Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
Budi, a boy, 13 months, was hospitalized due to diarrhea. Four days before admission,
the patient had non-projectile vomiting 8 times a day. He vomited what he ate. Three days
before admission, the patient fot diarrhea 8 times a day around half glass in every
defecation, there was no blood and mucous/pus in it. The frequency of vomiting
decreased. But two days before admission the patient got bloody stool 12 times a day
aroung quarter glass in every defecation. The vomiting stopped. Along those 4 days, he
drank eagerly and was given ORS (oral rehydration solution). He also got mild fever.
Yesterday, he looked worse, lethargic, didn’t want to drink, still had diarrhea but no
vomiting. The amount of urination in 8 hours ago was less than usual. Budi’s family lives
in slum area.
Physical Examination
Patient looks severely ill, compos mentis but weak (lethargic), BP 70/50 mmHg, RR
38x/min, HR 144x/min regular but weak, body temperature 38,9°C, BW 10 kg, BH 75
cm
Head: Sunken frontanella, sunken eye, no tears drop, and dry mouth.
Thorax: similar movement on both side, retraction (-/-), vesicular breath sound, normal
heart soung.
Abdomen: flat, shuffle, bowel sound increases. Liver is palpable 1 cm below arcus costae
and xiphoid processus, spleen unpalpable. Pinch in the skin of the abdomen: very slowly
(longer than 2 seconds). Redness skin surrounding anal orifice.
Extremeties: cold hand and feet
Laboratory Examination
Hb 12,8 gr/dL, WBC 20.000/mm3, differential count 0/1/2/83/20/4.
Urine routine
Macroscopic: yellowish color,
Microscopic: WBC (-), RBC (-), protein (-), keton bodies (+).
Feces routine
Budi, a boy, 13 months, was hospitalized due Tidak sesuai harapan VVV
to diarrhea.
Four days before admission, the patient had Tidak sesuai harapan VV
non-projectile vomiting 8 times a day. He
vomited what he ate.
Three days before admission, the patient fot Tidak sesuai harapan VV
diarrhea 8 times a day around half glass in
every defecation, there was no blood and
mucous/pus in it. The frequency of vomiting
decreased.
But two days before admission the patient got Tidak sesuai harapan VV
bloody stool 12 times a day aroung quarter
glass in every defecation. The vomiting
stopped.
Along those 4 days, he drank eagerly and was Tidak sesuai harapan VV
given ORS (oral rehydration solution). He also
got mild fever.
Physical Examination V
Patient looks severely ill, compos mentis but
weak (lethargic), BP 70/50 mmHg, RR
Laboratory Examination V
Hb 12,8 gr/dL, WBC 20.000/mm3, differential
count 0/1/2/83/20/4.
Urine routine
Macroscopic: yellowish color,
Microscopic: WBC (-), RBC (-), protein (-),
keton bodies (+).
Feces routine
Macroscopic: water more than waste material,
blood (+), mucous (+) WBC: 20/HPF, RBC
full, bacteria (++), Entamoeba coli (+), fat (+)
2. Four days before admission, the patient had non-projectile vomiting 8 times
a day. He vomited what he ate.
a. Apa perbedaan muntah proyektil dan non-proyektil? (intan, alif, peksi)
b. Apa makna klinis pasien memuntahkan apa yang ia makan? (peksi, safira,
sandora
c. Bagaimana patofisiologi muntah non-proyektil? (safira, sandora, vania)
d. Apa saja akibat yang dapat disebabkan oleh muntah non-proyektil sebanyak
delapan kali? (sandora, vania, rafi)
3. Three days before admission, the patient got diarrhea 8 times a day around
half glass in every defecation, there was no blood and mucous/pus in it. The
frequency of vomiting decreased.
