Sei sulla pagina 1di 17

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/318511982

Konflik Tata Ruang Kehutanan Dengan Tata Ruang Wilayah (Studi Kasus
Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Prosedural Untuk Perkebunan Sawit
Provinsi Kalimantan Tengah)

Article · May 2017


DOI: 10.31292/jb.v3i1.89

CITATIONS READS

0 3,906

4 authors, including:

Ahmad Maryudi Ris Hadi Purwanto


Gadjah Mada University Gadjah Mada University
74 PUBLICATIONS   741 CITATIONS    20 PUBLICATIONS   28 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Gabriel Lele
Gadjah Mada University
8 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Participatory MRV View project

Wahyu Andayani View project

All content following this page was uploaded by Ahmad Maryudi on 19 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KONFLIK TATA RUANG KEHUTANAN DENGAN TATA RUANG WILAYAH
(Studi Kasus Penggunaan Kawasan Hutan Tidak Prosedural
untuk Perkebunan Sawit Provinsi Kalimantan Tengah)
Eko N Setiawan1,2, Ahmad Maryudi1, Ris H. Purwanto,1 & Gabriel Lele3

Abstract: Law No. 26 Year 2007 on Spatial Planning (UUPR) mandated that all levels of government administration,
ranging from the national, provincial, district/ city are obligated to prepare Spatial Plan (RTR). Until 2012, Central Kalimantan
is one of the provinces which have not completed its spatial plan; one of the reasons was the lack of spatial integration of
Forestry Spatial Planning and Provincial Spatial Planning of Central Kalimantan. The absence of spatial integration of forestry
and provincial spatial planning of Central Kalimantan has the implication in triggering conflicts of land use. Forest areas were
converted into oil palm plantations without any official procedures. There are 282 units of oil palm companies, occupying
3.9 millions hectares of forest area, with non-procedural procedures to convert forest area into oil palm plantation. To
resolve this problem, the Government has revised the regulation of forest conversion by issuing PP No. 60/2012, provides
opportunities for oil palm plantations, which under the Law of Forestry located in forest area but based on RTRWP of Central
Kalimantan lies on APL or cultivation area, given the opportunity to re-apply the permit/license.
Keywor d: Regional Spatial Planning, forest spatial planning, oil palm plantation, policy dispute.
eyword:

Intisari: Undang- Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) mengamanatkan bahwa semua tingkatan
administrasi pemerintahan, mulai dari nasional, provinsi, kabupaten/kota diwajibkan menyusun Rencana Tata Ruang (RTR).
Kalimantan Tengah sampai dengan tahun 2012 merupakan salah satu provinsi yang belum menyelesaikan tata ruang, salah
satu penyebabnya karena belum adanya padu serasi antara Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang Provinsi Kalimantan
Tengah. Implikasi dari tidak adanya padu serasi antara tata ruang kehutanan dengan tata ruang provinsi Kalimantan Tengah
adalah terjadinya konflik dalam penggunaan ruang, dimana terjadi penggunaan kawasan hutan tidak prosedural untuk
perkebunan sawit di dalam kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah sebanyak 282 unit perusahaan sawit seluas 3,9 juta
hektar. Upaya penyelesaian permasalahan penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Provinsi Kalimantan Tengah
diakukan dengan revisi kebijakan tentang alih fungsi hutan PP Nomor 60 Tahun 2012 yang memberikan kesempatan bagi
perkebunan sawit yang berdasarkan Undang-Undang Kehutanan berada di dalam kawasan hutan namun berdasarkan RTRWP
Provinsi Kalimantan Tengah berada di kawasan APL maupun budidaya, diberikan kesempatan untuk mengurus perijinannya.
Kata K unci
Kunci
unci: Tata Ruang Kehutanan, Tata Ruang Wilayah, perkebunan sawit, konflik kebijakan.

A. Pendahuluan 2015). Kalimantan Tengah merupakan salah satu


Undang- Undang No. 26 Tahun 2007 tentang provinsi yang sampai dengan tahun 2012 belum
Penataan Ruang (UUPR) mengamanatkan bahwa dapat menyelesaikan proses tata ruang
semua tingkatan administrasi pemerintahan, mulai sebagaimana amanat Undang-Undang No 26 tahun
dari nasional, provinsi, kabupaten/kota diwajibkan 2007 (Bappenas, 2014). Salah satu permasalahan
menyusun Rencana Tata Ruang (RTR). (Bappenas, dalam tata ruang di Provinsi Kalimantan Tengah
adalah belum adanya padu serasi antara tata ruang
1
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, wilayah dengan Tata Ruang Kehutanan yang
Jogjakarta, 55281. Email: ekonoviseia@gmail.com. seharusnya telah dilakukan pada periode tahun
2
Ditjen Penegakan Hukum, Kementerian Ling-
kungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta 10207. 1992-1999 yang lalu (Kartodihardjo, 2008).
3
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universi- Salah satu sumber konflik kehutanan di Indo-
tas Gadjah Mada, Jogjakarta, 55281. nesia adalah konversi kawasan hutan (Wulan et

