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 4 th) 3.000.000
4 Lampu (umur teknis 3 th) 0
Jumlah 23.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 1.500.000
2 Penyusutan alat tangkap 1.666.667
3 Penyusutan mesin utama 750.000
4 Penyusutan lampu 0
5 Perawatan kapal 500.000
6 Perawatan lampu 0
Jumlah 4.416.667
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 2.400.000
2 Biaya operasi penangkapan 60.000.000
Jumlah 62.400.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 66.816.667
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan teri nasi 72.000.000
2 Penjualan pari 5.400.000
3 Penjualan ikan tembang
4 Penjualan tongkol
Penjualan
5 kembung
Jumlah 77.400.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 10.583.333
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 4.233.333
2 Nahkoda 1.217.083
3 ABK (8 orang), pendapatan tiap nelayan 793.750
VIII. Biaya variabel 66.633.333
IX. Biaya total per tahun 71.050.000
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 20 th) 30.000.000
2 Harga alat tangkap untuk tengiri (umur teknis 1 bln) 960.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 10 th) 6.000.000
Jumlah 36.960.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 1.500.000
2 Penyusutan alat tangkap 960.000
3 Penyusutan mesin utama 600.000
4 Perawatan kapal 6.000.000
Jumlah 9.060.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 2.400.000
2 Biaya operasi penangkapan 200.000.000
Jumlah 202.400.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 211.460.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan tengiri 100 kgx200 tripx32000 640.000.000
Jumlah 640.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 428.540.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik 128.562.000
2 Nahkoda 64.281.000
3 ABK (6 orang), pendapatan tiap nelayan 21.427.000
VIII. Biaya variabel 330.962.000
IX. Biaya total per tahun 340.022.000
Besarnya
I. INVESTASI Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 10 th) 0
2 Harga alat tangkap (umur teknis 10 th) 10.000.000
3 Harga mesin (umur teknis 2 th) 0
Jumlah 10.000.000
II. BIAYA TETAP PER
TAHUN
Penyusutan
1 kapal 0
2 Penyusutan alat tangkap 1.000.000
Penyusutan
3 mesin 0
4 Perawatan alat tangkap 3.600.000
Jumlah 4.600.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
Biaya operasi penangkapan 270 trip x 10000 2.700.000
Jumlah 2.700.000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 7.300.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
1 Penjualan cumi-cumi 50 kgx180
tripx25000 225.000.000
2 Penjualan udang 5 kgx180 tripx40000 36.000.000
3 Penjualan rajungan 5 kgx120 tripx22000 13.200.000
