Sei sulla pagina 1di 23

Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

di Luar Tembok Keraton Yogyakarta1

Siti Hidayati Amal

(Universitas Indonesia)

Abstract

The assimilation between Arabic in-migrants from Hadramaut with Javanese noble women
has been taking place since the 13 th century. Some of their offspring has identified themselves
as Arabic Indonesians, especially after Independence, while a proportion of them has chosen
to associate themselves with their local Javanese relatives. The latter even has lost their
Arabic cultural identity, and as a result, has become Javanese. This article tries to explain why
such a phenomenon has materialized using a family case of a Javanese trah—Javanese version
of a clan—who has been living outside the Yogyakarta court. By tracing the family lineage;
attitude -both culturally and politically- and life-style of certain trah’s figures as Javanese in
the context of larger meso-institutional and macro-structural systems, this article argues that
the fading away of Arabic identity among the offspring of this particular trah could be attrib-
uted to two contextual political economic relations between the Dutch and the Javanese
rulers in two different eras. The first one was before the Dipanegara war when the relation was
mainly economic, namely the Dutch as the trade-corporate (VOC); and the second was after-
wards during which time the Dutch managed to consolidate their full total-grip as a colonial
power. Furthermore, this article argues that the attitude of the Dutch and the way they treated
the offspring this particular Arabic-Javanese court families, and their generational impact,
could only be understood within the larger contexts of the day.

Key words: trade capitalism; social relation; political economic power.

Pengantar perkawinan terjadi antara perempuan pribumi


Di Indonesia, pembauran antara orang- dengan laki-laki Arab. Mereka bersama
orang pribumi dengan orang-orang Arab melalui keturunannya menetap di Nusantara dan
perkawinan, telah dilakukan sejak sebelum sekarang menjadi orang Indonesia. Di antara
Belanda datang ke Indonesia (van den Berg keturunan Arab ini ada yang menamakan diri
1989:67; Algadri 1994:23). Pada umumnya sebagai etnik Arab berdasarkan atas pengetahu-
an dan kesadaran bahwa mereka berbeda dari
1
kelompok etnik lainnya. Perbedaan itu
Dipersembahkan kepada Almarhumah Ibu Hj. Syarifah
Siti Sudarsih binti Sayid Hasan Manadi Madiokusumo berdasarkan pada dua hal yaitu, pertama,
dan Almarhum Bapak Soemitro Oetomo bin Ambyah memiliki moyang yang sama, berasal dari
Soeropranoto. Hadramaut bernama Ahmad bin Isa yang

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 159


dijuluki Al Muhajir atau Ahmad Al Muhajir. 2 Jawa, melakukan adat istiadat Jawa, dan meng-
Semua keturunan Ba’alwi yang ada di Indone- gunakan sistem kekerabatan Jawa (Algadri
sia dapat mengetahui nasabnya melalui pohon 1988:24–25). Keturunan mereka sekarang ini,
keluarga (van den Berg 1988:34). Kedua, mereka meskipun dari pihak ayahnya memiliki satu
merupakan satu kelompok yang memiliki ciri- moyang yang sama yaitu keturunan dari Ahmad
ciri primordial yang sama. Kedua hal tersebut bin Isa, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan
hanya ditampakkan dalam bentuk in group feel- dan kesadaran tentang hal tersebut di atas.
ing, di ranah domestik atau di kalangan mereka Ikatan primordial mereka bukan kesamaan
sendiri, misalnya, ketika diadakan acara-acara keturunan dari Arab, tetapi justru dari Jawa. Van
keluarga luas. Di dalam ranah publik, mereka den Berg (1988:129) dalam penelitiannya tentang
adalah orang Indonesia. Seperti orang Indone- orang-orang Arab di Indonesia yang berasal dari
sia dari kelompok etnik lainnya, selain Hadramaut tahun 1884–1886 menemukan
menggunakan bahasa Indonesia, mereka adanya sebuah keluarga Arab yang berasal dari
menggunakan bahasa daerah misalnya bahasa Hadramaut, yang menduduki posisi penting di
Jawa, bahasa Sunda, bahasa Betawi, dan kesultanan Yogyakarta. Namun, keluarga itu
sebagainya tergantung di mana mereka dibesar- telah kehilangan sama sekali ciri Arab mereka
kan. Mayoritas dari generasi mereka kemudian dan menjadi orang Jawa. Van den Berg tidak
tidak bisa menggunakan bahasa Arab lagi. menjelaskan lebih lanjut mengenai keluarga Arab
Pengetahuan dan kesadaran bahwa mereka ini, mungkin karena tidak memperoleh jejaknya.
berbeda dari kelompok etnik yang lain di satu Tulisan ini bertujuan untuk mengisi kekosong-
pihak, dan pengetahuan serta kesadaran mereka an empirik yang ditinggalkan oleh van den Berg
yang bukan keturunan Arab di lain pihak, dalam melalui sebuah studi kasus tentang seorang
interaksi sosial sehari-hari telah menumbuhkan keturunan Arab-Jawa yang para keturunannya,
in group dan outgroup feelings di antara dari garis laki-laki, telah kehilangan ciri Arab
keduanya. Kedua belah pihak mengetahui mereka dan dikenal sebagai orang Jawa. Dengan
bahwa keduanya berbeda. Keturunan Arab demikian, permasalahan pokok dari artikel ini
disebut sebagai orang Arab oleh pihak lainnya adalah “bagaimana keturunan Arab-Jawa dari
yang bukan Arab. garis laki-laki sampai kehilangan ciri Arabnya dan
Selain kelompok di atas, di jaman kolonial menjadi orang Jawa?”
Belanda ada juga keturunan Arab yang Artikel ini disusun berdasarkan pada dua
berasimilasi dengan orang-orang dari etnik Jawa, sumber utama. Sumber pertama adalah
tetapi mereka tidak menggunakan identitas ke- penuturan seorang keturunan Arab-Jawa dari
Arab-annya. Mereka menggunakan nama Jawa, pihak ibu, yaitu ibu Wida. Ibu ini memperoleh
berbahasa Jawa, berpakaian Jawa, bertata-krama silsilah dari Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin
di Jakarta3 yang memperlihatkan moyangnya
2
Ahmad bin Isa diberi nama Al Muhajir karena berhijrah dari Arab. Selain itu, ia juga memperoleh Serat
dari Mekah, kemudian ke Basrah (Iraq), kemudian ke Kekancingan (Surat Keterangan Silsilah) dari
Hadramaut. Cucu Ahmad Al Muhajir yang lahir di
Hadramaut bernama Alwi dan Alwi ini adalah keturunan Keraton Yogyakarta yang memperlihatkan
Nabi Muhammad SAW yang pertama lahir di moyangnya dari Jawa. Kedua silsilah tersebut
Hadramaut. Keturunan Alwi disebut Ba’alwi atau memperlihatkan bahwa ibu Wida adalah
Alawiyyin. Semua keturunan Alwi (Alawiyyin) yang
ada di Hadramaut, India, Hijaz, Afrika, dan Indonesia
dapat menarik nasab darinya (Alwi Ibnu Muhammad 3
Baca tulisan Yasmine Shahab mengenai perkumpulan
Ibnu Ahmad Bafaqih1999). tersebut dalam nomor ini.

160 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


keturunan Arab-Jawa.4 Sumber kedua adalah Budaya Jawa di dalam keluarga
catatan-catatan lepas dari almarhum bapak Ibu Wida yang terlahir dari seorang ibu dan
Soemitro Oetomo (Tommy) kerabat ibu Wida ayah berdarah Jawa, bersama dengan mayoritas
(lihat silsilah 2). Semasa hidupnya, almarhum keluarga luasnya, baik dari pihak ibu maupun
sangat rajin dan tekun melacak orang-orang dari pihak ayah di beberapa generasi, dari sejak
yang menurunkannya, baik dari pihak ayah kecil diasuh dan dididik menjadi orang Jawa
maupun dari pihak ibunya, serta berupaya yaitu belajar unggah-ungguh (tata krama) Jawa,
mengetahui sejarah hidup mereka. Ketekunan belajar mengenali dan mentaati nilai-nilai dan
bapak Tommy diperkuat oleh usahanya mencari norma-norma Jawa, menggunakan terminologi
kepustakaan sejarah yang ditulis oleh para ahli dan sistem kekerabatan Jawa, berbahasa Jawa,
sejarah yaitu Peter Carrey, Sartono Kartodirdjo, berpakaian Jawa, dan beradat istiadat Jawa.
Arnold Toynbee, de Graaf, dan juga Kantor Mayoritas keluarga luas ibu Wida memanggil
Arsip Nasional, selain informasi lisan yang kedua orangtuanya dengan sebutan “ibu” dan
diberikan oleh ibunya seorang perempuan “bapak”. Hanya sebahagian kecil saja yang
berdarah Arab-Jawa. Semua informasi yang memanggil “mama” dan “papa”. Kakek dan
diperoleh, dituliskannya dalam buku tulis dan nenek dari pihak ibu maupun dari pihak ayah
kertas terpisah dalam tulisan tangan. dipanggil ”eyang puteri” dan “eyang kakung”.
Selain kedua sumber utama tersebut, Akan tetapi ibu Siti S (ibunya ibu Wida)
sumber lain adalah penuturan lisan dua orang mengajari ibu Wida dan adiknya memanggil
bibi ibu Wida yaitu ibu Aisyah dan ibu Yugani, kakeknya dengan sebutan “eyang abah”.
ibunya ibu Wida bernama ibu Siti S, adik Semua saudara ibu dan ayah yang statusnya
kandung bapak Tommy yaitu bapak Basuki, ibu lebih muda, jika perempuan dipanggil “bulik”
Siti Djuminah (adik kandung neneknya ibu sedangkan yang laki-laki dipanggil “paklik”.
Wida), dan dua orang kerabat dalem Keraton Hanya sebahagian kecil saja yang memanggil
Yogyakarta yaitu bapak RM Goewindho dan mereka dengan sebutan “om” dan “tante”.
bapak RM Moerti. Kedua orang yang disebut Saudara perempuan dan saudara laki-laki ibu
terakhir adalah pengurus Tepas Darah Dalem dan ayah yang statusnya lebih tua dipanggil
Keraton Yogyakarta. Informasi tentang “bude” dan “pakde“. Saudara kandung atau
kehidupan keluarga keturunan Arab-Jawa ini saudara sepupu yang statusnya lebih muda
juga penulis peroleh melalui pengamatan biasanya hanya disebut namanya saja. Untuk
terlibat penulis terhadap kehidupan beberapa menghormati mereka yang statusnya lebih
keluarga luas ibu Wida dan almarhum bapak muda tetapi usianya lebih tua dipanggil dengan
Tommy yang segenerasi. Kedua informan sebutan ‘dik”. Kepada mereka yang statusnya
memperoleh Informasi tentang moyang mereka lebih tua, panggilannya adalah “mas” untuk
berasal dari Arab selain Jawa, dari ibu masing- yang laki-laki, dan “mbak” untuk yang
masing dan juga dari kerabat mereka yang lain.5 perempuan.6 Generasi orangtua ibu Wida dan

4
Silsilah dari Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin dan meminjamkan catatan-catatan almarhum bapak
Keraton Yogyakarta sengaja tidak dilampirkan atas Soemitro Oetomo.
permintaan informan.
6
5
Bagi orang Jawa, usia bukan acuan utama untuk
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih atas menentukan panggilan yang layak bagi pemilik usia.
kesediaan para narasumber untuk diwawancarai dan Orang Jawa selalu melihat status dalam hirarki keluarga
kesediaan ibu Rosana Soemitro Oetomo untuk luasnya. Apabila seseorang usianya lebih muda, tetapi

