Sei sulla pagina 1di 203

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/311608417

Analisa Citra Digital dan Content Based Image


Retrieval

Book · April 2016

CITATIONS READS

0 1,000

1 author:

Suhendro Irianto
Darmajaya Informatics and Business Institute
12 PUBLICATIONS 3 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Content Based Image Retrieval View project

All content following this page was uploaded by Suhendro Irianto on 14 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


i
i
ANALISA CITRA DIGITAL
DAN CONTENT BASED IMAGE
RETRIEVAL

SUHENDRO Y. IRIANTO
Staf Pengajar Fakulas Ilmu Komputer
Dan Program Pasca Sarjana
Institut Informatika dan Bisnis Darmajaya

ii
iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iv
BAB 1. REPRESENTASI CITRA DIGITAL 1
1.1 Terbentuknya Citra Digital
1.2 Sampling dan Kuantisasi Citra 2D
1.3 Distorsi dan Blurring
1.4 Representasi Spatial Citra Digital

BAB. 2 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL


2.1 Pengertian dan Definisi Citra Digital
2.2 Commom Values
2.3 Full Color Processing
2.4 Konversi Citra RGB ke dan YUV
2.5 Kromatisasi Koordinat CIE
2.6 Perhitungan Kromatisasi Koordinat CIE
2.7 Pseudocolor Processing
2.8 Model Warna
2.8.1 Model RGB
2.8.2 Model CMY dan gamut
2.8.3 Model HSI
2.9 Image Noise atau Kebisingan
2.9.1 Impulse noise
2.9.2 Additive white gaussian

BAB 3 ANALISA CITRA DIGITAL


3.1 Deteksi Pinggir
3.2 Menulusuri Batas
3.3 Segmentasi
3.4 Content Based Image Retrieval
3.5 Piksel dan Koefisien DCT
3.6 Median Filter
3.7 Mask Suatu Citra Digital
3.8 Morfologi
3.8 .1 Translasi

iv
3.8.2 Dilasi
3.8.3 Erosi
3.8.4 Opening
3.9 Struktur Element
3.10 Filtering Pass Filtering
3.11 Analis Bentuk
3.11.1 Including boxes
3.11.2 Fourier descriptors
3.11.3 Line approximation
3.12 Pendekatan Robust Estimation
3.13 Representasi Matrik Dari Bentuk

BAB 4 JENIS – JENIS CITRA DIGITAL


4.1 Jenis atau Tipe Citra Digital
4.2 Konversi Antar Citra
4.2.1 rgb2gray
4.2.2 im2bw
4.2.3 Perintah atau command untuk konversi citra

BAB 5 FITUR CITRA DIGITAL


5.1 Tekstur
5.2 Tepi atau edge
5.3 Warna
5.4 Bentuk

BAB 6 JPEG DAN JPEG2000


6.1 JPEG
6.2 Losyy Compression
6.3 Discrete Cosinus Transform (DCT)
6.4 DCT Analisis
6.5 Zig-zag Scanning
6.6 Lossless Compression
6.7 JPEG 2000

BAB 7 CONTENT BASED IMAGE RETRIEVAL


7.1 Database Citra Digital
7.2 Fitur Citra Dalam CBIR
7.2.1 Fitur warna
7.2.2 Fitur tekstur

v
7.2.3 Fitur bentuk
7.3 Matching Image Query
7.3.1 Matching berbasis fitur warna
7.3.2 Matching berbasis fitur tekstur
7.3.3 Matching berbasis fitur bentuk
7.4 CBIR Dalam Compressed Domain
7.5 Teknik Fitur DCT Untuk CBIR
BAB 8 CBIR – MATCHING WAJAH
8.1 Face Recognition
8.2 Deteksi Wajah dan Ekstrksi Fitur Wajah
8.3 Pencarian Citra Wajah (Face Image Retrieval)
8.4 Metode Compressed Domain
8.5 Pengenalan Dengan Posisi Dan Frame Citra
Wajah Wajah
8.6 Pengenalan Dengan Posisi Dan Frame Citra
Wajah Wajah
8.7 Pengenalan dengan posisi dan frame citra wajah
Wajah
8.8 Algoritma Modul Query Wajah Dan Matching

BAB 9 DETEKSI KEJIWAAN MANUSIA


9.1 Gangguan Jiwa
9.2 Deteksi Wajah dan Ekstraksi Fitur Wajah
9.3 Pencarian Citre Wajah (face retrieval)
9.4 Pengenalan Dengan Posisi Tangan dan Wajah
9.5 Rekayasa pattern posisi anggota tubuh
9.6 Matching kemiripan untuk deteksi kelainan jiwa

BAB 10 CBIR UNTUK PENGENALAN TINDAK KEJAHATAN


10.1 Pencarian dan Pengenalan Waah
10.2 Pengenalan Based Image Retrieval dan JPEG
10.3 Pencarian Citra Wajah
10.4 Evaluasi Efektivitas Retrieval
10.5 Algoritma Penacrian Wajah
DAFTAR PUSTAKA

vi
KATA PENGANTAR

Analisa citra digital dan content based image retrieval


merupakan salah satu cabang dari bidang image
processing dan computer vision. Image processing
adalah bidang termasuk metode-metode untuk
pengolahan, analisa, dan pemahaman tetang citra digital,
dan high-dimensional data dari dunia nyata untuk
memghasilkan angka atau simbol-simbol informasi untuk
pengambilan keputusan. Buku ini berisi teori-teori dan
dan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
Buku anlisa citra digital dan image retrieval ini juga
menyajikan hasil-hasil penelitian tentang anlisa citra
digiatl khusunya yang berkaitan dengan image retrieval.
Bab pertama dalam buku ini akan membicarakan
Representasi citra digital, Bab kedua pengolahan cita
digital, bab tiga analisa citra digital, sedangkan bab –
bab berikut membicarakan tentang jenis-jenis citra
digital, content based image retrieval, dan bab terakhir
menjelaskan tentang, CBIR untuk pengenalan tindak
kejahatan.
Penulis

1
BAB - 1
REPRESENTASI CITRA DIGITAL

Sejauh ini terdapat dua jenis citra yaitu citra kontinu dan citra
diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima
sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog.
Citra diskrit dihasilkan melalui proses digitalisasi terhadap citra
kontinu. Beberapa sistem optik dilengkapi dengan fungsi
digitalisasi sehingga ia mampu menghasilkan citra diskrit,
misalnya kamera digital dan scanner.

1.1 Terbentuknya Citra Digital

Pembentukan suatu citra digital dapat dimodelkan dengan


persamaan, sebagai berikut:
f(x,y)=i(x,y)r(x,y)+n(x,y)

Dimana : 0<f(x,y)<∞ , proposional untuk energi radiasi

0<i(x,y)<∞, illmuniation

0<r(x,y)<1, reflectance

n(x,y), noise (derau)

2
Gambar 1.1.Pembentukan suatu citra digital

1.2. Sampling dan Kuantisasi citra 2D

A b
Gambar 1.2. a). Citra kontinu diproyeksikan suatu sensor
matrik, b). hasil dari citra sampling dan kuantisasi

Proses konversi dari analog ke digital dapat dikerjakan dengan


dua teknik yaitu teknik sampling dan kuantisasi, tahapan
proses Sampling adalah sebagai berikut:
i. Digitalisasi koordinat spatial

3
ii. Kemudian nilai-nilai dalam citra kontinyu f(x,y) didekati
dengan nilai-nilai diskrit dalam array N x M; biasanya N
= 2n & M = 2m
iii. Setiap elemen array kemudian dikonversi menjadi
picture element (piksel)
Untuk membuat citra digital, kita perlu mengkonversi terus
menerus ke dalam bentuk digital lihat gambar 1.2. dan 1.3.
Gambar 1.3 (a) menunjukkan gambar terus menerus, f(x,y)
dimana ditunjukan konversi citra analog ke bentuk digital.
Untuk mengubahnya menjadi bentuk digital, kita harus men
sampling fungsi baik dalam koordinat maupun
dalam amplitudo. Suatu citra dapat merupakan fungsi continue
baik dengan x dan y maupun dengan koordinat
dan juga dalam amplitude. Digitisasi nilai koordinat disebut
sebagai sampling sedangkan digitisasi nilai amplitude disebut
sebgai kuantisasi. Hasil sampling dan kuantisasi adalah suatu
matrik bilangan.
Nilai koordinal awal adalah (x,y) = (0,0). Nilai-nilai koordinat
selanjutnya pada baris pertama adalah (x,y) = (0,1), notasi
(0,1) digunakan untuk menunjukan pentingnya sample ke dua
sepanjang baris ke dua. Jumlah bit yang diperlukan untuk
menyimpan citra yang telah digitalisasi adalah:

4
b=MxN
Dimana M dan N adalah jumlah baris dan kolom, sedangkan
jumlah gray level adalah pangkat dua dari bilangan integer:
L = 2k , dimana k =1,2,…24
Citra seperti ini biasa disebut sebagai citra k bit.

Gambar 1.3. Pengaruh resolusi pada citar inteprestasi citra a. citra


8x8, b. 32 x 32, c. 256x256.

5
Gambar 1.4. Pengaruh kuantisasi nada citra interpretasi, a) 4 levels.
(b) 16 levels. (c) 256 levels.
`
Sementara itu tahapan proses kuantisasi adalah sebagai
berikut:
i. digitalisasi amplitudo
ii. Jumlah gray level yang diperbolehkan
untuk tiap elemen array = G = 2q 
berjarak sama pada rentang [0,L]
Kuatisasi adalah Konversi dari amplitudo tak terhingga yang
tepat untuk suatu bilangan biner.

6
1.3 Distorsi dan Blurring
Efek blur adalah distorsi gambar yang umum terjadi di bidang
fotografi. Gambar yang blur (kabur) bisa muncul karena
berbagai alasan, seperti lensa kamera yang tidak fokus,
intensitas cahaya yang sangat ekstrim, ketidak sempurnaan
fisik lensa yang mengakibatkan deviasi optis, dan gerakan
relatif objek terhadap lensa kamera. Gerakan relatif objek
terhadap lensa, misalnya, diketahui menyebabkan pergeseran
posisi rincian objek pada gambar sehingga tampilan tekstur
dan tepian dari objek pada gambar menjadi tidak jelas. Efek
motion blur bisa juga terjadi secara tidak sengaja sebagai
akibat proses pengambilan gambar digital yang tidak sempurna
(misalnya karena adanya pergerakan sekecil apapun).

Sementara itu efek blur dapat disebabkab adanya gerakan


yang disengaja yang ditambahkan pada gambar untuk
menimbulkan sensasi gerak cepat dari objek gambar.
Fotografer sering menggunakan efek ini untuk menghasilkan
gambar yang dramatis sehingga gambar yang dihasilkan akan
dianggap memiliki daya tarik lebih.

7
A b c
Gambar 1.6. Beberapa contoh artifak distorsi blur pada gambar: (a)
Efek blur yang menimbulkan sensasi gerakan cepat; (b) Efek blur
yang tidak diinginkan pada seluruh area gambar; (c) Efek motion blur
lokal pada sebagian area gambar.

Gambar 1.6 menampilkan beberapa contoh efek blur gerak


(motion blur). Gambar 1.6(a) adalah contoh efek blur gerak
yang diinginkan untuk memberikan sensasi gerakan cepat;
gambar ini dibuat dengan menggunakan kecepatan warna
yang lambat pada kamera apabila dibandingkan dengan
pergerakan objek ketika gambar diambil. Efek blur pada
Gambar 1.6(b) adalah distorsi yang tidak diinginkan karena
membuat detail gambar menjadi kabur. Distorsi ini mungkin
terjadi karena proses pemindahan gambar yang kurang
sempurna, atau karena goyangan kamera pada saat
pemotretan (camera shake). Berbeda dengan Gambar 1.6(c)
yang mengandung efek blur lokal pada sebagian daerah
gambar, distorsi blur pada Gambar 12.6(b) terjadi secara
merata pada semua area.

8
Citra yang diperoleh melalui sensor modern sering terganggu
dengan oleh berbagai sumber kebisingan . Dengan
kebisingan kita lihat variasi stokastik sebagai lawan distorsi
deterministik seperti bayangan atau kurangnya fokus. Secara
khusus kita akan menganggap penggunaan perangkat modern,
charge-coupled digital (CCD) kamera dimana foton
menghasilkan elektron yang biasa disebut sebagai foto
elektron.

1.4 Representasi Spatial Citra Digital


Supaya citra dapat direpresentasikan secara numerik, maka
sebuah citra harus digitalisasi, baik terhadap ruang
(koordinat(x,y)) maupun terhadap derajat keabuannya (f(x,y)).
Proses digitalisasi koordinat (x,y) dikenal sebagai pencuplikan
citra (image sampling), sedangkan proses digitalisasi derajat
keabuan f(x,y) disebut sebagai ―Kuantisasi Derajat Keabuan‖
(graylevel quantization). Citra digital dapat dinyatakan dalam
matriks dua dimensi f(x,y) dimana (x,y) merupakan koordinat
piksel dalam matriks dan f merupakan derajat intensitas piksel
tersebut. Citra digital berbentuk matriks dengan ukuran M x N
akan tersusun sebagai berikut:

9
Berarti penyimpanan untuk citra digital yg disampling dengan N
x M piksel dan dikuantisasi menjadi 2m level derajat
keabuannya membutuhkan memori N x M x m. Contoh, citra
yang berukuran 512 x 512 dengan 256 derajat keabuan
membutuhkan memori sebesar 512 x 512 x 8 bit = 2048.000
bit. Resolusi gambar ditentukan oleh N dan m. Makin tinggi
nilainya maka citra yg dihasilkan makin bagus
kualitasnya(mendekati citra kontinu).

10
BAB - II
PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

2.1. Pengertian dan Definisi Citra Digital

Sebuah citra digital a [m, n] dapat dijelaskan sebagai ruang


diskrit 2D yang berasal dari sebuah citra analog a (x, y)
menjadi citra kontinu 2D melalui proses sampling yang sering
disebut sebagai digitalisasi, proses digitalisasi ditunjukkan
pada Gambar 2.1. Jika citra 2D kontinyu a (x, y) dibagi menjadi
N baris dan M kolom, maka perpotongan baris dan kolom
disebut piksel. Nilai yang diberikan ke integer koordinat [m, n]
dengan {m = 0,1,2 ,..., M-1} dan {n = 0,1,2 ,..., N-1} adalah
[m, n].Dalam banyak hal suatu citra (x, y), kita dapat
menganggap sebagai sinyal fisik sensor 2D - sebenarnya
adalah fungsi dari banyak variabel termasuk kedalaman (z),
warna (λ) , dan waktu (t).

11
.

Gambar 2.1: Digitasi dari citra kontinu. Piksel pada koordina [m = 10, n = 3]
memiliki nilai integer kecerahan 110.

Citra yang ditunjukkan pada gambar 2.1 telah dibagi menjadi


N = 16 baris dan M= 16 kolom. Nilai yang diberikan untuk
setiap piksel (kecerahan rata-rata) dalam piksel dibulatkan ke
nilai integer terdekat. Proses ini mewakili amplitudo dari sinyal
2D pada koordinat diberikan sebagai nilai integer dengan
tingkat L abu-abu yang berbeda dan biasanya disebut sebagai
proses kuantisasi amplitudo atau disingkat disebut kuantisasi.

Citra atau image adalah suatu cahaya pada bidang dua


dimensi. Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra
merupakan fungsi kontinu dari intensitas cahaya pada bidang
dua dimensi. Sumber cahaya menerangi objek, objek
memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut.
Pantulan cahaya ini ditangkap oleh oleh alat-alat optik,

12
misalnya mata pada manusia, kamera, scanner, dan
sebagainya, sehingga bayangan objek yang disebut citra
tersebut terekam. Citra sebagai keluaran dari suatu sistem
perekaman data dapat bersifat:
 optik berupa foto
 analog berupa sinyal video seperti citra pada monitor
televisi
 digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita
magnetik.

Gambar 2.2. Contoh citra digital

Citra juga dapat dianggap sebagai objek dua dimensi yang


dihasilkan dari citra analog yang kontinu dan kemudian dapat
diubah menjadi citra diskriti melalui proses sampling.
Sampling adalah pemilihan titik-titik yang dianggap mewakili

13
citra digital yang diberikan. Sampling dapat juga didefinisikan
sebagai pengurangan signal kontinu menjadi signal diskrit.
Citra digital dapat juga didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi
f(x,y) dimana x dan y adalah koordinat dan aplitudo gelombang
dimana f adalah merupakan suatu intensitas Gray (Gy) level
dalam citra pada titik. Citra digital terdiri dari sejumlah elemen ,
dimana setiap elemen disebut sebagi elemen citra atau pels
atau piksel.

Citra digitalasli Citra yang telah di-sampling

Gambar 2.3: Contoh citra sampling

Pada umumnya citra digital berbentuk empat persegi panjang


dengan lebar dan panjang tertentu. Ukuran citra biasanya
diukur dalam jumlah titik atau piksel, dimana setiap piksel
mempunyai koordinat menurut letaknya di dalam citra digital.
Koordinat ini biasanya dinyatakan dalam bilangan integer yang
besarnya dari 0 sampai dengan 1 tergantung dari sistem yang

14
digunakan. Setiap piksel berisi nilai yang mewakili informasi
apa yang ada dalam piksel. Citra (image) juga dapat
didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi f(x,y) di mana x dan y
adalah koordinat spasial dan amplitudo f pada setiap pasang
(x,y) disebut intensitas (gray level) citra pada titik tersebut.
Jika x dan y berhingga (finite) dan diskrit (tdk kontinyu) maka
disebut citra digital. Citra digital terdiri dari sejumlah elemen
berhingga yang masing-masing mempunyai lokasi dan nilai,
Elemen-elemen x dan y disebut elemen citra atau pels atau
piksel.

2.2 Common Values

Terdapat beberapa nilai parameter standar yang ada dalam


pengolahan citra digital. Nilai-nilai standar ini dapat disebabkan oleh
standar video, parameter dimaksudkan agar circuit citra digital
tetap sederhana.

Tabel 2. 1: Nilai-nilai standar paramater digital yang ada


Parameter Simbol Nilai Yang sering dipakai
Baris N 256,512,525,625,1024,1035
Kolom M 256,512,768,1024,1320
Tingkat warna keabuan L 2,64,256,1024,4096,16384

15
Jumlah tingkat keabuan yang berbeda biasanya merupakan
pangkat dari 2, yaitu L = 2β dimana β adalah jumlah bit dalam
representasi biner dari tingkat kecerahan. Ketika β> 1,maka
citra yang dimaksud adalah citra gray-level, ketika β = 1 maka
citra biner. Dalam sebuah citra biner hanya ada dua tingkat
abu-abu yang ada, yaitu hitam dan putih atau "0" dan "1".

2.3 Full Color Processing


Cahaya achrominace merupakan cahaya yang tidak berwarna,
hanya menggunakan intensitas yang diukur dengan tingkat
keabuan atau grayscale. Misalnya cahaya atau warna TV
hitam-putih dan citra monokrom. Sedangkan cahaya atau
warna kromatik mempunyai panjang gelombang antara
400~700 nm. Cahaya chrominace adalah cahaya yang terdiri
dari tiga satuan yang digunakan untuk mendeskripsikan
kualitas dari sumber cahaya akromatik, yaitu: Radiance,
Luminance dan Brightness.

16
Gambar 2.4. Komponen Luminance, Hue, Saturation
Radiance adalah jumlah energi yang memancar dari sumber
cahaya (dalam satuan watt). Luminance adalah jumlah energi
yang diterima oleh observer dari sumber cahaya (dalam satuan
lumens, lm). contoh: sinar inframerah memiliki radiansi yang
besar tapi nyaris tidak dapat dilihat oleh mata manusia.
Brightness adalah deskriptor yang subjektif, mirip dengan
pengertian intensitas pada akromatik, adalah satu faktor
penentu dalam menggambarkan warna.

Sistem visual manusia dapat membedakan ratusan ribu warna


dan intensitas, tetapi hanya 100 macam citra gray scale yang
dapat dibedakan. Oleh sebab itu, dalam suatu citra, masih
banyak informasi lainnya yang ada pada warna, dan informafi
tersebut juga dapat digunakan untuk menyederhanakan

17
analisis citra, misalkan identifikasi objek dan ekstraksi warna.
Terdapat tiga kuantisasi untuk mencitrakan warna, yaitu:
 Hue ditentukan oleh dominan panjang gelombang.
Warna yang dapat dilihat oleh mata memiliki panjang
gelombang antara 400 nm (violet) - 700 nm (red) pada
spektrum electromagnetic seperti pada Gambar 2.5.
 Saturation ditentukan oleh tingkat kemurnian, dan
tergantung pada jumlah sinar putih yang tercampur
dengan hue. Suatu warna hue murni adalah secara
penuh tersaturasi, yaitu tidak ada sinar putih yang
tercampur. Hue dan saturation digabungkan
menentukan chromaticity suatu warna. Intensitas
ditentukan oleh jumlah sinar yang diserap. Semakin
banyak sinar yang diserap semakin banyak tinggi
intensitas warnanya.
 Chromatic tidak memiliki warna, tetapi mempuyai
atribut intensitas. Tingkat keabuan (Greylevel)
merupakan ukuran intensitas energi, sehingga
merupakan suatu kuantitas fisik. Sementara itu
brightness atau luminance ditentukan oleh persepsi
warna penglihatan mata manusia. Apabila diberikan
sinar biru dan hijau dengan intensitas yang sama, sinar

18
biru diterima lebih gelap dibandingkan sinar hijau.
Sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi intensitas
manusia adalah non-linear, misalkan perubahan
intensitas yang dinormalisasi dari 0.1 ke 0.11 dan 0.5
ke 0.55 akan diterima dengan perubahan tingkat
kecerahan (brightness) yang sama.

Gambar 2.5: Spektrum yang dapat dilihat oleh mata kita

19
Gambar 2.6: Spektrum elektromagnetik. Spektrum yang dapat
dilihat (visible) ditunjukan dengan citra yang di-zoom

Dari gambar 2.6 dapat disimpulkan bahwa cahaya yang dapat


dilihat (visible spectrum) mempunyai ciri-ciri-sebagai berikut:

 Karakteristik kisaran antara: 0.43µm(violet)-


0.78µm(red)
 Enam bands: violet, blue, green, yellow, orange, red
 Warna dari suatu objek ditentukan oleh sifat dari
cahaya yang direfleksikan oleh objek.
 Cahaya monochromatic (gray level)
 Tiga unsur ukuran cahaya chromatic (Radiance,
luminance and brightness)

20
Pada kenyataan citra digital kebanyakan tidak monokrom,
tetapi citra berwarna. Sebagai contoh citra spesimen jaringan
yang mempunyai banyak warna digunakan untuk
mengidentifikasi struktur atau melokalisasi aktivitas kimia yang
terjadi.Untuk bahan anorganik, penggunaan terpolarisasi
cahaya atau permukaan oksidasi menghasilkan citra warna
untuk mencitrakan struktur.

Penggunaan skala warna sebagai pengganti nilai kecerahan


memungkinkan kita untuk menampilkan dan melihat perubahan
kecil, dan mengidentifikasi kecerahan yang sama nilai-nilai
global dalam citra digital. Beberapa sumber citra dapat
menggunakan warna untuk mengkodeaan berbagai jenis
informasi, seperti intensitas dan polarisasi gelombang radio,
namun sejauh ini yang paling umum jenis citra warna yang
dihasilkan dengan merekam intensitas pada tiga panjang
gelombang cahaya yang berbeda. Sistem Televisi Nasional
Committee (NTSC) mempunyai skema encoding warna yang
digunakan seperti di Amerika Serikat yang dikembangkan agar
kompatibel dengan televisi monokrom. Konversi dari RGB ke
YIQ dapat dikerjakan dengan menggunakan rumus:

21
Baris pertama Y = (0.299, 0.587, 0.144) (R,G,B) juga dapat
digunakan untuk mengubah RGB menjadi Black and White.
Sedangkan konversi dari YIQ ke RGB yang merupakan
transformasi matriks inverse yang mengubah dari YIQ ke RGB
digunakan rumus sebagai berikut:

Konversi dari RGB (kecerahan dari komponen merah, hijau,


dan biru pada sinyal didefinisikan sebagai panjang gelombang,
seperti yang ditangkap oleh kamera dan disimpan di komputer)
untuk YIQ / YUV. Komponen I dan Q (atau U dan V) dari
sinyal warna yang dipilih untuk kompatibilitas dengan
perangkat keras yang digunakan. sinyal I pada dasarnya cyan
minus merah, sedangkan Q adalah magenta minus hijau.
2.4 Konversi Citra RGB ke dan dari YUV

22
Komponen YUV mirip dengan komponen matriks transformasi
dari RGB ke YUV dapat ditulis sbb:

Instrumen yang digunakan untuk pengukuran warna adalah


primary CIE, yang menentukan panjang gelombang yang
dominan dan kemurnian warna apapun. Mencampur dua warna
sesuai dengan memilih sebuah titik yang baru dalam diagram
sepanjang garis lurus antara dua warna asli. Ini berarti bahwa
sebuah segitiga pada CIE diagram dengan sudutnya di lokasi
merah (Red), hijau (Green), dan biru (Blue) merupakan fosfor
emisi seperti yang digunakan dalam katoda ray tube (CRT)
yang mendefinisikan semua warna yang dapat ditampilkan
dalam tabung warna.

