Sei sulla pagina 1di 20

IJTIHAD EKONOMI ISLAM MODERN

M.Roem Syibly, M.Si dan Prof. Dr. Amir Mu’allim, MIS465

ABSTRACT
The main door to perform productive work in order to adapt and compete
with conventional banking and finance is ijtihad, which the principles of
sharia to stay awake and be both a character and excellence of Islamic
economics. Not every economic problem in the modern era has been
arranged in al-Quran and al-Hadith, and then opened the door of ijtihad.
Economic Ijtihad is very important given the position of these products is
very rapid economic globalization and diverse. The classical scholars have
provided a good example of how diligence in the economic field that should
be followed by the scientists of this modern era. Now, economic ijtihad in
Islam especially in Indonesia is mostly done by the National Sharia Council
MUI (DSN-MUI), Bank Indonesia (BI) and in certain cases also made by
the Lajnah Bahsul Masail NU, Majelis Tarjih Muhammadiyah and other
Islamic organizations. As with many previous cases, many fiqh issues in
Indonesia to be a debate that almost never ended, it is understandable
because the institutions 'fatwa' has a normative methodology, and
sometimes a different source, so the product of ijtihad is also different,
punish halal or haram an economic product for example, will be found
mixed results even contradictory, as well as problems in the mathematical
method of calculation of technical-contract agreement in the world of
banking and finance ijtihad find different products. The essence of this
discussion of economic ijtihad, ijtihad first shelled on classical and modern
ijtihad. This paper is to open the awareness of the existence of a strong
relationship between those who strongly hold the tradition of ijtihad by
relying to the classical scholars and those who have left old tradition, so
offer a new ijtihad as a model of modern ijtihad in Indonesia can be
realized without departing from the normative roots of each runway ijtihad
one. In addition to the above conditions, this paper tries to reveal any more
about the methodology of economic ijtihad from main institution such as the
DSN-MUI and several Islamic organizations, then explain meeting points
and point of conflict between the methodological model of ijtihad by the
institutions and also explained some of the products economic ijtihad,

465
Peneliti Pusat Studi Hukum Islam, Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

1808

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


especially in banking and finance as opposed to one another and the
possibility of mal practice of Islamic banking and finance businesses to
depart from the product choices that are less precise ijtihad. Of these less
favorable conditions in the era of increasingly fierce market competition, it
would require certain conditions in the plural Muslims realized the
importance of Ijtihad Jamai that penetrate the boundaries of difference, so
that the rate of development of Islamic economics is to continue growing
rapidly in accordance with the principles Sharia. Initiatives for the benefit
of starting over can be carried out by state institutions as a means of legal
authority to take decisions in the application of a product of ijtihad to
accommodate all "interests" ijtihad from other institutions. The initiative
also needs to be built from Islamic organizations such as the dominant
institution, NU and Muhammadiyah with their institution of ijtihad, Lajnah
Bahsul Masail and Majelis Tarjih.
Keywords: Ijtihad, Modern, Ekonomi Islam, DSN-MUI.

A. Pendahuluan
Globalisasi ini telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia,
termasuk yang paling berpengaruh adalah kegiatan ekonomi bisnis. Bentuk-bentuk
bisnis, dan isu-isu baru berkembang dengan cepat dan salah satu instrumen ekonomi
bisnis adalah lembaga-lembaga perbankan dan keuangan.
Produk-produk perbankan dan keuangan sangat banyak dan terus dikembangkan
secara inovatif, untuk bisa memenuhi kebutuhan dan persaingan pasar. Oleh sebab itu,
untuk mengimbangi kebutuhan pasar tersebut maka pengajaran fiqh muamalah
khususnya masalah ekonomi tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada
kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak
yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh
muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan
kebutuhan ekonomi modern (lihat Agustianto. 2011).
Globalisasi yang menjadi ciri khas pasar bebas diperkirakan semakin bertambah
cepat pada masa mendatang, sebagaimana dikemukakan oleh Colin Rose (1997), bahwa
dunia sedang berubah dengan kecepatan langkah yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Kehidupan masyarakat termasuk kehidupan hukum dan ekonominya
menjadi semakin kompleks (Rose dan Nicholl. 1997: 1). Maka salah satu kesibukan
para intelektual muslim di seluruh dunia kemudian ialah memikirkan bagaimana
menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam perangkat nyata kehidupan modern yang
terus berubah ini (Madjid.tt.).

1809

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang di
mana posisi Islam dalam kehidupan modern, serta bentuk Islam yang bagaimana yang
harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi (Tibi. 1991:8). Qardhawi (1994),
menyatakan bahwa setelah tertutupnya pintu ijtihad, pada awal abad ke 19 muncul di
kalangan pemikir muslim untuk membuka kembali aktifitas berijtihad dengan
melakukan pembaruan hukum Islam, yang dalam masalah ijtihad kontemporer ini,
terdapat tiga pendapat: Pertama, pendapat yang menolak ijtihad dengan alasan bahwa
produk ulama mujtahid dan salaf telah mampu menjawab setiap tantangan zaman dan
permasalahan kontemporer dewasa ini (al-Qardlawi. 1994: v). Kedua, pendapat yang
menginginkan pembaruan hukum Islam secara menyeluruh dengan membuka pintu
ijtihad secara bebas, yang terkadang dalam ijtihad ini mereka melakukannya tanpa
berpedoman atau menyalahi kode etik ijtihad yang ada. Ketiga, pendapat yang
menyatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka tetapi tetap dengan berpedoman pada
metodologi ijtihad yang telah ditentukan ulama ushul (Zein. 1997: 153-155).
Tentu jika memilih opsi pertama diatas dengan terus menerus berpegang kepada
pendapat ulama terdahulu, memandang hasil ijtihad mereka, adalah ijtihad yang tidak
boleh diusik-usik sedikit juga, tentulah golongan ini menghendaki keislaman itu
beransur-ansur hilang dalam masyarakat (As-Shiddiqy. 1997: 551). Yang diperlukan
pada era modern ini adalah opsi yang memandang pintu ijtihad terbuka dan tetap
terbuka, para ulama dituntut untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khasanah
hukum Islam secara inovatif. Termasuk yang cukup urgen, adalah upaya para ulama
tersebut untuk secara terus menerus melakukan ijtihad dibidang fiqih secara benar dan
dapat dipertanggung-jawabkan. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu mengingat
kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam yang tidak bisa dipisahkan
produk-produk fiqih, apakah itu berfungsi sebagai purifikasi atau reaktualisasi (Al-
Qardawi. 2000: 5).
Dengan demikian, ijtihad zaman modern haruslah mengarah kepada masalah-
masalah yang baru dan problematika kekinian, untuk mencari solusi masalah tersebut
menurut al-Qur’an dan sunnah. Layak kiranya untuk meninjau kembali ijtihad zaman
dahulu, agar ijtihad tersebut dapat layak kembali di zaman sekarang, atau setidak-
tidaknya ijtihad tersebut tidak menganggur sia-sia, menurut porsi problematika
kekinian. Ijtihad yang di dengung-dengungkan ada zaman sekarang ini adalah
merupakan kebutuhan bahkan merupakan kewajiban bagi kehidupan umat Islam untuk
mengobati problematika kekinian sebab umat Islam akan hidup jumud kalau tidak di
berantas dengan ijtihad (Ameen. tt).
Paper ini ingin menggali lebih lanjut mengenai Ijtihad klasik dan modern, agar
bisa dipahami perkembangan ijtihad dari waktu-kewaktu khususnya berkaitan dengan
metode penggaliannya seiring dengan isu dan bidang yang terus berkembang. Sebagai
model metode ijtihad modern, penulis kemudian mengkaji bagaimana metode ormas-

