Sei sulla pagina 1di 17

VISI (2007) 15 (3) 273 -288

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT

Pohan Panjaitan

ABSTRACT

Indonesia is the world’s largest archipelagic nation, with more than 17,000 islands and
18,000 kilometers (km) of coastline. The coastal zone is a highly productive ecosystem
that serves as an important base for the country’s economic growth. Further,
Indonesia’s coral reef form the key ecosystem on which the majority of the coastal
inhabitants of the country rely for food, income generation, construction materials, and
coastal protection. They are also of critical significance for science, education,
pharmaceuticals, and global conservation and heritage. Healthy coral reefs can produce
marine products worth USA $ 15,000 per km2 per year, and are an important source of
food and economic opportunities for about 67,500 coastal resident. Other wise more
than 70% coral reed of Indonesia has been destroyed by several ways. Coastal habitats
play an important role in the daily lives of the people in terms of livelihood, economic
output, and food production. Therefore Coral Reef Thabilitation and Management
Program Phase Two (COREMAP II) funded by Asian Bank Development (ADB) with
community-based coral reef management has been implemented since 2004 in Riau
and North Sumatra and as well as West Sumatra Province.
Further, the main problems in management of coral reef in Indonesia are (1) coastal
resident with under poverty line and lack of knowledge and skill; (2) destroyed coastal
biophysics; (3) unsustainable fisheries industries; (4) illegal fihing; (5) lack of
regulations and law enforcement; (6) limited scientific information of marine and
coastal source and (7) trunami. Based on the main problems previously described,
community-based coral reef management has program consists of four components: (1)
community empwerment, (2) community resource management, (3) community social
service and infrastructure development, (4) community livelihood and income
generation. Furthermore, the more detailed program for implementing four components
are: development of national and regional policies, laws and guidelines for sustainable
coral reef use and protection; development of marine action strategy and district spatial
plant; community-based simple research; human resource development thogh trainings
and extensions; community empowerment (community) organizing, training, and
capacity building; participatory planning at local level); identification and
establishment of village and community development facilities and services;
idetification, feasibility studies, development, pilot-testing, and implementation of
livelihood development and income generation, training of community froups in
microenterpise development and management and procurement of early warning and
communication equipment for natural disaster.
_________
Keywords : Community-Based Coral Reef Management, Coastline, Habitats,
Livelihood, Development, Training.

17
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki luas laut lebih besar dari pada
luas daratan. Jumlah pulau di Negara inin sebanyak 17.508 pulau dengan panjang
garis pantai 81.000 km atau 18.4 % dari garis pantai dunia (Wirayawan dkk, 2005).
Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal memiliki
kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumberdaya alam yang
dapat pulih seperti perikanan, hutan mangrove, terumbu karang dan lainnya,
maupun yang tidak dapat pulih seperti tambang. Wilayah pesisir yang merupakan
wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi sumberdaya
alam dan jasa lingkungan yang mengundang daya tarik berbagai pihak untuk
memanfaatkannya.
Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati (ikan, terumbu karang,
mangrove), non hayati (mineral) dan jasa lingkungan. Sumber daya pesisir
mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar,
beraneka ragam dan laut tropis yang terkaya. Sumberdaya pesisir merupakan salah
satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi
pemanfaatan sumberdaya tersebut sampai saat ini kurang memperhatikan
kelestariannya, akibatnya terjadi penurunan fungsi, kualitas serta keanekaragaman
hayati yang ada. Sebagai contoh adalah degradasi ekosistem terumbu karang yang
telah teridentifikasi sejak tahun 1990-an. Dari hasil penelitian P2O-LIPI (2001)
diketahui bahwa terumbu karang Indonesia dalam kondisi sangat baik hanya 6.41
%, kondisi baik 24,3 %, kondisi sedang 29,22 % dan kondisi rusak 40,14 %. Data
ini menunjukkan sebagian besar kondisi terumbu karang di Indonesia dalam
keadaan rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan
perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun sianida, penambangan
karang, pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi. Pelaku kerusakan tidak
hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional, juga oleh nelayan-nelayan
modern dan nelayan asing.
Dalam rangka mengatasi degradasi sumberdaya pesisir termasuk terumbu
karang di Indonesia, diperlukan suatu desain pengelolaan yang komprehensif.
Desain pengelolaan ini diharapkan dapat menyatukan beberapa kebijakan yang ada
sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat.

1.2. Tujuan
Tulisan ini merupakan pengkajian strategi pengelolaan sumberdaya
terumbu karang berbasis masyarakat yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Kajian tersebut akan diuraikan lebih mendetail dan holistik di halaman
berikutnya.

2. ISU DAN PERMASALAH PENGELOLAAN TERUMBU KARANG


Hasil Focused Group Disscussion (FGD) dan survey lapangan
memperlihatkan isu utama dan permasalahan dalam pengelolaan terumbu
karang, antara lain:
18
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

1. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, marginalisasi dan kemiskinan serta


pertumbuhan penduduk yang tinggi di pesisir
2. Degradasi biofisik lingkungan pesisir (mangrove,stok ikan, erosi pantai,
pencemaran, sedimentasi, abrasi pantai dan intrusi air laut)
3. Belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap
4. Belum tercapainya industri ikan atau lestari
5. Kasus pencurian ikan (Illegal Fishing)
6. Sangat terbatasnya sistem informasi sumberdaya pesisir dan laut
7. Kurangnya peraturan dan penegakan hukum
8. Adanya tsunami dan gempa