23
Diagram CIE menyediakan alat untuk mendefinisi warna.
Pendekatan yang dilakukan adalah diwujudkan dalam sistem
HSV (hue, saturasi, dan nilai), HSI (hue, saturasi, dan
intensitas) dan HLS (Hue, Ligth, dan saturasi). Hal Ini terkait
erat satu sama lain dan dengan konsep warna, naungan, dan
nada. Dalam sistem ini, hue adalah warna seperti yang
dijelaskan oleh panjang gelombang, misalnya perbedaan antar
daerah dan kuning. Saturation adalah jumlah warna yang hadir,
misalnya perbedaan antara merah dan pink. Sumbu ketiga
(disebut ligth, intensitas, atau nilai) adalah jumlah cahaya,
perbedaan antara merah dan terang gelap, atau antara abu-
abu gelap dan abu-abu terang.

Ruang di mana ketiga nilai diplot dapat ditunjukkan sebagai


kerucut melingkar atau hexagonal atau kerucut ganda, atau
kadang-kadang sebagai suatu silinder. Hal ini berguna untuk
membayangkan ruang sebagai kerucut ganda. Sumbu kerucut
yang merupakan perkembangan skala abu-abu dari kejauhan
hitam menjadi putih, di pusat sumbu adalah saturasi,
sedangkan pada dasarnya adalah hue. . Di sisi lain, karena
komponen HSI tidak sesuai dengan sebagian besar perangkat
keras (baik untuk akuisisi atau layar), maka diperlukan

24
perhitungan untuk mengkonversi RGB-encode citra untuk HSI
dan kembali. Untuk melakukan konversi dari RGB ke HIS
dengan dikerjakan dengan tahapan sebagai berikut:

i. Pertama ubah ruang warna RGB ke ruang HSI dengan


melakukan normalisasi nilai-nilai dari RGB:

ii. Untuk setiap komponen H,S dan I dinormalisasikan


dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut:

H= h x 180/π, S = s x 1000, dan I = I x 255

Ruang HSI berguna untuk mengolah citra karena mereka


memisahkan informasi warna dalam cara-cara yang sesuai
dengan respon sistem visual manusia. Sumbu yang berjalan
dari merah (+a) menjadi hijau (-a) dan sumbu b dari kuning
(+b) ke biru (-b). Konversi dari RGB bidang ruang dan
koordinat hue-saturation-intensitas dapat dilakukan dengan
beberapa cara, tergantung pada bentuk ruang HSI yang
digunakan. Pada umumnya berbentuk bola, silinder, atau
kerucut ganda. Dalam semua hal, intensitas sumbu sejajar

25
sepanjang diagonal kubus, tapi tidak ada geometri ruang HSI
tepat sesuai dengan bentuk kubus RGB. Ini berarti dalam
untuk menampilkan warna dalam ruang baik nilai saturasi
sedikit terdistorsi dalam proses konversi.

Ledley et al. (1990) mengatakan bahwa perbedaan antara


kedua konversi RGB-HSI terletak terutama dalam nilai-nilai
saturasi . Perangkat keras untuk digitalisasi citra berwarna
menerima baik langsung sinyal RGB dari kamera, atau
komponen sinyal YC, atau sinyal komposit (misalnya, NTSC)
dan menggunakan filter elektronik untuk memisahkan setiap
komponen dan ekstrak sinyal merah, hijau, dan biru. Seperti
untuk kasus monokrom dibahas di atas, sinyal-sinyal ini
kemudian digititalisasi untuk menghasilkan nilai-nilai, biasanya
yang 8-bit mulai dari 0 sampai 255 masing-masing untuk R, G,
dan B. ini memerlukan 3 byte penyimpanan per piksel,
sehingga citra 640 piksel akan membutuhkan hampir 1
megabyte ruang penyimpanan di komputer.

Warna citra digital biasanya biasanya merupakan RGB 24-bit,


yang berarti bahwa 8 bit atau 256 (linear) tingkat kecerahan
untuk merah, hijau, dan biru disimpan. Kondisi Ini cukup untuk

26
memungkinkan menampilkan video pada layar komputer, atau
untuk keperluan percetakan, namun, tergantung pada rentang
dinamis data. Lebih lanjut pengurangan citra warna 256 warna
dengan menggunakan tabel lookup di mana warna 256
terbaik dicocokkan dengan isi citra umumnya yang digunakan
untuk citra digital. Hal ini akan mengurangi ukuran file. 256 byte
untuk menentukan nilai R, G,dan B. Hanya satu byte per
piksel diperlukan untuk memilih palet warna. Teknik yang
paling umum untuk memilih palet yang optimum adalah
Heckbert atau algoritma median, yang digunakan untuk
membagi ruang warna didasarkan pada nilai-nilai RGB yang
sebenarnya dari piksel pada citra asli. Berbagai jenis
pemisahan warna yang tersedia. Perhitungan komponen RGB
(atau CMY sebagai nilai pelengkap) yang umum digunakan
dalam desktop publishing, tapi tidak sering berguna untuk
analisa citra, yang juga dapat memisahkan warna citra menjadi
komponen hue, saturasi, dan intensitas.

2.5. Kromatisitas Koordinat CIE

Kromatisitas Koordinat adalah mencitrakan informasi warna


sebagai: Koordinat kromatisitas merah diberikan oleh x dan

27
koordinat kromatisitas hijau oleh y. Nilai tristimulus linear dalam
I dan dengan demikian informasi intensitas mutlak telah hilang
dalam perhitungan kromatisitas {koordinat x, y}. Semua
distribusi warna, I, yang tampak memiliki warna yang sama
akan memiliki kromatisitas koordinat yang sama pula.

Jika kita menggunakan warna murni (seperti laser dye), maka


intensitas dapat dimodelkan seperti I = d (-o) dengan d (*)
berfungsi sebagai impuls. Pengumpulan kromatisitas
{koordinat x, y} yang akan dihasilkan dengan memvariasikan 0
memberikan Kromatisitas CIE segitiga seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.7.

Perubahan kecil hampir di mana saja dalam (u ', v') ruang


Kromatisitas sama menghasilkan perubahan-perubahan kecil
dalam warna yang dirasakan Optical Illusions Citra dari sistem
visual manusia yang ada. Hal ini bisa membawa kita untuk
menyimpulkan bahwa ada pengetahuan yang cukup dari
sistem visual manusia untuk memungkinkan pemodelan sistem
visual dengan teknik standar analisis sistem . Warna secara
utuh bergantung pada sifat pantulan (reflectance) suatu objek.
Warna yang dilihat merupakan yang dipantulkan, sedangkan

28
yang lainnya diserap. Sehingga sumber sinar perlu
diperhitungkan begitu pula sifat alami sistem visual manusia
ketika menangkap suatu warna. Sebagai contoh, suatu objek
yang memantulkan sinar merah dan hijau akan tampak
berwarna hijau apabila benda tersebut disinari oleh sinar hijau
(tanpa adanya sinar merah). Demikian juga sebaliknya, objek
akan tampak berwarna merah apabila tidak terdapat sinar
hijau. Apabila benda tersebut disinari oleh sinar putih, maka
objek tersebut berwarna kuning (merupakan gabungan warna
hijau + merah).

2.6. Perhitungan Kromatisitas Koordinat CIE


Perkiraan komponen warna dapat diberikan ke daerah
diagram Kromatisitas CIE . Setiap upaya untuk mencitrakan
keseluruhan dari penglihatan warna manusia pada monitor
komputer harus disertai dengan berbagai kualifikasi dan
pengecualian. Berbagai persepsi warna manusia pada
monitor RGB - keseluruhan dari penglihatan manusia normal
meliputi seluruh diagram CIE, sedangkan gamut dari RGB
monitor dapat ditampilkan sebagai kawasan segitiga dalam
diagram CIE. Kualifikasi lain adalah bahwa hue dan saturasi

29
yang terkait dengan nama warna yang diberikan dapat
bervariasi pada rentang yang cukup.

Diagram kromatisitas CIE diperkenalkan oleh Foto Research,


Inc. Perlu dicatat bahwa satu nilai pada sekitar tengah dan
saturasi warna berkisar dipilih untuk setiap bagian dari
diagram. Titik yang dipilih adalah hanya penilaian visual dari
warna perwakilan dalam jangkauan. Nilai-nilai RGB yang
diperoleh tercantum dalam tabel di sebelah kanan. Setiap
orang berbeda dalam memilih titik yang berbeda untuk
mewakili nama-nama warna, tapi setidaknya nilai-nilai tersebut
mungkin memberikan titik awal untuk variasi pilihan yang
sama..

Teori tritimulus persepsi warna dapat dilihat bahwa suatu


warna dapat diperoleh dari suatu campuran tiga warna utama:
merah, hijau dan biru (Red Green Blue). Meskipun hampir
setiap warna yang tampak dapat ditentukan sesuai dengan tiga
komponen diatas, tetapi masih terdapat beberapa warna yang
tidak dapat diuraikan sebagai kombinasi dari ketiga warna

30
dasar tersebut. Bagaimanapun juga apabila salah satu dari
ketiga komponen warna dasar tersebut ditambahkan ke warna
yang tidak dapat dicocokkan tadi, maka warna yang tidak dapat
dicocokkan tersebut dapat dicocokkan dengan campuran dari
dua warna dasar lain. Hal ini menunjukkan bahwa warna dapat
memiliki nilai bobot negatif dari ketiga komponen warna dasar
tersebut. Pada tahun 1931, Commission Internationale de
l‘Eclairage (CIE) mendefinisikan tiga standar komponen warna
utama : X, Y dan Z. Yang dapat ditambahkan untuk
membentuk semua kemungkinan warna. Warna utama Y dipilih
sedemikian rupa sehingga fungsi kecocokan warnanya secara
tepat mencocokkan fungsi luminous efisiensi mata manusia
berdasarkan penjumlahan ketiga warna seperti pada gambar
2.9 . Diagram Chromaticity menunjukkan semua warna yang
dapat dilihat oleh manusia. Sumbu x dan y merupakan nilai
normalisasi warna utama X dan Y untuk suatu warna, dan z =
1−x−y menyatakan jumlah Z utama yang diperlukan.
Chromaticity bergantung pada panjang gelombang dan
dominan saturation, dan tidak bergantung pada energi luminan.
Warna dengan nilai chromaticity yang sama tetapi dengan
luminan berbeda akan terpetakan pada titik yang sama di
daerah tersebut.

31
Gambar 2.7. Diagram CIE Chromaticity menunjukkan semua visible
colours. x dan y adalah jumlah normalisasi kemunculan primer X and
Y, z = 1 -x - y menentukan jumlah primer Z yang dibutuhkan.

32
Warna spektrum utama berada pada bagian kurva batas
daerah,dan suatu sinar putih standar memiliki warna yang
didefinisikan berada dekat (tetapi tidak) di titik dengan persamaan
energi x = y = z = 1/3. Komplementer warna , yaitu warna yang
ditambahkan ke warna putih, berada di titik akhir suatu garis yang
melewati titik tersebut. Sebagai ilustrasi pada gambar 2.7, semua
warna yang berada di dalam segitiga dapat dibentuk dari campuran
warna yang berada pada verteks (garis) segitiga. Dari ilustrasi
grafik tersebut, semua warna visible tidak dapat diperoleh dari
campuran warna utama R, G dan B (atau dari tiga visible warna
lainnya), karena bentuk diagramnya bukan segitiga.

Denoising citra diasumsikan dikenal sebagai Aditif Gaussian White


Noise (AWGN) Namun, dalam aplikasi nyata kebisingan tidak
diketahui dan non-aditif. Banyak algoritma di bidang computer vision
secara eksplisit maupun implisit mengasumsikan jenis dan tingkat
kebisingan citra. Deviasi standar s dari kebisingan adalah fungsi
dari kecerahan citra I yang terukur dengan memperbaiki kamera
dan mengambil citra statis. Untuk mean dari setiap piksel, dan
Standar deviasi I, NLF tergantung pada kamera, ISO, kecepatan
warna, dan diafragma. Tujuan untuk memperkirakan NLF dari satu
citra adalah bagaimana memperkirakan kebisingan tanpa
memisahkan noise dan sinyal dari citra.

2.7. Pseudocolor Processing


Pseudocolor (false color) image processing merupakan perubahan
nilai warna menjadi nilai warna grascale berdasarkan pada criteria
tertentu. Istilah ―pseudocolor‖ menekankan pada warna buatan
yang sangat berbeda dengan warna yang sebernanya. Pada
prinsipnya pseudocolors merupakan visualisasi dan intrepretasi dari
citra gray scale secara rinci pada citra. Contoh proses psedu color
dari citra digital, adalah perubahan citra berwarna ke citra
nonochrom yang dapat dilakukan dengan Intensity slicing dan citra
gray level kedalam transformasi warna dan dengan teknik filtering.

Dalam transformasi warna dari Gray-level menjadi full color


terdapat tiga transformasi yang dikerjakan pada citra grey scale.
Dimana hasilnya digabung dalam warna merah, hijau dan blue.
Untuk mengubah citra dengan graylevel ke citra warna, maka
masing-masing channel RGB diproses dengan cara yang berbeda.

34
Original image Intensity Sclicing Grey level transform

Gambar 2.8 Hasil penerapan intemcity slicing dan grey level


transform

2.8. Model Warna

Model warna merupakan cara standar untuk menspesifikasikan


suatu warna tertentu, dengan mendefinisikan suatu sistem koordinat
3D, dan suatu ruang bagian yang mengandung semua warna yang
dapat dibentuk ke dalam suatu model tertentu. Suatu warna yang
dapat dispesifikasikan menggunakan suatu model akan
berhubungan ke suatu titik tunggal dalam suatu ruang bagian yang
didefinisikannya. Masing-masing warna diarahkan ke salah satu
standard hardware tertentu (RGB, CMY,YIQ), atau aplikasi
pengolahan citra (HSI). Warna adalah spektrum tertentu yang
terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih).
Identitas suatu warna ditentukan oleh panjang gelombang cahaya
tersebut. Sebagai contoh warna biru memiliki panjang gelombang

35
460 nanometer. Panjang gelombang warna yang masih bisa
ditangkap mata manusia berkisar antara 380-780 nanometer.
Dalam peralatan optis, warna bisa pula berarti interpretasi otak
terhadap campuran tiga warna utama cahaya: R(red=merah),
G(green=hijau), B(blue=biru) yang digabungkan dalam komposisi
tertentu. Misalnya pencampuran 100% merah, 0% hijau, dan 100%
biru akan menghasilkan interpretasi warna magenta.

Dalam bidang seni , warna bisa berarti pantulan tertentu dari


cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan
benda. Misalnya pencampuran pigmen magenta dan cyan dengan
proporsi tepat dan disinari cahaya putih sempurna akan
menghasilkan sensasi mirip warna merah. Setiap warna mampu
memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai kondisi sosial
pengamatnya. Misalnya warna putih akan memberi kesan suci dan
dingin di daerah negara-negara barat karena berasosiasi dengan
salju. Di dalam ilmu warna, hitam dianggap sebagai ketidak hadiran
seluruh jenis gelombang warna. Sementara putih dianggap sebagai
representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi
seimbang.
Didalam pengolahan citra pada dasarnya warna terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen RGB (Red, Green, Blue). RGB

36
adalah suatu model warna yang terdiri dari merah, hijau, dan biru,
yang jika digabungkan akan membentuk suatu susunan warna yang
luas. Setiap warna dasar, misalnya merah, dapat diberi rentang-
nilai. Untuk monitor komputer, nilai rentangnya paling kecil = 0 dan
paling besar = 255. Pilihan skala 256 ini didasarkan pada cara
mengungkap 8 digit bilangan biner yang digunakan oleh mesin
komputer. Dengan cara ini, akan diperoleh warna campuran
sebanyak 256 x 256 x 256 = 1677726 jenis warna. Satu jenis
warna, dapat dibayangkan sebagai sebuah vektor di ruang 3
dimensi yang biasanya dipakai dalam matematika, koordinatnya
dinyatakan dalam bentuk tiga bilangan, yaitu komponen-x,
komponen-y dan komponen-z. Misalkan sebuah vektor dituliskan
sebagai r = (x,y,z). Untuk warna, komponen-komponen tersebut
digantikan oleh komponen R(red), G(green), B(blue). Jadi, sebuah
jenis warna dapat dituliskan sebagai berikut: warna = RGB(30, 75,
255). Putih = RGB (255,255,255), sedangkan untuk hitam=
RGB(0,0,0).

2.8.1 Model RGB


suatu citra dalam model RGB terdiri dari tiga bidang citra yang
saling lepas,masing-masing terdiri dari warna utama: merah, hijau
dan biru. Suatu warna dispesifikasikan sebagai campuran sejumlah

37
komponen warna utama. Contoh citra dengan individu komponen
warna dapat dilihat pada gambar 2.9.

Citra RGB Komp. Green Komp. Red Komp. Blue Citra abu-abu

Gambar 2.9. Citra digital masing-masing komponen R,G,B dan gray


scale

Sedangkan gambar 2.9. menunjukkan bentuk geometri dari model


warna RGB untuk menspesifikasikan warna menggunakan sistem
koordinat Cartesian. Spektrum greyscale (tingkat keabuan) yaitu
warna yang dibentuk dari gabungan tiga warna utama dengan
jumlah yang sama, berada pada garis yang menghubungkan titik
hitam dan putih.

Gambar 2.10 Koordinat warna RGB

38
2.8.2 Model CMY dan gamut
Model CMY (Cyan, Magenta dan Yellow) adalah suatu model
substractive yang berhubungan dengan penyerapan warna. Suatu
permukaan yang dicat warna cyan kemudian diiluminasi sinar putih,
maka tidak ada sinar merah yang dipantulkan, dan similar untuk
warna magenta dengan hijau, dan kuning dengan biru. Relasi model
CMY adalah sebagai berikut:

2.8.3 Model HSI


Sebagaimana yang sudah dijelaskan, warna juga dapat
dispesifikasikan oleh tiga kuantisasi hue, saturation, intensity
(disebut model HSI) seperti pada gambar 2.11. Pada gambar
sebelah kiri merupakan bentuk solid HSI dan sebelah kanan adalah
model segitiga HSI yang merupakan bidang datar dari pemotongan
model solid HSI secara horisontal pada tingkat intensitas
tertentu.Hue ditentukan dari warna merah, saturation ditentukan
berdasarkan jarak dari sumbu. Warna pada permukaan model solid
dibentuk dari saturasi penuh, yaitu warna murni, dan spektrum
tingkat keabuan,

39
Gambar 2.11 Model warna HIS
Konversi nilai antar model RGB dan HSI adalah sebagai berikut:
I = (R+G+B)/3
dimana kuantitas R, G, dan B adalah jumlah komponen warna
merah,hijau, biru dan dinormilisasi ke [0,1]. Intensitas adalah nilai
rata-rata komponen merah, hijau dan biru. Nilai saturation
ditentukan sebagai:
min(R,G, B0) 3
S 1- 1- min (R,G, B)
I (R  G  B)
Komponen luminance (Y) berisi semua informasi yang diperlukan
untuk televisi hitam dan putih, dan menerjemahkan persepsi kita
tentang brithgness warna tertentu. Dalam persepsi kita warna hijau
lebih enak dipandang dari pada warna merah, sedangkan warna
merah lebih enak dipandang dari pada warna biru, hal ini
disebabkan karena nilai masing-masing warna adalah 0.587, 0.299

40
dan 0.114 pada baris pertama dari konversi matrik di atas. Bobot
nilai harus digunakan untuk mengkonversi citra menjadi citra abu-
abu (grayscale image) dengan mempertahankan kecerahan.
Untuk memanipulasi model HSI maka harus dikerjakan bebarapa
tahapan:
 Pertama konvesi RGB kedalam HSI
 Proses manpulasi dikerjakan untuk HSI
 Akhirnya konversi kembali citra dari HSI kedalam RGB

Gambar 2.12. Konversi RGB ke HSI

Gambar 2.13. Konversi citra RGB ke citra HSI

41
Selanjutnya untuk mengubah kembali dari HIS ke RGB dapa
diilustrasikan pada gambar 2.14.

Gambar 2.14. Konvesri citra HIS ke RGB

2.9. Image Noise atau Kebisingan Citra


Image noise adalah adanya informasi britghness atau warna yang
menggangu pada sebuah citra digital, biasanya dikarenakan oleh
sensor atau circuit dari scanner atau digital kamera. Ada beberapa
contoh dari citra noise, anatara lain: Amplifier noise (Gaussian
noise), Salt-and-pepper noise, Shot noise, dan Quantization noise
(uniform noise). Misalnya f(x,y) merupakan piksel dari citra digital η (
x,y) adalah image noise dan g(x,y) adalah piksel dari hasil noise.
Jika dapat membuat model noise dari suatu citra berdasarkan
fungsi tersebut, maka dapat diterangkan bagaimana citra digital
dikembalikan ke citra sebelumnya (original image). Noise dapat
diartikan sebagai kehadiran signal yang tidak diinginkan. Noise tidak

42
selama nya terjadi secara random atau tidak disengaja, tetapi
dapat dibuat secara sengaja sehingga noise tidak selalu jelek atau
tidak bermanfaat contohnya pada Stochastic Resonance.

Citra tanpa Citra dengan Citra dengan


noise sedikit noise banyak noise

Gambar 2.15. Citra noise (Stochastic Resonance)

Stochastic resonance merupaka noise yang justru menambah


atau meningkatkan kualitas dari suatu citra digital. Sedangkan
beberapa contoh dari noise yang mengurangi kualitas dari citra
antara lain:

thermal imaging electrical ultrasound physical


interference imaging interference

Gambar 2.14. Contoh citra noise yang mengurangi kualitas gambar

43
2.9.1 Impulse noise
Pada noise tipe ini setiap piksel dalam suatu citra digital mempunyai
probalitas p/2 (0<p<1) untuk terganggu dengan titik putih (white
dot) atau titik hitam ( black dot)
255 dengan probalitas p/2 - - - -  piksel - piksel noise

Y  0 dengan probabilit as p/2 - - - - -  piksel - piksel noise
X(i, j) dengan probalitas 1 - p - - - - -  piksel - piksel tanpa noise

Dimana 1≤i≤H, 1≤j≤W
Dalam beberapa aplikasi piksel noise tidak hanya hitam dan putih
yang dapat membuat penghilangan impulse noise menjadi lebih
sulit. Berikut adalah teknik untuk menghilangkan noise (denoise)

Citra yang
Algoritma sudah
filtering dibersihkan
noise-nya (X)

Gambar 2.15. Teknik menghilangkan noise

44
2.9.2 Additive white gaussian noise
Setiap piksel di dalam suatu citra digital biasanya diganggu dengan
adanya noise yang disebut dengan additive white Gaussian Noise
yang mempunyai zero mean dan variance 2.
Y(i, j)  X (i, j)  N (i, j)

 ),1  i  H, 1  j  W
2
N(i, j) ~ N (O,

Dimana, X: citra tanpa noise sementara Y: citra dengan noise.


Citra yang diperoleh melalui sensor modern mungkin terkontaminasi
oleh berbagai sumber kebisingan. Dengan kebisingan kita lihat
variasi stokastik sebagai kebalikan dari distorsi deterministik seperti
bayangan atau kurangnya fokus. Kami akan menganggap untuk
bagian ini bahwa kita berhadapan dengan citra yang terbentuk dari
cahaya menggunakan elektro-optik modern. Secara khusus kita
akan menganggap penggunaan perangkat modern, charge-coupled
(CCD) kamera menghasilkan elektron yang biasa disebut sebagai
foto elektron. Namun demikian, sebagian besar pengamatan
tentang kebisingan dan yang lain dapat digunakan pengolahan
citra lainya.

45
Sementara teknologi modern telah memungkinkan untuk
mengurangi tingkat kebisingan yang terkait dengan perangkat
elektro-optik untuk hampir berbagai tingkat diabaikan, salah satu
sumber kebisingan tidak dapat dihilangkan dan dengan demikian
bentuk kasus pembatas ketika semua sumber kebisingan lainnya
adalah "dihilangkan".

Gaussian gamma Salt and paper


Gambar 2.16. Berbagai tipe kebisingan (noise)

46
BAB – 3
ANALISA CITRA DIGITAL

Analisa citra adalah ekstrasi informasi yang penting dari citra.