1810

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


ormas Islam di Indonesia menemukan hukum baru dengan metode fatwa, dan terakhir
tentang metode ijtihad ekonomi modern.

B. Ijtihad Klasik dan Modern


Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya
kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya (Yunus.
1990: 92-93 juga lihat Munawwir. 1997: 217). Menurut istilah, ijtihad berarti
pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum syarak
yang amali melalui penggunaan sumber syarak yang diakui (Al-Amidi. 1967: 204).
Ijtihad dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk
mencapai sesuatu yang diharapkan (Djazuli. 2005: 71). Sedangkan para ulama
mendefinisikan ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh seseorang (beberapa
orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian atau
penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak terdapat
kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-
Hadits (Manan. 2006: 162-163).
Ijtihad menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang
menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah
(praktis) dari dalil-dalil yang terperinci (Zahroh. 2000: 567). Sedangkan ijtihad dalam
hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang
dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau
mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah (Umam, dkk. 2001: 131).
Dari sekian banyak pengertian tentang ijtihad, kata kunci yang tidak lepas dari
pengertian ijtihad adalah adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk maksud dan tujuan
tertentu yang dilakukan orang dengan kualifikasi tertentu. Ada beberapa esensi yang
menjadi syarat bagi terwujudnya ijtihad, yaitu: pertama, ijtihad merupakan upaya
pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh ulama; kedua, tujuan
ijtihad adalah untuk mendapatkan kepastian hukum yang sifatnya zanni; ketiga, ijtihad
dilakukan terhadap hukum yang sifatnya amali; keempat, dilakukan dengan melalui
istinbat; kelima, obyek ijtihad hanyalah dalil-dalil yang zanni atau yang tidak ada
dalilnya sama sekali (Lih. Mudzhar. 1998: 60).
Dengan wafatnya Rasulullah pada tahun 11 H, maka pada saat itulah nash
agamapun terhenti, lalu hal ini menimbulkan satu fenomena di kalangan kaum muslimin
waktu itu, dimana mereka dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang tidak
ditemukan jawabannya secara langsung dari nash yang sudah ada, maka dari kondisi ini,
para ulama berijtihad untuk melahirkan kaidah-kaidah dan beberapa peraturan sebagai
alat untuk mengistimbat hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lainnya,
serta menghadirkan dalil-dalil atas keabsahan kaidah-kaidah ini.

1811

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Perjalanan ijtihad ini terus berlangsung dengan berbagai perubahan dan
perkembangannya-terlebih pada kaidah-kaidah ushuliyah, dengan penambahan dan
pendeskripsian yang lebih dalam, seperti pada masalah qiyas, pembahasan tidak hanya
dicukupkan pada rukun dan metode akan tetapi semakin melebar ke pembahasan
metode pencarian `illah`, hingga kitab-kitab ulama terdahulu dipenuhi dengan beberapa
persyaratan dan batasan-batasan pada hampir setiap kaidah dan pembahasan yang ada,
dari proses ini lahirlah sebuah kesimpulan: bahwa dzhan merupakan hujjah dalam dunia
fiqh ijtihady karena memang pada mayoritasnya ijtihad ulama-ulama ini berangkat dari
dzhan (Ali Hubbullah. 2005: 57).
Menurut Abdul Manan (2006) Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang. Ada beberapa kriteria kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang
akan berijtihad: pertama, mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang
terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga,
mengetahui metodologi qiyas dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh.
Kelima, mengetahui kaidah-kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang
mendasari rumusan-rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam
(Manan. 2006: 162-163).
Syarat-syarat yang diajukan Manan diatas seide dengan pandangan Muhammad
Abu Zahroh (2000) yang memberikan syarat-syarat tertentu bagi seorang mujtahid,
antara syarat-syarat selain yang telah disebutkan Manan diatas adalah adalah
mengetahui turuq al istitinbath Ushul Fiqh, metode menemukan hukum dan
menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran, dan
memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad (Zahroh. 2000: 567).
Sedangkan Imam Asy Syatibi menjadikan pemahaman terhadap maqasid dan
kemampuan untuk mengistimbat sebuah hukum dari pemahaman maqasid ini sebagai
persyaratan pertama bagi seorang mujtahid (Asy Syatiby. 2003).