Diterima: 15 Maret 2017 Direview: 22 April 2017 Disetujui: 04 Mei 2017


52 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

al., 2004) yang juga merupakan salah satu faktor berkurang sebanyak 0, 84 juta Ha.
penyebab rusaknya kawasan hutan (Verbist et al., Di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat 282
2004). Konversi kawasan hutan di Indonesia paling perkebunan sawit yang mempunyai Ijin Usaha
besar dialokasikan untuk perkebunan sawit (Sheil, Perkebunan (IUP) di dalam kawasan hutan seluas
Casson, Meijaard, van Noordwijk, et al., 2009), 3.934.963,00 Ha yang tersebar di 15 Kabupaten/
yang didorong oleh besarnya kebutuhan lahan Kotamadya (Kemenhut, 2012). Maraknya penggu-
akibat meningkatnya harga dan kebutuhan biofuel naan kawasan yang tidak prosedural di Kalimantan
di pasar dunia (Geist & Lambin, 2002; Ramdani & Tengah salah satunya akibat banyaknya ijin usaha
Hino, 2013). Conflict of interest terjadi antara pihak- perkebunan dari bupati/gubernur yang diduga
pihak yang ingin mempertahankan keberadaan berada dalam kawasan hutan, menurut Hartoyo
hutan tetap dengan pihak-pihak yang mengiginkan (2011) hal tersebut sebagai indikasi adanya korupsi
alih fungsi hutan untuk penggunaan lain seperti dalam pemberian ijin usaha perkebunan.
perkebunan (Kartodihardjo & Supriono, 2000). Tumpang tindih perijinan kegiatan pem-
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bangunan perkebunan sawit di dalam kawasan
faktor pemicu deforestasi di Indonesia karena sifat hutan diduga disebabkan oleh adanya ketidakse-
ekspansifnya yang cepat dalam waktu yang singkat rasian antara Undang-Undang Nomor 41 Tahun
(Buckland, 2005) (Koh & Wilcove, 2009) (Sheil et 1999 tentang Kehutanan dengan Undang-Undang
al., 2009), namun di sisi lain perkebunan sawit Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, dimana
mempunyai peranan penting dalam kegiatan eko- Kementerian Kehutanan mengacu pada Keputusan
nomi di Indonesia. Pada tahun 2011 nilai ekspor Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/12/1982
hasil perkebunan sawit mencapai menjadi US $ tanggal 12 Oktober 1982 tentang Penunjukkan Ar-
19.380 juta (BPS, 2011a). Indonesia sebagai negara eal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Kalimantan
penghasil CPO terbesar di dunia sejak tahun 2005 Tengah yang lazim disebut Tata Guna Hutan
sampai dengan sekarang (Murphy, 2014). Perke- Kesepakatan (TGHK) sedangkan Pemerintah
bunan sawit di Indonesia terus meningkat pada Daerah di Kalimantan Tengah mengacu Rencana
tahun 1986 sebesar 606.780 Ha, tahun 1999 menjadi Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang
hampir 3 juta Ha (Manurung, 2001), sampai dengan tertuang dalam Perda Nomor 5 Tahun 1993 yang
2011 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan tindak lanjut dari Undang-undang
mencapai 8,7 juta Ha (BPS, 2011a). Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
Salah satu provinsi yang terbanyak perkebunan sepuluh tahun kemudian Pemerintah Daerah
sawit secara tidak prosedural serta memiliki laju Provinsi Kalimantan Tengah kembali mengeluarkan
pertumbuhan perkebunan terbesar sekaligus RTRWP yang dikukuhkan dengan Perda Nomor 8
menduduki tingkat deforestasi paling tinggi di In- Tahun 2003 tentang RTRWP.
donesia adalah Provinsi Kalimantan Tengah (Ke- Dalam tulisan ini digambarkan dinamika dan
menhut, 2012c) (FWI, 2011), di sisi lain Kalimantan konflik tata ruang wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah merupakan salah satu provinsi yang Tengah dengan Tata Ruang Kehutanan di
mempunyai gambut luas di Indonesia yaitu ± 3 juta Kalimantan Tengah serta implikasinya terhadap
Ha (Wahyunto et al., 2004), gambut tersebut sema- pengembangan perkebunan kelapa sawit di
kin menurun luasnya akibat pembukaan perke- Provinsi Kalimantan Tengah dan upaya
bunan kelapa sawit yang terus meningkat, menurut penyelesaian masalah penggunaan kawasan hutan
Fuller et al., (2011), antara tahun 1995 sampai 2005 tidak prosedural untuk perkebunan sawit di
gambut di Provinsi Kalimantan Tengah telah Provinsi Kalimantan Tengah.
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 53
B. Hasil dan Pembahasan Gambar 1 menunjukan dinamika pengukuhan
1. Dinamika Tata Ruang Provinsi kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Kalimantan Tengah Berdasarkan Undang-undang Kehutanan No 5/
Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas 15,3 1967, kawasan hutan dikelola berdasarkan regis-
juta Ha atau 153.564,50 km2 atau 8,04 persen dari ter. Pelaksanaan demikian itu terjadi sampai
luas Indonesia, merupakan provinsi dengan luas dengan tahun 1982. Setelah itu sampai dengan tahun
wilayah terluas kedua di Indonesia setelah Papua 1992, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dite-
atau sebesar 8,04 persen dari total luas daratan tapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perta-
Indonesia (BPS Kalteng 2015). Kalimantan Tengah nian, sedangkan fungsi kawasan hutan ditetapkan
merupakan salah satu provinsi yang mengalami berdasarkan Undang-undang No 5/1990 mengenai
dinamika pengukuhan kawasan hutan yang rumit Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosis-
sehingga sampai dengan tahun 2010 belum tercapai temnya. Setelah diberlakukan Undang-undang No
padu serasi antara tata ruang kehutanan dengan 24/1992 tentang Tata Ruang, dilaksanakan padu-
tata ruang provinsi. serasi antara TGHK dan Rencana Tata Ruang Wila-
Secara umum sampai dengan tahun 2012 ada 5 yah Provinsi (RTRWP) sampai dengan tahun 1999.
(lima) tahapan proses perubahan penggunaan tata Namun sampai dengan tahun 2012, di Provinsi
ruang di Provinsi Kalimantan Tengah yang dija- Kalimantan Tengah belum tercapai padu serasi
dikan dasar atau acuan bagi pengambilan kebijakan anatara TGHK dengan RTRWP.
yang berkaitan dengan penggunaan ruang dan Sampai dengan tahun 2012, Pemerintah Daerah
kawasan hutan. Sebelum tahun 1967 sebagian besar Provinsi Kalimantan Tengah telah 3 (tiga) kali
masih mengacu pada aturan pada masa Belanda, menyusun RTRWP yaitu: RTRWP 1993, RTRWP
sejak tahun 1982, SK 759 Tahun 1982 tentang Tata 1999 dan RTRWP 2003, namun semua RTRWP ter-
Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang menunjuk sebut belum mendapat persetujuan dari peme-
seluruh wilayah Kalimantan Tengah sebagai ka- rintah pusat, sehingga proses padu serasi antara
wasan hutan, dijadikan acuan bagi tata ruang di TGHK dengan RTRWP belum tercapai di Provinsi
Provinsi Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah.

<1982 1982 -1992 1992 - 2010 2011-2012 2012

Belum ada Paduserasi Penunjukan Revisi


TGHK TGHK-RTRWP Kawasan Penunjukan
Hutan Register (759/1982) (RTRWP Hutan kawsan hutan
1993/1999/2003) (292/2011) (529/2012)

UU 41/1999
UU 41/1999 UU 41/1999
UU 5/1967 UU 5/1990
UU 5/1967 UU 24/1992 UU 5/1990
UU 5/1990 UU 26/2007
UU 5/1990 UU 26/2007

Gambar 1. Dinamika Pengukuhan Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah


54 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

Pada tahun 2011 pemerintah pusat melalui satu daerah yang ditetapkan penunjukan kawasan
Kementerian Kehutanan menerbitkan Surat hutan didasarkan pada Surat Keputusan Menteri
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 292/ Pertanian No. 759/KPTS/Um/10/1982 tanggal 12
Menhut-II/2011, namun penunjukan tersebut Oktober 1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di
kembali direvisi setahun kemudian dengan Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan
terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 529/ Tengah seluas 15.300.000 Ha (Lima Belas Juta Tiga
Menhut-II/2012 tentang Revisi Penunjukan Kawasan Ratus Ribu Ha) sebagai Kawasan Hutan, yang
Hutan. kemudian lebih terkenal dengan sebutan TGHK
Undang-Undang Kehutanan yang diterbitkan 1982.
pertama kali tidak lama setelah Rezim Orde Baru
berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Tabel 1.Fungsi Kawasan Hutan di Provinsi
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kalimantan Tengah berdasarkan Kepmentan No.
759/KPTS/Um/10/1982
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang secara
No Jenis Kawasan Luas (Ha) Persentase (%)
tegas telah mengakomodir ketentuan Pasal 33 ayat 1. Hutan Suaka Alam/Hutan 729.919 4,77
Wisata
(3) UUD 1945, dalam Pasal 5 ayat (1) yang 2. Hutan LIndung (HL) 800.000 5,22
3. Hutan Produksi Terbatas 3.400.000 22,21
menyatakan “Semua hutan dalam wilayah (HPT)
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang 4. Hutan Produksi (HP) 6.088.000 39,69
5. Hutan Produksi yang dapat 4.302.181 28,11
terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara” dikonversi
Jumlah 15.320.100 100,00
(Rachman, 2016).
Sumber: Kepmentan 759/KPTS/Um/10/1982
Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1967, pemerintah menerbitkan Tabel 1 menunjukkan bahwa Provinsi Kali-
Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 mantan Tengah terbagi habis menjadi kawasan
tentang Perencanaan Hutan, memberi kewenangan hutan yang didominasi oleh Hutan Produksi
kepada Departemen Pertanian (yang pada saat itu (38,69%) yang disusul dengan Hutan Produksi
sebagai induk dari Dirjen Kehutanan) untuk mene- Konversi (28,11%). Penunjukan tersebut menuai
tapkan suatu kawasan sebagai hutan negara atau banyak masalah karena dianggap mengabaikan
bukan. Pada tahun 1974 dikeluarkan aturan hak-hak banyak pihak khususnya masyarakat lokal
mengenai pengukuhan kawasan hutan melalui serta kepentingan daerah serta investor.
Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 85 Dalam rangka penataan ruang untuk pem-
Tahun 1974 tentang Pedoman Penataan Batas bangunan, Pemerintah Orde Baru menerbitkan
Kawasan Hutan, pada pertengahan tahun 1980-an Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
hampir tiga perempat dari keseluruhan tanah In- Penataan Ruang. Setelah diberlakukan Undang-
donesia ditunjuk oleh Departemen Kehutanan yang undang No 24/1992 tentang Tata Ruang, dilak-
baru sebagai Kawasan Hutan. Proses tersebut sanakan padu-serasi antara TGHK dan Rencana
dilaksanakan oleh Departemen Pertanian dan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sampai
disebut sebagai Tata Guna Hutan dengan Kesepa- dengan tahun 1999. Setelah diberlakukan Undang-
katan (TGHK). Hal itu dilakukan melalui data undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
survei dan data peta vegetasi berdasarkan pengin- Menteri Kehutanan melakukan penunjukan
deraan jauh dan ditentukan oleh proses penilaian kawasan hutan berdasarkan peta padu-serasi yang
biofisik dengan kriteria skoring dan mengabaikan telah dilakukan. Proses perubahan kebijakan di
keadaan kriteria sosial. atas pada umumnya telah berjalan di seluruh Indo-
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah nesia, namun Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah,
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 55
sampai dengan tahun 2012 belum terdapat padu- 15.759.594,45 Ha dengan komposisi kawasan non
serasi yang seharusnya telah dilakukan pada periode hutan seluas 5.325.233,27 Ha dan kawasan hutan
1992-1999 yang lalu (Kartodihardjo, 2008; Rompas seluas 10.434.361,18 Ha, namun upaya padu serasi
& Waluyo, 2013). pada tahun 1999 tersebut juga belum berhasil.
Pada tahun 1992, pemerintah menerbitkan Pada tanggal 20 September 2003, Pemerintah
Undang-undang 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, Daerah Provinsi Kalimantan Tengah kembali
Undang-undang tersebut mengatur penataan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang
peruntukan ruang yang dilaksanakan mulai dari Tata Ruang yang tertuang dalam Perda Nomor 8
perencanaan sampai dengan pengendalian dalam Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
3 (tiga) tingkatan wilayah administratif, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota- luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah menjadi
madya. Di dalam UU 24 Tahun 1992 tidak secara 15.356.700 Ha dengan komposisi kawasan non
spesif ik dijelaskan mengenai kawasan hutan, hutan seluas 5.061.846, 46 Ha dan kawasan hutan
namun pengaturan berdasarkan UU 24 Tahun 1992 seluas 10.294.853, 52 ha. Pembentukan Perda
memperkenalkan istilah pola ruang berupa Nomor 8 Tahun 2003 merupakan amanat dari
kawasan budidaya dan kawasan lindung yang di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 dan
dalamnya juga termasuk kawasan hutan, aturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Perda
tersebut seolah menjelaskan bahwa UU 24 Tahun Nomor 8 Tahun 2003 telah ditetapkan pada tanggal
1992 meniadakan peran Kementerian Kehutanan 20 September dan diundangkan di Palangka Raya
dalam penentuan kawasan hutan, tata ruang pada tanggal 13 Oktober 2003 dalam Lembaran
wilayah kabupaten/kotamadya dijabarkan dalam Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2003
Pasal 22 Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 Nomor 28 Seri E.
sebagai ruang pengelolaan dalam kawasan lindung
Tabel 2 Pembagian Tata Ruang Provinsi Kalimantan
dan budidaya dan kemudian menjadi pedoman
Tengah menurut Perda 8 Tahun 2003 tentang
bagi lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah
RTRWP
atau masyarakat.
Pada tahun 1993, Provinsi Kalimantan Tengah
menyusun RTRWP yang dikukuhkan menjadi Perda
Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 1993
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) Kalimantan Tengah, namun belum men-
dapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. Upaya
Padu serasi RTRWP Kalimantan Tengah dengan
TGHK, dilakukan dengan membentuk Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan
Tengah Nomor 008/054/IV/BAPP tanggal 16 Maret
1999 tentang Hasil Pemaduserasian antara Peta
Kawasan Lindung dan Budidaya Rencana Tata
Ruang Wilayah dengan Peta Tata Guna Hutan Sumber: Perda No. 8 Tahun 2003 Provinsi
Kesepakatan (TGHK) Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah, dimana luas wilayah Provinsi Tabel 2 di atas menunjukkan areal di luar
Kalimantan Tengah meningkat menjadi kawasan hutan sebesar 27,4% dan kawasan hutan
56 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

