Sei sulla pagina 1di 15

Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

ISTILAH-ISTILAH YANG DIGUNAKAN PADA ACARA RITUAL PETIK PARI OLEH


MASYARAKAT JAWA DI DESA SUMBERPUCUNG KABUPATEN MALANG
(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
THE TERMS USED IN RITUAL CEREMONY OF PETIK PARI BY PEOPLE OF JAVA IN SUMBERPUCUNG
AT MALANG REGENCY (THE ETNOLINGUISTICAL STUDY)

Bebetho Frederick Kamsiadi, Bambang Wibisono, Andang Subaharianto


Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember
Jalan Kalimantan 37 Jember 68121 Telp./Faks. 0331-337422
Email: bebeto_frederick@yahoo.com

ABSTRACT
The purpose of this research was to discribe and explain form value and the use of terms that used in ritual ceremony
of petik pari by people of Java in Sumberpucung at Malang Regency. The Dewi Sri figure became a symbol and
thought guidance to people of java, especially famer of java in the cycle life procession, among others mariage, house
treatment and farm field. There for they carried out the petik pari tradition that had several steps in the process. The
first step was nyiapne weneh, that consist of kowen, ngekum pari and ngentas pari. The second step was bukak lahan,
that consist of tamping, ngisi banyu, mbrojol, mopok, nglawet, nggaru and ndhadhag. The third step was tandur, that
consist of ndhaut, nas atau geblake dina, ngerek and tandur. The fourth step was ngrumat, it consist of lep, kokrok,
ngemes and matun. The fifth step was petik pari, that consist of uborampen, sega ingkung, sega gurih, sega tumpeng
or sega gunungan, sega golong, iwak, kulupan, gedhang raja, bumbu urap and cok bakal that countain bumbu pepek,
wedhi, dhedhek lembut, kaca, suri, wedhak, janur kuning, kembang telon, menyan, dhuwit receh and badhek. The
sixth step was panen, that consist of ngerit, nggeblok, nyilir, nampeni and ngiteri ghabah. The terms that existed in
every steps experinced meaning generalisation, meaning degeneralisation and didn't meaning inalteration.
Etnolinguistical analysis in the research was to compare the agricultural terms that used by people of Java in
Sumberpucung at Malang Regency with agricultural terms that used by peoplo of Madura at Jember Regency.

Keywords: etnolinguistic, petik pari tradition, terms

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk, makna, dan penggunaan istilah-istilah yang
digunakan pada ritual petik pari oleh masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang. Figur Dewi Sri
menjadi simbol dan kerangka acuan berpikir bagi orang Jawa khususnya petani Jawa di dalam prosesi siklus hidup
yaitu perkawinan, memperlakukan rumah dan tanah pertaniannya. Untuk melaksanakan tradisi petik pari terdapat
beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain, nyiapne weneh terdapat istilah kowen, ngekum pari dan
ngentas pari; bukak lahan terdapat istilah tamping, ngisi banyu, mbrojol, mopok, nglawet, nggaru dan ndhadhag;
tandur terdapat istilah ndhaut, nas atau geblake dina, ngerek dan tandur; ngrumat terdapat istilah lep, kokrok, ngemes
dan matun; petik pari terdapat istilah uborampen, sega ingkung, sega gurih, sega tumpeng atau sega gunungan, sega
golong, iwak, kulupan, gedhang raja, bumbu urap dan cok bakal yang berisi bumbu pepek, wedhi, dhedhek lembut,
kaca, suri, wedhak, janur kuning, kembang telon, menyan, dhuwit receh dan badhek; dan panen terdapat istilah ngerit,
nggeblok, nyilir, nampeni dan ngiteri ghabah. Istilah-istilah yang terdapat dalam setiap tahapan tersebut mengalami
perluasan makna, penyempitan makna dan tidak mengalami perubahan makna. Analisis etnolinguistik dalam penelitian
ini membandingkan istilah pertanian yang digunakan masyarakat Jawa di Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten
Malang dengan istilah pertanian yang digunakan masyarakat Madura di Kabupaten Jember.

Kata Kunci: etnolinguistik, tradisi petik pari, istilah

1. Pendahuluan berinteraksi. Menurut Bloomfield (dalam


Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki Sumarsono, 2007:18), bahasa adalah sistem
rasa saling ketergantungan antara yang satu lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang
dengan yang lain, akibatnya mereka pun saling (arbitrer) yang dipakai oleh anggota masyarakat

Fakultas Sastra Universitas Jember 64


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

untuk saling berhubungan dan berinteraksi. keselamatan dalam penggarapan lahan pertanian,
Bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan dihindarkan dari hama padi serta mendapatkan
dalam bentuk tulis maupun lisan, yang dalam hasil panen yang bagus dan berlimpah. Ritual
prosesnya melibatkan tiga komponen penting, tersebut dilaksanakan masyarakat setempat juga
yaitu pihak yang berkomunikasi, informasi yang sebagai simbol puji syukur kepada Tuhan karena
dikemukakan, dan alat komunikasi (Alwasilah, telah diberi hasil bumi yang melimpah.
1987:9). Sebagai bangsa yang multikultural, Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
Indonesia memiliki beraneka ragam kebudayaan dirumuskan permasalahan yang dikaji yaitu
yang membuatnya menjadi salah satu bangsa yang sebagai berikut:
besar. Keberagaman kebudayaan bangsa Indonesia 1. Apa bentuk istilah-istilah yang digunakan
berdampak pula pada keberagaman bahasa yang dalam bidang pertanian pada ritual petik pari
dimiliki setiap daerah di nusantara, seperti bahasa oleh masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung
Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Madura Kabupaten Malang?
dan lain-lain. Menurut Pateda (1990: 52-53) 2. Apa makna istilah-istilah yang digunakan
bahasa daerah memiliki perbedaan dengan bahasa dalam bidang pertanian pada ritual petik pari
daerah lain dilatarbelakangi oleh beberapa faktor oleh masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung
yaitu, (1) faktor tempat; (2) faktor waktu; (3) Kabupaten Malang?
faktor pemakai; (4) faktor pemakaian; (5) faktor 3. Bagaimana penggunaan istilah-istilah dalam
situasi; dan (6) faktor status. bidang pertanian pada ritual petik pari oleh
Artikel ini membahas tentang pemakaian masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung
istilah pertanian yang digunakan pada acara ritual Kabupaten Malang?
petik pari oleh masyarakat Jawa di Kecamatan Sesuai dengan permasalahan yang ada, tujuan
Sumberpucung Kabupaten Malang. Kajian yang yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
digunakan adalah kajian etnolinguistik, yaitu ilmu mendiskripsikan dan menjelaskan bentuk, makna,
yang meneliti seluk beluk hubungan aneka dan penggunaan istilah-istilah yang digunakan
pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan dalam dalam bidang pertanian pada ritual petik pari oleh
masyarakat tertentu atau ilmu yang berusaha masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung
mencari hubungan antara bahasa, penggunaan Kabupaten Malang.
bahasa dan kebudayaan pada umumnya. Dari hasil penelitian ini menghasilkan dua
Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya manfaat, yaitu manfaat praktis dan manfaat
dapat dimiliki oleh warga masyarakat teoritis. Manfaat teoritis penelitian ini dapat
pendukungnya dengan cara mempelajarinya. memberikan kontribusi di bidang akademik yaitu
Penyelenggaraan upacara penting bagi pembinaan bahasa indonesia khususnya dalam bidang
sosial budaya warga masyarakat yang etnolinguistik, yang berkaitan dengan istilah-
bersangkutan. Antara lain fungsinya adalah istilah dalam berbagai bidang yang dikaji dalam
pengokoh norma-norma, serta nilai-nilai budaya konteks sosial dan budayanya, serta dapat
yang telah berlaku turun-menurun (Purwadi, mengetahui bentuk upacara tradisional masyarakat
2005:2). Jawa yang beraneka ragam serta mempunyai nilai
Ritus religius terpenting dalam masyarakat kehidupan yang sangat bermanfaat untuk manusia.
Jawa adalah slametan. Dalam masyarakat agraris Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari
(terutama di Jawa), tradisi penghormatan terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut:
Dewi Sri masih berlangsung sampai sekarang. • Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa
Figur Dewi Sri menjadi simbol dan kerangka dapat memahami istilah-istilah yang
acuan berpikir bagi orang Jawa khususnya petani digunakan dalam ritual petik pari serta
Jawa di dalam prosesi siklus hidup yaitu memahami makna istilah-istilahnya.
perkawinan, memperlakukan rumah dan tanah • Bagi pengajar bahasa, dapat menambah
pertaniannya. Ritual petik pari sendiri adalah salah pengetahuan tentang pemakaian bahasa Jawa
satu ritual atau upacara yang pelaksanaannya dan menambah pengetahuan tentang budaya
dilakukan pada waktu musim panen padi tiba. Jawa.
Ritual ini dilakukan untuk mendapatkan

