Sei sulla pagina 1di 10

IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO.

2 2012

Pengelolaan Tanaman Terpadu dan Teknologi Pilihan Petani:


Kasus Sulawesi Selatan
Maintang
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Jl. Perintis Kemerdekaan Km 17,5, Makassar
Email: salsabila.marzuki@yahoo.com

Naskah diterima 9 Juli 2012 dan disetujui diterbitkan 26 November 2012

ABSTRACT
Integrated Crop Management and Farmers’ Choices of Technology: Case of South Sulawesi. Integrated
Crop Management (ICM) is an approach in managing land, water, plant and pest in an integrated manner. The
ICM had been implemented as a pilot model by the government to increase national rice production. To
encourage further for its adoption by farmers, the Government launched the Integrated Crop Management
Field School (ICMFS) since 2009. ICM emphasizing on farmers’ participation, site-specific technology,
integration, synergy dynamic values and offers technology options as basic components and optional choices.
In most areas generally ICM was reported as successful in increasing productivity of rice and more efficient in
using production inputs. In South Sulawesi, field studies showed that farmers did not implement all components
technology that was introduced as a whole. They had discretion in applying the technology, especially those
which had impact on high productivity and easy to apply. For example, the application of organic fertilizer and
planting using legowo pattern fell dramatically after farmers were no longer involved in the ICMFS. The un-
availability of organic fertilizer and no apparent improvement in productivity from the use of organic fertilizer
and the difficulty in applying a legowo pattern were the reasons that farmers were no longer apply the two
components. Similarly with the intermittent irrigation, the use of LCC, and the planting young seedlings. This
conditions need to be considered in the development of next ICM. Emphasizing two or three most effective
components of technology on crop yields and easiness of its adoption seemed to have a greater attention than
to encourage farmers to implement all components technology. The success of ICM was determined by the
appropriateness of the technology selection and its application quality in the field.
Keywords: Rice, ICM, component technology, adoption.

ABSTRAK
Pengelolaan Tanaman (dan Sumber Daya) Terpadu (PTT) yang merupakan pendekatan dalam pengelolaan
lahan, air, tanaman, dan organisme pengganggu secara terpadu telah diterapkan pemerintah dalam upaya
meningkatkan produksi padi nasional. Untuk mendorong pengembangannya lebih lanjut, Pemerintah telah
meluncurkan Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak beberapa tahun
yang lalu. Dalam implementasinya, PTT yang mengacu kepada prinsip partisipatif, spesifik lokasi, terpadu,
sinergis, dan dinamis ini menawarkan teknologi yang dikelompokkan dalam komponen dasar dan pilihan.
Kajian di berbagai daerah umumnya melaporkan bahwa pendekatan PTT berhasil meningkatkan
produktivitas padi di samping menghemat penggunaan sarana produksi. Di Sulawesi Selatan, kajian
lapang menunjukkan bahwa petani tidak menerapkan semua komponen teknologi yang diperkenalkan
secara utuh. Mereka mempunyai pertimbangan sendiri dalam menerapkan teknologi, terutama yang
memberikan produktivitas tinggi dan mudah diterapkan. Hal ini berpengaruh kepada keberlanjutan penerapan
teknologi. Penerapan penggunaan pupuk organik dan tanam jajar legowo, misalnya, turun drastis setelah
petani tidak lagi terlibat dalam program SL-PTT. Faktor ketersediaan dan ruah (bulky) pupuk organik dan
tidak nyatanya peningkatan hasil dengan pemakaian pupuk ini serta kesulitan dalam menerapkan jajar
legowo menjadi alasan petani untuk tidak lagi menerapkan kedua komponen tersebut. Demikian pula
halnya dengan pengairan berselang, penggunaan bagan warna daun (BWD), dan tanam bibit muda. Kondisi
seperti ini perlu menjadi pertimbangan dalam pengembangan PTT selanjutnya. Penekanan kepada dua
atau tiga komponen teknologi yang paling berpengaruh terhadap hasil panen dan pendapatan petani serta
kemudahan dalam proses adopsi tampaknya perlu mendapat perhatian yang lebih besar daripada
mendorong petani untuk menerapkan semua komponen teknologi. Keberhasilan PTT ditentukan oleh
ketepatan pemilihan teknologi dan kualitas penerapannya di lapang.
Kata kunci: Padi, PTT, komponen teknologi, adopsi.

