Sei sulla pagina 1di 14

Kontribusi Masyarakat Dalam Formulasi Kebijakan Pungutan Desa

(Studi Tentang Proses Formulasi Kebijakan di BPD Desa Karangmangu


Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas)1
Oleh: Alizar Isna

ABSTRAK
Proses perumusan kebijakan pungutan desa berlangsung dalam dua tahap
karena masyarakat menolak hasil keputusan tahap pertama. Pada tahap kedua,
masyarakat dilibatkan mulai dari proses perumusan ulang hingga penetapan
kebijakan. Meskipun demikian, peran lembaga eksekutif desa dalam proses
perumusan kebijakan masih lebih besar bila dibandingkan stakeholders yang lain.
Bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat dalam proses reformulasi kebijakan
pungutan desa adalah menyampaikan keberatan atas hasil keputusan perangkat
desa dan BPD, menghadiri musyawarah desa pertama dan kedua, memberikan
usulan dan saran dalam musyawarah desa, serta menyetujui hasil perhitungan
ulang dan Peraturan Desa No. 2 Tahun 2001. Sehubungan dengan kasus tersebut,
lembaga eksekutif dan legislatif desa perlu meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan desa, yang bisa dimulai dari
sosialisasi secara dini permasalahan pemerintahan dan pembangunan desa. Selain
itu, “keberpihakan” BPD kepada lembaga eksekutif desa perlu dikurangi agar
kepercayaan masyarakat tidak berkurang.

Kata kunci: formulasi, kebijakan, kontribusi, masyarakat, pungutan desa.

ABSTRACT
Formulation process of village tax policy went on two phases because the
community pushed away the result of the first decision. On the second phase, the
community was involved from the process of repeat formulation until determining
the policy. Nevertheless, the village executive organization had bigger role in the
process of policy formulation than another stakeholders. The forms of community
involvement in the process of tax village reformulation policy were; conveyed the
decision result of village agency and BPD objections, came to the first and the
second village meeting, gave proposal and suggestion in the village meeting, and
agreed the result of recalculation and Peraturan Desa No. 2 Tahun 2001. In
connection with this cases, the village executive and legislative organization need
to improve the community participation in the process of formulation and
implementation of village policy, that can be started from early socialization of
administration and development village. Besides that, “defense” BPD to the
village executive organization neeeds to be decreased in order to community
belief does not decrease.

Keywords : community, contribution, formulation, policy, tax village

1
Telah dimuat dalam Swara Politika – Jurnal Politik dan Pembangunan, Vol. 2, No. 2, April
2003; Diterbitkan oleh Laboratorium Ilmu Politik, Fisip, Unsoed
2

PENDAHULUAN
Tidak ada yang memungkiri, bahwa Indonesia pada saat ini dalam transisi
deras menuju demokratisasi (Uhlin, dalam Putra 2001). Perubahan politik ke arah
demokratis nampak dari upaya membangun demoktarisasi yang dilaksanakan
hingga tingkatan desa. Hal tersebut terlihat dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, yang memunculkan harapan baru untuk bisa membangun
demokrasi sampai ke desa, sebagai salah satu masalah yang paling urgen dan
strategis (Suhartono, dkk., 2000). Harapan baru tersebut nampak pada pasal-pasal
mengenai Badan Perwakilan Desa (BPD), yang bermaksud menghidupkan
parlemen desa sebagai upaya membangun demokrasi desa. Kebijakan tersebut
menunjukkan indikasi mulai disadarinya kebutuhan akan penguatan politik rakyat,
dan memberi ruang politik melalui penciptaan institusi demokrasi, sehingga
diharapkan akan dapat berkembang proses partisipasi rakyat yang murni dan
progresif, dimana rakyat akan menjadi aktor utama dalam proses pengambilan
kebijakan di tingkat desa.
BPD, sebagai institusi semacam parlemen desa, merupakan mitra sejajar
dari pemerintah desa yang berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat peraturan
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa (pasal 104). Posisi dan
fungsi BPD ini, pada dasarnya memungkinkan keterlibatan rakyat untuk ambil
bagian dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan desa.
Sesuai dengan amanat UU No. 22 Tahun 1999, Pemerintah Kabupaten
Banyumas melaksanakan pembentukan BPD-BPD di desa-desa wilayahnya, yang
diatur dengan Perda Kabupaten Banyumas No. 3 Tahun 2000 Tentang BPD dan
Keputusan Bupati Banyumas No. 45 Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata Cara
Pemilihan Anggota BPD. Selain mengatur pembentukan BPD, Perda No. 3 Tahun
2000 juga mengatur tentang fungsi-fungsi BPD, yakni fungsi legislatif (pasal 7),
sedang pemerintah desa melaksanakan tugas di bidang eksekutif.
Sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Banyumas, Desa Karangmangu
Kecamatan Baturaden juga membentuk BPD. Adapun susunan anggota, usia,
pendidikan, beserta jabatannya, adalah sebagaimana tertera dalam tabel 1 berikut:
3