Fakultas Sastra Universitas Jember 65


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

• Bagi pelajar, dapat menambah pengetahuan suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-
tentang bahasa Jawa dan kebudayaan atau prinsip umum. Penelitian ini dapat dikategorikan
tradisi masyarakat Jawa serta dapat sebagai penelitian kualitatif. Menurut Basrowi dan
menjadikan sumber rujukan untuk penelitian Suwandi (2008:1-2) penelitian kualitatif adalah
selanjutnya yang sejenis. salah satu metode penelitian yang bertujuan untuk
Etnolinguistik adalah ilmu yang meneliti mendapatkan pemahaman tentang kenyataan
seluk beluk hubungan aneka pemakaian bahasa melalui proses berpikir induktif. Metode adalah
dengan pola kebudayaan dalam masyarakat cara yang harus dilakukan; teknik adalah cara
tertentu, atau ilmu yang mencoba mencari melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9).
hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa dan Metode penelitian pada dasarnya dibagi atas tiga
kebudayaan pada umumnya. Menurut tahap, yaitu (a) tahap penyediaan data; (b) tahap
Kridalaksana (2008:59), etnolinguistik adalah analisis data; dan (c) tahap penyajian data.
cabang linguistik yang menyelidiki hubungan Metode penyediaan data yang digunakan
antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau dalam penelitian ini adalah metode simak, yaitu
masyarakat yang belum mempunyai tulisan, atau dengan menyimak pembicaraan dengan
cabang ilmu linguistik yang menyelidiki hubungan mewawancarai informan yang sudah dipilih dan
bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa. mengerti tentang istilah-istilah ritual petik pari
Menurut Duranti (1997:2), etnolinguistik yang digunakan oleh masyarakat Jawa di Desa
adalah kajian bahasa dan budaya. Duranti Sumberpucung, Kabupaten Malang. Kemudian
(1997:84) menjelaskan bahwa karena studi peneliti menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik
etnolinguistik mengkaji bentuk linguistik yang rekam dan teknik catat. Dalam hal ini peneliti
mengungkapkan unsur kehidupan sosial, maka merekam semua kata-kata yang muncul dari
peneliti dalam bidang ini harus memiliki cara informan dan mencatat data yang telah direkam.
untuk mengembangkan bentuk bahasa dengan Dari hasil wawancara tersebut, kemudian peneliti
kebiasaan (perbuatan) budaya. Ruang lingkup mencari data sebanyak-banyaknya. Lalu peneliti
etnolinguistik meliputi hubungan budaya, bahasa memilah dan memilih data yang dibutuhkan.
dan penggunaan bahasa. Fungsi etnolinguistik Apabila data sudah terkumpul kemudian dianalisis
ialah memberikan pemahaman tentang masalah- dengan cara diklasifikasikan berdasarkan bentuk,
masalah yang menyangkut hubungan timbal-balik makna dan penggunannya.
antara struktur bahasa dan kebudayaan, yaitu Langkah selanjutnya setelah pengumpulan
bahasa sebagai sistem kognitif dan manifestasinya data adalah penganalisisan data yang sudah
dalam penataan lingkungan sosial budaya. terkumpul. Dalam tahap analisis data ini, metode
Duranti mengemukakan bahwa studi yang digunakan peneliti adalah metode padan.
etnolinguistik mempelajari pemakaian bahasa Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pilah
sebagaimana diperlihatkan dalam kehidupan unsur penentu yaitu pemilihan kata-kata secara
sehari-hari masyarakat tutur tertentu. Metode yang tersusun. Pemilihan kata tersebut berdasarkan
digunakan adalah metode etnolinguistik, ditambah jenisnya, termasuk kata atau frasa, setelah data-
dengan teknik-teknik yang dikembangkan dalam data itu dipilih kemudian ditrasnkrip secara
bidang studi lain, seperti: pragmatik fonetis. Selanjutnya istilah-istilah tersebut dipilih
perkembangan, analisis percakapan, puisi, dan dan dikumpulkan berdasarkan tahapan-tahapan
sejarah. yang ada dalam upacara petik pari.
Metode selanjutnya adalah metode deskriptif
2. Metode Penelitian analisis, yaitu metode penelitian yang berusaha
Dalam KBBI metode memiliki arti cara menggambarkan dan menginterpretasi objek
teratur yang digunakan untuk melaksanakan sesuai dengan apa adanya (Aries, 2010:25). Dalam
pekerjaan agar tercapai sesuatu yang dikehendaki, penelitian ini, metode tersebut dilakukan dengan
sedangkan penelitian bermakna suatu kegiatan mendeskripsikan istilah-istilah pertanian yang
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian digunakan dalam upacara ritual petik pari. Metode
data yang dilakukan secara sistematis dan objektif analisis data dalam penelitian ini menggunakan
untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji metode padan ekstralingual. Hal ini dikarenakan,

Fakultas Sastra Universitas Jember 66


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

peneliti menghubungkan bahasa dengan hal yang mengalami proses morfologis, yakni kata siap
diluar bahasa, yaitu budaya. mendapat prefik {N-} menjadi bentuk nyiap dan
Tahap penyajian hasil analisis data ini mendapat sufik /-ne/ dalam bahasa Jawa dan
diperlukan agar hasil penelitian dapat memberikan menjadi bentuk nyiapne yang bermakna
gambaran yang jelas pada pembaca. Metode ‘melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan yang
penyajian yang digunakan dalam penelitian ini disebut dalam kata dasar’ dan kata weneh berarti
adalah teknik penyajian informal dan metode ‘benih tanaman’. Jadi, nyiapne weneh berarti
formal. Metode informal digunakan untuk ‘menyiapkan benih yang akan ditanam’. Berikut
mendeskripsikan makna, penggunaan dan bentuk- tahapan dan istilah yang digunakan dalam tahap
bentuk istilah pertanian yang terdapat dalam nyiapne weneh, (1) kowen, (2) ngekum pari dan
upacara petik pari. Metode formal digunakan (3) ngentas pari.
untuk menyajikan istilah-istilah yang ditulis dalam Kowen [kowεn] dalam Kamus Bahasa Jawa
transkripsi fonetis dengan menggunakan tanda (KBJ) berarti ‘jambangan untuk mencuci, tempat
kurung. Misalnya, istilah kowen [kowεn]. peleburan perak’, (KBJ, 2000). Tempat ini dibuat
persegi panjang dengan ukuran 2x4 meter atau
3. Hasil dan Pembahasan disesuaikan dengan banyaknya benih yang akan
Upacara tradisional merupakan salah satu ditanam. Kowen merupakan kata benda konkret,
wujud peninggalan kebudayaan. Dalam karena menunjukkan benda yang dapat dilihat
kebudayaan masyarakat Jawa terdapat hubungan oleh pancaindera. Istilah kowen yang digunakan
timbal balik antara manusia dan alam sekitarnya. petani di Desa Sumberpucung mengalami
Masyarakat Jawa, khususnya yang masih tinggal perluasan makna, yaitu ‘tempat untuk persemaian
di pedesaan, sebagian besar masih memegang benih padi’.
teguh dan melaksanakan upacara-upacara Tahapan kedua adalah ngekum pari
tradisional yang sering dilakukan oleh pendahulu- [ŋəkUmpari]. Ngekum berasal dari kosa kata
pendahulu mereka. bahasa Jawa kum [kUm] yang berarti ‘rendam’.
Upacara tradisional, bagi masyarakat Jawa Dalam penggunaannya mengalami proses
mengandung nilai filsafat yang tinggi. Salah satu morfologis, yaitu adanya penambahan morfem
upacara atau ritual yang masih dilakukan adalah {N-} pada kata dasar menjadi ngekum. Benih padi
petik pari (pətI?pari). Istilah petik pari merupakan direndam di rumah selama kurang lebih sehari
frase verba yang terdiri dari kata kerja petik yang semalam dan diletakkan di dalam wadah seperti
bermakna ‘ambil’ dan kata benda pari yang ember. Hal ini dilakukan supaya benih cepat
bermakna ‘padi’. Jadi, petik pari artinya ‘ambil mengeluarkan daun padi. Selain itu, fungsi
padi atau panen padi’. Kegiatan ini dilakukan pada ngekum pari di rumah adalah petani bisa
waktu musim panen padi tiba. memantau perkembangan benih tersebut sebelum
Upacara petik pari merupakan wujud terima dibawa ke sawah dan untuk menghindari
kasih petani kepada Tuhan atas hasil bumi yang hilangnya benih padi dari pencurian, baik yang
diberikan. Petani di Dusun Krajan, Desa dilakukan orang lain atau binatang. Istilah ngekum
Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, pari merupakan kata kerja transitif, yang terdiri
Kabupaten Malang, melakukan upacara petik pari dari kata ngekum [ŋəkum] yang berarti
terdiri dari enam tahapan, yaitu tahap nyiapne ‘merendamkan di air’ dan kata pari yang berarti
weneh, tahap bukak lahan, tahap tandur, tahap ‘padi’. Istilah ngekum pari yang digunakan petani
ngrumat, tahap petik pari dan tahap panen. Setiap di Desa Sumberpucung tidak mengalami
tahapan dalam upacara tersebut terdapat istilah- perubahan makna, yaitu ‘kegiatan merendamkan
istilah yang akan dijelaskan bentuk, penggunaan benih padi di air’.
dan maknanya. Tahapan ketiga adalah ngentas pari
Tahap nyiapne weneh [ήiapneweneh] [ŋəntaspari] artinya mengangkat atau menyaring
merupakan tahap awal dari rangakaian upacara padi. Setelah direndam sehari semalam, benih
petik pari. Kata nyiapne berasal dari kata siap kemudian diangkat lalu dimasukkan ke dalam sak
dalam bahasa Jawa yang bermakna ‘siyaga, [sak] atau karung dan disimpan lagi kurang lebih
rampung, bersiap’ (KBJ, 2000), kemudian sehari semalam. Istilah ngentas pari merupakan

