Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
ONTOLOGI
Oleh:
LAILATUL FITRIA
NIM. 16630034
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2019
KATA PENGANTAR
Penyusun ,
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah filsafat berasal dari bahasa Arab “falsafah” yang diarabisasi dari
bahasa Yunani “philosphia” yang terdiri dari “philo” yang artinya cinta atau “philia”
yang artinya persahabatan atau tertarik dan “shopia” yang artinya kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, atau intelegensi. Artinya filsafat adalah sebuah cinta
pada suatu kebijakan atau kebenaran atau keinginan yang mendalam untuk menjadi
bijak. Bijaksana memiiki arti tidak saja pandai dalam bidang intelektual, tetapi
meliputi apasaja yang menggambarkan intelegensia.
Pada awalnya, istilah filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimilki
manusia. Mereka membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu filsafat teoritis dan
filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup ilmu pengetahuan alam (seperti kimia,
fisika, biologi), ilmu eksakta dan matematika, serta ilmu tentang ketuhanan dan
metafisika. Sedangkan filsafat praktis meliputi norma-norma atau akhlak, urusan
rumah tangga, sosial, dan politik.
Secara umum, filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu
secara sistematis, radikal, dan kritis. Maka filsafat merupakan sebuah proses bukan
sebuah produk. Artinya filsafat mengajak untuk berfikir kritis, aktif, sistematis, dan
mengikuti prinsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi
dengan tujuan menentukan apakah informasi tersebut diterima atau ditolak. Dengan
demikian, filsafat akan terus berubah dan berkembang hingga satu titik tertentu.
Filsafat memiliki beberapa permasalahan. Masalah utama yang perlu untuk
dibahas lebih lanju adalah sebuah realitas atau kenyataan. Ontologi merupakan
salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan ilmiah.
Ontologi ilmu membatasi diri pada suatu ruang kajian keilmuan yang dapat
dipikirkan manusia secara rasional dan dapat diamati oleh panca indera manusia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menjelaskan tentang salah satu
cabang filsafat, yaitu ontologi.
1
2
BAB II
PEMBAHASAN
2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti
ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi
atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya.
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terahir
yang ada, yaitu yang satu, yang absolut, bentuk abadi, sempurna, dan
keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung padanya.
4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau
semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.
3. Pluralisme
Paham ini berpendapat bahwa segala bentuk merupakan kenyataan.
Paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh Yunani dalam paham ini adalah
Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang
terdapat di alam ini terbentuk dan terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air,
api, dan udara. Sedangkan tokoh modern paham ini adalah berasal dari New
York yaitu William James yang menyatakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang sendiri-sendiri, lepas
dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala
yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa
berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya (Burhanuddin, 2018: 54).
4. Naturalisme
Paham ini berpendapat bahwa kategori pokok untuk memberikan
keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian. Kejadian dalam ruang dan
waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan
senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Artinya, sesuatu yang terdapat
di luar ruang dan waktu tidak mungkin merupakaan kenyataan. Dan apapun
yang dianggap tidak mungkin untuk ditangani dengan menggunakan metode-
metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan
kenyataan (Burhanuddin, 2018: 55).
5. Materialisme
Paham ini pada zaman dahulu memandang bahwa alam semesta ini
tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan memandang alam
semesta dapat diterangkan berdasarkan hukum-hukum dinamika. Dengan
pendapat tersebut, kelompok yang menganut paham ini mengenal rumus yang
mengejutkan didalam fisika yaitu E= MC2, dimana E kedudukannya dapat
ditukarkan dengan massa M (Kattsoff, 2004: 212).
6. Idealisme
Paham ini merupakan lawan dari paham materialism. Paham ini
berpendapat bahwa hakekat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
8
berasal dari roh atau sukma ataupun yang sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu
jenis daripada penjelmaan rohani. Alesan mereka menganggap bahwa benda
merupakan rohani adalah 1) nilai roh lebih tinggi daripada badan,lebih tinggi
nilainya dari materi bagi kehidupan manusia, sehingga roh dianggap sebagai
hakikat yang sebenarnya, sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan,
atau penjelmaan. 2) manusia dapat memahami dirinya daripada dunia luar
dirinya. 3) materi adalah kumpulan energy yang menempati ruang. Benda
tidak ada, yang ada energi itu saja. Tokoh yang menganut paham ini adalah
Plato. Dia beranggapan bahwa tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya,
yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Kemudian ada Aristoteles yang
beranggapan bahwa alam ide itu sebagai suatu tenaga yang berada dalam
benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu
(Burhanuddin, 2018: 56).
