Sei sulla pagina 1di 44

1

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI WORK


ENGAGEMENT PEGAWAI SEKRETARIAT KPU
DI PROVINSI BENGKULU
By

Eriy Wiandi1)
Fitri Santi and Praningrum2)

ABSTRACT

This study try to explore what factors that have influence on employee
work engagement at the General Election Commission Secretariat of Bengkulu
Province, and to test the significance of those factors in affecting the work
engagement of both DPK and Organic employees at the General Election
Commission' Secretariat of Bengkulu Province. We survey 203 employees of General
Election Commission Secretariat of Bengkulu Province and used descriptive analysis,
factor analysis and regression analysis to achieve our research objectives. Our factor
analysis result shows that there are seven factors affected the employee’s work
engagement, namely (a) organizational support and partnership factors; (b) individual
commitment and confidence factors; (c) organizational capacity and mechanism
factors; (d) work culture factors; (e) empathy attitude factors; (f) integrity factor; and (g)
job resources factors. Our regression result shows that only 6 factors that have
significant effect on the work engagement of organic employees of General
Election Commission Secretariat Bengkulu Province.The regression results also
revealed that only 4 factors have significant effects on the work engagement of
DPK employees of General Election Commission Secretariat of BengkuluProvince,
namely the individual commitment and confidence factor; organizational capacity
and mechanism factors; empathy attitude factors; and experience and recognition
factors.

Keywords : Work Engagement

1
Student)
2
Supervising Professors
2

PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan
hampir disemua aspek kehidupan manusia. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di
satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke era persaingan global yang
semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka organisasi perlu
terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya yang dimiliki oleh
organisasi.
Organisasi terdiri dari beberapa elemen salah satunya adalah sumberdaya
manusia. Berkenaan dengan sumberdaya organisasi tidaklah tersedia secara melimpah.
Ada keterbatasan yang mengakibatkan pemanfaatannya dilakukan secara cermat. Proses
manajemen yang baik harus bisa memanfaatkan keterbatasan tersebut demi mencapai
tujuan organisasi. Efisien pelaksanaan organisasi tergantung pada pengelolaan dan
pendayagunaan manusia, itulah sebabnya setiap organisasi harus mampu bekerja secara
efektif dengan manusia dan harus mampu memecahkan bermacam-macam persoalan
sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya manusia untuk mencapai keterikatan kerja
(work engagement) organisasi (Melia dan Anggraini, 2011).
Kahn (1990) mendefinisikan work engagement sebagai usaha yang digunakan
karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan cara
menggunakan ekspresi diri, kognitif dan emosi mereka sehingga karyawan yang terikat
(engagement) akan memiliki usaha ekstra dalam bekerja. Sedangkan personal
disengagement sama dengan melepaskan diri dari tugas dan tanggung jawabnya, tidak
merasa terikat baik secara fisik, kognitif atau emosi selama bekerja. Kahn (1990) dalam
teorinya tentang keterikatan dan ketidakterikatan mengemukakan bahwa bentuk
keterikatan merupakan ekspresi diri yang diinginkan oleh seseorang dan sekaligus
bentuk hubungan yang diinginkannya dengan orang lain.
Keterikatan kerja (work engagement) merupakan kekuatan utama untuk
mencapai tujuan organisaasi (Bakker dan Demerouti, 2007). Di dunia kerja, work
engagement seseorang terhadap organisasi sangat penting terutama pada kinerja
seseorang ketika bekerja. Setiap organisasi menginginkan karyawannya memiliki work
engagement tinggi. Keterikatan kerja organisasi yang kuat akan menyebabkan individu
berusaha mencapai tujuan organisasi, berpikiran positif dan berusaha untuk berbuat
yang terbaik bagi organisasinya. Hal ini terjadi karena individu dalam organisasi akan
merasa ikut memiliki organisasinya. Sedangkan keterikatan kerja organisasi yang
rendah akan menyebabkan individu tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri atau
kelompoknya sehingga pada akhirnya kinerja individu tersebut akan rendah pada
organisasinya.
Keterikatan kerja (work engagement) yang tinggi akan melahirkan kinerja yang
tinggi. Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), keterikatan kerja adalah ikatan kerja yang
melibatkan karyawan secara penuh dan mau benar-benar terikat dalam suatu organisasi.
Work engagement karyawan atau pegawai yang merupakan keterlibatan dan antusiasme
untuk bekerja dan menampilkan kinerja terbaik (Gordon, 2006). Seseorang yang merasa
antusias dan terlibat di dalam pekerjaan akan termotivasi secara langsung oleh
pekerjaannya, cenderung bekerja lebih giat, dan menghasilkan kinerja memuaskan
(Robert dan Davenport, 2002). Keterikatan kerja merupakan suatu cara yang dilakukan
organisasi untuk menstimulasi pegawai agar bekerja dengan kapasitas penuh
(Lockwood, 2007). Sementara itu, Bakker (2009) mengungkapkan bahwa seseorang
akan terikat dengan pekerjaannya apabila mereka berketerikatan kerja pada suatu
3

tujuan, menggunakan kecerdasannya untuk membuat pilihan tentang cara terbaik dalam
menyelesaikan tugas, mengawasi perilaku dirinya untuk memastikan bahwa mereka
bekerja dengan baik, memeriksa kembali apakah yang dilakukan benar-benar sesuai
dengan tujuan dan dapat melakukan perbaikan.
Keterikatan kerja (work engagement) ditandai dengan rasa senang dan antusias
terhadap aktivitas yang dilakukan. Keterikatan kerja dianggap penting karena mampu
mempertahankan keterikatan kerja pegawai pada organisasi dan menjadi kunci kinerja
(Bakker, 2009). Schaufeli dan Bakker (2004) menjelaskan bahwa Keterikatan kerja
dapat meningkatkan kinerja karena pegawai merasakan emosi positif selama bekerja,
memiliki kesehatan yang lebih baik, mampu menciptakan sumberdaya pribadi, dan
dapat menularkan keterikatan kepada pegawai lainnya.
Bakker (2009) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki keterikatan kerja
yang tinggi tidak berarti membuatnya menjadi gila kerja atau workaholic, tetapi
karyawan menganggap bekerja adalah suatu hal yang menyenangkan. Lebih lanjut
Schaufelli dan Bakker (2004) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki keterikatan
dengan pekerjaannya juga merasa tertantang serta berusaha dengan tekun ketika
menghadapi kesulitan dalam tugas.
Keterikatan kerja (work engagement) terbagi menjadi dua bagian yaitu
keterikatan kerja internal dan keterikatan kerja eksternal. Keterikatan kerja internal
berasal dari dalam diri seseorang untuk menyelesaikan berbagai tugas, tanggung jawab
dan wewenang berdasarkan pada alasan dan keterikatan kerja yang dimilikinya.
Timbulnya keterikatan kerja internal ini sangat ditentukan oleh kemampuan pimpinan
dan lingkungan organisasi/perusahaan dalam menumbuhkan sikap dan perilaku
profesional dalam menyelesaikan tugas/tanggung jawab organisasi. Akan tetapi pada
kenyataannya, tidak semua karyawan memiliki keterikatan kerja tinggi, sehingga kinerja
karyawannya kurang maksimal (Fitria, A., M.R. Akbar dan Susanti, 2013 dan Faustyana
2014). Oleh karena itu, berbicara mengenai keterikatan kerja, tentu saja tidak dapat
dilepaskan dari faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja itu sendiri.
Menurut Federman (2009) faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja
adalah kebudayaan (culture), inovasi (innovation), komunikasi (communication),
insentif dan pengakuan (incentives and acknowledgment), dan sebagainya. Sedangkan
Thomas (2009) menyatakan bahwa keterikatan kerja karyawan dipengaruhi oleh empat
intrinsic rewards, yakni kebermaknaan (a sense of meaningfulness), pilihan (a sense of
choice), kemampuan (a sense of competence), dan kemajuan (a sense of progress).
Selanjutnya, Perrins (2003) menyatakan bahwa keterikatan kerja dipengaruhi
oleh 10 faktor, seperti senior management yang memperhatikan keberadaan karyawan,
pekerjaan yang memberikan tantangan, wewenang dalam mengambil keputusan,
perusahaan/organisasi yang fokus pada kepuasan pelanggan, memiliki kesempatan yang
terbuka untuk berkarir, reputasi perusahaan, tim kerja yang solid dan saling mendukung,
kepemilihan sumber yang dibutuhkan untuk dapat menunjukkan performa kerja yang
prima, memiliki kesempatan untuk memberikan pendapat pada saat pengambilan
keputusan, dan penyampaian visi organisasi yang jelas oleh senior management
mengenai target jangka panjang organisasi.
Karyawan yang memiliki keterikatan kerja yang tinggi akan bekerja lebih baik
dari kata “cukup baik”, mereka bekerja dengan berketerikatan kerja pada tujuan,
menggunakan intelensi untuk membuat pilihan bagaimana cara terbaik untuk
menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa yang
4

dilakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai (Thomas, 2009). Leiter
dan Bakker (2010) menyatakan bahwa karyawan atau pegawai yang memiliki
keterikatan kerja adalah yang terdorong untuk menuju tujuan yang menantang,
menginginkan kesuksesan. Artinya, keterikatan kerja merefleksikan energi positif
pegawai yang dibawa dalam pekerjaan. Semua permasalahan yang ditimbulkan akibat
rendahnya keterikatan kerja karyawan suatu organisasi karena rendahnya faktor-faktor
yang memengaruhi keterikatan kerja itu sendiri.
Dari pemaparan di atas, disimpulkan bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti kepemimpinan, motivasi, lingkungan tempat karyawan bekerja,
dan sebagainya. Hal tersebut juga terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam
wilayah Provinsi Bengkulu. Sebagaimana diketahui bahwa KPU adalah lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. KPU
bertugas menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
DPR, DPD dan DPRD), serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam
mendukung kelancaran tugas tersebut, KPU harus didukung oleh personil-personil yang
memiliki keterikatan kerja yang tinggi, sehingga dapat melaksanakan tugas dan
tanggungjawabanya dengan baik.
Pada organisasi KPU, terdapat 2 kelompok pegawai yang bekerja dan
ditempatkan di Sekretariat KPU. Yaitu Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan
ditempatkan di KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota oleh Sekretaris Jenderal KPU
dan disebut sebagai PNS organik, sebagian lainnya adalah pegawai pemerintah daerah
yang ditempatkan atau diperbantukan pada Skretariat KPU atau yang disebut dengan
Pegawai Negeri Sipil dengan status dipekerjakan (DPK). Dari data yang tercatat di KPU
Provinsi Bengkulu pada tahun 2018 terdapat sebanyak 101 orang pegawai DPK pada
Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu, sedangkan pegawai organik hanya 102 orang.
Namun sebagian PNS DPK tersebut saat ini sudah melalui proses alih status menjadi
PNS Sekretariat Jenderal KPU.
Tabel 1.1
Jumlah Pegawai Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu
Tahun 2019
Jumlah ASN
No. Sekretariat KPU Jumlah
DPK Organik
1 KPU Provinsi Bengkulu 25 13 38
2 KPU Kota Bengkulu - 17 17
3 KPU Kab. Bengkulu Utara 14 3 17
4 KPU Kab. Seluma 11 5 16
5 KPU Kab. Bengkulu Selatan 5 12 17
6 KPU Kab. Kaur 10 7 17
7 KPU Kab. Bengkulu Tengah 2 15 17
8 KPU Kab. Kepahiang 7 10 17
9 KPU Kab. Rejang Lebong 2 14 16
10 KPU Kab. Lebong 13 1 14
11 KPU Kab. Mukomuko 12 5 17
Jumlah 101 102 203
Sumber: Sekretariat KPU se-Provinsi Bengkulu, 2019
5

Hasil pra-survey yang dilakukan di beberapa Sekretariat KPU, pada masa awal
penempatan, khususnya pegawai DPK dinilai masih menunjukkan keterikatan kerja
yang sangat rendah, bahkan di antara pegawai menolak dengan berbagai alasan. Hal ini
dikarenakan pegawai DPK sudah terbiasa dengan pola-pola pekerjaan yang ada di
Pemda masing-masing yang dapat bekerja dengan santai, kurang disiplin tidak
mendapatkan teguran dan sanksi, serta dapat keluar-masuk di saat jam kerja tanpa ada
teguran dari atasan.
Namun, sejak adanya tunjangan kinerja di Sekretariat KPU dan makin baiknya
sarana dan prasarana kantor setiap tahunnya, PNS DPK yang ada di Sekretariat KPU
lebih menunjukkan keinginannya untuk tetap berkarir di Sekretariat KPU. Bahkan pada
Tahun 2014 ada Surat Edaran dari Sekretaris Jenderal KPU Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2016 tentang Pemetaan Pegawai pada Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat
KPU Kabupaten/Kota dimana terdapat ketentuan jumlah PNS sebanyak 17 orang pada
Sekretariat KPU Kabupaten/ Kota dan 35 orang pada Sekretariat KPU Provinsi,
membuat pegawai DPK berusaha untuk meningkatkan kinerjanya agar tidak
dikembalikan lagi pada Instansi Pemerintah Daerah. Fenomena ini terjadi hingga Tahun
2016, sehingga terlihat bahwa pegawai DPK menunjukkan kinerja maksimal, memiliki
loyalitas yang tinggi pada organisasi KPU dan memiliki disiplin kerja yang tinggi.
Selain dilakukan pembatasan jumlah PNS di setiap satuan kerja KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota, sejak bulan Januari 2015 Sekretariat Jenderal Komisi
Pemilihan Umum melalui Surat Edaran Nomor 66/SJ/I/2015 tanggal 19 Januari 2015
memberikan ruang kepada pegawai DPK untuk beralih status dari pegawai derah
menjadi pegawai Sekretariat KPU secara utuh. Alih status merupakan implementasi dari
ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Komisi Pemilihan Umum
Pasal 133 ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan tersebut disambut baik dan gembira oleh
pegawai DPK karena akan mendapatkan hak penuh sebagai pegawai Sekjen KPU
seperti pegawai organik di Sekretariat KPU. Hal ini dibuktikan dengan tingginya minat
PNS DPK untuk beralih status menjadi PNS Organik/PNS Sekretariat Jenderal KPU.
Observasi yang dilakukan penulis menggunakan model observasi partisipasi,
diketahui bahwa sebagian besar PNS DPK tetap ingin berkarir di Sekretariat KPU, hal
ini dikarenakan menganggap bahwa sistem manajemen (kepemimpinan) yang
dijalankan pada Sekretariat KPU mendukung dalam pelaksanaan tugas-tugas pegawai.
Dari sisi lingkungan kerja, kondisi kantor Sekretariat KPU yang sudah dilengkapi
dengan sarana dan prasarana kerja yang memadai, turut meningkatkan motivasi kerja
PNS DPK untuk terus bekerja di Sekretariat KPU. Namun setelah proses sebagian besar
PNS DPK ini selesai, terjadi perubahan sikap Pegawai yang telah alih status menjadi
PNS Sekretariat Jenderal KPU. Pegawai yang tadinya rajin, disiplin dan memiliki
keteritakatan yang tinggi pada organisasi menjadi kondisi seperti awal-awal penempatan
pegawai DPK di Sekretariat KPU. Terjadi penurunan sikap disiplin dan keterikatan
kerja pegawai yang berasal dari PNS DPK yang tentu saja memengaruhi seluruh PNS
yang ada di Sekretariat KPU.
Dari pemaparan di atas dan realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa
keterikatan kerja PNS DPK pada Sekretariat KPU mengalami pasang-surut, terkadang
rendah dan terkadang tinggi. Kondisi dan fenomena ini mendorong penulis untuk
melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja
pegawai Sekretariat KPU dalam wilayah Provinsi Bengkulu.
6

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi keterikatan kerja pegawai Seketariat KPU
di Provinsi Bengkulu?
2. Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut memengaruhi keterikatan kerja
pegawai Seketariat KPU di Provinsi Bengkulu?
3. Faktor-faktor manakah yang paling berpengaruh pada keterikatan kerja pegawai
Seketariat KPU di Provinsi Bengkulu antara pegawai DPK (pegawai dipekerjakan)
dan pegawai organik (pegawai penempatan)?