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 161


generasi-generasi di atasnya menggunakan dengan nenek dan seterusnya ke atas, kain dan
panggilan “mbakyu” untuk saudara perempuan kebaya merupakan pakaian sehari-hari dan
yang statusnya lebih tua. pakaian resmi. Diduga, kain batik, surjan, dan
Bahasa percakapan sehari-hari yang destar dikenakan sebagai pakaian sehari-hari
digunakan oleh Ibu Wida dengan saudara- sedangkan kain batik, beskap, dan blangkon
saudaranya segenerasi, dan dengan kerabat digunakan sebagai pakaian resmi di kalangan
yang segenerasi dengan orangtuanya, dengan generasi buyut (generasi orangtua kakek dan
kakek-neneknya adalah bahasa Indonesia, nenek) dan generasi di atasnya. Berkaitan
sebab ibu Wida dilahirkan dan dibesarkan di dengan pakaian ini penulis melihat foto
Jakarta 50 tahun yang lalu. Bahasa Jawa halus keluarga batih kakek buyut ibu Wida dari pihak
(kromo inggil), bahasa Jawa menengah (kromo ibu yang bernama Soendoro Djojowinoto. Pada
madio), maupun bahasa Jawa kasar (ngoko) foto tersebut tampak kakek buyut mengguna-
hanya dikuasainya secara pasif saja. Namun kan kain batik, surjan dan blangkon; nenek
demikian, saudara-saudara sepupunya, baik buyut mengenakan kain-kebaya dan ber-
dari pihak ibu maupun dari pihak ayah yang kerudung; anak-anak laki-laki yang telah
lahir dan dibesarkan di Jawa Timur, Jawa menginjak usia dewasa berpakaian sama
Tengah, dan Yogyakarta menguasai ketiga dengan ayahnya sedangkan anak-anak
tingkatan Bahasa Jawa secara baik, apalagi perempuan yang juga telah menginjak dewasa
generasi orangtua, generasi kakek dan nenek, mengenakan kain-kebaya tanpa kerudung.
serta generasi buyutnya. Namun, tidak semua Anak-anak kecil, yang laki-laki mengenakan
anggota keluarga luas Ibu Wida bisa berbahasa celana pendek dan kemeja, anak-anak
Jawa. Sebahagian keluarga luas ibu Wida dan perempuan mengenakan rok. Salah satu bibi
almarhum bapak Tommy, yang lahir dan ibu Wida, ibu Aisyah, menuturkan pernah
dibesarkan di Bandung, Sukabumi, dan Serang melihat foto kakek ibu Wida bernama Hasan
menguasai bahasa Sunda, baik bahasa Sunda Manadi Madiokusumo ketika ia bersekolah di
halus maupun bahasa Sunda kasar. Mereka Middelbare Landbouw School (Sekolah
yang lahir dan dibesarkan di Jakarta meng- Pertanian Menengah Atas), Bogor. Dalam foto
gunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta dalam tersebut sang kakek mengenakan kain batik,
percakapan sehari-hari. surjan , dan blangkon , sedangkan semua
Pakaian Jawa, kain batik dan kebaya Jawa teman-temannya mengenakan pantalon dan
untuk perempuan, kain batik, beskap/surjan kemeja. Bibi Ibu Wida pernah menanyakan
(jas atau kemeja Jawa), blangkon/destar (topi perihal berbedanya baju sang ayah dari teman-
Jawa) untuk laki-laki tidak lagi dipakai oleh temannya tersebut. Pertanyaan itu dijawab
generasi ibu Wida dan generasi sesudahnya. dalam bahasa Jawa kurang lebihnya begini:
Kain dan kebaya Jawa, untuk generasi ibu Wida “Sanajan sekolahe sekolah Londo, nanging
dan generasi di bawahnya, dimodifikasi atau ojo lali nek awake dewe iki wong Jowo, kudu
tidak dipakai sebagai pakaian resmi. Akan tetapi tetep duwe patrap lan unggah ungguh Jowo /
untuk anggota keluarga yang segenerasi meskipun bersekolah di sekolah Belanda, tetapi
jangan lupa bahwa kita ini tetap orang Jawa
statusnya dalam hirarki keluarga luas lebih tua atau
yang berbudaya Jawa dan harus selalu memiliki
lebih muda maka ia akan dipanggil dengan terminologi perilaku Jawa dan tata krama Jawa”.
kekerabatan yang sesuai dengan statusnya dalam hirarki Dalam hal pemilihan jodoh, generasi kakek
keluarga luasnya (Geertz 1961).
dan nenek ibu Wida tidak bisa memilihnya

162 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


sendiri. Contohnya adalah kakek dan nenek ibu dengan yang ditemukan oleh Hildred Geertz
Wida. Pernikahan mereka diatur oleh orang- dalam penelitiannya di Pare, Jawa Timur, tahun
tuanya dan juga oleh kakeknya. Keduanya 1961.
merupakan kerabat (saudara sepupu satu kakek Pertemuan dengan anggota keluarga luas
dan nenek). Begitu pula pernikahan orangtua yang hidup dalam satu kota, apalagi di Jakarta,
bapak Tommy. Generasi ibu Wida tidak lagi dilakukan bila ada kematian salah satu anggota
mengalami pernikahan seperti itu. Apalagi keluarga luas, lamaran, pernikahan, dan
generasi sesudah ibu Wida. Endogami kerabat upacara-upacara ritual lainnya dalam siklus
tidak lagi popular, bahkan di antara mereka ada kehidupan seseorang atau keluarga, dan juga
yang melakukan perkawinan antar suku. Mereka pada hari raya Idul Fitri. Apabila terjadi peristiwa
bisa memilih sendiri jodohnya meskipun kelahiran, kematian, lamaran, dan perkawinan,
persetujuan dari orangtua masih harus tolong menolong dalam bentuk materi, tenaga,
diperoleh dengan mempertimbangkan bibit dan pemikiran secara resiprokal pun dilakukan.
(keturunan orang baik-baik), bebet (keturunan Upacara pernikahan, selain berdasarkan
orang berharta namun dermawan), dan bobot pada agama masing-masing (tidak semua
(berpendidikan dan teguh dalam menjalankan anggota keluarga luas ibu Wida beragama Is-
profesi ) dari calon pasangannya. lam-santri, di antara mereka ada yang abangan
Sistem kekerabatan yang dikenal dan dianut dan beragama Katholik), juga masih banyak
oleh ibu Wida maupun bapak Tommy dan yang menggunakan adat Jawa. Upacara adat
keluarga luasnya adalah sistem kekerabatan Jawa ini dilakukan jika yang menikah adalah
bilateral, yaitu seorang anak dapat menarik anak perempuan dan dilakukan di rumah
garis keturunan dari ayah ataupun dari ibunya orangtua pengantin perempuan. Bagi orang
(Geertz 1961). Mereka tidak mengenal cara Jawa, hajatan itu merupakan “hajatannya pihak
menarik garis keturunan patrilineal seperti perempuan”. Tetapi apabila yang menikah anak
halnya pada orang Arab. Rumahtangga yang laki-laki dan menikah dengan perempuan bukan
dibangun sesudah pernikahan adalah rumah Jawa, belum tentu menggunakan adat Jawa.
tangga keluarga inti/batih (nuclear familiy Generasi orangtua ibu Wida dan generasi
household) atau “somah” dalam bahasa Jawa. sebelumnya ketika menikah menggunakan adat
Dalam rumah tangga itu anggota keluarga yang Jawa. Upacara adat lainnya adalah upacara
utama dan penting hanyalah suami, isteri, dan mitoni atau tingkeban ketika usia kandungan
anak-anak yang belum menikah. Anak-anak 7 bulan; upacara menanam ari-ari (placenta)
yang telah menikah sangat diharapkan bayi ketika sang bayi sudah lahir; upacara
membangun somahnya sendiri dan mandiri selapanan dan cukur rambut ketika sang bayi
secara ekonomi. Oleh karena itu, tempat tinggal berusia 40 hari; upacara tedak siten (turun
menetap setelah menikah di kalangan keluarga tanah) ketika sang bayi berusia tujuh (7) bulan,
luas ibu Wida dan bapak Tommy adalah juga masih ada yang melakukannya.
neolokal, yaitu memisahkan diri dari rumah Dengan demikian, ibu Wida, bapak Tommy
tangga orang tuanya baik dari pihak suami dan saudara-saudaranya yang segenerasi,
maupun dari pihak istri. Sistem kekerabatan bi- generasi sebelumnya yaitu generasi orangtua,
lateral dan penekanan utama kepada rumah generasi kakek dan nenek, generasi buyut
tangga keluarga batih bersifat neolokal yang (generasi orangtua kakek dan nenek), generasi
berlaku dalam keluarga besar ibu Wida dan canggah ( generasi orangtua buyut), generasi
keluarga besar bapak Tommy masih sesuai wareng (generasi orangtua canggah) yang

