Sei sulla pagina 1di 6

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 134-139, Agustus 2015 Dea Fitri Aryandrie et al.

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI


DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

Liver Fluke Infestation Level of Bali Cattle in Sukoharjo Sub-District Pringsewu Regency
Lampung Province

Dea Fitri Aryandriea Purnama Edy Santosab dan Sri Suharyatib


a
The Student of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
b
The Lecture of Department of Animal Husbandry Faculty of Agriculture Lampung University
Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University
Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145
Telp (0721) 701583. e-mail: kajur-jptfp@unila.ac.id. Fax (0721)770347

ABSTRACT

Research to find out liver fluke infestation level of Bali cattle in Sukoharjo sub-district, Pringsewu
Regency, Lampung Province was implemented in December 2014 until January 2015. The method used is
the method of survei and sampling of Bali cattle were selected by proportional random sampling. Sampling
on cattle according to the population in each village and were collected proportionally by every 100
individuals represented by one Bali cattle farmer. To correct for multiple stage sampling either on a sample
of cattle and farmers, so the number of cattle and farmers multiplied by four, in order to obtained 131 faecal
samples Bali cattle. Data were analyzed descriptively. Stool examination conducted by using Sedimentation
Test. The results showed liver fluke infestation level in Sukoharjo sub-district is 27,62% that there were 35
positive samples infested from 131 faecal samples were examined.

(Keywors :infestation level, liver fluke, Bali cattle).

PENDAHULUAN bersuhu tinggi dan mutu pakan yang rendah serta


tingkat kesuburan (fertilitas) yang cukup tinggi
Peningkatan produksi ternak sebagai dibandingkan dengan jenis sapi lain yaitu
sumber protein hewani adalah suatu strategi mencapai 83%. Selain mempunyai keunggulan,
nasional dalam rangka peningkatan ketahanan Sapi Bali juga memiliki beberapa kelemahan
pangan yang sangat diperlukan dalam antara lain peka terhadap beberapa jenis penyakit
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan yang tidak dijumpai pada ternak lain misalnya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia (Dwiyanto, Jembrana dan Baliziekte, rentan terhadap
2000). Manfaat protein hewani sangat penyakit yang disebabkan oleh cacing, apalagi
menentukan dalam mencerdaskan manusia karena jika dipelihara secara ekstensif dan semi intensif
kandungan asam aminonya tidak dapat (Darmadja dalam Guntoro, 2002).
tergantikan (irreversible) oleh bahan makanan Penyakit parasit cacing masih sering
lainnya (Riady, 2006). Subsektor peternakan diabaikan oleh peternak. Diantara penyakit parasit
merupakan salah satu komoditi penunjang dalam yang sangat merugikan adalah penyakit yang
meningkatkan kecerdasan bangsa. disebabkan oleh Fasciola hepatica, yang dikenal
Lampung merupakan salah satu provinsi dengan nama Fasciolasis (Mukhlis, 1985).
yang menjadi lumbung ternak nasional dengan Fasciolasis merupakan penyakit yang disebabkan
komoditi unggulan berupa sapi potong. Populasi oleh infeksi cacing famili Trematoda dengan
sapi potong di Lampung pada tahun 2011 sebesar spesies F. hepatica dan F. gigantica. Kedua
742.776 ekor, dengan populasi Sapi Bali sebesar cacing ini pada temak ditularkan melalui siput
186.712 ekor. Daerah yang memiliki populasi dari famili Lymnaeidae. F. hepatica pada
sapi potong di Lampung salah satunya adalah umumnya dijumpai di daerah beriklim sedang,
Kabupaten Pringsewu yakni sebanyak 14.402 sedangkan F. gigantica ditemukan di daerah yang
ekor, dengan jumlah Sapi Bali sebanyak 3.632 beriklim tropis basah (Kaplan, 2001).
ekor (PSPK, 2011). Sukoharjo merupakan Akibat dari cacing hati kerugian dari segi
kecamatan sentra pengembangan Sapi Bali untuk ekonomi sangat besar, sehingga penyakit parasit
Kabupaten Pringsewu dengan populasi yang cacing disebut sebagai penyakit ekonomi.
dimiliki sebesar 2.509 ekor (Puskeswan Dilaporkan oleh Kaplan (2001), Raunelli dan
Sukoharjo, 2014). Gonzales (2009), Fascioliasis secara ekonomi
Sapi Bali mempunyai beberapa nyata merugikan para peternak dikarenakan akan
keunggulan antara lain daya adaptasi yang baik memacu peningkatan ternak yang di culling,
terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah penurunan harga jual sapi, menurunnnya tingkat