1.3 Tujuan Penelitian


Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan dicapai adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja pegawai Seketariat
KPU di Provinsi Bengkulu.
2. Menganalisis besar pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja
pegawai Seketariat KPU di Provinsi Bengkulu.
3. Menguji dan menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh pada keterikatan
kerja pegawai DPK dan dap organik di Seketariat KPU di Provinsi Bengkulu.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Bagi Pegawai sebagai sumbangan pemikiran dan informasi serta acuan tentang hal-
hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk menumbuhkan keterikatan kerja
dan keterikatan kerja pegawai DPK Seketariat KPU di Provinsi Bengkulu
2. Pimpinan KPU, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
yang berharga sebagai referensi dan acuan dalam menjalankan tugas dan fungsinya
sehingga keterikatan kerja dan keterikatan kerja pegawai DPK Seketariat KPU di
Provinsi Bengkulu dapat meningkat.
3. Bagi peneliti lainnya yang meneliti topik sejenis dapat dijadikan bahan referensi.

TINJAUAN PUSTAKA
[[

2.1 Keterikatan Kerja


2.1.1 Pengertian Keterikatan Kerja
Pada dasarnya konsep keterikatan karyawan dibentuk oleh dua konsep yang
telah dikenal dalam ranah akademik yaitu komitmen organisasi dan citizenship
behavior (Putu, 2011). Komitmen karyawan dioperasionalkan sebagai hubungan positif
dan kesediaaan berupaya melebihi dari yang dibutuhkan oleh uraian tugas pokok dan
kebanggaan sebagai anggota organisasi. Sementara organizational citizenship diartikan
sebagai perilaku dilingkungan organisasi yang dicirikan oleh upaya dan prakarsa yang
secara proaktif diabdikan untuk mencapai sasaran organisasi melebihi dari apa yang
diharapkan. Rafferty et al. (2005) mengungkapkan perbedaaan komitmen dan
citizenship behavior dengan keterikatan individu karena komitmen dan citizenship
behavior merupakan reaksi searah dari individu karyawan terhadap organisasi
sementara keterikatan individu merupakan hasil proses interaksi dua arah antara
manajemen dan karyawan.
7

Teori keterikatan di dunia kerja pertama kali diperkenalkan oleh Kahn pada
tahun 1990. Kahn (1990) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai usaha yang
digunakan karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan
cara menggunakan ekspresi diri, kognitif dan emosi mereka sehingga karyawan yang
terikat akan memiliki usaha ekstra dalam bekerja. Sedangkan personal disengagement
sama dengan melepaskan diri dari tugas dan tanggung jawabnya, tidak merasa terikat
baik secara fisik, kognitif atau emosi selama bekerja. Kahn (1990) dalam teorinya
tentang keterikatan dan ketidakterikatan mengemukakan bahwa bentuk keterikatan
merupakan ekspresi diri yang diinginkan oleh seseorang dan sekaligus bentuk hubungan
yang diinginkannya dengan orang lain. Keterikatan kerja (work engagement)
selanjutnya juga berkembang ke tingkat dimana konstruk psikologis ini dapat dipenuhi.
Dalam teori ini, identifikasi dan pemenuhan dari kebutuhan individu diakui sebagai
komponen penting dari keterikatan karyawan, namun pemahaman tentang kebutuhan
individu belum sepenuhnya dieksplorasi atau dihubungkan dalam sebuah
konseptualisasi.
Bakker et al. (2002) mendefinisikan keterikatan (work engagement) sebagai
pemenuhan kerja dari pusat pikiran positif dan sebuah motivasi yang dikarakteristikkan
dengan pekerjaan yang dicirikan dengan vigor, dedication, dan absorption. Seorang
yang bercirikan dari ketiga tersebut adalah seorang yang memiliki work engagement
dalam bekerja. Work engagement berhubungan dengan pekerjaan yang ditandai dengan
semangat, dedikasi, dan absorption, Schaufeli et al. (2002).
Robbins (2007) mengatakan bahwa work engagement karyawan yang dalam
pekerjaannya secara psikologis dapat mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaan dan
menganggap kinerjanya penting untuk dirinya dan organisasi. Karyawan dengan work
engagement yang tinggi benar-benar peduli dengan pekerjaannya dan mencurahkan dari
fisik dan psikis pada pekerjaannya. Mujiasih (2004) menjelaskan bahwa work
engagement dalam pekerjaan adalah anggota organisasi yang melaksanakan perannya
dalam bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama
bekerja yang artinya bahwa pekerjaan adalah segalanya untuk kehidupannya.
Mujiasih (2004) mengatakan bahwa work engagement adalah kekuatan ilusif
yang memotivasi karyawan meningatkan kinerja pada level yang lebih tinggi, energi ini
berupa keterikatan kerja terhadap organisasi, rasa memiliki pekerjaan dan kebanggaan,
usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat dan ketertarikan, dan keterikatan kerja
dalam melaksanakan pekerjaan.
Jadi work engagement karyawan merupakan sebuah kekuatan ilusif yaitu energi
positif (semangat, dedikasi dan absortion) yang memotivasi karyawan dalam
meningkatkan kinerjanya dan secara psikologis menganggap kinerjanya penting bagi
dirinya dan organisasi.

2.1.2 Ciri-Ciri Work Engagement


Karyawan yang memiliki work engagement terhadap organisasi memiliki
karakteristik tertentu. Federman (2009) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki
work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang
berikutnya.
2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar daripada
diri mereka sendiri.
8

3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah
lompatan dalam pekerjaan.
4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang
dewasa.
Bakker dan Leiter (2010) mengatakan bahwa karyawan yang memiliki work
engagement yang tinggi secara konsisten melaksanakan tiga perilaku, yaitu:
a. Say. Secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja kepada
rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan.
b. Stay. Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain.
c. Strive. Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi
pada kesuksesan bisnis organisasi.
Robertson (2007) berpendapat bahwa karyawan yang work engagement
menunjukkan antusiasme, hasrat yang nyata mengenai pekerjaannya dan untuk
organisasi yang mempekerjakan mereka. Karyawan yang work engagement menikmati
pekerjaan yang mereka lakukan dan berkeinginan untuk memberikan segala bantuan
yang mereka mampu untuk dapat mensukseskan organisasi dimana mereka bekerja.
Karyawan yang work engagement juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara
antusias terlibat dalam pekerjaannya

2.1.3 Dimensi Work Engagement


Keterikatan kerja merupakan dimensi dasar dari motivasi intrinsik yang
memperkuat perilaku berorientasi tujuan dan keteguhan dalam mencapai tujuan dengan
semangat yang tinggi, juga rasa antusiasme, serta bangga terhadap pekerjaannya
(Morrison dan Phelps, 2003). Keterikatan kerja merupakan tingkatan yang tinggi dari
energi, keteguhan, identifikasi dan tujuan yang terarah, maka tingkatan keterikatan
tinggi dapat meningkatkan perilaku kerja proaktif dalam konteks insiatif personal
(Morrison dan Phelps, 2003).
Bakker et al. (2002) menjelaskan dimensi yang terdapat dalam work
engagement, yaitu:
1. Vigor. Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian
untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam
menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya
dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
2. Dedication. Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan.
3. Absorption. Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap
suatu pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan
kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.
Luthans (2006) mengatakan bahwa komponen yang digunakan dalam mengukur
keterlibatan kerja, yaitu:
a. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaan dapat
menunujukan seorang pekerja terlibat dalam pekerjaan. Aktif berpartisipasi adalah
perhatian seseorang terhadap sesuatu. Dari tingkat atensi inilah maka dapat diketahui
seberapa seorang karyawan perhatian, peduli, dan menguasai bidang yang menjadi
perhatiannya.
9

b. Menunjukan pekerjaan sebagai yang utama. Menunjukan pekerjaan sebagai yang


utama pada karyawan yang dapat mewakili tingkat keterlibatan kerjanya. Apabila
karyawan merasa pekerjaannya adalah hal yang utama. Seorang karyawan yang
mengutamakan pekerjaan akan berusaha yang terbaik untuk pekerjaannya dan
menganggap pekerjaannya sebagai pusat yang menarik dalam hidup dan yang pantas
untuk diutamakan.
c. Melihat pekerjaannya sebagai sesuatu yang penting bagi harga diri. Keterlibatan
kerja dapat di lihat dari sikap seseorang pekerja dalam pikiran mengenai
pekerjaannya, dimana seorang karyawan menganggap pekerjaan penting bagi harga
dirinya. Harga diri merupakan panduan keprcayaan diri dan penghormatan diri,
mempunyai harga diri yang kuat artinya merasa cocok dengan kehidupan dan penuh
keyakinan, yaitu mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi masalahmasalah
kehidupan. Harga diri adalah rasa suka dan tidak suka akan dirinya. Apabila
pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat berharga baik secara materi dan
psikologis pada pekerja tersebut maka pekerja tersebut menghargai dan akan
melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin sehingga keterlibtan kerja dapat tercapai,
dan karyawan tersebut merasa bahwa pekerjaan mereka penting bagi harga dirinya.
Lockwood (2007) menjelaskan bahwa work engagement mempunyai tiga
dimensi yang merupakan perilaku utama, yaitu:
1) Membicarakan hal-hal positif mengenai organisasi pada rekannya dan
mereferensikan organisasi tersebut pada karyawan dan pelanggan potensial.
2) Memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi tersebut, meskipun
terdapat kesempatan untuk bekerja di tempat lain.
3) Memberikan upaya dan menunjukkan perilaku yang keras untuk berkontribusi dalam
kesuksesan bisnis organisasi.
Jadi dimensi work engagement yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dimensi menurut Bakker et al. (2002) yaitu; vigor, dedication, dan absorption. Penulis
mengambil dimensi work engagement ini dikarenakan bahwa ketiga dimensi ini dapat
mewakili kondisi nyata/realita di lapangan.

2.1.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Keterikatan Kerja (Work Engagement)

Menurut Lockwood (2007), engagement merupakan konsep yang kompleks dan


dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah:
1) Motivasi merupakan faktor pendorong yang berasal dari dalam dan dari luar diri
pegawai sehingga memiliki keterikatan yang tinggi dalam pekerjaan dan
tanggungjawabnya.
2) Budaya kerja merupakan mekanisme kerja yang disepakati dan disusun secara
sistematik yang harus diikuti oleh seluruh komponen organisasi.
3) Komunikasi organisasional merupakan bentuk koordinasi antara seluruh komponen
organisasi sehingga pelaksanaan pekerjaan berjalan dengan baik.
4) Kepemimpinan atau gaya manajerial yang memicu kepercayaan.
5) Penghargaan merupakan faktor ekstrinsik yang berasal dari organisasi yang
diberikan kepada seseorang sehingga memiliki kebetahan dengan pekerjaannya.
6) Kemampuan yang dianut dan reputasi organisasi itu sendiri dan lingkungan kerja di
dalam organisasi.
10

Work engagement juga dipengaruhi oleh karakteristik organisasional, seperti


(Marciano, 2010):
1) Reputasi untuk integritas merupakan kewenangan yang melekat pada diri anggota
organisasi dalam pengambilan keputusannya.
2) Komunikasi internal merupakan bentuk koordinasi antara seluruh komponen
organisasi sehingga pelaksanaan pekerjaan berjalan dengan baik.
3) Inovasi budaya merupakan mekanisme kerja yang disepakati dan disusun secara
sistematik yang harus diikuti oleh seluruh komponen organisasi yang bersifat
inovatif.
Berdasarkan model keterikatan kerja yang disebut JD-R (Job Demands
Resources) Model yang dikembangkan oleh Bakker dan Demerouti (2008), terlihat
bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh job resources dan personal resources. Model
ini menunjukkan bahwa job resources dan personal resources secara sendiri-sendiri
atau secara bersama-sama meramalkan keterikatan kerja karyawan. Job resources dan
personal resources memiliki dampak positif pada keterikatan kerja saat tuntutan kerja
tinggi (Bakker dan Demerouti, 2007).
Job resources mengacu pada aspek-aspek lingkungan terkait pekerjaan, yaitu
aspek fisik, sosial atau organisasional dari pekerjaan. Contoh job resource adalah: (a)
dukungan sosial dari kolega dan supervisor; (b) coaching dari supervisor; (c) feedback
kinerja; (d) beragamnya skill dan (e) otonomi. Personal resources mengacu pada
keadaan psikologis individu, yaitu: (a) optimism, (b) self efficacy, (c) resiliency dan (d)
self esteem (Bakker et al. 2007).
Menurut Bakker dan Leiter (2010), banyak faktor yang memengaruhi
keterikatan kerja karyawan, yakni:
1) Jaminan pekerjaan
Jaminan pekerjaan memberikan makna bahwa pekerjaan yang ditekuni memiliki
peluang untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik dan mendapatkan
pengembangan karir.
2) Perlakuan yang adil
Perlakuan yang adil menunjukkan bahwa pimpinan atau manajemen menerapkan
sistem pengawasan yang sama kepada setiap bawahan, tanpa dibeda-bedakan jenis
kelamin, status sosial dan sebagainya.
3) Kompensasi yang mencukupi
Kompensasi yang mencukupi akan membuat seseorang akan betah bekerja dalam
pekerjaan tersebut. Jika kompensasi yang diterima sesuai dengan beban kerja dan
ketentuan yang berlaku, maka akan mendorong seseorang untuk betah dalam
pekerjaan tersebut.
4) Perlakuan dengan penuh hormat dan bermartabat
Perilaku sopan dan ramah kepada setiap orang atau karyawan dari karyawan lainnya
akan mendorong karyawan betah dengan pekerjaannya. Hal tersebut akan
berdampak pada kebetahan karyawan berada di lingkungan kerjanya.
5) Faktor-faktor yang berhubungan dengan stres (seperti beban kerja yang berlebihan,
target kinerja yang tidak realistis, konflik pekerjaan dan keluarga yang disebabkan
adanya ketidakseimbangan)
11