seluas 72,6% merupakan kawasan hutan, hal memperbaiki kelemahan dalam UU 24/1992
tersebut sangat berbeda dengan TGHK tahun 1982 termasuk fungsi koordinasi lintas sektor dan
yang menunjuk 100% lahan di Kalimantan Tengah wilayah dan pengendalian. Namun, UU 26/2007
sebagai kawasan hutan. bukan jawaban atas perbedaan peruntukan yang
Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP diatur oleh dua kebijakan yang terlanjur diterbitkan.
dijadikan acuan oleh pemerintah daerah baik Mengingat hingga tahun 2012 beberapa provinsi,
bupati, walikota, maupun gubernur dalam tata termasuk di dalamnya Provinsi Kalimantan Tengah
ruang wilayah masing-masing baik dalam pem- belum menyelesaikan tata ruang daerahnya.
bangunan maupun dasar bagi penerbitan perijinan Faktanya, Peraturan Daerah Kalteng Nomor 8
tambang maupun kebun. Upaya untuk melakukan Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
padu serasi antara RTRWP tahun 2003 tersebut dengan Provinsi Kalimantan Tengah tidak pernah
tata ruang dari Kementerian Kehutanan sampai dibatalkan dan bahkan menjadi acuan berbagai tata
dengan tahun 2011 belum menemukan titik temu. ruang wilayah kabupaten dalam lingkup
Akibat belum adanya padu serasi antara tata administrasi Provinsi Kalimantan Tengah.
ruang kehutanan dengan tata ruang wilayah Seiring dengan permasalahan Tata Ruang
provinsi menyebabkan munculnya berbagai Provinsi Kalimantan Tengah yang belum selesai,
permasalahan terkait dengan tata ruang kehutanan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian
dengan tata ruang daerah di Provinsi Kalimantan Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri
Tengah. Gubernur Kalimantan Tengah Kehutanan Nomor SK. 292/Menhut-II/2011 tanggal
mengeluhkan akibat tidak adanya konsistensi acuan 31 Mei 2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan
tata ruang kehutanan menyebabkan banyaknya Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan
permasalahan (CIFOR, 2014), hal ini terkait dengan Antar Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan
legalitas kegiatan pembangunan dan investasi yang Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di
menurut tata ruang kehutanan sebagian besar Provinsi Kalimantan Tengah.
berada di wilayah hutan.
Kota Palangkaraya sebagai ibukota Provinsi Tabel 3 Penunjukan Kawasan Hutan Kalteng
Kalimantan Tengah berdasarkan TGHK 1982 menurut SK Menhut No. 292/Menhut-II/ 2011
No Fungsi Kawasan Luas (Ha) Prosentase
berada di dalam kawasan hutan. Bahkan lahan
1. Kawasan Suaka Alam/Kawasan 1.601.522 10,36 %
seluas beberapa kabupaten (misalnya, Kapuas) Perlindungan Alam (KSA/KPA)
2. Hutan Lindung 1.330.258 8,62 %
adalah benar-benar dalam zona hutan, zona non-
3. Hutan Produksi Terbatas 3.324.675 21,55 %
hutan hampir tidak ada, yang berarti bahwa ada 4. Hutan Produksi Biasa 3.866.751 24,99 %
5. Hutan Produksi Konversi 2.540.616 16,47 %
kesempatan terbatas untuk provinsi untuk 6. Areal Penggunaan Lain (APL) 2.751.418 17,84 %
meningkatkan pembangunan daerah, berdasarkan Jumlah 15.426.780 100 %

