Sei sulla pagina 1di 18

PERDAGANGAN ANAK (CHILD TRAFFICKING) LINTAS NEGARA

DALAM KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL


ABSTRACTION

Child trafficking has long been happening on earth and is an act contrary to human
dignity and prestige. This is a violation of human rights. In the past, child trafficking was
only in the view of forcibly transferring abroad for the purpose of prostitution. But along with
the times, trade is defined as transfers, especially children with or without the consent of the
person concerned in a country or abroad for all exploitative labor, not just prostitution.

The type of research used in this study is normative juridical (legal research) that is by
referring to various legal norms, in this case is international law and criminal law related to
the sale of children across the country and th regulation of the prohibition.

The legal provisions governing the mediation of child trafficking are contained in the
Convention on the Rights of the Child, namely article 35 which governs States to take
national, bilateral and multilateral measures to interfere with the abduction, sale or trafficking
of children for any purpose. This article does not provide a clearer explanation of child
protection against child trafficking. The Convention on the Rights of the Child 1989
supplemented the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale
of Children, Child Prostitution and Child Pornography set by the General Assembly of the
United Nations on 25 May 2000. This Protocol aims to achieve the objectives of the
Convention on the Rights of the Child and the application of further rules particularly those
contained in articles 1, 11, 21, 32, 33, 34, 35 and 36.

ABSTRAKSI

Perdagangan anak telah lama terjadi di muka bumi dan merupakan tindakan yang
bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Di masa lalu, perdagangan anak hanya di pandang sebagai pemindahan secara
paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan, khususnya anak dengan atau tanpa
persetujuan orang yan bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri untuk semua
perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (legal
research) yaitu dengan mengacu pada berbagai norma hukum, dalam hal ini adalah hukum
internasional dan undang-undang tindak pidana yang berkaitan dengan penjualan anak lintas
negara dan pengaturan mengenai larangannya.

Ketentuan hukum yang mengatur mengenai pencengahan perdagangan anak termuat


dalam konvensi hak anak, yaitu pasal 35 yang memerintah Negara-negara untuk mengambil
langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral untuk mencengah penculikan, penjualan
atau perdagangan anak untuk tujuan
apapun. Pasal ini tidak memberikan penjelasan lebih jelas tentang perlindungan anak
terhadap perdagangan anak. Konvensi Hak Anak 1989 dilengkapi dengan Protokol Opsional
Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak
yang di tetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 25 Mei 2000.
Protokol ini bertujuan untuk mencapai tujuan Konvensi tentang hak-hak anak dan penerapan
aturan-aturannya lebih lanjut khususnya yang termuat dalam pasal 1, 11, 21, 32, 33, 34, 35,
dan pasal 36.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah perdagangan atau di kenal dengan istilah trafficking semakin mengalami


peningkatan. Berbagai latar belakang dapat di kaitkan dengan meningkatnya masalah
perdagangan tersebut, misalnya karna lemahnya penegakan hukum, peran pemerintah
penanganan maupun minimnya informasi tentang trafficking. Adapun yang paling rentan
untuk menjadi korban trafficking adalah perempuan dan anak dari keluarga miskin, anak di
pedesaan, anak putus sekolah dan lainnya.

Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari pasal 3 Protokol PBB berarti
perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan
ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan,
penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau
menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari
seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk
paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi
seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah,
Menekan dan Menghukum Trafiking Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-Anak,
ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo,Sisilia,Italia).1 Sedangkan definisi
Perdagangan Orang (trafficking) menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu :

Pasal 1 (ayat 1) ; Tindakan perekrutan, pengangkutan, atau penerimaan seseorang


dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang
atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara
maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.

1
http://www.kpai.go.id/artikel/waspada-bahaya-perdagangan-orang-trafficking-dan-penyelundupan-
manusia-smuggling/ diakses tanggal 10 November 2016 pukul 8.31 WIB
Pasal 1 (ayat 2) ; Tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau
serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
undang-undang ini. (Substansi hukum bersifat formil karena berdasar pembuktian atas
tujuan kejahatan trafiking, hakim dapat menghukum seseorang).