6) Adanya timbal balik hak (konsekwensi positif perusahaan atas kinerja yang baik
dari karyawan) yang tidak hanya mencakup upah atau benefit yang menarik, tetapi
juga pengembangan keterampilan, budaya inovatif atau ketersediaan sumber daya
tertentu yang memungkinkan karyawan untuk berkembang.
7) Pekerjaan yang menarik, dimana ada kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan
individu, adanya teman sejawat yang akrab dan pemimpin yang menginspirasi.
Marciano (2010) mengatakan bahwa saat level penghargaan terhadap seseorang
tumbuh, level keterikatan kerjanya juga tumbuh. Hal ini dikembangkan dari prinsip
bahwa jika orang diperlakukan dengan berharga, mereka akan terikat dan bekerja lebih
keras mencapai sasaran organisasi. Lebih lanjut Marciano (2010) menguraikan tujuh
faktor yang mendorong terjadinya keterikatan kerja karyawan yang dirangkumnya
dalam 7 drivers RESPECT Model, yaitu:
1) Recognition.
Dengan recognition (pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan
diapresiasi, pemberian reward (hadiah) diberikan berdasarkan kinerja dan para
atasan secara reguler mengakui anggota tim berhak mendapatkannya.
2) Empowerment.
Dalam empowerment (pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja,
sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam
pekerjaan, memberikan otonomi dan didorong untuk mengambil risiko.
3) Supportive feedback.
Supportive feedback (umpan balik yang mendukung) berarti para atasan
memberikan feedback yang spesifik pada waktunya dalam suatu media yang
mendukung, tulus dan konstruktif, bukan untuk membuat malu atau menghukum.
4) Partnering.
Dalam partnering (kemitraan), karyawan diperlakukan sebagai mitra bisnis dan
secara aktif berkolaborasi dalam pengambilan keputusan bisnis, menerima informasi
keuangan, mendapatkan keleluasaan dalam pengambilan keputusan, atasan
bertindak sebagai pendorong untuk pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
5) Expectations.
Expectations (harapan), dimana para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan
prioritas bisnis secara jelas ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui
standard kinerja mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab.
6) Consideration.
Considerations dimana para atasan, manajer dan anggota tim menunjukkan rasa
tenggang, kepedulian dan perhatian satu sama lain, para atasan secara aktif berusaha
memahami pendapat dan perhatian karyawan dan memahami serta mendukung saat
karyawan mengalami permasalahan pribadi.
7) Trust.
Trust (rasa percaya), dimana para atasan menunjukkan kepercayaan dan yakin
dengan skill dan kemampuan karyawan, sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan
mereka akan bekerja dengan tepat melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan
komitmen mereka sehingga karyawan mempercayai para atasan.
Xanthopoulou et al. (2008) menyatakan bahwa keterikatan kerja ditentukan
oleh:
12

1) Faktor individual.
Faktor individu mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan
resiliency dan rasa mampu untuk mengendalikan dan memengaruhi lingkungan
mereka dengan sukses.
2) Faktor lingkungan.
Faktor lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan
fisik pekerjaan, seperti: otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik
kinerja dan peluang pengembangan keahlian.
Menurut Perin (2003) keterikatan kerja (work engagement) tidak muncul dengan
sendirinya. Work engagement dipengaruhi oleh 10 faktor, yakni:
1) Senior management yang memperhatikan keberadaan pekerja
Senioritas dalam pekerjaan dapat memengaruhi seseorang betah bekerja di dalam
organisasi. Jika karyawan-karyawan senior memberikan dukungan dan dukungan
bagi karyawan-karyawan junior, maka karyawan junior akan merasa diterima di
dalam lingkungan kerja.
2) Pekerjaan yang memberikan tantangan.
Pekerjaan yang menantang bagi sebagian orang akan mendorongnya untuk
mencapainya dengan baik. Oleh karena itu, karyawan-karyawan yang merasa
tertantang dengan pekerjaannya, akan selalu berinovasi dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya dengan baik.
3) Wewenang dalam mengambil keputusan
Kejelasan kewenangan dalam pekerjaan dan tanggungjawab karyawan akan
membuat karyawan dapat mengambil langkah-langkah strategis dalam
melaksanakan tugas.
4) Organisasi yang fokus pada kepuasan pelanggan.
Setiap anggota organiasi diarahkan untuk senantiasa melaksanakan pelayanan
kepada pelanggan dengan baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan sistem dan
mekanisme kerja yang efektif.
5) Memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk berkarir.
Kesempatan berkarir dan mendapatkan pengembangan dari pekerjaan karyawan,
merupakan salah satu faktor yang mendorong karyawan memiliki tingkat kebetahan
di dalam pekerjaannya.
6) Reputasi organisasi.
Reputasi organisasi yang positif di mata publik dan di mana karyawan, akan
mendorong karyawan untuk betah bekerja di dalam organisasi.
7) Tim kerja yang solid dan saling mendukung.
Solidaritas dan kekompakan karyawan dalam bekerja akan membuat pekerjaan
mudah dilaksanakan. Selain itu, hal tersebut akan menjalin komunikasi dua arah
yang efektif.
8) Kepemilikan sumber yang dibutuhkan untuk dapat menunjukkan performa kerja
yang prima;
9) Memiliki kesempatan untuk memberikan pendapat pada saat pengambilan
keputusan.
Pemberdayaan kepada setiap anggota organisasi akan mendorong setiap anggota
organisasi melaksanakan peran dan tugasnya dengan baik. Kesempatan karyawan
13

untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting, akan memberikan nilai


penting dalam diri karyawan.
10) Penyampaian visi organisasi yang jelas oleh senior management target jangka
panjang organisasi.
Komunikasi mengenai visi dan misi kepada seluruh personal di dalam organisasi
akan membuat karyawan kompak dalam melaksanakan visi dan misi tersebut
dengan baik.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Meyer (2012) mengemukakan beberapa
faktor yang memengaruhi Work Engagement, yaitu:
1) Commitment (keinginan yang mendorong seseorang untuk tetap bekerja di dalam
organisasi).
2) Adaptability (keterbukaan terhadap ide-ide baru, kesiapan memodifikasi respon
kerja pada saat menghadapi perubahan).
3) Achievement orientation (orientasi untuk selalu mendorong diri dalam siklus target,
yaitu target kerja, mencapainya dan menetapkan target yang semakin menantang).
4) Attraction to the work (kemampuan mengelola sikap positif terhadap pekerjaannya
selama periode stress dan frustrasi).
5) Emotional maturity (menghindari bertindak impulsive dan ekstrim atau menghindari
reaksi emosional yang berdampak negatif terhadap efektivitas kerja dan terhadap
hubungan kerja)
6) Positive disposition (menunjukkan keramahan dengan pelanggan dan rekan kerja;
berkeinginan untuk menolong orang lain mencapai target kerja mereka)
7) Efikasi diri (memperlihatkan kenyamanan, berkeras dalam menunjukkan percaya
diri atas kemampuannya berhasil dalam pekerjaan dan melampaui prestasi orang
lain).

2.2 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji
penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan
penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis
mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian
pada penelitian penulis.
Susanti et al. (2017) meneliti mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
employee engagement di Hotel IBIS Style di Surabaya. Metode analisis data yang
digunakan adalah analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel bebas
berpengaruh secara serempak terhadap employee engagement. Kemudian hanya variabel
teamwork yang berpengaruh secara parsial dan secara signifikan terhadap employee
engagement. Variabel teamwork juga menjadi faktor paling dominan terhadap employee
engagement di Hotel Ibis Style Surabaya.
Kemudian, Puspita et al. (2015) meneliti mengenai pengaruh faktor-faktor
budaya organisasi terhadap employee engagement karyawan di Kantor Wilayah PT.
PLN Kalimantan Barat. Analisis data menggunakan analisis regresi. Hasil analisis
deskriptif menunjukkan bahwa nilai persentase faktor-faktor budaya organisasi secara
keseluruhan sebesar 62,14% yang dikategorikan lemah, dimana nilai presetase variabel
involvement sebesar 61,86%, consistency sebesar 61,98%, adaptability sebesar 61,92%
14

dan mission sebesar 61,80%. dan nilai persentase employee engagement dikategorikan
lemah dengan besaran nilai presentase 61,74%. Hasil analisis jalur menunjukkan secara
parsial variabel involvement berpengaruh signifikan terhadap employee engagement
karyawan sebesar 10,1%, consistency berpengaruh signifikan sebesar 25%, adaptability
berpengaruh signifikan terhadap employee engagement karyawan sebesar 17,6% dan
mission berpengaruh signifikan terhadap employee engagement sebesar 16,5%. Secara
simultan faktor-faktor budaya organisasi yang terdiri dari involvement, consistency,
adaptability dan mission berpengaruh signifikan terhadap employee engagement
karyawan Kantor Wilayah PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Kalimantan Barat
sebesar 69,2%.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Iswanti dan Agustina (2016) yang meneliti
mengenai peran dukungan sosial di tempat kerja terhadap keterikatan kerja karyawan.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
dukungan sosial di tempat kerja dan keterikatan kerja dengan koefisien korelasi (r)
sebesar 0.498 dan p=0.000 (p˂0.01).
Rachmawati (2016) melakukan penelitian dengan judul employee engagement
sebagai kunci meningkatkan kinerja karyawan. Penelitian membuktikan bahwa
employee engagement sangat berhubungan dengan outcome kinerja perusahaan.
Perusahaan yang memiliki karyawan yang memiliki rasa keterikatan yang tinggi akan
membuat karyawannya betah untuk bekerja di tempat tersebut. selain itu, produktivitas,
keuntungan, pertumbuhan, dan kepuasan pelanggannya juga akan meningkat.
Sebaliknya, jika perasaan itu tidak dimiliki oleh para karyawan, maka karyawan juga
tidak akan bekerja dengan efisien, memiliki komitmen yang rendah, produktifitas yang
buruk yang kesemuanya berimbas pada rendahnya kepuasan konsumen, margin
operasional serta margin keuntungan bersih.
Kurniawati (2014) meneliti hubungan masa kerja dengan job engagement pada
karyawan. Hasilnya dapat diketahui bahwa koefisien korelasi antara masa kerja dengan
job engagement adalah 0,653. Uji signifikansi menunjukkan hasil 0,000 (p<0,01) berarti
bahwa korelasi kedua variabel sangat signifikan. Selanjutnya, Akbar (2013) meneliti
mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap employee engagement (studi pada
karyawan PT. Primatexco Indonesia di Batang). Hasil uji hipotesis menunjukkan
terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya organisasi terhadap employee
engagement, dengan nilai koefisien regresi 0,623 dan thit = 8,481 dengan p = 0,000 (p <
0,05) sehingga hipotesis diterima. Artinya semakin baik budaya organisasi maka
semakin tinggi employee engagement, sebaliknya semakin buruk budaya organisasi
maka semakin rendah pula employee engagement.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Nurendra dan Purnamasari (2017) mengenai
hubugan antara kualitas kehidupan kerja dan keterikatan kerja pada pekerja wanita.
Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kualitas kehidupan kerja
dan keterikatan kerja. Sumbangan efektif terhadap keterikatan kerja pada pekerja wanita
sebesar 48.3%. Dari uji independent sample t-test dapat disimpulkan bahwa, tidak ada
perbedaan keterikatan kerja antara pekerja yang menikah dan belum menikah, dan tidak
ada perbedaan keterikatan kerja ditinjau dari jumlah anak.
Kemudian, Mujiasih (2015) meneliti mengenai hubungan antara persepsi
dukungan organisasi (perceived organizational support) dengan keterikatan kerja
karyawan. Hasil penelitian memberikan bukti bahwa adanya hubungan positif yang
15

signifikan antara perceived organizational suppoet dan employee engagament.


Penelitian sejenis lainnya dilakukan oleh Rizkiani dan Sawitri (2015) yang meneliti
mengenai kepribadian proaktif dan keterikatan kerja pada karyawan PT. PLN Distribusi
Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Dari hasil analisis regresi sederhana menunjukkan
adanya hubungan positif yang signifikan antara kepribadian proaktif dan keterikatan
kerja (r = 0,89; p < 0,001), yang berarti bahwa semakin tinggi kepribadian proaktif
maka semakin tinggi keterikatan kerja. Kepribadian proaktif memberikan sumbangan
efektif sebesar 79% terhadap keterikatan kerja. Perusahaan dapat memberikan intervensi
berupa pelatihan yang memuat aspek kepribadian proaktif, memperkenalkan ciri-ciri
individu dengan kepribadian proaktif, menginformasikan dampak positif kepribadian
proaktif bagi pekerjaan, serta memasukkan aspek kepribadian proaktif dalam penilaian
kinerja untuk mengembangkan kepribadian proaktif karyawan.
Sumakto dan Sami’an (2013) meneliti mengenai Hubungan Keterikatan Kerja
dengan Kinerja pada Karyawan Hotel Surabaya Plaza. Berdasarkan hasil analisis
penelitian, nilai koefisien korelasi antara kedua variabel adalah 0,037 dengan derajat
signifikansi sebesar 0,725. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi
antara keterikatan kerja dengan kinerja pada karyawan Surabaya Plaza.
Jika diamati, diketahui bahwa penelitian terdahulu dan penelitian sekarang
memiliki kesamaan, yakni berfokus pada faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan
kerja (work engagement). Penelitian-penelitian tersebut mendasarkan pada teori dan
konsep yang relative sama. Perbedaan penelitian sekarang dengan penelitian terdahulu
terletak pada beberapa hal, pertama metode analisis pada penelitian ini adalah analisis
faktor dan analisis regresi probit. Analisis faktor digunakan untuk mereduksi faktor-
faktor yang memengaruhi keterikatan kerja. Sedangkan analisis regresi probit,
digunakan untuk mengestimasi pengaruh faktor-faktor yang telah terbentuk dengan
analisis faktor pada kelompok sampel, yakni pegawai organik dan pegawai DPK apakah
ada perbedaan atau tidak. Kedua, objek dan waktu penelitian, di mana objek penelitian
adalah pegawai Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu.

