Sei sulla pagina 1di 295

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED

HEADS TOGETHER BERBANTUAN MEDIA INTERAKTIF UNTUK


MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Agni Era Hapsari


agniera.hapsari@staff.uksw.edu
Progam Studi Pendidikan Sejarah UKSW

ABSTRACT

Implementation Of Cooperative Learning Model Numbered Heads Together Aided


Interactive Media To Increase Students Activities And Learning Achievement

This study aimed to improve history learning achievement through the


implementation of cooperative learning model NHT assisted interactive media. The
method used in this research was a classroom action research by conducting two
meetings in two cycles. The instrument used was questionnaire for the interview and
questionnaire for observation of learning activities and achievement test. Data
analysis techniques used was comparative descriptive method by comparing pre cycle
and between cycles. The results of the study in the first cycle was the activity of 12
students or 40% in the high category, activity 9 students or 30% was in medium
category and the activity of another 9 students or 30% was in lower categories. It
was found that 24 students or 70% were mastery learning with average grade 62.25.
In the second cycle, the activity of 24 students or 80% was in higher category, activity
of 6 students or 20% was in medium category, and 0 student or 0% in lower
categories. The average of learning achievement reached 85 with 30 students mastery
learning or 100%. Based on the analysis and discussion of the research, it is
concluded that the implementation of cooperative learning model NHT aided
interactive media can improve student achievement.
Keywords: NHT, Instructional Media, Learning Activity and Achievement

PENDAHULUAN

Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah (Aman, 2011: 58) menyebutkan bahwa mata pelajaran sejarah secara rinci memiliki tujuan
menumbuhkan kesadaran kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia
yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang
kehidupan baik nasional maupun internasional.
Sejarah mengandung arti suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala
peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan
umat manusia. Menurut Kuntowijoyo (2005: 18) sejarah adalah rekonstruksi masa
lalu. Seorang guru memiliki peran yang sangat besar dalam mengorganisasikan kelas sebagai bagian
dari proses pembelajaran dan siswa sebagai subjek yang sedang belajar. Akan tetapi pembelajaran
sejarah yang kedudukannya sebagai mata pelajaran pembangun karakter dan sikap nasionalisme siswa
1
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Berbantuan Media
Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa (Agni Era Hapsari)
pada kedudukannya mulai dianggap kurang penting. Sering kita jumpai jika anak ditanya pelajaran
apa yang paling tidak disukai jawabannya adalah sejarah, pelajaran apa yang paling membosankan
adalah sejarah, guru apa yang paling tidak disukai adalah guru sejarah dan sebagainya. Maka
berdasarkan fenomena tersebut dari sekian rangkaian proses pembelajaran sejarah jelas ada sesuatu
yang salah, pengamatan kami terhadap proses pembelajaran sejarah pada siswa SMA, ditemukan data
bahwa sebagian siswa memiliki motivasi dan kompetensi belajar yang rendah. Pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar sejarah belum dapat berjalan secara maksimal karena dipengaruhi beberapa faktor,
antara lain: 1) tuntutan materi pelajaran yang cukup padat dan alokasi waktu yang terbatas, membuat
guru lebih mementingkan mengejar materi, 2) proses kegiatan pembelajaran yang monoton dengan
menempatkan guru sebagai sumber belajar berdampak pada kebosanan siswa dalam proses
pembelajaran, 3) guru kurang memanfaatkan penggunaan media pembelajaran disebabkan mereka
belum mengetahui keuntungan/manfaat yang diperoleh dengan menggunakan media dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar.
Berdasarkan pada permasalahan tersebut dalam rangka untuk meningkatkan hasil belajar
siswa kelas XI IPS SMA N 1 Tuntang, maka diperlukan upaya untuk memilih dan menggunakan
model, metode, dan strategi pembelajaran dengan disertai juga pemilihan media pembelajaran yang
sesuai dengan karakter peserta didik. Adapun upaya untuk tercapainya peningkatan hasil belajar
siswa tersebut adalah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads
Together) dalam pembelajaran Sejarah. Dalam model NHT pada proses pelaksanaan pembelajaran
menitik beratkan pada adanya kemampuan berfikir dalam memecahkan suatu masalah dalam diskusi
kelompok. Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa
yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren (dalam Ibrahim, 2000: 18), antara lain
adalah: rasa harga diri menjadi lebih tinggi, memperbaiki kehadiran, penerimaan terhadap individu
menjadi lebih besar, perilaku mengganggu menjadi lebih kecil, konflik antara pribadi berkurang,
pemahaman yang lebih mendalam, meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, hasil
belajar lebih tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar mata
pelajaran sejarah melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbantuan media
interaktif pada siswa kelas XI IPS SMA N 1 Tuntang semester 2 tahun pelajaran 2015/2016.

KAJIAN PUSTAKA

Aktivitas Belajar Siswa

Anak yang belajar selalu melakukan aktivitas. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran
merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar. Reber (Syah, 2004: 109)
mengemukakan bahwa aktivitas adalah proses yang berarti cara-cara atau langkah-langkah khusus
yang dengan beberapa perubahan ditimbulkan hingga tercapainya hasil-hasil tertentu.
Menurut Sardiman (2011: 100) aktivitas belajar merupakan prinsip atau azas yang sangat
penting didalam interaksi belajar-mengajar. Aktivitas yang dimaksud disini bukan hanya aktivitas
fisik tetapi mencakup aktivitas mental. Pada kegiatan belajar, kedua aktivitas tersebut saling berkait.
Aktivitas fisik adalah peserta didik giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, beriman
ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Peserta didik
yang mempunyai aktivitas psikis adalah jika daya jiwanya bekerja sebanyak-banyaknya dalam rangka
pembelajaran. Seluruh peranan dan kemauan dikerahkan dan diarahkan supaya daya itu tetap aktif
untuk mendapatkan hasil pengajaran yang optimal.

2
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 1 – 9

Prestasi Belajar

Nana Sudjana (2005: 5) berpendapat belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam
berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan,
kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar.
Prestasi belajar adalah suatu hasil usaha yang telah dicapai oleh siswa yang mengadakan
suatu kegiatan belajar di sekolah dan usaha yang dapat menghasilkan perubahan pengetahuan, sikap
dan tingkah laku. Hasil perubahan tersebut diwujudkan dengan nilai atau skor (Winkel, 2005: 532).
Muhibin Syah (2004: 141) menjelaskan prestasi belajar adalah setiap macam kegiatan belajar
menghasilkan suatu perubahan yang khas yaitu hasil belajar. Menurut Lukman Ali (2005: 768)
dikatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil usaha yang telah dicapai atau yang telah dikerjakan
untuk mendapatkan suatu kecakapan dan kepandaian.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dalam penelitian ini yang dimaksud prestasi
belajar adalah suatu hasil usaha yang telah dicapai oleh siswa baik penguasaan pengetahuan atau
keterampilan sebagai hasil belajar yang ditunjukkan dengan nilai atau angka yang diberikan oleh
guru. Prestasi dalam penelitian dimaksudkan adalah nilai yang diperoleh siswa pada mata pelajaran
sejarah yang berupa angka yang diberikan oleh guru setelah melakukan tugas yang diberikan oleh
guru kepada siswa.

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT

Model pembelajaran merupakan pola yang digunakan sebagai pedoman dalam


merencanakan pembelajaran di kelas, termasuk di dalamnya penyusunan kurikulum, mengatur
materi, menentukan tujuan-tujuan pembelajaran, menentukan tahap-tahap dalam kegiatan
pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.
Isjoni (2010: 20) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang
menggunakan kelompok-kelompok kecil sehingga siswa-siswa saling bekerja sama untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif juga mengkondisikan siswa untuk aktif dan saling
member dukungan dalam kerja kelompok untuk menuntaskan materi masalah dalam belajar.
Trianto (2010: 63) menyebutkan dalam model pembelajaran kooperatif terdapat beberapa variasi
atau tipe model yang dapat diterapkan, salah satu diantaranya adalah tipe NHT (Numbered Heads
Together). NHT pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagen pada tahun 1993 untuk menelaah
materi pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. NHT atau
penomoran berpikir bersama merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional.
Suprijono (2011: 92) berpendapat bahwa model NHT (Numbered Heads Together) adalah
model pembelajaran yang diawali dengan Numbering yaitu guru membagi kelompok dan tiap orang
dalam tiap kelompok diberi nomor. Kemudian guru mengajukan beberapa pertanyaan dan pada
kesempatan ini tiap kelompok menyatukan kepalanya “Heads Together” berdiskusi memikirkan
jawabannya. Selanjutnya guru memanggil siswa yang memiliki nomor yang sama dari tiap kelompok
dan mendiskusikan jawaban yang paling tepat.
NHT juga banyak sekali digunakan sebagai bahan penelitian tindakan kelas (PTK) karena
NHT lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan
informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas sehingga dapat
melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan
penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam pembelajaran. Terdapat empat langkah
3
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Berbantuan Media
Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa (Agni Era Hapsari)
yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran dengan teknik Numbered Heads Together adalah
berikut ini:

Tabel 1. Langkah-langkah Teknik Numbered Heads Together

No. Langkah-langkah Aktifitas Siswa


1. Penomoran Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang
(Numbered) beranggotakan 3-5 orang dan memberi nomor sehingga tiap siswa dalam
tim memiliki nomor yang berbeda
2. Pengajuan Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa dan pertanyaan ini
Pertanyaan bervariasi mulai dari yang spesifik sampai ke hal-hal yang bersifat umum
(Questioning)
3. Berfikir Bersama Menggambarkan dan meyakinkan bahwa setiap anggota kelompok
(Heads Together) mengetahui jawaban tersebut
4. Pemberian Jawaban Guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan
(Answering) nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk
seluruh kelas

Beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang
hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren (dalam Ibrahim, 2000: 18), antara lain
adalah: rasa harga diri menjadi lebih tinggi, memperbaiki kehadiran, penerimaan terhadap individu
menjadi lebih besar, perilaku mengganggu menjadi lebih kecil, konflik antara pribadi berkurang,
pemahaman yang lebih mendalam, meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi, hasil
belajar lebih tinggi.
Sehingga berdasarkan pengertian di atas bahwa NHT adalah bagian dari model
pembelajaran kooperatif struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa yang lebih mengedepankan kepada aktivitas
siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya
dipresentasikan di depan kelas sehingga dapat melatih siswa untuk saling berbagi informasi,
mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih
produktif dalam pembelajaran.

Media Pembelajaran
Kata media pembelajaran berasal dari bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari kata
medium yang secara harfiah berarti ‘perantara’ atau pengantar (Arief S. Sadiman, dkk, 2006 : 6).
Banyak pakar tentang media pembelajaran yang memberikan batasan tentang pengertian media.
Menurut Rohani (1997: 2) media adalah segala bentuk yang dipergunakan untuk proses penyaluran
informasi.
Media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim
ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian
rupa sehingga terjadi proses belajar (Purnamawati dan Eldarni, 2001: 4).
Penggunaan media pembelajaran dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran adalah
berkenaan dengan taraf berfikir siswa. Taraf berfikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai
dari berfikir konkrit menuju berfikir abstrak, dimulai dari berfikir sederhana menuju ke pola berfikir
kompleks. Penggunaan media erat kaitannya dengan tahapan berfikir tersebut karena melalui media
pembelajaran hal-hal yang abstrak dapat dikonkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat
disederhanakan (Rivai, 1991: 2).
4
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 1 – 9

Ada beberapa jenis media pembelajaran yang biasa digunakan dalam proses belajar mengajar.
Pertama, media grafis seperti gambar, foto, grafik bagan atau diagram, poster, kartun, komik dan lain-
lain. Media grafis sering juga disebut media dua dimensi, yakni media yang mempunyai ukuran
panjang dan lebar. Kedua, media tiga dimensi yaitu dalam betuk model seperti model padat (solid
model), model penampang, model susun, model kerja, mock up, diorama dan lain-lain. Ketiga, media
proyeksi seperti slide, film strips, film, penggunaan OHP dan lain-lain. Keempat penggunaan
lingkungan sebagai media pengajaran (Rivai, 1991:5).

Asyhar (2011: 44-45) mengelompokkan jenis-jenis media pembelajaran menjadi empat,


yaitu:
a. Media visual yaitu jenis media yang digunakan hanya mengandalkan indera penglihatan, misalnya
media cetak seperti buku, jurnal, peta, gambar, dan lain sebagainya.
b. Media audio adalah jenis media yang digunakan hanya mengandalkan pendengaran saja. Contohnya
tape recorder, dan radio.
c. Media audio visual adalah jenis media yang dalam penggunaannya melibatkan indra
pendengaran dan indra penglihatan sekaligus. Contohnya film, video, program TV, dan lain
sebagainya.
d. Multimedia yaitu media yang melibatkan beberapa jenis media dan peralatan secara terintegrasi
dalam suatu proses atau kegiatan pembelajaran. Berdasarkan beberapa jenis-jenis media
pembelajaran tersebut yang akan digunakan dalam penelitian tindakan kelas dengan model
kooperatif tipe NHT ini, yaitu media interaktif yang termasuk dalam multimedia. Media ini
dipilih karena dengan media interaktif, anak tidak akan merasa jenuh, menarik perhatian siswa agar
lebih aktif dalam proses pembelajaran serta memperjelas suatu masalah sehingga siswa akan
mudah dalam memahaminya. Jadi dapat disimpulkan dengan media pembelajaran akan memudahkan
dalam proses kegiatan pembelajaran sehingga tujuan dari pembelajaran dapat dicapai.

METODE
Penelitian ini menggunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Arikunto
(2010: 2) menyebutkan pengertian PTK dengan menggabungkan batasan pengertian tiga kata inti,
yaitu (1) penelitian, (2) tindakan, dan (3) kelas yaitu penelitian tindakan kelas merupakan suatu
pencermatan terhadap kegiatan pembelajaran berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan
dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan
permasalahan dalam pembelajaran sejarah melalui model pembelajaran NHT (Numbered Heads
Together) yang memfokuskan pada interaksi siswa dalam pembelajaran agar dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik.

Subjek dan Seting Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS SMA N 1 Tuntang sejumlah 30
siswa. Penelitian ini dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2015/2016.
Prosedur penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini berdasarkan pada penelitian
tindakan kelas (PTK). Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi beberapa siklus. Setiap siklus
terdiri atas empat tahapan antara lain: (a) perencanaan, (b) pelaksanaan tindakan, (c) observasi, (d)
refleksi.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan data selama proses pembelajaran peneliti
menggunakan alat pengumpulan data berupa: (1) Pedoman wawancara, yang digunakan untuk
5
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Berbantuan Media
Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa (Agni Era Hapsari)
mengetahui kendala yang dihadapi siswa dan guru dalam pelaksanaan pembelajaran. (2) Lembar
observasi, digunakan untuk mengukur aktivitas siswa. (3) Tes, digunakan untuk mengukur hasil
belajar siswa, dan (4) teknik dokumentasi.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan teknik analisis data dengan cara deskriptif kualitatif
dan kuantitatif. Deskriptif kualitatif maksudnya adalah dalam penelitian ini hanya menggambarkan
objek permasalahan untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas, sehingga dapat diketahui
apakah ada penyimpangan-penyimpangan atau sudah sesuai dengan teori-teori yang ada, selanjutnya
dipergunakan sebagai dasar untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini. Sedangkan
deskriptif kuantitatif maksudnya adalah dalam pembahasan juga diuraikan hasil yang dicapai dalam
bentuk data numerik (data yang berupa angka). Adapun teknik analisis data dengan cara deskriptif
kualitatif meliputi data kendala-kendala yang dihadapi siswa dan guru dalam penerapan
pembelajaran Sejarah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Adapun teknik analisis data dengan cara kualitatif meliputi analisis hasil belajar siswa,
analisis aktivitas siswa. Teknik analisis data terhadap permasalahan tersebut meliputi beberapa
tahapan, yaitu tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan data.
Indikator keberhasilan yang dipergunakan pada penelitian ini jika keterlaksanaan aktivitas
siswa dalam kegiatan pembelajaran mencapai persentase keberhasilan sebesar 80%, dan siswa
dinyatakan tuntas apabila telah memperoleh nilai sesuai dengan KKM yang telah ditentukan
sebesar 75, Jadi nilai hasil belajar kognitif siswa harus ≥ 75. Sedangkan ketuntasan belajar klasikal
dapat dikatakan tercapai apabila paling sedikit 80% siswa di kelas tersebut telah mencapai ketuntasan
belajar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Awal
Pembelajaran mata pelajaran Sejarah yang dilakukan di SMA N 1 Tuntang selama ini
dianggap sebagai pelajaran hafalan semata, guru menganggap mudah, sehingga guru hanya
berceramah di depan kelas. Dalam pembelajaran sejarah sering kali hanya gurulah yang aktif,
sedangkan siswanya pasif hanya duduk mendengarkan ceramah. Pembelajaran yang demikian
mengakibatkan kebanyakan siswa ada yang mengantuk, bermain sendiri, dan suka rebut sendiri.
Di samping itu aktivitas dan minat belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah juga rendah,
sehingga menambah rendah pula tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.
Kondisi proses pembelajaran ini berakibat aktivitas belajar siswa rendah. Hal ini ditunjukkan
hasil pengamatan dari 30 siswa hanya 6 siswa atau 20% yang aktivitas tinggi, 6 siswa atau 20%
aktivitas sedang, dan 18 siswa atau 60% aktivitas rendah.
Kondisi rendahnya aktivitas siswa berdampak juga pada rendahnya prestasi belajar. Hal
ini ditunjukkan dari hasil tes prestasi belajar Sejarah pada akhir materi nilai rata-rata yaitu 62,25.
Dari nilai tes prestasi belajar pra siklus menunjukkan banyak siswa yang belum tuntas. Siswa
yang mendapatkan nilai lebih besar atau sama dengan KKM yaitu 75 ada 6 orang dengan
ketuntasan 20%. Nialai tertinggi 80, sedangkan nilai terendah 50 dengan rentang nilai 0 – 100
dengan nilai rata-rata 62,25.

Siklus I
Aktivitas Belajar
Data tentang aktivitas belajar diambil setelah melakukan pembelajaran pada akhir siklus
I, Instrumen data berupa lembar pengamatan yang terdiri dari 10 indikator. Dari data diperoleh
aktivitas skor 1-3 kategori rendah, aktivitas skor 4-7 kategori sedang, aktivitas skor 8-10 kategori
tinggi. Hasil pengamatan diperoleh hasil aktivitas belajar sebagai berikut : skor tinggi 12 siswa
6
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 1 – 9

atau 40%, skor sedang 9 siswa atau 30%, dan skor rendah 9 siswa atau 30%.
Prestasi Belajar
Setelah pembelajaran berlangsung selama 3 kali pertemuan maka dilakukan tes tertulis
mata pelajaran Sejarah. Hasil tes prestasi belajar Sejarah diperoleh hasil sebagai berikut : nilai
tertinggi 85, nilai terendah 60, nilai rata-rata 70. Masih ada 9 siswa (30%) yang mendapat nilai di
bawah ketuntasan belajar minimal (KKM). Hasil analisis tes prestasi belajar Sejarah diperoleh
rerata 70, nilai tertinggi 85 nilai terendah 60 ketuntasan belajar 21 siswa atau 70%.
Siklus II
Aktivitas Belajar Siswa
Data tentang aktivitas belajar diambil setelah melakukan pembelajaran pada akhir siklus
II, Instrumen data berupa lembar pengamatan yang terdiri dari 10 indikator. Dari data diperoleh
aktivitas skor tinggi 24 siswa atau 80%, skor sedang 6 siswa atau 20%, dan skor rendah 0 siswa
atau 0%.
Tes Prestasi Belajar
Setelah pembelajaran berlangsung selama 3 kali pada siklus II maka dilakukan tes tertulis
mata pelajaran Sejarah. Hasil tes prestasi belajar Sejarah diperoleh hasil sebagai berikut : nilai
tertinggi 95, nilai terendah 77, nilai rerata 85 dengan ketuntasan belajar 30 siswa atau 100%.
Komparasi Hasil Penelitian
Perbandingan hasil penelitian pra siklus, siklus I, siklus II setelah dilakukan pengamatan
saat proses pembelajaran diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 2. Perbandingan Aktivitas Belajar Siswa Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II
No Aktivitas Pra Siklus Siklus 1 Siklus 2
Belajar Siswa
1. Tinggi 6 siswa (20%) 12 siswa (40%) 24 siswa (80%)
2. Sedang 6 siswa (20%) 9 siswa (30%) 6 siswa (20%)
3. Rendah 18siswa (60%) 9 siswa (30%) 0 siswa (0%)

Berdasarkan data di atas pada siklus I ada kenaikan aktivitas belajar siswa yang tinggi
dari 6 siswa pada pra siklus menjadi 12 siswa pada siklus I. Pada siklus II ada kenaikan aktivitas
yang tinggi dari 12 siswa pada siklus I menjadi 24 siswa pada siklus II. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan model NHT berbantuan media interaktif dapat meningkatkan
aktivitas belajar yang tinggi dari 6 siswa pada pra siklus menjadi 24 siswa pada siklus II.
Perbandingan hasil tes prestasi belajar pra siklus, siklus I, dan siklus II setelah dilakukan
ulangan pada akhir siklus diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 3. Perbandingan Prestasi Belajar Sejarah Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II
No Prestasi Belajar Sejarah Pra Siklus Siklus I Siklus II
1. Nilai Tertinggi 80 85 95
2. Nilai Terendah 50 70 77
3. Nilai Rata-rata 62,25 70 85
4. Ketuntasan Belajar 20% 70% 100%

Pada tabel diatas terlihat pra siklus nilai rata-rata 62,25, pada siklus I rata-rata 70 dan
siklus II rata-rata 85. Dengan demikian pembelajaran dengan model pembelajaran NHT
berbantuan media interaktif dapat meningkatkan prestasi belajar Sejarah. Ketuntasan belajar pada

7
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together Berbantuan Media
Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa (Agni Era Hapsari)
pra siklus 20%, pada siklus I 70%, dan siklus II 100%. Ini berarti pada siklus I ada peningkatan
ketuntasan belajar 50 % yakni dari pra siklus 20% menjadi 70%. Sedangkan pada siklus II ada
peningkatan ketuntasan belajar 30% yakni dari siklus I 70% menjadi 100%. Pembelajaran
dengan menerapkan model pembelajaran NHT berbantuan media interaktif dapat meningkatkan
ketuntasan belajar 20% dari pra siklus menjadi 100% pada siklus II.

Pembahasan
Prestasi belajar pada mata pelajaran Sejarah yang diukur melalui tes prestasi
menunjukkan hasil pada pra siklus rerata 62,25 dan ketuntasan 20 %. Setelah dilakukan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran NHT berbantuan media interaktif ada
peningkatan. Pada siklus I rerata 70 dan ketuntasan 70%. Dari hasil refleksi hasil tersebut masih
belum mencapai indikator keberhasilan. Dengan memperbaiki kekurangan yang ada pada siklus I
yaitu membagi kelompok dengan susunan yang lebih merata kemampuannya dan lebih
mempersiapkan seluruh bahan dan sumber belajar serta memperjelas cara penggunaan media
interaktif, maka hasil tes prestasi pada siklus II rerata 85 dengan ketuntasan 100%.
Penerapan model pembelajaran NHT berbantuan media interaktif berdampak pada situasi
kelas dan siswa. Perubahan kondisi siswa antara lain siswa aktif, berani melakukan presentasi,
dan suasana pembelajaran menjadi menyenangkan. Pada siklus II proses pembelajaran menjadi
lebih baik karena penerapan model pembelajaran NHT berbantuan media interaktif dapat
meningkatkan aktivitas siswa melalui diskusi kelompok sebagaimana pendapat Syaiful Bahri
Djamarah (2002: 99) mengatakan teknik diskusi merupakan teknik belajar mengajar yang
dilakukan oleh guru di sekolah. Di dalam diskusi ini proses belajar mengajar terjadi, dimana
interaksi antara dua atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman,
informasi, memecahkan masalah dapat terjadi dan semua aktif. Sedangkan penggunaan media
interaktif pembelajaran dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran adalah berkenaan dengan
taraf berfikir siswa. Taraf berfikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berfikir
konkrit menuju berfikir abstrak, dimulai dari berfikir sederhana menuju kepola berfikir kompleks.
Penggunaan media erat kaitannya dengan tahapan berfikir tersebut karena melalui media
pembelajaran hal-hal yang abstrak dapat dikonkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat
disederhanakan (Rivai, 1991: 2). Kelebihan penerapan model pembelajaran NHT berbantuan media
interaktif dalam pembelajaran Sejarah antara lain: 1) memotivasi dan menarik keingin tahuan siswa
untuk belajar Sejarah, 2) merangsang kreativitas siswa dalam bentuk ide, gagasan, dan trobosan baru
dalam memecahkan masalah, dan 3) meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Dari uraian di atas maka dapat diperoleh hasil penelitian bahwa penerapan model
pembelajaran NHT berbantuan media interaktif dapat meningkatkan aktivitas belajar yang kategori
tinggi dari 20% atau 6 siswa pada pra siklus, menjadi 100 % atau 30 siswa pada siklus II, dan dapat
meningkatkan prestasi belajar rata-rata 62,25 pada pra siklus menjadi 85 pada siklus II dengan
ketuntasan belajar dari 20% atau 6 siswa pada pra siklus menjadi 100% atau 30 siswa pada siklus II.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) berbantuan media pembelajaran
interaktif dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar pada siswa kelas XI IPS SMA N 1
Tuntang pada semester 2 tahun ajaran 2015/2016.

8
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 1 – 9

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT berbantuan media pembelajaran interaktif dapat meningkatkan
aktivitas dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah. Oleh karena itu penulis
menyarankan: (1) kepada para guru agar lebih dapat mengembangkan pembelajaran dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbantuan media pembelajaran interaktif
agar anak lebih termotivasi untuk belajar sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar yang dicapai
siswa, (2) pihak sekolah juga harus berperan serta dengan memberikan fasilitas yang memadai
untuk berlangsungnya pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
berbantuan media pembelajaran interaktif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munib, dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES Press.
Agus Suprijono. 2011. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.
Ahmad Rohani 1997. Media Intruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta
Ahmad Sabri. 2005. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching. Jakarta: Quantum Teaching
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Arif S. Sadiman, dkk. 2006. Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas.
Yogyakarta: Aditya Media.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Isjoni. 2010. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka
Lukman Ali. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarata: Balai Pustaka
Muhibin Syah. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Muslimin, Ibrahim. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press
Nana Sudjana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosdikarya
Purnamawati dan Eldarni. 2001. Media Pembelajaran. Jakarta: CV. Rajawali.
Rivai, dkk. 1991. Media Pengajaran. Bandung: CV. Sinar Baru
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-progresif. Jakarta: Kencana
Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali
Suprijono. 2011. Suprijono, Agus. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.

9
PERAN JAM BELAJAR EFEKTIF SISWA DI SEKOLAH DALAM MEMODERATORI
MOTIVASI DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

Darius Imanuel W
iimanuel10_ewa@yahoo.co.id
Magister Manajemen Pendidikan, UKSW

ABSTRACT

The Role Of School Effective Learning Hours In Moderating Students Motivation


To Improving Learning Achievement

Motivation is the mean or a process that can be used to affect someone in a


positive way so that it can motivate a person to achieve learning outcomes. Learning
hours is the time needed to do learning activities well in school. In this study,
researcher was interested to know the effect of motivation on learning outcomes
moderated by students’ effective hours in the school. Without motivation, the learning
process will be difficult to be succesfully achieved. This quantitative research was
conducted as a case study in high school science students. The study aimed to show
an effective model for achieving better student learning outcomes. There were 32 high
school science students who became sampled in this study. The data were collected
through questionnaire and students’ test results. The result was processed and
looking for the average by using SPSS. From the SPSS analysis, it was found that the
learning motivation was valid and reliable with the value 0.775 and 0.795. Then, it is
concludede that motivation model using students’ effective hours as a moderator can
improve students’ learning outcomes in schools.
Keywords: Motivation, Effective Hours, and Student Learning Achievement

PENDAHULUAN
Motivasi dan jam efektif siswa adalah dua faktor yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Motivasi yang positif adalah masukan-masukan yang baik bagi seseorang sehingga mendorong
orang menjadi lebih semangat untuk melakukan sesuatu. Motivasi mampu mendorong orang untuk
melakukan sesuatu dalam hal belajar dan dari motivasi orang dapat menentukan baik-tidaknya dalam
mencapai tujuan sehingga semakin besar kesuksesean belajarnya (Hamdani 2011:142). Jam efektif
adalah waktu yang dipakai untuk beraktifitas atau belajar dengan maksimal. Jika waktu yang ada di
sekolah di manfaatkan untuk belajar yang sungguh-sungguh maka hasil belajar siswa akan baik dan
prestasi belajar siswa akan menjadi meningkat jika waktu itu benar-benar di manfaatkan.
Penelitian tentang hubungan motivasi dengan hasil belajar dan pengaruh motivasi dengan
hasil belajar sudah banyak diteliti. Dari hasil penelitian yang telah di lakukan menjelaskan bahwa
motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan hasil belajar.Dalam penelitian
Rokhimah, Siti (2013) ada pengaruh yang signifikan antara motifasi belajar dengan prestasi belajar
siswa. Selain itu juga penelitian dari Pekik, Wicaksono (2016)yang membuktikan bahwa ada
pengaruh yang positif antara motivasi belajar dengan prestasi belaja siswa. Oleh karena itu motivasi
belajar merupakan faktor yang penting karena hal tersebut merupakan keadaan yang mendorong

10
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 10 – 16

keadaan siswa untuk melakukan belajar sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat (Hamdani
2011:142).
Dari sekian banyak penilitian yang ada baru mencari hubungan dan pengaruh motivasi
terhadap hasil belajar atau prestasi belajar siswa,. Namun penelitian tentang efektifnya metode
motivasi belajar dimana jam efektif siswa di sekolah sebagai moderator dalam mencapai hasil belajar
siswa, masih belum menemukan penelitian yang menyangkut efektifitas motivasi belajar dengan jam
efektif siswa di sekolah sebagai moderator dalam mencapai hasil belajar siswa. Oleh karena itu
peneliti tertarik melakukan penelitian ini dengan tujuan mau melihat manakah yang efektif apakah
dengan metode motivasi belajar dimana jam efektif siswa di sekolah dijadikan sebagai moderator
dalam mencapai hasil belajar siswa dibandingkan dengan metode motivasi belajar tanpa moderator
terhadap hasil belajar.
KAJIAN PUSTAKA
Manajemen Pendidikan
Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk
mewujudkan proses dan hasil belajar peserta didik secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan
dalam mengembangkan potensi dirinya (Usman, Husaini 2013:13). Bush (2008) menyatakan bahwa
manajemen pendidikan harus terpusat pada tujuan pendidikan. Tujuan ini memberikan arti penting
terhadap arah manajemen. Manajemen diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan tertentu dalam
waktu tertentu.
Tujuan dan manfaat manajemen pendidikan diungkapakan oleh Usman (2013) ada 8, yaitu:
(1) terwujudnya suasana belajar dan proses Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan,
dan Bermakna (PAKEMB); (2) terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya;
(3) Terpenuhinya salah satu dari lima kompetensi tenaga kependidikan (tertuangnya kompetensi
manajerial tenaga kependidikan sebagai manajer); (4) tercapainya tujaun pendidikan secara efektif
dan efisien; (5) terbekalinya tenaga kependidikan degan teori tentang proses dan tugas administrasi
pendidikan (tertunjangnya profesi sebagai manajer atau konsultan manajemen pendidikan); (6)
teratasinya masalah mutu pendidikan karena 80% masalah mutu disebabkan oleh manajemennya; (7)
terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu relevan, tidak bias jender dan SARA, dan
akuntabel; (8) tercipta citra positif pendidikan.
Manajemen Sekolah
Manajemen sekolah merupakan proses atau kegiatan yang terstruktur yang dilakukan
disekolah dimana kegiatan ini melibatkan stakeholder sekolah dengan tujuan agar program sekolah
dapat berjalan secara efektif dan efisien (Usman, Husaini 2013)
Manajemen sekolah merupakan faktor yang paling penting dalam menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran di sekolah yang keberhasilannya diukur oleh prestasi yang didapat, oleh
karena itu dalam menjalankan kepemimpinan, harus menggunakan suatu sistem, artinya dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang di dalamnya terdapat komponen-komponen terkait
seperti guru-guru, staff TU, orang tua siswa, masyarakat, pemerintah, anak didik, dan lain-lain harus
berfungsi optimal yang dipengaruhi oleh kebijakan dan kinerja pimpinan.
Motivasi Belajar
Pada dasarnya motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan
dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga
mencapai hasil atau tujuan tertentu.
Menurut Clayton Alderfer (dalam Nashar, 2004:42) Motivasi belajar adalah kecenderungan
siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil
belajar sebaik mungkin. Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan
mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya
11
Peran Jam Belajar Efektif Siswa di sekolah dalam Memoderatori Motivasi dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa (Darius Imanuel W)
keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap serta perilaku
pada individu belajar (Koeswara, 1989 ; Siagia, 1989 ; Sehein, 1991; Biggs dan Tefler, 1987 dalam
Dimyati danMudjiono, 2006)Untuk peningkatan motivasi belajar menurutAbin Syamsudin M (1996)
yang dapat kita lakukanadalah mengidentifikasi beberapa indikatornyadalam tahap-tahap tertentu.
Indikator motivasiantara lain: 1) Durasi kegiatan, 2) Frekuensikegiatan, 3) Presistensinya pada tujuan
kegiatan,4) Ketabahan, keuletan dan kemampuannya dalammenghadapi kegiatan dan kesulitan untuk
mencapaitujuan, 5) Pengabdian dan pengorbanan untukmencapai tujuan, 6) Tingkatan aspirasi yang
hendakdicapai dengan kegiatan yang dilakukan, 7) Tingkatkualifikasi prestasi, 8) Arah sikapnya
terhadapsasaran kegiatan.
Jam Efektif Siswa Di Sekolah
Jam efektif siswa merupakan waktu yang dibutuhkan siswa untuk melaksanakan proses
belajar yang dilakukan di kelas dengan tujuan agar siswa lebih banyak belajar dibandingkan waktu
untuk bermain.
Waktu merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Waktu juga merupakan
kesempatan yang digunakan untuk melakukan berbagai macam kegiatan. Adapun yang dimaksud
dengan waktu belajar adalah waktu yang digunakan untuk mempelajari sesuatu, sehingga terjadi
proses perubahanpadadiri seseorang yang belajar.
Jadi, waktu efektif belajar adalah waktu yang digunakan untuk mempelajari sesuatu,
sehinggaterjadi perubahan pada diri seseorang yang belajar. Waktu belajar adalah waktu yang
terjadinya proses belajar siswa di sekolah, baik pagi, siang, maupun sore haribergantung pada jadwal
yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah. Oleh karenaitu, penentuan waktu belajar di sekolah yang
tepatakan memberi pengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa.
HasilBelajar
Hasil belajar siswa di kelas menentukan prestasi siswa di sekolah. Dari hasil-hasil yang
diperoleh yaitu dari ulangan harian atau tes-tes kecil yang dilakukan dikelas dapat dijadikan data
kognitif siswa yang diakumulasi untuk menentukan prestasi siswa disekolah dimana akumulasi data
kogitif ini ditentukan oleh guru mata pelajaran. Menurut Winarno Surakhmad (dalam buku, Interaksi
Belajar Mengajar, (Bandung: Jemmars, 1980:25) hasil belajar siswa bagi kebanyakan orang berarti
ulangan, ujian atau tes. Maksud ulangan tersebut ialah untuk memperoleh suatu indek dalam
menentukan keberhasilan siswa.
Dalam kelas interaksi antara guru dengan siswa merupakan proses mentransfer ilmu atau
pengetahuan dari guru ke siswa dengan tujuan menambah wawasan dan intelektual siswa secara
langsung. Sehingga hasil belajar siswa merupakan kemampuan siswa setelah melakukan interaksi
dengan guru dikelas. Dimyati dan Mudjiono (2006: 3-4) juga menyebutkanhasil belajar merupakan
hasil dari suatu interaksi tindak belajar dantindak mengajar. Oleh karena itu siswa yang mampu
mendapat hasil yang baik di kelas menunjukan bahwa guru sudah mampu mentrasfer ilmu atau
pengetahuannya kepada siswa dalam kondisi normal.
Dari hasil-hasil yang diperoleh siswa di kelas kemudian akan di akumulasi menjadi nilai atau
indeks prestasi siswa di sekolah tersebut apakah siswa tersebut layak untuk masuk kejenjang yang
lebih tinggi dari sebelumnya.
Kata prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie, sedangkan dalam bahasa Inggris
istilah prestasi atau achievement dalam Kamus Lengkap Psikologi (Kartini Kartono & Dali Gulo,
2006) didefinisikan sebagai pencapaian atau hasil yang dicapai; sesuatu yang telah dicapai; satu
tingkat khusus dari kesuksesan karena mempelajari tugas-tugas, atau tingkat tertentu dari kecakapan/
keahlian dalam tugas-tugas sekolah atau akademis; satu tingkat khusus perolehan atau hasil keahlian
dalam karya akademis yang dinilai oleh guru-guru lewat tes-tes yang dibakukan, atau lewat kombinasi
kedua hal tersebut. Dalam kamus populer dinyatakan bahwa: prestasi adalah apa yang telah
12
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 10 – 16

diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia bahwa: prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dan yang
telah dilakukan atau dikerjakan).
Poerwanto (2007) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu “ hasil yangdicapai oleh
seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport”. Selanjutnya Winkel
(1997) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan
seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar sesuai dengan bobot yang dicapainya” Sedangkan
menurut Nasution, S (1987) prestasi belajar adalah “ kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam
berfikir, merasa dan berbuat, prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni:
kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang
belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut” Berdasarkan pengertian diatas, maka
dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam
menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar.
Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi
pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami
prosesbelajar mengajar. Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari
evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

METODE
Penelitian ini bertujuan utuk mencari pengaruh motivasi terhadap hasil belajar dengan jam
efektif siswa di sekolah sebagai moderator ini menggunakan metode penelitiankuantitatif yang
dilaksanakan di kelas2 IPA SMA, sampel sebanyak 32 orang siswa dan dilakukanselama 4 bulan dari
bulan Agustus sampai denganNovember 2015. Variabel independen dalampenelitian ini yaitu
motivasi belajar dan jam belajar efektif siswa di sekolah. Motivasi terdapat 8indikator sebagaimana
yang diungkapkan oleh AbinSyamsudin M (2007:30) kemudian disusun dalambentuk instrumen
angket dengan jumlah20 soal. Sedangkan jam efektif siswa di sekolah hanya sebatas moderator.
Angket ini terlebih dahulu diuji validitas danreliabilitas sebelum dipakai di lapangan.
Sedangkanvariabel dependen yaitu nilai tes formatif matapelajaran matematika yang berasal dari data
dokumentasirata-rata prestasi belajar siswa dalam pembelajaran.
Setelah itu dilakukan uji regresi linearberdasarkan hipotesis: “semakin rendah motivasi yang
diberikan dan jam efektif siswa tidak ditambah maka hasil belajar siswa pada mata pelajaran
matematikasemakin menurun”. Atau sebaliknya “semakin tinggi motivasi yang diberikan dan jam
efektif siswa ditambah maka hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematikasemakin meningkat”.
Analisis dilakukan terhadap semua data yang diperoleh dengan bantuan programSPSS Statistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Hasil Penelitian


Setalah melakukan penilitian kelas dua IPA di SMA dengan jumlah siswa 32 siswadan hasil
analisis terhadap hasil rata-rata angketdari total jumlah siswa menunjukan valid, reliabeldan
terdistribusi normal. Kemudian di peroleh data angket dari soal motivasi yang dibagikan diperoleh
rata-rata minimum 53 dan tertinggi 72, nilai rata-rata keseluruhan siswa adalah 60,31 dengan standar
deviasi 5,10. Untuk jam efektif siswa yang diberikan di sekolah minimal 5 jam dan maksimumnya 10
jam, rata-rata jam efektifnya adalah 8 jam dengan standar deviasi 2,03. Sedangkan hasil matematika
yang diperoleh minimum 65 dan yang memperoleh nilai tertinggi 85 dengan rata-rata keseluruhan
siswa adalah 71,94, dan standar deviasi 4,62. Berikut adalah tabel deskripsi statistiknya.

13
Peran Jam Belajar Efektif Siswa di sekolah dalam Memoderatori Motivasi dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa (Darius Imanuel W)
Tabel 1 Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
motivasi 32 53.00 72.00 60.3125 5.10179
jam_efektif 32 5.00 10.00 8.0000 2.03200
hasil_math 32 65.00 80.00 71.9375 4.62069
Valid N (listwise) 32

Tabel 2 Model Summary


Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Square Estimate
a
1 .529 .280 .203 4.12545
a. Predictors: (Constant), M, motivasi, jam_efektif

Tabel 3 ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 185.334 3 61.778 3.630 .025b
Residual 476.541 28 17.019
Total 661.875 31
a. Dependent Variable: hasil_math
b. Predictors: (Constant), M, motivasi, jam_efektif

Dari tabel model summary (Tabel 2) diperoleh nilai koefisien determinasi 0,203 artinya hasil
belajar siswa dapat di pengaruhi oleh motivasi, jam efektif siswa, dan variable moderator sebesar
20,3% dan sisanya yaitu 79,7% variable lain di luar model. Pada tabel ANOVA (Tabel 3) didapat data
hasil uji signifikansi uji F dimana nilai uji F adalah 3,63 dengan probabilitas 0,025 < (0,05).

Tabel 4 Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -96.709 68.779 -1.406 .171
motivasi 3.013 1.218 3.327 2.474 .020
jam_efektif 14.897 7.317 6.551 2.036 .051
M -.270 .128 -8.984 -2.109 .044
a. Dependent Variable: hasil_math

Hasil Uji model parsial (uji t) memperlihatkan bahwa motivasi memberikan nilai
koefisienparameter sebesar 3,013 dengan sig 0,020. Variabel jam efektif siswa memberikan
nilaikoefisien sebesar 14,89 dengan sig 0,051, sementara variabel moderator (M) memberikan nilai
koefisiensebesar negative (0,270) dengan sig 0,044. Kesimpulan yang bisa diperoleh dari hasil di atas
adalah Moderator terbukti signifikan dalammempengaruhi motivasi terhadap hasil belajar siswa.
Prediksi nilai negativemengindikasikan bahwa efek moderasi yang diberikan adalah negative, artinya
jam efektif siswa memberi efek mengurangi pengaruh motivasi terhadap hasil belajar siswa. Tidak
signifikannya koefisien jam efektif siswa (sig 0,051) menunjukkan bahwa variabel ini merupakan
variabel moderator murni dan tidak bisa ditempatkan sebagai variabelindependen. Namun jika hasil
menunjukkan bahwa jam efektif siswadan moderator sama-sama signifikan maka dapat disimpulkan
14
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 10 – 16

bahwa variabel jam efektif siswa adalahvariabel quasi moderator atau dapat digunakan sebagai
variabel independen sekaligusvariabel moderator.

Pembahasan
Setalah membuktikan bahwa soal angket motivasi yang digunakan valid dan reliabel, peneliti
langsung melakukan tahap pembagian soal-soal angket motivasi dengan jumlah 20 soal kepada 32
siswa kelas dua IPA. Kemudian diperoleh data dan peniliti melakukan analisis statistik dengan
menggunakan SPSS dimana maksimum rata-rata dari siswa yang menjawab adalah 72 dan nilai rata-
rata terendah adalah 53. Setelah itu masuk ketahap mencari nilai koefisien determinasi yang diperoleh
dengan bantuan SPSS sebasar 0,203, atau dalam presentase sebesar 20,3%, ini menunjukan bahwa
motivasi, jam efektif siswa di sekolah dan varibel moderator dengan presentase 20,3% dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa di sekolah. Sedangkan sisanya adalah faktor-faktor lain yang juga
dapat mempengaruhi hasil belajar tetapi di luar model penelitian dengan presentase 79,7%. Uji F
menunjukan bahwa model ini signifikan dimana signifikansinya sebesar (0,025) < (0,05), artinya
dapat mempengaruhi atau meningkatkan hasil belajar siswa melalui motivasi, jam efektif siswa, dan
variable moderator.
Dari tabel 4 diperoleh signifikansi dari motivasi sebesar (0,020), signifikansi dari jam efektif
siswa sebesar (0,051), dan signifikansi dari moderator sebesar (0,044). Kesimpulan yang bisa
diperoleh dari hasil ini adalah moderator terbukti signifikan dalammempengaruhi motivasi terhadap
hasil belajar siswa. Artinya motivasi punya pengaruh yang sigifikan terhadap hasil belajar siswa.
Sehingga sebagaimana yangdiungkapkan oleh Keller (dalam Nashar, 2004:77)bahwa prestasi belajar
dapat dilihat dari terjadinyaperubahan hasil masukan pribadi berupa motivasidan harapan untuk
berhasil. Peningkatan hasilbelajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor salahsatunya adalah motivasi
untuk belajar.Hasil penelitian ini juga menginformasikanterdapat pengaruh yang signifikan antara
motivasiyang menggunaka jam efektif siswa sebagai moderator terhadap hasil belajar siswa. Hal ini
berartibahwa semakin tinggi motivasi yang diberikan dan jam efektif siswa ditambah maka hasil
belajar siswa meningkat.Sebaliknya semakin rendah motivasi yang diberikan dan jam efektif siswa
tidak ditambah maka hasil belajar siswa menurun.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa motivasi dapat mempengaruhi hasil belajar
siswa melalui variable moderator jam efektifitas siswa di sekolah, jika dilahat dari uji F nilai
signifikannya sebesar 0,025 < 0,050. Selain itu jam efektifitas tidak dapat dijadikan sebagai variable
independen jika dilihat dari hasil penelitian diperoleh signifikansinya 0,051 artinya jam efektif siswa
di sekolah murni sebagai variable moderator murni.

Saran
Untuk guru lebih ditingkat cara memotivasi anak didik di sekolah agar siswa menjadi lebih
sadar dan kemauan belajar lebih tinggi. Semoga dengan penelitian ini dapat mampu merubah mainset
guru-guru yang masih menggunakan pola lama yaitu memarahi anak, tetapi dirubah dengan kalimat
memotivasi anak. Tujuannya agar anak tidak patah semangat untuk belajar.Selain itu dengan program
pemerintah yang menerapkan full day scholl dapat membuka wawasan pembaca khususnya orang tua
bahwa dengan penambahan jam belajar anak di sekolah lebih lama maka anak lebih banyak belajar
disekolah dibanding menghabiskan waktu bermain dirumah. Faktor ini juga mampu meningkatkan
prestasi belajar siswa disekolah. Dengan catatan program yang dijalankan harus benar diawasi oleh
guru, karena orangtua kedua siswa adalah guru selain orantua di rumah siswa.Itu saran dari penulis
semoga bermanfaat bagi pembaca dan membuka wawasan pembaca sesuai harapan penulis.
15
Peran Jam Belajar Efektif Siswa di sekolah dalam Memoderatori Motivasi dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa (Darius Imanuel W)

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: PT Bumi
Aksara

Budiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian edisi ke-2. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Pustaka Setia
Pekik, Wicaksono (2016) Pengaruh Fasilitas Belajar, Motivasi Belajar Dan Minat Belajar Terhadap
Prestasi Belajar Siswa Kelas X Smk Muhammadiyah Prambanan Tahun Ajaran
2011/2012. S1 Thesis, U N Y.

Rokhimah, Siti (2013). Pengaruh Perhatian Orang Tua Dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi
Belajar Akuntansi Siswa Kelas Xi Akuntansi Smk Ypkk 2 Sleman Tahun Ajaran 2012/2013. S1
Thesis, Fakultas Ekonomi UNY.
Tirtarahardja & Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Trihendradi, C. 2013.Langkah Mudah Menguasai SPSS 21. Yogyakarta: Andi Yogyakarta
Usman, Husaini. 2013. Manajemen (teori, praktik, dan Riset Pendidikan).Jakarta: Bumi
Aksara.

16
MANAJEMEN SARANA PRASARANA DI DAY CARE BABY’S HOME
SALATIGA

Desi Kusumawati
desi.kusumawati@staff.uksw.edu
Program Studi PAUD, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - UKSW

ABSTRACT

The Infrastructures Management In Baby's Home


Day Care Salatiga

Day Care is one form of early childhood education in non formal education
program that organize nurturing and social welfare of children from birth up to the
age of 6 years. This study aimed to identify the suitability of existing infrastructure in
Baby's Home day care with the ACT of Minister of Education and Culture No. 137 of
2014 Article 32 Paragraph 3; and to provide an overview why the planning,
maintenance and inventory in Baby's Home day care were not optimal. This study was
qualitative research. The subject was Baby's Home day care Salatiga. Technique of
collecting data using interviews, observation and documents. Data were analyzed
using Miles and Huberman Model. Data validation using triangulation technique of
data. Facilities and infrastructure in Baby's Home day care which conform with ACT
of Minister of Education and Culture No. 137 of 2014 Article 32 Paragraph 3 of were
the area of land, space of activities inside and outside, hand washing facilities,
showers and latrines, and access to health facilities. While things were not conform
included the bedroom, dining room, and covered trash. The cause of the planning,
maintenance and inventory of facilities and infrastructure have not optimally done
because the plan was not carried out continuously, the lack of personnel to assist in
the maintenance, and did not have the administrative staff specifically for inventory.
Advice can be given to Baby's Home day care is to conduct procurement planning
infrastructure on sleeping room, dining room and trash. In addition, the maintenance
to existing infrastructure must be made as well as the inventory of infrastructure in
order to facilitate the planning purchasing.
Keywords: Management, Facilities, Day Care, Early Childhood

PENDAHULUAN
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Harris Iskandar
(2016) mengungkapkan, peningkatan kualitas PAUD sudah menjadi komitmen dunia. Keikutsertaan
anak-anak pada program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia meningkat pesat di tingkat
Asia dan dunia., yakni pada tahun 2015 mencapai 70,1 persen. Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa jumlah lembaga PAUD yang ada yaitu Taman Kanak-Kanak (TK), Kelompok Bermain (KB),
Day Care dan lembaga PAUD Sejenis Lainnya sudah semakin banyak. Day Care merupakan salah
satu bentuk PAUD pada jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan program pendidikan
sekaligus pengasuhan dan kesejahteraan sosial terhadap anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun
(Direktorat Pembinaan PAUD Kementerian Pendidikan Nasional, 2011).
Day Care menurut Direktorat Pembinaan PAUD Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(2015) terbagi menjadi dua jenis yaitu berdasarkan waktu layanan dan tempat penyelenggaraan day
17
Manajemen Sarana Prasarana di Day Care Baby’s Home Salatiga (Desi Kusumawati)
care yang berdasarkan waktu layanan terdiri dari sehari penuh (full day), setengah hari (half day), dan
temporer. Sedangkan day care yang berdasarkan tempat penyelenggaraan terdiri dari day care
perumahan, day care pasar, day care pusat pertokoan, day care rumah sakit, day care perkebunan,
day care perkantoran, day care pantai, day care pabrik, day care mall. Day Care Baby’s Home
Salatiga termasuk dalam jenis day care full day, karena day care ini diselenggarakan satu hari penuh
dari jam 07.00 sampai jam 17.00 untuk melayani peserta didik yang dititipkan baik yang dititipkan
sewaktu-waktu maupun dititipkan rutin/setiap hari.
Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, social, emosional dan kejiwaan peserta didik (UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 45
Ayat 1). Day care perlu menyediakan sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana merupakan
perlengkapan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kegiatan pendidikan, pengasuhan, dan
perlindungan anak usia dini (Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 31).
Sarana dan prasarana yang ada di sebuah day care perlu dikelola dengan baik. Manajemen
sarana prasarana bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat
memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan
pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan, inventarisasi,
penghapusan serta penataan. (Slameto, 2009).
Baby’s Home sebagai salah satu day care yang ada di Salatiga memiliki sarana dan prasarana
sebagai penunjang keberlangsungan day care. Sarana dan prasarana yang ada di day care Baby’s
Home berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pengadaannya tidak melihat pedoman
dari Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3, sehingga sesuai atau tidaknya pemilik tidak
mengetahuinya. Perencanaan, pengadaan, pendistribusian, penggunaan, pemeliharaan, inventaris,
penghapusan merupakan bagian dari manajemen sarana prasarana yang perlu didayagunakan secara
efektif dan efisien (Bafadal, 2010). Hasil wawancara di day care Baby’s Home diperoleh informasi
bahwa pembelian barang kadang-kadang dibuat perencanaan dan untuk pemeliharaan dan inventaris
pelaksanannya belum maksimal.
Penelitian ini bertujuan: untuk mengidentifikasi kesesuaian sarana prasarana yang ada di day
care Baby’s Home dengan Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3; dan untuk memberikan
gambaran penyebab belum maksimalnya perencanaan, pemeliharaan dan inventaris yang ada di day
care Baby’s Home. Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi pemilik day care
Baby’s Home dalam mengelola sarana dan prasarana yang ada.

KAJIAN PUSTAKA

Day Care
Day Care/ Taman Penitipan Anak (TPA) mampu menjawab kebingungan pasangan suami
istri yang kedua-duanya bekerja. Manfaat yang akan didapatkan oleh pasangan suami istri yang
menitipkan anaknya di day care antara lain anak akan belajar bersosialisasi dengan teman-temannya,
anak akan mendapatkan pengetahuan, wawasan serta keterampilan yang bisa meningkatkan
kemampuan anak. Salah satu indikator keberhasilan day care adalah adanya sarana dan prasarana
yang memadai.
Tujuan diselenggarakannya day care menurut Direktorat Pembinaan PAUD (2011) adalah
memberikan layanan kepada anak usia 0-6 tahun yang terpaksa ditinggal orang tua karena
pekerjaannya atau halangan lainnya, memberikan layanan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak
anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan dan kasih sayang, serta hak untuk
berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya.

18
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 17 – 25
Manajemen Sarana Prasarana di Day Care
Fasilitas atau sarana dapat diartikan segala sesuatu yang dapat memudahkan dan melancarkan
pelaksanaan usaha ini dapat berupa benda maupun uang. Fasilitas atau sarana dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu: fasilitas fisik dan fasilitas uang. Fasilitas fisik yakni segala sesuatu yang
berupa benda atau fisik yang dapat dibendakan, yang mempunyai peranan untuk memudahkan dan
melancarkan suatu usaha. Sedangkan fasilitas uang yakni segala sesuatu yang bersifat mempermudah
suatu kegiatan sebagai akibat bekerjanya nilai uang (Arikunto & Yuliana, 2012).
Bagian yang erat kaitannya dengan sarana pendidikan adalah prasarana pendidikan. Prasarana
pendidikan menurut Susilo (2008) adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya
proses pendidikan atau pengajaran. Sedangkan Arikunto (1987) mengatakan prasarana pendidikan,
yaitu segala sesuatu yang tidak berhubungan secara langsung dengan proses pembelajaran antara lain
bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, lapangan, kebun sekolah, dan lain-lain. Prasarana
pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam menurut Prihatin (2011) yaitu: 1) Prasarana
pendidikan yang secara langsung digunakan untuk proses belajar mengajar, seperti ruang teori, ruang
perpustakaan, ruang praktek keterampilan, ruang laboratorium; dan 2) Prasarana pendidikan yang
keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar mengajar, seperti ruang kantor, kantor sekolah,
tanah dan jalan menuju sekolah, kamar kecil, ruang usaha, kesehatan sekolah, ruang guru, ruang
kepala sekolah dan tempat parkir kendaraan
Manajemen sarana sering disebut dengan manajemen materiil, yaitu segenap proses penataan
yang bersangkut-paut dengan pengadaan. Sarana pendidikan merupakan sarana penunjang bagi proses
belajar mengajar. Manajemen sarana prasarana menurut Bafadal (2010) adalah suatu proses kerjasama
pendayagunaan semua perlengkapan pendidikan secara efektif dan efisien meliputi perencanaan,
pengadaan, pendistribusian, penggunaan, pemeliharaan, inventaris, penghapusan. Sedangkan Hartani
(2011), memberikan definisi manajemen sarana dan prasarana pendidikan sebagai suatu aktivitas
menyeluruh yang dimulai dari perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemeliharaan, dan
penghapusbukuan berbagai properti pendidikan yang dimiliki oleh suatu institusi pendidikan.
Suryosubroto (2004) mengatakan manajemen sarana dan prasarana dibagi menjadi lima hal,
yaitu: (a) penentuan kebutuhan; (b) proses pengadaan; (c) pemakaian; (d) pengurusan dan pencatatan;
dan (e) pertanggungjawaban. Penentuan kebutuhan sarana dan prasarana merupakan bagian dari
perencanaan. Untuk merencanakan kebutuhan, Arikunto (2012) mengatakan perlu melalui tahap-tahap
tertentu yaitu: 1) mengadakan analisis kebutuhan, dari analisis ini dapat didaftar alat-alat/media apa
yang dibutuhkan oleh guru; 2) apabila kebutuhan yang diajukan oleh guru ternyata melampaui
kemampuan daya beli atau daya pembuatan, maka harus diadakan seleksi menurut skala prioritas
terhadap alat-alat yang mendesak pengadaannya. Kebutuhan lain dapat dipenuhi pada kesempatan
lain; 3) mengadakan inventarisasi terhadap alat/media yang telah ada; 4) mengadakan seleksi terhadap
alat/media yang dapat dimanfaatkan baik dengan reparasi atau modifikasi maupun tidak; 5) mencari
dana (bila belum ada); 6) menunjuk seseorang untuk melaksanakan pengadaan alat.
Pengaturan dan penggunaan sarana merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan
karena dilaksanakan silih berganti. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah inventaris dan pencatatan
ke dalam buku daftar inventaris. Perlu juga menyediakan tempat penyimpanan untuk barang-barang,
yang mana kadangkala hal ini sering dilupakan sehingga ketika barang datang kebingungan untuk
menyimpannya.
Barang-barang yang ada di day care harus dijaga benar keberadaannya agar tidak lekas rusak.
Beberapa jenis barang mungkin begitu rusak satu kali sudah tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi ada
beberapa jenis barang yang masih bisa direparasi. Mungkin juga barang tersebut dapat digunakan
akan tetapi satu atau dua kali kemudian rusak dan harus diperbaiki lagi. Dalam penghitungan biaya,
kerugian yang ditimbulkan karena kerusakan harus diperhitungkan sebagaimana harga. Bila kerugian
memperbaiki barang jauh lebih besar maka barang tersebut sebaiknya disingkirkan.
19
Manajemen Sarana Prasarana di Day Care Baby’s Home Salatiga (Desi Kusumawati)
Urusan penyingkiran barang dapat diartikan sama dengan penghapusan barang. Fungsinya
adalah mencegah kerugian yang jauh lebih besar, meringankan beban kerja inventarisasi karena
banyaknya barang-barang yang tinggal menyusut, membebaskan barang-barang dari tanggung jawab
satuan organisasi atau lembaga yang mengurusnya. Penghapusan atau penyingkiran barang dapat
melalui tahap-tahap seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2012) yaitu: (1) pemilihan barang yang
dilakukan tiap tahun bersamaan dengan waktu memperkirakan kebutuhan; (2) memperhitungkan
factor-faktor penyingkiran dan penghapusan ditinjau dari segi nilai uang; (3) membuat perencanaan;
(4) membuat surat pemberitahuan kepada yang akan diadakan penyingkiran dengan menyebutkan
barang-barang yang akan disingkirkan; (5) melaksanakan penyingkiran dengan cara: mengadakan
lelang, menghibahkan kepada Badan orang lain, membakar, penyingkiran disaksikan oleh atasan,
membuat berita acara tentang pelaksanaan penyingkiran.
Prinsip pengadaan sarana prasarana menurut Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 31 Ayat 3
yaitu: a) aman, bersih, sehat, nyaman, dan indah; 2) sesuai dengan tingkat perkembangan anak; 3)
memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar, dan benda lainnya yang layak
pakai serta tidak membahayakan kesehatan anak. Persyaratan sarana prasarana day care menurut
Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3 meliputi: a) Memiliki jumlah ruang dan luas lahan
disesuaikan dengan jumlah anak, luas minimal 3 m2 per anak; b) Memiliki ruangan untuk melakukan
aktivitas anak di dalam dan luar; c) Memiliki fasilitas cuci tangan dengan air bersih; d) Memiliki
kamar mandi/ jamban dengan air bersih yang cukup, aman dan sehat bagi anak serta mudah bagi
melakukan pengawasan; e) Memiliki fasilitas permainan di dalam dan di luar ruangan yang aman dan
sehat; f) Memiliki tempat sampah yang tertutup dan tidak tercemar; g) Memiliki akses dengan fasilitas
layanan kesehatan seperti rumah sakit ataupun puskesmas; dan h) PAUD kelompok usia lahir 2 tahun,
memiliki ruang pemberian ASI yang nyaman dan sehat.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah Day Care
Baby’s Home Salatiga. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumen.
Teknik analisis data menggunakan analisis model interaktif Model Miles dan Huberman (dalam
Sugiyono, 2012). Pengujian kredibilitas menggunakan triangulasi teknik pengumpulan data
(Sugiyono, 2012). Aktivitas dalam analisis data yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Adapun rincian bentuk analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Data-data yang diperoleh dari lapangan dicatat dalam bentuk deskriptif naratif, yaitu uraian
data yang diperoleh di day care Baby’s Home apa adanya tanpa ada komentar peneliti tentang
rangkaian manajemen sarana dan prasarana dalam bentuk catatan-catatan kecil dan transkrip
wawancara.
2. Penyajian Data
Pada tahap ini disajikan data hasil temuan di lapangan dalam bentuk naratif, yaitu uraian
tertulis tentang proses dan aktivitas manajemen sarana dan prasarana di day care Baby’s Home
3. Penarikan simpulan / verifikasi
Penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan upaya mencari makna dari komponen-
komponen data yang disajikan dengan mencermati pola-pola, keteraturan, penjelasan konfigurasi dan
hubungan sebab akibat. Dalam melakukan penarikan kesimpulan dan verifikasi tentang proses dan
aktifitas manajemen sarana dan prasarana di day care Baby’s Home, selalu dilakukan peninjauan
terhadap penyajian data dan catatan di lapangan melalui triangulasi teknik

HASIL DAN PEMBAHASAN


20
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 17 – 25

Penelitian ini dilaksanakan di day care Baby’s Home Salatiga. Jumlah anak asuhnya ada tujuh
anak. Berdasarkan dokumen dan observasi diperoleh data seperti yang terdapat dalam tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Ruangan


No Jenis Ruang Tidak Ada Kondisi
Ada Baik Rusak Ringan Rusak Berat
1. Ruang Tidur  
2. Ruang Makan  
3. Ruang Tamu  
4. Ruang  
Administrasi
5. Kamar Mandi  
6. Ruang Aktivitas  
Indoor
7. Ruang Aktivitas  
Outdoor
8. Ruang Laktasi  
9. Ruang Dapur  

Seluruh ruangan seperti yang terdapat dalam tabel 1 tersedia di day care Baby’s Home kecuali
ruang laktasi dan berada dalam kondisi baik. Data wawancara dengan pengasuh diperoleh informasi
bahwa “ketidaksediaannya ruang laktasi dikarenakan usia minimal anak asuh yang bisa dititipkan di
day care Baby’s Home ialah dua tahun. Pengasuh mengatakan biasanya usia dua tahun itu anak sudah
tidak lagi minum ASI sehingga ruang laktasi tidak disediakan”. Pernyataan pengasuh sinkron dengan
dokumen berupa data usia anak asuh yang ada di day care Baby’s Home.
Perencanaan dan analisis kebutuhan sarana dan prasarana di day care Baby’s Home dilakukan
kadang-kadang (tidak ditentukan waktunya). Informasi tersebut diperoleh dari wawancara dengan
pengasuh bahwa “kadang-kadnag pengasuh bersama pengelola mengobservasi sarana dan prasarana
apa yang perlu dibeli”. Pengelolaan sarana dan prasarana dilakukan langsung oleh pemilik day care
Baby’s Home Salatiga. Pelaksanaan analisis kebutuhan melibatkan pengasuh. Hasil wawancara
dengan pengelola didapatkan informasi bahwa pelibatan pengasuh itu sangat penting buat saya,
karena pengasuh yang bisa melihat perkembangan anak. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil
wawancara dengan pengasuh “sarana yang memadai membantu perkembangan anak, sehingga
pengasuh membutuhkan sarana untuk menstimulasi perkembangan anak”.
Hasil dari analisis kebutuhan yang dilakukan oleh pemilik day care Baby’s Home dan
pengasuh sangatlah beragam dan jumlahnya cukup banyak. Namun tidak semua kebutuhan bisa
dipenuhi karena melihat anggaran yang dimiliki day care Baby’s Home tidak hanya digunakan untuk
pengadaan sarana saja melainkan untuk keseluruhan kegiatan di day care Baby’s Home. Keterbatasan
anggaran dan besarnya jumlah kebutuhan terkadang tidak selalu sebanding sehingga perlu adanya
penentuan skala prioritas dalam memilih kebutuhan mana saja yang akan diadakan oleh day care
Baby’s Home. Skala prioritas ini ditentukan oleh pengelola atau pemilik. Hasil wawancara dengan
pengasuh memberikan gambaran bahwa kebutuhan utama untuk tahun ini adalah bangunan baru
untuk day care Baby’s Home, mengingat bangunan yang saat ini ditempati akan digunakan oleh
pemilik sebagai tempat pembuatan es lilin dan warung makan.
Proses pengadaan sarana dan prasarana dilakukan langsung oleh pengelola day care Baby’s
Home. Proses pengadaan sarana sebagian besar dilakukan dengan cara membeli. Pembelian tersebut
21
Manajemen Sarana Prasarana di Day Care Baby’s Home Salatiga (Desi Kusumawati)
diambil dari dana yang dimiliki oleh day care Baby’s Home yang bersumber dari biaya setiap anak
asuh yang dititipkan (orang tua). Hal tersebut senada dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh
pengelola bahwa, “Dana untuk pengadaan sarana diperoleh dari orang tua anak asuh”.
Kesesuaian persyaratan sarana dan prasarana yang ada di day care Baby’s Home Salatiga
menurut Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3 dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Persyaratan Sarana dan Prasarana


No. Persyaratan Sarana dan Prasarana Sesuai Tidak Sesuai
1. Memiliki jumlah ruang dan luas lahan 
disesuaikan dengan jumlah anak, luas
minimal 3 m2 per anak
2. Memiliki ruangan untuk melakukan 
aktivitas anak di dalam dan luar
3. Memiliki fasilitas cuci tangan dengan air 
bersih
4. Memiliki kamar mandi dengan air bersih 
yang cukup, aman dan sehat bagi anak
serta mudah melakukan pengawasannya
5. Memiliki jamban dengan air bersih yang 
cukup, aman dan sehat bagi anak serta
mudah melakukan pengawasannya
6. Memiliki fasilitas ruang untuk tidur yang 
aman dan sehat
7. Memiliki fasilitas ruang untuk makan yang 
aman dan sehat
8. Memiliki tempat sampah yang tertutup dan 
tidak tercemar
9. Memiliki akses dengan fasilitas layanan 
kesehatan seperti rumah sakit ataupun
puskesmas
10. Memiliki ruang pemberian ASI yang 
nyaman dan sehat

Tabel 2 memberikan gambaran bahwa 6 dari 10 standar persyaratan sarana dan prasarana
yang ada di day care Baby’s Home sudah sesuai dengan Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32
Ayat 3. Data tersebut sinkron dengan pernyataan dari pengasuh day care Baby’s Home yang
mengatakan “Jumlah anak yang dititipkan di day care Baby’s Home sebanyak tujuh anak, sehingga
jika dihitung maka luas lahan yang dibutuhkan seharusnya adalah 7 anak x 3m2 = 21 m2 sedangkan
luas lahan day care Baby’s Home kira-kira 150 m2”.
Standar persyaratan sarana dan prasarana yang tidak sesuai dengan Permendikbud 137 Tahun
2014 Pasal 32 Ayat 3 adalah ruang untuk makan yang aman dan sehat, tempat sampah yang tertutup
dan tidak tercemar, dan ruang pemberian ASI yang nyaman dan sehat. Kondisi itu senada dengan
hasil wawancara dengan pengasuh yang mengatakan “Ada ruang makan tetapi meja dan kursinya
terlalu tinggi hanya cocok untuk orang dewasa, sehingga ruang makan yang berdampingan dengan
dapur tidak digunakan. Kami menggunakan ruang bermain sebagai ruang makan.” Pengasuh
mengatakan dalam wawancaranya “Tempat sampah yang ada hanya menggunakan kantong plastik
hitam. Jenis sampah pun tidak dibedakan antara sampah organik dan an organic”.

22
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 17 – 25
Fasilitas ruang untuk tidur yang aman dan sehat belum sesuai dengan Permendikbud 137
Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3, karena hanya memiliki satu ruang tidur yang digunakan untuk semua
anak. Keadaan itu senada dengan hasil wawancara dengan pengasuh yang mengatakan “Karakteristik
usia yang ada di day care Baby’s Home bervariasi mulai dari usia 2 tahun hingga usia 6 tahun,
sehingga bila ruang tidurnya tidak dipisah maka keamanan anak saat tidur tidak terjamin”. Hasil
wawancara tersebut diperkuat dengan hasil observasi yang menunjukkan ada anak yang usia 2 tahun
sedang tidur lalu anak yang usia 4 tahun melakukan aktivitas melompat-lompat di kasur.
Inventarisasi dilakukan untuk mencatat seluruh sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
sekolah sebagai data yang dapat digunakan untuk melihat sarana dan prasarana apa saja yang telah
dimiliki oleh day care Baby’s Home. Pelaksanaan inventarisasi dilakukan setelah proses pengadaan
usai dan sebelum disalurkan ke sekolah untuk digunakan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
pengasuh yang menyatakan bahwa, “Setelah barang yang dibeli itu datang nanti pengasuh akan
mencatatnya di dalam buku inventaris yang berisikan nama barang, sumber pengadaan, jumlah
barang, bahan barang, dan tahun pembeliannya”. Pernyataan tersebut diperkuat dengan dokumen
sekolah yang menyebutkan bahwa, “penyaluran barang setelah diinventaris kedalam daftar inventaris
barang”.
Penyebab belum maksimalnya pelaksanaan inventaris adalah kurangnya sumber daya
manusia. Pernyataan itu diperkuat oleh pemilik day care Baby’s Home dalam wawancaranya yang
mengatakan bahwa “ Penambahan tenaga untuk mengurusi inventaris membutuhkan tambahan biaya
lagi”.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemeliharaan sarana dan prasarana di day care Baby’s
Home dilakukan oleh seluruh warga day care Baby’s Home. Pernyataan tersebut diperkuat dengan
hasil wawancara dengan pengasuh yang mengatakan “anak-anak asuh diberi tanggung jawab untuk
merawat dan memelihara barang-barang yang ada di sini tetapi tidak ada orang yang secara khusus
mengurus ini”. Berbeda dengan pernyataan pengasuh dalam wawancaranya, hasil observasi
menunjukkan masih banyak barang-barang di day care Baby’s Home yang kondisinya kurang
terawatt. Penyebab belum maksimalnya pemeliharaan sarana dan prasarana adalah kurangnya sumber
daya manusia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan pengelola dalam wawancaranya yang
mengatakan bahwa penambahan tenaga untuk mengurus pemeliharaan membutuhkan biaya tambahan.
Penghapusan atau penyingkiran merupakan proses akhir dari kegiatan manajemen sarana dan
prasarana di day care Baby’s Home. Day care Baby’s Home telah melakukan penghapusan atau
penyingkiran barang yang tidak digunakan dengan cara menghibahkannya pada orang yang
membutuhkan. Pernyataan ini seirama dengan pernyataan pengelola dalam wawancaranya yang
mengatakan “Alat Peraga Edukatif (APE) yang sudah tidak terpakai di tempat kami dihibahkan
kepada orang lain”. Penghapusan ini dilakukan karena barang tersebut sudah tidak terpakai lagi.
Husain (2014) dalam penelitiannya tentang ”Peran Pengelola TK Dalam Memfasilitasi Proses
pembelajaran di TK Melati Indah Desa Loheluma KecamatanTilongkabila Kabupaten Bone Bolango”
menunjukkan hasil bahwa masih ada sebagian fasilitas yang kurang memadai yang tidak dapat dipakai
oleh anak didik sepenuhnya. Hasil penelitian Husain (2014) senada dengan hasil penelitian ini yaitu
sama-sama masih ada sebagian fasilitas yang kurang memadai. Sedangkan Kartikasari (2014) dalam
penelitiannya yang berjudul “Manajemen Sarana dan Prasarana Pembelajaran Di SD Tumbuh 1
Yogyakarta” menunjukkan hasil bahwa manajemen sarana dan prasarana pembelajaran di SD
Tumbuh 1 Yogyakarta sudah cukup baik. Penelitian Kartikasari senada dengan hasil penelitian ini
dimana dari 10 standar persyaratan hanya 6 yang memenuhi standar persyaratan sarana dan prasarana
menurut Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3.
Darmastuti dan Karwanto (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Manajemen Sarana dan
Prasarana dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran Pada Jurusan Teknik Komputer dan
Informatika di SMK Negeri 2 Surabaya menunjukkan hasil bahwa (1) pengadaan dan perencanaan
23
Manajemen Sarana Prasarana di Day Care Baby’s Home Salatiga (Desi Kusumawati)
sarana dan prasarana dilakukan dengan tujuan agar mengetahui semua kebutuhan sarana dan
prasarana sekoah, direncanakan sejak awal tahun dengan melihat hasil evaluasi pada tahun
sebelumnya (2) pendistribusian sarana dan prasarana dilakukan dengan cara menyeleksi sesuai
kebutuhan, selanjutnya barang yang dibeli kemudian disalurkan kepada tiap program jurusan dan
kelas. (3) penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana disesuaikan dengan kebutuhan guru dan
siswa, ada tata tertib yang harus dipatuhi, diserahkan pada masing-masing program jurusan dan kelas.
(4) ada staf sendiri yang diberi tugas untuk pencatatan barang yang telah diadakan. (5) penghapusan
sarana dan prasarana terlebih dahulu membuat berita acara kepada kepala sekolah, dilakukan karena
sarana dan prasarana tersebut sudah rusak. Hasil penelitian Darmastuti dan Karwanto (2014) berbeda
dengan hasil penelitian ini. Perbedaannya yaitu perencanaan di day care Baby’s Home tidak
direncanakan sejak awal tahun, tidak ada staf sendiri yang diberi tugas untuk pencatatan barang yang
telah diadakan, penghapuasan sarana prasarana tidak membuat berita acara terlebih dahulu.

SIMPULAN

Sarana dan prasarana yang ada di day care Baby’s Home 6 dari 10 standar persyaratan sarana
prasarana sudah sesuai dengan Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3 yaitu luas lahan, ruang
kegiatan di dalam dan luar, fasilitas cuci tangan, kamar mandi dan jamban, akses dengan fasilitas
kesehatan. Sedangkan yang belum sesuai dengan standar persyaratan sarana prasarana menurut
Permendikbud 137 Tahun 2014 Pasal 32 Ayat 3 adalah ruang tidur, ruang makan, tempat sampah
tertutup. Penyebab perencanaan, pemeliharaan dan inventaris sarana dan prasarana belum dilakukan
secara maksimal adalah perencanaan tidak dilakukan secara kontinyu, kurangnya tenaga untuk
membantu melakukan pemeliharaan, tidak memiliki tenaga administrasi secara khusus untuk
menginventaris barang. Hal ini dikarenakan keterbatasan dana.
Saran yang dapat diberikan kepada day care Baby’s Home adalah agar melakukan
perencanaan pengadaan sarana prasarana ruang tidur, ruang makan dan tempat sampah. Selain itu,
perlu diusahakan pemeliharaan terhadap sarana prasarana yang telah ada agar terawat serta inventaris
sarana prasarana pun perlu dilakukan agar memudahkan dalam melakukan perencanaan pembelian
barang.