Berdasarkan pengertian dari berbagai definisi di atas, perdagangan orang dipahami


mengandung ada 3 (tiga) unsur yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana Perdagangan
Orang. Apabila dalam hal ini yang menjadi korban adalah orang dewasa (umur ≥ 18 tahun)
maka unsur-unsur trafiking yang haru diperhatikan adalah proses (pergerakan), cara, dan
tujuan (Eksploitasi). Sedangkan apabila korban adalah Anak (umur ≤ 18 tahun) maka unsur-
unsur trafficking yang harus diperhatikan adalah proses (pergerakan) dan tujuan (eksploitasi)
tanpa harus memperhatikan cara terjadinya trafficking.

Perdagangan anak (child trafficking) termasuk dalam kejahatan internasional, yaitu


kejahatan-kejahatan yang telah di sepakati dalam konvensi-konvensi internasional serta
kejahatan yang beraspek internasional.2 Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi
internasional pada dasarnya memiliki tiga karakteristik yaitu kejahatan yang membahayakan
umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya dapat di ekstradisi, dan kejahatan yang di
anggap bukan kejahatan politik.3 Dalam kasus pelindungan hak anak,diatur dalam konvensi
ha asasi anak (Convention on the Right of the Child).

Indonesia adalah salah satu Negara yang telah meratifikasi konvensi tentang hak-hak
anak (Convention on the Right of the Children). Ratifikasi ini termuat dalam Keputusan
Presiden RI No. 36 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi hak-hak anak. Pasal 1 dalam
konvensi ini menyebutkan, bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan
belas tahun , kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak di tentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Berdasarkan pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak ini,
terdapat kalimat yang penting untuk di perhatikan ,”….. kecuali berdasarkan undang-undang
yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.” Kalimat ini
memberikan kemungkinan pembedaan pencapaian usia dewasa bagi setiap anak Indonesia
mengingat beberapa undang-undang yang berlaku di Indonesia menyebutkan seseorang
dianggap telah dewasa jika telah kawin.4

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan (Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 23 tahun 2002). Anak sebagai mahkluk

2
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996,
hal 132
3
Ibid, hal 133
4
Sullistyowati Irianto, Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, Kemitraan Partnership, Jakarta ,
2015, hal 482
Tuhan Yang Maha Esa dan makhluk sosial, sejak dalam kandungan sampai melahirkan
mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta

mendapatkan perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.
Apabila anak telah lahir, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak dasar dan
kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau di hilangkan, tetapi harus dilindungi dan
diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut. Karena hak asasi anak merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik Hukum
Internasional maupun Hukum Nasional, yang secara universal dilindungi dalam Universal
Declaration of Human Right (UDHR) dan International on Civil and Political Right (ICPR).5

Dalam hukum positif Indonesia, terdapat berbagai macam pengertian

tentang anak :

1. Anak menurut Hukum Perdata (Pasal 330 KUHPerdata) mengatakan, orang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih
dahulu telah kawin.

2. Anak dalam Hukum Perburuhan Pasal 1 (1) Undang-undang pokok perburuhan (Undang-
undang No.12 Tahun 1948) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki atau perempuan
berumur 14 tahun ke bawah.

3. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pokok


Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974) mengataan, seorang pria hanya diizinkan
kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah
mencapai umur 16 (enam belas) tahu. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintaka
dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

4. Undang-undang Pengadilan anak (UU No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa
anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.6

Menurut Rachmad Syafiat perdagangan perempuan dan anak adalah bentuk imigrasi
dengan tekanan yaitu orang yang direkrut, diperdagangkan, dab di pindahkan ke tempat lain
secara paksa, ancaman kekerasan dan penipuan.7

PBB dalam sidang umum tahun 1994 menyetujui adanya suatu revolusi

yang menantang adanya perdagangan perempuan dan anak dengan memberikan

5
H. R. Abdussalam, PTIK, Jakarta, 2012, hal 1
6
http://repository.unisba.ac.id/ diakses tanggal 10 November 2016 pukul 8.27 WIB
7
Rahmat Syafaat, Dagang manusia- Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur,
Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002, hal 10
defenisi sebagai berikut :

Pemindahan orang melewati batas nasional dan intenasional secara gelap dan
melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari negara dalam transisi ekonomi,
dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk kedalam situasi pemindahan
dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan ilegal lainnya yang
berhubungan dengan perdagangan manusia seperti kerja paksa domestik, kawin palsu,
pekerja gelap, dan adopsi paksa demi kepentingan pengrekrutan, perdagangan, dan sindikat
kejahatan.8

Perdagangan manusia dengan alasan apapun juga merupakan pelanggaran serius terhadap
hak-hak manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa perdagangan manusia merupakan
pelanggaran serius terhadap hak-hak asasi manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa
perdagangan anak merupakan suatu jenis perbudakan di era modern. Perekrutan, pengiriman,
penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh
keuntungan agar dapat memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari
seseorang yang berkuasa atau orang lain dengan tujuan eksploitasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam Jurnal
berjudul Perdagangan Anak (Child Trafficking) Lintas Negara Dalam Kajian Hukum
Internasional adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana terjadinya perdagangan anak (child trafficking) lintas negara?