1. Ijtihad Klasik
Orang yang pertama kali melakukan tugas berfatwa dalam Islam adalah Nabi
Muhammad SAW., dimana fatwa-fatwa Nabi tersebut adalah merupakan wahyu dari
Allah SWT. dan merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya (Mazkur. 1964: 136).
Fatwa-fatwa ini lebih dikenal dengan Hadits atau Sunnah. Setelah Nabi Muhammad
s.a.w meninggal dunia, tugas-tugas berfatwa tersebut dilanjutkan oleh para sahabatnya,
dan tentu saja ada perbedaan antara fatwa Nabi dengan fatwa para sahabat. Fatwa-fatwa
sahabat tersebut terkenal dengan sebutan “Fatwa Shahabi”. Pada masa sahabat, materi
fatwa itu dapat dibagi kepada 2 (dua) bentuk, yaitu: Pertama, fatwa yang materinya
hanya pengulangan kembali apa yang telah jelas disebutkan di dalam al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, artinya materi hukum yang di fatwakan oleh para sahabat itu

1812

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


memang sudah jelas dan terang; kedua, fatwa yang materinya merupakan hasil ijtihad
para sahabat itu sendiri. Dalam berijtiad tersebut, para sahabat tentu saja tidak
melepaskan diri dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur‟an dan Hadits.
Pada masa sahabat ini, masalah fatwa atau fatwa itu melembaga dalam pemerintahan,
artinya khalifah menampung semua permasalahan yang memerlukan penentuan status
hukum, kemudian khalifah memberikan fatwanya tentang masalah-masalah itu. Khalifah
Abu Bakar misalnya, apabila ia tidak menemukan hukum di dalam kitab Allah dan sunnah,
kerap kali ia mengumpulkan para ulama sahabat untuk bermusyawarah. Kemudian jika para
ulama itu telah sepakat untuk menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar lalu menghukum
menurut pendapat yang disepakati itu (Ash-Shiddieqy. 1963:41).
Setelah berakhir masa shahabat, ijtihad dilakukan oleh tabi’in dan tabi’ tabi’in
(imam-imam mazhab) Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga
pertengahan abad IV H., muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-
murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada perndapat para
shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara: Pertama,
mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain,
bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang
shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat
dengan Al-Qur’an dan Sunnah; Kedua, mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut
Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional
dimulai pada periode tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan
bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap
kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada
perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti
Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di
Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain (Ikhsan. 2011).
Setelah periode ini muncullah periode taqlid dalam tubuh umat Islam. Pada
periode ini umat Islam mulai hidup bermazhab-mazhab, mengikuti imam-imam
mujtahid yang terdahulu, mereka lebih dikenal dengan empat mazhab yang termahsyur:
yaitu; Mazhab Syafi‟i, pengikut Imam Syafi‟i; Mazhab Hanafi, pengikut Imam Abu
Hanifah; Mazhab Maliki, pengikut Imam Malik bin Anas; Mazhab Hambali, dan
pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Muhlish. tt:20).
Dengan demikina, berdasarkan fakta sejarah tersebut, ijtihad pada dasarnya telah
tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan perkembangnannya bertambah
pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang
panjang tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas
masing-masing pada setiap periode.

1813

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-
ayat dan hadits dalam upaya lebih mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan
hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di
tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-
mula diperkenalkan oleh Imam Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran
tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili
(penentuan illat), dan pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum)
(Fahrur Mu’is. 2008).
Ijtihad ekonomi telah banyak dilakukan oleh para ilmuan muslim pada era klasik
diantaranya adalah Ibnu Khaldun (1332-1406), Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali (w.1111)
Al-Maqrizi . Selain itu juga, masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus
membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu
Yusuf (w.182H/798M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (w.203H), Kitab
Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu
’Ubaid (w.224H), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234
H) (Ikhsan. 2011).
Ibnu Khaldun misalnya, pemikir muslim yang juga sebaga bapak ekonomi dunia
ini telah banyak memberikan kontribusi pemikirannya pada bidang ekonomi, termasuk
ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan
permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan
penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan,
pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia
juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan
ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva
penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur. Ijtihad-ijtihad Ibnu
Khaldun tesebut hingga kini tetap abadi dan bagian dari rujukan dalam pengembangan
ekonomi (Shiddiqy. 1976: 261).
Demikian juga pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyyah, misalnya tentang
kompensasi dan harga yang adil, fungsi uang dan perdagangan uang, serta implikasi
penerapan lebih dari satu standar mata uang, dan masih banyak lagi para pemikir
muslim klasik, yang telah berjihad sebagai usaha memberikan kepastian hukum
terhadap berbagai persoalan yang timbul pada saat itu.
2. Ijtihad Modern
Ijtihad pada masa sekarang ini jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-
masa lampau. Berbagai persoalan kontemporer telah muncul ke permukaan dan
menuntut kita menyelesaikannya. Persoalan-persoalan tersebut meliputi berbagai bidang
kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, sampai pada masalah-masalah rekayasa
genetika dalam bidang kedokteran. Dalam bidang ekonomi, kita menjumpai beberapa

1814

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kegiatan atau lembaga yang dahulu tidak ada. Lembaga perbankan dengan segala
kaitannya. Lembaga asuransi dengan segala macamnya, merupakan masalah yang harus
dilihat hukumnya dalam Islam (Djamal. 1992: 166).
Pada era modern ini ini ijtihad dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu; ijtihad
intiqa’i atau ijtihad tarjih, ijtihad insya’i atau ijtihad ittida’i, dan ijtihad komparasi.
a. Ijtihad Intiqa’i atau Ijtihad Tarjihi.
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i atau ijtihad tarjih adalah ijtihad yang
dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli
hukum terdahulu mengenai masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam
berbagai kitab hukum Islam, kemudian menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya
dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat.
b. Ijtihad insya’i.
Pola ijtihad yang kedua yang dibutuhkan pada masa sekarang adalah ijtihad insya’i.
Ijtihad insya’i adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai
peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli hukum terdahulu
(Al-Qardawi. tt: 126). Kegiatan ijtihad insya’i mutlak harus kembali diaktifkan guna
mencari solusi-solusi baru terhadap permasalahan yang baru muncul serta demi
pengembangan hukum Islam, sebab setiap masa memiliki problem yang berbeda,
demikian pula halnya dengan masa sekarang, problemnya tidak serupa dengan masa
dahulu. Kriterianya sangat keras dialamatkan kepada sebagian ulama yang
menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup (Al-Qardawi. tt: 19).
c. Ijtihad Komparatif.
Ijtihad komparatif ialah mengabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqai dan
isnya’i). Dengan demikian di samping untuk menguatkan atau mengkompromikan
beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang
lebih sesuai dengan tuntunan zaman. Pada dasarnya hasil ijtihad yang dihasilkan
oleh ulama terdahulu merupakan karya agung tetap utuh, bukanlah menjadi patokan
mutlak, melainkan masih memerlukan ijtihad baru. Karena itu, diperlukan
kemampuan mereformulasi hasil sebuah ijtihad, dengan jalan menggabungkan
kedua bentuk ijtihad di atas (AlFitri. tt: 12).
Teknis pengambilan keputusan dalam berijtihad pada era modern ini lebih
diutamakan dan ditekankan dengan model ijtihad kolektif. Secara tekstual dan
konstekstual menegaskan bahwa berkumpulnya ulil amri untuk bermusyawarah
dalam menentukan hukum sebuah masalah yang tidak ada hukumnya dalam al-
Qur`an maupun As-Sunnah, kemudian sampai pada pendapat yang disepakati,
merupakan salah satu bentuk ijtihad dan salah satu sumber pokok hukum Islam, dan
mengamalkan keputusan jamaah ketika itu lebih diutamakan daripada melaksanakan

