Sei sulla pagina 1di 57

SKENARIO

Budi, a boy, 13 months, was hospitalized due to diarrhea. Four days before admission,
the patient had non-projectile vomiting 8 times a day. He vomited what he ate. Three days
before admission, the patient fot diarrhea 8 times a day around half glass in every
defecation, there was no blood and mucous/pus in it. The frequency of vomiting
decreased. But two days before admission the patient got bloody stool 12 times a day
aroung quarter glass in every defecation. The vomiting stopped. Along those 4 days, he
drank eagerly and was given ORS (oral rehydration solution). He also got mild fever.
Yesterday, he looked worse, lethargic, didn’t want to drink, still had diarrhea but no
vomiting. The amount of urination in 8 hours ago was less than usual. Budi’s family lives
in slum area.

Physical Examination
Patient looks severely ill, compos mentis but weak (lethargic), BP 70/50 mmHg, RR
38x/min, HR 144x/min regular but weak, body temperature 38,9°C, BW 10 kg, BH 75
cm
Head: Sunken frontanella, sunken eye, no tears drop, and dry mouth.
Thorax: similar movement on both side, retraction (-/-), vesicular breath sound, normal
heart soung.
Abdomen: flat, shuffle, bowel sound increases. Liver is palpable 1 cm below arcus costae
and xiphoid processus, spleen unpalpable. Pinch in the skin of the abdomen: very slowly
(longer than 2 seconds). Redness skin surrounding anal orifice.
Extremeties: cold hand and feet

Laboratory Examination
Hb 12,8 gr/dL, WBC 20.000/mm3, differential count 0/1/2/83/20/4.
Urine routine
Macroscopic: yellowish color,
Microscopic: WBC (-), RBC (-), protein (-), keton bodies (+).
Feces routine

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 1


Macroscopic: water more than waste material, blood (+), mucous (+) WBC: 20/HPF,
RBC full, bacteria (++), Entamoeba coli (+), fat (+)

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 2


I. Klarifikasi Istilah
i. Diarrhea: pengeluaran tinja berair berkali-kali yang tidak normal.
ii. Non projectile vomiting: muntah yang tidak menyemprot.
iii. Defecation: pembuangan tinja dari rectum.
iv. Bloody stool: tinja berdarah yang menandakan adanya pendarahan pada
saluran pencernaan bagian bawah.
v. ORS (Oral Rehidration Solution): minuman khusus yang terdiri dari gula, air,
dan garam untuk mengganti cairan tubuh yang hilang bersama diare.
vi. Mild fever: suhu tubuh diantara 37,5 - 38°C.
vii. Lethargy: penurunan kesadaran ditandai dengan lesu, mengantuk dan apatis.
viii. Sunken frontanella: ubun-ubun cekung ke dalam, tanda dehidrasi berat.
ix. Sunken eye: kulit halus dibawah mata jadi gelap dan cekung, biasanya karena
dehidrasi.
x. Shuffle abdomen: suara bising berdenyut akibat propulsi gas atau cairan
melewati usus.
xi. Anal orifice: pembukaan eksternal pada ujung saluran anal.
xii. Keton bodies: tiga senyawa yang diproduksi ketika asam lemah dipecah untuk
energi dalam hati dan tinja, larut dalam air. Terdiri dari aseton, asam asetil
asetat, dan asam beta hidroksibutirat
xiii. Mucus: lendir bebas pada membran mukosa, terdiri dari sekresi kelenjar,
berbagai garam, sel yang berdeskuamasi, dan leukosit.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 3


II. Identifikasi Masalah

Fakta Ketidaksesuaian Prioritas

Budi, a boy, 13 months, was hospitalized due Tidak sesuai harapan VVV
to diarrhea.

Four days before admission, the patient had Tidak sesuai harapan VV
non-projectile vomiting 8 times a day. He
vomited what he ate.

Three days before admission, the patient fot Tidak sesuai harapan VV
diarrhea 8 times a day around half glass in
every defecation, there was no blood and
mucous/pus in it. The frequency of vomiting
decreased.

But two days before admission the patient got Tidak sesuai harapan VV
bloody stool 12 times a day aroung quarter
glass in every defecation. The vomiting
stopped.

Along those 4 days, he drank eagerly and was Tidak sesuai harapan VV
given ORS (oral rehydration solution). He also
got mild fever.

Yesterday, he looked worse, lethargic, didn’t Tidak sesuai harapan VV


want to drink, still had diarrhea but no
vomiting.

The amount of urination in 8 hours ago was less VV


than usual. Budi’s family lives in slum area.

Physical Examination V
Patient looks severely ill, compos mentis but
weak (lethargic), BP 70/50 mmHg, RR

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 4


38x/min, HR 144x/min regular but weak, body
temperature 38,9°C, BW 10 kg, BH 75 cm
Head: Sunken frontanella, sunken eye, no tears
drop, and dry mouth.
Thorax: similar movement on both side,
retraction (-/-), vesicular breath sound, normal
heart soung.
Abdomen: flat, shuffle, bowel sound increases.
Liver is palpable 1 cm below arcus costae and
xiphoid processus, spleen unpalpable. Pinch in
the skin of the abdomen: very slowly (longer
than 2 seconds). Redness skin surrounding anal
orifice.
Extremeties: cold hand and feet

Laboratory Examination V
Hb 12,8 gr/dL, WBC 20.000/mm3, differential
count 0/1/2/83/20/4.
Urine routine
Macroscopic: yellowish color,
Microscopic: WBC (-), RBC (-), protein (-),
keton bodies (+).
Feces routine
Macroscopic: water more than waste material,
blood (+), mucous (+) WBC: 20/HPF, RBC
full, bacteria (++), Entamoeba coli (+), fat (+)

Alasan prioritas masalah: Karena keluahn tersebut merupakan keluhan utama


yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 5


III. Analisis Masalah
1. Budi, a boy, 13 months, was hospitalized due to diarrhea.
a. Bagaimana klasifikasi dari diare? (vania, rafi, aldo)
b. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan pada kasus?
(rafi, aldo, bella)
c. Apa saja etiologi pada diare? (bella, afiya, icha)
d. Bagaimana patofisiologi dari diare? (afiya, icha, ale)
e. Bagaimana tatalaksana awal diare? (icha, ale, intan)
f. Bagaimana indikasi anak dengan diare dirawat di rumah sakit? (ale, intan,
alif)

2. Four days before admission, the patient had non-projectile vomiting 8 times
a day. He vomited what he ate.
a. Apa perbedaan muntah proyektil dan non-proyektil? (intan, alif, peksi)
b. Apa makna klinis pasien memuntahkan apa yang ia makan? (peksi, safira,
sandora
c. Bagaimana patofisiologi muntah non-proyektil? (safira, sandora, vania)
d. Apa saja akibat yang dapat disebabkan oleh muntah non-proyektil sebanyak
delapan kali? (sandora, vania, rafi)

3. Three days before admission, the patient got diarrhea 8 times a day around
half glass in every defecation, there was no blood and mucous/pus in it. The
frequency of vomiting decreased.
a. Berapa volume feces yang keluar pada hari itu? (vania, rafi, aldo)
b. Apa makna tidak ada pus/lendir dan darah di feses pasien? (rafi, aldo, bella)
c. Mengapa frekuensi muntah berkurang? (aldo, bella, afiya)

4. But two days before admission the patient got bloody stool 12 times a day
aroung quarter glass in every defecation. The vomiting stopped.
a. Mengapa terjadi BAB berdarah padahal sehari sebelumnya tidak? (bella,
afiya, icha)
b. Bagaimana patofisiologi BAB berdarah pada kasus? (afiya, icha, ale)

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 6


c. Apa makna BAB berdarah 12 kali sehari sebanyak seperempat gelas tiap
defekasi? (icha, ale, intan)
d. Apa saja penyebab BAB berdarah? (ale, intan, alif)
e. Mengapa muntah berhenti pada kasus? (intan, alif, peksi)

5. Along those 4 days, he drank eagerly and was given ORS (oral rehydration
solution). He also got mild fever.
a. Apa saja kandungan dari ORS? (peksi, safira, sandora)
b. Berapa jumlah ORS yang diberikan pada anak umur 13 bulan? (safira,
sandora, vania)
c. Bagaimana patofisiologi dari mild fever pada kasus? (sandora, vania, rafi)
d. Apa saja indikasi pemberian ORS? (vania, rafi, aldo)

6. Yesterday, he looked worse, lethargic, didn’t want to drink, still had


diarrhea but no vomiting.
a. Apa makna dari keadaan memburuk, letargi, tidak mau minum, masih ada
diare, tapi tidak muntah-muntah? (rafi, aldo, bella)