134
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 134-139, Agustus 2015 Dea Fitri Aryandrie et al.

produktivitas, penurunan bobot sapih pedet, dan Feses yang diambil adalah yang baru
penurunan laju pertumbuhan. Kerugian ekonomi didefekasikan. Pengambilan feses secara manual
pada peternak sebagai akibat kenaikan konversi atau dengan menggunakan tangan yang dilapisi
pakan dan rendahnya rataan pertambahan bobot sarung tangan kemudian dimasukkan ke dalam
badan. tabung penampung feses, apabila pengambilan
Saat ini belum diketahui data mengenai secara manual tidak memungkinkan, maka harus
tingkat infestasi cacing hati pada Sapi Bali di diambil dengan palpasi rektal. Sampel feses yang
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, sudah diberi label yang berisi keterangan nama
Provinsi Lampung. Oleh karena itu penulis desa, nomor sapi, dan kode peternak disimpan ke
melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat dalam cooling box yang sudah diisi es batu agar
infestasi cacing hati pada Sapi Bali di Kecamatan kondisi tetap dingin untuk mencegah telur yang
Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi menetas. Feses yang sudah diperoleh dikirim ke
Lampung. Laboratorium Balai Veteriner Lampung untuk
dilakukan pemeriksaan dengan Metode Uji
Sedimentasi Feses Mamalia. Analisis data yang
MATERI DAN METODE digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Materi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Materi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah cooling box, tabung penampung feses, A. Kondisi Peternak dan Ternak Sapi Bali di
lembar kuisioner, alat tulis, gloves, timbangan Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
analitik, beker glass, saringan ukuran 200 mesh, Pringsewu
tabung kerucut, slide glass, mikroskop, dan
stopwatch. Bahan-bahan yang digunakan adalah Dari hasil pengambilan sampel feses Sapi
sampel feses Sapi Bali segar (baru didefekasikan) Bali di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten
± 2 gr, air, dan Methylene blue 1%. Pringsewu, didapatkan 108 peternak dengan
jumlah sampel sebanyak 131. Jumlah peternak
Metode yang diambil sampel fesesnya berdasarkan
perhitungan dan didapatkan tujuh desa di
Metode penelitian yang digunakan adalah Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu
metode survei. Penyamplingan pada ternak untuk mengetahui infestasi Fasciola sp. di
dilakukan secara proporsional dan peternak secara kecamatan tersebut. Dilihat dari latar belakang
acak. Penyamplingan pada ternak dilakukan pendidikan peternak menunjukkan bahwa 30
dengan cara setiap 100 ekor Sapi Bali diwakili peternak lulus SD (27,78%), 61 peternak lulus
oleh satu peternak pada masing-masing desa yang SMP (56,48%), dan 17 peternak lulus SMA
ada di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten (15,74%). Pengalaman yang dimiliki peternak
Pringsewu Provinsi Lampung. dalam memelihara Sapi Bali selama 3 bulan
Besaran sampel didapatkan dengan sebanyak 1 peternak (0,93%), selama 1 tahun
menggunakan rumus (Martin et al, 1987): sebanyak 3 peternak (2,78%), selama 2 tahun
n = 4PQ / L2 sebanyak 13 peternak (12,04%), selama 3 tahun
Keterangan : sebanyak 10 peternak (9,26%), selama 4 tahun
n : besaran sampel yang diperlukan sebanyak 7 peternak (6,48%), selama 5 tahun
P : prevalensi cacing saluran pencernaan di lokasi sebanyak 17 peternak (15,74%), selama selama 6
penelitian tahun sebanyak 3 peternak (2,78%), selama 7
L : galat yang diinginkan
Q : (1-P)
tahun sebanyak 6 peternak (5,56%), 9 tahun
sebanyak 1 peternak (0,93%), 10 tahun sebanyak
Dengan tingkat konfidensi yang digunakan 26 peternak (24,07%), 12 tahun sebanyak 3
sebesar 95% dan besar galat yang diinginkan 5%, peternak (2,78%), 15 tahun sebanyak 7 peternak
maka besaran sampel yang didapat berdasarkan (6,48%), 18 tahun sebanyak 2 peternak (1,85%),
rumus tersebut sebanyak 22. Indeks ternak yang 19 tahun sebanyak 1 peternak (0,93%), 20 tahun
diperoleh berdasarkan jumlah sampel Sapi Bali sebanyak 4 peternak (3,70%), dan selama 30
adalah 1ekor/peternak. Total sampel peternak tahun sebanyak 3 peternak (2,78%). Rata-rata
sebanyak 27 orang dari tujuh desa yang diambil pengalaman peternak dalam memelihara Sapi Bali
sampelnya. Untuk mengoreksi sampling tahapan selama 10—15 tahun.
berganda baik pada sampel ternak dan peternak Peternak yang memelihara Sapi Bali
maka jumlah peternak dan ternak dilipatkan dengan cara dikandangkan saja sebanyak 47
empat (Martin et al, 1987). Jumlah sampel ternak peternak (43,52%) sedangkan peternak yang
yang didapatkan sebanyak 131 ekor Sapi Bali dari memelihara sapi Bali dengan cara digembalakan
108 peternak. pada pagi hari kemudian dikandangkan pada sore
hari sebanyak 61 peternak (56,48%). Pada ternak
yang dikandangkan saja pemenuhan kebutuhan