4 Penjualan ikan rucah 95 kgx180
tripx2000 34.200.000
Jumlah 261.000.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun (Phi) 253.700.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik kapal 65.250.000
I. INVESTASI Besarnya
Biaya (Rp)
1 Harga kapal (umur teknis 3 th) 3.000.000
2 Harga alat tangkap (umur teknis 3 th) 15.000.000
3 Harga mesin utama (umur teknis 1 th) 1.000.000
Jml 19.000.000
II. BIAYA TETAP PER TAHUN
1 Penyusutan kapal 1.000.000
2 Penyusutan alat tangkap 5.000.000
3 Penyusutan mesin utama 1.000.000
Jml 7.000.000
III. BIAYA EKSPLOITASI PER TAHUN
1 Oli 2.400.000
2 Biaya operasi penangkapan (perbekalan):
solar 8 liter x 5000 X 300 trip 12.000.000
rokok 10000 x 300 trip 3.000.000
Sub jml 15.000.000
Jml 17,400,000
IV. Biaya yang dikeluarkan pemilik (EC+VC) 24.400.000
V. Penerimaan nelayan per tahun
Musim puncak:
1 Penjualan selar 3 kgx50 tripx8000 1.200.000
2 Penjualan kembung 2 kgx50 tripx14000 1.400.000
3 Penjualan kakap 3 kg x 50 trip x 25000 3.750.000
4 Penjualan layur 10 kg x 50 trip x 6000 3.000.000
5 Penjualan tenggiri 3 kg x 50 x 30000 4,500,000
Sub jml 13.850.000
Musim sedang sampai dengan paceklik
1 Penjualan selar 1.5 kgx100 tripx10000 1.500.000
2 Penjualan kembung 0.5 kgx50 tripx16000 400.000
3 Penjualan kakap 1 kg x 100 trip x 30000 3.000.000
4 Penjualan layur 3 kg x 100 trip x 7000 2.100.000
5 Penjualan tenggiri 1 kg x 50 trip x 30000 1.500.000
Sub jml 8.500.000
Jml 22.350.000
VI. Pendapatan yang diperoleh nelayan per tahun
(Phi) -2.050.000
VII. Bagi hasil
1 Pemilik -1.025.000
2 Nahkoda
3 ABK (3 orang), pendapatan tiap nelayan -341.667
VIII. Biaya variabel 16.375.000
IX. Biaya total per tahun 23.375.000
Keterangan:
Keterangan:
Max 0,11Gn+0,91Dg+0,29Bt+0,22Bp+0,13Py+0,17Pc+0,05Sr+0,03Rp
Max = Maksimumkan
Gn = Gill net
Dg = Dogol
Bt = Bagan tancap
Bp = Bagan perahu
Py = Payang
Pc = Pancing
Sr = Sero
Rp = Rampus
289
Kembung : 0,0266Gn+0,0423Dg+0,0096Bt+0,0146Bp+0,0088Py+0,0492Pc+0,0026Sr+
0,0145Rp<=263,27
Cumi- : 0,0002Gn+0,0467Dg+0,0103Bt+0,0451Bp+0,007Py+0,001Pc+0,0065
cumi Sr+0,0002Rp <=383,86
Tembang : 0,0021Gn+0,0866Dg+0,0616Bt+0,00548Bp+0,0245Py+0,0003Pc+
0,0095Sr+0,0012Rp<=633,18
Teri : 0,0091Dg+0,0767Bt+0,0345Bp+0,0199Py+0,0015Sr+0,0002Rp<=
272,36
Selar : 0,003Gn+0,0553Dg+0,0077Bt+0,0081Bp+0,01Py+0,0097Pc+0,0022
Sr+0,0015Rp<=146,84
Tongkol : 0,0064Gn+0,0001Bt+0,0015Bp+0,012Py+0,026Pc+0,0013Rp<=82,76
Layang : 0,0085Dg+0,0037Bt+0,0051Bp+0,011Py+0,0003Pc+0,001Sr+0,0001
Rp<=76,85
Lemuru : 0,0029Dg+0,0009Bt+0,0006Bp+0,0113Py<=36,28
Tenggiri : 0,0041Gn+0,0043Dg+0,0002Bt+0,0006Bp+0,0167Pc+0,0002Sr+0,00
17Rp<=35,44