Tabel 1. Daftar Nama, Usia, dan Pendidikan Anggota BPD Desa


Karangmangu Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas
No. Nama Usia Pendidikan Jabatan
1. Sarno Sunaryo 48 Tahun SLTP Ketua
2. Darsam P 35 Tahun SLTA Anggota
3. Joko Haryanto 42 Tahun Sarjana Muda Anggota
4. Ir. Hengki Sr 45 Tahun Sarjana Anggota
5. Rasam Waryono 58 Tahun SLTA Anggota
6. Awing Raharjo 30 Tahun SLTA Anggota
7. Adam Suwarso 43 Tahun SLTA Anggota
8. Edi Siswanto 55 Tahun SLTA Anggota
9. Toni Wirawan 34 Tahun SLTA Anggota
10. Karso 39 Tahun SLTA Anggota
11. Cucud Waluyo 31 Tahun SLTA Anggota
Sumber : Buku Karakteristik Anggota BPD Karangmangu
Kecamatan Baturraden
Tabel 1 di atas, menggambarkan karakteristik anggota BPD yang hampir
separuhnya merupakan generasi yang relatif muda (kurang dari 40 tahun), serta
berpendidikan SLTA (2 orang di antaranya berpendidikan tinggi). Selain itu, ketua
BPD adalah mantan kepala desa sehingga sangat memahami seluk-beluk
pemerintahan serta dinamika masyarakat Desa Karangmangu. Hal-hal inilah yang
menjadi salah satu modal BPD untuk bisa melaksanakan fungsinya dengan baik,
khususnya fungsi legislasi yang erat hubungannya dengan proses perumusan atau
formulasi kebijakan (publik) di tingkat lokal (desa).
Formulasi kebijakan merupakan langkah yang paling awal dalam proses
kebijakan publik secara keseluruhan, sehingga apa yang terjadi pada fase ini akan
sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat. Oleh karena
itulah, perlu ada kehati-hatian yang lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan
melakukan formulasi kebijakan publik (lihat Putra, 2001).
Hal sebagaimana disebutkan di atas, nampak pada proses formulasi
kebijakan pungutan desa di BPD Desa Karangmangu. Kebijakan pungutan desa
berisi mengenai pungutan yang ditujukan bagi masyarakat yang membuka usaha
di Desa Karangmangu. Namun, karena kebijakan tersebut dinilai sebagai beban
4

