Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
1. Vascular Phase
In the vascular phase, small blood vessels adjacent to the injury dilate
(vasodilatation) and blood flow to the area increases. The endothelial cells initially
swell, then contract to increase the space between them, thereby increasing the
permeability of the vascular barrier. This process is regulated by chemical mediators
(see Appendix).
Exudation of fluid leads to a net loss of fluid from the vascular space into the
interstitial space, resulting in oedema (tumour).
The formation of increased tissue fluid acts as a medium for which inflammatory
proteins (such as complement and immunoglobulins) can migrate through. It may also
help to remove pathogens and cell debris in the area through lymphatic drainage.
2. Cellular Phase
The predominant cell of acute inflammation is the neutrophil. They are attracted to
the site of injury by the presence of chemotaxins, the mediators released into the
blood immediately after the insult.
The migration of neutrophils occurs in four stages:
Contoh penyakit, kondisi, dan situasi yang dapat menyebabkan peradangan akut meliputi: penyakit
bronkitis akut, usus buntu akut, tonsilitis akut, infeksi meningitis akut, sinusitis akut, tumbuh kuku
terinfeksi, sakit tenggorokan dari pilek atau flu, goresan/luka di kulit, latihan sangat intens, atau
pukulan.
Peradangan kronik berarti peradangan jangka panjang, yang dapat berlangsung selama beberapa
bulan dan bahkan bertahun-tahun. Hal ini dapat hasil dari:
Kegagalan untuk menghilangkan apa pun yang menyebabkan peradangan akut;
Sebuah respon autoimun terhadap antigen diri sendiri (sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan
sehat);
Sebuah iritasi kronik intensitas rendah yang bertahan.
Contoh penyakit dan kondisi dengan peradangan kronis meliputi: asma, ulkus peptikum kronik, TB,
rheumatoid arthritis, periodontitis kronik, ulcerative colitis dan penyakit Crohn , sinusitis kronik, dan
masih banyak lagi.
By the Open University [CC BY-NC-SA]
2. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya
peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang
dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri
seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di
sekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
3. Vasodilation is widening of blood vessels caused by relaxation of smooth muscle cells in the
vessel walls particularly in the large arteries, smaller arterioles and large veins thus causing an
increase in blood flow [6]. Arterial dilation leads to an immediate decrease in arterial blood
pressure and heart rate [7]. The relationship between mean arterial pressure, cardiac output and
total peripheral resistance (TPR) gets affected by Vasodilation
When blood vessels dilate, the blood flow is increased due to a decrease in vascular
resistance. increase the blood flow to the area. Increase blood flow will bring oxygen
and nutrients to the injured area, as well as help flush out any metabolic waste that
was created as a result of the injury. The primary function of Vasodilation is to increase the
flow of blood in the body, especially to the tissues where it is required or needed most. This is in
response to a need of oxygen, but can occur when the tissue is not receiving enough glucose or
lipids or other nutrients
4.
5. Cara kerja Paracetamol ang diketahui sekarang adalah dengan cara menghambat kerja
enzim cyclooxygenase (COX). Enzim COX berperan pada pembentukan prostaglandin yaitu
senyawa penyebab nyeri. Dengan dihambatnya kerja enzim ini, maka jumlah prostaglandin
pada sistem saraf pusat menjadi berkurang sehingga respon tubuh terhadap nyeri berkurang.
Paracetamol menurunkan suhu tubuh dengan cara menurunkan hipotalamus set-point di pusat
NSAID non selektif – menghambat enzim COX-1 dan COX-2 pada tingkat yang sama.
NSAID selektif – lebih menghambat COX-2 (banyak ditemukan di situs peradangan) dibanding
COX-1, jenis yang biasanya ditemukan di lambung, trombosit darah, dan pembuluh darah.
Perbedaan enzim COX-1 dan COX-2 yaitu enzim COX-1 bersifat konstitutif, yang artinya
keberadaannya selalu tetap dan tidak dipengaruhi oleh adanya stimulus, enzim ini
adalah enzim utama yang ditemukan dibanyak jaringan dan bertanggung jawab dalam
menjaga fungsinormal tubuh termasuk keutuhan mukosa lambung dan pengaturan aliran
darah ginjal.
Dengan demikian enzim COX 2 adalah enzim yang berperan dalam terjadinya inflamasi.
6.
7. The kallikrein–kinin system was first recognized as a plasma and tissue proteolytic
system responsible for the liberation of the vasoactive proinflammatory mediator bradykinin
(BK). However, examination of the molecular, biochemical, biological and physiological
properties of the kallikrein–kinin system has shown that this system initiates or interacts with
a number of physiologic and pathophysiologic systems in plasma as well as blood and
vascular cells.