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 163


telah dibesarkan dalam budaya Jawa, akan Alwi Ba’abud itu? Bapak Tommy mencatat
melihat dirinya sebagai orang Jawa, bukan bahwa Sayid Alwi Ba’abud (1724–1815) datang
sebagai orang Arab. ke Jawa melalui jalur perdagangan Jepara dan
Ketika kedua informan ini dewasa, mereka Demak. Datang di tahun 1755, tahun ketika
memperoleh informasi bahwa keduanya berdarah Pangeran Mangkubumi (1717–1792), putera
Arab. Informasi tersebut mengejutkan, dan Sultan Amangkurat IV dari garwo ampeyan
menimbulkan sejumlah pertanyaan di benak bernama Mas Ayu Tejowati, dinobatkan
mereka. Perasaan tidak percaya akan informasi menjadi Sultan Hamengku Buwono I, setelah
itu mendorong para informan melakukan Perjanjian Giyanti 1755. Selain kedatangannya
berbagai upaya untuk mendapatkan bukti-bukti sebagai seorang saudagar kuda, Alwi Ba’abud
tentang kemungkinan mereka berdarah Arab. juga disebut sebagai seorang ulama dan tabib.
Di Kesultanan Yogyakarta, Alwi Ba’abud
Pelacakan moyang dari Arab dan Jawa bersahabat dengan sultan dan diangkat menjadi
Konon, menurut cerita para pini sepuh 7 penasihat agama di Keraton Yogyakarta
kedua informan, yang menurunkan keduanya (penghulu). Syamsu (1999:160) menyebutkan:
adalah seorang saudagar kuda bernama Sayid “Habib Alwi Ba’abud sebagai ulama Arab yang
Alwi Ba’abud dari Hadramaut yang menikahkan dekat dengan keluarga keraton Yogyakarta….”
anak laki-lakinya bernama Sayid Hasan Al Sumber lain, yaitu ibu Yugani (salah satu
Munadi dengan puteri Sultan Sepuh (Sultan bibi ibu Wida) yang memperoleh informasi dari
Hamengku Buwono II) yang bernama BRA ayahnya (kakek ibu Wida) menyebutkan
(Bendoro Raden Ayu) Samparwadi dari ibu yang bertemunya Alwi Ba’abud dengan Sultan Sepuh
statusnya garwo ampeyan (selir), bernama yaitu ketika Sultan Sepuh diasingkan ke Ceylon
(BMA) Bendoro Mas Ajeng Citrosari, yang oleh Inggeris.9 Berarti, ketika itu Sultan Sepuh
berasal dari desa Beki, Purworejo.8 Siapa Sayid sudah naik tahta. Informasi yang mana yang
valid, kiranya penulis masih harus mencarinya
7
Sebutan bagi orangtua, paman, bibi, kakek, nenek, lagi dari sumber lainnya.
adik dan kakak dari kakek dan nenek – generasi yang
lebih tua atau dituakan (para tetua).
Bagaimana bisa seorang Arab berbesan
8 dengan Sultan Yogya? Menurut cerita nenek,
Kakek ibu Wida dari ibu, semasa hidupnya jika sedang
berada di Jakarta, selalu menyempatkan diri berkunjung ibu, dan para bibi Ibu Wida dan juga cerita
ke Perpustakaan Museum Gajah. Pada suatu hari ketika ibunya bapak Tommy adalah sebagai berikut:
pulang dari museum beliau bercerita kepada ibunya ibu Samparwadi (1775–1797) salah satu puteri GRM
Wida bahwa benar besan Sultan Sepuh itu seorang
saudagar kuda dari Arab. “Hij was een paarden Sundoro (1750–1828) putera Sultan Hamengku
handelaar geweest” begitu katanya. Menurut catatan
bapak Tommy, Alwi Ba’abud datang ke Yogyakarta
Dipanegara, pengaruh Janissary Turki sangat tampak.
sebagai utusan Sultan Usman (1754–757) dari
Dipanegara memasukkan pendukungnya yang mahir
Kesultanan Ottoman, Turki. Disebutkan oleh almarhum
dalam berperang ke dalam resimen-resimen pilihan
bahwa sejak Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung
seperti bulko-bulkio, turkio-turkio, dan arkio-arkionya
telah terjadi hubungan diplomatik (secara rahasia)
Janissary Turki (Carrey 1985:68).
dengan Kesultanan Ottoman Turki. Bahkan GRM
9
Sundoro (Sultan Hamengku Buwono II) pernah ke Turki Bapak RM Goewindho, Ketua Umum Paguyuban Trah
tahun 1768–1771 untuk mempelajari Janissary HB II di Yogyakarta dan juga Kepala Tepas Darah
(pasukan infantri elit dan digdaya yang menjadi Dalem, Keraton Yogyakarta mengatakan kepada
pengawal sultan dan merupakan pasukan perang utama penulis bahwa Sultan Sepuh pernah diasingkan ke
dari Angkatan Darat Turki sejak akhir abad ke-14 Ceylon oleh Inggris tetapi beliau tidak mengetahui
sampai awal abad ke-19) (bapak Tommy mengutip tentang kemungkinan sang sultan bertemu dan
Sejarah Melayu Islam/SIM, halaman 31). Ketika Perang berkenalan dengan Alwi Ba’abud di Ceylon.

164 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


Buwono I—yang kemudian naik tahta di tahun abahku, budeku, paklikku yang bungsu dan
1792 dan bergelar Sultan Hamengku Buwono beberapa orang anaknya, juga salah satu adik
II—saat itu sedang sakit. Seperti dalam dongeng perempuan paklik Tommy, eyang Abu Bakar
saja, GRM Sundoro bersayembara barang siapa (adik eyang puteriku) dan beberapa anaknya,
yang dapat menyembuhkan puterinya, apabila wajahnya tidak seperti orang Jawa, tetapi justru
laki-laki akan dijodohkan dengan puterinya itu, seperti orang Arab.”
dan apabila perempuan akan diangkat menjadi Agar ibu Wida yakin benar tentang
saudara Samparwadi. Orang yang berhasil moyangnya dari Arab yang menurunkannya,
menyembuhkan puteri Sundoro adalah Alwi ia mendatangi Perkumpulan Ar-Rabitatul
Ba’abud. Namun, karena sudah lanjut usia, Alawiyyin yang letaknya di Tanah Abang,
umurnya saat itu 65 tahun, Alwi merasa tak Jakarta. Informasi tentang Perkumpulan Ar-
pantas menikah dengan perempuan yang masih Rabitatul Alawiyyin didapat ibu Wida dari
berusia 14 tahun. Puteri Sundoro kemudian bapak Tommy. Tetapi Ibu Wida tidak mem-
dinikahkan dengan anak laki-laki Alwi Ba’abud peroleh informasi yang jelas mengenai letak
yang berusia 25 tahun, bernama Kasan (Hasan) persisnya perkumpulan itu di Tanah Abang. Ia
Al Munadi (1764–1830).10 Pernikahan mereka mengetahui letak perkumpulan itu secara
dilaksanakan pada tahun 1789. 11 Salah satu anak kebetulan ketika melintasi jalan Tanah Abang,
laki-laki Samparwadi dan Hasan Al Munadi yang dan melihat papan bertuliskan nama
bernama Ibrahim Ba’abud Madiokusumo inilah perkumpulan tersebut. Beberapa hari kemudian,
yang kemudian, melalui garis keturunan laki-laki ketika memiliki kesempatan untuk berkunjung
dan perempuan, merupakan cikal bakal yang ke perkumpulan tersebut, Ibu Wida memberani-
menurunkan ibu Wida dan bapak Tommy kan diri untuk mengetahui tentang moyangnya
beserta keluarga luasnya dari beberapa generasi, yang berasal dari Arab. Setelah kurang lebih
dari pihak ibu mereka (lihat Silsilah 2). satu tahun, ibu Wida memperoleh dari
Penjelasan yang lebih rinci tersebut perkumpulan tersebut silsilah moyangnya dari
membuat ibu Wida mulai mempercayainya: Arab yang terhenti sampai nama ibunya saja.
“Pantas ibuku mengajariku memanggil kakekku Di dalam silsilah itu tertulis nama-nama
dengan sebutan ‘eyang abah’. Ibuku dan (berurutan): … - Muhammad Shahib Mirbath -
saudara-saudaranya memanggil bapaknya Ali Ba’alwi - Al Faqih Al Muqoddam
dengan sebutan ‘abah’, meskipun kepada Muhammad - Alwi Al Ghayyur - Ali -
nenekku, ibuku dan saudara-saudaranya Muhammad Maula Dawilah - Ali13 - Abdullah
memanggil ‘ibu’ bukan umi 12 Pantas pula eyang Ba’abud - Abdurrahman Ba’abud - Abu Bakar
Ba’abud Kharbasyan - Ahmad - Husein - Abu
10
KPH Mandoyokusumo (1977:23) dalam buku “ Serat Bakar - Abdullah - Muchsin - Umar - Muchsin
Raja Putera Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat”
menuliskan “Bendoro Raden Ayu Samparwadi
- Abdullah - Alwi Ba’abud - Hasan Al Munadi -
katrimakaken Kangjeng Raden Tumenggung Ibrahim Ba’abud - Mohamad Irfan - Ya’kub -
Samparwadi (Kasanmunadi)/Bendoro Raden Ayu Hasan Manadi – Siti S (ibunya ibu Wida).
Samparwadi dinikahkan dengan Kangjeng Raden
Tumenggung Samparwadi (Kasanmunadi).
Silsilah ditulis dengan huruf Arab. Setelah
11
mendapatkan informasi tersebut, barulah ibu
Pengetahuan tentang tahun-tahun kelahiran,
kematian, penobatan, dan pernikahan penulis peroleh 13
dari catatan bapak Tommy. Menurut Alwi Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Balfaqih
(1999:33), Ali adalah salah satu dari anak Muhammad
12
Keturunan Arab di tanah Jawa memanggil ayahnya Maula Dawilah, yang menurunkan keluarga Ba’abud
“abah” dan memanggil ibunya “umi”. Kharbasyan.

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 165


Wida percaya bahwa di dalam tubuhnya dua laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama,
mengalir darah Arab dari pihak sang ibu.1 4 laki-laki (1790–1850) oleh kakeknya Alwi
Adapun silsilah moyangnya dari Jawa adalah Ba’abud diberi nama Ibrahim, sedangkan oleh
sebagai berikut: Sultan Sepuh (Sultan Sultan Sepuh, kakek dari pihak ibu, diberi nama
Hamengku Buwono II) - BRA Samparwadi - RM RMH (Raden Mas Haryo) Madiokusumo.
Haryo Madiokusumo - RM Haryo Madiowidjojo Kepadanya Sultan Sepuh memberikan
- RM Soendoro Djojowinoto - R.Hasan Manadi sebidang tanah yang sekarang letaknya di dalam
Madiokusumo – R. Ngt. Siti S - Wida - Wita kota Purworejo, bernama Madiokusuman.1 6
(perempuan, anak tertua ibu Wida). Silsilah Madiokusumo kemudian menikah dengan
yang memperlihatkan bahwa ibu Wida berdarah Pertiwi Suropranoto, puteri Raden Ronggo
Jawa diperoleh dari Tepas Darah Dalem Keraton Suropranoto, guru agama Madiokusumo di
Yogyakarta, yaitu kantor yang berada di bawah Tegalrejo. Anak kedua, perempuan, bernama RA
naungan Kawedanan Hageng Panitera Pura (Raden Ayu) Reksodiwiryo (menggunakan
yang dipimpin GBPH (Gusti Bendoro Pangeran nama suami)—tidak ada informasi lebih banyak
Haryo) Joyokusumo (Buletin Kerabat 2005:no.4, tentang anak kedua ini. Anak ketiga bernama
tahun I). Kantor ini menyimpan arsip-arsip yang RM Puspodipuro, laki-laki.17 Anak keempat,
memuat silsilah keturunan Sultan Hamengku perempuan bernama RA Kertopati (mengguna-
Buwono II yang sempat tercatat sampai kan nama suami), isteri Bupati Purworejo.18
sekurangnya empat (4) generasi sesudah Sul- Ibrahim Ba’abud Madiokusumo ketika
tan Hamengku Buwono II. Kantor ini juga masih kecil (no. 17—lihat Silsilah 1), menurut
melayani mereka yang ingin melacak cikal bakal catatan bapak Tommy, kemudian diasuh oleh
yang menurunkannya yang konon katanya eyang buyut puterinya yaitu Gusti Kangjeng
masih darah dalem (keturunan sultan) asalkan Ratu (GKR) Ageng (no.7)—permaisuri Sultan
membawa akte kelahiran ibu atau ayahnya, akte Hamengku Buwono I (no.6) yang juga ibu
kelahiran sendiri, nama kakek dan neneknya, kandung Sultan Hamengku Buwono II (no.11).
serta nama buyut perempuan dan laki-lakinya. Nama lain dari GKR Ageng yaitu GKR Tegalrejo
karena berkediaman di Tegalrejo. GKR Tegalrejo
Trah Madiokusuman adalah Trah adalah puteri Kiai dan Nyai Drepayuda (no. 4).
keturunan Arab-Jawa15 Menurut garis ibu, Nyai Drepayuda adalah
Menurut catatan bapak Tommy, Samparwadi generasi ke tiga dari Sultan Bima di Sumbawa
dan Hasan Al Munadi berputera empat orang:
16
Bapak Tommy memperoleh informasi tersebut dari
14
Menurut ibu Wida yang memperoleh informasi dari ibunya.
Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin, Sayid Alwi 17
Menurut catatan bapak Tommy, Puspodipuro
Ba’abud meninggal di Yogyakarta dan dimakamkan di menikah dengan perempuan dari Cina. Anak mereka,
Nitian, Yogyakarta. Keterangan yang sama tentang perempuan bernama Mas Ayu Loano, dinikahkan
makam Alwi Ba’abud tersebut penulis peroleh dari dengan salah satu anak laki-laki Madiokusumo, bernama
bapak Goewindho, dari Tepas Darah Dalem. Wongsodipuro. Salah satu anak perempuan
15
Anak cucu keturunan RM Haryo Madiokusumo, cucu Wongsodipuro dengan Loano, dinikahkan dengan
Sultan Sepuh dari puterinya Samparwadi yang Djojowinoto, cucu Madoikusumo dari anak laki-lakinya
dinikahkan dengan Sayid Kasan Munadi, setahu penulis yang lain bernama Madiowidjojo (lihat silsilah 2).
secara formal tidak/belum mendirikan suatu organisasi 18
Di kalangan keluarga Jawa, terutama bangsawan dan
kekerabatan yang disebut “trah”, meskipun secara priyayi agung, seorang perempuan yang telah menikah
genealogis trah itu ada. Penulis menggunakan istilah tidak lagi mengenakan namanya sendiri, nama
trah ini untuk menunjukkan keturunan Arab-Jawa yang pemberian orang tuanya, tetapi mengenakan nama
berada di luar tembok Keraton Yogyakarta. suaminya.