peta TGHK, sebagian besar wilayah Provinsi Sumber: SK Menhut No. 292/Menhut-II/2011
Kalimantan Tengah berada di dalam kawasan Berdasarkan SK tersebut telah mengubah
hutan bahkan Kota Palangkaraya sebagai ibukota kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan
Provinsi Kalimantan Tengah, dimana terdapat seluas 1.168.656 Ha, perubahan antar fungsi
kantor gubernur, markas kepolisian daerah, kantor kawasan hutan seluas 689.666 Ha dan penunjukan
dinas kehutanan dan lain-lainnya, berada di dalam bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan
kawasan hutan produksi. seluas 29.672 Ha. Menurut Murdiyarso et al (2011),
Terbitnya UU nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 292/
Ruang memang secara spesif ik sebagai upaya Menhut II/2011, telah mengubah status 1,2 juta Ha
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 57
lahan hutan negara menjadi lahan untuk penggu- Tabel 4 menunjukan luas kawasan hutan
naan lain dan memberlakukan hal yang sebaliknya, Kalimantan Tengah adalah 12.697.522 Ha (82,45
tetapi hanya mencakup 30.000 Ha lahan nonhutan %), sedangkan kawasan non hutan seluas 2.707.073
yang dikategorikan ulang sebagai lahan hutan. (17,55 %) dari luas Provinsi Kalimantan Tengah
Berdasarkan SK 292/Menhut-II/2011 tersebut, seluas 15.426.889 Ha.
Hutan Produksi (HP) yang dilepas menjadi bukan Dari dinamika penunjukan kawasan yang ada
kawasan hutan mencapai 333.261 Ha, sedangkan di Kalimantan Tengah, telah terjadi 5 (lima) kali
Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang dilepas seluas terjadi penunjukan kawasan hutan dan non hutan
101.157 Ha. Tak hanya itu, Hutan Produksi Konversi yang menyebabkan terjadinya kekacauan dasar
(HPK) yang dilepas menjadi bukan kawasan hutan hukum dalam implementasi di lapangan, sebagai
mencapai 734.238 Ha. Greenomics menyebutkan, berikut:
pada kawasan Hutan Produksi (HP) yang
dilepas menjadi bukan kawasan hutan,
terdapat 193 blok konsesi sawit, sedang-
kan pada HPT yang dilepas terdapat 15
blok konsesi sawit. Sementara pada HPK
yang dilepas, terdapat 303 blok konsesi
sawit (Gresnews, 2011).
Baru berjalan setahun Surat Kepu-
tusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.292/Menhut-II/2011 tanggal 31 Mei
Sumber: Kompilasi dari SK 759/1982, RTRWP 1999,
2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Perda 5/2003, SK 292/2011, SK 529/2012
Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Antar
Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Dari graf ik di atas menunjukan tidak adanya
Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di konsistensi dalam rencana pengelolaan kawasan
Provinsi Kalimantan Tengah, direvisi oleh Kemen- hutan, terjadi konf lik kepentingan antara
terian Kehutanan dengan SK. 529/Menhut-II/2012 pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perta- terlihat dari kebijakan pemerintah pusat yang
nian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penun- mengalokasikan kawasan hutan lebih dari 80 %
jukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah sedangkan kebijakan dari pemerintah daerah
Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 Ha melalui RTRWP mengalokasikan kawasan hutan
sebagai Kawasan Hutan. Perubahan tersebut seba- di bawah 70%, akibat belum adanya padu serasi
gai penyempurnaan dari SK 292/Menhut-II/2011. dengan RTRWP Kalimantan Tengah, namun kenya-
taan di lapangan Pemerintah Daerah Kalimantan
Tabel 4. Penunjukan Kawasan Hutan Kalteng Tengah mengacu pada RTRWP serta mengabaikan
menurut SK 529/Menhut-II/2012 TGHK. Tidak adanya konsistensi tata ruang di
No Kawasan Hutan Luas Kalimantan Tengah menimbulkan banyak perma-
1. Kawasan Suaka Alam dan Kawasan 1.630.828
Pelestarian Alam salah tumpang tindih kewenangan di lapangan.
2. Hutan Lindung 1.346.066
3. Hutan Produksi Terbatas 3.317.461
2. Konflik Pemanfaatan Ruang Provinsi
4. Hutan Produksi Tetap 3.881.817
5. Hutan Produksi Konversi 2.543.535 Kalimantan Tengah
6. Areal Penggunaan Lain 2.707.073
Kalimantan Tengah memiliki potensi sumber
Jumlah 15.426.780
Sumber: SK Menhut No. 529/Menhut-II/2012 daya alam yang melimpah di berbagai sektor antara
58 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

lain kehutanan, pertanian, perkebunan, pertam- Di Kabupaten Kapuas terjadi ketimpangan


bangan, kelautan, perikanan, dan lainnya (Isen dimana ijin yang dikeluarkan untuk pertambangan,
Mulang, 2016) yang menjadikan Provinsi Kaliman- perkebunan serta kehutanan seluas 1.861.080 Ha,
tan Tengah menarik berbagai pihak untuk mela- sedangkan luas Kabupaen Kapuas hanya 1.499.900
kukan berbagai pemanfaatan sumber daya alam. Ha, sehingga Kabupaten Kapuas def isit wilayah
Pertambangan, kehutanan dan perkebunan adalah sebesar ± 361.180 Ha. Di Kabupaten Gunung Mas
sektor-sektor yang menjadi sumber penerimaan juga terjadi ketimpangan dimana ijin yang dike-
negara, sektor-sektor ini bersinggungan dengan luarkan untuk pertambangan, perkebunan serta
sumber daya lahan (land based sector) (Mumbunan, usaha kehutanan seluas ± 1.306.566 Ha sedangkan
2015). Kegiatan usaha perkebunan mengacu kepada luas Kabupaten Gunung Mas hanya 1.080.500 Ha,
UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, sehingga di Kabupaten Gunung Mas terjadi def isit
dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok wilayah sebesar 226.066 Ha.
Agraria dalam hal penyediaan tanah untuk per- Ketimpangan juga terjadi di Kabupaten Barito
kebunan, mengakomodir pembangunan perke- Utara, dimana ijin yang dikeluarkan untuk pertam-
bunan pada kawasan hutan, hal ini diatur melalui bangan, perkebunan, dan usaha kehutanan seluas
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang ± 1034185.74 Ha sedangkan luas Kabupaten Barito
Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Ka- hanya ± 830,000 Ha, sehingga di Kabupaten Barito
wasan Hutan. Utara terjadi defisit wilayah sebesar 204.185.74 Ha.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu
Tabel 5 Perijinan Usaha Penggunaan Lahan di daerah yang cocok untuk pengembangan tanaman
Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010 kelapa sawit. Lembaga Penelitian Tanah (KPT)
Bogor yang mengidentif ikasi seluas 15.356.700 Ha
lahan di Kalimantan Tengah terdapat 3.195.000
Ha merupakan lahan yang cocok untuk pengem-
bangan berbagai jenis tanaman. Kalimantan Tengah
mempunyai iklim Smith and Fergusin serta tanah
didominasi podsolid cocok untuk tanaman kelapa
sawit (Disbun Kalteng, 2009).
Kesesuaian lahan, proses padu serasi yang
belum jelas, serta adanya euphoria reformasi dan
Sumber: (Ditjen BPK, 2010; Kemenhut, 2012b; Walhi tidak jelasnya tata ruang kehutanan maupun tata
Kalteng, 2011)
ruang wilayah telah mendorong bupati-bupati di
Kalimantan Tengah dengan luas ± 15,4 juta Ha Kalimantan Tengah untuk membuka diri bagi in-
atau satu setengah kali luas Pulau Jawa, secara umum vestor perkebunan sawit yang sedang membutuh-
perijinan kawasanya kini telah di kuasai oleh inves- kan lahan guna ekspansi perkebunan sawit. Bupati-
tor. Dari data tabel di atas menunjukan bahwa lahan bupati memiliki wewenang paling besar dalam
yang di kuasai investor melalui perijinan untuk mengeluarkan izin untuk sebagian besar perubahan
industri HPH, HTI, HTR, RE, Pertambangan dan dan manajemen tata guna lahan non-hutan, teruta-
Perkebunan sawit telah mencapai ±14,7 juta Ha atau ma yang berkaitan dengan pengembangan lahan
95% dari luas Provinsi Kalimantan Tengah, hanya perkebunan (Myers & Ardiansyah, 2015).
tersisa 700.000 Ha atau 5 % dari total lahan secara Pembangunan perkebunan kelapa sawit di
keseluruhan yang tidak terdapat perijinan lahan. Kalimantan Tengah dimulai pada tahun 1992, yaitu
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 59
ketika beberapa perusahaan swasta membuka berwenang mengelola sumberdaya nasional yang
lahan di Kotawaringin Barat (Kobar) dan Kotim. tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab
Pada awalnya, pembangunan perkebunan sawit memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
difokuskan di bagian Barat Provinsi Kalteng, perundang-undangan membawa kepada interpre-
sehingga pada tahun 1995 wilayah tersebut telah tasi yang berbeda dan perbedaan pendapat atas
siap produksi. Sedangkan di bagian Timur masih pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan
dalam tahap pembukaan lahan (land clearing). (Siswanto & Wardojo, 2006).
Kemudian sejak tahun 1998, terjadi ekspansi secara Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang
besar-besaran di subsektor perkebunan sawit hing- Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
ga empat tahun kemudian. Beberapa perusahaan peran pemerintah daerah menjadi lebih kuat. Pada
perkebunan sawit yang beroperasi di sana adalah: tahun 2003 Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
PT. Astra Argo Lestari Group, PT. Asam Jawa Group, kembali menyusun Tata Ruang Wilayah dalam ben-
PT. Graha Group, PT. Salim Group, PT. Sinar Mas tuk Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2003 tentang
Group, dan lain-lain. Namun, tidak terdapat satu pun Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
perusahaan milik negara atau pun perusahaan milik Kekisruhan tata ruang wilayah Provinsi Kali-
pemerintah daerah hadir di sana (Noorsalim, 2016). mantan Tengah dengan Tata Ruang kawasan hutan
Sekitar 98% sektor perkebunan di Kalimantan Kementerian Kehutanan salah satunya bermula
Tengah didominasi oleh perkebunan sawit (BPS Kal- dari surat Kepala Kantor Wilayah Kehutanan dan
teng, 2013), perkebunan sawit dalam skala besar Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah yang
dibangun oleh perusahaan perkebunan sawit swasta meminta pertimbangan kepada Kepala Badan Plano-
dan dalam skala kecil dibangun oleh rakyat, berdasar- logi (Baplan) Departemen Kehutanan dan Perke-
kan data tutupan lahan tahun 2010, perkebunan sawit bunan perihal perlunya ijin pelepasan kawasan hutan
di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1,2 juta Ha (BPS, untuk perkebunan pada kawasan Pengembangan
2011b). Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Peng-
Setelah turunnya Presiden Suharto oleh gerakan gunaan Lain (KPPL) berdasarkan RTRWP Provinsi
reformasi pada tahun 1999, Indonesia memasuki Kalimantan Tengah (Rompas & Waluyo, 2013).
tahapan baru dalam sosial maupun politik dan hal Arahan dari Kepala Badan Planologi Kehutanan
ini berpengaruh terhadap sistem pemerintah disampaikan melalui melalui surat No. 778/VIII-
daerah yang sebelumnya lebih bersifat sentralistik KP/2000 tanggal 12 September 2000 yang intinya
kemudian menjadi otonomi daerah dengan terbit- menyampaikan bahwa berkenaan dengan pen-
nya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang cadangan areal untuk pengembangan usaha budi
Otonomi Daerah, hal tersebut memberikan kewe- daya perkebunan pada KPP dan KPPL yang pada
nangan kepada daerah untuk mengatur dan mengu- dasarnya merupakan areal penggunaan lain (APL)
rus sendiri kepentingan daerah yang pada masa sebe- berdasarkan peta padu serasi RTRWP dengan
lumnya diatur dan diurus oleh pemerintah pusat. TGHK Kalimantan Tengah (Keputusan Gubernur
Pada dasarnya, Undang-undang No 22 Tahun Kalimantan Tengah No. 008/965/IV/BAPP tanggal
1999 memberikan wewenang kepada pemerintah 14 Mei 1999), maka tidak lagi memerlukan proses
daerah untuk pemanfaatan sumberdaya alam, pelepasan kawasan hutan.
termasuk hutan, konservasi sumberdaya alam dan Berdasarkan surat rekomendasi tersebut, peme-
standarisasi masih merupakan tanggung jawab rintah daerah merasa mempunyai dasar dalam
pemerintah pusat. Pasal pada Undang-undang No mengeluarkan sejumlah ijin terutama untuk perke-
22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa daerah bunan sawit. Surat tersebut kemudian dijadikan
60 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

