Sei sulla pagina 1di 93

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MAJA

( Aegle marmelos Corr. ) TERHADAP


FERTILITAS TIKUS BETINA

TASYRIFAH MUSAHILAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Efek Pemberian Ekstrak
Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina”, adalah karya
saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Tasyrifah Musahilah
NRP G352070201
MOTTO

‫وَ ْﻟﯿَﺨْﺶَ اّﻟَﺬِﯾﻦَ َﻟ ْﻮ ﺗَﺮَﻛُﻮا ِﻣﻦْ ﺧَﻠْﻔِ ِﮭﻢْ ذُ ّرِّﯾَ ًﺔ ﺿِﻌَﺎﻓًﺎ ﺧَﺎﻓُﻮا ﻋََﻠﯿْﮭِﻢ‬

‫ﺳﺪِﯾﺪًا‬
َ ‫ﻓَ ْﻠ َﯿﺘَّﻘُﻮا اﻟّﻠَ َﮫ وَ ْﻟﯿَﻘُﻮﻟُﻮا َﻗﻮْﻻ‬
Artinya :

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka,
hendaklah bertakwa kepada Allah dan mengucapkan
perkataan yang benar. Q. S. An-Nisa ( 4 ): 9
ABSTRACT
TASYRIFAH MUSAHILAH, The Effect of Bael Leaves (Aegle marmelos. Corr) on
Fertility of Female Rats. Under Supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN and
NASTITI KUSUMORINI.

Bael plants (Aegle marmelos) is one of Rutaceae family contain of ß-


sitosterol, stigmasterol, which is classified to triterpene. These components have the
biological activities e.g. : antifertility and abortifacient. In oral treatment, phytosterol
has a potent antitesticular activity effect in male rats, inhibited zygote implantation’s
and induction abortifacient to female rat. In Sumatera and Javanese Island, women
traditionally consume this leave after parturation for contraception. The aim of the
study was to investigate the effects of extract bael leaves on fertility of female rats.
The experimental method used randomized complete design. Thirty adult of white rat
(Rattus norvegicus) were devided into : 1). Control rat fed by normal food, 2). Rat fed
by 1gr/kg body weight /day for 6 day, 3). Rat fed by 1gr/kg body weight/day for 12
day, 4). Rat fed by 2gr /kg body weight/day for 6 day. 5). Rat fed by 2gr/kg body
weight/day for 12 days of leave exctract. Before treatments, vaginal smear for two
estrous cycle were examine. After a series of treatment, 15 rats were mated to an adult
male rats and the number of offspring were noted. The remaining 15 treated rats were
sacrificed to measure reproductive parameters. Data were analyzed by ANOVA and
followed by Duncan test at 95% confidence interval. The results of this research
showed significantly different in estrous cycle periode, and reproduction performance
: decreased the ovaries weight, corpus luteum, and number of offspring compared to
control groups.

Keyword : Aegle marmelos, anti-fertility, estrous cycle, Rattus norvegicus,


Reproduction
RINGKASAN

TASYRIFAH MUSAHILAH. Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos


Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN
dan NASTITI KUSUMORINI.

Kepadatan penduduk Indonesia dewasa ini menimbulkan kekhawatiran akan


tidak tercukupinya kebutuhan pangan dan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sangat
membutuhkan peran aktif keluarga untuk ikut serta menggalakkan program KB. Di
sisi lain penggunaan kontrasepsi sintetik pada masyarakat banyak menimbulkan
keluhan, sedangkan di alam banyak tersedia kontrasepsi dari tumbuhan yang aman,
murah dan tanpa efek samping, diantaranya tanaman maja.
Tanaman maja (Aegle marmelos Corr.) yang banyak tumbuh di berbagai
wilayah di Indonesia, sangat efektif digunakan sebagai kontrasepsi alami yang mudah
didapat, serta aman untuk digunakan wanita Tanaman tersebut mengandung ß-
sitosterol, stigmasterol. Fitosterol ini tergolong steroid memiliki bentuk cincin
siklopentana perhidrofenantren, bersifat estrogenic. Fitosterol ini dapat mempengaruhi
perkembangan folikel dan memiliki efek anti gonadotropik dan anti implantasi. Zat
tersebut jika produksinya berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya ovulasi dan
bersifat antifertilitas.
Aktifitas zat antifertilitas dapat bersifat kontraseptif, interceptif, dan
abortifacient. Zat antifertilitas ini dapat bekerja melalui satu atau lebih mekanisme dan
tempat. Pada mamalia betina zat antifertilitas dapat mempengaruhi aktivitas fungsi
hipotalamus, pituitari, ovarium, uterus, vagina dengan mengacaukan mekanisme kerja
pra-ovulasi, pre-implantasi, dan pasca implantasi.
Menurut tradisi masyarakat Pinrang (Makasar), Aceh, Palembang dan Jawa
tanaman maja diyakini berkhasiat mengatur menstruasi pada wanita dan mengobati
penyakit seksual, analgesic, antiviral, antifungal, anticancer, antidiare. Selain itu
ekstrak daun maja sangat potensial dipergunakan sebagai antitestis dan
antispermatogenic pada tikus jantan.
Tikus putih (Rattus norvegicus) tergolong mamalia memiliki siklus reproduksi
tidak jauh berbeda dengan wanita pada umumnya. Oleh karena itu untuk mengetahui
pengaruh ekstrak daun maja terhadap fertilitas, dilakukan pemberian ekstrak daun
maja pada tikus putih sebagai hewan coba guna mengamati pengaruhnya terhadap
kinerja reproduksi, baik terhadap lama siklus estrus, berat ovarium, jumlah folikel,
jumlah korpus luteum, laju ovulasi, keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak yang
dilahirkan.
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan (November 2008 - Juli 2009),
bertempat di beberapa lokasi. Pembuatan ekstrak maja dilakukan di Laboratorium
Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, analisa fitokimia ekstrak maja di
laboratorium BALITRO Cimanggu, pemeliharaan dan perlakuan hewan coba di
kandang hewan pribadi Ciomas, dan pengamatan siklus estrus serta analisa kinerja
reproduksi di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Daun maja yang digunakan berasal dari wilayah Bogor, Tangerang, dan
Pandeglang. Hewan coba berupa tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-
Dawlley dengan bobot badan 200-300 gram sebanyak 30 ekor betina dan 15 ekor
jantan berumur 3-4 bulan. Tiga puluh ekor tikus betina tersebut dibagi menjadi 5
kelompok perlakuan, masing-masing 6 ekor tikus. Adapun kelompok perlakuan
tersebut terdiri dari : Kontrol (Kelompok tikus tanpa perlakuan ekstrak daun maja),
A1B1 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr//kg BB//hari selama
6 hari), A2B1 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg BB//hari
selama 6 hari), A1B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr/kg
BB//hari selama 12 hari), dan A2B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja
dosis 2 gr/kg /BB/hari selama 12 hari). Masing-masing kelompok perlakuan dibagi
menjadi 2 kelompok pelaksanaan penelitian berdasarkan parameter penelitian,
sehingga masing-masing kelompok kecil terdiri dari 3 ekor tikus.
Proses perlakuan dimulai dengan pemberian pencekokan ekstrak daun maja
sebanyak 1 kali dalam sehari. Pengambilan apus vagina dilakukan sebanyak 3 kali
dalam sehari yaitu pukul 06.00, 14.00, dan pukul 22.00 selama 2 siklus estrus guna
memperoleh data lama siklus estrus dan fase-fasenya. Selanjutnya untuk mendapatkan
data kinerja reproduksi, kelompok tikus tersebut dikorbankan dengan pembedahan
guna pengambilan ovarium, penghitungan jumlah folikel, korpus luteum, dan laju
ovulasinya. Sedangkan pada kelompok yang akan diambil data kinerja reproduksi
yang berupa keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak, pada kelompok tersebut
dikawinkan dengan tikus jantan normal pasca penghentian pemberian ekstrak daun
maja selama 12 hari, kemudian ditunggu kebuntingannya hingga melahirkan serta
dihitung jumlah anak yang dilahirkan.
Parameter yang diambil adalah lama siklus estrus yang dihitung berdasarkan
rataan keberadaan sel epitel vagina selana 2 siklus estrus. Sedangkan berat ovarium,
jumlah folikel, jumlah korpus luteum dihitung berdasarkan rataan jumlah pada kedua
ovariumnya, serta jumlah anak dihitung berdasarkan keseluruhan anak yang dilahirkan
dalam kondisi hidup maupun mati pada saat dilahirkan. Adapun keberhasilan
kebuntingan dihitung berdasarkan persentase antara jumlah anak yang lahir pada
kelompok pelaksanaan kedua dibagi dengan jumlah korpus luteum dari kelompok
pelaksanaan penelitian pertama. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan
perangkat lunak program SPSS 13 dan dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan
uji lanjut Duncan.
Hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian ini, pemberian ekstrak daun
maja berpengaruh signifikan dalam memperpanjang lama siklus estrus (PSSE) semua
kelompok tikus perlakuan bila dibandingkan dengan kontrol(P<0.05) baik pada siklus
ke-1 maupun siklus ke-2. Selain itu juga berpengaruh signifikan terhadap rataan ketiga
fasenya yaitu fase proestrus, estrus, metestrus bertambah panjang, namun
memperpendek fase diestrusnya. Demikian juga terhadap kinerja reproduksi yang
berupa berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, laju ovulasi, dan jumlah
anak terjadi penurunan yang bermakna pada keseluruhan parameter tersebut. Adapun
keberhasilan kebuntingan pasca penghentian menunjukkan bahwa semakin tinggi
dosis dan lama pemberian ekstrak daun maja, semakin lama keberhasilan
kebuntingannya. Hal ini terbukti pada pemberian ekstrak daun maja dosis 2gr/kg BB
selama 12 hari (A2B2) tidak diperoleh data kebuntingan hingga waktu yang lama (30
hari). Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian dosis tersebut memberikan pengaruh
yang baik untuk diterapkan dalam kontrasepsi.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB.
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN MAJA
( Aegle marmelos Corr. ) TERHADAP
FERTILITAS TIKUS BETINA

TASYRIFAH MUSAHILAH

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan ridlo-Nya sehingga tesis yang berjudul : Efek Pemberian Ekstrak
Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina dapat
diselesaikan.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Dedy Duryadi
Solihin DEA, dan Ibu Dr. Dra. Nastiti Kusumorini selaku Ketua dan Anggota Komisi
pembimbing yang telah banyak membantu serta memberikan motivasi dan arahan
dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh.
Hera Maheshwari, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi. Di samping
itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI
dan MAN Tangerang atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat
mengikuti program Pascasarjana ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan
pegawai FMIPA IPB, staf pegawai dan laboran pada bagian Fisiologi dan
Farmakologi FKH-IPB, staf laboran dari laboratorium BALITRO Taman Cimanggu
atas bantuan dan kerjasamanya.
Ungkapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada suami,
almarhum ayah dan ibu, serta ketiga anak tercinta atas segala bantuan, doa, motivasi,
perhatian dan kesabaran serta dukungan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat yang
membutuhkannya.

Bogor, Februari 2010


Tasyrifah Musahilah
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 8 September 1968 dari Ayah


(Alm) H. Abbas dan Ibu (Almh) Nurmah. Penulis merupakan putri ke-9 dari sembilan
bersaudara. Penulis sudah dikaruniai 2 putra kembar yang bernama Muhammad Zuhdi
Syihab dan Ahmad Hadi Syihab, serta 1 putri yang bernama Mutia Sania Rahma.
Tahun 1988 penulis lulus dari MAN Pemalang, dan pada tahun 1993 penulis
menyelesaikan program Strata-1 pada Fakultas Tarbiyah (Tadris) Biologi IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Kodya
Tangerang mulai tahun 1997 hingga sekarang.
Pada bulan Juli 2007 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti program
beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama RI dan mengambil
Program Studi Biologi, Mayor Biosains Hewan pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Drh. Hera Maheshwari, M.Sc.
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Gambar .............................................................................................. v
Daftar Tabel ................................................................................................. vi
Daftar Lampiran ........................................................................................... vii
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Perumusan Masalah .......................................................................... 3
Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
Hipotesis ........................................................................................... 3
Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
Kerangka Pemikiran .......................................................................... 4

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5


Tanaman Maja .................................................................................. 5
Sebaran dan Aspek Historik Tanaman Maja .......................... 5
Karakteristik Tanaman Maja .................................................. 6
Klasifikasi Tanaman Maja ..................................................... 6
Kandungan Kimia Tanaman Maja ......................................... 7
Biologi Umum Tikus ........................................................................ 8
Siklus Reproduksi Tikus Betina ............................................. 9
Ovarium..................................................................... 10
Corpus Luteum .......................................................... 13
Uterus ........................................................................ 14
Vagina ....................................................................... 16
Kelenjar Susu ............................................................. 18
Kopulasi .................................................................... 18
Fertilisasi ................................................................... 19
Pengendalian Hormon terhadap Siklus Reproduksi ........................... 19
Peranan Hormon dalam Siklus Estrus .................................... 22
Mekanisme Antifertilitas terhadap Reproduksi Tikus ........................ 23

BAHAN DAN METODE ............................................................................. 26


Waktu dan Tempat Penelitian............................................................ 26
Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 26
Metode Penelitian ............................................................................. 26
Pembuatan Ekstrak daun Maja ............................................... 27
Penentuan Dosis dan Lama Pemberian Ekstrak Daun Maja .... 28
Persiapan Hewan Coba .......................................................... 28
Perlakuan Hewan Coba.......................................................... 29
Pengambilan Parameter dan Analisis yang Dilakukan ............ 32
Rancangan Percobaan ............................................................ 35
Analisa Data .......................................................................... 35

iii
iv

HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 36


Pengaruh Pemberian ekstrak daun Maja terhadap Siklus Estrus ......... 36
Efektifitas Perlakuan terhadap Kinerja Reproduksi Tikus ................. 41
Pengaruh Pemberhentian Ekstrak Daun Maja terhadap
Keberhasilan KebuntinganTikus.. ...................................................... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 50


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Peta penyebaran tanaman maja ........................................................................ 5
2. Foto Tanaman Maja .......................................................................................... 6
3. Struktur kimia steroid estrogen, β-sitosterol dan stigmasterol ........................ 8
4. Ovarium, Corpus luteum dan perkembangan follikel ..................................... 11
5. Proses pembentukan sel telur (Oogenesis) ...................................................... 12
6. Ovarium tikus dengan tingkat perkembangan folikel ...................................... 13
7. Uterus tikus ...................................................................................................... 14
8. Irisan melintang dinding vagina tikus putih pada berbagai fase siklus estrus... 18
9. Mekanisme umpan balik hormon pada poros hipotalamus-hipofisis-gonad .... 21
10. Hubungan antara GnRH, Siklus Ovarium, Uterus, dan Siklus Vagina .......... 21
11. Prosedur pembuatan ekstrak daun maja .......................................................... 28
12. Rak kandang pemeliharaan dan pengadaptasian hewan coba ......................... 29
13. Diagram Penelitian .......................................................................................... 30
14. Prosedur pencekokan ekstrak maja secara oral ............................................... 30
15. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi ............................................. 31
16. Pembuatan dan pewarnaan sediaan apus vagina ............................................. 32
17. Gambar sediaan apus vagina tikus putih galur sprague dawley dengan
Perbesaran 40 x 5 ............................................................................................. 33
18. Diagram analisa keberhasilan kebuntingan ..................................................... 34
19. Perbandingan rataan lama siklus (PSSE) dan persentase pertambahan tikus
perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-1 dan 2 .................... 37
20. Perbandingan rataan pertambahan lama tiap fase siklus estrus (Proestrus,
Estrus, Metestrus, Diestrus) pada siklus ke-1 dan 2 …................................... 39
21. Corpus luteum tikus ........................................................................................ 44
22. Kurva Respon obat ......................................................................................... 44

v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Gambaran mikroskopis hasil ulasan vagina pada berbagai siklus estrus.......... 17
2. Perbandingan jenis sel pada preparat apus vagina ............................................ 33
3. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan lama siklus estrus tikus
pada siklus ke-1 (jam) ...................................................................................... 36
4. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan lama siklus estrus tikus
pada siklus ke-2 (jam) ....................................................................................... 36
5. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-1 ................................................ 38
6. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-2 ................................................ 38
7. Rataan berat ovarium tikus, jumlah folikel, jumlah corpus luteum, dan laju
ovulasi pasca pemberian ekstrak daun maja .................................................... 42
8. Rataan awal dan keberhasilan kebuntingan, dan jumlah anak tikus pasca
penghentian ekstrak daun maja selama 12 hari ............................................... 46

vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Laporan Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Maja .............................................. 56
2. Data rataan hasil perhitungan siklus estrus tikus ( 1a-1e )................................. 57
3. Hasil analisa statistik lama siklus estrus (PSSE) siklus ke-1 ........................... 61
4. Hasil analisa statistik lama siklus estrus (PSSE) siklus ke-2 ............................ 62
5. Hasil analisa statistik fase Proestrus siklus ke-1 ............................................... 63
6. Hasil analisa statistik fase Proestrus siklus ke-2 ............................................... 64
7. Hasil analisa statistik fase Estrus siklus ke-1 .................................................... 65
8. Hasil analisa statistik fase Estrus siklus ke-2 .................................................... 66
9. Hasil analisa statistik fase Metestrus siklus ke-1 ............................................. 67
10. Hasil analisa statistik fase Metestrus siklus ke-2 ............................................ 68
11. Hasil analisa statistik fase Diestrus siklus ke-1 .............................................. 69
12. Hasil analisa statistik fase Diestrus siklus ke-2 .............................................. 70
13. Hasil analisa statistik Berat Ovarium ............................................................. 71
14. Hasil analisa statistik Jumlah Folikel ............................................................. 72
15. Hasil analisa statistik Jumlah Corpus Luteum ............................................... 73
16. Hasil analisa statistik Laju Ovulasi ................................................................ 74
17. Hasil analisa statistik Awal Kebuntingan ...................................................... 75
18. Hasil analisa statistik Jumlah Anak ............................................................... 76
19. Hasil analisa statistik Persentase Keberhasilan Kebuntingan ........................ 77

vii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kepadatan penduduk di Indonesia dewasa ini menimbulkan kekhawatiran
terhadap tidak tercukupinya pangan dan kesejahteraan hidup manusia. Hal ini sangat
membutuhkan peran aktif keluarga khususnya pasangan usia subur untuk ikut
menggalakkan program Keluarga Berencana, apalagi di era emansipasi wanita,
terutama bagi wanita yang berkarir sangat dibutuhkan sekali upaya untuk
menjarangkan kelahiran demi tercapainya Norma Keluarga Kecil Bahagia dan
Sejahtera (NKKBS) guna memperbaiki kesejateraan hidup keluarganya. Di sisi lain
pemilihan cara KB modern yang dianjurkan pemerintah ada kalanya dapat
menimbulkan efek samping seperti gangguan haid, kegemukan, pendarahan,
hipertensi, sakit kepala, mual, dan rasa sakit pada kelenjar susu (Suherman 2007).
Oleh karena itu diperlukan pengkajian terhadap penggunaan kontrasepsi yang berasal
dari alam (herbal) yang aman dan tanpa efek samping.
Di Indonesia tidak kurang dari 1000 jenis tanaman dari 30.000 jenis tumbuhan
yang sudah dibudidayakan sebagai obat alam dan obat tradisional (Supardi 1985).
Obat tradisional adalah obat yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, atau sediaan
galeniknya. Campuran bahan obat tradisional tersebut belum mempunyai data klinis
dan dipergunakan dalam usaha pengobatan hanya berdasarkan pengalaman kebiasaan
nenek moyangnya (Dep. Kes. RI 1985).
Menurut Sumantri dan Sugihardjo (1977) ada 87 spesies tumbuhan yang
dipergunakan oleh wanita untuk tujuan kontrasepsi. Sekitar 50 spesies telah diteliti
efek antifertilitasnya pada hewan coba betina, diantaranya biji saga, daun bandotan,
daun sembung, daun patikan kebo, daun manggis, pare, daun inggu, biji klabet,
rimpang kunyit, rimpang kencur, biji srikaya, buah mengkudu, buah pinang, daun
belimbing dan daun maja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tumbuhan itu
bersifat sebagai anti gonadotropik, anti implantasi dan anti ovulasi, serta akibat dari
berbagai sifat tersebut adalah penurunan jumlah kelahiran (Winarno & Sundari 1997).
Sur et al. (2002), Kumar Das et al. (2006), dan Chauhan (2007) menyatakan
bahwa di India tanaman maja sangat potensial dipergunakan sebagai kontrasepsi pria