Secara umum, terdapat dua macam kelompok idealisme. Pertama
adalah kelompok spiritualis yang beranggapan bahwa segenap tatanan alam
dapat dikembalikan kepada sekumpulan roh yang beraneka ragam dan
berbeda-beda derajatnya. Mereka menganggap bahwa alam sebagai
keseluruhan yang bertingkat-tingkat dan diri kita masing-masing sebagai
pusat-pusat rohani yang berkesinambungan dengan tingkat-tingkat yang lain.
Kemudian kelompok kedua adalah kelompok idealis (Burhanuddin, 2018: 56).
7. Agnotisisme
Paham ini menyatakan bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim
tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan
Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran
manusia yang terbatas. Artinya mereka menganggap bahwa walaupun
perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada
dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi. Sehingga
dalam paham ini muncul sikap skeptisme. Agnoitisisme tidak sama dengan
ateisme. (Kattsoff, 2004:216). Paham ini hanya mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun rohani.
9
Tokoh-tokoh yang menganut paham ini antara lain adalah Soren Kierkegaar,
Heidegger, Sarter, dan Jaspers (Burhanuddin, 2018: 58).
8. Hylomorphisme
Paham ini dianut pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya yang
berjudul “De Anima”. Para ahli memahami sebagai upaya mencari alternatif
bukan dualism, tetapi menampilkan aspek materialism dari mental
(Burhanuddin, 2018: 58).
9. Nihilisme
Paham ini tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Tokoh ynag
menganut paham ini adalah Gorgias. Ia memberikan tiga proporsi tentang
realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis atau realitas itu sebenarnya
tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, sebab
penginderaan itu tidak dapat dipercaya atau hanya ilusi. Ketiga, sekalipun
realitas dapat diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahu kepada orang lain.
Tokoh lain yang menganut paham ini adalah Friedrich Nietzche dengan teori
monumentalnya dalam dunia kristiani yaitu “Tuhan sudah mati”
(Burhanuddin, 2018: 59).
3. Koheren
Unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung uraian yang
bertentangan. Setiap bagian dari jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan
rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian (konsisten).
4. Rasional
Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar atau logis.
5. Komprehensif
Melihat obyek tidak hanya dari satu sudut pandang, melainkan secara
multidimensional atau holistik.
6. Radikal
Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya.
7. Universal
Muatan keberadaannya sampai tingkat umum yang berlaku dimana saja.
makhluk lain sesudahnya. Tetapi secara substansial, keberadaan atom sebagai zat
kebendaan terkecil itu bukanlah dalam tingkat kesempurnaan (berdiri sendiri),
melainkan berada pada tingkat aksidental, artinya berada dengan cara ditentukan.
Keberadaan zat kebendaan demikian ditentukan oleh penyebab terdahulu,
sekaligus sebagai penyebab pertama dan terakhir, yang disebut ‘causa prima’. Oleh
karena itu, pada tingkat substansi tertinggi, seluruh pluralitas ilmu pengetahuan,
sebagai akibat prulalitas objeknya, berada dalam satu kesatuan di dalam diri causa
prima-nya.
2. Obyek Forma
Objek ontologi adalah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas,
ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk metafisika dan ada sesudah
kematian maupun segala sumber yang ada yaitu tuhan yang maha esa. Objek forma
ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan realitas tampil dalam
kuantitas atau jumlah, akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-
aliran materialisme, idealisme, naturalisme.
Menurut Lorens Bagus, metode dalam ontologi dibagi menjadi tiga tingkatan
abstraksi yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi
fisik mendeskripsikan keseluruhan sifat khas suatu objek, sedangkan abstraksi
bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metafisik mendeskripsikan tentang prinsip umum yang menjadi dasar
dari semua realita. Untuk ontologi ini metode yang sering digunakan adalah
abstraksi metafisik karena dalam ontologi menerangkan teori-teori tentang realitas
(Hamersa, 2012: 25).
Menurut Lorens Bagus, metode pembuktian dibagi menjadi dua yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori (Anwar, 2007: 120). Pembuktian
a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat
dan kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan, sedangkan
pembuktian a posteriori disusun dengan term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan, dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktiannya disusun dengan tata silogistik, dimana
term tengah dihubungkan dengan subjek sehingga term tengah menjadi akibat dari
realitas kesimpulan (Mustansyir dan Munir, 2001: 49).