2.3 Kerangka Analisis


Kerangka analisis berfungsi sebagai penuntun dan alur pikir yang merupakan
dasar dari penelitian. Teori adalah sekumpulan interrelasi berbagai pernyataan (atau
konsep) yang terorganisasi dan sistematik yang secara khusus menjelaskan hubungan
antara dua atau lebih variabel, yang bertujuan untuk memahami permasalahan atau latar
belakang masalah. Sementara itu “konsep” adalah pernyataan simbolis yang
menjelaskan suatu fenomena atau sub fenomena tertentu (Fain, 2004).
Penelitian ini meneliti mengenai faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan
kerja (work enggagement). Menurut Lockwood (2007) dan para ahli lainnya,
mengemukakan bahwa engagement merupakan konsep yang kompleks dan dipengaruhi
oleh banyak faktor. Penulis menuangkan kerangka pemikirannya dalam bentuk skema
kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 2.1
16

Indikator Pembentuk Faktor-faktor


yang Memengaruhi Keterikatan Kerja
(Work Engagement)
1. Motivasi kerja
2. Budaya kerja
3. Komunikasi organisasional
4. Kepemimpinan atau gaya manajerial
5. Kepercayaan
6. Penghargaan
7. Kemampuan
8. Pengalaman
9. Reputasi organisasi
10. Lingkungan kerja
11. Integritas
12. Sumber daya pekerjaan
13. Sumber daya individu
14. Penghasilan/Kompensasi
15. Perlakuan yang adil 1 Reduksi Faktor dengan
16. Pemberdayaan Analisis Faktor
17. Beban kerja
18. Target kerja
19. Konflik peran
20. Tim kerja/kemitraan
21. Dukungan organiasional Keterikatan
22. Senioritas Faktor 2 Kerja (Work
23. Pekerjaan/Tanggungjawab Baru Engagement)
24. Kewenangan (Umum)
25. Kesempatan karir
26. Komitmen
27. Efikasi diri (self efficacy) Analisis
Deskriptif
28. Self esteem
29. Recognition
30. Supportive feedback Work Engagement Pegawai
31. Partnering KPU berdasarkan Jenis
32. Expectations Kepegawai (Khusus)
33. Consideration 3
a) Pegawai organik
34. Pekerjaan yang menantang
b) Pegawai DPK
35. Adaptability
36. Achievement
37. Attraction to the work
38. Emotional maturity
39. Positive disposition

Gambar 2.1 Kerangka Analisis

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif. Jenis penelitian


ini menggunakan metode penelitian survey. Metode penelitian kuantitatif dapat
diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik yang
bertujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2014).
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
17

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014). Populasi dalam penelitian ini yaitu
PNS pada Sekretariat KPU Provinsi dan Seketariat KPU Kabupaten/Kota di Provinsi
Bengkulu yang berjumlah 203 Orang.
Pengambilan sampel adalah proses memilih sejumlah elemen secukupnya dari
populasi, sehingga penelitian terhadap sampel dan pemahaman tentang sifat atau
karakteristik yang melekat dapat menggeneralisasikan sifat atau karakteristik tersebut
pada elemen populasi (Sekaran, 2006: 125). Sekaran (2006: 126) juga memberikan
pengertian bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi.
Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan teknis sensus.
Menurut Sugiyono (2014) metode sensus digunakan jika keseluruhan anggota populasi
diambil sebagai unit analisis. Biasanya penggunaan teknik sensus dilakukan karena
jumlah anggota populasi yang tidak terlalu besar (Sugiyono, 2014). Jadi, jumlah sampel
dalam penelitian ini adalah 203 Orang PNS pada Sekretariat KPU Provinsi dan
Seketariat KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu yang terdiri dari pegawai DPK
(diperkerjakan/direkrut Pemda dan ditempatkan di Sekretariat KPU) dan pegawai
organik (rekrutmen Sekretariat KPU).
Guna menjawab tujuan penelitian, maka pada penelitian ini digunakan empat
metode analisis data, yakni analisis faktor, analisis deskriptif (mendukung analisis
faktor), analisis regresi berganda dan analisis regresi logistik. Pemaparan ketiga metode
analisis data tersebut dijelaskan berikut ini.
1. Analisis Faktor
Analisis faktor adalah suatu alat analisis multivariate yang digunakan untuk
mereduksi atau meringkas faktor-faktor yang asal yang lebih banyak menjadi lebih
sedikit. Ghozali (2013) menyebutkan bahwa factor analysis menelaah struktur antar
hubungan sejumlah besar variabel dengan mendefinisikannya menjadi suatu faktor.
Faktor merupakan kombinasi linear dari variabel awal yang saling berhubungan dan
saling memengaruhi.
Analisis faktor merupakan salah satu dari analisis ketergantungan
(Interdependensi) antar variabel. Prinsip dasar dari analisis faktor yaitu mengekstraksi
sejumlah faktor bersama (common factors) dari gugusan variabel asal x1, x2,...xn
sehingga:
1. Banyak faktor lebih sedikit dibandingkan dengan banyaknya variabel asal X
2. Sebagian besar informasi (ragam) variabel asal X, tersimpan dalam sejumlah faktor.
Salah satu tujuan dari analisis faktor adalah mereduksi sejumlah variabel
dengan cara mirip seperti pengelompokan variabel. Di dalam analisis faktor, variabel-
variabel dikelompokkan berdasarkan korelasinya. Variabel yang berkorelasi tinggi
akan berada dalam kelompok tertentu membentuk suatu faktor, sedangkan variabel
dalam kelompok (faktor) lain mempunyai korelasi yang relatif kecil (Solimun, 2002:
40). Analisis faktor dilakukan mulai dari tahap uji kelayakan faktor hingga sampai
pada tahap interpretasi faktor. Langkah-langkah analisis faktor yakni:
1) Menilai faktor yang Layak
Sebelum variabel-variabel direduksi ke dalam beberapa faktor, terlebih dahulu
dilakukan beberapa pengujian dan pengukuran. Pengujian yang dilakukan meliputi uji
KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) dan Bartlett’s test of Sphericity, dan uji MSA (Measuring
of Sampling Adequacy). Pengukuran KMO dilakukan untuk melihat kemampuan sampel
18

menggambarkan hubungan-hubungan antar variabel sehingga analisis faktor sebagai


alat analisis terjamin ketepatannya. Indeks pengukuran KMO yang dihasilkan
merupakan indeks untuk membandingkan besaran koefisien korelasi yang diamati
dengan besaran koefisien korelasi parsial. Nilai KMO yang kecil menunjukkan bahwa
analisis faktor tidak tepat karena korelasi antara kombinasi variabel tidak bisa dijelaskan
oleh variabel lain. Hair et al (dalam Ghozali, 2013) menyatakan variabel dikatakan
layak jika nilai KMO pada Anti-Image Matrices > 0,50 dan jika lebih kecil dari 0,5;
maka variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis.

2) Pembentukan Faktor dan Rotasi Faktor


Pada tahapan ini, dilakukan ekstrasi terhadap sekumpulan variabel yang telah
dianggap layak sehingga terbentuk satu atau beberapa faktor. Metode ektraksi yang
digunakan adalah PCA (Principal Component Analysis). Apabila proses factoring
belum meyakinkan kita terhadap faktor terbentuk, maka dilakukan rotasi faktor agar
bentuk-bentuk diperoleh faktor yang valid, sehingga memperjelas posisi sebuah variabel
masuk dalam faktor tertentu.
Pembentukan faktor baru dari hasil reduksi faktor didasarkan pada koefisien
Eigenvalue lebih besar dari 1,0. Karena analisis faktor termasuk ke dalam golongan
multivariate analysis dan sangat rumit jika dihitung secara manual, maka proses
perhitungan dan pengolahannya dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistical
Package for Service Solution) versi 21.
3) Interprestasi Faktor
Setelah faktor terbentuk, selanjutnya adalah pemberian nama-nama faktor-faktor
yang terbentuk. Pemberian nama hendaknya mencerminkan isi dari sebuah kelompok
faktor tersebut.
4) Skor Faktor
Analisis faktor merupakan analisis awal dalam sebuah penelitian, yaitu upaya
mendapatkan variabel laten. Untuk selanjutnya dianalisis dengan berbagai metode,
misalnya regresi dan sebagainya.

2. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif pada penelitian dilakukan untuk mendeskripsikan faktor-
faktor yang mempengaruhi work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu.
Metode analisis deskriptif, yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui nilai
variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat
perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2014: 15).
Dalam mendeskripsikan persepsi responden, digunakan perhitungan statistik, seperti
distribusi frekuensi, nilai rata-rata, dan persentase.
Penilaian persepsi responden terhadap item pernyataan menggunakan skala
Likert jenjang 5. Hasil rata-rata jawaban responden setiap item variabel dinilai dengan
skala rata-rata interval dengan menggunakan rumus:
a) Range interval: 5 – 1 = 4
𝑟𝑎𝑛𝑔𝑒 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑙𝑣𝑎𝑙 4
b) n = 5, = = 0,83 ……………………….. (1)
𝑛 5
Sehingga diperoleh hasil rata-rata variabel:
19

1,00 – 1,79 : Sangat Tidak Setuju


1,80 – 2,59 : Tidak Setuju
3,00 – 3,39 : Cukup Setuju
3,40 – 4,19 : Setuju
4,20 – 5,00 : Sangat Setuju

3. Analisis Regresi Berganda


Analisis regresi berganda adalah suatu analisis regresi yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Variabel
dependen (variable respon) biasa disimbolkan Y dengan skala pengukuran dikotomus
(biner) dan variabel independent (variable prediktor) biasa disimbolkan X (Ghozali,
2013). Analisis regresi berganda pada penelitian ini digunakan untuk menguji pengaruh
faktor-faktor work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu. Model regresi
berganda yang digunakan adalah sebagai berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2 + …… + βnXn + ε ……………………… (2)
Dimana:
Y = Work engagement pegawai KPU
α = Nilai konstanta
β1,2…n = Koefsien regresi
X = Variabel Independen (Faktor yang memengaruhi Work Engagement)
n = Variabel independen tertentu
ε = Error terms

Persamaan regresi berganda di atas menunjukkan bahwa pada penelitian ini


selain menganalisis regresi pada faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement
pegawai KPU secara umum, juga melakukan analisis regresi pada faktor-faktor yang
mempengaruhi work engagement pegawai KPU berdasarkan status kepegawaiannya,
yakni pegawai DPK (pegawai dipekerjakan dan pegawai organik).
Guna melaksanakan hal tersebut, dilakukan split data, yakni memisahkan data
pegawai DPK dan pegawai organik, yang selanjutnya dilakukan analisis regresi secara
terpisah. Persamaan regresi setelah dilakukan split data pada data pegawai organik
adalah:

Yorganik = α + β1X1 + β2X2 + …… + βnXn + ε ……………………… (3)

Dimana:
Yorganik = Work engagement pegawai KPU berstatus organik
α = Nilai konstanta
β1,2…n = Koefsien regresi
X = Variabel Independen (Faktor yang memengaruhi work engagement)
n = Variabel independen tertentu
ε = Error terms

Persamaan regresi setelah dilakukan split data pada data pegawai dipekerjaan
(DKP) adalah:
Ydipekerjakan = α + β1X1 + β2X2 + …… + βnXn + ε …………………… (4)
20

Dimana:
Ydipekerjakan = Work engagement pegawai KPU berstatus dipekerjakan
α = Nilai konstanta
β1,2…n = Koefsien regresi
X = Variabel Independen (Faktor yang memengaruhi work engagement)
n = Variabel independen tertentu
ε = Error terms

HASIL ANALISIS DATA

Analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini terdiri dari analisis faktor
dan analisis regresi. Kedua metode tersebut dipergunakan untuk menjawab pertanyaan
dan tujuan penelitian. Pemaparan hasil pengujian kedua metode analisis tersebut
diuraikan berikut ini.

1. Analisis Faktor
Analisis Faktor atau factor analysis dilakukan untuk mereduksi dari banyak
faktor menjadi lebih sedikit. Dalam penelitian ini, analisis faktor dilakukan untuk
mengelompokkan faktor-faktor yang memengaruhi work engagement pegawai Kantor
KPU kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Faktor awal yang akan direduksi dengan
analisis faktor ada 39 faktor, seluruhnya diindikasikan menjadi faktor-faktor yang
memengaruhi work engagememt. Faktor-faktor tersebut dikembangkan dari pendapat
ahli dan penelitian terdahulu.
Faktor merupakan kombinasi linear dari variabel awal yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi. Hair et al. (2006) menyebutkan bahwa factor analysis
menelaah struktur antar hubungan sejumlah besar variabel dengan mendefinisikannya
menjadi suatu faktor. Metode analisis faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Principal Component Analysis (PCA) dengan menggunakan prosedur rotasi varimax.
Analisis faktor pada penelitian ini juga berfungsi sebagai uji validitas.
Setelah dilakukan pengujian dan pengukuran terhadap kelayakan faktor
sebagaimana diterangkan pada BAB III sub uji validitas, maka langkah selanjutnya
adalah jumlah pembentukan faktor baru yang terbentuk dari 39 faktor awal.
Pembentukan faktor-faktor baru didasarkan pada besarnya nilai koefisien eigenvalue
dan cumulative percent of variance. Faktor-faktor yang memiliki nilai koeifisien
eigenvalue > 1,0 dan cumulative percent of variance> 60% akan digunakan
selanjutnya dalam analisis faktor. Semakin tinggi nilai eigenvalue menandakan bahwa
pembentukan faktor semakin berhasil, karena kumpulan variabel dalam faktor tersebut
memberikan kontribusi khusus yang akan membedakannya dengan faktor-faktor yang
lain.
1. Indentifikasi dan Pembentukan Faktor
Nilai koefisien eigenvalue muncul dan dapat diketahui pada matriks Total
Variance Explained. Setelah dilakukan reduksi dengan metode Principal Component
Analysis dan rotasi varimax terhadap 39 faktor awal sehingga diperoleh matriks Total
Variance Explained. Hasil pembentukan faktor selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel
4.5.
21