1
2

dan obat herbal untuk mengatur kelahiran dan mengobati penyakit seksual (Jain et al.
2004). Selain itu ekstrak buah maja dalam bentuk teh herbal yang dicampur daun
Stevia rebaudiana dapat menurunkan jumlah fetus dan menyebabkan keguguran
(Kanokporn et al. 2006).
Di berbagai daerah di Indonesia daun maja sudah sering kali dikonsumsi secara
turun temurun oleh masyarakat, seperti di Pinrang (Sulawesi), Palembang, Aceh, serta
di Jawa sebagai obat pengatur haid (Hasrah 1994). Daun maja yang diberikan secara
infus pada mencit betina dengan konsentrasi 20, 30, 40, dan 50 % dapat digunakan
untuk abortiva yang berpengaruh terhadap pengurangan jumlah janin (Hasrah 1994).
Pengurangan jumlah janin ini menjadi salah satu parameter adanya gangguan pada
reproduksi. Namun demikian aktivitas biologis lain yang lebih rinci seperti panjang
siklus estrus, siklus ovarium, laju ovulasi, dan keberhasilan fertilisasi belum
sepenuhnya diteliti. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk melengkapi
parameter aktivitas biologis pada organ reproduksi lain guna melengkapi efektifitas
pengaruh daun maja terhadap fertilitas tikus betina.
Berdasarkan analisa fitokimia yang dilakukan Riyanto & Mawardi (2000),
diketahui bahwa pada tanaman maja mengandung bahan aktif seperti β-sitosterol
dan stigmasterol (C29 H50 O). Selain itu juga mengandung Aegelin (C18 H18 O4) dan
Marmelosin (C13 H12 O3) (Anonim 2006). Bahan-bahan aktif ini bersifat steroid.
Sitosterol sebagai bahan baku sterilisasi memiliki efek anti implantasi dan
mempunyai khasiat kontrasepsi yang bersifat antifertilitas dan dapat memacu produksi
hormon progesteron serta estrogen, dimana jika produksinya berlebihan dapat
menyebabkan terhambatnya ovulasi (Gangadhar & Lalithakumari 1995).
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, tak dapat
dielakkan lagi terjadinya perubahan di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan.
Banyaknya industri obat-obatan dan industri kontrasepsi yang harga produknya
cukup mahal, dan belum seluruhnya menjamin tidak ada efek samping, baik terhadap
akseptor maupun pasangannya. Oleh karena itu dirasakan perlu untuk meneliti jenis
tanaman yang alami, tidak berbahaya, murah, dan ramah lingkungan, serta
berkelanjutan (Sastrawinata 2001). Penelitian terhadap bahan kontrasepsi yang berasal
3

dari tumbuhan masih merupakan prioritas, karena mudah didapat, murah,


toksisitasnya rendah dan tidak menimbulkan efek samping (Tadjudin 1984).

Perumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1). Apakah pemberian ekstrak daun maja (Aegle marmelos (L). corr) berpengaruh
terhadap kesuburan (fertilitas) tikus putih betina melalui pengujian parameter : Lama
siklus estrus dan kinerja reproduksi yang meliputi berat ovarium, jumlah folikel,
jumlah korpus luteum, laju ovulasi). 2). Bagaimanakah efektivitas pengaruh
penghentian pemberian ekstrak daun maja selama periode tertentu terhadap
keberhasilan kebuntingan dan jumlah anak yang dilahirkan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek pemberian ekstrak daun maja
terhadap lama siklus estrus, kinerja reproduksi seperti berat ovarium, jumlah folikel,
jumlah korpus luteum, laju ovulasi, dan mengkaji pengaruh penghentian pemberian
ekstrak daun maja terhadap keberhasilan kebuntingan serta jumlah anak yang
dihasilkan dari perkawinan tikus putih betina yang diberi ekstrak daun maja dengan
tikus putih jantan normal. Setelah pengaruh pemberian ekstrak daun maja diketahui
terhadap kinerja organ target reproduksi hewan coba, diharapkan ekstrak daun maja
ini dapat diterapkan sebagai kontrasepsi alami bagi wanita.

Hipotesis
Pemberian ekstrak daun maja dengan berbagai dosis dapat menurunkan
efektifitas kinerja sistem reproduksi tikus betina.

Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan
dan teknologi tentang pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap siklus estrus,
kinerja reproduksi, dan jumlah anak yang dilahirkan. Apabila pengaruh ekstrak ini
nyata, informasi ini dapat dijadikan dasar pemikiran untuk membuat kontrasepsi alami
4

bagi masyarakat, dan memberikan sumbangan kepada dunia farmasi untuk membuat
kontrasepsi alami yang ramah lingkungan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kepadatan penduduk Kekhawatiran tidak Kesibukan wanita karier
di Indonesia tercukupinya kebutuhan
hidup keluarga

Keluarga Berencana Industri obat-obatan


( NKKBS) Kontrasepsi hormonal/
Non-hormonal

Adanya efek samping


yang ditimbulkan

Tersedianya tanaman obat-obatan


untuk kontrasepsi yang
 Alami
 Murah
 Mudah diperoleh
 Aman (tanpa efek samping)

Tanaman Maja (Aegle marmelos)

Aegelin β-sitosterol Stigmasterol

STEROID Antifertilitas

Hewan coba Tikus

Hipotalamus Ovarium Uterus Vagina Oviduk

Kontrasepsi alami wanita


TINJAUAN PUSTAKA

TANAMAN MAJA

Sebaran dan Aspek Historik Tanaman Maja


Maja atau bilwa, bael, Bengal quince, shirpal, bael fruits adalah sebutan lain
bagi spesies Aegle marmelos(L.) Correa, sebagaimana disebutkan di India (Ghermandi
2002). Tanaman ini berasal dari India, namun sekarang banyak tersebar di Srilanka,
Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand dan sebagian besar Asia Tenggara (Gambar
1).

Ket : menunjukkan wilayah penyebaran tanaman maja


Gambar 1. Peta penyebaran tanaman maja.

Tanaman maja juga tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, karena iklim


yang cocok untuk tanaman ini sehingga dapat tumbuh dengan baik. Tanaman maja
banyak ditemukan di dataran rendah, dataran tinggi, bahkan di tanah berkapur seperti
di Pulau Jawa (Banten, Bogor, Yogyakarta, Jawa Timur dan Madura), Pulau Sumatera
(Aceh, Palembang, Bukit tinggi), Pulau Sulawesi (Makasar), Kepulauan Maluku dan
NTT (Sumba Timur). Keberadaan tanaman ini tercatat sejak jaman kerajaan
Majapahit, sebagaimana terbukti adanya berbagai nama daerah yang diawali dengan
kata maja yang menunjukkan keterkaitan dengan keberadaan tanaman ini di berbagai
daerah. Tanaman ini dikenal sebagai maja (Sunda), brenuk atau maos (Jawa), bila
paek (Madura), wabiila (Sumba Timur), dilok (Timor) (Hariana 2002).

5
6

Karakteristik Tanaman Maja


Tanaman maja dapat tumbuh subur di atas tanah dengan pH 5 – 8. Di India
tumbuhan ini dapat tumbuh subur pada lahan dimana tanaman buah lain tidak dapat
bertahan di sana, bahkan menurut Singh & Malik (2000) dinyatakan bahwa tanaman
ini dapat tumbuh di tanah rawa, alkali, bahkan pada tanah berbatu kapur di Florida
Selatan. Tanaman ini dapat mencapai ketinggian 13 m dan buahnya dapat dipanen jika
sudah berwarna hijau kekuningan. Karakteristik tanaman maja antara lain daun
berbentuk memanjang, tulang daun menyirip, susunan daun berkarang, percabangan
besar. Satu pohon dapat menghasilkan 800 buah, dan dapat dipanen satu kali dalam
setahun. Dalam 1 musim panen rata-rata 150-200 buah berukuran besar (1-3 kg). Buah
maja rasanya manis, harum, dan tajam ditenggorokan. Bunganya bertipe berumah dua,
kelopak bunganya kecil, dengan 5 mahkota dan bagian luar berbentuk bulat, lonjong,
dagingnya beraroma khas dan berlendir (Anonim 2006).

Gambar 2. Foto Tanaman maja (koleksi pribadi)

Klasifikasi Tanaman Maja ( Aegle marmelos. Corr )


Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Angiospermae
Klas : Magnolliopsida
Ordo : Sapindales/ Rutaceales
Famili : Rutaceae
Genus : Aegle
Spesies : Aegle marmelos ( L.) Correa. (Corner 1969)
7
Kandungan Kimia Tanaman Maja
Tanaman maja baik berupa akar, batang, daun, buah maupun biji banyak
digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pengobatan tradisional seperti demam,
sembelit, disentri, diare, hepatitis, TBC, radang selaput lendir hidung, gangguan otak,
gangguan hati, gatal-gatal (kudis, borok, bisul, eksim), anti inflamasi, gangguan
pendengaran, gangguan urinaria, dan abortiva (Kapoor 1990, Singh & Malik 2000).
Akar tanaman maja mengandung bahan : epoxyaurapten, 4-methoxy-1-
methyl-2-quinolon, 4-sitosten-3-one, 7-o-methylmarmin, aurapten, kumarin,
decursinol, dictamin, imperatorin, integriquinolon, lupeol, marmesin, marmin,
marginal, scopoletin, skimmianin, umbelliferon, xanthotoxin, γ fagarin (Anonim
2006). Sedangkan pada batang terkandung bahan-bahan : fagarine, marmin, 4-epi-
lyoniresinol,3-ά-O-β-D-glucopyranoside, 6-hydroxy-1-methoxymethylanthraquinon
dictamine, magnesium, marmasin, silicone, β sitosterol. Selain mengandung bahan
seperti tersebut di atas, pada daun dapat diekstraksi bahan lain seperti : minyak
essensial, pellandrene, aegelin, rutacin, p-cymene, cíñeole, cuminaldehyd, d-
limonene, marmelosin, N-2-ethoxy-2-phenyl- ethylcinnamid, p-cymene, rutin,
skimmianin, tannin, β sitosterol- β-d-glukosid, dan γ-sitosterol. Demikian juga pada
buah mengandung bahan seperti : aegelin, aegelenin, alanin, alloimperatorin, methyl
ether ά-amirin, arginin, asam aspartat, boron, kalsium, karoten, chlorin, cis linalol
oxida, cuprum, cystine, dictamin, d-ά pellandrene, asam glutamic, glisin, histidin,
imperatorin, ferrum, isoamil asetat, isoleusin, asam linoleat, asam linolenat, lysin,
magnesium, mangaan, marmelosin, marmelid, marmelin, marmesin, methionin,
niasin, asam palmitat, o-isopentinylharfordinol, o-methylharford, pectin, phenyl
alanin, pospor, polisakarida, potasium, proantocyanidin, prolin, psoralen, riboflavin,
scoparon, scopoletin, serin, skimmin, sodium, asam stearat, tannin, asam tartat,
thiamin, threonin, thyrosin, umbelliferon, valin, vinyl-butanoat, xanthotoxol, seng, β-
amyrin, β-karoten, β-sitosterol, γ-fagarin (Anonim 2006).
Bahan kimia Aegelin (C18 H18 O4), β-sitosterol dan Stigmasterol (C29 H50 O)
(Joy et al. 2001) berdasarkan hasil analisa fitokimia Riyanto dan Mawardi (2000)
tergolong ke dalam steroid. Bahan aktif yang berupa sitosterol pada daun maja
memiliki kerangka dasar berbentuk gugus atom triterpen seperti cincin steroid, yakni
8

sistem cincin siklopentana perhidrofenantren yang tersusun dari rangkaian 4 cincin


yakni 3 cincin berbentuk segienam (A, B, C) dan cincin segilima (D). Adapun
persamaan struktur kimia fitosterol daun maja dan steroid estrogen serta progesteron
dapat dilihat pada Gambar 3. Steroid pada tumbuhan (fitosterol) akan memberikan
efek anti implantasi maupun estrogenik (Partodiharjo 1980). Fitosterol ini memberikan
rasa pahit pada daun maja.

C D

A B

R
C D
A B

HO
HO β-Sitosterol
Stigmasterol

Gambar 3. Struktur kimia steroid progesteron, estrogen (Estriol, β-Estradiol),


β-sitosterol dan stigmasterol (Guyton 1996 & Harborne 1987).

BIOLOGI UMUM TIKUS


Tikus putih (Rattus norvegicus), merupakan jenis hewan yang sering
dipergunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian biologis maupun biomedis
baik secara in-vitro maupun in-vivo. Tikus putih atau tikus albino merupakan hasil
perkawinan secara selektif sehingga memiliki karakter yang stabil. Ada beberapa galur
atau varietas tikus antara lain : galur Sprague-dawley memiliki kepala kecil dan ekor
lebih panjang dibandingkan dengan badannya, galur Wistar ditandai dengan kepala
besar dan ekornya lebih pendek, serta galur long evans memiliki ukuran tubuh lebih
kecil dengan kepala dan tubuh bagian depan berwarna hitam (Baker 1979). Sebagai
hewan percobaan, tikus memerlukan ruangan yang cukup cahaya, sirkulasi udara yang
9
baik, suhu yang cocok, sehingga dapat bergerak bebas dalam kandang, serta
membutuhkan makanan yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Tikus betina mencapai usia dewasa kelamin setelah berumur 8 minggu,
dengan berat badan berkisar antara 200 – 300gr. Pada umur tersebut tikus sudah siap
untuk dikawinkan. Periode kebuntingan berkisar antara 21 – 22 hari. Masa
produktifnya cukup panjang yaitu pada umur 2 – 14 bulan. Selama periode tersebut
tikus mampu melahirkan lebih dari 10 kali kelahiran dan jumlah anak yang dilahirkan
rata-rata 9 ekor bahkan mencapai 12 ekor per kelahiran (Malole & Pramono 1989).
Jumlah anak tikus pada kebuntingan pertama umumnya lebih sedikit daripada
kebuntingan ke 5 – 7 (masa yang stabil) (Fox 2007).
Tikus termasuk hewan poliestrus. Tikus memiliki post partum estrus dalam
waktu 48 jam sesudah partus (melahirkan). Perkawinannya sering terjadi pada malam
hari. Untuk mengetahui terjadinya perkawinan dapat dilihat dari sumbat vagina atau
vaginal plug guna memeriksa ada tidaknya spermatozoa setelah terjadi kopulasi
(Malole & Pramono 1989).

Siklus Reproduksi Tikus Betina


Siklus reproduksi hewan mamalia betina melibatkan berbagai organ reproduksi
yaitu ovarium, uterus, vagina, dan kelenjar mammae. Setiap organ tersebut mengalami
siklus yang teratur dan berlangsung secara sinkron. Hal ini berarti siklus yang satu
menjadi indikasi siklus yang lain. Siklus tersebut meliputi siklus ovarium, siklus
uterus, siklus vagina, siklus estrus dan siklus kelenjar susu (Bullock et al. 2004).
Siklus estrus merupakan sederetan proses perubahan kegiatan fisiologis pada
organ-organ reproduksi dari awal berahi hingga berulang kembali ke berahi
berikutnya. Berahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan
untuk kopulasi (Partodihardjo 1980). Pada tikus siklus estrus ini berlangsung 4 – 5
hari (Malole & Pramono 1989). Siklus estrus dibedakan dalam 2 tingkatan, yaitu fase
folikuler dan fase luteal. Fase folikuler merupakan fase perkembangan folikel sampai
pecahnya folikel de Graaf saat ovulasi. Sedangkan fase luteal merupakan fase
setelah ovulasi yaitu periode sekresi progesteron dan fase terbentuknya corpus luteum
10

(Nalbandov 1990). Bila tidak terjadi fertilisasi maka siklus baru berikutnya akan
segera dimulai, dimana korpus luteum akan mengalami regresi dan menghilang.
Namun jika terjadi pembuahan dan kebuntingan, korpus luteum akan terus bertahan
selama masa kebuntingan. Pada kenyataannya korpus luteum merupakan kelenjar
yang menghasilkan hormon progesteron yaitu hormon essential untuk
mempertahankan kebuntingan (Frandson 1992). Berdasarkan histologi vagina, satu
siklus estrus terbagi menjadi 4 fase, yaitu fase proestrus, estrus, metestrus, dan
diestrus. Fase folikuler dimulai dengan proestrus yang diikuti oleh estrus dan ovulasi,
sedangkan fase luteal terdiri atas metestrus dan diestrus (Partodihardjo 1980).

Ovarium
Tikus memiliki sepasang ovarium di dalam rongga abdomen, di bawah ginjal.
Ovarium berbentuk bulat dengan permukaan yang berbenjol-benjol karena adanya sel-
sel folikel dan korpus luteum (Gambar 4). Ovarium diselubungi oleh selapis sel epitel
germinativum dan di bagian dalamnya terdapat tunika albugenia (Partodihardjo 1980
& Hafez 1993). Ovarium tersusun atas bagian korteks dan medulla. Bagian korteks
terdiri atas stroma yang bersifat seluler dan mengandung folikel ovarium, korpus
luteum dan sel interstitial serta pembuluh darah. Folikel terdiri atas oosit atau sel telur
yang diselubungi oleh sel folikel yang merupakan hasil diferensiasi epitel
germinativum. Folikel ovarium ada yang istirahat (primordial), dan ada yang sudah
matang yaitu folikel de Graaf. Bagian medulla terdiri atas jaringan ikat fibroelastik
yang penuh jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe.
Ovarium memiliki 2 fungsi yaitu sebagai penghasil sel telur dan penghasil
estrogen dan progesteron menurut Guyton (1996) & Lay Cock (1982). Proses
pembentukan sel telur (Oogenesis) meliputi :
1. Proliferasi oogonium
Gamet yang berasal dari sel germinal primordial bermigrasi ke gonad dengan
pergerakan amuboid melalui mesenterium dorsal ke gonad. Sel aktif bermitosis pada
betina disebut Oogonium. Oogonia akan mengakhiri proliferasi setelah beberapa hari
sebelum kelahiran (Ganong 2003).
11

2. Pertumbuhan Oosit
Pertumbuhan oosit dimulai dengan tumbuhnya ovum dan folikel secara cepat.
Ketika antrum telah terbentuk, oosit tidak tumbuh lagi dan folikel mendapat pengaruh
hormon dari hipofisis untuk melanjutkan tumbuh secara cepat. Pertumbuhan oosit
ditandai dengan akumulasi kuning telur dalam sitoplasma, perkembangan zona
pellucida, proliferasi mitosit dari epitel follikel dan jaringan di dekatnya (Hafez 2000).