12
Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang, yang
selanjutnya menenentukan ruang lingkup. Berdasarkan ruang lingkup studi inilah
selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang menjadi prular, berbeda-beda dan
cenderung saling terpisah antara satu dengan yang lain.
Dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya atau filsafat. Ilmu
pengetahuan pada umumnya atau filsafat, ilmu pengetahuan mempersoalkan
kebenaran secara khusus, konkret dan objektif, yang selanjutnya desebut kebenaran
objektif, yang selanjutnya disebut kebenaran objektif. Kebenaran demikian tingkat
kepastiannya lebih kuat, karena didukung oleh fakta-fakta konkret dan empirik
objektif. Dalam hubunganya dengan perilaku, kebernaran objektif memberikan
landasan stabil dan es tabil sehingga suatu perilaku dapat diukur nilai
kebenarannya, dan bisa dipakai sebagai pedoman bagi semua pihak. Sedangkan
objektifitas suatu objek materi, apapun jenisnya, bukan terletak pada keseluruhan
tetapi pada bagian-bagian kecil dari objek itu. Mengingat di dalam diri objek materi
terdapat bagian-bagian yang prular, dan mengingat keterbatasan subjek, maka
dalam kegiatan ilmiah, subjek prular memilah-milah objek studi ke dalam bagian-
bagian, dan kemudian memilih salah satu bagian sebagai lapangan studi. Lapangan
studi inilah yang dimaksud dengan objek forma
Problema alam yang diwarisi filsuf-filsuf Muslim dari filsafat Yunani adalah
bahwa alam itu qadim (azali). Hal ini sebagaimana tegas dinyatakan oleh
Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Plato mengatakan
bahwa alam ini qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya. Sementara itu, Plotinus
menampilkan teori pancaran (pelimpahan) dalam hal kejadian alam, yang
mengandung unsur panteisme (wahdah al-wujud). Semua teori tersebut jelas
bertentangan dengan ajaran Islam, yang dengan tegas menetapkan bahwa Tuhan
adalah pencipta alam dari ketiadaan (Creator ex Nihilo), berlainan sama sekali
dengan alam, Maha Tinggi dari segala sesuatu, dan bebas dalam perbuatan-Nya
menciptakan alam ini. Dalam hal ini, para filsuf Muslim juga berbeda pendapatnya,
meskipun secara umum mereka telah mengambil jalan tengah (pemaduan) antara
ajaran agama dengan filsafat Yunani (Mufid, 2013: 278).
Al-Kindi secara radikal menyatakan bahwa alam ini tidak kekal. Sebab,
menurutnya, semua benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, yang bergerak di
dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang, dan waktu merupakan unsur
dari setiap fisik dan karenanya terbatas, meskipun fisik ini adalah wujud dunia. Oleh
karena terbatas, maka tak kekal, dan hanya Allah jualah yang kekal (Sharif, 1998:
24).
Al-Farabi menafsirkan alam ini berasal dari al-Awwal (Yang Maha Pertama)
melalui proses emanasi (faid). Dari “Yang Pertama” melimpah “Pertama” yang lain
(akal pertama), karena apa yang berasal dari “satu” harus “satu” juga, seperti
keluarnya cahaya dari matahari. Kemudian dari akal pertama (pertama yang lain,
wujud kedua) memancar akal kedua (wujud ketiga), dan begitu seterusnya sampai
muncul akal kesepuluh (wujud kesebelas), dan dari padanya muncullah bumi serta
roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam, yaitu api,
air, udara, dan tanah. Jadi, dari akal kesepuluh (akal fa‘a l) inilah keluar alam (bumi)
yang ditempati manusia serta seisinya dan merupakan jiwa yang mengaturnya.
Walaupun materi itu makhluk, tetapi itu tercipta tanpa mempunyai permulaan
dalam waktu, yakni qadim (Nasution, 1992: 28).
Teori emanasi ini ternyata diterima juga oleh Ibnu Sina, dengan sedikit
perbedaan tentang rincian objek pemikiran bagi akal-akal. Al-Farabi hanya
menyebut dua objek pemikiran bagi akal-akal, yaitu Tuhan dan diri-Nya sendiri.