88
MAINTANG: PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DAN TEKNOLOGI PILIHAN PETANI

PENDAHULUAN 3,7-8,1 t/ha (Sembiring dan Abdulrachman 2008). Input


yang diberikan pada pertanaman PTT lebih rendah dari
Peningkatan produksi padi nasional dewasa ini bertumpu input yang diberikan petani non-PTT dengan R/C ratio
pada upaya peningkatan produktivitas karena perluasan berkisar antara 1,4-2,9. Hasil pengkajian ini menunjukkan
areal pada lahan baru menghadapi berbagai kendala bahwa PTT mempunyai prospek untuk dikembangkan
teknis dan sosial-budaya. Peningkatan produksi padi lebih luas (Las et al. 2004). Beberapa pengkajian lain
melalui Program Peningkatan Produksi Beras Nasional membuktikan bahwa implementasi PTT di tingkat petani
(P2BN) diupayakan melalui penerapan teknologi dengan selain meningkatkan hasil gabah juga meningkatkan
pendekatan Pengelolaan Tanaman (dan Sumber Daya) efisiensi produksi (Arafah dan Sahardi 2007, Nurbaeti et
Terpadu (PTT). Konsep ini diyakini mampu mendukung al. 2008).
pencapaian produksi yang tinggi sesuai dengan potensi
genetik tanaman dengan memperhatikan faktor Pada tahun 2008-2010 Kementerian Pertanian telah
lingkungan dan pengelolaan tanaman. meluncurkan Program Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT). SL-PTT merupakan
Upaya peningkatan produksi padi menghadapi perpaduan antara program Prima Tani yang fokus
banyak tantangan yang harus diatasi, seperti kondisi iklim utamanya adalah sekolah lapang, sedangkan program
yang makin sulit diprediksi, ancaman konversi lahan yang PTT fokus utamanya adalah pengembangan teknologi
masih tinggi yang berakibat semakin menurunnya luas secara terpadu. Tujuan utama SL-PTT adalah untuk
lahan sawah, ketersediaan air yang semakin terbatas mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti
(Pasandaran et al. 2004, Rachman dan Kariyasa 2002), atau narasumber lainnya. Melalui SL-PTT diharapkan
berkurangnya tenaga kerja di pedesaan, masalah dalam terjadi penyebaran teknologi PTT dari peneliti ke petani
penyaluran pupuk, pestisida yang semakin mahal dan peserta dan kemudian berlangsung difusi secara alamiah
terbatas, pencetakan sawah baru yang tersendat. dari alumni SL-PTT kepada petani di sekitarnya. Seiring
Sarasutha et al. 2000 melaporkan produksi padi secara dengan perjalanan waktu dan tahapan SL-PTT, petani
nasional cenderung menurun karena adanya pelandaian diharapkan merasa memiliki PTT yang dikembangkan
produksi (levelling off). Karena itu, seluruh teknologi yang (Puslitbangtan 2008). Sejak tahun 2008 PTT telah
tersedia saat ini perlu digunakan untuk mencapai dan diimplementasikan pada areal seluas 1,59 juta ha dengan
memelihara tingkat produktivitas yang tinggi tanpa melibatkan 60.000 kelompok tani di 32 provinsi.
mengabaikan kelestarian lingkungan.
Pada tahun 2011, BPTP Sulawesi Selatan melakukan
Berdasarkan hasil penelitian mega proyek Reversing pengawalan dan pendampingan SL-PTT padi di 22
Trend of Declining Produktivity sejak 1995 yang dilakukan kabupaten dalam bentuk demfarm seluas 22 ha dan
oleh IRRI dan beberapa penelitian lain, sejak awal tahun display seluas 111 ha. Keberhasilan PTT ditentukan oleh
2000 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) ketepatan pemilihan komponen teknologi dan kualitas
mulai mengubah strategi penelitian melalui pendekatan penerapannya di lapang. Perakitan teknologi berdasarkan
holistik dengan fokus sumber daya (Fagi et al. 2009). pertimbangan karakteristik biofisik lingkungan, kondisi
Tujuannya adalah mendorong produktivitas tanpa merusak sosial, ekonomi, dan budaya petani setempat. Dengan
potensi produksi dalam jangka panjang. Strategi tersebut demikian, sinergisme diharapkan terjadi antarkomponen
dijabarkan dalam Pengelolaan Tanaman (dan Sumber teknologi dalam meningkatkan produktivitas tanaman.
Daya) Terpadu atau PTT. Pendekatan PTT bersifat Melalui PTT diharapkan produktivitas padi dan pendapatan
partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis, dan dinamis petani meningkat, lingkungan terjaga, dan sistem produksi
(Zaini et al. 2009). Efek sinergis di antara komponen berkelanjutan.
teknologi dalam PTT mampu memberikan hasil yang
tinggi (Balitpa 2000).
Secara umum, pendekatan PTT yang telah diterapkan PRINSIP DASAR DAN KOMPONEN
sejak tahun 2002 mampu meningkatkan produktivitas dan TEKNOLOGI PTT
menghemat penggunaan masukan sarana produksi.
Kronologi pengembangan PTT berawal dari penelitian
Petani peserta PTT memperoleh hasil padi rata-rata 20%
beberapa negara peserta mega project kerja sama
lebih tinggi dan pendapatan 35% lebih banyak
internasional yang dikoordinasikan oleh IRRI bertema
dibandingkan dengan petani non-PTT (Zaini dan Erythrina
Reversing Trends of Declining Rice Productivity. Penelitian
2008). Hasil penelitian dan pengkajian oleh delapan BPTP
tersebut menegaskan dugaan bahwa telah terjadi
(2001-2002) menunjukkan produktivitas padi pada areal
pelandaian /penurunan produktivitas padi sawah di area
sawah dimana model PTT diterapkan berkisar antara 5,1-
intensifikasi. Akan tetapi, pelandaian/penurunan
8,5 t/ha, lebih tinggi dibanding hasil intensifikasi yang
produktivitas itu relatif mudah dikoreksi. Tindakan yang
dilakukan petani pada umumnya, yang berkisar antara