Gambar 4. Ovarium, corpus luteum dan perkembangan folikel


(Syahrum et al. 1994)

Oosit dikelilingi lapisan sel folikel granulosa. Oosit 1 mengalami meiosis 1


dan terjadi pada stadium akhir fetus. Oosit dilapisi beberapa lapis sel folikel yang
disebut folikel primordial. Bila sel yang mengitari oosit ini lengkap maka disebut
folikel primer. Pada proses ini oosit mengalami pembelahan meiosis 2 kali. Pada
pembelahan meiosis 1, oosit primer menghasilkan 2 sel anak yaitu oosit sekunder dan
badan kutub I yang masing-masing memiliki ½ perangkat kromosom (n) dari
induknya 2n. Sedangkan pada pembelahan meiosis II, oosit sekunder menghasilkan 2
sel anak yaitu ootid dan badan kutub II. dan badan kutub I menghasilkan badan kutub
III dan badan kutub IV. Masing-masing sel anak memiliki seperangkat kromosom.
12

Badan kutub tersebut dilepas ke rongga perivitelin dan mengalami degenerasi (Hafez
2000).
Ovar

Primary germ cell in


Differentiati

2 Oogoniu Oogonium
n m
Mitotic
division
Primary
oocyte
within
Primary oocyte, follicle
2 arrested in prophase
n of meiosis I
(present at birth)
Completion of meiosis I Growing
and onset of meiosis II follicle
First
polar n Secondary oocyte,
n
body arrested at meta-
phase of meiosis II

Ovulatio
n
Entry of Mature
sperm triggers
n
completion of
Ruptured
meiosis II
follicle
Ovum

Ovulated
secondary

Corpus

Degenerating
corpus luteum

Gambar 5. Proses pembentukan sel telur (Oogenesis)


(Campbell et al. 2004).

3. Perkembangan folikel
Tahap perkembangan folikel disebut fase folikuler. Fase ini dimulai dari
folikel primer. Selanjutnya sel folikel akan membelah diri untuk membentuk dinding
berlapis yang mengelilingi sel telur dan disebut folikel sekunder. Apabila sudah
terbentuk rongga (antrum) diantara sel folikel dengan sel telur, maka folikel dikatakan
sudah matang dan disebut folikel de Graaf. Folikel ini makin berkembang dan sel
jaringan stroma bertambah banyak dan berdiferensiasi membentuk teka interna dan
teka eksterna (Syahrum et al. 1994). Antrum berisi cairan dan semakin membesar
sehingga sel telur terdesak ke tepi pada sel folikel. Sel telur bertambah besar yang
dikelilingi membran granulosa, akhirnya sel folikel akan menempati seluruh tebal
korteks. Hal ini mengakibatkan penipisan dan pecahnya dinding ovarium, sehingga sel
telur yang diselubungi korona radiata dilepaskan ke dalam rongga peritoneum.
Sedangkan pada tikus sel telur akan dilepas ke ruang periovarium (Rugs 1968). Proses
13

ini disebut ovulasi. Ovulasi pada tikus terjadi secara spontan selama fase estrus
(Nalbandov 1990). Pada tikus, terdapat lebih dari satu folikel yang mengalami ovulasi
dan menghasilkan 4 – 14 sel telur, yang memungkinkan kelahiran multiple (Smith &
Mangkoewidjojo 1988).
Proses ovulasi diawali dengan perkembangan dan pematangan sel folikel
dalam ovarium di bawah pengaruh FSH. Sel folikel yang sudah matang (folikel de
Graaf) akan mensekresi estrogen yang menyebabkan kadar estrogen dalam darah
meningkat, sehingga menekan sekresi FSH (mekanisme umpan balik negatif).
Sebaliknya estrogen yang tinggi akan memacu sekresi LH sehingga terjadi ovulasi,
setelah itu kadar estrogen dalam darah menurun (Syahrum et al. 1994). Folikel yang
telah matang akan menempati daerah korteks dan menonjol ke permukaan ovarium.
Pada permukaan yang menonjol terjadi penipisan jaringan. Cairan folikel makin
banyak dan menyebabkan tekanan hidrostatik yang menyebabkan meningkatnya
tekanan turgor jaringan. Di sisi lain kumulus ooforus mengalami desintegrasi sehingga
ovum berada dalam keadaan bebas dalam cairan. Tegangan yang memuncak diikuti
pecahnya selaput tipis ovarium pada stigma yang menyebabkan ovum lepas ke rongga
peritonium (Ferin et al.1993). Skema proses pematangan folikel ovarium dapat dilihat
pada Gambar 6 berikut :

Gambar 6. Ovarium tikus dengan tingkat perkembangan sel folikel


(Hafez 1993).
Corpus Luteum
Setelah ovulasi terjadi, terbentuk lekukan pada permukaan ovarium yang telah
melepaskan isinya kemudian terisi darah dan cairan limfe. Bagian folikel yang pecah
kemudian bertaut kembali dan folikel pada saat ini dinamakan korpus hemoragicum.
14

Selanjutnya darah membeku diresorbsi dan terjadi lutenisasi sel-sel granulosa dan sel
teka, sehingga terbentuk korpus luteum (Partodihardjo 1980). Pertumbuhan korpus
luteum berlangsung melalui hipertrofi sel luteal. Pembentukan dan pertumbuhan
korpus luteum dirangsang oleh LH. Sedangkan prolaktin (luteotropik hormon)
berperan dalam memelihara fungsi korpus luteum agar tetap menghasilkan
progesteron (Nalbandov 1990). Perkembangan selanjutnya dari korpus luteum
tergantung pada terjadi tidaknya fertilisasi dan kebuntingan. Bila sel telur dibuahi dan
terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan tetap bertahan dan dikenal dengan
korpus gravidatatum (CL kebuntingan) (Partodihardjo 1980). Apabila hewan betina
tidak mengalami kebuntingan, maka korpus luteum mengalami regresi dan terjadi
pematangan folikel yang baru. Regresi korpus luteum disertai munculnya sel tenun
pengikat lemak dan struktur hialin diantara sel-sel luteum. Kondisi ini mempercepat
regresi korpus luteum sampai sel luteum tidak terdapat lagi (Nalbandov 1990). Regresi
korpus luteum berlangsung melalui kerja prostaglandin PGF2ά yang dihasilkan oleh
uterus. PGF2ά akan merangsang vasokontriksi pembuluh darah pada korpus luteum
sehingga suplai darah berkurang. Berkurangnya suplai darah menyebabkan luteolisis
sel luteal (Sammuelson et al.1978).

Uterus
Uterus tikus merupakan tipe dupleks, yang terdiri atas dua tanduk (kornus
uteri) dan satu badan yang bersatu membentuk huruf Y. Korpus uteri merupakan
bagian pendek yang berbatasan dengan vagina. Sedangkan kornus uteri merupakan
bagian uterus yang memanjang. Bagian proksimal berbatasan dengan tuba uterine,
sedangkan bagian distalnya saling mendekat yang hanya dipisahkan oleh sekat tipis
yang bermuara ke dalam lumen korpus uteri. Bagian uterus yang berbatasan langsung
dengan vagina disebut serviks uteri (Baker 1979). Bagian-bagian uterus dapat dilihat
pada gambar 7 berikut :
15

Ginjal
Ureter
Ovarium
Oviduct
Cornus Uteri kanan
Uretra
Vagina
Preputial Gland
Gland Clitoris
Liang Vagina
Gambar 7. Uterus tikus (Baker 1979).
Dinding uterus dari luar kedalam terdiri atas 3 lapisan yaitu membrana serosa,
myometrium dan endometrium. Membrana serosa merupakan lapisan terluar.
Myometrium merupakan lapisan otot yang tersusun atas pembuluh darah, limfe dan
saraf. Endometrium merupakan lapisan dinding lumen yang terdiri atas epitel, kelenjar
uterus dan tenunan pengikat. (Rugs 1968, Ross & Schreiber 1991).
Perubahan yang terjadi pada uterus selama siklus estrus disebut siklus uterus.
Selama pertumbuhan folikel terjadi juga pertumbuhan dalam endometrium. Selama
periode perkembangan korpus luteum, endometrium menyesuaikan diri untuk
menerima kehamilan. Jika sel telur tidak dibuahi maka endometrium ke keadaan
semula bersamaan dengan regresinya korpus luteum. Sedangkan jika terjadi
pembuahan, maka endometrium dipertahankan pada keadaan yang terbaik untuk
kehamilan (Sartono 1994).
Pada awal siklus estrus yaitu fase proestrus, folikel akan berkembang dan
menghasilkan hormon estrogen untuk mempertahankan pertumbuhan maupun
menyebabkan proliferasi endometrium. Dinding endometrium berangsur-angsur
mengalami hiperemia, berproliferasi dan menebal dengan cepat. Kelenjar yang pendek
menjadi bertambah panjang, dan pembuluh darah bertambah banyak (Bullock et al.
2004). Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Fase proestrus ini
merupakan periode terjadinya involusi fungsional korpus luteum serta pembengkakan
praovulasi folikel (Mc Donald 1989). Selain itu pada tahapan ini juga terjadi
vaskularisasi epitel vagina (Tolihere 1981). Vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen
yang semakin tinggi. Di samping itu juga terdapatnya cairan yang terkumpul di uterus
sehingga uterus sangat kontraktil (Turner & Bagnara 1976).
16

Pada fase estrus, estrogen meningkat merangsang sekresi kelenjar uterus dan
merangsang serviks untuk berkontriksi, sehingga uterus menggelembung. Pada akhir
fase ini, progesteron mulai dihasilkan oleh korpus luteum dan akan merangsang
serviks untuk relaksasi. Hal ini menandai timbulnya hasrat kawin dan kopulasi
mungkin terjadi pada tikus betina (Martin 1985). Fase ini berlangsung sekitar 12 jam
(van Tienhoven 1983, Smith & Mangkoewidjojo 1988). Ciri khas pada fase ini hewan
betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
sekresi estrogen yang tinggi (Nalbandov 1990). Estrogen dari folikel de Graaf yang
matang menyebabkan berbagai perubahan pada organ reproduksi seperti uterus
tegang, mukosa vagina tumbuh cepat disertai sekresi lendir, terdapatnya sel-sel yang
menumpuk dan menanduk. Sel-sel ini terkelupas ke dalam lumen vagina (Bullock et
al. 2004 & Rugs 1968).
Saat memasuki fase metestrus (setelah ovulasi), hasrat kawin menurun. Pada
fase ini korpus luteum mulai tumbuh. Korpus luteum merupakan perubahan bentuk
dari folikel de Graaf yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi. Uterus yang
sudah berkembang mengalami oedema akibat pengaruh estrogen. Selanjutnya oleh
pengaruh progesteron, kelenjar uterus aktif mensekresikan zat yang berguna untuk
makanan dan proteksi terhadap embrio yang akan berimplantasi (Martin 1985 &
Nelson 1983). Pembuluh darah bertambah panjang dan lebar. Apabila terjadi
implantasi, mukosa endometrium makin menggelembung akibat pengaruh hormon
estrogen dan progesteron. Mukosa endometrium menggelembung dan tempat
implantasi zigot diketahui sebagai desidua (Nelson 1983). Pada akhir fase metestrus
degenerasi epitel meningkat bahkan menghilang dan leukosit banyak terdapat pada
dinding uterus (Bullock et al. 2004). Lapisan endometrium kembali ke fase istirahat
dan dimulainya siklus baru yaitu fase diestrus. Pada fase ini hewan betina terlihat
lebih tenang dan tidak ada aktivitas kelamin (van Tienhoven 1983). Pada fase ini
korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata.
Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Tolihere 1981), selaput mukosa
vagina tipis, pucat, otot mengendur, uterus mengecil, anemik, dan agak kontraktil
(Turner & Bagnara 1976). Fase ini berlangsung sekitar 60-70 jam (van Tienhoven
17

1983). Pada preparat ulas vagina terlihat banyaknya leukosit dan sel epitel berinti
(Nalbandov 1990).

Vagina
Vagina merupakan saluran terpanjang yang terletak di bagian dorsal uretra dan
bagian ventral rectum. Pembukaan vagina terjadi tidak lama setelah ovulasi pertama
dan dipakai sebagai tanda pubertas (Hafez 2000). Perubahan karakteristik dinding
epitel vagina selama estrus dapat diketahui melalui sediaan apus vagina yang
merupakan petunjuk tahap-tahap dalam siklus estrus (Ganong 2003).
Siklus estrus merupakan cerminan bagi berbagai aktivitas yang saling
berkaitan antara hipotalamus-hipofisis-ovarium. Selama siklus estrus terjadi
perubahan baik pada organ reproduksi maupun perubahan tingkah laku seksual (Hafez
2000).
Meskipun peristiwa fisiologis yang utama pada siklus estrus terjadi pada
ovarium, tetapi peristiwa tersebut tercermin pada vagina di bawah pengaruh hormon
ovarium yaitu estrogen dan progesteron (Johnsons & Everith 1988). Perubahan siklus
vagina tikus dapat dideteksi dengan menggunakan teknik preparat apus vagina.
Gambaran perubahan yang terjadi di vagina dapat mencerminkan kejadian pada
ovarium sehingga dapat digunakan untuk menentukan fase reproduksi pada tikus
betina yang diperiksa (Sartono 1984). Apus vagina diperoleh dari sekret vagina yang
diambil dengan menggunakan cotton bud pada 1/3 proksimal vagina (Hafez 2000).
Adapun gambaran mikroskopis hasil ulas vagina berbagai fase siklus estrus tertuang
pada Tabel 1 dan Gambar 8.
18

Tabel 1. Gambaran mikroskopis hasil ulasan vagina pada berbagai


fase siklus estrus.

HASIL ULASAN VAGINA


Nalbandov Turner & Bagnara Smith & Sartono
FASE (1990) (1976) Mangkoewidjoyo (1994)
(1988)
Proestrus Sel epitel berinti Sel epitel berinti Sel-sel kecil Epitel berinti
dengan inti bulat Berlendir
Estrus Sel berkornifikasi Sel-sel menanduk Epitel menanduk Epitel menanduk
Inti piknotik
Metestrus Leukosit diantara Leukosit banyak, Sel berkornifikasi Epitel bertanduk
sel berkornifikasi Sel menanduk sedikit Ada leukosit berkurang
Epitel berinti
banyak
Diestrus Epitel berinti Leukosit bermigrasi Sel epitel dan Leukosit banyak,
Leukosit Leukosit epitel berinti

Sel epitel berinti

Sel epitel
berinti

Proestrus Diestrus
Leucosit

Leucosit

Kornifikasi

Estrus Sel menanduk Metestrus


Gambar 8. Irisan melintang dinding vagina tikus putih pada
berbagai fase siklus estrus (Turner & Bagnara, 1976).
19

Kelenjar Susu
Peristiwa fisiologis siklus estrus tikus tercermin pada siklus pertumbuhan dan
regresi kelenjar susu meskipun sedikit berbeda apabila terjadi kebuntingan
(Knobil & Neills 2006). Pada fase proestrus terlihat saluran panjang di sekitar kelenjar
susu, terutama dekat puting. Selanjutnya saluran makin membesar pada fase estrus.
Sedangkan pada fase metestrus pelebaran saluran ini menjadi berkurang dan
menghilang dan tampak kembali pada fase diestrus. Siklus kelenjar susu dirangsang
oleh hormon estrogen dan progesteron (Ganong 2003). Hormon estrogen
mempengaruhi proliferasi saluran kelenjar susu, sedangkan hormon progesteron
merangsang perkembangan lobulus.

Kopulasi
Kopulasi biasanya terjadi 3 jam pertama fase estrus. Pada fase estrus ini
estrogen mempengaruhi substrat metabolik vagina sehingga memproduksi asam yang
mudah menguap dan menyebabkan timbulnya daya tarik seks tikus betina (Smith &
Mangkoewidjojo 1988). Terjadinya kopulasi ditandai dengan sumbat vagina (vaginal
plug) pada liang vagina (Rugs 1968). Sumbat vagina merupakan air mani yang
menggumpal yang berasal dari sekret kelenjar prostat tikus jantan. Kondisi ini dapat
diamati kira-kira 16-48 jam setelah kopulasi (Hafez 2000).

Fertilisasi
Proses fertilisasi terjadi pada bagian ampula oviduk. Sel telur yang dilepas dari
folikel saat ovulasi dikelilingi oleh sel kumulus ooforus, korona radiata, dan zona
pellucida. Sebelum spermatozoa melakukan penetrasi terjadi pelepasan kumulus
ooforus sehingga memudahkan penetrasi spermatozoa (Syahrum et al. 1994). Zona
pellucida merupakan lapisan ekstraseluler yang mengandung asam dan enzim akrosim
yang berasal dari akrosom sperma akan membantu sperma dalam menembus zona
pellucida. Setelah berhasil menembus zona pellucida spermatozoa akan memasuki
sitoplasma ovum secara perlahan sedangkan bagian tengah dan ekornya akan tetap
tinggal di luar dan akhirnya terlepas (Hafez 2000). Sejalan dengan itu implantasi
terjadi setelah 4-5 hari sejak kopulasi (Syahrum et al. 1994 & Hafez 2000).
20

Pengendalian Hormon terhadap Siklus Reproduksi


Seperti halnya mamalia lain, kunci siklus reproduksi tikus betina terletak
pada hipotalamus yang berhubungan dengan kelenjar hipofisis. Siklus reproduksi
berlangsung dengan bantuan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar
hipofisis bagian anterior melalui sistem portal hipotalamus – hipofisis. Hormon
gonadotropin terdiri atas FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing
Hormone), Prolactin dan LTH (Luteotropic Hormone). Sintesis dan sekresi FSH dan
LH dirangsang oleh Gonadotropic Releasing Hormon (Gn RH) yang disekresi oleh
hipotalamus. Hormon ini mulai bekerja saat hewan mencapai masa pubertas
(kematangan sel kelamin) (Johnsons & Everith 1988). FSH dan LH dibutuhkan untuk
perkembangan normal folikel di ovarium. Perkembangan awal sel folikel dikendalikan
oleh FSH yang selanjutnya merangsang sel granulose dan sel teka ovarium untuk
mensekresi estrogen. Sedangkan progesteron terdapat dalan jumlah sedikit pada awal
perkembangan sel folikel tetapi produksi progesteron mulai meningkat di bawah
pengaruh LH (Partodihardjo 1980 & Lay Cock 1982).
Perkembangan akhir sel folikel dikendalikan oleh LH dan selanjutnya LH
mendorong pecahnya folikel dan ovulasi (Nalbandov 1990). Sedangkan prolaktin
bersifat luteolitik pada siklus estrus dan berfungsi untuk mempertahankan korpus
luteum serta merangsang korpus luteum untuk menghasilkan hormon progesteron
(Nalbandov 1990). Selain itu hormon prolaktin berfungsi untuk laktasi dan
perkembangan ovarium selama kehamilan (Knobil and Neills 2006).
Nasib folikel telur dalam ovarium tergantung pada hormon gonadotropin.
Banyak folikel yang mengalami atresia karena FSH dan LH hanya mampu
menumbuhkan dan mematangkan folikel telur dalam jumlah tertentu. Akan tetapi
folikel atresia dapat dicegah bila konsentrasi FSH dan LH di dalam sirkulasi darah
cukup memadai. Hormon ini terikat dengan reseptor FSH dan LH pada sel folikel
ovarium. Disamping itu hormon gonadotropin mempengaruhi perubahan folikel pre
antral menjadi folikel antral (Johnsons & Everith 1988).
Fungsi endokrin ovarium adalah menghasilkan estrogen dan progesteron
(Guyton 1996). Sumber estrogen selain sel teka interna folikel ovarium juga korpus
luteum (Ganong 2003). Fungsi estrogen merangsang perkembangan jaringan
21

reproduksi, pertumbuhan saluran kelamin, menyebabkan pemanjangan dan hipertrofi


kelenjar uterus, serta menyebabkan kontraksi uterus. Selain itu estrogen merangsang
proliferasi dan diferensiasi epitel vagina, merangsang perkembangan saluran kelenjar
susu, menimbulkan hasrat kawin dan merangsang peregangan tulang pinggul (Martin
1985 & Ganong 2003).
Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum di bawah rangsangan LH. Fungsi
progesteron antara lain mempersiapkan endometrium untuk implantasi. Sedangkan
progesteron dan estrogen dalam jumlah yang cukup berfungsi mempertahankan
implantasi zigot (Knobil & Neills 2006).
Pada permulaan fase folikuler, estrogen menghambat dan memberi umpan
balik negatif terhadap sekresi FSH dan LH, tetapi pada akhir fase folikuler (sebelum
ovulasi), peningkatan estrogen merangsang dan memberi umpan balik positif terhadap
sekresi LH. Pada fase luteal jumlah estrogen dan progesteron yang tinggi menghambat
dan memberi umpan balik negatif terhadap sekresi FSH dan LH. Adapun mekanisme
umpan balik hormon pada poros hipothalamus-hipofisis-gonad tertera pada Gambar 9.