2. Bagaimana pengaturan hak dan perlindungan anak menurut hokum internasional?

3. Bagaimana perdagangan anak lintas negara dalam kajian hokum internasional?

8
Ibid, hal 10
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perdagangan Anak

Perdagangan anak (child trafficking) termasuk dalam kejahata internasional, yaitu


kejahatan-kejahatan yang telah di sepakati dalam konvensi-konvensi internasional serta
kejahatan yang beraspek internasional.9 Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam konvensi
internasional pada dasarnya memiliki tiga karakteristik yaitu kejahatan yang membahayakan
umat manusia, kejahatan yang mana pelakunya dapat di ekstradisi, dan kejahatan yang di
anggap bukan kejahatan politik.10 Dalam kasus pelindungan hak anak,diatur dalam konvensi
hak asasi anak (Convention on the Right of the Child).

Indonesia adalah salah satu Negara yang telah meratifikasi konvensi tentang hak-hak
anak (Convention on the Right of the Children). Ratifikasi ini termuat dalam Keputusan
Presiden RI No. 36 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi hak-hak anak. Pasal 1 dalam
konvensi ini menyebutkan, bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah delapan
belas tahun , kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak di tentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Berdasarkan pasal 1 Konvensi Hak-Hak Anak ini,
terdapat kalimat yang penting untuk di perhatikan ,”….. kecuali berdasarkan undang-undang
yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.” Kalimat ini
memberikan kemungkinan pembedaan pencapaian usia dewasa bagi setiap anak Indonesia
mengingat beberapa undang-undang yang berlaku di Indonesia menyebutkan seseorang
dianggap telah dewasa jika telah kawin.

Kejahatan terhadap anak akhir-akhir ini muncul menjadi isu yang menarik perhatian
regional dan global. Konsep dasarnya adalah perekrutan, pemindahan manusia dari satu
tempat ke tempat lain baik antar wilayah untuk negara maupun antar negara untuk tujuan

9
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996, hal 132
10
Ibid, hal 133
11
Francis T Miko, Perdagangan Wanita dan Anak-anak, Artikel, Penerbit Progressia,Jakarta, 2001
eksploitasi dengan cara-cara paksaan, penggunaan kekerasan, penculikan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi kerentanan seseorang.11

Masyarakat internasional telah lama menaruh perhatian terhadap permasalahan


perdagangan anak ini. PBB, misalnya melalui konvensi tahun 1949 mengenai penghapusan
perdagangan manusia dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain, konvensi tahun 1979
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dan konvensi tahun
1989 mengenai hak-hak anak. Berbagai organisasi internasional seperti IOM, ILO, UNICEF,
dan UNESCO memberikan perhatian khusus pada masalah perdagangan anak, pekerja anak
yang biasanya berada pada kondisi pekerjaan eksploitatif, seksual komersial.

Presiden RI pada tanggal 23 Juli 2012 menandatangi dua undang-undang yang memuat
pengaturan terkait perdagangan anak, salah satunya adalah UndangUndang Republik
Indonesia No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Optional Protocol to the Convention on the
rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography
(Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, dan Pornografi
Anak). Pada pasal 2 (a) Protokol ini menerangkan, penjualan anak berarti setiap tindakan atau
transaksi di mana seorang anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapa pun atau kelompok,
demi keuntungan atau dalam bentuk lain. Lebih lanjut dalam pasal 3 dinyatakan sebagai

berikut :

1. Tiap negara harus menjamin bahwa sebagai standar minimum, pada perbuatan dan
kegiatan berikut ini dianggap sebagai criminal ataumelanggar hukum pidana, apakah
kejahatan tersebut dilakukan di dalam atau antar negara atau berbasis individu atau
terorganisir : (a) Dalam konteks penjualan anak seperti yang di definisikan dalam pasal 2 :