DAFTAR PUSTAKA

Anon. 2016. Tertinggi di Asia, APK PAUD Indonesia Tembus 70,1%. Retrieved from
http://news.prokal.co/read/news/1109-tertinggi-di-asia-apk-paud-indonesia-tembus-701-
persen.html.
Arikunto, Suharsimi. 1987. Pengelolaan materiil. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto, Suharsimi.,Yuliana, Lia. 2012. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
Bafadal, Ibrahim. 2008. Manajemen Perlengkapan Sekolah: Teori dan Aplikasinya. Cetakan Ketiga.
Jakarta: PT Bumi Aksara
Darmastuti dan Karwanto. 2014. Manajemen Sarana dan Prasarana dalam Upaya Peningkatan
Kualitas Pembelajaran Pada Jurusan Teknik Komputer dan Informatika di SMK Negeri 2
Surabaya. Jurnal Inspirasi Manajemen Pendidikan, 3 (3): 20-35.
Husain, Lian. 2014. Peran Pengelola TK Dalam Memfasilitasi Proses pembelajaran di TK Melati
Indah Desa Loheluma Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango. Skripsi. Universitas
Negeri Gorontalo.

24
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 17 – 25
Kartikasari, Oktina Dwi. 2015. Manajemen Sarana dan Prasarana Pembelajaran Di SD Tumbuh 1
Yogyakarta. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta
Direktorat Pembinaan PAUD Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria (NSPK) Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Pembinaan PAUD Kementerian Pendidikan Nasional. 2011. Petunjuk Teknis
Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional
Prihatin, Eka. 2011. Teori administrasi pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Slameto. 2009. Manajemen Pendidikan. Salatiga: Widya Sari Press
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta
Suryosubroto, B. 2004. Pengantar administrasi di sekolah. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Susilo, Muhammad Joko. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen pelaksanaan dan
Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

25
MODEL PELATIHAN GURU ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
DI SMP MUHAMMADIYAH KARTASURA

Tjipto Subadi
tjipto.subadi@ums.ac.id
Dahroni
dahroni@ums.ac.id
Dosen Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRACT

Social Science Teacher Training Model


In SMP Muhammadiyah Kartasura

The study aimed to review and describe: 1) Coaching model of social sciences
teacher in SMP Muhammadiyah Kartasura. 2) Test the validation of coaching model on
social sciences teacher. This study used a qualitative approach of phenomenology. This
study was conducted in SMP Muhammadiyah Kartasura, Sukoharjo district. The research
design was classroom action research. The subject in this research were students,
teachers, the principal. Data collection technique used observation, testing and interview.
The interview process using theory of first and second order understanding. Data were
analyzed using an interactive model included data reduction, data display, and
conclusion. This study concluded that 1) Coaching Model of social sciences teacher in
SMP Muhammadiyah Kartasura used modification lesson study approach. 2) Validation
of the coaching model using two kinds of validation namely theory of validation and
practice of validation.
Keywords: Modeling, Coaching, Validation, Theory, Practice

PENDAHULUAN
Dalam Renstra Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia Tahun 2010-2014
dinyatakan bahwa pendidikan sebagai salah satu aspek dalam penentuan human development index
(HDI) belum mampu mengangkat peringkat HDI Indonesia dibandingkan dengan indeks
pembangunan manusia negara-negara di dunia. Angka HDI Indonesia tahun 2010 berada pada
kelompok medium dari sepuluh Negara, Indonesia berada pada posisi terendah. Hal ini disebabkan
oleh penanganan masalah pendidikan yang berkaitan dengan indikator HDI seperti buta aksara, lama
bersekolah, angka kematian ibu dan anak, serta pendapatan per kapita, yang dilaksanakan lebih
agresif di negara-negara tersebut dibandingkan dengan di Indonesia.
Selain itu, The World Bank (2005) menemukan perbandingan akses dan kualitas tentang
prestasi pendidikan di beberapa negara, seperti Jepang, Korea, Hongkong, Australia, Thailand dan
Indonesia, pendidikan di Indonesia hanya mencapai tingkat-tingkat berpikir (ranah kognitif) rendah,
yaitu; mengingat, memahami, dan menerapkan, sedangkan untuk tingkat-tingkat berpikir yang tinggi
seperti; menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi masih sangat rendah. (Pedoman Penyaluran
Hibah LS Batch VI Dikti, 2013: 1)
Hal ini menunjukkan adanya kekurangan (rendahnya mutu) pembelajaran di sekolah-sekolah
Indonesia, antara lain; 1) Proses pembelajaran yang dilakukan kebanyakan guru (di Indonesia) hanya

26
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 26 – 34

terbatas pada memberikan pengetahuan hafalan, dan kurang menekankan pada aspek kognitif yang
tinggi, seperti ketajaman daya analisis dan evaluasi, berkembangnya kreativitas, kemandirian belajar,
dan berkembangnya aspek-aspek afektif. 2) Siswa pasif dan pengetahuan yang diperoleh seringkali
kurang berguna dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. 3) Materi kurang berorientasi pada
bidang ilmunya, penelitian lapangan, dan kebutuhan jangka panjang. 4) Guru menggunakan pola
pembelajaran yang cenderung monoton dari tahun ke tahun. 5) Perubahan kurikulum tidak
memberikan dampak positif pada perubahan pendekatan, materi ajar, metode, strategi, dan media
pembelajaran. 6) Kompetensi pembelajaran kebanyakan masih terbatas pada ranah kognitif tingkat
rendah.
Beberapa penyebab rendahnya mutu pembelajaran tersebut antara lain; a) Pada umumnya guru
bekerja sendirian dalam mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran, apabila ada guru yang
kreatif dan inovatif maka kreativitasnya tidak berimbas terhadap guru lain, karena tidak ada sharing
di antara guru, maka yang terjadi ketika guru yang kreatif dan inovatif pensiun maka kreativitas dan
ivovatif itu hilang pula. b) Pada umumnya guru memiliki ego yang tinggi, merasa serba tahu, tidak
mudah menerima masukan untuk perbaikan pembelajaran, padahal tidak ada pembelajaran yang
sempurna, selalu ada celah untuk perbaikan. c) Model pembinaan guru yang selama ini dilakukan
sebatas pada menyampaian materi dan tidak dilanjutkan dengan implementasi (pendampingan) di
lapangan (di sekolah), dengan menyampaikan materi dan tidak dilanjutkan implementasi di lapangan
”sudah dianggap cukup”.
Karena itu pembangunan pendidikan di Indonesia perlu terus ditingkatkan pada semua jalur,
jenis dan jenjang pendidikan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah,
maupun masyarakat secara terpadu. Reformasi pendidikan merupakan proses panjang untuk
mendorong terwujudnya daya saing bangsa, dan mindset guru seperti tersebut di atas perlu
diperbaiki, agar guru mau berkolaborasi, sharing dengan guru lain, terbuka untuk perbaikan
pembelajaran, “lesson study sebagai model pembinaan guru professional” merupakan alternatif
untuk memperbaiki mindset guru tersebut.
Permasalahan penelitian ini adalah; a) Bagaimana model pembinaan Guru Mata Pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura? 2) Bagaimana uji validasi model
pembinaan Guru Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tersebut?
Tujuan penelitian ini mengkaji dan mendeskripsikan: a) Model pembinaan guru Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura. b) Uji validasi model
pembinaan Guru Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tersebut.

KAJIAN PUSTAKA
Lesson study originated from Japan (of words: jugyokenkyu). Jugyou (intruction, lesson),
kenkyuu (research, study), is a systematic process used by Japanese teachers to test the effectiveness
of teaching in order to improve learning outcomes, lesson study was developed in the 1870s (Inagaki
and Saito, 2012: 3). It is a model case analysis of learning activities that aim to help develop the
professionalism of teachers and giving them the opportunity to learn from each other on the basis of
real activity in the classroom. In Japan, lesson study as a model of teacher training is very effective,
and can increase the professionalism of teachers and quality of education. For Japanese teachers, is
used as a development educator in continuity where teachers analyze lesson plans, activities,
observations, and reflections collaboratively. This model motivates students to take an active and
collaborative learning while teachers try to make students familiar with the 'learning' (Subadi, 2013:
104).
Dalam banyak literatur pembelajaran berbasis lesson study merupakan pembelajaran yang
bersiklus, siklus dalam pembelajaran berbasis lesson study ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahap,
27
Model Pelatihan Guru Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura (Tjipto Subadi,
Dahroni)

yaitu; “Plan” (merencanakan), “Do” (melaksanakan dan observasi), “See” (merefleksi dan
evaluasi), ketiga tahap tersebut dilaksanakan secara kolaborasi dan berkelanjutan (Saito, 2006).
Menurut Lewis (2002) ide yang terkandung di dalam lesson study sebenarnya singkat dan
sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu caranya adalah guru
harus mau berkolaborasi dengan guru lain untuk membuat rencana pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran dan observasi, melakukan refleksi dan evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan.
Dengan kata lain lesson study merupakan model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip kolegialitas dan
saling membantu dalam pembelajaran untuk membangun komunitas belajar, lesson study adalah
suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru untuk menguji efektifitas pembelajaran untuk
meningkatkan hasil pembelajaran, proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara
kolaboratif dalam mengembangkan rencana pembelajaran (lengkap dengan lampirannya),
pelaksanaan pembelajaran dan observasi, melakukan refleksi, evaluasi dan revisi.
Apabila di mencermati konsep dasar lesson study, maka terdapat 7 (tujuh) kata kunci, yaitu;
pembinaan profesi, pengkajian pembelajaran, kolaborasi, berkelanjutan, kolegialitas, mutual
learning, dan komunitas belajar, tujuannya adalah untuk pembinaan profesi pendidik secara
berkelanjutan agar terjadi peningkatan kualitas profesi pendidik secara terus menerus, sebab jika
tidak dilakukan pembinaan terhadap guru, maka akan terjadi penurunan kualitas profesionalisme
guru.
Masalahnya bagaimana sistem pembinaannya? Melalui “pengkajian pembelajaran” sistem
pembinaan guru dilakukan dengan sistem kolaborasi, kontinu, dan berkala, misalnya; setiap minggu
sekali atau setiap dua minggu sekali, sebab membangun komunitas belajar adalah membangun
“budaya belajar” memfasilitasi anggotanya untuk saling belajar, saling koreksi, saling menahan ego,
saling menghargai, dan saling membantu. Membangun “budaya belajar” tidak sebentar melainkan
memerlukan waktu lama. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk membangun budaya belajar?
tidak ada batas waktu, semakin lama semakin baik, sabab tidak ada pembelajaran yang sempurna,
selalu ada celah untuk memperbaikinya, oleh karena itu pembelajaran harus dikaji secara terus
menerus agar lebih baik, guru harus dilatih serus menerus agar belih profesional.
Kajian pembelajaran tersebut dimaksudkan untuk mencari solusi terhadap permasalahan
pembelajaran, agar terjadi peningkatan proses dan peningkatan pelaksanaan pembelajaran, yang pada
gilirannya akan meningkatkan mutu pembelajaran. Perlu diingat bersama bahwa objek kajian
pembelajaran yang terkait dengan upaya untuk meningkatkan mutu pembelajaran meliputi: materi
ajar, LKS (Lembar Kerja Siswa), pendekatan/model/strategi/ metode pembelajaran, media
pembelajaran, instrumen penilaian dan lain sebagainya.
Mengapa pengkajian pembelajaran dilakukan secara kolaborasi? Karena dengan kolaborasi
akan lebih banyak masukan/perbaikan dari teman sejawat, yang pada gilirannya akan meningkatkan
mutu pembelajaran itu sendiri, sebab menurut diri sendiri rasanya persiapan pembelajaran sudah
bagus, tetapi ketika mendapat masukan dari orang lain ternyata masih ada hal-hal yang kurang
(salah), oleh karena itu masukan dari orang lain (guru lain) bisa meningkatkan mutu persiapan, mutu
pelaksanaan, dan hasil pembelajaran.
Prinsip kolegialitas dan mutual learning yang diterapkan dalam kolaborasi, ketika guru-guru
melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis lesson study, guru tidak boleh merasa superior
(merasa paling pintar) atau inferior (merasa rendah diri), tetapi semua guru dalam kegiatan lesson
study harus mempunyai niat untuk saling belajar. Guru yang sudah paham (lebih pandai) atau
memiliki lebih banyak ilmu, ia harus mau berbagi dengan guru lain yang belum paham, sebaliknya
guru yang belum paham harus mau bertanya kepada guru yang sudah paham. Aktivitas-aktivitas

28
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 26 – 34

pengkajian pembelajaran seperti ini akan meningkatkan “budaya belajar”, jika budaya belajar telah
tercipta di setiap kelas baik pada jenjang SD, SMP, SMP, SMK dan PT maka pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan paradigma defines
sosial yang bergerak pada kajian mikro. Paradigma ini akan memberikan individu sebagai subjek
penelitian untuk menafsirkan/menjawab pertanyaan dalam penelitian ini. Desain penelitiannya
menggunakan model penelitian lesson study berbasis PTK (Penelitian Tinakan Kelas). Lesson study
yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini berbasis modifikasi model Subadi (2009; 2013)
seperti yang dijelaskan pada Gambar 2 di bawah ini. Penelitian ini berlokasi di SMP Muhammadiyah
Kartasura. Informannya siswa, guru, dan kepala sekolah.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, tes dan wawancara.
Metode observasi digunakan untuk mengobservasi kegiatan pembelajaran di kelas, sedangkan metode
tes digunakan untuk mendapatkan nilai hasil belajar siswa. Wawancara digunakan untuk
mewawancarai guru, dan kepala sekolah dalam rangka menemukan jawaban berkaitan dengan; 1)
Model pembinaan Guru Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura.
2) Uji validasi model pembinaan Guru Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tersebut.
Proses wawancara menggunakan teori first order understanding dan second order
understanding, di mana peneliti memberikan kesempatan individu sebagai subjek penelitian untuk
menafsirkan/menginterpretasikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Kemudian
peneliti meng-interpretasikan interpretasi pertama untuk menemukan makna, tetapi interpretasi
peneliti tidak boleh bertentangan dengan interpretasi pertama (Subadi, 2013).
Teknik analisis data yang digunakan menggunakan model interaktif, yang meliputi reduksi
data, display data, dan kesimpulan / verifikasi.

Gambar 1. Modification Class Research Action- Based Lesson, Tjipto Subadi’s Model, 2009.
(International Journals of Education, Vol. 5, No. 2, 2013)

29
Model Pelatihan Guru Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura (Tjipto Subadi,
Dahroni)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian ini menghasilkan; Pertama, model pembinaan guru mata pelajaran ilmu pengetahuan
sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura menggunkan model pembinaan pembelajaran berbasis
lesson study, lesson study yang dipilih adalah lesson study modifikasi empat tahap tiga siklus. Empat
tahap tersebut meliputi; 1) Kajian Akademik. 2) Plan (Perencanaan). 3) Do (Tindakan dan
Observasi). 4) See (Refleksi) diskusi, evaluasi dan revisi; sedangkan tiga siklus adalah siklus satu,
siklus dua, dan siklus tiga.
Selain itu penelitian ini juga menghasilkan bahwa dalam pembelajaran, guru selalu berusaha
dan berorientasi pada semangat yang diamanatkan oleh kurikulum 2013, yaitu; a) pembelajaran
berpusat pada siswa, b) menciptakan multi interaktif (interaksi siswa dengan guru, siswa dengan
materi, siswa dengan siswa), c) siswa menciptakan lingkungan jejaring, d) siswa aktif menyelidiki, e)
pembelajaran yang berorientasi pada konteks dunia nyata, f) pembelajaran berbasis tim, g) tercipta
perilaku khas/ memberdayakan kaidah keterikatan, h) stimulasi ke segala penjuru (semua panca
indera), i) alat multimedia (berbagai peralatan teknologi pendidikan), j) pembelajaran dengan model
kooperatif, k) terpenuhinya kebutuhan pelanggan (siswa mendapat dokumen sesuai dengan
ketertarikan sesuai potensinya), l) pembelajaran dengan prinsip jamak (keberagaman inisiatif individu
siswa), m) pengetahuan disiplin jamak (pendekatan multidisiplin), n) pembelajaran yang otonomi dan
kepercayaan (siswa diberi tanggungjawab), o) pembelajaran yang kritis (membutuhkan pemikiran
kreatif bagi siswa).
Kedua, terdapat dua validasi pembelajaran berbasis lesson study sebagai model pembinaan
guru mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial dalam sekala lebih luas, yaitu: 1) Validasi teori. Validasi
ini berkaitan dengan kosep dasar keilmuan lesson study, dan 2) Validasi praktik. Validasi ini
berkaitan dengan praktik pembelajaran berbasis lesson study dimana guru mempraktikkan teori
pembalajaran dan teori lesson study. Validasi praktik dapat dilihat pada Gambar 2/Foto di bawah ini).

Gaambar 2. Validasi praktik


Dalam validasi praktik ini peneliti melakukan pendampingan implementasi pembelajaran
berbasis lesson study sebagai model pembinaan guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP
Muhammadiyah Kartasura, menggunakan sistem pendampingan dengan 4 pendekatan, yaitu; 1)

30
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 26 – 34

Pendekatan empat tahap dan tiga siklus yang dilaksanakan secara kolaborasi dan tutor sebaya. 2)
Pendekatan saintifik dengan tiga langkah pembelajaran (Pendahuluan, Inti, Penutup). 3) Pendekatan
PAKKEM (Pembelajaran, Aktif, Kooperatif, Kolaboratif, Menyenangkan), dan 4) Pendekatan
Kompetensi (Kemampuan guru).
Penjelasan dari keempat pendekatan itu sebagai berikut: Pendekatan Empat tahap tersebut
meliputi 1) Tahap Kajian Akademik: KI, KD, Indikato; Tujuan; Materi; Pendekatan, model, dan
metode; Media, alat dan sumber; Kegiatan pembelajaran; Penilaian. 2) Tahap Plan (Perencanaan)
pruduknya: RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dan Lampiran- lampiran (Lampiran
pengembangan Materi, dan LKS/Lembar Kerja Siswa; Lampiran Instrumen Penilaian Sikap;
Lampiran Instrumen Penilaian Pengetahuan; dan Lampiran Instrumen Penilaian Ketrampilan). 3)
Tahap Do (Tindakan dan Observasi) dimana guru sebagai model melakukan pembelajaran, sedang
guru yang lain sebagai observer, peneliti sebagai supervisor. 4) Tahap See (Refleksi) diskusi, evaluasi
dan revisi.
Tiga siklus meliputi siklus satu, siklus dua, dan siklus tiga. Guru model bersama observer dan
supervisor melaksanakan pelatihan pembelajaran pada kelas tertentu dengan mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial berlangsung sampai minimal tiga kali pelatihan pembelajaran.
Sedangkan pendekatan saintifik dengan tiga langkah pembelajaran (Pendahuluan, Inti,
Penutup). Kegiatan pendahuluan, meliputi; orientasi, motivasi, apersepsi, dan menyampaikan tujuan.
Kegiatan inti dengan menggunakan saintifik (mengamati, menanya, menalar, mencoba dan
membentuk jaringan). Kegiatan penutup, meliputi; simpulan, refleksi, evaluasi/penugasan, dan tindak
lanjut.
Pendekatan PAKKEM (Pembelajaran, aktif, kooperatif, kolaboratif, efektif dan,
menyenangkan) dengan menggunakan model pembelajaran PjBL (Project Based Learning), PBL
(Problem Based Learning), DcL (Descovery Learning), dan lain sebagainya. Pendekatan ini untuk
menciptakan kelas menjadi surga bagi anak didiknya.
Pendekatan Kompetensi (Kemampuan), terdiri dari kompetensi pedagogik, sosial, profesional,
dan kepribadian.
Penelitian ini menemukan bahwa sistem pendampingan implementasi pembelajaran berbasis
lesson study sebagai model pembinaan guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP Muhammadiyah
Kartasura dengan menggunakan 4 pendekatan tersebut secara signifikan dapat meningkatkan kualitas
persiapan dan proses pembelajaran, indikatornya; a) Guru berkolaborasi dalam membuat RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) lengkap dengan; lampiran 1 pengembangan materi dan LKS
(Lembar Kerja Siswa), lampiran 2 Instrument sikap, lampiran 3 Instrument pengetahuan dan,
lampiran 4 instrument ketrampilan). b) Guru berkolaborasi menggunakan multi media. c) Guru
berkolaborasi menggunakan strategi pembelajaran yang tepat misalnya Prblem Based Learning. d)
Guru berkolaborasi menggunakan pendekatan ilmiah (scientific appoach) yang meliputi mengamati,
menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan membuat jejaring. e) Guru
berkolaborasi memberikan penilaian dengan pemperhatikan karakteristik belajar tuntas, autentik,
berkesinambungan, berdasarkan acuan criteria, dan menggunakan teknik penilaian bervariasi.
Sistem pendampingan implementasi pembelajaran berbasis lesson study sebagai model
pembinaan guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP Muhammadiyah Kartasuara dengan
menggunakan 4 pendekatan tersebut juga mampu meningkatkan efektifitas pembelajaran, sebelum
dan setelah pembelajaran terdapat perbedaan yang signifikan, untuk jenjang SMP sebesar 55%:80%
rasio.
Pembahasan terhadap model pembinaan guru mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial dengan
menggunakan pendekatan lesson study modifikasi. Model ini menggunakan “model empat tahap tiga
siklus”. Lesson study modifikasi ini berpengaruh dan lebih efektif sebagai model pembinanan guru

31
Model Pelatihan Guru Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura (Tjipto Subadi,
Dahroni)

profesional, seperti yang disarankan Stephen L. Thompson (2007) dalam penelitiannya yang
berjudul:”Inquiry in the Life Sciences: The Plant-in-a-Jar as a Catalyst for Learning” berkesimpulan
bahwa: (1) Adanya usaha guru untuk mengubah pola pembelajaran (modifikasi pola pembelajaran),
ini berarti guru dituntut lebih kreatif dan inovatif. (2) Guru mencari terobosan untuk menyampaikan
materi pelajaran pada KD tertentu agar pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. (3) Usaha guru
membuat model pembelajaran sebagai referensi siswa. Lebih lanjut Thompson menyarankan bahwa
pentingnya pengembangan profesional para pendidik yang lebih kreatif dan inovatif, yang dapat
mempengaruhi pembelajaran sehingga menjadi pembelajaran yang menyenangkan dan demokratis.
Pembahasan tentang validasi, penelitan ini menggunakan dua pendekatan yaitu; 1) Validasi
teori. 2) Validation praktik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stewart (2005), yang berjudul: A
Model for Teacher Collaboration, bahwa penelitian ini saling melengkapi dan ada kesesuaian. Hasil
penelitian Stewart menunjukkan bahwa cara yang terbaik untuk menyempurnakan perbaikan yang
sifatnya positif di setiap tingkatan kelas pada suatu sekolah adalah dengan mengadopsi suatu model
pembelajaran yang teruji (validasi).
Sistem pendampingan implementasi pembelajaran berbasis lesson study sebagai model
pembinaan guru IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) di SMP Muhammadiyah Kartasura, menggunakan
sistem pendampingan dengan 4 pendekatan, yaitu; 1) Pendekatan empat tahan dan tiga siklus yang
dilaksanakan secara kolaborasi dan tutor sebaya. 2) Pendekatan saintifik dengan tiga langkah
pembelajaran (Pendahuluan, Inti, Penutup). 3) Pendekatan PAKKEM (Pembelajaran, Aktif,
Kooperatif, Kolaboratif, dan Menyenangkan, dan 4) Pendekatan Kompetensi (Kemampuan guru). Hal
ini sejalan dengan penelitian Tjipto Subadi tahun ke 2 (2013) yang menghasilakan Rancangan Model
Pembinaan Guru, dijelaskan bahwa model pendampingan implementasi lesson study menggunakan 4
sistem pendampingan, yaitu: (1) Sistem pendampingan siklus kolaborasi berbasis leson study, (2)
Sistem pendampingan dengan pendekatan kegiatan pembelajaran saintifik, (3) Sistem pendampingan
dengan menggunakan strategi pembelajaran aktif, inofatif, kreatif, efektif dan, menyenangkan
(PAIKEM). (4) Sistem pendampingan yang mengutamakan pencapaian indikator pencapaian
kompetensi (kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Penelitian ini menghasilkan; Pertama, model pembinaan guru mata pelajaran ilmu
pengetahuan sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura menggunkan model pembinaan pembelajaran
berbasis lesson study, lesson study yang dipilih adalah lesson study modifikasi empat tahap tiga
siklus. Empat tahap tersebut meliputi; 1) Kajian Akademik. 2) Plan (Perencanaan). 3) Do (Tindakan
dan Observasi). 4) See (Refleksi) diskusi, evaluasi dan revisi; sedangkan tiga siklus adalah siklus satu,
siklus dua, dan siklus tiga.
Selain itu penelitian ini juga menghasilkan bahwa dalam pembelajaran, guru selalu berusaha
dan berorientasi pada semangat yang diamanatkan oleh kurikulum 2013, yaitu; a) pembelajaran
berpusat pada siswa, b) menciptakan multi interaktif (interaksi siswa dengan guru, siswa dengan
materi, siswa dengan siswa), c) siswa menciptakan lingkungan jejaring, d) siswa aktif menyelidiki, e)
pembelajaran yang berorientasi pada konteks dunia nyata, f) pembelajaran berbasis tim, g) tercipta
perilaku khas/ memberdayakan kaidah keterikatan, h) stimulasi ke segala penjuru (semua panca
indera), i) alat multimedia (berbagai peralatan teknologi pendidikan), j) pembelajaran dengan model
kooperatif, k) terpenuhinya kebutuhan pelanggan (siswa mendapat dokumen sesuai dengan

32
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 26 – 34

ketertarikan sesuai potensinya), l) pembelajaran dengan prinsip jamak (keberagaman inisiatif individu
siswa), m) pengetahuan disiplin jamak (pendekatan multidisiplin), n) pembelajaran yang otonomi dan
kepercayaan (siswa diberi tanggungjawab), o) pembelajaran yang kritis (membutuhkan pemikiran
kreatif bagi siswa).
Kedua, terdapat dua validasi pembelajaran berbasis lesson study sebagai model pembinaan
guru mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial dalam sekala lebih luas, yaitu: 1) Validasi teori. Validasi
ini berkaitan dengan kosep dasar keilmuan lesson study, dan 2) Validasi praktik. Validasi ini
berkaitan dengan praktik pembelajaran berbasis lesson study dimana guru mempraktikkan teori
pembalajaran dan teori lesson study.

Saran
Kepada Pemerintah Pusat diharapkan agar sistem pendampingan implementasi pembelajaran
berbasis lesson study ini dijadikan sebagai model pembinaan pendidik (guru) profesional. Kepada
Kepala Sekolah diharapka agar sistem pembinaan pendidik (guru) dengan pendekatan lesson study ini
dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Kepada Pemerintah Daerah diharapkan
memeberikan dukungan dana (anggaran) pembinaan pendidik (guru) professional secara kontinu.

Daftar Pustaka

Dikti. 2013. Pedoman Penyaluran Hibah LS Batch VI Dikti. Jakarta. Dikti

Inagaki, T., & Saito, M. 2012. Jugyo Kenkyu Nyumon (Introduction to Lesson Study). Tokyo:
Iwanami.

Lewis, Catherine C. 2002. Lesson study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change.


Philadelphia, PA: Research for Better Schools, Inc.

Miles, B.M., Michael, H. 1992. Qualitative Data Analisys.Jakarta: UI Press

Saito. E. 2006. Development of school based in-service teacher training under the Indonesian
Mathematics and Science Teacher Education Project. Improving Schools. Vol.9 (1): 47-59

Subadi T., Sutarni, Ritas P., Kh. (2013). A Lesson Study as a Development Model of Professional
Teachers. (Macrothink Institute Journal International of Educatian. ISSN 1948-5476. Vol. 5,
No. 22013). United States. info@macrothink.org. Website: www.macrothink.org.

Subadi T. 2009. Pengembangan Model Untuk Meningkatkan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson
Study di Sekolah Dasar Kota Surakarta. Jurnal Sekolah Dasar Kajian Teori dan Praktik
Pendidikan. Tahun 18. Nomor 2 November 2009. ISSN 0854-8285. Malang: UN Malang.

Subadi T., Samino . 2010. Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan
Lesson Study Bagi Guru SD Se-Karesidenan Surakarta Tahun II (Laporan Penelitian di
Publikasikan di Perpustakaan Pusat UMS).

-------- . (2011). Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru Melalui Pelatihan Lesson Study
Bagi Guru SD Se-Karesidenan Surakarta Tahun III (Laporan Penelitian di Publikasikan di
Perpustakaan Pusat UMS).

33
Model Pelatihan Guru Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Muhammadiyah Kartasura (Tjipto Subadi,
Dahroni)

Subadi.T., Sumardi, Sutarni, Ritas P., Kh. (2014). Medel Pembinaan Pendidik Profesional (Suatau
Penelitian dengan Pendekatan Lesson Study pada Guru-Guru Sekolah Muhammadiyah
Sukoharjo Tahun 3 (Laporan Penelitian Dipublikasikan di Perpustakaan Pusat UMS).

Stephen L. Thompson, 2007, Science Activities, Washington: Winter 2007. Vol. 43. Iss. 4, pg.27, 7
pgs.

Stewart, R, Brederfur, J. 2005. Fusing Lesson Study and Aithetic Achievent. Bloomington: A. Model
for Teacher Collabooration. www.proquest.umi.com

34
PENDIDIKAN SENI BUDAYA DAN PRAKARYA (SBdP) SEBAGAI STRATEGI
INTERVENSI UMUM BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Lia Mareza
e-mail: liamareza@yahoo.com
PGSD-FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto

ABSTRACT

Cultural Art And Craft Education As A General Intervention Strategy For


Special Needs Children
Art education can shape an individual's mental character, socio cultural
personality, creativity and intellectual. Cultural art education is not only as a means of
developing the knowledge and skills but as a general intervention strategies for
children with special needs that based on socio-cultural. cultural arts and craft
education has a uniqueness, significance and usefulness through activities to create, to
appreciate and to express, so that children have role in the development of cognitive,
affective and psychomotor than as aspects of catharsis in channeling the emotions as
well as to stimulate active participation and improve the independence and directions
on special needs childreen. The purpose of the use of intervention strategies was to help
teachers knowing that the characteristic was associated with the competence of the
child. This study was a qualitative research conducted in SD Negeri 1 Tanjung
Purwokerto as one Inclussive School. Subject of research was principal, classroom
teachers, assistant teachers, students and parents. The result of the research was
intervention strategy can improve the ability of children. This was due to the orientation
of making art more oriented to the modification process, the content of a work and the
product.
Keywords: Art Education, Intervention Strategies, Children with Special Needs

PENDAHULUAN
Kekayaan seni budaya di Indonesia sangat beragam dan memiliki nilai sejarah yang sangat
tinggi. Beragam motif, karya seni rupa, seni tari bahkan hingga seni musik harus tetap lestari dan
berkembang sebagai wujud identitas bangsa. Pendidikan seni budaya dan prakarya diberikan pada
siswa sekolah dasar agar tetap menumbuhkan rasa kecintaan siswa terhadap seni budaya Indonesia.
Rasa kecintaan ini dapat menimbulkan minat, kreativitas, dan apresiasi anak terhadap seni dan budaya
bangsa. PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan
seni budaya meliputi berbagai aspek kehidupan. Kompetensi dasar muatan lokal yang berkenaan
dengan seni, budaya, dan keterampilan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Seni Budaya dan
Prakarya (SBdP). Pendidikan seni budaya memposisikan siswa sebagai pewaris budaya bangsa yang
kreatif sekaligus memiliki kecerdasan intelektual.
Pendidikan seni sebagai wadah bagi siswa untuk menuai segala pengetahuan sehingga mampu
menjadikan siswa yang memiliki kecerdasan intelektual yang kreatif. Perlunya rencana pendidikan
yang tersusun secara terstruktur agar dapat membantu guru dan orang tua dalam menerima kurikulum
dan peraturan sekolah demi kemampuan akademis dan potensi siswa. Strategi pembelajaran yang
digunakan untuk anak berkebutuhan khusus jelas berbeda dengan anak normal. Anak berkebutuhan
khusus yaitu anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan
kelainan yang dialami oleh anak. Heward (2003) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus yaitu
35
Pendidikan Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) sebagai Strategi Intervensi Umum bagi Anak
Berkebutuhan Khusus (Lia Mareza)

anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya baik secara mental,
emosi atau fisik. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan strategi
yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada ummnya. Tanpa strategi intervensi yang tepat,
anak berkebutuhan khusus seringkali kehilangan fokus dalam proses pembelajaran di sekolah.
Intervensi yang ditujukan kepada anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang dibutuhkan oleh
anak. Anak diberikan kebebasan dalam bereksplorasi, menjadi ingin tahu, dan belajar hal-hal baru
ketika anak memang menginginkannya, dan hal tersebut tidak terjadwalkan oleh waktu seperti yang
telah dijelaskan dalam kurikulum. Anak diberikan kesempatan untuk mencoba membuat menciptakan
sebuah karya seni, membuat sesuai dengan kreasi anak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan
emosional anak. Proses penciptaan karya seni tentunya dilakukan dalam keadaan rileks, dorongan
batin, pengungkapan fikiran, perasaan bahkan naluri yang terdalam, hal ini disebabkan karena
eksplorasi penciptaan karya seni berkaitan dengan perasaan artistik dan estetika sehingga karya yang
dimunculkan tiap individu pasti akan berbeda.
Pembelajaran seni di tingkat pendidikan dasar bertujuan untuk mengembangkan kesadaran
seni dan keindahan dalam arti umum, baik dalam domain konsepsi, apresiasi, kreasi, penyajian,
maupun tujuan-tujuan psikologis-edukatif untuk pengembangan kepribadian siswa secara positif,
sehingga individu lebih memahami budaya sebagai salah satu tujuan dari pendidikan (Permen No. 57
Tahun 2014). Tujuan pembelajaran seni dapat tercapai jika guru memiliki kompetensi dan persepsi
yang baik dalam pelaksanaan pembelajaran seni. Pendidikan seni dan budaya dapat dijadikan sebagai
media alternatif dalam masa pendampingan melalui aktivitas kreatif anak berkebutuhan khusus yang
bertujuan selain menghasilkan sebuah karya seni yang estetis juga sebagai sarana katarsis atau
proyeksi anak berkebutuhan khusus dalam keinginan untuk mencoba mengungkap perasaan
terdalamnya yang selama ini sulit diungkapkan.
Tujuan dari penggunaan strategi intervensi yang tepat dapat membantu guru dalam
mengetahui karakteristik dikaitkan dengan kompetensi siswa. Guru dapat mengetahui kemampuan
serta kelemahan setiap siswa dalam perkembangan kognitif dan psikomotornya melalui pengamatan
pada saat proses pembuatan karya seni. Intervensi yang diberikan guru diharapkan mampu menggali
kemampuan siswa dalam proses pembuatan karya seni atau karya ketrampilan.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilaksanakan di SD Negeri 1 Tanjung


Purwokerto sebagai salah satu sekolah inklusi. Subjek penelitian yaitu kepala sekolah, guru kelas,
guru pendamping, siswa dan wali murid. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat
dilakukan dengan beberapa macam teknik pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan tiga teknik
pengumpulan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu metode wawancara, metode
observasi, dan metode studi dokumen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seni lahir dilatarbelakangi adanya dorongan bermain-main (play impuls) yang dalam diri si
pembuatnya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh orang bukan atas dorongan kebutuhan pokoknya,
melainkan karena kehendak akan kenikmatan ataupun karena dorongan psikologis (Mikke, 2011). The
Liang Gie (1976: 61) menyebutkan seni merupakan suatu kegiatan manusia yang menjelajahi dan
menciptakan realita baru dalam suatu cara yang di luar akal dan berdasarkan penglihatan serta
menyajikan realita itu secara perlambang atau kiasan sebagai sebuah kebulatan dunia kecil yang
mencerminkan sebuah kebulatan dunia besar. Kuswarsantyo (2009: 3) seni adalah ekspresi jiwa
36
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 35 - 38

manusia yang tertuang dalam berbagai bentuk karya seni. Tari dengan ekspresi gerak, musik dengan
suara dan vokal, teater dengan ungkapan ekspresi dan vokal, rupa dengan berbagai media, aliran dan
gaya, merupakan ungkapan ekspresi yang di dalamnya sarat dengan simbol.
Pendidikan seni budaya bagi anak berkebutuhan khusus bukan hanya sebagai pemberian
informasi dan pembentukan ketrampilan saja, namun lebih kepada usaha untuk mewujudkan
keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup yang lebih berkualitas
dan juga sebagai persiapan di kehidupan yang akan dating pada saat dewasa kelak. Strategi intervensi
bagi anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan seni budaya, perlu dilakukan agar orang tua dan
guru mengenal perbedaan individual yang mencakup perbedaan fisik dan psikologis dalam ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor. Penelitian yang dilakukan Holmberg (2014:2) memnemukan bahwa
perencanaan kurikulum didefinisikan untuk tujuan sebagai perencanaan guru pendidikan berdasarkan
kurikulum nasional, dengan tujuan untuk mendukung siswa mengambil bagian dalam sebuah
komunitas sosial, akademik dan budaya untuk perbedaan dalam kemampuan dan bakat yang dimiliki
pada tiap anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kemampuan dan kapasitas anak ditinjau dari segi
fisik dan intelegensi serta kreativitasnya.
Mata pelajaran yang disesuaikan dengan minat dan pilihan anak sehingga anak dapat
berkembang potensinya sebaik-baiknya. Sehingga waktu penyelesaian suatu tingkat kemahiran tidak
akan sama, antara anak satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan dalam proses penciptaan sebuah
karya seni yang mengolah emosi dan pikiran yang telah mengendap. Semua emosi dan pikiran akan
tersalurkan sehingga membantu dalam proses katarsis dari anak dalam penyampaiannya secara
simbolik yang diutarakan dalam wujud karya seni.
Proses yang dilakukan dalam berkarya seni juga berfungsi sebagai pola dalam mengolah
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik anak, yaitu melatih koordinasi pikiran, perasaan dan aktivitas
fisik secara bersamaan. Selain sebagai media dalam pengungkapan emosi, dalam proses pembuatan
karya seni dapat dimasukkan pendampingan yang bermuatan terapi seperti mengarahkan aktivitas
pembuatan karya seni dengan memori anak akan objek atau symbol yang digunakan pada sebuah
karya. Guru dan orang tua perlu mempertimbangkan kelayakan tugas sebagai kegiatan individu atau
kegiatan kelompok. Hal ini dikarenakan tidak setiap siswa mampu mengerjakannya dalam jenjang
waktu yang sama. Sebaliknya untuk tugas yang cukup kompleks cocok untuk kegiatan kelompok. Hal
ini dapat mengajarkan kepada siswa untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. Intervensi seperti
ini yang merupakan kegiatan inti agar anak dapat langsung menceritakan maupun menyampaikan
secara tidak langsung makna atau pesan yang ingin disampaikan. Anak akan menjadi semakin rileks
dalam proses pembuatan karya seni, karena pada dasarnya pendidikan seni dan budaya dapat
dijadikan sebagai wadah bagi anak berkebutuhan khusus dalam menggali potensi diri, melatih
konsentrasi hingga menjadikan anak dapat bersosialisasi seperti pada anak normal umumnya. Belajar
melalui seni artinya, anak akan mengembangkan pengetahuannya, mempelajari dan mengekspresikan
pemahamannya menjadi seni melalui bentuk-bentuk karya seni, sehingga siswa dapat berpikir
imajinatif dan kreatif dalam mengkontruksi makna.
Belajar tentang seni artinya, dapat mengembangkan kecerdasan akan pengetahuannya tentang
seni itu sendiri. Retnowati dan Prihadi (2010: 12) mengemukakan bahwa kecerdasan tersebut
merupakan landasan bagi seni rupa, seni musik, seni tari, dan prakarya. Melalui seni, siswa tidak
hanya menemukan cara untuk berkomunikasi dan ekspresi diri, tetapi juga alat untuk mengkonstruksi
makna dan belajar hampir setiap mata pelajaran secara efektif. Hal ini sangat nyata jika seni tidak
hanya diajarkan sebagai mata pelajaran tetapi juga diintegrasikan kedalam seluruh kurikulum pada
setiap jenjang pendidikan. Intervensi dalam mengaplikasikan substansi dari kurikulum tidak hanya
menekankan para siswa agar mudah memahami mata pelajaran yang diajarkan. Akan tetapi juga
bertujuan agar seluruh siswa termasuk anak berkebutuhan khusus, dapat saling memahami,

37
Pendidikan Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) sebagai Strategi Intervensi Umum bagi Anak
Berkebutuhan Khusus (Lia Mareza)

menghormati, dan menghargai satu sama lain. Sehingga guru di sekolah dan orang tua sepakat
untuk mengajarkan secara bersama-sama mengenai cara bersikap dan cara menghadapi siswa difabel
dan siswa yang normal di sekolah secara santun dan manusiawi. (Prastiyono dalam Agung
Nugroho, 2016). Pendidikan inklusif memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga
semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas. Apresiasi dan kreasi seni merupakan
bentuk ekspresi seni yang dituangkan dalam bentuk karya.
Terdapat banyak perbedaan antara potensi atau bakat termasuk kemampuan seperti
intelektual, akademis, kreativitas, sosial, dan seni. Demikian pula banyak terdapat talenta yang
dimiliki anak berkebutuhan khusus, adalah penting untuk mengumpulkan informasi baik dari segi
potensi maupun performa yang dapat diamati sehingga semua infomasi ini akan membantu mengenali
bidang potensi spesifik yang dikuasai anak yang dibutuhkan demi perkembangan pendidikannya.

SIMPULAN

Intervensi yang dilakukan selama ini seringkali memiliki keterbatasan dalam batasan dan pola
sehingga materi yang diberatkan hanya pada materi pokok saja dan mengenyampingkan materi
pendidikan seni yang merupakan startegi intervensi belajar yang menyenangkan bagi anak
berkebutuhan khusus. Kurikulum berisi mengenai materi yang akan diajarkan sedangkan strategi
intervensi mengarah kepada cara kurikulum ini disampaikan atau diajarkan yang dapat dilakukan
melalui modifikasi proses pembelajaran secara akademis dan apresiasi karya seni. Pembelajaran seni
budaya dan prakarya bagi anak berkebutuhan khusus harus dapat memanfaatkan lingkungan sebagai
kegiatan apresiasi dan kreasi seni. Pendidikan seni budaya tidak hanya berfungsi sebagai
pengembangan pengetahuan dan keterampilan, melainkan menjadi sarana dalam pengembangan
karakter pribadi yang berlandaskan sosial budaya. Kegiatan berekpresi, berkreasi, dan berapresiasi
memiliki makna dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya dalam bentuk pengetahuan (konsepsi) dan
keterampilan (ekspresi), melainkan memiliki makna yang dalam berupa sikap (apresiasi).

DAFTAR PUSTAKA

Heward. 2003. Exceptional Children an Introduction to Special Education. New Jersey: Merill,
Pretince Hall.
Holmberg,dkk. 2014. Inclusive And Individually Adapted Education In Norway Results From A
Survey Study In Two Municipalities Focusing The Roles Of Headteachers, Teachers And
Curriculum Planning. International Journal Of Special Education, 29 (1): 47 – 60.
Kuswarsantyo. 2009. Materi Dasar Apresiasi Seni. Yogyakarta : UNY
Liang, Gie. 1976. Garis Besar Estetika. Yogyakarta: Karya
Mikke, S. 2011. Diksi Rupa. Yogyakarta: DictiArt Lab
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 27tahun 2014 tentang
Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Retnowati, Tri Hartiti, dkk. 2010. Pembelajaran Seni Rupa. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas
Negeri Yogyakarta.

38
PENGARUH KONSEP DIRI TERHADAP KOMUNIKASI
INTERPERSONAL MAHASISWA
Sapto Irawan
sapto@staff.uksw.edu
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRACT

The Effect Of Self Concept On Students’


Interpersoneal Communication

This study aimed to test the significance effect of self-concept on students’


interpersonal communication. Subjects in this reasearch were guidance and
counseling students in Satwa Wacana Christian University, Salatiga. Analysis of data
used simple regression to determine the effect of self-concept on students’
interpersonal communication. The results showed that Sig. = 0.012, which means that
there was a significant relationship between self-concept and interpersonal
communication. Besides, the value of R Square or determination coefficient was
0.048, which means that self-concept has the contribution effect of a 4.8% on the
student interpersonal communication, while the remaining 95.2% was influenced by
other factors. It can be concluded that there is a significant relationship between self-
concept on students’ interpersonal communication.
Keywords: Self-Concept, Interpersonal Communication

PENDAHULUAN
Komunikasi merupakan salah salah satu cara atau alat untuk berinteraksi antar individu.
Komunikasi menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas
dari komunikasi. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa tujuh puluh persen waktu manusia
digunakan untuk berkomunikasi. Dengan komunikasi maka seseorang dapat meningkatkan interaksi
sosial dengan orang lain. Secara khusus, komunikasi interpersonal sangat penting dalam kehidupan
manusia dan bersinggungan dengan disiplin ilmu lain yang mempelajari perilaku manusia, dan
penelitian dalam komunikasi berkontribusi terhadap bidang psikologi, bisnis, sosiologi, antropologi,
dan konseling (Wood, Julia T, 2013:2).
Komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi adalah proses penyampaian dan
penerimaan pesan antara pengirim pesan (sender) dengan penerima (receiver) baik langsung maupun
tidak langsung (Suranto Aw, 2011:5). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi
interpersonal, salah satunya yaitu konsep diri. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkahlaku sedapat mungkin sesuai dengan
konsep dirinya. Selain itu dijelaskan bahwa sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung dari
kualitas konsep diri seseorang, yaitu positif atau negative, karena setiap orang bertingkahlaku sedapat
mungkin sesuai dengan konsep dirinya (Jalaludin, 2005:105). Seseorang yang mempunyai konsep diri
positif maka komunikasi interpersonalnya baik, sedangkan orang yang mempunyai konsep diri negatif
maka juga berpengaruh pada komunikasi interpersonalnya kurang baik.
39
Pengaruh Konsep Diri terhadap Komunikasi Interpersonal Mahasiswa (Sapto Irawan)

Konsep diri berpengaruh terhadap komunikasi interpersonal, hal ini seperti pendapat (Suranto
Aw., 2011:69) yang mengatakan bahwa konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam
komunikasi interpersonal, karena setiap orang melakukan tindakan dilandasi oleh konsep diri. Dari
beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep diri seseorang dapat mempengaruhi
komunikasi interpersonalnya. Apabila seseorang mempunyai konsep diri yang baik maka komunikasi
interpersonalnya juga baik.
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang terhadap dirinya yang dibentuk
dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan (Agustiani H.,
2006:138). Konsep diri adalah bukan faktor bawaan sejak lahir, tetapi berkembang melalui
pengalaman-pengalaman yang terus menerus sepanjang hidup. Oleh sebab itu masing-masing individu
mempunyai konsep diri yang berbeda-beda, karena setiap orang mempunyai lingkungan dan
pengalaman hidup yang berbeda. Dengan demikian maka hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas
komunikasi interpersonalnya.
Berkaitan dengan hubungan konsep diri dan komunikasi interpersonal, hasil penelitian
Nashori (2000), menunjukkan bahwa konsep diri dan kompetensi interpersonal mahasiswa. Berbeda
dengan hasil penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Rahmah Putri Puspitasari dan
Hermien Laksmiwati (2012:62) pada remaja putus sekolah, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara konsep diri dengan kemampuan komunikasi interpersonal.
Mahasiswa di Program Studi (Progdi) Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, dari berbagai suku, latar belakang
tingkat ekonomi dan lingkungan yang berbeda-beda. Hal tersebut yang menyebabkan perbedaan
dalam hal pola komunikasi dan kualitas komunikasi interpersonalnya. Mahasiswa Program Studi
Bimbingan dan Konseling dipersiapkan untuk menjadi calon guru Bimbingan dan Konseling, calon
konselor, dan personalia. Sedangkan diluar bidang tersebut, tidak menutup kemungkinan dapat
bekerja dibidang pekerjaan yang lainnya. Dengan demikian, setiap mahasiswa dituntut harus mampu
berkomunikasi dengan baik. Dari pengamatan awal dan hasil interaksi dengan mahasiswa, diketahui
bahwa tidak semua mahasiswa mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini nampak ketika
berinteraksi dan berkomunikasi dengan pengajar, komunikasi antar mahasiswa pada saat diskusi, dan
pada saat presentasi, tidak semua mahasiswa mampu berkomunikasi dengan baik. Oleh sebab itu
penelitian ini menarik untuk dilakukan guna mengetahui pengaruh konsep diri terhadap komunikasi
interpersonal mahasiswa.
Masalah dalam penelitian adalah bagaimana pengaruh konsep diri terhadap komunikasi
interpersonal mahasiswa di program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsep diri dengan komunikasi
interpersonal mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.

KAJIAN PUSTAKA
Konsep Diri
Konsep diri merupakan keyakinan, pandangan, atau penilaian seseorang terhadap dirinya.
Pengalaman tersebut merupakan hasil dari eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan dari
refleksi “diri sendiri” yang diterima dari orang-orang dekat dengan dirinya (Rini, 2000). Pendapat lain
mengatakan bahwa Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang
dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep
diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembangan dari pengalaman yang terus

40
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 39 – 48

ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah
lakunya dikemudian hari (Agustiani, H., 2006:138).
Konsep diri seseorang dibentuk dari pengalaman-pengalaman dan interaksi dengan
lingkungannya. Proses pembentukan itu terjadi dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh sebab itu,
seseorang akan berperilaku sesuai dengan konsep dirinya. Hal ini seperti pendapat Susana, T., dkk.
(2006:20), yang mengatakan bahwa semenjak konsep diri terbentuk, seseorang akan berperilaku
sesuai dengan konsep dirinya tersebut. Apabila perilaku seseorang tidak konsisten, dengan konsep
dirinya, maka akan muncul perasaan tidak nyaman dalam dirinya. Inilah hal yang terpenting dari
konsep diri. Pandangan seseorang terhadap dirinya akan menentukan tindakan dan perbuatannya. Hal
ini berarti konsep diri seseorang dapat mempengaruhi tindakan dan perbuatannya, termasuk juga
dalam komunikasinya.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa konsep diri merupakan cara pandang
seseorang terhadap dirinya yang terbentuk dari pengalaman dan interaksi sosial dengan
lingkungannya. Proses pembentukan konsep diri dari anak-anak hingga dewasa, sehingga dapat
menentukan tindakan dan perbuatannya. Jika seseorang mempunyai konsep diri positif maka akan
berperilaku positif, dan sebaliknya jika seseorang mempunyai konsep diri negatif maka akan
cenderung berperilaku negatif.
Dimensi-dimensi dalam konsep diri
Konsep diri mempunyai dua dimensi pokok, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal
(Fitts dalam Agustiani H.: 2008:139-142). Dimensi internal disebut juga kerangka acuan interal
(intenal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu yaitu penilaian yang dilakukan
individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga
bentuk, yaitu diri identitas (identiyty self), diri pelaku (behavioral self) dan diri penerimaan/penilai
(judging self).
Dimensi eksternal yaitu dimana individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas
sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain diluar dirinya. Dimensi eksternal dibagi
menjadi lima bentuk, yaitu: (1) Diri fisik (physical self), menyangkut persepsi seseorang terhadap
pada keadaan fisiknya; (2) Diri etik-moral (moral-ethical self), yaitu persepsi seseorang terhadap
dirinya dilihat dari sudut pandang moral dan etika; (3) Diri pribadi (personal self), yaitu persepsi
seseorang terhadap keadaan pribadinya; (4) Diri keluarga (family self), yaitu perasaan dan harga diri
seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga; (5) Diri social (social self), menyangkut
penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungannya.
Dari paparan tersebut, dapat dijelaskan bahwa faktor internal dan eksternal mempengaruhi
konsep diri seseorang. Faktor internal meliputi diri identitas (identiyty self), diri pelaku (behavioral
self) dan diri penerimaan/penilai (judging self). Sedangkan faktor eksternal meliputi: Diri fisik
(physical self), Diri etik-moral (moral-ethical self), Diri pribadi (personal self), Diri keluarga (family
self), dan Diri social (social self).

Konsep Diri Positif dan Negatif


Konsep diri merupakan cara pandang atau penilaian seseorang terhadap dirinya, sehingga bisa
berpandangan positif maupun negatif. Jika pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya
positif, maka mengarah pada konsep diri positif, demikian juga sebaliknya jika pandangan atau
penilaian seseorang terhadap dirinya negatif, maka mengarah pada konsep diri negatif. Konsep diri
positif bukan berarti membanggakan diri sendiri, tetapi berupa penerimaan diri apa adanya baik
kelebihan maupun kekurangan yang ada pada diri seseorang, sehingga dapat menerima diri sendiri
dan juga orang lain. Konsep diri yang negatif dapat mengakibatkan ketidakpercayaan diri sehingga
41
Pengaruh Konsep Diri terhadap Komunikasi Interpersonal Mahasiswa (Sapto Irawan)

merasa bahwa seseorang tidak dapat mencapai sesuatu apapun yang berharga dalam hidupnya
(Hidayati & Utamadi: 2002).
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian seseorang terhadap dirinya dapat
bersifat positif atau negatif. Penilaian yang baik berarti konsep diri seseorang positif, sedangkan
penilaian terhadap diri yang kurang atau tidak baik berarti konsep dirinya negatif. Seseorang yang
mempunyai konsep diri positif, maka dapat menerima diri sendiri dan juga orang lain. Sedangkan
konsep diri negatif dapat membawa dampak tidak percaya diri dan kurang berharga dalam hidupnya.
Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan antara
pengirim (sender) dengan penerima (receiver) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Komunikasi langsung (primer), terjadi jika pihak-pihak yang terlibat komunikasi dapat saling berbagi
informasi tanpa melalui media, sebaliknya komunikasi tidak langsung (skunder) terjadi bila dengan
penggunaan media tertentu (Suranto: 2011:5). Dari pendapat tersebut, yang termasuk Komunikasi
interpersonal dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (melalui media) antara
pengirim dengan penerima pesan. Menurut (Devito, dalam Onong U. Effendy, 2003:30), komunikasi
interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau
sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan
balik segera. Komunikasi interpersonal diartikan sebagai proses penyampaian dan penerimaan pesan
atau informasi dari seseorang kepada orang lain atau sekelompok orang, serta umpan baik dari proses
komunikasi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Devito, Joseph A.
(2007:2), Interpersonal communication is an extremely practical art, and your effectiveness as a
friend, relationship partner, coworker, or manager will dippend largely on your interpersonal skills.
dari definisi tersebut, komunikasi interpersonal adalah seni yang sangat praktis dan efektivitas dalam
hubungan sebagai teman, mitra relasi, rekan kerja, atau manajer itu akan sangat tergantung pada
kemampuan interpersonalnya.
Komunikasi diperlukan semua orang, tidak hanya sebagai untuk penyampaian dan
penerimaan pesan saja melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan dasar individu, yaitu memberi dan
mendapatkan kasih sayang, keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok, dan kebutuhan untuk
mempengaruhi orang lain. Hal ini seperti pendapat (William Schutz, dalam Wood, Julia T, 2013:12)
yang mengatakan bahwa hubungan interpersonal yang berkelanjutan tergantung dari seberapa baik
komunikasi tersebut berkaitan dengan tiga kebutuhan dasar, yaitu: (1) afeksi, adalah keinginan untuk
memberi dan mendapatkan kasih sayang; (2) inklusif, yaitu keinginan untuk menjadi bagian dari
kelompok sosial tertentu; (3) kontrol, yaitu kebutuhan untuk mempengaruhi orang atau peristiwa
dalam kehidupan.

Prinsip-prinsip dalam Komunikasi Interpersonal


Ada delapan prinsip dasar dalam berkomunikasi interpersonal (Wood, Julia T, 2013:12), yaitu:
1. Individu tidak mungkin hidup tanpa berkomunikasi
Manusia tidak bisa menghindari komunikasi dalam kelompok manusia, karena pada dasarnya
dimana setiap ada manusia pasti ada komunikasi. Pola komunikasi yang terjadi bisa
dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan masing-masing. Pengaruh kebudayaan tersebut
akan berdampak pada bahasa verbal maupun non verbal. Seringkali manusia melakukan
komunikasi dengan non verbal. Tanpa memperhatikan apakah kita bermaksud
menyampaikan pesan dan orang lain paham dengan maksud kita, pada prinsipnya manusia
selalu berkomunikasi sepanjang hidup. Dengan demikian maka manusia tidak bisa
menghindari komunikasi.
42
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 39 – 48

2. Komunikasi interpersonal adalah hal yang tidak mungkin diubah


Dalam berkomunikasi, manusia sering tidak menyadari bahwa apa yang sudah diucapkan
tidak dapat ditarik kembali atau meralatnya. Yang bisa dilakukan adalah meminta maaf bila
terjadi kesalahan dalam proses komunikasi yang telah dilakukan. Fakta bahwa komunikasi
adalah sesuatu yang tidak dapat ditarik kembali, mengingatkan kepada kita supaya berhati-
hati dalam berinteraksi dan berbicara. Ketika mengatakan sesuatu kepada orang lain, maka
perkataan tersebut merupakan bagian dari komunikasi interpersonal.
3. Komunikasi interpersonal melibatkan masalah etika
Komunikasi interpersonal bersifat tidak dapat ditarik kembali, sehingga mempunyai dampak
dalam etika antar manusia. Apak yang kita katakana dan yang kita lakukan akan berpengaruh
terhadapmorang lain. Etika berkaitan dengan masalah benar atau salah, dengan demikian
manusia harus berhati-hati dengan etika dalam komunikasi. Menurut Richard Johanessen,
dalam (Wood, Julia T, 2013:31), bahwa komunikasi bertika terjadi ketika seseorang
menciptakan hubungan yang seimbang dan saling mencerminkan sikap empati. Oleh karena
itu komunikasi interpersonal berpengaruh terhadap komunikator dan komunikan,
pertimbangan mengenai etika selalu digunakan dalam interaksi manusia.
4. Manusia menciptakan komunikasi interpersonal
Manusia menciptakan makna dalam proses komunikasi, dimana proses pemaknaan tersebut
timbul dari bagaimana seseorang menginterpretasikan komunikasi. Dalam komunikasi
interpersonal, seseorang akan selalu menterjemahkan apa yang dikatakan oleh orang lain.
Pemaknaan seseorang terhadap komunikasi selalu berubah dari waktu kewaktu dan
tergantung situasi ketika menerimanya.
5. Metakomunikasi mempengaruhi pemaknaan
Metakomunikasi berasal dari kata awalan meta yang berarti tentang. Metakomunikasi berarti
tentang komunikasi. Dalam berkomunikasi, ada aspek verbal dan non verbal. Aspek non
verbal menjadi penting karena dapat memberi makna dari apa yang diucapkan (verbal) dan
juga dapat meningkatkan arti dari komunikasi secara verbal. Metakomunikasi dapat
meningkatkan pemahaman terhadap penyampaian pesan.
6. Komunikasi interpersonal menciptakan hubungan yang berkelanjutan
Komunikasi interpersonal merupakan salah satu cara untuk membangun dan memperbaiki
sebuah hubungan. Selain itu komunikasi juga merupakan sarana utama dalam membangun
masa depan dalam interaksi hubungan interpersonal seseorang.
7. Komunikasi tidak dapat menyelesaikan semua hal
Komunikasi merupakan salah satu cara untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan dan
menciptakan hubungan dengan orang lain. Meskipun demikian tidak semua masalah dapat
diatasi dan dipecahkan dengan komunikasi. Dengan demikian kita menyadari bahwa
komunikasi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak semua masalah
dapat diselesaikan dengan komunikasi. Oleh sebab itu, komunikasi interpersonal memiliki
kelebihan dan kekurangan. Efektivitas sebuah komunikasi juga dipengaruhi oleh situasi yang
terjadi dalam sebuah kebudayaan.
8. Efektifitas komunikasi interpersonal adalah sesuatu yang dapat dipelajari
Mungkin ada orang berpikir bahwa kemampuan komunikasi merupakan bawaan sejak lahir.
Kemampuan komunikasi bukan bawaan sejak lahir melainkan bisa dikembangkan dari proses
belajar. Selain itu pengalaman dan proses interaksi antar individu juga dapat mempengaruhi
dan meningkatkan kemampuan komunikasinya.

43
Pengaruh Konsep Diri terhadap Komunikasi Interpersonal Mahasiswa (Sapto Irawan)

Komunikasi Interpersonal yang efektif


Komunikasi terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam proses komunikasi,
seseorang sering tidak menyadari atau memikirkan tentang tingkat efektivitas dalam proses
komunikasi tersebut. Komunikasi interpersonal dikatakan efektif apabila pesan yang diterima dan
dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan
secara suka rela oleh penerima pesan, dapat meningkatkan hubungan antar pribadi, dan tidak ada
hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi
efektif apabila memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu: pertama, pesan yang dapat diterima dan
dipahami oleh komunikan sebagaimana dimaksud oleh komunikator. Kedua, komunikasi
ditindaklanjuti dengan perbuatan sukarela. Ketiga, meningkatkan hubungan antar pribadi.
Ada lima sikap positif yang perlu dipertimbangkan ketika dalam komunikasi interpersonal
(Devito, dalam Suranto Aw., 2011: 82-84):
1. Keterbukaan (openness)
Keterbukaan merupakan sikap dapat menerima masukan dari orang lain, dan berkenan
menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Artinya bahwa seseorang harus rela membuka
diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Keterbukaan adalah kesediaan
membuka diri, jujur, tidak bohong, dan tidak menyembunyikan inforasi yang sebenarnya. Dalam
komunikasi interpersonal, keterbukaan menjadi salah satu sikap positif, karena dengan keterbukaan
maka komunikasi interpersonal akan berlangsung secara adil, transparan, dua arah, dan dapat diterima
oleh semua pihak yang berkomunikasi.
2. Empati (empathy)
Empati merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan jika seandainya orang lain,
dapat memahami dan merasakan sesuatu yang sedang dialami orang lain, serta dapat memahami suatu
persoalan dari sudut pandang orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan
pengalaman, perasaan, dan keinginan orang lain. Pada akekatnya, empati adalah usaha masing-masing
pihak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan dapat memahami pendapat, sikap dan
perilaku orang lain.
3. Sikap mendukung (supportiveness)
Hubungan interpersonal yang efektif adalah adalah jika terdapat sikap mendukung
(supportiveness). Ini berarti bahwa masing-masing pihak yang berkomunikasi memilki komitmen
untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. Dengan demikian maka respon yang
relevan adalah bersifat spontan dan lugas, bukan respon bertahan dan berkelit, pemaparan bersifat
deskriptif naratif dan bukan evaluative, serta pola pengambilan keputusan bersifat akomodatif, bukan
bersifat intervensi yang disebebkan oleh rasa percaya diri yang berlebihan.
4. Sikap positif (Positiveness)
Sikap positif (Positiveness) ditunjukkan dalam sikap dan perilaku. Dalam sikap, yaitu
pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positf.
Dalam bentuk perilaku, yaitu tindakan yang dipilih harus relevan dengan tujuan komunikasi
interpersonal. Sikap positif ditunjukkan dengan beberapa macam perilaku dan sikap, antara lain:
menghargai orang lain, berpikiran positif terhadap orang lain, tidak menaruh curiga secara berlebihan,
meyakini pentingnya orang lain, memberikan pujian da penghargaan, komitmen menjalin kerjasama.
5. Kesetaraan (equality)
Kesetaraan (equality) adalah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan,
sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Kesetaraan yang dimaksud yaitu berupa
pengakuan atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara dengan partner komunikasi.
Dengan demikian indikator kesetaraan yaitu: menempatkan diri setara dengan orang lain, meyadari

44
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 39 – 48

bahwa menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda Mengakui pentingnya kehadiran orang lain,
tidak memahami kehendak, komunikasi dua arat, susana komunikasi akrab dan nyaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Giri, R. I. S. (2016), tentang Hubungan Antara Konsep Diri
Dengan Komunikasi Interpersonal Pada Mahasiswa Yang Berasal Dari Provinsi X, menunjukkan
bahwa hasil analisis data, diperoleh koefisien korelasi 0,539 dengan sig=0,000; (P <0,001) yang
berarti bahwa ada korelasi yang sangat positif yang signifikan antara konsep diri dan komunikasi
interpersonal dalam mahasiswa yang berasal dari Provinsi X. Sumbangan efektif atau peran konsep
diri pada komunikasi interpersonal adalah sebanyak sebagai 29,1%, sisanya 70,9% dipengaruhi oleh
faktor lain. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ada korelasi yang positif dan signifikan
antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal. Selain itu konsep diri memberikan sumbangan
sebesar 29,1% terhadap komunikasi interpersonal mahasiswa, sedangkan 70,9% dipengaruhi faktor
lain. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri mempunyai sumbangan yang cukup besar, yaitu sebesar
29,1% terhadap komunikasi interpersonal seseorang. Sedangkan sisanya sebesar 70,9% komunikasi
interpersonal seseorang dipengaruhi oleh faktor yang lain.

METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian korelasional, yang meneliti hubungan antara
variabel. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi (Progdi) Bimbingan dan Konseling
(BK) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
Salatiga. Populasi penelitian adalah mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW Salatiga sebanyak 285
mahasiswa. Penentuan sampel penelitian berdasarkan Monograf Herry King, dimana jumlah
persentase dikalikan dengan populasi, dan dikalikan dengan multi faktor. Penelitian ini dengan tingkat
kesalahan 5% dan tingkat kepercayaan (Confident Interval) sebesar 95%. Dengan demikian maka
diperoleh perhitungan penentuan sampel sebagai berikut: persentase populasi x jumlah populasi x
mult. fact, sehingga 0.58 x 285 x 1.195 = 129.24185. Dengan demikian, maka total sampel dalam
penelitian ini dibulatkan menjadi 130 orang.
Pengumpulan data penelitian menggunakan angket/kuisioner. Angket Konsep diri terdiri dari
50 butir item pernyataan/pertanyaan, sedangkan angket komunikasi interpersonal terdiri dari 24 butir
item pertanyaan/pernyataan yang dikembangkan sendiri oleh penulis.
Analisis data menggunakan regresi sederhana, yaitu hubungan yang linier antara satu variabel
independen (X) dengan variabel dependen (Y), (Prayitno, Duwi, 2010:55). Analisis ini bertujuan
untuk memprediksi nilai variabel independen dan nilai dari variabel dependen, apabila nilai variabel
independen mengalami kenaikan atau penurunan dan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen apakah positif atau negatif. Dalam penelitian ini variabel
independen adalah Konsep Diri dengan variabel dependen Komunikasi Interpersonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis data penelitian ini menggunakan regresi sederhana antara konsep diri dengan
komunikasi interpersonal. Analisis data dimaksudkan untuk mengatahui pengaruh konsep diri
terhadap komunikasi interpersonal mahasiswa. Hasil analisis data ditunjukkan dalam tabel 1 sebagai
berikut:
Tabel 1. Model Summary

Std. Error of the


Model R R Square Adjusted R Square Estimate
1 .219a .048 .041 11.15891

45
Pengaruh Konsep Diri terhadap Komunikasi Interpersonal Mahasiswa (Sapto Irawan)

a. Predictors: (Constant), Komunikasi Interpersonal

Dari tabel 1 diketahui bahwa nilai R=0,219, yang berarti bahwa hubungan korelasi antara
konsep diri dengan komunikasi interpersonal. Melalui tabel tersebut, diperoleh nilai R Square atau
koefisien determinasi sebesar 0,048 yang menunjukkan seberapa bagus model regresi yang dibentuk
antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal mahasiswa. Ini berarti bahwa konsep diri
memiliki pengaruh kontribusi sebesar 4,8% terhadap komunikasi interpersonal mahasiswa,
sedangkan sisanya sebesar 95,2% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

Tabel 2. ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 805.667 1 805.667 6.470 .012a
Residual 15938.710 128 124.521
Total 16744.377 129

a. Predictors: (Constant), Komunikasi Interpersonal


b. Dependent Variable: Konsep Diri

Pada tabel 2 diperoleh nilai Sig.=0,012 yang berarti bahwa < 0.05 (kriteria
signifikansi). Dengan demikian berarti terdapat korelasi yang signifikan antara konsep diri
dengan komunikasi interpersonal mahasiswa.
Tabel 3. Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
1 (Constant) 132.285 10.364 12.763 .000
KI .288 .113 .219 2.544 .012
a. Dependent Variable: Konsep Diri

Dari tabel 3. coefficients dapat diketahui bahwa koefieisien Komunikasi Interpersonal sebesar
0.288, yang berarti jika Konsep Diri mengalami kenaikan 1, maka Komunikasi interpersonal
mengalami kenaikan sebesar 0.288. Setiap kenaikan nilai konsep diri maka akan diikuti kenaika nilai
komunikasi interpersonal. Koefisien bernilai positif, yang berarti bahwa terjadi hubungan yang positif
antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal, dimana semakin tinggi konsep diri maka semakin
tinggi komunikasi interpersonalnya.
Dari penjelasan beberapa tabel tersebut menunjukkan bahwa konsep diri mempengaruhi
komunikasi interpersonal mahasiswa, dimana jika konsep dirinya tinggi, maka komunikasi
interpersonalnya juga tinggi. Demikian juga, ada hubungan yang positif antara konsep diri dengan
komunikasi interpersonal mahasiswa. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa konsep diri
merupakan salah satu faktor penentu dalam komunikasi interpersonal seseorang. Hal ini seperti
pendapat Suranto Aw. (2011: 69), yang mengatakan bahwa Konsep diri merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang melakukan tindakan dilandasi oleh
konsep diri.
Senada dengan hal tersebut, hasil penelitian ini juga mendukung pendapat yang mengatakan
bahwa sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung dari kualitas konsep diri seseorang, yaitu
positif atau negatif (Rahmad, J., 2003). Seseorang yang mempunyai konsep diri positif maka

46
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 39 – 48

komunikasi interpersonalnya baik, sedangkan orang yang mempunyai konsep diri negatif maka juga
berpengaruh pada komunikasi interpersonalnya kurang baik.
Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Suprastowo D. dan Berliana H.C.,
2013 yang mengatakan bahwa ada hubungan positif antara konsep diri dengan komunikasi
interpersonal para anggota Satlantas di Polres Bantul. Semakin tinggi konsep diri, maka akan semakin
tinggi komunikasi interpersonal. Sebaliknya, semakin rendah konsep diri, maka akan semakin rendah
komunikasi interpersonal. Hipotesis ini dapat diterima, artinya terdapat hubungan positif dan
signifikan antara konsep diri dengan komunikasi interpersonal pada anggota Satlantas di Polres
Bantul. Sumbangan efektif konsep diri terhadap komunikasi interpersonal sebesar 25,8%. Artinya
hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 74,2% variabel komunikasi interpersonal ditentukan
oleh faktor-faktor lain.
Tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Rahmah Putri Puspitasari dan Hermien Laksmiwati (2012) pada remaja putus sekolah, dimana
hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan konsep diri dengan komunikasi interpersonal. Hal
ini bisa terjadi karena selain konsep diri, kemungkinan ada variabel-variabel lain yang dapat
mempengaruhi komunikasi interpersonal seseorang, misalnya harga diri dan penerimaan diri. Seperti
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri memiliki pengaruh kontribusi sebesar 4,8%
terhadap komunikasi interpersonal mahasiswa, sedangkan sisanya sebesar 95,2% dipengaruhi oleh
faktor-faktor lainnya. Selain itu, subyek penelitian juga dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian sebelumnya dilakukan pada remaja putus sekolah sedangkan subyek penelitian ini adalah
mahasiswa.
Konsep diri merupakan salah satu bagian yang dapat mempengaruhi komunikasi
interpersonal. Pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan efektifitas
komunikasi interpersonal. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan komunikasi
interpersonal yaitu: kredibilitas, daya tarik, kemampuan intelektual, integritas sikap dan perilaku,
keterpercayaan, kepekaan sosial, kematangan tingkat intelektual, dan kondisi psikologis komunikan
(Suranto Aw., 2011: 84-85). Jadi konsep diri merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam
komunikasi interpersonal, tetapi ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilan
komunikasi interpersonal.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diketahui bahwa konsep diri merupakan salah
satu faktor yang menentukan dalam komunikasi interpersonal seseorang. Dengan demikian maka
untuk meningkatkan komunikasi interpersonal mahasiswa, perlu meningkatkan konsep dirinya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan konsep diri yaitu: (1) Buat komitmen
tegas untuk perkembangan kepribadian, (2) Pengetahuan sebagai pendukung bagi pertumbuhan
kepribadian, (3) Menentukan tujuan yang realistic dan wajar, (4) mencari situasi yang mendukung
tercapinya tujuan (Wood, Julia T, 2013:59-63). Sementara itu pendapat lain mengatakan bahwa
dimensi konsep diri adalah: other image of you, social comparisons, culture teachings, your onw
interpretations and evaluations (Devito, Joseph A., 2007: 57).

SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri mempengaruhi komunikasi interpersonal
mahasiswa. Nilai R=0,219, yang berarti bahwa ada hubungan korelasi antara konsep diri dengan
komunikasi interpersonal. Selain itu peroleh nilai R Square atau koefisien determinasi sebesar 0,048
yang menunjukkan seberapa bagus model regresi yang dibentuk antara konsep diri dengan
komunikasi interpersonal mahasiswa. Ini berarti bahwa konsep diri memiliki pengaruh kontribusi
sebesar 4,8% terhadap komunikasi interpersonal mahasiswa, sedangkan sisanya sebesar 95,2%
47
Pengaruh Konsep Diri terhadap Komunikasi Interpersonal Mahasiswa (Sapto Irawan)

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Demikian juga, ada hubungan yang positif antara konsep diri
dengan komunikasi interpersonal mahasiswa. Hal ini ditunjukkan tabel coefficients bahwa koefieisien
Komunikasi Interpersonal sebesar 0.288, yang berarti jika Konsep Diri mengalami kenaikan sebesar
1, maka Komunikasi interpersonal mengalami kenaikan sebesar 0.288. Dengan demikian maka setiap
kenaikan nilai konsep diri, maka akan diikuti kenaikan nilai komunikasi interpersonal mahasiswa.
Koefisien bernilai positif, yang berarti bahwa terjadi hubungan yang positif antara konsep diri dengan
komunikasi interpersonal, dimana semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi komunikasi
interpersonalnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa konsep diri seseorang mempengaruhi
komunikasi interpersonalnya. Oleh sebab itu bagi mahasiswa untuk meningkatkan komunikasi
interpersonal, harus meningkatkan konsep dirinya. Bagi peneliti yang tertarik mengkaji topik yang
sama, hendaknya mempertimbangkan variabel-variabel lain yang mempengaruhi komunikasi
interpersonal, selain variabel konsep diri.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiani H. 2006. Psikologi Perkembangan. Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri
dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung. PT. Refika Aditama
Damarhadi, S., & Cahyani, B. H. 2013. Hubungan Antara Konsep Diri dengan Komunikasi
Interpersonal Pada Anggota Satuan Lalulintas (Satlantas) Polres Bantul. Jurnal Spirits, 3 (2):
2087.
Devito, Joseph A. 2007. The Interpersonal Communication Book. America. Library of Congres
Cataloging-in-Publication Data. Boston. Printed in the United States of America
Giri, R. I. S. 2016. Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Komunikasi Interpersonal Pada Mahasiswa
Yang Berasal Dari Provinsi X (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Hardjana, A.M.. 2003. Komunikasi Interpersonal & Interpersonal. Jakarta. Kanisius.
Onong U. Effendy. 2003. Ilmu Komunikasi teori dan Praktek. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Prayitno, Duwi. 2012. Paham Analisa Statistik Data dengan SPSS. Jakarta. PT. BUKU SERU.
Rahmad, J. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Susana T., DKK. 2006. Konsep Diri Positif. Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Suranto Aw. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta. Graha Ilmu
Wood, Julia T. 2013. Komunikasi Interpersonal: Interaksi Keseharian. Jakarta. Salemba Humanika.