Fakultas Sastra Universitas Jember 67


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

frase verba yang terdiri atas kata kerja ngentas harus meminta jatah air kepada salah satu petugas
yang berasal dari kosa kata bahasa Jawa entas desa yaitu pokja air [pƆ?jaair]. Pokja air ini
[əntas] yang bermakna ‘angkat atau saring’ dan merupakan singkatan dari kelompok kerja air,
kata pari yang bermakna ‘padi’. Kemudian dalam yang bertugas membagi air untuk para petani.
penggunaannya mengalami proses morfologis, Untuk setiap setengah hektar sawah, petani harus
yaitu penambahan morfem {N-} pada kata dasar membayar air sebesar Rp 100.000,00 dan
menjadi ngentas. Istilah ngentas pari yang pembayarannya dilakukan pada saat panen tiba.
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak Istilah ngisi banyu yang digunakan petani di Desa
mengalami perubahan makna, yaitu ‘kegiatan Sumberpucung mengalami perluasan makna, yaitu
mengangkat benih padi dari tempat persemaian’. ‘kegiatan mengairi lahan pertanian’.
Tahap kedua yaitu bukak lahan [buka? Tahapan ketiga adalah mbrojol [mbrojol]
lahan]. Bukak lahan berarti ‘membuka lahan’. berasal dari kosa kata brojol artinya ‘bajak yang
Maksudnya, lahan atau sawah yang sudah dipakai digunakan untuk mengaduk tanah’. Tahapan ini
pada musim panen sebelumnya dibersihkan dilakukan sebanyak dua kali. Pertama dilakukan
dengan cara dipaculi [dipaculi] atau dicangkul. setelah tahapan ngisi banyu, sedangkan yang
Istilah bukak lahan yang digunakan petani di Desa kedua dilakukan setelah tahapan mopok selesai
Sumberpucung mengalami perluasan makna, yaitu dilakukan. Mbrojol yang pertama ini dilakukan
‘kegiatan mencangkul lahan pertanian supaya rumput dan tanah yang tercabut pada
menggunakan cangkul’. Berikut tahapan dan tahapan tamping tadi bisa ikut terurai pada saat
istilah-istilah dalam tahap bukak lahan antara lain, dibajak. Istilah mbrojol mengalami perubahan
(1) tamping, (2) ngisi banyu, (3) mbrojol, (4) bentuk asalnya brojol. Perubahan tersebut
mopok, (5) nglawet, (6) nggaru dan (7) ndhadhag. disebabkan karena adanya proses morfologis,
Tahapan yang pertama adalah tamping [tampIŋ] yakni adanya penambahan morfem {N-} pada kata
menurut Kamus Bahasa Jawa berarti ‘pinggir, tepi brojol menjadi mbrojol berarti ‘membajak
batas daerah’. Istilah tamping yang digunakan menggunakan bajak’. Istilah mbrojol yang
petani di Desa Sumberpucung mengalami digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak
perluasan makna, yaitu ‘ kegiatan membersihkan mengalami perubahan makna, yaitu ‘kegiatan
galengan [galəŋan] dari rumput-rumput liar atau membajak sawah menggunakan bajak sebelum
gulma dengan alat yang biasa disebut pacul ditanami’.
[pacUl]’. Istilah tamping merupakan kata kerja Tahapan keempat adalah mopok [mƆpƆ?]
intransitif. Istilah pacul dalam tahapan tamping atau popok [pƆpƆ?]. Dalam kamus Bahasa Jawa
berarti ‘cangkul untuk menggali tanah’. Istilah mopok [mƆpƆ?] atau popok [pƆpƆ?] berarti
galengan menurut kamus Bahasa Jawa berarti ‘menempelkan apa-apa yang lembek dengan
‘pematang sawah’. Istilah galengan yang menggunakan lumpur (KBJ, 2000)’. Istilah
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak mopok yang digunakan petani di Desa
mengalami perubahan makna, yaitu ‘pematang Sumberpucung mengalami perluasan makna, yaitu
sawah yang berada di samping lahan pertanian’. ‘kegiatan menambal pematang dengan tanah
Tahapan yang kedua adalah ngisi banyu supaya tidak mudah dilubangi oleh tikus’. Setelah
[ŋisibaήu], artinya ‘mengairi atau memberi air di selesai melakukan tahapan mopok, petani kembali
petakkan sawah’. Ngisi banyu merupakan frase meminta jatah air kepada pokja air untuk
verba yang terdiri dari kata kerja ngisi yang berarti melakukan tahapan ngisi banyu yang kedua.
‘mengisi’ dan kata benda banyu yang berarti ‘air’. Tahapan ngisi banyu yang kedua biasa disebut
Istilah ngisi mengalami perubahan bentuk dari nglawet.
bentuk dasar ‘isi’. Perubahan tersebut disebabkan Tahapan kelima adalah nglawet [ŋlawεt]
adanya proses morfologis, yaitu adanya yaitu mbrojol tahap kedua. Istilah nglawet berasal
penambahan morfem {N-} pada bentuk ‘isi’ yang dari kosa kata bahasa Jawa awet [awɛt] yang
berarti ‘isi atau muatan’ menjadi ngisi yang berarti berarti ‘tahan lama’. Kemudian dalam
‘mengisi’. Ini dilakukan supaya tanah yang akan penggunaannya mengalami proses morfologis,
dibajak tidak keras dan mudah dibajak. Untuk yaitu adanya penambahan morfem {N-} pada kata
melakukan tahapan ngisi banyu, petani biasanya dasar menjadi nglawet. Ini dilakukan kira-kira

Fakultas Sastra Universitas Jember 68


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

empat sampai lima hari setelah mbrojol pertama berarti ‘mbedoli (mbubuti) winih arep di elih /
selesai. Fungsi dari nglawet supaya tanah dan ditandur ing sawah’ (2000). Benih padi yang
rumput yang sudah membusuk karena dibajak atau sudah diambil dari kowen atau tempat persemaian,
dibrojol ditahap pertama bisa terurai lagi dan kemudian dikumpulkan dan dibagi rata lalu
menjadi lumpur. Istilah nglawet yang digunakan diletakkan di setiap petak sawah untuk selanjutnya
petani di Desa Sumberpucung mengalami ditanam. Tahapan ini dilakukan sehari sebelum
perluasan makna, yaitu ‘kegiatan membajak sawah penanaman. Istilah ndhaut yang digunakan petani
yang kedua kalinya pada saat musim tanam padi’. di Desa Sumberpucung tidak mengalami
Istilah nglawet merupakan kata kerja transitif. perubahan makna, yaitu ‘kegiatan mencabut benih
Tahapan keenam yaitu perataan tanah sawah padi dari tempat persemaian’.
dengan alat yang biasa disebut garu [garu]. Tahapan kedua adalah penentuan nas [nas]
Tahapan perataan tanah ini biasa disebut nggaru atau geblake dina [gəblakεdinƆ]. Sebagian petani
[ŋgaru]. Garu merupakan alat yang diletakkan di di desa Sumberpucung masih mempercayai hal-
mesin bajak, sehingga untuk meratakan tanah hal yang berhubungan dengan dunia mistis atau
tersebut menggunakan mesin bajak. Istilah nggaru kepercayaan jawa kuno. Bagi petani yang percaya,
berasal dari kosa kata bahasa Jawa garu yang jika hal tersebut dilanggar, hasil panen mereka
berarti ‘alat perata tanah setelah dibajak’, kelak akan mengalami kegagalan atau hasilnya
kemudian mengalami proses morfologis yaitu akan jelek. Untuk menentukan hari dan tanggal
dengan adanya penambahan morfem {N-} baiknya, biasanya petani di Desa Sumberpucung
menjadi nggaru. Istilah nggaru yang digunakan berpatokan pada hari dan tanggal jawa atau
petani di Desa Sumberpucung tidak mengalami tanggal kematian leluhur mereka. Menurut
perubahan makna, yaitu ‘kegiatan meratakan Purwadi (2006) nas berarti ‘tidak jadi, mati karena
sawah yang sudah dibajak’. Tahapan ketujuh melanggar aturan; naas’. Istilah geblake dina
adalah ndhadhag [nḍaḍa?] menurut kamus Bahasa merupakan frase adjektival terdiri dari kata sifat
Jawa berarti ‘matun’. Ndhadhag berasal dari kosa geblake yang berasal adari kosa kata bahasa Jawa
kata bahasa Jawa dhadhag yang juga berarti geblak yang berarti ‘jatuh tersungkur’ (Purwadi,
‘matun’. Matun dalam kamus Bahasa Jawa berarti 2006). Bagi petani di desa Sumberpucung
‘menyiangi atau cabut rumput’ (Purwadi,2006). penanaman benih dilakukan pada hari dan tanggal
Dalam pengunaannya mengalami perubahan kematian leluhur mereka merupakan pantangan
bentuk karena adanya proses morfologis, yaitu yang harus dihidari. Istilah nas atau geblake dina
adanya penambahan morfem {N-} sehingga yang digunakan petani di Desa Sumberpucung
menjadi ndhadhag. Istilah ndhadhag yang tidak mengalami perubahan makna, yaitu
digunakan petani di Desa Sumberpucung ‘penentuan tanggal dan hari baik untuk melakukan
mengalami perluasan makna, yaitu ‘kegiatan suatu kegiatan’. Penentuan nas atau geblake dina
membersihkan lahan pertanian dengan cara nantinya juga digunakan pada waktu padi akan
menancapkan atau menekan rumput atau batang dipetik.
tumbuhan kecil kedalam tanah supaya rumput atau Tahapan ketiga adalah ngerek [ŋǝrε?].
gulma tersebut tidak mengambang di air dan Tahapan ini dilakukan untuk membuat garis lurus
tenggelam ke dalam tanah. Fungsinya supaya supaya jarak tanaman padi antara satu dengan
kotoran-kotoran tersebut ikut terurai dan menjadi yang lain bisa lurus. Untuk membuat garis
rabuk atau pupuk alami’. tersebut, biasanya petani menggunakan alat yang
Tandur [tandUr] menurut Purwadi (2006) biasa disebut kerek [kɛrɛ?]. Alat ini dibuat dari
berarti ‘tanam’. Ini adalah tahap ketiga dari sebuah papan panjang ± 2 m yang ditarik dengan
rangkaian upacara petik pari. Berikut tahapan dan menggunakan bambu, pipa besi atau batang kayu
istilah-istilah dalam tahap tandur antara lain, dan dibuat bergerigi diujung-ujungnya dengan
ndhaut, nas atau geblake dina, ngerek, dan tandur. jarak ± 20 cm antara gerigi satu dengan yang lain.
Tahapan pertama adalah ndhaut [nḍaUt]. Istilah ngerek mengalami proses morfologi yakni
Menurut petani di Desa Sumberpucung berarti penggantian fonem /k/ pada kata dasar dengan
‘mencabut benih dari kowen atau tempat morfem {N-} menjadi ngerek. Istilah ngerek yang
persemaian’. Dalam Kamus Bahasa Jawa ndhaut digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak

Fakultas Sastra Universitas Jember 69


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

mengalami perubahan makna, yaitu ‘kegiatan ini dilakukan setelah usia padi ±10-15 hari setelah
membuat garis lurus dilahan yang akan ditanami diairi atau di lep. Istilah kokrok yang digunakan
benih padi’. petani di Desa Sumberpucung mengalami
Tahapan keempat adalah tandur [tandUr]. penyempitan makna, yaitu ‘kegiatan
Dalam tahapan ini, air dalam petak sawah harus membersihkan rumput yang mengambang dilahan
dibuang dan diendapkan sehingga terlihat seperti persawahan’. Istilah kokrok merupakan kata kerja
berlumpur. Hal ini dilakukan supaya memudahkan transitif.
petani untuk menancapkan benih padi kedalam Tahapan ketiga adalah ngemes [ŋəmεs]
tanah yang sudah berlumpur, sehingga tidak berasal dari kosa kata bahasa Jawa mes [mɛs] yang
mudah tercabut dari tanah atau roboh. Istilah berarti ‘rabuk’ (KBJ, 2000). Dalam
tandur yang digunakan petani di Desa penggunaannya mengalami proses morfologis,
Sumberpucung tidak mengalami perubahan yaitu adanya penambahan morfem {N-} pada kata
makna, yaitu ‘kegiatan untuk menanam dilahan mes menjadi ngemes. Tahapan ini dilakukan kira-
pertanian’. kira sebanyak dua kali, yaitu pertama pada saat
Tahap keempat adalah ngrumat [ŋrumat]. padi berumur antara 0-14 hari dan kedua pada saat
Ngrumat berasal dari kosa kata bahasa Jawa padi berumur 15-55 hari. Ini dimaksudkan supaya
rumat yang berarti ‘merawat, memelihara’ tanaman padi dapat berkembang dengan baik dan
(Purwadi, 2006). Dalam penggunaannya terbebas dari hama, gulma atau apapun yang bisa
mengalami proses morfologi yaitu mendapat menghambat pertumbuhan padi. Istilah ngemes
morfem {N-} menjadi ngrumat yang berarti yang digunakan petani di Desa Sumberpucung
‘melakukan kegiatan yang disebut kata dasar’. tidak mengalami perubahan makna, yaitu
Istilah ngrumat yang digunakan petani di Desa ‘kegiatan memberi obat untuk menyuburkan
Sumberpucung mengalami perluasan makna, yaitu tanaman’. Istilah ngemes merupakan kata kerja
‘kegiatan merawat atau memelihara lahan transitif.
pertanian’. Berikut tahapan dan istilah-istilah Tahapan keempat adalah matun [matUn].
dalam tahap ngrumat antara lain, lep, kokrok, Menurut Purwadi (2006), matun berarti
ngemes, dan matun. ‘menyiangi’. Istilah matun juga biasa disebut
Tahapan pertama adalah lep. Istilah lep watun [watUn] yang berarti ‘cabut rumput’
berbeda dengan klelep [klǝlǝp] yang artinya (Purwadi, 2006). Petani di Desa Sumberpucung
‘tenggelam’ (KBJ, 2000). Istilah lep menurut lebih sering menggunakan istilah matun daripada
petani di Desa Sumberpucung berarti ‘mengairi watun. Istilah matun dan watun secara harfiah
lahan pertanian’. Tahapan ini dilakukan setelah memiliki arti yang sama, yaitu ‘menyiangi’.
tandur selesai dilakukan. Pada saat padi berumur Tahapan matun dilakukan kira-kira padi berumur
0-30 hari, lahan tersebut harus terus berisi air. sekitar 20-30 hari. Istilah matun yang digunakan
Fungsi dari tahapan lep ini adalah supaya benih petani di Desa Sumberpucung tidak mengalami
padi yang sudah ditanam tidak mengalami perubahan makna, yaitu ‘kegiatan mencabut
kekurangan air atau kekeringan. Istilah lep rumput yang terdapat disela-sela tanaman padi’.
merupakan istilah baru yang diciptakan oleh Istilah matun merupakan kata kerja transitif.
petani Jawa. Karena istilah tersebut tidak terdapat Tahap kelima adalah petik pari [pətI?pari]
dalam Kamus Bahasa Jawa. Istilah lep yang Dalam tahap ini pemilik sawah harus
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak mempersiapkan uborampen [ubƆrampεn].
mengalami perubahan makna, yaitu ‘kegiatan Menurut Purwadi (2006), uborampen berarti
mengairi sawah sebelum ditanami benih’. ‘piranti atau alat-alat’. Piranti atau alat-alat yang
Tahapan yang kedua yaitu kokrok [kƆkrƆ?]. dimaksud yaitu perlengkapan atau segala sesuatu
Menurut petani di desa Sumberpucung, kokrok yang nantinya akan digunakan dalam upacara
berarti membersihkan rumput-rumput kecil atau petik pari [pətI?pari] yang berfungsi untuk
rumput-rumput yang mengambang disekitar padi menyampaikan sesaji kepada roh atau makhluk
yang baru ditanam. Dalam Kamus Bahasa Jawa ghaib. Upacara petik pari biasa dipimpin oleh
kokrok berarti ‘piranti kanggo matun tandur (alat sesepuh atau dukun atau orang yang biasa
untuk menyiangi tanaman)’ (KBJ, 2000). Tahapan melakukan ritual ini yang biasa disebut tukang