7. The amount of urination in 8 hours ago was less than usual. Budi’s family
lives in slum area.
a. Berapa volume dan frekuensi urin normal anak umur 13 bulan? (bella, afiya,
icha)
b. Bagaimana hubungan tempat tinggal dengan keluhan yang dialami pasien?
(afiya, icha, ale)

8. Physical Examination
Patient looks severely ill, compos mentis but weak (lethargic), BP 70/50
mmHg, RR 38x/min, HR 144x/min regular but weak, body temperature
38,9°C, BW 10 kg, BH 75 cm
Head: Sunken frontanella, sunken eye, no tears drop, and dry mouth.
Thorax: similar movement on both side, retraction (-/-), vesicular breath
sound, normal heart soung.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 7


Abdomen: flat, shuffle, bowel sound increases. Liver is palpable 1 cm below
arcus costae and xiphoid processus, spleen unpalpable. Pinch in the skin of
the abdomen: very slowly (longer than 2 seconds). Redness skin
surrounding anal orifice.
Extremeties: cold hand and feet
a. Apa interpretasi pemeriksaan fisik pada kasus? (icha, ale, intan)
b. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemeriksaan fisik pada kasus?
(keadaan umum, tanda vital, tumbuh kembang) (ale, intan, alif)
c. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemeriksaan fisik pada kasus? (head,
abdomen, extremities) (intan, alif, peksi)
d. Bagaimana derajat dehidrasi berdasarkan pemeriksaan fisik? (peksi, safira,
sandora)

9. Laboratory Examination
Hb 12,8 gr/dL, WBC 20.000/mm3, differential count 0/1/2/83/20/4.
Urine routine
Macroscopic: yellowish color,
Microscopic: WBC (-), RBC (-), protein (-), keton bodies (+).
Feces routine
Macroscopic: water more than waste material, blood (+), mucous (+) WBC:
20/HPF, RBC full, bacteria (++), Entamoeba coli (+), fat (+)
a. Apa interpretasi pemeriksaan lab pada kasus? (safira, sandora, vania)
b. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemeriksaan lab pada kasus? (sandora,
vania, rafi)

HIPOTESIS
Budi, anak laki-laki umur 13 bulan, diduga menderita disentri dengan dehidrasi berat.
a. Apa algoritma penegakan diagnosis dari kasus? (icha, ale, intan)
b. Apa saja diagnosis banding pada kasus? (ale, intan, alif, icha)
c. Apa diagnosis kerja pada kasus? (intan, alif, peksi, icha)
d. Apa definisi penyakit pada kasus? (alif, peksi, safira)
e. Bagaimana etiologi dari penyakit? (peksi, safira, sandora)

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 8


f. Bagaimana epidemiologi dari penyakit? (safira, sandora, vania)
g. Bagaimana klasifikasi dari penyakit? (sandora, vania, rafi)
h. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi dari penyakit? (vania, rafi, aldo)
i. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit? (rafi, aldo, bella)
j. Bagaimana pemeriksaan fisik pada kasus? (aldo, bella, afiya)
k. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus? (bella, afiya, icha)
l. Bagaimana tatalaksana (kajian, informasi, dan edukasi) dari penyakit pada
kasus? (afiya, icha, ale)
m. Bagaimana tatalaksana secara khusus pada kasus? (icha, ale, intan)
n. Apa saja komplikasi dari penyakit pada kasus? (ale, intan, alif)
o. Bagaimana prognosis dari penyakit ini? (intan, alif, peksi)
p. Apa SKDI dari penyakit pada kasus? (icha, ale, intan)

IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan


How I
Pokok
No. What I know What I don’t know will
Bahasan
know
1. Disentri  Definisi  Etiologi
pediatrik  Epidemiologi
 Factor resiko
 Patofisiologi
 Klasifikasi
 Manifestasi klinik
Diktat,
 Pemeriksaan fisik
jurnal,
 Pemeriksaan
buku
penunjang
 Tatalaksana
 Edukasi dan
pencegahan
 Komplikasi
 Prognosis

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 9


 Algoritme
penegakan diagnosis
 Diagnosis banding
 SKDI
2. Dehidrasi pada  Definisi  Etiologi
anak  Epidemiologi
 Factor resiko
 Patofisiologi
 Klasifikasi
 Manifestasi klinik
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan
penunjang
 Tatalaksana
 Edukasi dan
pencegahan
 Komplikasi
 Prognosis
 Algoritme
penegakan diagnosis
 Diagnosis banding
 SKDI

V. Sintesis Ilmiah
1. Sirosis Hepatis
A. Definisi

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 10


Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya
peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi
dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakan stadium akhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati.

B. Etiologi
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain:
1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
3. Virus hepatitis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
7. Zat toksik
Mayoritas penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit
hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis
yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa
etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi parasit
(schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel
bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease,
penyakit granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan
hipervitaminosis A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-Chiari
dan penyakit veno-oklusif.
Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang paling
sering dari sirosis hati. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus
hepatitis B merupakan penyebab tersering dari sirosis hati yaitu sebesar
4050% kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan
10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus
bukan B dan C

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 11


C. Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian ke 9 di Amerika Serikat.
Penyakit hati kronik dan sirosis menyebabkan kematian 4 sampai 5% dari
pasien - pasien yang berusia 45-54 tahun dan menyebabkan 30.000 kematian
per-tahunnya. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per
100.000 penduduk ,dimana 60% kasus adalah laki-laki.
Lebih dari 40% pasien sirosis hati asimptomatis. Hasil penelitian
menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis non-
alkoholik (NASH) dengan prevalensi 4% dan berakhir dengan sirosis hati
dengan prevalensi 0,3%.
Di Indonesia, secara keseluruhan rata-rata prevalensi sirosis adalah
3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam, atau rata
rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan pria
: wanita adalah 2,1 : 1 dan usia rata-rata 44 tahun. Rentang usia 13 – 88 tahun,
dengan kelompok terbanyak antara 40 – 50 tahun.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 12


D. Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu:
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3
mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3
mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul
yang terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3
mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas:
1. Sirosis Hepatis Kompensata
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan
pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-
gejala sudah jelas, misalnya ; asites, edema dan ikterus.

E. Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat sel hati yang normal terkena racun atau
toksik yang kemudian meradang atau terjadi inflamasi. Proses inflamasi
membuat sel-sel darah putih teraktivasi menuju ke sel hati yang juga terdapat
banyak lemak. Selain itu, terjadi pembentukan ekstraseluler matriks pada hati
yang terdiri dari kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan, di mana sel yang
berperan adalah sel stellata. Selanjutnya, sel stellata akan membentuk jaringan
fibrotik sebagai proses penyembuhan dalam inflamasi. Namun, apabila toksik
tersebut selalu masuk ke dalam hati melalui berbagai faktor selama bertahun-
tahun, maka akan mengakibatkan kerusakan yang terus-menerus dan dapat

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 13


mengakibatkan nekrosis sel hati. Apabila keadaan ini dibiarkan, dapat
membuat hati mempunyai regenerasi yang abnormal dan aktivasi sel stellata
terus-menerus sehingga, akan terjadi pembentukan jaringan fibrotik dan
pembentukan nodul yang membuat hati tampak membengkak.

Nodul yang terbentuk mempunyai ukuran yang bervariasi, dapat


berupa mikronodul ketika ukurannya <3 mm, dapat juga mencapai beberapa
sentimeter berupa makronodul. Selain pembentukan nodul, terjadi
pembentukan jaringan fibrosa yang abnormal dan mengakibatkan
terganggunya aliran darah vaskuler serta aliran darah menuju empedu karena
terdapat obstruksi sehingga meningkatan tekanan pada porta. Pada keadaan
normal, tekanan pada vena porta kurang dari 3mmHg namun ketika terjadi
obstruksi, tekanan pada vena porta dapat mencapai 10mmHg sehingga
mengakibatkan hipertensi porta.
Peningkatan tekanan darah pada vena porta dapat mengakibatkan
beberapa komplikasi antara lain ; (1) aliran balik meningkat dan terjadi
pelebaran vena esofagus, umbilikus, dan vena rektus superior sehingga terjadi
perdarahan varises; (2) asites; (3) proses ekskresi yang tidak optimal akibat
meningkatnya amonia dan dapat mengakibatkan ensefalopati hepatikum yaitu
keadaan di mana amonia tersebut mengalir dalam aliran darah hingga menuju
ke otak. Selain itu, terdapat berbagai komplikasi lagi menurut Porth &
Grossman (2014), yaitu splenomegaly. Splenomegaly kondisi terjadi
pembesaran limfa akibat hipertensi porta yang mengakibatkan aliran darah
teralihkan ke vena limfatik (splenic vein). Pembesaran organ limfa dapat
mengakibatkan hypersplenism yaitu keadaan darah mengalami penurunan

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 14


waktu hidup atau umur yang pendek karena meningkatnya tingkat
penghancuran darah oleh limfa. Hal ini berkaitan degan lamanya waktu transit
darah ke dalam limfa dan kondisi ini dapat menyebabkan trombositopenia,
anemia, dan leukopenia. Berdasarkan beberapa komplikasi yang dapat terjadi
pada kondisi sirosis hati, komplikasi yang dapat mengganggu gangguan
eliminasi urin adalah asites.