(i) Menawarkan, mengatarkan atau menerima anak dengan berbagai cara untuk tujuan
berikut:

a. Eksploitasi seksual anak

b. Mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan

c. Keterlibatan anak dalam kerja paksa

(ii) Penculikan anak untuk adopsi

(b) Menawarkan, mendapatkan dan menyediakan anak untuk prostitusi, seperti yang
di definisikan dalam pasal 2

(c) Memproduksi,mengirimkan, menyebarkan, mengimpor, mengekspor,

(d) menawarkan, menjual atau memiliki untuk tujuan pornografi anak

dengan tujuan di atas seperti yang didefinisikan pasal 2.12


Faktor- faktor penyebab terjadinya perdagangan anak sebagai berikut ;

1. Faktor Individual

Dalam perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran, terjerumusnya anak
semata oleh karena anak tidak dalam kapasitas yang kuat untuk memberikan persetujuan
untuk menjadikan dirinya sebagai pelacur. Meningkatkan perdagangan anak untuk tujuan
prostitusi atau pelacuran ini, cenderung anak tidak menggunakan nalarnya dalam mengambil
keputusan, mereka lebih menggunakan emosinya sehingga anak-anak ini terjebak dalam
lingkaran prostitusi atau pelacuran.13

Di samping kurang menggunakan akal pikirannya, karena disebabkan adanya keinginan


pada diri anak-anak itu sendiri untuk memperoleh atau mendapatkan uang yang cukup besar
sehingga mereka kurang hati-hati di dalam menerima tawaran pekerjaan dengan gaji yang
cukup tinggi. Hal ini yang pada akhirnya membawa anak tersebut ke dalam kehancuran masa
depan.

2. Faktor Ekonomi

Meski kemiskinan dianggap sebagai faktor utama penyebab perdagangan anak,


kemiskinan bukanlah satu-satunya indicator untuk terjadinya perdagangan anak. Namun,
kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentang
untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk
meningkatkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan
dalam program dan kebijaksanaan untuk menghapuskan praktik perdagangan.14

3. Faktor Keluarga

Faktor lain di dalam keluarga yang dapat mendorong anak menjadi korban perdagangan
untuk prostitusi atau pelacuran adalah penetapan disiplin di dalam keluarga itu
sendiri.kurangnya kedisiplinan dalam keluarga di sebabkan oleh :

a. Perbedaan antara orang tua dengan anak dalam hal kedisiplinan

b. Kelemahan moral, fisik dan kecerdasan orang tua yang membuat lemahnya disiplin

c. Kurangnya disiplin karena tidak adanya orang tua

d. Perbedaan pendapat tentang pengawasan terhadap anak-anaknya

e. Karena penerapan kedisiplinan yang kurang ketat


12
Ibid, hal 491
13
Ibid, hal 41
14
ibid
15
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan,refika Aditama,Medan, 2012,
hal 42-43
f. Orang tua dalam membagi cinta dan kasih saying terhadap anak kurang

merata atau pilih kasih dalam penerapan kedisiplinan di dalam rumah tangga.15

Kepatuhan pada orang tua juga merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati.
Adanya ketidakpatuhan terhadap orang tua membuat anak tidak lagi memperhatikan nasihat
ataupun bimbingan dari orang tuanya, sehingga anak itu bertindak dan berperilaku hanya
berdasarkan emosionalnya semata.

Dengan demikian betapa besar pengaruh faktor keluarga atas diri anak dalam
perkembangan mental dan tingkah laku anak iitu sendiri. Hal ini lah yang seharusnya di
perhatikan oleh orang tua di dalam memberikan pengawasan agar anak tidak menjadi korban
perdagangan untuk tujuan prostitusi atau pelacur16

4. Faktor Pendidikan

Salah satu faktor yang menyebabkan anak menjadi korban perdagangan untuk tujuan
prostitusi atau pelacuran pada umumnya pendidikan anak tersebut sangat kurang, baik
pendidikan formal maupun pendidikan informal, dalam hal pendidikan anak kebanyakan
orang tua menyerahkan pendidikan anak mutlak kepada sekolah tanpa memberi perhatian
yang cukup terhadap kepentingan pendidikan anak, sedangkan kemampuan pendidikan di
sekolah terbatas. Di samping itu kurangnya pengawasan guru dan tidak tegasnya disiplin
serta tanggung jawab terhadap diri anak.17

Kurangnya pendidikan formal berupa pendidikan agama juga merupakan faktor


penyebab meningkatnya perdagangan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran. Hal ini
mungkin disebabkan keterbatasan pengetahuan tentang keagamaan ataupun kurangnya rasa
keimanan pada diri anak tersebut dalam mengendalikan dirinya, dan lebih memudahkan
trafficker (pelaku)untuk merekrut anak-anak itu untuk di jadikan pelacur.

5. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan atau pergaulan anak tersebut dengan masyarakat sekitarnya dapat
menjadi salah satu penyebab terjadinya perdagangan yang korbannya anak-anak. Kejahatan
perdagangan ini merupakan gejala social yang tidak berdiri sendiri melainkan adanya kondisi
atau hubungan dengan berbagai perkembangan kehidupan sosial, ekonomi, hukum maupun
adanya teknologi serta perkembangan yang lain akibat sampingan yang negatif dari setiap

16
Ibid, hal 44
17
ibid
18
Ibid, hal 46
kemajuan dan perubahan sosial masyarakat. Dalam hal ini orang tua harus memberikan
pengalamannya dalam membina dan membentuk kepribadian anak, sehingga tidak terjerumus
dalam lingkungan prostitusi atau pelacuran sebagaimana yang sering terjadi.18

6. Faktor Budaya

Trafficking tidak terlepas dari budaya setiap daerah yang ada yang terwujud dalam
beberapa hal, misalnya peran perempuan dalam keluarga, kekuasaan, hierarki dan nilai sosial,
serta peran anak dan tanggung jawabnya. Budaya ini memiliki kekuatan yang nantinya akan
berpengaruh pada terjadinya trafficking. Misalnya, anak-anak rentan ketika menghadapi
permintaan dan tuntutan dari mereka yang lebih tua, terutama orang tua. Adanya keyakinan
bahwa anak-anak tidak di perbolehkan bertanya macam-macam kepada orang tuanya.
Kemudian, untuk perempuan , biasanya rentan menghadapi trafficking karena tuntutan sosial
yang mengharuskan mereka mengurus dan memelihara anak-anak mereka, membantu
menambah penghasilan, dan kedudukan sebagai warga negara kelas dua.

Orang miskin, laki-laki ataupun perempuan rentan mengalami trafficking dan


kekerasan. Selain karena keterbatasan pendidikan, juga tidak memiliki kekuatan sosial dan
tidak memiliki penghasilan yang banyak. Mereka pun biasanya merasa tidak berdaya
menghadapi kekuatan sosial yang lebih besar, dalam hal ini kontrak kerja dan kondisi kerja.19

7. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum

Di samping lemahnya pemahaman tentang perdagangan anak ini, produk yang ada juga
masih sangat minim dalam memberikan perhatian terhadap perdagangan anak ini untuk
dilakukan. Perangkat hukum di Indonesia masih terlalu lemah dalam memberikan perhatian
terhadap masalah perempuan dan anak ini, karena pengaturan yang bersifat global dan tidak
spesifik mengatur tentang perdagangan perempuan dan anak ini, sehingga tidak menyentuh
segmen perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran (trafficking
on women and children), dan membawa akibat banyak kasus tidak terselesaikan secara
hukum dan adanya ketidakmampuan aparat hukum untuk membongkar dan memutuskan
mata rantai perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan prostitusi atau pelacuran.20

Di samping faktor tersebut di atas, juag ada faktor-faktor lain yang memengaruhi dalam
kaitannya dengan perdagangan anak di antaranya :