Contoh sederhana dari analisa citra adalah pembacaan barcode
sedangkan yang lebih canggih adalah proses identifikasi seseorang
berdasarkan wajah (face detection). Yang termasuk analisa citra
antara lain: deteksi pinggir (edge detection), segmentasi
(segmentation),pattern recognition,dan content based retrieval.

3.1 Deteksi Pinggir


Deteksi pinggir atau edge detection merupakan teknik yang sering
digunakan pada bidang pengolahan citra dan computer visison,
terutama pada bidang featurs detection dan feature extraction.
Dalam suatu citra digital , tepi atau edge adalah sebuah kurva yang
mengikuti yang berubah dengan cepat berdasarkan intensitasnya.
Edge sering dikaitkan dengan batas-batas objek dalam sebuah
objek. Deteksi tepi digunakan untuk mengidentifikasi tepi dalam
citra digtal.

47
Metode deteksi tepi-tepi yang paling sering digunakan adalah
metode Canny. Metode Canny berbeda dari metode deteksi tepi
yang lain karena menggunakan dua ambang batas yang
berbeda (untuk mendeteksi tepi yang jelas dan tepi yang tidak jelas.
Berikut penerapan dari detector metedo Canny dengan
dibandingkan dengan metode sobel dengan menggunakan
Matlab:
Membacs citra coin dan menampilkanya.
I = imread('coins.png');
imshow(I)

Gambar 3.1 Citra coins


Berikut adalah perintah di Matlab untuk metode Sobel and Canny
BW1 = edge(I,'sobel');
BW2 = edge(I,'canny');
imshow(BW1)
figure, imshow(BW2)

48
Sobel Canny

Gambar 3.2. Hasil edge detection dengan metode sobel dan canny

Metode sobel mencari tepi dengan menggunakan turunanya,


dimana degan turunan tersebut kembali ke tepi pada titik-titik
dimana gradientnya maksimum 1.

49
a b

c d
Gambar 3.3. (a):operator roberts‘ (b): operator prewitt 3x3 prewitt , (c):
operator sobel , (d) Operator Prewitt 4x4

Metode Roberts digunakana untuk mencari tepi dengan


menggunakan perkiraan turunan algoritma Roberts. Metode Robert
kembali pda nilai titik yang nilai maksimumnya 1.

3.2 Menelusuri Batas


Dalam MatLab Tool box Image processing mempunyai dua fungsi
yaitu fungsi bwtraceboundary dan bwboundaries. Berikut adalah
contoh penggunaan fungsi bwtraceboundary to digunakan untuk
men-trace batas (border) suatu objek pada citra biner dan kemudian
menggunakan fungsi bwboundaries untuk men-trace batas dari
batas semua objek dalam citra. Berikut perintah (command) dalam
MatLab.
1. Baca citra dan display.
I = imread('coins.png');
imshow(I)

50
2. Konversi citra ke dalam citra biner.
Perintah bwtraceboundary dan bwboundaries hanya bisa
dihunakan pada citra biner.
BW = im2bw(I);
imshow(BW)

3. Menentukan koordinat baris dan kolom dari piksel pada


batas objek yang akan di-trace. Fungsi bwboundary
menggunakan titik ini sebagai titik awal dalam mem-tracing
batas.
dim = size(BW)
col = round(dim(2)/2)-90;
row = min(find(BW(:,col)))

4. Fungsi bwtraceboundary men- trace batas dari titik tertentu


,langkah pertama adalah citra biner harus ditentukan dulu
koordinat kolom dan barisnya dari sebagai titik awal dan
arahnya.
boundary = bwtraceboundary(BW,[row, col],'N');

5. Menampilkan citra asli grayscale dan menggunakan


koordinat bwtraceboundary untuk mem-plot to batas tepi
citra.

51
imshow(I)
hold on;
plot(boundary(:,2),boundary(:,1),'g','LineWidth',3);

6. Untuk men-trace batas semua citra coins. Dengan


menggunakan fungsi bwboundaries. Secara otomatis,
fungsi bwboundaries mencari batas semua objek suatu citra
ternasuk objek yang ada didalam objek lain. Dalam buku ini
digunakan citra biner, dalam kasus ini daerah – daerah
yang berarna hitam oleh bwboundaries interpretasikan
sebagai batas dari objek-objek yang ada. Oleh Karen itu
dalam program MatLab untuk menyakinkan bahwa
bwboundaries hanya me-traces uang logam (coins)
digunakan fungsi imfill untuk mengisi daerah yang ada
didalam setiap coin.
BW_filled = imfill(BW,'holes');
boundaries = bwboundaries(BW_filled);

Disini fungsi bwboundaries kembali ke sel, dimana setiap


koordinat sel terdiri dari baris dan kolom the row/column
coordinates suatu citra objek.

52
7. Plot batas semua coins pada citra grayscale yang
merupakan citra awal (original) dengan menggunakan
fungsi bwboundaries.
for k=1:10
b = boundaries{k};
plot(b(:,2),b(:,1),'g','LineWidth',3);
end

3.3 Segmentasi
Segmentasi merupakan proses mempartisi citra menjadi beberapa
daerah atau objek . Segmentasi citra pada umumnya berdasar pada
sifat discontinuity atau similarity dari intensitas piksel
 Pendekatan discontinuity: mempartisi citra bila terdapat
perubahan intensitas secara tiba-tiba (edge based).
 Pendekatan similarity: mempartisi citra menjadi daerah-
daerah yang memiliki kesamaan sifat tertentu (region
based)
Contoh: thresholding, region growing, region splitting and merging.
Citra digital merupakan atau berisi piksel-piksel atau citra digital = {
piksels }, segmentasi merupakan
partisi atau membagi citra kedalam beberapa bagian yang lebih
kecil (segmen). Segmentasi dilakukan dengan menggabung piksel-
piksel yang mirip atau similar ( piksel i and j ), Sij = Sji ≥ 0. Tujuan

53
segmentasi adalah menggabungkan piksel yang mirip dengan nilai
dari nilai Sij yang besar, harus pada segmen yang sama, sedangkan
piksel yang tidak mirip pada segmen yang berbeda-beda.
Segmentasi dapat juga dianggap sebagai proses pembagian citra
ke dalam kelompok-kelompok yang berarti yang saling berkaitan.

Tujuan dari segmentasi adalah membagi-bagi dalam bagian –


bagian atau region yang penting untuk aplikasi tertentu.
Segementasi dikerjakan dengan berbasis pada: greylevel, colour,
texture, depth or motion. Segmentasi merupakan proses awal dari
process pengolahan citra selanjutanya, contoh aplikasi segmentasi
antara lain: Indefikasi objek berdasarkan ukuran dan bentuk dan
Identifikasi objek dari moving picture (object-based video
compression (MPEG4). Terdapat beberapa macam segmentasi,
anatara lain Greylevel histogram-based segmentation Thresholding
dan Greylevel histogram-based segmentation Clustering. Didalam
tipe segmentasi , terlebih dulu didefinisiakann citra input sebagai
citra input signal-to-noise ratio dalam hal rata-rata (mean) dari niai
 dan
greylevel piksel objek dan piksel background  o standard deviasi
S/N  b
noise. 

54
Dapat mudah dipahami bahwa segmetasi berbasis throsholding
dengan memeriksa histogram pada citra dengan low noise objek
dan background, seperti pada gambar berikut:

Gambar 3.4. Histogram dengan 1 “lembah” diantara 2 puncak.

Grayscale Histogram Split and Merge

Gambar 3.5. Contoh segmentasi dengan histogram dan region

55
Dalam melakukan pengenalan sebuah objek di antara banyak objek
dalam citra, komputer harus melakukan proses segmentasi terlebih
dahulu. Segmentasi adalah memisahkan citra menjadi bagian-
bagian yang diharapkan merupakan objek-objek tersendiri atau
membagi suatu citra menjadi wilayah-wilayah yang homogen
berdasarkan kriteria keserupaan tertentu antara derajat keabuan
suatu piksel dengan derajat keabuan piksel-piksel tetangganya.
Berdasarkan cara kerjanya, terdapat dua jenis teknik segmentasi
citra, yaitu :
1. Segmentasi berdasarkan intensitas warna (derajat
keabuan). Berasumsi bahwa objek-objek yang akan
dipisahkan cenderung memiliki intensitas warna yang
berbeda-beda dan masing-masing objek memiliki warna
yang hampir seragam. Salah satu teknik segmentasi
berdasarkan intensitas warna adalah mean clustering. Pada
mean clustering dilakukan pembagian citra dengan
membagi histogram citra. Kelemahan segmentasi
berdasarkan intensitas warna (derajat keabuan) antara lain
adalah harus tahu dengan tepat berapa jumlah objek yang
ada pada citra serta citra hasil kurang bagus jika pada citra
terdapat beberapa objek dengan warna pada masing-

56
masing objeknya bervariasi atau pada setiap objek memiliki
warna yang sama.

2. Segmentasi berdasarkan karakteristik. Yaitu


mengelompokkan bagian-bagian citra yang memiliki
karakteristik yang sama berupa perubahan warna antara
titik yang berdekatan,nilai rata-rata dari bagian citra
tersebut. Untuk menghitung atau menentukan karakteristik
digunakan perhitungan statistik, misalnya varian, standard
deviasi, teori probabililitas, transformasi fourier. Salah satu
teknik segmentasi berdasarkan karakteristik adalah split
and merge. Proses tersebut dilakukan secara rekursif
karena pada setiap saat dilakukan proses yang sama tetapi
dengan data yang selalu berubah.

Sedangkan berdasarkan metodenya, terdapat dua pendekatan


utama dalam segmentasi citra yaitu didasarkan pada tepi (edge-
based) dan didasarkan pada wilayah (region-based). Segmentasi
didasarkan pada tepi membagi citra berdasarkan diskontinuitas di
antara sub-wilayah (sub-region), sedangkan segmentasi yang
didasarkan pada wilayah bekerjanya berdasarkan keseragaman
yang ada pada sub-wilayah tersebut. Hasil dari segmentasi citra

57
adalah sekumpulan wilayah yang melingkupi citra tersebut, atau
sekumpulan kontur yang diekstrak dari citra (pada deteksi tepi).
Contoh segmentasi dapat dilihat dalam gambar 3.1. Tiap piksel
dalam suatu wilayah mempunyai kesamaan karakteristik atau
propeti yang dapat dihitung (image properties), seperti : warna
(color), intensitas (intensity),dan tekstur (texture).

Citra asli Citra yang telah di-segmentasi


Gambar 3.6. Segmentasi citra pesawat

Segmentasi wilayah merupakan pendekatan lanjutan dari deteksi


tepi. Dalam deteksi tepi segmentasi citra dilakukan melalui
identifikasi batas-batas objek (boundaries of object). Batas
merupakan lokasi dimana terjadi perubahan intensitas. Dalam
pendekatan didasarkan pada wilayah, maka identifikasi dilakukan
melalui wilayah yang terdapat dalam objek tersebut. Salah satu cara
untuk mendefinisikan segmentasi citra adalah sebagai berikut.

58
Sekumpulan wilayah { R1,R2 ,R3..., Rn } merupakan suatu
segmentasi citra R ke dalam n wilayah jika :
i
i.  i2
Ri  R

ii. Ri  Rk   , i  k

iii. Ri terhubung i= 1,2,….n


iv. Terdapat suatu predikat P yang merupakan
ukuran homogenitas wilayah:
a. P(Ri) = TRUE , i=1.2,..,n
b. P(Ri  Rk = FALSE, i≠k dan Ri adjancent
Rk

3.4 Content Based Image Retrieval


Content-based image retrieval system (CBIRS) adalah sistem dan
teknik untuk melakukan pencarian citra (image retrieval)
berdasarkan isi visualnya (content-based) antara lain seperti warna,
tekstur, bentuk, tepian, dan karakteristik citra lainnya. Sedangkan
MPEG-7 Color Descriptor digunakan untuk mengekstrak fitur citra
secara otomatis berdasarkan deskripsi content yang terdapat dalam
citra.

59
Ide aplikasi pencarian citra yang dibangun terinspirasi oleh
kelebihan Lucene yang mampu menerima segala jenis data untuk
diindekskan terlebih dahulu. Untuk itu dalam aplikasi pencarian
citra, harus dibuat dahulu suatu cara untuk mengubah citra dengan
merepresentasikan citra ke dalam bilangan vektor. Kemudian
membandingkan vektor citra dengan data yang telah diindeks, lalu
dihitung perbandingannya. Proses selanjutnya adalah mencari
relevansi dari query citra dengan indeks yang ada. Hasil yang
didapat berupa jarak vektor citra yang menunjukkan kesamaan
dengan data yang sebelumnya diindeks terlebih dahulu. Semakin
kecil jarak yang didapat dari proses perbandingan maka tingkat
kesamaan semakin tinggi dengan query yang diberikan. Aplikasi
pencarian citra ini dapat dimanfaatkan dalam pengidentifikasian
arsip digital image, pencocokan warna, pencarian duplikasi image,
bidang disain grafis dan lain-lain. Pencarian citra merupakan
permasalahan yang menarik untuk dicari alternatif penyelesaiannya.
Berikut ini adalah penelitian yang sebelumnya dilakukan tentang
pencarian dan pencocokan citra.
 Pencarian citra dengan teknik multiresolusi dengan
memanfaatkan ciri tepi suatu citra,teknik ini dikenal dengan QVE
(Query by Visual Example).

60
 Pencarian citra dengan memanfaatkan warna, tekstur dan
bentuk citra yang dikenal dengan metode QBIC (Query By
Image Content). Metode ini telah dimanfaatkan oleh IBM untuk
membangun perangkat lunak pencarian citra yang bersifat
komersial. Dalam perangkat lunak tersebut user dapat membuat
query berdasarkan pada berbagai variasi perbedaan atribut
visual seperti komposisi warna dan ciri bentuk.

 Pencarian Citra yang didasarkan pada tekstur, dimanan citra


query dibangun berdasarkan berdasarkan bagianbagian tertentu
dari suatu citra. Citra yang diambil dari basis data kemudian
diurut berdasarkan tingkat kemiripan dengan citra query. Dengan
teknik ini digunakan (filter) yang diperoleh dari turunan Gausian.
Filter ini berguna dalam menghitung tingkat kemiripan antara
citra query dengan citra dalam database. Metode ini masih tetap
efektif walaupun telah terjadi perubahan skala yag cukup besar
terhadap ukuran citra query.
 Pencarian citra dengan menggunakan metode dekomposisi
wavelet. Ciri-ciri suatu citra yang disebut dengan signature dipilih
berdasar koefisienkoefisien wavelet yang memiliki magnitude
terbesar hasil proses transformasi wavelet. Sedangkan tingkat
kemiripan citra query dengan citra database dihitung dengan

61
sebuah metrika citra multiresolusi. Metrika ini memberikan
sebuah nilai yang menyatakan tingkat kemiripan antara citra
query dengan citra database. Citra database yang memberikan
nilai paling kecil berarti citra tersebut paling mirip dengan citra
query.

 Pengenalan citra wajah menggunakan Metode Alihragam


Gelombang Singkat dan Metrika. Alihragam gelombang singkat
dilakukan dengan mengkonvolusi sinyal dengan data filter atau
dengan proses perata-rataan dan pengurangan secara
berulang, yang sering disebut metode filter bank.Gelombang
singkat Coflet 6, Daubechies 8 dan Symlet 8 merupakan jenis
alihragam gelombang singkat yang baik

 digunakan untuk pengenalan citra wajah. Waktu pengenal yang


diperlukan sangat pendek dan waktu pengenalalan bersifat
linear terhadap ukuran basis data, sehingga metode ini dapat
digunakan untuk pengenalan citra wajah dengan ukuran basis
data yang besar. Hasil lain yang menarik dari penelitian ini
adalah tingkat kesuksesan pencarian citra query yang
bersumber dari sketsa pensil warna sangatlah baik.

62
 Pencarian citra berbasis DCT ,citra database ataupun citra
query bersumber dari scaner berupa sidik jari Hasil dari
penelitian ini menemukan bahwa pencarian citra sidik jari
menggunakan alihragam DCT sangat baik hasilnya jika di query
menggunakan citra blur dan citra query asli. Tingkat
kesuksesan pencarian citra sangat dipengaruhi oleh batasan
treshold score yang digunakan. Semakin besar treshold score
yang digunakan maka tingkat kesuksesan yang dihasilkan akan
semakin tinggi.

3.5 Piksel dan Koefisien DCT


Piksel neighborhood merupakan istilah dalam image processing
yang artinya piksel tetangga. Maksud dari piksel tetanggaini adalah
piksel yang terdapat di sekeliling piksel yang akan diproses.
Penggunaan piksel-piksel lain yang ada di sekeliling suatu piksel
yang akan diproses ini bertujuan untuk membuat nilai dari piksel
yang berada di tengah-tengah piksel lainnyatersebut menjadi
berubah sesuai dengan keinginan user. Matriks piksel neighborhood
ada yang memakai model rectangle juga ada yang memakai model
star. Tetapi, yang paling sering digunakan adalah model rectangle.

63
3.6 Median Filter
Sesuai dengan namanya, median filter merupakan suatu metode
yang menitik beratkan pada nilai median atau nilai tengah dari
jumlah total nilai keseluruhan piksel yang ada di sekelilingnya.
Dimisalkan terdapat data A=1, B=5, C=2,D=9, dan E=7, maka
median filter akan mencari nilai tengah dari semua data yang telah
diurutkan terlebih dahulu dari yang paling kecil hingga pada data
yang paling besar dan kemudian diambil nilai tengahnya (1, 2, 5, 7,
9). Median dari deret tersebut adalah 5. Pemrosesan median filter
ini dilakukan dengan cara mencari nilai tengah dari nilai piksel
tetangga yang mempengaruhi piksel tengah. Teknik ini bekerja
dengan cara mengisi nilai dari setiap piksel dengan nilai median
tetangganya. Proses pemilihan median ini diawali dengan terlebih
dahulu mengurutkan nilai-nilai piksel tetangga, baru kemudian
dipilih nilai tengahnya.

Metode median filter ini pernah digunakan sebagai metode untuk


mengurangi dampak noise pada file suara. Pengujian dilakukan
dengan sampel suara 8 bit dengan 22,05 kHz dan memiliki noise
5%. Dari hasil penelitian, penggunaan median filter terhadap noise
yang terdapat pada file suara tersebut memberikan hasil yang baik
dan dapat mengurangi noise yang terdapat pada file suara dengan

64
tidak terlalu mengurangi kualitas suara aslinya. Kasus mengurangi
noise terhadap file citra sebelumnya pernah diteliti juga dengan
metode average filter. Selain menggunakan metode average filter,
kasus ini juga pernah diteliti dengan metode Diffusion Filter. Dari
penelitian tersebut dapat dilihat hasil yang diuji melalui citra awal
dan citra akhir setelah proses. Dari hasil penelitian, didapat bahwa
average filter dan diffusion filter memberikan hasil yang cukup baik
dalam mereduksi noise tetapi dengan hasil citra yang cukup blur
atau kabur, sehingga hasil yang didapat tampak sedikit berbeda
dengan citra aslinya. Dalam hal ini mengurangi noise denagan
teknik salt pepper terhadap file citra sebelumnya juga pernah diuji.
Pengujian dilakukan dengan tingkat noise 10% sampai 90%. Dari
pengujian didapat semakin tinggi tingkat noise yang terdapat pada
sebuah citra, semakin rendah pula tingkat keberhasilannya dan
kualitas citra yang didapat. Dalam penelitian yang lain, median filter
pernah diuji tingkat keberhasilan deteksi dan tingkat keberhasilan
dalam mereduksi noise. Dari pengujian didapat tingkat rata-rata
keberhasilan median filter adalah 97,7%.

3.7 Mask Suatu Citra Digital


 Jika pada point processing kita hanya melakukan operasi
terhadap masing-masing piksel, maka pada mask processing

65
kita melakukan operasi terhadap suatu jendela ketetanggaan
pada citra.
 Kemudian kita menerapkan (mengkonvolusikan) suatu mask
terhadap jendela tersebut. Mask sering juga disebut filter.
Contoh:

Gambar 3.7 Mask citra 3x3


Nilai piksel pada posisi x dipengaruhi oleh nilai ke 8 tetangganya.
Perbedaan dengan point rocessing: pada point processing, nilai
suatu piksel tidak dipengaruhi oleh nilai tetangga-tetangganya.

3.8 Morfologi
Matematika morfologi merepresentasikan citra objek dua dimensi
sebagai suatu himpunan matematika dalam ruang Euclidean
dimana dapat berupa ruang kontinyu R atau ruang diskrit Z.Dulu
sebuah citra dipandang sebagai suatu fungsi intensitas terhadap
posisi (x,y), sedangkan dengan pendekatan morfologi, suatu citra
dipandang sebagai himpunan. Sebuah objek citra A dapat

66
direpresentasikan dalam bentuk himpunan dari posisi-posisi (x,y)
yang bernilai 1 atau 0 dimana nilai-nilai tersebut menunjukkan
tingkat gray scale setiap posisi. Nilai 1 untuk gray level warna putih
dan nilai 0 untuk gray level warna hitam. Prinsip dasar dari
matematika morfologi adalah penggunaan structuring element yaitu
bentuk dasar dari suatu objek yang digunakan untuk menganalisis
struktur geometri dari objek lain yang lebih besar dan kompleks.
Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi mengenai bentuk
dari suatu citra dengan mengatur bentuk dan ukuran suatu
structuring element. Dalam morfologi ada beberapa operasi yang
dapat dilakukan, yaitu : translasi, dilasi, erosi, dan opening.

3.8.1 Translasi
Translasi artinya sebuah citra dideser pada arah (x,y) dimana (x,y)
adalah koordinat matriks. Operasi Operasi translasi dinyatakan
sebagai.

3.8.2. Dilasi
Operasi Dilasi dilakukan untuk memperbesar ukuran segmen objek
dengan menambah lapisan di sekeliling objek sehingga citra hasil

67
dilasi cenderung menebal [9]. Operasi dilasi akan melakukan proses
pengisian pada citra asal yang memiliki ukuran lebih kecil
dibandingkan structuring element (strel). Dilasi A oleh B dinotasikan
dengan A ⊕ B dan didefinisikan sebagai:

3.8.3 Erosi
Operasi erosi adalah kebalikan dari operasi dilasi. Pada operasi ini,
ukuran objek diperkecil dengan mengikis sekeliling objek sehingga
citra hasil cenderung diperkecil menipis. Operasi erosi akan
melakukan pengurangan pada citra asal yang lebih kecil dibanding
elemen penstruktur (strel). Erosi A oleh B dinotasikan
AΘBdidefinisikan sebagai :

3.8.4 Opening
Proses opening pada sebuah citra A oleh strel B dinotasikan
dengan A ° B dan idefinisikan sebagai proses erosi yang dilanjutkan
dengan proses dilasi dimana kedua proses tersebut dilakukan
secara berulang untuk semua titik (x,y).

68
3.9. Structuring Element
Structuring element dapat diibaratkan dengan mask pada
pemrosesan citra biasa (bukan secara morfologi). Structuring
element juga memiliki titik poros (disebut juga titik origin/ titik
asal/titik acuan). Di bawah ini adalah contoh structuring element
dengan titik poros di (0,0) ditunjukkan dengan huruf ―O‖ Gambar
3.2.

0 1 0 
O = 1 1 1 
 
0 1 0 
 
 
a b
Gambar 3.8. Structuring element, titik O adalah titik pusat , sedang b
adalah representasi biner

Structuring element disajikan dalam bentuk matriks biner seperti


pada Gambar 3.2.b, di mana angka ―1‖ dan angka ―0‖ menunjukkan
nilai gray level. Dalam morfologi, yang menjadi kunci penting
adalah pemilihan structuring element. Structuring element memiliki
dua komponen yang penting yaitu bentuk dan ukuran dimana
keduanya mempengaruhi hasil pengujian. Pemilihan bentuk

69
structuring element juga mempengaruhi citra hasil operasi
morfologi.

3.10. Filtering Pass Filtering


Low pass filtering, atau dikenal sebagai "pemulusan", digunakan
untuk menghilangkan noise frekuensi tinggi spasial dari sebuah citra
digital. Kebisingan sering diperkenalkan selama proses konversi
analog-ke-digital sebagai efek samping dari konversi fisik pola
energi cahaya menjadi pola listrik. Bentuk yang low-pass filter
biasanya adalah sebagai semacam bergerak operator jendela.
Operator biasanya mempengaruhi satu piksel citra pada suatu
waktu, mengubah nilai dengan beberapa fungsi suatu daerah "lokal"
dari piksel ("tertutup" oleh jendela). Operator "bergerak" di atas citra
untuk mempengaruhi semua piksel dalam citra. Beberapa jenis
umum adalah dari filtering adalah.
 Neighborhood-filter ini rata-rata mengganti nilai setiap
piksel, a [i, j] mengatakan, oleh-tertimbang rata-rata piksel
dalam beberapa lingkungan di sekitarnya, yaitu jumlah
tertimbang dari [i + p, j + q] , dengan k p =-untuk k, q =-k
untuk k untuk beberapa k positif; bobot adalah non-negatif
dengan berat tertinggi pada p = q = 0 panjang. Jika semua
bobot yang sama maka ini adalah berarti filter.