89
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

bersifat kuratif untuk menyembuhkan lahan sakit adalah berselang (intermitten irrigation), (5) penggunaan benih
penggunaan bahan organik. Penambahan bahan organik berkualitas baik dari varietas unggul spesifik lokasi dengan
merupakan suatu tindakan perbaikan lingkungan tumbuh bibit muda berumur 2-3 minggu (Fagi dan Kartaatmaja
tanaman. Bahan organik mempercepat proses ameliorasi 2004).
tanah yang dapat meningkatkan efisiensi input hara
Menurut sifatnya, komponen teknologi PTT dapat
(Saenong et al. 2001). Hasil kajian Arafah dan Sirappa
dikelompokkan menjadi: (1) komponen teknologi dasar
(2003), Razak dan Sirappa (2003) menunjukkan bahwa
(compulsory), yaitu komponen teknologi yang relatif dapat
penggunaan pupuk organik memberikan hasil padi lebih
berlaku umum untuk wilayah yang luas, dan (2) komponen
tinggi dibanding tanpa pupuk organik.
teknologi pilihan, yaitu teknologi yang bersifat lebih spesifik
Pemupukan P dan K sesuai dengan hasil analisis lokasi. Agar pilihan komponen teknologi dapat sesuai
tanah dan kebutuhan tanaman, perbaikan waktu dengan kebutuhan setempat, proses pemilihannya perlu
pemupukan N sesuai dengan kebutuhan tanaman didasarkan pada analisis terhadap pemahaman masalah
(indikator klorofil daun/warna daun), dan pengeringan petak dan peluang perbaikan wilayah yang bersangkutan atau
sawah dalam jangka pendek untuk menggilir rejim air dikenal dengan PRA (Participatory Rural Appraisal).
tanah dari kondisi reduktif ke oksidatif juga merupakan Pemilihan komponen teknologi yang diterapkan
pengelolaan yang bersifat ramah lingkungan. mempertimbangkan karakteristik biofisik lingkungan,
tanaman, kondisi sosial, ekonomi dan budaya petani
PTT adalah strategi budi daya padi dengan kiat-kiat:
(Makarim et al. 2003)
(a) komponen teknologi (pengelolaan sumber daya
tanaman, lahan, dan air) dirakit dalam paket sehingga Komponen teknologi dasar antara lain: (1) varietas
efek secara kumulatif lebih besar dari efek secara modern(varietas unggul baru = VUB, padi hibrida = PH,
individual, (b) agar tercapai sinergisme yang besar padi tipe baru = PTB), (2) bibit bermutu dan sehat
antarkomponen dan antarpaket teknologi harus ada (diperoleh melalui perlakuan benih), (3) pemupukan efisien,
interaksi positif dengan lingkungan tumbuh padi, (c) antara lain dengan menggunakan BWD atau PUTS/petak
keberlanjutan adopsi teknologi dalam rangka omisi/Permentan No.40/OT.140/4/2007, atau software
meningkatkan produktivitas dan pendapatan, SIPADI, dan (4) PHT sesuai OPT sasaran. Komponen
rekomendasi teknologi dan pengembangannya harus teknologi pilihan adalah: (1) pengelolaan tanaman yang
memperhatikan modal usahatani, potensi sumber daya meliputi populasi dan cara tanam (legowo, jarak bujur
dan akses ke pasar, dan (d) keberhasilan pengembangan sangkar, dll), (2) umur bibit, (3) bahan organik/pupuk
PTT pada tingkat regional harus memperhatikan potensi kandang/amelioran, (4) perbaikan aerasi tanah dan irigasi
sumber daya alam dan kesesuaiannya, infrastruktur, dan berselang, (5) pupuk cair, pupuk organik, pupuk biohayati,
kondisi sosial-ekonomi petani (Fagi dan Kartaatmaja ZPT, dan pupuk mikro, dan (6) penanganan panen dan
2004). pascapanen. Komponen teknologi pilihan dapat menjadi
teknologi dasar apabila hasil PRA menunjukkan komponen
Penerapan PTT didasarkan pada lima prinsip utama
teknologi pilihan menjadi keharusan digunakan untuk
yaitu: Pertama, PTT merupakan pendekatan pengelolaan
memecahkan masalah utama suatu wilayah.
sumber daya tanaman, lahan, dan air secara terpadu.
Kedua, PTT bersifat spesifik lokasi sehingga penerapan
komponen teknologi tidak berlaku secara umum. Ketiga,
HASIL KAJIAN PTT DI SULAWESI SELATAN
berlandaskan hubungan sinergis antara dua atau lebih
teknologi produksi. Keempat, PTT bersifat dinamis
Pengetahuan terhadap Komponen Teknologi
sehingga terus berkembang sesuai dengan kemajuan
teknologi. Kelima, PTT bersifat partisipatif yang membuka Hasil pengkajian PTT di Sulawesi Selatan menunjukkan
ruang lebar bagi petani untuk memilih, mempratekkan, bahwa tingkat pengetahuan dan penerapan komponen
memberikan saran, dan menyampaikan pengetahuan teknologi PTT ternyata beragam antar petani dan daerah
yang dimilikinya kepada petani lain. (Sahardi et al. 2011 dan Limbongan et al. 2011).
Hasil penelitian menyimpulkan terdapat lima pilihan Keragaman tingkat pengetahuan dari 40 sampel petani
komponen teknologi budi daya untuk meningkatkan peserta PTT di tiga kabupaten contoh menunjukkan
produktivitas padi sawah, yaitu: (1) pemberian pupuk mereka umumnya telah mengetahui komponen teknologi
organik pada saat pengolahan tanah (2 t/ha/musim), (2) PTT yang dianjurkan (Tabel 1). Pengetahuan tentang
pemupukan P dan K berdasarkan hasil analisis tanah, adanya suatu teknologi sangat penting, karena dengan
(3) pemupukan N menurut tingkat kehijauan daun tanaman petani mengetahuinya maka akan timbul kemauan untuk
dengan mengacu kepada Bagan Warna Daun (BWD) menerapkannya. Hal ini terkait erat dengan peranan
dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, (4) pengairan peneliti, penyuluh, dan dinas terkait mulai dari sosialisasi

90
MAINTANG: PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DAN TEKNOLOGI PILIHAN PETANI

teknologi dan diseminasi hingga pendampingan teknologi hanya 22,5% petani yang menerapkan teknologi
di lapangan. penggunaan bahan organik, sedangkan teknologi jajar
legowo dan umur bibit muda penerapannya masing-
masing 30% dan 37,5%.
Keragaman Penerapan Komponen Teknologi
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi
Beberapa komponen teknologi yang telah dievaluasi inovatif yang andal untuk meningkatkan produktivitas padi,
menunjukkan hasil yang beragam antarpetani dan baik melalui peningkatan potensi produksi maupun toleran
antardaerah (Gambar 1). Penerapan komponen teknologi terhadap cekaman biotik dan abiotik (Sembiring 2008).
yang dianjurkan berkisar antara 97,5-100%. Di Kabupaten Komponen teknologi yang paling mudah diadopsi petani
Soppeng, semua komponen teknologi yang dianjurkan adalah Varietas Unggul Baru (VUB). Teknologi ini
diterapkan 97,5%, kecuali penggunaan BWD 60%, dan diterapkan oleh semua petani peserta PTT di tiga
irigasi berselang 55,5%. Di Kabupaten Wajo, tingkat kabupaten contoh, pertimbangannya antara lain daya hasil
penerapan teknologi penggunaan bibit muda dan irigasi tinggi, tahan hama penyakit, dan rasa nasi sesuai dengan
berselang masih rendah, yaitu 36% dan 31%, sedangkan selera petani dan permintaan pasar. Varietas unggul juga
teknologi lainnya diterapkan 100%. Di Kabupaten Luwu, termasuk teknologi yang mudah diadopsi karena murah
dan penggunaannya sangat praktis. Kendala yang
mungkin dihadapi adalah keterlambatan dalam
Tabel 1. Pengetahuan petani kooperator PTT terhadap komponen penyediaan benih, untuk itu diperlukan upaya pengadaan
teknologi di 3 kabupaten, Sulawesi Selatan, 2011. benih yang tepat waktu. Perlu koordinasi yang sinergis
antarsemua komponen yang terkait dengan pengadaan
Tingkat pengetahuan
petani kooperator (%) benih unggul. Saat ini BB Padi telah menghasilkan
Komponen teknologi sejumlah varietas unggul baru, termasuk padi hibrida dan
Soppeng Wajo Luwu padi tipe baru. Dengan demikian petani lebih leluasa
memilih varietas yang mereka inginkan. Di daerah tertentu,
Penggunaan VUB 100 100 100
Penggunaan Benih sehat 100 100 100 pemilihan varietas berdasarkan tekstur nasi pera,
Penambahan bahan organik 95 100 87,5 sedangkan di daerah lainnya berdasarkan ketahanan
Jajar legowo 100 76,8 100 hama dan penyakit tanaman (Sembiring dan
Pemupukan berimbang 97,5 100 100
Abdulrachman 2008).
OPT 100 100 100
Pengolahan tanah 100 100 100 Hasil pengkajian Limbongan et al. 2011 menunjukkan
Umur bibit muda 100 100 100
Tanam pindah 100 100 100
bahwa penggunaan VUB merupakan komponen teknologi
Perbaikan aerasi 100 100 100 tertinggi yang diadopsi oleh petani lain dengan skala
Pengeringan sesuai anjuran 95 100 100 adopsi 70% di Kabupaten Pangkep dan 65% di Kabupaten
Panen 100 100 100 Bone (Gambar 2). Varietas unggul merupakan salah satu
Sumber: Sahardi et al. 2011.
komponen teknologi budi daya padi yang secara nyata
dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani,
120 baik di Kabupaten Pangkep maupun Kabupaten Bone.
Soppeng
Wajo
100 Luwu
Persentase (%)