 Perkawinan di usia muda

19
Rika Sarasawati,Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hal 81-82
19
Rika Sarasawati,Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hal 81-82
Perkawinan usia muda ini banyak mengundang masalah, karena perkawinan berisiko
tinggi, terutama ketika diikuti dengan kehamilan. Secara sosial, anak perempuan yang
menikah pada usia muda cenderung mengalami banyak kesulitan terutama bila
mereka di ceraikan oleh suaminya. Ketika seorang anak perempuan bercerai, ia
kehilangan status hak nya sebagai anak. Hal ini menghalangi nya untuk memasuki
system pendidikan formal apabila ia menginginkannya. Lebih buruk lagi adalah sejak
ia menikah, seorang anak perempuan di anggap sebagai orang dewasa yang mandiri
dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tuannya. Apabila ia bercerai dengan
suaminya orang tuanya tidak lagi bertanggung jawab untuk memberinya nafkah atau
menanggung hidupnya. Akibatnya banyak anak perempuan yang telah dikembalikan
oleh suaminya cenderung memberanikan diri pergi ke kota-kota besar untuk
mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik dan untuk bertahan hidup. Sayangnya
anak perempuan itu tidak mempunyai keterampilan atau ijazah yang memungkinkan
mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mereka akhirnya masuk ke lingkungan
prostitusi atau pelacuran.21
 Konflik sosial dan perang
Dewasa ini Indonesia berada dalam masa transisi politik yang pernah bergejolak dari
pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis. Ditambah lagi dengan konflik sosial
politik di berbagai daerah sehingga banyak orang terusir dari rumah mereka sendiri
dan banyak anak-anak yang menderita akibat konflik ini. Dijelaskan oleh Salma
Savitri dan Andi (aktivis Komnas perempuan) bahwa perdagangan perempuan dan
anak-anak diakibatkan oleh banyaknya pengungsi akibat politik.22

B. Perlindungan Terhadap Korban Perdagangan

Di bawah ini adalah beberapa peraturan yang memuat larangan perdagangan anak di
dunia dan di Indonesia :

1. Konvensi Hak Anak

Konvensi ini memuat pengaturan terkait perdagangan anak

terdapat pada pasal-pasal :23

Pasal 11

21
Ibid, hal 47
22
Ibid
23
Konvensi Hak Anak
1. Negara-negara Peserta akan mengambil langkah-langkah untuk memberantas
pemindahan anak-anak ke luar negeri secara tidak sah atau tidak dapat
dikembalikannya anak-anak dari luar negeri;

2. Untuk tujuan ini, Negara-negara Peserta akan meningkatkan persetujuan-


persetujuan bilateral atau multilateral atau aksesi terhadap persetujuan-pensetujuan
yang sudah ada;

Pasal 19

Negara akan melindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan sewenang-wenang,


pengabaian dan eksploitasi selagi mereka berada dalam asuhan orang tua atau orang
lain dan mengimplementasikan pencegahan dan program perawatan

Pasal 21

Negara-negara Peserta yang mengakui dan/atau membolehkan sistem adopsi


menjamin bahwa kepentingankepentingan tenbaik anak yang bersangkutan akan
merupakan pertimbangan paling utama dan negara-negara itu akan:

(a) Menjamin bahwa adopsi anak hanya disahkan oleh pihak-pihak berwenang yang
menetapkan, sesuai dengan hukum dan prosedur yang berlaku dan berdasarkan semua
informasi yang terkait dan terpercaya, bahwa adopsi itu diperkenankan mengingat
status anak sehubungan dengan keadaan orangtua, keluarga dan walinya yang sah
dan, jika diperlukan, orang-orang yang berkepentingan memberi persetujuannya atas
adopsi tersebut berdasarkan nasehat yang mungkin diperlukan;

(b) Mengakui bahwa adopsi antar negara dapat dipertimbangkan sebagai suatu sarana
alternatif perawatan anak, jika anak tidak dapat ditempatkan pada keluarga asuh atau
keluarga angkat atau tidak dapat dirawat dengan cara yang tepat di negara asal anak
yang bersangkutan;

(c) Menjamin bahwa anak yang diadopsi antara Negara memperoleh perlindungan dan
norma-norma yang sama dengan perlindungan dan norma yang berlaku dalam adopsi
nasional;

(d) Mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa dalam adopsi antar
negara penempatan anak tidak mengakibatkan keuntungan finansial yang tidak benar
bagi mereka yang terlibat dalam adopsi tersebut;

(e) Bilamana layak, meningkatkan tujuan-tujuan yang dimaksud dan pasal ini
dengan mengadakan peraturan-penaturan atau persetujuan-persetujuan bilateral atau
multilateral, dan upaya, didalam kerangka ini untuk menjamin bahwa penempatan
seorang anak di negara lain dilaksanakan oleh pihak-pihak atau badan yang
berwenang;

Pasal 32
1. Negara-negara Peserta mengakui hak anak untuk dilindungi dan eksploitasi
ekonomi dan dari pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau
mengganggu pendidikan anak, atau membahayakan kesehatan atau perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak;