70
 Filter Median ini menggantikan setiap nilai piksel dengan
rata-rata negara tetangga, yaitu nilai tersebut bahwa 50%
dari nilai di lingkungan berada di atas, dan 50% di bawah.
Ini bisa sulit dan mahal untuk diimplementasikan karena
kebutuhan untuk menyortir dari nilai-nilai. Namun, metode
ini secara umum sangat baik pada mempertahankan tepi.
Dalam Model filter median setiap nilai piksel digantikan oleh
tetangga yang paling umum. Ini adalah sangat berguna filter
untuk prosedur klasifikasi di mana setiap piksel sesuai
dengan obyek yang harus ditempatkan dalam kelas, dalam
penginderaan jauh, misalnya, setiap kelas bisa menjadi
beberapa jenis medan, jenis tanaman, air, dan lain-lain.
Filter atas semua invariant ruang dalam operasi yang sama
diterapkan untuk masing-masing lokasi piksel. Sebuah invariant
non-space filtering, dengan menggunakan filter di atas, dapat
diperoleh dengan mengubah jenis filter atau bobot yang digunakan
untuk piksel untuk bagian yang berbeda dari citra. filter non-linear
juga ada yang tidak invarian ruang; upaya ini untuk mencari tepi
pada citra bising sebelum menerapkan smoothing, tugas yang sulit
yang terbaik, untuk mengurangi kabur karena perataan tepi.

3.11. Analisa bentuk

71
Analisa bentuk adalah identifikasi suatu objek dengan berdasarkan
bentuk objek yang bersangkutan. Proses ini biasanya dikerjakan
untuk setelah proses prosedure segmentation. Analisa bentuk
dapat didefiniskan sebagai analisa bentuk berdasarkan diskripsi
bentuk. Terdpat beberapa deskripsi bentuk diantaranaya: Including
boxes , Fourier descriptors, Guzman polygons, Freeman chain
coding, Moment descriptors

3.11.1 Including boxes


Dikerjakan dengan merancang kotak yang mengikut sertakan
sumbu bagian objek yang penting dengan sumbu citra digital.
Contoh dari deskripsi ini adalah deteksi struktur filarial

Gambar 3.9 Citra Binary setelah segmentasi


Including boxes dapat dilakukan dengan beberapa langkah:
1. objects labeling
a. Morphological tool (labeling)
%load image

72
Img=imread(‘objek.png’);
Img=double(:,:,1);
%create labeling
Result = bwlabel(img,8);

Gambar 3.10 Morphological tool (labeling)


2. Karakterisasi setiap objek, kemudian dilanjutkan dengan
karakteristasi menggunakan including boxes.

Gambar 3.11 Karakterisasi citra


3. Perhitungan parameter diskrimnasi
 Ratio antara daerah objek / including square area
 One keeps objects whose corresponding
parameter has a value lower than 0.5

73
Gambar 3.12. Komputasi diskriminasi parameter

3.11.2 Fourier descriptors


Fourier descriptor adalah alat yang digunakan untuk
mendeskrisipsikan bentuk eksternal dari suatu objek yaitu
konturnya. Terdapat dua macam Fourier descriptors,
yaitu:tangential descriptors dan complex descriptors. Prinsip dari
Tangential descriptor adalah kontur suatu bentuk digunakan untuk
mendiskripsikan sebagai kurva kontinu yang didefinisikan oleh
parameter kurva linier s dari A.

74
Karakteristik kurva darin sudut  (s) yang didefinisikab oleh vektor
tangential pada setiap titik point
Dan vector tangential vector pada titik A.

Definisi dari variable t mempunyai nilai-nilai antar 0 dan 2π dapat


ditulis dengan persamaan berikut:
2 .s
t ,dimana L adalah panjang dari kurva.
L

 2 .s   2 .s 
 (t)    
 L   L 

3.11.3. Pengenalan bentuk (Shape recognition)


3.11.3 Line approximation

75
Shape recognition dapat didefinsikan sebagai (piksel) didapat
setelah pengolahan citra dikerjakan salah satu tujuannya adalah
unutuk menemukan bentuk awal yang dapat mendeskripsikan titik
terbaik dari point yanh diekstrak. Ada dua metode perkiraan garis
untuk shape recognition yaitu metode Least square yang
diturunkan dari jarak minimum exact approach dan robust
estimation approaches. Pendekatan pasti atau exact approach
menganggap setiap titik di-ekstract dianggap mempunya pengaruh
yang sama pada diskripsi garis. Contoh dari Exact approach
adalah:

1. Pendekatan regresi linier , langkah pertama adalah


mencari nilai minimum dari jarak :
∆: Y=a0+a1x

d1    yi  (a 0  a1 x1)
N
2 2

i 1

76
Selanjutnya metode ini dilajutkan dengan perhitungan titik-titik yang
didapat dari (xi,yi) dengan menggunakan persamaan berikut:
1
A  (X t X) Xt Y

Dimana 1 x 
1 Y = [y1,y2,y3,….,yN ]t A= [a0,a1]t
X  ... ....
 

1 x 
N

3.12. Pendekatan Robust Estimation


Metode ini adalah mencari garis terbaik yang mewakaili titik – titik
yang dianggap terganggu oleh noise. Metode ini dapat dibagi
menjadi dua cara median estimation dan mixture of lines
estimation. Dalam metode median estimation beberapa lankah
perlakukan antara lain:

i. Pilih dua titik Mi dan Mj dari himpunan


ii. titik-titik yang berhubungan dengan garis yang
berkaitan dengan garis yang didefinisikan oleh
koefisien aij dan bij
iii. dari gabungan titik titik yang telah diaplikasikan
pada titik dari koefisien :
a = {aij} et b = {bij}

77
iv. Setelah itu secara terpisah diurutkan dan nilai
satu disimpan sebagai nilai median dan yang
lai nsebagai parameter-parameter untuk
mempergrakan garis linier.
v. Metode ini dapat digunkan untuk
memperkirakan sebanyak 50 % titik yang
tidak tepat.
Shape (bentuk) adalah salah satu atribut yang penting untuk
mengenali sebuah objek. Pengenalan bentuk menjadi faktor yang
penting dalam pengenalan suatu objek. Sebuah representasi yang
baik akan dapat menggambarkan karakteristik intrinsik dari sebuah
shape secara eksplisit. Sebuah representasi shape yang bagus
harus dapat menggambarkan sebuah objek secara akurat sehingga
akan memudahkan menemukan bentuk asli sebuah objek setelah
objek tersebut telah direkonstruksi. Pada dasarnya bentuk sebuah
objek dapat direpresentasikan dalam bentuk karakteristik internal
dan eksternal. Pendekatan shape secara struktural merupakan
salah cara representasi shape yang umum digunakan pada metode
representasi shape pada morfologi.

Shape didefiniskan sebagai sekumpulan titik yang saling terhubung


[6]. Jadi sebuah objek dikatakan mempunyai bentuk jika semua titik

78
pada objek tersebut terhubung. Secara taksonomi, ada beberapa
teknik dalam representasi shape yaitu dalam bentuk contours,
region, dan transforms. Contour-based sama dengan boundary-
based yaitu merepresentasikan shape berdasar boundary-nya.
Regionbased berdasar area dari suatu objek, sedangkan teknik
transform merepresentasikan shape dalam bentuk koefisien
transform, biasa menggunakan transformasi Fourier maupun
wavelet .

3.13. Representasi Matrik dari bentuk


Matrik dapat digunakan untuk merepresentasikan sebuah shape.
Shape matrix adalah kuantisasi polar dari sebuah bentuk, yang
dianalogikan sama dengan sistem koordinat. Titik tengah koordinat
(0,0) merupakan titik tengah dari objek shape, dan sumbu axis x
merupakan sumbu yang ditarik dari titik tengah menuju titik terjauh
dari shape. Jika shape diubah ke dalam bentuk koordinat polar (r,
θ) maka shape tidak akan dipengaruhi oleh posisi dan sudut
rotasinya. Shape matrix juga tidak dipengaruhi oleh skala dari objek
shape tersebut. Shape matrix invariant terhadap translasi, rotasi,
dan scaling dari shape tersebut .

79
Gambar 3.13 (a) Contoh Shape , (b) Matrik Shape

Pada konsep shape matrix, sebuah shape akan diubah menjadi


bentuk matriks dengan melakukan kuantisasi polar pada shape
tersebut (Gambar 3.13b). Asumsi titik O adalah titik tengah dari
shape dan garis OA dengan panjang L adalah radius terjauh shape
dihitung dari titik tengah O. Untuk mendapatkan shape matrix m x
n , garis OA dibagi menjadi(n − )1 bagian dengan jarak yang sama.
Kemudian dibuat lingkaran - dengan titik pusat O – dengan radius
lingkaran masing-masing adalah

Akan didapatkan titik potong antara masing-masing lingkaran


dengan garis OA pada i1,i2,i3,... in-1. misalkan didapatkan titik
potong (1), (2), (3), dan (4). Kemudian dari setiap titik potong
tersebut – dengan arah berlawanan jarum jam – setiap lingkaran

80
dibagi menjadi m busur yang sama dengan sudut dθ = 360 / m
derajat.
Sedangkan untuk menentukan nilai-nilai elemen pada shape matrix
dijelaskan pada algoritma di bawah ini:
Buat matrik M dengan ordo m x n
For i = 0 to (n-1)
For j= 0 to (m-1)
If titik dengan koordnar polar
(i.L/(n-1), j(360/m)
Berada di dalam shape
Then M(i,j) := 1
Otherwise M(i,j) :=0

81
BAB - 4
JENIS-JENIS CITRA DIGITAL

4.1 Jenis atau Tipe Citra Digital


Dalam MatLab dikenal 4 jenis citra digital yaitu: citra Binary , citra
Indexed, citra Grayscale, dan citra Truecolor.
 Citra biner dikenal pula sebagai citra Binary bilevel image.
Dimana matriknya berisi nilai 0 dan 1, mewakili warna putih.
Contoh citra biner dapat dilihat pada gambar:

Gambar 4.1. Contoh citra binary/biner

82
 Citra indexed dikenal pula sebagai citra pseudocolor .
Citra ini merupakan array klas logika single , uint8, uint16
atau double yang nilai-nilai pikselnya di-indeks dalam peta
warna. Peta warna merupakan suatu array klas double m x 3
. Untukk array single atau double kisaran nilai integer dari
[1, p]. Sedangkan untuk array uint8, atau uint16 mempunyai
kisaran nilai [0, p-1]..

Gambar 4.2. Contoh citra idexed

 Citra grayscale dikenal sebagai citra: intensity, gray scale,


atau gray level : Klas array untuk uint8, uint16, int16, single,
or double mempunyai nilai piksel tergantung nilai

83
intentisitasnya. Untu untuk array single atau double ,
mempunyai kisaran nilai [0, 1]. Untuk uint 8, mempunyai
kisaran nilai dari [0,255]. Untuk uint 16, kisaran nilai adalah
dari [0, 65535]. Untuk int16, kisaran nilau dari [-32768,
32767].

Gambar 4.3. Citra gray scale


 Citra truecolor dikenal sebagai citra RGB : aray m-x-n-x 3
array klas uint8, uint16, single, atau double mempunyai nilai
menurut nilai intensitasnya. Untuk array single atau double
,memunyai kisaran nilai dari [0, 1]. Untuk unit 8, kisaran nikai
dari [0, 255]. Untuk uint16, kisaran nilai dari [0, 65535].

84
Gambar 4.4. Contoh citra berwarna (RGB)

Untuk menentukan warna piksel pada (2,3), maka kita harus


melihat triplet RGB yang disimpan pada (2,3,1:3). Misal (2,3,1)
mengandung nilai 0.5176 , (2,3,2) mengandung 0.1608 dan (2,3,3)
berisi 0.0627. Maka warna piksel (2,3) adalah 0.5176, 0.1608,dan
0.0627.

4.2 Konversi Antar Citra

85
Pada saat kita mengkonversi jenis citra satu ke yang lain, sering
menghasilkan citra yang sedikit berbeda dengan citra asli.
Terdapat beberapa fungsi atau commad untuk konversi citra dlam
MatLab diantaranya: gray2ind, im2bw, ind2gray, rgb2gray, rgb2ind,
and mat2gray.

4.2.1 rgb2gray
Fungsi ini digunakan untuk mengubah citra berwarna (RGB)
menjadi citra gray scale. Rgb2gray digunakan untuk
menghilangkan komponen Hue dan Saturation dan tetap
menyimpan komponen Luminance. Contoh penggunakan command
ini adalah :
I = imread('monas.jpg');........... membaca citra yang bernama
monas.jpg
J = rgb2gray(I); ....................... Mengguba citra berwarna
monas ke citra grayscale
figure, imshow(I), figure, imshow(J); ........menampilkan citra
asli dan citra hasil

4.2.2 im2bw
Mengubah citra berwarna ke citra binary image. im2bw
menghasilak citra biner dari citra indek atau citra RGB , command
ini mengubah citra input ke dalam format garyscale (jika belum
berupa citra ntensitas) dan menggunakan thresholding untuk

86
mengubah citra grayscale ke citra biner. Output citra biner BW
mempunyainilai 1 (putih) dan 0 (hitam) untuk semua piksel. Contoh
penggunaan command ini dapat ditulis dibawah ini.
load pohon ............................memanggil citra yang bernama
pohon
BW = im2bw(X,map,0.4); ..... mengubah citra intensitas menjadi
citra hitam putih
imshow(X,map), figure, imshow(BW)....menampilkan citra asal
dan citra hasil

4.2.3 Perintah atau command untuk konversi citra


Berikut adalah tabel konversi antar citra yang digunakan dalam
program MatLab:

Tabel 4.1. Konversi citra

Gray2ind mengkonversi citra grayscale or binary image to


indexed image
I = ind2gray(X,map) mengkonversi citra X dengan
th colormap menjadi citra intensitasI. ind2gray
menghilankan informasi hue dan saturation dari
citra input semetara tetap menggunakan
komponene luminance.
[X,map] = gray2ind(I,n) mengkonversi ciitra
grayscale I menjadi citra indexed X. n adalah
ukuran colormap, gray(n). n harus bilangan antara
1 samapai 65536. Jika n diabailkan, makam n

87
dianggap smadengan to 64.
[X,map] = gray2ind(BW,n) mengkonversi citar
biner BW menjadi citara indexed X. Sementara
n adalah ukuran dari colormap, gray(n). Jika n
diabaikan maka defaultnya sama dengan 2.

Gray2ind gray2ind menghitung dan membulatkan


perhitungan citra intensitas untuk menyamakan
dengan citra indexed. Script berikut adalah untuk
mengkonversi citra grayscale menjadi citra
indexed dan menampilkan hasilnya.
I = imread('cameraman.tif');
[X, map] = gray2ind(I, 16);
imshow(X, map);
ind2gray Mengkonversi citra indexed menjadi citra
intensitas, berikut adalah script untuk memanggil
citra yang bernama tree dan mengonversi menjadi
citra intensitas.
load trees
I = ind2gray(X,map);
imshow(X,map)
figure,imshow(I)
Rgb2ind Menguba citra RGB menjadi citra indexed
,rgb2ind mengubah citra RGB citra indexed
menggunakan satu dari tiga metode yang berbeda
, yaitu : metode Uniform quantization Minimum ,
variance quantization, dan Colormap
approximation
Semua metode ini, rgb2ind sering digunakan
ketiga-tiganya kecuali disebutakan secara khusus
dengan perintah 'nodither' dari dither_option
yang ada.

88
[X,map] = rgb2ind(RGB,n) mengubah citra RGB
kedalam citra indexed X dengan menggunakan
metode minimum variance quantization. map
terdiri paling banyak n warna. n harus kurang atau
sama dengan 65536.

X = rgb2ind(RGB,map) mengubah citra RGB


menjadi citra indexed X dengan colormap map
matching warna didalam citra RGB dengan warna
yang terdekat didalam colormap map. size(map,1)
harus kurang atau sama dengan 65536.

[X,map] = rgb2ind(RGB,tol) mengubah citra


RGB menjadi citra indexe X dengan mengunakan
metode uniform quantization. disini map terdiri
dari dan mendekati warna sebanyak
(floor(1/tol)+1)^3 warna. tol harus antara 0.0 dan
1.0.
[...] = rgb2ind(...,dither_option) mengaktifkan
atau non-aktifkan dithering. dither_option adalah
string yang mempunyai satu nilai dari nilai-nilai
berikuty: 'dither' (default), jika perlu untuk
memperoleh warna yang resolusinya lebih bagus
pada resolusi spatial . setiap map 'nodither'
warna dalam warna asli yang mendakati warna
pada color map yang baru.
RGB = imread('peppers.png');
[X,map] = rgb2ind(RGB,128);
imshow(X,map)
mat2gray Mengubah satu matrix menjadi image grayscale
atau citra intensitas.
I = mat2gray(A,[amin amax]) mengubah matrix A

89
menjadi citra intensitas I. matrix I yang didapat
berisi nilai-nilai dengan kisaran 0.0 (hitam)
sampai 1.0 (putih atau intentas penuh). amin dan
amax nilai nilai-nilai didalam A yang sesuai
dengan 0.0 dan 1.0 in I.

I = mat2gray(A) mendefinisika nilai amin dan


amax sebagai nilai minimum dan maximum di
dalam A.
I = imread('rice.png');
J = filter2(fspecial('sobel'),I);
K = mat2gray(J);
imshow(I), figure, imshow(K)

90
BAB - 5

FITUR CITRA DIGITAL

Fitur merupakan karakteristik yang dimiliki suatu objek yang


membedakan dengan objek yang lain. Begitu juga dengan citra,
citra juga memliki fitur yang dapat membedakan dengan citra yang
lain , fitur suatu citra didapat dengan melakukan ekstarksi pada citar
tersebut. Fitur – fitur yang ada pada citra antara lain : tekstiur, edge,
warna, dan bentuk.

5.1 Tekstur
Fitur tekstur merupakan suatu karakteristik atau sifat yang dimiliki
oleh citra , tekstur juga dianggap sebagai sifat kontekstual
sehingga untuk mendifinisikanya mencakup nilai-nilai gray level
dengan nilai piksel tetangganya. Ukuran atau size dari piksel
tertangga tergantung pada tipe teksturnya, sehingga tekstur dapat
dideinisikan sebagai:
 Teksture merupakan distribusi spatial dari nilai gray level,
sehingga merupakan histogram 2D atau dua matriks yang
dapat dianalisa dengan teksture analysis tool.

91
 Tekstur dalam suatu citra dapat sebagai perbedaan dua
level resolusi suatu citra

Fitur statistic dapat digunakan sebagai metode untuk


mengklasifikasikan tekstur berdasarkan gray level, GLCM atau Grey
level co-occurrence matrices dapat digunakan untuk mengekstrak
second order statistic dari suatu citra. GLCM dapat didefinisikan
sebagai suatu matrik frekwensi dari dua piksel yang dipisah oleh
suatu vector yang ada dalam citra. Dimana distribusi frekwensi
dalam matrik tergantung pada derajat dan jarak antara dua piksel
tersebut.

Teksture dapat juag didefinisiak nsebagai susunan dari warna atau


intensitas dalam suatu citra digital atau daerah tertentu dalam citra.
Teksture terdiri dari beberapa tekstur elemen (Texel). Beberapa
maslah dalam analisa tektur antara lain:

• Segmenting dari texels sulit atau bahkan tidak mungkin


dalam pratek sehari-hari.

• Perhitungan statistics yang menjelaskan texture dapat


dihitung dari nilai grey atau warna. Metode ini kurang

92
akurat tapi algoritma cuup efisien. Perhitungan ini dapat
digunakan untuk klasifikasi citra dan segmentasi citra.

Beberapa perhitungan Statistik sederhana dari teksture:

• Perhtungan Edge Density and Direction


• Menggunkana edge detector sebagai langkah pertama
dalam analisa tekstur.
• Jumlah piksel pinggir dalam suatu region yang
menggambakan betapa kompleknya suatu region citra.
• Arah edges dapat digunakan untuk menentukan
karakteristik dari tekstur.
• Two Edge-based Texture Measures

a. Penentuan pinggir(Edgeness)setiap region

Fedgeness = |{ p | gradient_magnitude(p)  threshold}| / N


Dimana N adalah ukura dari unit area

b. edge magnitude and direction histograms

Fmagdir = ( Hmagnitude, Hdirection )

93
Dimana Fmagdir adalah histograms yang telah dinormalisasiakn
dari gradient magnitudes and gradient directions .

Co-occurrence Matrix Features

Suatu Matrik co-occurrence matrix merupakan array 2D array C ,


dimana:

Kedua kolom dan rais mewakili nilai – nilai citra

• C (i,j) menunjukan berapa kali nilai i terjadi dengan j


dalam suatunilai a tertentu yang berkaitan dengan d.
• Hubungan spatial dapat ditulis sebagai suatau vector d =
(dr,dc).

Citra grey sacle Matrik Co-occurence

Gambar 5.1 Concurancy matrix

94
Dari C dapat dihitung N , Normalisasi co-occurrence matrix, dimana
setiap nilai dibagi dengan jumah semua nilai.

Fitur Co-occurrence

Energy   N d2 (i, j )
i j

Entropy   N d (i, j ) log 2 N d (i, j )


i j

Contras   (i  j ) 2 N d (i, j )
i j

N d (i, j )
Homogenety  
i j 1 i  j

Correlatio n 
 i j
(i   i )( j   j ) N d (i, j )
 i j

Dimana μiμj adalah mean dan σiσj adalah standar deviasi dari
baris dan kolom. Energy digunakan untuk menghitung homogenitas
dari matrik yang telah dinormalisasi. Fitur tekstur merupakan dapat
juga ditentukan dengan menggunakan filyter Gabor. Dari
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan fitur ini sangan handal

95
dalam menentukan informasi suatu citra bila digabungkan dengan
fitur warna.

5.2 Tepi (edge)


Gambar 5.2 adalah contoh operasi pendeteksian tepi pada citra
Camera. Operasi ini menghasilkan semua tepi (edge) di dalam citra.

a B

Gambar 5.2. (a) Citra camera, (b) citra hasil pendeteksian seluruh tepi

5.3 Warna
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 2, warna merupakan fitur
yang sangat sering digunakan dalam analisa citra digital. Ekstraksi
warna dari citra berwarna merupakan proses pengekstrakan satu
atau beberapa daerah yang saling berhubungan (memiliki kriteria

96
keseragaman/ homogenitas) dari suatu citra, yang diperoleh
berdasakan fitur pada komponen spektral. Komponen-komponen ini
didefinisikan dalam model ruang warna. Selanjutnya proses ini
dapat ditingkatkan berdasarkan pengetahuan tambahan mengenai
obyek yang ada dalam citra, seperti geometrik atau properti optikal
lainnya. Dalam analisa citra otomatis, warna merupakan deskriptor
yang sangat berguna, yakni untuk menyederhanakan proses
identifikasi dan ekstraksi obyek. Misalnya jika kita ingin mempartisi
citra berdasarkan warnanya, maka kita dapat melakukannya pada
setiap lapisan warna (baik pada HLS atau RGB).

Banyak penelitian dilakukan dengan menggunakan metoda


segmentasi dengan membari ambang batas pada tiap-tiap
tingkatan warna. Metoda ini mensegmen obyek berdasarkan
komponen warnanya. Ambang batas yang dilakukan pada citra
berwarna berbeda dengan ambang batas yang dilakukan pada citra
biner maupun keabuan (grey scale).

5.4 Fitur Bentuk

Fitur bentuk dari suatu citra digital dapat ditentukan oleh tepi atau
besaran momentnya. Besaran moment pada fitur ini banayak

97
digunakan oleh banyak peneliti dengan memanfaatkan nialai
transformasi fourier citra. Proses yang dapat diguanakan untuk
menentukan fitur bentuk diantaranya edge detection atau deteksi
tepi, thresholding, segmentasi dan perhitung moment (sepertti
mean, median dan stnadard deviasi dari setiap lokal citra)

98
BAB - 6
JPEG DAN JPEG2000

6.1 JPEG
Joint Photographic Experts Group (JPEG) merupakan skema
kompresi file bitmap. Awalnya, file yang menyimpan hasil foto digital
memiliki ukuran yang besar sehingga tidak praktis. Dengan format
baru ini, hasil foto yang semula besar dapat dimampatkan menjadi
kecil.

Komite JPEG telah membuat banyak standar sejak tahyun 1986.