Belanak : 0,0098Gn+0,001Dg+0,034Bt+0,0016Bp+0,0009Py+0,0009Pc+0,0006
Sr+0,0014Rp<=48,71
Cucut : 0,0012Gn+0,0015Dg+0,0001Bt+0,0007Bp+0,0037Pc+0,0003Sr<=17,
11
Kurisi : 0,0076Gn+0,1003Dg+0,0002Bt+0,0003Bp+0,0001Py+0,0017Pc+0,00
42Sr+0,0017Rp<=141,22
Rajungan : 0,014Gn+0,0173Dg+0,0043Bt+0,0038Bp+0,0005Py+0,0003Pc+0,001
3Sr+0,0131Rp<=141,90
Pepetek : 0,0123Gn+0,2126Dg+0,0919Bt+0,0327Bp+0,0213Py+0,0054Sr+0,00
36Rp<=877,54
Kakap : 0,0025Gn+0,0018Dg+0,0001Bp+0,015Pc+0,0001Sr+0,0005Rp<=18,
merah 47
Pari : 0,0013Gn+0,0114Dg+0,0002Bp+0,001Sr+0,0001Rp<=18,43
Udang : 0,0014Gn+0,0081Dg+0,0005Bt+0,0006Bp+0,0028Py+0,002Sr+0,000
2Rp<=46,22
Kuwe : 0,0029Gn+0,0053Dg+0,0005Bt+0,0003Bp+0,0188Pc+0,0001Sr+0,00
08Rp<=29,51
Bawal : 0,0072Dg+0,0001Bp+0,0001Py+0,0001Sr<=12,52
hitam
Layur : 0,0028Gn+0,0458Dg+0,0046Bt+0,0018Bp+0,002Py+0,0004Sr+0,000
5Rp<=85,33
Ekor : 0,0045Pc+0,0001Sr<=3,01
kuning
Beloso : 0,0003Gn+0,0345Dg+0,0005Bt+0,0003Bp+0,0001Py+0,0022Sr+0,00
03Rp<=54,18
Manyung : 0,0043Gn+0,0056Dg+0,0005Bt+0,0005Bp+0,0005Py+0,0116Pc+0,00
02Sr+0,0006Rp<=52,97
290
Kembung : 0,7810Gn+1,3208Dg+0,2427Bt+0,02817Bp+0,2226Py+Pc+0,0501Sr
+0,2850Rp<=7565
Cumi- : 0,0042Gn+Dg+0,2172Bt+0,1156Bp+0,1618Py+0,024Pc+0,1587Sr+0,
cumi 0045Rp<=13731
Tembang : 0,0615Gn+Dg+1,5245Bt+1,5195Bp+0,6338Py+0,0104Pc+0,2792Sr+
0,0410Rp<=6103
Teri : 0,0008Gn+0,1034Dg+Bt+0,8733Bp+0,2648Py+0,0328Sr+0,0066Rp<
=4411
Selar : 0,0427Gn+Dg+0,2199Bt+0,2863Bp+0,3087Py+0,3029Pc+0,0653Sr+
0,0503Rp<=2466
Tongkol : 0,5433Gn+0,0033Dg+0,0194Bt+0,4637Bp+0,066Py+Pc+0,0093Sr+0,
3809Rp<=3779
Layang : 0,0001Gn+2,4010Dg+0,689Bt+0,6755Bp+Py+0,0757Pc+0,155Sr+0,0
076Rp<=4686
Lemuru : 0,2848Dg+0,09Bt+0,039Bp+Py<=4593
Tenggiri : 0,3371Gn+0,5555Dg+0,0244Bt+0,1556Bp+0,0024Py+Pc+0,0258Sr+
0,3775Rp<=2250
Belanak : Gn+0,2978Dg+0,6287Bt+0,6710Bp+0,1471Py+0,3763Pc+0,2425Sr+
0,5913Rp<=5353
Cucut : 0,9490Gn+0,3553Dg+0,0615Bt+0,5789Bp+0,0001Py+Pc+0,2337Sr+
0,0041Rp<=3719
Kurisi : 0,054Gn+Dg+0,0024Bt+0,0104Bp+0,0015Py+0,0211Pc+00806Sr+0,
0329Rp<=1328
Rajungan : 1,4326Gn+Dg+0,2551Bt+0,6752Bp+0,0317Py+0,0046Pc+0,1895Sr+
2,3575p<=7754
Pepetek : 0,0224Gn+Dg+0,4555Bt+0,2097Bp+0,0689Py+0,0411Sr+0,02478Rp
<=1755
Kakap : 0,184Gn+0,2262Dg+0,0022Bt+0,0046Bp+0,0006Py+Pc+0,0101Sr+0,
merah 0378Rp<=1613
Pari : 0,1514Gn+Dg+0,0028Bt+0,0206Bp+0,0054Py+0,1211Sr+0,0117Rp<
=1589
Udang : 0,2632Gn+Dg+0,1312Bt+0,2450Bp+1,0065Py+0,9285Sr+0,0639Rp<
=6699
Kuwe : 0,148Gn+0,3985Dg+0,0373Bt+0,0146Bp+0,0024Py+Pc+0,0068Sr+0,
0412Rp<=2131
Bawal : 0,0114Gn+Dg+0,0213Bt+0,113Bp+0,0305Py+0,0148Pc+0,0879Sr+0,
hitam 0381Rp<=1154
Layur : 0,0407Gn+Dg+0,0849Bt+0,2396Bp+0,0453Py+0,0649Sr+0,0719Rp<
=1443
Ekor : 0,0072Gn+0,0144Dg+0,0006Bp+0,0108Py+Pc+0,0173Sr+0,0011Rp<