48
SUPERVISI AKADEMIK UNTUK MENIGKATKAN KOMPETENSI GURU DI SD
LABORATORIUM UKSW
Suhandi Astuti
Suhandi.astuti70@gmail.com
Manajemen Pendidikan – FKIP – UKSW

ABSTRACT
Academic Supervision To Improve Teachers Competence In Sd Laboratorium Uksw

Identification conducted by the principle of SD Laboratory UKSW showed that the


teachers were still not competent in doing learning assessment administration well. To
solve these problems, the principal conducted academic supervision. The essence of the
academic supervision is to help teachers develop professional capabilities. This was
also done by the principle of SD Laboratory UKSW in solving problems related to the
administration assessment of learning where there were some teachers in SD
Laboratory UKSW not yet competent in preparing the learning assessment
administration well. Supervision technique conducted by discussion. The result of
supervision performed by principle of SD Laboratory UKSW showed an increasement.
At the initial conditions the average level of competence of learning assessment
administration preparation was 63.5 (ideal score of 100). After given the action, the
average of competence of learning assessment administration preparation was
increased to 89.6. The data showed that the competence of learning assessment
administration preparation has increased 26.2%.

Keywords: Academic Supervision, Teachers Competence

PENDAHULUAN

Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Apabila guru
bekerja secara profesional bukanlah sesuatu yang mustahil jika sebuah sekolah dapat menghasilkan
siswa yang unggul. Sebaliknya, jika sumber daya manusia dalam hal ini guru di sebuah sekolah tidak
dikelola dengan baik, maka output siswa di sekolah tersebut pun juga akan rendah. Dengan kata lain,
ada sebuah korelasi positif antara sumber daya manusia (guru) dengan kualitas siswa di sekolah,
dimana sumber daya manusia tersebut membutuhkan manajemen yang baik untuk mencapai kualitas
siswa yang baik.

Menurut Marwansyah (2010: 4) Manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan


sumber daya manusia dalam organisasi yang dilakukan melalui fungsi-fungsi perencanaan sumber
daya manusia, rekruitmen dan seleksi, pengembangan sumber daya manusia, perencanaan dan
pengembangan karir, pemberian kompensasi dan kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan kerja dan
hubungan industrial.
49
Supervisi Akademik untuk Meningkatkan Kompetensi Guru di SD Laboratorium UKSW (Suhandi
Astuti)

Sedangkan menurut Bangun (2012: 6), manajemen sumber daya manusia dapat didefinisikan
sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pergerakan, dan pengawasan
terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan
pemisahan tenaga kerja untuk mencapai tujuan organisasi. Masih menurut Bangun (2012: 6) orang
yang melakukan aktivitas tersebut adalah manajer sumber daya manusia, yaitu seorang kepala
sekolah.

Adapun mengenai kompetensi guru,Undang-UndangNomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan


Dosen mengemukakan bahwa seorang guru adalah pendidik professional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Berkaitan denganisi UU tentang guru dan dosen di atas, terutama tentang tugas penilaian,
Permendiknas No. 16 Tahun2007 menyebutkan kompetensi guru SD/MI antara lain: 1) memahami
prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan karakteristik lima mata
pelajaran SD/MI; 2) menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang penting untuk dinilai dan
dievaluasi sesuai dengan karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 3) menentukan prosedur penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar; 4) mengembangkan instrumen penilaian dan evaluasi proses dan
hasil belajar; 5) mengadministrasikan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan
dengan mengunakan berbagai instrumen; 6) menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar
untuk berbagai tujuan; 7) melakukan evaluasi proses dan hasil belajar.

Namun pada kenyataannya, identifikasi masalah supervisi tentang pengadministrasian


penilaian proses dan hasil yang dilakukan oleh kepala SD Laboratorium UKSW menunjukkan temuan
bahwa garu masih belum kompeten dalam menyusun dan melaksanakan administrasi penilaian
pembelajaran dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh fenomena berikut: 1) Ada 3 guru (23%) yang
berada pada skor kurang dari 51-60% atau kategori kurang. Guru belum melaksanakan penilaian
afektif, belum melaksanakan tugas secara terstruktur, belum melaksanakan program dan pelaksanaan
remidial serta belum melakukan analisis hasil ulangan; 2) Ada 5 guru (38,5%) yang berada pada skor
61-70% atau kategori cukup. menunjukkan guru belum membuat program dan pelaksanaan remidial,
belum melakukan analisis hasil ulangan serta belum membuat instrumen tes dan bank soal; 3) Ada 5
guru (38,5%) yang berada pada skor 71-85% atau kategori Baik.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas kepala sekolah SD Laboratorium UKSW sebagai manajer
sumber daya manusia melakukan Supervisi Akademik yang bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi guru dalam menyusun dan mengadministrasikan penilaian pembelajaran. Hal ini senada
50
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 49 - 59

dengan pendapat Marwansyah (2010: 4) yang menyatakan bahwa tujuan manajemen sumber daya
manusia melalui supervisi akademik adalah supaya terbangun sumber daya manusia profesional yang
memiliki karakteristik beraklak mulia, kompeten dan termotivasi.

Berpijak pada latar belakang seperti di atas itulah, maka permasalahan yang akan dipecahkan
dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan Supervisi Akademik oleh kepala
sekolah SD Laboratorium Kristen Satya Wacana, serta apa kendala Supervisi Akademik di SD
Laboratorium Kristen Satya Wacana dan bagaimana cara mengatasinya. Sedangkan tujuan penulisan
ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan Supervisi Akademik oleh kepala sekolah SD Kristen Satya
Wacana, serta mengetahui kendala Supervisi Akademik di SD Kristen Satya Wacana dan cara
mengatasinya.

Manfaat penulisan ini secara teoretik adalah dapat bermanfaat bagi berkembangnya praktik
supervisi di sekolah. Pelaksanaan supervisi yang tepat dapat membantu pembentukan profesionalisme
guru sehingga akan mencapai tujuan pembelajaran dan selanjutnya dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Secara praktik, mafaat bagi guru adalah dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuannya dalam proses pembelajaran yang selanjutnya dapat menunjang profesionalisme guru.
Bagi kepala sekolah, dapat digunakan sebagai masukan untuk bahan pembinaan guru dalam rangka
meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan.

KAJIAN PUSTAKA

Pengertian dan Tujuan Supervisi Pendidikan

Piet A. Sahertian (2010: 19) berpendapat bahwa supervisi merupakan sebuah upaya
pemberian layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara kelompok, dengan tujuan
memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan
perkembangan guru-guru serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode serta
evaluasi pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan supervisor adalah orang yang berperan dalam
memberi bantuan kepada guru-guru dengan cara menstimulir guru-guru untuk mempertahankan
suasana belajar mengajar yang lebih baik. Di sisi lain, Ngalim Purwanto (2014:76) mendefinisikan
supervisi sebagai suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan
pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Supervisi diartikan sebagai
bantuan yang berupa dorongan, bimbingan, dan kesempatan bagi pertumbuhan keahlian dan
kecakapan guru-guru yang diberikan oleh pemimpin sekolah.

51
Supervisi Akademik untuk Meningkatkan Kompetensi Guru di SD Laboratorium UKSW (Suhandi
Astuti)

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan diatas supervisi memiliki makna pemberian
layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas guru dalam proses pembelajaran dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas belajar siswa yang dimulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
kegiatan pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran sampai melakukan refleksi. Selain untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran supervisi bertujuan untuk pengembangan sumber daya guru.

Selanjutnya, Suharsimi (2004: 4) mengartikan supervisi akademik sebagai suatu kegiatan


yang dilakukan oleh pengawas dan kepala sekolah untuk mengawasi serta meninjau pekerjaan guru.

Menurut Sudjana Nana dkk (2011: 19), Supervisi akademik merupakan fungsi pengawas
berkenaan dengan aspek pelaksanaan tugas pembinaan, pemantauan, penilaian dan pelatihan
professional guru dalam (1) merencanakan pembelajaran; (2) melaksanakan pembelajaran; (3) menilai
hasil pembelajaran; (4) membimbing dan melatih peserta didik, dan(5) melaksanakan tugas tambahan
yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru. Oleh karena itu
dalam pelaksanaannya, supervisi harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan sehingga
kualitas pembelajaran dapat meningkat.

Berkaitan dengan ruang lingkup supervisi akademik, Permendiknas no. 39 tahun 2009
menyebutkan bahwa ruang lingkup supervisi akademik meliputi: 1) membina guru dalam
merencanakan, melaksanakan dan menilai proses pembelajaran, 2) memantau pelaksanaan standar isi,
3) memantau pelaksanaan standar proses, 4) memantau pelaksanaan standar kompetensi kelulusan, 5)
memantau pelaksanaan standar tenaga pendidik dan 6) memantau pelaksanaan standar penilaian.

Berkaitan dengan tujuan supervisi, tujuan umum supervisi pendidikan adalah memperbaiki
situasi belajar mengajar, baik belajar para peserta didik, maupun situasi mengajar guru. Piet A.
Sahertian (2010: 19) berpendapat bahwa tujuan supervisi pendidikan adalah memberikan layanan
untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas. Dengan demikian,
tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru
di kelas sehingga kualitas belajar siswa dapat meningkat. Adapun menurut Wiles dan W.H. Burton
sebagaimana dikutip oleh Burhanuddin (2002), tujuan supervisi pendidikan adalah untuk membantu
mengembangkan situasi belajar mengajar ke arah yang lebih baik melalui pembinaan dan peningkatan
profesi mengajar. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Meningkatkan efektivitas dan
efisiensi belajar mengajar,2) Mengendalikan penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan,3) Menjamin agar kegiatan sekolah
berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga berjalan lancar dan memperoleh hasil

52
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 49 - 59

optimal,4) Menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya,5) Memberikan bimbingan


langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kesulitan yang dihadapi serta membantu
memecahkan masalah yang dihadapi sekolah sehingga dapat dicegah kesalahan yang lebih jauh.

Tujuan supervisi tidak hanya memperbaiki mutu mengajar guru, tetapi juga membina
pertumbuhan profesi guru dalam arti luas termasuk pengadaan fasilitas yang menunjang kelancaran
pembelajaran, serta meningkatkan kualitas guru dalam hal pengetahuan, ketrampilan, evaluasi
pengajaran, pemilihan dan penggunaan metode mengajar.

Fungsi Supervisi

Menurut W.H. Burton dan Leo. J. Bruckner (1955: 3) sebagaimana dikutip oleh Piet
A.Sahertian (2010: 21) fungsi utama supervisi adalah menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pembelajaran.

Menurut Swearingen dalam Piet A Sahertian (2010: 21), terdapat 8 hal yang menjadi fungsi
supervisi yakni sebagai berikut:1) Mengkoordinasikan semua usaha sekolah,2) Memperlengkapi
kepemimpinan sekolah,3) Memperluas pengalaman guru-guru,4) Menstimulasi usaha-usaha yang
kreatif,5) Memberi fasilitas dan penilaian yang terus menerus,6) Menganalisis situasi belajar
mengajar,7) Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap anggota staf, dan 8)
Mengintegrasikan tujuan pendidikan dan membantu meningkatkan mengajar guru-guru.

Sesuai dengan fungsinya, supervisi harus bisa mengkoordinasikan semua usaha-usaha yang
ada di lingkungan sekolah yang bisa mencakup usaha setiap guru dalam mengaktualisasikan diri dan
ikut memperbaiki kegiatan-kegiatan sekolah. Dengan demikian perlu dikoordinasikan secara terarah
agar benar-benar dapat mendukung kelancaran program secara keseluruhan. Supervisi ditujukan untuk
menghasilkan perubahan manusia kearah yang dikehendaki, kemudian kegiatan supervisi harus
disusun dalam suatu program yang merupakan kesatuan yang direncanakan dengan teliti dan
ditujukan kepada perbaikan pembelajaran. Supervisi pendidikan menghendaki agar proses pendidikan
dapat berjalan lebih baik efektif dan optimal yaitu lebih mempercepat tercapainya tujuan, lebih
memantapkan penguasaan materi, lebih menarik minat belajar peserta didik, lebih baik daya serapnya,
lebih banyak jumlah peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar, lebih mantap pengelolaan
administrasinya, lebih mantap pemanfaatan media belajarnya.

Menurut Suharsimi (2004: 13) supervisi memiliki tiga fungsi yaitu fungsi meningkatkan mutu
pembelajaran, fungsi memicu unsur yang terkait dengan pembelajaran, fungsi membina dan
memimpin. Fungsi supervisi dalam bidang evaluasi menurut Ngalim Purwanto (2014: 87) adalah
53
Supervisi Akademik untuk Meningkatkan Kompetensi Guru di SD Laboratorium UKSW (Suhandi
Astuti)

menguasai dan memahami tujuan pendidikan dan menyimpulkan hasil-hasil penilaian untuk mendapat
gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan dalam mengadakan perbaikan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa inti dari fungsi
supervisi pendidikan ditujukan untuk perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran yang membantu
tugas guru dalam mengajar untuk mencapai keprofesionalitasan guru dalam menunjang tujuan
pembelajaran dan tujuan pendidikan yang efektif.

Menurut Bambang (2008), langkah-langkah kepala sekolah dalam melakukan supervisi


pendidikan di sekolah dasar adalah sebagai berikut:1) Tahap persiapan, meliputi menyiapkan
instrumen, jadwal,2) Tahap pelaksanaan, meliputi pelaksanaan observasi dari kepala sekolah, 3)
Tahap pelaporan, meliputi mengidentifikasi hasil pengamatan pada saat observasi di kelas,
menganalisis hasil supervisi, mengevaluasi bersama antara kepala sekolah dan guru, membuat catatan
hasil supervisi yang didokumentasikan sebagai laporan,4) Tahap tindak lanjut, meliputi
mendiskusikan dan membuat solusi bersama, memberitahukan hasil pelaksanaan kunjungan kelas,
mengkomunikasikan kepada guru.

Berdasarkan pendapat di atas, prosedur pelaksanaan supervisi meliputi tahapan perencanaan,


pelaksanaan, evaluasi, dan tindak lanjut supervisi.

Kompetensi Guru dalam melakukan Penilaian

Menurut Muhaimin (2004: 151) kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh
tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksankan
tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. McAhsan (1981:45), dalam Mulyasa (2003:38)
mengemukakan bahwa kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a
person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily
perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi
diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang
telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan
psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sedangkan menurut Syah (2000:230), “kompetensi” adalah
kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum.

Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan
seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi

54
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 49 - 59

kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam
menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam
melaksanakan profesinya.Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai
penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.

Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan DosenPasal 10 ayat (1)
kompetensi guru meliputikompetensi: 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3)
kompetensisosial, dan 4) kompetensi profesional.

Kompetensi Pedagogik Guru SD/MI berdasarkan Permen No. 16 Tahun 2007 meliputi : 1)
menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual, 2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, 3)
mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu,
4) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, 5) memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, 6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, 7) Berkomunikasi secara efektif, empatik,
dan santun dengan peserta didik, 8) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar,
9) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan 10) melakukan
tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

Selanjutnya dalam Permendiknas No. 16 Tahun2007 menyebutkan kompetensi guru SD/MI


antara lain: 1) memahami prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar sesuai dengan
karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 2)menentukan aspek-aspek proses dan hasil belajar yang
penting untuk dinilai dan dievaluasi sesuai dengan karakteristik lima mata pelajaran SD/MI; 3)
menentukan prosedur penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; 4) mengembangkan instrumen
penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; 5) mengadministrasikan penilaian proses dan hasil
belajar secara berkesinambungan dengan mengunakan berbagai instrumen;6) menganalisis hasil
penilaian proses dan hasil belajar untuk berbagai tujuan; 7) melakukan evaluasi proses dan hasil
belajar.

Berkaitan dengan kompetensi penilaian belajar, Depdiknas (2004:9) mengemukakan


kompetensi penilaian belajar peserta didik, meliputi 1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat
kesukaran,2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, 3) mampu memperbaiki soal yang
tidak valid, 4) mampu memeriksa jawab, 5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampu
mengolah dan menganalisis hasil penilaian, 7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil

55
Supervisi Akademik untuk Meningkatkan Kompetensi Guru di SD Laboratorium UKSW (Suhandi
Astuti)

penilaian, 8) mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, 9) mampu


mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian, (10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian
secara jelas dan logis, 11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, 12)
mengklasifikasi kemampuan siswa, 13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil
penilaian, 14) mampu melaksanakan tindak lanjut, 15) mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan
16) mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian. Berdasarkan uraian di
atas kompetensi pedagogik tercermin dari indikator 1) kemampuan merencanakan program belajar
mengajar, 2) kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan 3)
kemampuan melakukan penilaian.

METODE

Jenis penelitian yamng diterapkan dalam penelitian ini merupakan penelitian tindakan sekolah
menggunakan model supervisi. Dilaksanakan di SD Laboratorium UKSW Salatiga. Pelaksanaan
penelitian ini dilakukan melalui tahap studi pendahuluan, penyusunan proposal penelitian,
penyusunan instrumen, pengumpulan data, analisis data, pembahasan hasil analisis data, dan
penyusunan laporan. Subyek yang dilibatkan dalam penelitian adalah 15 orang guru, dengan
mengukur skor kemampuan guru menyusun dan mengadministrasikan penilaian pembelajaran.
Penelitian tindakan sekolah ini dilakukan menggunakan model supervisi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya guru SD Laboratorium UKSW kepala
sekolah melakukan: 1) pembinaan guru dalam merencanakan, melaksanakan dan menilaia proses
pembelajaran, 2) Pemantauan pelaksanaan standar isi, 3) pemantauan pelaksanaan standar proses, 4)
pemantauan pelaksanaan standar kompetensi kelulusan, 5) pemantauan pelaksanaan standar tenaga
pendidik dan 6) pemantauan pelaksanaan standar penilaian.

Peningkatkan sumber daya guru yang berkualitas perlu dilakukan secara terprogram,
terstruktur dan berkelanjutan melalui pembinaan profesional yang dilakukan oleh kepala sekolah
selaku manajer sumber daya manusia. Melalui supervisi akademik kepala sekolah mampu
menampung berbagai masalah yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran untuk dapat
menemukan cara-cara pemecahan permasalahan. Esensi supervisi akademik adalah membantu guru
mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Hal ini juga dilakukan oleh kepala sekolah SD
Laboratorium UKSW dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan administrasi penilaian

56
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 49 - 59

pembelajaran dimana ada sebagian guru di SD Laboratorium UKSW yang belum kompeten dalam
menyusun administrasi penilaian pembelajaran dengan baik. Dengan melakukan Supervisi Akademik
tingkat kompetensi penyusunan administrasi penilaian pembelajaran di SD Laboratorium
menghasilkan peningkatan 26,2 % dari kondisi awal skor 63,5 setelah dilakukan supervisi menjadi
89,6 ( Suhandi Astuti,2015: 125).

Langkah konkrit yang dilakukan oleh kepala sekolah SD Laboratorium UKSW sebagai supervisor
dengan melakukan observasi langsung yang bertujuan untuk memperoleh data secara obyektif sehingga data
yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisis kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru.Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik obeservasi kelas.Instrumenobservasi yang digunakan adalah alat
penilaian kemampuan guru (APKG) berupa: kisi-kisi instrument pengukuran.Instrument penilaian administrasi
pembelajaran.Kisi-kisi instrument instrument kemampuan guru dalam melakukan penilaian administrasi
pembelajaran mencakup 10 komponenyaitu: 1) Bukunilai/Daftarnilai (item no 1); 2) PelaksaanTes (kognitif):
UH,UTS,UAS (item no 2); 3) Penugasanterstruktur (PT) (item no 3);4) Kegiatan mandiri tidak terstruktur (KMTT)
(item no 4); 5) Pelaksanaan penilaian ketrampilan (psikomotor) (item no 5);6) Pelaksanaan penilaian Afektif akhlak
mulia (item no 6); 7) Pelaksanan penilaian Afektif kepribadian (item no 7); 8) Program dan pelaksanaan Remidial
(item no 8); 9) Analisis hasil ulangan(item no 9); dan 10) Bank Soal/Instrumen Tes (item no 10).

Sama seperti halnya kisi-kisi Instrument penilaian tersebutdi atas, Instrumen penilaian ini mencakup10
komponen, yaitu:1) Bukunilai/Daftarnilai; 2) PelaksaanTes (kognitif): UH,UTS,UAS;3) Penugasan
terstruktur(PT);4) Kegiatan mandiri tidak terstruktur (KMTT); 5) Pelaksanaan penilaian ketrampilan (psikomotor);6)
Pelaksanaan penilaian Afektif akhlak mulia;7) Pelaksanan penilaian Afektif kepribadian;8) Program dan
pelaksanaan Remidial; 9) Analisis hasil ulangan; 10) Bank Soal/Instrumen Tes.

Tiap item instrument penilaian terdapat 5 kategori pensekoranya itu 1, 2, 3,4 dan 5.Setiap skor yang

diperoleh kemudian dibagi dengan skor maksimal dan dikalikan dengan 100 atau N X

100. Adapun kriteria penilaian yaitu: Baik Sekali berada di skor 91 sampai 100, Baik berada pada skor 76
sampai 90, Cukup berada pada skor 61 sampai 75, Kurang berada pada skor 51 sampai 60 sedangkan Kurang
Sekali berada pada skor kurang dari 50.

Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif komparatif.Data kuantitatif yang
diperoleh di deskripsikan dalambentuk kata-kata atau penjelasan.Selanjutnya akan dilakukan komparasi data
untuk memastikan ada tidaknya peningkatan kemampuan guru dalam menyusun perencanaan pembelajaran,
peningkatan kemampuan guru dalam pelaksanaan.

Berdasarkan wawancara dengan guru di SD Laboratorium, hasil dari proses supervisi akademik
menyatakan bahwa supervisi akademik bermanfaat dalam meningkatkan kompetensi guru, caranya mudah
diterima, serta saran yang diberikan oleh kepala sekolahpun mudah dilakukan.

57
Supervisi Akademik untuk Meningkatkan Kompetensi Guru di SD Laboratorium UKSW (Suhandi
Astuti)

Hasil supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah SD Laboratorium UKSW menunjukkan adanya
peningkatan. Pada kondisi awal rata-rata tingkat kompetensi penyusunan administrasi penilaian pembelajaran
63,5 (skor ideal 100) setelah diberi tindakan rata-rata kompetensi penyusunan administrasi penilaian
pembelajaran 89,6. Data tersebut menunjukkan kompetensi penyusunan administrasi penilaian pembelajaran
mengalami peningkatan 26,2%.

Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam melakukan supervisi akademik yang dilakukan
oleh kepala sekolah diantaranya adalah sebagai berikut.: 1) Guru mempunyai pekerjaan yang padat
dalam mengajar di kelas sehingga guru kurang perhatian terhadap supervisi yang dilakukan oleh
kepala sekolah, 2) Waktu pelaksanaan supervisi kadang-kadang kurang dan tidak terjadwal yang
disebabkan oleh kesibukan kepala sekolah, 3) Sebagian kepala sekolah merangkap tugas mengajar di
kelas sehingga kepala sekolah belum melaksanakan supervisi akademik secara rutin yang
mengakibatkan pelaksanaan supervisi akademik belum sepenuhnya berjalan secara baik.

Upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam menghadapi kendala yang dihadapi dalam supervisi
akademik, adalah sebagai berikut: 1) Mempergunakan waktu istirahat atau waktu luang untuk membahas
permasalahan yang dihadapi oleh guru, 2) Kepala sekolah melakukan pendekatan langsung secara individu
kepada masing-masing guru dalam melaksanakan supervisi akademik.

SIMPULAN DAN SARAN

Supervisi akademik dapat meningkatkan kemampuan guru khususnya kemampuan dalam


menyusun administrasi penilaian. Dalam rangka meningkatkan kemampuan guru diperlukan
bimbingan dan pengarahan dari kepala sekolah selaku supervisor. Apabila supervisi akademik
dilaksanakan secara intensif atau dilaksanakan secara berkelanjutan, maka kinerja guru dapat
meningkat dan proses belajar mengajar dapat berkualitas, sehingga output sekolah juga akan
berkualitas.

Berdasarkan simpulan tersebut, maka diajukan saran berikut: Kepala sekolah perlu aktif mengikuti
pembimbingan teknik pelaksanaan supervisi akademik, Kepala sekolah diharapkan punya keberanian
melaksanakan supervisi akademik terhadap guru-guru di sekolahnya, Kepala sekolah perlu membuat
program supervisi setiap tahunnya, Untuk meningkatkan kualitas kepala sekolah kiranya dapat
melaksanakan pembinaan secara berkesinambungan.

58
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 49 - 59

DAFTAR PUSTAKA

Bangun,Wilson.2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Erlangga.

Burhanudin. 1990. Analisis administrasi manajemen dan kepemimpinan pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.

Muhaimin. 2004. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Mawansyah. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Alfabeta

Nana, Sudjana. 2011. Buku Kerja Pengawas Sekolah. Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan, Badan
PSDM dan PMP. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi
Guru. Jakarta: Kemendikbud.

Purwanto, Bambang. 2008. Pelaksanaan pembinaan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan
kinerja guru sekolah dasar di kecamatan purwokerto selatan kabupaten banyumas.
Tesis. Yogyakarta: Perpustakaan UNY

Pujiono. 2014. Laporan Pelaksanaan Supervisi Akademik. SD Kristen Satya Wacana.

Purwanto, Ngalim. 2014. Administrasi dan supervisi pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Suhandi Astuti. 2016. Penerapan Supervisi Akademik untuk Meningkatkan Kompetensi Guru dalam
Menyusun Administrasi Penilaian di SD Laboratorium UKSW. Scholaria 6 (1): 117-126

Suhertian,(2010).Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan.Jakarta: RinekaCipta

Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

--------- 2009. Undang-UndangNomor 39 tahun 2009 Tentang pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas
Satuan Pendidikan. Jakarta.

---------2005. Undang-Undang RI No. 14 Th. 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta:Depdiknas.

59
KONSTRUKSI PENALARAN STATISTIS
PADA STATISTIKA PENELITIAN

Yusfita Yusuf
nugrahayusfita@yahoo.co.id
Program Studi Pendidikan Matematika STKIP Sebelas April Sumedang

ABSTRACT
Statistical Reasoning Construction
On Statistics Research

Statistics can be viewed as a tool to solve problems that always occur in


everyday life,workplace, and science. Based on the observation on the students, it
was found that the there was statistical reasoning abilities of different students.
This could be demonstrated by the acquisition of the different test scores, in which
there were students who just copy the questions until finishing the work on the
problems given. This study discussesed the development deduction level / degree
of statistical reasoning skills based on understanding and opinion of several
experts, which were constructed based on the results of a case study of
mathematics education on STKIP students of Sebelas April Sumedang with
statistical research material.
Keyword: Statistical Reasoning, Level of Statistical Reasoning

PENDAHULUAN
Statistika dapat dipandang sebagai alat untuk memecahkan masalah yang senantiasa terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, di tempat kerja, dan di dalam ilmu pengetahuan (Moore, 1997). Secara
khusus, statistika digunakan untuk menguraikan dan memprediksi fenomena dengan menggunakan
kumpulan hasil dari pengukuran. Kemampuan statistis diperlukan untuk dapat menafsirkan dan
memahami serta membuat keputusan yang baik untuk data-data hasil pengukuran tersebut. Hal ini
sejalan dengan pendapat Rumsey (2002) bahwa tujuan dari pembelajaran statistika adalah siswa
mengerti statistika dengan baik agar dapat mendapat informasi dari data yang ada, mengkritik dan
membuat keputusan berdasarkan informasi tersebut serta bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan penelitian. Salah satu dari kemampuan statistis adalah penalaran statistis.
Chervaney (Garfield, 2002) mendefinisikan penalaran statistis sebagai apa yang dapat
dilakukan siswa dengan konten statistis dan menggunakan keterampilannya dalam menggunakan
konsep statistis untuk penyelesaian masalah yang statistika. Mereka melihat penalaran statistis sebagai
proses yang terdiri dari tiga langkah berikut: (1) komprehensi, (2) perencanaan dan pengambilan
keputusan, dan (3) evaluasi dan interpretasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Martadipura (2012) menunjukkan bahwa
mahasiswa S1 Jurusan Pendidikan Matematika di sebuah PTN di Bandung memiliki kemampuan
yang rendah dalam statistika dasar. Informasi tambahan diperoleh dari observasi awal yang dilakukan
penulis terhadap mahasiswa program Studi Pendidikan Matematika semester VI tahun ajaran
2015/2016, dimana mahasiswa dalam satu kelas mempunyai kemampuan penalaran statistis yang
berbeda. Hal ini dapat ditunjukkan dengan perolehan nilai ujian yang berbeda, dimana ada mahasiswa
yang menyalin soal saja sampai yang mengerjakan soal secara lengkap. Oleh karena itu perlu
60
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 60 – 69

dilakukan suatu pendekatan untuk mengetahui level/ tingkat bernalar seseorang seperti yang
dikemukakan oleh ahli. Adapun pengembangan level penalaran yang dilakukan dengan studi kasus
pada mahasiswa pendidikan matematika STKIP Sebelas April Sumedang dengan materi statistika
penelitian.
Bigss dan Collis (1982), mengelompokkan bernalar menjadi empat level taksonomi SOLO
(Structure of the Observed Learning Outcome), yaitu idiosyncratic atau prestructural, transitional atau
unistructural, quantitative atau multistructural, dan analytical atau relasional. Garfield membagi penalaran
statistis menjadi lima level, yaitu idiosyncratic, verbal, transitional, procedural dan integrated. Kemudian,
Shaughnessy, J. M., M. Ciancetta, K. Best, and J Noll (2005) mengklasifikasikan penalaran statistik
menjadi tiga tahap penalaran yaitu additive reasoning, proportional reasoning, dan distributional
reasoning. Kemudian, Reading dan Reid (2006), mengklasifikasikan level penalaran berdasarkan
pada Taksonomi SOLO dari Biggss dan Collis (1982) terdiri dari prestructural, Unistructural,
Multistructural, dan relational.

Bagaimanakah penjelasan dari masing-masing tingkat itu dan bagaimana kaitannya dengan
yang lain? Bagaimanakah pemikiran tingkat penalaran statistis dalam statistika penelitian?
Pertanyaan-pertanyaan itu akan dijawab dalam uraian tulisan ini.

KAJIAN PUSTAKA

Penalaran Statistis
Penalaran statistis dapat didefinisikan sebagai cara bernalar dengan ide-ide statistik dan
memahami informasi statistis (Garfield dan Gal, 1997). Hal Ini meliputi pembuatan interpretasi
berdasarkan data, representasi data, dan ringkasan data statistik. Bentuk penalaran statistis
menggabungkan ide-ide tentang data dan peluang, yang mengarah pada pembuatan kesimpulan dan
menafsirkan hasil statistik. Penalaran ini didasari oleh konsep-konsep penting tentang pemusatan
data, rentang, peluang, korelasi dan asosiasi, dan sampling. Kemudian Lovett (2001)
menginterpretasikan penalaran statistis sebagai menggunakan alat statistik dan konsep untuk
membuat rangkuman, prediksi, dan menarik kesimpulan dari data. Sejalan dengan pendapat Ben-Zvi
dan Garfield (2004) bahwa penalaran statistis adalah cara berfikir dengan menggunakan informasi
statistik. Sementara del Mas (2002) mengemukakan bahwa penalaran statistis merupakan
kemampuan menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu hasil di produksi dan mengapa dan
bagaimana menarik kesimpulan. Sedangkan Martadipura (2012) mengatakan bahwa penalaran
statistis adalah kemampuan siswa dalam mengerjakan perhitungan statistis dan penalaran terhadap
konsep statistis.
Chervaney dkk. (Garfield, 2002) mendefinisikan penalaran statistis sebagai apa yang
dapat dilakukan siswa dengan konten statistis dan menggunakan keterampilannya dalam
menggunakan konsep statistis untuk penyelesaian masalah statistik. Mereka melihat penalaran
statistis sebagai proses yang terdiri dari tiga langkah berikut:
1) Komprehensi, yaitu melihat sebagian masalah sebagai masalah yang sama dalam satu kelas.
2) Perencanaan dan pengambilan keputusan, yaitu mengaplikasikan metode yang cocok
untuk menyelesaikan masalah.
3) Evaluasi dan interpretasi, yaitu menginterpretasikan hasil dan mengaitkannya
dengan masalah asal.

Banyak orang yang bingung dengan statistika dan matematika oleh karena itu mereka memandang
penalaran statistis dan matematis adalah hal yang sama. Penalaran statistis dan matematis dapat

61
Kontruksi Penalaran Statistis pada Statistika Penelitian (Yusfifa Yusuf)

dipandang sebagai dua hal yang berbeda. Pada kasus ini, del Mas (2002) berpendapat bahwa
penalaran matematis lebih abstrak sedangkan penalaran statistis lebih kontekstual.
Model Penalaran Statistik
Beberapa ahli mengembangkan model penalaran statistis (Garfield, 2002, Shaughnessy, J. M.,
M. Ciancetta, K. Best, and J Noll, 2005 dan Reading and Reid, 2006). Mereka kadang menggunakan
istilah penalaran statistis dan berpikir statistis menjadu dua hal yang berbeda dan kadang mereka
menggunakan istilah tersebut sebagai istilah yang dapat dipertukarkan. Tetapi, del Mas (2002)
membedakan penalaran dan berpikir statistis sebagai berikut. Penalaran statistis adalah kemampuan untuk
menjelaskan kenapa dan bagaimana hasil diproduksi atau kenapa dan bagaimana kesimpulan diperoleh.
Sedangkan berpikir statistis adalah kemampuan untuk memecahkan masalah nyata dengan kritik, evaluasi
dan generalisasi.
Bigss dan Collis (1982), mengelompokkan berpikir menjadi empat level taksonomi SOLO
(Structure of the Observed Learning Outcome) yaitu idiosyncratic atau prestructural, transitional atau
unistructural, quantitative atau multistructural, dan analytical atau relational. Sama seperti Biggs dan
Collis (1982), Garfield (2002) juga memperkenalkan sebuah model penalaran statistis yang
mempunyai lima level dan disusun secara hierarkis yaitu idiosyncratic, verbal, transitional,
procedural, dan integrated.
Kemudian, Shaughnessy, J. M., M. Ciancetta, K. Best, and J Noll (2005) mengklasifikasikan
penalaran statistik menjadi tiga tahap penalaran yaitu additive, proportional dan distributional.
Sebagai contoh, untuk memehami konsep variansi melalui pengertian dari frekuensi, itu dinamakan
additive reasoning. Kemudian jika memehami berdasarkan pada frekuensi relatif, itu dinamakan
proportional reasoning. Tetapi, jika memahami berdasarkan frekuensi relatif dan rentang dari data,
maka itu dinamakan distributional reasoning. Kemudian, Reading dan Reid (2006),
mengklasifikasikan level penalaran berdasarkan pada Taksonomi SOLO dari Biggs dan Collis (1982)
terdiri dari prestructural, Unistructural, Multistructural, dan relational.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Lokasi
penelitian bertempat di STKIP Sebelas April Sumedang. Subjek penelitian adalah mahasiswa
semester VII yang telah mendapatkan materi statistika penelitian. Penentuan lokasi penelitian
berdasarkan tempat bekerja peneliti. Sedangkan penentuan kelas yang terpilih sebagai subjek
penelitian berdasarkan tugas mengajar yang diberikan kepada peneliti.
Data utama yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data dari hasil pelaksanaan tes
sehingga soal dan jawaban mahasiswa merupakan data-data yang dianalisis. Dalam penelitian ini,
soal-soal yang disajikan pada saat tes tertulis bukanlah sebagai “perantara” yang menerjamahkan
fakta ke dalam data (angka-angka) sebagaimana dalam penelitian nonkualitatif. Sumber data utama
tersebut berasal dari mahasiswa yang mengikuti tes tertulis. Selain dengan tes tertulis juga dilakukan
pengumpulan data melalui angket terhadap mahasiswa, serta wawancara berdasarkan pada hasil tes
penalaran statistis.
Pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi. Dalam penelitian ini akan digunakan
tiangulasi sumber dan metode, sehingga data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas, dan pasti.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan triangulasi yaitu gabungan dari tes
tertulis, angket dan studi dokumentasi. Analisis data yang dilakukan menggunakan metode
perbandingan tetap (constant comparative method). Secara umum proses analisis data tersebut
mencakup: reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, diakhiri dengan hipotesis kerja.

62
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 60 – 69

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan level penalaran yang ada, maka akan dilakukan perbandingan. Level penalaran
yang ada yaitu Level penalaran statistis dari Biggs dan Collis yang akan disingkat dengan LPSBC, Level
Penalaran Statistis Garfield akan disingkat dengan LPSG, Level Penalaran Statistis Shaughnessy dkk
yang disingkat dengan LPSS dan Level penalaran statistis dari Reading dan Reid yang akan disingkat
dengan LPSRR.

Tabel 1. Perbandingan LPSBC, LPSG, LPSS dan LPSRR

LPSBC LPSG LPSS LPSRR


Idiosyncratic atau Prestructural Idiosyncratic Reasoning. Additive reasoning: Prestructural:
level. Pada level ini, cara berpikir Mengetahui beberapa istilah Kondisi dimana tidak memiliki
didominasi oleh berpikir ikonik dan simbol statistika serta penjelasan konsep konsep dasar
dan konkrit-simbolik, pada penggunaannya namun tidak berdasarkan pada secara jelas.
statistika, sebagai contoh sepenuhnya dan sering konsep sebelumnya
diilustrasikan pada kemampuan memberikan jawaban yang secara umum
berpikir tentang pemusatan pada tidak akurat atau
data yang tidak relevan. memberikan argumen yang
tidak relevan.
Transitional atau Unistructural Verbal Reasoning. Proportional Unistructural:
level. Pada statistik, level ini Mengetahui konsep, tetapi Reasoning: Situasi fokus hanya pada
diilustrasikan dengan tidak dapat mengidentifikasi dimana penjelasan satu konsep
kemampuan transisi dari penggunaan konsep konsep dipengaruhi statistik.
berpikir idiosyncratic menuju sepenuhnya. Sebagai contoh: oleh beberapa konsep
berpikir quantitative tetapi dapat mendefinisikan konsep yang berhubungan
secara umum difokuskan hanya secara tepat tetapi tidak dapat
pada satu aspek walaupun itu menggunakan konsep tersebut.
kembali pada berpikir Transitional Reasoning.
idiosyncratic. Menentukan konsep secara
benar, tetapi aplikasi dari
konsep tersebut tidak
terintegrasi.
Quantitative atau Procedural Reasoning Distributional Multistructural:
Multistructural Level. Pada Mengidentifikasi secara benar Reasoning: Situasi fokus pada
statistik, level ini diilustrasikan konsep atau proses statistik dimana penjelasan beberapa konsep
dengan kemampuan berpikir tetapi aplikasi dari konsep konsep dengan statistik.
kuantitatif dan untuk membuat tersebut tidak sepenuhnya mengingat konsep
hubungan antara data seperti terintegrasi secara utuh. yang lebih spesifik
untuk menggambarkan, dan berkaitan.
menyusun, merepresentasikan
dan menganalisis data.
Analitical Level atau Relational Integrated Reasoning: Relational:
Level. Pada statistik, level ini, memiliki pemahaman yang mengembangkan
diilustrasikan pada kemampuan lengkap dari proses, hubungan antara
untuk berpikir analisis dan keterkaitan aturan dan konsep statistik
quantitative seperti kemampuan penggunaan statistik. lainnya.
untuk menjelaskan dengan
berbagai macam perspektif
berdasarkan data.

Perbandingan LPSBC dengan LPSG, adalah diosyncratic reasoning level pada LPSBC setara
dengan level penalaran idiosyncratic pada LPSG. Dimana idiosyncratic level pada kedua model
63
Kontruksi Penalaran Statistis pada Statistika Penelitian (Yusfifa Yusuf)

penalaran sama-sama siswa hanya dapat menggunakan simbol atau istilah tetapi tidak sepenuhnya
penggunaan untuk simbol atau istilah tersebut mereka gunakan dengan tepat. Misal menggunakan
simbol untuk menyatakan rata-rata sampel. Transitional reasoning level pada LPSBC setara dengan
level penalaran verbal dan transitional pada LPSG. Sejalah dengan pendapat Chance, del Mas,
Garfield (Reading dan Reid, 2006: 48) bahwa pada penalaran verbal dibutuhkan untuk menerapkan
suatu konsep diperlukan pengetahuan tentang konsep yang lain, misalnya ssiswa tidak dapat
menerapkan distribusi sampling hingga siswa menguasai konsep tentang variabilitas dan distribusi.
Verbal reasoning level pada LPSG adalah mengetahui konsep tetapi tidak dapat mengidentifikasi
penggunan konsep tersebut, maksudnya ketika siswa diberi masalah dia tidak dapat mengerjakan soal
tersebut padahal dia mengetahui tentang suatu konsep. Misal, ada permasalahan tentang uji statistika
satu sampel, siswa tidak bisa menyelesaikan permasalahan tersebut padahal dia mengetahui konsep
tentang uji satu sampel hal ini terjadi karena pada penyelesaian uji statistika satu sampel siswa harus
mengetahui konsep uji normalitas juga. Verbal reasoning level ini sulit diukur dengan ujian tertulis,
untuk mengetahui level penalaran ini harus dilakukan dengan tes lisan (wawancara). Sedangkan
transitional level pada LPSG adalah menentukan konsep dalam penyelesaian masalah namun aplikasi
dari konsep tersebut tidak terintegrasi, maksud dari level ini adalah siswa dapat mengerjakan
permasalahan yang ada, tetapi tidak mengetahui keterkaitan konsep yang dia gunakan dengan konsep
yang lain. Misal, ada permasalahan tentang uji statistika satu sampel, siswa mengerjakan dengan
menggunakan uji t (uji parametris). Padahal untuk melakukan pengolahan data dengan uji parametris
diperlukan asumsi data berdistribusi normal atau dilakukan uji normalitas terlebih dahulu.
Multistructural Reasoning pada LPSBC setara untuk integrated reasoning level dan procedural
reasoning pada LPSG, dimana pada multistructural reasoning diperlukan pemahaman yang lengkap
dari proses serta keterkaitan aturan penggunaan statistika sehingga dapat melakukan analisis data.
Model LPSRR yang dikembangkan dari LPSBC memiliki kesamaan dengan LPSBC,
sehingga dalam hal ini tidak dilakukan perbandingan karena telah diwakili oleh LPSBC. Namun
LPSRR lebih singkat, padat dan jelas dalam penjelasan level penalaran statistis. Sehingga mudah
digunakan dalam melakukan pengukuran kemampuan penalaran statistis. Secara umum, perbandingan
kriteria dari LPSBC, LPSG, LPSS dan LPSRR dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Kriteria LPSBC, LPSG, LPSS dan LPSRR

LPSBC LPSG LPSS LPSRR


Idiosyncratic/ idiosyncratic Prestructural
prestructural
Transitional/ Verbal Additive reasoning Unistructural
Unistructural
Transitional
quantitative/ Procedural Proportional Multistructural
Multistructural reasoning
Relational/ integrated Distributional Relational
Analitical reasoning

Dari tabel 6. dapat dilihat bahwa idiosyncratic atau prestructural merupakan tahap dasar dari
proses penalaran, dimana diminta menggunakan simbol atau istilah yang sesuai dengan masalah yang
disajikan sehingga mempermudah dalam mengidentifikasi masalah. Transitional/ unistructural Level,
merupakan proses penalaran yang hanya terbatas pada satu konsep. Pada level ini, siswa tidak
mengetahui keterkaitan konsep yang diketahui dengan konsep lain. Adapun konsep yang diketahui
dikaitkan dengan pengetahuan yang masih bersifat umum atau dasar seperti simbol dan istilah.
64
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 60 – 69

Quantitative reasoning/ multistructural dari Biggs dan Collis(1982) memberikan gambaran apa yang
dapat dilakukan dengan data hingga data tersebut dianalisis. Sedangkan pada Garfield (2002), dalam
melakukan analisis data tentunya harus memahami suatu prosedur yang akan dilakukan serta proses
terpadu yang menyeluruh dan utuh karena dalam melakukan suatu analisis data dalam statistika
penelitian khususnya diperlukan suatu prasyarat atau materi-materi lain. Hal ini sejalan dengan
Shaughnessy, J. M., M. Ciancetta, K. Best, and J Noll (2005) yang menyebutkan penggunaan
beberapa konsep yang berhubungan sebagai kriteria penalaran proporsional. Kriteria yang digunakan
ketiganya secara garis besar memiliki persamaan yaitu menggunakan beberapa konsep dalam
penyelesaian masalah statistika yang disajikan. Relational reasoning atau analytical level pada
LPSBC mempunyai kriteria menjelaskan dengan berbagai perspektif berdasarkan data, LPSRR
mempunyai kriteri mengembangkan hubungan antara konsep satatistika, LPSS mempunyai kriteria
mengaitkan pada konsep-konsep yang lebih spesifik.
Kriteria yang diberikan oleh Biggs dan Collis (1982), Shaughnessy, J. M., M. Ciancetta, K.
Best, and J Noll (2005) serta Reading dan Reid (2006) memberikan penekanan yang berbeda-beda.
LPSS memberikan kriteria yang umum, tidak berlaku untuk statistika penelitian. Kriteria yang dapat
digunakan pada statistika penelitian adalah kriteria yang diajukan oleh Biggs dan Collis (1982). Misal,
dalam pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan berbagai perspektif seperti perbandingan
nilai hitung dengan nilai tabel atau dengan melihat p-value dengan taraf signifikansi. Sedangkan
kriteria yang diajukan oleh Reading dan Reid (2006) sulit untuk diukur dalam statistika penelitian
Proses penalaran statistis terdiri dari tiga tahap seperti yang dikemukakan oleh Chervaney
dkk. (Garfield, 2002) yaitu komprehensi, perencanaan dan pengambilan keputusan, serta
evaluasi dan interpretasi. Jika mengacu pada proses penalaran statistis berdasarkan Chervaney dkk,
kriteria penalaran statistis yang diajukan oleh Garfield dapat digunakan untuk menempatkan
seseorang pada suatu level penalaran. Namun, Biggs dan Collis menambahkan satu kriteria yaitu
menjelaskan dalam berbagai perspektif berdasarkan data yang ada. Biggs dan Collis berpendapat
demikian karena dalam melakukan pelevelan mengacu pada berpikir, sedangkan Garfield mengacu
pada materi statistika yang tidak semua masalah yang ada pada statistika dapat dijelaskan dalam
berbagai perspektif. Oleh karena itu, penulis melakukan suatu pengembangan pada model penalaran
statistis yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengembangan Model Penalaran Statistis

Hasil
LPSBC LPSG LPSS LPSRR Pengembangan
A B
LPS 0 LPS 0
Idiosyncratic/ idiosyncratic Prestructural LPS 1 LPS 1
prestructural
Transitional/ Verbal Additive Unistructural LPS 2 LPS 2
Unistructural reasoning
Transtitional LPS 3
quantitative/ Procedural Proportional Multistructural LPS 4 LPS 3
Multistructural reasoning
Relational/ Integrated Distributional Relational LPS 5
Analitical reasoning

65
Kontruksi Penalaran Statistis pada Statistika Penelitian (Yusfifa Yusuf)

Dengan melihat kesamaan-kesamaan kriteria dalam level penalaran pada alternatif pertama (A), dan
untuk selanjutnya disederhanakan berdasarkan data hasil studi kasus yang dilakukan. Maka untuk
selanjutnya yang dijadikan teori-hipotetik adalah pada alternatif kedua (B).
Berdasarkan hasil pengerjaan tes penalaran statistis siswa yang berada pada LPS 0,
menunjukkan ciri-ciri bahwa siswa tersebut tidak memberikan jawaban dan ada beberapa siswa yang
hanya menyalin soal. Siswa tidak dapat mengidentifikasi masalah ke dalam simbol-simbol statistik.
Berdasarkan hasil angket dan wawancara yang dilakukan, siswa tidak memberikan jawaban pada soal
tes dan tidak dapat mengidentifikasi masalah karena siswa tidak memahami permasalahan yang
disajikan dan mereka bingung menggunakan simbol statistika untuk sampel dan parameter, sehingga
hal ini menyebabkan mereka tidak dapat mengidentifikasi masalah dan merumuskan hipotesis
statistiknya. Hasil pengerjaan siswa pada LPS 0 dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2.

Gambar 1. hasil pengerjaan siswa pada LPS 0(a)

Gambar 2. Hasil Pengerjaan Siswa LPS 0 (b)

Siswa yang mencapai tingkat ini, dinamakan sebagai siswa yang tidak memiliki penalaran statistis.
Siswa pada LPS 1 (prestructural) memiliki ciri hanya dapat mengidentifikasi masalah dengan
menggunakan simbol atau istilah serta dapat menentukan hipotesis penelitian. Berdasarkan hasil
wawancara dan angket, siswa tersebut kesulitan dalam menentukan rumus mana atau langkah mana
yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena mereka tidak mengerti harus
melakukan apa terlebih dahulu untuk mengerjakan soal tersebut. Hasil pengerjaan siswa pada LPS 1
dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Hasil pengerjaan Siswa pada LPS 1

66
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 60 – 69

Siswa yang mencapai tingkat ini, dinamakan sebagai siswa yang memiliki penalaran statistis dengan
kategori kurang.
Siswa pada LPS 2 (transisi) memiliki ciri-ciri dapat mengidentifikasi masalah dengan
menggunakan simbol atau istilah yang tepat, dapat menentukan hipotesis penelitian dan mengetahui
konsep apa yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tetapi tidak mengerti penggunaan konsep
tersebut. Hasil pengerjaan siswa pada LPS 2 dapat dilihat pada gambar 4 dan gambar 5.

Gambar 4. Hasil pengerjaan siswa pada LPS 2(a)

Gambar 5. Hasil Pengerjaan Siswa pada LPS 2 (b)

Pada gambar 4, siswa hanya bisa mengerjakan dengan menghitung uji normalitas saja. Siswa
tidak mengerti permasalahan yang terdapat pada soal dan konsep apa yang dibutuhkan dalam
meyelesaikan permasalahan yang ada. Artinya, siswa hanya menguasai konsep uji normalitas dan
tidak mengetahui konsep-konsep yang lain. Sedangkan pada gambar 5, siswa hanya terfokus kepada
konsep penyelesaian masalah (uji t satu sampel), tetapi dia tidak mengerti bahwa untuk dapat
melakukan perhitungan uji t dipersyaratkan data harus berdistribusi normal. jadi berdasarkan hasil
pengerjaan siswa, dapat diketahui bahwa pemahaman siswa dalam menyelesaikan permasalahan
belum terintegrasi secara utuh. Siswa yang mencapai tingkat ini, dinamakan sebagai siswa yang
memiliki penalaran statistis dengan kategori cukup.

67
Kontruksi Penalaran Statistis pada Statistika Penelitian (Yusfifa Yusuf)

Siswa pada LPS 3 (proses terpasu) memiliki ciri-ciri dapat mengaplikasikan konsep dengan
benar untuk menyelesaikan masalah dan dapat menginterpretasikan serta mengaitkannya dengan
masalah asal (membuat kesimpulan). Hasil pengerjaan siswa pada LPS 3 (proses terpadu) dapat
dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Hasil pengerjaan siswa pada LPS 3

SIMPULAN DAN SARAN


Model penalaran statistis yang dikembangkan berdasarkan teori-teori yang diketahui dengan
melakukan verifikasi di lapangan (STKIP Sebelas April Sumedang) pada materi statistika penelitian.
Dengan demikian pembagian level / tingkat penalaran statistis tersebut dapat berubah atau mengalami
perbaikan/penyempurnaan, yang disesuaikan dengan materi atau sampel penelitian.
Hasil pengembangan selanjutnya akan memberikan kontribusi teori dalam menentukan
kualitas kemampuan penalaran statistis individu, khusus dalam materi statistika penelitian. Sedang
dalam penerapan pembelajaran di kelas dapat berguna dalam beberapa hal. Pertama untuk
memprediksi dan mengklasifikasikan kemampuan siswa dalam kemampuan penalaran statistis
(khusus statistika penelitian). Kedua untuk merancang model atau strategi pembelajaran yang
bertujuan meningkatkan atau mengoptimalkan kemampuan penalaran statistis siswa. Dengan
mengetahui rata-rata level penalaran statistis siswa (dalam statistika penelitian) suatu kelas, guru
dapat merancang strategi, pendekatan, metode ataupun teknik pembelajaran yang sesuai dan tepat.
Ketiga, level penalaran statistis ini dapat menjadi acuan atau patokan dalam penilaian kemampuan
(kualitas) penalaran statistis siswa dalam belajar statistika. Terakhir, level penalaran statistis dapat
sebagai pedoman dalam mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa dalam penalaran statistis.

68
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 60 – 69

DAFTAR PUTAKA

Ben-Zvi D. And Gafield, J. 2004. The Challenge of Developing Statistical Literacy, Reasoning, and
Thinking. (p 121 – 146) Boston MA Kluwer Academic Publisher.
Biggss, J. B. and Collis, K.F. 1982. Evaluating the quality of learning: the SOLO taxonomy. New
York, NY: Academic Press.
delMas, R. 2002. Statistical Literacy, Reasoning, and Leraning: A Commentary”. . Journal of
Statistics Education, 10(3). [Online]. Tersedia: www.amsat.org/publicatins/jse/
v103/delmas_disscussion.html.
Gal, I dan Garfield,J.B. 1997. Teaching and Assesing Statistical Reasoning. NCTM.
Garfield, J. B. 2002. The Chalange of Develoving Statistical Reasoning. Journal of Statistics
Education, 10(3). [Online]. Tersedia: www.amsat.org/publicatins/jse/v103/garfield,html.
Lovett, M. 2001. A Collaborative Convergence on Studying Reasoning Processes. A Case Study in
Statistic. In D Klahr and S. Carver (Eds). Cognition and Instruction Twenty-Five Years of
Progress (p 347-384). Mahwah: NJ Lawrence Erlbaum.
Martadipura, B. A. 2012. Peningkatan Kemampuan Berpikir Statistis Siswa S1 Melalui Pembelajaran
MEAs yang Dimodifikasi. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung,
1 (1). Tersedia: http://www.jurnal-infinity.com.
Moore, D. S. 1997. “New Pedagogy and New Content: The Case of Statistics”. International Statistics
Review, 65(2), 123-165.
Reading, C. And J. Reid. 2006. A Emerging Hierarchy of Reasoning of Reasoning about Distribution:
From a Variation Perspective. Statistics Education Research Journal, 5(2), 46-68.
Rumsey, D. 2002. Statistical Literacy as a Goal for Introductory Statistics Courses. Journal of
Statistics Education, 10(3). [Online]. Tersedia: www.amsat.org/publicatins/jse/v10n3/
rumsey2.html.
Shaughnessy, J. M. dkk. 2005. Secondary and Middle School Students Attention to Variability when
Comparing Data Sets. Paper presentation at The Research Pressesion of the 82th Anual Meeting
of The National Council of Teacher of Mathematics, Anahiem. CA.

69
STUDI PENGUASAAN MATEMATIKA DAN BAHASA INGGRIS MAHASISWA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)

Wahyu Pramudita
wahyupramudita@gmail.com
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Indri Anugraheni
Indri.anugraheni@staff.uksw.edu
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

ABSTRACT

Mastery Study Of Math And English


Students Of Primary Teachers Education (Pgsd) Program

This research was a descriptive non-experimental (field study) that attempted to


describe the level of students’ mastery on the primary teachers education’s student of
Atma Jaya Catholic University, specifically the cognitive aspects of basic mathematic
and English language referred to curriculum of 2008. This study aimed to 1) mapping
of the students’ mastery of mathematics and its relevancy, 2) mapping of the students’
mastery of English Language and its relevancy. The respondents of this study were 56
students of 2010-2012 batches. The results of this study indicated that the
mathematical ability of students was considered good and the English language
ability was sufficient.

Keywords: Mathematic Mastery, English Language Mastery, Elementary Teacher


Education

PENDAHULUAN

Salah satu bekal utama yang menjadi dasar pemikiran kritis bagi mahasiswa PGSD adalah
kemampuan akademik terkait penguasaan bidang studi ilmu pendidikan di SD. Salah satu contoh
penguasaan bidang studi keilmuan dan ilmu pendukungnya adalah matematika dan Bahasa Inggris.
Kedua rumpun mata kuliah yang berbeda ini cenderung mendapat perhatian yang serius di kalangan
pendidik dikarenakan sifat keilmuannya yang dipandang sulit/tidak mudah dipahami oleh mahasiswa.
Russefendi (1988) menegaskan bahwa matematika dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang
terorganisasikan dari definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil yang setelah dibuktikan
kebenarannya berlaku secara umum. Sedangkan Bahasa Inggris sebagai ilmu penunjang berperan
memberikan sumbangsih pengetahuan dalam bentuk referensi pengembangan keilmuan dengan
membiasakan mahasiswa untuk mampu memanfaatkan sumber-sumber mutakhir yang bersumber dari
Bahasa Inggris (Depdiknas, 2002).
Mengacu pada pemikiran Ernest (1991) bahwa matematika merupakan sederetan simbol-
simbol yang tidak mempunyai makna dan simbol-simbol matematika tidak mewakili hal-hal yang
merupakan maknanya tanpa pemahaman bahasa yang melengkapinya, “mathematics is a motley, a
70
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 70 – 82

collection of language games, and that the notion of truth, falsity and proof depend up on our
accepting the conventional linguistic rules of these games”. Menggarisbawahi pemahaman ini, suatu
sistem logis matematis adalah suatu tata permainan bahasa. Suatu permainan akan berjalan dengan
lancar jika dipahami aturan permaian yang mendasarinya atau akan terjadi “chaos” jika sistem
komunikasi ini berubah tidak sesuai alur yang semestinya. Pemahaman logis matematis memiliki
korelasi positif dengan konstruksi sosial bahasa. Suyitno (2008) menekankan bahwa matematika
sebagai tata permainan bahasa memiliki aturan dalam artian “grammar”. Konsepsi matematika
memperhatikan sistem dari sesuatu yang merepresentasikanya, yang pada akhirnya mampu untuk
dideskripsikan.
Di satu sisi, Bahasa Inggris merupakan suatu sistem kebahasaan yang muncul tidak dalam
koleksi kata-kata yang tidak beraturan melainkan terikat menjadi suatu sistem kesatuan aturan atau
prinsip “ruled governed system”. Sistem ini terdiri dari unit terkecil yang memiliki fungsi khusus dan
saling berelasi satu dengan lainnya, didasari dengan pemikiran logika sosial yang sistemik dan
matematik. Sebagai contoh dalam lingkup syntax; aturan dalam bahasa inggris menerima bentuk
kalimat “I drink a glass of water or a glass of water I drink”, tetapi kurang dapat menerima bentuk
kalimat “Drink a glass of water I”. Proposisi dari penyusunan bahasa menunjukkan struktur logis dari
bahasa yang membawa makna. Pemikiran logis matematis, esensinya, memberikan kontribusi
dominan dalam memberikan makna proposisi. Wittgenstein (1951) menekankan pemahaman ini,
“Logic, it may be said, shews us what we understand by proposition and by language”
Menarik benang merah dari pemikiran di atas, pemahaman logis matematis memiliki peranan
mendasar dalam memahami konsep kebahasaan dan setiap simbol yang benar harus dapat
diimplikasikan ke dalam konsep yang lain secara benar atau sebaliknya. Perbedaan penafsiran dalam
memahami konsep akan berdampak pada perbedaan implikasi yang senyatanya. Hal ini menunjukkan
bahwa konsep matematis tanpa konsep bahasa yang benar tidak dapat merepresentasikan sistem
matematik yang diterima secara umum.
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang menerapkan logika dalam proses
berfikirnya. Sebagai suatu ilmu yang bersifat simbolis, matematika tidak akan bermanfaat tanpa
logika berfikir yang benar. Logika yang diasah dalam ilmu matematika merupakan pintu gerbang
segala ilmu. Logika menawarkan penalaran logis dalam menguji suatu fenomena/persoalan. Disisi
lain, Bahasa Inggris merupakan Bahasa universal yang dominan digunakan dalam bidang keilmuan.
Dengan kemampuan Bahasa Inggris yang mencukupi maka aksesibilitas keilmuan menjadi terbuka.
Kedua ilmu ini, pada dasarnya semakin melengkapi, sangat berpengaruh terhadap pengembangan
keilmuan sehingga jika kedua ilmu ini dikuasai dengan baik akan menjadi dasar yang kuat terhadap
pengembangan keilmuan yang lain/IPTEK.
Dalam rangka meningkatkan pengembangan keilmuan secara holistik, maka penulis berusaha
melakukan pemetaan terkait kedua ilmu ini sehingga kemampuan dasar mahasiswa dalam upaya
memahami bidang keilmuan lainnya dapat semakin ditingkatkan.

KAJIAN PUSTAKA

Pembelajaran merupakan suatu proses terjadinya interaksi belajar dan mengajar dalam suatu
kondisi tertentu yang melibatkan beberapa unsur, baik unsur ekstrinsik maupun intrinsik yang melekat
pada diri siswa dan guru termasuk lingkungan. Dimyanti dalam Susanto (2013) menyatakan bahwa
pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat
siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumberdaya. Susanto juga
menambahkan bahwa pembelajaran adalah aktivitas guru dalam merancang bahan pengajaran agar
proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, yakni siswa dapat belajar secara aktif dan

71
Studi Penguasaan Matematika dan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) (Wahyu Pramudita, Indri Anugraheni)

bermakna. Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
adalah suatu aktivitas guru dalam merancang pembelaj aran yang mampu mengaktifkan siswa selama
proses pembelajaran.
Proses pembelajaran di kelas sebagai implementasi dari sebuah kurikulum merupakan sarana
untuk membantu siswa memperoleh informasi,ide, keterampilan, ni1ai, cara berfikir,
mengekspresikan diri, dan cara-cara bagaimana untuk belajar. Menurut Suyono&Hariyanto (2012),
pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling
bergantung satu sama lain, dan terorganisir antara kompetensi yang harus diraih siswa, materi
pelajaran, pokok bahasan, metode dan pendekatan pengajaran, media pengajaran, sumber belajar,
pengorganisasian ‘kelas, dan penilaian. Pembelajaran dapat berarti suatu proses yang digunakan untuk
mengarahkan siswa pada kondisi yang membantu mereka mencapai target belajar. Guru sebagai
fasilitator harus mampu mengorganisir semua unsure pembelajaran dan mengarahkannya pada
suasana yang memungkinkan seorang siswa untuk belajar, sehingga kompetensi yang diharapkan
dapat dicapai.

Pembelajaran Matematika di PGSD


Matematika adalah hasil pemikiran, yang menunjukkan keutuhan kapasitas pikiran dalam
menemukan urutan dan pola peristiwa di dunia, untuk menjelaskan dan memberi arti intelektual
tentang dunia, dan untuk menikmati tantangan dan pemecahan masalah yang dimunculkan oleh
dirinya sendiri (Mack J, 1994: 264-267). Matematika di sekolah terus berkembang, namun masih
sering disajikan sebagai bagian dari pengetahuan semata, bukan sebagai cara untuk memperoleh
pengertian. Karena itu, banyak murid memandang matematika sebagai hal yang objektif, tidak
fleksibel, datar dan edukatif, terlepas dari budaya, terpisah dari realitas dan merupakan kebenaran
mutlak. Namun, para ahli yang profesional sepakat bahwa matematika merupakan produk dari proses
yang intuitif dan kreatif, yang mencerminkan kondisi serta perkembangan historis dan sosial, dan
aplikasinya menyajikan model — model realitas, daripada kebenaran universal. Matematika sering
dianggap sebagai suatu kumpulan sistem matematika yang setiap sistem itu mempunyai struktur-
struktur tersendiri yang bersifat deduktif (Hudoyo,1988: 95).
Suatu sistem deduktif dimulai dari unsur yang tidak didefenisikan yang disebut unsur primitif.
Unsur tersebut diperlukan sebagai dasar komunikasi selanjutnya ditentukan aksioma — aksioma yang
merupakan asumsi — asumsi dasar tertentu. Aksioma tersebut merupakan pemyataan yang
menyatakan hubungan dasar dalam unsur-unsur pokok dalam suatu sistem tersebut, dan akhimya
diperoleh teorema — teorema yang dibuktikan dengan serentetan pemyataan. Setiap pernyataan dapat
berupa defenisi, aksioma atau teorema — teorema dibuktikan kebenarannya. Carter (2007: 74)
mendefenisikan matematika adalah sebagai berikut: Mathematics is the manipulation of abstract
symbols according to spesific as rules. As such mathematics is a language, but it differs from other
languages in its universal nature and its applicability to human endeavors. Mathematics is the
objective science of pure reason. Some might say that this ability to reason'mathematically is a
characteristic will be the first language of communication between us and other sentient beings when
such communications occur. Artinya matematika adalah proses memanipulasi simbol-simbol abstrak
sesuai dengan aturan yang khusus. Karena matematika adalah bahasa, tetapi berbeda dengan bahasa
yang alami dan penerapan usaha manusia. Matematika adalah objek tujuan. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa ini kemampuan untuk alasanmatematis adalah karakteristik yang akan menjadi
bahasa pertama komunikasi antara kita dan makhluk hidup lainnya ketika komunikasi tersebut tte adi.
Menurut Uno (2009: 130), belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami
arti dan hubungan-hubungan serta simbol—simbol, kemudian diterapkannya dalam situasi nyata.

72
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 70 – 82

Schoenfeld (Uno, 2009: 130) mendefinisikan bahwa belajar matematika berkaitan dengan apa dan
bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah.
Menurut Hudoyo (1988: 6) pembelajaran adalah suatu proses interaksi dua arah antara
pengajar dan mahasiswa. Dapat dikatakan pembelaj aran nlerupakan dua kegiatan yang saling
mempengaruhi yang dapat menentukan hasil belajar. Kemudiaan Hudoyo menjelaskan bahwa
pembelajaran sebagai suatu rangkaian kejadian atau (events) yang mempengaruhi pembelajar
sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Pembelajaran bukan hanya terbatas
pada yang diajarkan oleh guru saja, akan tetapi mencakup semua kejadian kehidupan yang mungkin
mempunyai pengaruh langsung pada proses belajar manusia. Pembelajaran mencakup kejadian-
kejadian yang diturunkan oleh bahan-bahan cetak, gambar, program, televisi, film maupun kombinasi
dari bahan-bahan tersebut. Dengan demikian fungsi pembelajaran bukan hanya fungsi guru/pengajar,
melainkan juga fungsi sumber — sumber belajar lain yang digunakan oleh pembelajar untuk belajar
sendiri.

Pembelajaran Bahasa Inggris di PGSD


Pendidikan guru sekolah dasar sebagai bentuk pendidikan sekolah yang mencetak calon guru
SD, seyogyanya memberikan bekal kemampuan dan keterampilan bagi mahasiswa, untuk melandasi
pola pikir mereka. Dengan mengambil satu aspek pembelajaran, aspek pembelajaran bahasa,
diharapkan bekal yang kuat dalam aspek ini mampu membekali mahasiswa dengan kemampuan unjuk
kerja (performance), fungsi (functional), informasi (informative), dan epistemik (epistemic). Pada
tahapan unjuk kerja mahasiswa diharapkan mampu berkomunikasi menggunakan simbol melalui
membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Pada tahapan fungsi, mahasiswa diharapkan
mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan sehari—hari seperti membaca koran,
membaca petunjuk, atau prosedur sesuatu. Pada tahapan informasi, mahasiswa diharapkan mampu
mengakses pengetahuan menggunakan kemampuan bahasa mereka sedangkan tahapan epistemik
mahasiswa diharapkan mampu mengekspresikan pengetahuan mereka ke bahasa yang dituju (Wells,
1987 as cited in SBC, 2006).
Pada kenyataannya, proses pengajaran dan pembelajaran Bahasa Inggris untuk jenjang
sekolah dasar ditujukan sebagai muatan institusional. Dengan persepsi ini, walaupun tidak bersifat
wajib, setiap institusi sekolah diharapkan mampu mempersiapkan, dengan melihat konteks sekolah
masing-masing, dengan optimal untuk ke jenjang lanjutan tingkat pertama. Dengan berpedoman pada
pemikiran ini, standar kompetensi guru kelas/sosok utuh guru kelas SD/MI, menggarisbawahi rumpun
kompetensi untuk kemampuan mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan dengan
penekanan kompetensi untuk kemampuan menggunakan Bahasa Inggris untuk mengembangkan
wawasan. Dengan rancangan kompetensi ini, pengalaman belajar Bahasa Inggris di PGSD berkenaan
dengan beberapa hal ini (1) Berlatih mengembangkan keterampilan berbahasa Inggris dan (2) Berlatih
memanfaatkan berbagai sumber dalam Bahasa Inggris untuk berbagai keperluan. Lingkup
pembelajaran Bahasa Inggris ini kemudian dikembangkan, sesuai dengan konteks, untuk membekali
mahasiswa pada jenjang selanjutanya dalam kemampuan untuk berkomunikasi pasif yang berfokus
pada konteks lingkungan sekolah. Pada tahapan ini, keterampilan menulis dan membaca
dikembangkan untuk mendukung kemampuan mahasiswa dalam mengakses ilmu/referensi dan
memproduksi tesk tulis sederhana sebagai sarana berkomunikasi.

METODE
Penelitian ini diawali dengan proses pengamatan situasi/kondisi sosial/institusional kemudian
mengkaji sikap, persepsi, dan perilaku individu serta kelompok dalam situasi ini. Penelitian ini

73
Studi Penguasaan Matematika dan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) (Wahyu Pramudita, Indri Anugraheni)

merupakan penelitian deskriptif yang berusaha untuk mengungkapkan suatu masalah/keadaan


sebagaimana adanya. Penelitian ini menekankan pada gambaran objektif suatu kondisi tertentu
dengan harapan reflektif untuk manfaat yang lebih luas. Dalam penelitian ini, hal yang akan
dideskripsikan adalah gambaran dan tingkat pemahaman mahasiswa terkait mata kuliah matematika
dan bahasa inggris.
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Unika
Atmajaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang mencoba mendiskripsikan tingkat
penguasaan mahasiswa, khususnya aspek kognitif terkait dengan kemampuan bidang studi. Variabel
yang mencoba untuk dianalisis dalam penelitian ini yaitu tingkat pemahaman mahasiswa yang
meliputi rumpun matematika (matematika dasar, konsep dasar matematika SD, pembelajaran
matematika SD) dan rumpun bahasa inggris (bahasa inggris I, bahasa inggris II).
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan Kuesioner. Pertama-tama peneliti membuat
kisi-kisi kuesioner. Kisi-kisi kuesioner berdasarkan kompetensi-kompetensi dari mata kuliah
matematika dan Bahasa Inggris. Peneliti menentukan kompetensi-kompetensi yang akan diukur,
kemudian peneliti membuat indikator-indikator yang akan diteliti. Kisi-kisi yang dibuat, digunakan
peneliti untuk membuat lembar kuesioner. Sebelum instrumen digunakan, peneliti melakukan uji
validasi isi (content validity). Validasi isi adalah instrumen yang dibuat didasarkan pada kompetensi-
kompetensi yang akan diukur.
Uji validitas dilakukan bertujuan untuk menguji apakah butir tersebut sudah valid untuk
mengukur indikatornya. Uji validitas ini dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistic
Product Service Solution) versi 17.00 forwindow. Uji validitas bertujuan untuk memastikan bahwa
Pernyataan-pernyataan dalam masing-masing variabel dapat terklarifikasi pada variabel-variabel yang
telah ditentukan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan cara bivariate pearson. Dimana dalam
pengujian ini dengan melakukan korelasi bivariate antara masing-masing skor itemdengan total skor
item. Dimana nilai dari korelasi tersebut dibandingkan dengan nilai tabel = 5%, df = n-2, dimana n
menunjukkan total data yang digunakan. Maka dalampenelitian ini n yang digunakan sebesar 56,
maka nilai df sebesar 54 dengan tingkat signifikansi sebesar 0.05 maka diperoleh r table = 0,263.
Hasil dari r table = 0,263 kemudian dibandingkan dengan r hitung dari hasil penggujian dengan
menggunakan korelasi bivariate. Jika r hitung  r table maka item tersebut dinyatakan valid, tetapi
jika r hitung  r table maka item tersebut dinyatakan tidak valid. Hasil validasi dari 38 item
menunjukan semua item valid, sehingga 38 pertanyaan dalam kuesioner dapat digunakan sebagai
instrument penelitian.
Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengukuran yang telah dilakukan
dalam penelitian ini dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Konsistensi pengukuran menggambarkan
bahwa instrumen tersebut dapat bekerja dengan baik pada waktu dan situasi yang berbeda. Uji
reliabilitas dilakukan dengan menghitung nilai Cronbach’s Alpha dari masing-masing instrumen
dalam suatu variabel. Nilai untuk menentukan reliabilitas suatu instrumen adalah nilai Cronbach’s
Alpha  0,8 maka dikatakan bahwa instrument tersebut reliable (handal). Hasil dari pengolahan data
yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini akan disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Reliability Statistics


Cronbach’s Alpha N of Items
.951 38

74
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 70 – 82

Dari table 3 diatas menunjukkan bahwa cronbach’s alpha untuk uji validitas instrumen sebesar 0, 951
dengan nilai N = 38. Nilai cronbach”s alpha> 0,80 maka instrumen untuk mengukur penguasaan
matematika dan Bahasa Inggris reliabel, sehingga instrument tersebut dapat digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jika mengacu pada kurikulum perguruan tinggi, pembelajaran Bahasa Inggris diadakan dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas dan luaran yang memiliki daya saing lokal, regional, maupun
internasional.
Di satu sisi, pembelajaran matematika merupakan ilmu pembelajaran yang mempunyai peranan
penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Korelasi antara matematika dan Bahasa Inggris dengan
cabang ilmu lain sangat dekat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sejalan dengan
penelitian Khoirunisa (2012) terhadap salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di wates. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif antara kemampuan pemahaman istilah
Bahasa inggris dan operasi dasar Matematika terhadap kemampuan belajar Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi r hitung sebesar 0,491 yang di
konsultasikan dengan r tabel 0,195 dengan N = 119 dan taraf signifikansi 5%. Dimana r hitung > r
tabel. Sedangkan harga koefisien determinasi ( R2) sebesar 0,241 atau sebesar 24,1% dan ditunjukkan
dengan persamaan Y= 0,295 X1 + 0,139 X2 + 70,367.
Gambaran mengenai kedua bidang ilmu ini menjadi penting karena dapat digunakan sebagai pijakan
penyusuan metode, teknik, dan pendekatan dalam mencapai hasil optimal dalam pembelajaran.
Gambaran penguasaan kedua bidang ilmu, dalam penelitian ini, dibagi menjadi 2 kategori yaitu hasil
penguasaan matematika mahasiswa PGSD dan hasil penguasaan Bahasa Inggris mahasiswa PGSD
dengan menggunakan kurikulum 2008.