F. Patogenesis
Sirosis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis), sesuai
dengan etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan
tersebut masih sepenuhnya reversibel.
Ciri patologis dari sirosis adalah pengembangan jaringan parut yang
menggantikan parenkim normal, memblokir aliran darah portal melalui organ
dan mengganggu fungsi normal. Penelitian terbaru menunjukkan peran
penting sel stellata, tipe sel yang biasanya menyimpan vitamin A, dalam
pengembangan sirosis. Kerusakan pada parenkim hati menyebabkan aktivasi
sel stellata, yang menjadi kontraktil (myofibroblast) dan menghalangi aliran

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 15


darah dalam sirkulasi. Sel ini mengeluarkan TGF-β1, yang mengarah pada
respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Selain itu, juga mengganggu
keseimbangan antara matriks metalloproteinase dan inhibitor alami (TIMP 1
dan 2), menyebabkan kerusakan matriks.
Pita jaringan ikat (septa) memisahkan nodul-nodul hepatosit, yang pada
akhirnyamenggantikan arsitektur seluruh hati yang berujung pada penurunan
aliran darah di seluruh hati. Limpa menjadi terbendung, mengarah ke
hypersplenism dan peningkatan sekuesterasi platelet. Hipertensi portal
bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi parah sirosis.

G. Diagnosis Banding
Adapun beberapa diagnosis banding terkait dengan gejala klinis sirosis
hepatis adalah sebagai berikut:
1. Hipertensi Portal Intrahepatik: Fulminant hepatic failure, Veno-occlusive
disease
2. Hipertensi Portal Ekstrahepatik: Hepatic vein obstruction (ie, Budd-Chiari
syndrome), Congestive heart failure
3. Hipoalbuminemia: Sindroma Nefrotik
4. Protein-losing enteropathy: Malnutrisi
5. Miscellaneous disorders: Myxedema, Tumor Ovarium, Pancreatic
ascites, Biliaryascites

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 16


H. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis
antara lain:
1. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda
bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan
mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus
dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi
sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit.
2. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-
selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi
tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi
sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi
sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula
Glissoni). Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 17


bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan
menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
3. Obstruksi Portal dan Asites serta Edema
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah
dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan
dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan
darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa
dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini
menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ
tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat
bekerja dengan baik.
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal yang
memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.
Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dyspepsia
kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-
angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya
shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-
jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring
berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi
terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati
yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi
predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan
akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air
menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites
adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 18


umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari
hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
4. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke
dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh
darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen
(kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan
daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.
Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid
tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung
volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh
darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena
itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan
yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih
25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan
mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan
esofagus.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu
yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena
hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis
dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak
adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering
menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan
pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu
kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran Mental

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 19


Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku
umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat,
dan pola bicara.

I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain:
a. Pemeriksaan darah rutin. Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena
perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan
hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai
akibat hiperplenisme
b. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase)
atau ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu
tinggi. AST lebih meningkat disbanding ALT. Namun, bila enzim ini
normal, tidak mengeyampingkan adanya sirosis
c. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
d. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan
ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya
meninggi karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
e. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
f. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang
selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
g. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor
koagulan akibat sirosis

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 20


h. Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan
dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
i. Pansitopenia dapat terjadi akibat splenomegali kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
Selain itu, pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan, yaitu :
a. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya
hipertensi porta.
b. USG abdomen untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta
untuk melihat adanya asites, splenomegali, thrombosis vena porta,
pelebaran vena porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma
hati pada pasien sirosis.
c. Endoskopi saluran pencernaan atas untuk melihat ada atau tidaknya
varises esophagus.

J. Tatalaksana
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi
ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan
yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan
komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk
mengurangi progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
a. Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
b. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
c. Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
d. Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
e. Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 21


f. Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi
utama. Lamivudin diberikan 100mg secara oral setiap hari selama
satu tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan
3MIU, 3x1 minggu selama 4-6 bulan.
g. Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin
merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan
dengann dosis 5 MIU, 3x1 minggu, dan dikombinasi ribavirin
800-1000 mg/hari selama 6 bulan
Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon,
kolkisin, metotreksat, vitamin A, dan obat-obatan sedang dalam
penelitian.
2. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
a. Asites
i. Tirah baring
ii. Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
iii. Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic bisa
dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem
kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki). Bilamana
pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi
dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari)
iv. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti
dengan pemberian albumin.
b. Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon
secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk
profilaksis dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama 2-3
minggu.
c. Varises Esofagus
i. Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat
beta (propanolol)

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 22


ii. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin
atau okreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau
ligasi endoskopi
d. Ensefalopati Hepatik
i. Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
ii. Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia
iii. Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan
yang kaya asam amino rantai cabang
e. Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR.
Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat
perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif,
parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.

K. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya.
Berikut berbagai macam komplikasi sirosis hati:
1. Perdarahan varises esofagus
Varises esophagus merupakan salah satu manifestasi hipertensi porta
yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis dengan varises
esophagus pecah menimbulkan perdarahan.
Risiko kematian akibat perdarahan varises esofagus tergantung pada
tingkat keparahan dari kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya
tanda bahaya dari varises dan keparahan penyakit hati. Penyebab lain
perdarahan pada penderita sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak
duodeni.
2. Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik
akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan
hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati
yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 23


sama sekali. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma
hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan
fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan
dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma
hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung,
tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap
asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3. Peritonitis bakterialis spontan
Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis
bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien
ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
4. Sindroma hepatorenal
Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai
oleh kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri
menyebabkan vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR. Dan
dapat terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan
ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organic
ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus
5. Karsinoma hepatoseluler
Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang
dianggap merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B
kronik, sirosis hati dan hepatokarsinogen dalam makanan.38 Meskipun
prevalensi dan etiologi dari sirosis berbeda-beda di seluruh dunia, namun
jelas bahwa di seluruh negara, karsinoma hepatoseluler sering ditemukan
bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.
6. Asites
Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki sistem
pengaturan volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi
retensi air dan natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 24


Asites berat dengan jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak
nyaman pada abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari
7. Hipertensi Portal

L. Edukasi dan Pencegahan


1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk
mencegah timbulnya suatu penyakit dengan menghilangkan atau
melindungi diri dari berbagai faktor resiko. Upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya Sirosis hati adalah :
a. Tidak mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol secara

berlebihan karena konsumsi. 


b. Melakukan vaksinasi Hepatitis B dapat diberikan pada kelompok yang


beresiko tinggi seperti pada bayi dari ibu yang mengidap Virus
Hepatitis B, petugas pelayanan kesehatan yang sering berhubungan
dengan darah dan cairan tubuh, anggota keluarga pengidap Hepatitis
B, kaum homoseksual, orang yang sering berganti pasangan seksual,
pemakai obat bius suntik dan orang yang sering mendapatkan transfusi
darah.
c. Hindari kontak dengan darah atau cairan tubuh yang berasal dari
penderita Hepatitis B.
d. Pada pasien yang menderita Sirosis hati non-alkoholik, dapat

dilakukan penurunan berat badan. 


e. Tidak gonta-ganti pasangan seksual. 


f. Menghindari penggunaan narkoba suntik dan pemakaian suntik yang


 secara berganti-gantian. 


g. Melakukan transfusi darah yang aman dan steril. 


2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
mendeteksi secara dini suatu penyakit yang dilakukan pada masa sakit

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 25


yang berupa screening, pemberian terapi bukan obat dan terapi obat.
Terapi bukan obat dilakukan dengan mengurangi faktor penyebab
terjadinya Sirosis hati. Contohnya apabila penyebab Sirosis hati adalah
alkohol maka pasien harus berhenti minum alkohol. Penderita Sirosis hati
harus mengkonsumsi makanan yang bergizi, istirahat yang cukup dan
minum vitamin.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan dan kematian pada
penderita Sirosis hati. Pencegahan yang dapat dilakukan biasanya dapat
berupa rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Jika kerusakan hati sangat
parah dan mengancam nyawa maka satu-satunya cara adalah dengan
transplantasi hati. Untuk itu perlu seorang donor yang sesuai. Lalu agar
tubuh tidak menolak jaringan hati yang baru, juga harus diberikan obat
yang menekan sistem kekebalan tubuh dan harus diminum seumur hidup.
Hasil dari tindakan transplatasi cukup baik. Walaupun 20-30% dari
penderita yang melakukan transplantasi hati meninggal dalam kurun
waktu 1 tahun setelah operasi (karena keadaanya memang sangat parah
sebelum dioperasi) dan sisanya dapat tetap hidup seperti orang normal.

M. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit
lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai
prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status
nutrisi.
Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup.
Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien adalah sebagai
berikut:
1. Child A memiliki prognosis bertahan hidup 100%,
2. Child B memiliki prognosis bertahan hidup 80%, dan

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 26


3. Child C memiliki prognosis bertahan hidup 60%.

N. SKDI

Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.

2. Hepatitis B
A. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 27


peradangan hati akut atau kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau
kanker hati. Hepatitis B akut jika perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan
sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara
klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi selama 6 bulan.

B. Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-
42 nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan
rata-rata 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprote.
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial
dengan 3200 nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih
secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti
large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen
S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada
asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007). HBsAg dapat mengandung satu dari
sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg
ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan.
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang
mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan
terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel
host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus
ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker
hati.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 28


C. Epidemiologi
Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan
sekitar 400 juta orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan
prevalensi di Indonesia dilaporkan berkisar antara 3-17% (Hardjoeno, 2007).
Virus Hepatitis B diperkirakan telah menginfeksi lebih dari 2 milyar orang
yang hidup saat ini selama kehidupan mereka. Tujuh puluh lima persen dari
semua pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir Pasifik Barat.
Prevalensi infeksi VHB secara kronis di dunia terbagi menjadi tiga
area, yaitu tinggi (lebih dari 8%), intermediet (2-8%), dan rendah (kurang dari
2%). Asia Tenggara merupakan salah satu area endemik infeksi VHB kronis
yang tinggi. Sekitar 70-90% dari populasi terinfeksi VHB sebelum usia 40
tahun, dan 8-20% lainnya bersifat karier (WHO, 2002). Indonesia termasuk
negara endemik hepatitis B dengan jumlah yang terjangkit antara 2,5% sampai
36,17% dari total jumlah penduduk.
Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi
di seluruh provinsi di Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang:
0,2%- 1,9%). Hasil Riskesdas Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel
10.391 orang menunjukkan bahwa persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase
Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur 45- 49 tahun (11,92%), umur >60
13 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%), selanjutnya HBsAg
positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7% dan 9,3%).

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 29


Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi
virus Hepatitis B.

D. Penularan dan Faktor Resiko


Cara penularan VHB pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa dapat
terjadi melalui beberapa cara, yaitu kontak dengan darah atau komponen darah
dan cairan tubuh yang terkontaminasi melalui kulit yang terbuka seperti
gigitan, sayatan, atau luka memar. Virus dapat menetap di berbagai
permukaan benda yang berkontak dengannya selama kurang lebih satu
minggu, seperti ujung pisau cukur, meja, noda darah, tanpa kehilangan
kemampuan infeksinya. Virus hepatitis B tidak dapat melewati kulit atau
barier membran mukosa, dan sebagian akan hancur ketika melewati barier.
Kontak dengan virus terjadi melalui benda-benda yang bisa dihinggapi oleh
darah atau cairan tubuh manusia, misalnya sikat gigi, alat cukur, atau alat
pemantau dan alat perawatan penyakit diabetes. Resiko juga didapatkan pada
orang yang melakukan hubungan seks tanpa pengaman dengan orang yang
tertular, berbagi jarum saat menyuntikkan obat, dan tertusuk jarum bekas.
Virus dapat diidentifikasi di dalam sebagian besar cairan tubuh seperti
saliva, cairan semen, ASI, dan cairan rongga serosa merupakan penyebab
paling penting misalnya ascites. Kebanyakan orang yang terinfeksi tampak
sehat dan tanpa gejala, namun bisa saja bersifat infeksius.
Virus hepatitis B adalah virus yang berukuran besar dan tidak dapat
melewati plasenta sehingga tidak menginfeksi janin kecuali jika telah ada
kerusakan atau kelainan pada barier maternal-fetal seperti pada amniosintesis.
Namun wanita hamil yang terinfeksi VHB tetap dapat menularkan penyakit
kepada bayinya saat proses kelahiran. Bila tidak divaksinasi saat lahir akan
banyak bayi yang seumur hidup terinfeksi VHB dan banyak yang berkembang
menjadi kegagalan hati dan kanker hati di masa mendatang.
Hepatitis B adalah satu-satunya penyakit menular seksual yang dapat
diproteksi dengan vaksin. Darah bersifat infektif saat beberapa minggu
sebelum onset gejala pertama dan selama fase akut. Sifat infektif pada orang
yang mengalami infeksi kronis bervariasi mulai dari infeksius tinggi (HBeAg

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 30


positif) sampai sedikit infeksius (anti-Hbe positif). Semua orang beresiko
terinfeksi. Hanya orang yang telah divaksinasi lengkap atau orang yang punya
antibodi anti-HBs setelah terinfeksi VHB yang kebal terhadap infeksi VHB.
Pasien yang banyak mengalami infeksi menetap oleh VHB adalah orang
dengan immunodefisiensi kongenital atau didapat termasuk infeksi HIV,
orang dengan immunosupresi, dan pasien yang menjalani terapi obat
immunosupresif seperti steroid serta orang yang menjalani perawatan
hemodialisis. Infeksi VHB kronis terjadi pada 90% janin yang terinfeksi saat
kelahiran, 25-50% anak-anak usia 1-5 tahun, dan 1-5% pada anak usia lebih
dari 5 tahun dan dewasa.

E. Patogenesis
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase.
1. Fase Proliferatif, DNA VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan
pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi gen
HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas
I menyebabkan pengaktifan limfosit T CD8+ sitotoksik.
2. Fase Integratif, DNA virus meyatu kedalam genom pejamu. Seiring
dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi virus,
infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya
karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh
disregulasi pertumbuhan yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan
hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel
sitotoksik CD8+.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 31


Gambar Patogenesis imun pada virus hepatitis B
Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion
dihasilkan setiap hari. Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya virion
pada reseptor di permukaan sel hati. Setelah terjadi fusi membran, partikel
core kemudian ditransfer ke sitosol dan selanjutnya dilepaskan ke dalam
nucleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk ke dalam
nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang
kemudian akan terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA
yang pendek sehingga menjadi dua untai DNA yang sama panjang atau
covalently closed circle DNA (cccDNA). Proses selanjutnya adalah
transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa messenger RNA
(mRNA) yaitu mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 32


Gambar Siklus replikasi virus hepatitis B
Semua RNA VHB kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses
translasi menghasilkan protein envelope, core, polimerase, polipeptida X dan
pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs akan
menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah
pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation
yaitu penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse
transcription dimulai, DNA virus dibentuk kembali dari molekul RNA.
Beberapa core yang mengandung genom matang ditransfer kembali ke
nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk
mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi,
sebagian dari protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang membawa
protein envelope virus. Protein core memperoleh envelope lipoprotein yang
mengandung antigen surface L, M, dan S, yang selanjutnya ditransfer ke luar
sel

F. Patofisiologi
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus
Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 33


melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid.
Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya
adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi
virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi
mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena respon imunologik
penderita terhadap infeksi.
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap
sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan
kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan
faktor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus,
makin lengkap respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat
kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap
epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati.
Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restrictedCD8+ cell mengenali
fragmen peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan
ke permukaan sel hati oleh molekul Major HistocompabilityComplex (MHC)
kelas I. Proses berakhir dengan penghancuran sel secara langsung oleh
Limfosit T sitotoksik CD8+.