1815

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


hasil ijtihad personal. Contoh Ijtihad kolektif yang mashur adalah ijthad para
sahabat mengenai bumi taklukan, kota jabiyah. Ijtihad pada saat itu dilakukan oleh
Umar bin Khattab beserta sahabat-sahabat yang lain dalam hal penyerahan tanah
hasil rampasan perang.
Ijtihad kolektif yang independen adalah hujjah yang mengikat semua umat sesuai
dengan kaidah: “Keputusan pemerintah dalam masalah yang diperselisihkan akan
mengangkat perselisihan.” Kaidah ini terbatas pada masalah yang tidak
bertentangan, dan berdirinya ulil amri untuk mengatur Ijtihad kolektif,
menjadikannya memiliki nilai praktis dan menambahkan kekuatan hukumnya (Oglu.
2011).
Menurut Qardawi, dalam bidang muammalah, lapangan ijtihad yang menuntut
jawaban-jawaban baru ada dua bidang. yaitu: Pertama: Bidang ekonomi atau
keuangan, dalam bidang ini muncul sederetan bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya
tidak pernah dijumpai pada masa dahulu. Kedua: Bidang ilmu pengetahuan atau
kedokteran. Dalam bidang ini juga ditemukan berbagai cara kegiatan yang
memerlukan kejelasan hukum (Al-Qardawi. tt: 126).
Perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan mengglobal yang didukung oleh
teknologi informasi telah melahirkan banyak produk ekonomi, oleh sebab itu,
bidang ekonomi menuntut dasar-dasar hukum Islam yang sesuai dengan syariah.

C. METODE FATWA ORMAS ISLAM


Diantara model-model ijtihad secara kolektif dan memberikan pengaruh yang
cukup besar di masyarakat Indonesia khususnya dibidang ekonomi Islam adalah fatwa
Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Bahsaul Masail NU,
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah.
1. Metode Fatwa DSN-MUI466

466
Dewan Syariah Nasional bertugas : (1) Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah
dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; (2) Mengeluarkan fatwa
atas jenis-jenis kegiatan keuangan.; (3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; (4)
Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Sedangkan DSN berwenang : (1) Mengeluarkan
fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi
dasar tindakan hukum pihak terkait; (2) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia; (3) Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang
akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah; (4) Mengundang
para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,
termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri; (5) Memberikan peringatan
kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional; (6) Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk

1816

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan suatu
hukum dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath’i,467 Pendekatan
Qauli468 dan Pendekatan Manhaji.469
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa
didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab
melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq. Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq tidak berhasil
maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang
dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode
perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan dengan menggunakan kaedah-
kaedah ushul fiqh perbandingan (al Aiyub. 2009).
Metode penerapan hukum dalam fatwa DSN MUI tetap merujuk pada al-Qur’an dan al-
Sunnah sebagai sumber utama serta qiyas dan ijma’ sebagai metodologinya serta qaidah
ushul sebagai sandaran kemaslahatannya. Dari fatwa-fatwa itu terlihat jelas mutiara-
mutiara maslahah yang kental dengan prinsip-prinsip syariah antara lain; bunga /riba
tidak dibenarkan, mudhorobah dan wadiah dibenarkan syariah, saling ridho (an-
tarodhin), halal toyyib (halalan toyyiban), bebas riba dan exploitasi (Dhulm), bebas
manipulasi (ghoror), saling menguntungkan (taawun), tidak Membahayakan
(mudhorot), dilarang spekulasi (maysir), dilarang memonopoli dan menimbun (ihtikar).

mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan (lihat SK. Majelis Ulama Indonesia No. Kep-
754/MUI/II/1999 tanggal 10 Pebruari 1999 tentang Pembentukan Dewan Syari'ah Nasional).
467
Pendekatan Nash Qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk
sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur’an ataupun Hadis secara
jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban
dilakukan dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.
468
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya
pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).
Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat
(qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan
(ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan hukumnya (‘illah)
berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang
dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu
yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman. Apabila
jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i dan juga tidak dapat dicukupi oleh
pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan
fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
469
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan
kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab
dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif
(ijtihad jama’i), dengan menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat
taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan permasalahan yang
muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan
istinbathi.

