Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
ABSTRACT
The main door to perform productive work in order to adapt and compete
with conventional banking and finance is ijtihad, which the principles of
sharia to stay awake and be both a character and excellence of Islamic
economics. Not every economic problem in the modern era has been
arranged in al-Quran and al-Hadith, and then opened the door of ijtihad.
Economic Ijtihad is very important given the position of these products is
very rapid economic globalization and diverse. The classical scholars have
provided a good example of how diligence in the economic field that should
be followed by the scientists of this modern era. Now, economic ijtihad in
Islam especially in Indonesia is mostly done by the National Sharia Council
MUI (DSN-MUI), Bank Indonesia (BI) and in certain cases also made by
the Lajnah Bahsul Masail NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah and other
Islamic organizations. As with many previous cases, many fiqh issues in
Indonesia to be a debate that almost never ended, it is understandable
because the institutions 'fatwa' has a normative methodology, and
sometimes a different source, so the product of ijtihad is also different,
punish halal or haram an economic product for example, will be found
mixed results even contradictory, as well as problems in the mathematical
method of calculation of technical-contract agreement in the world of
banking and finance ijtihad find different products. The essence of this
discussion of economic ijtihad, ijtihad first shelled on classical and modern
ijtihad. This paper is to open the awareness of the existence of a strong
relationship between those who strongly hold the tradition of ijtihad by
relying to the classical scholars and those who have left old tradition, so
offer a new ijtihad as a model of modern ijtihad in Indonesia can be
realized without departing from the normative roots of each runway ijtihad
one. In addition to the above conditions, this paper tries to reveal any more
about the methodology of economic ijtihad from main institution such as the
DSN-MUI and several Islamic organizations, then explain meeting points
and point of conflict between the methodological model of ijtihad by the
institutions and also explained some of the products economic ijtihad,
465
Peneliti Pusat Studi Hukum Islam, Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
1808
A. Pendahuluan
Globalisasi ini telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia,
termasuk yang paling berpengaruh adalah kegiatan ekonomi bisnis. Bentuk-bentuk
bisnis, dan isu-isu baru berkembang dengan cepat dan salah satu instrumen ekonomi
bisnis adalah lembaga-lembaga perbankan dan keuangan.
Produk-produk perbankan dan keuangan sangat banyak dan terus dikembangkan
secara inovatif, untuk bisa memenuhi kebutuhan dan persaingan pasar. Oleh sebab itu,
untuk mengimbangi kebutuhan pasar tersebut maka pengajaran fiqh muamalah
khususnya masalah ekonomi tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada
kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak
yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh
muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan
kebutuhan ekonomi modern (lihat Agustianto. 2011).
Globalisasi yang menjadi ciri khas pasar bebas diperkirakan semakin bertambah
cepat pada masa mendatang, sebagaimana dikemukakan oleh Colin Rose (1997), bahwa
dunia sedang berubah dengan kecepatan langkah yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Kehidupan masyarakat termasuk kehidupan hukum dan ekonominya
menjadi semakin kompleks (Rose dan Nicholl. 1997: 1). Maka salah satu kesibukan
para intelektual muslim di seluruh dunia kemudian ialah memikirkan bagaimana
menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam perangkat nyata kehidupan modern yang
terus berubah ini (Madjid.tt.).
1809
1810
1811
1. Ijtihad Klasik
Orang yang pertama kali melakukan tugas berfatwa dalam Islam adalah Nabi
Muhammad SAW., dimana fatwa-fatwa Nabi tersebut adalah merupakan wahyu dari
Allah SWT. dan merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya (Mazkur. 1964: 136).