14
Sementara, Ibnu Sina menyebut tiga objek, yaitu Tuhan, dirinya sendiri sebagai
wajib al-wujud, dan diri-Nya sebagai mumkin al-wujud. Sebenarnya para filsuf
Muslim dengan teori ini ingin menetapkan adanya penciptaan (ibda’ al-khalq)
sebagaimana konsep al-Qur’an, meskipun mereka menggambarkan penciptaan
dengan gambaran spiritual rasional, dan masih sependapat dengan Aristoteles
dengan qadimnya alam (Mufid, 2013: 279).
Adapun Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dari satu segi, alam ini adalah baru,
sebab wujudnya membutuhkan sebab dari luar, yakni Tuhan sebagai Pencipta
Pertama. Akan tetapi, dari sisi lain, alam ini qadim, sebab adanya tidak didahului
oleh adam (tiada) dan tidak pula didahului oleh zaman, sebab wujudnya bukan
terjadi secara Creatio ex Nihilo, tetapi bahan-bahannya telah tersedia (Mufid, 2013:
279).
Tasawuf falsafi Suhrawardi yang dikenal dengan “Filsafat Isyraqiyah”
(Iluminatif) yang secara ontologis ataupun epistemologis lahir sebagai alternatifitas
kelemahan-kelemahan pemikiran sebelumnya, khususnya Paripatetik Aristotelian.
Kelemahan filsafat Paripatetik secaravepistemologis menurut Suhrawardi adalah
bahwa penalaran rasional dan silogisme rasional tidak akan bisa menggapai seluruh
realitas wujud, dan pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan
sesuatu yang diketahuinya. Memang manusia adalah makhluk berpikir dan
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk Tuhan
lainnya. Kapasitas berpikir yang dimilikinya menjadikan manusia menempati
kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan lain. Kemampuan ini pula yang
mendorong manusia menuju ke kondisi yang lebih baik. Manusia diciptakan Tuhan
dengan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, yaitu daya berpikir.
Akan tetapi, ada yang lebih spesifik lagi bagi manusia, yaitu intuisi atau daya
batiniah yang oleh Suhrawardi dipadukan dengan daya berpikir tersebut, sehingga
menghasilkan pemikiran Iluminasi atau Hikmah al-Isyraq (Mufid, 2013: 280).
Inti utama filsafat iluminasi Suhrawardi adalah sifat dan penyebaran cahaya.
Cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tak dapat didefinisikan. Cahaya seperti
entitas yang paling terang di dunia ini, sehingga tidak membutuhkan definisi.
Adapun mengenai gradasi esensi, menurut Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi
hanyalah formulasi abstrak yang diperoleh pikiran dari substansi eksternal.
15
sendiri. Berdasarkan prinsip ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa wujud merupakan
pancaran dari “Wujud Tuhan” seperti cahaya memancarkan warna-warna. Sebagai
pemikir Islam yang elaboris dialektis, Mulla Sadra dalam menerima tesis kaum
eksistensialisme tidak secara keseluruhan persis, demikian pula dalam menolak
gagasan kaum esensialisme juga tidak secara total. Dia melakukan elaborasi dan
harmonisasi antara kedua aliran tersebut dengan meracik secara apik, sehingga
melahirkan wacana baru yang sintesis dan simetris, baik dari segi metodologis
maupun argumentatif. Hanya saja, rumusan pemikiran Mulla Sadra tersebut secara
terminologis condong kepada kaum eksistensialisme sebagaimana terlihat dari
berbagai statemen di atas. Namun, jika dicermati, Mulla Sadra tetap mengakui
bahwa esensi (mahiyah, kuiditas) merupakan realitas penting bagi suatu eksistensi
(Mufid, 2013: 292).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Ontologi merupakan ilmu yang membahas tentang hakekat yang ada, yang
merupakan ultimate reality, baik dalam bentuk jasmani atau kongkret
maupun rohani atau abstrak.
2. Istilah-istilah dalam ontologi: yang ada (being), kenyataan atau realitas
(reality), eksistensi (existence), esensi (essence), substansi (substance),
perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many).
3. Karakteristik ontologi: Ontologi adalah kajian tentang arti “ada” dan “berada”,
Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba
melukiskan hakikat terahir yang ada, ontology adalah cabang filsafat yang
mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu.
4. Terdapat beberapa aliran ontology:
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali; Dimensi Ontologi, dan Aksiologi,
Bandung: Pustaka Setia.
17
18
Mustansyir, R., dan Munir, M. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun. 1992. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Sudibyo, L., Triyanto, B., dan Suswandari, M. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Deepublish.