1817

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2. Metode Fatwa Batshul Masail NU470
Prosedur terbentuknya fatwa disusun dalam urutan penyelesaian masalah secara
hirarki: (1) Permaslahan yang diajukan apabila dapat dijawab atau cukup oleh Ibarat
Kitab dari Kutubul Madzhahib al-Arba’ah dan hanya didapatkan satu pendapat dari
Kutubul Madhahib al-Arba’ah maka dipakai pendapat tersebut sebagai keputusan fatwa,
diktum fatwa akan ditetapkan berdasarkan pendapat tersebut. (2) Apabila terdapat ibarat
kutub lebih dari satu pendapat, maka akan dilakukan penyelesainnya dengan jalan
“taqrir jama’iy” untuk memilih salah satu pendapat. Kasus atau masalah tidak
ditemukan atau tidak ada pendapat yang dapat dijadikan pijakan untuk menyelesaikan
masalah, maka dilakukan prosedur dengan jalan ilhaq masail bi nazhoriha secara
jama’iy oleh para ahlinya, ilhaq dilakukan dengan jalan memperhatikan mulhaq,
mulhaqbih, dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli. Permaslahan yang tidak dapat
diselesaikan melalui jalan ilhaq maka dilakukan istinbath jamai’iy dengan prosedur
bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.
3. Metode Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan sebagai sumber hukum melainkan sebagai
metode penetapan hukum. Muhammadiyah dalam Ijtihad sesuai dengan qoeda ushul
fiqh menempuh tiga jalur, yaitu: (1). Al-Ijtihad Bayani, (semantik) dengan pola metode
kebahasaan, yakni menjelaskan hukum yang permaslahannya telah diatur dalam Al-
Qur’an dan Haditst. Bayani dapat diartikan pola ijtihad Muhammadiyah untuk
memahami nash yang Mujmal dalam hal-hal yang mengandung musytarak. Hal-hal
yang sudah jelas ketentuannya dalam nash baik Al-Qur’an maupun Haditst maka secara
praktis dapat ditetapkan berdasarkan nash yang sudah jelas. (2). Tahlili (rasionalistik)
metode pendekatan dengan jalan rasionalitik atau penalaran, sebelumnya majelis tarjih
menggunakan istilah Qiyasi yakni menyelesaikan kasus hukum yang sifatnya baru
dengan cara menganalogi atau mengqiaskan dengan masalah yang telah diatur oleh Al-
Qur’an dan Haditst. Akan tetapi metode qiyasi disadari memiliki ruang lingkup yang
terbatas, dengan metode Tahlili jauh lebih luas dari metode qiyasi sekaligus mencakup
metode qiyasi. (3) Al-Ijtihad al-Istislahl (filosofis), yakni menyelesaikan hukum baru
yang tidak terdapat dalam dua sumber pokok Al-Qur’an dan Haditst. Dengan cara
penalaran dengan memperhatikan nilai-nilai maslahat.
Dalam proses penetapan fatwa terkadang dalam ta’arudh al-adillah terdapat
pertentangan dalil yang masing-masing menunjukan ketentuan hukum yang berbeda.

470
Sistem (proses) penetapan fatwa dalam Bahtsul Masail di lingkungan Nadlatul Ulama (NU)
ditetapkan pada Musyawarah Nasional (MUNAS) alim ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21 – 25
Januari 1992, sistem penetapan fatwa kemudian disempurnakan kembali melalui keputusan
Musyawarah Nasional Alim Ulama nomor 02/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nadliyah adalah kerangka
berfikir yang didasarkan pada ajaran Ahlulssunnah wal jama’ah.

1818

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Jika terjadi ta’arudh maka penyelelesain yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dengan
urutan cara-cara sebagai berikut: Al-Jam’u wa al-taufiq. Menerima semua dalil
walaupun terjadi pertentangan, Majelis Tajih dalam menetapkan fatwanya bisa
mempersilakan umatnya untuk memilih pendapat yang dianggapnya kuat (Mujiono,
2011).
Dari ketiga lembaga fatwa diatas dapat dipahami bahwa MUI dalam istibat
fatwanya konsisten dengan metodologi ushul fiqh klasik yang di bangun oleh ulama-
ulama terdahulu. Dalil al-Qur’an lebih banyak menggunakan kaedah ushuliyah
kontekstual, pemahaman tekstual di lakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan,
pendapat ulama, dan para ahli. Penggunaan qias lebih banyak di gunakan yang sifatnya
jaliy dan dapat di bentuk dari permaslahan yang berbeda dengan ellat yang berbeda
tetapi membentuk pemahaman sifat hukum yang sama. Kaedah darori digunakan untuk
kemaslahatan. NU dalam konstruksi fatwanya setelah tahun 2004 mencamtumkan dasar
al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar fatwa, akan tetapi dalam memutuskan fatwa
konstruksi fatwa tetap yang pokok di ambil dari kitab-kitab mutabarat imam empat.471
Ilhaq di lakukan apabila tidak ditemukan qoul ulamanya dengan metode mengikuti
metodologis ushul fiqh yang di bangun oleh ulama.
Muhammadiyah melakukan rekonstruksi fatwa selalu konsisten bahwa fatwa
sebagai produk hukum Islam harus di bangun melalui jalan istibath Hukum dengan
konstruksi Al-Qur’an dan Haditst sebagai sumber utama. Dalil aqliyah di lakukan
apabila wilayah ijtihadnya masuk pada ijtihad qiasy dan istilahi. Untuk memahami dalil
Naqli pemahaman Tekstual dan konstektual di gunakan dengan di kolaborasikan dengan
pola berfikir ilmiah, ilmu pengetahuan dan hermeneutic. Semua penggunaan dalil di
tujukan dalam rangka memenuhi tujuan maqosid syari’ah yaitu kemaslahatan Umat
(Mujiono, 2011).

D. MODEL IJTIHAD EKONOMI ISLAM MODERN


Sebagaimana pendapat Qardawi diatas, dalam bidang muammalah, salahsatu
lapangan ijtihad yang menuntut jawaban-jawaban baru adalah bidang ekonomi atau
keuangan, dalam bidang ini muncul sederetan bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya
tidak pernah dijumpai pada masa dahulu. (Al-Qardawi. tt: 126).
Bentuk-bentuk bisnis dan isu-isu baru dalam ekonomi berkembang dengan
cepat, seperti hedging, sekuritisasi, money market, capital market, investasi emas, jual
beli valuta asing, tata cara perdagangan melalui e-commerce, bursa komoditi, indeks
trading (ta’amul bil mu’syar), sistem pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit,