Gambar 9. Mekanisme umpan balik hormon pada poros


hipotalamus-hipofisis-gonad (Syahrum et al. 1994).

Adapun hubungan antara hipotalamus dan beberapa siklus reproduksi


pada mamalia baik berupa siklus ovarium, siklus vagina, siklus endometrium dan
hormon-hormon yang berperan dapat dilihat pada Gambar 10 berikut :
22

Gambar 10. Hubungan antara GnRH dan Hormon ovarium serta perubahan
reproduksi pada mamalia betina poliestrus (Nelson 1983).

Peranan Hormon dalam Siklus Estrus


Pada akhir fase diestrus, korpus luteum yang mensekresi progesteron
mengalami regresi. Regresi ini disebabkan pengaruh prostaglandin yang dihasilkan
oleh uterus. Setelah produksi progesteron merendah, FSH-RH/LH-RH dilepas ke
sistem porta hipofisa. Selanjutnya FSH-RH/LH-RH merangsang produksi dan
pelepasan FSH yang disusul oleh produksi LH oleh hipofisa anterior. FSH
merangsang folikel tertier pada ovarium untuk tumbuh menjadi folikel de Graaf.
Lapisan sel teca interna dan sel granulosa pada folikel de graaf menghasilkan
estrogen. Semakin masak dimensi folikel de Graaf semakin tinggi produksi produksi
estrogen. Estrogen ini menyebabkan vaskularisasi alat kelamin. Setelah kadar estrogen
dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadilah efek positif
terhadap produksi dan pelepasan LH dari hipofisa anterior. Mekanisme ini disebut
umpan balik (feed back) positif. Kadar LH dalam darah mendadak meningkat
sehingga terjadi ovulasi. Ovulasi adalah peristiwa pecahnya dinding de Graaf dan
keluarnya ovum (Nalbandov 1990).
23

Setelah ovulasi terjadi, kadar LH menurun dengan cepat, tetapi tidak kembali
ke kadar dasar, melainkan cukup untuk merangsang sel teca interna untuk membentuk
korpus luteum. Sejak terbentuknya korpus luteum, sel ini memproduksi hormon
progesteron yang berfungsi meredakan aktivitas estrogen. Kecuali oleh LH, fungsi
korpus luteum ditunjang oleh LTH. LTH berperan dalam merangsang korpus luteum
untuk memproduksi progestin. Setelah folikel de Graaf pecah, produksi estrogen turun
dengan cepat, hingga mencapai kadar dasar (kadar paling rendah dalam darah).
Penurunan ini diikuti oleh kenaikan produksi FSH secara berangsur-angsur, FSH
diperlukan oleh ovarium untuk merangsang pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh
secara berangsur-angsur mempertinggi kadar estrogen dalam darah. Setelah kadar
estrogen dalam darah mencapai derajat ketinggian tertentu, maka terjadi rangsangan
pada uterus untuk memproduksi prostaglandin. Prostaglandin ini menyebabkan korpus
luteum beregresi dan progestin secara tajam menurun. Menurunnya progesteron dalam
darah estrogen menjadi dominan pada alat reproduksi hingga terjadilah estrus
(Partodihardjo 1980).

Mekanisme Antifertilitas terhadap Reproduksi Tikus


Suatu zat yang berkhasiat anti fertilitas dapat bekerja melalui beberapa
mekanisme dan beberapa tempat kerja. Efek anti fertilitas suatu zat dapat terjadi di
beberapa tempat atau pada tempat kerja yang sama tetapi dengan mekanisme berbeda.
Sebagai contoh pada mamalia betina, aktivitas zat antifertilitas dapat terjadi di
hipotalamus, hipofisis, ovarium, oviduk, uterus, dan vagina (Cheeke 1989).
Ada tiga macam istilah untuk aktivitas zat antifertilitas, yaitu zat yang bersifat
sebagai kontrasepsi, abortivum dan intersepsi. Zat yang bersifat kontrasepsi
berfungsi mencegah terjadinya ovulasi dan fertilisasi. Zat yang bersifat abortivum
menyebabkan keluarnya fetus sebelum terjadinya implantasi sedangkan sebagai zat
intersepsi, zat tersebut bekerja setelah terjadi fertilisasi yang akan mengganggu
perjalanan menuju implantasi (Farnsworth et al. 1975 & Cheeke 1989).
Hewan betina yang tidak mengalami proses kebuntingan dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu penghambatan proses ovulasi, fertilisasi dan implantasi
(Suherman 2007). Salah satu penghambat proses ovulasi adalah penggunaan obat-
24

obatan atau zat kontrasepsi yang berupa fitosterol yang terkandung pada daun maja (β-
sitosterol dan stigmasterol). Keadaan ini menyebabkan laju fertilitas dan tingkat
kesuburan menjadi menurun.
Bahan aktif β-sitosterol dan stigmasterol tergolong steroid dan merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti ether,
etanol, kloroform, dan benzena (Harborne 1987). Steroid tumbuhan dapat bekerja
sebagai kontrasepsi dengan menekan ovulasi pada sebagian besar siklus dan
menghambat pelepasan gonadotropin (menghambat fungís ovarium) melalui
mekanisme umpan balik (Nalbandov 1990). Selain itu steroid tumbuhan umumnya
bersifat estrogenik sehingga akan mempengaruhi siklus menstruasi dan perkembangan
folikel (Farnsworth et al. 1975). Steroid ini tentunya dapat turut meningkatkan kadar
estrogenik dalam darah. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat menghambat
hipofisis dalam mensekresi hormon FSH melalui umpan balik negatif (Ganong 2003,
Johnsons & Everith 1988). Steroid tumbuhan memiliki kesamaan dengan steroid yang
dihasilkan ovarium yaitu estrogen dan progesteron. Keduanya memiliki gugus utama
berbentuk cincin siklopentana perhidrofenantrena (Tyler 1976 & Harborne 1987).
Berdasarkan sasaran aktivitas pada organ target, mekanisme zat antifertilitas
dibedakan atas :
1. Hipotalamus-hipofisis
Mekanisme kerja steroid pada hipotalamus maupun hipofisis dapat
menyebabkan aktivitas anti gonadotropin, artinya steroid tersebut akan secara
langsung menghambat sekresi FSH dan LH yang dihasilkan oleh hipotalamus maupun
hipofisis yang mengakibatkan terhambatnya produksi hormon estrogen dan
progesteron. Estrogen dan progesteron diperlukan untuk memunculkan birahi normal
pada hewan ovulator spontan, sehingga zat yang menekan gonadotropin
mengakibatkan terhambatnya ovulasi dan menekan libido (Farnsworth et al. 1975).
Selain itu juga akan menghambat induksi saraf ke hipotalamus yang mengatur sekresi
GnRH pada hewan ovulator spontan yakni akan memberikan efek antifertilitas
sebelum ovulasi (Farnsworth et al. 1975 & Hafez 2000).
25

2. Ovarium
Mekanisme kerja zat antifertilitas terhadap ovarium dapat ditunjukkan
aktivitasnya pada penghambatan ovulasi dan steroidogenesis (Farnsworth et al. 1975
& Hafez 2000). Terhambatnya ovulasi ini sebagai akibat dari terhambatnya produksi
estrogen dan progesteron seperti berkurangnya korpus luteum yang terbentuk
berhubungan erat dengan jumlah ovum yang diovulasikan (Richards 1980). Selain itu
juga akan menyebabkan penekanan jumlah dan perkembangan folikel yang
mengakibatkan penurunan berat ovarium dan steroidogenesis (Zambrana 1971).
3. Oviduk
Mekanisme kerja zat antifertilitas dapat menyebabkan kekacauan fertilisasi dan
kegagalan implantasi serta dapat menyebabkan sel telur yang sudah dibuahi akan
mengalami regresi bila tiba terlalu dini di uterus (Farnsworth et al. 1975 & Hafez
2000).
4. Uterus
Mekanisme kerja zat antifertilitas pada uterus dapat bersifat interseptif maupun
abortivum. Keseimbangan hormon estrogen dan progesteron pada tikus sangat
diperlukan pada proses implantasi. Ada progesteron yang dilaporkan dapat
menimbulkan gangguan keseimbangan proliferasi endometrium, sehingga
mengganggu implantasi. Demikian juga antiestrogenik dapat menghambat implantasi
pada hewan yang memerlukan estrogen pada proses implantasi (Farnsworth et al.
1975 & Hafez 2000). Mekanisme lain juga dapat berupa fetus yang mati atau resorbsi
disebabkan karena terhambatnya aliran darah yang berasal dari placenta menuju fetus
baik karena kekurangan oksigen maupun sari-sari makanan (Bronsons 1966). Selain
itu resorbsi fetus dapat terjadi pada periode organogenesis yang terbukti dengan
adanya bekas tapak implantasi pada uterus, maupun fetus yang melekat di daerah
serviks akan diresorbsi sebagai benda asing oleh uterus (Rugs 1968).
5. Vagina
Mekanisme kerja zat antifertilitas di daerah vagina dapat bersifat spermisida
(Farnsworth et al. 1975). Zat antifertilitas yang bersifat spermisida dapat mencegah
terjadinya fertilisasi yang disebabkan tidak bergerak (imobilisasi) dan matinya
spermatozoa (Syahrum et al. 1994).
BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan (November 2008 - Juli 2009) yang
bertempat di beberapa lokasi yaitu : Pembuatan ekstrak daun maja dilakukan di
Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Analisa fitokimia
ekstrak daun maja di laboratorium BALITRO, Taman Cimanggu Bogor.
Pemeliharaan dan perlakuan hewan coba dilakukan di kandang hewan pribadi Ciomas.
Pengamatan siklus estrus dan analisa kinerja reproduksi di Laboratorium Fisiologi,
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Bahan dan Alat Penelitian


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa daun maja yang berasal dari
Bogor, Tangerang dan Pandeglang. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) betina galur Spraque-Dawley varitas 2 sebanyak 30 ekor
dengan bobot badan ± 200-300 gr dan berumur 3-4 bulan, serta 15 ekor tikus jantan
dewasa dengan galur yang sama. Tikus tersebut diperoleh dari unit hewan percobaan
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Selanjutnya tikus diadaptasikan di kandang hewan
pribadi di Ciomas selama 1 minggu sebelum diberi perlakuan.
Alat yang digunakan berupa mesin penggiling simplisia, rotary evaporator,
freeze dryer, lumpang, mortal, staining jar (bak warna), sonde lambung, spuit, gelas
ukur, timbangan digital, perangkat kandang tikus, seperangkat alat bedah, papan
bedah, gelas objek, dan mikroskop (stereo dan binokuler). Sedangkan zat kimia yang
dipergunakan antara lain : aquadest, ethanol 96%, methanol, giemsa 10%, ether,
buffer formalin 40% dan alkohol 70%.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap pembuatan ekstrak
daun maja, tahap persiapan dan perlakuan hewan coba, serta tahap pengamatan dan
analisis kinerja reproduksi. Parameter yang diamati terbagi menjadi dua berdasarkan
kelompok tahapan pelaksanaan penelitian. Pada kelompok pelaksanaan pertama

26
27

parameter yang diamati adalah : 1). Lama siklus estrus dan fase-fasenya, 2). Kinerja
reproduksi yang meliputi berat ovarium, jumlah folikel, jumlah korpus luteum, dan
laju ovulasi. Sedangkan pada kelompok pelaksanaan kedua, parameter yang diamati
adalah kinerja reproduksi berupa 1). Keberhasilan kebuntingan yang mencakup
waktu terjadi kebuntingan, 2). Jumlah anak yang dilahirkan.

Pembuatan Ekstrak Daun Maja

Sebanyak 35 kg daun maja (muda dan sedang) dipotong halus dan dikering
anginkan dalam ruangan tanpa terkena sinar matahari langsung selama 14 hari,
sehingga diperoleh 5 kg daun maja kering. Selanjutnya daun maja kering ini digiling
menjadi serbuk halus (simplisia) dengan menggunakan mesin penggiling simplisia.
Simplisia tersebut selanjutnya direndam (maserasi) dalam ethanol 96% (guna
penarikan fitosterol pada daun maja) dengan perbandingan 1:10. Perendaman
dilakukan selama 24 jam (Harborne 1987). Setiap 2 jam sekali dilakukan pengadukan
agar merata. Langkah selanjutnya campuran simplisia-ethanol disaring. Filtrat hasil
penyaringan ditampung dalam tabung plastik, sedangkan ampasnya dimaserasi
kembali dengan proses yang sama. Filtrat yang diperoleh ditampung pada tabung yang
sama yang sudah terisi filtrat pada maserasi sebelumnya. Tahap berikutnya filtrat
dipekatkan dengan cara diuapkan (evaporasi) dengan menggunakan rotary evaporator
(EYELA Rotary evaporator N-1000) sehingga terbentuk 10 lt larutan pekat, serta
dikeringkan dengan metode pengering bekuan (freezer drying) Flexi Dry TM MP
V.S. Pat 4.823.478 (Depkes RI 1972) hingga terbentuk 250 gr ekstrak kasar, dan siap
digunakan dalam percobaan ini. Adapun prosedur pembuatan ekstrak daun maja ini
dapat dilihat pada Gambar 11. Ekstrak daun maja selanjutnya dibuat larutan sesuai
dosis (Jagetia &Venkatesh 2005).
28

Gambar 11. Prosedur pembuatan ekstrak daun maja.

Penentuan Dosis dan Lama Pemberian Ekstrak Daun Maja


Penentuan dosis ekstrak daun maja pada hewan coba didasarkan pada LD50.
Menurut metode Thompson dan Weil, ED50 tercapai dari 1/10 dikalikan LD50 (Shayne
et al. 2002) dan LD50 ekstrak maja diketahui sebesar 10 gr/kg BB (Anonim 2006).
Berdasarkan kedua informasi tersebut, maka pada penelitian ini ditetapkan dosis
pertama yang digunakan adalah 1/10 x 10 gr/kg BB = 1 gr/kg BB. Hal ini sejalan
dengan Jagetia dan Venkatesh (2005) yang menetapkan dosis sebesar 1 gr/kg BB/hari.
Sedangkan untuk melihat lebih optimalnya efek perlakuan pemberian ekstrak daun
maja terhadap kinerja reproduksi hewan coba, maka ditetapkan dosis kelipatannya
yaitu sebesar 2 gr/kg BB/hari.
Adapun penetapan waktu pemberian ekstrak daun maja didasarkan pada lama
siklus estrus tikus, dimana ditetapkan pemberian ekstrak daun maja selama 1 dan 2
siklus estrus. Diketahui panjang 1 siklus estrus adalah 4-5 hari (Rugs 1968), sehingga
lama pemberian ekstrak daun maja pada hewan percobaan menjadi 6 dan 12 hari.

Persiapan Hewan Coba


Tikus betina yang sudah diadaptasikan ditempatkan dalam kandang plastik
berukuran 30 x 25 x 11cm dengan tutup terbuat dari kawat ram. Setiap kandang terisi
3 ekor tikus yang beralaskan serbuk gergaji guna menyerap urin tikus (Gambar 12).
Pakan tikus berupa pelet dari Comfeed PT Suri Tani Pemuka Grup PT Japis Comfeed
Indonesia dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat dengan
ventilasi dan penyinaran yang cukup yakni 14 jam terang dan 10 jam gelap.
29

Gambar 12. Rak kandang pemeliharaan dan pengadaptasian hewan coba.

Perlakuan Hewan Coba


Tikus betina berjumlah 30 ekor dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan, masing-
masing 6 ekor tikus. Adapun kelompok perlakuan tersebut terdiri dari : Kontrol
(Kelompok tikus tanpa pemberian ekstrak daun maja dan diberi aquadest), A1B1
(Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr//kg BB//hari selama 6 hari),
A2B1 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg BB//hari selama 6
hari), A1B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 1 gr/kg BB//hari
selama 12 hari), dan A2B2 (Kelompok tikus yang diberi ekstrak daun maja dosis 2
gr/kg /BB/hari selama 12 hari). Masing-masing kelompok perlakuan dibagi menjadi 2
kelompok pelaksanaan penelitian berdasarkan parameter penelitian, sehingga masing-
masing kelompok kecil terdiri dari 3 ekor tikus (Gambar 13).
Tikus perlakuan yang telah dikelompokkan, diberikan ekstrak daun maja
dengan menggunakan alat berupa sonde lambung. Pemberian ekstrak daun maja
dilakukan 1 kali sehari dengan terlebih dahulu dihaluskan dalam lumpang sesuai dosis
yang telah ditetapkan berdasarkan rataan berat tikus perlakuan (Gambar 14). Adapun
pembuatan larutan ekstrak daun maja yang siap diberikan adalah sebagai berikut :
Berat rata-rata tikus umur 2 - 3 bulan adalah 225 gram. Pemberian dosis 1gr/kg
BB/hari = 1 x 225 gr/1000g = 0.225 gr/hari, dan dosis 2gr/kg BB/hari = 2 x 225
gr/1000g = 0.445 gr/hari. Ekstrak daun maja tersebut selanjutnya dilarutkan dalam 1.6
ml aquadest karena kapasitas lambung tikus sebesar 2 ml (UFAW 1976), dan
kelarutan ekstrak daun maja pada dosis 2 gr /kg BB terlampau pekat apabila dilarutkan
dengan aquadest kurang dari 1.6 ml.
30

30 EKOR
TIKUS BETINA

KONTROL A1B1 A2B1 A1B2 A2B2


3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR 3 EKOR

PARAMETER : PARAMETER :
 LAMA SIKLUS ESTRUS  KINERJA REPRODUKSI
 KINERJA REPRODUKSI - Keberhasilan fertilisasi
- Berat ovarium - Keberhasilan kebuntingan
- Jumlah Folikel - Jumlah anak lahir
- Jumlah Corpus Luteum
- Laju Ovulasi
Keterangan : C = Kontrol (Tanpa perlakuan pencekokan ekstrak daun maja)
A1B1 = Perlakuan cekok dengan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari
AIB2 = Perlakuan cekok dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari
A2B1 = Perlakuan cekok dengan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari
A2B2 = perlakuan cekok dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari

Gambar 13. Diagram Penelitian.

Gambar 14. Prosedur pencekokan ekstrak daun maja secara oral.

Untuk memudahkan mendapatkan data lengkap, pada kelompok pelaksanaan


penelitian pertama, pengambilan apus vagina dilakukan selama 2 x siklus estrus (12
hari). Pada kelompok hewan yang diberikan ekstrak daun maja selama 1 siklus (6
hari), yaitu kelompok A1B1 dan A2B1, pengambilan apus vagina dilakukan pada hari
ke-7 hingga hari ke-18 guna pengambilan data siklus estrus. Pada hari ke-19 hewan
dikorbankan guna analisis kinerja reproduksinya. Sedangkan perkawinan dilaksanakan
pada hari ke-19. Protokol penelitian tertera pada gambar 15a.
31

C
B
18 19
7
H-1 6

7 18 19
A
D
Hari pelaksanaan
Keterangan :
A : Masa pemberian ekstrak daun maja
B : Masa analisa siklus estrus
C : Hewan dikorbankan untuk analisa kinerja reproduksi
D : Hewan dikawinkan untuk melihat kinerja reproduksi (kebuntingan)

Gambar 15a. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi.