Tabel 4.5.
Identifikasi dan Pembentukan Faktor

Faktor Total Eigenvalues % of Variance Cumulative %


1 17,122 43,903 43,903
2 3,431 8,798 52,700
3 2,138 5,482 58,182
4 1,589 4,075 62,257
5 1,424 3,650 65,907
6 1,152 2,955 68,862
7 1,122 2,878 71,740
8 1,081 2,773 74,513
Sumber: Hasil Penelitian 2019, data diolah
Pada hasil yang diperoleh tersebut, terlihat bahwa ada 8 faktor yang terbentuk
dengan koefisien eigenvalue > 1,0. Bahkan kumulatif varian total yang dijelaskan oleh
model dalam analisis faktor yang terbentuk adalah baik karena mencapai nilai 74,513%
(>60%) (Hair et al. 2006).
Selanjutnya, untuk mengetahui faktor-faktor atau indikator-indikator apa saja
yang menjadi anggota dari setiap faktor baru yang terbentuk, dapat dilihat pada
component matrix dan rotated component matrix. Hasil distribusi faktor lama ke dalam
faktor baru dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6
Distribusi Faktor-faktor Lama dalam Membentuk Faktor Baru
Dari Tabel Component Matrix
Component
1 2 3 4 5 6 7 8
F1 .379 .407 .186 .559 -.021 .094 .016 .159
F2 .442 .514 .148 .346 -.044 -.057 .201 -.239
F3 .559 .497 -.072 .118 -.048 .347 -.122 .206
F4 .571 -.256 .482 .116 .015 .149 -.240 -.036
F5 .665 .347 -.043 .228 -.177 -.021 .141 -.103
F6 .520 .521 .198 -.183 -.146 -.129 -.176 .009
F7 .299 .545 .354 -.216 -.201 .035 .325 -.184
F8 .636 .401 .166 -.179 -.073 -.080 -.130 .405
F9 .598 .183 .379 -.171 .225 -.050 .168 .293
F10 .619 .212 .092 -.046 -.053 .255 .076 -.117
22

Component
1 2 3 4 5 6 7 8
F11 .523 -.089 .195 .094 .540 -.209 -.113 -.220
F12 .722 .073 .338 .040 .241 -.074 -.161 .099
F13 .691 -.282 .281 .015 .232 -.048 .036 .229
F14 .698 -.227 .130 -.250 .198 -.094 -.184 -.079
F15 .617 -.357 .063 .159 -.284 .204 -.145 .158
F16 .674 -.396 .344 .033 -.026 -.085 .071 -.092
F17 .682 -.263 .460 .100 -.028 .046 .032 -.088
F18 .749 .071 .102 -.066 -.137 -.317 .118 .008
F19 .615 .022 .035 -.582 -.141 .022 .009 -.158
F20 .768 -.239 .083 .034 -.288 -.080 -.179 -.123
F21 .675 -.288 .116 .189 -.199 .175 -.285 -.083
F22 .742 -.274 -.125 -.274 -.137 .183 .078 .138
F23 .785 -.292 -.055 -.086 -.225 -.110 .137 .107
F24 .684 -.448 -.141 -.162 -.081 .020 .192 .133
F25 .638 -.356 .106 .122 .085 .160 .392 .097
F26 .696 -.295 -.291 .024 -.115 -.061 -.013 -.143
F27 .818 -.087 -.185 .102 .199 -.095 .046 -.038
F28 .758 -.223 -.222 .026 -.128 .131 .156 -.104
F29 .734 .263 -.228 .084 -.144 .079 .083 .260
F30 .668 .355 -.084 -.277 -.062 -.067 .066 -.042
F31 .776 .063 -.298 .031 .129 .026 -.038 -.155
F32 .647 .108 -.373 .157 -.040 -.385 -.056 .234
F33 .746 -.132 -.376 .195 .034 .009 -.221 .052
F34 .655 .375 -.026 -.077 -.123 -.181 -.349 -.230
F35 .808 .038 -.199 .026 -.078 -.003 -.037 -.272
F36 .731 .249 -.181 .099 .240 .290 -.022 -.118
F37 .729 .059 -.160 .021 .353 .108 .311 -.176
F38 .438 .222 -.235 -.373 .381 .383 -.205 .079
F39 .695 .024 -.289 .068 .188 -.346 .071 .150
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

Dari Tabel 4.6 diketahui bahwa jumlah faktor yang terbentuk dari hasil reduksi
faktor adalah sebanyak 8 faktor (Component 1 s/d Component 8). Pada kolom
Component 1 s/d Component 8 tabel component matrix terdapat angka-angka yang
merupakan koefisien korelasi antara variabel dan faktor yang terbentuk. Koefisien
tersebut dikenal dengan istilah loading factor. Nilai loading factor yang digunakan
23

untuk mengelompokkan faktor adalah nilai yang paling besar di tiap variabel pada
kolom Component 1 (Faktor 1) s/d Component 8 (Faktor 8). Jika dilihat dari besarnya
nilai loading factor, diperoleh hasil bahwa nilai loading factor lama cenderung
mengelompok pada component 1 atau Faktor 1. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai
loading factor dari 39 faktor lama lebih tinggi pada component 1 dibandingkan dengan
component atau faktor lainnya. Oleh karena itu, agar sebaran atau distribusi faktor lebih
tepat, dilakukan rotasi faktor dengan metode variance maximum (varimax) (Ghozali,
2014).

2. Rotasi Faktor
Rotasi faktor digunakan sebagai solusi tepat untuk melihat distribusi faktor lama
masuk ke dalam faktor baru. Pada analisis faktor disediakan pilihan rotasi faktor dengan
metode varimax dan menghasilkan table rotated component matrix. Pada table rotated
component matrix tersebut, distribusi setiap faktor dianggap lebih tepat dibandingkan
dengan matriks component matrix (Ghozali, 2014). Sama halnya dengan component
matrix, dalam table rotated component matrix juga terdapat angka-angka yang
merupakan koefisien korelasi antara variabel dan faktor-faktor yang terbentuk. Untuk
mengetahui hasil akhir rotasi dan pembentukan faktor secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 4.7.

Tabel 4.7
Distribusi Faktor-faktor Lama dalam Membentuk Faktor Baru
Berdasarkan Hasil Rotated Component Matrix
Component
1 2 3 4 5 6 7 8
Dukungan organisasional .769
Perlakuan yang adil .749
Kepemimpinan atau gaya manajerial .749
Beban kerja .739
Pemberdayaan .718
Tim kerja/kemitraan .710
Pekerjaan/Tanggungjawab .586
Sumber daya individu .563
Senioritas .562
Kewenangan .553
Penghasilan/Kompensasi .504
Expectations .808
Positive disposition .747
Consideration .701
Komitmen .647
Efikasi diri (self efficacy) .641
Partnering .620
Adaptability .590
Recognition .567
Self esteem (kepercayaan diri) .566
Target kerja .494
24

Component
1 2 3 4 5 6 7 8
Attraction to the work .470
Kemampuan .784
Konflik peran .629
Penghargaan .610
Supportive feedback .590
Pekerjaan yang menantang .515
Lingkungan kerja .418
Motivasi kerja .788
Budaya kerja .660
Komunikasi organisasional .539
Kepercayaan .517
Emotional maturity .818
Achievement .575
Integritas .772
Sumber daya pekerjaan .469
Pengalaman .640
Reputasi organisasi .572
Kesempatan karir .566
Extraction Method : Principal Component Analysis.
Rotation Method : Varimax with Kaiser Normalization.
a. Rotation converged in 23 iterations.

Rule of thumb yang biasanya digunakan untuk membuat pemeriksaan matrik


faktor adalah untuk nilai loading > 0,30 dipertimbangkan telah memenuhi level minimal
dan variabel terkait bisa dipertimbangkan untuk tidak dihapus, nilai loading > 0.40
dianggap lebih baik, dan untuk loading > 0.50 dianggap signifikan secara praktikal
(Hair, et al., 2010). Pada penelitian ini, nilai rull of thumb yang digunakan untuk
menilai loading factor paling minimal adalah 0,30 dan hal tersebut sesuai dengan
ambang minimal yang diungkapkan oleh Hair, et al. (2006). Artinya, jika nilai loading
factor tertinggi adalah 0,30 maka nilai tersebut tetap dipertahankan dalam
pengelompokkan faktor. Namun, jika nilai loading factor tertinggi lebih dari 0,30 maka
dipilih nilai loading yang paling tinggi.
Dari table rotated component matrix diketahui bahwa terdapat 8 faktor baru dari
hasil reduksi 39 faktor-faktor yang memengaruhi work engagement. Pada faktor ke-8,
hanya memiliki 1 indikator (faktor), sehingga faktor ke-8 tersebut dieliminasi (tidak
dianalisis) karena tidak layak. Selanjutnya, dilakukan interpretasi dan penamaan faktor.
Faktor-faktor tersebut pada penelitian ini terindentifikasi sebagai faktor-faktor yang
memengaruhi work engagement pegawai Sekretariat KPU provinsi dan kabupaten/kota
di Provinsi Bengkulu.

3. Interpretasi dan Penamaan Faktor


Tahapan akhir dari analisis faktor adalah menginterpretasikan faktor-faktor baru
yang telah ditemukan. Interpretasi faktor yang dilakukan berkaitan dengan penamaan
faktor-faktor yang terbentuk. Penamaan faktor merupakan hal yang paling subjektif
25

dalam analisis faktor. Namun, Ghozali (2014) menyarankan bahwa penamaan faktor
hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan hubungan antar variabel dengan
faktornya yang didasarkan pada konsep teori dan kajian-kajian empiris yang mendasari
penelitian. Hasil interpretasi dan penamaan faktor dipaparkan berikut ini.

1) Faktor 1: Dukungan Organisasional dan Pemberdayaan


Faktor pertama yang memengaruhi work engagement pegawai Sekretariat KPU
Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu diberi nama
Faktor Dukungan Organiasional dan Pemberdayaan. Faktor ini terbentuk dari 11
faktor awal, sebagaimana terangkum pada Tabel 4.8 berikut ini.

Tabel 4.8
Indikator Pembentuk Faktor 1 :
Dukungan Organisasional dan Pemberdayaan
Factor Nilai Persentase
No Indikator
Loading Eigenvalues Variance (%)

1 Dukungan organisasional .769


2 Perlakuan yang adil .749
3 Kepemimpinan atau gaya manajerial .749
4 Beban kerja .739
5 Pemberdayaan .718
6 Tim kerja/kemitraan .710 17,122 43,903
7 Pekerjaan/Tanggungjawab .586
8 Sumber daya individu .563
9 Senioritas .562
10 Kewenangan .553
11 Penghasilan/Kompensasi .504
Sumber : Hasil Penelitian 2019, diolah

Faktor pertama ini memiliki nilai eigenvalue sebesar 17,122 dan persentase
variance sebesar 43,903%. Hasil ini bermakna bahwa faktor dukungan organisasional
dan pembeerdayaan merupakan faktor tertinggi sebagai faktor yang memengaruhi work
engagement pegawai Sekretariat KPU. Pemberian nama faktor ini didasarkan pada
pertimbangan indikator pembentuk faktor, yakni : dukungan organisasional, perlakuan
yang adil, kepemimpinan atau gaya kepemimpinan, beban kerja dan seterusnya (Tabel
4.8). Selain itu, pemberian nama faktor juga didasarkan pada pendapat Bakker dan
Demerouti (2007) dan Bakker dan Leiter (2010), yang menganggap bahwa faktor
dukungan organisasional, perlakuan yang adil, kemitraan merupakan wujud dari job
resources dan personal resources.
2) Faktor 2: Motivasi Diri
26

Faktor kedua yang membentuk work engagement pegawai Sekretariat KPU


Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu terdiri dari 11
faktor awal, sebagaimana terangkum pada Tabel 4.9 berikut ini.

Tabel 4.9
Indikator Pembentuk Faktor 2 :
Motivasi Diri
Factor Nilai Persentase
No Indikator
Loading Eigenvalues Variance (%)

1 Expectations .808
2 Positive disposition .747
3 Consideration .701
4 Komitmen .647
5 Efikasi diri (self efficacy) .641
6 Partnering .620 3,431 8,798
7 Adaptability .590
8 Recognition .567
9 Self esteem (kepercayaan diri) .566
10 Target kerja .494
11 Attraction to the work .470

Sumber : Hasil Penelitian 2019, diolah

Faktor kedua ini memiliki nilai eigenvalue sebesar 3,431 dan persentase
variance sebesar 8,798%. Hasil ini bermakna bahwa faktor Motivasi Diri akan
mendorong pegawai untuk memiliki keterikatan kerja yang tinggi. Pemberian nama
faktor ini didasarkan pada pertimbangan indikator pembentuk faktor di antaranya adalah
expectation (harapan untuk berhasil), efikasi diri, komitmen, keyakinan diri dan
sebagainya. Pemberian nama faktor ini didasarkan pada pendapat Marciano (2010) yang
mengungkapkan bahwa keterikatan seseorang pada pekerjaannya yang dirumuskan ke
dalam tujuh driver RESPECT, yakni recognition, empowerment, supportive feedback,
partnering, expectation, consideration dan trust. Selain itu, dasar pemberian faktor juga
disandarkan pada pendapat Meyer (2012) yang telah merangkum tujuh faktor individual
yang memengaruhi work engagement.
3) Faktor 3: Kepuasan Kerja
Faktor ketiga terbentuk dari enam faktor, dengan nilai eigenvalues sebesar 2,138
dan persentase variance sebesar 5,482%. Faktor ketiga ini diberi nama faktor Kepuasan
Kerja. Parameter yang membentuk faktor ini di antaranya adalah kemampuan,
lingkungan kerja, penghargaan dan pekerjaan yang menantang, sebagaimana terangkum
pada Tabel 4.10 berikut ini.
27

Tabel 4.10
Indikator Pembentuk Faktor 3 :
Kepuasan Kerja

Factor Nilai Persentase


No Indikator
Loading Eigenvalues Variance (%)

1 Kemampuan .784
2 Konflik peran .629
3 Penghargaan .610
2,138 5,482
4 Supportive feedback .590
5 Pekerjaan yang menantang .515
6 Lingkungan kerja .418
Sumber : Hasil Penelitian 2019, diolah

Faktor Kepuasan Kerja didominasi oleh parameter “kemampuan” dengan


loading factor sebesar 0,784. Kelima parameter lainnya yang membentuk faktor ini
adalah konflik peran, penghargaan, supportive feedback, pekerjaan yang menantang dan
lingkungan kerja. Pemberian nama faktor ini didasarkan pada aspek yang diungkapkan
oleh Meyer (2012); Perin (2003) dan Marciano (2010).