166 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


Silsilah 1:
Hubungan kerabat antara Sayid Ibrahim Ba’abud Madiokusumo dengan Pangeran Dipanegara

= Keturunan Arab
= Keturunan Jawa

Sumber: KPH Mandoyokusumo, Serat Raja Putera Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (1977)

yang tersohor akan ketaatannya pada ajaran kepadanya yaitu GPH (Gusti Pangeran Haryo)
Islam (Carrey 1985:25). GKR Tegalrejo pun Dipanegara (no. 18) pada tahun 1812. Dalam
merupakan seorang muslimah yang sangat taat Perang Dipanegara (1825–1830) pangeran ini
kepada ajaran Islam. menobatkan diri sebagai sultan dengan nama
Menurut catatan bapak Tommy, selain baru yaitu Sultan Ngabdulkamid Herucokro
Ibrahim, diasuh pula oleh GKR Tegalrejo cucu Kabirul Mukminin Sayidina Panatagama Jawa.
Sultan Sepuh yang lain, bernama GRM Artinya, “raja yang adil, yang pertama dari or-
Mustahar, putera GRM Surojo dari garwo ang-orang yang yakin, pemuka agama dan
ampeyan benama BRA Mangkorowati (no.16). pengatur agama di Jawa” (Carrey 1985:190).
GRM Surojo bertahta sebagai Sultan Kedua cucu Sultan Sepuh ini oleh nenek
Hamengku Buwono III (no.15) tahun 1812– buyutnya diasuh dan dididik untuk mengenali
1814. Kemudian GRM Mustahar berganti nama budaya dan adat istiadat serta tata krama Jawa
menjadi GRM Antawirya. Ketika Antawirya keraton dan ajaran Islam. Di Tegalrejo,
sudah dewasa, ayahnya, Sultan Hamengku keduanya bergaul secara leluasa dengan rakyat
Buwono III memberikan gelar kepangeranan jelata (kawula alit ) dan melihat sendiri

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 167


kehidupan mereka. Selain itu, kedua cucu Sul- Badaruddin menyepakatinya. Ternyata ke-
tan Sepuh ini juga bergaul dengan para guru sepakatan itu oleh Belanda dilanggar. Selama
agama setempat yang terkemuka, para kiai, para pertemuan, Belanda (de Kock) tidak pernah
ulama, dan para santri. Tak pelak lagi keduanya memanggil Dipanegara dengan sebutan Sultan
menjadi muslim yang taat dan memiliki penge- Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminin
tahuan luas tentang agama Islam sehingga Sayidina Panatagama Jawa seperti yang
mereka memiliki empati kepada kehidupan dituntutya, tetapi tetap memanggilnya Pangeran
rakyat jelata. Keduanya juga sangat mengenali Dipanegara. Padahal nama kepangeranan itu
budaya Jawa dan budaya keraton. Setelah telah diberikan kepada anak laki-laki tertuanya
keduanya dewasa, dan ketika pecah perang yang kemudian bernama KPH (Kangjeng
Dipanegara, Ibrahim mendukung perjuangan Pangeran Haryo) Dipanegara (Carrey 1985: 155,
Dipanegara dan bersama sama Dipanegara 163, 168, 170; Djamhari 2003:222–224). Berarti,
melawan Belanda. Dalam peperangan nama Belanda tidak pernah mengakuinya sebagai
Madiokusumo adalah Pekih (Penghulu Kiai Sultan pemimpin spiritual keagamaan (Islam)
Haji) Ibrahim (Carrey 1985:174–178; Aswi 2004). di tanah Jawa. Belanda, dengan tipu muslihat-
Silsilah 1 jelas memperlihatkan bahwa nya, bahkan kemudian menangkap Dipanegara
Dipanegara adalah seorang Jawa. Moyang dan mengasingkannya ke Manado, dan
Dipanegara baik dari pihak ayah maupun ibunya kemudian memindahkannya ke Makassar
adalah orang Jawa, bukan orang Arab seperti sampai wafat. Dalam pengasingannya,
yang sekarang diyakini oleh orang-orang Arab Dipanegara tidak membawa anak-anaknya dan
di Jakarta. para pengikutnya, kecuali abdi dalemnya yang
Peran Pekih Ibrahim dalam perang itu, bernama Rata, meskipun ditawarkan oleh
menurut Carrey (1986:174) dan Djamhari, Belanda, dengan alasan akan menyusahkannya
(2003:219–220) adalah Penghulu Kepala yang saja (Carrey 1985:178).
bersama-sama dengan Kiai Badaruddin— Akan halnya Pekih Ibrahim, menurut Syamsu
pendukung GPH (Gusti Pangeran Haryo) dalam bukunya di bagian tentang Perang
Dipanegara lainnya, ditugaskan oleh Dipanegara, Dipanegara (1999:160) disebutkan, “Habib Alwi
antara lain, sebagai juru runding dengan Ba’abud adalah ulama Arab yang hidup saat itu.
Kolonel Cleerens untuk membicarakan suatu Salah seorang puteri Sultan Hamengku Buwono
pertemuan sebelum pertemuan dengan pihak II, yaitu Bendoro Raden Ayu Samparwadi,
Belanda tanggal 28 Maret 1830 di Magelang. menikah dengan Raden Tumenggung Hassan
Dalam pertemuan awal dengan kolonel Cleerens Manadi, yang sebelumnya bernama Sayid
itu, Dipanegara menegaskan bahwa dalam Husein bin Habib Alwi Ba’abud. Dari perkawinan
pertemuan 28 Maret nanti Dipanegara adalah ini lahir seorang putera yang diasingkan ke
manusia bebas yang bergelar Sultan Penang, yang selanjutnya dipindahkan ke
Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminin pengasingan Ambon.” Penjelasan Syamsu As
Sayidina Panatagama Jawa yang bersedia ini sesuai dengan cerita ibunya bapak Tommy
datang memenuhi undangan Belanda dan kepada para puteranya dan juga kepada penulis,
duduk bersama dengan Belanda untuk bahwa kakek buyutnya yang bernama RM
bersilahturahmi sebagai teman di hari Raya Idul Haryo Madiokusumo itu diasingkan oleh
Fitri, bukan sebagai tawanan perang. Cleerens, Belanda ke Ambon dan meninggal di Benteng
dengan disaksikan oleh Pekih Ibrahim dan Kiai Victoria, lalu dimakamkan di Batu Gajah, Am-

168 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


bon. Ia diasingkan karena membantu Pangeran Dipanegara.21 Akan halnya Ibrahim Ba’abud
Dipanegara melawan Belanda. Bapak Tommy Madiokusumo, ibu Syamsilah dan saudara-
sendiri, menurut cerita adiknya, ketika masih saudaranya yang lain yang tinggal di Ambon
hidup pernah mengunjungi makam tersebut di tidak mengenalnya, apalagi mengetahui
Ambon. makamnya.
Penulis tidak menemukan makam Ibrahim Bapak Moerti, salah seorang pengurus Te-
Ba’abud atau Madiokusumo ketika berkunjungan pas Darah Dalem yang bertempat tinggal di
ke Batu Merah, Ambon, pada tahun 2004. Yang Imogiri, menginformasikan kepada penulis
penulis temukan justru makam anak cucu bahwa pada makam no. 21 di Imogiri tertulis nisan
Pangeran Dipanegara. 19 Pada kunjungan penulis bernama KRT Samparwadi (Sayid Hasan Al
yang kedua ke Ambon di bulan Juli 2005, penulis Munadi) dan makam BRA Samparwadi, serta
mencari makam Ibrahim Ba’abud di Batu Gajah. makam Ibrahim Ba’abud atau RM Haryo
Tetapi penulis juga tidak menemukannya. Yang Madiokusumo.22 Bapak Goewindho menginfor-
penulis temukan adalah makam anak cucu KPH masikan bahwa semua Sultan Yogyakarta dan
Dipanegara. Kompleks makam yang terletak di keluarganya: isteri, putera puteri, mantu, cucu
atas bukit itu disebut ‘makam Dipanegara” oleh dimakamkan di Imogiri, kecuali Sultan Sepuh
penduduk setempat. Bukit itu terletak di belakang yang dimakamkan di Kota Gede bersama-sama
bekas makam Sunan Paku Buwono VI. Untuk dengan Panembahan Senopati. Mengapa makam
menuju ke atas bukit, harus melewati “Lorong Madiokusumo sampai berada di Imogiri?
Dipanegara” yang terletak di samping kompleks Menurut Bapak Goewindho, besar kemungkinan
bekas makam Sunan Paku Buwono VI di Jalan dipindahkan.23
Raya Dipanegara, Ambon. Menurut informasi
dari buyut KPH Dipanegara—yang berarti pula 21
Menurut penduduk di sekitar Lorong Dipanegara,
canggah Pangeran Dipanegara—yang bernama tanah di sekitar makam adalah tanah milik keturunan
Pangeran Dipanegara, dan hal tersebut dibenarkan oleh
ibu Syamsilah Tomagola, berusia 82 tahun, Bapak Amir Amar (salah seorang keturunan Pangeran
menikah dengan Abdul Hamid Tomagola—yang Dipanegara) yang bertempat di belakang bekas makam
berasal dari Jailolo, Halmahera, dan kini tinggal Sunan Paku Buwono VI. Nenek Bapak Amir bernama
Siti Khadijah (anak Pangeran Daud Dipanegara) yang
di Masohi, Seram. Di bukit itu dimakamkan menikah dengan laki-laki Arab dari Situbondo Jawa
saudara-saudara sepupunya—sesama buyut Timur bernama Amar, adalah canggah (keturunan
KPH Dipanegara, sedangkan yang dimakamkan keempat) Pangeran Dipanegara.
22
di Batu Merah antara lain adalah Pangeran Daud Bapak Tommy mencatat BRA Samparwadi
dimakamkan di desa Tanggung, di tepi Sungai Bogowonto,
Dipanegara yang menikah dengan seorang di Timur Laut Purworejo, di lereng Bukit Menoreh. Pada
“boki” dari Kesultanan Jailolo.20 Pangeran Daud tanggal 20 Februari 1830, kurang lebih 40 hari sebelum
Dipanegara adalah paman ibu Syamsilah dan perundingan dengan Belanda 28 Maret 1830 di Magelang,
menurut catatan bapak Tommy, makam Samparwadi
cucu KPH Dipanegara, sedangkan Pangeran sempat diziarahi oleh puteranya Ibrahim Ba’abud
Sulaiman Dipanegara (ayah ibu Syamsilah) Madiokusumo dan Pangeran Dipanegara.
adalah adik kandung Pangeran Daud 23
Makam Paku Buwono VI serta makam isterinya yang
terletak di jalan Dipanegara, Batu Gajah, Ambon itu
19
Ketika itu penulis belum memperoleh informasi telah dipindahkan ke Imogiri oleh Bung Karno
bahwa makam Madiokusumo terletak di Batu Gajah, (sebagaimana yang tertera di papan di depan cungkup
bukan di Batu Merah. makam). Bagaimana Paku Buwono VI dan isterinya
sampai dimakamkan di Ambon? Menurut informasi yang
20
Boki adalah julukan bagi perempuan keturunan sul- penulis peroleh dari Bapak Amir Amar, bapaknya pernah
tan Ternate, sultan Jailolo, dan sultan Bacan. bercerita bahwa Paku Buwono VI semula diasingkan