Perjalanan Klinis
Setelah terpapar VHB akan melewati periode inkubasi yang cukup
lama dan pada fase ini belum menampakkan gejala, setelah melewati fase
inkubasi akan diikuti dengan fase akut (akan dibahas kemudian) yang
berlangsung selama beberapa minggu atau bulan. Perjalanan penyakit pada
fase akut ini dapat dideteksi menggunakan petanda serologik.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 34


a. HBsAg akan terdeteksi sebelum gejala klinis muncul dan mencapai
puncak selama gejala-gejala klinis nyata dan kemudian akan menurun
sampai tidak terdeteksi lagi dalam 3-6 bulan.
b. Antibodi anti HBs belum terlihat sampai fase akut berakhir, bahkan sering
tidak terdeteksi sampai beberapa bulan setelah HBsAg tidak terdeteksi
lagi. Anti HBs dapat menetap sepanjang hidup pasien. Sehubungan
dengan pentingnya status imunitas seseorang terhadap VHB, pengetahuan
ini menjadi dasar dalam strategi pemberian vaksinasi menggunakan
HBsAg yang tidak infeksius.
c. HBeAg, VHB-DNA, dan DNA polymerase terdeteksi di dalam serum
segera setelah HBsAg terdeteksi dan semua petanda di atas merupakan
petanda yang signifikan akan adanya replikasi aktif virus tersebut. Adanya
HBeAg yang menetap merupakan petanda bahwa replikasi virus berlanjut
terus, petanda infektivitas virus tinggi dan kemungkinan berlanjut menjadi
hepatitis kronik. Adanya antibodi anti HBe atau disebut sebagai
serokonversi menandakan bahwa infeksi akut sudah mencapai puncak dan
semakin berkurang.
d. IgM anti-HBc akan terdeteksi dalam serum segera sebelum gejala klinis
muncul, bersamaan dengan peningkatan kadar serum aminotransferase
(merupakan indikasi adanya kerusakan sel hati). Setelah lebih dari sebulan
maka antibodi IgM anti HBc akan diganti dengan antibodi IgG Anti HBc.
Sama halnya anti VHA, dalam hal ini juga tidak ada metode spesifik untuk

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 35


mendeteksi IgG anti HBc, namun apabila tampak adanya penurunan IgM
anti HBc maka pada saat tersebut terjadi peningkatan kadar anti HBc total
di dalam serum.
Kadang-kadang infeksi yang terjadi berasal dari strain VHB mutan,
virus ini tidak membuat HBeAg namun berkompeten melakukan replikasi dan
mengekspresikan HBcAg (prevalensinya lebih dari 30% pada VHB di
Mediterania dan lebih dari 20% di Amerika). Pada pasien yang terinfeksi oleh
strain mutan, HBeAg sangat rendah atau tidak terdeteksi, walaupun kadar
DNA virus di dalam serum dapat diukur. Keadaan buruk yang kedua adalah
munculnya virus yang resisten terhadap status imun yang didapat dari
vaksinasi. Sebagai contoh tergantikannya asam amino arginin pada asam
amino 145 HBsAg dengan asam amino glycine, ternyata meningkatkan
kemampuannya secara bermakna merubah pengenalan antibodi anti HBsAg
terhadap HBsAg.
Imunitas bawaan dapat melindungi pejamu selama fase awal infeksi,
respons yang kuat dari CD4+ dan CD8+ spesifik terhadap infeksi VHB yang
mana limfosit tersebut memproduksi interferon y yang berkoreIasi dengan
perbarkan yang terjadi setelah infeksi akut. Berdasarkan penemuan akhir-
akhir ini dinyatakan bahwa kerusakan sel hati yang terjadi tidak secara
langsung oleh virus yang menginfeksi melainkan akibat sel T sitotoksik CD8+
yang merusak sel hati yang terinfeksi. Infeksi virus hepatitis B secara garis
besar dapat dicegah dengan vaksinasi dan penapisan donor darah, donor organ
dan donor jaringan.

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk infeksi akut hepatitis B mencakup:
1. Infeksi akut virus hepatitis A
2. Infeksi akut virus hepatitis C (HCV)
3. Hepatitis cytomegalovirus (CMV)
4. Hepatitis virus Epstein-Barr (EBV)
5. Hepatitis virus herpes simplex (HSV)
6. Hepatitis alkoholik akut

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 36


7. Hepatitis imbas obat
8. Hepatitis autoimun
9. Koinfeksi hepatitis D dan hepatitis B

Diagnosis banding untuk infeksi kronik hepatitis B antara lain:


1. Infeksi kronik HCV
2. Obstruksi bilier
3. Penyakit hati metastatik

H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung
ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa
adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis,
gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang
lebih berat.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan
ratarata 60-90 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya
gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise
umum, mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan
anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya
ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 37


4. Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan
sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus
perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya menjadi
fullminant.
Infeksi VHB memiliki manifestasi klinik yang berbeda-beda bergantung
pada usia pasien saat terinfeksi, status imun, dan derajat penyakit. Fase
inkubasi yang terjadi selama 6-24 minggu, gejala yang timbul pada pasien
dapat merasa tidak baik atau dengan mungkin mual, muntah, diare, anoreksia,
dan sakit kepala. Pasien dapat menjadi kekuningan, demam ringan, dan hilang
nafsu makan. Terkadang infeksi VHB tidak ada kekuningan dan gejala yang
nyata yang dapat diidentifikasi dengan deteksi biokimia atau serologi virus
spesifik pada darah penderita.
Perjalanan penyakit hepatitis B dapat berkembang menjadi hepatitis akut
maupun hepatitis kronis. Hepatitis B akut terjadi jika perjalanan penyakit
kurang dari 6 bulan sedangkan hepatitis B kronis bila penyakit menentap,
tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium, atau pada gambaran
patologi anatomi selama 6 bulan. Hepatitis B akut memiliki onset yang
perlahan yaitu ditandai dengan gejala hilang nafsu makan, diare dan muntah,
letih (malaise), rasa sakit pada otot, tulang 18 sendi, demam ringan, dan rasa
tidak nyaman pada perut bagian atas.
Setelah 2-6 hari urin menjadi gelap, tinja menjadi lebih pucat, dan timbul
ikterus. Sindrom demam, atralgia, artritis, dan ruam urtikaria atau
makulopapular terjadi pada 10% pasien sebelum onset ikterus. Pada anak-
anak, sindrom ini mungkin lebih jelas dan disebut akrodermatitis papular
(sindrom Gianotti). Biasa terjadi hepatomegali yang nyeri tekan dan licin serta
splenomegali pada 15% kasus. Penyakit yang akut lebih sering terjadi pada
orang dewasa.
Banyak pasien dewasa pulih secara komplit dari infeksi VHB, namun 5-
10% akan tidak total bersih dari virus akibat gagal memberikan tanggapan
imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B perisiten, dapat bersifat

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 38


karier inaktif atau hepatitis kronis yang tidak menunjukkan gejala, tapi infeksi
ini tetap menjadi sangat serius dan dapat mengakibatkan kerusakan hati atau
sirosis, kanker hati dan kematian.
Banyaknya jumlah virus yang menginfeksi dan usia pasien yang terinfeksi
merupakan faktor penting yang menentukan hepatitis B akut atau kronis.
Hanya sedikit proporsi infeksi VHB akut yang terlihat secara klinis. Kurang
dari 10% anak dan 30-50% dewasa dengan infeksi VHB akut yang mengalami
penyakit ikterik. Banyak kasus hepatitis B akut yang subklinik, dan <1% kasus
yang simptomatik ialah fulminan. Bentuk akut sering mengalami perbaikan
spontan setelah 4-8 minggu sakit. Banyak pasien mengalami perbaikan tanpa
akibat yang signifikan dan tanpa rekuren.

I. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, dan penunjang. Dari anamnesis umumnya tanpa keluhan,
perlu digali riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, dan
riwayat sakit kuning sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan
hepatomegaly. Fase ikterik pada hepatitis virus akut dimulai biasanya pada
sepuluh hari dari gejala awal dengan tanda urin gelap, diikuti kekuningan
pada membran mukosa, konjungtiva, sklera, dan kulit. Sekitar 4-12 minggu
setelahnya, kekuningan menghilang dan perbaikan penyakit dengan
pembangunan antibodi protektif yang natural (anti-HBs) pada 95% dewasa.
Penanda imunologi Hepatitis B adalah dengan mendeteksi antigen
dan antibodi spesifik virus hepatitis B. Antigen pertama yang muncul
adalah antigen surface (HBsAg). Antigen ini muncul dua minggu sebelum
timbul gejala klinik, menandakan bahwa penderita dapat menularkan VHB
ke orang lain, dan biasanya menghilang pada masa konvalesen dini.
Apabila virus aktif bereplikasi di hepatosit, maka penanda yang selanjutnya
muncul adalah antigen envelope (HBeAg). Terdeteksinya antigen ini
menandakan bahwa orang tersebut dalam keadaan sangat infeksius dan
selalu ditemukan pada semua infeksi akut. Titer HbeAg berkorelasi dengan
kadar DNA VHB.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 39


Antigen lain yaitu antigen core (HBcAg) yang hanya ada di dalam
hepatosit sehingga tidak dapat dideteksi dalam serum. Namun yang bisa
dideteksi yaitu antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi ini dapat
terdeteksi segera setelah timbul gambaran klinis hepatitis dan menetap
untuk seterusnya. Antibodi ini merupakan penanda kekebalan yang paling
jelas didapat dari infeksi VHB, bukan dari vaksinasi. Antibodi ini terbagi
menjadi fragmen IgM dan IgG yang merupakan penanda untuk mendeteksi
infeksi baru atau infeksi yang sudah lama. IgM anti-HBc terlihat pada awal
infeksi dan bertahan lebih dari 6 bulan. Sedangkan adanya predominansi
antibodi IgG anti-HBc menunjukkan kesembuhan dari infeksi VHB secara
alamiah di masa yang sudah lama (6 bulan) atau infeksi VHB kronis (Price
& Wilson, 2005).