2.1. Rendahnya Kualitas Sumberdaya Manusia dan Kemiskinan


Masalah sumberdaya manusia menyangkut aspek potensi kependudukan,
pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan. Salah satu tantangan mendasar dalam
pembangunan adalah dalam hal mengatasi masalah kependudukan dan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu dalam setiap
perencanaan pembangunan di kawasan pesisir persoalan sumberdaya manusia perlu
mendapat perhatian.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia tidak hanya terjadi pada
masyarakat wilayah pesisir saja tetapi juga pada sumberdaya manusia instansi
terkait yang sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan yang rendah, baik
pendidikan formal maupun non formal.
Penyebab utama rendahnya kualitas sumberdaya manusia antara lain karena:
(1) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat; (2) terbatasnya sarana dan prasarana
pendidikan serta tenaga pendidik; (3) rendahnya tingkat pendapatan masyarakat,
sehingga sebagian besar masyarakat tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan
ke tingkat yang lebih tinggi; (4) rendahnya tingkat kesehatan lingkungan
pemukiman masyarakat; (5) minimnya sarana dan prasarana kesehatan serta
kurangnya tenaga medis
Konsekuensi rendahnya kualitas sumberdaya manusia antara lain: (a)
sumberdaya alam wilayah pesisir belum dapat dimanfaatkan secara optimal; (b)
pola pemanfaatan sumberdaya alam tidak memperhatikan aspek-aspek kelestarian
lingkungan; (c) penguasaan teknologi pemanfaatan sumberdaya pesisir masih
rendah, (d) partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir masih
rendah; (e) sanitasi lingkungan pemukiman wilayah pesisir masih buruk.
Permasalahan lain dari sumberdaya manusia adalah sebagian besar
masyarakat pesisir asih dililit kemiskinan. Hasil Focused Group Discussion (FGD)
terhadap stakeholder di beberapa daerah memaparkan bahwa berbagai fenomena
kerusakan terumbu karang bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga
seringkali diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena keterpaksaan (ketiadaan
alternatif mata pencaharian) harus mengekplotasi sumberdaya pesisir dengan cara-
cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun
untuk menangkap ikan. Lebih anjut hasil FGD menyatakan bahwa salah satu
penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir adalah karena tidak adanya konsep
19
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

dan program pengembangan masyarakat pesisir sebagai subyek dan obyek dari
pembangunan khususnya pembangunan masyarakat pesisir.

2.2. Degradasi Biofisik Lingkungan Pesisir


a. Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi beragam jenis ikan, kepiting,
udang, kerang, reptil dan mamalia. Detritus dari mangrove merupakan dasar
pembentukan rantai makanan bagi banyak organisme pesisir dan laut. Penurunan
luas hutan mangrove dari tahun ke tahun dan dampaknya sudah mulai dirasakan.
Penyebab utama hilangnya mangrove adalah antara lain:(a) konversi lahan
mangrove untuk tambak udang; (b) pengelolaan pertambakan tidak berwawasan
lingkungan; (c) tidak ada kebijakan yang jelas mengenai penguasaan dan
pemanfaatan lahan pesisir di desa; (d) kurangnya kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya pelestarian mangrove dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitar
hutan mangrove masih rendah. Selanjutnya penebangan hutan mangrove secara
besar-besaran mempunyai dampak terhadap (1) penurunan luas vegetasi
mangrove; (2) penurunan kualitas air terutama meningkatnya sedimentasi yang
berakibat negative terhadap kehidupan terumbu karang; (3) penurunan hasil
tangkapan, terutama kepiting, kerang dan udang

b. Penurunan Stok Ikan


Ada kecnderungan stok ikan di pantai Nias menurun, khususnya komunitas
ikan karang disebabkan oleh adanya penggunaan bom ikan (blast fishing) dan
bahan beracun (cyanide fishing) dalam kegiatan penangkapan ikan di sekitar
karang. Penggunaan bom ikan dan bahan beracun ini menyebabkan
terdegradasinya ekosistem karang yang sangat potensial sebagi spawning , nursery
area dan feeding area.
Selanjutnya, dengan kondisi armada penangkapan yang didominasi oleh
usaha skala kecil (perikann rakyat) dengan permodalan yang terbatas, maka
konsentrasi daerah penangkpan sangat terbatas di wilayah pantai. Akibatnya,
intensitas penangkapan di sekitar pantai cukup tinggi untuk memanfaatkan potensi
yang relative terbatas, yang selanjutnya mengakibatkan over fishing.

c. Pencemaran
Pencemaran air merupakan salah satu masalah serius yang bisa mengganggu
kesehatan manusia, lingkungan bahkan bisa mempengaruhi kegiatan ekonomi.
Bahan pencemaran atau polutan di perairan pantai berasal dari kegiatan rumah
tangga, daerah aliran sungai, pertanian, dan lain-lain.
Penyebab utama pencemaran wilayah pesisir adalah: (1) masih rendahnya
kepedulian industri sepanjang DAS dan pesisir terhadap sistem pengolahan limbah
cair yang masuk ke perairan umum ; (2) kurang ketatnya pengawasan limbah oleh
instansi terkait ; (3) belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industri yang
melanggar isi dokumen Amdal dan peraturan perundangan yang berlaku (PP 27/99
tentang Amdal dan UU 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup) ; (4)
20
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

rendahnya kepedulian masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sampah dan


kebersihan lingkungan sekitarnya serta pola bangunan yang membelakangi pantai;
(5) rendahnya pengetahuan masyarakat pantai tentang pengetahuan lingkungan.
Pencemaran perairan pantai dapat mengakibatkan (a) rendahnya daya
dukung lingkungan dan kualitas perairan pesisir ; (b) menimbulkan bau yang tidak
menyenangkan untuk daerah kunjungan wisata ; (c) meningkatnya wabah penyakit
menular terhadap kehidupan masyarakat pesisir ; (d) menurunnya tingkat
keberhasilan budidaya perikanan (tambak dan mariculture) dan kegiatan ekonomi
lainnya (pariwisata).