Fakultas Sastra Universitas Jember 70


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

metik [tukaŋmətI?]. Istilah uborampen yang buruk seperti yang dilambangkan ayam jago,
digunakan petani di Desa Sumberpucung antara lain sombong, congkak, kalau berbicara
mengalami perluasan makna, yaitu ‘piranti atau selalu mengelak dan merasa tahu atau benar
segala sesuatu yang akan digunakan untuk sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak
melaksanakan upacara atau ritual’. memperhatikan anak istri. Istilah sega ingkung
Sesajian merupakan warisan hindu dan yang digunakan petani di Desa Sumberpucung
budha yang biasa dilakukan untuk memuja para tidak mengalami perubahan makna, yaitu
dewa, roh tertentu atau penenggu tempat tertentu ‘makanan yang berbahan ayam jago utuh yang
(pohon, batu, persimpangan) yang diyakini dapat disajikan bersama dengan sega gurih digunakan
mendatangkan keberuntungan dan menolak untuk acara ritual atau upacara’.
kesialan. Dalam upacara petik pari, sesajian yang Istilah sega gurih [səgƆgUrIh] adalah nasi
disediakan ditujukan kepada Dewi Sri, yaitu Dewi yang dimasak seperti nasi pada umumnya, hanya
padi dan kesuburan. Sebelum melakukan upacara saja ada beberapa bumbu tambahan seperti santan,
tersebut lebih dahulu diadakan slametan atau garam, daun jeruk dan serai, sehingga rasanya
genduren [gəndurεn] yang dihadiri oleh orang- menjadi gurih. Menurut Kamus Bahasa Jawa
orang yang menggarap sawah disekitar sawah (2000) sega gurih berarti ‘sega sing dibumboni
yang akan dipanen. Ini wujud ucapan terima kasih uyah, salam, santen (nasi yang dibumbui garam,
dan puji syukur kepada Tuhan pencipta alam daun salam, santan)’. Disajikannya sega gurih
semesta. sebagai perlambang ketuntasan dan
Dalam slametan petik pari sesajian atau kesempurnaan. Maksudnya adalah ketuntasan
makanan yang disediakan terdiri dari berbagai dalam musim tanam padi dan kesempurnaan
macam makanan, mulai dari sega ingkung, sega tanam padi dirasakan dengan hasil yang melimpah
gunungan atau sega tumpeng, kulupan, peyek, sehingga kerja keras yang dilakukan petani dari
sambel goreng tempe, iwak dan sega golong. awal tanam sampai panen tidak sia-sia. Istilah
Sedangkan sesajian yang disiapkan untuk upacara sega gurih yang digunakan petani di Desa
petik pari yang biasa disebut cok bakal [co?bakal] Sumberpucung tidak mengalami perubahan
yang terdiri dari kluwek, endhok¸ mrica, pala, makna, yaitu ‘nasi dimasak dengan tambahan
kaca, suri, badek, wedi, dhedhek lembut, gedhang bumbu santan, garam, daun jeruk dan serai yang
raja setangkep, janur kuning, menyan, kembang disajikan pada acara slametan, upacara atau
telon, dan minyak wangi. Semua sesajian yang ritual’.
digunakan dalam petik pari memiliki makna yang Istilah sega tumpeng [səgƆtumpəŋ] atau
diharapkan sesuai dengan harapan petani. sega gunungan [səgƆgunuŋan] adalah nasi kuning
Istilah sega ingkung [səgƆIŋkUŋ] adalah atau putih yang dibentuk mengerucut seperti
ayam jago utuh yang sudah diberi bumbu dan gunung dan dikelilingi beberapa lauk pauk dan
dimasak dengan cara direbus dan disajikan disajikan diatas tempeh [tɛmpɛh] yaitu ‘nampan
bersama sega gurih [səgƆgUrIh]. Bagi petani di yang berbentuk bulat dan terbuat dari anyaman
Desa Sumberpucung, ingkung [IŋkUŋ] merupakan bambu’. Ini melambangkan harapan supaya panen
makanan yang harus ada pada saat upacara petik yang akan dilaksanakan hasilnya bisa berlimpah
pari dilaksanakan. Hal itu dikarenakan ayam yang dan banyak hingga menggunung seperti gunung
disajikan melambangkan menyembah kepada yang menjulang tinggi.Sega tumpeng yang
Tuhan Yang Maha Esa dengan khusuk disajikan pada upacara petik pari di Desa
(manekung) [manəkUŋ] dengan hati yang tenang Sumberpucung tidak berbeda dengan sega
(wening) [wənIŋ] dan merupakan pengorbanan tumpeng ditempat lainnya. Hanya saja, ada sedikit
yang dilakukan oleh petani selama musim tanam perbedaan pada pelengkapnya, yaitu dikelilingi
sampai dengan panen, ingkung juga sega golong dipinggirannya dan diberi iwak
melambangkan cinta kasih terhadap sesama juga sebagai pelengkapnya. Istilah sega gunungan atau
melambangkan hasil bumi (hewan darat). Selain sega tumpeng yang digunakan petani di Desa
itu, tujuan disajikannya ingkung pada upacara Sumberpucung tidak mengalami perubahan
petik pari sebagai perlambang atau kiasan bahwa makna, yaitu ‘nasi kuning atau putih yang dibuat
kita sebagai manusia untuk menghindari sifat-sifat mengerucut seperti gunung dan disajikan pada

Fakultas Sastra Universitas Jember 71


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

saat upacara atau ritual tertentu’. Istilah tempeh istilah jangan. Istilah kulupan mengalami proses
yang digunakan petani di Desa Sumberpucung morfologis dalam penggunaannya yaitu dengan
mengalami perluasan makna, yaitu ‘nampan yang adanya sufiks –an pada kata kulup menjadi
terbuat dari bambu yang berbentuk bulat yang juga kulupan yang berarti ‘sayuran yang dikukus’.
biasa dipakai untuk mengayak beras’. Disajikannya kulupan dalam upacara petik pari
Istilah sega golong [səgƆgƆlƆŋ] adalah nasi melambangkan hidup dalam bermasyarakat itu
yang dibungkus menggunakan daun pisan dan harus bisa berbaur dengan siapa saja supaya hidup
dibentuk bulat dan diletakkan mengililingi sega tentram. Selain itu, hidup itu harus mempunyai
tumpeng. Menurut Kamus Bahasa Jawa (2000), arti bagi sesama, lingkungan, agama, bangsa dan
sega golong berarti ‘sega diglindingi (padha bal negara. Hal itu sejalan dengan bahan-bahan yang
kasti) kanggo slametan (nasi dibentuk bulat terdapat dalam kulupan yang berisi berbagai jenis
seperti bola kasti untuk slamatan)’. Makna sega sayuran, apabila dicampur menjadi satu akan
golong adalah menyatukan tujuh hari, tujuh menjadi lebih segar dan masih enak untuk
malam, lima pasaran, tiga puluh hari, dua belas dinikmati.
bulan, empat minggu, tepatnya di hari itu (Minggu Selain itu, bahan-bahan yang terdapat dalam
pon). Sega golong bermakna kemajemukan waktu kulupan juga memiliki makna, terancam
dan hari. Sejak masih dalam rahim sang ibu, [tərancam] yang terdiri dari bayam, kenikir dan
manusia dibayang-bayangi oleh naga kala taoge yang kemudian direbus setelah itu disaring
[nϽgϽkϽlϽ] atau bahaya. Oleh karena itu, dan dicampur menjadi satu dan diberi sambal
manusia memiliki ancaman bahaya pada waktu, parutan kelapa sebagai bumbunya atau biasa
hari, minggu, bulan dan tahun tertentu. Istilah disebut bumbu urap [bumbuurap]. Bayam berarti
sega golong yang digunakan petani di Desa ‘ayem tentrem’ [ayəmtəntrəm] atau ‘hidup
Sumberpucung mengalami penyempitan makna, tentram’, taoge atau cambah [cambah] maknanya
yaitu ‘nasi yang dibungkus menggunakan daun ‘bertambah atau tumbuh’, kenikir [kənikIr] artinya
pisang dan dibentuk bulat yang diletakkan ‘kikir’ maknanya ‘manusia jangan memiliki sifat
dipinggir sega tumpeng’. kikir: jangan kangkung yang berarti jinangkung
Iwak [iwa?] berarti ikan (Purwadi, 2004). (jinaŋkUŋ) yang bermakna ‘melindungi’
Iwak yang dimaksud adalah lauk sebagai maksudnya semoga tanaman yang ditanam petani
pelengkap sesajian yang digunakan untuk mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha
slametan, seperti mi [mi] atau mihun [mihun] Esa sehingga mendapatkan hasil yang baik;
yaitu makanan yang terbuat dari tepung yang jangan kacang panjang maknanya ‘pemikiran
dibentuk memanjang tipis, maksudnya adalah yang jauh ke depan atau inovatif’, maksudnya
harapannya hasil panen padi selalu bagus dan baik sebagai manusia kita harus selalu berpikir ke
setiap tahunnya; endhok [ənḍo?] yang berarti depan supaya hidup menjadi lebih baik dan tidak
‘telur’ (Purwadi, 2004). Telur disajikan secara pelu melihat ke belakang karena masa lalu adalah
utuh beserta kulitnya, sehingga untuk sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pelajaran:
menyantapnya harus dikupas terlebih dahulu. Hal jangan kluwih [kluwIh] adalah tanaman yang
ini melambangkan semua tindakan kita harus buahnya seperti nangka muda dan biasanya
direncakan, kemudian dikerjakan dengan teliti dimasak menjadi sayuran dengan kuah yang
supaya mendapatkan kesempurnaan hasil. Istilah kental. Ini melambangkan hasil padi yang
iwak yang digunakan petani di Desa dihasilkan bisa melipah ruah (luwih); daun papaya
Sumberpucung mengalami perluasan makna, yaitu atau biasa disebut jangan godhong kates
‘lauk pauk yang disajikan sebagai pelengkap, baik [jaŋangƆdhƆngkatεs] artinya ‘mo limo’ [mƆlimƆ]
untuk makanan sehari atau pun untuk slametan’. maknanya ‘suatu perbuatan dosa yang tidak boleh
Istilah kulupan [kulupan] menurut Kamus dilakukan. Mo limo adalah ’mabuk, main judi,
Bahasa Jawa (2000) berarti ‘jejanganan sing madat [madat] (narkoba), madon [madƆn] (suka
digodhog (sayuran yang dikukus)’. Kulupan bermain perempuan), maling (suka mencuri)’.
berasal dari kosa kata bahasa Jawa kulup [kUlUp] Biasanya dalam kulupan dilengkapi peyek [pεyε?]
yang berarti ‘sayuran’. Masyarakat Jawa di Desa yaitu ‘sejenis camilan berbahan kacang atau ikan
Sumberpucung biasa menyebut sayur dengan teri yang digoreng dengan campuran adonan