a. Berapa volume feces yang keluar pada hari itu? (vania, rafi, aldo)
b. Apa makna tidak ada pus/lendir dan darah di feses pasien? (rafi, aldo, bella)
c. Mengapa frekuensi muntah berkurang? (aldo, bella, afiya)
4. But two days before admission the patient got bloody stool 12 times a day
aroung quarter glass in every defecation. The vomiting stopped.
a. Mengapa terjadi BAB berdarah padahal sehari sebelumnya tidak? (bella,
afiya, icha)
b. Bagaimana patofisiologi BAB berdarah pada kasus? (afiya, icha, ale)
5. Along those 4 days, he drank eagerly and was given ORS (oral rehydration
solution). He also got mild fever.
a. Apa saja kandungan dari ORS? (peksi, safira, sandora)
b. Berapa jumlah ORS yang diberikan pada anak umur 13 bulan? (safira,
sandora, vania)
c. Bagaimana patofisiologi dari mild fever pada kasus? (sandora, vania, rafi)
d. Apa saja indikasi pemberian ORS? (vania, rafi, aldo)
7. The amount of urination in 8 hours ago was less than usual. Budi’s family
lives in slum area.
a. Berapa volume dan frekuensi urin normal anak umur 13 bulan? (bella, afiya,
icha)
b. Bagaimana hubungan tempat tinggal dengan keluhan yang dialami pasien?
(afiya, icha, ale)
8. Physical Examination
Patient looks severely ill, compos mentis but weak (lethargic), BP 70/50
mmHg, RR 38x/min, HR 144x/min regular but weak, body temperature
38,9°C, BW 10 kg, BH 75 cm
Head: Sunken frontanella, sunken eye, no tears drop, and dry mouth.
Thorax: similar movement on both side, retraction (-/-), vesicular breath
sound, normal heart soung.
9. Laboratory Examination
Hb 12,8 gr/dL, WBC 20.000/mm3, differential count 0/1/2/83/20/4.
Urine routine
Macroscopic: yellowish color,
Microscopic: WBC (-), RBC (-), protein (-), keton bodies (+).
Feces routine
Macroscopic: water more than waste material, blood (+), mucous (+) WBC:
20/HPF, RBC full, bacteria (++), Entamoeba coli (+), fat (+)
a. Apa interpretasi pemeriksaan lab pada kasus? (safira, sandora, vania)
b. Bagaimana mekanisme abnormalitas pemeriksaan lab pada kasus? (sandora,
vania, rafi)
HIPOTESIS
Budi, anak laki-laki umur 13 bulan, diduga menderita disentri dengan dehidrasi berat.
a. Apa algoritma penegakan diagnosis dari kasus? (icha, ale, intan)
b. Apa saja diagnosis banding pada kasus? (ale, intan, alif, icha)
c. Apa diagnosis kerja pada kasus? (intan, alif, peksi, icha)
d. Apa definisi penyakit pada kasus? (alif, peksi, safira)
e. Bagaimana etiologi dari penyakit? (peksi, safira, sandora)
V. Sintesis Ilmiah
1. Sirosis Hepatis
A. Definisi
B. Etiologi
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain:
1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
3. Virus hepatitis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
7. Zat toksik
Mayoritas penderita sirosis awalnya merupakan penderita penyakit
hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau penderita steatohepatitis
yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas. Beberapa
etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi parasit
(schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel
bilier, penyakit hati bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease,
penyakit granulomatosa (sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan
hipervitaminosis A), dan obstuksi aliran vena seperti sindrom Budd-Chiari
dan penyakit veno-oklusif.