d. Sedimentasi , Abrasi Pantai dan Intrusi Air Laut


Penyebab utama meningkatnya sedimentasi di perairan pantai antara lain: (1)
penebangan hutan di daerah aliran sungai; (2) penambangan pasir di sepanjang
aliran sungai; (3) curah hujan yang tinggi. Selanjutnya sedimentasi dapat
mengakibatkan pendangkalan muara sungai dan alur pelayaran; kekeruhan air di
muara sungai dan laut serta rusaknya terumbu karang
Proses terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut sangat kompleks karena
tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat alami tetapi terkait juga dengan
beberapa kegiatan manusia. Intrusi air laut ke areal persawahan akibat konversi
sawah jadi tambak udang dibeberapa lokasi. Namun permasalahan ancaman abrasi
pantai dengan intrusi air laut dapat dipahami dan dicegah atau dikurangi dengan
tindakan relatif sederhana. Penyebab utama intrusi air laut adalah : (1) penebangan
mangrove untuk pemukiman; (2) masuknya air laut ke sawah; (3) eksploitasi air
tanah yang berlebihan. Sedangkan Akibat yang ditimbulkannya adalah degradasi
kualitas air tanah dan korosi konstruksi bangunan pipa logam di bawah tanah.

2.3. Belum Optimalnya Pengelolaan Perikanan Tangkap


Walaupun teknologi di bidang penangkapan telah berkembang namun
pemanfaatannya masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perikanan.
Sedangkan perikanan rakyat skala kecil belum dapat memanfaatkan teknologi maju
tersebut oleh karena adanya berbagai kendala antara lain (1) terbatasnya/lemahnya
permodalan yang dimiliki oleh nelayan (2) taraf pendidikan nelayan kecil
umumnya masih rendah sehingga belum menguasai teknologi maju.
Penyebab utama isu perikanan tangkap antara lain, (1) rendahnya kegiatan
pembinaan dan sarana pengawasan; (2) tidak terkontrolnya peningkatan jumlah dan
jenis alat tangkap,; (3) tidak dipatuhinya jalur-jalur penangkapan ikan yang telah
ditetapkan; (4) program pembangunan sarana/prasarana perikanan kurang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat nelayan; (5) perikanan rakyat skala kecil belum
dapat memanfaatkan teknologi maju. Hal ini dapat mengakibatkan (a) aktivitas
penangkapan secara ilegal seperti penggunaan jaring trawl, bahan peledak, potas;
(b) konflik antara nelayan dengan nelayan lain yang menyalahi jalur penangkapan,
(c) belum optimalnya pengelolaan perikanan tangkap sehingga produktivitasnya
rendah..

21
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

2.4. Belum Tercapainya Industri Budidaya Ikan Lestari


Industri budidaya ikan di perairan Nias belum berkembang karena
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : (1) masyarakat masih memiliki
keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya ikan, (2) belum
adanya fasilitas budidaya antara lain pembenihan ikan, penyediaan pakan buatan,
(3) belum berkembangnya infrastruktur dan pemasaran hasil.

2.5. Pencurian Ikan (Illegal Fishing))


Potensi perikanan tangkap di kawasan wilayah pantai Nias sangat besar
seperti ikan pelagis (tuna) serta demersel cukup besar karena daerah tersebut
merupakan jalur ikan tuna di Samudra Hindia. Namun permasalahannya adalah
kasus pencurian ikan di setiap propinsi pantai Barat Sumatra oleh nelayan luar
propinsi atau kapal negara asing masih sering terjadi, yaitu akibat (1) masih
lemahnya sistem Monitoring Controling and Surveillance (MCS) dan penegakan
hokum; (2) terbatasnya kemampuan nelayan tradisional dengan kapal yang sangat
sederhana untuk mengontrol dan mengawasi pencurian ikan dengan kapal yang
lebih modern; (3) belum berkembangnya organisasi nelayan seperti Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) maupun organisasi nelayan lokal; (4) belum
effektifnya kewenangan pengawasan sumberdaya kelautan yang dilakukan oleh
TNI-AL berkordinasi dengan Dinas Perikanan.

2.6. Sangat Terbatasnya Sistem Informasi Sumberdaya Pesisir dan Laut


Fasilitas sistem informasi sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia sangat
kurang sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah pantai dan laut
tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh, gagalnya industri tambak
udang di daerah pesisir akibat kurangnya data base tentang potensi sumberdaya
alam, system dan teknologi pengolahan tambak di suatu daerah. Dengan demikian
keterpurukan usaha budidaya udang di Indonesia sudah dapat dipastikan akibat
kurangnya database dari hasil penelitian tentang system dan teknologi budidaya
udang. Umumnya teknologi budidaya udang “diimport” dari negara asing tanpa
ada suatu penelitian adaptasi terhadap lingkungan Indonesia dan pemilik atau
perusahaan tambak udang kurang peduli terhadap kegiatan penelitian. Sehingga
ada kecenderungan pengusaha tidak memikirkan bagaimana mempertahankan
produksi dalam jangka panjang melainkan hanya memikirkan masa kini.
Contoh lainnya adalah belum terdatanya hasil sumberdaya ikan yang
ditangkap secara baik, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti apakah
sumberdaya ikan yang terdapat di perairan sudah melampui potensi yang tersedia
atau masih dalam batas-batas potensi lestari. Hal itu terjadi karena banyaknya
tangkahan-tangkahan yang sulit dikontrol oleh dinas terkait sehingga jumlah dan
jenis ikan yang didaratkan tidak diketahui. Selain itu juga karena banyaknya
nelayan-nelayan yang melakukan transaksi jual beli ikan di laut sehingga sulit
sekali dilakukan pengkontrolan.