9.
% dalam
Tipe Gambar Diagram tubuh Keterangan
manusia
Neutrofil berhubungan dengan pertahanan
tubuh terhadap infeksi bakteri serta
proses peradangan kecil lainnya, serta
biasanya juga yang memberikan
Neutrofil 65%
tanggapan pertama terhadap infeksi
bakteri; aktivitas dan matinya neutrofil
dalam jumlah yang banyak menyebabkan
adanya nanah.
12. Patofisiologi
Pada keadaan dengan penurunan kesadaran misalnya pada tindakan anestesi,penderita trauma
kepal/karena suatu penyakit, maka akan terjadi relaksasi otot-otottermasuk otot lidah dan
sphincter cardia akibatnya bila posisi penderita terlentangmaka pangkal lidah akan jatuh ke
posterior menutup orofaring, sehinggamenimbulkan sumbatan jalan napas. Sphincter cardia
yang relaks, menyebabkan isilambung mengalir kembali ke orofaring (regurgitasi). Hal ini
merupakan ancamanterjadinya sumbatan jalan napas oleh aspirat yang padat dan aspirasi
pneumonia olehaspirasi cair, sebab pada keadaan ini pada umumnya reflek batuk sudah
menurunatau hilang.Kegagalan respirasi mencakup kegagalan oksigenasi maupun kegagalan
ventilasi.Kegagalan oksigenasi dapat disebabkan oleh: (1) ketimpangan antara ventilasi
danperfusi. (2) hubungan pendek darah intrapulmoner kanan-kiri. (3) tegangan oksigenvena
paru rendah karena inspirasi yang kurang, atau karena tercampur darah yangmengandung
oksigen rendah. (4) gangguan difusi pada membran kapiler alveoler.
(5) hipoventilasi alveoler. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi
dan pH kurang dari 7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation”
berkurang secara tidak wajar atau bila tidak dapat meningkat dalam usahamemberikan
kompensasi bagi peningkatan produksi CO2 atau pembentukan ronggatidak berfungsi pada
pertukaran gas (dead space). Kelelahan otot-otot respirasi /kelemahan otot-
otot respirasi timbul bila otot-otot inspirasi terutama diafragmatidak mampu membangkitkan
tekanan yang diperlukan untuk mempertahankanventilasi yang sudah cukup memadai.
Tanda-tanda awal kelelahan otot-otot inspirasiseringkali mendahului penurunan yang cukup
berarti pada ventilasi alveolar yangberakibat kenaikan PaCO2. Tahap awal berupa
pernapasan yang dangkal dan cepatyang diikuti oleh aktivitas otot-otot inspirasi yang tidak
terkoordinsiberupa alteransrespirasi (pernapasan dada dan perut bergantian), dan gerakan
abdominal paradoxal(gerakan dinding perut ke dalam pada saat inspirasi) dapat menunjukan
asidosisrespirasi yang sedang mengancam dan henti napas.9Jalan napas yang tersumbat akan
menyebabkan gangguan ventilasi karena itulangkah yang pertama adalah membuka jalan
napas dan menjaganya agar tetapbebas. Setelah jalan napas bebas tetapi tetap ada gangguan
ventilasi maka harusdicari penyebab lain.penyebab lain yang terutama adalah gangguan pada
mekanik ventilasi dan depresi susunan syaraf pusat. Untuk inspirasi agar diperoleh
volumeudara yang cukup diperlukan jalan napas yang bebas, kekuatan otot inspirasi yangkuat,
dinding thorak yang utuh, rongga pleura yang negatif dan susunan syaraf yangbaik.Bila ada gangguan
dari unsur-unsur mekanik diatas maka akan terjadihipoventilasi yang mengakibatkan
hiperkarbia dan hipoksemia. Hiperkarbiamenyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak
yang akan meningkatkan tekananintrakranial, yang dapat menurunkan kesadran dan menekan pusat
napas bila disertaihipoksemia keadaan akan makin buruk. Penekanan pusat napas akan
menurunkanventilasi. Lingkaran ini harus dipatahkan dengan memberikan ventilasi
danoksigensi. Gangguan ventilasi dan oksigensi juga dapat terjadi akibat kelainan diparu dan
kegagalan fungsi jantung. Parameter ventilasi
The redox reactions occur during normal metabolism. For ex, in respiration,
molecular oxygen is reduced to water by accepting 4 electrones. During this process
small amount of toxic intermediates are formed.