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 40


Antibodi terhadap HBeAg (anti-Hbe) muncul pada hampir semua
infeksi VHB dan berkaitan dengan hilangnya virus-virus yang bereplikasi
dan menurunnya daya tular. Antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs) akan
terjadi setelah infeksi alamiah atau dapat ditimbulkan oleh imunisasi.
Antibodi ini timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk
memberikan kekebalan jangka panjang. Hepatitis akut memiliki window
periode, yaitu saat HBsAg sudah tidak terdeteksi namun anti-HBs belum
terbentuk. Antibodi anti-HBs mulai dihasilkan pada minggu ke-32,
sedangkan HBsAg sudah tidak ditemukan sejak minggu ke-24.
Infeksi VHB secara akut memiliki dua fase siklus yaitu fase
replikasi dan fase integratif. Pada fase replikasi, kadar HBsAg (hepatitis
B surface antigen), HBV DNA, HBeAg, aspartate aminotransferase
(AST) dan alanine aminotransferase (ALT) serum akan meningkat,
sedangkan kadar anti-HBs dan anti HBe masih negatif (Hazim, 2010).
Peningkatan aminotransferase terutama ALT memiliki nilai yang
bervariasi mulai dari ringan-sedang dengan peningkatan 3-10 kali lipat
hingga peningkatan tajam lebih dari 100 kali lipat. Pada lebih dari 90%
pasien terjadi peningkatan ALT dari normal menjadi 200 IU/ml. Selain itu
juga terjadi peningkatan bilirubin serum, albumin, gammaglobulin
meningkat ringan, dan waktu protrombin memanjang.
Pada fase integratif keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg, HBV
DNA, HBeAg dan ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan antibodi
terhadap antigen yaitu anti HBs dan anti HBe menjadi positif
(serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita
hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa di mana sekitar 95-97%
infeksi hepatitis B akut akan sembuh karena imunitas tubuh dapat
memberikan tanggapan adekuat.
Hepatitis B kronis ditandai dengan HBsAg positif lebih dari 6 bulan
di dalam serum, tingginya kadar HBV DNA dan berlangsungnya proses
nekroinflamasi kronis hati. Karier HBsAg inaktif diartikan sebagai infeksi
HBV persisten hati tanpa nekroinflamasi. Sedangkan hepatitis B kronis

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 41


eksaserbasi adalah keadaan klinis yang ditandai dengan peningkatan
intermiten ALT lebih dari 10 kali batas atas nilai normal.
Menurut WHO (2002), terdapat tiga fase replikasi virus yang terjadi
selama infeksi VHB terutama pada pasien dengan hepatitis B kronis, yaitu:
1. Fase replikasi tinggi. Pada tahap ini HBsAg, HBeAg, dan DNA virus
dapat terdeteksi di serum. Kadar aminotransferase meningkat, dan
aktivitas inflamasi nyata secara histologis. Pada fase ini, resiko
menjadi sirosis tinggi.
2. Fase replikasi rendah. Tahap ini mulai hilangnya HBeAg, menurun
atau hilangnya konsentrasi DNA VHB, dan mulai tampak anti-Hbe.
Secara histologis tampak penurunan aktivitas inflamasi yang jelas.
Pemeriksaan serologi mengalami serokonversi seperti DNA VHB dan
HBeAg mulai tergantikan oleh antibodi.
3. Fase nonreplikasi. Penanda replikasi virus tidak ada dan inflamasi
berkurang.
Pemeriksaan DNA dari virus diperlukan sebagai pertanda yang paling
sensitif terhadap replikasi virus serta menunjukkan derajat penularan yang
tinggi. DNA VHB dapat dijumpai pada serum dan hati setelah HBsAg
menghilang, khususnya pada pasien dalam terapi antiviral, sebagai
indikator yang baik untuk kadar viremia dan pada beberapa penelitian
berkorelasi dengan kadar transaminase serum serta paralel dengan HBsAg
(Yeh, 2002). Karier hepatitis B merupakan individu dengan hasil
pemeriksaan HBsAg positif pada sedikitnya dua kali pemeriksaan yang
berjarak 6 bulan, atau hasil pemeriksaan HBsAg positif tetapi IgM anti-
HBc nya negatif dari satu spesimen tunggal.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat membantu diagnosis
hepatitis B adalah ultrasonografi abdomen di mana tampak gambaran
hepatitis kronis. Biopsi hati dapat menunjukkan gambaran peradangan dan
fibrosis hati (Mustofa & Kurniawaty, 2013). Tujuan pemeriksaan histologi
adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis
penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral.
Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm (ukuran

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 42


panjang) dan 1,2-2 mm (ukuran diameter) baik menggunakan jarum
Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering
digunakan adalah dengan Histologic Activity Index score.

J. Tatalaksana
Menurut Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) tahun 2006,
tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Hal ini akan
mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau
mengurangi nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan jangka pendek
adalah mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati,
menghilangkan VHB-DNA (dengan serokonversi HBeAg ke anti-HBe
pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12
bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan jangka panjang adalah mencegah
terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati,
perkembangan ke arah sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular, dan pada
akhirnya memperpanjang usia.
Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi VHB akut. Penggunaan
adrenokortikosteroid untuk manajemen hepatitis B akut yang belum
komplikasi tidak diindikasikan karena tidak ada efek perbaikan terhadap
proses penyakit yang mendasarinya dan dapat meningkatkan angka relaps.
Pengobatan awal hepatitis B akut dengan steroid dapat membuat infeksi
menjadi menetap. Terapi hepatitis B akut seharusnya adalah suportif dan
memelihara kenyamanan dan keseimbangan nutrisi yang adekuat. Pada
hepatitis B akut, tirah baring merupakan pengobatan utama.
Terapi kortikosteroid digunakan pada pasien hepatitis kronis aktif
yang simptomatik, HBsAg negatif, dan yang memiliki lesi histologi yang
parah pada biopsi hati. Pada hepatitis B kronis, pengobatan dapat berupa
antivirus atau melalui peningkatan sistem imun. Alfa-interferon
memperkuat aktvitas sel T dalam melawan hepatosit terinfeksi.
Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi VHB DNA, normalisasi ALT,
dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg positif dan HbeAg negatif

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 43


atau VHB DNA positif. Pada penderita dengan HbeAg positif yang diterapi
selama satu tahun dengan lamivudine dengan dosis 100 mg per hari
menghasilkan serokonversi menjadi anti-Hbe. Lamivudin memiliki
keuntungan yaitu sama aktifnya baik pada muatan precore maupun pada
strain virus liar. Lamivudin dapat menimbulkan resistensi pada pasien yang
tidak memiliki serokonversi dalam 1 tahun.
Adefovir dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosin
monofosfat setelah menjadi bentuk aktifnya akan bekerja langsung
menghambat DNA polimerase dengan tempat ikatan yang berbeda dengan
lamivudin. Adefo difosfat bekerja menghambat VHB polimerase dengan
berkompetisi langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat
dan setel, berintegrasi dengan VHB DNA sehingga pembentukan rantai
DNA virus hepatitis B terhenti. Terapi dengan adefovir dipivoxil terbukti
memberikan perbaikan histologis yang sangat bermakna pada kelompok
penderita hepatitis B dengan hasil serokonversi HBeAg, penurunan VHB-
DNA maupun normalisasi ALT yang jauh lebih tinggi dibandingkan
plasebo. Penggunaan adefovir dipivoxil dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan untuk pengobatan hepatitis B pada kasus baru maupun yang sudah
resisten serta terbukti sebagai penyelamat dalam pengobatan dengan
lamivudine. Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir adalah 10
mg per-hari. Efek samping penggunaan adefovir jika digunakan dosis
tinggi yaitu sebesar 30 mg per-hari adalah gagal ginjal.
Selain itu, terdapat bukti baru bahwa pengobatan dengan interferon
selama 12 bulan dapat memperbaiki angka serokonversi HbeAg. Penderita
hepatitis anak dengan ALT tinggi memberikan respons terhadap IFN-α
dengan angka keberhasilan yang sama dengan orang dewasa. Lama terapi
interferon adalah 4 hingga 6 bulan. Penggunaan interferon dapat
menimbulkan efek samping berupa sindrom menyerupai influenza, supresi
sumsum tulang, depresi, dan alopesia. Interferon tidak boleh diberikan pada
pasien dengan sirosis karena dapat terjadi perburukan fungsi hati.
Pegylated interferon memiliki mekanisme kerja ganda yaitu
sebagai imunomodulator dan antivirus. Sebagai imunomodulator,

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 44


pegylated interferon akan mengaktivasi makrofag, sel natural killer (NK),
dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi yang
akan meningkatkan respon imun hospes untuk melawan virus hepatitis B.
Sedangkan aktivitas antivirus dilakukan dengan menghambat replikasi
virus hepatitis B secara langsung melalui aktivasi endo-ribonuklease,
elevasi protein kinase, dan induksi 2’,5’-oligodenylate synthetase. Pada
saat ini yang telah diterima sebagai obat untuk hepatitis B Kronis adalah
pegylated interferon α-2a.
Pada kasus hepatitis fulminan diperlukan perawatan intensif. Terapi
transplantasi hati dapat mengalami komplikasi akibat kemungkinan
reinfeksi cangkok dari lokasi ekstrahepatik. Transplantasi hati untuk
penyakit hati dekompensata tahap akhir dapat berhasil pada pasien tertentu,
meskipun reinfeksi hati dari ekstrahepatik hampir selalu terjadi. Supresi
replikasi virus pada saat ini penting untuk melindungi dari hepatitis pasca
transplantasi.