ISO sebenarnya telah bekerja sejak tahun 1983 untuk mencoba
metoda bagaimana menambah krualitas grafik menjadi teks dari
waktu ke waktu. Nama resmi dari dari standar Citra digital in
disebut ‘JPEG‘ dan merupakan standar rekomendai oleh ISO/IEC
109 18-1-ITU-T T.81 yang dipublikasikan oleh standar nasional ISO
dan CCITT yang disbut ITU-T.

6.2. Lossy Compression

99
Dalam lossy cokmpression Coding citra digital dikerjakan dengan
beberapa langkah , yaitu:
i. dibagi-bagi dalam sub-citra atau blok 8 x 8 dan diproses
dari kiri ke kanan , atas ke bawah
ii. Level shifting, yaitu setiap sub-citra atau blok dikurangi
dengan 2n-1 dimana 2n adalah jumlah gray scale yang
digunakan
iii. Hitung koefisien DCT untuk setiap sub-citra
iv. Kuantisasi setiap DCT
a. Bagi dengan matrik normal
b. Hasilnya dibulatkan dengan rumus berikut:

 T (u, v)
T  (u, v)  DCT{ f ( x, y ), T (u, v)  round
Z (u, v)

v. Buat array berdimensi satu dari koefisien-koefisien yang


telah dikuantisasi, dengan menggunakan model zig-zag
vi. Koding array ini dengan menggunakan variabel run length
dan length coding
a. Koefisien DC : selisih antara koeifisien DC dari
sub-citra dengan koefisien DC sebelumnya.

100
b. Koefisien AC : Merupakan nilai yang bukan nol dari
koefisien AC dan jumlah keoefisien yang bernilai
nol yang mendahukui nilai bukan nol AC yang
dihitung. EOB dan 16 kode yang bernilai nol yang
mengikuti mempunyai kode-kode sub-citra (=blok)

Contoh JPEG coding

Citra Asli Level Shift

101
DCT Kuantisasi

ZIG-ZAG

CODING

Sementara itu Decoding Lossy cokmpression citra digital dikerjakan


dengan beberapa langkah , yaitu:
i. Decoding array dan gunakan model zig-zag ke T(u,v)
ii. Kalikan dengan matrik normal: ‗T=(u,v) = ―T(u,v)
iii. Hitung 2D DICT : ‗f(x,y) = DICT{‗T(u,v) Z(u,v)
iv. Level Shit Back : Tambah 2n-1 untuk setiap sub-citra
v. Letakan sub-sub citra kembali ke tempat yang benar
Decode array menurutb Mengalikan dengan
order zig-zag kembali ke matrik normal
sub-citra 8 x 8

102
DICT Level shift back

Letakan sub-citra pada tempat yang sesuai


512 1 92
CR   RD  1  1  82%
92 CR 512

6.3 Discrete Cosine Transform

103
DCT dikerjakan dengan membagi citra dalam blok-blok 8x8, dimana
x dan y adalah ideks suatu citra sementara u dan v menunjukan
indeks dari koefisien DCT. Sebelum DCT dikerjakan koefisien di-
scale dengan menggunakan titik tengah dari range yang sudah ada.

1
1Cu  72 7  ( 2 x  1)u   (2 y  1)v 
F (u , v)  Cu Cv  f ( x, y ) cos  cos 
Untuk u = 0, makax Cu
4 
0 y  0= 1 sebalik Cu=0 jika u ≠ 0. Sedangkan
16 16 
64
operasi untuk setiap koefisien DCT dapat dihitung dengan:
1
Cv 
2

Untuk v = 0, Cv = 1 dan Cv=0 jika v ≠ 0

6.4 DCT Analysis

Analisa DCT dapat dikerjakan dengan mengatur spatial information


ke dalam frekwensi-frekwensi sebagai berikut:

 Koefisien kiri atas (koefisien pertama) yang disebut koefisien DC


dan sisanya disebut koefisien AC. Mata manusia kurang sensitf
terhadap koefisien AC (frekwensi tinggi). Sehingga semakin
tinggi frekwensi AC maka memerlukan kuantisasi lebih cepat

104
karena kehilangan informasi sulit diketahui pada saat
normalisasi.
 Kuantisasi

 Setelah DCT maka 64 koefisien , koefesian DC yang ada di kiri


atas dan koefisien laninya disebut koefisien 63 sebanyak 63.
Kuantisasi dikerjakan dengan menggunakana tabel kuantisasi
yang dibuat berdasarkan Sifat dan karakteristik mata manusia.
Warna dan frekwensi-frekwensi yang lebih tinggi kurang penting
dibandingkan dengan Luminance dan frekwensi rendah dapat
disimpan dalam table. Berbagai jenis tabel dan nilai dapat
digunakan berdasarkan ratio atau kualitas yang diinginkan.

6.5 ZigZag Scanning

Zig zag scanning adalan proses pengaturan kemabli matrik 8x8


yang telah dikuantisasi kedalam aturan zig-zag.

105
Modified Huffman Coding

Codewords dipakai untuk to descriptors, dimana setiap {Zero Run


Length/Magnitude Category} diberi codeword.

Tabel 6.1 Code Length fman


Run/Category Code Codeword
Length
0/1 2 00
2/3 10 1111110111
4/1 6 111011
6/2 12 111111110110

Penambahan bits yang ada menunjukan nilai tertentu dalam


kategori magnitude yang digunakan. Predictive coding juga
digunakan pada koefisien DC dari blok satu ke blok yang lain. Hal
ini dapat secara dinamis dan statis, Huffman codes bekerja dengan
menggunakan code-kode yang lebih pendek. Jika table code table
dapat berubah maka tabel-tabel dapat lebig digunakan secara
optimal setiap citra.

Format file JPEG adalah yang paling canggih yang tercatat di awal.
Ini mencapai rasio kompresi yang sangat baik bagi sebagian besar
jenis citra, biasanya 30:1 pada saat true color. Teknik kompresi

106
yang digunakan oleh JPEG dimulai dengan warna subsampling
psychovisual dan kuantisasi. DCT kompresi ini kemudian diterapkan
ke satu 8 x 8 blok pada waktu dan komponen frekuensi tidak
penting domain dieliminasi. Akhirnya sisa komponen dikodekan
secara optimal menggunakan Huffman coding. Sayangnya metode
kompresi beroperasi perlahan dan juga sangat sulit untuk
dilaksanakan. Namun, chip VLSI yang tersedia yang dapat
melakukan coding JPEG sangat cepat di hardware. Kelompok
JPEG kerja juga telah menempatkan encoding dan decoding
perangkat lunak dalam domain publik.

Bahkan JPEG mendukung berbagai pilihan pilihan kualitas /


kompresi, mulai dari kompresi sedang hampir lossless untuk
kompresi lossy tapi sangat efisien. Tingkat kualitas dapat
ditentukan, biasanya dinyatakan sebagai persentase. Efisiensi
kompresi yang diberikan sebelumnya adalah untuk pengaturan
kualitas 75%. pengaturan Tinggi memberikan kualitas yang lebih
tinggi tetapi kurang dan pengaturan kompresi lebih rendah
memberikan kualitas yang lebih rendah tapi kompresi lebih besar.
Tabel di bawah menunjukkan efisiensi kompresi untuk citra bumi
dengan berbagai pengaturan kualitas. Dua angka yang ditampilkan
untuk setiap pengaturan, efisiensi relatif terhadap citra terkompresi

107
palet warna (8 bit per piksel) dan efisiensi data true color (24 bit per
piksel).

Kompresi sampai dengan 75%, biasanya masih menghasilkan


efisiensi kompresi yang baik tanpa pengurangan yang signifikan
dalam kualitas citra asli. Pengaturan kualitas rendah dapat
mencapai pengurangan besar dalam ukuran citra, namun citra yang
dihasilkan mungkin akan terlihat sangat jelek ketika decompressed.
Tingkat kualitas terendah yang diterima akan tergantung pada citra
asli.

Huffman Coding

Huffman Coding adalah teknik kompresi lossless yang


mengeksploitasi redundansi statistik. Huffman coding mengurangi
besar dalam ukuran untuk setiap jenis citra dari encoding panjang
berjalan namun membutuhkan waktu eksekusi lebih signifikan.
Rasio kompresi biasanya 1:01-8:01 tergantung pada isi citra.
Huffman Coding menggantikan setiap nilai piksel dengan pola bit
variabel panjang dan paket ke dalam aliran bit berkesinambungan.
Nilai piksel paling sering diwakili oleh pola bit pendek dan nilai-nilai
yang sering kurang adalah dikodekan sebagai pola lama. (Tentu

108
saja pola-pola ini sedikit harus dirancang sehingga panjang mereka
dapat diidentifikasi ketika bit tream diekstrak.
Untuk menyederhanaan kita akan mengcitrakan Huffman Coding
untuk citra 1024 768 x terdiri dari hanya 8 tingkat intensitas. Jika
setiap piksel disimpan sebagai integer 3-bit maka citra terkompresi
akan menempati Kbits 2304 (288 Kbytes). Misalkan intensitas piksel
didistribusikan seperti terlihat pada tabel berikut. Frekuensi
dinyatakan sebagai persentase dari jumlah total untuk kemudahan
(misalnya 40% dari semua piksel memiliki intensitas dari 2).
Tabel 6.2 . Hufman coding
Intensitas Frekwensi (%) Kode Baku Kode Piksel Hufman
0 0 000 -
1 10 001 011
2 40 010 1
3 6 011 01010
4 10 100 0100
5 4 101 01011
6 30 110 00
7 0 111 -

Dua kolom terakhir dari tabel di atas menunjukkan kode biner 3-bit
dari nilai piksel asli dan variabel panjang kode Huffman yang akan
menggantikan mereka dalam bit stream dikemas. Intensitas yang
paling sering dikompresi dari 3 bit untuk 1 bit sedangkan yang
paling sering diperluas untuk 5 bit (nilai-nilai yang tidak pernah

109
terjadi diabaikan). Kita bisa bekerja di luar rata-rata jumlah bit yang
diperlukan untuk mewakili setiap piksel dari frekuensi berhubungan
dengan setiap panjang kode Huffman. 40% dari piksel yang
disimpan dalam 1 bit, 30% dalam 2 bit, 10% dalam 3 bit, 10% pada
4 bit dan 10% dalam 5 bit. Hal ini memberikan rata-rata 2,2 bit /
piksel yang setara dengan penurunan 27% atau 77 Kbytes untuk
seluruh citra. (Perhatikan bahwa sejumlah kecil memori juga
diperlukan untuk mencatat tugas kode Huffman.) Huffman Coding
bekerja lebih baik untuk citra yang mengandung tingkat intensitas
lebih.

Lempel-Ziv-Welch (LZW) coding


Lempel-Ziv-Welch (LZW) coding adalah metode statistik yang
digunakan dalam kompresi lossless. Metode ini memberikan rasio
kompresi untuk Huffman coding, sebesr 1:01. Namun, LZW coding
cenderung lebih cepat karena citra dipindai hanya sekali. LZW
mungkin adalah teknik kompresi file grafik yang paling banyak
digunakan saat ini. Compuserve's Graphics Interchange Format
(GIF).

LZW coding bekerja dengan mencari urutan umum dari nilai dalam
data. Sebuah tabel nilai setiap piksel. Ketika urutan baru ditemukan

110
itu diberi nilai kode dan ditambahkan ke tabel. Ketika sebuah urutan
yang dikenal ditemui lagi maka hanya nilai kode yang perlu
dikelurakan. Pendekatan ini bekerja baik pada kebanyakan citra.
Arithmetic coding
Arithmetic coding adalah teknik kompresi lossless yang paling
efisien. Seperti Huffman Coding, arimetic coding juga menggunalan
metode statistik berdasarkan frekuensi yang masing-masing dengan
nilai piksel yang ada . Namun, proses encoding cukup berbeda
dengan Huffman. Aricmetic decoding dikerjakan dengan mengganti
setiap nilai piksel dengan pola bit tertentu, seluruh citra dikodekan
sebagai angka multi-presisi tunggal. Berturut-turut nilai piksel
digabungkan deret hitung dengan cara yang dapat memerlukan
waktu kurang dari satu bit untuk mewakili nilai-nilai yang paling
sering muncul. Hal ini memungkinkan untuk mencapai rasio
kompresi hingga 100:1. Sayangnya pengkodean aritmatika sangat
sulit untuk dilaksanakan. Metode ini telah dipatenkan oleh IBM ,
sehingga penggunaannya juga harus ada izin dari IBM.
6.6 Lossless Compression
Kompresi Lossless merupakan metoda kompresi data yang
memungkinkan data asli dapat disusun kembali dari data hasil
kompresi maka rasio kompresi pun tidak dapat terlalu besar untuk
memastikan semua data dapat dikembalikan ke bentuk semula.

111
Metode Lossless menghasilkan data yang identik dengan data
aslinya.Kompresi lossless utamanya digunakan untuk pengarsi
pan, dan penyuntingan. Untuk keperluan pengarsipan seperti
catatan bank, artikel text, dll.
Lossless data kompresi adalah kelas dari algoritma data kompresi
yang memungkinkan data yang asli dapat disusun kembali dari data
kompresi, sedangkan Lossy kompresi adalah suatu metode untuk
mengkompresi data dan men-dekompresi-nya. Losless
compression digunakan untuk mengkompresi data untuk diterima
ditujuan dalam kondisi asli. Sedangkan lossy compression
menghasilkan file kompresi yang lebih kecil dibandingkan dengan
metode lossless yang ada. Lossless compression digunakan jika
akurasi data sangat penting, sedangkan lossy
compression biasanya membuang bagian-bagian data yang
sebenarnya tidak begitu berguna dan tidak dirasakan oleh kita
sehingga masih beranggapan bahwa data tersebut masih bisa
digunakan walaupun sudah di kompresi.
Lossless compression biasanya data yang telah dikompresi
ukurannya sama atau lebih besar, sedangkan lossy compression
biasanya data yang telah dikompresi berukuran lebih kecil dari
ukuran asli, namun masih tetap memenuhi syarat untuk digunakan.

112
Rasio kompresi pada lossless didapat cenderung rendah
sedangkan rasio kompresi pada lossy didapat bisa sangat tinggi.

6.7 JPEG 2000


JPEG 2000 merupakan standar kompresi citra dan sistem koding,
JPEG 2000 diperkenalkan oleh Joint Photographic Experts Group
pada tahun 2000 yang merupakan pengembangan dari JPEG yang
menggunakan teknologi DCT yang dibiat pada tahun 1992,
sementara JPEG 2000 menggunakan teknologi Wavelet transform.
Format JPEG 2000 menggunakan ekstension .jp2 yang digunakan
di ISO/IEC 15444-1 dan .jpx menurut ISO/IEC 15444-2.

JPEG 2000 mempunyai performance yang lebih baik dibandikan


dengan JPEG terutama lebih fleksible dalam codestream-nya.
Namun sebagai sekuensinya JPEG 2000 memerlukan encoder dan
decoder yang cukup kompleks . Perbedaan lain dibandingkan
JPEG , JPEG 2000 menghasilkan apa yang disebut ringing artifact,
yanh merupakan paten blur sebagai lingkaran tepi sementara JPEG
mengahsilkan ringing artifact dan blocking artifact karena adanya
blok 8 x 8.

113
JPEG 2000 diperlukan untuk mengurangi kekurangan atau
kelemahan yang ada pada JPEG, JPEG 2000 diperlukan mengatasi
antara lain:
 Kompresi Low bit-rate dibawah 0.25 bpp dimana JPEG
tidak menyediakan
 Kompresi Lossless and lossy compression dalam satu
codestream.
 Kompresi citra yang berukuran lebih dari 64 x 64 tetap
menggunkan tiling.

Gambar 6.1 Diagram Blok JPEG2000 (a) encoding, (b) decoding

114
Skema encoder-decoder
Tiling

Setelah transformasi warna, citra dipisah ke dalam bagan – bagian


yang disebut tiles, tlle merupakan daerah segi empat dari suatu citra
yang ditransforasikan dan di- encode secara terpisah. Tiles dapat
bermacam-macam ukuran yang kadang juga dianggap sebagai
sebagai satu citra dengan satu tile. Sekali sebuah ukuran dipilih
maka semua tile akan mempunyai ukuran yang sama kecuali tile
yang ada terletak pada sebelah kanan bawah . Membagi citra ke
dalam tiling mempunyai keuntungan anatara lain dalam proses
decoder memerlukan momory yang tidak terlalu besar untuk men-
decode citra dan hanya tile-tile tertentu yang di-decode sesuai
dengan keperluan terutama untuk partial decoding suatu citra.
Namun kelemahan dari metode ini adalah kualitas citra mengalami
penurunan karena rendahnya rasio signal-to-noise. Dengan
menggunakan banyak tile maka akan di-generate suatu blok yang
pengaruhnya hampir sama dengan JPEG standar.
1. Proses tiling citra:
• Citra yang cukup besar ukuran memory-nya yang bisa di
decode

115
• Citra kemudian dibagi menjadi bagian-bagian yang
berbentuk epp (tidak overlap) dalam blok-blok atau tile
akan dipadatkan sendiri-sendiri.
2. DC-level shifting:
 Codec mengharapakan input data mempunyai kisaran
dinamis antara (0 -- 255 -> -128 -- 128)
 Jika nilai input sample merupakan bilangan unsigned, maka
nilai nominal dinamis disesuaikan dengan mengurangi
dengan nilai (2P-1 , dimana P adalah komponen presisi).
 Semua operasi , termasuk komponen mixing, wavelet
transform, quantization and entropy coding dikerjakan
secara terpisah pada setiap tile yang ada di dalam citra.
 Proses tiling mempengaruhi kualitas citra

Gambar 6.2 Contoh tiling dari citra 8 bit

116
Pengaruh Tiling terhadap Kualitas citra
Tiling Tidak di-Tiling Tiling dengan Tile dengan
ukuran ukuran
128 x 128 64 x 64
0.125 24,75 23,42 20,07
0,25 26,49 25,69 23,95
0,5 28,27 27,29 26,80

Komponen-komponen transformasi:
• Petakan data dari RGB to YCrCb (Y, Cr, Cb), perlu untuk
mengurangi korelasi antara komponen-komponen,
meningkatakan efesiensi coding. Terdapat transform
reversible and irreversible.

Gambar 6.3 Penempatan DC level shifting dengan komponen


transform

Komponen transform Forward reversible

117
I0 (x, y)  2I1(x, y)  I2(x, y)
Y0 
4

Y 1( x, y)  I2(x, y) - I1(x, y)

Y 2( x, y)  I0(x, y) - I1(x, y)

Komponen transform Inverse reversible

118
BAB - 7
CONTENT BASED IMAGE RETRIEVAL

Content based image retrieval dapat diartikan sebagai pencarian


secara otomatis (automatic Retrieval) dari suatu citra database
denegan menggunakan fitur warna dan bentuk. Fitur yang
digunakan dapat berdasarkan fitur primitive maupun semantik. Satu
hal penting dalam semua pengolahan citra adalah ekstrasi informasi
dari suatu citra (seperti pengenalan bentuk atau tekstur) sebelum
analisa citra lebih lanjut. Database citra berbeda dengan database
teks yang berupa hurup/kata yang diseimpan sebagai karakter
string ASCII. CBIR merupakan bagian dari contoh pengolahan
citra, CBIR menekakan pada retrieval citra yang memiliki
karakteristik dari suatu koleksi citra. Sementara itu pengolaha citra
lebihn luas cakupanya seperti image enhancement, compression,
transmisi, dan iterpretatsi, objek recognition).

Beberapa hal perlu diperhatikan dalam CBIR diantaranya adalah:

119
 Pemahaman user terhadap kebutuhan dan information-seeking
behavior.
 Identfikasi teknik yang cocok bagaimana menerjemahkan
content dari citra
 Ekstrakting fitur citra awal (raw image)
 Bagaimann menyediakan storage untuk databse citra yang
biasanya cukup besar
 Maching citra query dan citra yang ada dalam database
 Efesiensi

a. Database citra digital


Terdapat banyak contoh database citra digital yaitu Art Collections,
medical, scientific, earth sciences , general image collections for
licencing, dan WWW. Beberapa contoh lain adalah :
 Art Collections : Koleksi seni pada museum-museum
 Medical Image Databases : CT, MRI, Ultrasound, The
Visible Human
 Scientific Databases :. Earth Sciences
 General Image Collections for Licensing : Corbis, Getty
Images
 The World Wide Web

120
Dalam CBIR diperlukan image query, query citra dapat berupa citra
(image) disebut sebagai Query by Example (QBE), sketsa, dan
simbol. Dari macam query tersebut maka yang paling sering
digunakan query by Examle

7.2 Fitur Citra Dalam CBIR


Dalam CBIR matching citra digital didasarkan fitur-fitur citra yang,
fitur tersebut antara lain: warna (histograms, gridded layout,
wavelets), tekstur (Laws, Gabor filters, local binary partition), bentuk
(first segment the image, then use statistical or structural shape
similarity measures), dan objek dan hubungan diantara objek
tersebut.

7.2.1 Warna
Fitur warna merupakan fitur yang paling banyak digunakan dalam
pencarian citra (CBIR). Representasi dari fitur warna biayanya
diwakili dengan histogram warna. Warna merupakan fitur low-level
(low level feature) , hal ini disebabkan karena warna sangat peka
terhadap visual manusia dan berkaitan dengan model warna HVS.
7.2.2 Tekstur
Tekstur dapat merupakan sifat permukaan kasar atau halus ,
vertical atau horizontal. Tekstur dapat merupakan pattern dari

121
suatu citra seperti keteraturan dan granualit. Sementara itu tekstur
sendiri mempunyai fitur juga yaitu fitur statistic (
entropy,homogeneity, kontras) , wavelets, dan fractal. Tekstur
dapat juga didefinisikan sebagai frekuensi perubahan rona pada
citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil
untuk dibedakan secara individual). Tekstur sering dinyatakan
dengan kasar, halus, dan belang-belang. Contoh pengenalan obyek
berdasarkan tekstur:

Tetstur dinding Tekstur sidik Tektur awan Tektur batu


bata jari

Gambar 7.1. Fitur content based image retrieval


Tekstur citra memberikan informasi tentang susuana spatial dari
warna atau intensitas citra atau region dalam citra. Tekstur citra
dapat senagaja dibuat atau secara alami terjadi pada saat citra
diambil oleh kamera . Tekstur citra adalah satu cara yang dapat
digunakan membantu dalam proses segmentasi citra, anlisa citra,

122
dan klasifikasi citra. Untuk menganailsa tekstur suatu citra dapat
dilakukan sengan dua cara yaitu dengan pendekatan statistic dan
pendekatan stuktur.

Pendekatan statistik adalah pendekatan tekstur citra diman teksture


citra dianggap sebagai penguuran kuantutatif dari penusunan
intensitas region . Secara umum pendekatan ini lebih udah
dikerjakan dalam perhitungan dan secara luas digunakan karena
tektur alami dibuat dari suatu pattern dari elemen-elemen yang yang
tidak teratur. Sementara itu pendekatan struktur merupakan
kumpulan dari texel-texel (tekstur pixel) dari pola yang teratur atau
pola yang berulang. Oleh karena itu pendekatan ini akan sangat
ideal untuk analisa tekstur buatan (artificial texture). Untuk men-
generate suatu tekstur dalam suatu dapat digunakanb Co-
occurrence Matrices yang menggunakan fitur numerik dari suatu
fitur tekstur dengan menggunakan hubungan spatial dari
kesammaan gray. Fitur numeric dihitung dari co-occurrence matrix
yang digunakan dan mewakili perbadingna dan klasifikasi tekstur.
Berikut adalah subset dari fitur standard yang diturunkan dari
normalisasi co-occurrence matrix:

123
Dimana adalah ke masukan dalam a gray-tone
spatial dependence matrix, dan Ng jumlah beda gray-levels dalam
kuantisasi citra. Salah satu kekurang co-occurrence matrix adalah
fitur yang telah diesktrak dan tidak harus berhubungan dengan
presepsi visual cira.

7.2.3 Fitur Bentuk


Bentuk tidak harus kepada bentuk citra secara untuh tetapi bentuk
berdasarkan citra daerah tertentu yang sedang dicari. Ekstrasi
bentuk dari suatu objek memiliki peranan yang penting dalam
bidang visualisasi informasi. Oleh karena itu fitur bentuk sangat
berguna dalam CBIR. Penggunaan bentuk dari suatu objek sampai
sekarang masih menjadi masalah untuk CBIR yang efisien.

124
Penggunaan bentuk (shape) suatu objek merupaka tantangan yang
suit dalam bidang CBIR. Bentuk yang suatu objek memegang
peranan penting dalam pencarian atau searching citra yang mirip.
Penggunaan fitur bentuk dalam bidang image CBIR kurang
berkembang dibandingkan fitur warna dan tekstur hal ini karena fitur
bentuk memeliki kompleksitas yang tinggi disbanding fitur warna
dan tekstur. Khususnya region-region citra yang diwakili oleh objek
yang ditemukan untuk menjelaskan bentuk dari objek tersebut.