80
90
80 Pangkep
60 Bone
70
Persentase (%)

60
40
50
20 40
30
0 20
A B C D E F G H I J K L
10
Komponen teknologi
0
A = Penggunaan VUB G = Pengolahan tanah
B = Penggunaan benih sehat H = Umur bibit muda
Penggunaan Penggunaan Jajar legowo Tanam 2-3 Tanam muda Panen
C = Penambahan bahan organik I = Tanam pindah VUB benih sehat batang/rumpun >21 hari
D = Jajar legowo J = Perbaikan aerasi
E = Pemupukan berimbang K = Pengeringan sesuai anjuran Komponen teknologi
F = OPT L = Panen

Gambar 1. Keragaman penerapan komponen teknologi PTT di 3 Gambar 2. Keragaman penerapan komponen teknologi PTT di 2
kabupaten contoh pengembangan model PTT, Sulawesi kabupaten contoh model pengembangan PTT, Sulawesi
Selatan (Sumber: Sahardi et al. 2011). Selatan (Sumber: Limbongan et al. 2011).

91
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

Tabel 2. Keragaman penerapan komponen teknologi PTT di 3 (2003) menunjukkan bahwa dari 19 kabupaten pelaksana
kabupaten contoh pengembangan model PTT (masing- PTT, 13 di antaranya menerapkan tanam bibit muda (umur
masing 40 responden).
<21 HSS).
Keragaman penerapan (%)
Komponen teknologi
Penerapan komponen teknologi jajar legowo mencapai
Soppeng Wajo Luwu 76% di Kabupaten Wajo, 55% di Kabupaten Soppeng,
dan hanya 30% di Kabupaten Luwu. Hal ini menunjukkan
Penggunaan VUB 97,50 100 100 bahwa teknologi ini masih perlu disosialisasikan lagi,
Penggunaan Benih sehat 70,00 100 100
Penambahan Bahan Organik 77,50 100 100
terutama dalam hal pelaksanaan dan keuntungannya.
Jajar legowo 55,50 76 30 Prinsip dari sistem tanam jajar legowo adalah peningkatan
Pemupukan berimbang 60,00 100 100 populasi dengan cara mengatur jarak tanam. Selain itu,
OPT 92,50 100 100 sistem tanam tersebut memberikan kondisi pada setiap
Pengolahan tanah 97.50 100 100
Umur bibit muda 87,50 36 37,5
barisan tanaman padi untuk mengalami pengaruh sebagai
Tanam pindah 97,50 100 100 tanaman barisan pinggir (taping). Hasil penelitian
Perbaikan aerasi 97.50 100 100 menunjukkan bahwa teknologi jajar legowo 2:1 atau 4:1
Pengeringan sesuai anjuran 85,00 31 100 terbukti dapat meningkatkan produksi padi (12-22%).
Panen 97,50 100 100
Permasalahan yang dihadapi dalam penerapan teknologi
Sumber: Sahardi et al. 2011 ini adalah membutuhkan waktu yang lebih lama dan biaya
tambahan untuk upah tanam. Diperlukan dukungan
teknologi lain untuk mempermudah penerapan teknologi
Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk merakit varietas tersebut.
padi sawah dengan potensi hasil lebih tinggi dari varietas Pengaturan pengairan secara benar melalui teknologi
yang ada untuk mencukupi kebutuhan pangan, irigasi berselang penerapannya masih rendah 36-55%.
khususnya beras. Secara umum petani peserta PTT sudah mengetahui
Bahan organik merupakan komponen utama dalam teknologi ini, alasan petani tidak melaksanakannya karena
PTT. Pupuk organik memiliki kelebihan, selain sebagai lahannya adalah sawah tadah hujan atau karena
penyedia unsur hara juga sebagai pembenah tanah, keterbatasan alat. Petani peserta PTT di Kabupaten
terutama perbaikan tekstur dan struktur tanah. Penerapan Pangkep dan Bone belum menerapkan komponen
teknologi ini bergantung pada ketersediaan, harga, dan teknologi pemupukan N berdasarkan BWD dan pengairan
biaya pengangkutan di daerah setempat. Di Kabupaten berselang. Teknologi pemupukan N berdasarkan BWD
Soppeng dan Wajo, teknologi ini telah digunakan dengan tidak diadopsi petani, antara lain karena petani tidak
dosis 1-2 t/ha, sedangkan di Kabupaten Luwu memiliki BWD. Padahal komponen teknologi tersebut bisa
penggunaannya masih sangat rendah, hanya 22,5% meningkatkan efisiensi. Demikian pula dengan komponen
petani yang menerapkannya (Sahardi et al. 2011). Hasil teknologi pengairan berselang, tidak dilakukan karena
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik responden adalah petani lahan sawah tadah hujan
dalam bentuk kompos dapat meningkatkan pertumbuhan (Limbongan et al. 2011).
tanaman padi, khususnya tinggi tanaman pada umur 2 Hasil pengkajian lain di dua kabupaten model
bulan, namun tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan. pengembangan PTT yakni Kabupaten Pangkep dan Bone
Selanjutnya pengamatan menunjukkan penggunaan dengan mengambil 30 sampel petani pelaksana PTT
pupuk organik nyata meningkatkan hasil padi menjadi menunjukkan bahwa dari 13 komponen teknologi hanya
7,29 t GKG/ha dengan pendapatan Rp 9.067.000/ha lima komponen yang diadopsi yaitu VUB 70%, benih
(Limbongan et al. 2011). bermutu 35%, Legowo 78%, tanam 2-3 batang/rumpun
Tingkat penerapan teknologi penggunaan bibit muda 76%, dan panen tepat waktu=85%. Dari 13 komponen
masih rendah (36- 37,5%), kecuali petani di Kabupaten teknologi yang diintroduksikan di Kabupaten Pangkep
Soppeng (87,5%). Adanya hama keong mas yang hanya lima komponen yang diadopsi dengan urutan
menyukai bibit muda umumnya menjadi alasan bagi sebagai berikut: penggunaan VUB, benih bermutu, sistem
petani mengapa memilih menanam bibit tua (umur lebih tanam jajar legowo, tanam 2-3 batang per rumpun, dan
dari 21 hari setelah semai). Alasan lain karena lamanya panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Di
waktu penyiapan lahan, menunggu giliran traktor, Kabupaten Bone, urutan adopsi adalah benih bermutu/
menunggu giliran tenaga kerja (buruh tanam) sehingga berlabel, tanam muda (< 21 hari), penggunaan varietas
umur bibit menjadi tua. Hasil pengkajian Makarim et al. unggul baru, tanam 2-3 batang/rumpun, dan jajar legowo
(Limbongan et al. 2011).