acuan oleh pemerintah daerah dalam menyusun Tata Ruang Provinsi, namun sampai dengan 2010
tata ruang yang kemudian dituangkan dalam Pera- Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah belum selesai
turan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana proses padu serasi.
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Tanggal 10 Juli 2003, Menteri Kehutanan menge-
Tengah. Kebijakan ini juga didorong oleh “efouria” luarkan SE No 404/Menhut-II/2003 yang berisi
otonomi daerah yang memberikan kewenangan bahwa “Bagi setiap provinsi yang belum ada Surat
kepada bupati dan pejabat lokal untuk menerbit- Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan
kan ijin kepada investasi khususnya perkebunan kembali atas kawasan hutan yang didasarkan pada
dan pertambangan di Kalimantan Tengah. hasil pemaduserasian antara Rencana Tata Ruang
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Ke- Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan
hutanan memiliki otoritas mutlak dalam peng- Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada
gunaan dan pengelolaan kawasan hutan sehingga provinsi tersebut mengacu dan berpedoman pada
cenderung mempertahankan kawasan hutan Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Guna
(Rompas dan Waluyo, 2013). Kementerian Ke- Hutan Kesepakatan (TGHK). Tetapi karena Kalteng
hutanan menyadari belum adanya pemantapan belum memiliki padu serasi antara RTRWP dengan
keberadaan kawasan hutan akibat belum selesainya TGHK maka yang digunakan adalah TGHK yang
proses tata batas hutan di Indonesia, sampai dengan mengacu pada Kepmentan Nomor 759 tahun 1982.
tahun 2009 Kementerian Kehutanan baru mela- Surat Edaran dari Kementerian Kehutanan
kukan tata batas hutan sebanyak 11,29% dari luas tersebut menimbulkan keresahan bagi pemerintah
kawasan hutan 120.783.631 Ha (Ditjen Planologi, daerah, masyarakat maupun pengusaha karena
2014b). Akibat belum selesainya tata batas kawasan berdasarkan TGHK maka hampir seluruh wilayah
hutan, menyebabkan adanya ketidakpastian sta- Provinsi Kalimantan Tengah adalah kawasan hutan
tus kawasan hutan yang memberikan ruang terja- bahkan wilayah Kabupaten Kapuas seluruhnya
dinya penyimpangan di lapangan (Koalisi Anti berada di dalam kawasan hutan. Pada akhirnya
Mafia Hutan, 2015). Lambatnya proses tata batas Surat Edaran tersebut tidak diindahkan oleh Peme-
hutan disebabkan oleh batas hutan sepanjang rintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dengan
282.323 km dengan kondisi yang bervariasi dari dasar sudah mempunyai RTRWP yang sudah
pegunungan sampai dengan rawa gambut dataran berdasarkan Undang-Undang Tata Ruang Nomor
rendah, sementara petugas pelaksana tata batas 24 Tahun 1992 serta Undang-Undang Nomor 22
masih terbatas (Ditjen Planologi, 2014a). Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Dalam upaya mempertahankan kawasan hutan Kebijakan perijinan yang dikeluarkan oleh
yang belum selesai proses tata batasnya, pada tahun bupati/walikota di Kalimantan Tengah, didorong
2010 Kementerian Kehutanan melalui surat Nomor oleh efouria otonomi daerah yang memberikan
S.426/Menhut-VII/2006 Tanggal 12 Juli 2006 yang kewenangan kepada bupati dan pejabat lokal untuk
ditujukan kepada Kapolri, menegaskan bahwa sta- menerbitkan ijin kepada investasi perkebunan
tus penunjukan kawasan hutan mempunyai keku- sawit, akibatnya banyak sekali ijin perkebunan dan
atan hukum sehingga setiap pelanggaran hukum pertambangan yang dikeluarkan oleh pejabat lokal
yang berada di wilayah tersebut dapat dilakukan berdasarkan Perda RTRWP No 8 Tahun 2003 yang
proses hukum (Andila, 2010). Upaya yang dilakukan kemudian tidak diikuti dengan proses pelepasan
kementerian kehutanan adalah mempercepat kawasan hutan. Kenaikan penerbitan ijin perke-
upaya tata batas kawasan hutan serta melakukan bunan terlihat pada tahun 2003 sampai dengan
paduserasi antara Tata Ruang Kehutanan dengan 2007, setelah terbitnya RTRWP yang dianggap
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 61
sebagai dasar hukum bagi kepala daerah untuk Gambar Perkembangan Luas dan Produksi Sawit
menerbitkan perijinan perkebunan sawit Kalimantan Tengah di atas menunjukkan bahwa
Surat Kepala Badan Planologi tersebut baru pencabutan surat Kepala Baplan oleh Menteri
dicabut kembali pada tahun 2006 setelah enam Kehutanan tidak memberikan pengaruh terhadap
tahun dikeluarkan, Menteri Kehutanan mengi- penerbitan ijin dan perkembangan perkebunan sawit
rimkan surat No. S.575/Menhut-II/2006 tanggal 11 di Kalimantan Tengah. Perkebunan sawit di
September 2006 kepada Gubernur Kalimantan Kalimantan Tengah meningkat pesat, dari 200 ribu
Tengah perihal pencabutan Surat Kepala Badan Ha pada tahun 2001 meningkat pesat menjadi 1 juta
Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 778/ Ha pada tahun 2011, laju perkembangan perkebunan
VIII-KP/2000 tertanggal 12 September 2000. Penca- sawit di Kalimantan tertinggi di Indonesia.
butan surat dari Kepala Badan Planologi Depar- Tingginya harga CPO serta meningkatnya
temen Kehutanan oleh Menteri Kehutanan tidak kebutuhan di pasar internasional telah mendorong
berpengaruh terhadap penerbitan perijinan pengusaha besar untuk membuka usaha perke-
perkebunan sawit oleh Bupati/Walikota di Provinsi bunan sawit, perusahaan rokok sampurna, gudang
Kalimantan Tengah, dengan dasar sudah adanya garam serta pengusaha bidang otomotif Astra, telah
RTRWP Provinsi Kalimantan Tengah serta adanya melebarkan usahanya ke bidang perkebunan sawit
kebutuhan lahan untuk menarik investor dalam dengan membuat grup usaha perkebunan sawit.
rangka pengembangan wilayah kabupaten. Ekpansi perkebunan sawit di Provinsi Kaliman-
Pada tahun 2004 pemerintah menerbitkan tan Tengah juga merambah ke dalam kawasan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang pemegang konsesi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil
perkebunan yang memberi kewenangan kepada Hutan Kayu (IUPHHK-K), misalnya, PT Katingan
Gubernur/Bupati dalam proses perijinan perke- Indah Utama (PT Makin Group) dan PT Tunas Agro
bunan, dimana pada pasal 17 UU 18/2004 tersebut, Subur Kencana (PT Best Group) yang melakukan
menyatakan bahwa Izin Perkebunan dapat diter- kegiatan perkebunan di atas konsesi milik PT
bitkan oleh gubernur untuk kawasan yang mem- Inhutani III (Observation No.1), dan PT Agro Prima
bentang di beberapa kabupaten/kota dan oleh Lestari yang menggunakan wilayah PT Kusuma
bupati/walikota untuk kawasan di dalam satu Perkasawana (BPK, 2007).
kabupaten atau kota. Salah satu motif utamanya adalah untuk meng-
hindari kewajiban membayar pajak dan royalti
untuk kayu yang ditebang. Sebuah penyelidikan
oleh (EIA, 2012) mengungkapkan bahwa hanya
seperlima dari perusahaan perkebunan di Ka-
limantan Tengah beroperasi secara legal menurut
UU Kehutanan.
Kementerian Kehutanan melalui Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) bekerjasama dengan Kejaksaan Agung,
Bareskrim Polri, Kementerian Lingkungan Hidup,
Unit Kerja Pembantu Presiden dalam Percepatan
Pembangunan (UKP4), Satgas Maf ia Hukum dan
Gambar 2. Perkembangan Luas dan Produksi
Sawit di Kalimantan Tengah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melakukan
pendataan terhadap penggunaan kawasan hutan
62 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