baru seandainya dilaksanakan, masyarakat melayangkan surat protes kepada


Pemerintah Kabupaten Banyumas melalui Bagian Pemerintahan Desa.
Guna menyelesaikan permasalahan tersebut, pemerintah kabupaten
menyerahkan sepenuhnya kepada BPD, aparat desa, dan masyarakat. Oleh karena
permasalahan dikembalikan kepada masyarakat, terjadi negosiasi antara
masyarakat dengan para pengambil kebijakan baik di BPD maupun perangkat
desa untuk memformulasikan kembali kebijakan pungutan di Desa Karangmangu.
Fenomena yang terjadi di Desa Karangmangu sangatlah menarik, karena:
pertama: kebijakan BPD Karangmangu yang merupakan institusi demokrasi di
desa, justru digugat oleh masyarakatnya. Fenomena ini menggambarkan bahwa
gugatan terhadap para wakil rakyat terjadi hingga aras akar rumput; kedua:
fenomena Karangmangu menunjukkan sesuatu yang perlu dikaji atas proses
formulasi kebijakan BPD (lihat Putra, 2001), terutama berkaitan dengan proses
dan kontribusi masyarakat. Selain itu, dalam kasus Karangmangu, setidaknya
akan ditemukan 3 sudut pandang : Pertama, para anggota BPD yang merumuskan
kebijakan; kedua, masyarakat yang menolak kebijakan; dan ketiga, : pemerintah
kabupaten, yang mengambil posisi netral dengan mengembalikan permasalahan
kepada BPD dan masyarakat Desa Karangmangu. Tiga pandangan ini setidaknya
menunjukkan kompleksitas pada proses perumusan kebijakan di tingkat lokal
sekalipun, yang telah berbeda dengan era sebelumnya dimana posisi elit desa,
dalam hal ini kepala desa, sangat menentukan ketika perumusan kebijakan
ataupun program pembangunan desa dilaksanakan (lihat Mubyarto, dkk., 1994).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, menarik untuk dikaji bagaimana proses
formulasi kebijakan pungutan desa di BPD Karangmangu serta bagaimana
kontribusi masyarakat dalam proses tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini memfokuskan pada proses dan keterlibatan masyarakat
dalam proses perumusan kebijakan pungutan desa di BPD Karangmangu. Agar
dapat diperoleh gambaran yang mendalam, digunakanlah pendekatan kualitatif
dengan bentuk studi kasus atau embadded case study (Yin, 1987).
5

Lokasi penelitian di Desa Karangmangu. Pengumpulan data dilakukan


dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Pengumpulan data dilakukan secara terbuka, dengan pemilihan informan awal
secara purposive dan informan selanjutnya menggunakan teknik snow-ball.
Analisis data menggunakan model analisis interaktif, seperti yang dikembangkan
oleh Miles dan Huberman (1984). Untuk menetapkan keabsahan data digunakan 4
kriteria, yaitu : derajat kepercayaan, keteralihan, ketergantungan, dan kepastian
(Lincoln & Guba, 1985; Moleong, 1990, dan Nasution, 1988).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Gambaran Ringkas Kondisi Umum Desa Karangmangu
Desa Karangmangu termasuk dalam wilayah Kecamatan Baturraden,
terletak  16 km sebelah utara Kota Purwokerto, mempunyai luas wilayah
 350,8 Ha. Sebagian besar tanahnya (68,44%) adalah berupa areal hutan (lahan
pertanian 35,972 Ha atau 10,25%). Wilayah Desa Karangmangu terbagi atas 2
dusun, 2 Rukun Warga (RW), dan 19 Rukun Tetangga (RT).
Desa Karangmangu memiliki sarana penunjang kegiatan ekonomi desa
sebanyak 135 buah, meliputi toko, kios, dan warung. Selain sarana tersebut, juga
terdapat 74 penginapan, 1 restoran, serta 14 buah wartel dan kiospon. Pekerjaan
di sektor jasa dan karyawan (hotel, penginapan, wartel, toko, dan kios)
“menduduki ranking pertama dan kedua” dalam daftar matapencaharian penduduk
Desa Karangmangu.
Desa Karangmangu telah membentuk BPD, melalui pemilihan pada
tanggal 12 September 2000. Anggota BPD Karangmangu sebanyak 11 orang,
sesuai dengan jumlah penduduk sebesar 2.621 jiwa. Hingga pertengahan 2002 ini,
BPD Karangmangu telah berhasil merumuskan 5 buah perdes. Kelima perdes
tersebut adalah : Perdes No. 1/2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa, Perdes No 2/2001Tentang Pumgutan Desa, Perdes No.
3/2001 Tentang Sumber Pendapatan Desa, Perdes No. 4/2001 Tentang Anggaran
Pendapatan Belanja Desa, dan Perdes No. 4/2001 Tentang Pencalonan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Perangkat Desa. Selain kebijakan yang berupa
6