Query-by-Example
Seperti diketahui bahwa suatu citra mempunyai beberapa
karakteristik atau atribut yang dapat digunakan untuk keperluan
retrieval, atribut tersebut antara lain:

 Warna, tekstur, dan bentuk


 Susunan atau adanya tipe objek tertentu (misalnya meja
dikelilingi kursi)
 Hadirnya atau adanya kejadian-kejadian tertentu seperti
pertandingan sepak bola
 Kehadiran seseorang, lokasi atau peristiwa-perisiwa tertentu
seperti Preside sedang berpidato

125
 Foto emosi seseorang seperti senang, susah, dan stress.
 Metadata seperti siapa yang mengambil foto, dimana, dan
kapan.

Query dapat dibagi menjadi beberapa level , dimana semaking


tinggi level semakin meningkat kompleksitasnya.
 Level 1 merupakan tipe retrieval dengan menggunakan fitur
primitive seperti warna, texture, shape atau spatial location dari
elemen citra. Contoh query ini adalah ―cary foto atau objek yang
tipis dan gelap yang ada pada kira atas., ―Cari citra bitang-bintang
yang berwarna kuning yang berbentuk lingkaran‖ secara umum
level ini ― Cari gambar yang mirip dengan gambar ini‖.
 Level 2 merupakan query dengan menggunakan fitur
derived (biasanya dikenal sebagai fitur logical). Dalam level ini
melibatkan beberapa logical inference tentang identitas about the
identity of the objects yang diwakili dalam citra. Level ini dapat
dibedakan menjadi dua kategori:
a) Retrieval objek menurut jenis misalnya, Cari gambar bus
way.
b) Retrieval objek atau orang misalnya. Cari gambar Monas.
 Level 3 merupakan retrieval dengan menggunakan atribut
abstract , atribut abstrak mencakup significant amount of high-

126
level reasoning tentang arti dan tujuan objek yang ada. Level ini
dapat dibagi menjadi :
a) Retrieval kejadia atau aktifitas contoh ―Cari gambar orang
sedang menari‖
b) Retriev gambar wajah dengan ekspresi emosi (―Cari gambar
wajah stress‖).

7.3 Matching Image Query

7.3.1 Maching berdasarkan fitur warna

Pada umumnya metode yang sering digunakan u dntuk


membandingkan dua image atau citra dalam content based image
retrieval biasanya denagan menggunakan contoh sebuah citra atau
image dan citra dalam database dengan cara menhitung distance
atau jarak antara dua citra. Pengukuran jarak atau distance dua
citra artinya mencari kesamaan atau similarity antara dua citra
dengan mempertimbangkan bermacam-macam fitur seperti fitur
warna, tekstur,bentuk, dan lain-lain. Jika jarak anatra dua citra
hasilnya adalah nol (0) berarti kedua citra tersebut persis sama
dengan memperhatikan fitur-fitur tersebut.

127
Perhitungan jarak untuk dalam CBIR berdasarkan kesamaan warna
dikerjakan dengan menghitung histogram warna untuk setiap pixel
yang didentifikasi pada nilai –nilai tertentu. Penelitian saat ini
tenatng fitur warna adalah dengan men-segmentasi proposi warna
dengan menggunakan s[atial relati0oonship diantara region warna.

Informasi warna sangat penting buat citra yang biasa digunakan


dalam content-based image indexing. Definisi fitur warna sangat
jelas secara luas digunakan dalam CBIR, dimana kita harus
melakukan de-compression dari citra yang telah dipadatkan (JPEG)
kemudia diekstrak informasi warnanya. Tetapi dalam hal CBIR
dalam compressed domain,ekraksi fitur warna dilakukan dari
keoefisien DCT (koefisien DCT adalah koefisien nyang didapat
melalui partial decoding citra terpadatkan).

7.3.2 Matching berbasis fitur tekstur


Pengukuran fitur tekstur digunakan untuk menggambar visual
pattern didefinisikan, tekstur dipresentasikan dengan texels yand
disimpan dalam suatu himpunan tergantung pada berapa banyak
teksture terdeteksi pada suatau citra. Himpunan atau group ini tidak
hanya mendefinisikan tekstur tetapi juga mendefinisikan dimana

128
teksture terletak dalam citra atau image. Tektur merupakan konsep
yang sulit dan kompleks, untuk mengidentifikasi

Tekstur erupakan konsep yang sulit untuk direpresentasikan .


Mengidentifikasi teksture secara khusus dalam suatu citra .

Mengidentifikasi tektur dalam suatu citra terutama dapat dicapai


dengan memodelkan tektur sebagai variasi 2D greylevel.
Kecerahan atau brightness dari sepasang piksel dan dihitung
derajat kontras, regularity, kekasaran (coarseness) dan direction
yang kemudian dapat diestimasikan (Tamura, Mori & Yamawaki,
1978). Namun masalah yang ada adalah dalam mengidentifikasi
pattern dari variasi pixel dan pixel yang berkaitan dengan pixel-pixel
tersebut dengan class khusus tektur seperti silky, atau rough.

7.3.3 Matching berbasis fitur bentuk

Yang dimaksud dengan fitur bentuk bukan bentuk dari citra tetapi
merupakan bentuk dari suatu bregion tertentu yang sedang dicari.
Fitur bentuk sering akann menetukan process apa yang akan
diterapkan segmentation atau edge detection ke dalam citra.
Metode yang lain seperti [Tushabe dan Wikinson, 2008] metode
filter bentuk untuk mengidentifikasi bentuk citra. Dalam banyak

129
penelitian deteksi bentuk yang akurat memerlukan campur tangan
manusia karena metode-metode seperti segmentasi sangat sulit
dikerjakan secara otomatis.
Fitur warna dikerjakan dengan menggunakan jarak histogram warna
yang mirip, perhitungan jarak histogram warna dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
dhist( I , Q)  (h( I )  h(Q)) A(h( I )  h(Q))
Dimana h(I) adalah histogram database citra dengan K-bin,
sedangkan h(Q) adalah histogram citra query. Sementara A
merupakan matrik K x K . Berikut adalah langkah-langkah untuk
menghitung fitur tekstur, Jarak fitur tekstur dikerjakan tahapan:
 Retrieve citra yang ada dalam region yang mempunyai
tekstur yang sama atau mirip dengan region disekitarnya.
• Kemudian Gridded (just like gridded color, but use texture).
• Histogram-based (e.g. compare the LBP histograms).

Menghitung Jarak Fitur Bentuk


Fitur bentuk jauh lebih kompleks dibandingkan dengan warna dan
tekstur, bentuk memerlukan identifikasi dari region untuk
membandingkan citra. Terdapat beberapa cara untuk mengukur

130
kemiripan dari pattern recognition yang dapat digunakan untuk
mengukur distance untuk, antara lain:
• Global Shape Properties Projection Matching,
• In projection matching, yaitu proyeksi horizontal
dan vertical dari suatu histogram.
• Boundary Matching dengan menggunakan Fourier
Descriptors DAN sudut dan sisi).

Sedangkan jarak antara query bentuk dan bentuk citra mempunyai


dua komponen:
 Energy yang diperlukan untuk energi untuk mengubah query
bentuk kedalam satu dari bentuk citra yang paling cocok.
 Pengukuran bagaimana deformed query yang cocok
dengan citra.
Beberapa langkah untuk matching citra, yaitu:
• Segmentasi citra kedalam beberapa region
• Cari properties meraka dan hubungan diantara mereka
• Buat graph yang merepresentasikan region dan tepi dan
hubungan diatara keduanya
• Gunakan matching untuk membandingkan dengan citra
Tiger sebagai suatu graph z

131
7.4 CBIR Dalam Compressed Domain
Berdasarkan standar kompresi JPEG, proses dekompresi yang
lengkap dapat diringkas sebagai: i. decoding entropi melalui tabel
Huffman, ii. dequantization untuk mendapatkan koefisien DCT, dan
iii. IDCT untuk merekonstruksi blok piksel. Untuk setiap sistem CBIR
yang bekerja dalam domain piksel, ini adalah syarat operasi atau
oprasi pendahuluan sebelum ekstraksi kunci dan matching distance.

7.5 Teknik Fitur DCT untuk CBIR


Dari penelitian yand telah banyak dilakukan oleh banyak peneliti
termasuk yang dilakukan oleh penulis terutama dalam compressed
domain. Beperapa teknik dapat disbutkan disini antara lain:
a. CBIR berbasis segmentasi
b. CBIR berdasarkan energy
DCT
c. CBIR berdasarkan kombinasi fitur low leve dan high
level
Sedangkan proses CBIR dari teknik-teknik diatas dapat dijelaskan
pada gambar berikut :

132
133
BAB - 8
CBIR – MATCHING WAJAH

8.1 Face Recognition


Face‘s expression recognition atau pengenalan ekspresi wajah,
khususnya pengenalan wajah seseorang yang sedang mengalami
gangguan jiwa atau mengalami tekanan batin dan permasalahan
kejiwaan yang lain merupakan bidang yang populer dan banyak
menarik para ahli dibidang biometrik. Banyak penelitian tentang
pengenalan wajah dan ekspresi wajah telah dilakukan sampai
dengan saat ini para ahli image processing diantaranya adalah
Marcialis (Marcialis dan Roli, 2004; Byung-Joo, 2005). Sementara
itu Qin (Qin et.al., 2006) menjelaskan tentang teknik otomatisasi
sistem pengenalan ekspresi wajah seseorang didalam lingkungan
waktu nyata dengan menggunakan metoda hirarki citra wavelet dan
skema guide coarse untuk meningkatkan efektifitas pencarian dan
pengenalan ekspresi citra wajah. Demikian juga dengan
Shakhnarovich (Shakhnarovich dan Moghaddam, 2004) yang telah
memperkenalkan teknik pengenalan ekspresi wajah dengan metoda

134
subspaces dengan kombinasi teknik eginfaces dan teknik-teknik
Fisher faces dan Tensor faces.

Pustaka lainya adalah dikemukakan oleh Delac (Delac & Grgic,


2007) yang telah membuktikan bahwa penilitian bidang pengenalan
wajah merupakan penelitian yang banyak dikerjakan oleh para ahli.
Seperti bidang-bidang lain dalam pattern recognition, indentifikasi
atau pengenalan wajah banyak ditujukan dan dilaksanakan dengan
berbagai pendekatan menurut bagaimana merepresentasikan wajah
dan rancangan atau design metoda-metoda klasifikasi yang
digunakan. Disamping itu bannyak perusahaan-perusahaan dan
isntansi-instansi atau lembaga-lembaga baik pemerintah maupun
swasta terutama di luar negeri mulai teratarik dengan penelitian
yang berkaitan dengan face recognition untuk berbagai aplikasi
seperti untuk indentifikasi, verifikasi wajah atau juga posture dan
atau gesture (gerakan) dan sistem-sistem pintar lainya.
Meskipun telah banyak teknik pengenalan wajah secara otomatis
yang berhasil diaplikasikan dalam banyak bidang kehidupan sehari-
hari, namun tugas pengenalan wajah yang didasarkan hanya pada
skala yang bias. Topik pengenalan wajah masih menjadi tantangan,
terutama dalam didalam lingkungan yang tidak terkontrol (Adini,
et.al., 2007). Lebih lanjutan dikatakan bahwa terdapat dua

135
tantangan utama dalam pengenalan wajah, yaitu: variasi dalam
illumination dan pose. Kinerja dari teknik visual pengenalan wajah
adalah sangat sensitif terhadap variasi dan kondisi illumiation.
Eigenvector merupakan teknik perhitungan yang banyak digunakan
didalam pengenalan wajah yang pernah diperkenalkan oleh
Kohonen (Kohonen,1999) dengan menggunakan teknik jaringan
syaraf tiruan sederhana yang digunakan untuk normaslisasi citra
wajah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Eigenvector digunakan untuk
menghitung deskripsi wajah dengan memperkirakan korelasi
otomatis matrik eigenvector yang kemudian dikenal dengan
Eigenfaces.
Untuk pengenalan wajah dalam penelitian ini digunakan teknik
Eigenface matching yang telah diperkenalkan oleh Turk (Turk dan
Petland, 2006). Citra wajah dinormalisasi dari gallery dan kemudian
diproyeksikan kedalam similaritas eigenface seperti yang dapat
dilihat pada gambadibawah ini. Sementara itu untuk mencocokan
(matching) dengan citra wajah yang ada di dalam database atau
gallery maka digunakan perhitungan Euclidean distance, jika jarak
Euclidean sama dengan nol maka citra query akan sama persis
dengan citra yang ada di dalam database.
Karena wajah merupakan jendela atau merupakan bagian dari
kepala dan atau tangan yang menggambarakan emosi dan keadaan

136
hidup kita. Wajah merupaka fitur yang unik dari manusia, bahkan
orang kembarpun akan tetap berbeda walaupun wajahnya kelihatan
persis sama. Manusia dapat mendeteksi dan mengidentifikasi wajah
dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilinya atau dengan
alat bantu. Keahlian manusia untuk mengenali wajah dapat
dikerjakan dengan mudah walaupun penampakan wajah
dipengaruhi oleh ekspresi, umur, dan penghalang seperti kacamata
atau perubahan model rambut. Namun untuk mendeteksi wajah
dengan tepat terutama untuk wajah-wajah yang sama sekali baru
adalah tidaklah mudah dan banyak terdapat masalah-masalah yang
berhubungan dengan hal tersebut diatas, masalah-masalah
tersebut antara lain adalah: deteksi suatu model wajah, pengenalan
(recognition), analisa ekspresi wajah, dan klasifikasi berbasis fitur
fisik (Samal and Iyengar, 2002). Terdapat dua kemungkinan tugas
atau pekerjaan dalam sistem pengenalan wajah, yaitu: (i). MATCH
suatu citra wajah dari seseorang yang tidak dikenal dikumpulkan
dan didentifikasi, dan (ii). VERIFICATION – sebagai ganti dari
identfikasi seseorang, sistem ini melibatkan verifikasi dan
pengecekan citra wajah dalam suatu database yang relative kecil.

8.2 Deteksi Wajah Dan Ekstraksi Fitur Wajah

137
Pendeteksian dan pencarian objek-objek yang menyerupai wajah
dalah merupakan proses yang penting dalam system otomasi
pengenalan wajah atau face recognition (Hjelmas and Low, 2001;
Yang et.al., 2001). Untuk pengenalan wajah dan deteksi wajah,
maka daerah wajah berlu disegmentasi dari citra yang ada.
Sementara itu informasi tentang warna juga merupakan kunci untuk
deteksi wajah walaupun demikian pendekatan yang berbasis warna
sangat sulit dan komplek ditambah dengan background dengan
cahaya penyinaran yang berbeda pada waktu pengambilan foto
atau citra. Deteksi wajah dapat dipandang sebagai hal yang khusus
dari masalah pengenalan wajah (face recognition) yaitu klasifikasi
wajah dan bukan wajah.
Teknik pengenalan citra wajah dapat dikategorikan menjadi empat,
yaitu: Eigenfaces, Feature based, Hiden Markov Model, dan Neural
network berbasis algoritma. Hasil dari implementasi algoritma yang
berbeda dievaluasi pada database citra wajah yang berbeda pula,
Selanjutanya pengenalan wajah merupakan proses deteksi ada
database citra CMU dari Olivetti Research Laboratory face
database dan database dari MIT. Sementara itu terdapat banyak
sekali teknik biometric seperti sidik jari yang dapat digunakan untuk
identifikasi seseorang, namun pengenalan wajah tetap diperlukan.
Dalam banyak aplikasi seperti CCTV di tempat-tempat umum, maka

138
teknik tradisional seperti sidik jari tidak akan dapat digunakan,
karena kita tidak dapat meminta setiap orang untuk datang dan
mengecap jari nya (sidik jarinya). Oleh karena itu perlu suatu
sistem yang mirip dengan mata manusia dalam hal tertentu untuk
mengidentifikasi seseorang.

8.3 Pencarian Citra Wajah (Face Image Retrieval)


Pencarian citra wajah secara tradisional didasarkan pada query-by-
example (QBE) dimulai dari input citra kedalam sistem (query
image) yang dibandingkan dengan citra yang ada didalam
database, beberapa penelitian telah dibuat oleh para peneliti antara
lain (Boujemaa et.al, 2004; Liu et.al., 2000; Eickeler, 2002). Dalam
pencarian citra berdasarkan wajah, mereka menyatakan bahwa
standar image query dapat merupakan suatu mental image. Lebih
lanjut dikatakan bahwa konsentrasi pada wajah, meskipun semua
algoritma yang mereka kembangkan dapat diaplikasikan pada
domain yang lain, sebagai contoh pada citra-citra pakaian, rumah,
perabot rumah tangga, dan lukisan cat, mental face telah
merupakan aplikasi yang sangat ekstensif dikembangkan dalam
bidang-bidang keamanan, e-bisnis, dan teknologi web. Salah satu
contoh pencarian mental images yang cukup representaif telah

139
dinyatakan oleh Cox (Cox et.al, 2000) dan Geman (Geman et. al.,
2001)
Pengukuran similaritas atau kemiripan merupakan fokus dari
masalah pengenalan wajah khususnya di bidang computer vision
seperti masalah klasifikasi dan retrieval database citra digital.
Permasalah ini telah memotivasi penelitian-penelitian tentang CBIR
menjadi semaking berkembangluas (Smeulders et.al., 2000;
Tangelder dan Veltkamp, 2005). Lebih lanjut pencari\an citra pada
compressed domain dengan mengunakan banyak metoda telah
banyak dikerjakan dan memberikan hasil yang cukup memuaskan
dan efektif dibandingkan dengan pencarian dalam pixel domain
(Irianto dan Jiang, 2006; Irianto dan Jiang,2007; Irianto dan Jiang,
2008). Seperti telah banyak dibuktikan bahwa dengan level
pemadatan tertentu maka pencarian wajah memberikan hasil yang
justru lebih baik dibandingkan dengan pencarian di dalam
uncompressed domain.
Blackburn (Blackburn et.al, 2001) telah mencoba mengevaluasi
pengaruh citra wajah dengan format JPEG dalam penelitian
pengenalan wajah (face recognition), mereka membuat skenario
bahwa citra wajah yang telah diketahui dalam database (gallery)
dan dibuat dengan kondisi belum dipadatkan (uncompressed)
dengan citra yang tidak diketahui dan diambil dengan kondisi yang

140
tidak terkontrol dan dipadatkan (compressed) pada level tertentu.
Dalam penelitianya citra dipadatkan dengan level 0.8, 0.4, 0,25, dan
0.2 bpp. Mereka menyimpulkan bahwa pemadatan (compression)
tidak mempengaruhi akurasi pengenalan wajah secara signifikan,
pemadatan akan menjadi cukup berarti pada saat compression
mencapai 0.2 bpp. Akan tetapi mereka juga menyatakan bahwa
dijumpai peningkatan dalam akurasi pada beberapa rasio
pemadatan (ratio compression), sehingga direkomendasikan untuk
diadakan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana pengaruh
compression terhadap pengenalan wajah (face recognition).

8.4 Metoda Compressed Domain


Metoda pencarian citra digital yang dikerjakan selama ini terutama
untuk pengenalan wajah belum banyak dilakukan oleh para ahli,
namun beberapa penelitian yang telah kami kerjakan sebelumnya
dengan menggunakan database citra wajah umum (general
purpose images) adalah dengan metoda binary texture dan oriented
based. Dalam metoda atau teknik Binary Texture yang pernah kami
lakukan (Irianto dan Jiang,2006) semua koefisien dalam block DCT
hanya terdiri dari dua variabel 0 dan 1 yand didapat dari koefisien
DCT tetangga disekelilingnya (disebelah kirinya, kanan, atas dan
bawah).

141
Dalam metoda ini digunakan citra umum (generap purpose images)
pada citra abu-abu (citra 8bit) yang biasanya memberikan informasi
yang kurang atau tidak lengkap dibandingkan dengan citra RGB
(color images). Satu hal lagi yang perlu dicatat bahwa database
yang digunakan adalah database citra umum seperti citra
pemandangan, citra model, citra binatang, dan citra mosaic.
Sementara itu hasil dari metoda Binary Texture memberikan
Precision sebesar 0.66. Satu teknik atau metoda lain yang pernah
diterapkan pada general purpose images adalah metoda
Orientation, dimana pertamakali Block didefinisikan sebagai model
dua tepi (edges) horizontal dan vertical. Fitur tepi horizontal dan
vertical dapat dibentuk dari dua dimensi koefisien DCT dari suatu
block. Fitur tepi dari matriks 8 x 8 dapat ditulis sebagai suatu set
atau himpunan:
Fitur Horisontal: H = {Hi: i=0, 1, 2,…, 7}
Vertical features: V = {Vj: j=0, 1, 2,…, 7}
Dimana Hi dan Vi adalah himpunan koefisien DCT C(u,v) untuk
u,v=0,1,2,…,7 dari persamaan koefisien DCT dua dimensi berikut
ini:
1 M 1 N 1
F 0,0    xi , j

MN i  0 j 0

142
2 M 1 N 1
( 2i  1)u ( 2 j  1)v
FU , V 
MN
 x
i 0 j 0
i, j cos
2M
cos
2N

Teknik berbasis Orientation atau tepi ini juga dikerjakan pada citra
umum dan pada grayscale images atau citra abu-abu 8 bit. Dari
penelitian dihasilkan bahwa efektivita teknik ini adalah 58.3 %
dengan kata lain nilai precisionya adalah sekitar 0.58. Dibandingkan
dengan metoda Binary Texture metoda ini kurang bagus dengan
kata lain metoda Binary Texture mempunyai efektifitas yang lebih
baik dibandingkan dengan metoda Orientation pada citra yang
sama (general purpose images dan citra grayscale).ata, satu
hidung, dan satu mulut dengan susunan atau layout yang hampir
mirip. Walaupun hal ini membuat klasifikasi dan pengenalan wajah
semakin sulit, tetapi akan memudahkan proses fitur ekstrasi (Leiba
et.al., 2005). Lebih lanjut suatu teknik yang berguna untuk untuk
ekstrasi fitur wajah dikemukan oleh Ferrari (Ferrari, et.al., 2006)
yang disebut sebagai proyeksi integral. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa fitur-fitur yang harus menjadi perhitungan dalam deteksi
wajah adalah terdiri dari: (i). Mulut dan hidung diletakan dengan
menggunakan strategi yang sama. Pertamakali diperkirakan posisi
yang sebenarnya dengan menghitung proyeksi horizontal dari

143
gardien vertical untuk hidung dan mulut (garis diantara bibir yang
merupakan daerah yang gelap dibawah bibir), (ii). Alis mata, juga
dihitung dengan cara yang sama dengan mulut dan hidung, (iii).
Susunan atau outline wajah, digunakan pendekatan yang berbeda
untuk deteksi outline wajah. Untuk deteksi susunan wajah
digunakan program dinamis untuk mengikuti gradien intensitas dari
susunan wajah.

8.5 Pengenalan Dengan Posisi Dan Frame Citra Wajah Wajah


Pengenalan posisi dan frame citra wajah pada penelitian tahun
kedua ini akan didasarkan pada matching antara citra wajah dan
citra dalam database. Untuk itu dalam penilitian ini akan kami
gunakan teknik atau metoda Principle Component Analysis (PCA)
dan Bayesian Clasifier untuk pengenalan wajah. Disini kita meng-
ekstrak sejumlah salient geometric dari garfik wajah untuk
merepresentasikan fitur bentuk, tekstur warna, dan ukuran serta
posisi relative dari hidung, mata, alis, dan permukaan atau kontur
dari wajah serta vector tekstur yang dinormalisasikan dengan
bentuk.

144
8.6 Rekayasa Pattern Posisi Anggota Tubuh Yang Mengalami
Gangguan Kejiwaan

Setelah tahapan query by example , maka kemudian untuk mencari


kemiripan atau similarity kita menggunakan perhitungan eiganfaces,
metoda atau pendekatan Eigenfaces dilakukan untuk ekstrasi fitur –
fitur vektor yang nantinya akan kita gunakan untuk
menklasifikasikan dan pengenalan ekspresi wajah. Secara
sederhana Eigenfaces mempunyai prosedur sebagai berikut: i).
Pertama diasumsikan bahwa citra wajah latihan (training set
images) adalah I1,I2,I3,..., In. Dimana setiap citra wajah mempunyai
dimensi I (x,y), kemudian setiap citra wajah dikonversi menjadi
vektor yang mempunyai matrik (m x p), dan m merupakan jumlah
dari citra wajah latihan sedangkan p adalah p x y. ii). Setelah itu
hitung Mean atau rata dari matrik wajah. iii). Setelah itu hitung
setiap Matrik wajah dengan Mean. iv). Setelah itu dikerjakan
tarnformasi matrik, sehingga vektor matrik akan berkurang. v).
Kemudian dihitung Eigenvektor dan Eigenvalues sehingga
berdasarkan egigenfaces ini setiap citra akan mempunyai vektor
wajah, vi). Akhirnya citra wajah akan dapat direkayasa atau
dibentuk dengan vektor masing-masing dan vektor-vektor
sebelumnya.