yang illegal1. Provinsi Kalimantan Tengah merupa- Kehutanan maupun Bareskrim Polri terhadap 7
kan salah satu provinsi yang dilakukan pengum- (tujuh) unit perusahaan perkebunan sawit di Pro-
pulan data pertama kali pada bulan Oktober tahun vinsi Kalimantan Tengah. Hal tersebut telah menye-
2010, kegiatan dilakukan dengan mengundang babkan keresahan, di kalangan perusahaan perke-
gubernur, bupati/walikota untuk menyampaikan bunan sawit yang merasa di kriminalkan karena
ekspose penggunaan kawasan illegal di wilayahnya. mereka sudah memiliki ijin dari pemerintah dalam
Ekspose yang dilakukan oleh gubernur/bupati/ menjalankan usaha perkebunan namun dianggap
walikota Kalimantan Tengah di hadapan Kemen- melakukan tindak pidana kehutanan, ada ancaman
terian Kehutanan, Bareskrim Polri, Satgas Mafia dari pengusaha untuk menarik investasinya dari
Hukum, Kejaksaan Agung pada tahun 2011 mengung- Indonesia dan di kalangan pemerintah daerah baik
kapkan terdapat 282 unit perusahaan perkebunan provinsi maupun kabupaten.
sawit seluas lebih dari 3 juta Ha yang melakukan Perlawanan terhadap upaya penegakan hukum
kegiatan pembangunanan perkebunan sawit di oleh Kementerian Kehutanan bersama penegak
dalam kawasan hutan tanpa memiliki perijinan dari hukum pusat, mendorong satu orang pengusaha
Kementerian Kehutanan (Kemenhut, 2012a). dan 5 (lima) bupati (Bupati Kapuas, Bupati Gunung
Mas, Bupati Katingan, Bupati Sukamara, dan Bupati
Tabel 6. Sebaran Perkebunan Sawit di Seruyan) mengajukan gugatan terhadap UU
Kalimantan Tengah
Kehutanan kepada Mahkamah Konstitusi. Perkara
Perkebunan Sawit
No Kabupaten Tanpa IPKH Memiliki IPKH yang terregister No. 45/PUU-IX/2011 untuk menguji
Jumlah Luas (Ha) Jumlah Luas
(Unit) (Unit) (Ha) konstitusionalitas kawasan hutan sebagaimana
1 Lamandau 13 132.700 5 79.375
2 Seruyan 32 453.874 12 178.491 diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41 Tahun
3 Barito Timur 6 132.559 5 49.824
4 Barito Utara 31 405.220 - -
1999 tentang Kehutanan.
5 Barito Selatan 14 230.702 - - Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor
6 Gunung Mas 21 340.100 2 24.770
7 Kapuas 41 748.910 1 12.100 45/PUU-IX/2011 Tanggal 9 Februari 2012 memu-
8 Katingan 41 432.701 2 33.500
9 Kotawaringin Barat 12 157.090 11 97.941 tuskan mengabulkan permohonan pemohon, tak
10 Kotawaringin Timur 38 354.873 14 216.137
11. Murung Raya 9 96.859 - - pelak hal ini memicu kekhawatiran bagi publik,
12. Pulang Pisau 15 297.000 1 5.000
13. Sukamara 2 29.600 1 20.707
bahwa pengujian definisi kawasan hutan tersebut
14. Palangka Raya 3 53.500 - -
Lintas Kabupaten 4 69.275 13 291.600
justru digunakan untuk memutihkan operasional
15.
Jumlah 282 3.934.963 67 1.009.445 perkebunan secara ilegal di kawasan hutan Putusan
Sumber data: Hasil Ekspose Bupati/Walikota se- MK pada faktanya telah menimbulkan polemik
Kalimantan Tengah
khususnya berkaitan dengan kejelasan status
Tabel 6 menunjukan terdapat 349 unit kawasan hutan. Status tersebut merupakan landasan
perkebunan sawit di Provinsi Kalimantan Tengah, bagi penatagunaan kawasan hutan serta pengelolaan
67 unit sudah memiliki Ijin Pelepasan Kawasan kawasan hutan, termasuk di dalamnya pemberian
Hutan dari Kementerian Kehutanan sedangkan perizinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan
sebanyak 282 unit belum memiliki IPKH. Pengum- hutan (Arizona, Nagara, & Hermansyah, 2012).
pulan data perkebunan sawit yang melakukan
kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa ijin dari 3. Upaya Penyelesaian Masalah
Kementerian Kehutanan dilanjutkan dengan upaya Permasalahan dispute policy dalam alih fungsi
proses hukum dari penegak hukum Kementerian hutan menguat seiring dengan gencarnya upaya
1
penegakan hukum terhadap perusahaan perke-
Diperhalus dengan istilah “penggunaan kawasan
hutan tidak prosedural”.
bunan sawit yang diduga berada di dalam kawasan
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 63
hutan, hal tersebut berimplikasi pada keberlanjutan sesuai perda, mekipun sudah ada pertimbangan
investasi perkebunan sawit, keresahan tenaga kerja hukum dari Kejaksaan Agung, namun Kementerian
sawit yang terancam perkebunan tempat bekerja Kehutanan belum berani untuk melakukan reko-
disita oleh negara serta keresahan dari para kepala mendasi tersebut karena belum ada dasar hukum
daerah yang telah menerbitkan ijin usaha perke- yang kuat untuk implementasi di lapangan.
bunan berdasarkan peraturan tata ruang wilayah. Perdebatan yang panjang antara kewenangan
Pada akhir tahun 2009, Kementerian Kehutanan Kementerian Kehutanan dan kewenangan Peme-
mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator rintah Daerah, mendorong Pemerintah mengambil
Bidang Perekonomian melalui surat Nomor S.926/ langkah upaya penyelesaian. Kementerian Koordi-
Menhut-VII/2009 Tanggal 23 Desember 2009 nator Politik Hukum dan Keamanan, memandang
tentang adanya pelanggaran penggunaan kawasan dispute policy antara kebijakan tata ruang kehutanan
hutan tanpa prosedur yang diancam dengan pidana dengan tata ruang wilayah dapat berpotensi menjadi
10 tahun penjara dan denda 5 milyar sesuai dengan gangguan bagi stabilitas negara. Sebagai upaya resolusi
pasal 78 ayat (2) dan (6) Undang-Undang nomor konflik, Kementerian Koordinator Bidang Politik
41 tahun 1999. Pada tahun 2010 Menteri Kehutanan Hukum dan Keamanan (Polhukam), melakukan
meminta pertimbangan hukum kepada Jaksa mediasi dengan mengadakan rapat koordinasi khusus
Agung atas keterlanjuran pemanfaatan kawasan (Rakorsus) yang melibatkan Kementerian Sekretariat
hutan (melalui surat Nomor S.460/Menhut-VII/2010 Negara (Sekneg), Kementerian Koordinator Bidang
tanggal 14 September 2010) dengan alternatif: a) Perekonomian, Bareskrim Polri, Kementerian Dalam
melakukan penegakan hukum secara konsekuen Negeri (Kemendagri), Kementerian Kehutanan
dan konsisten sesuai UU 41 Tahun 1999, b) Penye- (Kemenhut), Kejaksaan Agung, dan Gubernur
lesaian melalui revisi tata ruang bila telah sesuai Kalimantan Tengah.
peruntukannya dan diluar ijin usaha pemanfaatan Dari Konsideran PP 60 Tahun 2012 dapat dibaca
hutan, c) itikad baik (goedetrouw) yaitu pengusaha bahwa tujuan revisi atau perubahan PP ini adalah
yang telah memiliki ijin berdasarkan Perda tetapi ‘memberikan kepastian hukum’ atas keterlanjuran
melanggar UU 41 Tahun 1999, d) Out of court seat- ijin yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
lement sesuai KUHP Perdata (Pasal 1858), e) tero- kabupaten atau provinsi. Kepastian hukum tadi
bosan hukum akomodasi pengembangan kebi- ditujukan perusahaan milik negara dan perusahaan
jakan kebun terintegrasi dalam pengelolaan hutan perkebunan swasta, sedangkan kepastian hukum
produksi. bagi masyarakat atau rakyat dalam penguasaan
Kejaksaan Agung memberikan pertimbangan lahan belum terlihat dalam PP 60 Tahun 2012. Meli-
hukum terhadap surat dari Kementerian Kehu- hat pengaturan yang demikian rigit dalam kedua
tanan (melalui surat Nomor B.072A/A/Gp.1/09/2010 PP ini, nampaknya keberpihakan pemerintah
Tanggal 21 September 2010), dengan pertimbangan masih belum beranjak dari memberikan kepastian
hukum: a) Out of court dalam rangka itikad baik hukum bagi perusahaan perkebunan sawit besar,
(goedetrouw) tanpa merugikan investor/pengusaha dan kurang memberikan perhatian kepada rakyat
yang telah memiliki ijin sesuai Perda karena telah kecil yang juga memerlukan kepastian hukum atas
menghasilkan pemberdayaan manusia dalam penguasaan lahan mereka. Pengaturan untuk
usahanya, b) goedetrouw dalam bentuk berita acara selambat-lambatnya mengajukan permohonan
kesepakatan damai (akta van dading) sesuai dengan kepada pemerintah memberi peluang hanya
pasal 1858 KUH Perdata, c) Penegakan hukum kepada swasta dengan modal besar dan tidak
terhadap investor yang tidak memiliki dasar hukum mungkin bagi masyarakat kecil.
64 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