1. Hasil Penguasaan matematika


Hasil penguasaan matematika mahasiswa PGSD dibagi dalam 6 indikator. Berikut adalah hasil
masing-masing indikator tersebut:

Tabel 2. Persentase penguasaan pengetahuan konseptual dan prosedural serta keterkaitan dalam
bidang aritmatika, aljabar, geometri, trigonometri, pengukuran, statistika dan logika matematika
∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
Mengkaji pengetahuan matematika secara 0 18 34 4 0
56
konseptual (0) (32) (61) (7) (0)
Mengkaji pengetahuan matematika secara 1 19 31 5 0
56
procedural (2) (34) (55) (9) (0)
0 17 36 3 0
Kesulitan dalam pembentukan konsep 56
(0) (30) (64) (5) (0)
1 19 31 5 0
Kesulitan dan kesalahan pemecahan masalah 56
(2) (34) (55) (9) (0)
Dari tabel 2 menunjukan bahwa rata-rata mahasiswa PGSD pada aspek penguasaan
pengetahuan konseptual dan prosedural serta keterkaitan keduanya dalam bidang aritmatika, aljabar,
geometri, trigonometri, pengukuran, statistika dan logika matematika berada pada kemampuan cukup
tinggi. Hal ini tampak dari rata-rata pengetahuan matematika secara konseptual berada pada kategori
tinggi dengan persentase 32%. Persentase pengetahuan matematika mahasiswa secara procedural
berada pada kategori cukup sebesar 55%. Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa 64% mahasiswa
PGSD mengalami kesulitan dalam pembentukan konsep dan 55% mahasiswa mengalami kesulitan
dan kesalahan dalam pemecahan masalah.

75
Studi Penguasaan Matematika dan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) (Wahyu Pramudita, Indri Anugraheni)

Tabel 3. Persentase matematisasi horizontal dan vertikal untuk menyelesaikan masalah

∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
Logis, kritis, sistematis dalam mengembangkan 3 23 27 3 0
56
pembelajaran (5) (41) (48) (5) (0)
3 24 24 5 0
Menerapkan pemikiran inovatif 56
(5) (43) (43) (9) (0)
1 22 30 3 0
Menerapkan pemikiran implementatif 56
(2) (39) (54) (5) (0)

Berdasarkan tabel 3 diatas menunjukkan bahwa penguasaan pengetahuan menggunakan


matematisasi horizontal dan vertical untuk menyelesaikan masalah berada pada kategori cukup tinggi.
Hal ini tampak dari hasil persentase pemikiran logis, kritis, sistematis dalam mengembangkan
pembelajaran sebesar 48 % pada kategori cukup tinggi. Persentase mahasiswa dalam menerapkan
pemikiran inovatif sebesar 43% berada pada kategori tinggi. Sedangkan persentase mahasiswa dalam
menerapkan pemikiran implementatif sebesar 54% pada kategori cukup tinggi.

Tabel 4. Persentase pengetahuan konseptual dan prosedural dalam masalah matematika dan
penerapannya

∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
Menggunakan pengetahuan matematika secara 0 29 21 6 0
56
konseptual (0) (52) (38) (11) (0)
Menggunakan pengetahuan matematika secara 1 26 23 6 0
56
prosedural (2) (46) (41) (11) (0)

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa penguasaan pengetahuan konseptual dan prosedural


serta keterkaitan keduanya dalam pemecahan masalah matematika dan penerapannya berada pada
kategori tinggi. Hal ini ditunjukan dari hasil persentase mahasiswa dalam menggunakan pengetahuan
matematika secara konseptual sebesar 52% berada pada kategori tinggi. Sedangkan persentase
mahasiswa dalam menggunakan pengetahuan matematika secara procedural sebesar 46% berada pada
kategori tinggi.
Tabel 5. Mengkaji penalaran deduktif dan penalaran induktif

∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
1 33 19 3 0
Menunjukkan komitmen 56
(2) (59) (34) (5) (0)
2 34 17 3 0
Menunjukkan sikap bertanggung jawab 56
(4) (61) (30) (5) (0)

Berdasarkan tabel 5 diatas menunjukkan bahwa rata-rata pengkajian penalaran deduktif dan
penalaran dalam matematika berada pada kategori tinggi. Hal ini ditunjukan dari hasil persentase
mahasiswa dalam berkomitmen sebesar 59% berada pada kategori tinggi. Sedangkan persentase
mahasiswa dalam bertanggung jawab sebesar 61% berada pada kategorti tinggi.

76
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 70 – 82

Tabel 6. Berlatih menggunakan penalaran deduktif dan induktif dalam pembelajaran matematika
∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
0 17 34 5 0
Kesulitan pembentukan konsep 56
(0) (30) (61) (9) (0)
0 20 30 6 0
Kesalahan pembentukan konsep 56
(0) (36) (54) (11) (0)
3 21 28 4 0
Menkaji pengetahuan secara deduktif dan induktif 56
(5) (38) (50) (7) (0)
1 31 23 1 0
Menggunakan pengetahuan secara deduktif 56
(2) (55) (41) (2) (0)
3 23 27 3 0
Menggunakan pengetahuan secara induktif 56
(5) (41) (48) (5) (0)

Berdasarkan tabel 6 diatas, menunjukan bahwa rata-rata penggunaan penalaran deduktif dan
induktif dlam pembelajaran matematika berada pada kategori tinggi. Hal ini ditunjukkan dari hasil
persentase kesulitan mahasiswa dalam pembentukan konsep sebesar 61% dengan kategori cukup
tinggi. Persentase kesalahan mahasiswa dalam pembentukan konsep sebesar 54% dengan kategori
cukup tinggi. Persentase mahasiswa dalam mengkaji pengetahuan secara deduktif dan induktif sebesar
50% berada pada kategori cukup tinggi. Persentase mahasiswa menggunakan pengetahuan secara
deduktif sebesar 55% berada pada kategori tinggi. Persentase mahasiswa dalam menggunakan
pengetahuan secraa induktif sebesar 48% berada pada kategori cukup tinggi.

Tabel 7. Penerapan Matematika dalam kehidupan sehari-hari secara kreatif


∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
0 25 27 4 0
Penerapan pemecahan masalah 56
(0) (45) (48) (7) (0)
1 25 25 5 0
Membiasakan diri dalam memecahkan masalah 56
(2) (45) (45) (45) (9)
2 19 31 4 0
Kreatif dalam pemecahan masalah 56
(4) (34) (55) (7) (0)

Berdasarkan tabel 7 diatas, menunjukkan bahwa rata-rata pemecahan masalah matematika dan
penerapan alam kehidupan sehari-hari berada pada kategori cukup. Hal ini ditunjukkan dari hasil
penerapan mahasiswa dalam pemecahan masalah sebesar 48% dengan kategori cukup. Persentase
mahasiswa dalam membiasakan diri dalam memecahkan masalah matematika sebesar 45% berada
pada kategori tinggi. Sedangkan persentase mahasiswa dalam menumbuhkan kreatifitas dalam
memecahkan masalah matematika sebesar 55% berada pada kategori cukup. Hasil penelitian ini
relevan dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Prasetyo & Purnomo (2016) menyatakan
bahwa kemampuan penguasaan matematika khususnya pemecahan masalah masih belum optimal, hal
ini dikarenakan mahasiswa dalam pembelajaran matematika bersifat konvensional dimana kegiatan
pembelajaran dimulai dengan teori, contoh soal dan dilanjutkan dengan pengerjaan soal. Demikian
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo & Prasetyo (2016) yang menyatakan bahwa
mahasiswa cenderung menghafal metode-metode yang banyak dipelajari pada mata kuliah
matematika.

77
Studi Penguasaan Matematika dan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) (Wahyu Pramudita, Indri Anugraheni)

2. Hasil Penguasaan Bahasa Inggris


Pentingnya penguasaan Bahasa Inggris dan keterkaitan keilmuan ini terhadap bidang keilmuan lain
sangat signifikan. Profisiensi Bahasa Inggris sangat diperlukan terutama dalam hal pemetaan dalam
mencapai tujuan pembelajaran. Dalam suatu proses pembelajaran, pemetaan kemampuan dapat
memberikan gambaran atau hubungan langsung terhadap perencaan program dan tujuan perencanaan
program tersebut secara holistik (Depdiknas, 2009). Sugeng, Suhaini, dan Suharto (2012) dalam
penelitian yang dilakukan mengungkapkan bahwa dalam tujuan komunikasi bahasa, tes profisiensi
dapat mengungkap atau menafsirkan fungsi dan ujaran bahasa peserta tes. Dalam fungsi ini,
pengambil keputusan mendapatkan informasi seberapa baik peserta tes dapat menggunakan bahasa
untuk bertutur, lisan dan tulisan. Dalam tujuan perencanaan, tes profisiensi dapat mengungkapkan
karakter peserta tes sebagai masukan dalam suatu program. Dalam fungsi ini, pengambil keputusan
menyesuaikan perlakuan (treatment) dalam suatu program dengan karakteristik peserta tes. Hal lain
terkait dengan penelitian ini menyatakan bahwa tingkat penguasaan Bahasa Inggris yang baik
berdampak signifikan terhadap hasil belajar mahasiswa. Hal ini memberikan korelasi positif bahwa
penguasaan Bahasa Inggris berdampak pada penguasaan bidang keilmuan lain (Simner, et al., 2000:
43). Dalam penelitian ini penguasaan Bahasa Inggris mahasiswa dibagi dalam 2 indikator;
kemampuan dasar Bahasa Inggris dan kemampuan memanfaatkan berbagai referensi dalam bahasa
Inggris. Berikut adalah hasil masing-masing indikator tersebut.

Tabel 8. Kemampuan dasar Bahasa Inggris


∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
1 19 32 4 0
Mampu membuat kalimat 56
(2) (34) (57) (7) (0)

2 11 32 11 0
Mengidentifikasi kalimat 56
(4) (20) (57) (20) (0)

2 14 36 4 0
Memperbaiki kalimat yang salah 56
(4) (25) (64) (7) (0)

1 12 37 6 0
Menjawab pertanyaan bacaan secara lisan 56
(2) (21) (66) (11) (0)
1 20 31 4 0
Menjawab pertanyaan bacaan secara tertulis 56
(2) (36) (55) (7) (0)

1 8 39 8 0
Memberikan feedback dalam bahasa Inggris 56
(2) (14) (70) (14) (0)

2 10 37 7 0
Menerapkan dan mengembangkan kalimat 56
(4) (18) (66) (13) (0)

0 21 29 6 0
Menghasilkan teks tulisan sederhana 56
(0) (38) (52) (11) (0)

Berpijak dari kemampuan membaca mahasiswa, tingkat penguasaan keterampilan menulis


tergolong bervariasi dengan distribusi indikator sebagai berikut. Kemampuan membuat kalimat
tergolong cukup 57%. Kemampuan ini tergolong mendasar bagi calon guru SD terutama dalam

78
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 70 – 82

memberikan respon tertulis secara sederhana. Kemampuan membuat kalimat ini didukung dengan
kemampuan mengidentifikasi kalimat yang tergolong cukup (57%). Kemampuan memproduksi
kalimat sederhana dan mengidentifikasi kalimat secara baik dan benar mendukung kemampuan
mahasiswa dalam memperbaiki kalimat yang salah (64%) dan, dari kesalahan itu, dapat memberikan
konsep pengembangan kalimat (66%) dalam meningkatkan kemampuan memproduksi teks tulis
sederhana (52%). Kemampuan dasar Bahasa Inggris mahasiswa ini tergolong cukup. Tingkatan cukup
ini memang sudah dianggap memenuhi syarat minimal bagi mahasiswa (non-English department)
untuk lulus dan sekaligus bekal dasar untuk berkomunikasi, tulis atau lisan. Hasil ini berbanding lurus
dengan penelitian Sofendi (2010) terhadap 513 mahasiswa FKIP Unsri (kecuali prodi Bahasa Inggris)
terkait pemetaan penguasaan Bahasa Inggris mahasiswa. Dengan kategori pre-elementary ini
mahasiswa sudah memiliki bekal awal untuk mampu menggunakan prasa yang diingat dalam kondisi
darurat, dapat membuat pertanyaan dan pernyataan singkat, dan memiliki kemampuan komunikasi
terbatas dan sering melakukan pengulangan. Namun seiring dengan rentang waktu perkuliahan dan
interaksi akademis yang terbangun, kemampuan mahasiswa diharapkan dapat meningkat.

Tabel 9. Kemampuan memanfaatkan berbagai referensi dalam bahasa Inggris


∑ dan %
Indikator Jumlah
5 4 3 2 1
1 15 35 5 0
Mengakses refrensi pembelajaran 56
(2) (27) (63) (9) (0)
0 16 36 4 0
Memahami komunikasi digital 56
(0) (29) (64) (7) (0)
0 18 31 7 0
Membaca teks bahasa Inggris 56
(0) (32) (55) (13) (0)
2 14 28 12 0
Menulis Citation (Catatan kecil) 56
(4) (25) (50) (21) (0)
3 17 32 4 0
Memahami kosakata 56
(5) (30) (57) (7) (0)
1 15 34 6 0
Memahami informasi rinci/ detail 56
(2) (27) (61) (11) (0)
2 18 32 4 0
Memahami tujuan komunikasi 56
(4) (32) (57) (7) (0)
0 15 36 5 0
Memahami pikiran utama paragraph dalam teks 56
(0) (27) (64) (9) (0)
2 9 39 5 1
Memahami gaya bahasa teks 56
(4) (16) (70) (9) (2)
1 10 36 9 0
Memahami gaya penulisan teks 56
(2) (18) (64) (16) (0)
2 13 37 4 0
Memahami informasi tersirat 56
(4) (23) (66) (7) (0)

Kemampuan membaca sebagai pondasi awal dalam rangka meningkatkan pemahaman bacaan
mahasiswa tergolong cukup. Kemampuan mengakses referensi ini (63%) berbanding lurus dengan
kemampuan memahami bacaan/sarana komunikasi digital (64%) yang juga mendukung kemampuan
membaca teks Bahasa Inggris secara komprehensif (55%). Kemampuan membaca komprehensif
mahasiswa PGSD, juga didukung oleh kemampuan memahami kosakata (57%). Kosakata merupakan
kunci utama dalam memahami arah, tujuan, dan isi dari referensi bacaan. Dengan tingkat kemampuan
menguasai kosakata yang tergolong cukup, menjadikan bekal mahasiswa dalam memahami informasi

79
Studi Penguasaan Matematika dan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) (Wahyu Pramudita, Indri Anugraheni)

rinci/detail juga tergolong cukup (61%) sehingga kemampuan memahami tujuan komunikatif dari
suatu teks pun dapat dipahami dengan cukup (57%).
Kemampuan dalam memahami tujuan komunikatif teks, berdampak pada kemampuan
memahami pikiran utama dari suatu paragraf (64%), termasuk di dalamnya kemampuan menguasai
gaya bahasa (70%), dan gaya penulisan (64%) dalam memahami informasi tersirat (66%). Dalam
mendukung respon terhadap pemahaman bacaan ini, mahasiwa juga dapat memberikan respon terkait
referensi bacaan ataupun feedback dalam bahasa inggris (70%). Pemahaman referensi bacaan yang
tidak secara menyeluruh dikuasai sangat berdampak pada kompetensi mahasiswa dalam menguasai
bidang pekerjaannya secara kontekstual. Pentingnya pemahaman referensi bacaan dalam text Bahasa
Inggris ini juga berbanding lurus dengan penelitian Firdaus, Ginanjar, Rizkiyana, Purnamasari,
Muliati (2012) yang menekankan pada pengaruh Bahasa terhadap “student’s intention to learn”,
variabel “perceived ease of use (PEU)”. Hal ini disebabkan oleh pendapat sebagian besar mahasiswa
yang mengikuti perkuliahan SAP ERP HCM ini mengeluhkan sulitnya memahami beberapa perintah
yang ada di dalam user interface SAP dikarenakan tampilan dan aturannya sangat berbeda ditambah
dengan lemahnya penguasaan bahasa Inggris mahasiswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Rata-rata hasil kemampuan
matematika mahasiswa PGSD berada pada kategori baik dan kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa
PGSD berada pada kategori cukup.

Saran
Adapun saran bagi pengembangan kedua keilmuan ini adalah Perlunya meningkatkan penguasaan
pengetahuan konseptual dan prosedural serta keterkaitan dalam bidang aritmatika, aljabar, geometri,
trigonometri, pengukuran, statistika dan logika matematika, Meningkatkan penguasaan pengetahuan
menggunakan matematisasi horizontal dan vertical untuk menyelesaikan masalah, memberikan
permasalah-permasalah Matematika dalam kehidupan sehari-hari yang mampu menumbuhkan
kreatifitas mahasiswa, perlunya perhatian khusus (perancangan, implementasi, dan evaluasi) pada
kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa PGSD agar dapat meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris
dan memanfaatkan berbagai sumber dalam Bahasa Inggris untuk berbagai keperluan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Susanto. 2013. Teori belajar dan pembelajaran di sekolah dasar. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Anthony, L. 1997. English for specific purposes: what does it mean? why isit different?. On-CUE
Journal, 5(3): 9-10.
Asturkmen, Helen. 1998. Refining procesure: A need analysis project at Kuwait University.
http://exchanges.state.gov/forum/vols/vol36/no4/special_ret_102 ( Desember, 2014)
Ali, H. Muhamad. 2002. Guru dalam proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Offset.

80
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 70 – 82

Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional. (2000). Laporan eksekutif beberapa
permasalahan pendidikan. Jakarta: Balitbang Diknas.
Brant, C. 2009. The case for reflexivity in developing ESL students’ academic communication skills.
International Journal of Arts and Sciences 3(5): 1 – 18
Bertens, K. 2002. Filsafat barat kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Budayanti, I. 2012. Gambaran kompetensi guru kelas SD di Jakarta dan Tangerang. Jurnal
Perkotaan, 4 (1):11-27
Carter, J.S. 2007. Mathematics. http://www.polimetrica/. eu/site/?p=30. University of South Alabama,
USA. (November 2014)
Coleman, H. 1997. Undergraduate ELT: Where have we been and where are we going? In Coleman,
H., Soedrajat, T.M. & Westaway, G. (eds.), Teaching English to University Undergraduates in the
Indonesian Context: Issues and Developments, 26-42. Leeds: University of Leeds, School of
Education & Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Standar kompetensi guru kelas SD-MI program pendidikan
D-II PGSD. Jakarta: Proyek Peningkatan Manajemen Pendidikan Tinggi Ditjen Dikti.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Laporan Program Rintisan Uji Kompetensi Bahasa Inggris
(Test of English Proficiency, TOEP) untuk Peserta Didik di SMA. Jakarta: Depdiknas, Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Ernest, Paul. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. Bristol: The Falmer Press.
http://plato.standford.edu/fundraising
Firdaus Oktri, Gin Gin Ginanjar, Trisye Rizkiyana, Dewi Purnamasari, Fitria Muliati. 2012. Model
efektivitas pembelajaran SAP ERP HCM pada program studi S1 manajemen Universitas
Widyatama. In Universitas Widyatama (Eds.), Perkembangan peran akuntansi dalam bisnis yang
profesional (pp. 1397-1405). Bandung: Utama Press.

Hamalik, O. 2002. Pendidikan guru: berdasarkan pendekatan kompetensi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hamzah B, Uno. 2009. Model pembelajaran (menciptakan proses belajar mengajar yang kreatif dan
efektif), Jakarta: Bumi Aksara.
Harry F., and T. Burhanudin. 2008. The future of schooling in Indonesia. Journal of International
Cooperation in Education, 11 (1): 71-84.
Hudoyo .1988. Pengembangan kurikulum matematika dan pelaksanaannya di depan kelas. Surabaya:
Usaha Nasional
Khoirunisa, Rifa. 2012. Pengaruh kemampuan pemahaman istilah Bahasa Inggris dan operasi dasar
matematika terhadap kemampuan belajar siswa pada mata pelajaran teknologi informasi dan
komunikasi kelas XI di SMAN 2 Wates. Skripsi. Program Sarjana Teknik Informatika Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, 1998. Acuan penyusunan standar kompetensi. Jakarta:
MPKN.
Marjito. 2007. An analysis of syllabus and material and their relevance to the students’ needs: acase
study of a higher education of computer science. Unpublished thesis, Indonesian University of
Education.

81
Studi Penguasaan Matematika dan Bahasa Inggris Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar (PGSD) (Wahyu Pramudita, Indri Anugraheni)

Marwan, A. 2009. ESP teaching challenges in an Indonesian vocational higher institution. The
English Teacher Journal, 38: 1-12.
Mulyasa, E. 2005. Menjadi guru profesional. Menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkalam, A. Ghozali. 1998. The existence of english for specific purposes (ESP) as an approach of
the teaching of english. Wawasan tri dharma No. 8, Kopertis Wilayah IV.

Puspitasari, I. 2013. English For Computer Science: Sebuah Analisis Kebutuhan Bahasa Inggris Pada
Mahasiswa Teknik Informatika. EJurnal Pro Bisnis, 6(1): 20-37

Prasetyo, Tony &Andy Purnomo, E. 2016. Pengembangan Perangkat Pembelajaran dengan model
ideal problem solving berbasis maple matakuliah metode numerik. the 4th URECOL 2016. LPPM
Stikes Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan: 442-450

Rabbini. 2000. An Introduction to Syllabus Design and Evaluation. TESL Journal. 8 (5).
http//iteslj.org/ (November, 2014).
Ruseffendi, E.T. 1988. Pengajaran matematika modern dan masa kini untuk guru dan SPG, Bandung:
Tarsito.
Safnil. 1997. English for non-english department students of Bengkulu University: Problems and
possible solution in teaching English to university undergraduates in the Indonesian context: issue
and developments (pp.69-73). ITB press and University of Leeds, GB.
Slameto. 2003. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sofendi. 2010. Penguasaan Bahasa Inggris fakultas keguruan dan ilmu pendidikan Universitas
Sriwijaya.Mengembangkan pembelajaran bahasa dan sastra yang aktif, inovatif, kreatif, efektif,
menyenangkan, dan mengasyikkan. Universitas Sriwijaya (Eds.). Palembang: FKIP.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode penelitian pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Sugeng, Suhaini, dan Suharto (2012). Penguasaan Bahasa Inggris mahasiswa baru UNY TA
2005/2006-2009-2010 pada kriteria TOEFL-LIKE. Jurnal Literia 11(2): 189-203

Suyitno, Hardi. 2008. Hubungan antara bahasa dengan logika dan matematika menurut pemikiran
Wittgenstein. Humaniora; Journal of Culture, Literature, and Linguistics, 20 (1): 26-37
Suyono dan Hariyanto. 2012. Belajar dan pembelajaran -teori dan konsep dasar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Mack J
Sysoyev Parvel V. 2000. Developing an English for specific purposes course using a learner centered
approach: Cambridge: Harvard University Press http://iteslj.org/Techniques (Desember, 2014).
Wittgenstein, L. 1951. Tractacus logico philosophicus. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

82
KEMAMPUAN ANALISIS MAHASISWA PGSD TERHADAP TUJUAN
PEMBELAJARAN DIMENSI KOGNITIF PADA MATA KULIAH
PERENCANAAN PEMBELAJARAN SD

Via Yustitia
via.yustitia@yahoo.com
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

ABSTRACT

The Analysis Ability Of Pgsd Students On Learning Objectives Of Cognitive


Dimension In Elementary Planning Of Learning Course

Elementary lesson plan course is a compulsory subject for students in PGSD on


th
5 semester. It is hoped that the students are able to create a learning design. One of
the learning outcomes of this course is PGSD students are able to analyze the cognitive
dimension of learning objectives based on Bloom's taxonomy revision. The problem that
often arised was the students faced difficulty to identify learning objectives. This
research was a qualitative research. This study aimed to determine the ability of PGSD
students in analyzing the cognitive dimension of learning objectives. This study used
three students class of 2014 from PGSD Universitas Adi Buana PGRI Surabaya,
consisted of student who has high, medium and low capability. The instruments used
were worksheets of analysis of learning objectives and guidelines for the interview.
Data were collected by tests and interviews. Data analysis technique using reducing of
data, presenting of data, and make inferences. The result showed that subject with high
capability has been able to analyze the cognitive dimension of learning objectives well.
Subject with medium and low capability have not been able to analyze the cognitive
dimension of learning objectives well. It was shown from the error analysis of learning
objectives and interviews. Obstacles faced by students were they did not understand the
cognitive dimensions according to Bloom. The students did not understand the purpose
of learning well according to the ABCD rule, and lack of precision in the analysis.
Keywords: Cognitive Dimensions, Capability Analysis, Learning Objectives

PENDAHULUAN
Program pengajaran merupakan suatu program bagaimana mengajarkan materi yang sudah
dirumuskan dalam kurikulum. Dewasa ini konsep yang banyak mewarnai pengajaran di SD adalah
konsep teknologi pendidikan. Khususnya pembelajaran sebagai sistem. Oleh karena itu, perlu adanya
perencanaan pembelajaran yang baik sehingga semua komponen, baik yang secara langsung maupun
tidak langsung berhubungan dengan proses pembelajaran bisa berjalan dengan efektif dan efisien.
Seorang guru dituntut untuk dapat membuat rancangan pembelajaran. Masalah yang banyak
muncul dalam proses perancangan pembelajaran adalah mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
Analisis tujuan pembelajaran merupakan langkah awal yang penting untuk membuat rancangan
pembelajaran. Seorang guru dituntut untuk dapat merumuskan tujuan pembelajaran secara jelas. Guru
dapat menentukan keterampilan-keterampilan yang harus dipelajari agar bisa mencapai tujuan satu
dari ranah-ranah belajarnya. Tujuan tersebut harus digolongkan ke dalam salah satu ranah agar dapat

83
Kemampuan Analisis Mahasiswa PGSD terhadap Tujuan Pembelajaran Dimensi Kognitif pada Mata
Kuliah Perencanaan Pembelajaran SD (Via Yustitia)

dikenali teknik analisa pengajaran dan penilaian yang tepat. Oleh karena itu, calon guru SD dibekali
mata kuliah Perencanaan Pembelajaran SD.
Mata kuliah Perencanaan Pembelajaran SD merupakan salah satu wajib bagi mahasiswa PGSD di
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Capaian pembelajaran mata kuliah tersebut adalah mahasiswa
mampu membuat desain pengajaran yang sesuai dengan beberapa model desain pembelajaran.
Kemampuan menganalisis dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk menentukan bagian-
bagian dari suatu masalah dan menunjukkan hubungan antar-bagian tersebut, melihat penyebab-
penyebab dari suatu peristiwa atau memberi argumen-argumen yang menyokong suatu pernyataan.
Kemampuan menganalisis merupakan suatu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh mahasiswa
(Nuariana Wahyu Wulandari, dkk 2014). Kemampuan menganalisis tidak mungkin dicapai
mahasiswa apabila mahasiswa tersebut tidak menguasi aspek-aspek kognitif sebelumnya. Salah satu
kemampuan menganalisis yang diperlukan mahasiswa PGSD sebagai calon guru SD adalah
kemampuan menganalisis tujuan pembelajaran domain kognitif.
Tujuan pembelajaran merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh anak didik setelah mereka
mempelajari bahasan tertentu dalam bidang studi tertentu pula (Wina Sanjaya, 2015: 125). Tujuan
pembelajaran berhubungan dengan hasil yang diharapkan. Menurut Toto Ruhimat (2011: 48), guru
bertugas menjabarkan tujuan pembelajaran, karena hanya guru yang memahami kondisi di lapangan,
termasuk memahami karakteristik siswa. Rumusan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang baik
adalah: 1) menggunakan istilah yang operasional, 2) berbentuk hasil belajar, 3) berbentuk tingkah
laku, dan 4) jelas hanya mengukur satu tingkah laku (Uno, 2007).
Guru sebagai perancang sistem pembelajaran harus mempertimbangkan secara mendalam rumusan
tujuan pembelajaran atau kompetensi. Dick and Carey (1985) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran
yang telah diidentifikasi perlu dianalisis untuk mengenali keterampilan-keterampilan bawahan (sub
ordinate skills) yang mengharuskan anak didik belajar menguasainya dan langkah-langkah prosedural
bawaan yang ada harus diikuti anak didik untuk dapat belajar tertentu.
Menurut Bloom (dalam Anderson,et al, 2001), salah satu bentuk perilaku sebagai tujuan yang
harus dirumuskan adalah domain kognitif. Domain kognitif merupakan tujuan pendidikan yang
berhubungan dengan kemampuan intelektual. Taksonomi tujuan pembelajaran direpresentasikan
dalam dua dimensi yaitu dimensi proses kognitif dan dimensi pengetahuan. Dimensi proses kognitif
meliputi: (1) mengingat, (2) memahami, (3) menerapkan, (4) menganalisis, (5) mengevaluasi, (6)
mencipta. Dimensi pengetahuan meliputi: (1) pengetahuan faktual, (2) pengetahuan konseptual,
(3) pengetahuan prosedural, (4) pengetahuan metakognisi.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan mahasiswa PGSD
dalam menganalisis tujuan pembelajaran dimensi kognitif, sedangkan tujuan dari pelaksanaan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan mahasiswa PGSD dalam menganalisis
tujuan pembelajaran dimensi kognitif, yang meliputi dimensi pengetahuan dan dimensi proses
kognitif.
KAJIAN PUSTAKA
Analisis Tujuan Pembelajaran
Menurut Oemar Hamalik (2005), tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku
yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran. Kemp dan David E. Kapel
(dalam Uno, 2008) menyebutkan tujuan pembelajaran merupakan suatu pernyataan spesifik yang
dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk
menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Tujuan pembelajaran merupakan perilaku yang
hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu
(Mager dalam Uno, 2008).

84
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 83 – 93

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian tujuan pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran adalah tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung
pembelajaran dan dapat dinyatakan dengan deskripsi yang spesifik.
Perencanaan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam suatu kegiatan belajar harus selaras
dengan perencanaan materi, strategi, dan evaluasi yang berlangsung pada suatu proses pembelajaran.
Proses pembelajaran tanpa rumusan tujuan pembelajaran yang jelas akan membuat proses
pembelajaran tidak terarah. Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 manfaat dari tujuan pembelajaran,
yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa,
sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara lebih mandiri; (2) memudahkan guru
memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar
dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian. Oleh karena itu, diperlukan
alat evaluasi untuk menilai hasil belajar peserta didik. Alat evaluasi mendeskripsikan perubahan
tingkah laku peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran. Bloom mengategorikan
kemampuan hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengategorian ini
dipandang sebagai suatu cara untuk menyatakan secara kualitatif bermacam-macam pola pikir yang
berbeda.
Pada akhirnya, perencanaan kegiatan pembelajaran yang matang akan memengaruhi hasil akhir
atau kompetensi yang ingin dicapai dari suatu proses kegiatan belajar. Hal tersebut perlu ditelaah
lebih lanjut, yakni terkait pengklasifikasian tiga tujuan pembelajaran oleh Bloom dalam kaitannya
dengan tujuan pembelajaran yang terdapat pada kurikulum 2013.
Kemampuan analisis merupakan kemampuan individu untuk menentukan bagian-bagian dari suatu
masalah dan menunjukkan hubungan antar-bagian tersebut, melihat penyebab-penyebab dari suatu
peristiwa atau memberi argumen-argumen yang menyokong suatu pernyataan. Analisis dalam
taksonomi Bloom, yaitu keadaaan saat mahasiswa mampu menganalisa informasi yang masuk dan
membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola
atau hubungannya, dan mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario
yg rumit. Misalnya, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah tujuan pembelajaran
berdasarkan dimensi kognitif dan dimensi proses kognitifnya (Sanjaya, 2008).

Taksonomi Tujuan Pembelajaran


Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini
pertama kali dirancang oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan
dibagi menjadi beberapa domain dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang
lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
a. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
intelektual, sepertipengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
b. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan
dan emosi, seperti minat,sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
c. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.

Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang
berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku
yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku
dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman”
yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.

85
Kemampuan Analisis Mahasiswa PGSD terhadap Tujuan Pembelajaran Dimensi Kognitif pada Mata
Kuliah Perencanaan Pembelajaran SD (Via Yustitia)

Bloom memimpin pengembangan ranah kognitif yang menghasilkan enam tingkatan kognitif.
Tingkatan paling sederhana adalah pengetahuan, berikutnya pemahaman, penerapan, analisis, sintesis
dan penilaian yang lebih bersifat kompleks dan abstrak. Ketiga ranah dalam taksonomi Bloom ini
bersifat linier, sehingga seringkali menimbulkan kesukaran bagi guru dalam menempatkan konten
(isi) pembelajaran. Akhirnya tahun 1990 seorang murid Benjamin Bloom yang bernama Lorin W.
Anderson melakukan penelitian dan mengasilkan perbaikan terhadap taksonomi Bloom, revisinya
diterbitkan tahun 1999. Perbaikan yang dilakukan adalah mengubah taksonomi Bloom dari kata benda
(noun) menjadi kata kerja (verb). Ini penting dilakukan karena taksonomi Bloom sesungguhnya
adalah penggambaran proses berfikir. Selain itu juga dilakukan pergeseran urutan taksonomi yang
menggambarkan dari proses berfikir tingkat rendah (low order thinking) ke proses berfikir tingkat
tinggi (high order thinking).
Berkaitan dengan ranah kognitif. Anderson, dkk. memilah ranah kognitif ke dalam 2 (dua) bagian,
yaitu: (1) dimensi pengetahuan (knowledge) dan (2) dimensi proses kognitif (cognitive processes).
Dimensi pengetahuan (knowledge) dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu: (1) pengetahuan faktual, (2)
pengetahuan konseptual, (2) pengetahuan prosedural, dan (4) pengetahuan metakognitif. Sedangkan
dimensi proses kognitif (cognitive processes) mencakup: (1) menghafal (remember); (2) memahami
(understand); (3) mengaplikasikan (applying); (4) menganalisis (analyzing); (5) mengevaluasi
(evaluate) dan (6) membuat (create). Revisi yang dilakukan Anderson, dkk merupakan upaya untuk
menyesuaikan tujuan pembelajaran yang sejalan dengan tuntutan pendidikan abad ke-21.
Berikut penjelasan dimensi pengetahuan menurut Anderson (2001)
a. Pengetahuan Faktual
Kategori dimensi ini terbagi atas pengetahuan tentang istilah dan pengetahuan tentang detail-
detail tertentu, yaitu berkaitan dengan unsur-unsur dasar yang harus diketahui peserta didik
dalam rangka mengenal mata pelajaran dan memecahkan masalah yang timbul.
b. Pengetahuan Konseptual
Tiga dimensi pengetahuan terlibat dalam kategori dimensi kedua ini, yakni pengetahuan
tentang klasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi, serta
pengetahuan tentang teori, model, dan struktur.
c. Pengetahuan Prosedural
Dimensi prosedural ini berkenaan dengan pengetahuan tentang keterampilan khusus yang
berhubungan dengan bidang tertentu, pengetahuan tentang teknik atau metode dalam mata
pelajaran tertentu, dan pengetahuan tentang kriteria penggunaan suatu prosedur.
d. Pengetahuan Metakognitif
Dimensi pengetahuan metakognitif berkaitan dengan pengetahuan tentang kesadaran secara
umum, yaitu mencakup pengetahuan strategis, pengetahuan tentang operasi kognitif berupa
pengetahuan kontekstual dan prasyarat, dan pengetahuan tentang diri sendiri.
Keempat kategori dimensi pengetahuan di atas kemudian dipadukan dengan enam dimensi proses
kognitif. Hal ini dilakukan berkaitan dengan proses perumusan tujuan pembelajaran. Dengan
penggabungan dua dimensi tersebut dalam suatu tabel (yang disebut tabel taksonomi), guru dibantu
dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Rumusan yang dimaksud berkaitan dengan apa saja yang
ingin dicapai pada setiap akhir pembelajaran dan bagaimana mengukur tingkat keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran tersebut. Selain itu, guru dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki
tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya terkait dengan tuntutan standar penilaian.
Keunggulan dalam hal proses penilaian pun diperoleh akibat adanya penggabungan dua dimensi
ini, yaitu: (1) pengetahuan yang dipisah dengan proses kognitif membuat guru dapat segera

86
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 83 – 93

mengetahui jenis pengetahuan yang belum diukur; (2) pembuatan soal yang bervariasi sebanyak
empat jenis soal tiap jenjang mungkin saja dibuat untuk setiap proses kognitif.
Manfaat tersebut tidak ditemukan pada struktur taksonomi sebelumnya karena struktur taksonomi
lama hanya terdiri atas satu dimensi dan perumusan tujuan pembelajaran hanya berkisar pada jenjang
C1, C2, C3, dan seterusnya sehingga pembuatan soal pun hanya berkisar pada jenjang tersebut.
Berikut ini adalah tabel taksonomi baru (hasil penggabungan dua dimensi) yang telah dijelaskan
sebelumnya.

Tabel 1. Taksonomi Dua Dimensi


Dimensi Dimensi Proses Kognitif
Pengetahuan Mengingat Memahami Menerapkan Menganalisis Menilai Mencipta
Pengetahuan
Faktual
Pengetahuan
Konseptual
Pengetahuan
Prosedural
Pengetahuan
Metakognitif

Pengkategorian pada ranah kognitif yang telah diuraikan di atas dapat diintegrasikan
dalam perumusan tujuan pembelajaran oleh Uno dan Miarso (via Uno, 2006: 141), yaitu
menggunakan istilah yang operasional, harus berbentuk hasil belajar, berbentuk tingkah laku,
dan jelas hanya mengukur satu tingkah laku.

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendeskripsian dalam penelitian ini adalah kemampuan
mahasiswa dalam menganalisis tujuan pembelajaran dimensi kognitif berdasarkan taksonomi Bloom
revisi. Pendeskripsian ini ditelusuri melalui pengamatan langsung, yaitu dengan menganalisis hasil
pekerjaan mahasiswa dalam menyelesaikan lembar kerja analisis tujuan pembelajaran yang diberikan
dan hasil wawancara yang dilakukan.
Penelitian diadakan bulan September-Oktober 2016 di PGSD Universitas PGRI Adi Buana
Surabaya. Subjek penelitiannya adalah mahasiswa semester V PGSD Universitas PGRI Adi Buana
Surabaya. Alasan dipilihnya mahasiswa semester V karena mahasiswa tersebut memperoleh mata
kuliah Perencanaan Pembelajaran SD. Dalam penelitian ini digunakan tiga orang mahasiswa angkatan
2014 PGSD Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, masing-masing satu mahasiswa berkemampuan
tinggi, sedang dan rendah. Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian adalah RE, QA, dan DA.
Penentuan subjek penelitian ini berdasarkan data hasil indeks prestasi kumulatif mahasiswa dan
pertimbangan peneliti sebagai dosen yang pernah mengajar serta mengetahui karakteristik mahasiswa
tersebut.
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Instrumen lain yang digunakan
adalah lembar kerja analisis tujuan pembelajaran dan pedoman wawancara. Lembar kerja analisis
tujuan pembelajaran untuk mengungkapkan kemampuan analisis mahasiswa dalam menanalisis tujuan
pembelajaran dimensi kognitif. Berikut merupakan instrumen lembar kerja analisis tujuan
pembelajaran dimensi kognitif yang digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam
menganalisis tujuan pembelajaran dimensi kognitif

87
Kemampuan Analisis Mahasiswa PGSD terhadap Tujuan Pembelajaran Dimensi Kognitif pada Mata
Kuliah Perencanaan Pembelajaran SD (Via Yustitia)

Gambar 1. Lembar Kerja Analisis Tujuan Pembelajaran

Pedoman wawancara merupakan pedoman bagi peneliti dalam melakukan wawancara terhadap
mahasiswa. Pedoman wawancara ini berisi garis besar pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan
kepada subjek wawancara pada saat wawancara. Urutan pertanyaan sesuai dengan pedoman
wawancara dan cara penyajiannya adalah sama untuk setiap subjek wawancara. Pedoman wawancara
ini digunakan untuk menghindari timbulnya pertanyaan pertanyaan yang tidak sesuai dengan tujuan
penelitian.
Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini adalah mereduksi data, menyajikan data dan
membuat simpulan. Mereduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting terhadap isi dari suatu data yang berasal dari lapangan. Setelah data
direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dengan menyajikan data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah difahami tersebut. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan. Hasil dari data yang
diperoleh dalam kegiatan penelitian selanjutnya digabungkan dan disimpulkan serta diuji
kebenarannya.

88
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 83 – 93

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan Analisis Mahasiswa berkemampuan Tinggi


Berikut hasil pengerjaan Lembar Kerja oleh Mahasiswa berkemampuan tinggi.

Gambar 2. Hasil Pengerjaan Lembar Kerja oleh Mahasiswa Berkemampuan Tinggi

Berdasarkan hasil pengerjaan Lembar Kerja dan wawancara peniliti menyimpulkan bahwa:
a. Mahasiswa sudah mampu memahami pengertian dari dimensi pengetahuan, yaitu faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif. Hal ini ditunjukkan dari ketepatan mahasiswa dalam
menganalisis tujuan pembelajaran dimensi kognitif.
Misalnya:
Setelah bertanya jawab, siswa dapat menjelaskan fungsi bagian tubuh.
Mahasiswa menganalisis bahwa tujuan pembelajaran tersebut termasuk dimensi faktual.
Berdasarkan hasil wawancara dengan RE hal tersebut dikarenakan tujuan tersebut mengandung
fakta yang berkaitan dengan unsur-unsur dasar yang harus diketahui siswa dalam mengenal mata
pelajaran Bahasa Indonesia.
b. Mahasiswa sudah mampu memahami dimensi proses kognitif. Mahasiswa sudah mengetahui
kata kerja operasional pada dimensi proses kognitif, C1 sampai C6, walaupun sesekali melihat

89
Kemampuan Analisis Mahasiswa PGSD terhadap Tujuan Pembelajaran Dimensi Kognitif pada Mata
Kuliah Perencanaan Pembelajaran SD (Via Yustitia)

tabel kata kerja operasional dan membuka buku siswa. Hal ini ditunjukkan dari ketepatan
mahasiswa dalam menganalisis tujuan pembelajaran dimensi kognitif.
Misalnya:
Dengan penugasan dan petunjuk kerja sederhana, siswa dapat membuat kartu pola-pola
bilangan dengan teliti.
Mahasiswa menganalisis bahwa tujuan pembelajaran tersebut termasuk C6. Berdasarkan hasil
wawancara dengan RE hal tersebut dikarenakan tujuan tersebut termasuk C6, karena harapannya
siswa mampu berkreasi membuat kartu pola-pola bilangan, serta melihat kata kerja operasional
membuat.
1. Kemampuan Analisis Mahasiswa berkemampuan Sedang
Berikut hasil pengerjaan Lembar Kerja oleh Mahasiswa berkemampuan sedang.

Gambar 3. Hasil Pengerjaan Lembar Kerja oleh Mahasiswa Berkemampuan Sedang

Berdasarkan hasil pengerjaan Lembar Kerja dan wawancara peniliti menyimpulkan bahwa:
a. Mahasiswa belum mampu memahami pengertian dari dimensi pengetahuan, yaitu faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif sehingga mahasiswa masih kesulitan dalam
menentukan dimensi pengetahuan.
b. Ada beberapa tujuan pembelajaran yang belum jelas sehingga mahasiswa harus melihat
kembali materi yang ada di buku siswa.

90
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 83 – 93

c. Mahasiswa masih mengira ada dua kata kerja opersional dalam tujuan pembelajaran
sehingga mahasiswa kesulitan dalam menentukan dimensi proses kognitif. Mahasiswa
terkecoh dengan kalimat prolog atau kondisi yang ada pada tujuan pembelajaran.
Misalnya: Dengan membaca wacana tentang macam wujud benda di alam, siswa dapat
mengidentifikasikan wujud benda berdasarkan teks. Mahasiswa mengira membaca
sebagai kata kerja operasional.
d. Mahasiswa masih kesulitan memahami dimensi proses kognitif. Mahasiswa belum
menghafal kata kerja operasional pada dimensi proses kognitif, C1 sampai C6. Misalnya:
Dengan membaca instruksi percobaan melalui teks informatif, siswa dapat
mengidentifikasi langkah percobaan. Mahasiswa menganalisis bahwa tujuan
pembelajaran tersebut termasuk C6. Padahal mengidentifikasi merupakan C1.

Kemampuan Analisis Mahasiswa berkemampuan Rendah


Berikut hasil pengerjaan Lembar Kerja oleh Mahasiswa berkemampuan rendah.

Gambar 4. Hasil Pengerjaan Lembar Kerja oleh Mahasiswa Berkemampuan


Rendah

91
Kemampuan Analisis Mahasiswa PGSD terhadap Tujuan Pembelajaran Dimensi Kognitif pada Mata
Kuliah Perencanaan Pembelajaran SD (Via Yustitia)

Berdasarkan hasil pengerjaan lembar kerja dan wawancara peniliti menyimpulkan bahwa:
a. Mahasiswa belum jelas bagaimana membedakan dimensi pengetahuan dan dimensi proses
kognitif. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pengerjaan lembar kerja mahasiswa.
Misalnya:
Dengan menggunakan alat musik ritmis, siswa dapat memainkan pola irama bervariasi lagu
bertanda birama tiga dengan percaya diri.
Mahasiswa menganalisis bahwa tujuan pembelajaran tersebut termasuk dimensi metakognitif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan AP hal tersebut dikarenakan siswa membutuhkan
pemikiran tinggi untuk dapat memainkan pola irama bervariasi lagu bertanda birama tiga, jika
siswa belum memahami apa itu pola irama maka siswa tidak akan bisa memainkan pola irama
tersebut.
b. Mahasiswa belum mampu memahami pengertian dari dimensi pengetahuan, yaitu faktual,
konseptual, prosedural, dan metakognitif sehingga mahasiswa masih kesulitan dalam
menentukan dimensi pengetahuan.
c. Mahasiswa masih kesulitan memahami dimensi proses kognitif. Mahasiswa belum menghafal
kata kerja operasional pada dimensi proses kognitif, C1 sampai C6. Misalnya: Dengan
menyanyikan lagu “Ruri Abangku”, siswa dapat mengidentifikasi berbagai pola irama lagu
dengan menggunakan alat musik ritmis secara teliti.
Mahasiswa menganalisis bahwa tujuan pembelajaran tersebut termasuk C2. Padahal
mengidentifikasi merupakan C1.

Berdasarkan hasil wawancara kepada mahasiswa, kendala yang dihadapi mahasiswa


dalam menganalisis tujuan pembelajaran adalah mahasiswa belum memahami dimensi kognitif
dan dimensi proses kognitif menurut taksonomi Bloom revisi, mahasiswa belum memahami
tujuan pembelajaran yang baik menurut kaidah ABCD, dan kurangnya ketelitian dalam
melakukan analisis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan pembahaasan diperoleh kesimpulan bahwa
subjek berkemampuan tinggi sudah mampu menganalisis tujuan pembelajaran dimensi kognitif
dengan baik. Subjek berkemampuan sedang dan rendah belum mampu menganalisis tujuan
pembelajaran dimensi kognitif dengan baik, hal tersebut ditunjukkan dari kesalahan analisis tujuan
pembelajaran dan hasil wawancara. Kendala yang dihadapi mahasiswa dalam menganalisis tujuan
pembelajaran adalah mahasiswa belum memahami dimensi kognitif dan dimensi proses kognitif
menurut taksonomi Bloom revisi, mahasiswa belum memahami tujuan pembelajaran yang baik
menurut kaidah ABCD, dan kurangnya ketelitian dalam melakukan analisis.
Saran
Saran yang peneliti sampaikan dalam penelitian ini, adalah dosen hendaknya: (1) memberikan
pemahaman konsep tentang tujuan pembelajaran kognitif berdasarkan Taksonomi Bloom revisi. (2)
memberikan pemahaman tentang tujuan pembelajaran yang baik menurut kaidah ABCD; (3)
mengembangkan keterampilan analisis mahasiswa dalam menganalisis tujuan pembelajaran dimensi
kognitif sesuai taksonomi Bloom revisi.

92
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 7 No 1, Januari 2017: 83 – 93

DAFTAR PUSTAKA
Anderson,et al. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s
Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.

Bloom, B. S. ed. et al. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain.
New York: David McKay.

Nuarina Wahyu Wulandari, Harto Nuroso, dan Joko Siswanto. 2014. Kemampuan Analisis Siswa
SMP dalam Menyelesaikan Soal Materi Kalor Tipe Grafik. Hlm. 158-165. Proccedings
Seminar Enterpreneurship. Universitas PGRI Semarang.

Oemar Hamalik.2005. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi


Aksara.

Toto Ruhimat. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, W. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Bandung: Prenada media Group.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2002. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Uno, Hamzah B. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Uno, Hamzah B. 2008. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wina Sanjaya. 2015. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Bandung: Prenadamedia Group.

93
PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS ADOBE FLASH CS4 PROFESSIONAL
PADA PEMBELAJARAN TEMATIK UNTUK SISWA KELAS 2 SD

R. Gita Ardhy Nugraha


nug.ardhy@gmail.com
FKIP PGSD UKSW

ABSTRACT

INTERACTIVE MEDIA DEVELOPMENT FOR SECOND GRADE ELEMENTARY STUDENTS


THEMATIC LEARNING USING ADOBE FLASH CS4 PROFESSIONAL

Interactive media can be used to support the thematic learning process. From the observation
on second grade Satya Wacana Christian Elementary School, it was found that second grade’s
teacher did not use interactive media to support thematic learning. Students were lack of interest to
learn. Because of this problem, an interactive media is developed as a new way to support the
thematic learning process. The aim of this study is to describe the appropriateness of interactive
media based on Adobe Flash CS4 Professional and the effect of interactive media implementation in
the 2013th Curriculum thematic learning process. The method in this study is research and
development. The result showed that interactive media was proper to use as learning media in the
thematic learning process based on expert test score (3,83 & 3,23). Interactive media has a very good
value based on field test score (4,24 & 4,26). Using interactive media affected student’s interest and
motivation. The media also given attractiveness and effectiveness in the thematic learning process
based on the questionnaire by students and second grade’s teachers.

Keywords: interactive media, Adobe Flash CS4 Professional, thematic learning, 2013th Curriculum

Article Info
Received date: 9 Juni 2016 Revised date: 25 Maret 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Pembelajaran berbasis multimedia merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat
dilakukan di dalam kelas. Melalui pembelajaran berbasis multimedia, guru dapat membantu
mengantarkan siswa untuk mendapatkan situasi pembelajaran yang sedemikian rupa guna memberikan
pemahaman secara konkret terhadap materi yang disampaikan (Kemendiknas, 2010: 6). Pembelajan
berbasis multimedia dapat menyajikan keadaan yang sebenarnya ke dalam kelas. Sebagai contoh,
kondisi pasang surut air laut dapat disajikan dalam video yang ditampilkan dalam kelas sehingga siswa
tahu proses pasang surut air laut tanpa harus datang ke laut terdekat.
Multimedia masih kurang dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa guru dalam melakukan
pembelajaran di kelas. Akibatnya, pembelajaran dilakukan dengan cara konvesional walaupun
perangkat multimedia tersedia dengan lengkap di dalam kelas (Ngazizah, 2016). Kondisi ini diperkuat
dengan tersedianya buku pedoman guru pada Kurikulum 2013. Buku pedoman guru menyediakan
langkah pembelajaran yang cukup detail terhadap proses pembelajaran. Bagi sebagian guru,
pembelajaran dengan menggunakan buku guru dan siswa sudah dirasa mencukupi kebutuhan
pembelajaran di kelas (Azmi, Moch U., 2015). Selain itu, buku guru dan siswa tidak dilengkapi
dengan informasi pendukung yang jelas. Sebagai contoh, beberapa teks lagu baru tidak dilengkapi
dengan not angka atau balok. Sekalipun ada, belum tentu guru atau siswa dapat melantunkan lagu
dengan baik. Contoh lain, gambar pendukung yang ada pada buku guru dan siswa hanya berupa
gambar ilustasi yang dibuat menyerupai aslinya. Padahal, pembelajaran akan berkesan bagi siswa jika
pembelajaran dilakukan secara kontekstual atau pembelajaran berdasarkan kondisi aslinya, seperti
yang diungkapkan Slavin dalam Lapono (2010: 1.39) bahwa siswa usia SD (7-12 tahun) telah
memiliki kecapakan berpikir secara logis namun hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret.
Guru dapat melengkapi kekurangan yang ada pada buku guru dan siswa dengan
memanfaatkan media interaktif audio visual untuk digunakan dalam pembelajaran di kelas. Media
94
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 94 – 105

interaktif membantu siswa untuk menggambarkan sesuatu yang abstrak pada materi yang disajikan
dalam buku (Kemendiknas, 2010: 4). Media interaktif juga dapat digunakan sebagai bahan ajar
alternatif pendukung pembelajaran di dalam kelas (Nuroeni, R., dkk, 2013). Media interaktif
memberikan pengalaman bagi siswa untuk menjelajahi lingkungan fiksi dan imajinasi dalam
melakukan pembelajaran di kelas (Arsyad, 2011: 29). Selain itu, penggunaan media interaktif
membuat proses pembelajan menjadi menarik (Arindiono, R. J., & Ramadhani, N., 2013),
menimbulkan daya tarik (Ramansyah, W., 2014), dan dapat meningkatkan minat serta motivasi siswa
dalam pembelajaran (Prawiro, S. A., & Irawan, A. H., 2012).
Media interaktif untuk pembelajaran sekolah dasar dapat ditemukan melalui internet. Namun,
ketersediaan dan pengembangan media interaktif untuk pembelajaran tematik pada Kurikulum 2013
masih jarang. Media interaktif yang dikembangkan masih berfokus pada satu mata pelajaran.
Pengembangan yang dilakukan oleh Arindiono, R. J., & Ramadhani, N. (2013), Nuroeni, R., dkk
(2013), Wibowo, E. J. (2013), dan Kumala, W. S. J. (2015) hanya fokus pada mata pelajaran
Matematika. Hal serupa juga dilakukan oleh Anggraini, D. (2014) dan Rahmani, Naila F. (2014) yang
mengembangkan media interaktif untuk mata pelajaran kesenian. Melihat keterbatasan pengembangan
media interaktif pada penelitian pengembangan sebelumnya, peneliti melakukan pengembangan media
interaktif sebagai pendamping pembelajaran untuk siswa kelas 2 SD yang didasarkan pada
pembelajaran tematik Kurikulum 2013. Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk mengetahui
kelayakan media yang dikembangkan oleh peneliti untuk diterapkan dalam pembelajaran tematik
Kurikulum 2013 untuk kelas 2 SD tema 7: “Merawat Hewan dan Tumbuhan” dengan subtema:
“Hewan di Sekitarku”. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui efek yang ditimbulkan dari
penggunaan media interaktif dalam proses pembelajaran siswa kelas 2 SD.

KAJIAN PUSTAKA
Media merupakan grafik, fotografi, elektronik, alat-alat mekanik untuk menyajikan,
memproses, dan mejelaskan informasi secara lisan atau visual. Media dipandang sebagai alat bantu
bagi seorang guru untuk menunjang kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas. Media dapat
dikatakan setiap orang, bahan, alat, atau peristiwa yang dapat menciptakan kondisi yang
memungkinkan pembelajar untuk menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap (Anitah, 2012: 6).
Smaldino, dkk (2011: 7) menyebutkan bahwa media merupakan sarana komunikasi yang berasal dari
bahasa latin medium yang merujuk pada apa saja yang membawa informasi antara sebuah sumber dan
sebuah penerima.
Media interaktif merupakan suatu sistem penyajian pelajaran dengan visual, suara, dan materi
video, disajikan dengan kontrol sehingga siswa tidak hanya dapat mendengar dan melihat gambar serta
suara, tetapi juga memberi respon aktif (Anitah, 2012: 6). Media interaktif juga diartikan sebagai
permainan instruksional berbasis komputer yang berhasil menggabungkan aksi-aksi permainan video
dan keterampilan menggunakan papan ketik pada komputer. Media interaktif dapat dikembangkan
menggunakan program Adobe Flash CS4 Professional. Adobe Flash CS4 Professional adalah salah
satu program pembuat animasi yang telah banyak digunakan oleh animator untuk menghasilkan
animasi baik yang sederhana maupun sampai ke tingkat yang expert. Program ini digunakan untuk
membuat animasi interaktif, game berbasis flash, company profile, presentasi, dan lainya. Program
Adobe Flash CS4 Professional sendiri dapat berjalan dengan lancar apabila komputer tempat
menginstal program ini memiliki spesifikasi minimal sebagai berikut (Adobe, 2008): (1) 1 GHz
processor atau di atasnya, (2) sistem operasi Windows XP, 7, 8.1, atau 10, (3) 1 atau 2 GB RAM, (4)
monitor dengan resolusi 1024 × 786, 16-bit display (lebih direkomendasikan 1280 × 800, 32-bit) atau
di atasnya, dan (5) 3,5 GB space HDD yang tersisa.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang ada sebelumnya. Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan penyempurnaan pola pikir
(Permendikbud No. 69 tahun 2013) diantaranya: (1) pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi
pembelajaran berpusat pada peserta didik, (2) pembelajaran satu arah menjadi pelajaran interaktif, dan
(3) pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia. Pengembangan
Kurikulum 2013 juga didasarkan pada tantangan internal dan eksternal yang dihadapi oleh pendidikan
di Indonesia. Dalam pembelajarannya, Kurikulum 2013 menghadirkan tiga ranah kompetensi. Ketiga
ranah kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap
95
Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pafa Pembelajaran
Tematik Siswa Kelas 2 SD (R. Gita Ardhy Nugraha)

diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan”.


Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas “mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, mencipta”. Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan mencipta” (Permendikbud No. 22 Tahun 2016).
Pengembangan media interaktif didasarkan pada pembelajaran tematik sesuai dengan
Kurikulum 2013 untuk kelas 2 SD. Pembelajaran tematik merupakan pendekatan pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema.
pembelajaran tematik merupakan satu usaha untuk mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, nilai,
atau sikap pembelajaran, serta pemikiran yang kreatif dengan menggunakan tema (Sutirjo & Sri Istuti
M., 2005: 6). Pembelajaran tematik menggunakan pendekatan scientific dimana proses pembelajaran
yang dilakukan harus mencakup tiga ranah yaitu ranah sikap (attitude), keterampilan (skill), dan
pengetahuan (knowledge). Masing-masing ranah saling melengkai dalam pembelajaran tematik agar
pembelajaran yang dilakukan menjadi seimbang.
Penerapan media interaktif dalam pembelajaran membuat proses pembelajaran menjadi
menarik. Pernyataan ini diungkapkan oleh Wibowo, E. J. (2013) dalam penelitiannya yang
mengembangkan media interaktif untuk mata pelajaran matematika. Temuan Anggraini, D (2014) juga
mengungkapkan bahwa media interaktif membuat pembelajaran seni menjadi lebih menarik dan
berkesan bagi siswa SD. Temuan ini diperkuat oleh penelitian Kumala, W. S. J. (2015) yang
menyakan hal serupa yaitu media interaktif yang dikembangkan membuat siswa menjadi lebih tertarik
dalam mempelajari materi pembelajaran.
Penggunaan media interaktif dalam pembelajaran dapat membuat proses pembelajaran
menjadi efektif. Temuan ini diungkapkan oleh Ramansyah, W. (2014) yang menyatakan bahwa
multimedia pembelajaran interaktif telah memenuhi kebutuhan guru dalam meningkatkan strategi
penyampaian pesan pembelajaran dan telah memenuhi kebutuhan siswa yang beragam dalam
mempelajari materi. Selajan dengan Ramansyah, W. (2014), Rosita, F. Y. (2015) mengungkapkan
bahwa dengan menggunakan media interaktif, pembelajaran di kelas menjadi lebih efektif.
Temuan lain juga didapatkan dalam penelitian yang mengembangkan media interaktif untuk
diterapkan dalam proses pembelajaran. Fanny, A. M., & Suardiman, S. P. (2013) mengungkapkan
bahwa media interaktif menggabungkan berbagai macam media dapat digunakan untuk pembelajaran
mandiri maupun klasikal sehingga peserta didik dengan berbagai tingkatan kemampuan dapat
menggunakannya tanpa merasa kesulitan dalam memahami materi pembelajaran. Selain itu, media
interaktif sangat praktis untuk digunakan sebagai pendamping proses pembelajaran (Akbar, T. N.,
2016). Penggunaan media interaktif dalam pembelajaran menimbulkan perbedaan pada hasil belajar
siswa yang tidak menggunakan media interaktif (Sururi, N., 2015). Media interaktif juga dapat
digunakan sebagai sumber belajar alternatif dalam pembelajaran untuk siswa sekolah dasar (Nuroeni,
R., dkk, 2013; Febriani, Y. & Donna B. M., 2015).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan menggunakan media interaktif
berbasis Adobe Flash CS4 Professional sebagai pembuatan produknya. Pengembangan media
interaktif didasarkan pada pembelajaran tematik Kurikulum 2013 untuk kelas 2 SD tema 7: “Merawat
Hewan dan Tumbuhan” dengan subtema: “Hewan di Sekitarku”. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas 2 SD Kristen Satya Wacana Salatiga yang berjumlah 76 siswa yang dibagi dalam dua kelompok
pengujian berdasarkan jumlah siswa tiap kelas. Kelompok pertama berjumlah 26 siswa dan kelompok
kedua berjumlah 50 siswa. Prosedur pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini
mengadaptasi model pengembangan Borg & Gall dalam Sukmadinata (2007: 168) yang meliputi: (1)
tahap studi pendahuluan, (2) tahap penyusunan rancangan produk, dan (3) tahap pengembangan dan
evaluasi.

96
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 94 – 105

Gambar 1. Bagan Tahapan Penelitian dan Pengembangan

Aspek penilaian yang dipergunakan dalam uji pakar dan angket siswa dibuat berdasarkan
komponen dan instrumen pengembangan bahan ajar berbasis TIK yang dicetuskan oleh Kemendiknas
(2010: 18-21) dengan melakukan beberapa modifikasi berdasarkan tingkat pemahaman subjek
penelitian. Data hasil penelitian diperoleh melalui hasil penilaian kelayakan dari materi dan media
berdasarkan lembar validasi pakar materi dan pakar media. Angket siswa juga digunakan dalam
penelitian guna mengukur minat dan ketertarikan siswa terhadap media interaktif yang dikembangkan
dalam melakukan pembelajan dengan menggunakan media interaktif. Data hasil validasi pakar materi,
media, dan angket siswa dianalisis dengan menggunakan pedoman analisis kualitatif yang mengacu
pada pedoman konversi skala Likert (Sugiyono, 2010: 93). Instrumen pengumpulan data berupa hasil
tes berjumlah 20 soal yang ada dalam media interaktif digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman
siswa terhadap materi yang disajikan telah diuji reliabilitasnya yaitu sebesar 0,898. Angka koefisien
reliabilitas menunjukkan bahwa instrumen soal berkategori reliabel sesuai dengan pendapat Ghozali
(2011: 52-53) bahwa instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi jika nilai koefesien
Cronboach’s Alpha ≥ 0,6. Selain itu, data hasil wawancara guru kelas dihimpun untuk digunakan
sebagai data penelitian guna memperoleh penilaian dan masukan terhadap media interaktif yang
dikembangkan. Semua data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Tahap Studi Pendahuluan
Studi kepustakaan dilakukan oleh peneliti dengan mengkaji teori dan konsep yang berkaitan
dengan pengembangan media interaktif berbasis Adobe Flash CS4 Professional. Pengkajian terhadap
muatan kompetensi dasar dan indikator pembelajaran tematik tema 7: “Merawat Hewan dan
Tumbuhan” subtema 1: “Hewan di Sekitarku” untuk kelas 2 SD pada Kurikulum 2013 juga dilakukan
sehingga pembuatan media interaktif tidak melenceng dari materi ajar dan pencapaian pembelajaran
yang diharapkan. Studi kepustakaan juga dilakukan dengan melakukan kajian terhadap penelitian
sebelumnya. Media interaktif yang dikembangkan oleh Arindiono, R. J., & Ramadhani, N. (2013),
Nuroeni, R., dkk (2013), Wibowo, E. J. (2013), Anggraini, D. (2014), Rahmani, Naila F. (2014), dan
Kumala, W. S. J. (2015) masih berfokus pada mata pelajaran tertentu. Berdasarkan hasil kajian
penelitian sebelumnya, peneliti mengembangkan media interaktif untuk pembelajaran yang
dikembangkan dalam satu subtema pembelajaran.
Survai lapangan dilakukan oleh peneliti melalui observasi kelas untuk memperkuat
pengembangan media interaktif. Observasi dilakukan di SD Kristen Satya Wacana Salatiga kelas 2
untuk mengetahui bahan dan media ajar yang digunakan guru dalam melakukan pembelajaran tematik.
Observasi dilakukan saat guru mengajar di kelas dan dilengkapi wawancara dengan guru mengenai
minat siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Hasilnya, minat siswa siswa dalam proses
pembelajaran dirasa kurang oleh guru kelas 2 karena kurangnya pemberian warna suasana dalam
pembelajaran. Observasi juga dilakukan pada saat siswa kelas 2 melakukan pembelajaran TIK di
laboratorium komputer untuk mengetahui minat siswa dalam pembelajaran yang menggunakan
komputer sebagai alat belajarnya. Hasilnya, siswa kelas 2 mempunyai minat yang tinggi dalam
mengikuti pembelajarn TIK yang ditunjukkan dengan adanya antusias siswa dalam mengikuti
97
Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pafa Pembelajaran
Tematik Siswa Kelas 2 SD (R. Gita Ardhy Nugraha)

pembelajaran. Berdasarkan hasil studi pustaka dan survai lapangan, maka peneliti mengembangkan
draft produk media interaktif untuk pembelajaran tematik.
Tahap Penyusunan Draft Produk
Media interaktif yang dikembangkan oleh peneliti pada pembelajaran tematik untuk kelas 2 SD
tema 7: “Merawat Hewan dan Tumbuhan” dengan subtema: “Hewan di Sekitarku” memiliki
spesifikasi yang cukup rendah untuk dijalankan di setiap perangkat. Syarat minimal untuk
menjalankan media interaktif ini adalah (1) komputer dengan prosesor 1 GHz atau di atasnya, (2)
RAM 1 GB atau di atasnya, (3) VGA 128MB (onboard) atau di atasnya, (4) resolusi layar minimal
640 x 480, (5) memiliki sound card, dan (6) sistem operasi Windows XP, 7, 8, 8.1 atau 10. Adapun
tampilan media interaktif yang dikembangkan adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Tampilan Awal Media Interaktif Gambar 3. Tampilan Selamat Datang

Gambar 2 dan Gambar 3 merupakan tampilan awal yang muncul ketika media interaktif
dijalankan untuk pertama kalinya pada komputer. Siswa dapat memilih tombol mulai untuk masuk ke
dalam tampilan selamat datang. Tombol menu dapat dipilih oleh siswa untuk masuk ke dalam halaman
menu guna mengakses isi dari media interaktif yang dikembangkan.

Gambar 4. Tampilan Menu Gambar 5. Tampilan Petunjuk Penggunaan

Gambar 4 merupakan tampilan menu yang ditawarkan media interaktif untuk diakses siswa.
Tiap-tiap menu akan menuju ke halaman yang dimaksud ketika siswa memilih dengan mengklik salah
satu menu yang ada. Gambar 5 menampilkan petunjuk penggunaan dan pengoperasian tombol yang
ada pada media interaktif.

Gambar 6. Tampilan Menu Pembelajaran Gambar 7. Tampilan Menu Materi

98
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 94 – 105

Gambar 6 merupakan tampilan menu pemilihan pembelajaran. Siswa dapat memilih menu
pembelajaran satu sampai enam sesuai dengan yang diinginkan. Namun, alangkah baiknya jika siswa
memilihnya dengan urut. Gambar 7 merupakan tampilan halaman materi ketika siswa memilih menu
materi. Materi yang ditampilkan berisikan gambar, video, dan suara yang terkait dengan pembelajaran
tematik. Penjelasan singkat juga dipaparkan dalam tampilan materi yang ada.

Gambar 8. Tampilan Menu Kuis Gambar 9. Tampilan Hasil Kuis

Gambar 8 merupakan tampilan halaman kuis untuk siswa. Terdapat 20 soal pilihan ganda yang
dapat dikerjakan siswa setelah siswa membaca dan memahami materi yang ada dalam media
interaktif. Gambar 9 merupakan tampilan hasil nilai siswa saat selesai mengerjakan kuis. Nilai akan
dihitung secara otomatis berdasarkan jawaban benar dan jawaban salah.
Hasil uji validasi pakar materi oleh Bapak Adi Winanto, S.Pd., M.Pd. dosen FKIP PGSD
UKSW menunjukkan bahwa media interaktif yang dikembangkan masuk dalam kategori baik dengan
perolehan skor rata-rata sebesar 3,83. Aspek uji validasi materi (Kemendiknas, 2010) yang dinilai
meliputi format, isi, dan bahasa yang digunakan dalam pengembangan media interaktif.
Tabel 1
Hasil Validasi Pakar Materi
No. Aspek Skor Kategori
1. Format 3,67 Baik
2. Isi 3,8 Baik
3. Bahasa 4 Baik
Rata-rata 3,83 Baik

Hasil validasi pakar materi menunjukkan bahwa media interaktif yang dikembangkan sudah
masuk dalam kategori baik. Aspek-aspek penilaian yang terdapat pada Tabel 1 juga menunjukkan
hasil yang baik pula. Namun, ada catatan perbaikan di beberapa bagian untuk media interaktif yang
dikembangkan. Adapun perbaikan yang dilakukan antara lain melengkapi media interaktif dengan
kompetensi inti dan kompetensi dasar (minimal kompetensi dasar) serta tujuan mempelajari materi.
Petunjuk penggunaan media interaktif juga dirasa kurang lengkap sehingga ada perbaikan petunjuk
terutama pada petunjuk pengoperasian tombol yang ada dalam media interaktif. Perbaikan sesuai
masukan dari pakar materi ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Hasil uji validasi pakar media oleh Bapak Stefanus C. Relmasira, S.Pd., MS.Ed. dosen FKIP
PGSD UKSW menunjukkan bahwa media interaktif yang dikembangkan masuk dalam kategori cukup
baik dengan perolehan skor rata-rata 3,2. Aspek uji validasi media (Kemendiknas, 2010) yang dinilai
meliputi tampilan antar muka (interface), keterpaduan, keseimbangan, bentuk, dan warna.
Tabel 2
Hasil Validasi Pakar Media
No. Aspek Skor Kategori
1. Interface 3,5 Baik
2. Keterpaduan 3,5 Baik
3. Keseimbangan 3 Cukup Baik
4. Bentuk 3 Cukup Baik
5. Warna 3 Cukup Baik
Rata-rata 3,2 Cukup Baik
99
Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pafa Pembelajaran
Tematik Siswa Kelas 2 SD (R. Gita Ardhy Nugraha)

Hasil validasi pakar media yang ditunjukkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa media
interaktif yang dikembangkan masuk dalam kategori cukup baik. Aspek tampilan antar muka
(interface) dan keterpaduan sudah baik. Namun, beberapa aspek menujukkan bahwa media interaktif
yang dikembangkan masuk dalam kategori cukup baik. Penilaian cukup baik oleh pakar media
dikarenakan media interaktif yang dikembangkan oleh peneliti memiliki beban kognitif pada tampilan
awal karena kurangnya whitespace atau ruang kosong pada halaman. Perancangan media interaktif
seharusnya memperhatikan fungsi whitespace. Tanpa pengaturan whitespace dengan hati-hati, suatu
desain akan terasa seperti ruang yang penuh sesak (Erawan, 2013). Media interaktif yang
dikembangkan memiliki kelemahan pada aspect ratio gambar serta tata letak gambar dan tulisan.
Diperlukan adanya perbaikan terhadap aspect ratio gambar-gambar agar terlihat normal. Penggunaan
prinsip rule of thirds digunakan untuk menentukan tata letak gambar dan tulisan pada media interaktif.
Penerapan rule of thirds pada sebuah foto dapat membuat foto menjadi lebih baik secara kualitas
visual (Aswin, 2014). Perbaikan sesuai masukan dari pakar materi ditunjukkan pada Gambar 2 dan
Gambar 7.

Tahap Pengembangan dan Evaluasi


Data hasil pengisian angket terhadap 26 siswa pada uji coba terbatas menunjukkan hasil yang
positif terhadap media interaktif yang dikembangkan. Hasil pengisian angket ditunjukkan dengan
perolehan skor rata-rata 4,34 yang termasuk dalam kategori sangat baik. Selain itu, data hasil
pengisian angket terhadap 50 siswa pada uji coba lebih luas menunjukkan hasil yang positif terhadap
media interaktif yang dikembangkan. Hasil pengisian angket ditunjukkan dengan perolehan skor rata-
rata 4,26 yang termasuk dalam kategori sangat baik.

Tabel 3
Hasil Pengisian Angket Uji Coba Terbatas & Lebih Luas
Uji Coba Terbatas
No. Aspek Skor Kategori
Ketertarikan dan minat siswa
1. terhadap penggunaaan media 4,46 Sangat Baik
interaktif dalam pembelajaran
2. Penyajian materi 4,24 Sangat Baik
3. Manfaat media interaktif 4,31 Sangat Baik
Keefektifan media interaktif dalam
4. 4,17 Baik
pembelajaran
5. Rasa ingin tahu siswa pada materi 4,42 Sangat Baik
6. Menimbulkan interaksi positif siswa 4,45 Sangat Baik
Rata-rata 4,24 Sangat Baik
Uji Coba Lebih Luas
No. Aspek Skor Kategori
Ketertarikan dan minat siswa
1. terhadap penggunaaan media 4,39 Sangat Baik
interaktif dalam pembelajaran
2. Penyajian materi 4,42 Sangat Baik
3. Manfaat media interaktif 4,15 Baik
Keefektifan media interaktif dalam
4. 4,17 Baik
pembelajaran
5. Rasa ingin tahu siswa pada materi 4,21 Sangat Baik
6. Menimbulkan interaksi positif siswa 4,22 Sangat Baik
Rata-rata 4,26 Sangat Baik

Data hasil tes siswa diperoleh dari hasil pengerjaan kuis yang ada di dalam media interaktif oleh
siswa sebanyak 26 orang. Dari hasil pengolahan nilai siswa diperoleh nilai tertinggi adalah 100 dan
nilai terendah 25, sedangkan rata-ratanya adalah 70,77. Data nilai tes siswa diperoleh dari hasil
pengerjaan kuis yang ada di dalam media interaktif oleh siswa sebanyak 50 orang. Dari hasil
100
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 94 – 105

pengolahan nilai siswa diperoleh nilai tertinggi adalah 95 dan nilai terendah 35, sedangkan rata-
ratanya adalah 71,9. Melalui hasil wawancara, peneliti mendapatkan beberapa perbaikan terhadap
media interaktif yang dikembangkan meliputi penggunaan sebutan subjek untuk siswa dan
penambahan sumber gambar. Perbaikan sesuai hasil wawancara dapat dilihat pada Gambar 3 dan
Gambar 7. Media interaktif yang dikembangkan juga menumbuhkan ketertarikan, minat, dan interaksi
positif siswa yang sangat baik terhadap pembelajaran dengan menggunakan media interaktif di dalam
kelas. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengisian angket siswa yang tertera pada Tabel 3 yang
menunjukkan kategori sangat baik dalam aspek ketertarikan dan minat siswa terhadap penggunaaan
media interaktif dalam pembelajaran dan menimbulkan interaksi positif siswa.