135
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 134-139, Agustus 2015 Dea Fitri Aryandrie et al.

pakannya disediakan oleh peternak. Peternak Kepadatan kandang yang berukuran 4x3 m
yang mengambil rumput dari ladang sebanyak 57 sebanyak 99 peternak (75,57%), 5x3 m sebanyak
peternak (96,61%), sedangkan peternak yang 24 peternak (18,32%), dan 6x3 m sebanyak 8
mengambil rumput dari rawa sebanyak 2 peternak peternak (8,16%). Lingkungan sekitar kandang
(3,39%). Pada ternak yang digembalakan dan berupa kebun sebanyak 97 peternak (89,91%),
dikandangkan, peternak akan memilih tempat sawah sebanyak 6 peternak (5,56%), dan berupa
penggembalaan yang dinilai peternak cukup rumah warga sebanyak 5 peternak (4,63%).
dalam memenuhi kebutuhan sapi. Lokasi sapi Peternak yang menggunakan sumur gali sebagai
yang digembalakan di lapangan sebanyak 27 sumber air sebanyak 107 peternak (99,07%), dan
peternak (44,26%), di padang rumput sebanyak sumur bor sebanyak 1 peternak (0,93%).
31 peternak (50,82%), dan 3 peternak lainnya Konsistensi feses ternak yang padat ditemukan
(4,92%) menggembalakan sapinya di rawa. pada 11 ternak (8,40%), 97 ternak (74,05%)
Pemberian rumput kepada ternak dalam keadaan termasuk dalam konsistensi yang lembek dan 23
segar dilakukan oleh seluruh peternak 108 (100%) (17,56%) ternak lainnya memiliki konsistensi
baik untuk sapi yang dikandangkan terus maupun yang encer. Pengobatan pada ternak dilakukan
sapi yang digembalakan dan dikandangkan. oleh 59 peternak (54,63%) dan sebanyak 49
Peternak yang tercatat tidak melakukan peternak (45,37%) tidak melakukan pengobatan.
kegiatan sanitasi sebanyak 2 peternak (1,53%), Sebanyak 18 peternak (16,67%) menyebutkan
satu kali sehari sebanyak 103 peternak (95,27%), adanya kasus terulang penyakit cacingan,
dan satu kali seminggu sebanyak 4 peternak sebanyak 49 peternak (45,37%) tidak terdapat
(3,70%). Keberadaan siput di sekitar lingkungan kasus terulangnya penyakit cacingan, dan 41
kandang terdapat di 2 peternak (1,86%) peternak lainnya tidak mengetahui ada atau tidak
sedangkan 129 peternak lainnya (98,14%) tidak terulangnya kasus cacingan.
dijumpai adanya siput pada saat pengamatan.