145
8.7 Matching Kemiripan Untuk Deteksi Kelainan Jiwa
Untuk menghitung kemiripan (similarity) antara face image query
dengan citra posisi wajah dan anggota tubuh yang ada dalam
database secara langsung diperlukan biaya yang cukup mahal
dalam arti algoritma yang kompleks dan proses yang cukup lama.
Untuk mengatasi masalah ini, maka dalam penelitian ini dilakukan
tiga tahapan dalam matching citra posisi wajah dan anggota tubuh.
Pertama mencari kemiripan topologi posisi wajah dan anggota
tubuh query dengan citra dalam database yang merupakan filter,
kedua penggunaan informasi untuk memperbaiki calon citra yang
akan terpanggil, dan akhirnya metoda penghitungan matching
dikerjakan untuk menentukan kemiripan (similarity) antara image
query dengan citra posisi wajah dan anggota tubuh yang ada dalam
database. Dalam penelitian ini digunakan wajah normal dan
wajah dengan obstacles. Pengenalan posisi wajah dan anggota
tubuh wajah yang diduga mengalami gangguan jiwa dengan pose
TIDAK NORMAL dapat di-ilustrasikan dengan gambar 1 berikut ini.

146
Gambar 8.1. Sistem pengenala wajah yang diduga mengalami
gangguan jiwa TIDAK NORMAL (dengan obstacles)

Selanjutanya pengenalan posisi wajah dan anggota tubuh yang


mengalami gangguan kejiwaan yang akan kita kerjakan dalam
penelitian tahun ke dua dapat di-ilustrasikan pada gambar 2,

Gambar 8.1. Sistem pengenalan posisi wajah dan anggota tubuh


yang di duga mengalami ganguan kejiwaan.

147
8.8 Algoritma Modul Query Wajah Dan Matching
Aplikasi yang dihasilkan telah dapat digunakan untuk menngenali
wajah sesorang yang diduga mengalami gangguan jiwa. Dalam
tahapm ini juga GUI telah selesai 100 . Dalam penelitian ini kita
berhasil membagung algoritma yang cukup efektif dalam face
recognition pagi penderita gangguan jiwa , dimana precision dan
recall sebesar 0,67 dan 0,28. Adapu algorithma dari aplikasin ini,
dapat di jelaskan sebagai betikut:
1. Query citra wajah diduga stress
a. Input citra wajah diduga stress
b. Ubah citra RGB kedalam YCbCr dan HVS
2. Ekstrasi Fitur Statistik, dengan menghitung Eigenfaces
3. Hitun rata-rata matrik  , dan kemudian dikuran gkan dari
citra awal dan disimpan dalam variable i

4. Hitung kovarian dari matrik C dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:

148
5. Hitung Eigenvector dan eigenvalue dari kovariant matrik,
Disini eigenvectors (eigenfaces) Ui dan nilai eigenya
(eigenvalues) i harus dihitung.
6. Kemudian pilih principal components citra wajah
Dari eigenvectors M (eigenfaces) ui, hanya M’ dipilih yang
mempunyai tertinggi nilai eigen value nya. Semakin tinggi
eigenvalue, maka semakin banyak fitur karakteristik dari
wajah yang diinformasikan. Eigenfaces denagn nilai
eigenvalue yang rendah dapat dibaikan . Setelah eigenface
M’ dan Ui ditentukan , maka tahapan training selesai.
7. Hitung kemiripan/matching citra query dan citra dalam
database, dengan menggunakan Euclidean Distance

Urutkan citra yang terpanggil (retrieved) berdasar nilai


Eulidean Distance
For Number_of_block = 1 to N
For u = 0 to 63
For v = 0 to 63
D((Iq(u,v),Id(u,v)));
End
End
End
8. Tampilkan 20 citra termirip
9. Untuk query berikut ulangi langkah 1 -8

149
Dalam laporan kemajuan ini kami juga belum dapat menghitung
efektifitas dari algoritma untuk menentukan wajah orang mengalami
gangguan jiwa belum dapat dilaksanakan , karena aplikasi belum
selesai 100%.

Gambar 8.2 . Snapshot Query Citra Wajah

150
Gambar 8.3 . Snapshot Open Database Citra Wajah

151
Gambar 8.4. Snapshot Matching / Pencarian Citra Wajah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, aplikasi untuk


menentukan seseorang sedang mengalami gangguan jiwa (stress),
walaupun belum selesai program ini sudah dapat untuk menentukan
atau matching anatara citra input dengan citra yang ada dalam
database. Diharapkan dalam waktu satu samap dua bulan lagi
program ini dapat digunakan seperti yang diharapakan, begitu juga

152
diharapkan efektifitas atau baik tidaknya algoritma atau teknik yang
kami buat untuk menentukan seseorang sedang mengalami stress
dennga akurat. Dari hasil sementara menunjukan bahwa efektifitas
pencarian atau matching gambar masih kurang dari 70%, hal
mungkin disebabkan karena jumlah citra perlu ditambah sampai
dengan sekitar 50.000 dan algoritma perlu diperbaiki.

153
BAB - 9
DETEKSI KEJIWAAN MANUSIA
DENGAN TEKNIK CBIR

9.1. Gangguan Jiwa

Pengembangan teknik pengenalan wajah atau face recognition


cukup sulit karena wajah manusia sangat kompleks,
multidimensi,dan sering berubah sesuai dengan perubahan
lingkungan dan situasi. Oleh karena itu, pembuatan sistem
otomatis pengenalan wajah dan atau ekspresi wajah merupakan
tantangan bagi para ahli sampai dengan saat ini. Adanya
perubahan-perubahan pada kondisi wajah seperti perubahan
identitas wajah dan variasi wajah yang terjadi karena penyinaran
dan sudut pengambilan citra wajah yang berbeda-beda menjadi
tantangan sendiri bagaimana menafsirkan ekspresi wajah untuk
keperluan pengenal kondisi kejiwaan sesesorang. Isu ini menjadi
tantangan para peneliti untuk dapat menjelaskan kondisi kejiwaan
seseorang dengan hanya berdasarkan ekspresi wajahnya.

154
Sementara itu umumnya penyebab gangguan jiwa atau yang
menyebakan ketidak normalan perilaku manusia adalah : keturunan
dan konstitusi, umur dan jenis kelamin, keadaan badaniah, keadaan
psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan,
pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian
orang yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar
amanusia, dan sebagainya dikemukakan oleh Maramis pada tahun
1990 . Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah penderita gangguan
jiwa dari yang ringan sampai berat pada tahun 2020 akan mencapai
lebih dari 75.000.000 orang atau 1 dari setiap 4 manusia Indonesia
akan menderita sakit atau gangguan kejiwaan.

Penafsiran ekspresi wajah untuk menjelaskan kondisi kejiwaan


seseorang merupakan hal yang masih sulit dilakukan oleh orang
awam bahkan oleh seorang psikater sekalipun. Pengenalan
ekspresi wajah pada dasarnya merupakan kegiatan perekaman
ruang geometris yang memungkinkan untuk dapat digunakan
dalam membedakan fitur-fitur dari suatu wajah dengan ekspresi
tertentu. Setiap ahli mempunyai cara atau metoda yang berbeda
dalam melaksanakan penafsiran ekspresi wajah, namun pada
prinsipnya semua mengukur atau menghitung fitur-fitur yang ada
pada wajah. Wajah seseorang dapat diambil dengan menggunakan

155
kamera digital dengan berbagai variasi jarak yang berbeda-beda
dan atau dengan tingkat penyinaran (britghness) yang berbeda-
beda pula. Oleh karena itu pengenalan ekspresi wajah atau face
expression recognition dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi
kondisi kejiwaan atau kelainan jiwa seseorang sedini mungkin.

Menurut DSM-IV-TR(Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, 4th edition with text revision) terdapat pula beberapa
gangguan jiwa antara lain: Gangguan jiwa psikotik, Gangguan jiwa
neuro , Gangguan jiwa fungsional, Gangguan jiwa organic,
Gangguan jiwa primer, dan Gangguan jiwa sekunder. Dalam
penelitian ini akan dicoba untuk mendeteksi semua jenis gangguan
jiwa tersebut. Sementara itu memperjelas antara gangguan/sakit
jiwa dan ―sehat jiwa‖ Undang-undang No.3 Tahun 1966
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesehatan jiwa
adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai
unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan sebagai
berikut: Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal
dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa
mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan

156
memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia
dan dalam hubungannya dengan manusia lain.

Pencarian metoda yang tepat untuk dapat mengetahui kondisi


kejiwaan seseorang perlu dikerjakan agar penangganan gangguan
jiwa (mental disoder) seseorang dapat diketahui secara dini
sehingga hal-hal yang tidak di-inginkan dapat dicegah. Pembuatan
suatu aplikasi atau tool sangat urgent dan penting agar dapat
digunakan untuk membantu seseorang (orang awam bukan dokter
atau psikater) mengetahui kondisi kejiwaan anggota keluarga dan
nmasyarakat disekitarnya.

9.2. Face recognition

Face‘s expression recognition atau pengenalan ekspresi wajah,


khususnya pengenalan wajah seseorang yang sedang mengalami
gangguan jiwa atau mengalami tekanan batin dan permasalahan
kejiwaan yang lain merupakan bidang yang populer dan banyak
menarik para ahli dibidang biometrik. Banyak penelitian tentang
pengenalan wajah dan ekspresi wajah telah dilakukan sampai
dengan saat ini para ahli image processing diantaranya adalah
Marcialis,Roli, dan Bung-Joo. Sementara itu Qin menjelaskan
tentang teknik otomatisasi sistem pengenalan ekspresi wajah

157
seseorang didalam lingkungan waktu nyata dengan menggunakan
metoda hirarki citra wavelet dan skema guide coarse untuk
meningkatkan efektifitas pencarian dan pengenalan ekspresi citra
wajah.

Pustaka lainya adalah dikemukakan oleh Delac dan Grgic, pada


tahun 2007 yang telah membuktikan bahwa penilitian bidang
pengenalan wajah merupakan penelitian yang banyak dikerjakan
oleh para ahli. Seperti bidang-bidang lain dalam pattern recognition,
indentifikasi atau pengenalan wajah banyak ditujukan dan
dilaksanakan dengan berbagai pendekatan menurut bagaimana
merepresentasikan wajah dan rancangan atau design metoda-
metoda klasifikasi yang digunakan.instansi atau lembaga-lembaga
baik pemerintah maupun swasta terutama di luar negeri mulai
teratarik dengan penelitian yang berkaitan dengan face recognition
untuk berbagai aplikasi seperti untuk indentifikasi, verifikasi wajah
atau juga posture dan atau gesture (gerakan) dan sistem-sistem
pintar lainya.

Meskipun telah banyak teknik pengenalan wajah secara otomatis


yang berhasil diaplikasikan dalam banyak bidang kehidupan sehari-
hari, namun tugas pengenalan wajah yang didasarkan hanya pada

158
skala yang bias. Topik pengenalan wajah masih menjadi tantangan,
terutama dalam didalam lingkungan yang tidak terkontrol . Pada
tahun 2007 Aldini dan peneliti lainya menyatakan bahwa terdapat
dua tantangan utama dalam pengenalan wajah, yaitu: variasi dalam
illumination dan pose. Kinerja dari teknik visual pengenalan wajah
adalah sangat sensitif terhadap variasi dan kondisi illumiation.

Eigenvector merupakan teknik perhitungan yang banyak digunakan


didalam pengenalan wajah yang pernah diperkenalkan oleh
Kohonen pada tahun 1999 dengan menggunakan teknik jaringan
syaraf tiruan sederhana yang digunakan untuk normaslisasi citra
wajah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Eigenvector digunakan untuk
menghitung deskripsi wajah dengan memperkirakan korelasi
otomatis matrik eigenvector yang kemudian dikenal dengan
Eigenfaces.

Untuk pengenalan wajah dalam penelitian ini digunakan teknik


Eigenface matching yang telah diperkenalkan oleh Turk dan
Petland pada tahun 2006. Citra wajah dinormalisasi dari gallery dan
kemudian diproyeksikan kedalam similaritas eigenface seperti yang
dapat dilihat pada gambadibawah ini. Sementara itu untuk
mencocokan (matching) dengan citra wajah yang ada di dalam

159
database atau gallery maka digunakan perhitungan Euclidean
distance, jika jarak Euclidean sama dengan nol maka citra query
akan sama persis dengan citra yang ada di dalam database.

Karena wajah merupakan jendela atau merupakan bagian dari


kepala dan atau tangan yang menggambarakan emosi dan keadaan
hidup kita. Wajah merupaka fitur yang unik dari manusia, bahkan
orang kembarpun akan tetap berbeda walaupun wajahnya kelihatan
persis sama. Manusia dapat mendeteksi dan mengidentifikasi wajah
dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilinya atau dengan
alat bantu. Keahlian manusia untuk mengenali wajah dapat
dikerjakan dengan mudah walaupun penampakan wajah
dipengaruhi oleh ekspresi, umur, dan penghalang seperti kacamata
atau perubahan model rambut. Namun untuk mendeteksi wajah
dengan tepat terutama untuk wajah-wajah yang sama sekali baru
adalah tidaklah mudah dan banyak terdapat masalah-masalah yang
berhubungan dengan hal tersebut diatas, masalah-masalah
tersebut seperti yang telah dikemukan oleh Samal dan Iyengar pada
tahun 2002 antara lain adalah: deteksi suatu model wajah,
pengenalan (recognition), analisa ekspresi wajah, dan klasifikasi
berbasis fitur fisik (). Terdapat dua kemungkinan tugas atau
pekerjaan dalam sistem pengenalan wajah, yaitu: (i). MATCH suatu

160
citra wajah dari seseorang yang tidak dikenal dikumpulkan dan
didentifikasi, dan (ii). VERIFICATION – sebagai ganti dari identfikasi
seseorang, sistem ini melibatkan verifikasi dan pengecekan citra
wajah dalam suatu database yang relative kecil.

9.2 Deteksi Wajah Dan Ekstraksi Fitur Wajah

Hjelmas dan Low pada tahun 2001 mengemukakan bahwa


pendeteksian dan pencarian objek-objek yang menyerupai wajah
adalah merupakan proses yang penting dalam system otomasi
pengenalan wajah atau face recognition. Untuk pengenalan wajah
dan deteksi wajah, maka daerah wajah berlu disegmentasi dari citra
yang ada. Sementara itu informasi tentang warna juga merupakan
kunci untuk deteksi wajah walaupun demikian pendekatan yang
berbasis warna sangat sulit dan komplek ditambah dengan
background dengan cahaya penyinaran yang berbeda pada waktu
pengambilan foto atau citra. Deteksi wajah dapat dipandang
sebagai hal yang khusus dari masalah pengenalan wajah (face
recognition) yaitu klasifikasi wajah dan bukan wajah.

Teknik pengenalan citra wajah dapat dikategorikan menjadi empat,


yaitu: Eigenfaces, Feature based, Hiden Markov Model, dan Neural
network berbasis algoritma. Hasil dari implementasi algoritma yang

161
berbeda dievaluasi pada database citra wajah yang berbeda pula,
Selanjutanya pengenalan wajah merupakan proses deteksi ada
database citra CMU dari Olivetti Research Laboratory face
database dan database dari MIT. Sementara itu terdapat banyak
sekali teknik biometric seperti sidik jari yang dapat digunakan untuk
identifikasi seseorang, namun pengenalan wajah tetap diperlukan.
Dalam banyak aplikasi seperti CCTV di tempat-tempat umum, maka
teknik tradisional seperti sidik jari tidak akan dapat digunakan,
karena kita tidak dapat meminta setiap orang untuk datang dan
mengecap jari nya (sidik jarinya). Oleh karena itu perlu suatu
sistem yang mirip dengan mata manusia dalam hal tertentu untuk
mengidentifikasi seseorang.

9.3 Pencarian citra wajah (face image retrieval)

Pencarian citra wajah secara tradisional didasarkan pada query-by-


example (QBE) dimulai dari input citra kedalam sistem (query
image) yang dibandingkan dengan citra yang ada didalam
database, beberapa penelitian telah dibuat oleh para peneliti .Dalam
pencarian citra berdasarkan wajah, mereka menyatakan bahwa
standar image query dapat merupakan suatu mental image. Lebih
lanjut dikatakan bahwa konsentrasi pada wajah, meskipun semua
algoritma yang mereka kembangkan dapat diaplikasikan pada

162
domain yang lain, sebagai contoh pada citra-citra pakaian, rumah,
perabot rumah tangga, dan lukisan cat, mental face telah
merupakan aplikasi yang sangat ekstensif dikembangkan dalam
bidang-bidang keamanan, e-bisnis, dan teknologi web. Salah satu
contoh pencarian mental images yang cukup representaif telah
dinyatakan oleh peneliti-peniliti sebelumnya.

Pengukuran similaritas atau kemiripan merupakan fokus dari


masalah pengenalan wajah khususnya di bidang computer vision
seperti masalah klasifikasi dan retrieval database citra digital.
Permasalah ini telah memotivasi penelitian-penelitian tentang CBIR
menjadi semaking berkembangluas. Lebih lanjut pencarian citra
pada compressed domain dengan mengunakan banyak metoda
telah banyak dikerjakan dan memberikan hasil yang cukup
memuaskan dan efektif dibandingkan dengan pencarian dalam pixel
domain . Seperti telah banyak dibuktikan bahwa dengan level
pemadatan tertentu maka pencarian wajah memberikan hasil yang
justru lebih baik dibandingkan dengan pencarian di dalam
uncompressed domain.

Blackbur telah mencoba mengevaluasi pengaruh citra wajah


dengan format JPEG dalam penelitian pengenalan wajah (face

163
recognition), mereka membuat skenario bahwa citra wajah yang
telah diketahui dalam database (gallery) dan dibuat dengan kondisi
belum dipadatkan (uncompressed) dengan citra yang tidak
diketahui dan diambil dengan kondisi yang tidak terkontrol dan
dipadatkan (compressed) pada level tertentu. Dalam penelitianya
citra dipadatkan dengan level 0.8, 0.4, 0,25, dan 0.2 bpp. Mereka
menyimpulkan bahwa pemadatan (compression) tidak
mempengaruhi akurasi pengenalan wajah secara signifikan,
pemadatan akan menjadi cukup berarti pada saat compression
mencapai 0.2 bpp. Akan tetapi mereka juga menyatakan bahwa
dijumpai peningkatan dalam akurasi pada beberapa rasio
pemadatan (ratio compression), sehingga direkomendasikan untuk
diadakan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana pengaruh
compression terhadap pengenalan wajah (face recognition).

a. Metoda Compressed Domain

Metoda pencarian citra digital yang dikerjakan selama ini terutama


untuk pengenalan wajah belum banyak dilakukan oleh para ahli,
namun beberapa penelitian yang telah kami kerjakan sebelumnya
dengan menggunakan database citra wajah umum (general
purpose images) adalah dengan metoda binary texture dan oriented
based. Dalam metoda atau teknik Binary Texture yang pernah

164
dilakukan oleh Irianto dan Jiang, , semua koefisien dalam block
DCT hanya terdiri dari dua variabel 0 dan 1 yand didapat dari
koefisien DCT tetangga disekelilingnya (disebelah kirinya, kanan,
atas dan bawah).

Dalam metoda ini digunakan citra umum (generap purpose images)


pada citra abu-abu (citra 8bit) yang biasanya memberikan informasi
yang kurang atau tidak lengkap dibandingkan dengan citra RGB
(color images). Satu hal lagi yang perlu dicatat bahwa database
yang digunakan adalah database citra umum seperti citra
pemandangan, citra model, citra binatang, dan citra mosaic.
Sementara itu hasil dari metoda Binary Texture memberikan
Precision sebesar 0.66. Satu teknik atau metoda lain yang pernah
diterapkan pada general purpose images adalah metoda
Orientation, dimana pertamakali Block didefinisikan sebagai model
dua tepi (edges) horizontal dan vertical. Fitur tepi horizontal dan
vertical dapat dibentuk dari dua dimensi koefisien DCT dari suatu
block. Fitur tepi dari matriks 8 x 8 dapat ditulis sebagai suatu set
atau himpunan:

Fitur Horisontal: H = {Hi: i=0, 1, 2,…, 7}


Vertical features: V = {Vj: j=0, 1, 2,…, 7}

165
Dimana Hi dan Vi adalah himpunan koefisien DCT C(u,v) untuk
u,v=0,1,2,…,7 dari persamaan koefisien DCT dua dimensi berikut
ini:
1 M 1 N 1
F 0,0    xi , j

MN i 0 j  0

2 M 1 N 1
(2i  1)u (2 j  1)v
FU , V 
MN
 x
i 0 j 0
i, j cos
2M
cos
2N

proses fitur ekstrasi (Leiba et.al., 2005). Lebih lanjut suatu teknik
yang berguna untuk untuk ekstrasi fitur wajah dikemukan oleh
Ferrari (Ferrari, et.al., 2006) yang disebut sebagai proyeksi integral.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa fitur-fitur yang harus menjadi
perhitungan dalam deteksi wajah adalah terdiri dari: (i). Mulut dan
hidung diletakan dengan menggunakan strategi yang sama.
Pertamakali diperkirakan posisi yang sebenarnya dengan
menghitung proyeksi horizontal dari gardien vertical untuk hidung
dan mulut (garis diantara bibir yang merupakan Teknik berbasis
Orientation atau tepi ini juga dikerjakan pada citra umum dan pada
grayscale images atau citra abu-abu 8 bit. Dari penelitian dihasilkan
bahwa efektivita teknik ini adalah 58.3 % dengan kata lain nilai
precisionya adalah sekitar 0.58. Dibandingkan dengan metoda
Binary Texture metoda ini kurang bagus dengan kata lain metoda

166
Binary Texture mempunyai efektifitas yang lebih baik dibandingkan
dengan metoda Orientation pada citra yang sama (general purpose
images dan citra grayscale).ata, satu hidung, dan satu mulut
dengan susunan atau layout yang hampir mirip. Walaupun hal ini
membuat klasifikasi dan pengenalan wajah semakin sulit, tetapi
akan memudahkan daerah yang gelap dibawah bibir), (ii). Alis mata,
juga dihitung dengan cara yang sama dengan mulut dan hidung,
(iii). Susunan atau outline wajah, digunakan pendekatan yang
berbeda untuk deteksi outline wajah. Untuk deteksi susunan wajah
digunakan program dinamis untuk mengikuti gradien intensitas dari
susunan wajah.

9.4 Pengenalan Dengan Posisi Tangah Dan Wajah

Pengenalan posisi dan frame citra wajah pada penelitian tahun


kedua ini akan didasarkan pada matching antara citra wajah dan
citra dalam database. Untuk itu dalam penilitian ini akan kami
gunakan teknik atau metoda Principle Component Analysis (PCA)
dan Bayesian Clasifier untuk pengenalan wajah. Disini kita meng-
ekstrak sejumlah salient geometric dari garfik wajah untuk
merepresentasikan fitur bentuk, tekstur warna, dan ukuran serta
posisi relative dari hidung, mata, alis, dan permukaan atau kontur

167
dari wajah serta vector tekstur yang dinormalisasikan dengan
bentuk.

9.5 Rekayasa pattern posisi anggota tubuh

Setelah tahapan query by example , maka kemudian untuk mencari


kemiripan atau similarity kita menggunakan perhitungan eiganfaces,
metoda atau pendekatan Eigenfaces dilakukan untuk ekstrasi fitur –
fitur vektor yang nantinya akan kita gunakan untuk
menklasifikasikan dan pengenalan ekspresi wajah. Secara
sederhana Eigenfaces mempunyai prosedur sebagai berikut: i).
Pertama diasumsikan bahwa citra wajah latihan (training set
images) adalah I1,I2,I3,..., In. Dimana setiap citra wajah mempunyai
dimensi I (x,y), kemudian setiap citra wajah dikonversi menjadi
vektor yang mempunyai matrik (m x p), dan m merupakan jumlah
dari citra wajah latihan sedangkan p adalah p x y. ii). Setelah itu
hitung Mean atau rata dari matrik wajah. iii). Setelah itu hitung
setiap Matrik wajah dengan Mean. iv). Setelah itu dikerjakan
tarnformasi matrik, sehingga vektor matrik akan berkurang. v).
Kemudian dihitung Eigenvektor dan Eigenvalues sehingga
berdasarkan egigenfaces ini setiap citra akan mempunyai vektor
wajah, vi). Akhirnya citra wajah akan dapat direkayasa atau

168
dibentuk dengan vektor masing-masing dan vektor-vektor
sebelumnya.