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 169


Menurut bapak Basuki (adik kandung antaranya adalah RM Soendoro Djojowinoto
bapak Tommy), RM Haryo Madiokusumo atau Ya’kub Ba’abud26 dan RM Madiowinoto
menikah dengan Pertiwi Suropranoto, puteri atau Dja’far Ba’abud. Keduanya kemudian
Raden Ronggo Suropranoto, guru agama RM berbesan dengan menikahkan putera dan puteri
Haryo Madiokusumo ketika di Tegalrejo. mereka. Putera Ya’kub Ba’abud Djojowinoto
Madiokusumo berputera enam orang yaitu, bernama R. Hasan Manadi Madiokusumo
pertama, RM Haryo Wongsodipuro yang dinikahkan dengan puteri Dja’far Ba’abud
dinikahkan dengan saudara sepupunya (puteri Madiowinoto bernama R.Ngt. (Raden Nganten)
RM Haryo Puspodipuro-adik kandung RM Siti Kaltum. Hasan Manadi dengan Siti Kaltum
Haryo Madiokusumo); 24 ke dua, RA Ali Alatas; berputera sembilan orang, diantaranya adalah
ke tiga, RM Haryo Kusumoatmodjo; ke empat ibu Siti S (ibunya Ibu Wida—lihat Silsilah 2).
RM Haryo Madiowidjojo atau Muhammad Irfan Silsilah 2 adalah silsilah salah satu
Ba’abud Madiowidjojo (1827–1902),25 ke lima keturunan Arab – Jawa, Hasan Al Munadi
dan ke enam kembar perempuan bernama RA Ba’abud (putera Alwi Ba’abud) dengan
Said Husein dan RA Sosrokusumo. RM Haryo Samparwadi, puteri Sultan Sepuh yang berada
Madiowidjojo berputera sebelas orang. Di di luar tembok Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat (Sumber: KPH Mandoyokusumo,
oleh Belanda ke Ternate. Oleh karena di Ambon ada Serat Raja Putera Keraton Ngayogyakarta
“saudaranya” yaitu KPH Dipanegara (anak Pangeran Hadiningrat 1977; dan catatan almarhum Bapak
Dipanegara) yang melarikan diri ke Ambon setelah
ayahnya ditangkap Belanda, maka atas permintaannya Tommy).
ia kemudian dipindahkan ke Ambon sampai meninggal. Sekalipun kakek dan nenek ibu Wida tetap
Informasi bahwa KPH Dipanegara—anak Pangeran mempertahankan ke-Jawa-annya, beliau
Dipanegara, melarikan diri ke Ambon, penulis peroleh
dari ibu Sri Mangkorowati—tinggal di Jakarta, keturunan berdua bukan pengikut Kejawen. Kakek buyut
ke lima (wareng) Pangeran Dipanegara. Semua informasi Ibu Wida—Ya’kub Ba’abud atau Soendoro
tersebut bila dipertemukan dengan informasi yang
penulis dapat dari Syamsu (1999:160) dan catatan lepas 26
bapak Tommy, dapat diduga ketiga “pemberontak” Ya’kub Ba’abud Djojowinoto dinikahkan dengan
terhadap Belanda itu pernah hidup bersama di Ambon. puteri RM Haryo Wongsodipuro—saudara kandung
24
Muhammad Irfan Madiowidjojo (lihat Silsilah 2).
Lihat Silsilah 2. Semasa hidupnya, menurut ibu Aisyah dan ibu Yugani,
25
Sampai kini penulis belum memperoleh nama Arab Ya’kub Djojowinoto adalah mantri guru seangkatan
dari anak laki-laki Madiokusumo yang lain. Semasa dengan Bapak Sukemi. Djojowinoto ini pernah bertugas
hidupnya, Sayid Muhammad Irfan Ba’abud Madiowidjojo di Denpasar, kemudian dipindahkan bekerja sebagai
bekerja sebagai Kepala Mantri Kadaster (pengukur mantri guru di Surabaya. Ketika di Yogyakarta, beliau
tanah) yang memiliki keahlian di bidang topografi tetap seorang guru yang memberikan pelajaran Bahasa
(catatan bapak Tommy), tetapi tidak menyebutkan Belanda kepada para putera-puteri sultan. Ya’kub
dimana beliau bekerja. Penulis hanya menemukan Djojowinoto dan isterinya dimakamkan di Blunyah
makamnya di Cirebon, di pemakaman umum Jabang Gede, Jogyakarta, di belakang mesjid Blunyah.
Bayi, Kesambi. Salah satu putera Madiowidjojo, Besannya yang juga adik kandungnya sendiri,
bernama RM Madio Adi Kusumo bermukim di RM Dja’far Ba’abud Madiowinoto, sebelum meninggal
Cangkring, Cirebon. Putera Madiowidjojo lainnya, yang bekerja sebagai kepala stasiun Karangtengah, Sukabumi,
penulis ketahui tempat bermukimnya ketika masih kemudian menjadi Wakil Kepala Setasiun Manggarai,
hidup, adalah RA Madioredjo di Karang Tengah, Batavia (informasi diperoleh dari salah satu puteri
Sukabumi; RM Soendoro Djojowinoto (Sayid Ya’kub Madiowinoto, ibu Siti Djuminah, yang tinggal di
Ba’abud) bermukim di Yogyakarta; RM Madiowinoto Bekasi). Makam RM Dja’far Ba’abud Madiowinoto
di Sukabumi (sebelum dipindahkan tugas di Jakarta). terletak di Karet, Jakarta, kemudian dipindahkan ke
Jandanya, sampai akhir hayatnya bermukim di Sukabumi di dekat makam isterinya. Beliau dikenal
Sukabumi; RM Ali Kusumo bermukim di Bandung; RA oleh para cucunya sebagai “eyang Sep”. Sep artinya
Suropranoto bermukim di Banyuurip, Purworejo. kepala setasiun.

170 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


Silsilah 2:
Keturunan Sayid Hasan Al Munadi dengan BRA Samparwadi

Keterangan:

= Laki-laki dan perempuan yang berdarah Arab dari pihak ayah maupun dari pihak ibu
atau dari keduanya
= Laki-laki dan perempuan yang berdarah Jawa atau lainnya dari pihak ayah maupun
dari pihak ibu atau dari keduanya

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 171


Djojowinoto adalah seorang penganut kedatangan Belanda, telah terlebih dahulu
Muhammadiyah yang tidak menghendaki datang ke Nusantara dan berasimilasi dengan
putera dan puterinya menganut agama lain atau penduduk pribumi, terutama dengan para
menikah dengan orang yang beragama lain, bangsawan dan kerabat sultan.
kecuali Islam. Nenek ibu Wida ketika masih Sejak abad ke-13, Nusantara sudah menjadi
hidup dan tinggal di Malang, aktif dalam lintasan perdagangan yang cukup ramai dalam
organisasi Aisyah. Ibu Wida dan ibunya adalah jaringan perdagangan Asia dan Asia Tenggara
muslim yang taat menjalankan ibadah agama. (Lombard 1996b:4–5). Nusantara tidak saja
Keluarga inti paman bungsunya, bernama disinggahi oleh para pedagang Asia dan Asia
Abdullah Madiokusumo, merupakan keluarga Tenggara, tetapi juga oleh pedagang dari Yaman
santri. Namun, tidak semua anggota keluarga Selatan. Menurut van den Berg (1989:67) sejak
luas ibu Wida santri. Di antara mereka ada yang abad pertengahan (abad ke-5 sampai dengan
beragama Katholik dan ada pula yang abangan. abad ke-12) telah terjalin hubungan dagang yang
cukup erat antara Yaman Selatan, khususnya
Proses menghilangnya ciri Arab Trah Maskat, Teluk Persia, dengan Nusantara. Jalur
Madiokusuman perjalanan yang mereka lalui adalah Teluk Per-
Permasalahan pokok artikel ini adalah sia – China – Nusantara. Para pedagang Arab
mencari penjelasan tentang bagaimana ini, selain pedagang besar yang datang ke
keturunan Ibrahim Ba’abud, menurut garis Nusantara dengan menggunakan kapal-kapal
keturunan laki-laki (lihat silsilah 2), telah besar, juga merupakan orang-orang Arab
kehilangan ciri Arabnya dan menjadi orang terpelajar dan berbudaya. Van den Berg (1989)
Jawa. menyebut mereka adalah golongan sayid. Oleh
Dalam menjelaskan hal tersebut di atas, karena itu, mereka lebih mudah diterima oleh
penulis perlu menyimak kembali kondisi kelompok bangsawan di Nusantara.
ekonomi politik Jawa ketika Ibrahim Ba’abud Pada abad ke-15 dan ke-16, di Nusantara
dan Dipanegara masih hidup. Tepatnya ketika sudah terdapat sistem yang memadukan
Perang Dipanegara belum pecah yaitu sebelum kepentingan dagang dan kepentingan politik
tahun 1825, dan sesudah Perang Dipanegara secara koheren. Para sultan dan kerabatnya
selesai (1830). Hal penting dari kondisi ekonomi juga berdagang, sehingga semua pedagang
politik Jawa yang perlu penulis cermati sebelum dapat mendatangi pelabuhan. Kontak pertama
pecah Perang Dipanegara adalah, pertama, antara orang-orang Eropa dengan Asia, menurut
relasi sosial antara para penguasa Jawa dengan kesaksian Alvaro Velho (Lombard 1996b:4–5)
Belanda pada saat keberadaan Belanda di pulau adalah kedatangan Vasco da Gama di Kalikut
tersebut masih sebatas sebagai pedagang tahun 1498. Jaringan perdagangan yang telah
(VOC). Kemudian, ketika VOC digantikan oleh ada dan keterpaduan antara kepentingan
Pemerintah Hindia Timur Belanda /Dutch East dagang dan politik merupakan faktor-faktor
Indies dengan Daendels sebagai gubernur yang memudahkan pedagang-pedagang Eropa
jenderal; kedua, adalah relasi sosial antara masuk ke Nusantara. Kedatangan pedagang-
pemerintah Hindia Belanda dengan para pedagang Arab tidak hanya untuk berdagang,
penguasa Jawa sesudah Perang Dipanegara tetapi juga menyebarkan agama Islam. Dalam
selesai. Bersamaan dengan kedua masa itu, menyebarkan ajarannya itu mereka tidak
dicermati juga sikap dan perlakuan Belanda melakukan pemaksaan. Menurut van den Berg
terhadap orang-orang Arab, yang sebelum (1989:67) (menepis pendapat Snouck Hurgronye