2. Negara-negara Peserta akan mengambil langkah langkah legislatif, administratif


dan pendidikan untuk menjamin pelaksanaan pasal ini. Untuk mencapal tujuan inil
dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan perangkat-perangkat
internasional lain yang terait, Negara-negara Peserta secara khusus akan;

a) Menetapkan usia minimum atau usia-usia minimum untuk memasuki lapangan


kerja;

b) Menetapkan peraturan-peraturan yang tepat mengenal jam kerja dan kondisi


kerja;

c) Menetapkan hukuman-hukuman yang layak atau sanksi-sanksi lain untuk


menjamin pelaksanaan yang efektif dan pasal ini;

Pasal 33

Negara-negara Peserta akan mengambil langkah-langkah yang layak termasuk


langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan guna melindungi anak
dan pemakaian oba-obat narkotik dan zat-zat psikotropika secara gelap seperti yang
ditetapkan dalam perjanjian-perjanjian internasional yang terkait, dan guna mencegah
penggunaan anak-anak dalam pembuatan dan pengedaran secara gelap zat-zat
tersebut;

Pasal 34

Negara-negara Peserta berusaha untuk melindungi anak dan semua bentuk eksptoitasi
seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini, Negara-negara Peserta secara
khusus akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral untuk
mencegah:

(a)Bujukan atau pemaksaan terhadap anak untuk melakukan kegiatan seksual


yangtidak sah

(b) Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktik-praktik seksual
lain yang tidak sah;

(c) Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukanpertunjukan dan bahan-


bahanpornograflis;

Pasal 35
Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah nasional, bilateral dan
multilateral yang layak untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak
untuk tujuan apapun atau dalam bentuk apapun.

Pasal 36

Negara-negara Peserta akan melindungi anak dari segala bentu lain eksploitasi
yang merugikan setiap aspek kesejahteraan anak;

2. Konvensi ILO Nomor 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk


bagi Anak

Konvensi ini memasukkan perdagangan anak dalam bentuk-bentu pekerjaan terburuk


bagi anak, sehingga setiap orang maupun kelompok dilarang untuk mempekerjakan anak24

Pasal 3

Dalam konvensi ini, istilah “bentuk-bentuk terburuk kerja anak” mengandung


pengertian : (a) segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan,
seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon dan perhambaan serta kerja
paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk
dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran
anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan
porno; (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram,
khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam
perjanjian internasional yang relevan; (d) pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan
tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak-anak.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam KUHP pasal 297 yang
menentukan mengenai larangan perdagangan perempuan dan anak laki-laki belum dewasa
yang mengualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pada penjelasan UU No. 21
Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang disebutkan bahwa pasal 297 terlalu
ringan bahkan sering sekali tidak dipergunakan oleh penegak hukum. Akibatnya, penegak
hukum khususnya dipenyidik (kepolisian) biasanya mempergunakan pasal lain seperti
penipuan, kejahatan terhadap kemerdekaan orang ataupun penganiayaan25

4. Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

24
Konvensi ILO 182

25
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang No. 35 Tahun 2014 merupakan perubahan dari Undang-Undang
No.23 tahun 2002. Undang-undang no.23 tahun 2002 tetap berlaku,hanya ada
beberapa pasal yang diganti dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2014.

Pasal 1 ayat 2

Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak
nya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.

Perlindungan terhadap anak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam

konvensi Hak Anak ada beberapa asas-asas,yaitu :

1. Asas kepentingan yang terbaik bagi anak, adalah bahwa dalam semua tindakan
yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan
legislative, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik anak harus menjadi
pertimbangan yang utama;

2. Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua;

3. Asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak
untuk partisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan
terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya;

Pasal76F : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan / atau perdagangan
anak.