perdes, BPD Karangmangu juga telah berhasil merumuskan peraturan tata tertib
BPD Karangmangu.
2. Proses Perumusan Kebijakan Pungutan Desa.
Perumusan kebijakan pungutan desa merupakan inisiatif pemerintah desa,
dalam hal ini kepala desa, yang dilatarbelakangi pertama : kecilnya pendapatan
desa yang diperoleh dari tanah kas desa dan bengkok perangkat desa; kedua :
pengalaman kepala desa periode sebelumnya. Berdasarkan kedua hal tersebut,
kepala desa beserta aparatnya merancang usulan pungutan desa sebagai alternatif
sumber pendapatan desa. Pemerintah desa merasa perlu mencari sumber baru
pendapatan desa guna membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan desa.
Pada tanggal 27 Juli 2001 hasil rancangan kebijakan pungutan desa
disampaikan kepada BPD untuk dibahas. Dalam rapat BPD tersebut, kepala desa
menyampaikan hasil rancangan kebijakan pungutan desa seraya meminta
pertimbangan dari BPD. Pada akhirnya BPD bisa menerima dan menyetujui
rancangan kebijakan pungutan desa dari pemerintah desa.
Selanjutnya, melalui surat edaran No. 140/042/Ds.12/2001tertanggal
9 Agustus 2001, pemerintah Desa Karangmangu mensosialisasikan kebijakan
pungutan desa kepada para pengusaha di daerah Lokawisata dan Desa
Karangmangu. Inti dari surat edaran tersebut, menyampaikan macam-macam
pungutan desa hasil rapat BPD pada tanggal 27 Juli 2001 serta menghimbau agar
masyarakat dan para pengusaha bersedia memberikan kontribusinya mulai bulan
September 2001. Adapun besar pungutan ditetapkan, antara lain sebagai berikut :
 Hotel dan rumah makan besar Rp10.000,00 per bulan

 Hotel sedang dan kecil Rp5.000,00 per bulan

 Karaoke dan discotik Rp10.000,00 per bulan

 Panti pijat Rp5.00000, per bulan

 Warung/ Kios Rp2.000,00 per bulan

 Toko material dll Rp3.000,00 per bulan

 Wartel Rp2.000,00 per bulan


7

 Usaha lainnya Rp3.000,00 per bulan

Selain dalam bentuk surat edaran, sosialisasi kebijakan pungutan desa juga
dilakukan melalui pertemuan desa. Pertemuan tersebut dihadiri oleh unsur
pemerintah desa, BPD, dan perwakilan RT.
Kebijakan pungutan desa ternyata tidak disetujui oleh sebagian pengusaha
kecil, yang nampak dalam surat keberatan yang ditandatangani oleh 66 orang dan
ditujukan kepada kepala desa Karangmangu, dengan tembusan kepada bupati,
ketua DPRD, dan Camat Baturraden. Melalui surat tertanggal 20 Agustus 2001
tersebut dapat diketahui alasan-alasan para pengusaha kecil menolak kebijakan
pungutan desa, yakni: jumlah nominal pungutan yang dirasakan terlalu berat,
kurangnya sosialisasi perumusan usulan kebijakan, pemberitahuan pungutan yang
terlalu mendadak, dan para pengusaha telah dikenakan berbagai pungutan, baik
dari aparat kabupaten, kecamatan, maupun desa.
Menanggapi protes tersebut, pemerintah kabupaten menyerahkan
sepenuhnya kepada BPD, aparat desa, dan masyarakat untuk menyelesaikan
permasalahan pungutan desa. Pemerintah kabupaten hanya memberikan rambu-
rambu penyelesaian, yakni mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku.
Meski menyayangkan tindakan para pengusaha kecil, pemerintah desa dan
BPD Karangmangu mengambil langkah penyelesaian dengan mengadakan
musyawarah desa pada 5 September 2001, yang dihadiri oleh: kepala desa dan
perangkatnya, ketua dan anggota BPD, dan perwakilan pengusaha kecil sebanyak
19 orang. Dalam musyawarah desa tersebut, kepala desa menjelaskan kondisi
Desa Karangmangu dalam era otonomi daerah serta maksud dan tujuan pungutan
desa. Pada akhirnya, para pengusaha kecil bisa menerima penjelasan kepala desa
dan akan menerima kebijakan pungutan desa sepanjang besarnya pungutan
diubah. Dalam musyawarah tersebut, para pengusaha kecil juga menyampaikan
usulan perubahan jumlah pungutan yang dikenakan kepada mereka.
Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, aparat desa dan anggota BPD
menghitung ulang besarnya pungutan. Selain kepala desa, aparat yang terlibat
dalam penghitungan ulang adalah kaur kesra (memberikan masukan yang
8