Sedangkan pada kelompok hewan yang diberi ekstrak daun maja selama 2
siklus (12 hari), pengambilan apus vagina dilakukan selama 2 x siklus estrus ( 12 hari)
yaitu A1B2 dan A2B2, pengambilan apus vagina dilakukan pada hari ke-13 hingga
hari ke-24 guna pengambilan data siklus estrus, dan pada hari ke-25 hewan
dikorbankan guna analisis kinerja reproduksinya. Begitu juga dengan perkawinan
dilaksanakan pada hari ke-25. Protokol penelitian dapat dilihat pada gambar 15b.
B C

25
13 24
H-1 12

A 13 24 25

D
Hari pelaksanaan
Gambar 15b. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi

Adapun kelompok kontrol yang tidak mendapatkan ekstrak daun maja,


pengambilan apus vagina dilakukan selama 12 hari (yaitu hari ke-1 hingga hari ke-12)
guna pengambilan data siklus estrus dan dikorbankan pada hari ke-13 guna
pengambilan data kinerja reproduksi. Sedangkan perkawinan dilaksanakan pada hari
ke-13. Protokol penelitian tertera pada gambar 15c.
32

C
B

H-1 12 13

13

D
Hari pelaksanaan
Gambar 15c. Bagan perlakuan dan analisa kinerja reproduksi.

Pengambilan parameter dan analisa yang dilakukan


1. Penetapan lama siklus estrus (PSSE) tikus
Untuk memperoleh data lama siklus estrus dilakukan pengambilan sediaan
apus vagina. Pengambilan apus vagina dilakukan 3 x dalam sehari yaitu pagi hari
(pukul 06.00), siang hari (pukul 14.00) dan malam hari (pukul 22.00) WIB. Adapun
prosedur pembuatan sediaan apus vagina adalah gelas objek dibersihkan dengan
alkohol 70 %. Cotton bud dicelupkan ke dalam NaCl fisiologis, kemudian dioleskan
ke dalam vagina tikus secara perlahan-lahan dan merata sehingga diperoleh jaringan
mukosa vagina. Cotton bud yang mengandung mukosa vagina selanjutnya dioleskan
di atas gelas objek sambil diputar sehingga diperoleh olesan yang merata. Gelas
objek selanjutnya dikering anginkan di udara kemudian difiksasi dengan methanol
selama 15 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10 % selama 30 menit (Clayden 1971
& Suntoro 1983). Selanjutnya sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan
pada suhu kamar (Gambar 16).

Gambar 16. Pembuatan dan pewarnaan sediaan apus vagina.


33

Sediaan apus vagina selanjutnya diamati di bawah mikroskop binokuler


dengan perbesaran 40 x 5 (Clayden 1971). Penentuan fase siklus estrus dilakukan
berdasarkan keberadaan sel-sel epitel vagina dan jumlah kualitatif sel-sel epitelnya.
Penetapan ini didasarkan pada perbandingan jenis sel seperti tertuang pada Tabel 2.
Adapun gambaran sediaan apus vagina tikus putih galur Sprague-Dawley disajikan
pada Gambar 17. Hasil identifikasi selanjutnya dianalisis dengan cara ditabulasikan
dan dihitung rataannya selama 2 siklus estrus (lampiran 2).
Tabel 2. Perbandingan jenis sel pada preparat apus vagina

Fase siklus estrus Ulasan vagina

Proestrus Sel epitel berinti 75%


Sel kornifikasi 25%
Estrus Sel kornifikasi 75%
Sel pavement (bertumpuk) 25%
Metestrus Sel pavement 25%
Sel pavement dan leukosit 75%
Diestrus Leukosit 100%
Leukosit sel berinti mulai muncul

Sumber : Baker et al.1979.


Sel pavement Sel kornifikasi
Leucosit

Sel epitel berinti Sel kornifikasi berinti

Gambar 17. Gambar sediaan apus vagina tikus putih galur Sprague-
Dawley dengan perbesaran 40x5 (koleksi pribadi).
34

2. Kinerja reproduksi
Untuk memperoleh data kinerja reproduksi pasca pemberian ekstrak daun
maja, tikus dikorbankan dengan dianestesi. Anestesi dilakukan dengan pembiusan
menggunakan kapas yang dibasahi eter dan diletakkan dalam stoples. Tikus tersebut
dimasukkan ke dalam stoples selama beberapa menit hingga lemas dan tak sadarkan
diri, selanjutnya dilakukan pembedahan. Pembedahan dilakukan pada bagian
abdominal guna pengambilan ovarium. Untuk mengambil ovarium, terlebih dahulu
dipisahkan dan dipotong dari jaringan lemak, oviduk dan uterus yang bersambungan
dengan ovarium. Selanjutnya dilakukan penimbangan ovarium, penghitungan jumlah
folikel, corpus luteum dengan menggunakan kaca pembesar. Folikel ovarium tampak
seperti bulatan-bulatan kecil berwarna merah, sedangkan corpus luteum tampak
seperti bulatan-bulatan kecil bening.
Analisis terhadap kinerja reproduksi yang berupa laju ovulasi diperoleh dari
data yang didapat dari perhitungan jumlah folikel dan jumlah corpus luteum. Laju
ovulasi ini mencerminkan banyaknya ovum yang telah diovulasikan. Laju ovulasi
ditentukan dengan cara menghitung persentase antara jumlah corpus luteum
dibandingkan jumlah folikel.
Pada kelompok tikus yang digunakan untuk melihat kemampuan reproduksi
terutama keberhasilan kebuntingan, maka waktu keberhasilan kebuntingan ditetapkan
dengan cara mencatat hari (tanggal) kelahiran yang kemudian dikurangi 21 hari
(karena lama kebuntingan tikus adalah 21 hari) (Malole & Pramono 1989).
Selanjutnya hari kelahiran tersebut dikurangi dengan waktu perkawinan. Dan jumlah
hari yang didapat merupakan waktu keberhasilan kebuntingan (Gambar 18).
A B C

Keterangan : D
A : Tanggal (waktu) kelahiran
B : Tanggal kelahiran dikurangi 21 hari
C : Waktu pencampuran tikus betina dan jantan
D : Waktu keberhasilan kebuntingan (hari)

Gambar 18. Diagram analisa keberhasilan kebuntingan.


35

Sedangkan analisa terhadap jumlah anak diperoleh dari perhitungan terhadap


keseluruhan anak yang dilahirkan baik anak tersebut dilahirkan dalam kondisi hidup
maupun mati pada saat dilahirkan. Selanjutnya keberhasilan fertilisasi mencerminkan
banyaknya ovum yang berhasil dibuahi dan keberhasilan corpus luteum menjadi badan
hormonal untuk membentuk zigot dan fetus (Guyton 1996). Keberhasilan fertilisasi ini
dapat dihitung berdasarkan persentase antara jumlah seluruh anak yang lahir dibagi
dengan jumlah corpus luteum. Jumlah seluruh anak yang lahir ini didapat dari
kelompok pelaksanaan penelitian kedua, sedangkan jumlah corpus luteum didapat dari
kelompok pelaksanaan penelitian pertama. Hal ini diasumsikan bahwa kedua
kelompok perlakuan tersebut dianggap homogen.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan pola Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan dengan 3 kali ulangan yaitu C
(kontrol tanpa perlakuan ekstrak daun maja), A1B1 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB
selama 6 hari), A1B2 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB selama 12 hari), A2B1 (perlakuan
dosis 2 gr/kg BB selama 6 hari), dan A2B2 (perlakuan dosis 2 gr/kg BB selama 12
hari). Dengan demikian unit percobaan yang dilibatkan sebanyak 5 unit sehingga
jumlah tikus yang dipakai sebanyak 3 x 5 = 15 ekor tikus.
Unit percobaan ini dilakukan secara sejajar (2 kelompok pelaksanaan
penelitian) sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 15 ekor x 2 = 30 ekor tikus betina
dan 15 ekor tikus jantan (yang dipergunakan untuk kinerja reproduksi berupa
kebuntingan). Hal ini terkait dengan jenis pengamatan yang berbeda sesuai dengan
parameter penelitian.

Analisa data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan
Análisis of Variance (ANOVA), dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar
perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel & Torry 1993) dengan selang
kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan perangkat lunak SPSS 13 (Mattjik & Sumertajaya
2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Maja terhadap Siklus Estrus


Hasil penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap lama siklus
(PSSE) ke-1 dan ke-2 pasca pemberian ekstrak daun maja dari 5 kelompok tikus
perlakuan disajikan pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan setiap fase
dan lama siklus estrus (PSSE) ke-1 (Jam)

KELOMPOK PERLAKUAN (n=3)


Fase estrus
Kontrol A1B1 A2B1 A1B2 A2B2

Proestrus 16.0 a ± 0 29.3b ± 4.6 26.6b ± 4.6 26.6b ± 4.6 34.6b ± 4.6
Estrus 16.0 a ± 0 21.3ab± 4.6 24.0bc ± 4.6 32.0cd ± 0 37.3d ± 9.2
Metestrus 16.0 a ± 0 21.3ab± 4.6 21.3ab ± 4.6 26.6b ± 4.6 37.3c ± 4.6
Diestrus 48.0a ± 0 40.0ab ± 0 40.0ab ± 0 34.6 bc ± 4.6 26.6c ± 9.2

PSSE 96.0a ± 0 112 b ±0.05 112 b ±0.05 120 c ± 0.1 136 d ± 0.1

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Keterangan : PSSE = Panjang satu siklus estrus (Lama siklus estrus)
Kontrol = perlakuan tanpa pemberian ekstrak daun maja
A1B1 = perlakuan dosis 1gr/kg BB selama 6 hari
A1B2 = perlakuan dosis 1gr/kg BB selama 12 hari
A2B1 = perlakuan dosis 2gr/kg BB selama 6 hari
A2B2 = perlakuan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari

Tabel 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap rataan setiap fase
dan lama siklus estrus (PSSE) pada siklus ke-2 (Jam)

KELOMPOK PERLAKUAN (n=3)


Fase estrus
Kontrol A1B1 A2B1 A1B2 A2B2

Proestrus 16.0 a ± 0 29.3b ± 4.6 34.6 b ± 4.6 32.0b ± 0 40.0c ± 0


Estrus 18.6a ± 4.6 26.6ab ± 4.6 29.3bc ± 4.6 37.3cd ± 4.6 45.3d ± 4.6
Metestrus 16.0 a ± 0 29.3b ± 4.6 29.3b ± 4.6 26.6b ± 4.6 34.6b± 4.6
Diestrus 45.3 ± 4.6 42.6 ± 4.6 34.6 ± 9.2 40.0 ± 8.0 32.0 ± 0

PSSE 96.0 a ±0.05 128 b ±0.01 128 b ±0.01 136 c ±0.05 152 d ±0.05 37
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun maja
berpengaruh signifikan terhadap lama siklus estrus (PSSE) pada siklus ke-1 dan 2

36
37

(P<0.05)(Lampiran 3a-b). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa semua kelompok


perlakuan berbeda nyata dengan kontrol. Pertambahan PSSE pada siklus ke-1 sebesar
16% terjadi pada kelompok A1B1, 19.3% kelompok A2B1, 25% kelompok A1B2 dan
42 % kelompok A2B2. Sedangkan pertambahan lama siklus estrus (PSSE) yang
terjadi pada siklus ke-2 pasca pemberian ekstrak daun maja sebesar 33.3% terjadi pada
kelompok A1B1 dan A2B1, 41.6% terjadi pada kelompok A1B2 dan 58.3% terjadi
pada kelompok A2B2.
Adapun perbandingan pertambahan lama siklus estrus (PSSE) tikus perlakuan
yang terjadi pada siklus ke-1 dan siklus ke-2, dapat dilihat pada gambar 19(a-b). Pada
gambar tersebut tampak adanya peningkatan persentase pertambahan PSSE pada
seluruh kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun maja.

RATAAN LAMA SIKLUS ESTRUS TIKUS PERSENTASE PERTAMBAHAN PSSE SIKLUS


(PSSE) (JAM) KE-1 DAN SIKLUS KE-2 (%)

58
200 152 60
128 128 136 136
112 50 42 42
150 112 120
96 96 d
33 33 A1B1
c 40
100 b d 25 A2B1
a b b c 30 19.3
a b 16
50 20 A1B2

0 10 A2B2
KONTROL A1B1 A2B1 A1B2 A2B2
0
SIKLUS 1 SIKLUS 2
SIKLUS KE-1 SIKLUS KE-2
a b
Gambar 19. Perbandingan rataan lama siklus (a) dan persentase pertambahan lama
siklus estrus (PSSE) tikus perlakuan dibandingkan dengan kontrol
pada siklus ke-1 dan 2 (b) pasca pemberian ekstrak daun maja.

Pertambahan lama siklus estrus (PSSE) dan persentase sebagaimana tertera


pada Gambar 19 tersebut disebabkan karena pertambahan panjang dari tiap fasenya
baik fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Adapun persentase pertambahan
panjang setiap fase dalam siklus ke-1 dan 2 dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Berdasarkan analisa hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
daun maja berpengaruh terhadap rataan fase proestrus tikus perlakuan baik pada siklus
ke-1 maupun siklus ke-2 (P<0.05) (Tabel 3 & 4 serta Lampiran 4a-b). Hasil Uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa semua kelompok tikus perlakuan berbeda nyata dengan
tikus kontrol pada kedua siklus tersebut. Persentase pertambahan panjang fase
proestrus yang terjadi pada siklus ke-1 untuk kelompok A1B1 sebesar 83.3%
38

dipertahankan pada siklus ke-2. Sedangkan pada 3 kelompok perlakuan lainnya


mengalami peningkatan persentase PSSEnya (Tabel 5 & 6).
Tabel 5. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-1

Kelompok Perlakuan (n=3)


Fase estrus
A1B1 A2B1 A1B2 A2B2

Proestrus 83.3 ± 28.8 66.6 ± 28.8 66.6 ± 28.8 116.6 ± 28.8


Estrus 33.3 ± 28.8 33.3 ± 28.8 50.0 ± 0 100 ±0
Metestrus 33.3 ± 28.8 33.3 ± 28.8 83.3 ± 28.8 133.3 ± 28.8
Diestrus 16.6 ± 0 17.7 ± 1.96 27.7 ± 9.6 44.4 ± 19.2

Tabel 6. Persentase pertambahan panjang fase siklus estrus kelompok


perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada siklus ke-2.

Kelompok Perlakuan (n=3)


Fase estrus
A1B1 A2B1 A1B2 A2B2

Proestrus 83.3 ± 28.8 116.6 ± 28.8 100.0 ± 0 150.0 ± 0


Estrus 33.3 ± 28.8 55.5 ± 38.5 111.1 ± 67.3 155.5 ± 77.0
Metestrus 83.3 ± 28.8 83.3 ± 28.8 66.6 ± 28.8 116.6 ± 28.8
Diestrus 6.6 ± 11.5 2.2 ± 25.4 23.3 ± 8.8 33.3 ± 0
Lebih lanjut uji statistik terhadap fase siklus estrus menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak daun maja berpengaruh terhadap rataan fase estrus tikus perlakuan
baik pada siklus ke-1 maupun siklus ke-2 (P<0.05) (Tabel 3 & 4 serta Lampiran 5a-b).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada siklus ke-1 dan 2 kelompok tikus
perlakuan yaitu A1B2 dan A2B2 berbeda nyata dengan kelompok kontrol, sedangkan
A2B1 berbeda nyata dengan kontrol, terjadi hanya pada siklus ke-2, namun kelompok
A1B1 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Jika dilihat dari persentase pertambahan
lama fase siklus estrusnya, pada kelompok A1B1 pertambahan persentase sebesar
33.3% dan dipertahankan pada siklus ke-2, sedangkan pada 3 kelompok lainnya
persentase pertambahan lama fase estrus mengalami kenaikan.
39

Lebih lanjut, hasil uji statistik terhadap fase metestrus, menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak daun maja berpengaruh terhadap rataan lama fase metestrus pada
kedua siklus tersebut (P<0.05) (Tabel 3 & 4, lampiran 6a-b). Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa pada siklus ke-1, kelompok A1B2 dan A2B2 berbeda nyata
dengan kontrol, namun kelompok A1B1 dan A2B1 tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Sedangkan pada siklus ke-2, semua kelompok perlakuan berbeda nyata
dengan kontrol. Adapun persentase pertambahan lama siklus yang terjadi pada siklus
ke-1 untuk kelompok A1B1 dan A2B1 sebesar 33.3%, mengalami peningkatan hingga
83.3%, namun pada 2 kelompok lainnya yaitu A1B2 dan A2B2 terjadi penurunan
persentase lama fase siklusnya.
Hasil uji statistik terhadap fase diestrus, menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak daun maja berpengaruh terhadap rataan fase diestrus pada siklus ke-1
(P<0.05), namun tidak berpengaruh pada siklus ke-2 (P>0.05) (Tabel 3 & 4, lampiran
7a-b). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa fase diestrus kelompok perlakuan A1B2
dan A2B2 berbeda nyata dengan kontrol pada siklus ke-1, akan tetapi pada siklus ke-1
dan 2 terjadi pengurangan lama siklus maupun persentasenya jika dibandingkan
dengan kontrol. Adapun rataan panjang setiap fase siklus yang terjadi pada siklus ke-
1 dan 2 dapat disajikan pada Gambar 20.
Dari hasil analisa statistik terhadap rataan setiap fase siklus estrus ini,
tampaknya pemanjangan yang terjadi pada fase siklus ini cenderung dipertahankan
bahkan terjadi peningkatan untuk fase yang berbeda. Kecenderungan pemanjangan ini
terjadi pada ketiga fase estrus yaitu fase proestrus, estrus, dan metestrus, serta
terjadinya pengurangan pada lama fase siklus diestrus.
40

RATAANLAMA FASEPROESTRUS SIKLUS KE-1 & KE-2 RATAAN LAMA FASEESTRUS SIKLUS KE-1 & KE-2
40
40 34.6 34.6 50 45.3
29.3 32 37.3
26.626.6 29.3
40 37.3
30 KONTROL 32 29.3 KONTROL
A1B1 30 24 26.6 A1B1
16 16 21.3 18.6
20
A2B1 20 16 A2B1
10 A1B2 A1B2
10
A2B2 A2B2
0 0
siklus 1 siklus 2 a Siklus 1 Siklus 2 b

RATAAN LAMA FASEMETESTRUS SIKLUS KE-1 & RATAAN LAMA FASEDIESTRUS SIKLUS KE-1 & KE-2
KE-2 48
45.3
50 42.6
37.3 40 40 40
40 34.6
29.3 29.3 40 34.6 34.6 KONTROL
KONTROL 32
30 26.6 26.6
21.3 30 26.6 A1B1
21.3 A1B1
20 16 16 A2B1
A2B1 20
10 10 A1B2
A1B2
A2B2
0 A2B2 0
Siklus 1 Siklus 2
c Siklus 1 Siklus 2 d