Pembahasan
Media interaktif yang dikembangkan oleh peneliti menyajikan materi yang sederhana dan
dilengkapi dengan video, lagu dan sound effect sehingga membuat siswa tertarik untuk belajar dengan
menggunakan media interaktif. Peryataan ini sejalan dengan penelitian Anggraini, D. (2014) yang
menyatakan bahwa media interaktif yang disetting dengan sistem navigasi yang sederhana, tampilan
yang colorful, games, video, dan sound effect yang membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan
berkesan. Beberapa penelitian terkait (Wibowo, E. J., 2013; Sari, Linda K. & Dimas, S., 2013;
Hartanto, A., 2013) juga menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan media interaktif
membuat siswa merasa tertarik untuk belajar. Selain itu, hasil penelitian juga didukung oleh
pertanyaan Kumala, W. S. J. (2015) bahwa pembelajaran dengan menggunakan aplikasi media
interaktif membuat siswa menjadi tertarik dalam menggunakannya sebagai media pembelajaran.
Penggunaan media interaktif yang dikembangkan oleh peneliti menunjukkan keefektifitasannya
dalam penyampaian materi pembelajaran di kelas. Melalui media interaktif, keterampilan siswa dalam
mengolah informasi dapat dilakukan dengan efektif. Keefektifan pengembangan keterampilan siswa
dalam mengolah informasi yang ditemukan peneliti didukung oleh penelitian Outhwaite, L. A., et al.
(2017) yang menyatakan bahwa penggunaan media interaktif dapat mengembangkan keterampilan
belajar matematika siswa. Keefektifan penggunaan media interaktif yang dikembangkan peneliti
berdampak positif terhadap hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dengan perolehan nilai siswa yang
baik dalam mengerjakan kuis yang ada dalam media interaktif. Temuan ini diperkuat dengan
penelitian Prawiro, S. A., & Irawan, A. H. (2012) yang menyatakan bahwa penggunaan media
pembelajaran interaktif secara tidak langsung juga meningkatkan prestasi belajar siswa. Mendukung
pernyataan Prawiro, S. A., & Irawan, A. H. (2012), penggunan media interaktif dalam pembelajaran
juga mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap hasil belajar siswa (Nourmaningrum,
M. D., dkk, 2014). Pernyataan ini juga didukung oleh Sururi, N. (2015) yang menemukan perbedaan
hasil belajar siswa pada pembelajaran yang menggunakan media interaktif. Ketuntasan siswa dalam
belajar juga memperoleh predikat sangat baik ketika pembelajaran dengan menggunakan media
interaktif diterapkan (Mardiana, T., 2014).
Media interaktif yang dikembangkan oleh peneliti mempunyai keefektifan dalam pembelajaran
seperti hasil pengisian angket uji coba pada Tabel 3. Temuan ini diperkuat oleh penelitian Ramansyah,
W. (2014) yang mengemukakan bahwa media interaktif memiliki nilai efektifitas untuk digunakan
dalam pembelajaran. Senada dengan Ramansyah, W. (2014), Rosita, F. Y. (2015) juga mengemukakan
bahwa dengan menggunakan media interaktif, pembelajaran di kelas menjadi lebih efektif. Kedua
pernyataan ini juga didukung oleh temuan Akbar, T. N. (2016) yang menyatakan hal serupa.
Pengembangan media interaktif yang dilakukan oleh peneliti memberikan manfaat yang sangat
baik bagi siswa. Siswa dapat mempelajari materi yang ada pada pembelajaran tematik tema 7:
“Merawat Hewan dan Tumbuhan” dengan subtema: “Hewan di Sekitarku” dengan lebih mudah karena
dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan media pendukung dalam pembelajaran menggunakan
media interaktif. Temuan ini didukung oleh penelitian Fanny, A. M., & Suardiman, S. P. (2013) yang
menyatakan siswa dapat menggunakan media interaktif tanpa merasa kesulitan karena dilengkapi
dengan petunjuk penggunaan dan memberikan tutorial layaknya seorang pendidik. Media interaktif
yang dikembangkan oleh peneliti terdiri dari gambar, animasi, dan suara yang membuat siswa lebih
mudah memahami materi yang kompleks. Kemudahan siswa dalam memahami materi didukung oleh
penelitian Kim, S., & Lee, Y. (2016) yang menyatakan bahwa penggunaan gambar, animasi, dan suara
dapat membantu pemahaman siswa terhadap materi yang kompleks. Selain itu, media interaktif yang

101
Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pafa Pembelajaran
Tematik Siswa Kelas 2 SD (R. Gita Ardhy Nugraha)

dikembangkan oleh peneliti dapat digunakan sebagai bahan belajar alternatif untuk siswa sehingga
pembelajaran dapat berjalan dengan variatif. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Nuroeni, R., dkk
(2013) dan Febriani, Y. & Donna B. M. (2015) yang menyatakan hal serupa dengan peneliti.
Hasil wawancara guru kelas 2 pada tahap uji coba terbatas dan lebih luas mengungkapkan
bahwa media interaktif yang dikembangkan memberikan manfaat bagi guru karena memudahkan
siswa untuk belajar lebih aktif. Siswa yang biasanya cenderung merasa bosan dengan pengajaran
konvesional dapat merasa senang dengan adanya pembelajaran dengan menggunakan media interaktif.
Media interaktif yang dikembangkan sangat baik dalam mendukung aktivitas belajar siswa di sekolah.
Pernyataan ini didukung oleh Kwok, K., et al. (2016) yang menyatakan bahwa penggunaan media
interaktif dapat mendukung dan meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa. Media interaktif juga
memberikan manfaat bagi siswa untuk membangun interaksi positif saat pembelajaran dilakukan.
Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Rahmani, Naila F. (2014) yang menyatakan bahwa
penggunaan media interaktif dalam pembelajaran menimbulkan interaksi belajar yang positif bagi
siswa. Interaksi positif juga ditunjukkan dengan termotivasinya siswa untuk mengikuti pembelajaran
yang menggunakan media interaktif. Temuan peneliti terkait termotivasinya siswa untuk belajar
diperkuat oleh penelitian Andriani, M. R. (2016) yang menyatakan siswa merasa senang dan
termotivasi mengikuti pembelajaran yang menggunakan media interaktif. Selain itu, berdasarkan hasil
wawancara dengan guru kelas 2, interaksi positif yang timbul dari penerapan media interaktif yang
dikembangkan peneliti dalam pembelajaran dapat menumbuhkan minat dan partisipasi aktif siswa
untuk mengikuti pembelajaran dengan lebih baik. Temuan ini sejalan dengan penelitian Paseleng, M.
C., & Arfiyani, R. (2015) yang menyatakan bahwa media pembelajaran berbasis multimedia interaktif
memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan minat belajar siswa. Temuan peneliti terhadap
tumbuhnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran menggunakan media interaktif diperkuat oleh
Asad, K., et al. (2016) yang menyatakan penggunaan media interaktif menumbuhkan partisipasi positif
dalam pembelajaran.

SIMPULAN DAN SARAN


Media interaktif berbasis Adobe Flash CS4 Professional yang dikembangkan oleh peneliti
berdasarkan pembelajaran tematik kelas 2 SD tema 7: “Merawat Hewan dan Tumbuhan” dengan
subtema: “Hewan di Sekitarku” layak digunakan untuk bahan ajar alternatif pembelajaran di dalam
kelas. Kelayakan ini ditunjukkan melalui hasil validasi pakar materi, pakar media, uji coba terbatas,
dan uji coba lebih luas. Hasil validasi pakar materi mendapatkan skor 3,83 (baik). Hasil validasi pakar
media mendapatkan skor 3,2 (cukup baik). Hasil dari uji coba terbatas mendapatkan skor 4,24 (sangat
baik). Hasil dari uji coba lebih luas mendapatkan skor 4,26 (sangat baik). Media interaktif yang
dikembangkan oleh peneliti juga memberikan kemenarikan bagi siswa dan manfaat keefektifitasan
pembelajaran di kelas sehingga siswa dapat memahami materi pembelajaran dengan lebih baik. Selain
itu, media interaktif yang dikembangkan menumbuhkan interaksi positif berupa timbulnya minat dan
motivasi siswa dalam pembelajaran.
Berdasarkan keterbatasan pengembangan yang dilakukan oleh peneliti yaitu mengembangkan
media interaktif hanya satu sub tema, maka bagi peneliti berikutnya, media interaktif untuk
pembelajaran tematik sebaiknya dikembangkan untuk satu tema agar media interaktif dapat digunakan
pada satu tema pembelajaran. Media interaktif juga dapat dikembangkan ke dalam perangkat mobile
berbasis android atau iOS agar lebih mudah dimanfaatkan oleh siswa. Selain itu, peneliti selanjutnya
dapat mempertimbangkan spesifikasi perangkat yang akan digunakan agar media interaktif yang
dikembangkan dapat beroperasi dengan baik.

Ucapan Terimakasih
Terima kasih peniliti ucapkan kepada kepala sekolah, guru, dan siswa kelas 2 SD Kristen Satya
Wacana yang telah memberikan kesempatan peneliti untuk melakukan penelitian. Ucapan terima kasih
juga peneliti sampaikan kepada Bapak Adi Winanto, S.Pd., M.Pd., dan Bapak Stefanus C. Relmasira,
S.Pd., MS.Ed. yang bersedia menjadi validator media interaktif yang dikembangkan dalam penelitian
ini serta Bapak Prof. Dr. Slameto, M.Pd. yang telah membantu peneliti dalam penulisan artikel ini.

102
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 94 – 105

DAFTAR PUSTAKA
Adobe. (2008). Flash CS4 Professional System Requirements. http://helpx.adobe.com/flash/system-
requirements.html. (Online)
Akbar, T. N. (2016). “Pengembangan Multimedia Interaktif IPA Berorientasi Guided Inquiry pada
Materi Sistem Pernapasan Manusia Kelas V SDN Kebonsari 3 Malang”. Jurnal Pendidikan:
Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 1(6), 1120-1126.
Andriani, M. R. (2016). “Pengembangan Media Pembelajaran Power Point Interaktif Melalui
Pendekatan Saintifik untuk Pembelajaran Tematik Integratif Siswa Kelas 2 SDN Bergas Kidul
03 Kabupaten Semarang”. Scholaria, 6(1), 143-157.
Anggraini, D. (2014). “Pengembangan Multimedia Interaktif Silat Pedang Untuk Pembelajaran Seni
Tari Pada Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Sekolah Dasar, 23(2), 107-114.
Anitah, Sri. (2012). Media Pembelajaran. Surakarta: Yuma Pustaka.
Arindiono, R. J., & Ramadhani, N. (2013). “Perancangan Media Pembelajaran Interaktif Matematika
untuk Siswa Kelas 5 SD”. Jurnal Sains dan Seni ITS, 2(1), F28-F32.
Arsyad, Azhar. (2011). Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Asad, K., Tibi, M., & Raiyn, J. (2016). “Primary School Pupils’ Attitudes toward Learning
Programming through Visual Interactive Environments”. World Journal of Education, 6(5),
p20.
Aswin, M., Utomo T. P., & Muttaqin, A. (2014). “Penilaian Komposisi Rule of Thirds Pada Fotografi
Menggunakan Bantuan Pengolahan Citra Digital”. Jurnal Mahasiswa TEUB, 1(6), 1-5.
Azmi, Moch U. (2015). “Penerapan Buku Guru dan Buku Siswa Pada Pembelajaran Penjasorkes Kelas
V Semester II di SD Negeri Se-Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes Tahun 2015/2016”.
Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Erawan, L. (2013). Prinsip dan Kaidah Web Desain. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro.
Fanny, A. M., & Suardiman, S. P. (2013). “Pengembangan Multimedia Interaktif untuk Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Sekolah Dasar Kelas V”. Jurnal Prima Edukasia, 1(1),
1-9.
Febriani, Y. & Donna B. M. (2015). “Media Animasi Pembelajaran Interaktif Siswa Kelas 1 SD”.
Jurnal EducatiO, 10(2), 280-297.
Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM SPSS 19. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Hartanto, A. (2013). “Pembelajaran Matematika Materi Bangun Ruang Balok Dengan Aplikasi
Multimedia Interaktif Di SD Negeri Teguhan Sragen”. Seruni-Seminar Riset Unggulan
Nasional Informatika, 2(1), 85-89.
Kemendiknas. (2010). Panduan Pengembangan Bahan Ajar Berbasis TIK. Jakarta: Kementrian
Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kim, S., & Lee, Y. (2016). “iStoryBook: An Interactive Media Supporting Dialogic Reading for
Children's Reading Comprehension”. International Journal of Multimedia and Ubiquitous
Engineering, 11(11), 383-392.

103
Pengembangan Media Interaktif Berbasis Adobe Flash CS4 Professional pafa Pembelajaran
Tematik Siswa Kelas 2 SD (R. Gita Ardhy Nugraha)

Kumala, W. S. J. (2015). “Pembuatan Media Pembelajaran Interaktif Pengenalan Benda Berbasis


Game untuk Anak Sekolah Dasar Kelas I”. CALYPTRA: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya, 4(1), 1-14.
Kwok, K., Ghrear, S., Li, V., Haddock, T., Coleman, P., & Birch, S. A. (2016). “Children Can Learn
New Facts Equally Well From Interactive Media Versus Face To Face Instruction”. Frontiers in
psychology, 7.
Lapono, Nabisi dkk. (2010). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi.
Mardiana, T. (2014). “Pengembangan Bank Soal dan Pembahasan Ujian Nasional SD Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia Kelas VI Berbasis Multimedia Interaktif dengan Macromedia Authorware 7.0
di SD Negeri Kalimenur Sentolo Kulon Progo DIY”. Elementary School (Jurnal Pendidikan
dan Pembelajaran Ke-SD-an), 1(1), 36-54.
Ngazizah, Nur. (2016). Guru Wajib Melek Teknologi Informatika Komputer (TIK).
http://www.kompasiana.com/nurngazizah/guru-wajib-melek-teknologi-informatika-komputer-
tik_5725d8d56723bdb2191cc76a. (Online).
Nourmaningrum, M. D., Chumdari, & Hartono. (2014). “Pengaruh Penggunaan Multimedia Interaktif
Terhadap Hasil Belajar IPA SD”. Jurnal Didaktika Dwija Indria, 2(4).
Nuroeni, R., Syafik, A., & Kurniawan, H. (2013). “Pengembangan Multimedia Komik Pembelajaran
Matematika Berbasis Kontekstual untuk Bahan Ajar KPK dan FPB”. EKUIVALEN - Pendidikan
Matematika. 5(1), 89-96.
Outhwaite, L. A., Gulliford, A., & Pitchford, N. J. (2017). “Closing the Gap: Efficacy of a Tablet
Intervention to Support the Development of Early Mathematical Skills in UK Primary School
Children”. Computers & Education, 108, 43-58.
Paseleng, M. C., & Arfiyani, R. (2015). “Pengimplementasian Media Pembelajaran Berbasis
Multimedia Interaktif Pada Mata Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar”. Scholaria, 5(2), 131-
149.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan
Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Prawiro, S. A., & Irawan, A. H. (2012). “Perancangan Media Pembelajaran Interaktif Ilmu
Pengetahuan Alam Untuk Siswa Kelas 4 SD Dengan Metode Learning the Actual
Object”. Jurnal Sains dan Seni ITS, 1(1), F28-F33.
Rahmani, Naila F. (2014). “Pengembangan Media Interaktif Power Point Pembelajaran Wayang untuk
Siswa SMP Kelas VIII D.I. Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Ramansyah, W. (2014). “Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif Berbasis Adobe Flash
CS3 pada Kelas 1 SDN Bancaran 3 Bangkalan”. Edutic-Scientific Journal of Informatics
Education, 1(1), 1-11.
Rosita, F. Y. (2015). “Pengembangan Multimedia Interaktif untuk Pembelajaran Berbicara Bagi Siswa
Kelas IV Sekolah Dasar”. Jurnal Inovasi Pembelajaran, 1(1), 25-37.
Sari, Linda K. & Dimas, S. (2013). “Media Pembelajaran Interaktif Bahasa Inggris untuk Siswa
Sekolah Dasar Kelas II”. Seruni-Seminar Riset Unggulan Nasional Informatika dan Komputer,
2(1), 23-27.

104
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 94 – 105

Smaldino, dkk. (2011). Instructional Technology and Media for Learning. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2007). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung; Remaja Rosda Karya.
Sururi, N. (2015). “Pengembangan Media Pembelajaran Sistem Rangka Manusia Berbasis Multimedia
Interaktif di SD Negeri 060876 Medan Timur”. Jurnal Tematik, 5(01), 49-58.
Sutirjo & Sri Istuti M. (2005). Tematik: Pembelajaran Efektif dalam Kurikulum 2004. Malang:
Bayumedia Publishing.
Wibowo, E. J. (2013). “Media Pembelajaran Interaktif Matematika untuk Siswa Sekolah Dasar Kelas
IV”. Seruni-Seminar Riset Unggulan Nasional Informatika dan Komputer, 2(1), 75-58.

Profil Singkat
R. Gita Ardhy Nugraha, lahir di Purwokerto, 2 Mei 1991. Penulis telah menyelesaikan
pendidikan S1 progdi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP UKSW pada tahun 2015. Penulis pernah
bekerja sebagai guru volunteer di SD Kristen Satya Wacana Salatiga dari tahun 2015-2016. Sekarang,
penulis sedang melanjutkan studinya di program pasca sarjana Universitas Negeri Semarang
mengambil program studi Pendidikan Dasar konsentrasi PGSD.

105
PENGGUNAAN KALKULATOR GRAFIKDALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA:
MASIH RELEVANKAH?

Kurnia Putri Sepdikasari Dirgantoro


Kurnia.dirgantoro@uph.edu
Universitas Pelita Harapan

ABSTRACT

THE USE OF GRAPHIC CALCULATOR IN MATHEMATICS LEARNING: IS IT STILL


RELEVANT?

In the middle of the advancement of technology today where the rapid development of a wide
range of software that can be used in mathematics, it seems the use of graphing calculators in the
classroom are being abandoned. Relatively expensive, parents and schools tend to think twice before
buying a graphing calculator for their children as well as the availability of media learning in school.
However, is it true that the used of graphic calculator are not relevant at this time? It is intended to be
a review of theory to answer these questions.

Keywords: graphic calculator, mathematics learning

Article Info
Received date: 20 Des 2016 Revised date: 21 Maret 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan, paradigma pendidikan telah bergeser dari pembelajaran yang
terpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang terpusat pada siswa (student
centered). Ini artinya, proses belajar mengajar yang semula menjadi tanggung jawab guru sepenuhnya,
saat ini cenderung menjadi tanggung jawab bersama antara guru dengan siswa. Dengan adanya
perubahan paradigma ini, siswa dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya berperan sebagai obyek
yang sekedar menerima apa yang diberikan oleh guru melainkan dituntut untuk aktif dalam
mengkonstruksi pemahamannya sendiri. Proses pembelajaran diarahkan dan difokuskan agar siswa
dapat mengembangkan kemampuan dalam mengeksplorasi ide-ide dan konsep matematika.
Selain perubahan paradigma dalam pendidikan tersebut, seiring dengan berkembangnya
kemajuan teknologi maka peran teknologi dalam pendidikan pun semakin besar. Perkembangan
teknologi yang demikian cepat serta penerapannya yang semakin luas ke berbagai bidang tak
terkecuali dalam pendidikan, menjadikan teknologi mendapat perhatian besar untuk digunakan dalam
mendukung kegiatan pembelajaran. Dengan menggunakan teknologi sebagai media dalam
pembelajaran maka pembelajaran dapat lebih menarik, meningkatkan interaksi siswa, mempersingkat
waktu pembelajaran dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Teknologi dinilai memegang peranan
penting dalam pembelajaran pada berbagai bidang studi, tak terkecuali matematika.
National Council of Teachers of Mathematics (2000) menyatakan bahwa teknologi merupakan
komponen penting dalam pembelajaran matematika. Teknologi mempengaruhi bagaimana matematika
diajarkan dan meningkatkan belajar siswa. Robova (2002) menyatakan bahwa dalam pembelajaran
matematika tradisional, guru memberikan informasi lengkap kepada siswa dan siswa hanya menerima
secara pasif. Namun, pengintegrasian teknologi dalam pembelajaran mendorong dan memungkinkan
pendekatan serta prosedur baru dalam belajar dan mengajar metematikakhususnya penyelidikan lebih
dalam terhadap masalah, penemuan hubungan antara fenomena dan lain sebagainya. Selain itu,
teknologi dapat membantu siswa dalam mengembangkan pemahaman yang lebih baik mengenai
konsep-konsep matematika yang abstrak melalui visualisasi atau representasi grafis, siswa juga dapat
menunjukkan hubungan antara obyek dan sifat yang dimilikinya. Pemahaman yang lebih dalam
terhadap konsep matematis akan membawa dampak pada meningkatnya kemampuan siswa untuk
memperoleh pengetahuan tentang matematika secara lebih mendalam.
Teknologi yang memiliki pengaruh besar dalam pembelajaran matematika adalah komputer
dan kalkulator. Penggunaan kedua teknologi ini telah lama diterapkan dalam pembelajaran di kelas,
106
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 106 – 117

khususnya penggunaan kalkulator. Pada awalnya penggunaan kalkulator hanya sebatas membantu
perhitungan sederhana namun lama kelamaan dengan fitur kalkulator yang menjadi semakin canggih
maka fungsi kalkulator pun menjadi semakin banyak dan kompleks. Saat ini kalkulator grafik sebagai
perkembangan kalkulator memiliki berbagai fitur menarik yang dapat menggambar grafik,
menyelesaikan persamaan, memanipulasi ekspresi aljabar, membantu dalam kalkulus, matriks,
trigonometri, statistik, dan masih banyak lagi. Dengan fitur yang semakin canggih maka kalkulator
grafik semakin membawa kemudahan bagi siswa dan guru sebagai media dalam proses pembelajaran.
Namun, tidak hanya kalkulator grafik yang semakin berkembang, komputer sebagai media
pembelajaran pun semakin canggih. Jika dahulu komputer kehadirannya hanya terbatas pada sebuah
tempat karena ukurannya yang cukup besar, namun saat ini komputer pun lebih praktis dan mudah
dibawa dengan ukuran yang tidak terlalu besar, seperti laptop, notebook, dan tablet. Selain itu,
perkembangan software-software pendukung pun semakin cepat. Saat ini dapat ditemui adanya
berbagai software yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran matematika seperti Cabri, Delphi,
Cinderella, Mathlab, Geometer’s Sketchpad, Geogebra, Microsoft Mathematics, Autograph dan lain
sebagainya.
Seiring dengan bermunculannya berbagai software yang dapat digunakan untuk membantu
siswa dalam pembelajaran matematika di kelas maka dirasakan bahwa penggunaan kalkulator grafik
semakin ditinggalkan. Dengan menggunakan layar komputer yang lebih besar dan manipulasi-
manipulasi yang dapat dilakukan oleh software-software tersebut maka penggunaan software
matematika terlihat lebih menarik dibandingkan dengan kalkulator grafik. Namun, apakah benar
bahwa saat ini penggunaan kalkulator grafik di kelas matematika sudah tidak relevan seiring dengan
perkembangan teknologi komputer yang semakin canggih?

KAJIAN PUSTAKA
Perkembangan Kalkulator
Pada awalnya, kalkulator diciptakan untuk membantu manusia dalam proses
perhitungan/aritmatika sederhana seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
Namun semakin lama dengan teknologi yang semakin berkembang maka kalkulator pun semakin
canggih sehingga manfaat kalkulator menjadi semakin beragam dan kompleks.
Berikut perkembangan kalkulator hingga yang ada sekarang ini.
1. Kalkulator Non-Mekanik
a) Sempoa
Sempoa merupakan alat hitung paling tua yang pernah ada. Asal usul sempoa masih sangat
sulit dilacak karena terdapat banyak alat hitung yang serupa dengan sempoa di berbagai
kebudayaan dunia. Diperkirakan sempoa sudah ada di Babilonia sekitar tahun 2400 SM dan di
Tiongkok sekitar tahun 300 SM.
b) Napier’s Bones (1612)
John Napier menciptakan Napier’s Bones guna menghitung persamaan perkalian untuk
sembilan kelipatan pertama dari angka.
c) Slide Rule (1622)
Slide Rule merupakan alat yang diciptakan oleh William Oughtred berdasarkan Napier’s
Bones. Slide Rule digunakan selama berabad-abad sampai ditemukannya kalkulator mekanik
dan elektronik.

2. Kalkulator Mekanik
a) Calculating Clock (1623)
Calculating Clock diciptakan oleh seorang astronom dan matematikawan Jerman, Willhelm
Schickard pada tahun 1623 dan dapat melakukan penjumlahan hingga 6 digit angka.
b) Tahun 1642: Pascaline (1642)
Pada tahun 1642, Blaise Pascal yang saat itu berusia 18 tahun menciptakan apa yang ia sebut
sebagai kalkulator roda numerik (numerical wheel calculator) untuk membantu ayahnya
melakukan perhitungan pajak. Alat ini digunakan untuk menghitung pajak di Prancis sampai
tahun 1799. Kalkulator ini berupa kotak persegi kuningan yang menggunakan roda putar
bergerigi untuk menjumlahkan bilangan hingga 8 digit dan dinamakan Pascaline. Pascaline
merupakan alat penghitung bilangan berbasis sepuluh. Kelemahan alat ini adalah masih
terbatas hanya pada melakukan proses penjumlahan.
107
Penggunaan Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika: Masih Relevankah?( Kurnia
Putri Sepdikasari Dirgantoro)

c) Stepped Reckoner (1672)


Seorang matematikawan dan filsuf Jerman, Gottfred Wilhem von Leibniz pada tahun 1694
memperbaiki Pascaline dengan membuat mesin yang dapat mengalikan. Sama seperti
Pascaline, alat mekanik ini bekerja dengan menggunakan roda-roda gerigi. Leibniz
mempelajari catatan dan gambar-gambar yang dibuat oleh Pascal guna menyempurnakan
alatnya.
d) Hahn Calculator (1773)
Berbasiskan mesin hitung Stepped Reckoner, Philip Matthaus Hahn mengembangkan Hahn
Calculator pada tahun 1733. Kalkulator ini digunakan untuk membantu menghitung parameter
waktu dan planetarium.
e) Arithmometer (1820)
Arithmometer adalah kalkulator yang pertama kali dikomersialkan. Kalkulator ini diciptakan
oleh Charles Xavier Thomas de Colmar dan dibuat berdasarkan kalkulator Leibniz.
Arithmometer sudah bisa melakukan 4 operasi perhitungan, yaitu penjumlahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian.
f) IBM 608 (1954)
IBM 608 merupakan kalkulator dengan transistor pertama di dunia. Kalkulator ini tidak
menggunakan tabung vakum, namun menggunakan lebih dari 3000 germanium transistor.
g) ANITA MK-8 (1961)
ANITA merupakan singkatan dari “A New Inspiration to Accounting” atau “A New
Inspiration to Arithmetic”. ANITA MK-8 dirilis oleh Bell Punch Co. pada tahun 1961 dan
terbuat dari 170 katoda tabung vakum. ANITA MK-8 dijual di seluruh dunia dan merupakan
satu-satunya kalkulator desktop elektronik komersial selama lebih dari dua tahun.
3. Kalkulator Genggam
a) Cal- Tech (1967)
Cal- Tech merupakan kalkulator kecil pertama. Kalkulator ini merupakan cikal bakal
kalkulator genggam yang ada pada saat ini. Cal- Tech dikembangkan oleh Texas Instruments
dan dirilis secara komersial pada tahun 1970. Kalkulator ini memiliki keyboard dengan 18
tobol dan tampilan yang mampu menampilkan hingga 12 digit angka.
b) Busicom LE-120A “HANDY” (1971)
Kalkulator Busicom LE-120A lebih popular dengan sebutan “HANDY” merupakan kalkulator
pertama yang benar-benar portable dan dapat dibawa ke mana-mana dengan mudah. Dengan
layar LED 12 digit berwarna merah, HANDY dijual dengan harga $395 pada Januari 1971.
c) HP-65 (1974)
HP-65 yang dikembangkan oleh Hewlett-Packard merupakan kalkulator pertama yang dapat
diprogram. Pengguna dapat membeli card yang berisi program atau memprogram sendiri
hingga 100 baris kode dan menyimpannya di blank card. HP-65 dilengkapi dengan 35 tombol
dengan lebih dari 80 operasi perhitungan.
d) Casio fx-7000G (1985)
Casio fx-7000G merupakan kalkulator grafik pertama. Kalkulator ini dibuat dengan 422 byte
memori dan bisa menyimpan hingga 10 program. Pengguna dapat melakukan 82 operasi
perhitungan scientific. Layar Casio fx-7000G dapat menampilkan hingga 8 baris di mana
masing-masing baris memuat 16 karakter.
e) Sharp EL-9650 (2003)
Sharp EL-9650 merupakan kalkulator pertama yang memiliki teknologi touchscreen. Namun
sayangnya, kalkulator ini tidak begitu sukses di pasaran.
f) Casio fx-CG10 (2010)
Casio fx-CG10 yang dijuluki PRIZM adalah kalkulator grafik pertama yang menggunakan
layar full color dengan resolusi 216  384 piksel dan ukuran 3,7 inchi. PRIZM memiliki 16
MB memori flash, juga koneksi USB yang memungkinkan transfer data dan gambar antar
kalkulator atau dengan komputer dan koneksi ke proyektor LCD Casio.

Kalkulator Grafik
Kalkulator grafik merupakan salah satu produk inovasi yang dikembangkan untuk
memaksimalkan fungsi dari kalkulator. Jika sebelumnya kalkulator hanya dikembangkan dalam
108
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 106 – 117

membantu perhitungan maka dengan kalkulator grafik, pengguna dapat membuat grafik suatu
persamaan. Grafik yang dapat dibuat bukan hanya grafik dari fungsi sederhana melainkan juga fungsi
yang lebih rumit yang sebelumnya sulit untuk digambarkan dengan cara manual.
Kalkulator grafik pertama kali dikembangkan oleh Casio Computer Co. Ltd dengan nama
Casio fx-7000G dan diperkenalkan kepada publik pada tahun 1985 dan dijual dengan harga $90.
Karakteristik utama Casio fx-7000G adalah kemampuannya untuk menggambarkan grafik fungsi dan
bahwa kalkulator ini dapat diprogram. Kalkulator Casio fx-7000G memiliki ukuran 165 mm  82 mm
 15 mm dengan berat 152 gram. Kalkulator ini menggunakan desain LCD Dot Matrix sebagai jendela
display dan dapat menampilkan hingga 8 baris layar di mana masing-masing layar dapat diisi hingga
16 karakter. LCD ini belum mampu menampilkan layar berwarna melainkan hanya tampilan skala
abu-abu.
Lebih maju dari kalkulator sebelumnya HANDY yang mampu menyelesaikan 80 perhitungan,
Casio fx-7000G menawarkan 82 fungsi ilmiah dan mampu melakukan perhitungan manual aritmatika
dasar. Kalkulator Casio fx-7000G dapat menghitung fungsi aritmatika dasar dengan presisi hingga 13
digit. Banyak fungsi yang terintegrasi ke dalam kalkulator termasuk aritmatika dan perhitungan
aljabar, seperti: akar kuadrat, fungsi eksponensial, faktorial, logaritma dan fungsi trigonometri. Fungsi
khusus lainnya juga diimplementasikan ke dalam kalkulator termasuk fungsi hiperbolik dan statistik,
konversi secara biner/oktal/heksadesimal/sexagesimal, dan grafik plot.
Layaknya kalkulator Casio lainnya, kalkulator Casio fx-7000G memiliki modus pemograman
dengan memori sebesar 422 byte. Pengguna dapat menyimpan program yang mereka buat dalam salah
satu dari sepuluh slot pemograman. Kalkulator ini menggunakan bahasa pemograman tokenized ketika
membuat program yang lebih kompleks untuk mengefisiensikan memori. Salah satu contohnya adalah
program yang memperkirakan sebuah integral tak tentu melalui penggunaan Aturan Simpson. Casio
fx-7000G memiliki 26 memori numerik sebagai standar. Memori tambahan dapat dibuat dengan
mengurangi jumlah byte yang tersedia untuk program sehingga memungkinkan total 78 memori
maksimal.
Adapun dalam menampilkan grafik, kalkulator grafik pertama ini mampu menampilkan grafik
yang sudah diprogram atau grafik yang dibuat oleh pengguna. Pengguna juga dapat menampilkan
kembali salah satu grafik yang telah ia program sebelumnya. Grafik statistik yang dapat dihasilkan
adalah grafik batang, grafik garis, kurva distribusi normal dan garis regresi.
Kalkulator grafik terbaru saat ini juga dirilis oleh Casio Computer Co. Ltd dengan nama Casio
fx-CP400 yang merupakan kalkulator model baru dengan seri ClassPad. Kalkulator ini dilengk api
dengan panel sentuh berwarna menggunakan layar LCD 4,8 inchi dengan resolusi tinggi 320  528
piksel yang memuat 65.536 warna sehingga memudahkan untuk mengamati rumus matematika, grafik
dan gambar, juga lebih nyaman saat pengoperasiannya. Kalkulator ini mulai dipasarkan di berbagai
negara mulai awal musim panas tahun 2013 dengan kisaran harga $135.68 hingga $170.10.
Casio fx-CP400 memiliki memori 500KB RAM dan 5,5MB Flash ROM, 24MB USB Flash
Drive, dan menggunakan baterai AAA 4 buah. Adapun ukurannya adalah 206 mm  89 mm  21,1
mm dengan berat 320 gram. Kalkulator ini juga dilengkapi dengan port USB dengan standar USB 2.0
yang memudahkan dalam pentransferan data dan kompatibilitas dengan proyektor data Casio untuk
mengaktifkan layar kalkulator sehingga dapat diproyeksikan pada layar besar.
Fitur baru menarik lainnya dari kalkulator ini memungkinkan pengguna untuk beralih dari
tampilan vertikal menjadi horizontal degan menggunakan sebuah tombol. Tampilan horizontal
membuat pengguna lebih nyaman dalam menampilkan formula atau persamaan matematika yang
cukup panjang dengan hanya menggunakan satu baris.
Pengguna kalkulator Casio fx-CP400 dapat menggambar bentuk grafis di atas gambar untuk
mempelajari fenomena seperti parabola yang dihasilkan oleh air mancur atau kelengkungan sebuah
antena. Dengan menggabungkan antara fungsi matematika dengan fenomena kehidupan nyata maka
cara ini akan merangsang minat siswa dalam mempelajari matematika.
Shore & Shore (Ye, 2009) menyatakan bahwa melalui berbagai fitur yang terdapat dalam
kalkulator grafik maka penggunaannya tidak hanya dapat memberikan dukungan yang kuat bagi
pengajaran matematika, terutama mulai topik kalkulus dan topik matematika yang lebih tinggi lainnya
di tingkat sekolah menengah, tetapi juga telah menjadi alat yang baik bagi eksplorasi dan percobaan.

109
Penggunaan Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika: Masih Relevankah?( Kurnia
Putri Sepdikasari Dirgantoro)

Kalkulator grafik dalam Pembelajaran Matematika


Kalkulator sebagai alat dalam pembelajaran matematika telah lama digunakan di kelas-kelas
matematika. Di Amerika pada tahun 1975, Natoinal Advisory Committee on Mathematical Education
(NACOME) mengusulkan penggunaan kalkulator sehingga siswa dapat mengerjakan soal-soal
matematika. Dengan adanya penggunaan kalkulator maka siswa dapat lebih terfokus pada masalah
yang mereka hadapi. Kemudian pada tahun 1976, NCTM telah mempublikasikan bermacam-macam
artikel, buku-buku. dan pernyataan posisi, semuanya menyarankan penggunaan kalkulator secara
reguler dalam pengajaran matematika pada semua tingkatan.
Sejalan dengan hal tersebut National Reasearch Council (1989) menyatakan bahwa dengan
menggunakan kalkulator di kelas maka pembelajaran matematika dapat menjadi lebih aktif dan
dinamis, siswa dapat mengeksplorasi matematika sendiri, dan kelemahan siswa dalam
aljabar/perhitungan tidak dapat mencegah siswa dalam pemahaman yang lebih maju terhadap ide-ide
dan konsep matematika. Pengintegrasian kalkulator grafik di kelas matematika telah dikembangkan
dan digunakan di Amerika Serikat sejak tahun 1980-an (NRC, 2001).
Pada pernyataan posisinya tahun 2005 tentang perhitungan dan kalkulator, NCTM
menjelaskan pandangannya yang telah berlangsung lama bahwa ada tempat yang penting dalam
kurikulum untuk pengunaan kalkulator dan pengembangan berbagai jenis keterampilan perhitungan.
(www.nctm.org). Hal ini diperkuat dengan pernyataan NRC (2001) bahwa penggaris dan kalkulator
ternyata lebih sering digunakan dalam mengajar matematika daripada benda manipulatif.
NCTM (Horton, Storm, & Leonard, 2004) menguraikan beberapa tujuan penggunaan
kalkulator grafik di kelas matematika, yaitu dalam aspek:
1. Speed: Setelah siswa menguasai keterampilan matematis, maka penggunaan kalkulator grafik
dimungkinkan untuk menghitung, menggambar grafik dan membuat tabel nilai dengan lebih
cepat.
2. Leaping Hurdles: Tanpa teknologi, hampir mustahil bagi siswa yang hanya memiliki sedikit
keterampilan dalam perhitungan pecahan dan bilangan bulat untuk belajar aljabar dalam cara
yang berarti (meaningful way). Akibatnya, program di SMA dengan tingkat yang lebih rendah
sering kali menjadi program remediasi aritmatika. Dengan menggunakan kalkulator, semua
siswa memiliki kesempatan untuk belajar matematika dengan lebih kaya. Siswa dapat
menggunakan kalkulator untuk membantu mereka melakukan keterampilan yang tidak mampu
mereka lakukan sendiri.
3. Connections: Penggunaan kalkulator grafik dapat membantu siswa membuat hubungan antara
representasi yang berbeda dari model matematika. Siswa dapat dengan cepat melakukan
manipulasi pada tabel, grafik dan bentuk-bentuk aljabar.
4. Realism: Guru tidak lagi dibatasi dalam menggunakan data yang mengarah pada solusi
integral sederhana atau lainnya. Kemampuan ini memungkinkan analisis data menjadi
terintegrasi dalam kurikulum tradisional.

PEMBAHASAN
Berikut akan dibahas mengenai penggunaan kalkulator grafik dalam pembelajaran matematika
di sekolah.
Hasil Penelitian Mengenai Penggunaan Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika
Banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan penggunaan kalkulator grafik dalam
pembelajaran matematika di kelas. Berikut akan dipaparkan beberapa penelitian yang mewakili
penelitian dari negara-negara di berbagai belahan dunia.
Di Amerika,Walter Ryan pada tahun 1992 (Banks, 2011) mempelajari pengaruh penggunaan
kalkulator grafik terhadap sikap siswa dalam pembelajaran geometri. Ia menemukan bahwa dengan
menggunakan kalkulator grafik maka sikap siswa terhadap matematika menjadi sangat positif. Selain
itu, prestasi geometri siswa juga meningkat. Faktor-faktor yang mungkin berkontribusi terhadap
positifnya sikap siswa dapat mencakup kemudahan visualisasi, kerja kelompok dan kebaruan dalam
menggunakan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh Pomerantz and Waits (1997) menunjukkan
bahwa kalkulator grafik dapat meningkatkan kepercayaan diri dan pemahaman konsep siswa, serta
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. NRC (2001) menyatakan bahwa penggunaan
kalkulator grafik dapat meningkatkan kinerja siswa dalam kegiatan pembelajaran. Horton, Storm, &
Leonard pada tahun 2004 meneliti tentang pengintegrasian kalkulator grafik dalam pembelajaran
110
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 106 – 117

matematika dengan materi aljabar. Penelitian tersebut memperoleh hasil sejalan dengan pernyataan
NRC, yaitu bahwa pembelajaran dengan kalkulator grafik dapat meningkatkan kinerja dan
mengembangkan kemampuan aljabar siswa. Untuk siswa kelompok bawah, penggunaan kalkulator
grafis memudahkan mereka dalam proses perhitungan sehingga mereka dapat lebih fokus dalam
menyelesaikan masalah dan tidak terbebani dengan perhitungan sederhana. Sedangkan untuk
kelompok atas, kalkulator grafik memberikan kesempatan untuk memeriksa kembali jawaban mereka
sehingga mereka memiliki keyakinan ekstra juga. Ini berarti, penggunaan kalkulator dapat
meningkatkan keyakinan diri siswa.
Robova pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang pemanfaatan kalkulator grafik dalam
mata kuliah “didaktik matematika” dan “metode problem solving” dengan sampel para calon guru
matematika Universitas Charles di Praha. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa dengan
menggunakan kalkulator grafik maka para calon guru tersebut semakin baik dalam pengembangan
konsep aljabar, geometri dan kalkulus diferensial, serta dalam pemecahan masalah yang menyangkut
topik tersebut. Visualisasi yang diberikan kalkulator grafik dapat membantu dalam memahami materi
dan membuat daya ingat akan konsep-konsep abstrak matematika menjadi lebih baik.
Ocak (2008) meneliti pengaruh penggunaan kalkulator grafik dalam materi fungsi kompleks
pada mahasiswa di Turki. Menurut hasil penelitiannya, penggunaan kalkulator grafik meningkatkan
keterlibatan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Selain itu, kemampuan representasi mahasiswa
pun meningkat. Namun, temuan lainnya adalah bahwa pengalaman menggunakan kalkulator grafik
merupakan faktor penting dalam pembelajaran. Mahasiswa perlu mengetahui fitur-fitur yang terdapat
pada kalkulator grafik, mereka juga perlu memiliki keterampilan dan pengalaman yang cukup untuk
mengoperasikan kalkulator grafik, tidak hanya keterampilan berpikir dan penguasaan konsep
matematika.
Di Ghana pada tahun 2007, Dontwi, Boateng and Owusu-Ansah melakukan penelitian
mengenai pemanfaatan kalkulator grafik dalam kegiatan budidaya ikan. Para peneliti ini menyadari
bahwa kalkulator grafik memiliki banyak kemampuan untuk memecahkan masalah, baik ilmiah
maupun non-ilmiah. Dalam penelitiannya, mereka mengembangkan aplikasi dengan kalkulator grafis
untuk membantu penebaran ikan di tambak ikan dengan skema pencocokan (matching scheme) untuk
menetapkan jenis ikan. Dengan menggunakan aplikasi yang telah dibuat, para penambak ikan dapat
menentukan jenis-jenis ikan yang dapat bertahan di kolam masing-masing.
Penelitian yang dilakukan Ye (2009) selama beberapa tahun terhadap siswa sekolah
menengah, mahasiswa perguruan tinggi, mahasiswa pascasarjana dan guru di China memperoleh hasil
bahwa kalkulator grafik adalah alat yang efektifdalam membantu proses pembelajaran matematika di
kelas.
Di Malaysia, penelitian Idris (2006) menemukan hasil bahwa penggunaan kalkulator grafik di
kelas memberikan efek positif pada pembelajaran matematika. Hasil studi menunjukkan bahwa
penggunaan kalkulator grafik dalam proses belajar mengajar bermanfaat dalam pemahaman,
keterampilan komunikasi, dan prestasi siswa. Dengan menggunakan kalkulator grafik, siswa tidak
hanya terlibat dalam pembelajaran, tetapi juga terdorong untuk berpartisipasi dalam diskusi kelas,
meminta penjelasan dan pembenaran untuk jawaban dan dengan demikian menciptakan iklim
positif.Siswa termotivasi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang mereka anggap relevan untuk
kebutuhan mereka. Ketika siswa menganggap belajar menjadi menarik, menyenangkan, secara pribadi
bermakna, dan relevan dengan konteks dalam keseharian mereka maka hal itu dapat mendukung dan
mendorong kontrol pribadi, motivasi belajar dan self-regulationdalam proses secara alami. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Tajudin et al. (2007a, 2007b, 2011) menunjukkan bahwa pengintegrasian
kalkulator grafik dalam pembelajaran matematika mampu meningkatkan prestasi siswa dalam materi
Garis Lurus, meningkatkan kinerja siswa dalam proses pembelajaran, mengurangi beban kognitif,
meningkatkan kesadaran metakognitif siswa, dan mempengaruhi sikap siswa terhadap matematika.
Adapun yang menjadi catatan dalam penelitian Tajudin et al. (2011) adalah bahwa hasil penelitian
sangat dipengaruhi dengan keterampilan siswa dalam menggunakan kalkulator grafik. Apabila sampel
penelitian adalah siswa yang hampir tidak tahu bagaimana menggunakan kalkulator grafik maka hasil
penelitian ini mungkin akan berbeda. Konsekuensi negatif dari efek perpecahan perhatian mungkin
melebihi efek positif dari pengurangan beban kognitif. Di sisi lain, hasil pada kinerja mungkin jauh
lebih besar jika sampel penelitian adalah siswa yang sangat mahir dalam menggunakan kalkulator
grafik.

111
Penggunaan Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika: Masih Relevankah?( Kurnia
Putri Sepdikasari Dirgantoro)

Di Indonesia sendiri penelitian tentang penggunaan kalkulator grafik masih sangat jarang
ditemui. Studi kasus yang dilakukan oleh Marsigit dan Siswanto pada tahun 2003 mengenai
penggunaan kalkulator grafik pada siswa kelas 1 di SMK Muhammadiyah IV Yogyakarta dengan
materi persamaan dan pertidaksamaan memperoleh beberapa hasil, antara lain: 1) kalkulator grafik
dapat digunakan untuk mencocokkan gambar grafik, mencocokkan jawaban himpunan penyelesaian
dan memberikan pengalaman yang nyata tentang gambar grafik, 2) metode dalam menyelesaikan
soal persamaan dan pertidaksamaan dapat dipandang sebagai perintah, manipulasi simbolik dan grafik
pada kalkulator, 3) kalkulator grafik bermanfaat untuk menunjukkan jawaban yang sebelumnya
dihitung tanpa kalkulator dan mempercepat penyelesaian soal matematika. Adapun kendala yang
terjadi adalah kesulitan siswa dalam membahasakan kalimat matematika ke dalam bahasa kalkulator
dan dalam mengungkapkan setiap tampilan layar kalkulator ke dalam kalimat matematika.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nurlaelah, Suhendra dan Turmudi pada tahun 2003
dalam mengintegrasikan kalkulator grafik untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan berpikir
matematik memperoleh hasil bahwa pembelajaran dengan menggunakan kalkulator grafik pada siswa
kelas 2 SMU dapat membantu siswa dalam memahami konsep yang dipelajari, dalam hal ini berkaitan
dengan konsep lingkaran. Kemudian, pembelajaran ini pun dapat meningkatkan motivasi siswa. Siswa
menjadi lebih tertantang dan termotivasi dalam melakukan eksplorasi untuk materi yang lebih sulit. Ini
berarti, pembelajaran dengan bantuan kalkulator grafik memberikan nuansa yang mendorong siswa
untuk belajar secara aktif dan tidak menanggap bahwa matematika adalah pelajaran yang hanya
disampaikan guru. Sementara berdasarkan hasil analisis pada soal tes yang diberikan memberi
kesimpulan bahwa dengan pembelajaran ini, siswa sudah mampu membuat dugaan-dugaan untuk
konsep yang lebih lanjut.

Manfaat Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika


Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk menyelidiki seberapa besar manfaat kalkulator
grafik dalam pembelajaran di kelas. Studi yang dilakukan Streun, Harkskamp & Suhre (Ye, 2009)
menghasilkan temuan bahwa penggunaan kalkulator grafik dapat mengurangi beban siswa sehingga
siswa dapat memanfaatkan waktu lebih banyak untuk pemahaman dan aplikasi matematika yang dapat
merangsang antusiasme mereka untuk belajar. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan
oleh Tajudin et al. (2007a, 2007b, 2011) mengenai penggunaan kalkulator grafik dalam pembelajaran
matematika bahwa penggunaan kalkulator grafik dapat mengurangi beban kognitif siswa karena
sebagian besar dari proses kognitif diambil alih oleh kalkulator grafik. Hal ini memungkinkan siswa
untuk memusatkan perhatian pada masalah yang akan dipecahkan bukan hanya sekedar pada
perhitungan rutin, manipulasi aljabar atau grafik membosankan yang membuat perhatian siswa
teralihkan dari masalah ke perhitungan, dan lain-lain dan kemudian kembali ke masalah.
Hasil penelitian Tarmizi (2006), Tajudin et al. (2007b, 2011) juga menunjukkan ada bukti
yang cukup untuk menyimpulkan bahwa mengintegrasikan penggunaan kalkulator grafik dapat
meningkatkan keterampilan metakognitif siswa selama memecahkan masalah. Keterampilan
metakognitif merupakan keterampilan akan kesadaran berpikir seseorang tentang proses berpikirnya
sendiri.
Kajian NRC (2001), penelitian Nurlaelah, Suhendra & Turmudi (2003), serta penelitian Ye
(2009) menemukan bahwa penggunaan kalkulator grafik dalam proses pembelajaran matematika
memiliki manfaat bagi eksplorasi siswa. Siswa dapat berpastisipasi aktif dalam percobaan dan
penemuan proses dengan menggunakan kalkulator. Pembelajaran dengan penemuan ini berlaku
terutama untuk proses pembelajaran yang menyangkut konsep, aturan, rumus dan teorema
matematika. Dengan menggunakan kalkulator grafik maka kinerja siswa dalam pembelajaran
matematika menjadi meningkat (Tajudin et al., 2007a, 2007b, 2011) sehingga berpengaruh pada
meningkatnya prestasi siswa (Idris, 2006; Tajudin et al.,2007a, 2007b, 2011; Burrill & Breaux, 2009;
Banks, 2011).
Dalam segi kognitif, pengintegrasian kalkulator grafis dapat meningkatkan daya matematis
siswa, mencakup pemahaman konsep (Pomerantz & Waits, 1997; Robova, 2002; Idris, 2006),
pemecahan masalah (Pomerantz & Waits, 1997; Robova, 2002; Horton, Storm, & Leonard, 2004;
Tajudin et al., 2007a; Mesa, 2008), representasi (Ocak, 2008), komunikasi (Idris, 2006) dan
kemampuan matematis lainnya sehingga prestasi siswa dalam matematika menjadi semakin baik
(Idris, 2006; Tajudin et al.,2007a, 2007b, 2011; Banks, 2011).
112
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 106 – 117

Begitu pula dalam segi afektif. Pembelajaran matematika dengan menggunakan kalkulator
grafik dapat membuat siswa bersikap positif terhadap matematika (Banks, 2011; Tajudin et al., 2007a,
2007b, 2011), meningkatkan kepercayaan diri (Pomerantz & Waits, 1997), keyakinan diri (Horton,
Storm, & Leonard, 2004), juga motivasi belajar (Nurlaelah, Suhendra, & Turmudi, 2003; Idris, 2006)
dan self-regulation siswa (Idris, 2006).

Kekurangan dan Kelebihan Kalkulator Grafik


Adapun kekurangan yang ditemukan dalam kalkulator grafik adalah sebagai berikut.
1. Harga yang cukup mahal sehingga tidak dapat menjangkau berbagai kalangan. Di China dengan
harga kalkulator grafik tidak dapat menjangkau anak-anak pedesaan yang mayoritas orang tuanya
hidup dari bertani (Ye, 2009).
2. Promosi yang belum cukup baik sehingga masih ada orang yang belum mengenal kalkulator
grafik.
3. Bahasa pemograman dari kalkulator grafik adalah bahasa inggris. Begitu pula bahasa dari buku
panduan yang diterbitkan sehingga apabila konsumen tidak terlalu menguasai bahasa inggris maka
mereka dapat mengalami kesulitan dalam pengoperasian kalkulator grafik.
4. Perlu waktu yang cukup agar siswa terbiasa menggunakan kalkulator grafik dalam pembelajaran
di kelas. Begitu pula dengan guru. Pelatihan yang cukup perlu dilakukan terhadap guru-guru agar
dapat menguasai kalkulator grafik untuk kemudian mengajarkan penggunaannya pada siswa. Lee
and McDougall (2010) menyatakan bahwa guru yang mahir dalam menggunakan kalkulator grafik
dapat mengajar siswanya untuk dapat menggunakan kalkulator grafik mereka secara efektif dan
efisien.
Kelebihan kalkulator grafik di antaranya sebagai berikut.
1. Dapat digunakan dalam berbagai konsep matematika, seperti aritmatika, aljabar, geometri,
statistik, kalkulus dan diferensial, trigonometri, polinomial, fungsi logaritma, eksponensial dan
lainnya.
2. Praktis dan mudah dibawa ke mana-mana.
3. Kemudahan dalam mengakses. Kalkulator grafik lebih mudah digunakan dalam pembelajaran di
kelas dibandingkan dengan software lainnya yang memerlukan komputer sebagai media
penggunaannya. Tajudin et al. (2007b) menyatakan bahwa banyak sekolah di berbagai negara
diperlengkapi dengan laboratorium komputer yang memadai, namun tidak semua siswa dapat
memiliki akses pada laboratorium komputer secara teratur. Laboratorium komputer biasanya
digunakan untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sehingga sulit untuk
menggunakannya secara teratur dalam pembelajaran matematika. Kissane (Tajudin et al., 2007b)
menyatakan bahwa kalkulator grafik memiliki potensi untuk dapat tersedia dan digunakan setiap
saat, tidak tergantung pada ketersediaan media lain.
4. Menghemat waktu yang diperlukan untuk perhitungan sehingga siswa dapat lebih terfokus pada
pemahaman konseptual dan pemecahan masalah.
5. Siswa yang memiliki keterbatasan dalam kemampuan berhitung bisa memperoleh bantuan dalam
melakukan perhitungan.
6. Mudah dalam pengoperasiannya.
7. Bertenaga baterai sehingga tahan lama. Ada atau tidaknya listrik tidak menjadi penghalang untuk
dapat menggunakan kalkulator grafik.
8. Versi kalkulator grafik terbaru yaitu Casio fx-CP400 dapat menggabungkan fungsi matematika
dengan fenomena kehidupan nyata sehingga dapat merangsang minat siswa dalam mempelajari
matematika.

Kajian Lebih Lanjut


Walaupun pengintegrasian kalkulator dalam pembelajaran matematika telah berlangsung
sangat lama namun penggunaannya dalam pembelajaran matematika sampai saat ini masih
menimbulkan kontroversi. NRC (2001) menyatakan walaupun pendidik matematika telah
menganjurkan pengunaan kalkulator sejak tahun 1970-an, namun kekhawatiran terus-menerus
dinyatakan sehubungan dengan pengunaan kalkulator secara ekstensif dalam pembelajaran
matematika. Beberapa pihak, seperti guru dan orang tua (Banks, 2011) khawatir bahwa penggunaan
kalkulator dapat mengganggu penguasaan siswa terhadap keterampilan dasar seperti menghitung.
Mereka khawatir bahwa siswa menjadi tergantung pada teknologi tersebut sehingga tidak mampu
113
Penggunaan Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika: Masih Relevankah?( Kurnia
Putri Sepdikasari Dirgantoro)

untuk melakukan aritmatika sederhana jika mereka belajar dengan menggunakan kalkulator sebelum
sepenuhnya memahami konsep-konsep dasar matematika. Beberapa penelitian telah dilakukan
sehubungan dengan menentukan waktu yang paling tepat bagi siswa untuk mulai menggunakan
kalkulator. Hasilnya, di Korea berdasarkan penelitian Park pada tahun 1998 (Ahn, 2001), kelas 5
dianggap sebagai periode yang tepat untuk mulai menggunakan kalkulator. Sedangkan di Jepang dan
Inggris, bukti penelirian menunjukkan bahwa kelas 3 dan kelas 4 mungkin merupakan waktu yang
tepat untuk memperkenalkan penggunaan kalkulator (Ahn, 2001).
NRC (2001) menyatakan bahwa sejumlah besar studi empiris mengenai penggunaan
kalkulator dalam jangka panjang umumnya juga menujukkan bahwa penggunaan kalkulator tidak
mengancam pengembangan keterampilan dasar, malahan penggunaan kalkulator dapat meningkatkan
pemahaman konseptual, kompetensi strategis dan disposisi terhadap matematika. Secara keseluruhan,
penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan kalkulator tidak membawa pengaruh negatif terhadap
kemampuan tradisional seperti menghitung. Siswa yang menggunakan kalkulator grafik dalam
pembelajaran matematika ditemukan memiliki sikap yang positif terhadap matematika (Idris, 2006;
Tajudin et al., 2007b; Banks, 2011) dan memiliki self-concept yang lebih baik dalam matematika.
Hal terpenting yang dibutuhkan adalah bagaimana guru dapat memainkan peran dalam
mengatur eksplorasi siswa di dalam kelas. Guru perlu mengetahui kapan waktu yang tepat untuk
mengintegrasikan kalkulator grafik dalam pembelajaran matematika. Tidaklah tepat apabila
menggunakan kalkulator untuk menyelesaikan permasalahan matematika tanpa diawali dengan
pemahaman konsep-konsep matematika terlebih dahulu (Markaban, 2009). Penting untuk menegaskan
bahwa teknik perhitungan dengan tangan tidak sepenuhnya diabaikan dan dihilangkan. Hal ini berarti
perlunya penekanan pada keseimbangan penggunaan kalkulator dan kertas-pensil (Pomerantz and
Waits, 1997). Eksplorasi awal pun sering kali paling baik digunakan tanpa menggunakan kalkulator.
NRC (2001) mengemukakan bahwa penguasaan fakta-fakta dasar, perhitungan mental dan perhatian
kepada teknik perhitungan dengan tangan tetap penting bagi semua siswa. Dalam pelajaran di mana
keterampilan tersebut menjadi fokus maka kalkulator harus dibatasi pengunaannya. Ketika siswa
mempelajari kemampuan dasar di mana kalkulator tidak diperlukan maka siswa jarang menggunakan
kalkulator secara tidak tepat. Dan jika kalkulator selalu ada dalam penggunaan yang tepat, maka siswa
akan belajar kapan dan bagaimana kalkulator dapat digunakan dengan baik sehingga mereka tidak
akan selalu bergantung sepenuhnya pada kalkulator grafik.
Masalah lain yang dihadapi adalah dengan semakin berkembangnya peralatan genggam
canggih lainnya seperti telepon genggam yang memiliki aplikasi serupa dengan kalkulator grafik.
Dengan harga kalkulator grafik yang cukup mahal, orang tua serta sekolah perlu berpikir dua kali
untuk menyediakan kalkulator grafik bagi anak-anak maupun siswa di sekolah. Masalah ini pada
dasarnya menjadi masalah produsen pembuat kalkulator grafik. Casio dan Texas Instruments sebagai
contohnya merupakan dua perusahaan penghasil kalkulator grafik terbesar di dunia. Saat ini Casio dan
TI telah mengeluarkan produk baru kalkulator grafik yang dilengkapi dengan layar warna dan fitur-
fitur lain yang dirancang untuk mempertahankan tempat mereka di sekolah. Selain itu dengan harga
yang semakin terjangkau maka keberadaan kalkulator, khususnya kalkulator grafik dalam kegiatan
pembelajaran matematika di kelas dapat tetap dipertahankan.
Saat ini tetap terjadi peningkatan yang stabil dalam penggunaan teknologi genggam seperti
kalkulator grafik (Kissane dalam Tajudin et al., 2007b). Salah satu alasannya yaitu karena kemudahan
dalam mengakses kalkulator yang dapat dilakukan setiap waktu. Tidak seperti software-software
matematika lainnya yang memerlukan komputer sebagai media yang menjadikannya terbatas dan tidak
dapat diakses setiap saat. Selain itu, penelitian Tarmizi et al. (2008) mengenai pemanfaatan teknologi
software Autograph dan kalkulator grafik dalam mempelajari aljabar memperoleh hasil bahwa
pembelajaran matematika dengan memanfaatkan kalkulator grafik lebih efisien dibandingkan dengan
pembelajaran berbantuan software Autograph dan metode konvensional.
Kemudahan lain yang dapat dirasakan adalah dengan tersedianya software kalkulator grafik
seperti TI-83 yang dapat di-download secara gratis. Dengan kemudahan ini, maka siswa yang belum
dapat menjangkau kalkulator grafik yang asli karena dibatasi oleh faktor harga, maka mereka dapat
mendownloadsoftware ini dengan cuma-cuma.

114
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 106 – 117

SIMPULAN
Kalkulator grafik adalah alat yang penting bagi guru dan siswa dalam pembelajaran
matematika dan perangkat ini terus menjadi lebih fleksibel. Seiring dengan bertambah majunya
teknologi genggam, perusahaan-perusahaan pengembang kalkulator tidak lantas tinggal diam. Dengan
menyediakan fitur menarik seperti layar berwarna dan layar sentuh juga dengan fungsi matematika
yang semakin beragam serta harga yang semakin terjangkau maka kalkulator grafik tidak tertinggal
dari teknologi lainnya. Selama empat puluh tahun terakhir, kalkulator telah berevolusi dari mesin
sederhana yang dapat melakukan sedikit operasi dasar aritmatika menjadi komputer kecil yang telah
mengubah cara belajar matematika baik di sekolah dasar hingga menengah juga di perguruan tinggi.
Kekhususannya dengan ukuran mungil sehingga mudah dibawa ke mana-mana dan tenaga baterai
yang tahan lama membuat kalkulator grafik masih mendapat tempat istimewa dalam kelas-kelas
matematika.
Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kalkulator grafik adalah bagaimana
mempersiapkan siswa untuk terbiasa dalam penggunaannya sehingga mereka merasa nyaman dan
tidak mengalami kesulitan. Penelitian Tajudin et al. (2007a) menemukan bahwa siswa mengalami
kesulitan ketika pertama kali menggunakan kalkulator grafik dalam pembelajaran matematika di kelas.
Keterbatasan waktu dalam pembelajaran membuat siswa sulit untuk mengingat berbagai tombol dan
fungsi tombol tersebut. Untuk itu, Vaughn (Banks, 2011) merekomendasikan agar para guru dilatih
dengan cara terbaik untuk memanfaatkan kalkulator dalam pembelajaran di kelas sehingga
pembelajaran menjadi efektif.
Juga perlu diingat bahwa kalkulator grafik tidak lebih dari media pembelajaran dalam belajar
dan mengajar matematika yang digunakan sebagai alat untuk memperkaya proses pembelajaran, bukan
untuk menggantikan guru. Dalam kegiatan pembelajaran yang terpenting adalah memanfaatkan media
tersebut secara efektif agar dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan dan keterampilan
matematis mereka. Dengan perencanaan yang matang dan penggunaan yang tepat maka guru dapat
memaksimalkan kelebihan dan meminumkan kekurangan yang dimiliki kalkulator grafik sehingga
proses pembelajaran matematika yang optimal dapat terwujud. Oleh karena itu, pertanyaannya bukan
apakah, melainkan bagaimana kalkulator grafik harus digunakan di kelas agar kualitas pembelajaran
matematika menjadi semakin baik.
Jadi, apakah penggunaan kalkulator grafik dalam pembelajaran matematika masih relevan saat
ini? Tentu saja.

DAFTAR PUSTAKA
Ahn, BG. (2001). Using Calculators in Mathematics Education in Korean Elementary Schools.
Journal of the Korea Society of Mathematical Education Series D: Research in Mathematical
Education Vol. 5, No. 2, pp. 107-118.

Banks, S. (2011). A Historical Analysis of Attitudes Toward the Use of Calculators in Junior High and
High School Math Classrooms in the United States Since 1975. Master of Education Theses.
Paper 31. [Online]. Tersedia: http://digitalcommons.cedarville.edu/education_theses/31. [24
Desember 2013].

Burrill, G. and Breaux, G. (2009). The Impact of Graphing Calculators on Student Performance in
Beginning Algebra: An Exploratory Study. [Online]. Tersedia:
http://education.ti.com/sites/US/download/pdf/research_burrill_breaux.pdf [11 Januari 2014].

Dontwi, I. K., Boateng, F. O., and Owusu-Ansah, E. (2007). A Matching Scheme for Aquaculture; A
Graphing Calculator Approach. Journal of Science and Technology, Volume 27 No. 2, pp.
101-110.

Horton, RM., Storm, J., & Leonard, WH. (2004). The Graphing Calculator as an Aid to Teaching
Algebra. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, Volume 4, Issue 2.
ISSN 1528-5804.

115
Penggunaan Kalkulator Grafik dalam Pembelajaran Matematika: Masih Relevankah?( Kurnia
Putri Sepdikasari Dirgantoro)

Idris, N. (2006). Usage of Graphing Calculator Ti-83 Plus: Motivation and Achievement. Jurnal
Pendidikan, Vol 31, pp.143-156.

Lee, J. A. and McDougall, D. E. (2010). Secondary School Teacher’s Conceptions and Their Teaching
Practices Using Graphing Calculators. [Online]. Tersedia:
http://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/30066/1/LeeMcDougallGraphingcalculators20
10.pdf. [11 Januari 2014].

Markaban. (2009). Pemanfaatan Kalkulator dalam Pembelajaran Matematika. Diklat Guru


Pengembang Matematika SMK Jenjang Dasar Tahun 2009. Yogyakarta: Pusat Pengembangan
dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Marsigit dan Siswanto, R. (2003). Pembelajaran Matematika Berbantuan Kalkulator: Studi Kasus
Penggunaan Kalkulator Texas Instrument TI-89 pada PBM Matematika di SMK
Muhammadiyah IV Yogyakarta. Disampaikan pada Seminar Nasional “National Seminar on
Science and Mathematics Education: The Role of IT/ICT in Supporting the Implementation of
Competent-Based Curriculum” di UPI Bandung.

Mesa, V. (2008). Solving Problems on Functions: Role of The Graphing Calculator. PNA, 2 (3), pp.
109-135.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principle and Standards for School
Mathematic. Virginia: NCTM.

National Research Council. (1989). Everybody Counts. A Report to the Nation on the Future of
Mathematics Education. Washington, DC: National Academy Press. ISBN 0-309-03977-0.

National Research Council. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. In J.
Kilpatrick, J. Swafford, & B. Findell (Eds.). Mathematics Learning Study Committee, Center
for Education, Washington, DC: National Acasemy Press.

Nurlaelah, E., Suhendra, dan Turmudi. (2003). Upaya Meningkatkan Keterampilan dan Kemampuan
Berfikir Matematik Melalui Pembelajaran Menggunakan Kalkulator Grafik di SMU Negeri 2
Bandung. [Online]. Tersedia:
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/196411231991032-
ELAH_NURLAELAH/PP-SEMINA~5.pdf. [24 Desember 2013].

Ocak, M. A. (2008). The Effect of Using Graphing Calculators in Complex Function Graphs. Eurasia
Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 4 (4), pp. 337-346.

Pomerantz, H. and Waits, B. (1997). The Role of Calculators in Math Education. [Online]. Tersedia:
http://education.ti.com/sites/US/downloads/pdf/therole.pdf. [24 Desember 2013].

Robova, J. (2002). Graphing Calculator as a Tool For Enhancing The Efficacy of Mathematics
Teaching. [Online]. Tersedia: http://www.math.uoc.gr/~ictm2/Proceedings/pap503.pdf. [24
Desember 2013].

Tajudin, N. M., et al.. (2007a). Effects of Use of Graphic Calculators on Performance in Teaching and
Learning of Mathematics. Educationist, Vol. 1, No. 1. Pp. 1-9. ISSN: 1907-8838.

Tajudin, N. M., et al.. (2007b). The Effects of Using Graphic Calculators in Teaching and Learning of
Mathematics. Malaysian Journal of Mathematical Sciences1 (1): 45-61.

116
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 106 – 117

Tajudin, N. M., et al.. (2011). Graphic Calculator in Teaching and Learning of Mathematics: Effects
on Performance and Metacognitive Awareness. American International Journal of
Contemporary Research, Vol. 1, No, 1.

Tarmizi et al. (2008). Instructional Efficiency of Utilization of Autograph Technology Vs Handled


Graphing Calculator for Learning Algebra. International Journal of Education and
Information Technologies, Issue 3, Volume 2, pp. 184-193.

Shore, M. A & Shore, J. B. (2003). An Integrative Curriculum Approach to Developmental


Mathematics and the Health Professions Using Problem Based Learning. Journal of
Mathematics and Computer Education, Vol. 37, No. 1, pp. 29-38.

Ye, L. (2009). Integration of Graphing Calculator in Mathematics Teaching in China. Journal of


Mathematics Education, Vol. 2, No. 2, pp. 134-146.

http://www.nctm.org
http://www.adipedia.com/2013/02/perkembangan-kalkulator-dari-masa-ke.html

http://www.didno76.com/2012/11/casio-rilis-kalkulator-ilmiah-dengan.html

Profil Singkat
Kurnia Putri Sepdikasari Dirgantoro, M.Pd. lahir di Temanggung pada 2 September 1989.
Menamatkan pendidikan S1 dan S2 jurusan Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan
Indonesia. Saat ini penulis aktif mengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan
sebagai dosen Pendidikan Matematika.

117
STUDI TERHADAP PERANG SALIB SEBAGAI UPAYA PENANAMAN NILAI-NILAI
TOLERANSI DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Jossapat Hendra Prijanto,


jossapat_hendra@yahoo.com
Prodi Pendidikan Ekonomi, Universitas Pelita Harapan

ABSTRACT

STUDY ON THE CROSS WAR FOR INTERNALIZING VALUES OF TOLERANCE IN


HISTORY LEARNING

As we know that history is series of events that occurred which its presence must be motivated by
specific causes. History does not appear immediately and stand alone without anyone arousing it. It
can be said that history has a prologue and epilogue, because not all of the events that happened in
the past can be recorded by history. In this topic being discussed, a crusade became the reality of the
history of mankind, which had taken more or less for two hundred years. The War was the greatest
conflict of two religions in the world which was between Islam that held the power at that time in part
of Europe, North Africa and Asia, against the followers of Christianity who tried to seize the city of
Jerusalem, which at that time ruled by Islam, the postscript is a holy city for them. Islam and
Christianity are the major religions in the world that their religious teachings heavily loaded with the
values of peace, tolerance and social relationships. Both in the Qur'an and Gospel, there are a lot of
passages of calls for tolerance, peace and social relations. This creates a question, why the war
should happen, in terms of Islam encountered in a call for dialogue with the People of the Book in a
good way, as well as in Christianity which is expressed as a neighbor. Islam also considers that the
Christians are a people who are closest to the Islamic ummah, and both religions actually are
brothers, free from hostility and enmity.

Keywords: History, Crusades, Islam, Christianity

Article Info
Received date: 20 Des 2016 Revised date: 23 Maret 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Perang salib merupakan cerita sejarah atau kisah sejarah yang terjadi ratusan yang lalu dan
memiliki alur serta versi berbeda pada setiap cerita. Tidak diketahui secara jelas versi apa yang benar-
benar dapat dipercaya dalam kisah perang salib ini, karena pihak yang terlibat dalam perang ini
memberikan versi yang terbaik untuk didengar bagi kaum mereka dalam kisah perang salib ini. Jelas
yang terlibat dalam perang Salib adalah umat Kristen Eropa dengan umat Muslim dan juga orang
Yahudi. Perang Salib terjadi mulai dari perang Salib I sampai dengan perang Salib IX, terjadi pada
tahun 1095-1291. Perang Salib, menurut sudut pandang Barat, merupakan serangkaian operasi militer
paling sedikit terdiri atas delapan babak yang didorong oleh keinginan kaum Kristen Eropa untuk
menjadikan tempat-tempat suci umat Kristen, terutama Yerusalem masuk ke dalam wilayah
perlindungan mereka. Bagi pihak Barat, perang Salib dimulai tahun 1095, ketika Paus Urbanus II
menyerukan maklumat perang sucinya yang terkenal, sampai abad kelima belas dan bahkan abad
selanjutnya, meskipun banyak yang berpendapat bahwa penaklukan Acre pada 1291 merupakan akhir
usaha keras tentara salib melawan negara-negara Islam di sepanjang kawasan Mediterania timur
(Hillenbrand, 2015).
Perang Salib, yang dimaknai dengan “Perang Suci”, yang menjanjikan “Surga” bagi para
martyr dan syuhada yang menjadi korbannya adalah fakta sejarah (Aflan, 2012). Perang Salib
menjadi momok yang menakutkan pada zamannya, karena banyak orang yang salah mengerti
mengenai arti sesungguhnya perang Salib itu sendiri. Banyak orang mengira bahwa perang Salib
merupakan perang suci yang memerjuangkan kebenaran dan harga diri kepercayaan mereka. Tetapi
semua itu hanyalah pembodohansemata, karena perang salib terjadi bukan hanya menyangkut perang
antar agama, melainkan ada faktor politik, sosial dan ekonomi di balik tujuan perang Salib itu.
118
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 118 – 125

Banyak korban yang berjatuhan dan kerugian yang ditimbulkan bukan hanya sekedar kerugian
material, melainkan kerugian moral dan kepercayaan akan perbedaan iman yang berdampaksampai
sekarang. Dampak yang dihasilkan dari perang salib pada zaman dahulu merebak menjadi sebuah
virus yang mematikan secara perlahan. Gagasan untuk menjalankan peperangan demi membela
kepercayaan agama merupakan idealisme keagamaan yang tersusun menjadi satu, meskipun demikian
berbagai kecenderungan juga mendapat tempat yang layak dalam tujuan perang salib untuk
menguasai kembali tempat suci Yerusalem dengan cara-cara militer (Syukur, 2011). Kebanyakan
orang hanya berpikir bahwa perang salib hanya memperebutkan sebuah tempat atau daerah
dikarenakan tempat atau daerah tersebut memiliki arti yang penting bagi kepercayaan diri salah satu
kubu yang bertikai. Tetapi kenyataan terburuk yang harus kita ketahui bahwa, perang Salib bukan
hanya memperebutkan sebuah wilayah untuk memperoleh jabatan dalam artian bahwa mereka
berperang untuk kepentingan segelintir orang dan bukan kepentingan agama. Masalah dalam
penelitian adalah bagaimana upaya penanaman nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran sejarah terkait
kisah perang salib.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran
sejarah terutama dalam interaksi peserta didik dalam bergaul khusunya di sekolah dan di masyarakat
bahwa sesungguhnya Islam dan Kristen itu bersaudara.

KAJIAN PUSTAKA
Perang Salib
Sejarah Perang Salib dimulai pada tahun 1095 yang melibatkan pasukan gereja yang disebut
crusader melawan pasukan Muslim hampir di seluruh bagian benua Eropa. Perang Salib merupakan
sebuah gerakan militer dari gereja Katolik Romawi dengan tujuan merebut kembali akses bagi
masyarakat kristen akan tanah suci di Jerusalem yang dimulai pada sekitar tahun 1905 oleh Paus
Urban II. Setelah Perang Salib Pertama, terjadi perselisihan selama 200 tahun untuk menentukan siapa
yang berhak menduduki tanah suci, dengan 6 Perang Salib besar dan beberapa Perang Salib kecil.
Pada tahun 1291, konflik ini berakhir dengan runtuhnya benteng milik pasukan Kristen di Acre dan
setelahnya, pasukan Katolik Eropa tidak lagi melakukan serangan ke arah timur. Beberapa sejarawan
menganggap bahwa Perang Salib merupakan sebuah perang bertahan dari sisi Gereja ketika
menghadapi pendudukan oleh Islam, beberapa menganggapnya sebagai konflik lainnya yang terjadi di
garis depan Eropa, dan yang lainnya melihat hal ini sebagai sebuah ekspansi agresif dan percaya diri
yang dilakukan oleh Kekristenan Barat (Hillendbran, 2015).
Penanaman Nilai-Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan
pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan
ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi
(Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih
nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena
perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan
datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh
karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya
mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Toleransi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti toleransi adalah berasal dari kata
toleran/to·le·ran/ a bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda
atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Atau dengan kalimat lain makna toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat
lain,melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. istilah
dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang
adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas
dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda
(Perez Zagorin, 2003)
Pembelajaran Sejarah

119
Studi Terhadap Perang Salib sebagai Upaya Penanaman Nilai-Nilai Toleransi dalam
Pembelajaran Sejarah (Jossapat Hendra Prijanto)

Pengajaran sejarah di sekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir historis
dan pemahaman sejarah. Melalui pengajaran sejarah siswa mampu mengembangkan kompetensi untuk
berpikir secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan
untuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman
sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengah-tengah
kehidupan masyarakat dunia. Tujuan pembelajaran sejarah adalah menanamkan semangat cinta tanah
air, mengetahui proses terbentuknya negara Indonesia, meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bagi
peserta didik, dan mengetahui proses peradaban manusia Indonesia khususnya dan masyarakat dunia
pada umumnya darimasa dulu hingga sekarang (Leo Agung, 2012: 417).