berkaitan dengan nikah talak cerai rujuk) dan kaur pembangunan (memberikan
masukan mengenai pos-pos penerimaan dari bidang yang digelutinya).
Hasil perhitungan ulang tersebut, selanjutnya dimusyawarahkan pada 13
September 2001, yang oleh kepala desa dan perangkatnya, ketua dan anggota
BPD, ketua RT dan RW, perwakilan pengusaha dan pedagang, serta tokoh
masyarakat Desa Karangmangu. Dalam musyawarah desa tersebut, kepala desa
menyampaikan hasil perhitungan ulang pungutan desa. Pada akhirnya, perwakilan
masyarakat, pengusaha, dan pedagang menerima hasil perhitungan pungutan desa.
Hasil musyawarah desa tanggal 13 September 2001 kemudian menjadi
dasar penetapan Peraturan Desa No. 2 Tahun 2001 Tentang Pungutan Desa, yang
ditetapkan pada tanggal 17 September 2001 oleh kepala desa dan disetujui oleh
ketua BPD Karangmangu. Adapun rencana sumber-sumber pendapatan/pungutan
desa hasil penetapan perdes tersebut, adalah:
Tabel 2. Rencana Sumber-sumber Pendapatan atau Pungutan Desa untuk
Dituangkan Dalam Peraturan Desa Tahun 2001 Desa Karangmangu
Perkiraan Perkiraan
Besarnya
Objek pungutan Jumlah Penerimaan Ketarangan
(Rp)
pemohon (Rp)
1 2 3 4 5
Surat-surat keterangan Desa: 945.000
1. Ket. Umum 2.000 240 x 480.000
2. Ket. Pindah 5.000 6x 30.000
3. Ket. Datang 5.000 6x 30.000
4. Ket Nikah 10.000 10 x 100.000
5. Ket. Talak/ cerai 20.000 2x 40.000
6. Ket. Rujuk - - -
7. Pemancal Bumi 15.000 5x 75.000
8. Ket. Lahir 2.000 20 x 40.000
9. Ket. Mati 2.000 5x 10.000
10.Ket. Hajatan 10.000 15 x 90.000 Calon pengantin
dari luar desa
11. Hajatan dengan hiburan 25.000 5x 50.000 10.000x15x66%
25.000x 5x40%
Legalisasi Surat Keterangan 733.500
1. Wesel/ Cek 1% Nilai 75.000 Min Rp.2000,-
Kiriman Max Rp.10.000,-
2. Nasabah Bank 2.500 15 x 37.500
3. Lamaran Kerja 2.500 15 x 37.500
4. Lamaran TKI 15.000 5x 75.000
5. Leg. Daftar Kel 1.500 24 x 36.000
6. Leg. Akte Lahir 2.500 15 x 37.500
7. KTP/Akte Lahir Masal 500 850 x 425.000
8. Pas Hewan Besar 1% Nilai 10.000 Min Rp. 5000,-
9

Jual Max p.10.000,-


Pologoro 1% Nilai 200.000 Max Rp.10.000,-
Jual/Beli Khusus
Peralihan hak
Rapat Mingguan (RM) Peralihan SPPT 10.000 45 x 450.000 Kas desa 10.000
(Dikenakan Rp 20.000/ Bidang) KP PBB 3.000
Kec 3.000
Trans 4.000