kuning =523
Beloso : 0,011Gn+Dg+0,013Bt+0,0256Bp+0,0074Py+0,1605Sr+0,0114Rp<=1
785
Manyung : 0,8973Gn+1,159Dg+0,0803Bt+0,1359Bp+0,089Py+Pc+0,0666Sr+0,1
651Rp<=3784
Lampiran 26 (Lanjutan)
Gn>=0
Dg>=0
Bt>=0
Bp>=0
Py>=0
Pc>=0
Sr>=0
Rp>=0
END
Keterangan:
Gn : Armada penangkapan gill net
Dg : Armada penangkapan dogol
Bt : Armada penangkapan bagan tancap
Bp : Armada penangkapan bagan perahu
Py : Armada penangkapan paying
Pc : Armada penangkapan pancing ulur
Sr : Armada penangkapan sero
Rp : Armada penangkapan rampus
292
Lampiran 27 (Lanjutan)
NO. ITERATIONS= 2
Lampiran 27 (Lanjutan)
No a b Catch Effort
Jenis Ikan (ton) (trip)
1 Kembung 0.0696 -4.60E-06 217.24 4416
2 Cumi-cumi 0.0530 -1.93E-06 153.23 3282
3 Teri 0.1235 -1.40E-05 260.87 3400
4 Tongkol 0.0438 -5.80E-06 79.86 3068
5 Lemuru 0.0158 -1.72E-06 29.37 2593
6 Rajungan 0.0366 -2.36E-06 136.69 6265
7 Kakap merah 0.0229 -7.10E-06 16.67 1111
8 Udang 0.0138 -1.03E-06 44.94 5541
9 Kuwe 0.0277 -6.50E-06 25.63 1355
Lampiran 28 (Lanjutan)
Lampiran 28 (Lanjutan)
Lampiran 28 (Lanjutan)
FPI
No Jenis Ikan GN DG BT BP PY PC SR RP
1 Kembung 0.7810 1.3208 0.2427 0.2817 0.2226 1.0000 0.0501 0.2850
2 Cumi-cumi 0.0042 1.0000 0.2172 1.1156 0.1618 0.0240 0.1587 0.0045
3 Teri 0.0008 0.1034 1.0000 0.8733 0.2648 0.0000 0.0328 0.0066
4 Tongkol 0.5433 0.0033 0.0194 0.4637 0.0660 1.0000 0.0093 0.3809
5 Lemuru 0.0000 0.2848 0.0900 0.0390 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 Rajungan 1.4326 1.0000 0.2551 0.6752 0.0317 0.0046 0.1895 2.3575
7 Kakap merah 0.1840 0.2262 0.0022 0.0046 0.0006 1.0000 0.0101 0.0378
8 Udang 0.2632 1.0000 0.1312 0.2450 1.0065 0.0000 0.9285 0.0639
9 Kuwe 0.1480 0.3985 0.0373 0.0146 0.0024 1.0000 0.0068 0.0412
299
Lampiran 28 (Lanjutan)
GN 670.4X -212.8
Lampiran 28 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)
FPI
No Jenis Ikan GN DG BT BP PY PC SR RP
1 Kembung 1.0087 1.4101 0.2469 0.3264 0.2947 1.0000 0.0407 0.1531
2 Cumi-cumi 0.0056 1.0000 0.2091 1.0472 0.1622 0.0232 0.0932 0.0037
3 Teri 0.0019 0.1155 1.0000 0.9153 0.2849 0.0000 0.0240 0.0061
4 Tongkol 1.5714 0.0087 0.0264 0.7840 0.0671 1.0000 0.0000 0.2252
5 Lemuru 0.0000 0.2848 0.0900 0.0357 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000
6 Rajungan 1.4968 1.0000 0.2515 0.6729 0.0317 0.0046 0.1575 2.3422
7 Kakap merah 0.1898 0.3540 0.0022 0.0053 0.0020 1.0000 0.0047 0.0342
8 Udang 0.2974 1.0000 0.0887 0.2247 1.0122 0.0000 0.3635 0.0352
9 Kuwe 0.1549 0.6616 0.0390 0.0172 0.0026 1.0000 0.0040 0.0396
305
Lampiran 29 (Lanjutan)
GN 165.2X + 797.6
Lampiran 29 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)
Lampiran 29 (Lanjutan)