K. Komplikasi
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis
B akut. Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut.
Kebanyakan penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala
hepatitis B akut yang jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang
paling ditakuti karena sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen
kasus hepatitis virus fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus
hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D
atau hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis
fulminan yang berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi
atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah
transplantasi hati
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan
oleh jaringan parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama
akan mengubah struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 45


sel-sel hati akan mengalami kerusakan yang menyebabkan fungsi hati
mengalami penurunan bahkan kehilangan fungsinya.

L. Prognosis
Mortalitas keseluruhan dari VHB akut adalah 1-3%, namun 25-30%
pasien karier kronis akan mengalami hepatitis kronis dengan
nekroinflamasi, 25% dari pasien tersebut akan mengalami sirosis dan/atau
hepatoma. Median harapan hidup setelah onset sirosis dekompensata
adalah kurang dari 5 tahun dan 1-3% berkembang menjadi hepatoma setiap
tahun.
Virus hepatitis B menyebabkan hepatitis akut dengan pemulihan
dan hilangnya virus, hepatitis kronis nonprogresif, penyakit kronis
progresif yang berakhir dengan sirosis, hepatitis fulminan dengan nekrosis
hati masif, keadaan pembawa asimtomatik, dengan atau tanpa penyakit
subklinis progresif. Virus ini juga berperan penting dalam terjadinya
karsinoma hepatoselular (Kumat et al, 2012). Setiap tahun, lebih dari
600.000 orang meninggal diakibatkan penyakit hati kronik oleh VHB
belanjut ke sirosis, kegagalan hati dan hepatocellular carcinoma.

M. SKDI

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 46


Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal,
dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik
dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat
darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.

3. Anatomi, Fisiologi Sistem Hepatobilier


A. Anatomi Hepar

Hepar merupakan kelenjar eksokrim terbesar yang memiliki fungsi


untuk menghasilkan empedu, serta juga memiliki fungsi endokrin. Secara

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 47


garis besar, hepar dibagi menjadi 2 lobus, dextra (kanan-besar) dan sinistra
(kiri-kecil), hepar dilapisi oleh kapsula fibrosa yang disebut Capsula Glisson.
Secara holotopi, hepar terletak di regio hypochondrium dextra, regio
epigastrium, dan regio hypochondrium sinistra. Secara skeletopi, hepar
terletak setinggi costa V pada linea medioclavicularis dextra, setinggi spatium
intercosta V di linea medioclavicularis sinistra, di mana bagian caudal dextra
(bawah kanan)-nya mengikuti arcus costarum (costa IX - VIII) dan bagian
caudal sinistra (bawah kiri)-nya mengikuti arcus costarum (costa VIII - VII).
Secara syntopi, hepar berbatasan dengan diaphragma (facies diaphragmatica
hepatis) dan berbatasan dengan organ-organ lain seperti gaster, pars superior
duodeni, glandula suprarenalis dexter, sebagian colon transversum, flexura
coli dextra, vesica fellea, oesophagus, dan vena cava inferior (facies visceralis
hepatis).
Hepar terbagi menjadi 2 lobus yaitu lobus hepatis dextra dan lobus
hepatis sinistra oleh incisura umbilikalis, ligamentum falciforme hepatis, dan
fossa sagittalis sinistra.
Pada lobus hepatis dextra, terdapat fossa sagittalis sinistra, fossa
sagittalis dextra, dan porta hepatis. Fossa sagittalis sinistra hepatis terdiri dari
fossa ductus venosi dan fossa venae umbilicalis. Fossa sagittalis dextra terdiri
dari fossa vesicae fellea dan fossa venae cavae. Porta hepatis membentuk
lobus quadratus hepatis dan lobus caudatus hepatis.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 48


Lobus Quadratus Hepatis memiliki batas anterior pada margo anterior
hepatis, batas dorsal pada porta hepatis, batas dextra pada fossa vesicae fellea,
dan batas sinistra pada venae umbilicalis. Pada lobus quadratus hepatis ini,
terdapat cekungan yang disebut impressio duodeni lobi quadrati.
Lobus Caudatus Hepatis (Spigeli) memiliki batas ventro-caudal pada
porta hepatis, batas dextra pada fossa venae cavae, dan batas sinistra pada
fossa ductus venosi. Pada lobus caudatus hepatis ini terdapat tonjolan yaitu
processus caudatus dan processus papillaris.
Lobus Hepatis Sinistra adalah lobus hepar yang berada di sebelah kiri
ligamentum falciforme hepatis. Lobus ini lebih kecil dan pipih jika
dibandingkan dengan lobus hepatis dextra. Letaknya adalah di regio
epigastrium dan sedikit pada regio hyochondrium sinistra. Pada lobus ini,
terdapat impressio gastrica, tuber omentale, dan appendix fibrosa hepatis.
Sekarang, kita akan membahas sedikit tentang facies hepatis. Facies
hepatis terdiri dari facies diaphragmatica dan facies visceralis hepatis. Facies
diaphragmatica (sisi yang berhadapan dengan diaphragma) pada facies
anteriornya (sisi depan facies diaphragmatica) terdiri dari margo anterior
hepatis dan perlekatan ligamentum falciforme hepatis, sedangkan pada facies
superiornya (sisi atas facies diaphragmatica) terdapat impressio cardiaca dan
pars affixa hepatis (bare area).

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 49


Porta hepatis terdiri dari vena porta, ductus cysticus, ductus hepaticus,
dan ductus choledochus, arteri hepatica propria dextra dan arteri hepatica
sinistra, serta nervus dan pembuluh lymphe.
Ligamenta hepatis terdiri dari:
1. Ligamentum falciforme hepatis
2. Omentum minus
3. Ligamentum coronarium hepatis
4. Ligamentum triangulare hepatis
5. Ligamentum teres hepatis
6. Ligamentum venosum Arantii
7. Ligamentum hepatorenale
8. Ligamentum hepatocolicum
Ligamentum falciforme hepatis merupakan reflexi peritoneum parietale
yang terdiri dari 2 lembaran (lamina dextra dan lamina sinistra) serta
membentuk lamina anterior ligamentum coronarii hepatis sinistrum dan
dextrum. Pada tepi inferior ligamentum ini terdapat ligamentum teres hepatis
dan vena para umbilicalis.
Omentum minus membentang dari curvatura ventriculi minor dan pars
superior duodeni menuju ke fossa ductus venosi dan porta hepatis.
Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenale merupakan
bagian dari omentum minus ini.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 50


Fiksasi hepar dilakukan oleh vena hepatica, desakan negatif (tarikan)
cavum thoracis, desakan positif (dorongan) cavum abdominis, dan oleh
ligamenta yang telah disebutkan sebelumnya, diantaranya:
1. Lig.falciforme hepatis
2. Omentum minus
3. Lig.Triangulare hepatis
4. Lig.coronarium hepatis
5. Lig.Teres hepatis
6. Lig.venosum Arantii
Vascularisasi hepar oleh:
1. Circulasi portal
2. A. Hepatica communis
3. Vena portae hepatis
4. Vena hepatica
Arteri hepatica communis berasal dari a.coeliaca. Arteri ini melewati lig.
hepatoduodenale (bersama ductus choledochus, v.portae, pembuluh lymphe
dan serabut saraf) dan bercabang menjadi a. hepatica propria dextra dan
a.hepatica propria sinistra.
Vena portae hepatis dibentuk oleh v. mesenterica superior dan v.lienalis.
Vena ini berjalan melewati lig. hepatoduodenale, bercabang menjadi ramus
dexter dan ramus sinister. Innervasi hepar oleh:
1. Nn. Splanchnici (simpatis)
2. N. Vagus dexter et sinister (chorda anterior dan chorda posterior), dan
3. N. Phrenicus dexter (viscero-afferent)
Apparatus excretorius hepatis (oleh karena hepar sebenarnya adalah suatu
kelenjar raksasa) adalah:
1. Vessica fellea
2. Ductus cysticus
3. Ductus hepaticus, dan
4. Ductus choledochus

Vesica biliaris (fellea)

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 51


Vesica biliaris (fellea) adalah suatu kantung berbentuk buah pir yang
terletak pada facies visceralis lobus dexter hepatis di dalam suatu fossa di
antara lobus dexter hepatis dan lobus quadratus. Struktur ini memiliki:
- Suatu ujung yang membulat (fundus vesicae yang terletak pada margo
inferior hepar:
- Suatu bagian besar di dalam fossa (corpus vesicae biliaris). yang dapat
terletak di depan colon transversum dan pars superior duodeni dan
- Suatu bagian yang sempit (collum vesicae biliaris) dengan tunica mucosa
vesicae biliaris yang membentuk lipatan spiral.
Suplai arterial untuk vesica biliaris adalah arteria cystica cabang dari
arteria hepatica dextra (ramus dexter arteria hepatica propria).
Vesica biliaris menerima, mengkonsentrasikan, dan menyirnpan empedu
dari hepar.