Fakultas Sastra Universitas Jember 72


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

tepung terigu’. Makna dari penggunaan peyek dan pala [pƆlƆ] melambangkan bahan-bahan atau
kacang atau ikan teri adalah kebersamaan dan bumbu yang digunakan untuk memasak. Bumbu
kerukunan seperti kacang yang tumbuh bergerobol tersebut maksudnya kehidupan manusia dan alam
dalam satu batang dan ikan teri yang hidup di laut sekitarnya harus selaras dan seimbang, perilaku
dengan bergerombol. Istilah kulupan yang manusia terhadap makhluk ghaib harus selalu
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak dijaga supaya terjadi keselarasan hidup antara
mengalami perubahan makna, yaitu ‘sayuran yang dunia nyata dengan dunia ghaib. Sebab, didunia
sudah dikukus’. ini tidak hanya manusia atau makhluk hidup
Istilah cok bakal [cƆ?bakal] adalah sejumlah lainnya, melainkan juga terdapat kehidupan dan
sesajian yang berisi kluwek, endhok¸ mrica, kekuatan yang tidak bisa dilihat dan dirasakan
brambang, kencur, kunir, jae bawang dan pala oleh semua manusia. Istilah bumbu pepek
atau biasa disebut bumbu pepek [bumbupǝpǝ?] merupakan frase adjektival modifikatif yang
yang ditaruh di encek [εncε?] yaitu tempat terdiri dari kata bumbu yang berarti ‘bahan-bahan
berbentuk persegi yang terbuat dari pelepah pohon untuk membuat makanan’ dan kata pepek yang
pisang. Encek tersebut kemudian ditaruh berarti ‘lengkap’. Istilah bumbu pepek yang
diletakkan dipetak sawah pojok atas dan pojok digunakan petani di desa Sumberpucung
bawah. Selain itu juga terdapat wedi, dhedhek mengalami penyempitan makna, yaitu ‘sejumlah
lembut, gedhang raja, kaca, suri, janur kuning, jenis bahan untuk memasak yang disajikan pada
menyan, badek, kembang telon, dan minyak wangi saat upacara petik pari’.
yang merupakan pelengkap cok bakal yang juga Wedhi [wǝḍi] merupakan kosa kata bahasa
ditujukan kepada Dewi Sri dan roh atau makhluk Jawa yang berarti ‘pasir’ (Purwadi,2006). Petani
ghaib yang menunggu sawah. Apabila sesajian di desa Sumberpucung menyediakan wedhi dalam
tersebut kurang, maka upacara petik pari tidak upacara petik pari tidak ada maksud tertentu.
bisa dilaksanakan sehingga harus melengkapi Menurut mereka, wedhi melambangkan kekuatan
kekurangan tersebut. yaitu sebagaimana fungsi dari wedhi sebagai salah
Khusus untuk gedhang raja [gəḍaŋrϽjϽ] satu bahan untuk membuat bangunan. Dalam
disediakan pada saat slametan. Gedhang raja yang penggunaanya, wedhi dicampur dhedhek lembut
disediakan adalah jenis raja sajen. Menurut petani [ḍəḍə?ləmbut] kemudian disebarkan disekeliling
di Desa Sumberpucung, gedhang raja sajen lahan pertanian oleh pemimpin upacara petik pari.
memang pisang khusus yang selalu disediakan Maknanya adalah hasil bumi yang sudah diambil
pada saat upacara petik pari. Gedhang raja atau dirasakan manfaatnya oleh petani, kemudian
melambangkan cita-cita yang luhur, sehingga bisa dikembalikan lagi kepada alam supaya dapat
membangun bangsa dan negara. Istilah gedhang dinikmati dan dirasakan kembali manfaatnya oleh
raja yang digunakan petani di Desa petani di musim tanam selanjutnya. Istilah wedhi
Sumberpucung tidak mengalami perubahan yang digunakan petani di Desa Sumberpucung
makna, yaitu ‘pisang yang memiliki ukuran lebih tidak mengalami perubahan makna, yaitu ‘kerikil-
besar daripada pisang yang lain’. Cok bakal kerikil kecil berwarna abu-abu kehitaman yang
bermakna segala sesuatu yang disediakan pada terdapat dialiran sungai yang berfungsi sebagai
upacara petik pari sesuai dengan yang diinginkan bahan membuat bangunan’.
Dewi Sri dan makhluk ghaib penunggu sawah, Kaca [kƆcƆ], suri [suri], wedhak [wǝḍa?]
sehingga pada waktu panen tidak terjadi hal-hal melambangkan peralatan berdandan atau
yang tidak diingikan dan hasil panennya sesuai menghias diri. Petani percaya bahwa Dewi Sri
harapan petani. Istilah cok bakal yang digunakan juga melakukan kebiasaan sama seperti yang
petani di Desa Sumberpucung mengalami dilakukan oleh manusia di dunia nyata, yaitu
penyempitan makna, yaitu ‘segala sesuatu yang berdandan. Maka untuk itu, petani menyediakan
disediakan untuk upacara petik pari’. peralatan berdandan tersebut dalam upacara petik
Istilah bumbu pepek [bumbupǝpǝ?] yang pari. Ketiga istilah tersebut tidak mengalami
terdiri dari kluwek [?luwǝ?], endhok [ǝnḍƆ?], perubahan makna dalam penggunaannya oleh
mrica [mricƆ], kencur [kəncUr], kunir [kUnIr], petani di Desa Sumberpucung, yaitu ‘alat untuk
jae [jaε], brambang [brambaŋ], bawang[bawaŋ] merias diri’.

Fakultas Sastra Universitas Jember 73


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

Menyan [mǝήan] menurut Purwadi berarti dan Jaka Sedana menjadi butiran padi. Dalam
‘kemenyan’ [kəməήan]. Menurut keyakinan petani pelaksanaan petik pari petani di Desa
dan masyarakat di Desa Sumberpucung, menyan Sumberpucung selalu menyediakan janur kuning
merupakan salah satu bahan untuk mendatangkan yang diletakkan bersama cok bakal dan diletakkan
makhluk halus dan merupakan salah satu makanan di pojok petak sawah atas dan pojok petak sawah
dari makhluk halus atau makhluk ghaib. bawah. Menurut petani di Desa Sumberpucung,
Kemenyan bagi petani dan orang Jawa dari kedua tempat itulah Dewi Sri dan Jaka
melambangkan perilaku transendental dan ibadah Sedana masuk untuk kemudian dipertemukan
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang wajib menjadi suami istri. Istilah janur kuning yang
dipelihara dan dijaga. Hal ini dikarenakan menyan digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak
merupakan salah satu sarana permohonan pada mengalami perubahan makna, yaitu ‘daun kelapa
waktu orang berdoa, menyan yang dibakar akan yang masih muda yang digunakan untuk menandai
menimbulkan asap dan mengeluarkan bau harum adanya pernikahan di suatu rumah’.
(Hadisutrisno, 2009:190). Istilah menyan yang Dhuwit receh [ḍuwItrɛcɛh] berarti ‘uang
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak pecahan’ (Purwadi, 2004). Disajikannya dhuwit
mengalami perubahan makna, yaitu ‘bubuk yang receh dalam upacara petik pari yaitu sebagai
dibakar dan digunakan untuk mendatangkan roh mahar dari pernikahan Dewi Sri dengan Jaka
halus atau makhluk ghaib’. Sedana. Petani di Desa Sumberpucung
Kembang telon [kǝmbaŋtǝlƆn] menurut memperlakukan dewi kesuburan tersebut memang
Kamus Bahasa Jawa (2000) berarti ‘kembang layaknya seorang manusia. Banyaknya uang yang
kenanga, kembang kanthil dan kembang melati digunakan tidak ditentukan, tergantung kondisi
dienggo sajen (dibuat sajen)’. Selain menyan, ekonomi pemilik lahan pertanian atau pemilik
menurut petani dan masyarakat di Desa hajat petik pari. Uang ini bernilai sakral karena
Sumberpucung meyakini bunga merupakan salah hanya ditujukan kepada makhluk halus dan tidak
satu makanan dari makhluk halus atau makhluk diperbolehkan untuk dibawa pulang, baik oleh
ghaib. Pemberian kembang telon tersebut dukun, pemilik sawah atau orang lain. Istilah
bertujuan untuk menentramkan makhluk halus dhuwit receh yang digunakan petani di Desa
supaya tidak mengganggu manusia dan menjaga Sumberpucung tidak mengalami perubahan
sawah petani. Istilah kembang telon yang makna, yaitu ‘uang pecahan yang digunakan
digunakan petani di Desa Sumberpucung sebagai pelengkap atau mahar dalam upacara petik
mengalami penyempitan makna, yaitu ‘bunga pari’.
yang terdiri dari tiga jenis yaitu bunga kenanga, Setelah sesajian sudah lengkap, pemimpin
bunga kanthil dan bunga melati yang digunakan ritual mulai membakar menyan untuk
sebagai bahan upacara atau ritual’. mendatangkan Dewi Sri dan Jaka Sedana juga
Janur kuning [janUrkUnIŋ] pada umumnya makhluk ghaib yang lain. Lalu memberi sesajian
ditemukan pada saat acara pernikahan yang yang sudah dipersiapkan dan dilajutkan memotong
dipasang digerbang atau pintu masuk acara beberapa tangkai padi tergantung jumlah hari yang
pernikahan. Dalam upacara petik pari, petani di sudah ditentukan pada waktu tahapan geblake
Desa Sumberpucung juga menyediakan janur dina sebelumnya. Tangkai-tangkai yang dipotong
kuning sebagai petanda pernikahan antara Dewi inilah yang disebut manten yaitu mempelai pri dan
Sri [dɛwisri] dengan Jaka Sedana [jϽkϽsədϽnϽ]. dan wanita. Setelah dipotong, tukang metik
Menurut petani, Dewi Sri dan Jaka Sedana menggendong layaknya menggendong bayi
merupakan pasangan suami istri. Dari cerita yang lengkap dengan selendang yang biasa digunakan
berkembang di kalangan petani di Desa untuk menggendong bayi dan berjalan di depan
Sumberpucung, Dewi Sri dan Jaka Sedana adalah para undangan yang sudah datang. Kemudian
dua makhluk dari dunia yang berbeda. Dewi Sri dibawa kerumah pemilik sawah dan diletakkan di
adalah putri dari Bathara Guru, raja sekaligus lumbung [lUmbUŋ] yang tersedia dirumah
dewa, yang kemudian jatuh cinta pada manusia pemilik sawah. Lumbung berarti ‘persediaan’
biasa yaitu Jaka Sedana. Bathara Guru yang (Purwadi, 2004).
mengetahui hal tersebut lalu mengutuk Dewi Sri