92
MAINTANG: PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DAN TEKNOLOGI PILIHAN PETANI

Tabel 3. Pertimbangan penerapan petani peserta terhadap komponen teknologi PTT tiga kabupaten contoh model pengembangan PTT.

Soppeng Wajo Luwu


Pertimbangan Jumlah
penerapan responden % Urutan % Urutan % Urutan
Prioritas Prioritas Prioritas

Produktivitas (hasil panen) 40 100 I 100 I 100 I


lebih tinggi
Mudah diterapkan, 40 100 III 100 III 100 III
tidak rumit
Risiko kegagalannya 40 100 V 80,0 V 100 II
rendah
Pasarnya ada 40 100 VI 97,5 II 100 IV
Teknologinya tersedia 40 100 II 97,5 IV 100 V
dan murah

Sumber: Sahardi et al. 2011

Tingkat Adopsi Teknologi Kabupaten Bone mengaku menerima teknologi VUB


dengan alasan produksi bisa lebih tinggi, 11,4% petani
Salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi mengaku karena instruksi/kebijakan, dan hanya 8,1%
teknologi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang petani yang menguntungkan.
akan diintroduksikan harus mempunyai banyak
kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, Keberlanjutan adopsi teknologi petani peserta PTT
ekonomi, dan budaya yang ada di petani. Untuk itu, inovasi terhadap komponen teknologi PTT sesudah SL-PTT
yang ditawarkan ke petani harus tepat guna. Selain itu, disajikan pada Gambar 3 dan 4.
faktor yang paling menentukan dalam menimbulkan Di Kabupaten Luwu 100% petani responden peserta
semangat baru suatu program adalah peningkatan SL-PTT mengikuti seluruh teknologi yang diintroduksikan,
pendapatan yang dapat dicapai dengan menerapkan kecuali teknologi penambahan bahan organik hanya
teknologi anjuran program. Teknologi yang dianjurkan 87,50% yang menerapkannya. Setelah SL-PTT, 97,5%
biasanya dapat meningkatkan penghasilan 50-150% petani akan tetap menggunakan teknologi penggunaan
(Musyafak dan Ibrahim 2005). VUB, benih sehat 97,5%, jajar legowo 30,0%, pemupukan
Berdasarkan hasil pengkajian (Sahardi et al. 2011 dan berimbang 65,0%, untuk penambahan bahan organik
Limbongan et al. 2011), daya adopsi petani terhadap hanya 22,5% responden yang akan tetap menggunakan
komponen teknologi PTT yang dianjurkan beragam. teknologi tersebut. Untuk teknologi pengendalian OPT,
Kemauan mereka untuk mengadopsi dan melanjutkan pengolahan tanah, dan panen, 100% responden akan
penerapan komponen teknologi yang dianjurkan tetap menggunakan teknologi tersebut. Di Kabupaten
berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain Soppeng, umumnya teknologi yang diintroduksikan pada
produktivitas (hasil panen tinggi), mudah diterapkan, risiko kegiatan SL-PTT diterima dan diterapkan dengan baik oleh
kegagalan rendah, pasarnya ada, teknologi tersedia dan petani dengan penerimaan berkisar 92,7-100%. Setelah
murah, menguntungkan, perubahannya nyata dan ada pula kegiatan SL-PTT, teknologi yang diterapkan hanya
yang mengadopsi dengan alasan instruksi atau kebijakan. berkisar antara 26,8-75,6% dan yang paling rendah
Pertimbangan penerapan petani peserta terhadap penerapannya adalah teknologi penggunaan bahan
komponen teknologi PTT pada tiga kabupaten contoh organik hanya 26,8% (Sahardi et al. 2011). Pelestarian
model pengembangan PTT disajikan pada Tabel 3. lingkungan produksi, termasuk mempertahankan
kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan
Rata-rata petani menjadikan produktivitas tinggi limbah pertanian sebagai sumber bahan organik tanah
sebagai perioritas pertama dalam memilih dan diharapkan mampu meningkatkan produksi padi (Las et
menerapkan teknologi, terutama dalam penggunaan al. 1999). Oleh karena itu, ke depannya teknologi ini perlu
varietas unggul baru. Hal ini sejalan dengan hasil kajian mendapat perhatian yang lebih serius lagi dari berbagai
Limbongan et al. (2011), yang menyebutkan bahwa 71,4% pihak sampai akhirnya petani tertarik untuk
petani peserta PTT di Kabupaten Pangkep mengaku menerapkannya.
menerima teknologi VUB dengan alasan produksi bisa
lebih tinggi, 24,6% petani mengaku karena instruksi/ Selanjutnya dari hasil pengkajian Limbongan et al.
kebijakan, dan hanya 4,0% petani yang memberi alasan (2011) terlihat bahwa teknologi yang banyak ditiru petani
menguntungkan. Sebanyak 79,5% petani responden di lain di desa yang sama adalah cara tanam legowo, tanam