22
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

2.7. Kurangnya Peraturan dan Penegakan Hukum


Rendahnya peraturan dan penegakan hukum tidak terlepas dari rendahnya
kualitas SDM baik dikalangan masyarakat maupun aparat hukum yang berada di
wilayah pesisir. Lemahnya peraturan dan penegakan hukum tercermin dari sikap
dan pengetahua masyarakat tentang hukum yang masih rendah, khususnya yang
berhubungan dengan UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup serta UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Demikian juga
halnya dengan penaatan terhadap peraturan tentang jalur-jalur penangkapan ikan
yang tertuang dalam Kepmentan No. 392/kpts/IK 120/4/99.
Beberapa masalah yang sering timbul berkaitan dengan rendahnya ketaatan
dan penegakan hukum, antara lain banyaknya nelayan yang menangkap ikan
dengan alat yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau
racun, serta perambahan hutan mangrove secara ilegal di daerah jalur hijau (green
belt).
Disamping itu pelanggaran terhadap jalur-jalur penangkapan oleh kapal-
kapal perikanan berukuran besar sering memicu terjadinya konflik antara nelayan
tradisional dengan nelayan modern. Penyebab utama rendahnya penaatan dan
penegakan hukum antara lain:
(1) rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan peraturan; (2)
terbatasnya sarana dan prasarana petugas penegak hukum; (3) masih lemahnya
pelaksanaan sosialisasi produk hukum ; (4) belum transparannya proses pembuatan
produk hukum (tanpa konsultasi publik); (5) belum terpadunya pengelolaan
sumberdaya pesisir antar sektor. Dan tentu hal ini dapat mengakibatkan (a)
meningkatnya kegiatan Illegal Fishing; (b) terjadinya konflik pemanfaatan
sumberdaya alam wilayah pesisir; (c) berkurangnya hutan mangrove; (d) terjadinya
pencemaran air laut; (e) konflik kewenangan antar instansi; (f) menurunnya
keamanan di wilayah pesisir dan laut

3. PENGELOLAAN TERUMBU KARANG BERBASIS MASYARAKAT

3.1. Prinsip Pengelolaan Berbasis Masyarakat


Partisipasi secara aktif masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya
terumbu karang sangat diperlukan pada saat ini. Dengan demikian masyarakat
lokal dapat lebih aktif ikut berperan dalam menangani permasalahan-permasalahan
yang ada di lingkungan mereka. Dalam keadaan pemerintah sangat terbatas
kemampuannya untuk membangun, maka kesadaran masyarakat untuk
mengembangkan lingkungan sekitarnya akan sangat meringankan beban
pemerintah.
Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat harus
berorentasi terhadap beberapa hal antara lain:
Kebutuhan (need oriented), yaitu model pengembangan masyarakat pesisir
hendaknya didasarkan pada kebutuhan kelompok masyarakat pesisir. Prakarsa
lokal (local inisiatives) baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, yakni

23
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

keterampilan serta budaya. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan
dan meningkatkan kualitas keterampilan maupun budidaya kelompok masyarakat
pesisir. Berorentasi pasar (market oriented), artinya model pembangunan
masyarakat pesisir berbasis masyarakat yang diterapkan harus berorentasi pasar,
baik domestik maupun ekspor dengan cara membangun jaringan ekonomi
masyarakat lokal yang berorientasi global yang didukung oleh kemampuan
teknologi komunikasi dan informasi.
Prinsip utama pengelolaan berbasis masyakat adalah, masyarakat harus
dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan mulai dari penyusunan rencana,
pelaksanaan, pemantauan pelaksanaan, hingga evaluasi terhadap hasil-hasil yang
dicapai. Dengan demikian pola pendekatan yang dilakukan adalah dari bawah ke
atas (bottom up) yang dipadukan dengan dari atas ke bawah (top down), hal ini
belajar dari pengalaman kegagalan pembangunan pada masa lalu yang cenderung
menggunakan top down saja, dan sejalan dengan paradigma baru pembangunan
sekarang prinsip aspiratif dan partisipatif masyarakat lebih ditonjolkan. Program
ini akan lebih terjamin keberlanjutannya karena masyarakat pesisir sebagai
kelompok yang paling mengetahui kondisi wilayah pesisir dan lautan sekitarnya
menjadi diberdayakan dan didudukkan sebagai subyek dalam proses kegiatan
program sehingga mereka memiliki dan bertanggung jawab akan program-program
yang dilakukan.
Pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat secara garis
besar terdiri dari tiga bagian yaitu: (i) perencanaan; (ii) pengelolaan; (iii)
pengawasan dan pengendalian yang dipaparkan secara mendetail di bawah ini.