172 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh pe- sistem kapitalisme perdagangannya (VOC)
dagang India dari Gujarat) para navigator dan masuk ke Nusantara dan berupaya untuk
pedagang Arab itulah yang memperkenalkan memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Islam ke Nusantara, pertama kali di Aceh, Dalam upayanya itu, mereka harus bersaing
kemudian ke Palembang dan Jawa. Di Jawa, dengan para pedagang lain dari Eropa (Spanyol,
terutama di pesisir utara, sejak abad ke-13 Portugis, Inggris), dari Asia (China, India), dan
dikabarkan agama Islam telah menjadi agama dari Nusantara (Bugis, Melayu). Mereka ini
penduduk yang disebarkan oleh para Wali adalah para pedagang yang telah lama
Sanga, antara lain, Sunan Gunung Jati, Sunan melakukan perdagangan antar pulau di
Giri, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Nusantara. Pada tahun 1619 Jan Pieterzoon
Drajat. Kelimanya ini adalah keturunan Sayidina Coen memilih pelabuhan Jayakarta menjadi
Al Husein As-Sibith, cucu Rasulullah Sayidina pusat jaringan perdagangan Belanda di Asia.
Muhammad dari puterinya Sayidatuna Fatimah Tahun 1667, Belanda bersama Sultan
Az Zahra (Algadri 1994:32). Agama Islam di Makassar menandatangani Perjanjian Bongaya.
Jawa kemudian meluas ke pedalaman dimana Dengan perjanjian itu, berarti Belanda berhasil
pada abad 16 berdiri Kesultanan Mataram menguasai pantai barat daya Sulawesi. Dengan
setelah Demak dan Pajang. Selain peran Wali demikian, selain telah melemahkan jaringan
Sanga, penyebaran ajaran Islam di Jawa perdagangan orang-orang Bugis, Belanda juga
dilakukan juga oleh ulama Arab lainnya yang dapat mengawasi dengan ketat perdagangan
datang ke Nusantara dengan cara menikahi rempah-rempah dari Maluku serta menyingkir-
perempuan-perempuan pribumi, terutama kan pedagang Portugis yang telah menetap di
mereka yang berasal dari keluarga terhormat Makassar dan memperoleh simpati dari raja dan
atau keluarga yang saat itu memiliki pengaruh kaum bangsawan di Sulawesi Selatan.
cukup kuat di kalangan pribumi. Contohnya Keberhasilan berikutnya adalah penguasaan
adalah pernikahan putera Alwi Ba’abud dengan Belanda atas bandar laut penting di pantai utara
puteri Sultan Sepuh, penguasa Kesultanan pulau Jawa yaitu Semarang (1678) dan Cirebon
Yogyakarta (1792–1826). Bagi sang Sultan— (1705). Pada tahun 1743 mereka berhasil
yang dikenal berwatak keras dan sangat tidak menguasai semua bagian wilayah pantai utara
menyukai Belanda, hubungan besan dengan Jawa yaitu Surabaya, Rembang, dan Jepara.
Alwi Ba’abud merupakan upaya untuk Setelah Perjanjian Giyanti, Belanda memperoleh
memperoleh legitimasi agama atas kekuasaan Malang, Bangil (1771), Kedu, Pacitan,
politiknya. Bagi Alwi Ba’abud, hubungan besan Grobogan, Jipang, Japan, dan Wirasaba (1812),
dengan Sultan merupakan upaya legitimasi Banyumas, Bagelen, Madiun, dan Kediri yang
politik atas kepentingannya menyebarkan semuanya dikuasai seusai Perang Dipanegara
agama Islam di wilayah Kesultanan Yogyakarta. (Lombard 1996a:62). Berbagai cara dilakukan
Kedatangan Belanda ke Nusantara untuk oleh Belanda dalam memperoleh kekuasaan atas
pertama kalinya terjadi pada akhir abad ke-16 wilayah-wilayah itu, antara lain, dengan cara
(tahun 1596). Tujuan utamanya semula adalah memecah belah (divide et impera ) dan
untuk memperoleh rempah-rempah langsung intervensi. Hasilnya, antara lain, di tahun 1755
dari tempat asalnya. Sebab, rempah-rempah terjadi Perjanjian Giyanti yang memecah
yang sangat dibutuhkan sebagai penghangat Kesultanan Mataram yang kokoh di masa Sul-
badan, di Eropa harganya sangat mahal. Di tan Agung menjadi Kesultanan Yogyakarta dan
kemudian hari, para pedagang Belanda bersama Kasunanan Surakarta.

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 173


Kehadiran orang-orang Arab di Nusantara campurnya Belanda dalam masalah-masalah
yang jauh lebih dahulu dari Belanda, tidak politik Keraton Yogyakarta, yaitu dengan
dianggap sebagai pesaing yang berarti dalam menobatkan putera mahkota yang masih berusia
bidang perekonomian oleh mereka, meskipun tiga (3) tahun menjadi Sultan Yogyakarta yang
orang-orang Arab itu juga berdagang. ke lima ketika ayahnya Hamengku Buwono IV
Keberadaan orang-orang Arab di Nusantara, meninggal dunia. Perwalian atas sultan yang
terutama di Jawa, yang telah berasimilasi masih balita itu dipercayakan kepada ratu ibu
dengan penduduk pribumi terutama dengan (permaisuri HB III bernama GKR Kedhaton) dan
kalangan bangsawan Jawa itulah, menurut ibu kandung sultan sendiri yaitu GKR Kencono
penulis, yang merupakan ancaman bagi bersama dengan Dipanegara serta paman
kepentingan politik Belanda dalam rangka Dipanegara yang bernama Mangkubumi.
menyelamatkan kepentingan ekonomi mereka. Namun. para wali itu hanya berwenang
Pertama, karena pembauran orang Arab dengan mengawasi masalah keuangan keraton,
kelompok bangsawan Jawa yang saat itu sedangkan pelaksanaan pemerintahan atas
memiliki kekuasaan politik yang cukup kuat di kesultanan Yogyakarta tetap di bawah Patih
Jawa. Ke dua, karena agama mereka Islam. Danurejo dengan pengawasan ketat oleh
Ketika para pedagang Belanda datang ke Belanda (Carrey 1985:55).
Nusantara (akhir abad ke-16), Eropa Barat pada Makin kuatnya kekuasaan politik Belanda
saat itu sedang mengalami pencerahan hati secara de facto tersebut berdampak buruk
nurani kekristenan (renaissance). Kedatangan terhadap kondisi ekonomi rakyat Jawa yang
mereka, seperti halnya para pedagang Arab, hidup dari pertanian. Belanda leluasa untuk
tidak hanya untuk berdagang tetapi juga mengatur bahkan menghisap perekonomian
menyebarkan agama Protestan. Dalam penye- rakyat. Tanah rakyat disewa oleh orang Eropa
baran agama ini, orang-orang Arab bagi dan Cina untuk dijadikan perkebunan dengan
Belanda merupakan pesaing yang cukup berarti. harga yang amat rendah dan sistem pajak yang
Persaingan tersebut bagi Belanda adalah tidak lagi berupa hasil bumi tetapi berupa uang
persaingan dalam perebutan pengaruh di (Carrey 1985:43–54) menjadikan kehidupan
kalangan pribumi terutama di kalangan para ekonomi rakyat semakin terpuruk, sedangkan
bangsawan untuk memperoleh kekuasaan raja tidak berdaya untuk membantu mereka.
ekonomi. Oleh karena itu, sikap dan perlakuan Selain itu, di antara para bangsawan terjadi
Belanda terhadap orang Arab sangat antipati peningkatan pengonsumsian minuman keras,
dan harus selalu waspada. permainan judi, dan hubungan-hubungan
Kebangkrutan yang dialami oleh VOC, gelap yang tidak sesuai dengan moral Islam
menyebabkan Belanda yang dikalahkan oleh (Carrey 1985:46, 62). Hal-hal tersebut di atas
Perancis (Napoleon) menempatkan wakilnya dan kekecewaan Dipanegara terhadap kerabat-
Daendels sebagai gubernur jenderal (1808– kerabatnya sendiri yang tidak menyadari
1811). Pada masa Daendels, kemudian Raffles adanya politik adu domba dan intervensi
(Inggris), dan kembali lagi ke Belanda antara Belanda terhadap masalah-masalah politik
tahun 1808–1825 adalah masa-masa sangat dalam keraton Yogyakarta, serta ambisi pribadi-
tidak berartinya kekuasaan politik raja-raja Jawa. nya yang menginginkan menjadi pemimpin
Lemahnya kekuasaan politik para penguasa spiritual keagamaan (Islam) yang adil di tanah
Jawa dan makin kuatnya kekuasaan politik Jawa merupakan akar penyebab dari pecahnya
pemerintah Belanda diperlihatkan oleh ikut Perang Dipanegara tahun 1825. Pelatuk yang

174 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


meledakkan perang adalah diterjangnya tanah penguasaan ekonomi dan politik atas pulau
leluhur Dipanegara di Tegalrejo oleh Belanda Jawa tanpa batas (Carrey 1985:27). Sejak itu,
bersama dengan patih Danurejo untuk relasi (hubungan) antara pemerintah kolonial
dijadikan jalan tanpa sepengetahuannya. Belanda dengan para raja Jawa merupakan relasi
Dipanegara memperoleh dukungan dari kekuasaan politik, hukum, dan ekonomi yang
rakyat Jawa Tengah dan sebahagian rakyat sangat tidak setara, dimana para raja Jawa
Jawa Timur yang mayoritas sudah memeluk sudah tidak lagi memiliki kekuasaan apapun,
Islam, para ulama, para kiai, para guru agama, walaupun rakyat mengakuinya sebagai
para santri, para penghulu (termasuk Ibrahim penguasa Jawa.
Ba’abud Madiokusumo), para bangsawan Apakah masa sebelum pecah Perang
Jawa, dan para bupati yang masih memiliki hati Dipanegara benar-benar merupakan era
nurani. Perang Dipanegara merupakan “perdagangan” antarbangsa ketika hubungan
perwujudan solidaritas kejawaan dan keislaman antara Belanda dan para penguasa Jawa itu
yang sangat kuat di kalangan rakyat Jawa yang merupakan hubungan yang ambassadorial? Di
tertindas. Dengan perang itu Dipanegara awal penugasannya sebagai gubernur jenderal,
menginginkan agar keberadaan Belanda Daendels memberlakukan suatu keputusan
kembali seperti awal kedatangannya di resmi yaitu para residen Belanda yang
Nusantara yaitu sebagai pedagang saja. ditempatkan di Yogyakarta dan Surakarta
Dipanegara juga menginginkan agar Belanda berstatus sebagai “menteri”. Status mereka
mengakuinya sebagai pemimpin spiritual kurang lebih sama dengan para raja Jawa, karena
keagamaan yang bergelar Sultan Ngabdulkamid mereka adalah para wakil raja Belanda. Dalam
Herucokro Kabirul Mukminin Sayidina acara-acara resmi di keraton, secara protokoler,
Panatagama Jawa, dan bukan sebagai Sultan mereka harus didudukkan sejajar dengan raja
Yogyakarta. Jawa. Bagi penguasa Jawa, hal itu merupakan
Menurut Carrey (1985:27–28) Perang suatu perubahan posisi pemerintahan Belanda
Dipanegara merupakan akhir dari sebuah proses yang mendasar atas kekuasaan mereka sebagai
kegelisahan, kemuakan, kemarahan rakyat Jawa raja. Dampak dari keputusan tersebut meluas,
Tengah (dan juga Jawa Timur) karena bukan hanya menyebabkan tercabik-cabiknya
ketertindasan, yang mulai matang semenjak lembaga politik tradisional Jawa yang terwujud
Daendels menjadi gubernur jenderal (1808– dalam kesultanan dan kasunanan. Ketika
1811). Perang itu sendiri adalah satu peristiwa Belanda belum berkuasa secara politik dan juga
yang menentukan sejarah tanah Jawa dan juga ekonomi, perekonomian rakyat yang utama
Indonesia di kemudian hari sebelum merdeka adalah pertanian subsisten. Sistem ini oleh
menjadi negara republik. Perang Dipanegara Belanda dirusak dengan menjadikan sebagian
adalah suatu peristiwa yang memisahkan dua besar tanah di desa-desa menjadi perkebunan
jaman yaitu jaman “perdagangan” Kompeni untuk ekspor. Tanah penduduk desa mereka
Hindia Timur Belanda dimana hubungan yang sewa dengan harga yang sangat rendah.
terjalin antara kerajaan-kerajaan Jawa dengan Bersamaan dengan itu, Belanda memberlaku-
Belanda hanya bersifat ambassadorial saja. kan sistem pajak yang mencekik kehidupan
Setelah perang selesai, pemerintah kolonial rakyat. Dengan demikian, era “perdagangan”
Hindia Belanda memberlakukan cultuur stelsel di masa sebelum pecah Perang Dipanegara,
secara ketat. Dengan demikian, Belanda dapat pada hakekatnya bukan lagi era perdagangan
melakukan pengendalian, pengawasan, dan seperti ketika hubungan antara Belanda dengan