METODE PENELITIAN:
Penelitian deskriptif kualitatif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi.
Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah.Metode penyelidikan
deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Metode ini menuturkan,
menganalisa, dan mengklasifikasi ; menyelidiki dengan teknik survey, interview, angket, observasi,
atau dengan teknik test ; studi kasus, studi komperatif, studi waktu dan gerak, analisa kuantitatif, studi
kooperatif atau operasional. Bisa disimpulkan bahwa metode deskriptif ini ialah metode yang
menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan,
kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung,
pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang muncul, kecenderungan yang menampak,
pertentangan yang meruncing, dan sebagainya.
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand) fenomena atau
gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang
dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait.Harapannya ialah
diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan sebuah
teori.Karena tujuannya berbeda dengan penelitian kuantitatif, maka prosedur perolehan data dan jenis
penelitian kualitatif juga berbeda (Rahardjo, 2010).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Ahmad Syalabi menyebutkan bahwa perang ini dinamakan dengan perang salib karena orang-
orang Kristen yang berperang itu memakai tanda salib dipakaiannya sebagai lambang dari perang suci(
Ahmad Syalabi, 1979). Senada dengan pernyataan di atas, Syukur (2011) menyatakan Perang Salib
merupakan peperangan yang pernah terjadi antara orangorang Muslim dan Kristen pada masa
lalu.Perang tersebut disebut “PerangSalib”, yang diklaim orang Kristen sebagai perang suci karena
ekspedisimiliter Kristen maka tanda Salib sebagi atribut pemersatu dan sebagaisimbol perang suci
dalam menyerang dunia Islam.
Pendapat lain menyebutkan bahwa perang ini dinamakan dengan perang salib karena
ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa
peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci yang bertujuan untuk membebaskan kota suci
Yarusalem dari tangan orang Islam (Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, 1993).
Faktor –faktor penyebab terjadinya perang salib
a. Faktor Agama
Dalam perspektif agama perang salib terjadi karena kaum Kristen merasa terhina atas
perlakuan yang mereka terima ketika menunaikan ibadah ketanah suci Yerussalem. Mereka merasa
terganggu atas perlakukan Bani Saljuk yang menguasai Baitul Makdis, perlakukan tersebut
tersebut telah menyinggung perasaan orang-orang Kristen karena Yerusalem bagi mereka adalah
sebagai kota suci sebagai tempat kelahiran Yesus. Kini telah dikuasai oleh Bani Saljuk, sehingga
mereka merasa tidak bebas lagi menjalankan ritual agamanya yang mendapat gangguan dari Bani
Saljuk.
Disamping itu Penguasa Saljuk menetapkan beberapa peraturan untuk umat Kristen yang
mengunjungi Baitul Makdis, peraturan-peraturan tersebut sangat dan mengganggu mereka,
sehingga mereka merasa tidak aman lagi, untuk beribadah ke Baitul Makdis (Hasan Ibrahim, 1975).
120
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 118 – 125

Hal tersebut telah memicu kebencian dan kemarahan serta sikap anti pati umat Kristen terhadap
Islam, sehingga mendorong mereka bersatu untuk menghancurkan Islam, dan merebut kembali
daerah-daerah yang pernah mereka kuasai, yang puncak dari kemarahan itu telah mendorong
mereka untuk melakukan perang suci atau perang salib.
b. Faktor Politik
Kekalahan Byzantium di Marzikan tahun 1071 dan jatuhnya Asia kecil dibawah kekuasaan
Bani Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius untuk meminta bantuan kepada Paus Urban II untuk
mengembalikan kekuasaannya di sejumlah wilayah yang diduduki oleh Bani Saljuk, permohonan
ini diterima oleh Paus dengan catatan bahwa Kaisar harus tunduk kepadanya.
Sementara itu dilain pihak kekuasaan Islam diwaktu itu barada dalam kelemahan, sehingga
memicu semangat juang kalangan Kristen untuk melancarkan serangan diwaktu itu, Dinasti Saljuk
di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan setelah Sultan Malik Syah (1071-1092) wafat, terjadi
perebutan kekuasaan di antara putera-puteranya. Disamping itu Dinasti Fatimiyyah di Mesir dalam
keadaan lumpuh pula, sedangkan kekuasaan Islam di Spayol pada waktu itu dalam kondisi yang
lemah(Ahmad Syalabi, 1977).
Kondisi sosiol politik tersebut menjelaskan kepada kita bahwa ummat Islam pada waktu itu
berada pada titik nadir yang lemah, umat Islam telah berpecah – pecah, keadaan yang seperti ini
memberikan peluang yang besar bagi umat Kristen untuk melancarkan serangan kesejumlah
wilayah-wilayah yang berbasiskan Islam.
c. Faktor Ekonomi
Pedagang-pedagang besar yang berada dipantai timur laut tengah, terutama yang berada di
pantai timur laut tengah, dikota Venezia, Genoa dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah
kota-kota dagang di sepanjang Pantai Timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan
dagang mereka, oleh karena itulah mereka tidak segan-segan menjadi penyangga dana perang salib
dengan harapan menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen
memperoleh kemenangan (Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, 1977). Halini menunjukkan kepada
kita bahwa perang salib ini ternyata tidak murni dilandasi oleh dorongan spiritual keagamaan, dan
bukan lagi menjadi perang suci, atau masalah agama tetapi persoalan ekonomi untuk memperoleh
keuntungan, Bahkan lebih ironisnya terdapat sejumlah pemimpin yang turut berpartisipasi dalam
perang salib untuk memperkaya diri sendiri.
d. Faktor Sosial
Di kalangan bangsa Eropa terjadi kesenjangan sosial, yaitu kaum Gereja yang disebut
dengan kaum bangsawan dan rakyak jelata yang menempati kelas paling bawah. Sehingga status
sosial tersebut juga membawa dampak dalam kehidupan sehari-hari.Mereka merasa sering tertindas
karena adanya beban untuk membayar pajak.
Disisi lain dalam masyarakat Eropa berlaku hukum waris yang menetapkan bahwa hanya
anak tertua saja yang berhak menerima harta warisan, apabila anak tertua meninggal maka harta
warisan tersebut harus disumbangkan kepada fihak Gereja (Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,
1993). Akibat adanya peraturan dari Gereja ini maka populasi orang-orang miskin di Eropa
meningkat.
Disamping itu perlu diketahui bahwa sebahagian warga Eropa memiliki bakat romantis
yang senang berkelana, berpetualangan serta ada juga para pendosa yang suka berbuat tindakan
kriminal mereka turut ambil bagian dari perang salib. Mereka mudah dimobilisasi oleh pihak
Gereja untuk ambil bagian dari perang salib, sebab mereka di iming-iming dengan janji-janji dan
harapan bahwa bagi para pendosa diberikan ampunan dosa dan kalau mereka meninggal dalam
perang salib mereka memperoleh sorga.
Perang yang melibatkan tiga agama, yaitu Abrahamic, Islam, Kristen dan Yahudi tidak
jarang romantisme perang tersebutseringkali dihidupkan kembali, sebagai pemantik rasa dendam
antar para penganut agama-agama tersebut. Tidak jarang kita jumpai sekarang, benturan yang
terjadi antara penganut agama di beberapa tempat akhir-akhir ini, dikaitkan dengan ideologi perang
Salib atau bahkan secara eksplisit disebut perang Salib mutakhir (Hendry, 2011). Kekelaman
gereja pada masa itu menyebabkan masyarakat melakukan ajaran tersebut. Salib akan menjadi
batu sandungan bukan karena ekspansi, ambisi dan cacat pelayanan kita atau bukan karena kita
berhasil menaklukan banyak orang. Salib menjadi batu sandungan justru pada waktu Injil
diberitakan, bukan pada waktu sesuatu yang dibangun menjadi besar, bukan pula pada waktu kita

121
Studi Terhadap Perang Salib sebagai Upaya Penanaman Nilai-Nilai Toleransi dalam
Pembelajaran Sejarah (Jossapat Hendra Prijanto)

berhasil mewujudkan ambisi kita, bukan pula pada waktu kita melampiaskan kebencian atau
persaingan untuk mewujudkan “visi-misi” yang lebih banyak dan justru menunjukkan cacat
pelayanan Kristen. Namun, sebaliknya, kalau kita membritakan injil secara murni saja, salib bisa
menjadi batu sandungan dan kebodohan. Salib adalah batu sandungan bagi orang yang tidak suka
sama sekali bahkan membenci. Salib juga merupakan kebodohan bagi orang-orang yang menghina
dan menganggap injil sebagai sesuatu yang tidak berarti. Jadi salib seharusnya dianggap sebagai
batu sandungan dan kebodohan bukan karena kesalahan atau cacat kita, melainkan karena
pemberitaan injil (Lukito, 1995). Salib yang digunakan oleh prajurit salib dibaju mereka sebagai
tanda dan simbol bahwa mereka merupakan prajurit Allah tidak memiliki arti apapun, karena bukan
nama Allah yang diperjuangkan dalam perang tersebut, melainkan kebodohan yang merugikan
banyak orang. Mereka menganggap bahwa dengan menjadi bagian invasi suatu daerah atau
menjadi alat untuk menaklukkan daerah tertentu, mereka akan mendapatkan suatu hal yang berarti
yaitu keselamatan dan penghapusan dosa atau pengampunan dosa. Kekelaman gereja pada zaman
itu menjadi contoh yang buruk, padahal dalam ajaran Kristus, kita diajar untuk saling mengasihi
baik sesama manusia dan terkhusus mengasihi Allah. Tetapi, pada masa perang Salib ini bukan
kasih, melainkan nafsu akan kekuasaan dan doktrin yang salah. Keragaman motif para prajurit
Salib juga diakui oleh Philip K. Hitti (Hitti, 2008), Philip mencatat bahwa orang-orang seperti
Bohemond yang berambisi mendapatkan kembali kekuasaan demi kepentingan mereka sendiri.
Para saudagar Pisa, Venesia dan Genoa tertarik untuk ikut serta dalam perang itu karena motiv
komersial. Orang-orang romantis, orang yang gelisah, dan para pemberani, termasuk orang-orang
Kristen saleh menjadikan perang itu sebagai sandaran baru bagi kehidupan mereka. Sedangkan
bagi mereka-mereka yang merasa banyak dosa, moment perang Salib menjadi wahana penebusan
dosa. Kemudian, bagi sebagian besar rakyat Prancis, Lorraine, Italia dan Sisilia yang tengah berada
dibawah tekanan ekonomi dan sosial, membawa salib lebih menjadi salah satu bentuk pembahasan
ketimbang hanya sebentuk pengorbanan. Jadi ada beragam motiv dan kepentingan pihak Kristen
dalam perang Salib. Motifnya tidak hanya bersifat ideologis dan keagamaan, akan tetapi tidak
sedikit juga yang berorientasi kepada kepentingan dan motif pragmatis duniawi.
Pengaruh Perang Salib pada Hubungan Kristen-Islam di Indonesia
Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad 16 sudah banyak penduduk yang
memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad 9 - 10 melalui para pedagang Muslim India,
Arab, dan Persia. F. L. Cooley, yang pada tahun memimpin penelitian hubungan Islam dan Kristen di
Indonesia, mengatakan sejak awal kedatangannya kedua agama itu sudah diwarnai oleh suasana
kurang baik. Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat persaingan, konfrontasi, dan
konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat. Pengalaman konflik dan persaingan antara
masyarakat kedua agama tersebut memerikan (describe) sikap dan perasaan negatif satu sama lain,
sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua agama itu masuk ke Nusantara (Sudarto,2001).
Sebenarnya sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap agama Kristen bermuka dua. Pada satu
pihak pemerintah seringkali mempersulit atau melarang pekabaran Injil, sedang pada pihak lain,
terutama sesudah tahun 1900, pekabaran Injil disokongnya (Th. van den End,1997). Oleh karena
eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan kegiatan penginjilan, maka pelaksanaan misi
mendapat banyak kendala di kalangan umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat
yang menindas. Citra orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam, yang memang
diwartakan demikian oleh penyebar agama Islam.
Setelah berakhirnya pemerintahan kolonial ketegangan hubungan umat Islam dan Kristen
mencuat lagi. Ini terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil Pemilu
1955. Pada tahun 1971 pemeluk agama Kristen melejit menjadi 7,4%, jika dibandingkan tahun 1931
yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi karena pemerintah orde baru mewajibkan penduduk untuk memeluk
salah satu agama yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih Kristen
ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua juta orang. Peristiwa ini
mengundang kecurigaan tokoh Islam dengan menuduh pemerintah orde baru memberikan keleluasaan
bagi penyebaran agama Kristen. Kalangan Islam juga sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris
menyebarkan agama Kristen yang dianggap mengintervensi keimanan umat Islam. Cara mereka ialah
mendatangi dari rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan Muslim. Bahkan ada
yang mendatangi H.M. Rasjidi, menteri agama waktu itu (Sudarto, 2001).

122
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 118 – 125

Pekabar Injil yang bertugas di Indonesia tidak saja dari Indonesia sendiri, namun juga dari
Eropa dan Amerika Serikat. Pekabar Injil asing datang ke Indonesia dalam jumlah besar pada awal
pemerintahan orde baru, ketika pemerintah menganjurkan para simpatisan PKI memilih agama yang
sah dan diakui. Bagian terbesar memang memilih Kristen.
Bantuan dari luar negeri bukan saja dalam bentuk tenaga, tetapi juga dalam bentuk dana yang
besar. Banyak dari mereka berasal dari kalangan Injili dan fundamentalis. Mereka sangat agresif dalam
melakukan penginjilan, yang bahkan tidak empan papan. Dengan bantuan dana yang besar itu mereka
membangun banyak gereja di tempat-tempat strategis. Selain itu mereka melakukan kegiatan sosial
kepada masyarakat miskin, yang tujuan utamanya agar orang miskin tersebut berpindah agama.
Suasana ini diperparah lagi dengan banyaknya warga keturunan Tionghoa yang masuk Kristen aliran
Injili dan fundamentalisme. Di sinilah konflik keagamaan bercampur dengan konflik etnis. Konflik
keagamaan timbul akibat kegiatan misi yang dilakukan secara agresif tanpa mempertimbangkan
perasaan umat Islam. Tidaklah heran jika terjadi konflik antar umat beragama, maka dampaknya
terjadi juga perusakan toko-toko milik keturunan Tionghoa.
Dampak perang Salib pada masa ini adalah adanya tembok pemisah yang menjadi batasan
hubungan, terkhusus antara umat Kristiani dengan umat Islam, karena kekelaman yang terjadi pada
zaman dahulu menyebabkan rasa saling tidak percaya akan satu sama lain. Paus mengatakan dunia
saat ini sedang dalam keadaan perang, tetapi bukan perang antar agama (Wijaya, 2016). Memang
benar banyak perang Salib yang terjadi pada masa ini demi memperjuangkan kepercayaan mereka dan
banyak tindakan terorisme yang mengatasnamakan Tuhan dalam serangkaian kegiatan terorisme.
Maka tidak bisa dipungkiri bahwa semua ini terjadi karena ada kisah yang menjadi panutan dan
contoh bagi mereka yang melakukan tindakan tidak terpuji ini, yaitu perang Salib itu sendiri.
Peran Pendidik Sejarah
Orang-orang Kristen masih berpikiran bahwa pewartaan Kabar Baik berarti meluaskan atau
menambah anggota jemaat. Memang itu ada benarnya. Namun bukan itu hakikatnya. Pendidik Kristen
harus menjelaskan bahwa, gairah untuk menambah anggota jemaat menyebabkan orang Kristen
banyak melakukan berbagai usaha untuk menarik perhatian masyarakat. Usaha ini bukanlah
pengungkapan kasih, karena bagaimanapun juga ada pamrihnya, karena agar orang lain tertarik
menjadi Kristen. Tidaklah heran jika pihak Islam menuduh itu kristenisasi dengan iming-iming.
Pendidik Kristen mengajarkan bahwa, kita dapat saja melayani secara nyata dengan
melakukan berbagai kebajikan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, tanpa perlu
mengorbankan prinsip kesaksian Kristen. Umat Islam merupakan kelompok terbesar di Indonesia.
Peningkatan taraf hidup dan pengentasan kemiskinan tentunya dapat dilaksanakan jika kelompok
terbesar itu ikut terlibat. Jika orang Kristen memang benar-benar melayani tanpa pamrih dalam rangka
hal itu, lalu memang terjadi peningkatan taraf hidup masyarakat lokal, tentunya dengan kehendak
sendiri mereka akan bertanya-tanya mengapa orang Kristen melayani mereka tanpa pamrih. Dengan
demikian kekristenan sudah memberi tempat bagi Roh Kudus untuk bekerja.
Dalam pembelajaran sejarah terkait materi dampak perang salib ini terhadap hubungan Islam-
Kristen, maka pendidik Kristen harus mengajarkan, bahwa kekristenanharus menjadi agama yang
lebih membumi, lebih mengikuti akal sehat, yang tidak hanya terampil menjelaskan mengenai doktrin,
dan tanpa sadar karena terlalu militan, berakibat menempatkan doktrin itu di atas Alkitab, bahkan
Allah. Orang Kristen harus lebih peduli pada kebutuhan nyata manusia, membuat kehidupan lebih
manusiawi, lebih rendah hati untuk tunduk pada norma-norma etika. Beragama bukanlah untuk urusan
vertikal saja, yang menekankan aspek ritual dan kemurnian ajaran. Keluhuran ajaran agama harus
dipraktikkan secara nyata untuk mengembangkan wawasan dan kepedulian terhadap kemanusiaan,
kemiskinan, keadilan, demokrasi, dan lain sebagainya.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perang salib dilatar belakangi oleh
beberapa faktor antara lain adalah faktor agama, politik, ekonomi dan sosial, yang mengakibatkan
hubungan yang kurang harmonis diantara mereka, maka terkait materi dampak perang salib terhadap
hubungan Islam-Kristen, maka pendidik Kristen harus mengajarkan, pendidikan sejarah berbasis
karakter yang membentuk anak didik memiliki toleransi terhadap sesama. Dengan menerapkan
beberapa hal sebagai berikut:

123
Studi Terhadap Perang Salib sebagai Upaya Penanaman Nilai-Nilai Toleransi dalam
Pembelajaran Sejarah (Jossapat Hendra Prijanto)

1. Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah afektif.
RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengakomodasikan beberapa indikator
pembelajaran dari ranah afektif.Siswa harus diberikan informasi bahwa sikap dan perilaku mereka
juga ikut dinilai.Hal ini diharapkan mampu memotivasi siswa untuk bersikap lebih baik dengan
guru maupun dengan sesama temannya.
2. Guru menjadi contoh model dalam berperilaku di kelas.
Guru sebagai contoh model bagi siswa harus menata ulang tutur kata dan tingkah lakunya
dihadapan siswa yang beragam agar dapat memberikan penguatan positif terhadap pembentukan
kepribadian siswa. Apabila guru mampu bertoleransi dengan baik maka siswa juga akan belajar
melakukan hal serupa.
3. Membiasakan siswa menghargai perbedaan.
“Sesuatu yang baik lahir dari kebiasaan yang baik pula”.Kalimat tersebut harusnya menjadi
sebuah pedoman bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap
sesama tidak muncul begitu saja melainkan dibentuk melalui sebuah proses panjang.
4. Membuat kelompok-kelompok belajar heterogen.
Dalam metode kegiatan pembelajaran kooperatif guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok
belajar, yaitu dengan cara membagi kelompok-kelompok secara heterogen. Tiap-tiap kelompok
harus terdiri dari beberapa siswa yang memiliki latar belakang berbeda, suku, agama, ras dan antar
golongan bahkan perbedaan pada tingkat pengetahuan, serta ekonomi dan sebagainya.Hal tersebut
dimaksudkan agar siswa lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan dalam
kelompoknya. Siswa akan menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Oleh karena itu, satu sama lain harus saling membantu dalam mencapai tujuan
bersama. Dengan demikian setiap individu tidak akan ada yang merasa paling hebat dan
meremehkan orang lain sehingga sikap toleransi terhadap sesama akan tertanam dalam hati siswa.
Kesimpulanya :
1. Merapkan sikap toleransi yang diteladankan oleh guru sebagai Role Model dalam pembelajaran
sejarah yang ditunjukkan kepada siswa agar terciptanya kerukunan dan kedamaian dalam
lingkungan sekolah.
2. Bertoleransi bukan berarti kita tidak peduli terhadap orang lain, melainkan menanamkan sikap
yang positif untuk menghargai orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Affan, M (2012). Trauma hubungan perang salib dalam hubungan Islam Barat. SOSIOLOGI
REFLEKTIF. 25-26
Agung, Leo. 2012. Sejarah Asia Timur 1. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Brumelen, H.V (1998). Walking with God in the classroom. Washington: alta vista College
Banks, J.A. (1985). Teaching strategies for the social studies. New York: Longman
Dewan Redaksi, Enseklopedi Islam, jilid IV , Jakarta : Pt Iktiar Baru Van Hoere 1993.
Elmubarok, Zaim. (2007). Membumikan Pendidikan Nilai.Bandung : Alfabeta. h. 61-62
Hillendbran, C. (2015). Perang salib.Jakarta : serambi ilmu semesta
Hitti, P.K. (2008). History of the Arabs.Jakarta.: Serambi Ilmu Semesta
Ilham. (2015, September 7). Amerika ciptakan senjata anti-muslim pada perang salib. Diakses 12
September 2016, dari New Republika : http://internasional.
republika.co.id/berita/internasional/global/15/09/07/nua5vo361-amerika-ciptakan-senjata-
antimuslim-pada-perang-salib
Ibrahim, Hasan. (1976). Tarikh al-Islam, Jilid IV, Kairo: Maktabat al-Nahdhah al- Mishriyah.
Knight, G.R. (2009).Filsafat dan Pendidikan : sebuah pendahuluan dari perspektif Kristen.
Tanggerang : Universitas Pelita Harapan
Lukito, D.L. (1995). Salib dan kesaksian Kristen. Jurnal Pelita jaman, 5-6
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia: Jakarta

124
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 118 – 125

Riyanto, G. (2016, Juni 15).Konflik agama : Intoleransi atau perebutan lapak ? diakses 14 september
2016 from DW: http://www.dw.com/id/konflik-agama-intoleransi-atau perebutan-lapak/a-
19318062
Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. (1978). Values and teaching: working with values in the
classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Sugiyarto. (13 September 2013). Jika perang nuklir terjadi, ini langkah-langkah menyelamatkan diri.
Diakses 14 september 2016, from TribuneNews.com:
http://www.tribunnews.com/internasional/2016/09/13/Jika-perang-nuklir-terjadi,
-ini-langkah-langkah-menyelamatkan-diri
Syukur, S. 2011. Perang Salib dalam Bingkai Sejarah.
Jurnal al-ulum. 11(1), 189 – 204.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta
Rahardjo, M. (2010). Jenis dan Metode
PenelitianKualitatif. http://mudjiarahardjo.com/artikel/215.html?task=view. Diakses 29-11-
2016
Syalabi, Ahmad. (1977). Mausu’ah al-Tarikh al-Islamy, Jilid V , Kairo : Maktabah al-Nahdah al
Sudarto, (2001). Konflik Islam-Kristen: Menguak Akar Masalah Hubungan antar Umat Beragama di
Indonesia. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Th. van den End, (1997).Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas. Cet. 12. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Wijaya,P. (28 Juli 2016). Paus: dunia dalam keadaan perang, tapi bukan perang antar agama.
Diakses 14 September 2016, dari Merdeka.com :http://www.mereka. com/dunia/Paus-dunia-
dalam-keadaan-perang-tapi-bukan-perang-antar-agama.html
Whitney, F. 1960. The Element Of Research. New York :Prentice-Hall, Inc
Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration Came to the West. Princeton
University Press. ISBN 0691092702.

Profil Singkat
Nama : Jossapat Hendra Prijanto, M.Pd
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 22 April 1971
Almamater : S1 Pendidikan Sejarah IKIP Surabaya, lulus 1997, S2 Pendidikan
IPS Universitas Negeri Surabaya, lulus 2013
Pekerjaan : Dosen UPH, Tangerang, FIP-TC Prodi Pendidikan Ekonomi
Mata Kuliah Yang diampu : Sejarah Dunia dan Indonesia, Pendidikan IPS serta Pendidikan
Pancasila

125
PENINGKATAN HASIL BELAJAR KOGNITIF SISWA DENGAN MENGGUNAKAN
METODE PEMBELAJARAN THE STUDY GROUP PADA MATERI STRUKTUR DAN
FUNGSI BAGIAN TUMBUHAN DI KELAS IV SD

Yulius Benny, Hilarius Jago Duda, Sirilus Sirhi


bennywijaya486@yahoo.com, hilariusjagod@yahoo.com
STKIP Persada Khatulistiwa Sintang, Jl. Pertamina-Sengkuang, Sintang

ABSTRACT

IMPROVING STUDENTS’ LEARNING RESULTS USING THE STUDY GROUP METHOD


ON STRUCTURE AND FUNCTIONS OF PLANTS IN FOURTH GRADE

The purpose of this study is to describe the cognitive achievement of students using the Study
Group method on the material of structure and function of plant parts in fourth grade. This classroom
action research (CAR) takes descriptive qualitative research method with qualitative approach. The
subjects in this study were fourth graders of 21 people consisting of 8 male students and 13 female
students. This study was conducted in two cycles. Each cycle consisted of planning, action,
observation and reflection. The data collection tools were guidelines for observation, test questions,
the questionnaire, and documentation. The research result showed that in the first cycle, the
percentage of classical completeness was 61,90%. While on the second cycle, the significance
increased to 90,48%. This was an increase in cognitive achievement of students from the first cycle to
the second cycle of 28,58%.

Keywords: Learning Outcomes Cognitive, The Study Group

Article Info
Received date: 20 Des 2016 Revised date: 2 Januari 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah aktivitas manusia untuk meningkatkan kepribadian dengan jalan
mengembangkan dan membina potensi-potensi yang ada pada manusia itu sendiri sebagai
karunia Tuhan agar menjadi manusia yang berbudaya dan berkualitas, mampu menghadapi
permasalahan dan mampu mencari jalan keluar sehubungan dengan permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memberikan pengajaran secara formal
bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dan memperluas pengetahuan melalui
proses pembelajaran.Kegiatan pembelajaran di sekolah harus disesuaikan dengan kurikulum
yang telah ditentukan. Kurikulum di sekolah merupakan penentu utama kegiatan sekolah.
Berdasarkan program pendidikan tersebut siswa melakukan berbagai kegiatan belajar untuk
dapat mendorong perkembangan dan pertumbuhannya sesuai dengan tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan (Rohiat, 2010: 21).
Lemahnya proses pembelajaran merupakan masalah yang dihadapi dalam dunia
pendidikan. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan
kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan
anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai
informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini berlaku untuk semua mata
pelajaran, khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam atau sains dalam arti sempit sebagai disiplin
ilmu dari physical sciences dan life sciences. IPA (sains) berupaya membangkitkan minat

126
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 126 – 134

manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang
penuh dengan rahasia yang tak habis-habisnya (Samatowa, 2010: 1).Pada jenjang sekolah
dasar, mata pelajaran ini sudah di pelajari dari kelas 1 SD. Pada mata pelajaran ini, umumnya
siswa kebanyakan kurang memahami dan menangkap isi pelajaran pada proses belajar
mengajar. Dikarenakan, kebanyakan siswa dituntut untuk menghapal materi pelajaran serta
harus memahami secara detail, karena mata pelajaran IPA ini adalah ilmu pasti.
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru harus berperan sebagai fasilitator. Di
mana seorang guru berperan mengontrol kegiatan siswa dalam belajar. Sedangkan proses
pembelajaran banyak diambil alih oleh siswa. Dimana siswa harus aktif, aktif dalam
bertanya, menjawab pertanyaan, aktif berbicara, dan lain sebagainya (Rohiat, 2010: 86)
Pada saat pengamatan, Peneliti mengikuti proses belajar mengajar dan suasana di kelas
terlalu gaduh. Siswa tidak bisa mengikuti proses pembelajaran dengan serius. Sehingga
terkadang siswa menjawab pertanyaan dari Guru tergolong tidak nyambung dengan materi.
Faktor penyebabnya adalah ketidakseganan siswa terhadap guru, kurangnya keseriusan dalam
mengikuti proses pembelajaran, dan faktor yang terakhir ialah ingin cepat-cepat keluar dari
kelas dan mengakhiri proses pembelajaran. Kesimpulannya adalah siswa tidak serius dalam
mengikuti proses pembelajaran. Kenyataan yang di temukan dilapangan, sangat memacu
peneliti untuk menerapkan model pembelajaran yang bisa menjadi siswa lebih serius dan
tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran. Jadi, permasalahan yang terdapat di kelas IV
ialah kurangnya pengetahuan sebagian besar siswa tentang materi yang ada pada mata
pelajaran IPA. Dikarenakan kurangnya keseriusan dalam belajar, pengetahuan yang minim
serta kecenderungan Guru menggunakan metode ceramah dan penugasan, sehingga
menyebabkan kurangnya minat belajar siswa dan menyebabkan minimnya pengetahuan dan
pemahaman siswa.
Dalam permasalahan ini, peneliti memberikan solusi yang berkaitan dengan
penanganan yang bisa membuat siswa tertarik dan mengikuti secara serius dalam proses
belajar mengajar, sehingga hasil belajar kognitif siswa bisa jauh lebih baik.Ranah kognitif
berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan
atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama
disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat
tinggi (Sudjana, 2009: 22).
Peneliti menerapkan suatu metode atau cara yang bisa peneliti terapkan dalam
permasalahan ini yang berkaitan dengan kognitif siswa. Metode yang digunakan untuk
meningkatkan hasil belajar kognitif siswa dalam materi struktur dan fungsi bagian tumbuhan
adalah Metode Pembelajaran The Study Group. The Study Group adalah suatu metode yang
memberikan peserta didik tanggung jawab untuk mempelajari pelajaran dan menjelaskan
isinya dalam kelompok (Hamruni, 2011: 186).Setelah mengetahui apa permasalahan dan
bagaimana solusinya,penelitisangat berharap, dengan adanya penerapan model pembelajaran
ini, maka hasil belajar kognitif siswa harus jauh lebih baik dari sebelumnya. Harapan yang
kedua, dengan adanya model pembelajaran ini, maka siswa harus lebih serius dalam belajar,
sehingga menghasilkan hasil belajar kognitif yang memadai. Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini adalahBagaimanakah
penerapan Metode Pembelajaran The Study Group dalam meningkatkan hasil belajar kognitif
siswa pada materi struktur dan fungsi bagian tumbuhan di kelas IV?, Bagaimanakah
peningkatan hasil belajar kognitif siswa dengan menggunakan Metode Pembelajaran The
Study Group pada materi struktur dan fungsi bagian tumbuhan di kelas IV? dan
Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap penggunaan MetodePembelajaran The Study Group
pada materi struktur dan fungsi bagian tumbuhan di kelas IV?
Dari rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan aktivitas siswa dan guru dengan menggunakan metode pembelajaran The
Study Group pada materi struktur dan fungsi bagian tumbuhan, mendeskripsikan hasil belajar

127
Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran The
Study Group Pada Materi Struktur dan Fungsi Bagian Tumbuhan di kelas IV SD (Yulius
Benny, Hilarius Jago Duda, Sirilus Sirhi)

kognitif siswa dengan menggunakan metode pembelajaran The Study Group pada materi
struktur dan fungsi bagian tumbuhan dan mendeskripsikan respon siswa dengan
menggunakan metode pembelajaran The Study Group pada materi struktur dan fungsi bagian
tumbuhan.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap,
apresiasi dan keterampilan. Menurut Gagne dalam (Suprijono, 2009: 5), hasil belajar dapat
berupa: Informasi verbal yaitu kapasitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa,
baik lisan maupun tertulis; Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan
konsep dan lambang. Keterampilan intelektual juga merupakan kemampuan melakukan
aktivitas kognitif bersifat khas; Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan
mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan
kaidah dalam memecahkan masalah; Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan
serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme
gerak jasmani; Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut.
The Study Group adalah suatu tipe pembelajaran yang memberikan peserta didik
tanggung jawab untuk mempelajari materi pelajaran dan menjelaskan isinya dalam
kelompok. Tugas perlu cukup spesifik untuk menjamin bahwa hasil sesi belajar akan efektif
dan kelompok akan mampu mengatur diri (Hamruni, 2011: 186). Adapun langkah-langkah
The Study Group adalah:
1) Berilah peserta didik satu ringkasan, selebaran pelajaran yang disusun dengan baik, teks
singkat, bagan atau diagram yang menarik. Mintalah mereka membacanya dengan tenang.
Kelompok belajar melaksanakan tugasnya dengan baik kalau materinya cukup menantang
atau terbuka untuk interpretasi luas.
2) Bentuklah sub kelompok dan beri mereka ruang yang tenang untuk mengadakan sesi belajar
mereka.
3) Berikan petunjuk yang jelas yang dapat memandu peserta didik belajar dan terangkan materi
dengan jelas. Petunjuk tersebut mencakup hal berikut:
a) Jelaskan isi.
b) Buatlah contoh, ilustrasi atau permintaan informasi atau ide.
c) Tandai poin-poin yang membingungkan atau yang anda tidak setujui dan belum paham.
d) Jika ragu dengan teks, kembangkan sudut pandang yang berlawanan.
e) Taksirlah seberapa jauh anda mendalami materi.
Wibowo, (2010) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian, nilai presentase rata-rata
dari keseluruhan masing-masing indikator, menunjukkan nilai yang sangat baik yaitu
80,60%. Hal ini menunjukkan adanya keberhasilan yang sangat baik dalam proses belajar
mengajar dengan menerapkan strategi pembelajaran The Study Group untuk menciptakan
suasana belajar mengajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan di pondok pesantren
Fadlun Minalloh.
Arba’i, (2011) mengemukakan bahwa hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan bangun
datar sederhana dan sifatnya melalui metode pembelajaran The Study Group. Hal ini dapat
dilihat dari: Keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan sebelum diadakan tindakan sebesar
13,51% dan akhir tindakan mencapai 37,83%; Keaktifan siswa dalam mengajukan pertanyaan
sebelum diadakan tindakan 8,10% dan diakhir tindakan mencapai 32,43%; Keaktifan siswa
dalam mengemukakan pendapat sebelum diadakan tindakan sebesar 8,10% dan diakhir
tindakan 37,83%; Keaktifan siswa dalam mengerjakan soal di depan kelas sebelum diadakan
tindakan sebesar 16,21% dan akhir tindakan 40,54%.

128
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 126 – 134

Kerangka Berpikir

Masalah

1. Suasana kelas gaduh


2. Siswa tidak mengikuti proses pembelajaran dengan serius
3. Siswa menjawab pertanyaan guru tergolong tidak nyambung
4. Guru menerapkan metode ceramah dan penugasan, sehingga siswa
bosan
5. Kurang minatnya belajar siswa dan menyebabkan minimnya hasil belajar
kognitif siswa

Solusi Harapan

Menerapkan Metode 1. Memahami materi


Pembelajaran The Study pembelajaran
Group 2. Siswa lebih aktif,
kreatif dan inovatif
3. Memberikan semangat
dalam mengikuti
proses pembelajaran
4. Meningkatkan hasil
belajar kognitif siswa
Judul

Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran


Cooperative Learning Tipe The Study Group pada Materi Perubahan Lingkungan Di
Kelas IV

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif
deskriptif. Metode penelitian kualitatif sering disebut juga metode penelitian naturalistik
karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting)(Sugiyono, 2011:
14).
Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yaitu merupakan bagian
dari penelitian tindakan yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan memperbaiki dan
meningkatkan kualitas serta kuantitas proses pembelajaran di kelas. Jadi, penelitian tindakan
kelas adalah pencermatan dalam bentuk tindakan terhadap kegiatan belajar yang sengaja
dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersamaan. Penelitian tindakan kelas ini
di mulai dari tahap perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), pengamatan (observing)
dan refleksi (reflecting).

Teknik dan Alat Pengumpul Data


1. Teknik Pengumpul Data
Teknik pengumpul data yang digunakan peneliti adalah teknik observasi, Teknik pengukuran,
dan teknik komunikasi langsung.
2. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang digunakan peneliti adalah lembar observasi, soal tes, dan
lembar wawancara.
3. Analisis data

129
Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran The
Study Group Pada Materi Struktur dan Fungsi Bagian Tumbuhan di kelas IV SD (Yulius
Benny, Hilarius Jago Duda, Sirilus Sirhi)

1). Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari
observasi,tes, dan wawancara. Dari pengumpulan data tersebut, data yang diperoleh adalah
hasil observasi guru dan siswa, hasil wawancara guru dan siswa, hasil belajar kognitif siswa
melalui soal tes. Pengumpulan data merupakan analisis yang mengorganisirkan data, dengan
demikian kesimpulannya dapat diverifikasi untuk dijadikan temuan penelitian terhadap
masalah yang diteliti.
2). Reduksi Data
Reduksi data dilakukan untuk memilih dan menyeleksi data, data yang dipakai adalah
data yang mendukung dalam menjawab masalah penelitian sesuai dengan fokus penelitian.
3). Penyajian Data
Data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis
permasalahannya supaya mudah dimengerti. Data yang ada dijabarkan dan ditafsirkan
kemudian diperbandingkan persamaan dan perbedaannya.
Data tersebut dinarasikan untuk memudahkan pemahaman sehingga mudah untuk
menarik kesimpulan. Data yang sudah terkumpul disajikan dalam bentuk observasi,tes dan
wawancara yang selanjutnya dideskripsikan.
Hasil dan Pengamatan
a. Hasil Observasi Guru
Observasi pada penelitian tindakan mempunyai fungsi mendokumentasi implikasi
tindakan yang diberikan kepada subjek (Darmadi, 2011: 247).Hasil yang diamati meliputi
kegiatan guru dalam memberikan pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran
The Study Group.Hasil observasi guru dalam setiap siklus dan pertemuan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1
Persentase Hasil Observasi Guru
No Hasil Observasi Guru Skor
1 Pertemuan I Siklus I 80%
2 Pertemuan II Siklus I 90%
3 Pertemuan I Siklus II 90%
4 Pertemuan II Siklus II 100%
Hasil observasi guru yang terlihat pada Tabel 1 menunjukkan adanya perbaikan disetiap
siklus. Berarti hasil disetiap siklus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada siklus I
pertemuan I, Guru tidak menjelaskan apersepsi dan tidak menyimpulkan pembelajaran. Pada
siklus I pertemuan II, Guru belum sempurna menjelaskan apersepsi. Pada siklus II pertemuan
I, Guru belum sempurna menyimpulkan pembelajaran. Dan pada siklus II pertemuan II,
semua kegiatan sudah tercapai.
b. Hasil Observasi Siswa
Berdasarkan hasil observasi, pengembangan metode pembelajaran The Study Group
dapat mewujudkan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.Hasil
observasi siswa pada setiap siklus menunjukkan bahwa aktivitas siswa berlangsung dengan
baik, dan mengalami peningkatan. Dari hasil observasi aktivitas siswa setiap siklus, ada
beberapa yang harus diperbaiki. Aspek yang diamati antara lain berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran dari kegiatan awal, inti dan penutup, serta yang paling utama
adalah berkaitan dengan penerapan metode pembelajaran The Study Group. Hasil observasi
siswa dalam setiap siklus dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 2

130
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 126 – 134

Persentase Hasil Observasi Siswa

No Hasil Observasi Siswa Skor


1 Pertemuan I Siklus I 87,71%
2 Pertemuan II Siklus I 92,85%
3 Pertemuan I Siklus II 92,85%
4 Pertemuan II Siklus II 100%
Hasil observasi siswa yang terlihat pada Tabel 2 menunjukkan adanya perbaikan
disetiap siklus. Berarti hasil disetiap siklus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada
siklus I pertemuan I, siswa tidak antusias ketika Guru memasuki kelas dan tidak
mendengarkan dengan baik tentang materi yang telah dijelaskan. Pada siklus I pertemuan II,
siswa tidak mendengarkan dengan baik ketika Guru menjelaskan materi. Pada siklus II
pertemuan I, siswa belum juga tertib ketika Guru menjelaskan materi. Dan pada siklus II
pertemuan II, semua kegiatan sudah tercapai.
c. Tes Hasil Belajar Kognitif Siswa
Menurut Ishak dalam Sudjana (2013: 66), hasil belajar yang dimaksud disini adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang siswa setelah ia menerima perlakuan dari
pengajar (guru).Dalam penelitian ini, peneliti meneliti hasil belajar kognitif siswa. Ranah
kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni:
pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek
pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif
tingkat tinggi (Sudjana, 2009: 22).
1) Siklus I
Tes pada siklus I diberikan kepada 21 orang siswa. Dari tes siklus I diperoleh sebanyak
13 siswa yang tuntas dan 8 siswa yang tidak tuntas. Nilai tertinggi siklus I adalah 75 dan
terendah 50. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perolehan nilai pada siklus I dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Hasil Tes Siklus
No Hasil Tes Skor
1 Nilai Tertinggi 75
2 Nilai Terendah 50
3 Nilai Rata-rata 62,86
4 Nilai Klasikal 61,90%
Berdasarkan hasil yang diperoleh, hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar kognitif
yang dilaksanakan pada siklus I belum maksimal, sehingga proses pembelajaran harus
dilanjutkan pada siklus II. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, ada beberapa faktor yang
menyebabkan hasil belajar siswa tergolong rendah, yakni: Siswa belum tertib dan aktif,
kerjasama kelompok masih di dominasi oleh beberapa siswa dan dalam kelompok masih ada
siswa yang pasif. Oleh sebab itu, maka peneliti dan Guru bersepakat untuk melanjutkan ke
siklus II.

2) Siklus II
Setelah siklus I selesai dilaksanakan dan diperoleh ketuntasan klasikal 61,90% masuk
dalam kategori tidak tuntas. Maka, penelitian dilanjutkan ke siklus II.Tes pada siklus II
diberikan kepada 21 orang siswa. Dari tes siklus I diperoleh sebanyak 19 siswa yang tuntas
dan 2 siswa yang tidak tuntas. Nilai tertinggi siklus II adalah 95 dan terendah 60.

131
Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran The
Study Group Pada Materi Struktur dan Fungsi Bagian Tumbuhan di kelas IV SD (Yulius
Benny, Hilarius Jago Duda, Sirilus Sirhi)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perolehan nilai pada siklus II dapat dilihat pada Tabel
4.

Tabel 4
Hasil Tes Siklus I
No Hasil Tes Skor
1 Nilai Tertinggi 95
2 Nilai Terendah 60
3 Nilai Rata-rata 71,19
4 Nilai Klasikal 90,48%

Berdasarkan hasil yang diperoleh, hal ini menunjukkan bahwa hasil belajar kognitif
yang dilaksanakan pada siklus II sudah mengalami peningkatan yang signifikan. Hasil diatas
menunjukkan bahwa siswa sudah terlihat tertib dan aktif, kerjasama kelompok sudah di
dominasi oleh semua anggota kelompok, siswa sudah tidak pasif lagi dan pengetahuan dan
pemahaman siswa sudah mengalami peningkatan.
3) Perbandingan Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan data yang telah dipaparkan, maka dapat dilihat adanya peningkatan hasil
belajar kognitif siswa dari siklus I dengan jumlah siswa tuntas 13 orang (61,90%) menjadi 19
orang (90,48%) pada siklus II. Dari perbandingan ketuntasan di dua siklus tersebut dapat
dilihat bahwa terjadi peningkatan hasil belajar sebanyak 6 orang atau mengalami kenaikan
sebesar 28,58%. Adapun peningkatan hasil belajar kognitif siswa dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5
Hasil Tes Siklus I dan Siklus II
No Hasil Tes Siklus I Siklus II
1 Nilai Tertinggi 75 95
2 Nilai Terendah 50 60
3 Nilai Rata-rata 62,86 71,19
4 Nilai Klasikal 61,90% 90,48%

c. Wawancara
Setelah melaksanakan atau menerapkan metode pembelajaran The Study Group,
peneliti melaksanakan wawancara.Wawancara adalah pengadministrasian angket secara lisan
dan langsung terhadap masing-masing anggota sampel (Darmadi, 2011: 158). Tujuan peneliti
melakukan wawancara adalah untuk mengetahui respon siswa terhadap model pembelajaran
yang diterapkan peneliti, serta untuk mengetahui apa-apa saja yang siswa rasakan setelah
mengikuti proses pembelajaran. Kemudian peneliti juga mewawancarai guru yang bertugas
mengobservasi peneliti ketika melaksanakan proses pembelajaran.
Pelaksanaan wawancara dilaksanakan dlam dua siklus atau dua kali setelah berakhirnya
penerepan pembelajaran setiap siklus. Dari data yang diperoleh, siswa dan guru memberikan
respon positif terhadap pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan oleh peneliti. Pada siklus
I, ada beberapa hal yang dikomentai oleh siswa dan guru kepada peneliti, terutama berkaitan
dengan proses pembelajaran.
Setelah dilaksanakannya proses wawancara pada siklus I, maka peneliti memperbaiki
setiap komentar yang dilantunkan oleh guru dan siswa. Hasil yang diperoleh dari wawancara

132
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 126 – 134

siklus II, memberikan respon positif. Adapun hasil yang diperoleh dari wawancara siswa
yakni: Pertanyaan pertama Peneliti menanyakan pendapat siswa tentang proses pembelajaran
dengan menggunakan metode pembelajaranThe Study Group, dan siswa menjawab senang
dan tertarik. Pertanyaan kedua, peneliti menanyakan kendala siswa dalam proses
pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran The Study Group, dan siswa
menjawab tidak ada kendala. Pertanyaan ketiga, peneliti menanyakan ketertarikan siswa
dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran The Study Group,
siswa menjawab senang ketika dalam kelompok. Pertanyaan keempat, peneliti menanyakan
apakah siswa memahami dengan baik ketika Guru menjelaskan materi, siswa menjawab ya,
suara Bapak Guru sangat lantang. Pertanyaan terakhir, peneliti mananyakan pendapat
kepada siswa, bagaimana cara Guru mengajar dengan baik, jawaban siswa harus bisa
bersahabat dengan siswa dan jangan marah-marah.
Pada wawancara Guru, peneliti memberikan 5 pertanyaan juga. Hasil yang diperoleh
adalah sebagai berikut: Pertanyaan pertama, peneliti menanyakan pendapat Guru tentang
metode pembelajaran The Study Group, Guru menjawab baik dan bisa diterapkan kepada
siswa. Pertanyaan kedua, apakah metode pembelajaran The Study Group dapat meningkatkan
hasil belajar siswa, Guru menjawab Sangat bisa, apalagi suasana kelas sudah terkontrol.
Pertanyaan ketiga, kelebihan dan kekurangan ketika peneliti melaksanakan proses belajar
mengajar, Guru menjawab Kelebihannya, sudah bisa mengontrol kelas dan
kekurangannya belum terlalu percaya diri. Pertanyaan keempat, bagaimana cara yang
baik untuk melaksanakan kegiatan mengajar dengan baik, Guru menjawab harus inovatif,
kreatif, aktif, tegas dan percaya diri. Pertanyaan terakhir, peneliti meminta saran dan
kritik, saran dan kritik yang diberikan oleh Guru adalah tingkatkan lagi cara mengajar
yang jauh lebih baik dari sebelumnya.
Dari hasil wawancara yang telah dilaksanakan dalam dua siklus, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa guru dan siswa memberikan respon positif dan model pembelajaran
Cooperative Learning tipe The Study Group dapat diterapkan dengan baik.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan mengenai peningkatan hasil belajar
kognitif siswa dengan menggunakan Model Pembelajaran Cooperative Learning tipe The
Study Group di kelas IV SD Negeri 14 Mengkurai pada materi struktur dan fungsi bagian
tumbuhan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan dan pelaksanaan Metode Pembelajaran The Study Group di kelas IV
berlangsung dengan baik berdasarkan pada aktivitas guru dan siswa. Aktivitas guru
pada siklus I dengan persentase rata-rata 85,00% dan pada siklus II dengan
persentase rata-rata 95,00%. Aktivitas siswa pada siklus I dengan persentase rata-
rata 89,28% dan pada siklus II dengan persentase rata-rata 96,42%.
2. Hasil belajar kognitif siswa pada siklus I dengan rata-rata 62,86, dengan ketuntasan
klasikal sebesar 61,90% (13 siswa), sedangkan hasil belajar pada siklus II dengan
rata-rata 71,19 dengan ketuntasan klasikal sebesar 90,48% (19 siswa). Terdapat
peningkatan hasil belajar kognitif siswa dari siklus pertama ke siklus kedua yaitu
sebesar 28,58%.
3. Siswa memberikan respon yang positif terhadap penggunaan Metode Pembelajaran
The Study Group pada materi struktur dan fungsi bagian tumbuhan.

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka peneliti memberikan saran sebagai


berikut:
1. Guru dapat lebih aktif dan inovaif dalam mempelajari dan mengembangkan cara-cara
pengelolaan pembelajaran di kelas, agar lebih menarik bagi siswa

133
Peningkatan Hasil Belajar Kognitif Siswa dengan Menggunakan Metode Pembelajaran The
Study Group Pada Materi Struktur dan Fungsi Bagian Tumbuhan di kelas IV SD (Yulius
Benny, Hilarius Jago Duda, Sirilus Sirhi)

2. Siswa hendaknya harus mentaati peraturan guru agar tidak membuat suasana kelas
menjadi gaduh.
3. Pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Cooperative Learning tipe
The Study Group dapa dikolaborasikan dengan banyak model lain dan disesuaikan
dengan cara berpikir siswa yang akan dikenakan dengan model pembelajaran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Hamruni. 2011. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani.

Isjoni. 2007. Cooperative Learning. Pekanbaru: Alfabeta.

Rohiat. 2010. Manajemen Sekolah. Bandung: PT Refika Aditama.

Samatowa, U. 2010. Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Indeks.

Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan


R&D. Bandung: Alfabeta.

Wahyudin, D., Supriadi dan Abdulhak, I. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka.

134
ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIKA SISWA KELAS X BERDASARKAN
KEMAMPUAN MATEMATIKA

Andes Safarandes Asmara, S. B. Waluya, Rochmad


andes.asmara@ubpkarawang.ac.id, s.b.waluya@mail.unnes.ac.id
Universitas Buana Perjuangan, Universitas Negeri Semarang

ABSTRACT

ANALYSIS OF MATHEMATICS LITERACY BASED ON MATHEMATICAL ABILITY

This research was conducted to determine the literacy skills students of class X on their math skill.
This study used a qualitative approach, the approach that drives meaningful results. To determine the
ability of mathematical literacy class X, there were study subjects of 3 people who were selected
based on their level of math skills. The determination was based on the categories of low, medium and
high. Each subject was given a test and interview questions to determine the literacy skills. The
results revealed that subjects with low category were in the second level of mathematics literacy, and
subjects with high category were in the third level of mathematical literacy skills. Based on these
results, it is necessary to seek strategies in the learning process of mathematics, which allows the
improvement of mathematics literacy skills.

Keywords: Mathematical Literacy, Literacy Level Mathematics, Mathematical Ability

Article Info
Received date: 2 Jan 2017 Revised date: 9 April 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Sumarmo (2003) mengemukakan bahwapendidikan matematika pada hakekatnya memiliki
dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa datang. Kebutuhan
masa kini, pembelajaran matematika mengarah kepada pemahaman matematika dan ilmu pengetahuan
lainnya, kebutuhan di masa yang akan datang mempunyai arti lebih luas yaitu memberikan
kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang
sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta menghadapi masa depan yang selalu berubah.
Berdasarkan hal tersebut, maka dengan demikian pembelajaran matematika hendaknya
mengembangkan proses dan keterampilan berpikir siswa.
Pengertian keterampilan berfikir menurut (Mayer, 1992:7) mencakup tiga hal, yaitu: 1)
berfikir adalah pemahaman, tetapi disimpulkan dari perilaku. Hal ini terjadi secara internal, dalam
pikiran atau sistem kognitif dan harus disimpulkan secara tidak langsung; 2) berfikir adalah sebuah
proses yang melibatkan beberapa manipulasi atau mengatur operasi pengetahuan dalam sistem
kognitif; 3) berfikir diarahkan dan hasil dalam perilaku yang “memecahkan” masalah atau diarahkan
solusi (Demirel, Melek. Dkk, 2016). Berdasarkan ketiga data tersebut, jelas keterampilan berfikir
untuk memecahkan masalah amatlah penting.Rahayu R. Kartono, 2014 menyatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya dari matematika, dan itu menjadi bagian dari
setiap pembelajaran matematika dan tidak boleh dipisahkan.
Pengetahuan dan pemahaman tentang konsep matematika sangat lah penting, tetapi lebih
penting lagi mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika yang digunakan dalam segala segi kehidupan disebut literasi matematika.
OECD (2014) menyatakan bahwa kemampuan literasi matematika diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai
konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep,
prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan atau memperkirakan fenomena/kejadian.
Kemampuan literasi matematika membantu seseorang untuk memahami peran atau kegunaan

135
Analsis Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas X berdasarkan kemampuan
Matematika (Andes Safarandes Asmara, S. B. Waluya, Rochmad)

matematika di dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus menggunakannya untuk membuat


keputusan-keputusan yang tepat atas berbagai permasalahan/fenomena yang terjadi.
PISA (Programme International for Student Assesment) merupakan suatustudi internasional
yang salah satu kegiatannya adalah menilai prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa
sekolah berusia antara 15 tahun. PISA menggunakan pendekatan literasi yang inovatif dalam setiap
studinya, yaitu suatu konsep belajar yang berkaitan dengan kapasitas para siswa untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilan dalam mata pelajaran kunci disertai dengan kemampuan untuk
menelaah, memberi alasan, dan mengkomunikasikannya secara efektif, serta memecahkan dan
menginterpretasikan permasalahan dalam berbagai situasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh PISAkemampuan literasi siswa Indonesia masih
rendah, hal ini dapat terlihat bahwa Indonesia selalu menempati peringkat 10 negara terbawah. Pada
hasil penelitian PISA, rata-rata skor internasional kemampuan literasi matematikaadalah 500 (level
3),sedangkan rata-rata skor literasi matematika siswa Indonesia adalah 375 (level 1), level 1 adalah
level terendah dari enam level kemampuan literasi matematika yang di tetapkan oleh PISA dan level
tertinggi yang mampu dicapai siswa Indonesia adalah level 3.Hasil penelitian PISA tersebut
menunjukan ada perbedaan ketercapaian kemampuan literasi siswa Indonesia, kemampuan
matematika dimungkinkan menjadi salah satu faktor perbedaan tersebut.
PISA melakukan studinya setiap 3 tahun sekali, hal tersebut menyebabkan beberapa tingkatan
siswa tidak bisa menjadi subyek penelitian PISA. Misalnya siswa kelas X tahun ini tidak bisa menjadi
subyek penelitian, karena pada studi terakhir PISA tahun 2015 siswa di kelas tersebut sudah berusia
16 tahun, jadi sudah terlambat sedangkan untuk studi PISA sebelumnya mereka masih di bawah 15
tahun.Berdasarkan hal tersebut maka akan diteliti tentang kemampuan literasi matematika siswa kelas
X berdasarkan kemampuan matematika. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan
kemampuan literasi matematika siswa Indonesia lebih lanjut, di karenakan kompetensi-kompetensi
pada literasi membutuhkan kemampuan pemecahan masalah (berfikir tingkat tinggi) yang
dimungkinkan dipunyai oleh siswa tingkat SMA.

TINJAUAN PUSTAKA
Steen & Turner (2007) dan OECD (2013) menyatakan bahwa literasi matematika dimaknai
sebagai kemampuan untuk merumuskan, menggunakan pengetahuan dan pemahaman matematis
secara efektif dalam kehidupan sehari-hari atau bisa juga diartikan bahwa literasi matematika adalah
kemampuan seseorang individu untuk merumuskan, menggunakan dan menafsirkan matematika
dalam berbagai konteks. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk menganalis dan
mengkomunikasikan ide-ide untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari (US
Department of Education, 2014). Berdasarkan hal tersebut, sudah sangat jelas bahwa pengetahuan dan
pemahaman tentang matematika sangat penting, tetapi lebih penting lagi bisa mengaplikasikan literasi
matematika ini untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian lain diungkapkan oleh Ojose, B (2011) yang menyatakan bahwa literasi
matematika merupakan pengetahuan untuk mengetahui dan menggunakan dasar matematika dalam
keidupan sehari-hari. Pengertian disini menunjukan seseorang yang memiliki kemampuan literasi
matematika yang baik memiliki kepekaan terhadap konsep-konsep matematika mana yang relevan
dengan masalah yang dihadapinya. Kepekaan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemecahan
masalah menggunakan konsep matematika.
Pendapat lain menyebutkan bahwa literasi dalam konteks matematika adalah kekuatan untuk
menggunakan pemikiran matematika dalam memecahkan masalah sehari-hari agar lebih siap
menghadapi tantangan kehidupan(Steecey & Turner, 2015). Pemikiran maematika yang dimaksudkan
meliputi pola pikir pemecahan masalah, menalar secara logis, mengkomunikasikan dan menjelaskan.
Pola pikir ini dikembangkan berdasarkan konsep, prosedur, serta fakta matematika yang relevan
dengan masalah yang dihadapi (Rosalia, 2015).

136
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 135– 142
Menurut PISA terdapat 6 level kemampuan literasi matematika siswa, yang diuraikan dalam
tabel di bawah ini.

Tabel 1
Level Kemampuan Literasi Matematika Menurut PISA

Level Apa yang Dapat Siswa Lakukan

Melakukan pengonsepan, generalisasi dan menggunakan informasi


beradasarkan penelaahan dan pemodelan dalam suatu situasi yang
kompleks, dan dapat mengunakan pengetahuan diatas rata-rata.
Menghubungkan sumber informasi berbeda dan merepresentasi, dan
menjalankan diantaranya keduanya dengan fleksibel. Siswa pada tingkatan
ini memiliki kemampuan bernalar matematika yang tinggi. Menerapkan
6
pengetahuan, penguasaan dan simbol dan hubungan dari simboldan operasi
matematika, mengembangkan strategi dan pendekatan baru untuk
menghadapi situasi yang baru. Merefleksikan tindakan mereka dan
merumuskan dan mengkomunikasikan tindakan mereka dengan tepat dan
menggambarkan sehubungan dengan penemuan mereka, penafsiran,
pendapat, dan kesesuaian dengan situasi nyata.

Mengembangkan dan bekerja dengan model untuk situasi kompleks,


mengidentifikasi masalah, dan menetapkan asumsi. Memilih,
membandingkan, dan mengevaluasi dengan tepat strategi pemecahan
masalah terkait dengan permasalahan kompleks yang berhubungan dengan
5 model. Bekerja secara strategis dengan menggunakan pemikiran dan
penalaran yang luas, serta secara tepat menghubungkan representasi simbol
dan karakteristik formal dan pengetahuan yang berhubungan dengan
situasi. Melakukan refleksi dari pekerjaan mereka dan dapat merumuskan
dan mengkomunikasikan penafsiran dan alasan mereka.

Bekerja secara efektif dengan model dalam situasi yang konkret tetapi
kompleks yang mungkin melibatkan pembatasan untuk membuat asumsi.
Memilih dan menggabungkan representasi yang berbeda, termasuk pada
simbol, menghubungkannya dengan situasi nyata. Menggunakan berbagai
4
keterampilannya yang terbatas dan mengemukakan alasan dengan beberapa
pandangan di konteks yang jelas. Memberikan penjelasan dan
mengkomunikasikannya diertai argumentasi berdasar pada interpretasi dan
tindakan mereka.

Melaksanakan prosedur dengan jelas, termasuk prosedur yang memerlukan


keputusan secara berurutan. Memecahkan masalah, dan menerapkan
strategi yang sederhana. Menafsirkan dan menggunakan representasi
3
berdasarkan sumber informasi yang berbeda dan mengemukakanalasannya
secara langsung. Mengkomunikasikan hasil interpertasi dan alasan mereka

Menafsirkan dan mengenali situasi degan konteks yang memerlukan


kesimpulan langsung. Memilah informasi yang relevan dari sumber yang
tunggal, dan menggunakan cara penyajian tunggal. Mengerjakan algoritma
2
dasar, menggunakan rumus, melaksanakan prosedur atau kesepakatan.
Memberi alasan secara tepat dari hasil penyelesaiannya.

Menjawab pertanyaan dengan konteks yang dikenal serta semua informasi


1
yang relevan tersedia dengan pertanyaan yang jelas. Mengidentifikasi

137
Analsis Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas X berdasarkan kemampuan
Matematika (Andes Safarandes Asmara, S. B. Waluya, Rochmad)

Level Apa yang Dapat Siswa Lakukan


infomasi, dan melakukan cara-cara yang umum berdasarkan instruksi yang
jelas. Menunjukkan suatu tindakan sesuai dengan simulasi yang diberikan.

(OECD, 2014)

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini
bisa kita katakan sebuah cara penelitian yang berlandasakan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan digunakan untuk data yang mendalam
(Sugiyono, 2013).
Penelitian ini dilakukan di SMKN 1 Cikampek, di kelas X jurusan kimia pada bulan
Desember 2016. Subyek penelitian adalah 3 siswa yang dipilih menurut tingkat kemampuan
matematika yang berbeda. Kemampuan literasi matematika dikelompokkan sesuai nilai rata-rata
ulangan harian matematika berdasarkan krteria ketuntasan minimal (kkm), dengan kategori sebagai
berikut:

Tabel 2
Kriteria Penilaian Kemampuan Matematika

No Nilai Kategori
1 Nilai > KKM Tinggi
2 Nilai =70 (KKM) Sedang
3 Nilai < KKM Rendah

Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis ketercapaian indikator siswa
terhadap setiap level literasi matematika, yang dibuktikan melalui tes. Selain tes ada juga lembar
observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui ketercapaian indikator level
literasi matematika siswa yang tidak tampak pada hasil tes. Tahap terakhir adalah menentukan level
kemampuan literasi matematika yang dicapai masing-masing subjek.
Untuk mempermudah jalannya penelitian, maka peneliti membuat alur penelitian sebagai
berikut:

138
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 135– 142

Mulai

Kegiatan
Pendahuluan

Penyusunan Tes Data hasil ulangan Harian


Matematika Literasi Matematika dari Guru
Serta Pedoman
Wawancara
Pengelompokan Tingkat
Kemampuan Siswa
Validasi Soal

Mewawancara Guru
Untuk Subjek Penelitian
Valid
Revisi

Tes Kemampuan
Literasi Matematika

Wawancara Siswa

Analisis Data Peneliti

Kesimpulan

Selesai

Keterangan
: Kegiatan Penelitian
: Kegiatan Awal dan Akhir
: Alur Kegiatan
: Alur Kegiatan Jika diperlukan

Gambar 1: Alur Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tes kemampuan literasi matematika siswa dilakukan pada tanggal 12 desember 2016, di
SMKN 1 cikampek, di ruang jurusan kimia, tes ini dilakukan setelah UAS semester ganjil dilakukan
dan tes wawancara dilakukan keesokan harinya yaitu hari selasa tanggal 13 Desember 2016. Tes
untuk kemampuan literasi berjumlah 6buah. Jumlah subjek adalah 3 siswa yang mewakili siswa
berkemampuan matematika rendah (S1) siswa berkemampuan siswa sedang (S2), dan siswa
berkemampuan siswa tinggi (S3). Berdasarkan hasil tes dan wawancara, maka di peroleh data sebagai
berikut:
Siswa berkemampuan matematika rendah (S1)
Berdasarkan hasil analisis siswa berkemampuan rendah mampu menyelesaikan semua soal
yang sudah di berikan, namun tidak semua jawabannya benar. Siswa ini hanya mampu menjawab
dengan benar soal yang mengukur kemampuan literasi matematika pada level 1. Siswa ini mampu
menjawab pertanyaan dengan konteks yang dikenal serta semua informasi yang relevan tersedia
dengan pertanyaan yang jelas, mampu mengidentifikasiinfomasi, dan melakukan cara-cara yang
umum berdasarkan instruksi yang jelas dan menunjukkan suatu tindakan sesuai dengan simulasi yang
diberikan.

139
Analsis Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas X berdasarkan kemampuan
Matematika (Andes Safarandes Asmara, S. B. Waluya, Rochmad)

Untuk soal kemampuan literasi level 2, siswa (S1) juga sudah bisa menafsirkan untuk bisa
mengenali konteks yang memerlukan kesimpulan langsung. pada jawaban ini juga siswa memilah
informasi untuk menyajikan data dan memberikan alasan secara tepat dari hasil penyelesaiannya.
Soal level 3 dan seterusnya, S1 menjawab dengan salah. Berdasarkan wawancara di dapat
hasil bahwa meskipun di kerjakan tetapi S1 merasa dia tidak tahu, dan dia hanya menjawab apa yang
dia pikirkan dan berharap dapat bisa di kaitkan dengan soal yang di kerjakan. Sehingga S1 tidak
memenuhi untuk kompetensi level 3, 4, 5 dan 6. Berdasarkan hal tersebut siswa S1 hanya memenuhi
sampai kompetensi level 2. Sehingga dapat disimpulkan bahwa S1 berada pada level 2 literasi
matematika.

Siswa berkemampuan matematika sedang (S2)


Berdasarkan hasil analisis siswa (S2) mampu mengerjakan seluruh soal yang diberikan,
namun hasilnya tidak semua tepat. Untuk soal dengan level 1, S2 sudah menjawabnya dengan tepat
dan sepertinya sudah agak terbiasa dengan soal-soal kategori level 1, seperti soal dalam bentuk
konteks, mampu mengidentifikasi permasalahan untuk jawaban berdasarkan instruksi yang jelas serta
mampu melakukan tindakan dengan stimulasi yang diberikan.
Soal level 2 pun, berhasil di jawab dengan tepat seperti halnya membuat kesimpulan
langsung, memilah informasi dari jawaban tunggal dan menggunakan cara penyajian tunggal,
mengerjakan algoritma dasar, menggunakan rumus untuk dimasukan dalam penyelesaian serta
mampu memberikan alasan secara tepat dari hasil penyelesaiannya. Untuk kategori level 3, S2 tidak
sepenuhnya mampu menjawab dengan benar karena berdasarkan hasil wawancara, dia merasa ragu
apakah jawaban yang dia tuliskan itu benar atau salah. Untuk level 3 ini, S2 hanya mampu
melaksanakan prosedur secara benar dan berurutan.
Soal level4,5 dan 6 S2 menjawab dengan tidak tepat, berdasarkan wawancara dia mengatakan
bahwa jawaban yang dia tulis ragu-ragu apakah benar atau salah. Dan ketika ditanya oleh peneliti
benar atau salah di bagian yang mana, S2 menjawab sudah lupa karena wawancara dilakukan
keesokan harinya. Jadi bisa dimungkinkan kalau S2 merasa lupa. Dari hal-hal di atas dapat
disimpulkan bahwa siswa berkemampuan matematika sedang berada pada level 2 kemampuan literasi
matematika.
Siswa berkemampuan matematika tinggi (S3)
Siswa berkemampuan tinggi (S3) pun hanya mampu menjawab dengan tepat soal level 1, 2,
dan 3. Untuk soal level 4, 5 dan 6 S3 tidak bisa menjawab soal dengan benar dan ketika wawancara,
siswa tersebut mengatakan bahwa dia merasa tidak tahu jawabannya dan merasa ragu untuk
menjawabnya.
Siswa dengan kemampuan tinggi juga sangat terbiasa untuk menjawab pertanyaan dalam
bentuk konteks, mengidentifikasi informasi, menyelesaikan permasalahan dengan intruksi yang jelas
serta mampu memberikan alasan yang tepat atas jawaban tersebut. Untuk S3 juga sudah mulai
terbiasa dengan mengerjakan prosedur yang memerlukan keputusan secara berurutan, memecahkan
masalah dengan strategi yang sederhana, menafsirkan dan menggunakan representasi berdasarkan
sumber informasi yang berbeda dan mengemukakan hasil interpretasi mereka. Jadi dapat disimpulkan
bahwa S3 berada pada level 3 kemampuan literasi matematika.
Sesuai hasil penelitian yang di paparkan di atas, jelas dikatakan bahwa siswa kemampuan
sedang dan siswa kemampuan tinggi hanya berada di level 3, sedangkan siswa berkemampuan rendah
hanya bisa berada pada level 1. berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan bahwa sebenarnya siswa
belum atau tidak terbiasa dengan soal-soal yang sifatnya aflikatif, sehingga dirasa perlu menrapkan
startegi lain dalam proses pembelajaran untuk bisa membiasakan siswa dengan permasalahan-
permasalahan yang membutuhkan pemikiran logis.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan pembahasan yang di lakukan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa:Siswa
yang menjadi subyek dalam penelitian ini (baik siswa berkemampuan rendah sampai siswa
berkemampuan tinggi) masih belum terbiasa dengan soal-soal atau permasalahan yang membutuhkan
pemikiran logis dan solusi aplikatif. Masih terbiasa dengan jawaban yang prosedural dan sifatnya

140
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 135– 142
konkret, sehingga perlu ada strategi lain yang digunakan untuk membiasakan siswa dalam
menghadapi soal-soal atau permasalahan yang membutuhkan penalaran logis.
Merujuk pada penelitian ini dan pembahasan yang dipaparkan, maka didapatkan saran
yaitu:Untuk melakukan penelitian yang sejenis, diperlukan soal yang lebih banyak dengan variasi soal
yang beragam, untuk lebih menjaring data yang efektif, pada sesi wawancara sebaiknya, dilakukan
sesaat setelah tes dilaksanakan. Hal ini untuk menghindari subjek lupa akan jawaban pada soal yang
telah di jawab, perlu di upayakan strategi dalam proses pembelajaran matematika, yang
memungkinkan terjadinya peningkatan kemampuan literasi matematika.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungansehingga
artikel ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Demirel, Melek, dkk (2016). A Study On The Relationship Between Reflective Thinking Skills To Wards
Problem Solving And Attitudes Towards Mathematics. Journal ScienceDirect, Procedia Sosial and
Behavioral Sciences. 1877-0428@2015. Published by Elsevier Ltd.

Mayer, R.E. (1992). Thinking, Problem solving, Cognition. New York: W.H. Freeman and Company

OECD. (2014). “PISA 2012” Results: What Students Know and Can Do”. OECD Publications, vol.1.
(Februari 2014:5-61).

Ojose, B. (2011). Mathematics for Literacy: Are We Able to put The Mathematics We Learn Into Everyday
use?Journal of Mathematics Education. Vol 4, No 1, 89-100, 2011

Rahayu, R, dkk, (2014). The Effect of Mathematical Disposition Toward Problem Solving Ability Based On
Ideal Problem Solver. International Journal of Science Reasearch (IJSR). Volume 3 Issue 10, oktober
214.

Stecey, K & Turner, R. (2015). Assessing Mathematical Literacy: The PISA Experience.Australia:Springer.

Steen, L & Turner, R. (2007). Developing Mathematical Literacy. In Blum, W., Galbraith, p., Henn, HW, &
Niss, M (Eds), Modeling and Aplication in Mathematics education-The 14th ICMY Study (pp285-294).
New York: Springer.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta

Sumarmo, U. (2003). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan


Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung. Tidak
diterbitkan.

The Organisation for Economic Co-operation and Development (2013). PISA 2012 assessment and
analyticalframework: Mathematics, reading, science, problem solving and financial literacy(1sted.).
Paris, France:Author.

U.S. Department of Education (2014). STEM literacy. Retrieved from


https://www.y4y.ed.gov/learn/stem/introduction/stem-literacy.

PROFILE SINGKAT

141
Analsis Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas X berdasarkan kemampuan
Matematika (Andes Safarandes Asmara, S. B. Waluya, Rochmad)

Andes Safarandes Asmara: Warga Negara Indonesia. Sarjana dan Master Program di Universitas
Pasundan Bandung di Indonesia. Menjadi dosen sejak 210 di universitas Singaperbangsa Karawang
dan pada tahun 2014 pindah sampai sekarang di UniversitasBuana Perjuangan, Karawang, Jawa
Barat, Indonesia. Sebagai Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar mata kuliah
Matematika.

142
UPAYA MENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MELALUI MODEL
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING DENGAN MEDIA CUISENAIRE RODS

Intan Kurnia Sari, Tri Nova Hasti Yunianta


292012519@student.uksw.edu, trinova.yunianta@staff.uksw.edu
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (UKSW)

ABSTRACT

EFFORTS TO IMPROVE MATH LEARNING RESULT OF FOURTH GRADE STUDENTS


THROUGH CONTEXTUAL MODEL TEACHING AND LEARNING WITH CUISENAIRE
RODS MEDIA

The purpose of this research is to improve students' learning outcomes in mathematics learning
through Contextual Teaching and Learning (CTL) model with Cuisenaire Rods media in grade IV
Dukuh 03 Salatiga Elementary School semester II year 2015/2016. This research was conducted to
help teachers who still used conventional methods and had not yet maximized learning media in the
classroom. This research is a classroom action research that consists of two cycles. Each cycle
consists of four phases: planning, implementation, observation, and reflection. The subjects of this
study were 26 students. Data collection techniques used in this study were observation, testing, and
documentation. The instruments used were test items, the student activity and teacher observation
sheet. Data analysis was performed by using a comparative descriptive analysis by comparing the
results of pre-cycle, the first cycle, and the second cycle. The indicator of success in this study was
that 75% students reaching the score of ≥ 64. The research showed an increase in the value of the
average grade from 61.77 in the pre-cycle to 78 in the first cycle and up to 85 in the second cycle. The
number of students who passed the study increased from 11 students (42.31%) in the pre-cycle to 20
students (76.92%) in the first cycle and up to 24 students (92.31%) in the second cycle, so it can be
concluded that the application of Contextual Teaching and Learning (CTL) model using Cuisenaire
Rods media can improve students' learning outcomes in mathematics in the area of adding and
subtracting fractions with the same denominator and with different denominators.

Keyword: effort to improve, mathematic learning outcomes, contextual teaching and learning,
Cuisenaire Rods.