93
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

120 120
Saat SL-PTT Saat SL-PTT
Sesudah SL-PTT Sesudah SL-PTT
100 100
Persentase (%)

80
80

Persentase (%)
60
60

40
40
20
20
0
A B C D E F G H I J K
0
Komponen teknologi A B C D E F G H I J K L

A = Penggunaan VUB G = Pengolahan tanah Komponen teknologi


B = Penggunaan benih sehat H = Umur bibit muda
C = Penambahan bahan organik I = Perbaikan aerasi A = Penggunaan VUB G = Pengolahan tanah
D = Jajar legowo J = Pengeringan sesuai anjuran B = Penggunaan benih sehat H = Umur bibit muda
E = Pemupukan berimbang K = Panen C = Penambahan bahan organik I = Tanam pindah
F = OPT D = Jajar legowo J = Perbaikan aerasi
E = Pemupukan berimbang K = Pengeringan sesuai anjuran
Gambar 3. Jumlah petani yang menerapkan teknologi PTT pada F = OPT L = Panen

saat SL-PTT dan sesudah SL-PTT di Kabupaten


Gambar 4. Jumlah petani yang menerapkan komponen PTT pada
Soppeng.
saat SL-PTT dan sesudah SL-PTT di Kabupaten Luwu.

2-3 batang/rumpun, panen tepat waktu. Sedangkan yang Inpari 10. Perbandingan hasil padi antara pada petak LL,
ditiru petani di luar kecamatan dan kabupaten adalah VUB, SL, dan di luar SL di Kabupaten Luwu, 28,6% petani
tanam bibit muda 21 hari, dan legowo. Komponen memperoleh hasil > 6 t/ha di lokasi LL dan 17,1% di lokasi
teknologi yang dapat ditiru kurang dari satu tahun adalah SL, dan di luar SL paling tinggi 5-6 t/ha. Di Kabupaten
tanam 2-3 batang/rumpun dan legowo. Soppeng, hasil padi tertinggi diperoleh pada lokasi LL
Kondisi tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa yaitu di atas 6,0 t/ha dari 16 orang (39,0%) peserta. Pada
pengembangan PTT perlu memperhatikan respons petani lokasi SL-PTT, hasil padi 4-5 t/ha diperoleh 17 orang
dan pertimbangan komponen teknologi apa yang paling (41,5%), sementara hasil padi di luar SL-PTT 3-4 t/ha
besar kontribusinya terhadap peningkatan hasil dan diperoleh 18 orang (43,9%). Dengan demikian, hasil padi
pendapatan petani. Zaini et al. (2006) telah mencoba pada lokasi LL masih lebih tinggi dibandingkan dengan
menganalisis masing-masing komponen teknologi PTT lokasi SL dan luar SL. Begitu pula dengan hasil padi di
dan melaporkan bahwa kontribusi pemupukan spesifik lokasi SL masih lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi
lokasi paling tinggi terhadap peningkatan hasil dan di luar SL (Sahardi et al. 2011).
pendapatan petani dibandingkan dengan komponen
teknologi lainnya. Cara tanam jajar legowo, meskipun Permasalahan dalam Replikasi PTT
menduduki ranking kedua dalam hal kontribusi terhadap
peningkatan hasil, tetapi terhadap peningkatan Bagian tersulit dalam memperkenalkan konsep PTT
pendapatan petani relatif lebih rendah daripada adalah metode diseminasi agar berbagai pihak dapat
pengelolaan air dan PHT. memahami manfaat intensifikasi padi menggunakan PTT.
Laporan tim peneliti perwakilan IRRI di Indonesia
menunjukkan rendahnya pengetahuan dan pemahaman
Keragaman Hasil
petani dalam menggunakan BWD di lokasi yang semula
Pendampingan program SL-PTT padi di Sulawesi Selatan dijadikan wilayah demonstrasi PTT (Sembiring dan
pada tahun 2011 dilakukan di 22 kabupaten seluas 22 ha Abdulrachman 2008). Hal serupa juga ditemukan di
lokasi display dan 113 ha lokasi demfarm. Dari 16 Pangkep dan Bone, dimana petani peserta PTT di daerah
kabupaten peserta PTT di lokasi demfarm, empat ini tidak menerapkan komponen teknologi BWD dengan
kabupaten di antaranya memberikan hasil padi 5-6 t/ha. alasan ketiadaan alat (Limbongan et al. 2011). Hal ini
Di Kabupaten Bantaeng, Gowa, Maros, Pangkep, Bone, menggambarkan bahwa pemahaman PTT masih berada
Bulukumba, dan Takalar, hasil padi berkisar antara 7-7,5 di tingkat permukaan. Diperlukan pemahaman mendasar
t/ha. Di Kabupaten Soppeng, Wajo, Sinjai, Luwu Timur tentang konsep PTT oleh peneliti, penyuluh, petugas dinas
dan Palopo, hasil padi pada lokasi demfarm dilaporkan pertanian, dan petani untuk menunjang keberhasilan
mencapai 8-10 t/ha. Hasil tertinggi dicapai di Kabupaten pelaksanan PTT.
Wajo 10 t/ha dengan menggunakan varietas unggul baru