B. Hasil positif Fasciola sp. sampel feses Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu

Nama Desa Jumlah Sampel Positif Fasciola sp. Prevalensi (%)


Sukoharjo I 5 2 40
Sukoharjo II 45 7 15,56
Sukoharjo IV 5 1 20
Pandan Sari Selatan 12 4 33,33
Keputran 6 0 0
Panggung Rejo 54 20 37,03
Panggung Rejo Utara 4 1 25
Kecamatan Sukoharjo 131 35 26,72
Sumber: Hasil Pengujian Sampel di Balai Veteriner Lampung, 2015

Berdasarkan data tersebut maka mencapai 28,94%, namun tingkat kejadian ini
perhitungan untuk mencari prevalensi Fasciola juga lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian
sp. menggunakan rumus berikut (Budiharta, 2002) yang dilakukan Sayuti (2007) yaitu kejadian
: infeksi cacing hati pada Sapi Bali di Kabupaten
Prevalensi = F X 100% Karangasem, Bali menemukan telur Fasciola sp.
N sebesar 18,29% dari 257 sampel tinja yang
diperiksa.
Keterangan : Perbedaan besarnya prevalensi dapat
F : Jumlah frekuensi dari setiap sampel yang diperiksa dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya
dengan hasil positif perbedaan topografi masing-masing daerah.
N : Jumlah dari seluruh sampel yang diperiksa Kasus infestasi Fasciola sp. di Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu relatif lebih
Berdasarkan perhitungan menggunakan rendah dari penelitian Purwanta et al, (2009)
rumus diatas maka diperoleh angka prevalensi karena Kecamatan Sukoharjo memiliki topografi
Fasciola sp. tertinggi di Desa Sukoharjo I yaitu yang berbukit-bukit, namun di dataran rendahnya
sebesar 40% sedangkan prevalensi terendah di dikelilingi lahan sawah dan identik dengan
Desa Keputran dengan prevalensi 0%, sedangkan genangan air (faktor ekstrinsik) sedangkan di
prevalensi di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten daerah Gowa yang menjadi tempat penelitian
Pringsewu sebesar 26,72% yaitu terdapat 35 Purwanta et al, (2006) yaitu berupa dataran tinggi
sampel positif terinfestasi dari 131 sampel feses dengan kelembaban yang tinggi pada siang dan
yang diperiksa. Angka tersebut mendekati malam hari. Kondisi lahan yang demikian sangat
penelitian Purwanta et al, (2009) di Gowa yaitu mendukung bagi perkembangbiakan berbagai

136
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 134-139, Agustus 2015 Dea Fitri Aryandrie et al.