Dalam PP 60 Tahun 2012, tenggat waktu yang perbedaan acuan dalam penentuan Tata Ruang
diberikan untuk mengajukan permohonan pele- antara SK Menteri Pertanian Nomor 759 Tahun
pasan diberikan sama selama 6 bulan, tetapi pemo- 1982 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan
hon harus menyediakan lahan pengganti selambat- (TGHK) (berdasarkan Undang-Undang Nomor 41
lambatnya dalam 2 tahun sejak diberikan perse- Tahun 1999 tentang Kehutanan) dengan Peraturan
tujuan pelepasan kawasan. Lahan pengganti itupun Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003 tentang
harus mencapai dua kali luasan, jika hutan di wila- Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) Provinsi
yah daerah aliran sungai, pulau atau provinsi di Kalimantan Tengah (berdasarkan Undang-Undang
mana perusahaan itu berada kurang dari 30% dan Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang).
jika lebih dari 30% maka hanya diminta untuk Sebagian kabupaten di Provinsi Kalimantan
menyiapkan lahan pengganti seluas wilayah yang Tengah tidak konsisten dalam kebijakan Tata Ruang
dimohon untuk pelepasan. Bisa dibayangkan di wilayahnya, RTRWP (Perda 8 Tahun 2003) dija-
betapa sulitnya bagi pengusaha perkebunan dalam dikan alasan dalam penerbitan perijinan berbasis
mencari lahan pengganti ini. lahan, namun perijinan yang dikeluarkan sebagian
Perubahan PP 10 Tahun 2010 menjadi PP 60 tidak sesuai dengan RTRWP, di beberapa kabupaten
Tahun 2012 telah memberikan dampak secara perijinan yang dikeluarkan justru melebihi dari luas
langsung pada proses penyelidikan oleh Kemen- wilayah kabupaten yaitu: Kabupaten Kapuas, Kabu-
terian Kehutanan maupun Bareskrim Polri, dimana paten Gunung Mas, dan Kabupaten Barito Utara.
beberapa perusahaan yang sedang dilakukan proses Kontestasi perumusan kebijakan antara Koalisi
pengumpulan data mengajukan proses perijinan Kehutanan dengan Koalisi Perkebunan mengha-
menurut aturan dalam Peraturan Pemerintah No- silkan kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 60
mor 60 Tahun 2012. Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
Ratusan perusahan perkebunan sawit di berba- Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara
gai provinsi menyambut baik keluarnya Peraturan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012, meskipun hanya yang memberikan kesempatan baik perusahaan
diberikan tenggat waktu selama 6 (enam) bulan perkebunan sawit yang diduga mempunyai
untuk mengajukan proses perijinan ke pemerintah perijinan dan atau sudah melakukan pembangunan
pusat bagi perkebunan sawit non prosedural yang perkebunan sawit di dalam kawasan hutan, terhin-
berada dalam kawasan Hutan Produksi Konversi dar dari proses hukum dan diberi kesempatan un-
(HPK) dan 2 (dua) tahun bagi perkebunan sawit tuk memperoleh legalisasi.
non prosedural yang berada di kawasan Hutan
Produksi (HP) untuk mengajukan perijinan seka-
Daftar Pustaka
ligus mencari areal pengganti. Meskipun dalam
Andila, GN 2010, Penunjukan Kawasan Hutan
pelaksanaannya akan sulit dilakukan namun
Implikasinya bagi Hutan Konservasi. Buletin
dengan melakukan pendaftaran sesuai PP 60 Tahun
PIKA, 25.
2012, maka akan dapat terhindar dari proses hukum
Arizona, Y., Nagara, G., & Hermansyah 2012, Hasil
yang sedang dilakukan oleh Kementerian Kehu- Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah
tanan dan Bareskrim Polri. Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
C. Penutup (Putusan No. 45/PUU-IX/2011). (E. Yuntho, F.
Konflik kebijakan tata ruang di Provinsi Kali- Diansyah, & D. Fariz, Eds.). Jakarta: Indone-
mantan Tengah yang disebabkan oleh adanya sian Corruption Watch.
Eko N Setiawan, dkk.,: Konflik Tata Ruang Kehutanan dengan Tata Ruang ... : 51-66 65
Bappenas 2014, Permasalahan Penetapan Kawasan EIA 2012, Menguji hukum: Karbon, Tindak Kriminal,
Hutan dalam Penataan Ruang dan Pertanahan dan Kekebalan Hukum di Sektor Perkebunan
Nasional. Jakarta: Kementerian Perencanaan Indonesia. Bogor.
Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Fuller, D., Hardiono, M., & Meijaard, E 2011, De-
Pembangunan Nasional. forestation Projections for Carbon-Rich Peat
Bappenas 2015, Pedoman Sinkronisasi Rencana Tata Swamp Forests of Central Kalimantan, Indo-
Ruang dan Rencana Pembangunan. Jakarta. nesia. Environmental Management, 48(3), 436–
BPK (2007), Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 447. http://doi.org/10.1007/s00267-011-9643-2
Angaran 2007, atas Kegiatan Pembangunan FWI 2011, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode
Hutan Tanaman Industri (HTI)Tahun Ang- Tahun 2000-2009 (1st ed.). Forest Watch In-
garan 2003 s.d 2007 Yang Dibiayai Dari Dana donesia.
Reboisasi (DR) pada Departemen Kehutanan Geist, H. J., & Lambin, EF 2002, Proximate Causes
serta Instansi Terkait Lainnya di DKI Jakarta, and Underlying Driving Forces of Tropical
Kalimantan Timur, Badan Pemeriksa Ke- Deforestation. BioScience, 52(2), 143. http://
uangan, Jakarta. doi.org/10.1641/0006-3568
BPS 2011a, Statistik Kelapa Sawit Indonesia. Badan (2002)052[0143:PCAUDF]2.0.CO;2
Pusat Statistik, Jakarta. Gresnews 2011, 511 blok konsesi sawit dilepas dari
BPS 2011b, Statistik perkebunan Indonesia 2011, kawasan hutan Kalteng. Retrieved October 22,
Badan Pusat Statistik, Title. Retrieved Janu- 2016, from http://www.gresnews.com/berita/
ary 1, 2015, from www. bps. go. id ekonomi/1349137-511-blok-konsesi-sawit-
BPS Kalteng 2013, Kalimantan Tengah Dalam Ang- dilepas-dari-kawasan-hutan-kalteng/0/
ka tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Hartoyo, D 2011, Panduan Audit Investigatif Korupsi
Kalimantan Tengah (Vol. 1). Palangkaraya. di Bidang Kehutanan. Bogor: Center for Inter-
BPS Kalteng 2015, Kalimantan Tengah Dalam Angka national Forestry Research.
2015. Badan Pusat Statistik Provinsi Kaliman- Isen Mulang 2016, 59 Tahun Kalteng Semakin
tan Tengah, Palangkaraya. Mantap, Majalah Isen Mulang, edisi 1–16.
Buckland, H 2005, The oil for ape scandal/: How palm Kartodihardjo, H 2008, Perlindungan dan Perebutan
oil is threatening orang-utan survival. London. Ruang: Apa Prioritas Restrukturisasi
CIFOR. 2014. Tata Guna Lahan di Kalimantan Tengah: Kehutanan? In Bahan Diskusi FORCI IPB (pp.
Menyatukan tujuan pembangunan dan keberlan- 1–3). Bogor: IPB.
jutan untuk optimalisasi lahan. CIFOR, Bogor. Kartodihardjo, H., & Supriono, DA 2000, Dampak
Disbun Kalteng 2009, Sejarah Perkebunan Sawit di Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan
Kalimantan Tengah. Retrieved October 22, Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan
2016, from http://kalteng.go.id/ogi/ HTI dan Perkebunan di Indonesia, 26(1). Re-
viewarticle.asp?ARTICLE_id=969 trieved from http://www.cgiar.org/cifor
Ditjen BPK 2010, Laporan Perkembangan Peng- Kemenhut 2012a, Perkiraan Kerugian negara akibat
gunaan Dan Produksi Hutan. Jakarta. Re- pembukaan kebun dan tambang di kawasan
trieved from http://storage.jakstik.ac.id/ hutan. Jakarta.
ProdukHukum/kehutanan/ Kemenhut 2012b, Statistik Bidang Planologi
lap_perkemb_HP_IV.pdf Kehutanan Tahun 2011. Jakarta.
Ditjen Planologi 2014a, Pembenahan Kebijakan dan Kemenhut 2012c, Statistik kehutanan indonesia. (D.
Kemajuan Pengukuhan Kawasan Hutan. Jakar- P. K. H. Sub Direktorat Statistik dan Jaringan
ta: Direktorat jenderal Planologi Kehutanan . Komunikasi Data Kehutanan, Ed.). Jakarta:
Ditjen Planologi 2014b, Perubahan Kebijakan Dalam Direktorat jenderal Planologi Kehutanan.
Pengukuhan Kawasan Hutan. Direktorat Koalisi Anti Mafia Hutan 2015, Korupsi Subur Hutan
Jenderal Planologi, Jakarta. Sumatera Hancur. Retrieved October 26, 2016,
66 Bhumi Vol. 3 No. 1 Mei 2017