4) Faktor 4: Motivasi dan Budaya Kerja


Faktor keempat terbentuk dari empat faktor (parameter) sebelumnya,yakni
motivasi kerja dengan loading factor sebesar 0,788; budaya kerja dengan loading factor
sebesar 0,660, komunikasi organisasional dengan loading factor sebesar 0,539 dan
kepercayaan dengan nilai loading factor sebesar 0,517. Faktor keempat ini memiliki
nilai eigenvalues sebesar 1,589 dan persentase variance sebesar 4,075%.

Tabel 4.11
Indikator Pembentuk Faktor 4 :
Budaya Kerja
Factor Nilai Persentase
No Indikator
Loading Eigenvalues Variance (%)

1 Motivasi kerja .788


2 Budaya kerja .660
1,589 4,075
3 Komunikasi organisasional .539
4 Kepercayaan .517

Sumber: Hasil Penelitian 2019, diolah

Faktor Budaya Kerja didominasi oleh parameter “motivasi kerja” dengan


loading factor sebesar 0,788 dan “budaya organisasi” dengan loading factor sebesar
0,660. Pemberian nama faktor ini didasarkan pada pendapa Lockwood (2007) yang
28

menyatakan bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor yang kompleks, seperti
faktor motivasi, budaya kerja, komunikasi organisasional dan sebagainya.
Faktor motivasi merupakan dorongan dalam diri yang tinggi dikarenakan
karyawan ingin berkembang dalam melaksanakan pekerjaannya. Dengan adanya
dorongan dari diri pribadi pekerja secara tidak langsung akan memotivasi pekerja untuk
berprestasi. Semua orang memerlukan pengakuan atas keberadaan statusnya oleh orang
lain. Situasi yang ideal adalah apabila prestise itu timbul akan menjadikan prestasi
seseorang. Akan tetapi tidak selalu demikian, karena dalam hal ini semakin tinggi
kedudukan seseorang, maka akan semakin banyak hal yang digunakan sebagai simbol
statusnya itu. Dalam kehidupan organisasi banyak fasilitas yang diperoleh seseorang
dari organisasi untuk menunjukkan kedudukan statusnya dalam organisasi. Pengalaman
menunjukkan bahwa baik di masyarakat yang masih tradisional maupun di lingkungan
masyarakat yang sudah maju, simbol-simbol status tersebut tetap mempunyai makna
penting dalam kehidupan berorganisasi.

5) Faktor 5: Pencapaian Pegawai


Faktor kelima terbentuk dari dua faktor (parameter) yakni emotional maturity
dengan loading factor sebesar 0,818 dan achievement dengan loading factor sebesar
0,575. Faktor kelima ini memiliki nilai eigenvalues sebesar 1,424 dan persentase
variance sebesar 3,650%.
Tabel 4.12
Indikator Pembentuk Faktor 5 :
Pencapaian Pegawai
Factor Nilai Persentase
No Indikator
Loading Eigenvalues Variance (%)

1 Emotional maturity .818


1,424 3,650
2 Achievement .575

Sumber: Hasil Penelitian 2019, diolah


Faktor Pencapaian Pegawai dalam interpretasinya didasarkan pada faktor work
engagement yang diungkapkan oleh Meyer (2012). Keterikatan kerja akan tinggi jika
setiap orang di dalam organisasi memiliki sikap emotional maturity yakni sikap untuk
menghindari bertindak impulsive dan ekstrim atau menghindari reaksi emosional yang
berdampak negatif terhadap efektivitas kerja dan terhadap hubungan kerja. Selain itu,
setiap anggota organisasi juga didorong oleh sikap achievement orientation yakni
orientasi untuk selalu mendorong diri dalam siklus target, yaitu target kerja,
mencapainya dan menetapkan target yang semakin menantang.

6) Faktor 6 : Integritas dan Job Resources


Faktor keenam diberi nama faktor integritas dan job resources. Faktor ini
terbentuk dari dua faktor (parameter) yakni integritas dengan loading factor sebesar
0,772 dan sumber daya pekerjaan dengan loading factor sebesar 0,469. Faktor ini
memiliki nilai eigenvalues sebesar 1,152 dan persentase variance sebesar 2,955%.
29

Tabel 4.13
Indikator Pembentuk Faktor 6 :
Integritas dan Job Resources
Factor Nilai Persentase
No Indikator
Loading Eigenvalues Variance (%)

1 Integritas .772
1,152 2,955
2 Sumber daya pekerjaan .469

Sumber: Hasil Penelitian 2019, diolah

Faktor integritas dan sumber daya pekerjaan merupakan faktor-faktor yang


mempengaruhi work engagement sebagaimana diungkapkan oleh Marciano (2010) dan
Bakker dan Demerouti (2009). Seseorang karyawan yang memiliki keterikatan diri yang
tinggi dalam pekerjaan maupun organisasinya, senantiasa akan menunjukkan sikap
teguh dalam memegang kewenangan yang melekat pada dirinya. Selain itu, dukungan
sumber daya pekerjaan dalam bentuk peralatan kerja, standar operasional prosedur dan
kewenangan dalam pengambilan keputusan akan mendorong seseorang untuk berhasil
dalam tugas, sehingga membuat seseorang akan bersedia mengikatkan diri pada tugas-
tugas tersebut.

7) Faktor 7: Pengalaman dan Reputasi


Faktor ketujuh memiliki nilai eigenvalues sebesar 1,122 dan persentase variance
sebesar 2,878%. Faktor ketujuh ini diberi nama faktor Pengalaman dan Reputasi. Faktor
tersebut dibentuk dari dua faktor sebelumnya, seperti tertera pada Tabel 4.14 berikut ini.

Tabel 4.14
Indikator Pembentuk Faktor 7 :
Pengalaman dan Reputasi
Persentase
Factor Nilai
No Indikator Variance
Loading Eigenvalues
(%)
1 Pengalaman .640
1,122 2,878
2 Reputasi organisasi .572
Sumber : Hasil Penelitian 2019, diolah

Seseorang yang memiliki keterikatan kerja yang tinggi akan memiliki sikap dan
jiwa senang melaksanakan tugas-tugasnya sehingga akan mendukung reputasi
organisasi yang semakin baik. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Perin (2003)
bahwa seseorang akan terikat dengan pekerjaannya jika organisasi memiliki reputasi
yang baik di mata publik dan pegawai. Seperti halnya Komisi Pemilihan Umum (KPU)
adalah Lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi strategis dalam regulasi dan
penyelenggaraan pemilu legislatif, pemilu kepala daerah//wakil kepala daerah, pemilu
anggota DPD dan pemilu presiden dan wakil presiden.
30

Dari pemaparan di atas, pada penelitian ini dapat diidentifikasi faktor-faktor


yang memengaruhi keterikatan kerja (work engagement) pada KPU di Provinsi
Bengkulu. Faktor-faktor tersebut sebagaimana terangkum pada Tabel 4.15 berikut ini.

Tabel 4.15
Faktor-faktor yang Memengaruhi Keterikatan Kerja Pegawai Sekretariat KPU di
Provinsi Bengkulu Hasil Reduksi Faktor

No Faktor Jumlah Indikator


1 Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan 11
2 Motivasi Diri 11
3 Kepuasan Kerja 6
4 Budaya Kerja 4
5 Pencapaian Pegawai 2
6 Integritas dan job resources 2
7 Pengalaman dan Reputasi 2
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

2. Hasil Analisis Regresi


Analisis regresi dipergunakan untuk mengukur besar pengaruh faktor-faktor
yang mempengaruhi work engagement pegawai Sekretariat KPU Provinsi dan
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. Pengukuran besar pengaruh
faktor dilakukan baik secara umum (yakni untuk seluruh pegawai Seketariat KPU)
maupun pengukuran pengaruh faktor terhadap work engagement berdasarkan status
kepegawaiannya, yakni pegawai DPK (pegawai dipekerjakan dan pegawai organik).
Guna melaksanakan hal tersebut, dilakukan split data, yakni memisahkan data pegawai
DPK dan pegawai organik, yang selanjutnya dilakukan analisis regresi secara terpisah.
Dengan demikian, pada penelitian ini terdapat 3 model analisis regresi yang akan diuji
secara terpisah. Hasil perhitungan analisis regresi pada tiga model analisis regresi
dipaparkan berikut ini.

1. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement


Pegawai Sekretariat KPU

Pengujian pertama model analisis regresi pada penelitian ini adalah menguji
pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi work engagement pegawai Sekretariat KPU
secara umum. Pada analisis ini, faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement
terdiri dari 7 faktor yang disebut sebagai variabel independent. Sedangkan work
engagement sendiri disebut sebagai variabel dependen. Berdasarkan hasil perhitungan
dengan program SPSS, diperoleh hasil sebagai berikut:
31

Tabel 4.16
Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi Work Engagement Pegawai
Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu

Hasil
Independent Variable p-value
Beta*) t-stat
1 Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan 0,180 3,108 0,002**
2 Motivasi Diri 0,411 7,103 0,000**
3 Kepuasan Kerja 0,373 6,440 0,000**
4 Budaya Kerja 0,174 3,016 0,003**
5 Pencapaian Pegawai 0,376 6,497 0,000**
6 Integritas dan Job Resources 0,132 2,290 0,024**
7 Pengalaman dan Reputasi 0,112 1,941 0,054
Adjusted R-Square 0,518
F-Statistic 23,130
Prob (F-statistic) 0,000
Keterangan:
*) Nilai standardized coefficient
**) Signifikan pada level 5%
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

Berdasarkan Tabel 4.16 diketahui bahwa persamaan regresi yang diperoleh


adalah sebagai berikut:
Y = 0,180X1 + 0,411X2 + 0,373X3 + 0,174X4 + 0,376X5 + 0,132X6 + 0,112X7
Interpretasi persamaan regresi di atas adalah:
1) Koefisien regresi faktor (variabel) dukungan organisasi dan pemberdayaan sebesar
0,180. Hasil ini memberikan makna bahwa jika faktor dukungan organisasi dan
pemberdayaan semakin tinggi, maka work engagement pegawai KPU di Provinsi
Bengkulu akan semakin tinggi.
2) Koefisien regresi faktor (variabel) motivasi diri sebesar 0,411. Hasil ini memberikan
makna bahwa jika faktor motivasi diri semakin tinggi, maka work engagement
pegawai KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
3) Koefisien regresi faktor (variabel) dukungan kepuasan kerja sebesar 0,373. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor kepuasan kerja semakin tinggi, maka work
engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
4) Koefisien regresi faktor (variabel) budaya kerja sebesar 0,174. Hasil ini memberikan
makna bahwa jika faktor budaya kerja semakin baik, maka work engagement
pegawai KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
5) Koefisien regresi faktor (variabel) pencapaian pegawai sebesar 0,376. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor pencapaian pegawai semakin tinggi, maka
work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
6) Koefisien regresi faktor (variabel) integritas dan job resources sebesar 0,132. Hasil
ini memberikan makna bahwa jika faktor integritas dan job resources semakin
32

tinggi, maka work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin
tinggi.
7) Koefisien regresi faktor (variabel) pengalaman dan reputasi sebesar 0,112. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor pengalaman dan reputasi semakin tinggi,
maka work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.

a) Hasil Uji F
Dari Tabel 4.16 diketahui bahwa nilai F-hitung yang diperoleh sebesar 23,130
dengan nilai p-value sebesar 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai p-value < alpha
0,05, yang bermakna bahwa model regresi pengaruh faktor Dukungan Organisasi dan
Pemberdayaan; faktor Motivasi Diri; faktor Kepuasan Kerja; faktor motivasi dan
budaya kerja; faktor Pencapaian Pegawai; faktor integritas dan job resources serta
faktor Pengalaman dan Reputasi terhadap keterikatan kerja (work engagement) layak
atau tepat (fit).
Makna lain dari hasil uji F adalah secara simulta dapat dibuktikan bahwa faktor
Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; faktor Motivasi Diri; faktor Kepuasan Kerja;
faktor motivasi dan budaya kerja; faktor Pencapaian Pegawai; faktor integritas dan job
resources serta faktor Pengalaman dan Reputasi memiliki pengaruh secara simultan
terhadap work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu.

b) Koefisien Determinasi (R2)


Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0,518. Hasil ini memberikan arti bahwa sebesar 51,8% work engagement pegawai KPU
Provinsi Bengkulu dipengaruhi oleh faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan;
faktor motivasi diri; faktor kepuasan kerja; faktor motivasi dan budaya kerja; faktor
pencapaian pegawai; faktor integritas dan job resources serta faktor pengalaman dan
reputasi. Sedangkan 48,2% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.

c) Hasil Uji t
Berdasarkan Tabel 4.16 dapat dijelaskan hasil pengujian hipotesis sebagai
berikut:
1) Nilai t-hitung faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan sebesar 3,108 dengan
p-value sebesar 0,002. Nilai p-value 0,002 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa
faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap work engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu.
2) Nilai t-hitung faktor motivasi diri sebesar 7,103 dengan p-value sebesar 0,000. Nilai
p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor motivasi diri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai KPU di
Provinsi Bengkulu.
3) Nilai t-hitung faktor kepuasan kerja sebesar 6,440 dengan p-value sebesar 0,000.
Nilai p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor kepuasan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai KPU di
Provinsi Bengkulu.
4) Nilai t-hitung faktor budaya kerja sebesar 3,016 dengan p-value sebesar 0,003. Nilai
p-value 0,003 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor budaya kerja
33

berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai KPU di


Provinsi Bengkulu.
5) Nilai t-hitung faktor pencapaian pegawai sebesar 6,497 dengan p-value sebesar
0,000. Nilai p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor pencapaian
pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai
KPU di Provinsi Bengkulu.
6) Nilai t-hitung faktor integritas dan job resources sebesar 2,290 dengan p-value
sebesar 0,024. Nilai p-value 0,025 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor
integritas dan job resources berpengaruh positif dan signifikan terhadap work
engagement pegawai KPU di Provinsi Bengkulu.
7) Nilai t-hitung faktor pengalaman dan reputasi sebesar 1,941 dengan p-value sebesar
0,054. Nilai p-value 0,054 > alpha 0.05. Hasil ini memberikan bukti bahwa faktor
pengalaman dan reputasi tidak berpengaruh terhadap work engagement pegawai
KPU di Provinsi Bengkulu.
Dari penjelasan dan hasil pembuktian hipotesis terhadpa pengaruh faktor
Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; faktor Motivasi Diri; faktor Kepuasan Kerja;
faktor motivasi dan budaya kerja; faktor Pencapaian Pegawai; faktor integritas dan job
resources serta faktor Pengalaman dan Reputasi terhadap work engagement dirangkum
pada Tabel 4.17 berikut.