jenis parasit cacing seperti cacing hati (Fasciola penyakit berasal dari hijauan yang masih
sp) (Suweta, 1985). berembun dan memungkinkan metacercaria yang
Prevalensi tertinggi di Desa Sukoharjo I membungkus diri berupa kista masih menempel
dapat disebabkan dari faktor ektrinsik yaitu cara pada rumput bagian atas. Apabila tumbuhan
pemeliharaan (tempat pengembalaan), keberadaan tersebut termakan oleh hewan ruminansia maka
siput, dan musim. Pemeliharaan yang dilakukan kista dapat menembus dinding usus, kemudian
oleh peternak di Desa Sukoharjo I yaitu dengan masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan
menggembalakan sapi pada pagi hari di ladang, menjadi dewasa selama beberapa bulan sampai
kebun, sawah atau pekarangan yang rumputnya bertelur dan siklus ini terulang kembali
tumbuh subur. Sapi dikandangkan kembali pada (Ditjennak, 2012).
sore hari dan diberikan pakan tambahan pada
malam hari berupa hijauan segar. 2. Musim
Tingginya kejadian infestasi cacing hati di
Desa Sukoharjo I dapat disebabkan oleh beberapa Kondisi lingkungan yang basah atau saat
faktor : musim hujan dapat memicu infestasi Fasciola sp.
karena saat musim hujan merupakan keadaan
1. Tempat Penggembalaan yang tepat untuk penyebaran telur cacing melalui
siput L. rubiginosa yang menjadi inang perantara
Tempat penggembalaan di ladang dapat cacing Fasciola sp. Dewi et al, (2011)
menyebabkan infestasi Fasciola sp. Hal ini melaporkan bahwa persentase kasus positif
karena pada pemeliharaan ini sapi dibiarkan cenderung lebih tinggi pada musim hujan,
mencari makanannya sendiri untuk memenuhi meskipun perbedaannya tidak signifikan antara
kebutuhannya sehingga tidak terjamin kualitas infestasi fasciolasis pada musim hujan dan musim
dan kuantitasnya. Kekurangan makanan kemarau.
menyebabkan ternak malnutrisi, sehingga sapi Penelitian ini dilakukan pada bulan
akan lebih peka terhadap infestasi parasit cacing Desember 2014 sampai dengan Januari 2015 saat
(Purwanta et al, 2006). Infestasi pada hewan awal musim hujan sehingga dapat memengaruhi
ternak terjadi secara pasif, yaitu dengan meminum adanya infestasi Fasciola sp. Kejadian fasciolasis
air ataupun memakan tanaman yang mengandung banyak terjadi pada awal musim hujan karena
metacercaria (Soulsby, 1986). pertumbuhan telur menjadi miracidium cukup
Tempat penggembalaan yang juga tinggi dan perkembangan di dalam tubuh siput
digunakan adalah di tempat yang berair seperti di mencapai tahap yang lengkap pada akhir musim
sawah. Lahan ini akan memicu adanya peluang kemarau.
infestasi Fasciola sp. Menurut Suweta (1982)
sapi yang sebagian dikandangkan dan 3. Umur
digembalakan di sawah lebih berpeluang untuk
terinfestasi oleh cacing hati relatif tinggi. Faktor intrinsik yang memengaruhi adanya
Penyebaran penyakit dapat disebabkan dari infestasi Fasciola sp. salah satunya adalah umur.
hijauan yang termakan oleh ternak dan masih Pada penelitian ini sapi yang terinfestasi Fasciola
mengandung metacercaria. Kondisi lahan yang sp. yang berumur 1 tahun sebanyak 1 ekor
berair seperti di sawah adalah tempat yang cocok (0,76%), kurang dari 1 tahun sebanyak 4 ekor
bagi perkembangan cacing hati, karena dalam (3,05%), dan lebih dari 1 tahun sebanyak 30 ekor
siklus hidupnya memerlukan perantara yaitu (22,90%). Hal ini karena pada sapi dewasa dapat
berupa siput. Menurut Abidin (2002) ternak yang memungkinkan adanya infestasi ulang, sehingga
mengonsumsi hijauan yang masih berembun dan meskipun sudah pernah diobati sapi akan bisa
tercemar siput, merupakan salah satu penyebab terinfestasi lagi apabila tidak diikuti pengobatan
terjadinya infestasi larva saluran pencernaan. secara rutin. Menurut Hambal (2013) infestasi
Miracidium akan mati apabila tidak menemukan Fasciola sp. pada sapi dipengaruhi oleh umur.
siput, walaupun metacercaria tahan terhadap Semakin tua umur sapi maka semakin tinggi pula
kondisi kering (Brown, 1979). resiko infestasinya terhadap Fasciola sp. Hal ini
Lokasi penggembalaan di kebun akan disebabkan karena metacercaria cacing hati yang
memungkinkan adanya infestasi Fasciola sp. dindingnya tebal dan kuat tidak mampu dirusak
karena pada saat pengamatan masih terdapat oleh proses pencernaan sapi-sapi muda, bahkan
genangan air. Genangan air menjadi faktor kemampuan proses pencernaan sapi dewasa hanya
penting untuk perkembangan cacing, karena daur terbatas terhadap lapisan luarnya saja. Proses
hidupnya memerlukan adanya air. Menurut selanjutnya adalah proses aktivitas cercaria itu
Taylor (1964) air tergenang mutlak dibutuhkan sendiri menembus dinding lapis dalam kista
dalam perkembangan cacing hati. (Dawes, 1961).
Berdasarkan survei ternak mulai Pada sapi muda prevalensi fasciolasis lebih
digembalakan pada pagi hari yaitu antara pukul rendah, hal ini disebabkan oleh sapi muda relatif
06.00—09.00 WIB. Keadaan ini akan memicu lebih sering dikandangkan di lokasi penelitian.
ternak terinfestasi Fasciola sp. Penyebaran Selain itu, intensitas makan rumput sapi muda ( ≤