9.6 Matching kemiripan untuk deteksi kelainan jiwa

Untuk menghitung kemiripan (similarity) antara face image query


dengan citra posisi wajah dan anggota tubuh yang ada dalam
database secara langsung diperlukan biaya yang cukup mahal
dalam arti algoritma yang kompleks dan proses yang cukup lama.
Untuk mengatasi masalah ini, maka dalam penelitian ini dilakukan
tiga tahapan dalam matching citra posisi wajah dan anggota tubuh.
Pertama mencari kemiripan topologi posisi wajah dan anggota
tubuh query dengan citra dalam database yang merupakan filter,
kedua penggunaan informasi untuk memperbaiki calon citra yang
akan terpanggil, dan akhirnya metoda penghitungan matching
dikerjakan untuk menentukan kemiripan (similarity) antara image
query dengan citra posisi wajah dan anggota tubuh yang ada dalam
database. Dalam penelitian ini digunakan wajah normal dan
wajah dengan obstacles.
Selanjutanya pengenalan posisi wajah dan anggota tubuh yang
mengalami gangguan kejiwaan yang akan kita kerjakan dalam
penelitian tahun ke tiga dapat di-ilustrasikan pada gambar 2,

169
Gambar 9.1 Snapshot wajah gangguan jiwa

170
BAB - 10
CBIR UNTUK PENGENALAN
TINDAK KEJAHATAN

10.1 Pencarian dan Pengenalan Wajah

Pencarian dan identifikasi pelaku tindakan kriminal termasuk pelaku


korupsi, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, dan pelaku teror
(teroris) berdasarkan wajah dengan cara konvensional (hanya
dengan analisa manual yang dilakukan oleh para ahli) atau dengan
pencarian berbasis text (text based image retrieval) merupakan
teknik atau metoda yang masih sangat sederhana dimana
ketepatanya masih jauh dari yang diharapkan.

Content-based image retrieval (CBIR) atau pencarian citra digital


berdasarkan fitur isi telah banyak menarik perhatian para ahli dan
pengembangan algoritmanya langsung dari domain DCT telah
banyak dipublikasikan. Namun metoda yang ada sampai saat ini
masih jauh dari memuaskan seperti yang diharapkan. Dalam paper
ini telah digunakan teknik CBIR yang berbasis fitur DCT untuk
pengenalan citra wajah bagi keperluan identifikasi pelaku kriminal.

171
Fitur koefisien DCT akan di-ekstrak untuk membangun suatu
histogram yang selanjutnya digunakan untuk matching wajah
referensi (image query) dengan wajah yang ada di dalam database.
Sedangkan proses untuk memisahkan wajah dengan non wajah
dikerjakan dengan mengubah citra RGB dengan format JPEG ke
citra YCbCr dan ke HVS terlebih dahulu.

Didalam paper ini, proses pengenalan wajah dilaksanakan untuk


mengenal (recognize) wajah kriminal dengan menggunakan citra
digital yang telah dapat dari berbagai sumber baik dari institusi
kepolisian, kejaksaaan dan dari Internet. Disamping itu citra yang
digunakan adalah citra dengan format JPEG atau citra yang telah
dipadatkan dengan teknologi DCT. Penilitian dikerjakan dengan
menggunakan lebih dari 10.000 citra wajah orang dari berbagai
etnik, untuk citra trainning (citra pelatihan) diambil dari dalam
database sebanyak kurang lebih 500 citra. Disamping itu,
permasalahan yang diharapkan dapat dipecahkan dengan hasil
penelitian ini adalah untuk memcari metoda alternatif dan sekaligus
membangun suatu tool atau perangkat lunak yang dapat
dimanfaatkan untuk mengenal wajah seseorang yang pernah
melakukan tindak kriminal. .

172
10.2 Content Based Image Retrieval dan JPEG

Content-based image retrieval (CBIR) adalah suatu proses


pencarian citra digital berbasis fitur tingkat rendah (low level
features) atau singkatnya berbasis isi atau content dari suatu citra
yang ada. Beberapa pencarian citra berbasis content sudah banyak
dikerjakan sampai dengan saat ini, diantaranya adalah: Blobworld ,
sistem PicToSeek, C-BIRD, dan sistem MARS.

Sementara itu beberapa standard Internasional kompresi sekarang


telah diperkenalkan secara luas dan dikenal dengan JPEG dan
MPEG. Citra JPEG sudah sangat terkenal sebagai standar
ISO/ITU-T yang dipatentkan pada tahun 1990-an, beberpa model
telah didefinisikan oleh JPEG, diantaranya model baseline, losless,
progressive dan hirarchical. Algorfitma dari kompresi citra digital
dapat dijelaskan sebagai berikut :
 Pixel awal dibagi-bagi kedalam blok-blok dengan dimensi
8x8, Bi, yang jumlahnya 64 pixel dimana setiap nilai pixel
digeser dari unsigned integer dalam range [0, 2p-1] ke
signed integer dalam range [-2p-1, 2p—1]

173
 Kemudian setiap pixel dalam blok (Bi) diproses melalui
fungsi 2D Discrete Cosine Transform dan menghasilkan
blok-blok DCT (Bi*), dan setiap satu koefisien DC (yang
merupakan rata-rata intensitas dari semua blok) dan
koefisien AC yang banyaknya 63 pada setiap blok, dapat
diformulasikan sebagai berikut:

F(u, v)  1   C(u)C(v)f( x, y)cos((2x 1)uπ )cos((2y1)vπ )


 
7 7
4 x 0y0 

16 16 

dimana: u, v berubah-ubah sesuai dengan arah kolom


dan baris, C(u), C(v) = 1 2 for u, v = 0.
 Setelah itu quantisasi dikerjakan pada 64 koefisien yang
ada dengan menggunakan persamaan berikut:
F ( u ,v )
FQ  int Round
Q ( u ,v )

 Penerapan urutan secara zig-zag dan kemudian koefisien


setiap blok di quatisasikan
 Penerapan kode entropy pada setiap koefisien baik dengan
Huffman atau Aritmatika

174
10.3 Pencarian Citra Wajah
Pencarian citra secara tradisional didasarkan pada query-by-
example (QBE) dimulai dari input citra kedalam sistem (query
image) yang dibandingkan dengan citra yang ada didalam
database, beberapa penelitian telah dibuat oleh para peneliti lain.
Dalam pencarian citra berdasarkan wajah, mereka menyatakan
bahwa standar image query dapat merupakan suatu mental image.
Lebih lanjut dikatakan bahwa fokus dari penelitian mereka adalah
dengan wajah, meskipun semua algoritma yang mereka
kembangkan dapat diaplikasikan pada domain yang lain, sebagai
contoh pada citra-citra pakaian, rumah, perabot rumah tangga, dan
lukisan cat, dan mental face yang merupakan aplikasi yang sangat
ekstensif dikembangkan dalam bidang-bidang keamanan, e-bisnis,
dan teknologi web. Salah satu contoh pencarian mental images
yang cukup representatif.

Pencarian citra pada compressed domain dengan mengunakan


banyak metoda telah banyak dikerjakan dan memberikan hasil
yang cukup memuaskan dan efektif dibandingkan dengan pencarian
dalam pixel domain. Seperti telah banyak dibuktikan bahwa dengan
level pemadatan tertentu maka pencarian wajah memberikan hasil

175
yang justru lebih baik dibandingkan dengan pencarian di dalam
uncompr.essed domain.

Meskipun telah banyak teknik pengenalan wajah secara otomatis


yang berhasil diaplikasikan dalam banyak bidang kehidupan sehari-
hari, namun tugas pengenalan wajah hanya didasarkan pada skala
yang bias. Topik pengenalan wajah masih menjadi tantangan,
terutama dalam didalam lingkungan yang tidak terkontrol.
Sementara itu untuk mencocokan (matching) dengan citra wajah
yang ada di dalam database atau gallery maka digunakan
perhitungan Euclidean distance, jika jarak Euclidean sama dengan
nol maka citra query akan sama persis dengan citra yang ada di
dalam database.

Face recognition (pengenalan wajah) dapat dikerjakan dengan


menggunakan komponen warna chromatic, Hue dan Saturation
seperti yang telah dilakukan oleh Zhao dalam Petrou. Karena wajah
merupakan jendela atau merupakan bagian dari tubuh yang
menggambarkan emosi dan keadaan hidup kita. Wajah merupaka
fitur yang unik dari manusia, bahkan orang kembarpun akan tetap
berbeda walaupun wajahnya kelihatan persis sama. Keahlian
manusia untuk mengenali wajah dapat dikerjakan dengan mudah

176
walaupun penampakan wajah dipengaruhi oleh ekspresi, umur, dan
penghalang seperti kacamata atau perubahan model rambut.
Namun untuk mendeteksi wajah dengan tepat terutama untuk
wajah-wajah yang sama sekali baru adalah tidaklah mudah dan
banyak terdapat masalah-masalah yang berhubungan dengan hal
tersebut diatas, masalah-masalah tersebut antara lain adalah:
deteksi suatu model wajah, pengenalan (recognition), analisa
ekspresi wajah, dan klasifikasi berbasis fitur fisik.

Kegiatan penelitian dikerjakan pertama kali dengan membuat


database citra wajah yang yang mempunyai format JPEG, sehingga
citra wajah yang sebagian besar adalah berformat non JPEG harus
dikonversi dulu kedalam format JPEG. Database citra wajah yang
akan dibangun berkisar antara 10.000 citra dan terdiri dari
beberapa citra wajah normal (citra wajah dengan muka
memandang tegak lurus ke depan), Database citra juga dilengkapi
dengan wajah-wajah pelaku tindak kejahatan baik yang sudah
maupun yang sedang mengalami hukuman dan citra wajah dari
para pelaku kejahatan yang sedang dalam pencarian pihak
berwajib. Sementara itu sistem yang dihasilkan dalam kegiatan
penelitian ini akan dikerjakan dengan menggunakan platform Visual
NET. Keluaran yang akan dihasilkan merupakan suatu metoda

177
atau tool yang diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
cukup berarti dalam pengenalan dan mencari pelaku tindak kriminal.

Dalam penelitian ini digunakan citra dengan format JPEG karena


citra JPEG mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan
format-format lain, kelebihan-kelebihan tersebut tersebut antar lain
adalah:(i). ukuran file relatif kecil dibandingkan dengan format
lainnya (bahkan dapat mencapai 70% lebih kecil tanpa banyak
berpengaruh terhadap kualitas dari citra aslinya), (ii). Algoritmanya
mudah dan sederhana karena citra dibagi-bagi dalam blok-blok
koefisien DCT , (iii). Sebagian besar kamera saat ini telah
menggunakan format JPEG. Disamping itu JPEG merupakan format
standar Internasional untuk citra di Internet dan di alat-alat
multimedia lainya saat ini.

Dari koefisien DCT ini, komponen YCbCr color space digunakan


dengan alasan karena Y merupakan komponen yang mewakili
informasi luminace dan CbCr mewakili informasi chrominace yang
digunakan dalam format JPEG sehingga akan mengurangi
kompleksitas. Disamping itu dibandingkan dengan warna RGB,
YCbCr lebih sesuai dengan dengan sistem penglihatan manusia.
Ekstrasi texture dilakukan dengan memilih tiga koefisien DCT, yaitu:

178
koefisien DC yang mewakili informasi energi, koefisien AC yang
mewakili informasi frekwensi, dan koefisien DCT yang mewakili
arah atau kecenderungan informasi tentang citra.

Analisa muka wajah secara tegak lurus atau profil dari muka sering
efektif tanpa partisipasi atau adanya knowledge sebelumnya.
Sementara itu untuk pencarian citra wajah digunakan algoritma
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Misalnya query citra wajah q dan database citra X, semua citra


wajah diekstrak q1,...,,q2, dan Xi,....Xj masing-masing dalam ruang
wajah.
 Kemudian dihitung Euclidean distance d(qi,Xj) untuk semua
pasangan (qi,Xj)
o Kemudian
o dwajah (q,X) = min i,j{d(qi,Xj)} dimana i=1,.....,i,
j=1,....,j.

Dari penelitian yang telah dilaksanakan dengan memanfaatkan


extrasi fitur-fiturnya, fitur wajah dan non-wajah, dan akhir
seleksi/matching wajah kriminal. Gambar 10.1 menjelaskan alur

179
kegiatan yang sekaligus merupakan algoritma pengenalan wajah
wajah yang dibangun.

Wajah jah Referensi

Ekstrak Warna Wajah

Pemisahan Wajah dan non-wajah

Fitur-fitur terpisah

Bagian Wajah Kriminal /Non Kriminal

Gambar 10.1 Pengenalan bagian citra wajah


Teknik pencarian citra dengan citra query kedalam sistem dapat
dijelaskan secara sederhana implementasi pencarian citra
berdasarkan fitur deteksi wajah. Database yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan gabungan atau campuran dari beberapa
ekspresi wajah seperti wajah sedang biasa-biasa saja, wajah
sedang marah, tersenyum, berteriak, dan tertawa, disamping juga
digunakan illumination ( beberapa variasi penyinaran dari samping
kiri, dari samping kanan, dan penyinaran dari kedua sisi).

180
Gambar 10.2. Diagram sistem retrieval pengenalan wajah

Database yang digunakan dalam penelitian ini merupakan


gabungan atau campuran dari beberapa ekspresi wajah seperti
wajah dengan ekspresi normal, wajah sedang marah, tersenyum,
berteriak, dan tertawa, disamping juga digunakan illumination (
beberapa variasi penyinaran dari samping kiri, dari samping kanan,
dan penyinaran dari kedua sisi).

10.4 Evaluasi Efektifitas Retrieval


Untuk mengukur similaritas atau tingkat kesamaan antara citra
wajah query (referensi wajah) dengan citra wajah yang ada didalam
database, maka digunakan rumus Euclidean distance yang dapat
didefinisikan sebagai berikut:
M

 (Q i  Ii )2
d(Q, I)  i 0
M

181
Dimana Q merupakan citra wajah query dan I adalah vektor dari
fitur citra yang ada dalam database, sedangkan M merupakan
jumlah elemen yang ada dalam fitur citra. Sedangkan untuk
menghitung keefektipan (effectives) dari pencarian citra wajah
digunakan parameter precision dan recall yang dapat ditulis sebagai
berikut:

Jumlah citra wajah yang relevan te rpanggil


Precision 
Jumlah citra wajah ter panggil

Jumlah waj ah citra yang relevan te rpanggil


Precision 
Jumlah waj ah relevan dalam kategori yang ada dalam database

Semakin besar nilai dari precision dan recall, maka akan semakin
efektif metoda atau teknik pencarian yang digunakan, Precision
mempunyai nilai maksimum 1 dan minimum 0.

Dalam penelitian yang kita lakukan dengan menggunakan lebih 500


query (wajah referensi) telah digunakan sebagai test yang diambil
dari database yang terdiri dari 10.000 citra dikerjakan dalam
kegiatan penelitian ini, menampilkan efektifitas yang boleh
dikatakan cukup bagus karena sebagian besar Precision yang
didapat lebih besar dari 0.65 atau 65% .

182
Tool yang dihasilkan dalam kegiatan penelitianya ini belum begitu
memuaskan dipandang dari sudah penampilan dan visualisasinya,
hal disebabkan karena keterbatasan yang ada. Walaupun begitu
metoda dari tool ini sudah cukup memuaskan dalam mengenali
wajah seseorarng yang kita cari (face recognition). Teknik atau
metoda pencarian dan pengenalan wajah kriminal dengan
memanfaatkan fitur-fitur gambar berwarna dengan format gambar
yang dipadatkan (JPEG) relatif cukup memuaskan dan efektif.

Algoritma yang dibangun dalam tool ini, adalah algoritma untuk


exktrasi fitur-fitur DCT koefisien dengan menggunakan warna
Luminace, dengan alasan bahwa warna Luminace secara luas
diterima dan dianggap mewakili dibandingkan dengan warna
chorminance. Dengan menggunakan algoritma yang sesuai
dengan citra wajah dengan format JPEG, maka dihasilakan
efektifitas rata-rata lebih dari 0.70, seperti yang dapat dilihat pada
gambar 3..

183
Efektifitas Pengenalan Wajah Kriminal
1,00
P 0,75
0,50
e 0,25
i 0,00
r
0,002
0,004
0,008
0,014
0,014
0,016
0,018
0,018
0,018
0,018
0,020
0,020
0,022
o
c
n
i Recall
s

Gambar 3. Pricision dan Recall dari 500 query yang dikerjakan


dalam penelitian

Dari tabel 3 dapat diambil kesimpulan bahwa semakin besar


precision, maka akan diikut pula dengan naiknya nilai Recall. Hal
ini sesuai dengan teori yang sejauh ini ada (Sapiro,2007), jika
terjadi korelasi garis tidak lurus antara precision dan recall, maka
algoritma yang digunakan perlu diperbaiki.

10.5 Algoritma Pencarian Wajah

Algoritma dari metoda yang diterapkan dalam penelitian ini adalah


dengan meng-explore fitur-fitur yang ada dalam koefisien DCT,
dimana setiap koefisien merupakan suatu vektor yang mengandung
energy untuk membangung suatu histogram dalam proses matching
selama proses pencarian dan pengenalan citra wajah dari

184
database. Urutan atau algoritma teknik ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Input wajah reference (image query)
2. Pemisahan wajah, dimana input citra wajah RGB di ubah ke
citra YCbCr dan HVS, sehingga didapat calon wajah (face
candidate) yang akan dicari.
3. Generate key indexing dari fitur koefisien DCT dengan
membangun suatu histogram dari 2D Matrix citra wajah,
yaitu dengan menghitung:
I (image query atau wajah referensi), sebagai
berikut:
H(i) = { h0,h1,h2,…,h63}, dan
hi = ∑
Q(u,v) adalah koefesien Citra pada baris u
dan kolom v.
4. Seperti langkah ke 3, untuk citra wajah dalam database.
H(i) = { h0,h1,h2,…,h63}, dan
hi = ∑
d(u,v) adalah koefesien Citra pada baris u
dan kolom v.
5. Hitung similaritas (kemiripan) antra citra referensi dengan
citra yang ada dalam database, dengan rumus :

185
√∑

Dimana, D adalah jarak antara vektor Iq (wajah


refernsi) dengan vektor Id (wajah dalam database).
Sedangkan N adalah jumlah block dari citra wajah
yang bersangkutan. Nilai D berkisar antara 0 dan 1,
jika nilai D=0 maka image query (citra wajah referensi)
persis sama dengan wajah yang terpanggil citra dari
database)
6. Rangking (urutkan) wajah berdasar nilai jarak vektor D dari
yang terkecil (yang paling mirip ke yang kurang atau tidak
mirip),
For Number_of_block = 1 to N
For u = 0 to 63
For v = 0 to 63
D((Iq(u,v),Id(u,v)));
End
End
End
7. Display citra wajah 20 terpanggil yang termirip (Output:
wajah-wajah yang paling mirip),

186
8. Untuk query image (wajah referensi berikuitnya) kembali
ulabgi langkah 1 – 8.

187
DAFTAR PUSTAKA
.
Adini, Y., Y. Moses, and S. Ullman. 1997. Face Recognition: The
problem of compensating for changes in illumination direction. IEEE
PAMI, 19(7), pp..721-732.

Carson. C, S. Belongie, H. Greenspan, dan J. Malik. 2007.


Blobworld: Image Segmentation Using Expectation- Maximization
and its Application to Image Querying,‖ IEEE Trans. Pattern
Analysis Machine Intelligent, Vol. 24, No. 8,pp. 1026–1038.

Cox. I.J, M.L. Miller, and T.P. Minka, T.V. Papathomas, and P.N.
Yianilos.2000. ―The Bayesian Image Retrieval System, PicHunter:
Theory, mplementation, and Psychophysical Experiments,‖ IEEE
Trans. Image Processing, Vol. 9, No. 1, 2000, pp.20–37

Cox. I.J, M.L. Miller, and T.P. Minka, T.V. Papathomas, and P.N.
Yianilos,2000, ―The Bayesian Image Retrieval System, PicHunter:
Theory, mplementation, and Psychophysical Experiments,‖ IEEE
Trans. Image Processing, Vol. 9, No. 1,pp.20–37.

Gevers. T dan M. Arnold. 2000. PicToSeek: Combining colours and


shape invariant features for image retrieval, IEEE Transaction on
Image Processing, Vol.9, No.1, hal. 102–119

Irianto, Suhedro. 2013. Segmentation for Image Indexing and


Retrieval on Discrete Cosines Domain. TELKOMNIKA Vol. 11, No.
1, 119 – 126 ISSN: 1693-6930 Accredited by DGHE (DIKTI),
Decree No: 51/Dikti/Kep/2010.

Irianto, Suhendro.2008. Image Retrieval In The Compressed


Domain: Integration of low level features, image keywords and

188
descriptions, segmentation techniques and image ontology for
image retrieval in the compressed domain. Ph.D Thesis, University
Of Bradford, United Kingdom.

Irianto. Y.S dan J. Jiang, ―DCT Based Content Descriptors For


JPEG Compressed Image Indexing And Retrieval‖, Proceedings of
E-EngNet, 5th International Conference On E-Engineering & Digital
Enterprise Technology, 16th -18th August, 2006, China, Pp. 122-
127. ISBN 2006243.

Irianto. Y.S dan J. Jiang,2006. ―DCT Based Content Descriptors


For JPEG DC Image Indexing And Retrieval‖, Proceedings of
EEngNet, 5th International Conference On E-Engineering & Digital
interprise Technology, 16th -18th August, China, Pp. 122-127. ISBN
2006243.

Irianto. Y.S dan J. Jiang,2006. ―DCT Based Content Descriptors For


JPEG Compressed Image Indexing And Retrieval‖, Proceedings of
EngNet, 5th International Conference On Eengineering & Digital
interprise Technology, 16th -18th August, China, Pp. 122-127. ISBN
2006243.

Li. Z, Zaiane. R.O dan Yan. B. 1999. C-Bird: Content-Based Image


Retrieval From Digital Libraries Using Illumination Invariance And
Recognition Kernel, dalam: Wagner, R. (Ed.), Proceeding of The
Ninth International Workshop on Database and Expert Systems
Applications (DEXA '98), Vienna, Austria, August 24- 28, IEEE
Computer Society, pp. 361-366.

Liang. K., C., dan C.J. Kuo.2007. ―WaveGuide: a joint wavelet-


based image representation and description system‖, IEEE
Transaction on Image.

189
Liu. C.T, P.-L. Tai, A. Y.-J. Chen, C.-H. Peng dan J.-S. Wang, ―A
content{based medical teaching _le assistant for CT lung image
retrieval‖, Proceedings of the IEEE International Conference on
Electronics, Circuits, Systems (ICECS2000), Jouneih,Kaslik,
Lebanon,

Luo. L dan C. Guo.1999. Perceptual Grouping of Segmented


Regions in Colour Images‖, Pattern Recognition, Vol. 36, 2003, hal.
2781–2792.

Peng dan J.-S. Wang. 2000. ―A content{based medical teaching


learning assistant for CT lung image retrieval‖, Proceedings of the
IEEE International Conference on Electronics, Circuits, Systems
(ICECS), Jouneih,Kaslik, Lebanon.

Petrou, M., dan P. Bosdogianni. 2002. Image processing: The


fundamentals. John Wiley & Sons Ltd, England, 2005, hal. 265.

Petrou, M., dan P. Bosdogianni. 2005. Image processing: The


fundamentals. John Wiley & Sons Ltd, England, pp.. 265.

Porkaew. K, S.Mehrotra, dan M.Ortega.1999. Query Reformulation


for Content-Based Multimedia Retrieval In Mars, Proceeding of
IEEE International Conference on Multimedia Computing and
Systems(ICMCS), Vol. 2. No. 1.

Saphiro, G. Linda dan Gorge C. Stockman. Computer Vision. 2001.


Prentice Hall, Upper Saddle, New Jersey, U.S.A.

190
Shapiro. G, Linda dan George C. Stockman. 2007. Computer
vision, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey, 2001, hal. 27

Smeulders , Arnold. W.M., Amarnath Gupta, Marcel Worring, dan


Simone Santini. 2000. Content-Based Image Retrieval At The End
Of The Early Years. IEEE Transactions On Pattern Analysis And
Machine Intelligence, Vol. 22, No. 12, 123-142

Thompson, Clay dan Laoren Shure. Image Processing ToolBox.


2012. User‘s Guide. The Math Works, Inc. 3 Apple Hill Drive Natick,
Massachusetts, U.S.A

Wallace, Gregory K., "The JPEG Still Picture Compression


Standard,"Commu nications of the ACM, vol. 34, no. 4, April 1991,
pp. 30-44.

191
192
193
194
195

View publication stats

Potrebbero piacerti anche