Pasal 83 : Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76F
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

5. Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Perdagangan Orang

Pasal 5 :Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak denganmenjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk di eksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6: Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan
cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Perbuatan perdagangan manusia telah berlansung sejak dahulu kala hingga saat ini.
Dari masa kerajaan Jawa yang membentuk landasan bagi perkembangan perdagangan
perempuan dengan meletakkan mereka sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu
lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran, kegiatan ini berkembang
lebih terorganisir pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dan bahkan sekarang ini dialami
kemerdekaan dan di era globalisasi. Kegiatan tersebut tidak semakin menurun justru semakin
marak dan meluas ke berbagai negara. Biasanya yang dijadikan korban adalah
anak,alasannya karena anak lemah dan polos sehingga para pelaku bias dengan mudah
menipu korban. Faktor-faktor terjadinya penjualan anak beragam,mulai dari faktor
individu,faktor ekonomi, faktor keluarga, factor pendidikan, faktor lingkungan, faktor
budaya, faktor lemahnya penegakan hukum, perkawinan di usia dini, konflik sosial dan
perang dan media massa

Konvensi Hak Anak (Convention of the Right of the Child), disahkan oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan mulai berlaku pada 2 September 1990.
Konvensi Hak Anak ini merupakan instrument yang merumuskan prinsip-prinsip universal
dan norma hukum mengenai kedudukan anak, dan merupakan sebuah perjanjian internasional
hak asasi manusia. Konvensi Hak Anak merupakan hasil konsultasi dan pembicaraan Negara-
negara, dan lembaga PBB dan lebih dari 50 organisasi internasional. Ketentuan hukum yang
mengatur mengenai pencengahan perdagangan anak termuat dalam konvensi hak anak, yaitu
pasal 35 yang memerintah negara-negara untuk mengambil langkah-langkah nasional,
bilateral dan multilateral untuk mencengah penculikan, penjualan atau perdagangan anak
untuk tujuan apapun. Pasal ini tidak memberikan penjelasan lebih jelas tentang perlindungan
anak terhadap perdagangan anak. Konvensi Hak Anak 1989 dilengkapi dengan Protokol
Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi
Anak yang di tetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 25 Mei
2000. Protokol ini bertujuan untuk mencapai tujuan Konvensi tentang hak-hak anak dan
penerapan aturan-aturannya lebih lanjut khususnya yang termuat dalam pasal 1, 11, 21, 32,
33, 34, 35, dan pasal 36.

Sesuai dengan isi pasal 3 ayat 4 Opsional Protokol Konvensi Hak-Hak Anak
mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Pornografi Anak yang berbunyi : “Dengan
tunduk pada ketentuan hukum nasionalnya, setiap negara pihak harus mengambil langkah-
langkah, jika dipandang perlu untuk menegakkan hukum bagi pelaku atas pelanggaran-
pelanggaran sebagaimana termasuk dalam ayat (1) pasal ini. Dengan menujuk prinsip-prinsip
hukum Negara Pihak, penegakkan hukum bagi pelaku dapat secara pidana, perdata, atau
administratif.” Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan tentang pemidanaan
penjualan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
no.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang no.21 tahun 2007 tentang
tindak pidana perdagangan orang.

B. Saran

Sebaiknya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang lebih kepada anak-anak


bangsa. Karena anak-anak merupakan bibit calon penerus bangsa yang harus dipelihara dan
dilindungi hak nya. Anak adalah makhluk yang lemah yang bisa dengan mudahnya di tipu
oleh orang dewasa (trafficker) hanya dengan di iming-imingi sesuatu yang menggiurkan.
Apalagi anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu dan pendidikan yang masih
sangat kurang. Mereka tanpa rasa curiga sedikit pun akan ikut kemanapun sang pelaku
membawa mereka dan ketika mereka tau bahwa mereka di perdagangkan, mereka tidak bis
berbuat apa-apa dan hanya pasrah.

Pemerintah harus extra memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak


dan nasib anak-anak yang menjadi korban perdagangan anak, dan juga memberikan
sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan manusia terutama perdagangan orang dan
khususnya perdagangan anak.

Lebih memperketat pada tempat-tempat yang di lakukan sebagai tempat

penyebrangan atau imigrasi, sehingga tidak terjadi penyelundupan

manusia dan atau anak yang bertujuan untuk di perdagangkan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.kpai.go.id/artikel/waspada-bahaya-perdagangan-orang-trafficking-dan
penyelundupan-manusia-smuggling/ diakses tanggal 10 November 2016 pukul 8.31
WIB

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB Indonesia, Jakarta, 1996


Sullistyowati Irianto, Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, Kemitraan
Partnership, Jakarta , 2015

H. R. Abdussalam, PTIK, Jakarta, 2012Rika Sarasawati,Hukum Perlindungan Anak di


Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015 Maidin Gultom, Perlindungan
Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, refika aditama, Medan, 2012

Potrebbero piacerti anche