3.2. Tahapan Pengelolaan Berbasis Masyarakat


a. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat
Perencanaan diatur melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
(Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan
yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling
penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan
pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya terumbu karang
secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan
dari berbagai tingkat pemerintahan; antara ekosistem darat dan laut serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan pengelolaan sumberdaya terumbu
karang dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan
ekonomi dengan pelestarian sumberdaya pesisir dengan memperhatikan
karateristik dan keunikan wilayah pesisirnya.
Perencanaan terpadu ini merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram
untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir secara optimal agar dapat menghasilkan
keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat.
Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak
pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian
sumberdayanya. Misalnya perencanaan wilayah pesisir yang diatur dibagi ke
24
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

dalam empat tahapan: (i) Rencana Strategis; (ii) Rencana Zonasi; (iii) Rencana
Pengelolaan; dan (iv) Rencana Aksi/ Tahunan, harus melibatkan semua stakeholder
yang termasuk mayarakat lokal, tokoh agama dan adat daerah pesisir dan laut

b. Implementasi Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat


Pengelolaan terumbu karang dilaksanakan secara terpadu dengan
mengakomodasikan berbagai kepentingan menjadi suatu sistem yang serasi dan
saling menguntungkan, sehingga kegiatan masing-masing sektor dapat saling
mengisi dan mendukung, serta saling melengkapi dengan kegiatan pembangunan
daerah dan masyarakat pesisir.
Pengelolaan terumbu karang dilakukan secara terencana dengan
memperhatikan karakteristik wilayah pesisir, keunikan, geomorphologi pantai dan
kondisi ekosistem pesisir serta ukuran pulau. Dengan demikian, pengelolaan
terumbu karang di suatu wilayah akan bervariasi sesuai dengan perbedaan
karakteristik dan keunikan wilayah pesisir tersebut.
Sumberdaya pesisir yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan
ekonomi dan padat populasi penduduknya. Namun, sebagian besar penduduknya
relatif miskin, dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap sumberdaya
pesisir yang menjadi sumber penghidupannya. Bila hal ini diabaikan akan
berimplikasi meningkatnya kerusakan ekosistem pesisir terutama terumbu karang.
Selain itu masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembagunan
ekonomi di wilayah pesisir seringkali memarjinalkan penduduk setempat. Oleh
sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat pesisir dan laut.

c. Pengawasan dan Pengendalian Berbasis Masyarakat


Terumbu karang yang ada di perairan pantai Nias banyak mendapat tekanan
akibat aktivitas masyarakat. Kerusakan terumbu karang di perairan pantai Barat
Sumatra misalnya Nias juga diakibatkan oleh penggunaan bom dan racun ikan,
pengoperasian alat tangkap trawl. Selanjutnya, kasus pencurian ikan di pantai
Barat Sumatra Utara oleh nelayan luar propinsi atau kapal negara asing masih
sering terjadi. Pemaparan tentang kerusakan lingkungan dan pencurian ikan di
wilayah Kabupaten Nias terjadi akibat masih lemahnya sistem Monitoring
Controliing dan Surveilance (MCS) berbasis masyarakat. Masalah tersebut hanya
effektif dapat diatasi dengan cara pengawasan dan pengendalian berbasis
masyarakat , yaitu melalui:
Pemantauan dan pengawasan dilakukan untuk mengetahui kenyataan apakah
terdapat penyimpangan pelaksanaan dari rencana strategis, rencana mintakat,
rencana pengelolaan, serta bagaimana implikasi penyimpangan tersebut terhadap
perubahan kualitas ekosistem pesisir.
Pengendalian dilakukan untuk mendorong agar pemanfaatan sumberdaya di
wilayah pesisir yang sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya.
Penegakan hukum dilaksanakan untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran
baik berupa sanksi administrasi misalnya pembatalan izin atau pencabutan hak;

25
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

sanksi perdata misalnya pengenaan denda atau ganti rugi; dan sanksi pidana baik
penahanan maupun kurungan.
Selanjutnya pengelolaan sumberdaya terumbu karang berbasis masyarakat
yang bertanggung jawab dapat tercapai melalui implementasi serangkaian strategis
seperti dipaparkan secara mendetail di bawah ini.

1. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia


Agar pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang bertanggung jawab dapat
dicapai maka kualitas sumberdaya manusia baik sebagai pengelola langsung
maupun sebagai penentu kebijakan sudah sangat penting untuk ditingkatkan
melalui (1) peningkatan program pelatihan dan keterampilan secara rutin kepada
masyarakat dan staf instansi dalam hal pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang
berkelanjutan misalnya system dan teknologi penangkapan dan budidaya ikan; (2)
peningkatan sarana dan prasarana pendidikan termasuk tenaga guru; (3)
peningkatan sarana dan prasarana kesehatan; (4) peningkatan taraf hidup atau
pendapatan masyarakat melalui penciptaan matapencaharian alternative.

2. Pemulihan Biofisik Lingkungan Pesisir yang Terdegradasi


Pengelolaan perikanan pesisir yang lestari dan bertanggung jawab tercipta
jika biofisik lingkungan pesisir yang telah rusak sangat penting untuk dipulihkan
atau direhabilitasi yaitu melalui sejumlah aktivitas antara lain:
o Rehabilitasi mangrove
o Mengembangkan pola pemanfaatan hutan mangrove berwawasan lingkungan
o Rehabilitasi terumbu karang
o Membuat pedoman rehabilitasi dan pengelolaan hutan mangrove dan
terumbu karang
o Melakukan pelatihan pengelolaan dan rehabilitasi hutan mangrove dan
terumbu karang
o Membuat Perda dan mensosialisasikan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove dan terumbu karang.
o Mengembangkan program penanggulangan erosi pantai secara terpadu
o Sosialisasi dan standarisasi konstruksi bangunan pengaman pantai
o Penanggulangan limbah domestic (sampah) dan pelabuhan
o Penanggulangan abrasi pantai
o Pengembangan mata pencaharian alternative bagi nelayan yang melakukan
perusakan terhadap sumberdaya alam (terumbu karang dan mangrove.