Gambar 20. Perbandingan rataan pertambahan lama fase siklus estrus pada
siklus ke-1 dan 2 pasca pemberian ekstrak daun maja fase :
(a. Proestrus, b. Estrus, c. Metestrus, d. Diestrus).
Pertambahan lama fase siklus estrus ini disebabkan oleh masuknya komponen
bioaktiv β-sitosterol dan stigmasterol yang terkandung pada ekstrak daun maja bersifat
estrogenik terhadap reseptor epitel vagina. Efek estrogenik ekstrak daun maja terhadap
epitel vagina dapat dilihat dari aktivitas mitogenik yang berupa proliferasi maupun
differesiasi sel epitel vagina. Sifat estrogenik steroid ini menyebabkan kadar estrogen
dalam darah menjadi meningkat. Tingginya kadar estrogen dalam darah dapat
menghambat hipofisis dalam mensekresi hormon gonadotropin (FSH) melalui umpan
balik negatif. Menurunnya kadar FSH mengakibatkan terhambatnya perkembangan
folikel. Dalam hal ini, tampaknya pengaruh pemberian ekstrak daun maja terhadap
siklus estrus tikus berlangsung melalui poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang
mengakibatkan gangguan pada mekanisme pengendalian poros tersebut. Mekanisme
ini ditandai dengan penyimpangan lama siklus estrus berupa pertambahan panjang
fase folikuler (proestrus dan estrus) akibat hambatan terhadap sekresi FSH, tetapi
justru pemendekan lama fase luteal (diestrus) kelompok tikus perlakuan sebagai akibat
rendahnya sekresi LH. Aktivitas ini menyebabkan lama siklus estrus (PSSE) tikus
perlakuan menjadi lebih panjang dibandingkan dengan kontrol. Menurut Farnsworth et
al. (1975) komponen bioaktif berupa β-sitosterol dan stigmasterol bersifat estrogenik,
dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap panjang-pendek siklus estrus.
41

Demikian juga Nalbandov (1990), menyatakan bahwa panjang pendek suatu siklus
estrus dikendalikan oleh sistem hormonal reproduksi melalui poros hipotalamus-
hipofisis-ovarium. Jika terjadi penyimpangan pada lama siklus estrus, hal itu
menunjukkan telah terjadi gangguan pada mekanisme pengendalian tersebut. Hal
yang sama dikemukakan oleh Ganong (2003), bahwa penyimpangan lama siklus
estrus disebabkan karena penyimpangan pada mekanisme pengendalian poros
hipotalamus-hipofisis-organ target reproduksi, melalui feed back (umpan balik)
negatif.
Pada penelitian ini, pemberian ekstrak daun maja secara oral selama 6 dan 12
hari telah merubah lama fase siklus estrus tikus baik pada siklus ke-1 dan
diperpanjang pada siklus ke-2. Pemanjangan ini kemungkinan disebabkan terjadinya
hambatan pada organ reproduksi lain yakni hambatan proses perkembangan sel folikel
dalam ovarium. Folikel telur dalam ovarium nasibnya tergantung pada hormon
gonadotropin (FSH dan LH). LH mendorong perkembangan akhir masaknya sel
folikel dan mendorong perkembangan korpus luteum yang mensekresi progesteron.
Perubahan sekresi gonadotropin yang membawa dampak pada siklus ovarium
diperlihatkan dengan terjadinya pemanjangan setiap fase siklus estrus (proestrus,
estrus, metestrus dan diestrus) tikus perlakuan. Pemanjangan lama siklus estrus ini
disebabkan karena mekanisme kerja zat steroid yang terkandung dalam ekstrak daun
maja yakni β-sitosterol dan stigmasterol yang menyebabkan terhambatnya fase
folikuler. Terhambatnya fase folikuler ini ditandai dengan memanjangnya fase
proestrus dan fase estrus. Selain itu juga menyebabkan terhambatnya fase luteal
ovarium sehingga mengacaukan luteolisis ovarium yang ditandai dengan
memendeknya fase diestrus. Hal ini berarti siklus yang satu menjadi indikasi siklus
yang lain, sehingga jika terjadi perubahan pada satu siklus (yakni siklus ovarium),
maka akan tergambar pada siklus yang lain (siklus vagina).

Efektifitas Pemberian Ekstrak Daun Maja terhadap Kinerja Reproduksi Tikus


Kinerja reproduksi tikus pasca perlakuan pemberian ekstrak daun maja dapat
diketahui dengan menganalisa kinerja organ reproduksinya baik sebelum terjadi
kebuntingan maupun setelah terjadi kebuntingan. Analisa kinerja reproduksi sebelum
42

kebuntingan dapat ditelaah dari : berat ovarium, jumlah folikel, jumlah corpus luteum,
laju ovulasi. Berat ovarium mengindikasikan perkembangan folikuler dan luteolisis
ovarium, jumlah folikel menunjukkan banyaknya ovum yang dihasilkan, jumlah
corpus luteum menunjukkan terjadi tidaknya ovulasi serta laju ovulasi
menggambarkan keberhasilan ovum yang diovulasikan.

Berat Ovarium, Jumlah Folikel, Jumlah Corpus Luteum, dan Laju Ovulasi
Rataan berat ovarium, jumlah folikel, jumlah corpus luteum serta laju ovulasi
tikus pasca pencekokan ekstrak daun maja menunjukkan penurunan pada keseluruhan
parameter tersebut bila dibandingkan dengan tikus kontrol. Rataan tersebut disajikan
pada Tabel 7. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa jumlah corpus luteum, dan laju
ovulasi pada tikus yang diberikan ekstrak daun maja selama 12 hari berbeda nyata
dengan kontrol..
Tabel 7 : Rataan berat ovarium tikus (mgr), jumlah folikel (buah), corpus luteum
(buah), dan laju ovulasi (%) pasca pemberian ekstrak daun maja

Kelompok Perlakuan
Parameter
Kontrol A1B1 A2B1 A1B2 A2B2

Berat ovarium 12.0 ± 4.5 9.6 ± 3.7 9.0 ± 1.7 6.0 ± 1.0 4.6 ± 1.5
Jumlah Folikel 15.0 ± 3.0 12.3 ± 1.5 12.0 ± 1.7 10.6 ± 2.0 9.3 ± 1.5
Jumlah CL 12.6a ± 3.7 8.6ab ± 2.0 5.6b ± 3.0 3.6b ± 4.7 3.3b ± 2.0
Laju ovulasi 83.3a ±10.5 69.7ab ± 7.3 45.6 ± 20.5 44.3 bc± 24.5 33.8c ± 18.4
bc

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun maja tidak
berpengaruh terhadap berat ovarium dan jumlah folikel tikus perlakuan (P>0.05)
(Lampiran 8 & 9), namun demikian terjadi penurunan berat ovarium dan jumlah
folikel tikus perlakuan. Bila dibandingkan dengan kontrol, penurunan berat ovarium
sebesar 20% terjadi pada kelompok A1B1, 25% pada kelompok A2B1, 50% pada
kelompok A1B2 dan 62% pada A2B2. Pengurangan berat ovarium disebabkan karena
terjadi penurunan jumlah folikel dan corpus luteum. Jumlah folikel ovarium ini terjadi
penurunan sebesar 20% pada kelompok A1B1 & A2B1, 33% pada A1B2, bahkan
mencapai 40% pada kelompok A2B2, dan penurunan jumlah korpus luteum sebesar
43

38% terjadi pada kelompok A1B1, 54% pada A2B1, 69% pada A1B2 dan 77% pada
A2B2.
Pada penelitian ini masuknya steroid yang terkandung pada ekstrak daun maja
menyebabkan berkurangnya berat ovarium sehingga mempengaruhi fungsi ovarium.
Menurut Nalbandov (1990), ovarium yang lebih fungsional sedikit lebih berat dan
struktur di dalamnya lebih besar. Berat ovarium yang berkurang disebabkan karena
penurunan jumlah folikel. Jumlah folikel yang berkurang disebabkan karena naiknya
estrogen dalam darah sebagai akibat penekanan kadar FSH. Penekanan kadar FSH
menyebabkan terhambatnya perkembangan folikel. Hambatan ini ditunjukkan oleh
jumlah folikel yang menurun pada 4 kelompok perlakuan. Menurut Partodihardjo
(1980), berat ovarium tikus berhubungan erat dengan perkembangan folikel. Pada
tikus, berat ovarium akan meningkat bila dalam ovarium tersebut banyak folikel yang
mengalami ovulasi (Rugs 1968). Demikian juga Zambrana (1971) mengemukakan
bahwa berat ovarium akan mengalami penurunan apabila terjadi penekanan jumlah
folikel. Pendapat yang sama menurut Farnsworth et al. (1975) dan Cheeke (1989)
menyatakan bahwa tumbuhan yang mengandung steroid umumnya bersifat estrogenik
sehingga mempengaruhi perkembangan folikel. Hal ini berkaitan dengan efek yang
ditimbulkan dari masuknya fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) yang terkandung
pada ekstrak daun maja ini menyebabkan kadar estrogen dalam darah meningkat.
Peningkatan estrogen ini dapat menghambat perkembangan folikel melalui penekanan
kadar FSH melalui umpan balik negatif. Penekanan kadar FSH ini berakibat gangguan
terhadap perkembangan folikel yang ditunjukkan oleh penurunan jumlah folikel
ovarium yang matang. Hal ini berkaitan dengan efek yang ditimbulkan dari masuknya
fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) yang terkandung pada ekstrak daun maja yang
dapat menghambat perkembangan folikel melalui penekanan kadar FSH. Penekanan
kadar FSH ini berakibat berkurangnya jumlah folikel maupun corpus luteum ovarium.
Analisa uji statistik terhadap jumlah corpus luteum, menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak daun maja berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah
corpus luteum tikus perlakuan (P<0.05)(Lampiran 10). Uji lanjut Duncan
menunjukkan bahwa 3 kelompok tikus perlakuan yaitu A2B1, A1B2, dan A2B2
44

berbeda nyata dengan kontrol, namun kelompok A1B1 tidak berbeda nyata dengan
kontrol (Tabel 6).
Penurunan jumlah corpus luteum ini disebabkan karena masuknya zat
antifertilitas β-sitosterol, stigmasterol, dan glikosida triterpen mempunyai kemampuan
membentuk kompleks dengan kolesterol yang mengakibatkan perubahan pada
permeabilitas membran dan menekan transport asam amino ke dalam sel. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hambatan sintesis RNA. Terjadinya hambatan sintesis RNA
mengakibatkan terjadinya hambatan mitosis. Terjadinya hambatan mitosis berlanjut
dengan terhambatnya proliferasi dan differensiasi folikel sehingga sel telur tidak dapat
melanjutkan meiosisnya. Proses meiosis 1, sel telur terjadi menjelang ovulasi, dan
proses meiosis 2 selesai setelah terjadi fertilisasi. Gangguan terhadap proses ini akan
langsung mengakibatkan gagalnya pemasakan sel telur yang akhirnya mengakibatkan
tidak terjadinya ovulasi. Tidak terjadinya ovulasi tentu tidak terbentuk corpus luteum.
Pada penelitian ini, berkurangnya jumlah corpus luteum ini sejalan dengan
berkurangnya jumlah folikel kelompok tikus perlakuan (Gambar 21).

Kontrol A1B1 A1B2 A2B1 A2B2

Gambar 21. Corpus Luteum tikus (Koleksi pribadi).


Berkurangnya jumlah folikel ovarium ini diikuti oleh berkurangnya jumlah
corpus luteum. Korpus luteum terbentuk karena hipertrofi dan hiperplasi sel-sel
granulosa folikel yang sedang ovulasi (Nalbandov 1990). Hal ini akan berdampak
pada menurunnya laju ovulasi, karena banyak sedikitnya corpus luteum berhubungan
erat dengan jumlah ovum yang diovulasikan. Laju ovulasi dapat dihitung dari
persentase antara jumlah corpus luteum dibandingkan jumlah folikel. Berdasarkan
hasil uji statistik terhadap persentase laju ovulasi, menunjukkan bahwa perlakuan
ekstrak daun maja berpengaruh signifikan terhadap laju ovulasi tikus perlakuan
(P<0.05) (Tabel 5 dan Lampiran 11). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa 3
kelompok perlakuan yaitu A1B2, A2B1, dan A2B2 berbeda nyata dengan kontrol,
akan tetapi A1B1 tidak berbeda nyata dengan kontrol.
45

Terjadinya penurunan laju ovulasi ini disebabkan karena peningkatan dosis dan
waktu pemberian ekstrak daun maja pada perlakuan. Penurunan laju ovulasi selaras
dengan peningkatan dosis pencekokan (Kanokporn et al. 2006). Hal ini sesuai dengan
pendapat Meffin (1980) mengenai respon obat terhadap organisme. Respon pemberian
obat pada tubuh organisme merupakan suatu kurva sinusoid dimana peningkatan dosis
akan mengakibatkan peningkatan respon dari organisme (Gambar 22). Penurunan laju
ovulasi ini sangat efektif untuk mengurangi tingkat kesuburan hewan coba. Tingkat
kesuburan dapat dilihat dari laju ovulasi yang terjadi pada hewan betina. Dengan
demikian pemberian ekstrak daun maja sangat efektif dipergunakan sebagai
kontrasepsi alami.

Gambar 22. Kurva respon obat (Meffin 1980).


Faktor lain penyebab penurunan kinerja reproduksi yang terjadi pada ovarium
adalah mekanisme kerja lain dari steroid yang terkandung pada ekstrak daun maja
berupa β-sitosterol dan stigmasterol yang memiliki gugus atom siklopentana
perhidrofenantren (Suradikusumah 1989 & Harborne 1987). Mekanisme kerja hormon
steroid pada sel target dijelaskan oleh Turner & Bagnara (1976) dinyatakan bahwa
hormon tersebut dapat dengan mudah melakukan penetrasi melalui membran
sitoplasma. Pengenalan hormon oleh sel target berhubungan erat dengan reseptor
spesifik dalam sitoplasma guna membentuk kompleks hormon-reseptor untuk
memasuki inti sel, sehingga reseptor yang inaktif menjadi aktif kembali. Mekanisme
yang sama juga dijelaskan oleh Lay Cock (1982) menyatakan bahwa pengenalan zat
yang bersifat steroid akan berkompetisi untuk mengikat reseptor antara hormon
ovarium yang berupa estrogen maupun progesteron dengan organ targetnya.
Demikian juga pengikatan reseptor hormon ovarium (estrogen & progesteron)
dengan fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) mengakibatkan hambatan mekanisme
pengaturan gen spesifik pada inti sel yaitu kemungkinan terjadinya hambatan sintesa
46

protein (asam nukleat). Hal ini akan mempengaruhi diferensiasi perkembangan sel
folikel dan berakibat menghambat masaknya sel folikel. Terhambatnya pemasakan
folikel ovarium menyebabkan tidak terjadinya ovulasi bahkan berkurangnya jumlah
corpus luteum yang mengakibatkan penurunan berat ovarium.

Pengaruh Pemberhentian Ekstrak Daun Maja terhadap Keberhasilan


Kebuntingan
Efektifitas perlakuan ekstrak daun maja selama periode tertentu terhadap
reproduksi tikus sebagaimana disebutkan pada hasil penelitian terdahulu, tampak
bahwa perlakuan berpengaruh terhadap reproduksi tikus, tetapi apakah pengaruh
perlakuan ini dapat berubah seperti sebelum perlakuan, dapat dilihat dari hasil
penelitian kelanjutan dengan penghentian perlakuan selama 12 hari, dan menelaah
kinerja reproduksi terutama keberhasilan kebuntingan. Pengaruh ekstrak daun maja
terhadap keberhasilan kebuntingan tertera pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan awal kebuntingan, jumlah anak dan keberhasilan
kebuntingan tikus pasca penghentian ekstrak daun maja
selama 12 hari

Kelompok perlakuan ( n=3 )


Parameter KONTROL A1B1 A1B2 A2B1 A2B2

Awal kebuntingan
(hari ke-) 2.0a ± 1.0 3.0ab ± 2.0 7.6b ± 4.5 6.6ab ± 4.0 n.a
Jumlah anak 9.0a ± 1.5 7.0ab ±1.5 5.0ab ± 2.0 4.0b ± 3.7 n.a
Keberhasilan
kebuntingan (%) 75.0ab± 9.5 84.3bc ±3.0 62.6b±21.9 92.3c ± 13.2 n.a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata ( P<0.05)
Keterangan : n.a = tidak dapat diukur

Hasil analisis uji ANOVA terhadap pengaruh penghentian pemberian ekstrak


daun maja berpengaruh signifikan terhadap awal kebuntingan tikus (P<0.05) (lampiran
12). Rataan awal kebuntingan kelompok tikus yang diberikan ekstrak daun maja lebih
lama bila dibandingkan dengan kontrol. Rataan awal kebuntingan tikus pasca
penghentian pemberian ekstrak daun maja selama 12 hari yang dilanjutkan dengan
perkawinan dengan tikus jantan normal, diperoleh bahwa awal kebuntingan tercepat
47

ditemukan pada kelompok tikus A1B1 yakni hari ke-3, dan kebuntingan terlambat
terjadi pada kelompok tikus A1B2 yaitu hari ke-7. Bahkan pada kelompok tikus
A2B2 tidak mengalami kebuntingan hingga hari ke-30. Hal ini berarti bahwa
penghentian pemberian ekstrak daun maja dapat mengembalikan kinerja reproduksi
menjadi normal kembali meskipun belum optimal pemulihannya, kecuali pada
kelompok dosis tinggi dan lama pemberian 12 hari.
Lebih lanjut berdasarkan hasil analisis uji ANOVA menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian ekstrak daun maja berpengaruh signifikan terhadap pengurangan
jumlah anak kelompok tikus perlakuan (P<0.05) (lampiran 13). Parameter jumlah anak
terlihat bahwa kelompok tikus perlakuan memiliki jumlah anak lebih sedikit bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Rataan jumlah anak terbanyak ditemukan
pada kelompok perlakuan A1B1 (7.3 ekor), dan jumlah paling sedikit ditemukan pada
kelompok A2B2 tidak terjadi kebuntingan hingga hari ke-30. Pada gambar yang sama
terlihat pengurangan jumlah anak sangat bermakna. Hal ini sejalan dengan penurunan
jumlah corpus luteum akan diikuti oleh penurunan jumlah anak. Penurunan jumlah
anak ini disebabkan masuknya zat antifertilitas ekstrak daun maja (β-sitosterol dan
stigmasterol bersifat abortiv dan interseptif) menyebabkan kegagalan implantasi
embrio pada endometrium sehingga menyebabkan jumlah anak menjadi lebih rendah.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan A1B2 dan A2B2 berbeda
nyata dengan kelompok kontrol, namun A1B1 dan A2B1 tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Hal ini menunjukkan semakin tinggi dosis dan waktu pemberian ekstrak
daun maja, menyebabkan pengurangan jumlah anak semakin besar.
Jumlah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara tikus perlakuan
dengan tikus jantan normal dewasa sangat tergantung pada berhasil tidaknya proses
fertilisasi dan implantasi embrio pada endometrium tikus (Hafez 2000). Hal ini
tampak bahwa pemberian ekstrak maja secara oral dapat menyebabkan berkurangnya
jumlah anak (P < 0.05). Penurunan jumlah anak ini selaras dengan pengurangan
jumlah corpus luteum, karena jumlah corpus luteum sama dengan jumlah anak, dan
jumlah corpus luteum merupakan petunjuk folikel yang berovulasi dan berubah
menjadi badan hormonal yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan (Guyton
1998).
48