1 2 3 4 5
Iuran Masyarakat 7.404.000
1. Iuran dari Pemilik tanah - - -
2. Iuran dari Kepala Keluarga 300 600 2.160.000 300x600x12
3. Iuran Sumbangan PHBN/PHBI - - -
4. Sumbangan dari putra Desa - - -
5. Sumbangan dari pengusaha
a. Hotel Berbintang 15.000 1 Hotel 180.000
b. Hotel Melati III 8.000 3 Hotel 288.000
c. Hotel Melati II 5.000 6 Hotel 360.000
d. Hotel Melati I 3.000 65 Hotel 2.340.000
e. Rumah Makan Taman 8.000 1 RMT 96.000
f. Rumah makan 3.000 5 RM 180.000
g. Panti pijat 3.000 4 PP 144.000
6. Sumbangan dari Pedagang
a. Warung/ Kios 1.500 66 1.188.000
b. Toko Material 1.500 2 36.000
c. Wartel 1.500 14 252.000
d. Tanaman hias 1.500 10 180.000
Sewa Bangunan/ Barang Milik Desa 1.150.000
1. Sewa Kursi Desa 300 500 150.000
2. Sewa Balai Desa
- Perorangan 100.000 1 100.000 Resepsi
- Org non partisan di luar desa 25.000 10 250.000 Rapat DII
3. Sewa Lapangan 25.000 2 50.000
4. Peng. Sewa Kios Pasar - - -
5. Retribusi Bea Pasar Harian 500 10 600.000 10x500x30-
25.000x12x40%
Usaha-Usaha Desa Yang Sah 2.556.000
- Iuran Pelanggan Air Bersih 2.000 330 2.376.000 330x2.000x12x
30%
- Bagian Laba Dari BKD - - -
- Lembaga Ekonomi Desa Giriharja - - -
- Usaha-usaha Ekonomi Desa (UED) - - 180.000
Jumlah Penerimaan 13.438.500
Sumber: Lampiran Peraturan Desa No. 2 Tahun 2001

Pada 17 September 2001 melalui surat No. 140/067/2015/2001 pemerintah


desa mencabut surat edaran tertanggal 9 Agustus 2001 dan menyampaikan Perdes
No. 2 Tahun 2001 kepada para pengusaha di daerah lokawisata Baturraden dan
Desa karangmangu. Selanjutnya, melalui surat No. 140/070/2001 tertanggal 26
10

September 2001, kepala desa menyampaikan laporan mengenai pungutan desa


kepada Bupati Banyumas, dengan tembusan ditujukan kepada kepala bagian
pemerintah desa, camat Baturraden, dan BPD Karangmangu.
Proses perumusan kebijakan pungutan desa di atas, apabila dibandingkan
dengan proses perumusan kebijakan publik secara teoritis, adalah sebagai berikut :

Otonomi
Daerah Otonomi
Desa

Perumusan
Kemandirian Masalah Kebijakan
Kabupaten dan Desa

Penyusunan Agenda
PADesa Pengalaman lalu & Kebijakan
Kecil Kebutuhan Perda No.10/2000
Desa

Rancangan/Usulan Penyusunan
Perumusan Usulan
Kebijakan Usulan
Kebijakan
Kebijakan II
Kades dan Aparat Desa
Musy. Desa I
(Pemdes, BPD,
Masyarakat)

Pengesahan
Rapat BPD Dengan Musy. Desa II Kebijakan
Pemerintah Desa (Pemdes, BPD,
Masyarakat)  Persuasion
 Bargaining
Kebijakan Pungutan  Negotiation
 compromise
Perdes No. 2/2001

Pelaksanaan - Sosialisasi
(Surat Edaran + Rapat)
Implementasi
Pelaksanaan
Keberatan Kebijakan
Masyarakat
11