Tabel 4.17
Rangkuman Hasil Pengujian Ketepatan Pengaruh
Nilai p-
Faktor Kesimpulan
value
Dukungan Organisasi 0,002 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
dan Pemberdayaan keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Motivasi Diri 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Kepuasan Kerja 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Budaya Kerja 0,003 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Pencapaian Pegawai 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Integritas dan Job 0,024 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
Resources keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Pengalaman dan 0,054 Tidak terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
Reputasi keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

Berdasarkan Tabel 4.17 diketahui bahwa dari tujuh faktor yang terbentuk dari
analisis faktor, didapatkan enam faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu. Faktor-faktor tersebut
adalah Faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; Faktor Motivasi Diri; Faktor
Kepuasan Kerja; Faktor Motivasi dan Budaya Kerja; Faktor Pencapaian Pegawai; dan
Faktor Integritas dan Job Resources.
34

Kemudian, guna mengetahui faktor-faktor yang paling dominan memengaruhi


keterikatan kerja (work engagement) pegawai Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu,
dapat dilihat dari nilai koefisien regresi yang diperoleh. Berdasarkan Tabel 4.15, dapat
diketahui dominasi pengaruh faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; faktor
Motivasi Diri; faktor Kepuasan Kerja; faktor motivasi dan budaya kerja; faktor
Pencapaian Pegawai; faktor integritas dan job resources secara berurutan sebagai
berikut:
2. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement
Pegawai Sekretariat KPU berstatus Pegawai Organik

Pengujian kedua model analisis regresi pada penelitian ini adalah menguji
pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi work engagement pegawai Sekretariat KPU
berstatus organik. Pada analisis ini, faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement
terdiri dari 7 faktor yang disebut sebagai variabel independent. Sedangkan work
engagement sendiri disebut sebagai variabel dependen.

Tabel 4.18
Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi Work Engagement Pegawai
Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu berstatus Organik

Hasil
Independent Variable p-value**)
Beta*) t-stat
1 Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan 0,253 3,442 0,001**
2 Motivasi Diri 0,427 5,340 0,000**
3 Kepuasan Kerja 0,406 5,245 0,000**
4 Budaya Kerja 0,210 2,879 0,005**
5 Pencapaian Pegawai 0,478 6,512 0,000**
6 Integritas dan Job Resources 0,213 2,974 0,004**
7 Pengalaman dan Reputasi 0,030 0,416 0,679
Adjusted R-Square 0,627
F-Statistic 19,249
Prob (F-statistic) 0,000
Keterangan:
*) Nilai standardized coefficient
**) Signifikan pada level 5%
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

Berdasarkan Tabel 4.18 diketahui bahwa persamaan regresi yang diperoleh


adalah sebagai berikut:
Y = 0,253X1 + 0,427X2 + 0,406X3 + 0,210X4 + 0,478X5 + 0,213X6 + 0,030X7
Interpretasi persamaan regresi di atas adalah:
1) Koefisien regresi faktor (variabel) dukungan organisasi dan pemberdayaan sebesar
0,253. Hasil ini memberikan makna bahwa jika faktor dukungan organisasi dan
35

pemberdayaan semakin tinggi, maka work engagement pegawai organik KPU di


Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
2) Koefisien regresi faktor (variabel) motivasi diri sebesar 0,427. Hasil ini memberikan
makna bahwa jika faktor motivasi diri semakin tinggi, maka work engagement
pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
3) Koefisien regresi faktor (variabel) dukungan kepuasan kerja sebesar 0,406. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor kepuasan kerja semakin tinggi, maka work
engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
4) Koefisien regresi faktor (variabel) budaya kerja sebesar 0,210. Hasil ini memberikan
makna bahwa jika faktor budaya kerja semakin baik, maka work engagement
pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
5) Koefisien regresi faktor (variabel) pencapaian pegawai sebesar 0,478. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor pencapaian pegawai semakin tinggi, maka
work engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
6) Koefisien regresi faktor (variabel) integritas dan job resources sebesar 0,213. Hasil
ini memberikan makna bahwa jika faktor integritas dan job resources semakin
tinggi, maka work engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu akan
semakin tinggi.
7) Koefisien regresi faktor (variabel) pengalaman dan reputasi sebesar 0,030. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor pengalaman dan reputasi semakin tinggi,
maka work engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin
tinggi.

a) Hasil Uji F
Dari Tabel 4.18 diketahui bahwa nilai F-hitung yang diperoleh sebesar
19,249dengan nilai p-value sebesar 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai p-value <
alpha 0,05, yang bermakna bahwa model regresi pengaruh faktor Dukungan Organisasi
dan Pemberdayaan; faktor Motivasi Diri; faktor Kepuasan Kerja; faktor motivasi dan
budaya kerja; faktor Pencapaian Pegawai; faktor integritas dan job resources serta
faktor Pengalaman dan Reputasi terhadap keterikatan kerja (work engagement) pegawa
organik KPU layak atau tepat (fit).
Makna lain dari hasil uji F adalah secara simulta dapat dibuktikan bahwa faktor
Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; faktor Motivasi Diri; faktor Kepuasan Kerja;
faktor motivasi dan budaya kerja; faktor Pencapaian Pegawai; faktor integritas dan job
resources serta faktor Pengalaman dan Reputasi memiliki pengaruh secara simultan
terhadap work engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu.

b) Koefisien Determinasi (R2)


Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0,627. Hasil ini memberikan arti bahwa sebesar 62,7% work engagement pegawai
organik KPU Provinsi Bengkulu dipengaruhi oleh faktor dukungan organisasi dan
pemberdayaan; faktor motivasi diri; faktor kepuasan kerja; faktor motivasi dan budaya
kerja; faktor pencapaian pegawai; faktor integritas dan job resources serta faktor
pengalaman dan reputasi. Sedangkan 37,3% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diteliti.
36

c) Hasil Uji t
Berdasarkan Tabel 4.18 dapat dijelaskan hasil pengujian hipotesis sebagai
berikut:
1) Nilai t-hitung faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan sebesar 3,442 dengan
p-value sebesar 0,001. Nilai p-value 0,002 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa
faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap work engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu.
2) Nilai t-hitung faktor motivasi diri sebesar 5,340 dengan p-value sebesar 0,000. Nilai
p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor motivasi diri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai organik KPU
di Provinsi Bengkulu.
3) Nilai t-hitung faktor kepuasan kerja sebesar 5,245 dengan p-value sebesar 0,000.
Nilai p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor kepuasan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai organik KPU
di Provinsi Bengkulu.
4) Nilai t-hitung faktor budaya kerja sebesar 2,879 dengan p-value sebesar 0,005. Nilai
p-value 0,005 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor budaya kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai organik KPU
di Provinsi Bengkulu.
5) Nilai t-hitung faktor pencapaian pegawai sebesar 6,512 dengan p-value sebesar
0,000. Nilai p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor pencapaian
pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai
organik KPU di Provinsi Bengkulu.
6) Nilai t-hitung faktor integritas dan job resources sebesar 2,974 dengan p-value
sebesar 0,004. Nilai p-value 0,004 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor
integritas dan job resources berpengaruh positif dan signifikan terhadap work
engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu.
7) Nilai t-hitung faktor pengalaman dan reputasi sebesar 0,416 dengan p-value sebesar
0,679. Nilai p-value 0,679 > alpha 0.05. Hasil ini memberikan bukti bahwa faktor
pengalaman dan reputasi tidak berpengaruh terhadap work engagement pegawai
organik KPU di Provinsi Bengkulu.
Berdasarkan Tabel 4.18 diketahui bahwa dari tujuh faktor yang terbentuk dari
analisis faktor, didapatkan enam faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu. Faktor-faktor tersebut
adalah Faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; Faktor Motivasi Diri; Faktor
Kepuasan Kerja; Faktor Motivasi dan Budaya Kerja; Faktor Pencapaian Pegawai; dan
Faktor Integritas dan Job Resources.
Selanjutnya, pembuktian signifikansi pengaruh faktor-faktor work engagement
terhadap work engagement secara parsial dilakukan dengan pengujian t-test. Hasil
pengujian dirangkum pada Tabel 4.19 berikut:
37

Tabel 4.19
Rangkuman Hasil Pengujian Ketepatan Pengaruh

Nilai p-
Faktor Kesimpulan
value
Dukungan Organisasi 0,001 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
dan Pemberdayaan keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Motivasi Diri 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Kepuasan Kerja 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Budaya Kerja 0,005 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Pencapaian Pegawai 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Integritas dan Job 0,004 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
Resources keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Pengalaman dan 0,679 Tidak terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
Reputasi keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU

Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

3. Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement


Pegawai Sekretariat KPU berstatus Pegawai Dipekerjakan (DPK)

Pengujian pertama model analisis regresi pada penelitian ini adalah menguji
pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi work engagement pegawai diperkerjakan
(DPK) Sekretariat KPU. Pada analisis ini, faktor-faktor yang mempengaruhi work
engagement terdiri dari 7 faktor yang disebut sebagai variabel independent. Sedangkan
work engagement sendiri disebut sebagai variabel dependen. Berdasarkan hasil
perhitungan dengan program SPSS, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.20
Hasil Analisis Regresi Faktor-faktor yang Memengaruhi Work Engagement Pegawai
Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu berstatus Dipekerjakan (DPK)
Hasil
Independent Variable p-value**)
Beta*) t-stat
1 Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan 0,026 0,268 0,790
2 Motivasi Diri 0,304 2,750 0,008**
3 Kepuasan Kerja 0,417 3,936 0,000**
4 Budaya Kerja -0,012 -0,120 0, 905
5 Pencapaian Pegawai 0,303 3,210 0,002**
6 Integritas dan Job Resources 0,113 1,163 0,249
7 Pengalaman dan Reputasi 0,343 3,494 0,001**
38

Adjusted R-Square 0,469


F-Statistic 9,467
Prob (F-statistic) 0,000
Keterangan:
*) Nilai standardized coefficient
**) Signifikan pada level 5%
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

Berdasarkan Tabel 4.20 diketahui bahwa persamaan regresi yang diperoleh


adalah sebagai berikut:
Y = 0,026+ 0,304X2 + 0,417X3 - 0,012X4 + 0,303X5 + 0,113X6 + 0,343X7
Interpretasi persamaan regresi di atas adalah:
1) Koefisien regresi faktor (variabel) dukungan organisasi dan pemberdayaan sebesar
0,026. Hasil ini memberikan makna bahwa jika faktor dukungan organisasi dan
pemberdayaan semakin tinggi, maka work engagement pegawai DPK KPU di
Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
2) Koefisien regresi faktor (variabel) motivasi diri sebesar 0,304. Hasil ini memberikan
makna bahwa jika faktor motivasi diri semakin tinggi, maka work engagement
pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
3) Koefisien regresi faktor (variabel) dukungan kepuasan kerja sebesar 0,417. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor kepuasan kerja semakin tinggi, maka work
engagement pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
4) Koefisien regresi faktor (variabel) budaya kerja sebesar -0,120. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor budaya kerja semakin baik, maka work
engagement pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin menurun.
5) Koefisien regresi faktor (variabel) pencapaian pegawai sebesar 0,303. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor pencapaian pegawai semakin tinggi, maka
work engagement pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin tinggi.
6) Koefisien regresi faktor (variabel) integritas dan job resources sebesar 0,113. Hasil
ini memberikan makna bahwa jika faktor integritas dan job resources semakin
tinggi, maka work engagement pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu akan
semakin tinggi.
7) Koefisien regresi faktor (variabel) pengalaman dan reputasi sebesar 0,343. Hasil ini
memberikan makna bahwa jika faktor pengalaman dan reputasi semakin tinggi,
maka work engagement pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu akan semakin
tinggi.

a) Uji F
Dari Tabel 4.20 diketahui bahwa nilai F-hitung yang diperoleh sebesar 9,467
dengan nilai p-value sebesar 0,000. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai p-value < alpha
0,05, yang bermakna bahwa model regresi pengaruh faktor keterikatan kerja terhadap
work engagement pegawai DPK Sekretariat KPU layak atau tepat (fit).
b) Koefisien Determinasi (R2)
Nilai koefisien determinasi (adjusted R-Square) sebesar 0,469, yang berarti
bahwa variasi peningkatan atau penurunan keterikatan kerja (work engagement)
pegawai DPK Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu dipengaruhi oleh faktor Motivasi
Diri; faktor Kepuasan Kerja; faktor Pencapaian Pegawai; dan faktor Pengalaman dan
39

Reputasi sebesar 46,9%. Sedangkan sisanya 53,1% dipengaruhi oleh faktor lain yang
tidak diteliti.

c) Hasil uji t
Berdasarkan Tabel 4.20 dapat dijelaskan hasil pengujian hipotesis sebagai
berikut:
1) Nilai t-hitung faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan sebesar 0,268 dengan
p-value sebesar 0,790. Nilai p-value 0,790 > alpha 0.05. memberikan bukti bahwa
faktor dukungan organisasi dan pemberdayaan tidak berpengaruh positif dan
signifikan terhadap work engagement pegawai DPK KPU di Provinsi Bengkulu.
2) Nilai t-hitung faktor motivasi diri sebesar 2,750 dengan p-value sebesar 0,008. Nilai
p-value 0,008 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor motivasi diri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai DPK KPU di
Provinsi Bengkulu.
3) Nilai t-hitung faktor kepuasan kerja sebesar 3,936 dengan p-value sebesar 0,000.
Nilai p-value 0,000 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor kepuasan kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai DPK KPU di
Provinsi Bengkulu.
4) Nilai t-hitung faktor budaya kerja sebesar -0,120 dengan p-value sebesar 0,905.
Nilai p-value 0,905 >alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor budaya kerja tidak
berpengaruh terhadap work engagement pegawai organik KPU di Provinsi
Bengkulu.
5) Nilai t-hitung faktor pencapaian pegawai sebesar 3,210 dengan p-value sebesar
0,002. Nilai p-value 0,002 < alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor pencapaian
pegawai berpengaruh positif dan signifikan terhadap work engagement pegawai
DPK KPU di Provinsi Bengkulu.
6) Nilai t-hitung faktor integritas dan job resources sebesar 1,163 dengan p-value
sebesar 0,249. Nilai p-value 0,249 > alpha 0.05. memberikan bukti bahwa faktor
integritas dan job resources tidak berpengaruh terhadap work engagement pegawai
organik KPU di Provinsi Bengkulu.
7) Nilai t-hitung faktor pengalaman dan reputasi sebesar 3,494 dengan p-value sebesar
0,001. Nilai p-value 0,001 < alpha 0.05. Hasil ini memberikan bukti bahwa faktor
pengalaman dan reputasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap work
engagement pegawai organik KPU di Provinsi Bengkulu.
Selanjutnya, pembuktian signifikansi pengaruh faktor-faktor work engagement
terhadap work engagement pegawai DPK secara parsial dilakukan dengan pengujian t-
test. Hasil pengujian dirangkum pada Tabel 4.21 berikut:

Tabel 4.21
Rangkuman Hasil Pengujian Ketepatan Pengaruh

Nilai p-
Faktor Kesimpulan
value
Dukungan Organisasi 0,268 Tidak terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
dan Pemberdayaan keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Motivasi Diri 0,008 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
40

Kepuasan Kerja 0,000 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi


keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Budaya Kerja 0,905 Tidak terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Pencapaian Pegawai 0,002 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Integritas dan Job 0,249 Tidak terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
Resources keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Pengalaman dan 0,001 Terbukti sebagai faktor yang mempengaruhi
Reputasi keterikatan kerja pegawai Sekretariat KPU
Sumber: Hasil penelitian 2019, diolah

Berdasarkan Tabel 4.21 diketahui bahwa dari tujuh faktor yang terbentuk dari
analisis faktor, didapatkan empat faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap
keterikatan kerja pegawai DPK Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu. Faktor-faktor
tersebut adalah Faktor Motivasi Diri; Faktor Kepuasan Kerja; Faktor Pencapaian
Pegawai; dan Faktor Pengalaman dan Reputasi.
Faktor-faktor yang memiliki pengaruh paling dominan hingga terendah pada
keterikatan kerja pegawai DPK Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu adalah sebagai
berikut:
1) Faktor Kepuasan Kerja dengan koefisien regresi sebesar 0,417.
2) Faktor Pengalaman dan Reputasi dengan koefisien regresi sebesar 0,343.
3) Faktor Motivasi Diri dengan koefisien regresi sebesar 0,304.
4) Faktor Pencapaian Pegawai dengan koefisien regresi sebesar 0,303.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai


berikut:
1) Ada sebanyak tujuh faktor yang memengaruhi keterikatan kerja pegawai Sekretariat
KPU di Provinsi Bengkulu secara umum, yakni:
a. faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan;
b. Faktor Motivasi Diri;
c. Faktor Kepuasan Kerja;
d. Faktor Motivasi dan Budaya Kerja;
e. Faktor Pencapaian Pegawai;
f. Faktor Integritas dan Job Resources.
2) Faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja pegawai organik Seketariat KPU
di Provinsi Bengkul ada 6 faktor, yakni:
a) Faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan;
b) Faktor Motivasi Diri;
c) Faktor Kepuasan Kerja;
d) Faktor Motivasi dan Budaya Kerja;
e) Faktor Pencapaian Pegawai;
f) Faktor Integritas dan Job Resources.
41

3) Faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja pegawai DPK Sekretariat KPU di


Provinsi Bengkulu ada 4 faktor, yakni:
a. Faktor Motivasi Diri;
b. Faktor Kepuasan Kerja;
c. Faktor Pencapaian Pegawai;
d. Faktor Pengalaman dan Reputasi.
4) Secara keseluruhan, pengaruh faktor-faktor tersebut adalah sebesar 51,8%.
Sedangkan sisanya 48,2% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Pada
pegawai organik, sumbangan faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja
sebesar 62,7%. Sedangkan sisanya 37,3% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diteliti. Pada pegawai DPK, sumbangan faktor-faktor keterikatan kerja adalah
sebesar 46,9%. Sedangkan sisanya 53,1% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diteliti.
1) Faktor-faktor yang paling dominan memengaruhi keterikatan kerja (work
engagement) pegawai Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu secara umum, dapat
diurutkan sebagai berikut: (1) Faktor Motivasi Diri; (2) Faktor Pencapaian Pegawai;
(3) Faktor Kepuasan Kerja; (4) Faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; (5)
Faktor motivasi dan budaya kerja; (5) Faktor integritas dan job resources dan (7)
Faktor Pengalaman dan Reputasi. Faktor-faktor yang memengaruhi keterikatan kerja
pegawai organik adalah : (1) Faktor Pencapaian Pegawai; (2) Faktor Motivasi Diri;
(3) Faktor Kepuasan Kerja; (4) Faktor Dukungan Organisasi dan Pemberdayaan; (5)
Faktor integritas dan job resources dan (6) Faktor motivasi dan budaya kerja.
Faktor-faktor yang paling dominan hingga terendah pada keterikatan kerja pegawai
DPK adalah : (1) Faktor Kepuasan Kerja; (2) Faktor Pengalaman dan Reputasi; (3)
Faktor Motivasi Diri dan (4) Faktor Pencapaian Pegawai.

SARAN
Saran-saran yang dapat diberikan kepada Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu
adalah sebagai berikut:
1) Bagi Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu untuk terus menjaga keterikatan dengan
pegawai. Upaya yang dapat dilakukan antara lain, membina dan menjaga hubungan
antara atasan dan pegawai agar tetap harmonis.
2) Sekretariat KPU di Provinsi Bengkulu diharapkan untuk tetap menjaga dan
meningkatkan sumber daya pekerjaan untuk karyawan agar pegawai tetap
terfasilitasi dan merasa beban diringankan oleh organisasi dan agar beban kerja para
pegawai dapat berkurang. Dukungan dari atasan sangat penting untuk membantu
meringankan beban pekerjaan pegawai.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar (2013) meneliti mengenai Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Employee


Engagement (Studi Pada Karyawan PT. Primatexco Indonesia di Batang).
Ayu, R.D. (2015). Pengaruh Job Demand, Job Resources, dan Personal Resources
terhadap Work Engagement. Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, E-ISSN: 2460.
42

Bakker, A. (2009). Work Engagement: An Emerging Concept In Occupational Health


Psychology Work and Stress. Jurnal Vol. 2, No. 2.
Bakker, A.B, Demerouti E., Hakanen J.J, Xanthopoulou, D. (2007). Job Resources
Boost Work engagement, Particularly When Job demands Are High. Journal of
Educational Psychology, Vol. 2, Issue. 274–284.
Bakker, A.B., and Demerouti, E. (2007). The Job Demands-Resources model: State of
the art. Journal of Managerial Psychology, Vol. 2, No. 2, ISNN. 309–328.
Bakker, A.B., Demerouti, E., dan Verbeke, W. (2002). Using The Job Demands-
Resources Model to Predict Burnout And Performance. Human Resource
Management, Vol.43, Issue. 83–104.
Bakker, Arnold. B., Leiter, Michael. P. (2010). Work Engagement: A Handbook of
Essential Theory and Research. New York: Psychology Press
Charles, (2007). Does Work Engagement Mediate The Relationship Between Job
Resources and Job Performance Of Employees. African Journal of Bisnis
Management. Vol. 4, No. 9. ISSN: 1993-8233.
Cooper, D.R., dan Schindler, P. (2010). Metode Riset Bisnis. Jakarta: PT Media Global
Edukasi.
Creswell, J.W., dan Plano-Clark, V.L. (2011). Mixed Methods Research: Designing
and Conducting. Los Angeles: Sage.
Faustyana, A., (2014). Identifikasi dan dan Analisis Peningkatan Tingkat Engagement.
Pegawai PT. X Tesis Tidak Diterbitkan Program Magister Administrasi Bisnis, ITB
Fain, H., Hall, C. & Lindsey, G. (2004). Psychology Of Adjustment. Illinois: The
Dorsey Press.
Federman, B. (2009). Employee Engagement: A Road For Creating Profits,.
Optimizing Perfomance, And Increasing Loyalty. San Fransisco: Jossey Bass.
Fitria, A., M.R. Akbar dan Susanti, (2013). Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
Employe Engagement (Studi Pada Karyawan PT. Primatexco Indonesia di
Batang). Journal of Social and Industrial Psychology, Vol. 2 No. 1 Hal. 10-18
Ghozali. I. (2013). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi Ke
Tujuh. Semarang: Badan Penerbit Undip.
Gordon, J.G. (2006). Public Administration in America, St Martin Press.
Ichsan, P. R. (2013). Website Development Fundamental, Bandung: ComLabs IT
Course.
Iswanti dan Agustina (2016) meneliti mengenai Peran Dukungan Sosial di Tempat
Kerja terhadap Keterikatan Kerja Karyawan.
Kahn, W.A., Konrad, A.M. & Little B. (1990). Impact, Engagement, and Amazing
Adaptability. Pt. 2. LAC Group.
Kartono, K. (2000). Kamus Psikologi. Bandung. CV. Pioner Jay.
Kurniawati (2014) meneliti hubungan Masa Kerja dengan Job Engagement pada
Karyawan.
43

Leiter dan Bakker, 2010. The Effect of Job Resources On Work Engagement: A Study
on Academicians in Turkey. Educational Sciences: Theory dan Practice. ISSN
1303-0485. eISSN 2148-7561.
Lockwood, N.R. (2007). Leveraging Employee Engagement for Competitive.
Advantage: HR’s Strategic Role, SHRM Research Quartery.
Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi Sepuluh. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Marciano, M., Mercer, K. & Margaretha, M.,(2010). Resource Loss, Resource Gain,
And Emotional Outcomes Among Inner City Women. The Spanish Journal of
Psychology, Vol. 1, No. 2, ISNN 688-701.
Melia dan Anggraini, L. (2011). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Work Engagement
Generasi Y (Studi kasus pada karyawan PT. Unilever Indonesia Tbk. Surabaya).
Jurnal Administrasi Bisnis, Vol. 37, No. 2.
Meyer (2012). Sosial Theory And Social Strukture. New York: The Free Press
Morrison, E.W., and Phelps, C.C. (2003). Taking Charge at Work: Extrarole Efforts to
Initiate Workplace Change. Academy of Management Journal, Vol. 4, No. 2.
ISNN. 403-419.
Muhidin dan Abdurrahman. (2007). Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur Dalam
Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.
Mujiasih (2015) meneliti mengenai Hubungan antara Persepsi Dukungan Organisasi
(Perceived Organizational Support) dengan Keterikatan Kerja Karyawan.
Mujiasih, E. (2004). Meningkatkan Work Engagement melalui Gaya Kepemimpinan
Tranformasional dan Budaya Organisasi. Tesis Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro Semarang.
Nurendra dan Purnamasari (2017) meneliti mengenai Hubugan antara Kualitas
Kehidupan Kerja dan Keterikatan Kerja pada Pekerja Wanita
Perrins, P., Robbinson, D., Perrynman, S. & Hayday, S. (2003). Psychology of
Adjusment: Personal Growth In Changing World (2nd edition). New Jersey:
Prentice Hall.
Puspita, E., dan Sembiring, J., (2016). Pengaruh faktor-faktor budaya organisasi
terhadap employee engagement karyawan di Kantor Wilayah PT. PLN
Kalimantan Barat. e-Proceeding of Management : Vol.3, No.3 December 2016.
ISSN : 2355-9357.
Putu, Saroyeni, (2011). Pengaruh Sumber Daya Pekerjaan (job resources) dengan
Keterikatan kerja (work engagement) sebagai mediator prilaku pro aktif (studi
pada karyawan PT. RGA International Indonesia) e-Jurnal Ilmu Manajemen
Magistra Vol. 1, No. 1, E-ISSN. 2442-4315
Rachmawati (2016) melakukan penelitian dengan judul Employee engagement sebagai
Kunci Meningkatkan Kinerja Karyawan.
Rafferty, AM, J. Maben, E. West and D. Robinson, 2005. What Makes a Good
Employer. International Council of Nurses Publication House, Geneva,
Switzerland, ISBN:978-9-29504-023-6, Pages: 84.
44

Rika, N. (2012). Keterlibatan Kerja Guru TK. Thesis Helsinki Metropolia University of
Applied Sciences
Rizkiani dan Sawitri (2015) meneliti mengenai Kepribadian Proaktif dan Keterikatan
Kerja pada Karyawan PT. PLN Distribusi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta
Robbins, P. S. (2007). Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Indeks.
Robert, K., dan Davenport, B. (2002). Content Analysis of Communication. New York:
The Macmillan Company.
Robertson, (2007). Psychological Capital, Adaptability, Coping With Change, And
Employee Engagement In a Multinational Company. Journal of International
Business Disciplines Vol. 10, Issue. 2, ISSN. 1934-1814
Sarath, P. (2014). Keterlibatan Kerja dan Kesejahteraan Kerja Guru. Journal of Social
Science. Vol. V, Issue . 22. ISSN: 0975-9999
Schaufeli, W.B., and Bakker, A.B. (2004). Job Demands, Job Resources And Their
Relationship With Burnout And Engagement: A Multi Sample Study. Journal
of Organizational Behavior, Vol. 2, No. 5, ISNN. 293-315.
Schaufeli, M. S., Vicente Gonz·les-Rom and P.C.A.B. Bakker. (2002). The
Measurement of Engagement And Burnout: A Two Sample Conormatory
Factor Analytic Approach. Journal of Happiness Studies, Vol. 3, No. 1. ISNN.
71-92.
Schaufeli, W.B. and Salanova, M. (2006). The Measurement of Work Engagement
With A Short Questionnaire A Cross-National Study. Educational and
Psychological Measurement, Vol. 66, No. 4. ISSN. 701-716.
Sekaran, U. (2006). Research Methods For Business. Metodologi Untuk Bisnis. Jakarta:
Salemba Empat.
Solimun, (2002). Modul Strucural Equation Modeling, Unibraw Press, Malang
Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Administrasi (Edisi Revisi). Bandung: Alfabeta.
Sumakto dan Sami’an (2013) meneliti mengenai Hubungan Keterikatan Kerja dengan
Kinerja pada Karyawan Hotel Surabaya Plaza.
Susanto F., Suryamarchia G., Widjaja D.C., (2016). Faktor-faktor yang memengaruhi
employee Engagement di Hotel IBIS Style di Surabaya. Jurnal Hospitality dan
Manajemen Jasa. Vol. 4, No. 2
Thomas, W., Wellins, R., & Concelman, J. (2009). The Use of Polymers for Dermal
and Transdermal Delivery, Eur. J. Pharm. Biopharm, Vol. 5, No. 8, ISSN. 279-
289.
Xanthopoulou, Bakker & Demerouti. 2008. Reciprocal Relationships Between Job
Resources, Personal Resources And Work Engagement. Journal of Vocational
Behavior, Utrecht University. Netherland. 74. 235-244.

Zikmund, W. (2010). Business Research Methods. Eighth Edition. South Western USA:
Cengage Learning.

Potrebbero piacerti anche