Beberapa faktor penyebab kegagalan kebuntingan antara lain : disfungsi


ovarium, kekacauan fertilisasi, mortalitas embrionik, faktor lingkungan (Hafez 2000).
Faktor lingkungan yang berupa penggunaan obat-obatan atau alat kontrasepsi
mengakibatkan terhambatnya proses ovulasi, fertilisasi dan implantasi (Suherman
2007). Mekanisme kerja β-Sitosterol dan stigmasterol yang terkandung pada ekstrak
daun maja berbentuk cincin siklopentana perhidrofenantren bersifat estrogenik akan
menghambat ovulasi, dan menyebabkan kekacauan fertilisasi, serta berakibat
menghambat pre-implantasi embrio pada endometrium tikus pasca perlakuan ekstrak
daun maja. Mekanisme kerja lain dari β-Sitosterol dan stigmasterol dapat juga
menyebabkan sel stroma endometrium gagal untuk melakukan desidualisasi (proses
membesarnya sel stroma endometrium). Selain itu, kegagalan kebuntingan pada tikus
dapat disebabkan oleh faktor lain yaitu karena terganggunya perkembangan pre-
implantasi dengan cara memblok-hatcing (membatasi penempelan atau nidasi) embrio.
Karaca (2007) menyatakan gagalnya penempelan blastosis serta terganggunya
perkembangan tropoblast dan inner cell mass terjadi melalui hambatan sintesis asam
nukleat dan protein dalam blastosis tikus, padahal aktivitas biosintesis asam nukleat
dan protein dalam sel endometrium penting untuk terjadinya reaksi desidualisasi. Hal
ini diperkuat oleh Gangadhar dan Lalithakumari (1995) yang menyatakan bahwa
pemberian ekstrak maja dengan dosis relatif tinggi, berpengaruh terhadap penundaan
keberhasilan implantasi embrio pada dinding endometrium tikus selama kebuntingan.
Tidak terjadinya desidualisasi ini menyebabkan kegagalan embrio untuk implantasi.
Hal ini tampak pada kelompok perlakuan A2B2 (dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari)
yang ditandai tidak terjadi kebuntingan dan ketiadaan fetus. Zat anti fertilitas yang
terdapat pada ekstrak daun maja berupa β-sitosterol dan stigmasterol ini dapat
berperan sebagai kontraseptif (berperan mencegah terjadinya fertilisasi), interseptif
(menghambat terjadinya implantasi) dan abortivum (mengurangi jumlah fetus) serta
spermisidal (menyebabkan kematian sperma) (Cheeke 1989).
Bila dikaji lebih lanjut, ternyata awal kebuntingan kelompok perlakuan
semakin lambat sejalan dengan bertambahnya waktu pemberian ekstrak daun maja.
Dengan demikian keberhasilan kebuntingan pada kelompok tikus perlakuan
menunjukkan bahwa ekstrak daun maja yang mengandung β-sitosterol serta
49

stigmasterol yang diberikan selama periode tertentu dan dihentikan selama periode
yang sama tidak mempengaruhi kinerja organ reproduksi tikus secara berkepanjangan.
Hal ini terbukti pada kelompok perlakuan A1B1, A1B2, dan A2B1 yang mengalami
kebuntingan meskipun tidak secepat kelompok tikus kontrol. Namun pemberian
ekstrak daun maja dosis 2 gr/kg BB/hari selama 12 hari berpengaruh lebih lama
terhadap keberhasilan kebuntingan seperti kelompok tikus A2B2 (perlakuan ekstrak
daun maja dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari yang dihentikan perlakuannya selama 12
hari), tidak terjadi kebuntingan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun maja yang
diberikan dengan dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari, sangat berpengaruh terhadap
kinerja reproduksi tikus lebih lama. Berdasarkan perolehan data tersebut, perlakuan
ekstrak daun maja selama periode tertentu dan dilanjutkan dengan penghentian
perlakuan selama periode yang sama dapat mengembalikan tingkat kesuburan tikus
yang ditandai dengan terjadinya kebuntingan pada 3 kelompok tikus perlakuan yaitu
A1B1, A1B2, serta A2B1. Namun pada kelompok tikus A2B2 berdampak lebih lama
terhadap ketidaksuburan kinerja reproduksi tikus yang ditandai dengan tidak terjadi
kebuntingan hingga waktu yang lama.
Cepat lambatnya pemulihan siklus reproduksi ini tergantung pada besarnya
dosis maupun lama pemberian ekstrak. Hal ini sesuai dengan pendapat Meffin (1980)
mengenai respon obat dalam tubuh organisme. Hal ini terbukti bahwa semakin tinggi
dosis dan lama pemberian ekstrak daun maja semakin lambat awal kebuntingan. Pada
tikus kelompok perlakuan A1B1 (perlakuan dosis 1 gr/kg BB selama 6 hari) lebih
cepat bunting dibandingkan kelompok perlakuan lain. Bahkan terbukti pada kelompok
perlakuan A2B2 (perlakuan dosis 2 gr/kg BB selama 12 hari) berpengaruh lebih
panjang terhadap pemulihan kinerja reproduksinya. Dosis ekstrak sebanyak 2 gr/kg
BB selama 12 hari pada kelompok tikus A2B2 ini sudah memperlihatkan gejala
berkepanjangan yang ditandai dengan kegagalan kebuntingan hingga waktu yang
lama (bahkan mencapai hari ke-30 tidak terjadi kebuntingan). Hal ini dapat dikatakan
bahwa pemberian ekstrak daun maja dengan dosis 2 gr/kg BB/hari selama 12 hari
menunjukkan dosis di atas optimal sehingga pengaruhnya terhadap kinerja reproduksi
menjadi berkepanjangan yang ditandai dengan tidak terjadi kebuntingan. Hal ini
50

didukung oleh Lu (1992) yang menyatakan bahwa zat yang bersifat toksik maupun
teratogen dapat menyebabkan kematian embrio.
Persentase keberhasilan kebuntingan ini diperoleh dari jumlah anak
dibandingkan jumlah corpus luteum dikalikan 100 %. Jumlah corpus luteum ini
didapat dari perolehan jumlah corpus luteum pada kelompok penelitian pertama.
Sedangkan jumlah anak diperoleh dari kelompok penelitian kedua Hal ini diasumsikan
bahwa kelompok pelaksanaan penelitian pertama dan kedua dianggap homogen.
Mekanisme pemulihan kinerja reproduksi dapat dilihat dari kinerja reproduksi tikus
pasca penghentian pencekokan ekstrak daun maja yang ditandai dengan keberhasilan
kebuntingan. Menurut Nalbandov (1990) keberhasilan kebuntingan hewan politokus
mendekati 100 %. Hal ini terbukti pada kelompok A1B1 dan A2B1 memiliki
persentase kebuntingan mendekati 100 % yakni 84.3 dan 92.3 %. Sedangkan 2
kelompok perlakuan lain yaitu A1B2 dan A2B2 (perlakuan dengan waktu pemberian
12 hari) memiliki persentase keberhasilan kebuntingan yang sangat berbeda dengan
kelompok kontrol.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak
maja dengan dosis 1 dan 2 gr/kg BB pada tikus betina selama 6 dan 12 hari sangat
berpengaruh terhadap fertilitas tikus betina yakni dapat menurunkan kinerja
reproduksi tikus betina dalam hal : 1). Mengakibatkan perpanjangan lama fase siklus
estrus tikus pada ketiga fasenya (proestrus, estrus dan metestrus) serta memperpendek
fase diestrus tikus perlakuan. 2). Menurunkan berat ovarium, mengurangi jumlah
folikel dan korpus luteum yang berakibat penurunan laju ovulasinya. 3). Menurunkan
jumlah anak yang lahir. Dari ketiga kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa
fitosterol (β-sitosterol dan stigmasterol) yang terkandung pada ekstrak daun maja
bersifat kontraseptif yakni mencegah ovulasi sehingga fertilisasi tikus betina tidak
terjadi.
Sedangkan penghentian pemberian ekstrak daun maja tidak memberikan
pengaruh lebih lama terhadap kinerja reproduksi serta dapat mengembalikan kinerja
sistem reproduksi menjadi normal kembali. Dari perlakuan yang diberikan, pemberian
ekstrak daun maja dengan dosis 2gr/kg BB selama 12 hari (A2B2) berpengaruh baik
untuk diterapkan dalam kontrasepsi.

Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap :
1. Kadar hormon FSH, LH, estrogen efektif yang dapat menyebabkan
antifertilitas pada tikus betina dan penelitian terhadap hewan mamalia yang
lebih tinggi
2. Kemungkinan efek toksisitas dan teratogen ekstrak daun maja pada hati
dan ginjal hewan coba.
3. Banyaknya dosis dan waktu pemberian ekstrak daun maja, sehingga
pengaruh masing-masing dan interaksi kedua variabel penelitian lebih
nyata terhadap fertilitas hewan coba.

51
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. [IJEACCM]. 2006. Evaluation of a new Class 1 Substance.http://www.


Medsafe. Gout.112/ regulatory/comp.med/PIL/IJEACCM/2/ Aegle marmelos
pdf.

Baker DEJ. 1979. Reproduction and Breeding dalam The Laboratory Rat.
Academic Press. Inc.

Bullock, Hans J, Hedrick, Gillian R. 2004. The Laboratory Mouse. New York.
Academic Press.

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi 3. Edisi ke-5. Jakarta. Erlangga.

Chauhan A, Agarwa M, Kushwaha S, Mutreja A. 2007. Suppression of fertility in


Male Albino Rats following the Administration of 50 % Ethanolic Extract of
Aegle marmelos. J. Contraception. Vol 76 : 474-481

Cheeke PR. 1989. Toxicant of Plant Origin. CRC Press.

Clayden EC. 1971. Practical Section, Cutting, and Staining. Churchill livingstone
Edinburg.

Corner EJH. Watanabe. 1969. Illustrated Guide to Tropical Plants. Tokyo. Hirokawa
Publishing Company Inc.

Depkes RI. 1985. Kodifikasi Peraturan Perundang-undangan Obat Tradisional. Ed


ke-3. Jakarta.

Depkes RI. 1972. Farmakope Indonesia. Lembaga Farmasi Indonesia. Ed ke-2.


Jakarta.

Ferin M. Jewelewicz R. Warren M. 1993. The Menstrual Cycle. New York.


Oxford. University Press.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Universitas Gajah Mada Pres.
Ed ke-4. Yogyakarta.

Farnsworth NR, Bingel AS, Cordel. 1975. Potensial Value of Plant as Sources of
New Antifertility Agents. J. Pharmac. Sci. Vol 63 : 4-10.

Farnsworth NR, Bingel AS, Cordel, Deng S, Wang Y, Chen SN. 1978. Objective to
study the Potential Antifertility Effect of the Aqueous Aegle marmelos a
potential agen for treating small cell. J. Pharmac Sci. Vol 64 : 535-548.

52
53

Fox JG. 2007. The Mouse in Biomedical Research. Ed ke-2. New York. Academic
Press.

Gangadhar R. and Lalithakumari K. 1995. Abortifacient Activity of Aqueous Extracts


Of the Leaves of Aegle marmelos in Albino Rats. Indian Drugs 32 : 129-140.

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Ghermandhi E. 2002. Kuvalam- Aegle marmelos Correa. http://www. Easygrowing


Org/documents/EG- Kuvalam Aegle marmelos.pdf. [ 8 Oktober 2008 ].

Granner DK. 1988. Hormones of The Gonads. California. Harpers Biochemistry.

Guyton AC. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (Human


Physiology and Mechanism of disease). Terj. Ed ke-3. Jakarta. Buku
Kedokteran EGC.

Joy P, Thomas, Mathew J, Samuel. 2001. Medicinal Plants-Tropical Horticultura. Vol


2 : 449-632.

Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animal. Ed ke-7. Philadelphia. Lippincott.


Williams & Wilkins.

Hafez ESE. 1993. Reproduction and Breeding Techniques for Laboratory Animals.
Philadelphia

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Bandung. Institut Teknologi Bandung.

Hariana A. 2002. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta. Swadaya.

Hasrah. 1994. Pengaruh Infus Daun Maja ( Aegle marmelos Corr) terhadap Fertilitas
Mencit Betina. Makasar. JF MIPA Universitas Hasanuddin.

Jain A, Katewa SS, Chaudhary BL, and Galav P. 2004. Folk Herbal Medicines Used
Birth Control and Sexual Disease by Tribal of Southern Rajastthan, Journal of
Ethnopharmacology . Vol 90 : 171-177.

Jagetia GC and Venkatesh P. 2005. Radioprotection by Oral Administration of Aegle


Marmelos (L.) Correa in Vivo. J. Environmental Pathology, Toxicology and
Oncology: Vol. 24 : 315-323.

Johnsons and Everith. 1988. Essential Reproduction. Oxford. Black well Scient
Publication.
54

Kanokporn S, Aritajat S, Saenpet S, Manosroi JA. 2006. Safety Evaluation of


Aqueous Extracts from Aegle marmelos and Stevia rebaudiana on
Reproduction of Female Rats. J. Pharmac. Vol 37: 3203-3205.

Kapoor LD. 1990. Handbook of Ayurvedic Medical Plants. CRC Press.

Karaca T, Uslu MY. 2007. Distribution and Quantitativ Pattern of Mass Cell in Ovary
and Uterus of Rat. Arc. Med. Vet. Vol. 39 : 135-139.

Kumar Das U, Maiti R, Jana D, Ghosh D. 2006. Effect of Aqueous Extract of Leaf of
Aegle marmelos on Testicular Activi ties in Rats. J Pharmacology
Therapeutics Vol. 5 : 21-25.

Lay Cock JF. 1982. Hormones of the Menstrual Cycle dalam Pathology of The
Female Genetal Track. New York. Springer Vorly.

Lu FC. 1992. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Terj. Edi Nugroho. Jakarta. UI Press.

Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di


Laboratorium. Depdikbud. Dirjen. Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi. Bogor. IPB Press.

Martin CR. 1985. Endocrine Physiology. New York. Oxford. University Press. Inc.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan MINITAB. Ed ke-3 Bogor. IPB Press.

Mc. Donald LE. 1989. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Philadelpia Ed


ke-3. Lea and Febiger.

Meffin PJ, Birkelt DJ, Wing LMH.1980. Fundamentals of Clinicals Pharmacology.


Pharmacological Response Dynamics. Medical Progress.

Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Ed ke-3. Terj.
Jakarta.Universitas Indonesia Press.

Nelson OE. 1983. Comparative Embriology of The Vertebrates. New York. The
Blakiston Co.Inc.

Partodiharjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta. Mutiara.

Richards JS. 1980. Maturation of Ovarian Follicel : Action and Interaction of Pituitary
and Ovarian Hormone and Follicular Cell Differentiation. Physiol.
Reproduction. 90 : 55-89.

Riyanto S, Mawardi R. 2000. Isolasi Senyawa Korteks Aegle marmelos dengan


Petroleum Eter. Yogyakarta. Fak. Farmasi Universitas Gajahmada.
55

Ross GT. and Schreiber JR. 1991. The Ovary dalam Yen SSC Jaffe RB. Reproductive
Endocrinology Ed. ke-3. Philadelphia. Saunders Company.

Rugs R. 1968. The Mouse its Reproduction and Development. USA. Burges
Publishing Co. Inc.

Sammuelson B, Goldyne M, Granstrom E, and Hamberg M.1978. Prostaglandins and


Tromboxanes. J. Anat Reproduction Biochemical Vol. 47 : 997-1029.

Sartono ML. 1994. dalam Syahrum MH. Reproduksi dan Embriologi. Jakarta.
Fakultas Kedkteran Universitas Indonesia.

Sastrawinata S. 2001. Teknik Keluarga Berencana. Bandung. Universitas Pajajaran.

Singh Z and Malik AW. 2000. The Bael. West Australian Nut and Tree Crops
Association Year Book Vol. 24 : 12-17.

Smith B dan Mangkoewidjojo NS. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan


Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta. Universitas Indonesia Press.

Steel RGD, Torry HJ. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.

Suherman SK. 2007. Estrogen, Anti estrogen, Progestin dan Kontrasepsi Oral dalam
Farmakologi dan Terapi. Ed ke-5. Jakarta. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fak Kedokteran Universitas Indonesia.

Sumantri dan Sugihardjo CJ.1977. Kemungkinan Penggunaan Tanaman Asli


Indonesia Sebagai Obat Kontrasepsi. Panitia Pekan Ilmiah dan Diskusi.
Yogyakarta. Fak. Farmasi Universitas Gajah Mada.

Suntoro SH. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi & Histokimia). Jakarta. Bhratara
Karya Aksara.

Supardi. 1985. Apotik Hijau. Surakarta. PT Purena Wana.

Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor. Ditjen Pendidikan Tinggi PAU.


Institut Pertanian Bogor.

Sur TK, Pandit S, Pramonik T, and Bhattacharyya D. 2002. Effect of Aegle marmelos
Leaf on Rat Sperm Motility : an in Vitro study. Indian Journal of
Pharmacology: Vol 34 : 276-277.

Syahrum MH, Kamaluddin, Tjokronegoro 1994. Reproduksi dan Embriologi. Jakarta.


Fak Kedokteran Universitas Indonesia.
56

Tadjudin MK. 1984. Cara Keluarga Berencana dalam Perkawinan. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Univ. Indonesia.

Tolihere MR. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung. Angkasa.

Turner CD and Bagnara JT. 1976. Endokrinologi Umum. Ed ke-6. Yogyakarta.


Airlangga University Press.

UFAW. 1976. The UFAW Handbook on The Care and Management of Laboratorium
Animals. Fifth ed. Edinburg Churchil Livingstone.

Van Tienhoven A. 1983. Reproductive Physiology of Vertebrates. Philadelpia.


Saunders Company.

Winarno W, dan Sundari D. 1997. Informasi Tanaman Obat untuk Kontrasepsi


Tradisional. Cermin Dunia Kedokteran 176.