Article Info
Received date: 3 Jan 2017 Revised date: 30 Maret 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Pembelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar sebaiknya bermakna. Ini berarti setiap
konsep yang dipelajari harus benar-benar dimengerti/dipahami sebelum sampai pada latihan yang
aplikasinya pada materi dan kehidupan sehari-hari. Penerapan matematika dalam kehidupan sehari-
hari misalnya kemampuan siswa dalam berhitung pecahan, menambahkan, mengurangkan, dan lain
sebagainya.
Permasalahan yang sering terjadi adalah dalam pemilihan metode dan media yang sesuai
bahan pelajaran agar materi tersebut lebih mudah dipahami oleh siswa. Hal ini memerlukan bahan-
bahan yang perlu disiapkan guru, dari barang-barang yang relatif murah dan mudah diperoleh,
misalnya dari karton, kertas, kayu, dan kain untuk menanamkan konsep matematika tertentu sesuai
dengan keperluan. Bahan ini berfungsi untuk menyederhanakan konsep yang sulit, menyajikan bahan
yang relatif abstrak menjadi nyata, menjelaskan pengertian dan konsep secara lebih konkret,
menjelaskan sifat-sifat yang terkait dengan pengerjaan operasi hitung.
Masalah yang lain adalah rendahnya nilai hasil belajar matematika siswa Sekolah Dasar.
Berdasarkan hasil dokumentasi data guru kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga pada mata pelajaran
matematika, ada 11 siswa (42%) berhasil tuntas KKM yaitu 64, sedangkan ada 15 siswa (58%) belum
tuntas KKM. Berdasarkan hasil observasi, kegiatan pembelajaran yang berlangsung masih terlihat ada
siswa kurang antusias untuk mengikutinya karena guru masih menggunakan metode konvensional dan

143
Upaya Meningkatkan Hasil Belajarb matematika Siswa melalui Model Contextual Teaching
and Learning dengan Media Cuisenaire Rods (Intan Kurnia Sari, Tri Nova Hasti Yunianta)

belum menerapkan penggunaan bahan manipulatif. Ketika guru memberikan contoh soal, ada siswa
yang pasif dan hanya beberapa siswa saja yang berani untuk mengerjakan ke depan tanpa ditunjuk
oleh guru. Karakteristik siswa kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga sangat bervariasi, yaitu ada
yang semangat belajarnya tinggi, ada yang malas belajar atau tidak antusias mengikuti proses
pembelajaran, ada yang cepat menerima pembelajaran, ada yang lemah dalam mengkuti
pembelajaran, serta ada yang bermain sendiri pada saat pembelajaran berlangsung. Ada siswa di
antara mereka ketika diminta untuk maju selalu menggelengkan kepala dan sebagian besar siswa
masih salah dalam mengerjakan soal latihan.
Melihat permasalahan hasil belajar matematika siswa yang masih rendah di SD Negeri
Dukuh 03, maka dipandang perlu untuk memberikan tindakan yang tepat untuk meningkatkan hasil
belajar matematika siswa. Model Contextual Teaching and Learning memiliki kelebihan dalam
mendorong siswa menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata, mendorong peserta didik untuk menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata,
danmenekankan proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi, sedangkan Cuisenaire
Rods digunakan untuk memvisualisasikan materi matematika yang abstrak.
Adapun penelitian yang relevan terkait model Contextual Teaching and Learning adalah
penelitian Irawan (2014) yang mendapatkan hasil belajar matematika siswa meningkat yaitu pada pra
siklus siswa yang tuntas 14 siswa (61%), pada siklus I siswa yang tuntas 18 siswa (78%), sedangkan
pada siklus II, semua siswa yang terdiri dari 23 siswa sudah memenuhi KKM (60) atau dapat
dikatakan tuntas 100% dan Pandanwangi (2014) mendapatkan hasil belajar matematika siswa
meningkat di mana pada pra siklus hanya terdapat 14 siswa (35%) yang telah tuntas dalam belajarnya,
pada siklus I melalui 2 pertemuan ketuntasan belajar siswa meningkat menjadi 24 siswa (60%) yang
telah tuntas, dan pada siklus II ketuntasan belajar siswa menjadi 38 siswa (95%).
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar Matematika materi pecahan
siswa kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga, tahun pelajaran 2015/2016 melalui model Contextual
Teaching and Learning dengan media Cuisenaire Rods. Penelitian ini diharapkan dapat membantu
guru dalam membantu mengatasi masalah dan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa
pada pelajaran Matematika kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga pada tahun pelajaran 2015/2016.

KAJIAN PUSTAKA
Hasil Belajar Matematika
Slameto (Uno & Mohamad, 2012: 139-140) mengatakan bahwa “belajar merupakan suatu
proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Hasil belajar menurut Nawawi (Susanto, 2015: 5) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diartikan
sebagi tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan
dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, yang dimaksud hasil belajar matematika adalah
perubahan tingkah laku dalam diri siswa, yang diamati dan diukur dalam bentuk perubahan
pengetahuan, tingkah laku, sikap dan keterampilan setelah mempelajari matematika, dengan maksud
terjadinya peningkatan dan pengembangan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Model Contextual Teaching and Learning (CTL)
Menurut Nurhadi (Rusman, 2011), pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat.
Sementara itu menurut Keneth (Hasibuan, 2014: 3) mendefinisikan Contextual Teaching and
Learning (CTL) sebagai berikut “Contextual teaching is teaching that enables learning in which
students employ their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school
context to solve simulated or real world problems, both alone and with others.” Contextual Teaching
and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana
siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan

144
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 143 – 152

luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu bagian dari Pembelajaran
Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Kesimpulan dari beberapa pengertian
pembelajaran Contextual Teaching and Learning adalah suatu proses pembelajaran yang
mengasyikkan dan bermakna, sehingga siswa dapat memusatkan perhatiannya secara penuh selama
kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, dengan menerapkan PAKEM dalam
pembelajaran, khusunya pada item menyenangkan, maka diharapkan tercipta perasaan senang,
nyaman dan tidak bosan selama mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut sehingga materi atau
informasi dari guru dapat dengan mudah diterima atau dipahami oleh siswa.
Media Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Dalam pembelajaran Matematika di SD, agar bahan pengajaran yang disampaikan lebih
mudah dipahami oleh siswa, diperlukan alat bantu pembelajaran yang disebut media. Menurut
Muhsetyo dkk (2011) media adalah alat bantu pembelajaran yang secara sengaja dan terencana
disiapkan atau disediakan guru untuk mempresentasikan atau menjelaskan bahan pelajaran, serta
digunakan siswa untuk dapat terlibat langsung dengan pembelajaran matematika. Peralatan yang
digunakan dalam kelas dapat digunakan untuk mengerjakan suatu tugas, tempat menulis pelajaran,
membuat grafik, menampilkan gambar atau tabel, memberikan penjelasan, mengamati dan
mempelajari hasil perhitungan, menyelidiki suatu pola, dan berlatih soal-soal.
Media dalam pembelajaran matematika relatif sama dengan media dalam pembelajaran
bidang yang lain, yaitu dapat dikelompokkan berupa media: (1) sederhana, misalnya papan tulis,
papan grafik, (2) cetak, misalnya LKS (Lembar Kerja Siswa), petunjuk praktikum, dan modul (3)
media elektronik, misalnya LCD (Liquid Crystal Display), audio (radio dan tape), audio & video (TV,
VCD, dan DVD), computer, internet, serta kalkulator. Pengelompokkan di atas dapat saja diganti
berdasarkan alasan tertentu, misalnya media sederhana dan media modern (berbasis elektronik),
media cetak dan non-cetak, media proyeksi dan media non-proyeksi. Oleh sebab itu, guru harus
selektif dalam menentukan media pembelajaran. Beberapa kriteria utama dalam memilih media
adalah kecocokan dengan materi pelajaran, ketersediaan alat dan pendukungnya, kemampuan
financial untuk pengadaan dan operasional, dan kemampuan/keterampilan menggunakan media
dengan tepat dan benar.
Media Cuisenaire Rods
Media Cuisenaire Rods adalah salah satu media pembelajaran berupa balok kayu atau bisa
menggunakan kertas terdiri dari 10 warna yang mampu menjembatani anak tentang pemahaman
konsep pecahan secara nyata. Menurut Sundayana (2014: 6), menyatakan bahwa media pembelajaran
adalah sebuah alat yang berfungsi dan digunakan untuk pesan pembelajaran. Pembelajaran adalah
proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan ajar. Salah satu manfaat media adalah
menarik minat belajar anak. Adapun media Cuisenaire Rods disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1.
Media Cuisenaire Rods

145
Upaya Meningkatkan Hasil Belajarb matematika Siswa melalui Model Contextual Teaching
and Learning dengan Media Cuisenaire Rods (Intan Kurnia Sari, Tri Nova Hasti Yunianta)

Penelitian Tindakan Kelas


Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (action research). Penelitian
Tindakan Kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran di
kelas. Penelitian ini merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegiatan
yang dilakukan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas (Slameto,
2015).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis Penelitian Tindakan Kelas (action research). Penelitian
Tindakan Kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran di
kelas. Penelitian ini merupakan salah satu upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegiatan
yang dilakukan untuk memperbaiki dan atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas (Slameto,
2015).
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada Semester II tahun pelajaran 2015/2016 selama
bulan Februari-Maret 2016. Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah SD Negeri Dukuh 03
Salatiga yang beralamat di Jalan Srikandi No 1 Grogol, Kecamatan Sidomukti Salatiga. Penelitian ini
dilaksanakan di SD Negeri Dukuh 03 Salatiga Tahun Pelajaran 2015/2016. Subjek penelitian ini yaitu
siswa kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga yang berjumlah 26 siswa. Di mana dari 26 siswa terdiri
dari 10 perempuan dan 16 laki-laki.
Pelaksanaan Siklus I
Pada siklus I dirancang sebagai kelanjutan dari pra siklus. Kegiatan yang dilakukan pada
siklus I merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada pra
siklus. Siklus I dilaksanakan dengan kegiatan seperti berikut ini.
1. Perencanaan tindakan
Sebelum penelitian dilakukan, maka peneliti merancang berbagai tindakan dalam
pembelajaran, diantaranya sebagai berikut: a) menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan
model (CTL); b) menyiapkan media Cuisenaire Rods tentang pecahan; c)membuat lembar observasi
untuk mengetahui aktivitas siswa dan kinerja guru selama melakukan tindakan; dan d) menyiapkan
soal evaluasi sesuai materi tentang pecahan.
2. Pelaksanaan tindakan
Pelaksanaan tindakan merupakan implementasi kegiatan pembelajaran sesuai dengan
tindakan. Tahap-tahap pelaksanaan model (CTL) dengan media Cuisenaire Rods sebagai berikut: a)
kegiatan awal: pada kegiatan awal ini, pertama–tama guru melakukan apersepsi untuk mendorong
semangat belajar siswa, menyiapkan kondisi kelas dan peralatan atau media yang dibutuhkan dalam
pembelajaran seperti RPP, buku materi pembelajaran atau materi ajar, media Cuisenaire Rods, lembar
evaluasi siswa serta menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai; b) kegiatan inti: pada
kegiatan inti terdiri dari kegiatan eksplorasi dengan cara guru memperkenalkan media Cuisenaire
Rods, kegiatan elaborasi dengan cara guru memberikan contoh bagaimana cara menggunakan media
Cuisenaire Rods dalam menjumlahkan dan mengurangkan pecahan berpenyebut sama kemudian
siswa diminta untuk menentukan langkah untuk yang berpenyebut berbeda sesuai langkah-langkah
CTL; dan kegiatan akhir: pada kegiatan ini guru memberikan latihan soal kepada siswa untuk
memahami materi yang telah dipelajari.
3. Observasi
Observasi kegiatan pembelajaran dilakukan oleh Observer dari sekolah yaitu guru yang
mengajar di kelas tersebut. Pengisian lembar observasi tersebut dilakukan pada saat pembelajaran
berlangsung.
4. Refleksi
Refleksi dilakukan oleh peneliti berdasarkan hasil observasi setelah kegiatan pembelajaran.
Hasil refleksi dugunakan untuk melihat kelemahan dan kelebihan, serta hambatan selama proses
pembelajaran. Hasil refleksi akan digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan siklus II.
Pelaksanaan Siklus II
Siklus II dirancang berdasarkan hasil refleksi dari siklus I dan kegiatan yang dilakukan pada
siklus II merupakan perbaikan dari kelemahan atau kekurangan pada siklus sebelumnya.

146
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 143 – 152

Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


Berikut teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: a) teknik tes: tes yang digunakan
untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri Dukuh 03 Salatiga
setelah diadakan tindakan menggunakan model Contextual Teaching and Learning dengan media
Cuisenaire Rods dalam pembelajaran; b) teknik non-tes: eknik ini dilakukan dengan cara observasi
pada setiap pertemuan yang berlangsung untuk mengetahui kinerja guru dan aktivitas siswa terhadap
penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media Cuisenaire Rods dengan
cara menggunakan lembar pengamatan.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar observasi dan butir soal tes.
Lembar observasi dalam Penelitian Tindakan Kelas merupakan pedoman bagi observer untuk
mengamati hal-hal yang akan diamati sesuai yang tercantum dalam lembar observasi. Tes hasil belajar
ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil belajar kognitif siswa mengenai materi pelajaran
Matematika melalui model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan menggunakan media
Cuisenaire Rods. Sebelum instrumen tes digunakan, instrument tersebut harus telah divalidasi terlebih
dahulu.
Analisis Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas konstruk (construct validity). Menurut
Sugiyono (2009) validitas konstruk dapat diperoleh dari pendapat dari ahli (judgment experts).
Validator instrument tes ada tiga orang yang terdiri dari dua guru kelas SD yang berpengalaman
dalam membuat soal dan satu dari dosen pendidikan matematika. Validasi ini didasarkan pada tiga
aspek penilaian yaitu aspek isi/materi pada soal, aspek konstruksi soal dan aspek bahasa yang
digunakan. Hasil validasi menyatakan instrumen soal valid dan layak dipakai dengan keterangan telah
sesuai dengan kriteria pembuatan soal yang baik.
Indikator kinerja adalah suatu kriteria yang digunakan untuk melihat tingkatan keberhasilan
dari kegiatan PTK dalam rangka meningkatkan mutu proses belajar mengajar di kelas. Adapun
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh sekolah adalah 64. Kriteria ketuntasan
pada penelitian ini adalah 80% siswa tuntas KKM.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif yaitu dengan
menggunakan perbandingan antara data berupa nilai tes formatif pra siklus, siklus I, dan siklus II yang
dianalisis deskriptif kuantitatif. Deskriptif kuantitatif yaitu hasil penelitian yang diukur dengan
angka-angka yang diperoleh dari hasil perhitungan nilai tes formatif pada akhir tiap siklus sebagai
tolok ukur keberhasilannya. Deskriptif kualitatif diperoleh dari lembar observasi model Contextual
Teaching and Learning (CTL) dengan media Cuisenaire Rods.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan Siklus I
a. Perencanaan
Perencanaan Siklus I ini terdiri dari dua perencanaan pertemuan, yaitu pertemuan I dan
pertemuan II, maka hal-hal yang perlu direncanakan adalah sebagai berikut: (a) memilih dan
memutuskan model Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai model pembelajaran; (b)
menyusun RPP berikut media Cuisenaire Rods ataupun yang direncanakan, termasuk lembar
observasi pembelajaran untuk digunakan dalam pembelajaran Matematika; (c) melakukan konsultasi
dengan guru kelas, mengenai model pembelajaran yang dipilih, RPP dan media Cuisenaire Rods,
serta lembar observasi; dan (d) setelah mendapat persetujuan dengan guru kelas, dilakukan revisi dan
mengecek kembali kelengkapan-kelengkapan baik RPP, media Cuisenaire Rods, serta lembar
observasi.
Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Pelaksanaan siklus I dilakukan pada tanggal 26-27 Februari 2016. Kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan langkah-langkah model Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai berikut: guru
memberikan satu soal sederhana mengenai pecahan kemudian meminta siswa untuk
menyelesaikannya. Guru menunjuk siswa yang aktif untuk membantu menemukan jawaban kemudian
meminta siswa yang pasif untuk mengerjakan ke depan kelas. Guru memberikan pembenaran
bagaimana cara menyelesaikan soal sederhana tadi dengan menggunakan media Cuisenaire Rods
dalam mengurangkan pecahan berpenyebut sama kemudian siswa diminta untuk menentukan langkah
mengurangkan pecahan berpenyebut berbeda. Pada hal ini juga diberlakukan hal yang sama yaitu

147
Upaya Meningkatkan Hasil Belajarb matematika Siswa melalui Model Contextual Teaching
and Learning dengan Media Cuisenaire Rods (Intan Kurnia Sari, Tri Nova Hasti Yunianta)

meminta siswa yang aktif mendampingi siswa yang pasif untuk menemukan jawaban, selanjutnya
siswa pasif diminta untuk mengutarakan hasil jawaban. Siswa dibagi menjadi 5 kelompok untuk
menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru dengan membuktikan langkah-langkah penyelesainnya
menggunakan media Cuisenaire Rods. Sama seperti pada siklus sebelumnya, selama proses diskusi,
guru menunjuk siswa yang aktif untuk menjadi ketua dalam kelompok. Siswa yang aktif ini juga
membantu siswa yang lain untuk menemukan jawaban. Setelah siswa menemukan jawaban atas
pertanyaan, guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Siswa
yang kurang aktif diminta untuk mempresentasikan, sementara anggota kelompok yang aktif
ditugaskan untuk menanggapi jawaban, apabila ada tanggapan dari kelompok lain, dan siswa yang
kurang menyimak diminta untuk mencatat hasil diskusi. Setelah semua kelompok selesai presentasi,
guru dan siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
b. Hasil Tindakan
Berikut adalah hasil belajar matematika melalui model Contextual Teaching and Learning
(CTL) dengan menggunakan media Cuisenaire Rods yang tuntas sebanyak 20 siswa (76,92%)
sementara pada pra siklus hanya 11 siswa (42,31%) sedangkan yang belum tuntas dalam belajarnya
atau mendapatkan nilai di bawah KKM yaitu < 64 sebanyak 6 siswa (23,08%). Hasil siklus I dengan
nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 55 dengan KKM 64. Oleh karena tingkat
ketuntasan, karena hasil belajar tersebut meningkat. Perolehan hasil belajar matematika setelah
tindakan pada siklus I disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1
Hasil Belajar Matematika Siklus I
No Nilai Frekuensi Persentase Keterangan
1. ≥ 64 20 76,92% Tuntas
2. < 64 6 23,08% Tidak Tuntas
JUMLAH 26 100%
Nilai Rata-Rata 77,31
Nilai Tertinggi 100
Nilai Terendah 55

Refleksi
Setelah diberikan tindakan, maka pada kegiatan akhir, perlu dilakukan refleksi. Refleksi
dimaksudkan untuk melihat kekurangan-kekurangan yang terjadi selama proses pembelajaran. Setelah
melihat data temuan, maupun hasil diskusi dengan guru, maka hal-hal yang menjadi kekurangan
selama siklus I sebagai berikut: (a) guru belum memaksimalkan kelas, sehingga diskusi masih
didominasi oleh siswa yang aktif; (b) siswa belum memaksimalkan penggunaan media Cuisenaire
Rods; dan (c) masih banyak siswa yang belum terlibat dalam tanya jawab.
Pelaksanaan Siklus II
Perencanaan
Sebelum melakukan tindakan pada siklus II, maka disusun perencanaan yang akan dilakukan
selama proses pelaksanaan tindakan pada siklus II. Hal-hal yang dipertimbangkan untuk dilakukan
perbaikan adalah: (a) agar kelas dimaksimalkan, maka guru membagi peran siswa, di mana siswa
pasif lebih banyak dilibatkan, sedangkan siswa yang aktif dilibatkan menjadi pendamping siswa aktif;
(b) sebelum melanjutkan kepada pemaparan materi dan pembagian tugas, terlebih dahulu dilakukan
tanya jawab untuk menguji pemahaman siswa. Siswa yang aktif diminta untuk membantu siswa pasif
dalam menemukan jawaban pertanyaan; dan (c) agar siswa dapat terlibat dalam tanya jawab, siswa
yang pasif dikoordinir untuk mengemukakan ide, sementara siswa yang aktif diminta untuk
menanggapi.
Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Pelaksanaan siklus II dilakukan pada tanggal 12 dan 16 Maret 2016. Keadaan siswa pada
siklus II ini jauh lebih baik. Proses belajar mengajar berjalan lancar karena antara guru dan siswa
terjalin interaksi yang baik selama proses pembelajaran. Siswa dapat mengikuti seluruh instruksi dari
guru sehingga pembelajaran lebih mudah dan menyenangkan karena semua siswa dapat terlibat
langsung. Siswa terlihat bersungguh-sungguh dalam memperhatikan penjelasan dari guru. Sebagian

148
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 143 – 152

besar siswa mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuan awalnya mengenai materi yang dipelajari.
Selain itu, siswa mampu menemukan sendiri pengetahuannya dengan materi yang akan disampaikan
dan mereka sangat aktif untuk bertanya apabila ada materi yang belum paham.
Ketika siswa dibagi dalam kelompok, kerja sama siswa pada tiap-tiap kelompok jauh lebih
maksimal mereka saling bertukar pikiran dan terlihat menyenangkan karena mereka belajar sambil
mempraktikkan penggunaan media Cuisenaire Rods dengan memberikan warna pada lembar jawab
yang disediakan dan aturan pemberian warna yang sudah ditentukan. Siswa yang kurang aktif diminta
untuk mempresentasikan, sementara anggota kelompok yang aktif ditugaskan untuk menanggapi
jawaban, apabila ada tanggapan dari kelompok lain, dan siswa yang kurang menyimak diminta untuk
mencatat hasil diskusi setelah itu guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan materi yang telah
dipelajari. Pada akhir pembelajaran, guru memberikan tes evaluasi, guna mengetahui peningkatan
hasil belajar matematika pada siklus II ini.

Hasil Tindakan
Hasil belajar matematika siklus II dengan nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah
55. Berdasarkan nilai yang diperoleh siswa pada tes siklus II, banyak siswa yang memiliki nilai di
atas KKM sebanyak 24 siswa atau 92,31% siswa dalam kelas sedangkan siswa yang nilainya di
bawah KKM ada 2 siswa (7,69%). Hasil belajar matematika pada siklus II lebih detail dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2
Hasil Belajar Matematika Siklus II
No Nilai Frekuensi Persentase Keterangan
1. ≥ 64 24 92,31% Tuntas
2. < 64 2 7,69% Tidak Tuntas
JUMLAH 26 100%
Nilai Rata-Rata 85
Nilai Tertinggi 100
Nilai Terendah 55

Refleksi
Setelah dilaksanakan tindakan pada siklus II, diadakan refleksi. Berdasarkan hasil yang
diperoleh, maka dikatakan bahwa setelah melaksanakan perbaikan-perbaikan selama tindakan pada
siklus II, pembelajaran yang diterapkan berhasil. Keberhasilan ini didukung oleh peningkatan kinerja
guru dalam memperhatikan karakteristik tia-tiap siswa. Oleh karena itu, dengan memperhatikan
karakteristik dan mempertimbangkan peran-peran yang harus dilakukan dalam melaksanakan model
Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media Cuisenaire Rods, memberikan hasil sesuai
yang diharapkan.
Hasil Analisis Data
Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2 dapat dilihat rata-rata hasil belajar matematika siswa terjadi
peningkatan hasil belajar siswa pada setiap siklus. Rata-rata kelas pada tes pra siklus aadalah 61,77,
pada tes siklus I adalah 77,31 dan pada tes siklus II adalah 85. Perbandingan ketuntasan pra siklus,
siklus I, dan siklus II disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3
Perbandingan Hasil Belajar Matematika Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II

Pra Siklus Siklus I Siklus II


No Keterangan
f % F % f %
1. Tuntas 11 42,31% 20 76,92% 24 92,31%
2. Tidak Tuntas 15 57,69% 6 23,08% 2 7,69%
Nilai Rata-Rata 61,77 77,31 85
Nilai Tertinggi 92 100 100
Nilai Terendah 30 55 55

149
Upaya Meningkatkan Hasil Belajarb matematika Siswa melalui Model Contextual Teaching
and Learning dengan Media Cuisenaire Rods (Intan Kurnia Sari, Tri Nova Hasti Yunianta)

Perbandingan hasil belajar matematika pra siklus, siklus I, dan siklus II juga disajikan dalam
Diagram 1 untuk melihat perbedaan persentase siswa yang tuntas dan tidak tuntas.

Diagram 1
Perbandingan Hasil Belajar Matematika Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II

Dari hasil analisis komparatif yang telah dilakukan, maka diperoleh data bahwa mulai pra
siklus, siklus I, dan siklus II terdapat ketuntasan klasikal yang ditetapkan dari sekolah sebesar 75%,
siswa mengalami kenaikan yaitu 42,31% pada pra siklus, naik menjadi 76,92% pada siklus I, dan naik
lagi menjadi 92,31% pada siklus II serta jumlah persentase siswa yang tidak tuntas mengalami
penurunan. Kenaikan secara klasikal dari pra siklus, ke siklus II, serta ke siklus II disebabkan karena
guru mengajak siswa untuk aktif dalam menggunakan media sehingga siswa dapat mengkonstruksi
dan menemukan secara mandiri suatu penemuan dari sebuah masalah.
Pembelajaran melalui model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media
Cuisenaire Rods dapat meningkatkan hasil belajar matematika hal ini dipicu karena siswa terlihat
antusias ketika guru memberikan contoh penggunaan media Cuisenaire Rods dan membangun
kreativitas mereka dengan praktik secara langsung melalui pemberian warna yang telah ditentukan.
Secara tidak sadar siswa telah melakukan beberapa perekaman informasi secara berkala yaitu mulai
dari menemukan sendiri, diskusi, dan mencatat.
Hasil observasi pada pra siklus menunjukkan bahwa proses belajar mengajar belum
sepenuhnya optimal, penyampaian materi masih menggunakan metode konvensional dan belum
memaksimalkan penggunaan media pembelajaran sehingga siswa kurang antusias dalam mengikuti
pembelajaran, serta hasil belajar matematika rendah terbukti dengan masih banyak siswa yang belum
mencapai nilai KKM. Bentuk solusi dari permasalahan ini adalah melalui penerapan model
Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media Cuisenaire. Kemampuan siswa dalam
menjumlahkan dan mengurangkan dua pecahan biasa berpenyebut sama dan dua pecahan biasa
berpenyebut tidak sama pada siklus I masih belum optimal sedangkan aktivitas guru dalam
melaksanakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) sudah cukup baik. Pada awal siklus I,
siswa belum terbiasa menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) karena model
pembelajaran ini belum digunakan oleh guru, terlihat dari belum sepenuhnya siswa menyimak
penjelasan materi yang disampaikan oleh guru dan belum mampu mengkonstruksi sendiri
pengetahuan awalnya mengenai materi yang dipelajari. Pada saat guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti, hanya sedikit siswa yang
berani bertanya. Selain itu, selama proses diskusi berlangsung, diskusi hanya didominasi oleh
beberapa siswa, sementara sebagian siswa yang lain tidak terlibat sama sekali dan hanya pasif
mendengarkan rekan-rekannya berdiskusi.
Setelah itu, siswa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya masing-
masing. Selama proses presentasi dan tanya jawab, kelas belum menjadi maksimal, karena sebagian
siswa masih tetap menjadi penonton selama proses belajar. Pada akhir pertemuan, guru dan siswa
bersama-sama menyimpulkan kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan, namun siswa yang

150
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 143 – 152

menjawab masih sama hanya beberapa saja. Selanjutnya, guru memberikan evaluasi berupa tes untuk
mengetahui seberapa jauh kemampuan siswa memahami materi yang telah diberikan. Hasil belajar
yang diperoleh siswa mengalami peningkatan dari pra siklus, terbukti lebih banyak siswa yang
mendapat nilai di atas KKM. Oleh sebab itu, peneliti dan siswa harus bekerjasama lebih baik lagi
dalam pembelajaran di siklus II agar penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL)
dengan media Cuisenaire Rods dapat terlaksana dengan efektif. Adapun kegiatan presentasi siswa
dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Siswa Melakukan Presentasi di Depan Kelas

Keadaan siswa pada siklus II ini jauh lebih baik. Proses belajar mengajar berjalan lancar
karena antara guru dan siswa terjalin interaksi yang baik selama proses pembelajaran. Siswa dapat
mengikuti seluruh instruksi dari guru sehingga pembelajaran lebih mudah dan menyenangkan karena
semua siswa dapat terlibat. Siswa terlihat bersungguh-sungguh dalam memperhatikan penjelasan dari
guru, sebagian besar siswa mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuan awalnya mengenai materi
yang dipelajari. Selain itu, siswa mampu menemukan sendiri pengetahuannya dengan materi yang
akan disampaikan dan mereka sangat aktif untuk bertanya apabila ada materi yang belum mereka
pahami.
Pada saat dibagi dalam kelompok, kerja sama siswa pada tiap-tiap kelompok jauh lebih
maksimal mereka saling bertukar pikiran dan terlihat menyenangkan karena mereka belajar sambil
mempraktikkan penggunaan media Cuisenaire Rods dengan memberikan warna pada lembar jawab
yang disediakan dan aturan pemberian warna yang sudah ditentukan. Siswa yang kurang aktif diminta
untuk mempresentasikan, sementara anggota kelompok yang aktif ditugaskan untuk menanggapi
jawaban, apabila ada tanggapan dari kelompok lain, dan siswa yang kurang menyimak diminta
untuk mencatat hasil diskusi setelah itu guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan materi yang
telah dipelajari. Pada akhir pembelajaran, guru memberikan tes evaluasi, guna mengetahui
peningkatan hasil belajar matematika pada siklus II. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
secara umum siswa dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik karena terlihat sangat antusias
dan bisa mengikuti seluruh instruksi dari guru, mereka senang karena mereka terlibat langsung dalam
menggunakan media pembelajaran, aktif dalam bertanya, memberikan tanggapan, dan bersedia maju
ke depan untuk mengerjakan soal. Selain itu, siswa sangat percaya diri saling bertukar ide/gagasan
untuk menyelesaikan soal dan mempresentasikan hasil diskusi masing-masing kelompok.
Peneliti menyadari benar kekurangan-kekurangan pada setiap pembelajaran sehingga peneliti lebih
optimal dalam mengarahkan dan membimbing siswa pada pada pembelajaran selanjutnya sehingga
hasil belajar siswa juga jauh lebih baik seperti yang diharapkan.

SIMPULAN DAN SARAN


Penggunaan model Contextual Teaching and Learning dengan media Cuisenaire Rods dapat
meningkatkan hasil belajar matematika pada pokok bahasan menjumlahkan dan mengurangkan
pecahan biasa berpenyebut sama dan berpenyebut tidak sama pada siswa kelas IV SD N Dukuh 03
Salatiga semester II tahun pelajaran 2015/2016. Ketuntasan belajar matematika meningkat dari pra

151
Upaya Meningkatkan Hasil Belajarb matematika Siswa melalui Model Contextual Teaching
and Learning dengan Media Cuisenaire Rods (Intan Kurnia Sari, Tri Nova Hasti Yunianta)

siklus sebanyak 11 siswa (42,31%), siklus I sebanyak 20 siswa (76,92%), dan siklus II sebanyak 24
siswa (92,31%). Rata-rata kelas dari pra siklus, siklus I, hingga siklus II meningkat dari 61,77 menjadi
77,31, dan 85. Nilai terendah pra siklus 30, siklus I 55, dan siklus II juga 55. Nilai tertinggi pra siklus
92, siklus I 100, dan siklus II 100 juga.
Penggunaan model Contextual Teaching and Learning dengan media Cuisenaire Rods
terbukti dapat meningkatkan hasil belajar Matematika siswa. Oleh karena itu, disarankan agar para
guru Sekolah Dasar menggunakan model pembelajaran ini pada mata pelajaran Matematika dan mata
pelajaran lain.

DAFTAR PUSTAKA

Hasibuan, M. I. 2014. Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning). Jurnal Logaritma
Volume II. IAIN Padangsidimpuan

Irawan, Galih, C. 2014. Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui Pendekatan Kontekstual (CTL) pada
Siswa Kelas 4 SD Jatiharjo Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran
2013/2014. Skripsi. Salatiga: UKSW

Muhsetyo dkk. 2011. Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Pandanwangi, Y. 2014. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika dengan Metode Pemberian Reward
melalui model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Siswa Kelas III
Semester II Tahun Ajaran 2012/2013 di Sekolah Dasar Negeri Tlogodalem Kecamatan Kertek
Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Salatiga: UKSW

Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

Slameto. 2015. Metodologi Pendidikan dan Inovasi Pendidikan. Salatiga: Satya Wacana University Press.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung:
Alfabeta.
Sundayana, R. 2014. Media dan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: Alfabeta.

Susanto, A. 2015. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana.

Uno, Hanzah & Mohamad, Nurdin. 2012. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta: Bumi
Aksara.

Wahyudi & Budiono, Inawati. 2012. Pemecahan Masalah Matematika. Salatiga: Widya Sari Press.

152
PERSEPSI GURU SEKOLAH DASAR TERHADAP SISTEM PENILAIAN PADA
KURIKULUM 2013

Ika Maryani, Sri Tutur Martaningsih


ika_mail87@ymail.com, smart.ningsih@gmail.com
PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan

ABSTRACT

PRIMARY SCHOOL TEACHERS’ PERCEPTION ABOUT CURRICULUM 2013 ASSESSMENT


SYSTEM

The research is intended to find out: 1)the level of primary school teacher understanding of
Curriculum 2013, 2). The level of teacher understanding on the authentic assessment, 3)The
difficulties faced by the teacher when doing authentic assessment, and 4)The effort of the teacher to
solve those difficulties. In collecting the data, the researcher used questionnaires and interviews to the
primary school teachers in Yogyakarta, then analyzed the data using statistic descriptive analysis
technique. The results of this research showed that: a) most of the teachers didn’t understand the
Curriculum 2013, yet they were not given any training before; b) teachers’ understanding in authentic
assessment system were low; c) the teacher were lack of the ability to define the competence,
indicators, learning objectives, and also arranging of assessment instrument and final report, d) the
teacher effort to solve those difficulties were by joining the training peer discussion, and mentoring by
Education Department as well as to the higher education institution.

Keywords:Curriculum 2013, evaluation system, perception

Article Info

Received date: 3 Februari 2017 Revised date: 31Maret 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru tidak hanya bertanggungjawab untuk mendidik dan
menfasilitasi proses pembelajaran, tetapi juga wajib menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses
maupun hasil pembelajaran. Zainal Arifin (2010) menyebutkan bahwa evaluasi dan penilaian hasil
belajar merupakan salah satu kompetensi dasar yang mutlak harus dimiliki oleh guru maupun calon
guru. Hal ini mengingat pentingnya fungsi evaluasi dan penilaian hasil belajar sebagai feed back dari
proses pembelajaran yang telah dilakukan dan perannya dalam meningkatkan kualitas proses
pembelajaran tersebut.Untuk dapat menyusun program pembelajaran yang lebih baik, guru
menggunakan hasil evaluasi program sebelumnya sebagai acuan.Upaya peningkatan kualitas program
pembelajaran memerlukan informasi hasil evaluasi terhadap kualitas program pembelajaran
sebelumnya (Widoyoko,2013).
Penilaian hasil belajar dilaksanakan oleh guru pada akhir proses pembelajaran. Jenisnya
disesuaikan dengan aspek yang akan diukur serta didasarkan pada sistem yang ditetapkan dalam
kurikulum yang berlaku. Perubahan kurikulum menyebabkan sistem penilaian hasil belajar juga
berubah, seperti halnya pada kurikulum 2013. Kurikulum 2013 diklaim sebagai kurikulum yang dapat
menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang teritegrasi (Kemendikbud, 2013). Kurikulum 2013 merupakan
penyempurnaan pola pikir dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP)(Mukhibat, 2014).Penyempurnaan kurikulum sebagai langkah untuk
153
Persepsi Guru Sekolah Dasar terhadap Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 (Ika Maryani, Sri Tutur
Martaningsih)

mencapai tujuan pendidikan nasional.Munculnya Kurikulum 2013 ini membutuhkan penyesuaian


guru dalam pelaksanaannya, termasuk pada pelaksanaan penilaian dan evaluasi hasil belajar.
Pada Kurikulum 2013, penilaian lebih menekankan pada empat hal, yaitu: mengukur tingkat
berpikir siswa mulai dari rendah sampai tinggi, menekankan pada pertanyaan yang membutuhkan
pemikiran mendalam (bukan sekedar hafalan), mengukur proses kerja siswa, bukan hanya hasil kerja,
serta menggunakan portofolio pembelajaran siswa. Penilaian hasil belajar harus dilakukan secara
sistematis yang meliputi pengumpulan informasi, analisis, dan interpretasi informasi untuk membuat
keputusan (Sujarwanta, 2012, Taufina, 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Elektronik Pemantauan Implementasi
Kurikulum 2013 (SEPIK), terdapat 2.865 Sekolah Dasar (SD) di Indonesia yang menjadi sekolah
sasaran implementasi Kurikulum 2013. Sedangkan di Yogyakarta terdapat 64 SD yang akan
mengawali pelaksanaan kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2013/ 2014 lalu (SEPIK, 2013).
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti pada akhir Desember 2013 lalu, banyak
guru di sekolah sasaran K-13 tersebut mengeluhkan sulitnya melaksanakan evaluasi dan penilaian
dengan sistem dan aturan yang ditetapkan dalam Kurikulum 2013.
Dalam suatu sistem pembelajaran, evaluasi merupakan suatu komponen penting dan tahap
yang harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran (Zainal Arifin, 2010).
William, Foundation, & Twersky (2012) mengemukakan tujuh prinsip evaluasi, salah satuya adalah
bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pembelajaran. Ketika kita terlibat dalam perencanaan
evaluasi, pelaksanaan evaluasi, serta menggunakan hasil evaluasi, di saat yang sama kita juga belajar
dan beradaptasi. Ketika kita mengimplementasikan strategi pembelajaran, kita juga menggunakan
evaluasi sebagai kunci untuk belajar dan membawa wawasan baru.
Evaluasi perlu dilaksanakan secara cermat, di dalamnya mencakup konsep penilaian dan
pengukuran.Penilaian bertujuan untuk membantu siswa dalam mengidentifikasi kekuatandan
kelemahannya, menilai keefektifan program kurikulum, menilai dan meningkatkan keefektifan
pembelajaran, menyediakan data yang membantu dalam membuat keputusan,komunikasi dan
melibatkan orang tua siswa (Kellough dalam Swearingen, 2006).
Berbagai peraturan menjelaskan tentang perubahan standar nasional pendidikan dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2013 sebagai penyempurnaan PP nomor 19 tahun
2005, lebih lanjut dijabarkan dalam Permendikbud nomor 54 tahun 2013 tentang SKL, permendikbud
nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses, Permendikbud nomor 66 tahun 2013 tentang standar
penilaian, dan Permendikbud nomor 67, 68, 69, dan 70 tahun 2013, masing-masing tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum di SD, SMP, SMA, dan SMK. Perubahan terhadap keempat standar
tersebut (SKL, proses, isi, dan penilaian) membawa konsekuensi perlu penyesuaian kurikulum yang
berlaku dalam penyelenggaraan pendidikan.Dengan terbitnya permendikbud Nomor 81 A beserta
lampirannya menjadi acuan bagi penyelenggaraan pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum
2013.
Penilaian di sekolah dasar berdasarkan kurikulum 2013 memiliki beberapa perbedaan dengan
sistem penilaian yang sebelumnya diterapkan. Dalam panduan teknis penilaian di sekolah dasar,
penilaian dalam kurikulum 2013 memiliki karakteristik yaitu belajar tuntas, autentik,
berkesinambungan, menggunakan teknik penilaian yang bervariasi, dan berdasarkan acuan kriteria.
Penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013 adalah penilaian autentik.Penilaian autentik
diharapkan mampu merangsang siswa untuk mengembangkan keterampilan dan kompetensi yang
relevan dalam menghadapi tantangan masa depan (Gulikers, Bastiaens, Kirschner, 2006). Di dalam
kelas, penilaian autentik memungkinkan pendidik untuk melihat kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah, mengeluarkan pendapat, dan mengambil tindakan reflektif. Penilaian
autentik tidak hanya dinilai hanya dari satu kinerja, melainkan serangkaian kegiatan penugasan
kepada siswa (Lund, J., 1997, Mintah, 2003)
Pada Kurikulum 2013, terdapat beberapa teknik pengukuran untuk aspek sikap, pengetahuan,
dan keterampilan. Untuk mengukur muatan KI-1 (sikap spiritual) dan muatan KI-2 (sikap sosial),
dapat menggunakan observasi, self assessment, penilaian sejawat, jurnal/ catatan guru.Untuk
mengukur aspek pengetahuan dapat menggunakan tes yang soal dan jawabannya berupa pilihan
ganda, isian, benar-salah, menjodohkan, uraian.Untuk mengukur aspek keterampilan dapat
154
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 153 – 164

menggunakan kinerja, proyek, dan portofolio (Kemendikbud, 2013). Penilaian kinerja membutuhkan
keaktifan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan signifikan dan kemampuannya dalam
memecahkan masalah autentik dan realistik (Dimartino, Castaneda, Brownstein, & Miles, 2007).

Ada beberapa perubahan implementasi penilaian dalam kurikulum 2013 diantaranya:


a. Penilaian terhadap pencapaian masing-masing Kompetensi Inti (KI) 1 dan 2 yang meliputi
kompetensi sikap religius dan sikap sosial; penilaian kompetensi Inti 3 (Pengetahuan/kognitif)
dan KI 4 (kompetensi keterampilan) dengan variabilitas jenis penilaian yang harus dilakukan
guru.
b. Penggunaan skala penilaian yang berbeda (tidak dengan skala 100 tetapi skala 4, dengan
konversi nilai yang ditunjukkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1
Konversi nilai pada Kurikulum 2013

c. Perubahan dalam pelaporan hasil belajar siswa menggunakan bentuk deskriptif kualitatif.
Pelaporan kemampuan siswa oleh guru diharapkan dalam bentuk deskriptif kualitatif yang
menggambarkan kemampuan individual masing-masing peserta didik. Deskripsi penilaian belajar
ini menuntut kemampuan guru untuk mengamati masing-masing siswa secara cermat untuk
mampu melaporkan kepada orangtua siswa terkait dengan kelebihan dan kelemahan siswa.
Dengan demikian, diharapkan ada informasi dukungan yang dibutuhkan individu untuk
memotivasi siswa untuk perbaikan berkelanjutan dengan mengoptimalkan peran pihak-pihak
terkait.
Guru dituntut memahami berbagai perubahan dalam penilaian tersebut lebih lanjut
diharapkan mampu mengimplementasikannya dalam praktek pembelajaran yang dilaksanakannya.
Persepsi guru terhadap penilaian yang harus diterapkannya tentu akan sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaannya. Persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian
stimulus ,dan penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi
perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang akan cenderung menafsirkan perilaku orang lain
sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986). Persepsi juga dirtikan sebagai proses dimana
seseorang memilih, menerima, mengorganisasi, dan menginterpretasikan informasi dari lingkungan
(Schermerhorn, Hunt, & Osborn, 2005).
Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia nyata. Situasi yang sama
dapat dipersepsikan secara berbeda oleh orang yang berlainan. Persepsi merupakan salah satu aspek
psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon berbagai gejala di sekitarnya. Persepsi
melibatkan peran alat indera manusia dan kemampuan otak dalam menerjemahkan berbagai stimulus
yang datang padanya. Persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsirkan
informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia (Suharman, 2005).
Syarat terjadinya persepsi antara lain: 1) adanya objek yang dipersepsi, 2) adanya alat
indera/ reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus, 3) syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan
stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon, dan 4) adanya perhatian
155
Persepsi Guru Sekolah Dasar terhadap Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 (Ika Maryani, Sri Tutur
Martaningsih)

yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi (Sunaryo,
2004).
Proses persepsi menurut (Toha, 2003)terdiri dari beberapa tahap, tahap pertama adalah
munculnya rangsangan atau stimulus dari lingkungan. Tahap kedua adalah registrasi, dalam tahap ini
syaraf seseorang berpengaruh melalui alat indera yang dimilikinya. Seseorang dapat mendengarkan
atau melihat informasi yang terkirim kepadanya, kemudian mendaftar semua informasi yang terkirim
tersebut. Tahap terakhir yaitu interpretasi, ini merupakan suatu kognitif dari persepsi yang sangat
penting yaitu proses memberikan arti kepada stimulus yang diterimanya. Proses tersebut bergantung
pada cara pendalaman, motivasi, dan kepribadian seseorang.
Objek persepsi dalam artikel ini adalah sistem penilaian dalam kurikulum 2013 yang berupa
penilaian autentik. Untuk memahami persepsi guru terhadap sistem penilaian kurikulum 2013
dikembangkan instrumen berupa kuesioner yang didasarkan pada berbagai aspek sistem penilaian
persepsi guru terhadap konsekuensi yang harus dilaksanakan guru dalam mengimplementasikan
kurikulum 2013 khususnya dalam melaksnakan penilaian.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1)
tingkat pemahaman guru SD terhadap implementasi Kurikulum 2013; 2) tingkat pemahaman guru SD
terhadap sistem penilaian hasil belajar pada Kurikulum 2013; 3) kesulitan-kesulitan yang dihadapi
guru ketika melakukan penilaian autentik; dan 4) upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi
kesulitan dalam melaksanakan penilaian autentik.

KAJIAN PUSTAKA
Persepsi
Sugihartono, dkk (2007:8) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam
menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera
manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang
mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan
mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata. Hal ini senada dengan pernyataan
Schermerhorn, Hunt, & Osborn (2005) yang mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana
seseorang memilih, menerima, mengorganisasi, dan menginterpretasikan informasi dari lingkungan.
Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda tentang dunia nyata. Situasi yang sama dapat
dipersepsikan secara berbeda oleh orang yang berlainan. Persepsi merupakan salah satu aspek
psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon berbagai gejala di sekitarnya. Persepsi
melibatkan peran alat indera manusia dan kemampuan otak dalam menerjemahkan berbagai stimulus
yang datang padanya.
Suharman (2005: 23) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan
atau menafsirkan informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia. Dalam hal ini,
Suharman menyebutkan bahwa ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dalam kognisi
manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. Berdasarkan penjelasan di atas,
dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses penerimaan stimulus melalui indera
manusia, yang kemudian diorganisasi, lalu diinterpretasikan secara sadar dalam bentuk tanggapan.
Kaitannya tentang implementasi Kurikulum 2013, beberapa penelitian tentang persepsi telah
dilakukan. Diantaranya adalah hasil penelitian dari Natalina dan Vivi (2013) tentang persepsi guru
tentang standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian pada Kurikulum
2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru untuk keempat standar tersebut berapa pada
kategori baik. Senada dengan penelitian di atas, hasil penelitian Hardini (2015) tentang persepsi guru
pada pembelajaran tematik juga menunjukkan hasil positif. Persepsi positif ini akan berdampak
positif pula pada kesuksesan implementasi Kurikulum 2013.
Penelitian- penelitian sebelumnya menggambarkan persepsi positif terhadap beberapa komponen
penting dalam pelaksanaan Kurikulum 2013. Akan tetapi, hal yang kontradiktif diperoleh dari study
pendahuluan tentang sistem penilaian pada Kurikulum 2013 yaitu Penilaian Autentik. Hal tesebut
yang kemudian menjadi urgensi pentingnya penelitian tentang persepsi guru SD tentang sistem
penilaian autentik untuk segera dilakukan.

156
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 153 – 164

Konsep Penilaian dan Evaluasi Pembelajaran


Dalam suatu sistem pembelajaran, evaluasi merupakan suatu komponen penting dan tahap yang
harus ditempuh oleh guru untuk mengetahui keefektifan pembelajaran (Zainal Arifin, 2010: 6). Hasil
yang diperoleh dari evaluasi hasil belajar dapat dijadikan feed back bagi guru untuk memperbaiki dan
menyempurnakan program dan kegiatan pembelajaran. Lincoln dan Guba (1985: 35) mendevinisikan
evaluasi sebagai “ a process for describing an evaluand and judging its merit and worth”. Evaluasi
merupakan suatu proses yang menggambarkan objek (seseorang) yang dievaluasi dan menimbang
makna dan nilainya. Sedangkan Sax (1980: 18) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses
dimana pertimbangan atau keputusan suatu nilai dibuat dari berbagai pengamatan, latar belakang,
serta pelatihan dari evaluator). Dari beberapa pengertian tentang evaluasi diatas, dapat kira rumuskan
pengertian bahwa evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk
menentukan kualitas seseorang/ sesuatu berdasarkan criteria tertentu untuk membuat suatu keputusan.
Brookhart, S. M., & Nitko (2008) menjelaskan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk
memperoleh informasi yang digunakan untuk membuat keputusan tentang peserta didik, kurikulum,
program, dan kebijakan pendidikan. Kellough dan Swearingen (2006) menambahkan tujuan
penilaiaan yaitu untuk membantu siswa dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahannya, menilai
keefektifan program kurikulum, menilai dan meningkatkan kefeektifan pembelajaran, menyediakan
data yang membantu dalam membuat keputusan, komunikasi dan melibatkan orang tua siswa.
Sedangkan Chittenden (1991) mengemukakan bahwa tujuan penilaian terdiri dari empat
komponen yaitu keeping track, checking-u, finding- out, and summing up. Keeping track yaitu
melacak kesesuaian proses belajar siswa dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Checking-up, yaitu mengecek ketercapaian kemampuan siswa dalam proses pembelajaran
dan mengidentifikasi kekurangan siswa selama mengikuti proses pembelajaran. Finding out, yaitu
mencari, menemukan, dan mendeteksi kelemahan siswa dalam proses pembelajaran sehingga guru
dapat dengan cepat mencari alternatif solusinya. Summing-up, yaitu menyimpulkan tingkat
penguasaan siswa terhadap kompetensi yang telah ditetapkan. Hasil dari kegiatan ini dapat dijadikan
dasar untuk menyusun laporan kemajuan belajar ke berbagai pihak yang berkepentingan.
Dari penjelasan di atas, penilaian bertujuan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi,
mengetahui kemajuan dan ketercapaian kompetensi oleh siswa, mendiagnosa kelebihan dan
kekurangan siswa, serta untuk menempatkan siswa sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Sistem Evaluasi dan Penilaian Pembelajaran SD pada Kurikulum 2013


Penilaian di sekolah dasar berdasarkan kurikulum 2013 memiliki beberapa perbedaan dengan
sistem penilaian yang sebelumnya diterapkan. Dalam panduan teknis penilaian di sekolah dasar,
penilaian dalam kurikulum 2013 memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Belajar tuntas
Dalam belajar tuntas, peserta didik memiliki kesempatan untuk mendapat bantuan yang tepat dan
diberi waktu sesuai dengan yang dubutuhkan agar mencapai kompetensi yang ditentukan. Peserta
didik yang belajar lambat harus diberi waktu tambahan untuk materi yang sama.
2. Otentik
Dalam penilaian otentik, jenis penilaian yang digunakan harus mencerminkan dunia nyata.
Contoh dari penilaian otentik adalah pemecahan masalah, percobaan, bercerita, menulis laporan,
berpidato, membaca puisi, membuat peta perjalanan.
3. Berkesinambungan
Penilaian pada kurikulum 2013 harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan selama
pembelajaran berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar guru memperoleh gambaran yang utuh
mengenai perkembangan proses belajar peserta didik dan dapat melakukan perbaikan apabila
diperlukan.
4. Menggunakan teknik penilaian yang bervariasi
Teknik penilaian yang dapat dipilih antara lain tes tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja,
projek, pengamatan, dan self assessment.
5. Berdasarkan acuan criteria

157
Persepsi Guru Sekolah Dasar terhadap Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 (Ika Maryani, Sri Tutur
Martaningsih)

Kemampuan peserta didik dibandingkan terhadap criteria yang ditetapkan, bukan dibandingkan
dengan kelompok. Dasar yang digunakan adalah pada apa yang bisa dilakukan peserta didik
setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap
kelompok.

Jenis penilaian pada kurikulum 2013 antara lain penilaian otentik, penilaian diri, penilaian
berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester.
Sedangkan untuk mengukur aspek sikap, pengetahuan, keterampilan dapat menggunakan teknik-
teknik dalam uraian berikut.
a. Untuk mengukur muatan KI-1 (sikap spiritual) dan muatan KI-2 (sikap sosial), dapat
menggunakan observasi, self assessment, penilaian sejawat, jurnal/ catatan guru.
b. Untuk mengukur aspek pengetahuan dapat menggunakan tes yang soal dan jawabannya berupa
pilihan ganda, isian, benar-salah, menjodohkan, uraian.
c. Untuk mengukur aspek keterampilan dapat menggunakan kinerja, projek, dan portofolio
(Kemendikbud, 2013).

Dalam implementasinya, Penilaian dalam Kurikulum 2013 menggunakan skala skor penilaian
4,00 – 1,00 dalam menyekor pekerjaan peserta didik untuk setiap kegiatan penilaian (ulangan harian,
ujian tengah semester, ujian akhir semester, tugas-tugas, ujian sekolah). Nilai ketuntasan belajar untuk
sikap ditetapkan dengan predikat Baik (B), sedangkan nilai ketuntasan belajar untuk pengetahuan dan
keterampilan dituangkan dalam bentuk angka dan huruf. Ketuntasan belajar pengetahuan ditetapkan
dengan skor rerata 2,67 (predikat B-), dan untuk keterampilan ditetapkan dengan capaian optimum
2,67 (predikat B-) (Mansur, 2013).
Beberapa hambatan dalam implementasi sistem penilaian pada Kurikulum 2013 utamanya terjadi
pada guru. Penyebabnya adalah kurangnya pemahaman guru terhadap penyusunan instrumen
penilaian. Hal ini senada dengan hasil penelitian Endra, Merta, Suarjana, Putu, dan Mahadewi, (2015)
yang menjelaskan bahwa permasalahan dalam implementasi sistem penilaian Kurikulum 2013
terletak pada banyaknya jumlah peserta didik, banyaknya penilaian yang harus dilakukan, dan
ketersediaan waktu dalam melakukan penilaian.

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif kuantitatif. Penelitian
ini dirancang sebagai sebuah penelitian survey yng dilaksanakan pada bulan Maret hingga September
2015. Metode ini digunakan mengingat masalah yang diteliti menyangkut peristiwa yang sedang
terjadi atau berlangsung. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru kelas 1, 2, 4, dan 5 di
Sekolah Dasar Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk menentukan ukuran sampel,
peneliti menggunakan aturan yang dikemukakan oleh Gay dan Diehl (1992) dalam Raditya, Tarno, &
Wuryandari (2013), yang menyatakan bahwa untuk penentuan deskriptif, sampelnya paling sedikit 10
% dari populasi, penelitian korelasional minimal 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal
minimal 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen minimal 15 elemen per
kelompok.Berdasarkan ketentuan di atas, peneliti mengambil sampel yang berasal dari guru kelas 1, 2,
4, dan 5 pada sekolah dasar Muhammadiyah di Sleman yang berjumlah 101 guru. Hal ini disesuaikan
dengan metode penelitian yang berupa penelitian deskriptif.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data utama yang digunakan adalah teknik angket
tertutup, sedangkan teknik pendukungnya terdiri atas wawancara. Variabel persepsi guru
menggunakan skala Likert dengan lima pilihan jawaban. Sedangkan pedoman wawancara dibuat
berdasarkan kebutuhan peneliti dan data yang akan diungkap. Pengujian validitas untuk pedoman
wawancara dilakukan secara kualitatif melalui expert judgement.Untuk mencapai reliabilitas yang
tinggi, instrument harus disusun dengan penyajian kalimat yang jelas dan disampaikan dengan strategi
yang tepat.Sedangkan untuk mengukur validitas angket menggunakan korelasi product moment dan
reliabilitas menggunakan rumus alpha.

158
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 153 – 164

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif dan
kualitatif. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan statistic deskriptif yaitu
menggunakan mean (M) dan simpangan baku (SD). Analisis data kualitatif dilakukan dengan cara
menguraikan, menafsirkan, dan menggambarkan data yang terkumpul secara sistematik. Untuk
menyajikan data tersebut agar lebih bermakna dan mudah dipahami, maka langkah analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Interactive Model Analysis dari Miles & Huberman
(2007)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Untuk memperoleh gambaran persepsi guru terhadap sistem penilaian pada Kurikulum
2013,berdasarkan aturan Sturges, maka dapat ditentukan banyaknya kelas dengan rumus 1+3,3.log n,
rentang skor = Skor max – skor min, interval kelas = rentang kelas/banyaknya kelas, maka didapatkan
banyaknya kelas = 8, dengan panjang interval kelas= 5 Berdasarkan data yang diperoleh dari
responden pada penelitian ini. Skor minimal adalah 47 dan skor maksimal adalah 87, rerata =67,18,
dan standar devisi sebesar 7,66. Histogram persepsi guru terhadap sistem penilaian pada Kurikulum
2013 dapat dilihat pada gambar1.

Gambar 1.Sebaran persepsi guru terhadap sistem penilaian pada Kurikulum 2013

Untuk memberikan gambaran tentang persepsi guru terhadap sistem penilaian pada
Kurikulum 2013, peneliti terlebih dahulu menentukan kriteria empat kategori yaitu: (1) Sangat tinggi(
X ≥ Xi + 1.5*SBis/d maksimal), (2) Tinggi Xi +0.5*SBi s/d Xi + 1.5*SBi (3) Xi -0.5*SBi s/d Xi +0.5*SB
(3) rendah (≥ Xi - 1.5*SBi s/d Xi-0.5*SBi), dan (4) Sangat Rendah (minimum s/d < Xi - 1.5*SBi).
Gambaran tentang persepsi guru terhadap sistem penilaian pada Kurikulum 2013 dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2
Persentase Persepsi Guru Berdasarkan Kategorinya

159
Persepsi Guru Sekolah Dasar terhadap Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 (Ika Maryani, Sri Tutur
Martaningsih)

Untuk mengetahui kecenderungan persepsi guru terhadap sistem penilaian pada Kurikulum
2013, peneliti terlebih dahulu menentukan Mean Ideal (Mi) dan Simpangan Baku Ideal (SBi).Hasil
data yang diperoleh melalui angket yang berisi 30 item pertanyaan tertutup skor maksimal untuk
setiap item soal adalah 4 dan skor terendahnya adalah 1.Dari sini dapat ditentukan skor tertinggi ideal
adalah 120 sedangkan skor terendah ideal adalah 30. Oleh karena itu dapat ditentukan mean ideal
(Mi)= ( (120+30) = 75,00, sedangkan simpangan bakunya = (120-3-) = 15,00. Berdasarkan
rerata skor yang diperoleh dari sebanyak 101 sampel guru SD di Kabupaten Sleman, dapat dikatakan
bahwa pemahaman guru terhadap sistem penilaian dan evaluasi hasil belajar pada Kurikulum 2013
berada pada kategori rendah. Kecenderungan dilihat dari posisi mean objektif 67,8 berada pada
kategori rendah.

Tabel 3.
Kategori Pemahaman Guru SD di Kabupaten Sleman terhadap Sistem Penilaian Kurikulum 2013

Tabel 3 di atas menjelaskan gambaran pemahaman guru terhadap sistem penilaian dan
evaluasi pembelajaran Kurikulum 2013, jika digunakan kriteria ideal. Persepsi guru yang berada pada
kategori sangat tinggi sebanyak 0 guru (0 %), kategori tinggi sebanyak 21 guru (20,79 %), kategori
rendah sebanyak 71 guru (70,30%), dan kategori sangat rendah sebanyak 9 guru (8,91%).
Berdasarkan rerata skor yang diperoleh dari sebanyak 101 sampel guru SD di Kabupaten Sleman,
dapat dikatakan bahwa pemahaman guru terhadap sistem penilaian dan evaluasi hasil belajar pada
Kurikulum 2013 berada pada kategori rendah.
Rendahnya pemahaman guru terhadap evaluasi hasil belajar tak terlepas dari kemampuan
guru terhadap konsep evaluasi. Sebagian besar guru yang menjadi responden memberikan pengertian
yang sama bahwa evaluasi dianggap sebagai suatu pemberian nilai. Hasil belajar seolah-olah masih
knowledge oriented tanpa memperhatikan domain lain yang mempengaruhi itu. Pengertian ini tidak
sepenuhnya salah. Witherington (2003) mengatakan: “an evaluation is a declaration that some thing
has or does not have value”. Evaluasi memang didefinisikan sebagai suatu pemberian nilai. Akan
tetapi secara holistic, evaluasi semestinya menunjukkan suatu proses yang sistematik dan
berkelanjutan dan mencakup seluruh bidang baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.Implikasi
dari pengertian ini adalah guru harus terampil dalam merencanakan penilaian, melaksanakan,
mengolah, serta meyusun laporan hasil belajar (Witherington, 2003).
Dalam Kurikulum 2013, penilaian didasarkan pada konsep penilaian autentik. Penilaian
menitikberatkan pada apa yang dapat dilakukan peserta didik untuk menyelesaikan masalah dunia
nyata, bukan hanya dunia sekolah. Penilaian jenis ini menggunakan berbagai cara secara holistic
untuk merefleksikan sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian sikap pada Kurikulum 2013 meliputi penilaian sikap spiritual dan sikap sosial.Sikap
spiritual adalah sikap kepada Tuhan, yang tentu saja berisikan penilaian dalam hal ibadah.Sikap sosial
adalah sika kepada sesamanya, yang tentu saja berisikan sikap dalam berinteraksi sosial.Penilaian
sikap dapat dilakukan dengan teknik observasi, self assessment, penilaian antar teman, maupun jurnal
catatan guru.Berdasarkan analisis hasil angket yang dilakukan peneliti, responden sebagian besar
merasa kurang paham pada pelaksanaan penilaian sikap ini.Keterbatasan pengamatan guru menjadi
factor utama tidak maksimalnya penilaian sikap. Untuk sekolah-sekolah dengan kelas gemuk (siswa
lebih dari 20 anak), maka teknik observasi menjadi sangat sulit dilakukan. Akibatnya, guru tidak
menggunakan teknik ini atau bahkan mungkin hanya melakukan scanning terhadap siswa-siswa yang
160
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 153 – 164

menonjol saja sehingga penilaian menjadi bersifat subjektif. Untuk teknik self assessment, jurnal,
maupun penilaian antar teman, guru masih kesulitan dalam pengembangan instrumen, pelaksanaan
penilaian, maupun cara menganalisis hasil penilaiannya.
Penilaian pengetahuan dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan pembelajaran dalam
ranah kognitif.Dalam penilaian ini, guru sudah terbiasa menggunakan teknik tes tertulis maupun
lisan.Kesulitan yang dihadapi guru dalam penilaian pengetahuan adalah dalam mengembangkan KI,
KD, Indikator sehingga diperoleh indikator soal.Guru masih kesulitan mengembangkan soal tematik
karena sebelumnya terlalu terpaku pada mata pelajaran
Selain penilaian sikap dan pengetahuan, guru juga merasa kesulitan dalam melakukan
penilaian keterampilan. Pasalnya, setiap siswa harus diamati satu per satu sesuai indikator
keterampilan. Akan tetapi keterbatasan kemampuan pengamatan peneliti menjadikan teknik ini
menjadi kurang maksimal. Kemampuan guru dalam mengembangkan instrumen penilaian juga
menjadi kendala. Guru pada umumnya merasa kesulitan mengembangkan indikator keterampilan
yang diamati. Selain itu, kemampuan guru dalam menganalisis dan menginterpretasikan hasil
penilaian ke dalam bentuk laporan deskriptif masih sangat rendah.
Observasi dan wawancara dilaksanakan pada saat pelaksanaan penyelenggaran pelatihan
tentang sistem evaluasi. Subjek wawancara adalah guru-guru peserta pelatihan dan instruktur
pelatihan di SD se-Kabupaten Sleman. Ada beberapa informasi yang diperoleh melalui observasi dan
wawancara yang menggali berbagai hal tentang implementrasi evaluasi pembelajaran kurikulum 2013
dan pemahaman guru terhadap evaluasi
Pemahaman terhadap sistem penilaian autentik yang sebelumnya dipahami sebagai bentuk
penilaian kelas, pada umumnya masih perlu penajaman, termasuk dalam implementasi
penyelenggaraannya sejak perencanaan hingga tindak lanjut. Guru terbiasa mengevaluasi hasil belajar
menggunakan tes tertulis berupa ulangan harian maupun ulangan tengah dan akhir semester. Para
guru masih belum memahami ragam penilaian yang dapat dilakukan untuk mengukur kompetensi
siswa. Berbagai metode penilaian yang ditawarkan dalam kurikulum 2013 menjadi sesuatu hal yang
baru bagi guru. Juli, Eka, Gading, dan Kusmariyatni (2015) mengemukakan bahwa penerapan
penilaian otentik dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA.
Pemahaman tentang ragam jenis evaluasi dalam penilaian autentik yang relevan dengan
kompetensi yang akan dinilai. Karakteristik objek, sasaran, teknik evaluasi yang tepat, dan
pengembangan penyelenggaraan masing-masing jenis evaluasi masih perlu ditingkatkan. Penilaian
kinerja, penilaian proyek, penilaian portofolio, dan penilaian tes tertulis adalah ragam penilaian
autentik yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian kemampuan kognitif maupun
keterampilan. Namun demikian, penilaian kinerja, penilaian proyek, dan penilaian portofolio belum
dipahami oleh guru untuk mengimplementasikannya. Kebanyakan guru memahami penilaian dengan
tes tertulis, namun keragaman jenis, kemampuan merancang instrumen, uji kualitas instrumen,
pelaksanaan, pengolahan hingga analisis masih membutuhkan pelatihan dan pendampingan lebih
lanjut. Demikian pula dalam hal penguasaan sistem penilaian kinerja, penilaian portofolio, penilaian
proyek dan lain-lain guru membutuhkan pembekalan hingga implementasi praktisnya
Keterampilan guru dalam mengembangkan dan menyelenggarakan evaluasi autentik harus
terus diasah dan membutuhkan pendampingan dalam jangka waktu tertentu sehingga diharapkan
proses evaluasi benar-benar dipahami dan guru mampu mengimplementasikannya. Perumusan butir-
butir instrumen evaluasi dan tindak lanjut penggunaannya dalam mengukur kompetensi siswa
membutuhkan kreativtas dari para guru.
Pada tahap perencanaan sistem evaluasi, pengamatan dilakukan terhadap kemampuan guru
mengembangkan indikator terlebih untuk indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi, masih perlu
latihan guna menerapkannya. Perancangan sistem evaluasi secara utuh yang seharusnya tergambar
dalam RPP juga belum nampak jelas. Rancangan olah data hasil evaluasi juga perlu dikembangkan
terlebih saat terjadi perubahan sistem pelaporan penilaian pada implemenatasi kurikulum 2013.
Penilaian Kompetensi Inti 1 dan 2 yakni kemampuan siswa dalam kemampuan spiritual dan
kepribadian sosial dinyatakan oleh para guru masih menemui kendala. Para guru belum memahami
mekanisme penilaian kedua kompetensi Inti tersebut.Pada tahap pelaksanaan penilaian seringkali para
guru kurang mempersiapkannya dengan baik sehingga muncul istilah “ngaji” (ngarang biji), meski

161
Persepsi Guru Sekolah Dasar terhadap Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 (Ika Maryani, Sri Tutur
Martaningsih)

guru lebih paham tentang murid, namun objektivitas dan keakuratan penilaian perlu diupayakan
perencanaan penilaian yang lebih baik.
Pada proses pengolahan dan tindak lanjut guru harus mengembangkan deskripsi kemampuan
siswa secara naratif. Kemampuan menarasikan hasil penilaian menuntut kemampusn yang baik, dan
ternyata para guru banyak yang kesulitan dalam hal ini, mengingat biasanya lebih berorientasi pada
pemberian angka.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Kesiapan guru maupun perangkat pendukung implementasi belum memadai sehingga
penerapan kurikulum 2013 terkesan dipaksakan, dikhawatirkan akan berdampak pembelajaran yang
dilaksanakan kurang optimal.Tingkat pemahaman guru terhadap penilaian autentik masih
rendah.Dalam penilaian kurikulum 2013 terdapat banyak kesulitan dalam memahami KI, KD,
indikator, tujuan pembelajaran, instrumen penilaian, sistem penilaian terintegrasi, serta penulisan
laporan akhir hasil belajar.Upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi kesulitan tersebut antara
lain: 1) Berdiskusi dengan teman sejawat; 2) Meminta pendampingan pada guru saat
mengimplementasikan kurikulum 2013; 3) Ragam aktivitas penilaian yang berupa penilaian diri
sendiri (oleh siswa), penilaian antar teman (oleh siswa), pendeskripsian kemampuan siswa (oleh guru)
dan konversi nilai dirasakan masih perlu dilatihkan lebih lanjut implementasinya.

Simpulan dan Saran


Adapun saran bagi pengembangan kompetensi guru adalah perlunya meningkatkan kemampuan
beradaptasi dengan perubahan kebijakan maupun isu- isu yang berkembang dalam dunia pendidikan.
Guru yang terbuka dengan perubahan akan menjadikannya lebih mudah berkembang secara profesi.
Perubahan sistem penilaian dari KTSP menuju Kurikulum 2013 dinilai sangat signifikan
sehinggaguru disarankan untuk meningkatkan keterampilan dalam mengembangkan sistem penilaian
autentik sehingga nantinya masalah- masalah selama pelaksanaannya akan dapat diminimalisir.

Ucapan Terimakasih
Terimakasih kepada Lembaga Pengabdian dan Pengembangan (LPP) Universitas Ahmad
Dahlan yang telah membiayai pelaksanaan penelitian ini melalui Hibah Penelitian Reguler UAD
denganNomor Kontrak PM-117/LPP-UAD/I/2014.

DAFTAR PUSTAKA
Brookhart, S. M., & Nitko, A. J. 2008. Assessment and grading in classrooms. Prentice Hall.
Dimartino, J., Castaneda, A., Brownstein, M., & Miles, S. 2007. Principal’s Research Review.
(Online).(www.principals.org pada 14 November 2014).
Endra, I. M., Merta, D., Suarjana, I. M., Putu, L., & Mahadewi, P. (2015). ANALISIS PENILAIAN
AUTENTIK MENURUT PEMBELAJARAN KURIKULUM 2013 PADA KELAS IV SD NO .
4 BANYUASRI Universitas Pendidikan Ganesha. E-Journal PGSD Universitas Pendidikan
Ganesha, (4).
Gulikers, J.T.M., bastiaens, Th. J., & Kirshner,P,A. 2006. Authentic assessment, studentand teacher
perceptions: the practical value of the five dimensional-framework. Journal of Vocational
Education and Training, Vol. 58, 337-357
Hardini, N. 2015. Persepsi Guru Terhadap Pembelajaran Tematik Pada Implementasi Ktsp Sd Se-
Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo Ditinjau Dari Aspek Kognitif. Yogyakarta. Retrieved
From Http://Repository.Upy.Ac.Id/292/1/Jurnal Nency Hardini_11144600138.Pdf

162
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 153 – 164

James Jerome Gibson. 1986. The Ecological Approach to Visual Perception. (Boston: Houghton
Mifflin.
John R. Schermerhorn, Richard Osborn, James G. Hunt, Richard N. Osborn. 2005. Organizational
Behavior. Nineth edition.John Wiley & Sons, Inc.
Juli, P., Eka, A., Gading, I. K., & Kusmariyatni, N. 2015. Penerapan Penilaian Otentik Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Ipa Kelas IV SD Negeri 2 Pupuan.
Kemdikbud RI. 2013. Panduan Teknis Penilaian di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat jenderal
Pendidikan Dasar RI.
---------------------.Perubahan Pola Pikir.(Online).
(http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/dokumen/Paparan/Penyesuaian%20Pola%20Pikir%20dan
%20Pembelajaran.pdf pada tanggal 12 Oktober 2014).
Lund, J. (1997). Authentic assessment: Its development and applications. Journal of Physical
Education, Recreation, and Dance, Vol. 68 (7), 25–28.
Mansur, H. 2013. Implementasi Penilaian Autentik Kurikulum 2013 Di Sekolah Menengah Atas
(Sma). Sulawesi Selatan. Retrieved from
http://www.lpmpsulsel.net/v2/attachments/358_Implementasi Penilaian Autentik dlm K-13 di
SMA.pdf
Miles, M. B., & Huberman, M. A. 2007. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentaang Metode-
metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Mintah, J. K. 2003. Authentic Assessment in Physical Education : Prevalence of Use and Perceived
Impact on Student’s Self-Concept, Motivation, and Skill Achievement, 7(3), 161–174.
Mukhibat. 2014. Spiritualisasi dan Konfigurasi Pendidikan Karakter Berparadigma Kebangsaan
dalam Kurikulum 2013. Jurnal Al-Ulum. Vol 14 No. 1, Juni 2014 Hal 23-42.
Natalina, M., & Vivi, L. 2013. Persepsi Guru Biologi Menghadapi Kurikulum 2013 Pada Tingkat
Satuan Sekolah Menengah Negeri di Kota Pekanbaru. Jurnal Biogenesis, 10(2), 42–47.
Pemerintah Republik Indonesia. 2013. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar
Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian Pendidikan. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SD/MI. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/ Madrasah Tsanawiyah. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 69 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SMA/ MA. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kerangka
Dasar dan Struktur Kurikulum SMK. Jakarta.
-------------------------------------------. Permendikbud RI Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
163
Persepsi Guru Sekolah Dasar terhadap Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 (Ika Maryani, Sri Tutur
Martaningsih)

Kurikulum. Jakarta.
Raditya, T. M. A., Tarno, & Wuryandari, T. 2013. Penentuan Tren Arah Pergerakan Harga Saham
Dengan Menggunakan Moving Average Convergence Divergence (Studi Kasus Harga Saham
pada 6 Anggota LQ 45). Jurnal Gaussian, 2(3), 249–258.
Sistem Elektronik Pemantauan Implementasi Kurikulum 2013. 2013. Sekolah Sasaran. (Online).
(http://kurikulum.kemdikbud.go.id/public/school diakses 25 Januari 2014)
Suharman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.
Sujarwanta, A. 2012. Mengkondisikan Pembelajaran IPA dengan Pendekatan Saintifik.Jurnal Nuansa
Kependidikan.Vol. 16 No. 1, Nopember 2012.p.75-83.
Sunaryo.2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Sugihartono. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sujarwanta, A. 2012. Mengkondisikan pembelajaran ipa dengan pendekatan saintifik, 16, 75–83.
Swearingen, R. 2006. A Primer: Diagnostik, Formative & Summative Assesment. (Online).
(http://www.mmrwsjr.com/assesment.html diakses pada 13 November 2014).
Taufina.2009. Authentic Assessment dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Rendah.
PEDAGOGI (Jurnal Ilmiah Pendidikan). Vol. IX No. 1 p. 113-120.
Toha, M. 2003. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Grafindo Persada.
Undang- Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Bandung:Fokusmedia.
Widoyoko, S. 2013. Optimalisasi Peran Guru dalam Evaluasi Program Pembelajaran. Jurnal
Pendidikan. Vol 22 No. 2. Juli 2013. p. 177-186.
William, T. H. E., Foundation, F. H., & Twersky, F. 2012. Evaluation Principles And Practices,
(December).
Witherington, C. 2003. Psikologi Pendidikan Terjemahan M. Ngallim Purwanto. Jakarta: Remaja
Rindu Jaya.

Profil Singkat
Penulis pertama bernama lengkap Ika Maryani,M.Pd., lahir di Boyolali pada tanggal 8 September
1987. Jenjang S-1 di Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret dan S-2 di Pendidikan Sains PPs
Universitas Sebelas Maret. Aktivitas riset di bidang pendidikan dan pendidikan dasar setiap saat
dilakukan dan menghasilkan publikasi di berbagai Jurnal mapun forum ilmiah lain.
Penulis kedua bernama lengkap Sri Tutur Martaningsih, M.Pd lahir di Klaten ada tanggal 15 Maret
1963. S-1 diteknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret, S-2 Program Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan, IKIP Jakarta. Saat ini sedang menempuh S-3 di Program Penelitian dan Evaluasi
Pendidikan, UNY.