from http://www.tuk.or.id/wp-content/up- M., Gaskell, J., Sunderland-Groves, J., … Kanni-


loads/2015/07/POLICY-BRIEF-ed2.pdf nen, M 2009, The impacts and opportunities
Koh, L. P., & Wilcove, DS 2009, Oil palm: of oil palm in Southeast Asia. Africa. http://
disinformation enables deforestation. Trends doi.org/10.17528/cifor/002792
in Ecology and Evolution. http://doi.org/ Siswanto, W., & Wardojo, W 2006, Desentralisasi
10.1016/j.tree.2008.09.006 Sektor Kehutanan: Pengalaman Indonesia. In
Manurung, E. G. T. 2001, Analisis Valuasi Ekonomi Carol J. Pierce Colfer & Doris Capistrano
Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. (Eds.), Politik Desentralisasi Hutan, Kekuasaan
jakarta. dan Rakyat: Pengalaman di berbagai Negara
Mumbunan, S 2015, Menautkan Dua Mata Rantai: (pp. 175–185). Bogor: Center for International
Perizinan dan Penerimaan Negara di Sektor Forestry Research (CIFOR). Retrieved from
Berbasis Lahan di Indonesia. In T. N. Samadhi www.cifor.org/publications/pdf_f iles/Books/
& S. Mumbunan (Eds.), Tambang Hutan dan BColfer0602.pdf
Kebuan: Tata Kelola Perizinan dan Penerimaan Verbist, B., Ekadinata, A., Budidarsono, S., Tenong,
Negara di Sektor Berbasis Lahan (pp. 41–84). W., Barat, L., & Penebangan, SG 2004, Penye-
Bogor: IPB Press. bab Alih Guna Lahan Dan Akibatnya Terha-
Murdiyarso, D., Dewi, S., Lawrence, D., & Seymour, dap Fungsi Daerah Aliran Sungai ( Das ) Pada
F 2011, Moratorium Hutan Indonesia: Batu Lon- Lansekap Agroforestri Berbasis Kopi Di Suma-
catan untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan? tera. Agrivita, 26(1), 29–38.
(No. 77). Bogor. Wahyunto, S., Ritung, & Subagjo, H 2004, Peta
Murphy, DJ 2014, The future of oil palm as a major sebaran lahan gambut, luas dan kandungan
global crop: Opportunities and challenges. karbon di Kalimantan 2000 - 2002. Bogor: Wet-
Journal of Oil Palm Research. lands International - Indonesia Programme &
Myers, R., & Ardiansyah, F 2015, Siapa yang Wildlife Habitat Canada (WHC).
memegang kekuasaan dalam tata guna lahan/? Walhi Kalteng 2011, Monopoli Tanah Penyebab
Bogor. http://doi.org/10.17528/cifor/005517 Perampasan Tanah Kerusakan Lingkungan
Noorsalim, M 2016 Pengaruh Pembangunan Dan Konflik Sosial. Palangkaraya: Walhi Kali-
Perkebunan Sawit terhadap Masyarakat Peda- mantan Tengah.
laman Kalimantan. Retrieved December 10, Wells, P., Franklin, N., Gunarso, P., Paoli, G., Mafira,
2016, from http://interseksi.org/archive/pub- T., Kusumo, D. R., & Clanchy, B 2012, Kajian
lications/essays/articles/ atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik
pengaruh_sawit.html#_ftn1 Indonesia Nomor 45 / PUU-IX / 2011 Tentang
Rachman, IN 2016, Politik Hukum Pengelolaan Kawasan Hutan: Dampak terhadap Hutan,
Sumber Daya Alam Menurut Pasal 33 UUD Pembangunan dan REDD+.
1945: Legal Policy of Natural Resources. Jurnal Widiyanto, Maryanti, S., & Mary, SR 2012. Outlook
Konstitusi, 13, 191–212. Konflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012.
Ramdani, F., & Hino, M 2013, Land Use Changes Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum
and GHG Emissions from Tropical Forest Con- berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMA). Re-
version by Oil Palm Plantations in Riau Prov- trieved from http://huma.or.id/wp-content/
ince, Indonesia. PLoS ONE, 8(7), 1–6. http:// uploads/2013/03/Brief-Outlook-2012.pdf
doi.org/10.1371/journal.pone.0070323 Wulan, C. Y., Yasmi, Y., Purba, C., & Wollenberg,
Rompas, A., & Waluyo, A 2013, Laporan Peman- E 2004, Analisa Konflik Sektor Kehutanan di
tauan Kejahatan Sektor Kehutanan di Wilayah Indonesia 1997 - 2003. Bogor: Center for Inter-
Moratorium di Kalimantan Tengah. WALHI, national Forestry Research. Retrieved from
Palangkaraya. http://www.cifor.org/publications/pdf_files/
Sheil, D., Casson, a, Meijaard, E., Van Noordwijk, Books/BWulan0401I0.pdf

View publication stats

Potrebbero piacerti anche