Di Amerika Serikat, kecanduan alkohol adalah penyebab yang paling
sering dari sirosis hati. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus
hepatitis B merupakan penyebab tersering dari sirosis hati yaitu sebesar
4050% kasus, diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan
10-20% sisanya tidak diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus
bukan B dan C
E. Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat sel hati yang normal terkena racun atau
toksik yang kemudian meradang atau terjadi inflamasi. Proses inflamasi
membuat sel-sel darah putih teraktivasi menuju ke sel hati yang juga terdapat
banyak lemak. Selain itu, terjadi pembentukan ekstraseluler matriks pada hati
yang terdiri dari kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan, di mana sel yang
berperan adalah sel stellata. Selanjutnya, sel stellata akan membentuk jaringan
fibrotik sebagai proses penyembuhan dalam inflamasi. Namun, apabila toksik
tersebut selalu masuk ke dalam hati melalui berbagai faktor selama bertahun-
tahun, maka akan mengakibatkan kerusakan yang terus-menerus dan dapat
F. Patogenesis
Sirosis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis), sesuai
dengan etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan
tersebut masih sepenuhnya reversibel.
Ciri patologis dari sirosis adalah pengembangan jaringan parut yang
menggantikan parenkim normal, memblokir aliran darah portal melalui organ
dan mengganggu fungsi normal. Penelitian terbaru menunjukkan peran
penting sel stellata, tipe sel yang biasanya menyimpan vitamin A, dalam
pengembangan sirosis. Kerusakan pada parenkim hati menyebabkan aktivasi
sel stellata, yang menjadi kontraktil (myofibroblast) dan menghalangi aliran
G. Diagnosis Banding
Adapun beberapa diagnosis banding terkait dengan gejala klinis sirosis
hepatis adalah sebagai berikut:
1. Hipertensi Portal Intrahepatik: Fulminant hepatic failure, Veno-occlusive
disease
2. Hipertensi Portal Ekstrahepatik: Hepatic vein obstruction (ie, Budd-Chiari
syndrome), Congestive heart failure
3. Hipoalbuminemia: Sindroma Nefrotik
4. Protein-losing enteropathy: Malnutrisi
5. Miscellaneous disorders: Myxedema, Tumor Ovarium, Pancreatic
ascites, Biliaryascites
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang bisa didapatkan dari penderita sirosis
hepatis antara lain:
a. Pemeriksaan darah rutin. Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena
perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan
hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai
akibat hiperplenisme
b. SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST (aspartat
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase)
atau ALT (alanin aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu
tinggi. AST lebih meningkat disbanding ALT. Namun, bila enzim ini
normal, tidak mengeyampingkan adanya sirosis
c. Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal
atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis
sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
d. Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan
ALP. Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya
meninggi karena alcohol dapat menginduksi mikrosomal hepatic dan
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
e. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
f. Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan,
antigen bakteri dari sistem porta masuk ke jaringan limfoid yang
selanjutnya menginduksi immunoglobulin.
g. Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis factor
koagulan akibat sirosis
J. Tatalaksana
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi
ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan
yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan, dan penanganan
komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk
mengurangi progresi kerusakan hati.
1. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi :
a. Menghentikan penggunaan alcohol dan bahan atau obat yang
hepatotoksik
b. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal yang dapat
menghambat kolagenik
c. Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif
d. Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai
konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
e. Pada pentakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah
terjadinya sirosis
K. Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya.
Berikut berbagai macam komplikasi sirosis hati:
1. Perdarahan varises esofagus
Varises esophagus merupakan salah satu manifestasi hipertensi porta
yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien sirosis dengan varises
esophagus pecah menimbulkan perdarahan.
Risiko kematian akibat perdarahan varises esofagus tergantung pada
tingkat keparahan dari kondisi hati dilihat dari ukuran varises, adanya
tanda bahaya dari varises dan keparahan penyakit hati. Penyebab lain
perdarahan pada penderita sirosis hati adalah tukak lambung dan tukak
duodeni.
2. Ensefalopati hepatikum
Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik
akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan
hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang
berlanjut sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati
yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya
secara berganti-gantian.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
mendeteksi secara dini suatu penyakit yang dilakukan pada masa sakit
M. Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit
lain yang menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte juga untuk menilai
prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites, ensefalopati, dan status
nutrisi.
Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup.
Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien adalah sebagai
berikut:
1. Child A memiliki prognosis bertahan hidup 100%,
2. Child B memiliki prognosis bertahan hidup 80%, dan
N. SKDI
2. Hepatitis B
A. Definisi
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, suatu anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan
B. Etiologi
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-
42 nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan
rata-rata 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprote.
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial
dengan 3200 nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan
memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih
secara parsial protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti
large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen
S, yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada
asam amino 100-160 (Hardjoeno, 2007). HBsAg dapat mengandung satu dari
sejumlah subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg
ini menyediakan penanda epidemiologik tambahan.
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang
mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan
terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel
host secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus
ataupun host, dan belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker
hati.
E. Patogenesis
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase.
1. Fase Proliferatif, DNA VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan
pembentukan virion lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi gen
HBsAg dan HBcAg di permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas
I menyebabkan pengaktifan limfosit T CD8+ sitotoksik.
2. Fase Integratif, DNA virus meyatu kedalam genom pejamu. Seiring
dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi virus,
infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya
karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh
disregulasi pertumbuhan yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan
hepatosit terjadi akibat kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel
sitotoksik CD8+.
F. Patofisiologi
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus
Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar
kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus
Perjalanan Klinis
Setelah terpapar VHB akan melewati periode inkubasi yang cukup
lama dan pada fase ini belum menampakkan gejala, setelah melewati fase
inkubasi akan diikuti dengan fase akut (akan dibahas kemudian) yang
berlangsung selama beberapa minggu atau bulan. Perjalanan penyakit pada
fase akut ini dapat dideteksi menggunakan petanda serologik.
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk infeksi akut hepatitis B mencakup:
1. Infeksi akut virus hepatitis A
2. Infeksi akut virus hepatitis C (HCV)
3. Hepatitis cytomegalovirus (CMV)
4. Hepatitis virus Epstein-Barr (EBV)
5. Hepatitis virus herpes simplex (HSV)
6. Hepatitis alkoholik akut
H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung
ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa
adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis,
gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang
lebih berat.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan
ratarata 60-90 hari.
2. Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya
gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise
umum, mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dan
anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya
ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum, kadang
diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.
3. Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi.
Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
I. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, dan penunjang. Dari anamnesis umumnya tanpa keluhan,
perlu digali riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, dan
riwayat sakit kuning sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan
hepatomegaly. Fase ikterik pada hepatitis virus akut dimulai biasanya pada
sepuluh hari dari gejala awal dengan tanda urin gelap, diikuti kekuningan
pada membran mukosa, konjungtiva, sklera, dan kulit. Sekitar 4-12 minggu
setelahnya, kekuningan menghilang dan perbaikan penyakit dengan
pembangunan antibodi protektif yang natural (anti-HBs) pada 95% dewasa.
Penanda imunologi Hepatitis B adalah dengan mendeteksi antigen
dan antibodi spesifik virus hepatitis B. Antigen pertama yang muncul
adalah antigen surface (HBsAg). Antigen ini muncul dua minggu sebelum
timbul gejala klinik, menandakan bahwa penderita dapat menularkan VHB
ke orang lain, dan biasanya menghilang pada masa konvalesen dini.
Apabila virus aktif bereplikasi di hepatosit, maka penanda yang selanjutnya
muncul adalah antigen envelope (HBeAg). Terdeteksinya antigen ini
menandakan bahwa orang tersebut dalam keadaan sangat infeksius dan
selalu ditemukan pada semua infeksi akut. Titer HbeAg berkorelasi dengan
kadar DNA VHB.
J. Tatalaksana
Menurut Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) tahun 2006,
tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk
mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB. Hal ini akan
mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau
mengurangi nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan jangka pendek
adalah mengurangi inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati,
menghilangkan VHB-DNA (dengan serokonversi HBeAg ke anti-HBe
pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12
bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan jangka panjang adalah mencegah
terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati,
perkembangan ke arah sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular, dan pada
akhirnya memperpanjang usia.
Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi VHB akut. Penggunaan
adrenokortikosteroid untuk manajemen hepatitis B akut yang belum
komplikasi tidak diindikasikan karena tidak ada efek perbaikan terhadap
proses penyakit yang mendasarinya dan dapat meningkatkan angka relaps.
Pengobatan awal hepatitis B akut dengan steroid dapat membuat infeksi
menjadi menetap. Terapi hepatitis B akut seharusnya adalah suportif dan
memelihara kenyamanan dan keseimbangan nutrisi yang adekuat. Pada
hepatitis B akut, tirah baring merupakan pengobatan utama.
Terapi kortikosteroid digunakan pada pasien hepatitis kronis aktif
yang simptomatik, HBsAg negatif, dan yang memiliki lesi histologi yang
parah pada biopsi hati. Pada hepatitis B kronis, pengobatan dapat berupa
antivirus atau melalui peningkatan sistem imun. Alfa-interferon
memperkuat aktvitas sel T dalam melawan hepatosit terinfeksi.
Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi VHB DNA, normalisasi ALT,
dan perbaikan secara histologi baik pada HBeAg positif dan HbeAg negatif
K. Komplikasi
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis
B akut. Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut.
Kebanyakan penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala
hepatitis B akut yang jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang
paling ditakuti karena sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen
kasus hepatitis virus fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus
hepatitis B akut fulminan terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D
atau hepatitis C. Angka kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis
fulminan yang berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi
atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah
transplantasi hati
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan
oleh jaringan parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama
akan mengubah struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka
L. Prognosis
Mortalitas keseluruhan dari VHB akut adalah 1-3%, namun 25-30%
pasien karier kronis akan mengalami hepatitis kronis dengan
nekroinflamasi, 25% dari pasien tersebut akan mengalami sirosis dan/atau
hepatoma. Median harapan hidup setelah onset sirosis dekompensata
adalah kurang dari 5 tahun dan 1-3% berkembang menjadi hepatoma setiap
tahun.
Virus hepatitis B menyebabkan hepatitis akut dengan pemulihan
dan hilangnya virus, hepatitis kronis nonprogresif, penyakit kronis
progresif yang berakhir dengan sirosis, hepatitis fulminan dengan nekrosis
hati masif, keadaan pembawa asimtomatik, dengan atau tanpa penyakit
subklinis progresif. Virus ini juga berperan penting dalam terjadinya
karsinoma hepatoselular (Kumat et al, 2012). Setiap tahun, lebih dari
600.000 orang meninggal diakibatkan penyakit hati kronik oleh VHB
belanjut ke sirosis, kegagalan hati dan hepatocellular carcinoma.
M. SKDI
B. Fisiologi Hepar
Hepar adalah suatu organ besar, dapat meluas, dan organ venosa
yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna di
saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat
kekurangan volume darah. Selain itu, hepar juga merupakan suatu kumpulan
besar sel reaktan kimia dengan laju metabolisme yang tinggi, saling
memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem yang
lain, mengolah dan mensintesis berbagai zat yang diangkut ke daerah tubuh
lainnya, dan melakukan berbagai fungsi metabolisme lain.6 Fungsi
metabolisme yang dilakukan oleh hepar adalah10 :
1. Metabolisme karbohidrat. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar
melakukan fungsi sebagai berikut :
a. Menyimpan glikogen dalam jumlah besar
b. Konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa
c. Glukoneogenesis
d. Pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara
metabolisme karbohidrat
Hepar terutama penting untuk mempertahankan
konsentrasi glukosa darah normal. Penyimpanan glikogen
memungkinkan hepar mengambil kelebihan glukosa dari darah,
menyimpannya, dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah
VII. Kesimpulan
Mr. E, 38 tahun, menderita sirosis hepatis dekompensata et causa Hepatitis B.