3. Pengembangan Industri Perikanan Tangkap yang Lestari


Pola pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan selama
ini khususnya pemanfaatan pantai atau laut cenderung dilakukan dengan
menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan, misalnya penggunaan
trawl, potassium dan pengeboman untuk menangkap ikan di laut. Dengan demikian

26
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

industri perikanan tangkap lestari atau berkelanjutan dapat dicapai melalui


serangkaian program, yaitu:
o Melakukan identifikasi berbagai jenis alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan dan merusak sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan
o Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap penggunaan
berbagai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
o Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk industri perikanan tangkap
o Melakukan inventarisasi potensi pantai dan perairan untuk kegiatan
budidaya.
o Mengadakan pelatihan secara rutin kepada masyarakat nelayan konsep-
konsep industri perikanan tangkap yang berkelanjutan..
o Mengembangkan dan memperkenalkan system pengolahan yang lebih
higienis dan menghindari bahan pengawet
o Pelatihan tenaga pengawas mutu hasil perikanan
o Mengembangkan upaya-upaya perlindungan hak-hak buruh nelayan dan
nelayan tradisional dengan pola kemitraan
o Mengadakan pelatihan managemen usaha perikanan tangkap skala rumah
tangga
o Mengembangkan skim-skim perkreditan usaha perikanan yang sederhana
o Mengembangkan pemasaran usaha perikanan

4. Pengembangan Industri Budidaya Ikan yang Lestari


Aspek yang sangat urgent dilakukan agar budidaya ikan atau udang yang
lestari tercapai di Indonesia, antara lain:
1. Penanaman mangrove di sekitar pantai sangat penting juga mengingat
mangrove merupakan biofilter atau buffer alami untuk memperbaiki kualitas
air. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa sisa-sia daun mangrove yang
telah membusuk sangat dibutuhkan oleh udang untuk hidup dan bertumbuh
2. Mengembangkan pembenihan ikan dan pembuatan pakan ikan.
3. Mediversifikasi jenis-jenis ikan asli (native species) untuk dibudidayakan
secara komersil
4. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas budidaya
ikan yang tidak ramah lingkungan
5. Melakukan inventarisasi potensi pantai dan perairan untuk kegiatan budidaya
6. Mengadakan pelatihan secara rutin kepada masyarakat petani ikan tentang
konsep-konsep industri budidaya yang berkelanjutan..
7. Mengembangkan dan memperkenalkan system pengolahan yang lebih higienis
dan menghindari bahan pengawet
8. Mengembangkan skim-skim perkreditan usaha perikanan yang sederhana
9. Mengembangkan pemasaran usaha perikanan

5. Pencegahan Kasus Pencurian Ikan (Illegal Fishing)

27
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

Kasus pencurian ikan (illegal fishing) dapat dicegah melalui pembangunan


sistem Monitoring Controling and Surveillance (MCS) berbasis masyarakat dan
penegakan hukum, yang memerlukan langkah-langkah sebagai berikut:
o Melakukan identifikasi kegiatan pencurian ikan atau illegal fishing dan
penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan
o Sosialisasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan illegal fishing dan
penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan
o Sosialisasi produk-produk hukum yang berkaitan dengan illegal fishing dan
penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan terhadap
masyarakat pesisir pada umumnya dan nelayan khususnya
o Menyusun rencana sistem Monitoring Controling and Surveillance (MCS)
sesuai dengan skala masalah yang ada dengan tetap mempertimbangkan
aspirasi masyarakat perikanan dan stakeholders lainnya
o Menetapkan mekanisme dan prosedur pelaksanaan Monitoring Controling
and Surveillance (MCS) yang memberdayakan masyarakat.
o Membentuk koordinasi yang solid antar instansi terkait yang ada
hubungannya dengan keamanan laut.
o Melakukan tindakan sanksi yang tegas dan konsisten terhadap kegiatan
Monitoring Controling and Surveillance (MCS). Sebaliknya memberikan
rangsangan penghargaan terhadap masyarakat yang tingkat keperduliannya
cukup tinggi untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan
perairan.

6. Pengembangan Sistem Informasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan


Lingkungan Berbasis Ekosistem Terpadu.
Walaupun perairan Indonesia pada umumnya dan Sumatra Utara pada
khususnya memiliki sumberdaya alam pesisir dan laut berlimpah namun potensi
sumberdaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan
devisa negara maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat
disebabkan oleh keterbatasan data base, standarisasi dan system informasi yang
menjadi system pendukung dalam merencanakan pengelolaan dan program
pembagunan yang akan dilaksanakan. Dengan demikian pengembangan system
informasi sumberdaya alam dan lingkungan sangat diperlukan dalam pencapaian
pengelolaan sumberdaya pesisir yang terpadu baik secara sektoral maupun
regional serta yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pengembangan system
informasi mencakup pengembangan data base, inventarisasi, standarisasi system
perencanaan pengelolaan.
Sudah dapat dipastikan bahwa system informasi tersebut dapat
dikembangkan apabila ada suatu riset dan pengembangan yang dilakukan oleh
masyarakat ilmiah yang diinisasi oleh masyarakat dalam isu pengelolaan
perikanan pantai. Sebagai contoh, informasi yang berkualitas baik dari hasil
penelitian dapat digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang
dihadapi di budidaya udang. Perlu diingatkan bahwa fungsi utama lembaga