471
Kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlussunah Wal Jamaah (rumusan
Mukhtamar NU ke XXVII)

1819

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


ekspor impor dengan media L/C, dan sebagainya. Demikian pula perkembangan
lembaga-lembaga perbankan dan keuangan mengalami kemajuan yang sangat pesat,
seperti perbankan, leasing (multifinance), mutual fund, sampai kepada, instrumen
pengendalian moneter oleh bank sentral, exchange rate, waqf saham, MLM, jaminan
fiducia dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dan sebagainya. (Agustianto. 2011).
Menurut penulis, jika melihat produk perbankan dan keuangan yang terus
berkembang secara cepat ini, maka ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan
dalam berijtihad.
1. Dari sisi persyaratan bagi seseorang yang akan berijtihad dibidang ekonomi, maka
pengetahuan tentang ilmu ekonomi menjadi salahsatu persyaraatannya, selain
persyaratan umum seorang mujtahid.
2. Secara teknis, demi mencapai idealisme profesionalitas dan proporsionalitas dalam
berijtihad, maka ijtihad kolektif (al-Jamai') merupakan formulasi yang cukup efektif
dalam perkembangan ijtihad kontemporer. Ada beberapa alasan bagi efektifitas
ijtihad kolektif di masa kini. 472 Di antaranya adalah: Pertama, Problematika
kontemporer yang variatif dan cukup komplikatif yang disebabkan oleh
perkembangan gaya hidup manusia. Interaksi perbankan, perdagangan bursa, variasi
jenis asuransi, transaksi-transaksi ekonomi modern dan pencakokan anggota badan
adalah contoh-contoh masalah kontemporer yang tidak cukup dibahas dan
ditentukan hukumnya hanya dengan ijtihad individual. Hal itu disebabkan oleh
keterbatasan para cendekiawan Islam kontemporer seperti yang saya sebutkan di
atas. Dalam membahas masalah-masalah di atas diperlukan adanya musyawarah dan
ijtihad kolektif, karena tidak cukup hanya mengandalkan penguasaan ilmu-ilmu
keislaman saja, namun juga diperlukan penguasaan ilmu-ilmu keduniawian yang
berkaitan dengan problematika kontemporer tersebut.
Kedua, Terjadinya spesialisasi (at-Takhashush) keilmuan pada diri para
cendekiawan Islam kontemporer. Seperti diketahui bersama bahwa pada masa kini,
sangat sulit kita temukan seorang cendekiawan Islam yang ensiklopedis (al-
Mausui'). Justeru fenomena yang berkembang adalah terjadinya spesialisasi
keilmuan pada bidangnya masing-masing. Spesialisasi tersebut meliputi bahasa
Arab, fikih, ushul fikih, tafsir, hadits dan lain sebagainya. Padahal di antara syarat-
syarat ijtihad yang disebutkan oleh para ulama adalah penguasaan berbagai bidang
ilmu-ilmu keislaman tersebut. Fenomena ini meniscayakan akan urgensitas ijtihad

472
Sejalan dengan semakin kompleknya pranata sosial dan entitas kehidupan umat manusia dan
sulitnya mencari ulama yang menguasai semua cabang ilmu yang berkaitan dengan persoalan yang akan
diijtihadkan, maka ijtihad kolektif menjadi solusi. Ijtihad kolektif adalah proses penggalian hukum yang
dilakukan oleh sekelompok pakar , baik pakar dalam satu bidang ilmu, seperti sekelompok ulama ushul
fiqh dan ahli fiqh atau pakar dari beberapa bidang ilmu, seperti gabungan beberapa ulama fiqg dan ushul
fiqh dengan pakar ilmu umum. Secara implisit, gagasan ini telah dibahas dan secara intelektual termasuk
kategori mujtahid (lihat Ghazali. 1997: 382).

1820

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


kolektif yang diikuti oleh para cendekiawan Islam dengan spesialisasinya masing-
masing, sehingga syarat-syarat ijtihad dapat terpenuhi.
Ketiga, Banyaknya terjadi perselisihan dan kontroversi. Di antara sebab-sebab
terjadinya perselisihan antara umat Islam adalah banyaknya perbedaan fatwa-fatwa
individu. Hal ini membuat kesulitan bagi umat Islam untuk memilih di antara fatwa-
fatwa yang berkembang. Bahkan pada beberapa kasus bisa terjadi bentrokan fisik
antara umat Islam karena perbedaan fatwa-fatwa individu tersebut. Maka pada
kondisi seperti ini dibutuhkan forum ijtihad kolektif, guna menghasilkan fatwa-
fatwa kolektif, yang dapat mengantisipasi terjadinya perselisihan tersebut di atas
(Ibnu Syam. 2008).
3. Menerapkan dua kaedah ushuliyah yang masyhur berkaitan dengan muammalah;.
Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu,
memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus
praktek yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang
mengharamkannya. Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu
’ala at-tahrim (Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil
yang mengharamkannya).
4. Prinsip Maslahah. Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan pada
posisi kedua, yaitu sesudah prinsip tawhid. Mashlahah 473 adalah tujuan syariah
Islam dan menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan
maqashid syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan. Imam Al-
Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam
terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan
proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi
Islam.
Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan
akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang
mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan
dan mafsadah. (jalb al-naf’y wa daf’ al-dharar). Imam Al-Ghazali menyimpulkan,
maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Penerapan maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup
yang lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya
bersifat global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam

473
Al Mashlahah adalah lafaz al-mamfaat artinya baik, dengan demikian al-Mashlahah al-Mursalah
adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalanya. Lihat
(lihat Syafe’i. 1999:117).