Berdasarkan gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa proses perumusan


kebijakan pungutan desa (tataran empirik) adalah pada sisi sebelah kiri.
Sementara, untuk sisi sebelah kanan merupakan tahapan perumusan kebijakan
secara teoritis (lihat Islamy, 1997). Gambar di atas juga menjelaskan bahwa
ketika terjadi perumusan dan pengesahan ulang kebijakan pungutan desa akibat
masyarakat (pengusaha kecil) keberatan, menunjukkan adanya pergeseran
masalah kebijakan. Adapun bentuk pergeseran yang dimaksud adalah dari
masalah kebutuhan dana untuk pelaksanaan aktivitas pemerintahan dan
pembangunan desa ke masalah besarnya nilai pungutan. Gambaran proses di atas,
juga menunjukkan betapa dimensi obyektif dan subyektif dari masalah akan
sangat menentukan suatu permasalahan bisa didefinisikan sebagai masalah publik.

3. Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Perumusan Kebijakan Pungutan


Desa
Uraian mengenai proses perumusan kebijakan pungutan desa di Desa
Karangmangu di atas, dapat menggambarkan bagaimana keterlibatan masyarakat
dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Berdasarkan uraian di atas, nampak
bahwa keterlibatan masyarakat adalah dalam bentuk respon terhadap hasil rapat
perangkat desa dan anggota BPD pada tanggal 27 Juli 2001 serta pada proses
perhitungan ulang besarnya pungutan desa. Secara lebih terinci, bentuk-bentuk
keterlibatan masyarakat, adalah sebagai berikut :
3.1. Menyampaikan keberatan atas hasil keptusan rapat perangkat desa dan
anggota BPD tanggal 27 Juli 2001
Sebagaimana telah dijelaskan, sebagian masyarakat yang terkena pungutan
menyampaikan keberatan kepada kepala desa, dengan tembusan kepada
pemerintah kabupaten dan DPRD. Meski keberatan tersebut merupakan gambaran
ketidaksetujuan akan hasil rapat para wakil mereka (anggota BPD), sikap sebagian
masyarakat ini menjadi masukan dan kritik bagi anggota BPD.
Sebagaiman dijelaskan Imawan (2000), pada umumnya tugas pemerintah
adalah melayani kepentingan masyarakat secara optimal melalui kegiatan
pembangunan, pelayanan, dan pemberdayaan. Jadi, pemerintah pada hakekatnya
12

adalah aparat negara yang menjadi abdi masyarakat. Konsekuensinya, berbagai


kegiatan yang dilakukan pemerintah harus sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Dalam hubungannya dengan tugas dalam arti luas, yakni merumuskan kebijakan
publik, maka perumusan kebijakan publiknya pun mesti demokratis, dan hal
tersebut tidak dapat dihindarkan dari masyarakat yang semakin modern. Karena
semakin kompleksnya masyarakat, suatu kebijakan harus dikonsultasikan
bersama, didelegasikan, dan dilembagakan dalam saluran-saluran yang resmi.
Proses awal perumusan kebijakan pungutan desa dilihat dari peraturan
penyusunan peraturan desa juga tidak sesuai. Sebagaimana dijelaskan dalam tata
cara penyusunan peraturan desa (selengkapnya, lihat Perda No. 6/2000), sebelum
rancangan Perdes disusun, untuk menampung aspirasi dan kepentingan
masyarakat, kepala desa harus mengadakan rapat desa dengan tokoh masyarakat
dan pengurus lembaga kemasyarakatan desa.
3.2. Menghadiri musyawarah desa yang membahas kebijakan pungutan desa
Sebagaimana diuraikan pada proses perumusan kebijakan pungutan desa
di atas, pada proses perumusan yang kedua, setidaknya diadakan dua kali
musyawarah desa. Baik pada musyawarah desa pada tanggal 5 September maupun
tanggal 13 September 2001, sebagian masyarakat ataupun para pengusaha kecil
mau menghadiri undangan musyawarah desa. Kehadiran sebagian masyarakat dan
pengusaha kecil tersebut, pada hakekatnya menggambarkan keterlibatan
masyarakat dalam proses perumusan kebijakan pungutan desa (lihat Allport,
dalam Sastropoetra, 1986; Ndraha, 1990).
3.3. Memberikan usulan dan saran dalam musyawarah desa
Berdasarkan uraian proses perumusan kebijakan pungutan desa melalui
musyawarah desa pada tanggal 5 September dan 13 September 2001, dapat dilihat
bahwa masyarakat dan para pengusaha tidak sekedar hadir, melainkan
memberikan usulan sebagai bentuk bergaining, negotiation, dan compromise
dengan aparat desa. Pada akhirnya usulan mereka pun dapat diterima, dan
selanjutnya ditetapkan sebagai bentuk peraturan desa.
3.4. Menyetujui hasil musyawarah desa mengenai perhitungan ulang pungutan
desa dan Perdes No. 2 Tahun 2001
13