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 175


para raja Jawa bersifat hubungan ambasadorial Arab tetapi juga bagian dari orang Jawa yang
dan setara. Hubungan tersebut telah diganti tertindas berpihak kepada Dipanegara melawan
dengan hubungan kekuasaan politik yang tidak Belanda. Kebencian Belanda terhadap Ibrahim
setara antara Belanda dengan Kesultanan yang merupakan keturunan Arab dan telah
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kedua membantu pemberontakan Dipanegara,
yang terakhir ini adalah pihak-pihak yang menyebabkan Ibrahim diasingkan ke Penang
berada pada posisi subordinat dalam relasi kemudian dipindahkan ke Ambon sampai
tersebut. meninggal.
Relasi kekuasaan yang tidak setara antara Menarik untuk dicatat, kedua cucu Sultan
penguasa Belanda dengan para penguasa Jawa Sepuh ini pada masa peperangan saling
yang berdampak sangat buruk terhadap rakyat bertukar pakaian. Dipanegara yang bukan Arab
Jawa telah menimbulkan reaksi dari berbagai menanggalkan pakaian Jawanya dan meng-
pihak pada tingkat individu. Orang-orang gantinya dengan pakaian Arab (sorban, jubah,
seperti Dipanegara dan para pendukungnya dan keris yang diselipkan di depan perutnya).
seperti RA Retnaningsih (salah satu isteri Sebaliknya, Ibrahim Ba’abud yang berdarah
Dipanegara), ketiga anak laki-laki Dipanegara Arab selalu mengenakan pakaian Jawa dan tidak
(KPH Dipanegara Muda yang melarikan diri ke pernah menggunakan pakaian Arabnya. Bagi
Ambon setelah ayahnya dikalahkan, RM Dipanegara, pakaian Arab yang dikenakannya
Joned, dan RM Raib), Sentot Prawiradirdja, itu secara simbolis menandakan bahwa ia
Pangeran Serang (keturunan Sunan Kalijaga), seorang pemimpin spiritual keagamaan (Islam)
41 Bupati dari 88 Bupati yang ada di yang menyatukan umat Islam di Jawa melawan
Yogyakarta, para Bupati di wilayah Pacitan, tirani penjajah.
para bangsawan, para ulama, para guru agama, Perang Dipanegara bagi Belanda telah
para kiai, para santri, para penghulu keraton mengakibatkan kerugian materi yang amat
seperti Ibrahim Ba’abud dan Kanjeng Terboyo besar. Dengan perang itu, Belanda memperoleh
(juga keturunan Arab), Kiai Badaruddin, Haji pelajaran yang amat mahal. Oleh karena itu,
Ngisa, Kiai Maja, (Carrey 1985:64–68, 163–174) mereka kemudian merubah strategi dalam
berpihak kepada rakyat yang tertindas. Mereka menancapkan kekuasaan politik dan ekonomi-
bersatu dan bangkit melakukan perlawanan. nya di Nusantara. Denys Lombard (1996a:106)
Ibrahim Ba’abud, salah satu cucu Sultan mencatat rangkuman pandangan Pemerintah
Sepuh dengan Alwi Ba”abud (1790–1850) Hindia Belanda yang dibuat oleh van den
semasa kecilnya diasuh oleh nenek buyutnya, Bosch, pencipta cultuur stelsel yang ditulisnya
GKR Ageng Tegalrejo, di Tegalrejo bersama tahun 1833, yaitu setelah Perang Dipanegara
dengan saudara sekakeknya, Pangeran selesai (1830). Pelajaran yang mereka dapat dari
Dipanegara (lihat silsilah 1). Sebagai seorang perang itu adalah bahwa di masa mendatang
keturunan Arab-Jawa yang telah menjadi or- Belanda harus merangkul para pemimpin Jawa,
ang Jawa, ia mengetahui dan mengalami sepak membuat agar mereka bergantung kepada
terjang Belanda yang tidak adil dan menyengsara- Belanda dengan selalu menjaga hak-hak mereka
kan rakyat Jawa. Ia juga mengalami sikap dan yang turun temurun, memperlakukan mereka
perlakuan Belanda yang antipati dan tidak adil dengan kehormatan yang semestinya, juga
terhadap orang-orang keturunan Arab seperti memberi sarana kepada mereka hingga pada
dirinya. Kesemuanya itu, membuat Ibrahim gilirannya mereka harus melayani kepentingan
Ba’abud, sebagai seorang muslim keturunan Belanda.

176 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


Tomagola (1985:45) mencatat strategi baru port system” bagi orang-orang Arab. Tujuan-
yang diterapkan Belanda adalah pemerintahan nya untuk membatasi ruang gerak mereka
tidak langsung (indirect rule) di pulau Jawa (Algadri 1994:11, 58).
yaitu kekuasaan politik terhadap rakyat Jawa Sikap dan perlakuan Belanda yang sangat
tetap berada di tangan para raja Jawa, tetapi antipati dan selalu waspada terhadap orang-
pada gilirannya para raja Jawa ini berada di orang keturunan Arab tercermin di dalam
bawah kekuasaan Belanda. Sultan dan Sunan kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda
secara terpaksa harus tunduk kepada mereka yang diskriminatif. Hal ini membuat para
karena tak ada pilihan lain. Sementara itu, di keturunan Ibrahim Ba’abud dari garis laki-laki
Sumatera, Belanda melakukan kekuasaan (lihat silsilah 2), seperti halnya orang-orang
politiknya secara langsung (direct rule). keturunan Arab lainnya di Jawa, lebih leluasa
Sikap dan perlakuan Belanda terhadap menggunakan nama Jawanya, berbahasa Jawa,
keturunan Arab pada waktu sebelum Perang berpakaian Jawa, bertata krama Jawa, melakukan
Dipanegara dan sesudahnya tetap tidak adat istiadat Jawa, dan menggunakan sistem
berubah. Belanda tetap berpandangan bahwa kekerabatan Jawa. Semua itu, pada awalnya
keturunan Arab, Islam, kiai, ulama, guru agama, dipelajari oleh Ibrahim Ba’abud dari nenek
santri itu identik. Orang-orang Arab telah buyutnya kemudian diteruskan ke anak-
banyak yang membantu Dipanegara dalam cucunya melalui proses sosialisasi di dalam
peperangan, misalnya seperti Kangjeng keluarga masing-masing. Sistem kekerabatan
Terboyo - cucu Sayid Abdullah Mohammed Jawa yang bilateral yang diperoleh Ibrahim
Bustam (Algadri 1994:28–29), dan Ibrahim Ba’abud dari ibunya, BRA Samparwadi, telah
Ba’abud (Syamsu 1999:160). Perang Padri di memfasilitasi Ibrahim Ba’abud dan keturunan-
Minangkabau dan Perang Aceh adalah nya untuk terus menggunakan nama Jawanya
peperangan yang dipimpin oleh orang-orang dan berbudaya Jawa.
keturunan Arab. Demikian pula, rakyat, kiai, Keterangan ibu Aisyah (bibi ibu Wida)
ulama, santri telah mendukung Dipanegara ikut tentang kakek ibu Wida bernama Hasan Manadi
dalam peperangan. Oleh karena itu, Belanda Madiokusumo yang lebih suka berpakaian
sangat meragukan loyalitas keturunan Arab. Jawa daripada berpakaian Eropa ketika masih
Mereka dianggap akan mengganggu kebijakan- bersekolah, memperlihatkan bahwa sang kakek
kebijakan Belanda. Apabila Dipanegara dan tetap mempertahankan ke-Jawa-annya dan
pemberontak-pemberontak lainnya bisa mereka tidak kebelanda-belandaan dengan berpakaian
asingkan, tetapi para kiai, ulama, santri, guru seperti sinyo Belanda. Pakaian yang dikenakan
agama yang jumlahnya sangat banyak itu, oleh kakek ibu Wida hanyalah simbol yang
mustahil mereka asingkan. Oleh karena itu (atas menyatakan bahwa dirinya tetap berpegang
nasihat Snouck Hurgronje), pemerintah Hindia pada nilai dan budaya Jawa, meskipun
Belanda tetap perlu memberlakukan kebijakan sekolahnya di sekolah Belanda dan di dalam
yang diskriminatif terhadap orang-orang Arab tubuhnya mengalir darah Arab.
dengan mengkategorikan mereka sebagai Ibu Yugani (bibi ibu Wida) menjelaskan
orang-orang “Timur Asing” yang mereka bahwa ayahnya tidak mau mengidentifikasikan
tuangkan dalam Konstitusi Hindia Belanda, diri sebagai Belanda meskipun ia memperoleh
pasal 163. Kebijakan itu untuk membedakan pendidikan dari sekolah Belanda dan bekerja
mereka dari mayoritas orang Islam di Nusantara. di Pemerintah Belanda, sebagai Landbouw
Selain itu, Belanda juga memberlakukan “pass- Consulent. Ia tidak menyukai Belanda sejak