Sistem ductus untuk empedu

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 52


Sistem ductus untuk saluran empedu dirnulai dari hepar, berhubungan
dengan vesica biliaris/fellea, dan bermuara ke dalam pars descendens duodeni.
Penggabungan ductusductus dimulai dari parenchyma hepar dan berlanjut
sampai ke ductus hepaticus dexter dan sinister terbentuk. Ductus-ductus
tersebut mengalirkan masing-masing lobus hepatis.
Kedua ductus hepaticus tersebut bergabung membentuk ductus
hepaticus communis, yang berjalan, dekat dengan hepar, bersama arteria
hepatica propria dan vena portae hepatis di dalam tepi bebas omentum minus.
Saat ductus hepaticus communis berlanjut ke bawah, struktur ini bergabung
dengan ductus cysticus dari vesica biliaris/fellea.
Keduanya membentuk ductus hiliaris/choledochus. Pada titik ini,
ductus biliaris terletak di kanan arteria hepatica propria dan biasanya di sisi
kanan dan anterior dari, vena portae hepatis di dalam tepi bebas omentum
minus dihat. Foramen omentale/epipioicum berada di posterior dari struktur-
struktur tersebut.
Ductus biliaris berlanjut ke bawah, lewat di posterior pars superior
duodeni sebelum bergabung dengan ductus pancreaticus untuk memasuki pars
descendens duodeni pada papilla duodeni major

Vena portae hepatis


Vena portae hepatis adalah jaiur akhir bersama untuk transportasi
darah vena dari lien, pancreas, vesica biliaris/fellea, dan pars abdominalis
tractus gastrointestinalis. Vena ini terbentuk dari gabungan antara vena
splenica/lienalis dan vena mesenterica superior yang terletak di posterior dari
collum pancreatis pada level vertebra LII. Naik menuju hepar, vena portae
hepatis berjalan di posterior dari pars superior duodeni dan masuk ke tepi
kanan omentum minus.
Saat vena ini melewati bagian tepi kanan omentum minus, vena
terletak di anterior dari foramen omentale dan di posterior dari ductus
choledochus/biliaris, yang berada sedikit di sisi kanan, dan arteria hepatica
propria, yang sedikit berada di sisi kirinya.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 53


Saat mendekati hepar, vena portae hepatis terbagi menjadi ramus
dextra dan ramus sinistra, yang masuk ke dalam parenchyma hepatis. Aliran
untuk vena portae hepatis termasuk dari:
- venae gastricae dextra dan sinistra yang merupakan aliran vena untuk
curvatura gastrica/ ventriculi minor dan esophagus pars abdominalis
- venae cysticae dari vesica biliaris/fellea, dan
- venae paraumbilicaIes, yang normalnya venae kecil yang berhubungan
dengan vena umbilicalis, dan berhubungan dengan venae pada dinding
anterior abdomen.

B. Fisiologi Hepar
Hepar adalah suatu organ besar, dapat meluas, dan organ venosa
yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna di
saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat
kekurangan volume darah. Selain itu, hepar juga merupakan suatu kumpulan
besar sel reaktan kimia dengan laju metabolisme yang tinggi, saling
memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang
lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh
lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain.6 Fungsi
metabolisme yang dilakukan oleh hepar adalah10 :
1. Metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar
melakukan fungsi sebagai berikut :
a. Menyimpan glikogen dalam jumlah besar
b. Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
c. Glukoneogenesis
d. Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara
metabolisme karbohidrat
Hepar terutama penting untuk mempertahankan
konsentrasi glukosa darah normal. Penyimpanan glikogen
memungkinkan hepar mengambil kelebihan glukosa dari darah,
menyimpannya, dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 54


bila konsentrasi glukosa darah rendah. Fungsi ini disebut fungsi
penyangga glukosa hepar.
2. Metabolisme lemak. Beberapa fungsi spesifik hepar dalam metabolisme
lemak antara lain :
a. Oksidasi asam lemak untuk menyuplai energy bagi fungsi tubuh
yang lain
b. Sintesis kolesterol, fosfolipid, dan sebagian besar lipoprotein
c. Sintesis lemak dari protein dan karbohidrat
Hepar berperan pada sebagian besar metabolisme lemak. Kira-
kira 80 persen kolesterol yang disintesis didalam hepar diubah menjadi
garam empedu yang kemudian disekresikan kembali ke dalam
empedu, sisanya diangkut dalam lipoprotein dan dibawa oleh darah ke
semua sel jaringan tubuh. Fosfolipid juga disintesis di hepar dan
ditranspor dalam lipoprotein. Keduanya digunakan oleh sel untuk
membentuk membran, struktur intrasel, dan bermacam-macam zat
kimia yang penting untuk fungsi sel.
3. Metabolisme protein. Fungsi hepar yang paling penting dalam
metabolisme protein adalah sebagai berikut :
a. Deaminasi asam amino
b. Pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia dari cairan
tubuh
c. Pembentukan protein plasma
d. Interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari
asam amino
Diantara fungsi hepar yang paling penting adalah kemampuan
hepar untuk membentuk asam amino tertentu dan juga membentuk
senyawa kimia lain yang penting dari asam amino. Untuk itu, mula-
mula dibentuk asam keto yang mempunyai komposisi kimia yang
sama dengan asam amino yang akan dibentuk. Kemudian suatu radikal
amino ditransfer melalui beberapa tahap transaminasi dari asam amino
yang tersedia ke asam keto untuk menggantikan oksigen keto.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 55


4. Hepar merupakan tempat penyimpanan vitamin. Hepar mempunyai
kecenderungan tertentu untuk menyimpan vitamin dan telah lama
diketahui sebagai sumber vitamin tertentu yang baik pada pengobatan
pasien. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hepar adalah
vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 juga
disimpan secara normal
5. Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Sel hepar mengandung
sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung
dengan besi baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu,
bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan
dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di
dalam sel hepar sampai diperlukan.
Hepar memiliki aliran darah yang tinggi dan resistensi vaskuler yang
rendah. Kira-kira 1050 milimeter darah mengalir dari vena porta ke sinusoid
hepar setiap menit, dan tambahan 300 mililiter lagi mengalir ke sinusoid dari
arteri hepatika dengan total rata-rata 1350 ml/menit. Jumlah ini sekitar 27
persen dari sisa jantung. Rata-rata tekanan di dalam vena porta yang mengalir
ke dalam hepar adalah sekitar 9 mmHg dan rata-rata tekanan di dalam vena
hepatika yang mengalir dari hepar ke vena cava normalnya hampir tepat 0
mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa tahanan aliran darah melalui sinusoid
hepar normalnya sangat rendah namun memiliki aliran darah yang tinggi.
Namun, jika sel-sel parenkim hepar hancur, sel-sel tersebut digantikan oleh
jaringan fibrosa yang akhirnya akan berkontraksi di sekeliling pembuluh
darah, sehingga sangat menghambat darah porta melalui hepar. Proses
penyakit ini disebut sirosis hepatis, Sistem porta juga kadang-kadang
terhambat oleh suatu gumpalan besar yang berkembang di dalam vena porta
atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-tiba tersumbat, kembalinya
darah dari usus dan limpa melalui system aliran darah porta hepar ke sirkulasi
sistemik menjadi sangat terhambat, menghasilkan hipertensi portal.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 56


VI. Kerangka Konsep

VII. Kesimpulan
Mr. E, 38 tahun, menderita sirosis hepatis dekompensata et causa Hepatitis B.

Laporan Skenario C Blok 15 – Kelompok G4 57

Potrebbero piacerti anche