94
MAINTANG: PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DAN TEKNOLOGI PILIHAN PETANI

Upaya pemasyarakatan PTT memerlukan dukungan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, diperlukan
dari berbagai pihak terkait, terutama pemerintah daerah. langkah konkret sebagai berikut: (1) meningkatkan
Konsep PTT dipahami sebagai program bersama antara koordinasi antarsemua stakeholders di semua tingkat
Pemerintah Pusat dan Daerah dalam upaya untuk wilayah administratif, mulai dari provinsi, kabupaten,
menunjang produksi padi nasional dan pendapatan petani. hingga kecamatan (BPP) yang dimotori oleh BPTP untuk
Di era otonomi daerah ini diperlukan keterlibatan yang membangun komitmen bersama menyusun strategi
lebih besar lagi dari pemerintah provinsi sebagai wakil penerapan model percepatan teknologi di berbagai
pemerintah pusat, serta kabupaten/kota sebagai subsektor pertanian; (2) meningkatkan fasilitas
penanggung jawab pada tingkat kabupaten/kota serta penyediaan materi informasi yang memenuhi kualifikasi
lapangan. Seyogianya Pemerintah Daerah berkewajiban muatan materi yang dibutuhkan petani dengan jumlah yang
menyediakan dana pendamping untuk membiayai program memadai sehingga dapat memperluas jaringan distribusi
peningkatan pengetahuan petani dalam bidang pertanian. dan informasi teknologi; (3) meningkatkan intensitas
pendampingan kepada petani sebagai kompensasi untuk
Permasalahan lain dalam replikasi PTT antara lain
mendekatkan sumber teknologi dan meningkatkan
adanya kendala antarsektoral dalam peningkatan produksi
kemampuan pengambilan keputusan usahatani yang lebih
karena berbagai perubahan lingkungan strategis di luar
produktif; (4) mendorong penguatan kelembagaan petani
sektor pertanian, selain itu berkurangnya ketersediaan
untuk mengatasi kelemahan permodalan usahatani
lahan akibat alih fungsi lahan, berkurangnya ketersediaan
(Hendayana 2012).
air irigasi karena sumber-sumber air semakin berkurang
dan persaingan menggunakan air di luar sektor pertanian, Hasil pengkajian Limbongan et al. (2011)
meningkatnya harga sarana produksi, BBM, dan upah menunjukkan bahwa lembaga yang berperan sebagai
tenaga kerja serta laju pertumbuhan penduduk. sumber teknologi adalah penyuluh BPP (86%), peneliti/
penyuluh BPTP (60%), kemudian aparat dinas terkait
Kesamaan tujuan dari berbagai stakeholders perlu
(40%). Lebih lanjut dijelaskan bahwa media yang berperan
dibangun atas dasar saling memerlukan. Stakeholders
besar dalam penyebaran inovasi teknologi di lokasi
yang dimaksud adalah setiap personel dan unit kerja yang
pengkajian (Pangkep, Bone, dan Jeneponto) adalah siaran
terlibat dalam proses agribisnis, yang terdiri atas petani
TV dan radio, setelah itu kunjungan lapang dan sekolah
(kelompok tani), peneliti, penyuluh pertanian (BPTP, Dinas
lapang. Peranan media tercetak tidak terlalu penting
Pertanian) serta pengusaha (pemasok saprodi, SHS/
karena sebagian besar dari mereka mengatakan media
Pertani, PUSRI/pengusaha pupuk, pengusaha pestisida,
tercetak hanya ditempelkan di kantor BPP atau di rumah
pedagang, eksportir).
kelompok tani saja. Faktor-faktor pendorong penerapan
Petani atau kelompok tani bertindak sebagai teknologi, 75% petani mengaku komponen teknologi
pelaksana usahatani dengan penerapan teknologi spesifik berkembang di daerah tersebut karena dorongan penyuluh
lokasi yang sudah teruji. Peneliti dan penyuluh BPTP aparat desa/peneliti. Sebanyak 12% petani mengaku
memasok teknologi spesifik lokasi dan membimbing menerapkan teknologi karena inisiatif sendiri, setelah
penerapannya di lapangan. Penerapan teknologi diawasi melihat petani lain berhasil. Terdapat pula 8% petani yang
bersama oleh aparat Dinas Pertanian dan BPTP melalui menerapkan komponen teknologi tersebut karena
temu lapang atau temu diskusi, yang diterapkan minimal mengikuti petani tetangga dan 5% petani mengaku
dua kali dalam satu musim tanam. Di samping itu, menerapkan paket teknologi karena selalu ingin
penyuluh BPTP dan penyuluh Dinas Pertanian bertugas kebersamaan atau mengikuti kesepakatan kelompok.
menjembatani antara petani dengan pengusaha.
Adnyana dan Kariyasa (2006) melaporkan hasil kajian
Pengusaha memasok semua sarana produksi yang
PTT di empat provinsi, 53,3% petani di Sumatera Utara
dibutuhkan dalam proses produksi, semua sarana
menerapkan PTT karena inisiatif sendiri dan 40,0% diminta
produksi dibayar pada saat panen, tetapi sebelumnya telah
oleh pengkaji. Kebanyakan (68,8%) petani di Jawa Timur
disepakati mengenai harga sarana produksi dan harga
terdorong ikut menerapkan PTT karena inisiatif sendiri,
gabah serta sistem pembayaran.
18,8% diminta pengkaji, dan 12,5% karena alasan lainnya
seperti toleransi terhadap kelompok tani lainnya. Pada
Adopsi Teknologi umumnya petani di Bali (48,7%) dan NTB (70,6%)
menerapkan PTT dengan alasan diminta pengkaji dan
Adanya jalur langsung penyampaian informasi dari BPTP
hanya 32,4% petani di Bali dan 23,5% di NTB atas inisiatif
ke petani menjadi landasan bagi penguatan peran BPTP
sendiri.
sebagai sumber teknologi utama. Percepatan adopsi
merupakan faktor kunci mendukung dinamika