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 177


masih muda. Sang ayah pun tidak pernah Belanda dengan pangkat kapten dan
mengidentifikasikan dirinya dengan Arab, dipenjarakan di Lowok Waru, Malang. Ia nyaris
sebab ia tahu bahwa Belanda tidak menyukai dihukum mati oleh Belanda. Anak laki-laki
Arab. Kepentingan agar keluarganya dengan keenam, Muhamad Achadiat, ikut bergerilya
sembilan orang anak bisa survive secara menjadi TRIP (Tentara Republik Indonesia
ekonomi membuat sang ayah ini tetap tidak Pelajar). Setelah Belanda pergi, kakek ibu Wida
memperlihatkan bahwa ia sebenarnya meneruskan karirnya sebagai Kepala Djawatan
keturunan Arab. Budaya Jawa yang dianutnya Koperasi di Malang hingga pensiun dan wafat
sebagai hasil sosialisasi yang panjang dari di kota itu. Beberapa sumber yang mengetahui
generasi ke generasi telah mendarah daging kehidupan kakek ibu Wida mengatakan bahwa
(internalized ) dalam diri sang ayah yang sang kakek ini hidupnya sederhana dan jujur.
kemudian ia teruskan ke anak-anaknya. Ia menginginkan semua anaknya, perempuan
Demikian seterusnya, sehingga anak cucu sang dan laki-laki, bisa terus bersekolah dan hidup
kakek ini, termasuk ibu Wida, hanya layak.
mengetahui dan menyadari bahwa dirinya Kakek ibu Wida, Hasan Manadi, adalah
adalah orang Jawa, bukan Arab. Ikatan primor- satu-satunya anak Ya’kub Ba’abud Djojowinoto
dial mereka adalah Jawa, bukan Arab. dan mungkin juga, setahu penulis, dari semua
Sebagai Landbouw Consulent, tempat keturunan Ibrahim Ba’abud Madiokusumo
tugas kakek ibu Wida berpindah-pindah. Pada yang menyandang nama Madiokusumo di
awal diangkat, tugasnya di Malang, lalu pindah belakang namanya. Nama Madiokusumo yang
ke Lumajang, Bogor, Batavia, Probolinggo, hanya dimiliki oleh sang cikal bakal trah
Jember, Bondowoso, Jember, dan Bondowoso. Madiokusuman yaitu Ibrahim Ba’abud,
Pada pendudukan Jepang, oleh Jepang menurut penjelasan Ibu Aisyah, tidak bisa
jabatannya diganti menjadi gutjo (asisten disandang oleh siapa pun keturunan Ibrahim
wedana) di Gambiran, Banyuwangi, lalu Ba’abud secara sembarangan. Penyandang nama
dinaikkan menjadi kutjo (wedana). Tak lama tersebut harus memiliki sifat dan kepribadian
kemudian Jepang dikalahkan Sekutu, dalam seperti Ibrahim Ba’abud yaitu jujur, sederhana,
Perang Dunia II. Di jaman republik kakek ibu andap asor (rendah hati/tidak angkuh) dan
Wida dipindahkan ke Situbondo menjadi seorang muslim yang taat beribadah. Setelah
Kepala Djawatan Koperasi. Ketika beliau kakek ibu Wida, orang kedua yang menyandang
sekeluarga batih pindah dari Situbondo ke nama Madiokusumo di belakang namanya
Malang untuk menunaikan tugasnya di adalah paman bungsu ibu Wida bernama
Malang, Belanda (1947) masuk lagi melalui Pasir Abdullah.
Putih, Panarukan. Kakek ibu Wida sekeluarga Budaya Arab yang masih melekat pada
terhenti perjalanannya ke Malang di Jember keluarga-keluarga keturunan Ibrahim Ba’abud
sebagai pengungsi. Di kota ini, kakek ibu Wida Madiokusumo adalah endogami kerabat dari
tak mau bekerja lagi di kantor pemerintah generasi Ibrahim sampai ke keturunan
Belanda. Beliau dan isterinya membuka warung. ketiganya—buyut Ibrahim Ba’abud (lihat
Anak-anak perempuan, Aisyah dan Yugani, silsilah 2). Menurut Assegaf (2000:252–253)
berjualan makanan; anak laki-laki bungsunya, endogami kerabat tersebut mengikuti sistem
Abdullah, berjualan minyak tanah. Anak laki- pernikahan di Hadramaut yang melarang
laki ketiga Mahmud Nyonoroso masuk tentara syarifah (anak perempuan sayid dengan
berperang melawan Belanda. Ia tertangkap oleh perempuan pribumi) menikah dengan laki-laki

178 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


bukan sayid. Budaya Arab lainnya yang masih ini Belanda memperlihatkan sikap dan perilaku
melekat adalah panggilan “abah” untuk ayah yang tidak bersahabat.
yang merupakan keturunan Arab dari garis laki- Ketika komoditi perdagangan di Eropa tidak
laki. Sementara itu, keturunan Pangeran lagi berupa hasil pertambangan tetapi hasil bumi
Dipanegara memanggil ayahnya dengan sebagai bahan mentah untuk industri, maka
sebutan ”romo”. perhatian Belanda beralih ke pulau Jawa
pedalaman yang subur. Dengan menggunakan
Kesimpulan politik intervensi dan adudomba, Belanda
Penjelasan tentang bagaimana keturunan berhasil menangguk keuntungan dari kemelut
Arab-Jawa telah kehilangan ciri Arabnya secara politik dalam Kesultanan Mataram. Melalui
budaya, memperlihatkan adanya struktur dan Perjanjian Giyanti, Kesultanan Mataram yang
sistem yang bekerja pada tataran-tataran makro- pernah jaya di masa pemerintahan Sultan
struktural, meso-institusional, dan mikro-indi- Agung, terbelah dua menjadi Kesultanan
vidual yang menghasilkan realitas menghilang- Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. VOC
nya budaya Arab keturunan Arab - Jawa (Keat kemudian digantikan oleh Pemerintah Belanda
dan Urry 1982:119–137). Hindia Timur dengan Daendels sebagai
Pada tataran makro-struktural, perdagangan gubernur jenderal. Melalui peraturan yang
di Nusantara sejak abad ke-15 telah diramaikan dibuatnya, Belanda kemudian memperoleh
oleh tidak saja pedagang pribumi (Bugis dan kekuasaan politik dan ekonominya d Jawa.
Melayu) tetapi juga pedagang asing seperti Sistem perekonomian Jawa yang semula
Cina, India, Arab, dan Eropa. Pada mulanya adalah pertanian subsisten secara bertahap
pedagang Portugis berusaha memonopoli digantikan dengan sistem perkebunan untuk
perdagangan rempah-rempah di Nusantara, ekspor. Belanda mengembangkan sistem
tetapi tidak berhasil. Mereka hanya berhasil perkebunan tersebut di tanah-tanah milik
menguasai Malaka. Belanda kemudian belajar orang desa yang disewa dengan hara murah.
dari kelemahan Portugis (Ricklefs 2001:63–79). Dalam waktu yang bersamaan, Belanda juga
Oleh karena itu, pada akhirnya monopoli menerapkan sistem pajak yang sangat mencekik
perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai kehidupan rakyat. Para penguasa Jawa sendiri
oleh Belanda (VOC) setelah menyingkirkan para tak mampu berbuat apa-apa untuk membela
pedagang asing lainnya dan juga pedagang rakyatnya. Sekalipun demikian, di Jawa saat itu
pribumi. Dalam persaingan ekonomi tersebut, belum terjadi kolonisasi Belanda dalam
pedagang Arab bukan pesaing yang berarti pengertian yang sebenarnya (Carrey 1985:28).
bagi Belanda. Kedatangan Belanda ke Relasi kekuasaan yang tidak setara antara
Nusantara tidak hanya untuk berdagang tetapi pemerintah Belanda yang diwakili oleh
juga menyebarkan agama Protestan. Bagi Daendels dengan para sultan dan sunan
mereka, keberadaan pedagang Arab dari sebagai penguasa setempat; kemiskinan yang
Hadramaut di Jawa yang juga menyebarkan dialami oleh rakyat Jawa yang hidup dari
agama Islam dan telah berasimilasi dengan or- pertanian; serta sikap dan perilaku Belanda
ang-orang pribumi terutama dengan para yang tidak bersahabat terhadap orang-orang
bangsawan dan kerabat sultan merupakan Arab, menumbuhkan kesadaran para ulama,
pesaing utama dalam berebut pengaruh di guru agama, santri, kiai, para penghulu keraton,
kalangan para bangsawan Jawa yang saat itu para bupati dan para bangsawan yang memiliki
adalah penguasa. Kepada orang-orang Arab hati nurani, para keturunan Arab-Jawa seperti

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 179


Ibrahim Ba’abud, Pangeran Terboyo dan lain- keturunan Arab, diperlihatkan dengan
lainnya, serta para petani Jawa yang tertindas menerapkan kebijakan-kebijakan mereka yang
untuk bersatu dalam solidaritas kejawaan dan diskriminatif terhadap orang-orang keturunan
keislaman yang dipimpin oleh Dipanegara Arab. Kebijakan itu telah menumbuhkan reaksi
melawan Belanda dalam Perang Dipanegara. pada tingkat keluarga dan individu orang-or-
Perang Dipanegara telah mengakibatkan ang keturunan Arab-Jawa. Para keturunan
kerugian ekonomi yang cukup besar di pihak Ibrahim Ba’abud, dalam studi kasus ini, melalui
Belanda dan karenanya menyadarkan mereka keluarga yang mereka bentuk, meskipun dari
untuk merubah cara dalam menaklukkan raja- garis keturunan laki-laki, tetap melakukan
raja Jawa yang memerintah kemudian. Dengan sosialisasi budaya Jawa kepada generasi
sistem pemerintahan tidak langsung dan berikutnya. Oleh karena itu, budaya Jawa telah
pemberlakuan cultuur stelsel secara ketat, mendarah daging (internalized) dalam diri
pemerintah kolonial Belanda berhasil generasi keturunan Ibrahim Ba’abud, sekurang-
memperoleh kekuasaan politik, ekonomi, dan kurangnya sampai kepada generasi kelima.
hukum tanpa batas atas raja-raja Jawa dan Pada generasi keenam kelihatannya mulai terjadi
rakyatnya. pembauran melalui perkawinan antar kelompok
Sikap dan perlakuan Belanda yang tetap etnik di kalangan anak cucu Ibrahim Ba’abud.
antipati dan diskriminatif terhadap keturunan Besar kemungkinan identittas ke-Jawa-an
Arab sesudah Perang Dipanegara, Perang Padri, generasi ini dan seterusnya akan menghilang
dan Aceh yang dipimpin oleh orang-orang juga.

Referensi
Algadri, H.
1994 Dutch Policy Against Islam and Indonesians of Arab Descent in Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
Alwi ibnu Muhammad ibnu Ahmad Bafaqih.
1999 Alawiyyin: Asal-usul dan Peranannya (terjemahan). Jakarta: Lentera Basritama.
Assagaf, H.M
2000 Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah. Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakrya.
Carrey, P.
1985 Asal-Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh
(terjemahan). Jakarta: Pustaka Azet.
Djamhari, S.A.
2003 Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827–1830. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bambu.
Garraty, J.A.
1985 The University History of The World. UK: New Orchard Editions.
Geertz, H.
1961 The Javanese Family. USA: the Free Press of Glencoe, Inc.

180 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005


Keat, R. dan J. Urry
1985 Social Theory as Science. London: Routledge and Kegan Paul.
Lombard, D.
1996a Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Gramedia.
1996b Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Mandoyokusumo, KPH
1977 Serat Raja Putera Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Museum
Keraton Yogyakarta, cap-capan III.
Ricklefs, M.C.
2001 Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Syamsu As. M.
1999 Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta: Lentera.
Tomagola, T.A.
1985 “Perbedaan Ciri-ciri Pendidikan antara Migran Sumatera Barat dengan Migran Jawa
Barat di Jakarta,” Prisma (15)3:44–63.
van den Berg, LWC
1989 Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (terjemahan). Jakarta: INIS, jilid III.
Wibowo, A. (Aswi)
2004 LAWAN!: Sebuah Novelet Perjuangan. Bandung: Penerbit Mizan.

Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa 181

Potrebbero piacerti anche