Fakultas Sastra Universitas Jember 74


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

Selama padi dimanfaatkan oleh pemilik, perubahan makna, yaitu ‘kegiatan merontokkan
tangkai yang sudah dipotong dan dipercaya padi’.
sebagai Dewi Sri dan Jaka Sedana tadi juga harus Tahapan ketiga adalah nyilir [ήIlIr] berasal
diberi sesaji. Sesajinya juga masih sama seperti dari kosa kata bahasa Jawa silir [silIr] yang berarti
yang terdapat di cok bakal hanya diberi tambahan ‘berangin-angin’ (Purwadi, 2004). Dalam
yaitu badhek [baḍε?] yaitu ‘sari minuman yang penggunaannya mengalami proses morfologis,
terbuat dari fermentasi ketan hitam’ dan ditaruh yaitu penggantian morfem {N-} pada kata silir
dibotol minuman. Disediakannya badhek sebagai menjadi nyilir berarti ‘berangin-angin’ (Purwadi,
minuman selama Dewi Sri dan Jaka Sedana 2004). Tahapan ini dilakukan setelah selesai
berada di lumbung. Istilah lumbung yang nggeblok. Hal ini dilakukan supaya mudah
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak membedakan ghabah yang berisi dengan ghabah
mengalami perubahan makna, yaitu ‘tempat untuk yang tidak berisi. Biasanya untuk melakukan
menyimpan hasil panen padi yang terdapat di tahapan ini petani menggunakan tempeh [təmpəh]
sekitar rumah pemilik sawah’. Istilah badhek yang sebagai alatnya. Biasanya petani melakukan
digunakan petani di Desa Sumberpucung tidak tahapan ini diselingi dengan bersiul. Menurut
mengalami perubahan makna, yaitu’sari minuman mereka, bersiul merupakan salah satu cara untuk
yang dari buah atau ketan yang difermentasi dan mendatangkan angin. Apabila tidak ada angin,
bisa memabukkan’. tahapan ini tidak dapat dilakukan. Istilah nyilir
Tahap keenam adalah panen [panɛn]. Ini yang digunakan petani di Desa Sumberpucung
merupakan puncak dari rangkaian upacara petik mengalami perluasan makna, yaitu ‘kegiatan
pari. Menurut Purwadi (2006) berarti 'panen'. membersihkan ghabah dari kotoran-kotoran
Berikut tahapan dan istilah-istilah dalam tahap seperti jerami-jerami kecil yang masih terdapat di
panen antara lain, ngerit, nggeblok, nyilir, padi yang sudah digeblok dengan bantuan angin’.
nampeni, dan ngiteri ghabah. Tahapan keempat adalah nampeni [nampεni]
Tahapan yang pertama adalah ngerit [ŋǝrIt]. berarti ‘menerima’ (Purwadi, 2004). Tahapan ini
Istilah ngerit berasal dari kosa kata bahasa Jawa dilakukan dengan cara ghabah yang sudah
arit [arIt] yang berarti ‘sabit'. Ngerit berarti dibersihkan pada tahapan nyilir diambil
‘memotong atau memanen dengan menggunakan secukupnya dan ditaruh pada tempeh. Kemudian,
sabit’. Dalam penggunaannya mengalami proses tempeh dikibas-kibaskan ke atas dan ke bawah
morfologis, yaitu penambahan morfem {N-} dan sehingga kotoran yang masih tersisa bisa terpisah
perubahan fonem /a/ menjadi /e/ menjadi ngerit dari ghabah. Istilah nampeni yang digunakan
yang berarti ‘potong menggunakan sabit'. Tahapan petani di Desa Sumperpucung mengalami
ini dilakukan satu minggu setelah petik pari penyempitan makna, yaitu ‘kegiatan mengkibas-
selesai. Istilah ngerit yang digunakan petani di kibaskan ghabah dari sisa-sisa kotoran dengan
Desa Sumberpucung mengalami penyempitan menggunakan tempeh’.
makna, yaitu ‘kegiatan memotong padi’. Tahapan yang kelima adalah ngiteri gabah
Tahapan yang kedua adalah nggeblok [ŋitərigabah]. Tahapan ini adalah yang terakhir
[ŋgǝblƆ?] berasal dari kosa kata bahasa Jawa dalam rangkaian upacara petik pari. Ngiteri
geblok yang berarti ‘memukul-mukul’ (Purwadi, ghabah merupakan frase verbal modifikatif yang
2004). Untuk merontokkan padi tersebut petani terdiri dari kata kerja ngiteri yang berarti
biasa menggunakan alat yang disebut andhang. ‘mengelilingi’ (Purwadi, 2004) dan kata benda
Andhang yang digunakan petani di desa ghabah yang berarti ‘padi yang belum dikelupas
Sumberpucung terbuat dari susunan balok kayu kulitnya atau yang belum digiling’. Istilah ngiteri
yang dibuat persegi dengan luas 0,5x0,5 m. ghabah yang digunakan petani di Desa
Tahapan ini dilakukan ditengah-tengah lahan Sumberpucung mengalami penyempitan makna,
sawah yang sudah selesai melakukan tahapan yaitu ‘kegiatan memilah hasil ghabah yang berisi
ngerit. Padi yang sudah terlepas dari batangnya dengan ghabah ghabuk’. Ghabah yang sudah
disebut ghabah. Istilah nggeblok yang digunakan mengalami proses nampeni kemudian diambil
petani di Desa Sumberpucung tidak mengalami secukupnya dan kembali ditaruh di tempeh.
Kemudian untuk memilah ghabah yang berisi

Fakultas Sastra Universitas Jember 75


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

dengan ghabah yang tidak berisi, petani memutar- gulma yang masih tersisa bisa mati’. Proses kedua
mutar tempeh berkali-kali. Hal ini dikarenakan ini dalam pertanian Jawa biasa disebut mopok
ghabah yang berisi tidak akan mengikuti putaran yang berarti ‘kegiatan menambal pematang
tersebut. Sedangkan ghabah yang tidak berisi akan dengan tanah supaya tidak mudah dilubangi oleh
mengikuti putaran dari tempeh tersebut. Dari situ tikus’. Proses ketiga adalah anangghâlâ yang
kemudian ghabah yang sudah dipilah kemudian berarti ‘membajak sawah’. Proses yang ketiga ini
dimasukkan ke dalam karung selanjutnya dibawa oleh petani Jawa biasa disebut mbrojol yang
ke pinggir jalan atau tempat yang bersih dan berarti ‘kegiatan membajak sawah menggunakan
kemudian bisa dibawa ke tempat penggilingan mesin bajak sebelum ditanami’. Proses keempat
beras untuk digiling menjadi beras. adalah malé’ yang berarti ‘membajak ulang lahan
Dalam analisis etnolinguistik ini dijelaskan pertanian yang sudah dibajak’. Proses keempat ini
perbedaan penggunaan istilah-istilah pertanian oleh petani Jawa biasa disebut dengan nglawet
yang digunakan dalam acara ritual oleh yang berarti ‘kegiatan membajak sawah yang
masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung, kedua kalinya pada saat musim tanam padi’.
Kabupaten Malang dengan istilah-istilah pertanian Proses kelima adalah amasa’ yang berarti ‘proses
yang digunakan oleh masyarakat Madura di meratakan lahan untuk ditanam’. Alat yang
Kabupaten Jember. Di dalam prosesnya, untuk digunakan biasa disebut salaghâ. Proses ini oleh
memulai penanaman padi, petani Madura petani Jawa biasa diebut nggaru yang berarti
melakukan tahapan-tahapan yang tidak jauh ‘kegiatan meratakan sawah yang sudah dibajak’.
berbeda dengan yang dilakukan oleh petani Jawa. Sedangkan alat yang digunakan pada proses ini
Tahap pertama yang dilakukan petani Madura disebut garu.
dalam menanam padi adalah tahap persiapan. Pada tahap kedua ditemukan perbedaan
Terdapat satu proses yang biasa disebut ngallé istilah, urutan prosesnya dan nama alat yang
yang berarti ‘membersihkan tanaman yang digunakan. Dalam urutan prosesnya terdapat
ditanam pada musim sebelumnya’. Pada tahap perbedaan yaitu jika petani Jawa melakukan
persiapan atau dalam istilah petani Jawa biasa tahapan mopok setelah mbrojol, namun petani
disebut nyiapne weneh adalah terdapat tiga Madura melakukan memperbaiki atau atabunan
tahapan yang harus dilakukan oleh petani Jawa dilakukan sebelum membajak sawah atau
antara lain kowen, ngekum pari dan ngentas pari, anangghâlâ. Pada proses perataan lahan pertanian
sedangkan pada petani Madura proses yang juga berbeda. Petani Jawa menyebut alat yang
dilakukan pada tahap persiapan hanya ngallé. biasa digunakan untuk meratakan lahan pertanian
Pada tahap kedua dalam petani Jawa adalah disebut garu, sedangkan dalam pertanian Madura
bukak lahan yang berarti ‘kegiatan mencangkul alat untuk meratakan lahan sawah disebut
lahan pertanian menggunakan cangkul’. Dalam salaghâ.
tahapan ini, petani Jawa harus melalui tujuh Tahap ketiga adalah penanaman. Dalam
tahapan antara lain tamping, ngisi banyu, mbrojol, proses pengerjaannya, petani Madura menyebut
mopok, nglawet, nggaru dan ndhadhag. Pada tanam padi dengan istilah manjhâ’ yang berarti
tahap kedua dalam petani Madura adalah tahap menanam bibit padi ke tanah yang sudah rata atau
pengolahan. Dalam tahap pengolahan terdapat masa’. Cara menanamnya juga ada beberapa cara
beberapa proses yang harus dilakukan petani antara lain sistem kénca atau tali dan acak. Sistem
Madura antara lain ngopas, atabunan, kénca berarti ‘menanam bibit padi dengan jarak
anangghâlâ, malé’ dan amasa’. tertentu sesuai kehendak petani, sedangkan sistem
Proses pertama yaitu ngopas yang berarti acak berarti ‘menanam bibit padi tanpa
‘membersihkan rumput yang terdapat di pematang menggunakan alat ukur’. Dalam pertanian Jawa,
sawah’. Proses ini oleh petani Jawa disebut proses tanam dilakukan dengan cara mencabut
tamping yaitu ‘membersihkan galengan atau benih padi atau ndhaut dari kowen atau tempat
pematang sawah dari rumput-rumput liat dengan persemaian padi. Selanjutnya, setelah ditentukan
menggunakan pacul’. Proses kedua adalah nas atau geblake dina, petani membuat garis lurus
atabunan yang berarti ‘memperbaiki pematang dengan jarak kurang lebih 20 cm antara bibit padi
supaya air tidak merembes atau keluar lahan dan yang satu dengan yang lain dengan menggunakan