95
IPTEK TANAMAN PANGAN VOL. 7 NO. 2 2012

KESIMPULAN DAN SARAN Fagi, A.M., C.P. Mamaril, dan M. Syam. 2009. Revolusi
hijau: peran dan dinamika lembaga riset. Balai Besar
Peningkatan produksi padi nasional lebih banyak Penelitian Tanaman Padi dan International Rice
mengandalkan peningkatan produktivitas dan peningkatan Research Institute.
intensitas tanam. Peningkatan produktivitas padi
Fagi, A.M. dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi budi daya
dihadapkan kepada tantangan ketersediaan teknologi
padi, perkembangan dan peluang. Ekonomi padi dan
yang mudah diterapkan petani dan memberikan hasil
beras Indonesia. Badan Penelitian dan
tinggi, sarana dan prasarana yang mendukung, serta
Pengembangan Pertanian. Jakarta. 20p.
ramah lingkungan. Pendekatan PTT diyakini mampu
mendukung program peningkatan produksi padi nasional Hendayana, R. 2012. Model percepatan adopsi.http://
bila diterapkan oleh petani secara luas. Berbagai kajian ww.erhaye.com. diakses 26 Maret 2012.
menunjukkan produktivitas padi yang dikelola petani Las, I., A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M. Mardiharini,
dengan pendekatan PTT nyata lebih tinggi daripada cara dan S. Kartaatmadja. 1999. Pola IP padi-300:
yang biasa dilakukan petani. Oleh karena itu, aspek konsepsi dan prospek implementasi sistem usaha
koordinasi dari berbagai instansi terkait dan pilihan pertanian berbasis sumber daya. Badan Litbang
komponen teknologi yang tepat dan disenangi petani perlu Pertanian. Jakarta.
mendapat perhatian yang lebih besar. Las, I., B. Suprihatno, A.A. Daradjat, Suwarno, B.
Keberlanjutan penerapan teknologi yang dianjurkan Abdullah, dan Satoto. 2004. Inovasi teknologi varietas
melalui pendekatan PTT perlu mendapat perhatian yang unggul padi. Perkembangan, arah, sasaran, dan
lebih besar dari peneliti, penyuluh dan pembuat kebijakan strategi ke depan. Ekonomi padi dan beras
di pusat dan daerah. Beberapa komponen teknologi seperti Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
penggunaan pupuk organik, tanam jajar legowo, pengairan Pertanian. Jakarta. 20p.
berselang dan tanam bibit muda cukup nyata menurun Limbongan, J., Muh.Taufik, S. Kadir, A. Fattah, dan
penerapannya setelah kegiatan SL-PTT. Faktor ruah Ramlan. 2011. Kajian pola dan faktor penentu
(bulky) dan ketersediaan pupuk organik serta kesulitan distribusi penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi
dalam menerapkan cara tanam legowo tampaknya di Sulawesi Selatan. Laporan BPTP Sulsel Tahun
menjadi penyebab terjadinya penurunan tersebut. Hal ini 2011. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
perlu menjadi pertimbangan dalam pengembangan PTT Sulawesi Selatan.
ke depan dengan mempelajari lebih dalam komponen Makarim, A.K., D. Pasaribu, Z. Zaeni, dan I. Las. 2003.
teknologi mana yang memberikan andil besar terhadap Analisis dan sintesis hasil pengelolaan tanaman dan
hasil dan pendapatan petani. Sistem pelatihan yang efektif sumber daya terpadu (PTT) dalam program P3T.
bagi penyuluh dan petani diharapkan mampu mengatasi Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
hal ini. Musyafak, A. dan T.M. Ibrahim. 2005. Strategi percepatan
adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung
program prima tani. Analisis Kebijakan Pertanian
DAFTAR PUSTAKA 3(1):20-37.
Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa. 2006. Dampak dan Nurbaeti, B., Siti Lia Mulijanti, dan Taemi Fahmi. 2008.
persepsi petani terhadap penerapan sistem Penerapan model pengelolaan tanaman dan sumber
pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Penelitian daya terpadu padi sawah irigasi di Kabupaten
Pertanian Tanaman Pangan 25(1). Sumedang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Arafah dan M.P. Sirappa. 2003. Introduksi bahan organik Teknologi Pertanian 11(3): 268-279.
jerami dalam pengelolaan tanaman dan sumberdaya Pasandaran, E., B. Sayaka, dan Suherman, 2004.
terpadu padi sawah. Jurnal Agrovigor. 3(3):204-213. Pendekatan ekoregional dalam produksi padi.
Arafah dan Sahardi. 2007. Kajian teknologi enzym Ekonomi padi dan beras Indonesia. Badan Penelitian
revolusi agro dan pengelolaan tanaman terpadu di dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 17p.
Sulawesi Selatan. Jurnal Pengkajian dan Puslitbangtan. 2008. Panduan pelaksanaan SL-PTT.
Pengembangan Teknologi Pertanian 10(1): 68-75. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Balitpa. 2000. Pengkajian dan pengembangan Rachman, B. dan K. Kariyasa. 2002. Sistem kelembagaan
intensifikasi padi lahan irigasi berdasar pengelolaan pengelolaan air irigasi dalam perspektif otonomi
tanaman dan sumber daya terpadu. Balitpa. daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
Sukamandi. dan Agroklimat. Bogor.

96
MAINTANG: PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DAN TEKNOLOGI PILIHAN PETANI

Razak, N. dan M.P. Sirappa. 2003. Penggunaan kompos Sembiring, H. dan S. Abdulrachman. 2008. Potensi
jerami yang dikombinasikan dengan pupuk NPK penerapan dan pengembangan PTT dalam upaya
untuk peningkatan produktivitas padi sawah. J. peningkatan produksi padi. Pusat Penelitian dan
Agroland 11(3): 227-234. Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 11p.
Sahardi, P. Tandisau, Arafah, dan R. Rahman. 2011. Saenong, S., N. Razak, Arafah, Abd. Fattah, dan
Kajian pola pendampingan inovasi pada program Amirullah. 2001. Manfaat pupuk organik pada
strategis Kementerian Pertanian di Sulawesi tanaman padi. BPTP Sulawesi Selatan. 31p.
Selatan. Laporan BPTP Sulsel Tahun 2011. Balai Zaini, Z. dan Erythrina. 2008. Pengembangan padi hibrida
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. dengan pendekatan PTT dan penanda padi. Iptek
Sarasutha, IGP., M. Rauf, M.A. Barata, Subandi, Tanaman Pangan 3(2).
Koesnang, dan S. Saenong. 2000. Laporan akhir Zaini, Z., Erythrina, and T. Woodhead. 2006. Agronomic
pengkajian sistem usahatani padi pada ekoregional and economic assessment of an adaptation of the
lahan sawah (SUT-PADI). Proyek Pembinaan Australian rice check procedure. Dalam: Pros.
Kelembagaan Penelitian dan Pengembangan Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Melalui Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung
Teknologi Pertanian Makassar. Lumbung Pangan Nasional. Balai Besar Pengkajian
Sembiring, H. 2008. Kebijakan penelitian dan rangkuman dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. p.
hasil penelitian Balai Besar Padi dalam mendukung 228-238.
peningkatan produksi beras nasional. Prosiding Zaini, Z., S. Abdurrahman, N. Widiarta, P. Wardana, D.
Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi Menunjang Setyorini, S. Kartaatmadja, dan M. Yamin. 2009.
P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Pedoman umum PTT padi sawah. Badan Penelitian
Sukamandi. dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

97

Potrebbero piacerti anche