1821

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


yang menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah
mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit sekali ruang
untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit. Lain halnya
dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan kreasi baru
dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu prinsip
maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting. Apalagi bila
menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikategorikan sebagai manthiqah
al firagh al tasyri`y (area yang kosong dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash
yang menyinggung masalah yang terkait dengan kebijakan-kebijakan ekonomi
teknis, membuka peluang yang besar untuk mengembangkan ijtihad dengan
prinsip maslahah.
Mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital
dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi).
Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan
esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon
dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum)
merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i,
bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam
ekonomi konvensional (Agustianto. 2011).
Di Indonesia, ijtihad kolektif yang menjadi model dalam pembentukan hukum baru
adalah fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Bahkan fatwa DSN-MUI ini telah
mendapatkan tempat sebagai mitra Bank Indonesia dalam mengeluarkan peraturan-
peraturan perbankan Syariah sebagaiamana diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam UU tersebut khususnya pada Pasal 19, Pasal
20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia
(lih UU 21/2009).
Fatwa DSN-MUI bukan merupakan hukum positif. Namun suatu fatwa DSN-
MUI yang berkaitan dengan perbankan dapat menjadi hukum positif apabila fatwa
DSN-MUI tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Demikian
ditentukan oleh Pasal 26 ayat (3) Undang-undang Perbankan Syariah. Dengan kata lain,
suatu fatwa DSN-MUI dibidang perbankan yang semula berkedudukan bukan sebagai
hukum positif, dapat menjadi dan berlaku sebagai hukum positif apabila diambil alih
oleh suatu Peraturan Bank Indonesia. Oleh karena itu, betapa pentingnya arti produk
DSN-MUI dalam bidang perbankan berupa fatwa untuk dapat menggerakan industri
perbankan syariah di Indonesia dan produk-produk atau jasa-jasanya memberikan
manfaat dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sudah barang tentu untuk selanjutnya
diharapkan industri perbankan syariah Indonesia dapat tumbuh dan berkembang karena

1822

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


lahirnya berbagai produk dibidang perbankan syariah tersebut. Kini, pada awal tahun
2012 DSN-MUI telah menerbitkan 82 fatwa. Dengan lahirnya berbagai fatwa DSN-
MUI dalam bidang ekonomi syariah, maka ekonomi syariah di Indonesia sungguh
menakjubkan pertumbuhan dan perkembangannya (Sjahdeini. 2012).
Sebagai pihak regulator kegiatan perbankan syariah, Bank Indonesia (BI)
mempunyai keterikatan dengan fatwa yang dihasilkan oleh DSN-MUI. Dalam membuat
peraturan BI menggunakan fatwa DSN-MUI sebagai referensi dalam penyusunan
Peraturan Bank Indonesia dan juga Surat Edaran yang bersifat eksternal dan tidak
merujuk pada fatwa yang dikeluarkan oleh institusi selain DSN-MUI. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan terhadap lembaga perbankan syariah, ditemukan bahwa
lembaga perbankan syariah mempunyai keterikatan terhadap fatwa yang dikeluarkan
oleh DSN-MUI, hal ini disebabkan adanya peraturan yang mewajibkan lembaga
perbankan syariah untuk patuh terhadap fatwa DSN-MUI. Fatwa DSN-MUI merupakan
syarat yang paling mendasar dalam pembuatan dan pengembangan produk baru yang
dikeluarkan oleh lembaga perbankan syariah serta operasional kegiatan perbankan
syariah (Gayo, 2011: 76-77).
Namun demikian sangat disayangkan, praktek dilapangan ditengarai masih
banyak yang keluar jalur dari fatwa yang yang telah dikeluarjan DSN-MUI, contoh
misalnya: Fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/2000, tentang Murabahah menyatakan:
“Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal.24).
Pada prakteknya, perbankan syariah, hanya melakukan akad murabahah bila nasabah
telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang.
Bank syariah hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya
berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual
kembali.
Contoh lain, akad Mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah
disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung
praktek perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa No: 07/DSN-
MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktek perbankan syariah. Pada
fatwa tersebut: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung
semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan
syariah Nasional MUI hal. 43) Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan
hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali
diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.”
(Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI hal. 45).

1823

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Praktek perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan
oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya
masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah.
Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan
konvensional. Namun fakta berbeda, perbankan syariah yang ada belum sungguh-
sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang
mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajidkan
mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu
banyak cerita dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini
(lih.pengusahamuslim.com. 2012).
Untuk meminimalisir terjadinya kasus-kasur “inkar” fatwa sebagaimana contoh
diatas, maka perlu revitalisasi dan optimasliasai peran Dewan Pengawas Syari’ah
(DPS). DPS adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN) pada perbankan dan lembaga keuangan syariah. Anggota DPS harus terdiri dari
para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang
ekonomi perbankan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa
DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai
kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah. Tugas utama
DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan
prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Oleh sebab itu, DPS jangan hanya
sekedar pelengkap struktur organisasi perbankan syari’ah tetapi benar-banar dapat
bertugas dan berfungsi sebagaimana mestinya.

E. PENUTUP
Dewasa ini dunia Islam sudah sangat memerlukukan adanya mujtahid dan
mujaddid yang profesional. Sebab, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan inovasi
di segala bidang, sedangkan nash-nash al-Quran dan al-Hadis tidak menerangan segala
persoalan secara tekstual. Dalam keadaan seperti itu, sangat dibutuhkan pemikiran yang
bersih dan penuh kesungguhan untuk mengembalikan tatanan kehidupan yang sesuai
dengan prinsip dasar ajaran Islam (Al Fitri. tt: 12).
DSN-MUI, NU, Muhammadiyah dan banyak lagi ormas-ormas Islam yang lain,
juga pemerintah musti secara cepat memberikan ijtihad-ijtihad ekonomi sehubungan
dengan cepatnya perkembangan ekonomi global yang secara alamiah selalu melahirkan
produk-produk baru, sehingga Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin selalu siap
sedia memberikan jawaban atas persoalan-persoalan di masyarakat, sebab Islam sangat
identik dengan hukum dan hukum itu sendiri (Islam is the law) (lihat Minhaji. 2000:
243).

1824

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Namun demikian, para ulama yang terlibat dalam kerja-kerja ijtihad tidak
semata-mata mempertimbangkan kaidah-kaidah ushuliah, kaidah istimbat hukum, tetapi
juga pertimbangan kondisi sosial masyarakat, sehingga persoalan hukum seiring dengan
kondisi masyarakat. Sering sekali perbedaan metodologi yang dilakukan akan
mengahasilkan produk ijtihad yang berbeda, oleh sebab itu, perlu juga difikirkan
bagaimana perbedaan hasil ijtihad tidak menimbulkan keresahan dan perpecahan umat.