Free radical reaction can be studied as follows:
1. Lipid Peroxidation: Polyunsaturated fatty acid of membrane is attacked
repeatedly by free radicals to form highly destructive polyunsaturated fatty acid
(PUFA) radicals like lipid hydroperoxy radicals and lipid hypoperoxides. This is
termed as lipid peroxidation. These lipids are widely spreaded to other part of
membrane that is lipid peroxidation takes place at adjoining part of membrane
causing damage to entire cell membrane.
2. Oxidation of protein: Free radical causes CI by oxidation of protein
macromolecules of cell causing cross linkage in the amino acid sequences of protein
and fragmentation of polypeptides.
3. Effect on DNA damage: Free radical breaks DNA fragments to single strand,
so there will be formation of DNA which is defective. Replication of this DNA is not
possible and there by cell death may occur.
4. Cytoskeleton Damage: Free radicals interfere with mitochondrial aerobic
phosphorylation and decreases synthesis of ATP leading to cytoskeleton damage.
14. Ischemic injury is caused by diminished or absent blood flow. The main mechanism of injury in
ischemia is hypoxia (as described above). Ischemic injury also results in more rapid and severe
cellular acidosis than pure hypoxic injury because the absence of blood flow causes the localized
accumulation of cellular metabolic by-products (e.g., lactic acid from anaerobic glycolysis). Ischemia
may be relative or complete, in which case it usually results in coagulative necrosis. Relative ischemia
can occur as a result of low blood pressure (hypotension), marked increases in cellular metabolism,
and vascular stenosis. Relative ischemia typically results in cellular dysfunction but does not cause
death in most cell types. Some cell types that are more sensitive to ischemic damage (e.g., neurons)
may undergo apoptosis or necrosis while other cell types remain viable. Complete ischemia most
often results from blockage of an arterial branch that causes infarction of the tissue supplied by that
blood vessel. If an occluded blood vessel is reopened soon after ischemic injury, reversibly injured
cells may recover. This situation is referred to as reperfusion and has become more common in the
setting of myocardial infarction treated emergently by angioplasty and thrombolysis. Reperfusion may
be too late to permit recovery of irreversibly injured cells and is often associated with hemorrhage
owing to ischemic damage to endothelial cells in blood vessels that occurs prior to restoration of blood
flow.
Hypoxia
Hypoxic injury implies damage to cells resulting only from decreased oxygen tension. This is a
relatively unusual pattern of injury in its pure form. Hypoxia can result from decreased
atmospheric oxygen concentration, abnormal lung function, and decreased oxygen-carrying
capacity in the blood (e.g., severe anemia). Acute hypoxia results in depletion of ATP in cells that
triggers a switch to anaerobic glycolysis.
Since the energy yield from glycolysis is much less than from oxidative phosphorylation, energy
demands are not met and the continuing decrease in ATP levels results in additional cellular
dysfunction. Increased lactic acid produced by glycolysis also decreases intracellular pH,
resulting in additional dysfunction.
As discussed above, different types of cells have markedly different metabolic rates and cells
with high metabolic rates tend to be injured or killed very rapidly by hypoxia. For example,
proximal tubular cells in the kidney may undergo necrosis (acute tubular necrosis, ATN) as a
result of even transient hypoxia (Fig. 1-3). The light microscopic changes associated with
necrosis include condensation and shrinking (pyknosis) or disappearance (karyolysis) of cell
nuclei, which is evident in the necrotic renal tubular cells in Figure 1-3. These cells also show
increased eosin staining (hypereosinophilia) of their cytoplasm as a result of the degradation of
cellular proteins and loss of cytoplasmic RNA. Other cell types (e.g., neurons) may initiate
apoptosis in response to hypoxic injury (see Apoptosis section). Chronic, sublethal hypoxia can
activate transcription of genes that can initiate angiogenesis (new blood vessel formation),
resulting in neovascularization of the affected tissue.
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya.
Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan
perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara
normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung
proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan
menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan.
Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira – kira hari kelima.. pembuluh darah
yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha
menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan
reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling
melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari
pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi
setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang
menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa
nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah
(diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang
membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut
menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase
lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin
yang amat lemah.
Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi
fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira – kira akhir minggu ketiga.
Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida,
asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan
mempertautkan tepi luka.
Pada fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada
luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast,
menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25%
jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan serat kolagen bertambah karena
ikatan intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi.
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan
luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi
hanya bisa terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, sebab epitel tak dapat bermigrasi ke arah
yang lebih tinggi. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh
permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan
jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan.
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang
berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang
baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir kalau semua
tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal
karena proses penyembuhan. Udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan
regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta
mudah digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan
luka kulit mampu menahan regangan kira – kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira
– kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.