Fatwa-fatwa ini lebih dikenal dengan Hadits atau Sunnah. Setelah Nabi Muhammad
s.a.w meninggal dunia, tugas-tugas berfatwa tersebut dilanjutkan oleh para sahabatnya,
dan tentu saja ada perbedaan antara fatwa Nabi dengan fatwa para sahabat. Fatwa-fatwa
sahabat tersebut terkenal dengan sebutan “Fatwa Shahabi”. Pada masa sahabat, materi
fatwa itu dapat dibagi kepada 2 (dua) bentuk, yaitu: Pertama, fatwa yang materinya
hanya pengulangan kembali apa yang telah jelas disebutkan di dalam al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, artinya materi hukum yang di fatwakan oleh para sahabat itu
1812
1813
1814
1815
466
Dewan Syariah Nasional bertugas : (1) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah
dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; (2) Mengeluarkan fatwa
atas jenis-jenis kegiatan keuangan.; (3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; (4)
Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Sedangkan DSN berwenang : (1) Mengeluarkan
fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi
dasar tindakan hukum pihak terkait; (2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia; (3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah; (4) Mengundang
para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,
termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri; (5) Memberikan peringatan
kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional; (6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk
1816
mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan (lihat SK. Majelis Ulama Indonesia No. Kep-
754/MUI/II/1999 tanggal 10 Pebruari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari'ah Nasional).
467
Pendekatan Nash Qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk
sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun Hadis secara
jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban
dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.
468
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya
pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).
Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat
(qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan
(ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan hukumnya (‘illah)
berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang
dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu
yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman. Apabila
jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh
pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan
fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
469
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan
kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab
dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif
(ijtihad jama’i), dengan menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat
taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang
muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan
istinbathi.
1817
470
Sistem (proses) penetapan fatwa dalam Bahtsul Masail di lingkungan Nadlatul Ulama (NU)
ditetapkan pada Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21 – 25
Januari 1992, sistem penetapan fatwa kemudian disempurnakan kembali melalui keputusan
Musyawarah Nasional Alim Ulama nomor 02/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nadliyah adalah kerangka
berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlulssunnah wal jama’ah.
1818
471
Kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunah Wal Jamaah (rumusan
Mukhtamar NU ke XXVII)
1819
472
Sejalan dengan semakin kompleknya pranata sosial dan entitas kehidupan umat manusia dan
sulitnya mencari ulama yang menguasai semua cabang ilmu yang berkaitan dengan persoalan yang akan
diijtihadkan, maka ijtihad kolektif menjadi solusi. Ijtihad kolektif adalah proses penggalian hukum yang
dilakukan oleh sekelompok pakar , baik pakar dalam satu bidang ilmu, seperti sekelompok ulama ushul
fiqh dan ahli fiqh atau pakar dari beberapa bidang ilmu, seperti gabungan beberapa ulama fiqg dan ushul
fiqh dengan pakar ilmu umum. Secara implisit, gagasan ini telah dibahas dan secara intelektual termasuk
kategori mujtahid (lihat Ghazali. 1997: 382).
1820
473
Al Mashlahah adalah lafaz al-mamfaat artinya baik, dengan demikian al-Mashlahah al-Mursalah
adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalanya. Lihat
(lihat Syafe’i. 1999:117).
1821
1822
1823
E. PENUTUP
Dewasa ini dunia Islam sudah sangat memerlukukan adanya mujtahid dan
mujaddid yang profesional. Sebab, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan inovasi
di segala bidang, sedangkan nash-nash al-Quran dan al-Hadis tidak menerangan segala
persoalan secara tekstual. Dalam keadaan seperti itu, sangat dibutuhkan pemikiran yang
bersih dan penuh kesungguhan untuk mengembalikan tatanan kehidupan yang sesuai
dengan prinsip dasar ajaran Islam (Al Fitri. tt: 12).
DSN-MUI, NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas-ormas Islam yang lain,
juga pemerintah musti secara cepat memberikan ijtihad-ijtihad ekonomi sehubungan
dengan cepatnya perkembangan ekonomi global yang secara alamiah selalu melahirkan
produk-produk baru, sehingga Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin selalu siap
sedia memberikan jawaban atas persoalan-persoalan di masyarakat, sebab Islam sangat
identik dengan hukum dan hukum itu sendiri (Islam is the law) (lihat Minhaji. 2000:
243).
1824
DAFTAR PUSTAKA
1825
1826
1827