Zambrana AM, Gilbert S. Greenwald. 1971. Effect of Fetal, Ovarian. And Placental
Weight of Various Number of Fetuses in The Rat. Biology of Reproduction.
Vol. 4 : 216-223.
Lampiran 1 : Hasil uji fitokimia ekstrak daun maja

57
58

Lampiran 2 :

DATA RATAAN HASIL PERHITUNGAN SIKLUS ESTRUS TIKUS KONTROL


Tabel 1a. Rataan fase siklus estrus pertama tikus kontrol

Tabel 1b. Rataan fase siklus estrus keduaa tikus kontrol

Lampiran 2 : DATA RATAAN HASIL PERHITUNGAN SIKLUS ESTRUS TIKUS A1B1


59

Lampiran 2 : DATA RATAAN HASIL PERHITUNGAN SIKLUS ESTRUS TIKUS A1B2

Lampiran 2 : DATA RATAAN HASIL PERHITUNGAN SIKLUS ESTRUS TIKUS A2B2


Tabel 1e. Rataan fase siklus estrus pertama pasca pemberian ekstrak daun maja dosis 2gr/kg BB/hari
selama 12 hari

Tabel 1e. Rataan fase siklus estrus kedua pasca pemberian ekstrak daun maja dosis 2gr/kg BB/hari
selama 12 hari
60

Lampiran 3a :
HASIL ANALISA STATISTIK LAMA SIKLUS (PSSE) SIKLUS
KE-1
Descriptives

L.SIKL.1

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 96.0000 .00000 .00000 96.0000 96.0000 96.00 96.00
A1B1 3 111.9667 .05774 .03333 111.8232 112.1101 111.90 112.00
A1B2 3 111.9667 .05774 .03333 111.8232 112.1101 111.90 112.00
A2B1 3 119.9333 .11547 .06667 119.6465 120.2202 119.80 120.00
A2B2 3 135.9333 .11547 .06667 135.6465 136.2202 135.80 136.00
Total 15 115.1600 13.43108 3.46789 107.7221 122.5979 96.00 136.00
Model Fixed Effects .08165 .02108 115.1130 115.2070
Random Effects 6.48774 97.1471 133.1729 210.45189

Test of Homogeneity of Variances

L.SIKL.1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
5.600 4 10 .012

ANOVA

L.SIKL.1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2525.449 4 631.362 94704.350 .000
Within Groups .067 10 .007
Total 2525.516 14

L.SIKL.1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
KONTROL 3 96.0000
A1B1 3 111.9667
A1B2 3 111.9667
A2B1 3 119.9333
A2B2 3 135.9333
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
61

Lampiran 3b :
HASIL ANALISA STATISTIK LAMA SIKLUS (PSSE) SIKLUS KE-2
Descriptives

L.SIKL.2

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 95.9667 .05774 .03333 95.8232 96.1101 95.90 96.00
A1B1 3 127.9333 .11547 .06667 127.6465 128.2202 127.80 128.00
A1B2 3 127.9333 .11547 .06667 127.6465 128.2202 127.80 128.00
A2B1 3 135.9667 .05774 .03333 135.8232 136.1101 135.90 136.00
A2B2 3 151.9667 .05774 .03333 151.8232 152.1101 151.90 152.00
Total 15 127.9533 18.88325 4.87563 117.4961 138.4105 95.90 152.00
Model Fixed Effects .08563 .02211 127.9041 128.0026
Random Effects 9.12141 102.6282 153.2784 415.99789

Test of Homogeneity of Variances

L.SIKL.2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.182 4 10 .145

ANOVA

L.SIKL.2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4992.004 4 1248.001 170182.0 .000
Within Groups .073 10 .007
Total 4992.077 14

L.SIKL.2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
KONTROL 3 95.9667
A1B1 3 127.9333
A1B2 3 127.9333
A2B1 3 135.9667
A2B2 3 151.9667
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
62

Lampiran 4a :

HASIL ANALISA STATISTIK FASE PROESTRUS SIKLUS ESTRUS KE-1


Descriptives

PROESTRUS1

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 16.00 .000 .000 16.00 16.00 16 16
A1B1 3 29.33 4.619 2.667 17.86 40.81 24 32
A1B2 3 26.67 4.619 2.667 15.19 38.14 24 32
A2B1 3 26.67 4.619 2.667 15.19 38.14 24 32
A2B2 3 34.67 4.619 2.667 23.19 46.14 32 40
Total 15 26.67 7.198 1.858 22.68 30.65 16 40
Model Fixed Effects 4.131 1.067 24.29 29.04
Random Effects 3.040 18.22 35.11 40.533

Test of Homogeneity of Variances

PROESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
4.000 4 10 .034

ANOVA

PROESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 554.667 4 138.667 8.125 .003
Within Groups 170.667 10 17.067
Total 725.333 14

PROESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
KONTROL 3 16.00
A1B2 3 26.67
A2B1 3 26.67
A1B1 3 29.33
A2B2 3 34.67
Sig. 1.000 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
63

Lampiran 5a
HASIL ANALISA STATISTIK FASE ESTRUS SIKLUS 1

Descriptives

ESTRUS1

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 16.0000 .00000 .00000 16.0000 16.0000 16.00 16.00
A1B1 3 21.3333 4.61880 2.66667 9.8596 32.8071 16.00 24.00
A1B2 3 32.0000 .00000 .00000 32.0000 32.0000 32.00 32.00
A2B1 3 24.0000 .00000 .00000 24.0000 24.0000 24.00 24.00
A2B2 3 37.3333 9.23760 5.33333 14.3859 60.2808 32.00 48.00
Total 15 26.1333 8.79827 2.27170 21.2610 31.0057 16.00 48.00
Model Fixed Effects 4.61880 1.19257 23.4761 28.7905
Random Effects 3.80876 15.5585 36.7082 65.42222

Test of Homogeneity of Variances

ESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
12.800 4 10 .001

ANOVA

ESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 870.400 4 217.600 10.200 .001
Within Groups 213.333 10 21.333
Total 1083.733 14

ESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 16.0000
A1B1 3 21.3333
A2B1 3 24.0000 24.0000
A1B2 3 32.0000 32.0000
A2B2 3 37.3333
Sig. .070 .060 .188
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
64

Lampiran 6a :

HASIL ANALISA STATISTIK FASE METESTRUS SIKLUS KE-1


Descriptives

METESTRUS1

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimumMaximum Variance
KONTROL 3 16.0000 .00000 .00000 16.0000 16.0000 16.00 16.00
A1B1 3 21.3333 4.61880 2.66667 9.8596 32.8071 16.00 24.00
A1B2 3 26.6667 4.61880 2.66667 15.1929 38.1404 24.00 32.00
A2B1 3 21.3333 4.61880 2.66667 9.8596 32.8071 16.00 24.00
A2B2 3 37.3333 4.61880 2.66667 25.8596 48.8071 32.00 40.00
Total 15 24.5333 8.26236 2.13333 19.9578 29.1089 16.00 40.00
Model Fixed Effects 4.13118 1.06667 22.1567 26.9100
Random Effects 3.61724 14.4903 34.5764 59.73333

Test of Homogeneity of Variances

METESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
4.000 4 10 .034

ANOVA

METESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 785.067 4 196.267 11.500 .001
Within Groups 170.667 10 17.067
Total 955.733 14

METESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 16.0000
A1B1 3 21.3333 21.3333
A2B1 3 21.3333 21.3333
A1B2 3 26.6667
A2B2 3 37.3333
Sig. .162 .162 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
65

Lampiran 7a :
HASIL ANALISA STATISTIK FASE DIESTRUS SIKLUS KE-1
Descriptives

DIESTRUS1

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimum Maximum Variance
KONTROL 3 48.0000 .00000 .00000 48.0000 48.0000 48.00 48.00
A1B1 3 40.0000 .00000 .00000 40.0000 40.0000 40.00 40.00
A1B2 3 34.6667 4.61880 2.66667 23.1929 46.1404 32.00 40.00
A2B1 3 40.0000 .00000 .00000 40.0000 40.0000 40.00 40.00
A2B2 3 26.6667 9.23760 5.33333 3.7192 49.6141 16.00 32.00
Total 15 37.8667 8.26236 2.13333 33.2911 42.4422 16.00 48.00
Model Fixed Effects 4.61880 1.19257 35.2095 40.5239
Random Effects 3.51757 28.1003 47.6330 54.75556

Test of Homogeneity of Variances

DIESTRUS1
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
12.800 4 10 .001

ANOVA

DIESTRUS1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 742.400 4 185.600 8.700 .003
Within Groups 213.333 10 21.333
Total 955.733 14

DIESTRUS1
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 26.6667
A1B2 3 34.6667 34.6667
A1B1 3 40.0000 40.0000
A2B1 3 40.0000 40.0000
KONTROL 3 48.0000
Sig. .060 .207 .070
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
66

Lampiran 4b :

HASIL ANALISA STATISTIK FASE PROESTRUS SIKLUS KE-2


Descriptives

Proestrus2

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 16.00 .000 .000 16.00 16.00 16 16
A1B1 3 29.33 4.619 2.667 17.86 40.81 24 32
A1B2 3 32.00 .000 .000 32.00 32.00 32 32
A2B1 3 34.67 4.619 2.667 23.19 46.14 32 40
A2B2 3 40.00 .000 .000 40.00 40.00 40 40
Total 15 30.40 8.659 2.236 25.61 35.19 16 40
Model Fixed Effects 2.921 .754 28.72 32.08
Random Effects 4.009 19.27 41.53 77.511

Test of Homogeneity of Variances

Proestrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
12.000 4 10 .001

ANOVA

Proestrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 964.267 4 241.067 28.250 .000
Within Groups 85.333 10 8.533
Total 1049.600 14

Proestrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 16.00
A1B1 3 29.33
A1B2 3 32.00
A2B1 3 34.67
A2B2 3 40.00
Sig. 1.000 .058 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
67

Lampiran 5b :

HASIL ANALISA STATISTIK FASE ESTRUS SIKLUS KE-2


Descriptives

Estrus2

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 18.6667 4.61880 2.66667 7.1929 30.1404 16.00 24.00
A1B1 3 26.6667 4.61880 2.66667 15.1929 38.1404 24.00 32.00
A1B2 3 37.3333 4.61880 2.66667 25.8596 48.8071 32.00 40.00
A2B1 3 29.3333 4.61880 2.66667 17.8596 40.8071 24.00 32.00
A2B2 3 45.3333 4.61880 2.66667 33.8596 56.8071 40.00 48.00
Total 15 31.4667 10.23905 2.64371 25.7965 37.1369 16.00 48.00
Model Fixed Effects 4.61880 1.19257 28.8095 34.1239
Random Effects 4.57238 18.7717 44.1616 97.42222

Test of Homogeneity of Variances

Estrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.000 4 10 1.000

ANOVA

Estrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1254.400 4 313.600 14.700 .000
Within Groups 213.333 10 21.333
Total 1467.733 14

Estrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3 4
KONTROL 3 18.6667
A1B1 3 26.6667 26.6667
A2B1 3 29.3333 29.3333
A1B2 3 37.3333 37.3333
A2B2 3 45.3333
Sig. .060 .496 .060 .060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
68

Lampiran 6b
HASIL ANALISA STATISTIK FASE METESTRUS SIKLUS KE-2
Descriptives

Metestrus2

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 16.0000 .00000 .00000 16.0000 16.0000 16.00 16.00
A1B1 3 29.3333 4.61880 2.66667 17.8596 40.8071 24.00 32.00
A1B2 3 26.6667 4.61880 2.66667 15.1929 38.1404 24.00 32.00
A2B1 3 29.3333 4.61880 2.66667 17.8596 40.8071 24.00 32.00
A2B2 3 34.6667 4.61880 2.66667 23.1929 46.1404 32.00 40.00
Total 15 27.2000 7.28207 1.88022 23.1673 31.2327 16.00 40.00
Model Fixed Effects 4.13118 1.06667 24.8233 29.5767
Random Effects 3.08689 18.6294 35.7706 41.95556

Test of Homogeneity of Variances

Metestrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
4.000 4 10 .034

ANOVA

Metestrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 571.733 4 142.933 8.375 .003
Within Groups 170.667 10 17.067
Total 742.400 14

Metestrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
KONTROL 3 16.0000
A1B2 3 26.6667
A1B1 3 29.3333
A2B1 3 29.3333
A2B2 3 34.6667
Sig. 1.000 .051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
69

Lampiran 7b :

HASIL ANALISA STATISTIK FASE DIESTRUS SIKLUS KE-2


Descriptives

Diestrus2

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimum Maximum Variance
KONTROL 3 45.3333 4.61880 2.66667 33.8596 56.8071 40.00 48.00
A1B1 3 42.6667 4.61880 2.66667 31.1929 54.1404 40.00 48.00
A1B2 3 40.0000 8.00000 4.61880 20.1269 59.8731 32.00 48.00
A2B1 3 34.6667 9.23760 5.33333 11.7192 57.6141 24.00 40.00
A2B2 3 32.0000 .00000 .00000 32.0000 32.0000 32.00 32.00
Total 15 38.9333 7.32380 1.89100 34.8775 42.9891 24.00 48.00
Model Fixed Effects 6.19677 1.60000 35.3683 42.4984
Random Effects 2.47296 32.0673 45.7994 17.77778

Test of Homogeneity of Variances

Diestrus2
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.933 4 10 .076

ANOVA

Diestrus2
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 366.933 4 91.733 2.389 .120
Within Groups 384.000 10 38.400
Total 750.933 14

Diestrus2
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 32.0000
A2B1 3 34.6667 34.6667
A1B2 3 40.0000 40.0000
A1B1 3 42.6667 42.6667
KONTROL 3 45.3333
Sig. .078 .078
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
70

Lampiran 8 :
HASIL ANALISA STATISTIK BERAT OVARIUM
Descriptives

OVARIUM

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 12.0000 4.58258 2.64575 .6163 23.3837 7.00 16.00
A1B1 3 9.6667 3.78594 2.18581 .2619 19.0715 7.00 14.00
A1B2 3 6.0000 1.00000 .57735 3.5159 8.4841 5.00 7.00
A2B1 3 9.0000 1.73205 1.00000 4.6973 13.3027 7.00 10.00
A2B2 3 4.6667 1.52753 .88192 .8721 8.4612 3.00 6.00
Total 15 8.2667 3.65409 .94348 6.2431 10.2902 3.00 16.00
Model Fixed Effects 2.88675 .74536 6.6059 9.9274
Random Effects 1.31403 4.6183 11.9150 5.85556

Test of Homogeneity of Variances

OVARIUM
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.822 4 10 .083

ANOVA

OVARIUM
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 103.600 4 25.900 3.108 .066
Within Groups 83.333 10 8.333
Total 186.933 14

OVARIUM
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 4.6667
A1B2 3 6.0000
A2B1 3 9.0000 9.0000
A1B1 3 9.6667 9.6667
KONTROL 3 12.0000
Sig. .076 .252
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
71

Lampiran 9 :
HASIL ANALISA STATISTIK JUMLAH FOLIKEL TIKUS
Descriptives

FOLIKEL

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 15.0000 3.00000 1.73205 7.5476 22.4524 12.00 18.00
A1B1 3 12.3333 1.52753 .88192 8.5388 16.1279 11.00 14.00
A1B2 3 10.6667 2.08167 1.20185 5.4955 15.8378 9.00 13.00
A2B1 3 12.0000 1.73205 1.00000 7.6973 16.3027 10.00 13.00
A2B2 3 9.3333 1.52753 .88192 5.5388 13.1279 8.00 11.00
Total 15 11.8667 2.61498 .67518 10.4185 13.3148 8.00 18.00
Model Fixed Effects 2.04939 .52915 10.6876 13.0457
Random Effects .94634 9.2392 14.4941 3.07778

Test of Homogeneity of Variances

FOLIKEL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
.415 4 10 .794

ANOVA

FOLIKEL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 53.733 4 13.433 3.198 .062
Within Groups 42.000 10 4.200
Total 95.733 14

FOLIKEL
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 9.3333
A1B2 3 10.6667
A2B1 3 12.0000 12.0000
A1B1 3 12.3333 12.3333
KONTROL 3 15.0000
Sig. .125 .117
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
72

Lampiran 10 :
HASIL ANALISA STATISTIK JUMLAH CORPUS LUTEUM TIKUS
Descriptives

CL

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimum Maximum Variance
KONTROL 3 12.6667 3.78594 2.18581 3.2619 22.0715 10.00 17.00
A1B1 3 8.6667 2.08167 1.20185 3.4955 13.8378 7.00 11.00
A1B2 3 3.6667 4.72582 2.72845 -8.0729 15.4062 .00 9.00
A2B1 3 5.6667 3.05505 1.76383 -1.9225 13.2558 3.00 9.00
A2B2 3 3.3333 2.08167 1.20185 -1.8378 8.5045 1.00 5.00
Total 15 6.8000 4.57009 1.17999 4.2692 9.3308 .00 17.00
Model Fixed Effects 3.30656 .85375 4.8977 8.7023
Random Effects 1.74674 1.9503 11.6497 11.61111

Test of Homogeneity of Variances

CL
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1.330 4 10 .324

ANOVA

CL
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 183.067 4 45.767 4.186 .030
Within Groups 109.333 10 10.933
Total 292.400 14

CL
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2
A2B2 3 3.3333
A1B2 3 3.6667
A2B1 3 5.6667
A1B1 3 8.6667 8.6667
KONTROL 3 12.6667
Sig. .095 .169
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
73

Lampiran 11 :
HASIL ANALISA STATISTIK LAJU OVULASI
Descriptives

L.OVULASI

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 83.3333 10.50397 6.06447 57.2400 109.4266 73.00 94.00
A1B1 3 69.6667 7.37111 4.25572 51.3558 87.9775 64.00 78.00
A1B2 3 44.3333 24.50170 14.14606 -16.5323 105.1989 20.00 69.00
A2B1 3 45.6667 20.59935 11.89304 -5.5050 96.8383 30.00 69.00
A2B2 3 33.8333 18.48197 10.67057 -12.0784 79.7451 12.50 45.00
Total 15 55.3667 23.99439 6.19533 42.0790 68.6543 12.50 94.00
Model Fixed Effects 17.49810 4.51799 45.3000 65.4334
Random Effects 9.12725 30.0254 80.7080 314.47222

Test of Homogeneity of Variances

L.OVULASI
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
1.142 4 10 .392

ANOVA

L.OVULASI
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4998.400 4 1249.600 4.081 .032
Within Groups 3061.833 10 306.183
Total 8060.233 14

L.OVULASI
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 33.8333
A1B2 3 44.3333 44.3333
A2B1 3 45.6667 45.6667
A1B1 3 69.6667 69.6667
KONTROL 3 83.3333
Sig. .448 .121 .361
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
74

Lampiran 12 :
HASIL ANALISA STATISTIK AWAL KEBUNTINGAN TIKUS
Descriptives

AW.BUNTING

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 2.0000 1.00000 .57735 -.4841 4.4841 1.00 3.00
A1B1 3 3.0000 2.00000 1.15470 -1.9683 7.9683 1.00 5.00
A1B2 3 7.6667 4.50925 2.60342 -3.5349 18.8683 3.00 12.00
A2B1 3 6.6667 4.04145 2.33333 -3.3729 16.7062 3.00 11.00
A2B2 3 30.0000 .00000 .00000 30.0000 30.0000 30.00 30.00
Total 15 9.8667 10.92747 2.82146 3.8152 15.9181 1.00 30.00
Model Fixed Effects 2.88675 .74536 8.2059 11.5274
Random Effects 5.14522 -4.4188 24.1521 129.58889

Test of Homogeneity of Variances

AW.BUNTING
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2.472 4 10 .112

ANOVA

AW.BUNTING
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1588.400 4 397.100 47.652 .000
Within Groups 83.333 10 8.333
Total 1671.733 14

AW.BUNTING
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
KONTROL 3 2.0000
A1B1 3 3.0000 3.0000
A2B1 3 6.6667 6.6667
A1B2 3 7.6667
A2B2 3 30.0000
Sig. .088 .088 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
75

Lampiran 13 :
HASIL ANALISA STATISTIK JUMLAH ANAK LAHIR
Descriptives

ANAK

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimum Maximum Variance
KONTROL 3 9.3333 1.52753 .88192 5.5388 13.1279 8.00 11.00
A1B1 3 7.3333 1.52753 .88192 3.5388 11.1279 6.00 9.00
A1B2 3 3.6667 3.78594 2.18581 -5.7381 13.0715 1.00 8.00
A2B1 3 5.0000 2.00000 1.15470 .0317 9.9683 3.00 7.00
A2B2 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
Total 15 5.0667 3.76955 .97329 2.9792 7.1542 .00 11.00
Model Fixed Effects 2.14476 .55377 3.8328 6.3006
Random Effects 1.59652 .6340 9.4993 11.21111

Test of Homogeneity of Variances

ANAK
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.910 4 10 .037

ANOVA

ANAK
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 152.933 4 38.233 8.312 .003
Within Groups 46.000 10 4.600
Total 198.933 14

ANAK
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 .0000
A1B2 3 3.6667 3.6667
A2B1 3 5.0000
A1B1 3 7.3333 7.3333
KONTROL 3 9.3333
Sig. .063 .073 .280
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
76

Lampiran 14 :
HASIL ANALISA STATISTIK KEBERHASILAN KEBUNTINGAN (%)
TIKUS

Descriptives

KEBUNTINGAN

95% Confidence Interval for Between-


Mean Component
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum Variance
KONTROL 3 75.0000 9.53939 5.50757 51.3028 98.6972 64.00 81.00
A1B1 3 84.3333 3.05505 1.76383 76.7442 91.9225 81.00 87.00
A1B2 3 62.6667 21.93931 12.66667 8.1664 117.1669 50.00 88.00
A2B1 3 92.3333 13.27906 7.66667 59.3463 125.3203 77.00 100.00
A2B2 3 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
Total 15 62.8667 35.65883 9.20707 43.1195 82.6139 .00 100.00
Model Fixed Effects 12.31260 3.17910 55.7832 69.9501
Random Effects 16.47510 17.1245 108.6089 1306.61111

Test of Homogeneity of Variances

KEBUNTINGAN
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
7.891 4 10 .004

ANOVA

KEBUNTINGAN
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 16285.733 4 4071.433 26.856 .000
Within Groups 1516.000 10 151.600
Total 17801.733 14

KEBUNTINGAN
a
Duncan
Subset for alpha = .05
PERLAKUAN N 1 2 3
A2B2 3 .0000
A1B2 3 62.6667
KONTROL 3 75.0000 75.0000
A1B1 3 84.3333 84.3333
A2B1 3 92.3333
Sig. 1.000 .066 .130
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Potrebbero piacerti anche