Meski terkesan sangat pasif yakni menyetujui hasil musyawarah yang


kemudian diperdeskan, langkah ini pun secara substantif menunjukkan
keterlibatan masyarakat. Allport (dalam Sastropoetra 1986) menjelaskan bahwa
salah satu unsur dari 3 unsur penting partisipasi adalah terdapat kesediaan atau
ikut bertanggung jawab.

G. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan kajian mengenai proses dan keterlibatan masyarakat dalam
perumusan kebijakan pungutan desa di BPD Karangmangu, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran lembaga eksekutif desa dalam proses perumusan kebijakan pungutan
desa di Desa Karangmangu masih lebih besar bila dibandingkan dengan
stakeholders yang lain.
2. Sempat terjadi pergeseran masalah kebijakan dalam proses perumusan
kebijakan pungutan desa, yakni dari kebutuhan desa akan dana untuk
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan desa ke besarnya pungutan.
3. Masyarakat desa bisa dan mau untuk terlibat dalam proses perumusan
kebijakan pungutan desa di Desa Karangmangu.
Adapun saran yang bisa diberikan berdasarkan kajian ini, adalah:
1. Lembaga eksekutif dan legislatif desa perlu meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan desa. Upaya
meningkatkan partisipasi tersebut, bisa dimulai dari sosialisasi secara dini
permasalahan pemerintahan dan pembangunan desa melalui lembaga-lembaga
yang ada di desa.
2. “Keberpihakan” BPD sebagai lembaga legislatif desa kepada lembaga
eksekutif desa perlu dikurangi agar kepercayaan masyarakat tidak berkurang.
Langkah yang bisa ditempuh untuk mengurangi kesan “keberpihakan”
tersebut, antara lain dengan meningkatkan komunikasi antara BPD dengan
masyarakat yang diwakilinya.
14

DAFTAR PUSTAKA

Imawan, Riswandha, 2000,”Formulasi Kebijakan Publik dan Penyerapan Aspirasi


Masyarakat”, Makalah.

Lincoln, Yvonna dan Egon G. Guba, 1984, Naturalistic Inquiry, Sage


Publications, Baverly Hills, London.

Miles, B. Mattew dan A. Michael Huberman (terjemahan), 1994, Analisis Data


kualitatif, UI Press, Jakarta.

Moleong, Lexy J., 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja


Rosdakarya, Bandung.

Mubyarto, dkk., 1994, Keswadayaan Masyarakat Desa Tertinggal, P3PK


Universitas Gadjah Mada dan Aditya Media, Yogyakarta.

Nasution, S., 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.

Ndraha, Taliziduhu, 1990, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan


Masyarakat Tinggal Landas, Rineka Cipta, Jakarta.

Putra, Fadillah, 2001, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.

Sastropoetra, Santosa, 1986, Komunikasi Persuasi dan Disiplin Dalam


Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung.

Suhartono, dkk., 2000, Parlemen Desa Dinamika DPR Kelurahan dan DPRK
Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

Yin, Robert K., 1987, Case Study Research : Design and Methods, Baverly Hills,
Sage Publications.

Dokumen/Arsip

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Badan


Perwakilan Desa (BPD).

Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Peraturan


Desa.

Peraturan Desa Karangmangu Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Pungutan Desa.

Potrebbero piacerti anche