Fakultas Sastra Universitas Jember 76


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

alat yang biasa disebut kerek yang berarti ‘katrol’. karunia yang telah diberikan kepada petani.
Petani Jawa menyebut tahapan ini dengan istilah Berbeda dengan petani Jawa yang masih
ngerek yaitu ‘kegiatan membuat garis lurus melakukan tradisi petik pari sebelum panen padi
dilahan yang akan ditanami benih padi’. dimulai. Jadi, dalam tahap ini perbedaannya
Dalam tahap ketiga terdapat perbedaan yang terletak pada ritual yang dilaksanakan petani Jawa
dilakukan petani Madura dengan petani Jawa. yaitu ritual petik pari dan tidak adanya ritual
Perbedaan tersebut antara lain cara penanaman khusus yang dilakukan oleh petani Madura dalam
padi dan alat yang digunakan untuk menanam musim tanam padi.
padi. Petani Madura tidak menentukan hari atau Tahap terakhir adalah panen. Pada petani
tanggal baik untuk penanaman padi, sedangkan Madura kegiatan memanen padi dimulai dengan
bagi petani Jawa yang percaya masih melakukan mengambil padi yang sudah menguning lalu
penetapan hari atau tanggal baik untuk melakukan dipotong menggunakan sabit. kegiatan tersebut
tanam maupun panen. Kemudian cara menanam oleh petani Madura biasa disebut dengan istilah
padi, petani Madura menggunakan cara kénca atau agabbha yang berarti ‘memanen padi’. Proses
menggunakan tali untuk membuat tanaman padi selanjutnya yaitu membanting-banting padi ke alat
supaya lurus, sedangkan petani Jawa yang terbuat dari bambu atau kayu yang berbentuk
menggunakan alat yang biasa disebut kerek yang segitiga. Petani Madura biasa menyebut alat
terbuat dari papan yang diberi gerigi diujungnya tersebut dengan istilah paghebbhâân. Setelah itu,
dan diberi jarak kurang lebih 20 cm antara gerigi dilanjutkan ke proses selanjutnya yaitu padi yang
satu dengan yang lain. Petani Jawa menyebut sudah terlepas dari batangnya dimasukkan ke
tahapan ini dengan istilah ngerek. dalam kaddhu’ atau karung.
Dalam pertanian Madura, proses perawatan Secara garis besar, perbedaan istilah yang
dimulai dengan mencabut rumput pengganggu digunakan petani Jawa dengan petani Jawa
supaya tidak mengganggu tanaman atau petani terdapat pada pemakaian istilah-istilah dan juga
Madura biasa menyebutnya dengan istilah arao. prosesnya. Perbedaan tersebut dikarenakan etnis
Dalam prosesnya, terdapat empat cara untuk Madura dan etnis Jawa merupakan etnis yang
melakukan arao. Cara pertama gulma atau rumput berbeda dalam penggunaan bahasa dan tradisi. Hal
liar cukup dicabut dengan tangan saja. Cara yang tersebut berdampak pula pada pemakaian istiah-
kedua dengan menggunakan alat yang disebut ro’- istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-
kerro’. Cara yang ketiga dengan menggunakan hari yang salah satunya perbedaan istilah dalam
petok atau sabit kecil. Kemudian cara yang bidang pertanian.
keempat dengan menggunakan o-rao yaitu alat
yang berbentuk baling-baling yang dilengkapi 4. Kesimpulan
dengan paku. O-rao hanya digunakan untuk Berdasarkan hasil pembahasan, terdapat
tanaman padi yang menggunakan sistem enam tahap dalam pelaksanaan upacara petik pari
penanaman kénca atau tali ukur. Proses yang dilakukan oleh petani di Desa
selanjutnya dalam tahap keempat petani Madura Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung,
adalah abhuthok yang berarti ‘menaburkan pupuk Kabupaten Malang. Tahap pertama nyiapne
pada tanaman supaya tumbuh subur’. Pemberian weneh terdapat istilah kowen, ngekum pari dan
pupuk ini dilakukan pada saat usia padi antara 0- ngentas pari; tahap kedua bukak lahan terdapat
21 hari. istilah tamping, ngisi banyu, mbrojol, mopok,
Tahap kelima dalam pertanian Madura nglawet, nggaru dan ndhadhag; tahap ketiga
adalah panen, sedangkan pada pertanian Jawa tandur terdapat istilah ndhaut, nas atau geblake
sebagian petani Jawa masih melakukan ritual dina, ngerek dan tandur; tahap keempat ngrumat
petik pari. Dalam penelitian ini, peneliti tidak terdapat istilah lep, kokrok, ngemes dan matun;
menemukan istilah Madura dikarenakan dalam tahap kelima petik pari terdapat istilah
pertanian Madura tidak ada ritual atau upacara uborampen,sega ingkung,sega gurih, sega
untuk memulai panen padi. Petani Madura hanya tumpeng atau sega gunungan, sega golong, iwak,
melakukan doa bersama sebagai simbol ucapan kulupan, gedhang raja, bumbu urap dan cok
terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bakal yang berisi bumbu pepek, wedhi, dhedhek

Fakultas Sastra Universitas Jember 77


Volume 1 (1) November 2013 PUBLIKA budaya Halaman 64-78

lembut, kaca, suri, wedhak, janur kuning, Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung:
kembang telon, menyan, dhuwit receh dan badhek; Angkasa.
dan tahap keenam panen terdapat istilah ngerit, Purwadi. 2004. Kamus Jawa – Indonesia
nggeblok, nyilir, nampeni, dan ngiteri ghabah. Populer. Yogyakarta: Media Abadi.
Istilah yang mengalami perluasan makna Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa
antara lain kowen, bukak lahan, tamping, ngisi (Menggali Untaian Kearifan Lokal).
banyu, mopok, nglawet, ndhadhag, ngrumat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
uborampen, tempeh, nyilir, dan iwak. Istilah yang Purwadi. 2006. Kamus Jawa – indonesia;
mengalami penyempitan makna antara lain, Indonesia – Jawa. Yogyakarta: Bina Media.
kokrok, sega golong, cok bakal, bumbu pepek, Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
kembang telon, ngerit, nampeni dan ngiteri Pustaka Pelajar.
ghabah. istilah yang tidak mengalami perubahan Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik
makna antara lain, ngekum pari, ngentas pari, Analisis Bahasa (Pengantar Penelitian
tamping, mbrojol, nggaru, ndhaut, nas atau Wahana Kebudayaan Secara Religius).
geblake dina, ngerek, tandur, lep, ngemes, matun, Yogyakarta: Duta Wacana University press.
slametan, sega ingkung, sega gurih, sega
gunungan atau sega tumpeng, kulupan, gedhang
raja, wedhi, kaca, suri, wedhak, menyan, janur
kuning, dhuwit receh, lumbung, badhek dan
nggeblok.
Perbandingan dengan istilah pertanian yang
digunakan petani Madura di Kabupaten Jember
menghasilkan perbedaan yang secara garis besar
terdapat pada pemakaian istilah-istilahnya. Secara
keseluruhan prosesnya hampir memiliki kesamaan
dengan proses pertanian Jawa. Dari tahap
persiapan hingga panen hampir sama dengan
pertanian Jawa. Hanya dalam pertanian Madura
tidak terdapat adanya ritual petik pari seperti di
pertanian Jawa. Perbedaan tersebut dikarenakan
etnis Madura dan etnis Jawa merupakan etnis yang
berbeda dalam penggunaan bahasa dan tradisi. Hal
tersebut berdampak pula pada pemakaian istiah-
istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari yang salah satunya perbedaan istilah dalam
bidang pertanian.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 1987. Linguistik: Suatu
Pengantar. Bandung: Angkasa.
Aries, Erna Febru. 2010. Design Action
Research. Yogyakarta: Aditya Media
Publising.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami
Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic
Antropology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hadisutrisno, B. 2009. Islam Kejawen.
Yogyakarta: Eule Book.

Fakultas Sastra Universitas Jember 78

Potrebbero piacerti anche