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto. (2011). Pasar Bebas dan Ekonomi Kerakyatan, dalam


http://www.agustiantocentre.com, dikutip pada 15 April 2012.
Agustianto. (2011). Reformulasi Fikih Muamalah di Era Modern, dalam
http://www.agustiantocentre.com, dikutip pada 15 April 2012.
Agustianto. (2011). Urgensi Maslahah dalam Ijtihad Ekonomi Islam, dikutip dari
http://www.agustiantocentre.com, pada 21 Maret 2012.
AlAiyub, Sholahudin. (2009). Bagaimana metode penetapan fatwa di MUI?, dalam
http://www.mui.or.id
Al Fitri. (tt). Kebutuhan Ijtihad Pada Zaman Moderen dan Bentuknya.
Al-Amidi. (1967). al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, juz 3. Cairo: Muassasah al-Halabi.
Ali Hubbullah, Syeikh. (2005), Dirasat fi falsafah ushul al fiqh wa asy syari`ah wa
nadzriyah al maqasid. Beirut: Dar al Hadi.
Al-Qardawi, Yusuf. (tt). Al-ijtihad al-Muajir.
Al-Qardawi, Yusuf. (2000). Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai
Penyimpangan, Cet. I. Surabaya: Risalah Gusti.
Al-Qardlawi, Yusuf. 1994. al-Ijtihâd al-Mu’âshir baina al-Inzhibâth wa al-Infirâth.
Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah.
Ameen, Husnul Aqib. (tt). Ijtihad Kontemporer, Problem dan Solusinya, dalam KMNU
Online, dikutip pada 17 April 2012.
Ash-Shiddiqy, TM. Hasbi. (1997). Pengantar Hukum Islam, Cet. I Edisi II. Semarang:
PT. Pustaka Riski Putra.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi,. 1963. Pengantar Hukum Islam, Cet. III. Jakarta: Bulan
Bintang.

1825

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Asy Syatiby, Abu Ishaq. (2003). Al Muwafaqat. Maktabah at tawfiqiyah.
Djamal, Fathurrahman. (1992). Filsafat Hukum Islam Cet. II. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Djazuli, A. (2005). Ilmu Fiqh Peenggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf.
Fatwa DSN MUI Vs Praktek Perbankan Syariah, dalam http://pengusahamuslim.com
/fatwa-dsn-mui-145, diaksses pada 5 Oktober 2012.
Gayo, Ahyar A. (2011), Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Kedudukan Fatwa
MUI dalam Upaya Mendorong Pelaksanaan Ekonomi Syariah. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI.
Ghazali, Imam (1997). Al-Mustashfa. Beirut: Muassasah Risalah, Cet. 1, Jil.2.
Ibnu Syam, A. Slamet. (2008). Ijtihad Kolektif:Refleksi Atas Kompleksitas
Problematika & Keterbatasan Para Cendekiawan Islam Kontemporer. Makalah
Diskusi Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDA)
Perhimpunan Pelajar Indonesia Suriah, Damaskus, 11 September 2008 M./ 11
Ramadhan 1429 H.
Ikhsan, (2011). Sejarah pemikiran ekonomi Al-ghazali, Ibnu Taimiyah dan Nizam Al-
mulk, dalam www.ikhsan-blogspot.com
Khotimah, Khusnul. (2009). Islam dan Globalisasi, Sebuah Pandangan tentang
Universalitas Islam, dalam Junal Komunika Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009.
Kurdi, Muhammad. (2009). Metodologi Ijtihad Muhammadiyah dan NU: Studi
Perbandingan Majlis Tarjih Dan Lajnah Bahtsul Masail. Malang: Skripsi
Syari’ah, UMM.
Madjid, Nurcholish.(tt). Pandangan Kontemporer Tentang Fiqh, Telaah Problematika
Hukum Islam di Zaman Modern, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed).
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Yayasan
Paramadina.
Manan, Abdul. (2006). Reformasi hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Mazkur, Muhammad Salam. (1964). Al-Qadha-u Fi al-Islami, Kairo: al-’Alimiyah,
Minhaji. (2000). Supremasi Hukum dalam Masyarakat Madani, dalam “Islam dan
Politik” Jurnal UNISIA No. 41/XXII/IV/2000.
Muhlis, Kedudukan Fatwa Dalam Islam. Kalsel. Paper.
Mudzhar, Atho. (1998). Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

1826

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


Mujiono, Slamet (2011). Arah Rekonstruktif Metode Istinbath Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Nahdlatul Ulama (NU) DAN Muhammadiyah dalam Proses Awal
Penetapan Fatwa Hukum Tahun 2000-2010 (Analisa Tahkim Ilmu Ushul Fiqh),
dalam http://smujiono.blogspot.com
Mu’is, Fahrur. (2008). Pola-Pola Ijtihad Dalam Hukum Islam Klasik-Tengah, dalam
ustadzmuis.blogspot.com, diakses pada 10 Oktober 2012.
Munawwir, A.W. (1997). Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet.25,
(Jakarta: Pustaka Progressif.
Oglu, Yasar Sharif Damad. (2011). Ijtihad kolektif, Keniscayaan Modernitas dan
Kewajiban Agama (2), dalam takrib.info/indonesia.
Pronk, Jan. (2001). “Globalization: A Developmental Approach”, dalam Jan Nederveen
Pieterse (ed.), Global Futures, Shaping Globalization, London: Zed Books.
Rose, Collin dan Malcolm J. Nicholl. (1997). Accelerated Learning for the 21 st
Century. New York: Delacorte Press.
Syafe’i, Rachmat. (1999). Ushul Fiqih, cet I. Bandung; CV. Pustaka Setia.
Sjahdeini, Sutan Remy (2012). Testimoni Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa
Kepada KH. Ma’ruf Amin oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jakarta, 3 Mei 2012
Tibi, Bassam. (1991). Islam and the Cultural Accomodation of Social Change. Oxford:
Westview Press.
Umam, Khairul, dkk. (2001). Ushul Fiqih II, cet. II. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Yunus, Mahmud. (1990). Kamus Arab-Indonesia, cet. 8. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zahroh, Muhammad Abu. (2000). Ushul al Fiqh, alih bahasa Sefullah Ma’shum, dkk,
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zein, Satria Effendi M. (1997). 70 Tahun K.H. Ali Yafie. Bandung: Mizan.

1827

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Potrebbero piacerti anche