137
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 134-139, Agustus 2015 Dea Fitri Aryandrie et al.

6 bulan ) masih rendah dibandingkan dengan sapi 1. Prevalensi Fasciola sp. di Kecamatan
dewasa, hal ini karena sapi muda masih minum Sukoharjo, Kabupaten Pringsewu, Provinsi
air susu induknya sehingga kemungkinan untuk Lampung sebesar 26,72% yaitu terdapat 35
terinfestasi larva metacercaria lebih rendah. sampel positif yang terinfestasi Fasciola sp.
Menurut Dawes (1961) yang diacu dalam Suweta dari 131 sampel yang diperiksa;
(1982), asam lambung dan enzim pencernaan 2. Desa Sukoharjo I memiliki prevalensi tertinggi
belum berfungsi secara optimal dalam sapi muda yaitu 40% sedangkan prevalensi terendah di
sehingga tidak mampu merusak semua lapisan Desa Keputran sebesar 0%.
kista metacercaria.
Saran
4. Pengobatan tidak rutin
1. Peternak Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo,
Pemberian obat cacing merupakan Kabupaten Pringsewu sebaiknya melakukan
tindakan pencegahan untuk ternak. Namun, pengobatan secara rutin sesuai dengan anjuran
pengobatan masih belum rutin dilakukan oleh dokter hewan;
peternak di lokasi penelitian yaitu hanya satu 2. Pemerintah
tahun sekali. Keadaan tersebut akan terkait (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
memungkinkan ternak terinfestasi Fasciola sp. Pringsewu) sebaiknya meningkatkan
karena pengobatan yang hanya dilakukan sekali pembinaan kepada peternak mengenai sistem
tersebut diduga tidak membunuh cacing hati, pemeliharaan sapi yang baik.
melainkan cacing-cacing saluran pencernaan
sehingga penggunaan obat tidak tepat. Menurut
Boray (1969) pengobatan sebaiknya dilakukan DAFTAR PUSTAKA
sebanyak 3 kali dalam setahun, yaitu pada awal
musim hujan, pertengahan musim hujan dan pada Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong.
akhir musim hujan. Agromedia Pustaka. Jakarta
Persentase prevalensi yang rendah terdapat Boray, J. C. 1969. Experimental fascioliasis in
di Desa Keputran dengan prevalensi 0%. Australia, in advances in parasitology (ed.
Prevalensi yang rendah tersebut diduga dapat Ben Dawes). Academic Press. London and
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain New York. 18(7):95-120
karena kondisi lahan tempat pengembalaan yang Brown, H. W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis.
kering, dikelilingi rumah warga dan minim lahan Edisi 3. Penerjemah. PT Gramedia.
persawahan. Terjemahan dari: Basic Clinical
Kondisi lahan yang kering dan identik Parasitology. Jakarta
dengan tidak adanya genangan air membuat Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi
kelangsungan hidup cacing hati menjadi Veteriner. Bagian Kesehatan Masyarakat
terganggu karena faktor yang paling penting Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan.
dalam perkembangan cacing diluar tubuh ternak Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
sangat membutuhkan keadaan yang menunjang Dewi, A. P., F. Eni, dan E. Sumarwanta. 2011.
perkembangan salah satunya adalah adanya Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola
genangan air. Seperti yang diungkapkan Taylor spp) pada Sapi Potong di Kabupaten
(1964) air tergenang mutlak dibutuhkan dalam Kebumen. Balai Besar Veteriner Wates
perkembangan cacing hati. Jogja. Yogyakarta
Berdasarkan pengamatan di Desa Keputran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
tidak dijumpai adanya siput, sehingga miracidium Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan
tidak memiliki inang perantara untuk memulai Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan
perkembangan hidupnya. Brown (1979) dan Kesehatan Hewan. Subdit Pengamatan
menyebutkan bahwa miracidium akan mati Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan
apabila tidak menemukan siput walaupun Hewan. Jakarta
metacercaria tahan terhadap kondisi kering. Dwiyanto K., S. Bahri., dan E. Masbulan. 2000.
Menurut Levine (1990) miracidium harus masuk Ketersediaan dan kebutuhan teknologi
ke dalam tubuh siput dalam waktu 24—30 jam, peternakan dan veteriner dalam upaya
bila tidak maka akan mati. meningkatkan ketahanan pangan. Pros.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Bogor, 18-19 September
SIMPULAN 2000. Puslitbang Peternakan. Bogor, hal
51-64
Simpulan Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali.
Kanisius. Yogyakarta
Berdasarkan penelitian ini maka dapat Hambal, M., S. Arman., dan D. Agus. 2013.
diperoleh kesimpulan : Tingkat kerentanan Fasciola gigantica
pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan

138
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 3(3): 134-139, Agustus 2015 Dea Fitri Aryandrie et al.

Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Makassar. Journal Agrisistem. Issn 1858—
Medika Veterinaria 7(3):52 4330
Levine, N. D. 1990. Parasitologi Veteriner. Raunelli, F and Gonzales S. 2009. Strategic
Terjemahan dari: Texbook of Veterinary control and prevalence of fasciola hepatica
Parasitology. Gajah Mada University in Peru: a pilot study. Int. J. App. Res. Vet.
Press. Yogyakarta Med. 7(4):145-152
Kaplan, R. M. 2001. Fasciola hepatica: a review Riady, M. 2006. Implementasi program menuju
of the economic impact in cattle and swasembada daging 2010: ”Strategi dan
considerations for control. Vet. kendala”. Disampaikan pada Seminar
Therapeutics. 2(1):1-11 Nasional Teknologi Peternakan dan
Martin, S.W., Meek A. H., and Willeberg P. 1987. Veteriner. Bogor, 5-6 September 2006.
Veterinary Epidemiology principles and Bogor
methods. Iowa States University Press. Sayuti, L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati
Iowa. 23—40 (Fasciola sp.) Pada Sapi Bali Di
Mukhlis A. 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola Kabupaten Karangasem, BaliSoulsby, E.
sp.) dan Daur Hidupnya di Indonesia. L. J. 1986. Helminths, Arthropods and
Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Protozoa of Domesticated Animal.
Bogor. Bogor Bailliere Tindall. London
PSPK, 2011. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah Suweta, I. G. P. 1982. Kerugian Ekonomi oleh
dan Kerbau. http://st2013.bps.go.id. Cacing Hati Sebagai Implikasi Interaksi
Bloger. Diakses pada 09 November dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem
2014Purwanta, N. R., P. Ismaya, dan Pertanian di Bali. [disertasi]. Universitas
Burhan. 2006. Penyakit cacing hati Padjadjaran. Bandung
(Fasciolasis) pada sapi bali di perusahaan -----------------. 1985. Kerugian Ekonomi oleh
daerah rumah potong hewan (RPH) kota Cacing Hati pada Sapi. Penerbit Alumni
Bandung. Bandung.

139

Potrebbero piacerti anche