28
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

penelitian dan pengembangan adalah untuk memperoleh informasi yang sangat


berguna dalam memecahkan berbagai masalah di budidaya udang.
Umumnya negara maju selalu memiliki agroindustri lestari (sustainable
agroindustry) karena semua aktivitas dalam industri tersebut selalu didasarkan
atau didukung oleh hasil penelitian yang berkualitas bagus. Sebagai contoh,
sekarang ini Australia sangat giat melakukan penelitian sendiri di bidang
bioteknologi udang windu walaupun budidaya udang windu masih baru di
Australia. Indonesia suatu saat akan ketinggalan di bidang budidaya udang dengan
Australia, jika pemerintah dan para pengusaha tidak memberikan perhatian
terhadap penelitian.
Penelitian-penelitian yang dimaksud harus dilakukan tersendiri di Indonesia
karena hal itu sangat lebih bermanfaat. Industri budidaya udang tidak boleh
disamakan dengan industri komputer, mobil dan industri lain karena faktor
lingkungan sangat mendominasi proses-proses biologi di dalam tambak. Untuk
mencapai keberhasilan usaha budidaya udang, semua teknologi budidaya udang
yang diimpor harus diadaptasikan terhadap lingkungan Indonesia terlebih dahulu.
Selanjutnya masalah-masalah yang timbul di tambak udang di Indonesia sangat
kecil kemungkinannya dapat diatasi dengan hanya menerapkan informasi dari hasil
penelitian negara lain.
Alasan yang paling umum kenapa perusahaan dan pemerintah kurang
perhatian terhadap penelitian, yaitu (a) terbatasnya dana dan (b) tersedianya
teknologi hasil penelitian yang diimpor dari negara asing. Memang untuk
melakukan penelitian dibutuhkan sarana, prasarana baik berupa fisik maupun
berupa sumberdaya manusia yang berkualitas. Ha ini semuanya memerlukan dana,
akan tetapi dapat dipastikan bahwa industri budidaya udang yang ditopang oleh
kegiatan-kegiatan penelitian yang berkualitas akan berproduktivitas tinggi dan
menjadi tambak udang lestari (memiliki produktivitas tinggi dalam jangka
panjang). Sebagai pertanyaan sekarang apakah para pengusaha ingin memiliki
tambak udang lestari? Jika jawabannya ya, para pengusaha harus bersedia
mengalokasikan dana untuk menyediakan prasarana penelitian termasuk
peningkatan sumberdaya manusia.
Penerapan secara langsung teknologi yang “diimpor” dari negara asing tanpa
adanya kegiatan penelitian adaptasi dapat memiliki resiko yang besar, yaitu
alasannya seperti telah diterangkan di atas. Kebenaran pernyataan ini seharusnya
sudah dapat dievaluasi oleh perusahaan udang yang telah mengimpor teknologi
hasil penelitian negara asing. Pertanyaan sekarang adalah seberapa efisien dan
efektif penggunaan teknologi import tersebut dapat mengatasi masalah-masalah
udang di Indonesia. Pertanyaan tersebut sangat perlu direnungkan dan
digumulkan.
Pemaparan di atas menggambarkan dengan jelas bahwa pengembangan
system informasi melalui sejumlah kegiatan penelitian sangat besar peranannya
dalam mewujudkan industri perikanan tangkap dan tambak udang lestari di
Indonesia. Oleh karena itu Indonesia harus berperan aktif sebagai pelaku

29
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

penelitian dan bukan hanya sebagai objek peneliti bagi para ahli negara lain seperti
terjadi sekarang ini.

7. Pembuatan Peraturan dan Penegakan Hukum


Industri perikanan pesisir berkelanjutan hanya dapat tercapai apabila
Pemerintah Propinsi Sumatra Utara bersama Pemerintah Kabupaten di sekitar
wilayah Sumatra Utara membuat sejumlah peraturan. Selanjutnya Pemerintah
harus tegas dan berwibawa mengontrol implementasi peraturan tersebut. Misalnya
ada suatu peraturan yang mengatur bahwa petani ikan yang tidak punya
pengetahuan dan keterampilan tentang budidaya ikan berwawasan lingkungan atau
tidak dibimbing oleh seseorang ahli perikanan, tidak diperbolehkan untuk
memelihara ikan atau udang di tambak karena petani tersebut sudah pasti akan
merusak lingkungan dan menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap petani
yang lain. Sebagai contoh, di negara maju setiap petani ikan bertanggung jawab
terhadap limbah dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Pembuatan peraturan dan penegakan hukum dapat terlaksana , yaitu dengan
cara:
o Pengadaan latihan-latihan yang teratur tentang hokum lingkungan,
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem serta undang-undang
perikanan bagi aparat penegak hokum
o Penambahan jumlah personil, sarana dan prasarana penegak hokum
o Pengadaan pelatihan dan simulasi proses peradilan bagi aparat hokum
o Pengintensifan sosialisasi/konsultasi public terhadap draft dan produk hokum
o Peningkatan pengadaan sarana dan prasarana pengawasan
o Peningkatan frekuensi operasi pengawasan di aut
o Pemasangan rambu-rambu dan penetapan jalur penangkapan ikan dan
penggunaannya
o Melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan produk hukum.

8. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dengan Pendekatan Mitigasi


Bencana
Melihat dampak tsunami dan gempa yang besar serta efek negatif yang
ditimbulkannya maka sudah seharusnya pemerintah memperhatikan penataan
wilayah yang berpotensi mendapatkan bencana tsunami dan gempa. Memang
diakui bahwa perencanaan tata ruang di Indonesia selama ini seringkali tidak
memperhatikan aspek mitigasi bencana serta lingkungan laut, pesisir, dan pulau-
pulau kecil, padahal hampir seluruh wilayah Indonsia, terutama di wilayah pesisir
berpotensi untuk terjadinya bencana. Untuk itu sebaikknya dalam perencanaan tata
ruang ada keseimbangan dalam mengoptimalisasikan ruang yaitu dengan
mempertimbangkan aspek “ekonomi” dan lingkungan, serta juga memperhatikan
faktor mitigasi bencana. Berdasarkan hal tersebut maka perlu penyusunan suatu

30
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

rencana detail tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang didasarkan atas
mitigasi bencana (gempa, tsunami dan lain-lain).

3.3. Monev Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat


Parameter kunci yang digunakan untuk memonitor dan mengevaluasi
pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat antara lain:
1. Meningkatnya Kesejahteraan Masyarakat Pesisir. Sebagai Contoh COREMAP
II memakai indikator keberhasilan, yaitu Income per Capita Naik 20 % Selama
Empat Tahun
2. Adanya Perbaikan Kerusakan Biofisik. Live coral cover meningkat 2 % per
tahun merupakan salah satu indikator keberhasilan COREMAP II.
3. Berkurangnya Aktivitas Penambangan, Pemboman dan Penggunaan Racun di
Perairan Laut
4. Terciptanya Industri Penangkapan dan Budidaya Ikan yang Lestari
5. Terbangunnya Sistem Monitoring Controlling Surveillance
6. Adanya, Renstra, Rencana Penyusunan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu
Karang, PERDA dan Penegakan Hukum tentang Pengelolaan Terumbu Karang
7. Adanya POKMAS dan Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang
(LPSTK) yang mandiri.

4. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perikanan pantai
Indonesia pada umumnya dan Sumatra Utara pada khususnya belum dikelola
secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan demikian implementasi
konsep pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang lestari harus sesegera
mungkin dilakukan, yaitu melalui (1) peningkatan kualitas sumberdaya manusia;
(2). pemulihan biofisik lingkungan pesisir yang terdegradasi ; (3) pengembangan
industri perikanan tangkap dan budidaya ikan yang lestari; (4) pencegahan kasus
pencurian ikan; (5) pengembangan sistem informasi sejumlah kegiatan
penelitian; (6) pengadaan peraturan dan peningkatan penegakan hukum; serta
(7) penyusunan rencana detail tata ruang dengan pendekatan mitigasi bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C.E., 1992. Shrimp pond bottom soil and sediment management. In: Wyban,
J. (Ed.), In: Proceedings of the Special Session on Shrimp farming. World
Aquaculture Society, Baton Rouge, USA.
Boyd, C.E., Musig, Y., 1992. Shrimp pond effluents:Observation of the nature of
the problem on commercial farms. In: Wyban, J. (Ed.), Proceeding of the
Special Session on Shrimp Farming. World Aquaculture Society, Baton
Rouge, LA,USA, pp. 195 - 197.

31
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

Boyd, C.E., Tucker, L., 1998. Ecology of aquaculture ponds, Pond aquaculture
water quality management. Kluwer Boston, Inc 101 Philip Drive Norwell
MA 02061 USA., pp. 8-86.
Briggs, M.R.P., Funge-Smith, S.J., 1994. A nutrient budget of some intensive
marine shrimp farms in Thailand. Aquaculture and Fisheries Management
25, 789-811.
Burford, M.A., Thompson, P.J., McIntosh, P., Bauman, R.H., Pearson, D.C., 2003.
Nutrient and microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp
ponds in Belize. Aquaculture 219, 393 - 411.
Chamberlain, G.W., 2001. Managing zero water –exchange ponds. In: Rosenberry,
B.(Eds.). World shrimp farming 2001. Published Annually Shrimps News
International 14, 11-18
Charles, W., 2002. Fish farming international: Shrimp update.June 2002, p14.
Duraiappah, A.K., Israngkura, A.,Sae-Hae,S.,2000. Sustainableshrimp farming:
Estimations of survival function. International Institute for Environment and
Development, London and Institute for Environmental Studies, Amterdam.
Working paper No.31:21 pp.
Eng, C.T., Paw, J.N., Guarin, F.Y., 1989. The environmental impact of acuaculture
and the effect of pollution on coastal aquaculture development in southeast
Asia. Mar. Pollut. Bull 20, 335 - 343.
Hopkins, J.S., DeVoe, M.R., Holland, A.F., 1995. Environmental impacts of shrimp
farming with special reference to the situation in the Continental United
State. Estuaries 18, 25 -42.
Hopkins, J.S., Sandifer, P.A., Browdy, C.L., Holloway, J.D., 1996. Comparison of
exchange and no-exchange water management strategies for the intensive
pond culture of marine shrimp. Journal of Shellfish Research 15, 441-445.
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI (2001) Inventarisasi dan Penilaian Potensi
Kawasan Konservasi Laut Baru Pulau Derawan, Kakaban dan Maratua,
Kecamatan Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan
Timur. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Wiryawan, B.,Hkazali,M., dan Knight, M. 2005. Menuju Kawasan Konservasi
Laut Berau Kalimantan Timur: Satus sumberdaya pesisir dan proses
pengembangan KKL

32
______________
ISSN 0853 - 0203
VISI (2007) 15 (3) 273 -288

33
______________
ISSN 0853 - 0203

Potrebbero piacerti anche