164
PENGEMBANGAN NILAI-NILAI SILA II PANCASILA PADA
PESERTA DIDIK KELAS VI SEKOLAH DASAR

Muhammad Abduh, Tukiran Taniredja


muhammad.abduh@ums.ac.id, tukiranump@gmail.com
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

ABSTRACT

DEVELOPING VALUES OF PANCASILA’S SECOND PRINCIPLE FOR SIXTH GRADER


STUDENTS

The research objective was to determine (1) the development of values from the second
principle of Pancasila for sixth graders; (2) what are the constraints of sixth grade teachers in
developing the values of the second principle of Pancasila; (3) the solution from teachers to overcome
the obstacles in developing the values to the learners. Data were collected using an open
questionnaire. Informants were the teachers of sixth graders. Data were analyzed using data
reduction, data display, and conclusion/ verification. To develop the values of the second principle of
Pancasila: (a) students needed the examples from various stakeholders such as teachers, parents and
community leaders; (b) the problem is the selfish attitude of learners who did not cooperate with their
friends; (c) the solution suggested were having patience and diligence.

Keywords : values of the second principle of Pancasila, exemplary, habitution, awareness

Article Info

Received date: 17 Feb 2017 Revised date: 14 April 2017 Accepted date: 9 April 2017

PENDAHULUAN
Era reformasi merupakan salah satu celah bagi arus globalisasi untuk masuk dan membawa
pengaruh bagi bangsa Indonesia, salah satunya terhadap landasan ideologi Negara Indonesia,
Pancasila. Sangat terasa sekali bahwa semenjak digulirkan reformasi di Negara Indonesia, terdapat
beberapa keprihatinan yang dirasakan tentang makna Pancasila bagi bangsa dan Negara Indonesia.
Salah satunya Pancasila sebagai ideologi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi
terpinggirkan. Dalam pidato-pidato resmi, para pejabat menjadi phobia dan malu untuk mengucapkan
Pancasila. Anak-anak sekolah tidak lagi mengenal bunyi dan urutan Pancasila apalagi nilai-nilai
Pancasila. Bahkan kampus-kampus yang notabene sarat para cendekiawan pun berkembang
kecenderungan untuk menafikan Pancasila.
Fenomena mengenai Pancasila tersebut di atas bisa jadi merupakan gejala awal mulai
melemahnya pemahaman terhadap makna Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Indonesia di era
globalisasi. Gejala lain menurut Ma’arif (61: 2011) bahwa Pancasila hanya ditulis dalam buku-buku,
penelitian ilmiah, sedangkan nilai luhur telah ditinggalkan. Padahal, kelima sila dalam Pancasila
memiliki nilai luhur yang dijadikan landasan negara Indonesia oleh para Founding Fathers (Pitoyo,
dkk, 2012: 48). Roeslan Abdoelgani (Daroeso dan Suyahmo, 1991: 20) berpendapat bahwa Pancasila
adalah filsafat negara yang lahir secara collective ideologie dari seluruh bangsa Indonesia. Pancasila
pada hakekatnya suatu realiteit dan pula suatu noodzakelijkheid pula. Di dalam kajian-kajiannya dari
alam, Pancasila masih mengandung ruang yang luas untuk berkembangnya penegasan-penegasan lebih
lanjut. Di dalam fungsinya sebagai pondamen negara, Pancasila telah bertahan terhadap segala ujian
baik yang datang dari kekuatan-kekuatan extreem. Di dalam Pancasila tercapailah keseimbangan
rokhaniah dan nilai jasmaniah dari manusia Indonesia. Keseimbangan rokhaniah dan nilai jasmaniah
manusia yang terangkum dalam isi Pancasila, seperti yang diutarakan oleh Notonagoro (1995: 19) di
dalam isi mutlak Pancasila sebagai dasar falsafah negara meliputi:

165
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

1. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung prinsip bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang ber-Tuhan dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing serta untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya.
2. Sila Kemanusiaan yang mengandung Prinsip pergaulan antara umat manusia berdasarkan
kemanusiaan yang adil dan beradab untuk membangun kekeluargaan antar bangsa-bangsa di
dunia.
3. Sila kebangsaan mengandung prinsip persatuan Bangsa Indonesia yang tidak sempit, karena
prinsip ini mengandung pengakuan bahwa setiap bangsa bebas menentukan nasibnya sendiri
tanpa campur tangan satu sama lain.
4. Sila Kerakyatan mengandung prinsip bahwa demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi yang
bersifat totaliter maupun liberal melainkan berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
5. Sila Keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat
perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Sebagai dasar negara, Pancasila seharusnya berperan penting dalam menjaga eksistensi
kepribadian bangsa Indonesia di era global. Sebab melalui globalisasi inilah batasan-batasan antar
negara menjadi kabur, sehingga berbagai budaya asing dapat masuk. Masuknya budaya-budaya asing
tersebut dapat berdampak positif, maupun negatif terhadap kepribadian bangsa Indonesia. Namun,
tentusaja harapan yang timbul adalah bahwa globalisasi akan berdampak positif, khususnya bagi
pemuda para penerus bangsa Indonesia.
Salah satu isi mutlak Pancasila seperti yang diutarkan oleh Notonagoro tersebut di atas adalah
sila kedua, yaitu sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Menurut pendapat Latif (2011: 64)
sesungguhnya Pancasila telah mengantisipasi dampak buruk globalisasi, secara umum sila kedua
menekankan prinsip agar globalisasi yang dikembangkan hendaknya memuliakan nilai-nilai keadilan
dan keberadaban. Nilai- nilai kemanusiaan yang adil dan beradab ini tidak lain adalah bagaimana
membentuk manusia yang utuh. Isi dari sila kedua ini terkait dengan pembentukan manusia
seutuhnya, di mana terdapat keseimbangan antara jasmani, rokhani, dan sosial. Bila dijabarkan lebih
lanjut, menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO),
manusia yang utuh adalah manusia yang memiliki insight, skills, dan value. Keenam unsur tersebut
(jasmani, rokhani,sosial,insight, skills, dan value) dapat menjadi modal dasar dalam mengembangkan
nilai-nilai Pancasila khususnya sila kedua. Sehingga diharapkan dengan dikembangkannya nilai-nilai
sila kedua khususnya bagi generasi penerus Bangsa Indonesia, dapat menjadi modal utama dalam
menghadapi arus globalisasi.
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara mengembangkan
nilai- nilai sila kedua Pancasila di kelas VI Sekolah Dasar (SD), serta kendala-kendala yang dihadapi
guru dalam mengembangkannya. Selain itu, solusi-solusi untuk menghadapi kendala yang timbul
dalam mengembangkan nilai-nilai sila kedua juga menjadi salah satu tujuan penelitian ini.

KAJIAN PUSTAKA
Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi
memang demikian keadaan nyata, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia
dalam bernegara sebagai dasar filsafatnya. Hal ini terbukti dalam sejarah perubahan ketatanegaraan
Indonesia, sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 dan Instruksi Presiden No 12 tanggal 13 April 1968. Pancasila tetap dinyatakan sebagai
dasar negara, baik dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Mukadimah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949, maupun dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950 (Bakry, 1997: 44-45). Bahkan sampai dengan adanya amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 pada masa pasca reformasi, Pancasila tetap dinyatakan sebagai dasar negara.
Menurut Notonagoro (Daroeso dan Suyahmo, 1991:21-22), bahwa dalam kalimat keempat
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“ disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar


Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
166
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 165 – 178

berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kata-kata “berdasar kepada” tersebut menentukan kedudukan Pancasila dalam Negara


Republik Indonesia sebagai dasar negara, dalam pengertian “dasar filsafat”. Dari pembicaraan oleh
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia menjelang Proklamasi Kemerdekaan
dapat disimpulkan bahwa dasar itu dimaksudkan sebagai dasar filsafat. Sifat kefilsafatan dari dasar
negara itu terwujud dalam rumus abstrak dari lima sila dari Pancasila yang kata-kata inti pokoknya
Tuhan, manusia, satu, rakyat, adil dengan mendapat awalan dan akhiran ke- dan per-an sehingga
menjadi Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan.
Falsafah Pancasila sebagai falsafah hidup menurut Budiyono (2009 :126) merupakan filsafat
yang dipergunakan sebagai pegangan, pedoman atau petunjuk oleh bangsa Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari. Falsafah Pancasila adalah falsafah untuk diamalkan dalam hidup sehari-hari
dalam segala bidang kehidupan dan penghidupannya. Falsafah Pancasila yang berasal/digali dari
kepribadian bangsa Indonesia merupakan ciri-ciri khas dari bangsa Indonesia. Falsafah Pancasila
adalah hakikat pencerminan kebudayaan bangsa Indonesia, yaitu hakikat pencerminan dari peradaban,
keadaban kebudayaan, cermin keluhuran budi dan kepribadian yang berurat berakar dalam sejarah
pertumbuhan dan perkembangan sendiri.
Terkait dengan pengembangan kepribadian dan karakter Pancasila dalam diri manusia
Indonesia, khususnya pemuda, Damanik (2014) telah melakukan kajian terhadap penanaman nilai-
nilai Pancasila melalui Organisasi Intra Sekolah (OSIS). Menurut Damanik (2014: 59) dengan
melibatkan OSIS dalam upaya menyemai Pancasila, tanpa disadari sesungguhnya telah tercapai dua
tujuan sekaligus, yakni semakin mengakarnya Pancasila di sanubari kaum muda dan terbentuknya
sejumlah karakter unggulan. Karakter-karakter unggulan yang akan terbentuk melalui nilai-nilai
Pancasila tersebut diharapkan mampu menjadi landasan bagi para pemuda Indonesia menghadapi
derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan sosial dan budaya tanpa menanggalkan etika.
Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan me-
nampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai,
dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa (Surajiyo, 2014: 119). Berdasarkan
hasil kajian Surajiyo tersebut, maka dapat dianalisa bahwa yang dimaksud dengan kemanusiaan
adalah manusia yang memiliki sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling
mencintai, dan tolong menolong. Kajian lain mengenai pananaman nilai-nilai Pancasila dilakukan
oleh Dikdik Baehaqi Arif. Menurut Arif (2011: 14) Pembudayaan nilai-nilai Pancasila di kalangan
warga negara muda saat ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Pendidikan yang dimaksud
adalah melalui proses pembelajaran pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Melalui sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, manusia diakui dan diperlakukan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, yang
sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama dan
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Karena itu dikembangkan
sikap saling mencintai sesama manusia sikap tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-
mena terhadap orang lain. Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan
keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai
bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja
sama dengan bangsa-bangsa lain. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Damanik (2014: 50) yang
menyatakan bahwa sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab juga merupakan nilai kemanusiaan
yang seharusnya dijunjung tinggi, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.
Sila kedua ini menghendaki agar negara mengakui adanya hak dan kewajiban yang sama pada
setiap warganegara Indonesia, dan mengharuskan kepada negara untuk memperlakukan manusia
Indonesia dan manusia lainnya secara adil dan tidak sewenang-wenang. Di samping itu negara harus
menjamin setiap warganegaranya untuk mendapatkan kedudukan hukum dan pemerintahan yang
sama, serta membebani kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Oleh karenanya,
167
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

menurut Effendi (1995:39) negara wajib menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang berbudi
luhur sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Hal tersebut sepaham dengan pemikiran Rianto
(2006: 3) yang menyatakan bahwa:
Dalam Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab terkandung nilai-nilai perikemanusiaan
yang harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini antara lain sebagai
berikut : (1) pengakuan adanya harkat dan martabat manusia dengan sehala hak dan
kewajiban asasinya; (2) perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, terhadap diri sendiri,
alam sekitar dan terhadap Tuhan; (3) manusia sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang
memiliki daya cipta, rasa, karsa dan keyakinan.
Munculnya celah bagi arus globalisasi di Indonesia menimbulkan kekhawatiran tersendiri
bagi para pendidik yang notabene adalah ujung tombak pembentukan karakter dan moral pemuda
Indonesia. Meskipun di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai karakter dan moral yang dapat
dijadikan pegangan dalam menghadapi arus globalisasi, namun, masih diperlukan adanya upaya
nyata dalam mengembangkan nilai-nilai tersebut. Sila kedua (internasionalisme) merupakan salah satu
sila yang mengandung intisari kekuatan menghadapi tantangan arus globalisasi, menjadi salah satu
fokus kajian dalam penelitian ini.
Beberapa penelitian dan kajian yang terkait dengan internalisasi, pengembangan dan
penanaman nilai-nilai Pancasila terhadap pemuda diantaranya dilakukan melalui OSIS (Damanik,
2014); melalui pendidikan yang terintegrasi dengan Pancasila (Arif, 2011); dan melalui perilaku
sehari-hari (Rianto, 2006). Namun, bagaimanakah mempersiapkan siswa SD kelas VI yang notabene
akan memasuki usia remaja dalam menghadapi arus globalisasi melalui pengembangan sila kedua
Pancasila?

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode deskriptif, dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Metode Deskriptif adalah penelitian terhadap status, sikap pendapat kelompok,
individu, perangkat kondisi dan prosedur suatu sistem pemikiran atau peristiwa dalam rangka
membuat deskripsi atau gambaran secara sistematik dan analitik yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu masalah aktual pada masa kini. Pendekatan kualitatif bertujuan memperoleh
gambaran yang rasional dan lebih mendalam dengan perolehan data yang ekstensif pada beberapa
variabel dengan pendekatan naturalistik inkuiri (Suprapto, 2013: 34).
Penelitian ini dilaksanakan di SD di lingkungan Kabupaten Banyumas. Waktu Penelitian
dilaksanakan pada bulan April s.d. September 2016. Informan penelitian adalah guru-guru kelas VI
SD Kabupaten Banyumas yang tersaji pada tabel 1 berikut

Tabel 1.
Daftar Informan Penelitian
No Nama Guru dan tempat Mengajar
1 Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak
2 Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen
3 Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen
4 Muhammad Takris, SDN Karangklesem
5 Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata
6 Sugiyanto, SDN 2 Papringan

Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dilakukan dengan metode instrumen angket
terbuka dan mendalam, hal ini berarti para informan tahu bahwa mereka sedang diberikan angket
untuk diisi sesuai dengan yang telah dilakukan dalam rangka mengembangkan nilai-nilai sila kedua
kepada peserta didiknya. Sebagai triangulasi metode, maka dilakukan wawancara tidak terstruktur
kepada informan yang telah mengisi angket.

168
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 165 – 178

Analisis Data
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2009 : 91) mengemukakan bahwa aktifitas dalam
analisis data kualitatif di lakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai
tuntas sehingga datanya sudah penuh”. Aktifitas dalam analisis data tersaji pada gambar 1 berikut :

Data Data Display


collection

Data reductions Conclusions


drawing/verifying

Gambar 1. Komponen dalam analisis data (interactive model)

1. Data Reductions
Landasan penggunaan reduksi data adalah semakin lama peneliti ke lapangan maka
jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan
analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya. Data hasil isian angket dan
wawancara dari informan mengenai pengembangan nilai-nilai sila kedua sangatlah beragam
dan banyak. Oleh karenanya dirancang batasan-batasan atau pedoman teoretis yang
digunakan untuk menyeleksi dan memfokuskan data yang terkait dengan batasan dan
pedoman teoretis tersebut.
Untuk mempermudah dalam menyeleksi dan mereduksi data, maka pedoman-
pedoman teoritis dibuat dalm bentuk kode (pengkodean). Pengkodean terhadap pedoman teori
mengenai nilai-nilai sila kedua tercantum dalam tabel 2 berikut
Tabel 2
Pengkodean Nilai-Nilai Sila Kedua
Nilai- Nilai Sila Kedua Kode
mengakui dan memperlakukan manusia sesuai 1
dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa
mengakui persamaan derajat, persamaan hak 2
dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelompok, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya
sikap saling mencintai sesama manusia 3
tenggang rasa dan tepa selira 4
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain 5
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan 6
melakukan kegiatan kemanusiaan 7
berani membela kebenaran dan keadilan 8
menyadari bahwa bangsa Indonesia merasa 9
dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia
mengembangkan sikap hormat menghormati 10
dan bekerja sama dengan bangsa lain
169
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

2. Data Display
Melalui penyajian data, maka data terorganisir, tersusun dalam pola hubungan,
sehingga akan semakin mudah dipahami (Sugiyono, 2010: 95). Dalam penelitian kualitatif,
penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan
sejenisnya. Data hasil dari reduksi adalah masih berupa data mentah (raw input), dalam artian
masih berupa kalimat yang belum tersusun dan terangkai sesuai dengan kaidah atau gaya
selingkung penulisan artikel ilmiah. Oleh karenanya data mentah tersebut disajikan ke dalam
bentuk uraian kalimat narasi yang disesuaikan dengan kaidah penulisan artikel ilmiah.
3. Conclusion Drawing/ Verification
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila
ditemukan bukti-bukti yang mendukung pada tahap pengumpulan data dan berikutnya
(Sugiyono, 2010: 99). Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada awal didukung oleh
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data
maka akan terbentuk kesimpulan yang kredibel.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Upaya agar siswa mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa adalah:
Menanamkan pada peserta didik bahwa sebagai anggota masyarakat hidup berdampingan,
memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jangan sampai siswa merasa lebih di hadapan sesama teman
sehingga akan melecehkan orang lain. Manusia diciptakan sebagai mahkluk yang sempurna
dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya, oleh karena itu gunakan rasa bahwa hidup itu harus
saling menolong. Juga membiasakan peserta didik bergotong royong dalam kegiatan bersih-bersih
kelas seperti regu piket, semua siswa mendapat tugas sesuai dengan kemampuannya (Susanti, SDN
Gumelar Kidul Tambak). Menanamkan kepada peserta didik bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan
harus senantiasa menjalankan ibadah, saling menghormati, menghargai, dan tidak membeda-bedakan
(Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Memberikan pengertian dan pengarahan kepada siswa
bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah melihat hambanya dari sisi banyaknya harta, baiknya rupa
dan lain-lain, melainkan melihat taqwanya. Oleh karena dengan sesama manusia harus
memperlakukannya sesuai harkat dan martabatnya. Hakekatnya posisi manusia sama, yaitu sebagai
hamba Tuhan (Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen). Peserta didik diarahkan untuk menjunjung
persamaan hak dengan menggunakan prinsip toleransi dan menjauhi prasangka akan orang lain lebih
hina dari segi pekerjaan, perbuatan, perkataan dan ibadah. Di samping itu perlu diciptakan suasana
damai ketika diri dan umat dalam menjalankan ibadah (Muhammad Takris, SDN Karangklesem).
Dengan membiasakan menjenguk teman atau siswa yang sakit atau terkena musibah karena dengan
menanamkan rasa simpati dan empati kepada orang lain akan menumbuhkan rasa saling tolong
menolong antar sesama. Dengan adanya sikap saling tolong menolong siswa akan mengakui dan
memperlakukan antar sesama tanpa adanya perbedaan karena semua manusia itu sama yakni ciptaan
tuhan (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Memberikan bimbingan dan pemahaman kepada peserta
didik agar berbuat baik kepada sesama umat manusia, karena pada dasarnya kedudukan manusia itu
sama di mata Tuhan (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Berdasarkan kajian mengenai upaya mengakui manusia sesuai harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan YME, terdapat lima hal penting, yaitu: gotong royong dan tolong menolong,
tidak membeda-bedakan, bertaqwa, toleransi, dan menjauhi prasangka buruk. Kedudukan manusia di
mata Tuhan merupakan sesuatu yang berada di dalam ruang private bukan ruang public. Jose
Casanove (Naupal, 2011: 203) dalam bukunya Public Religion In The Modern World menyataka
bahwa ruang public adalah ruang di mana seseorang tanpa meliht agama, suku, ras dan golongan
dapat berkontestasi secara fair. Lain halnya dengan ruang privat, Casanove (Naupal, 2011: 203)
menyatakan bahwa ruang private adalah ruang di mana seseorang bisa hidup dalam dirinya sendiri,
tanpa campur tangan orang lain. Agama dan keyakinan berada di dalam ruang private, di mana setiap
individu berhak meyakini dan menjalaninya. Namun menurut Naupal (2011: 203), ruang private,
dalam hal ini agama memiliki peran penting dalam ruang public. Dengan demikian upaya-upaya yang
170
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 165 – 178

dilakukan guru tersebut merupakan bentuk dari agama dan keyakinan (ruang private) yang
diaplikasikan ke dalam ruang public.
2. Upaya agar siswa mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia
tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelompok, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya, adalah sebagai berikut :
Membiasakan peserta didik berkelompok dengan semua teman tanpa harus memandang status
sosial maupun kemampuan intelektualnya. Di samping itu diberikan kesempatan kepada semua
peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan (Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak). Dengan
menanamkan jiwa sosial yang tinggi dalam pembelajaran. Dengan memberikan pengertian bahwa
sesuai semboyan bangsa indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap
satu, maksudnya jangan jadikan perbedaan sebagai penghalang, namun perbedaan adalah
keanekaragaman yang patut disyukuri (Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Peserta didik
diarahkan untuk menyadari bahwa sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa posisi sebagai manusia
adalah sama, hanya Taqwa yang membedakannya sehingga manusia tidak sepantasnya membeda-
bedakan (Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen). Menanamkan jiwa sosial yang tinggi dalam
pembelajaran formal maupun nonformal, misalnya : dalam berteman, menempatkan siswa dalam
kelompok belajar yang selalu berubah. Juga memberikan contoh konkret, misal peran seorang dokter
atau tenaga kesehatan yang dapat menolong sesama tanpa melihat perbedaan (Muhammad Takris,
SDN Karangklesem).
Memperlakukan dengan perlakuan yang sama kepada siswa agar siswa tertanam sikap
pemahaman persamaan derajat hak dan kewajiban dapat dilakukan dengan memberikan perhatian
yang sama kepada seluruh siswa tanpa membedakan yang pintar dan kurang paham. Untuk dapat
merealisasikan hal tersebut, guru ketika memberikan tugas diskusi dikelas membagi kelompok dengan
jenis pengelompokan yang heterogen, agar siswa saling berinteraksi dengan siswa yang memiliki
perbedaan (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Memberi penjelasan kepada siswa bahwasannya
manusia memiliki drajat yang sama, manusia selalu membutuhkan orang lain. Mengajarkan agar
senantiasa menganggap teman di kelas adalah mempunyai kedudukan yang sama, baik itu beda
agama, jenis kelamin, suku,dll. (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Berdasarkan data yang didapat dari informan, maka upaya-upaya agar siswa mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia dapat disarikan menjadi empat
hal, yaitu: tidak memandang status sosial, menghargai keragaman, menanamkan jiwa sosial, dan
menanamkan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Upaya-upaya tersebut dirasa sangat tepat untuk
diaplikasikan untuk mengurangi kesenjangan-kesenjangan yang muncul di antara masyarakat
Indoensia, sebab menurut Latif (2012: 77) Indonesia sebagai bangsa multikultural dengan
kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam. Kesenjangan-kesenjangan inilah yang
seharusnya menjadi landasan manusia dalam mengakui dan menjalankan hak dan
kewajiban asasi manusia. Hal tersebut dikaji pula oleh Aswidah, yang menyatakan bahwa dalam
hak asasi manusia, manusia akan diakui bukan sebagai umat Islam, Kristen, Budha, Hindu dan
seterusnya, tapi sebagai manusia yang sederajat dengan manusia lain (Aswidah, 2011: 86).
3. Upaya agar siswa mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia yaitu:
Membiasakan kepada siswa menengok teman yang sedang sakit dan membiasakan kepada
siswa agar membantu teman yang sedang dalam kesusahan tanpa membeda-bedakan status (Susanti,
SDN Gumelar Kidul Tambak). Memberikan pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang
tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain (Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Menanamkan
kepada siswa bahwa sesama manusia harus saling mencintai dan mengasihi. Tanamkan ke peserta
didik dan analogikan dengan diri sendiri. Bahwa sebagai manusia inginnya dicintai, maka juga harus
mencintai orang lain. Biasakan kepada peserta didik untuk mau memberi hadiah ke orang lain,
membiasakan peserta didik untuk memberi salam, dan membiasakan peserta didik untuk berempati
kepada kondisi temannya (Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen).
Dalam pembelajaran diterapkan sikap saling menghormati. Dijabarkan konsep manusia
sebagai makhluk sosial. Saling memahami, tidak egois terhadap teman (Muhammad Takris, SDN
Karangklesem). Penggalangan dana untuk siswa yang terkena musibah atau sakit. Dengan
menyisihkan uang saku untuk siswa yang terkena musibah dapat memberikan pemahaman bahwa
antar sesama harus saling mencintai (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Memberikan bimbingan
171
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

agar peserta didik senantiasa punya rasa saling mencintai sesama teman, diawali dengan mencintai
terhadap orang tua, kakak, adik, saudara dan akhirnya dapat saling mencintai sesama teman
(Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Upaya-upaya yang dikemukakan informan di atas mengenai bagaimana cara agar siswa dapat
mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia dapat ditarik kesimpulan menjadi beberapa
poin, yaitu: saling membantu tanpa membedakan, mencintai diri sendiri dan orang lain, berempati,
dan rasa sosial. Poin-poin tersebut sejalan dengan pendapat Sprecher (2005: 630) yang
mendefinisikan bahwa compassionate love is the more encompassing construct because it includes
tenderness, caring, and other aspects of empathy, but also behavioral predispositions such as self-
sacrifice. Berdasarkan pendapat Sprecher tersebut, jika dikonversikan ke arah sikap saling mencintai
sesama manusia, maka terdapat beberapa unsur yang relevan dengan nilai-nilai sila kedua Pancasila,
yaitu empati dan rela berkorban. Empati dan rela berkorban yang dimaksud adalah siswa mampu
meraskan apa yang dirasakan orang lain yang sedang dalam kesulitan, serta mampu mengorbankan
sesuatu yang ada pada dirinya seperti waktu dan materi untuk memberi bantuan kepada orang
tersebut.
4. Upaya agar siswa mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira adalah:
Membiasakan siswa saling membantu dalam hal kebaikan dan membiasakan siswa untuk
menghargai pendapat orang lain dengan menerima keputusan saat bermusyawarah (Susanti, SDN
Gumelar Kidul Tambak). Dengan membiasakan peserta didik membantu teman jika ada yang terkena
musibah, menengok teman yang sakit, memberi sumbangan apabila ada masyarakat yang terkena
bencana (Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Peserta didik diarahkan untuk merasakan jika
diperlakukan oleh orang lain dengan semena-mena juga tidak mau dan tidak ingin, maka jangan
berlaku semena-mena terhadap orang lain, kenalkan dengan aturan-aturan hukum yang ada
(Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen). Sikap tenggang rasa dan tepa selira adalah sikap yang
harus dikembangkan, tenggang rasa adalah sikap menghormati dan menghargai orang lain. Siswa
dibiasakan untuk memberi kesempatan kepada teman yang berbeda agama untuk melaksanakan
ibadah. Di samping itu siswa dibiasakan untuk menghargai pendapat temannya jika dalam diskusi
(Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen).
Mengakui adanya perbedaan sebagai kekayaan, menengok teman yang sakit, mendukung dan
memberi sumbangan kepada masyarakat yang dilanda bencana (Muhammad Takris, SDN
Karangklesem). Dengan pembiasaan kegiatan di sekolah. Kegiatan pembiasaan tersebut di antaranya
adalah siswa di kelas tidak boleh menertawakan ataupun mencemooh ketika temannya menjawab
pertanyaan dan jawabannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Guru dapat mengkondisikan di
kelas bahwa semua siswa itu sama tidak ada yang bodoh, yang ada hanyalah siswa yang malas. Untuk
tepa selira dapat ditanamkan pada siswa dengan pembiasaan berjabat tangan ketika baru sampai di
sekolahan dan ketika pulang sekolah. Dengan berjabat tangan antar siswa, peserta didik akan
menyadari tepa selira antar sesama (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Memberi pengertian
bimbingan terhadap peserta didik didik supaya peserta didik didik dapat merasakan apa yang di derita
oleh orang lain, misal apabila ada teman yang sakit maka secara bersama-sama menengok teman sakit
tersebut (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Berdasarkan data yang didapat dari informan,maka dapat diambil tiga hal mengenai
bagaimana upaya mengembangkan sikap teggang rasa bagi siswa adalah: saling membantu, empati,
dan kesopanan. Inti dari pengembangan sikap tenggang rasa adalah adanya toleransi antar sesama
manusia. Dalam lingkungan sekolah sikap toleransi dan peduli sosial menjadi nilai yang penting dan
mendasar untuk dikembangkan (Sari 2014: 17). Upaya-upaya yang dikembangkan informan tesebut
sesuai dengan masalah-masalah toleransi yang mengancam keutuhan persatuan bangsa Indonesia.
Menurut Sari (2014: 17) Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis dan degradasi karakter, sehingga
diperlukan penanaman nilai toleransi dan peduli sosial. Upaya penanaman yang elah dikaji oleh Sari
telah mengacu kepada nilai-nilai Pancasila, khususnya yang terintegrasi di dalam mata pelajaran
PPKn dan mata pelajaran lainnya.
5. Upaya agar siswa mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain adalah:
Menanamkan sikap menyayangi dan menganggap teman sebagai keluarga sendiri dan
menanamkan sikap menghormati orang yang lebih tua, berteman dengan semua teman tanpa

172
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 165 – 178

membeda-bedakan (Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak). Memberi contoh kongkrit (guru tidak
memarahi siswa yang berbuat kesalahan secara berlebihan), dan siswa dianjurkan agar tidak egois
(Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Memberi arahan bahwa manusia hidup itu mempunyai
aturan. Aturan dalam agama, hukum, & sosial. Selain itu menanamkan sikap-sikap yang baik, seperti
tenggang rasa toleransi, saling mencintai. Dengan menanamkan sikap-sikap tersebut diharapkan siswa
menjadi pribadi yang menjunjung tinggi kemanusiaan (Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen).
Siswa dianjurkan lebih dalam memiliki sifat sabar, tidak egois. Contoh baik dilakukan guru misal
tidak memarahi siswa yang salah secara berlebihan (Muhammad Takris, SDN Karangklesem). Dapat
dilakukan dengan kegiatan belajar kelompok, di mana dalam pengelompokan belajar tersebut siswa di
bagi dengan kriteria yang berbeda. Dengan adanya kelompok yang diisi siswa yang berbeda latar
belakang maka siswa akan terlatih untuk berkomunikasi dalam suasana yang berbeda (Ahmad Fauzan,
SDN 1 Sambirata). Membiasakan peserta didik untuk senantiasa mengembangkan rasa saling hormat,
saling menghargai terhadap teman (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Berdasarkan data yang didapatkan, maka dapat disimpulkan ada empat poin penting dalam
mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain, yaitu: menghormati, tidak egois, taat
aturan, dan adanya komunikasi yang terjalin baik. Keempat poin tersebut jika dikembangkan akan
membentuk suatu sikap harmoni sesama manusia, dalam artian masing-masing individu paham,
mengerti dan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Menurut
Tjiptabudy, jika manusia sudah melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar maka tidak akan
terjadi penindasan atau pemerasan, sehingga segala aktivitas berlangsung dalam keseimbangan,
kesetaraan, dan kerelaan (Tjiptabudy, 2010: 3).
6. Upaya agar siswa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yaitu :
Menanamkan sikap bahwa manusia di hadapan Tuhan itu sama kedudukannya jadi tidak
boleh merendahkan orang lain. Membiasakan menghormati orang lain agar diri sendiri juga dihormati
(Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak). Siswa dianjurkan untuk lebih meningkatkan budaya tolong
menolong, peduli sesama, dan saling menghormati antar sesama (Septi Sudi Astuti, SD Randegan
Kebasen). Biasakan peserta didik untuk berempati ketika ada korban bencana yang di televisi. Jika
memungkinkan beri bantuan secara nyata. Libatkan siswa dalam kegiatan PMR dan Dokter kecil, hal
tersebut menjadikan kegiatan sosial menjadi hal yang biasa dan menyenangkan (Almaratus Sholihah,
SDN Legok Kebasen). Siswa diberi contoh dan pemahaman berkaitan dengan aplikasi tolong-
menolong, peduli sesama, saling menghormati antar sesama (Muhammad Takris, SDN
Karangklesem). Dengan program infaq setiap hari Jumat akan menanamkan sikap kemanusiaan pada
siswa. Infaq Jumat tersebut diharapkan merupakan uang hasil pengisihan uang saku bukan
penambahan uang saku setiap hari Jumat. Sebelum siswa menyisihkan uang saku untuk infaq, siswa
diberikan penjelasan terlebih dahulu bahwa uang tersebut digunakan untuk menjenguk siswa yang
sakit atau terkena musibah (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Membimbing siswa agar senantiasa
menghargai orang lain, mempunyai rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan menyayangi yang
muda (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Upaya-upaya yang telah dikemukakan oleh para informan tersebut sejalan dengan pendapat
dari Tjiptabudy, yang menyatakan bahwa prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab memberikan
acuan bahwa dalam olah fikir, olah rasa, dan olah tindak, manusia selalu mendudukkan manusia lain
sebagai mitra, sesuai dengan harkat dan martabatnya (Tjiptabudy, 2010: 3). Pendapat tersebut
bermakna bahwa dalam memposisikan atau mendudukan orang lain, seseorang hendaknya tidak
hanya menggunakan akal pikiran yang bersifat kognitif saja, namun ada dua hal yang tidak kalah
penting yaitu menggunakan rasa, dan tindakan.
7. Upaya agar siswa gemar melakukan kegiatan kemanusiaan adalah:
Membiasakan peserta didik untuk iuran serta menjenguk jika ada peserta didik yang sakit, di
samping itu membiasakan pengumpulan bantuan sosial untuk korban bencana alam (Susanti, SDN
Gumelar Kidul Tambak). Menengok teman sakit, tertimpa musibah, dan memberi sumbangan pada
korban bencana alam (Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Tanamkan siswa sikap berani jika
yang dilakukan adalah hal benar. Mulai dari hal kecil untuk menanamkan, sikap berani contohnya
dalam diskusi siswa untuk dilatih menyampaikan pendapat (Almaratus Sholihah, SDN Legok
Kebasen).
173
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

Mengajak siswa mengunjungi korban bencana alam dan memberi sumbangan. Serta guru
membuatkan kotak kemanusiaan dikelas dimana kotak kemanusiaan tersebut digunakan untuk
kegiatan kemanusiaan di lingkungan sekolah atau masyarakat (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata).
Mendidik untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Misal jika ada bencana alam, peminta-minta,
guru melatih peserta didik untuk memberikan sekadar bantuan, misal mengumpulkan barang pantas
pakai untuk bencana alam (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Hal-hal penting yang dapat dianalisa dari data informan tersebut bahwa upaya agar siswa gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan adalah: berani jika benar, kotak kemanusiaan, dan mengumpulkan
barang pantas pakai. Nilai gemar melakukan kegiatan kemanusiaan dilandasi kesadaran bahwa
manusia merupakan makhluk sosial, di mana tidak dapat hidup sendiri. Sehingga sudah sepantasnya
sikap tersebut dikembangkan untuk bekal siswa berperan menjadi anggota masyarakat kelak.
8. Upaya agar siswa berani membela kebenaran dan keadilan yaitu :
Memperingatkan/ menasehati apabila ada teman yang di ganggu oleh teman sekelas/ teman lain.
Membuat aturan-aturan atas kesepakatan bersama untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan kelas
(Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak). Memberi teladan dari tokoh-tokoh pejuang. Memotivasi
siswa dengan kalimat bahwa kebenaran itu akan selalu menang dalam melawan kejahatan (Septi Sudi
Astuti, SD Randegan Kebasen). Membiasakan siswa peduli sesama, menengok teman sakit
(Muhammad Takris, SDN Karangklesem). Dapat ditanamkan kepada siswa dengan membuat suatu
aturan dikelas dimana aturannya tersebut adalah “Bagi siswa yang menemukan atau melihat siswa
mengambil yang bukan haknya harus melapor ke ketua kelas dan ketua kelas meneruskannya ke wali
kelas ” (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Melatih siswa untuk melakukan musyawarah sesama
teman, dan memberikan usulan. Membantu teman yang kesusahan tanpa memandang kedudukan dan
jenis kelamin (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Berdasarkan upaya-upaya yang dikemukakan oleh informan, maka hal-hal penting dalam hal
mengembangkan keberanian siswa membela kebenaran dan keadilan adalah: membuat dan
menyepakati aturan bersama, meneladani tokoh pejuang, dan musyawarah.
9. Upaya agar siswa menyadari bahwa bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia adalah:
Menanamkan kepada siswa bahwa bangsa Indonesia dapat bersaing di dunia internasional.
Menanamkan sikap dan kepercayaan bahwa dengan belajar yang rajin maka diharapkan mampu
memajukan negara Indonesia sehingga bisa bersaing di dunia internasional (Susanti, SDN Gumelar
Kidul Tambak). Ikut terlibat dalam berbagai kegiatan positif, memberikan bantuan dengan ikhlas
(Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Jika sikap-sikap menyadari bahwa manusia adalah
makhluk Tuhan yang mempunyai kedudukan yang sama maka manusia akan sangat menyadari
tingginya nilai kemanusiaan rasa kemanusiaan yang timbul itu akan ikut berempati jika melihat
kondisi masyarakat di bagian, dunia lain sedang tidak baik. Sehingga bergerak hatinya bukan lagi atas
nama negara tetapi atas nama kemanusiaan (Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen). Memberikan
teladan dari tokoh-tokoh pejuang. Memberikan pujian saat siswa menerapkan konsep keadilan &
keberanian, agar peserta didik semakin terbiasa dalam sikap tersebut (Muhammad Takris, SDN
Karangklesem). Dengan menanamkan bahwa ruang kelas adalah rumah bagi siswa maka siswa akan
terlahir sikap bahwa seluruh siswa adalah satu keluarga dan dengan kelas lain adalah bagian dari
keluarga besar di sekolahnya tersebut. Dengan menjelaskan kepada siswa bahwa memelihara
lingkungan sekolah adalah bagian dari melestarikan bumi, dengan hal tersebut maka siswa akan
memahami bahwa semua manusia tempat tinggalnya adalah sama yaitu bumi (Ahmad Fauzan, SDN 1
Sambirata). Memberikan pengertian pentingnya kerjasama dengan negara lain, misalnya membantu
negara lain yang terkena musibah (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Beragam upaya dari informan dalam upaya agar siswa menyadari bangsa Indonesia merasa
dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia dapat disarikan menjadi beberapa poin, yaitu:
belajar dengan sungguh-sungguh, melakukan kegiatan positif, empati, kekeluargan, dan belajar
mencintai lingkungan. Upaya-upaya tersebut menggabarkan bahwa sejak dini, pemuda Indonesia
harus memiliki rasa cinta tanah air sehingga mereka mampu menyiapkan berbagai kontribusi yang
bermanfaat demi kemajuan bangsa Indonesia.

174
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 165 – 178

10. Upaya agar siswa mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa
lain adalah:
Menanamkan sikap bahwa sebagai mahkluk sosial butuh bantuan termasuk bantuan negara
lain (Susanti, SDN Gumelar Tambak Kidul).Mengakui keberadaan negara lain, dengan mempelajari
negara-negara di dunia. Memberi pemahaman siswa tentang organisasi-organisasi dunia (Septi Sudi
Astuti, SD Randegan Kebasen). Memberi arahan bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari
masyarakat. Dan secara otomatis sebuah negara dalam hal-hal tertentu membutuhkan negara lain.
Oleh karena itu perlu sekali untuk menghormati negara lain sehingga terjalin kerjasama yang baik
(Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen). Menjelaskan berbagai keperluan hidup, baik primer
maupun sekunder yang merupakan hasil produksi orang lain. Memberikan bantuan dengan ikhlas.
Belajar rajin dan berprestasi. Ikut terlibat dalam berbagai event positif (Muhammad Takris, SDN
Karangklesem). Saling menghormati dan bekerja sama dapat dilakukan dengan membuat posisi
tempat duduk yang berbeda setiap minggunya. Dengan posisi tempat duduk yang berbeda akan
melatih siswa bekerja sama dan saling menghormati dengan siswa lain yang berbeda karakter (Ahmad
Fauzan, SDN 1 Sambirata). Memberikan pengertian dan pengetahuan tentang pentingnya persatuan
dengan negara lain (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Data yang didapat dari informan tersebut dapat disarikan menjadi beberapa poin penting agar
siswa mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain yaitu: sikap
sosial, pemahaman terhadap negara-negara di dunia, dan berlatih bekerjasama dengan teman. Sejalan
dengan sila kedua Pancasila yang bermakna internasionalisasi, bahwa manusia tidk terlepas dari
pengaruh dan tantangan yang datang dari negara lain, baik berupa budaya, ilmu pengetahuan,
informasi dan teknologi. Sehingga sudah selayaknya pemuda-pemuda bangsa Indonesia belajar
mengenal bangsa-bangsa lain agar mampu membuat batasan-batasan ketika harus berhadapan dengan
pengaruh dan tantangan yang datang dari luar.
Kendala utama untuk mengembangkan nilai-nilai sila kedua Pancasila kepada siswa yaitu:
Siswa terkadang ada yang egois tidak mau bekerja sama dengan teman lain. Ada siswa yang
minder / rendah diri sehingga sering menyendiri (Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak). Ada
keberagaman di antara siswa. Pertengkaran akan berlangsung lama. (Siti Nur Khomsiah, SDN
Prembun). Jika dalam satu kelas tersebut ada sebagian siswa yang tidak tinggal bersama orang tuanya
melainkan dengan kakek, nenek, atau saudara yang lain, dan ia bergaul dengan peserta didik yang
usianya jauh di atasnya, serta tidak ada yang mengarahkan/memperhatikannya ketika sudah pulang
dari sekolah (Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen). Kendalanya adalah ketika guru di sekolah
berusaha memberi arahan kepada siswa tentang nilai kemanusiaan dan membiasakan dengan beberapa
tindakan nyata tidak dilanjutkan di lingkungan keluarga. Sehingga seperti mata rantai yang terputus
(Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen). Di satu kelas ada kekerabatan diantara siswa yang satu
dengan yang lain, hal tersebut menjadi salah satu penghambat sosial mereka dengan siswa lain karena
inginnya selalu bersama. Jika terjadi pertengkaran, akan berlangsung lama. (Muhammad Takris, SDN
Karangklesem). Karakter siswa usia sekolah lebih di dominasi oleh sifat ego. Dimana sikap dan sifat
tersebut akan lebih mendominasi sikap siswa untuk mementingkan diri sendiri. Faktor lingkungan
sekitar yang kurang mendukung terciptanya kemanusiaan yang adil dan beradab. Dimana faktor
lingkungan ini diisi oleh perhatian orang tua akan sulit tertanam nilai kemanusiaan dan keadilan
(Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Kurangnya kesadaran siswa tentang rasa kemanusiaan dan rasa
saling menghargai orang lain (Sugiyanto, SDN 2 Papringan).
Upaya untuk mengatasi kendala utama mengembangkan nilai-nilai sila kedua Pancasila kepada siswa
yaitu:
Tidak bosan menasehati siswa sampai ada perkembangan siswa tersebut tidak egois (mau
bergaul/bekerja sama) dengan teman lain. Pendekatan secara privat dan kekeluargaan menyelidiki
akar penyebab minder / rendah dirinya kemudian memotivasi agar bangkit dan semangat membaur
dengan teman lainnya (Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak). Menukar tempat duduk secara rutin
agar tercipta suasana sosial yang kondusif (Siti Nur Khomsiah, SDN Prembun). Dengan terus
mendekatinya, bertutur halus padanya meskipun siswa menjawab dengan tidak sopan, mengingat akan
tanggung jawabnya sebagai siswa dan sebagai seorang peserta didik. (Septi Sudi Astuti, SD Randegan
Kebasen). Memberi catatan atau mengkomunikasi dengan orang tua, melalui pertemuan dengan wali
175
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

peserta didik pada saat pembagian rapor, rapat atau kunjungan wali peserta didik (Almaratus
Sholihah, SDN Legok Kebasen). Solusinya : menukar tempat duduk secara rutin agar tercipta suasana
sosial yang kondusif dan interaksi yang baik, tidak saling berkelompok, akrab dengan semua teman
(Muhammad Takris, SDN Karangklesem). Untuk dapat mengatasi kendala dalam mengembangkan
nilai kemanusiaan dan keadilan guru dapat melakukan 2 cara, yaitu: (a) mengaktifkan dan
memfungsikan keberadaan bimbingan konseling di sekolah. BK (Bimbingan Konseling) akan
menampung berbagai masalah yang dihadapi oleh peserta didik (b) membuat semacam paguyuban
orang tua peserta didik paguyuban ini berfungsi mengkomunikasikan pihak sekolah dan pihak orang
tua. (Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata). Menambahkan muatan materi yang berkaitan tentang
bagaimana cara-cara mengamalkan pancasila dalam kehidupan siswa, dan memberikan kebiasaan-
kebiasaan yang berhubungan dengan pengamalan pancasila sila ke dua pancasila (Sugiyanto, SDN 2
Papringan).
SIMPULAN DAN SARAN
Mengembangkan nilai-nilai Pancasila tidak dapat sekedar berteori mengenai isi dari nilai
tersebut. Lebih dari itu, nilai yang terkandung di dalam Pancasila dapat dijabarkan secara luas dan
mendalam dikembangkan dengan cara yang kontekstual, terlebih di dalam lingkup SD.
Kekontekstualan ini adalah menerapkan dan mempraktikkan jabaran nilai-nilai Pancasila di dalam
kehidupan sehari-hari yang dekat dengan siswa. Kehidupan yang terdekat dengan siswa salah satunya
adalah sekolah. Sehingga sekolah dijadikan sarana utama kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila untuk
siswa SD. Melalui sarana sekolah, sisw SD dapat secara langsung melihat permodelan atau contoh
yang diberikan guru dalam mengembangkan nilai sila kedua, misalkan dalam hal menghargai
keragaman sosial yang ada di kelas. Oleh karenanya, dalam pengembangan secara kontekstual
seringkali guru menemukan beberapa kendala.
Kendala pertama adalah karena pengembangan nilai Pancasila yang bersifat kontekstual, guru
harus menjadi the ultimate and good model bagi siswanya. Sebab apa yang akan dikatakan, dilakukan
dan diperbuat guru akan benar-benar diperhatikan oleh siswa, bahkan ditiru. Keniscayaan ini secara
tidak langsung dapat mendorong pembentukan karakter yang baik bagi guru, karena guru tidak mau
jika siswanya meniru sesuatu yang buruk dari guru. Kendala selanjutnya adalah berasal dari peserta
didik yang beragam. Seringkali guru tidak mampu mengakomodasi keragaman siswanya dengan
ideal. Sehingga masih terlihat beberapa kejadian yang di luar prediksi dan kendali guru, misalkan ada
siswa yang sangat minder, pendiam dan pemalu, padahal di kelas itu juga ada siswa yang aktif bahkan
cenderung hiperaktif. Hal seperti inilah yang harus menjadi perhatian khusus bagi guru dalam
menanamkan nilai-nilai Pancasila secara kontekstual. Sehingga guru harus menjadi pribadi yang
terbuka, kreatif, inovatif, serta peka terhadap kondisi kelasnya.
Pembentukan kepribadian guru tersebut merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
kendala-kendala dalam mengembangkan nilai-nilai Pancasila. Tidak hanya terbuka,kreatif, inovatif
dan peka, seorang guru harus menjadi pribadi yang tangguh, yaitu guruy yang memiliki insight, skills
dan value. Insight yang berarti pengetahuan dan pengalaman, guru dengan jam terbang yang tinggi
dan sudah melalui beragam kendala tentu akan memiliki solusi yang empiris ketika menghadapi suatu
masalah. Berbeda dengan guru yang belum memiliki jam terbang yang tinggi, akan menggunakan
cara coba-coba dalam menyelesaikan kendala yang dihadapi. Skills yang berarti kemampuan, di mana
seorang guru harus mempunyai paling tidak empat kemampuan, yaitu pedagogis, sosial, kepribadian,
dan profesional. Di mana keempat kemampuan tersebut menjadi suatu unsur baku dan tidak dapat
berdiri sendiri di dalam diri seorang guru. Diharapkan guru dengan kemampuannya yang matang
mampu menemukan solusi-solusi yang tepat dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila secara
kontekstual. Solusi terakhir adalah guru yan memiliki valaue, yaitu nilai yang diyakini dan dipegang
teguh dalam kehidupannya, termasuk dalam berinteraksi dengan siswa. Dengan adanya keyakinan dan
keteguhan nilai yang positif, akan membentuk perilaku guru yang positif pual, sehingga dengan
mudah akan mampu meminimalisir kendala-kendala yang muncul ketika proses kontekstualisasi nilai-
nilai Pancasila.
Saran
Peran guru dalam hal mengembangkan nilai-nilai sila kedua Pancasila sangatlah strategis.
Oleh karenanya, hendaknya guru tidak menyia-nyiakan peran yang strategis ini. Salah satunya adalah
176
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 165 – 178

guru hendaknya dengan sadar menampilkan contoh pengamalan sila kedua yang kontekstual di
hadapan siswanya. Pemberian contoh merupakan cara termudah untuk meminta siswa berbuat yang
dicontohkan, bukan hanya dengan menasehati secara verbal apalagi tekstual. Contoh perilaku dan
kegiatan yang mengarah kepada nilai-nilai sila kedua hendaknya disesuaikan pula dengan tingkat
perkembangan siswa SD. Berikanlah contoh kegiatan atau perilaku yang tida terlalu sulit untuk
dilakukan, begitupula sebaliknya jika memberikan contoh pada kelas yang lebih tinggi, dalam hal ini
kelas VI.

Ucapan terima kasih


Ucrapan terimakasih peneliti sampaikan kepada pihak-pihak yang mendukung penelitian
mengenai pengembangan nilai- nilai sila kedua Pancasila, terutama guru-guru yang telah menjadi
informan dan narasumber, yaitu:
1. Susanti, SDN Gumelar Kidul Tambak
2. Septi Sudi Astuti, SD Randegan Kebasen
3. Almaratus Sholihah, SDN Legok Kebasen
4. Muhammad Takris, SDN Karangklesem
5. Ahmad Fauzan, SDN 1 Sambirata
6. Sugiyanto, SDN 2 Papringan

DAFTAR PUSTAKA

Arif, D. B. (2011). Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila pada Warga Negara Muda melalui Pendidikan
Kewarganegaraan. Disampaikan dalam Kongres Pancasila III ”Harapan, Peluang, dan
Tantangan Pembudayaan Nilai-nilai Pancasila”, di Universitas Airlangga Surabaya, 31 Mei –
1 Juni 2011
Aswidah, R. (2011). Hak Asasi Manusia Solusi Menghadang Fundamentalisme. Jurnal Dignitas. Vol.
VII (2), 83-100
Bakry, N.,M. (1982). Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: BPFH UII.
__________. (1985). Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: BPFH UII.
Budiyono. (2009). Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Bandung: Alfabeta.
Damanik, F.H.S. (2014). Hakikat Pancasila dalam Membentuk Karakter Kebangsaan melalui
Organisasi Intra Sekolah. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Vol. 6 (2), 49-60
Daroeso dan Suyahmo, 1991. Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Liberty.
Effendi, H.A.M., 1995. Falsafah Negara Pancasila, Semarang: Badan Penerbitan IAIN Walisongo
Press bekerja sama dengan CV Cendekia.
Effendi, S; 2006. Sambutan pada`Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai paradigma
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional
Latif, M. (2011). Revitalisasi Pancasila di Tengah Dualisme Fundamentalisme. Jurnal Dignitas,Vol.
VII (2), 63-81
Ma’arif, AS 2011, ‘Dinamika Praktik Kehidupan Berpancasila di Masyarakat’, Kongres Pancasila III,
Surabaya 31 May-1 June, pp. 33-47.
Naupal. (2011). Wewenang Negara dalam Bidang Moral: Refleksi Kritis Atas Ideologi Pancasila.
Jurnal Etika, Vol. 3 (2), 199- 208
Notonagoro, 1995. Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PT Bina Aksara.
Pitoyo, dkk, 2012. . Pancasila Dasar Negara, Yogyakarta, PSP Press.

177
Pengembangan Nilai-Nilai Sila II Pancasila pada Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar (Muhammad
Abduh, Tukiran Taniredja)

Rianto, A. (2006). Pengamalan/Aplikasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Aspek Pengelolaan


Lingkungan Hidup. Jurnal Yustisia. Vol 9 (6), 1-6
Sari,Y.M. (2014). Pembinaan Toleransi Dan Peduli Sosial Dalam Upaya Memantapkan Watak
Kewarganegaraan (Civic Disposition) Siswa. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. Vol. 23 (1), 15-
26
Siregar. (2012). Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MPR
RI.
Sprecher, S. dan Fehr, B. (2005). Compassionate love for close others and humanity. Journal Social
and Personal Relationship. Vol. 22 (5), 629-651
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta.
Suprapto 2013 Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan Dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan Social.
Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Surajiyo. (2014). Pancasila Sebagai Etika Politik Indonesia. Jurnal Ultima Humaniora, Vol. II (1),
111- 123
Syamsuri, 2006. Objektivikasi Pancasila sebagai Modal Sosial Warga Negara Demokratis dalam
Pendidikan Kewarganegaraan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Tahun 2006
Pendidikan IPS Sekolah pasca Sarjana Universitas pendidikan Indonesia, Bandung, 05
Agustus 2006.
Tjiptabudy. (2010). Kebijakan Pemerintah dalam Upaya Melestarikan Nilai-Nilai Pancasila di Era
Reformasi. Jurnal Sasi. Vol. 16 (3), 1-8

Profil singkat
Penulis 1
Muhammad Abduh dilahirkan pada tanggal 28 Nopermber 1990 di Purwokerto, Jawa Tengah.
Di tanah kelahirannya inilah penulis mendapatkan gelar Sarjana yang ditempuh di Program Studi
(Prodi) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun
2012. Demi memperdalam ilmu, penulis melanjutkan Strata Dua di bidang yang sama, yaitu Prodi
Pendidikan Dasar (Dikdas) di Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus Tahun 2014. Penulis pernah
menjadi staff pengajar di Universitas Kuningan (Uniku) selama kurang lebih satu tahun. Hingga pada
akhir 2015 penulis memutuskan untuk menjadi staff pengajar di Prodi PGSD Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga sekarang.

Penulis 2
Tukiran Taniredja dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 8 Mei 1954. Penulis menyelesaikan
S1 pada Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) UMS pada tahun 1986. Kemudian
penulis melanjutkan S2 di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dan S3 di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI). Pada tahun 2008 penulis dikukuhkan sebagai Guru Besar di kampus tempatnya
mengabdi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kegiatan saat ini selain melakukan pengajaran
dan pendidikan, penulis aktif dalam kegiatan penelitian dan pengabdian dengan beragam sumber
dana, salah satunya dari Dirjen Dikti.

178
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYIMAK DONGENG MELALUI PEMBELAJARAN
MENGGUNAKAN MEDIA BONEKA TANGAN

Desy Sugianto, Dwi Cahyadi Wibowo, Ursula Dwi Oktaviani


desy_sugianto@yahoo.com, dwicahyadiwibowo@yahoo.co.id, ursula1234@gmail.com
STKIP Persada Khatulistiwa Sintang , Jl. Pertamina Sengkuang-Sintang

ABSTRACT

IMPROVING LISTENING SKILL TO FAIRYTALES USING A HAND PUPPETS MEDIA

The purpose of this research was to describe the increase the ability of listening to fairy tales
using hand puppets media in grade III State Elementary School 16 Sungai Ringin Sintang year
2016/2017. The approach of this study was a qualitative descriptive form of classroom action
research. The result showed that (1) the puppets media enhanced students’ listening skills very well,
seen from students’ active and enthusiastic participation; (2) the listening skill in the first cycle gained
the average of 63.78 and reached 72.42 in cycle two. This showed an increase of learning outcome
from the first to the second cycle of 8.64 points. The general completeness level in the first cycle was
60.71% with satisfactory categories and in the second cycle reached 85.71% in both categories; (3)
The response of students to the application of a hand puppet media was very good. This shows that the
use of hand puppets media while listening to fairy tales is a way that can attract students’ attention.

Keywords: Listening, Fables, Hand Puppet

Article Info
Received date: 20 Januari 2017 Revised date: 15 April 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Pendidikan
merupakan suatu alat untuk mengubah tingkah laku dan pola pikir manusia dari keadaan belum tahu
menjadi tahu, dari keadaan tidak mampu menjadi mampu, dan dari keadaan yang tidak memiliki
kemampuan menjadi memiliki kemampuan.
Pendidikan merupakan tempat terjadinya proses belajar mengajar yang diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan individu sehingga mencapai tujuan yang diinginkan yaitu mencerdaskan
dan meningkatkann kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk kepentingan dimasa yang akan
datang, sehingga diharapkan dapat menguasai cita-cita pembangunan nasional sebagaimana tercantum
dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2013 yang berbunyi:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Belajar adalah suatu kegiatan sekelompok orang atau individu yang bukan sekedar menghapal
melainkan lebih luas dan mengalami. Suryono dan Hariyanto (2011: 9) belajar adalah suatu aktivitas
atau suatu proses untuk memperoleh pengatahuan, meningkatkan keterampilan, mempernbaiki
perilaku, sikap, dan mengokohkan kepribadian. Fathurrohman (2009: 5) mengemukakan belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang
baru sebagai hasil pengalamannya sendiri interaksi dengan lingkungannya.
Guru memegang peran yang sangat penting. Artinya guru memiliki tanggungjawab
merencanakan dan melaksanakan pembelajaran di sekolah. Disisi lain guru sebagai tenaga profesional
harus memiliki sejumlah kemampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam pembelajaran,
kemampuan memilih dan menerapkan strategi pembelajaran yang cocok, kemampuan melibatkan
179
Peningkatan Kemampuan Minyimak Dongeng melalui Pembelajaran Menggunakan Media Boneka
Tangan (Desy Sugianto, Dwi Cahyadi Wibowo, Ursula Dwi Oktaviani)

peserta didik berpatisipasi aktif mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan
menyenangkan bagi peserta didik guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Pelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu dari mata pelajaran yang diajarkan di
sekolah, juga menjadi mata pelajaran yang memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Bahasa
Indonesia menjadi materi pelajaran yang wajib diberikan kepada setiap jenjang pendidikan, mulai dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari bahasa. Bahasa merupakan sarana untuk
berkomunikasi atar manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi ini dalam rangka memenuhi sifat
manusia sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan sesama manusia. Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dituntut untuk memiliki keterampilan
berbahasa yang baik. Tarigan (2008: 2) mengemukakan bahwa keterampilan berbahasa (language
arts, language skills) dalam kurikulum sekolah biasanya mencakup empat segi yaitu keterampilan
menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading
skills), keterampilan menulis (writing skills).
Peneliti melaksanakan penelitian di SD Negeri 16 Sungai Ringin sebagai tempat penelitian,
dikarenakan dari hasil observasi yang diperoleh dari guru kelas III SDN 16 Sungai Ringin pada
tanggal 7 Maret 2016 diperoleh informasi bahwa dalam kegiatan menyimak masih tergolong rendah,
yang seharusnya nilai KKM yang sudah ditentukan dari sekolah adalah 63 akan tetapi siswa kelas III
SD Negeri 16 Sungai Ringin tersebut masih banyak yang mendapatkan nilai di bawah rata-rata 60.
Siswa yang tuntas 11 orang (39,28%) dan siswa yang tidak tuntas 17 orang (60,71%). Hal ini pada
fakta di lapangan yang menyebutkan ada beberapa hal yang melatar belakangi masalah tersebut yaitu:
diketahui bahwa guru belum mengemas pembelajaran dengan baik dan belum memperhatikan hal-hal
yang perlu dimaksimalkan dalam mengemas pembelajaran yang baik seperti menggunakan dan
memaksimalkan media pembelajaran untuk menunjang pembelajaran agar kinerja pembelajaran lebih
baik. Sebagai contohnya adalah guru belum menggunakan media sebagai penunjang pembelajaran
Bahasa Indonesia khususnya pada materi menyimak dan metode mengajar yang belum mampu
menarik perhatian dan mengaktifkan peserta didik. Sehingga kemampuan menyimak peserta didik
yang diharapkan oleh guru tidak tercapai dengan baik.
Berdasarkan masalah di atas, diperlukan media pembelajaran yang tepat untuk memperbaiki
dan meningkatkan kemampuan menyimak pada siswa kelas III SD Negeri 16 Sungai Ringin.
Pembelajaran akan lebih menarik apabila guru menerapkan media yang menuntut siswa untuk aktif
dan fokus memperhatikan guru. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan berkolaborasi
dengan guru kelas dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan menyimak siswa kelas
III SD Negeri 16 Sungai Ringin melalui penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menerapkan media
boneka tangan. Judul penelitian ini adalah “Peningkatan Kemampuan Menyimak Dongeng Melalui
Pembelajaran Menggunakan Media Boneka Tangan Pada Siswa Kelas III Sekolah Dasar Negeri 16
Sungai Ringin Kabupaten Sintang Tahun Pelajaran 2016/2017”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan penerapan penggunaan media
boneka tangan pada pembelajaran menyimak dongeng siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri 16
Sungai Ringin Kabupaten Sintang tahun pelajaran 2016/2017, (2) mendeskripsikan kemampuan
menyimak dongeng siswa menggunakan media boneka tangan pada siswa kelas III Sekolah Dasar
Negeri 16 Sungai Ringin Kabupaten Sintang tahun pelajaran 2016/2017, dan (3) mendeskripsikan
respon siswa setelah penggunaan media boneka tangan pada pembelajaran menyimak dongeng pada
siswa kelas III Sekolah Dasar 16 Sungai Ringin Kabupaten Sintang tahun pelajaran 2016/2017.
Penelitian ini memiliki banyak manfaat. Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari penelitian
ini diharapkan dapat memberi konstribusi yang besar bagi guru dalam memilih media pembelajaran
untuk membantu meningkatkan kemampuan menyimak dongeng sehingga tercapainya tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain (1) bagi guru dan calon guru, penelitian ini dapat dijadikan referensi dan tambahan
pengetahuan tentang media pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan menyimak, (2) bagi siswa,
hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu pelajaran siswa meningkatkan kemampuan
menyimak, (3) bagi pihak sekolah, penelitian ini diharapkan dapat lebih mengembangkan inovasi
dalam pembelajaran khususnya pembelajaran Bahasa Indonesia, (4) bagi peneliti, penelitian ini

180
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 179 – 189

memberikan pengalaman yang berharga dalam berkarya dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penulisan karya ilmiah yang selanjutnya, dan (5) bagi Lembaga STKIP Persada Khatulistiwa Sintang,
hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan tambahan dan literatur di perpustakaan serta dapat
memberikan motivasi bagi pembaca terutama mahasiswa STKIP Persada Khatulistiwa Sintang.

KAJIAN PUSTAKA
Kemampuan Menyimak
Menurut Robbins (Susana dkk, 2016),”ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat,
kesanggupan) merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan”. Kekuatan
merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau merupakan hasil latihan praktik.Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan (ability) adalah kecakapan atau potensi dalam
menguasai suatu keahlian yang merupakan bawaan sejak lahir atau merupakan hasil latihan atau
praktik dan digunakan untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya.
Tarigan (2008: 31), menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang
lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interprestasi untuk memperoleh informasi,
menangkap isi suatu pesan, serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan sang
pembaca melalui ujaran bahasa lisan.
Menyimak (listening) dikatakan sebagai kegiatan berbahasa reseptif dalam suatu kegiatan
bercakap-cakap (talking) dengan medium dengar (aural) maupun medium pandang (visual).
Bercakap-cakap, memang berciri interaktif tetapi tidak semua wacana lisan bersifat interaktif atau
timbal balik (reciprocal) (Saddhono 2012: 8).

Tahap-Tahap Menyimak
Tarigan (2008: 31-32) menyebutkan ada sembilan tahap menyimak, mulai dari yang tidak
berketentuan sampai pada yang amat bersungguh-sungguh, yaitu: (1) menyimak berkala, yang terjadi
pada saat-saat sang anak merasakan keterlibatan langsung dalam pembicaraan mengenai dirinya, (2)
menyimak dengan perhatian dangkal karena sering mendapat gangguan dengan adanya selingan-
selingan perhatian kepada hal-hal di luar pembicaraan, (3) setengah menyimak karena terganggu oleh
kegiatan menunggu kesempatan untuk mengekpresikan isi hati serta mengutarakan apa yang
terpendam dalam hati sang anak, (4) menyimak serapan karena sang anak keasyikan menyerap atau
mengabsorpsi hal-hal yang kurang penting, hal ini merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya,
(5) menyimak sekali-sekali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang disimak; perhatian secara
seksama berganti dengan keasyikan lain; hanya memperhatikan kata-kata sang pembicara yang
menarik hatinya saja, (6) menyimak asosiatif, hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi
secara konstan yang mengakibatkan sang penyimak benar-benar tidak memberikan reaksi terhadap
pesan yang disampaikan sang pembicara, (7) menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara
dengan membuat komentar ataupun mengajukan pertanyaan, (8) menyimak secara seksama, dengan
sungguh-sungguh mengikuti jalan pikiran sang pembicara, dan (9) menyimak secara aktif untuk
mendapatkan serta menemukan pikiran, pendapat, dan gagasan sang pembicara.

Indikator Kemampuan Menyimak


Menarik sekali jika dalam proses pembelajaran dilibatkan antara guru, peserta didik dan materi
pelajaran itu sendiri. Maka, proses pembelajaran berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang
diharapkan. Untuk membantu peserta didik, maka diperlukan pula indikator-indikator pencapaian
dalam pembelajaran, sehingga peserta didik memperoleh kemudahan dalam belajar dan memberi
respon positif agar peserta didik berani tampil di depan kelas dengan kemampuan yang dimilikinya.

Tabel 1
Indikator Kemampuan Menyimak
No Aspek Yang Dinilai
1 Menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita
2 Menyebutkan sifat-sifat tokoh yang ada pada cerita yang didengar
3 Menceritakan kembali isi cerita secara sederhana
Sumber Ifadah (2013)

181
Peningkatan Kemampuan Minyimak Dongeng melalui Pembelajaran Menggunakan Media Boneka
Tangan (Desy Sugianto, Dwi Cahyadi Wibowo, Ursula Dwi Oktaviani)

Dongeng
Nurgiyantoro (2013: 198) berpendapat bahwa dongeng merupakan salah satu cerita rakyat
(folktale) yang cukup beragam cakupannya. Misalnya dongeng Kancil Mencuri Ketimun, Kancil
Dengan Buaya, Asal-usul Terjadinya Gunung Tangkubanperahu, Ciung Wanara, Bawang Merah dan
Bawang Putih, Timun Emas dan sebagainya. Dongeng berasal dari berbagai kelompok etnis,
masyarakat, atau daerah tertentu, di berbagai belahan dunia, baik yang berasal dari tradisi lisan
maupun yang sejak semula diciptakan secara tertulis.
Istilah dongeng dapat dipahami sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam
banyak hal sering tidak masuk akal. Dari sudut pandang ini, dapat dipandang sebagai cerita fantasi,
cerita yang mengikuti daya fantasi walau terkesan aneh-aneh walau secara logika sebenarnya tidak
dapat diterima.
Berdasarkan beberapa definisi para ahli dapat diambil kesimpulan bahwa dongeng adalah
suatu cerita yang tidak pernah terjadi dan tidak dapat dibuktikankebenarannya. Dongeng hanyalah
sebuah cerita yang bertujuan untuk menghibur danmenggambarkan tentang sesuatu yang ada di alam
agar dapat dijadikan pelajaran oleh manusia.
Nurgiyantoro (2013: 201) membagi jenis dongeng di lihat dari waktu kemunculannya yaitu
dongeng klasik dan dongeng modern. Dongeng klasik adalah cerita dongeng yang telah muncul sejak
zaman dahulu yang telah mewarisi secara turun temurun lewat tradisi lisan. Sedangkan dongeng
modern adalah cerita dongeng yang sengaja ditulis sebagai salah satu bentuk karya sastra. Oleh karena
itu, selain dimaksudkan untuk memberikan cerita menarik dan ajaran moral tertentu, dongeng modern
juga tampil sebagai sebuah karya seni yang memilikin unsur-unsur keindahan, yang antara lain
dicapai lewat kemenarikan cerita, penokohan, pengaluran, dan style.
Ketika menyampaikan dongeng ada beberapa jenis cerita dongeng yang dapat dipilih oleh
pendongneg untuk didongengkan kepada audience.Menurut Asfandiyar (Hasan 2014:20), berdasarkan
isi dongeng terdapat enam jenis: (1) Dongeng Tradisional, dongeng tradisional adalah dongeng yang
berkaitan dengan cerita rakyat dan biasanya turn-temurun. Dongeng ini sebagian besar berfungsi
untuk melipur lara dan menanamkan semngat kepahlawanan. Misalnya, Malinkundang, Calon Arang,
Sangkuriang, dll. (2) Dongeng Futuristik (Modern), dongeng futuristik atau dongeng modern disebut
juga dongeng fantasi.Dongeng ini biasanya bercerita tentang sesuatu yang fantstik, misalnya tiba-tiba
tokohnya menghilang. (3) Dongeng pendidikan, dongeng pendidikan adalah dongeng yang diciptakan
dengan suatu misi pendidikn bagi dunia anak-anak.Misalnya, mengunggah sikap hormat kepada orang
tua. (4) Dongeng Fabel, dongeng fabel adalah dongeng tentang kehidupn binatang yang digambarkan
dapat berbicara seperti manusia.Cerita-cerita fabel sangat luwes digunakan untuk menyindir perilaku
manusia tanpa membuat manusia tersinggung.Misalnya, dongeng kancil, kelinci, dan kura-kura. (5)
Dongeng sejarah, dongeng sejarah biasanya terkait dengan suatu peristiwa sejarah.Dongeng ini
banyak yang bertemakan kepahlawanan.Misalnya, sejarah perjuangan Indonesia. (6) Dongeng terapi,
dongeng terapi adalah dongeng yang dipertemukan bagi anak-anak korban bencana atau anak-anak
yang sakit. Dongeng terapi adalah dongeng yang bisa membuat rileks saraf-saraf otak dan membuat
tenang hati mereka.Oleh karena itu, dongeng ini didukung pula oleh kesabaran pendongengnya dan
musik sesuai dengan terapi itu sehingga membuat anak merasa nyaman.

Boneka Tangan
Sudjana dan Rivai (2015:188-189), secara umum boneka (marionette dalam bahasa prancis)
ada yaitu: (1) Tubuh yang dihubungakan dengan lengan, kaki dan badannya, digerakkan dari atas
dengan tali-tali atau kawat-kawat halus. (2) Boneka yang digerakkan dari bawah oleh seorang yang
tangannya dimasukkan ke bawah pakaian boneka.
Kadang-kandang boneka itu digerakkkan oleh tali temali dan disebut marionette, sedangkan
boneka yang digerakkan oleh tangan disebut boneka tangan.Secara umum boneka itu lebih mudah
dibuat dan lebih mudah dimainkan.Bagaimanapun, gerakan-gerakannya lebih banyak terbatas
daripada marionet.Sekali-kali boneka tangan dan marionet bisa dimainkan bersama-sama.Mungkin
jenis boneka tanganlah yang paling sederhana, sebab dapat merupakan berbagai macam kantung
kertas.Boneka adalah tiruan dari bentuk manusia dan bahkan sekarang termasuk tiruan dari bentuk
binatang.Jadi sebenarnya boneka merupakan salah satu model perbandingan juga. Dalam penggunaan

182
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 179 – 189

boneka dimanfaatkan sebagai media pembelajaran dengan cara dimainkan dalam sandiwara boneka.
Pada perkembangannya, boneka tidak hanya sebagai mainan anak ataupun perlambang kenegaraan.Di
bidang pendidikan, boneka mulai digunakan sebagai media dalam membantu tumbuh kembang
anak.Boneka merupakan salah satu media pembelajaran yang tidak asing lagi dan sering digunakan
pada sekolah tingkat dasar dan menengah.Cara penyajian boneka sebagai media pembelajaran
bergantung pada kretivitas guru/ konselor yang juga disesuaikan dengan kompetensi dasar yang harus
dicapai.
Kalau boneka dari setiap ujung jari kita dapat memainkan satu tokoh, lain halnya dengan
boneka tangan.Pada boneka tangan ini satu tangan kita hanya dapat memainkan satu boneka. Disebut
boneka tangan, karena boneka ini hanya terdiri dari kepala dan dua tangan saja, sedangkan bagian
badan dan kakinya hanya merupakan baju yang akan menutup lengan orang yang memainkannya
disamping cara memainkannya juga hanya memakai tangan (tanpa menggunakan alat bantu yang
lain). Cara memainkanya adalah jari telunjuk untuk memainkan atau menggerakkan kepala, ibu jari,
dan jari tangan untuk menggerakkan tangan. Pakaian yang lebih indah untuk boneka tangan adalah
pakaian boneka atau pakaian yang dijahit khusus untuk menggambarkan perwatakan.
Boneka tangan memiliki manfaat diantaranya (1) Tidak banyak memakan tempat dalam
pelaksanaannya, (2) Tidak menuntut keterampilan yang rumit bagi yang akan memainkannya, (3)
Dapat mengembangkan imajinasi anak, mempertinggi keaktifan anak dan suasana gembira, (4)
Mengembangkan aspek bahasa
Agar boneka dapat menjadi media instruksional yang efektif, maka menurut Raemiza (Yunus,
2015: 19) perlu memperhatikan beberapa hal dalam panggung boneka tangan, antara lain: (1)
Rumusan tujuan pembelajaran dengan jelas, (2) Buatlah naskah atau skenario sandiwara yang akan
dimainkan secara terperinci, baik dialognya, settingnya dan adegannya harus disusun secara cermat,
(3) Permainan boneka mementingkan gerak dari pada kata, karena itu pembicaraan jangan terlalu
panjang, karena dapat menjemukan penonton, (4) Permainan sandiwara boneka jangan terlalu lama,
kira-kira 10 sampai 15 menit, (5) Hendaknya diselingi dengan nyayian, kalau perlu peserta didik
diajak bernyanyi bersama, (6) Isi cerita hendaknya sesuai dengan umur dan kemampuan serta daya
imajinansi anak-anak yang menonton, (7) Selesai permainan sandiwara, hendaknya diadakan kegiatan
lanjutan seperti tanya jawab, diskusi atau menceritakan kembali tentang isi cerita yang disajikan. Jika
memungkinkan, berilah kesempatan kapada anak-anak untuk memainkannya.Dari keterangan tentang
boneka tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan media boneka sangat memungkinkan siswa
untuk menguasai konsep-konsep yang sedang diajarkan karena siswa turut serta dalam situasi yang
sesungguhnya.Media Boneka dapat menarik perhatian siswa dengan bantuan gerakan-gerakan,
ekspresi dan intonasi suara.
Dewi, dkk (2014) Mengutarakan boneka tangan sangat sesuai untuk digunakan sebagai alat
permainan edukatif. Dibandingkan dengan jenis boneka lain, boneka tangan lebih mudah digerak-
gerakkan sesuai dengan jalan cerita. Selain itu, menurut Dewi dkk (2014) media ini mempunyai
beberapa fungsi, yaitu: (1) Memberika pengalaman yang konkret, (2) Memungkinkan siswa
menganalisis secara mendalam, (3) Membangkitkan motivasi dan rasa ingin tahu, (4) Informasi yang
diperoleh akan lebih jelas, (5) Memperjelas suatu masalah atau proses kerja dari alat, dan (6)
Mendorong timbulnya kreativitas siswa.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, pendekatan kualitatif. Metode
tersebut digunakan karena metode kualitatif deskriptif merupakan penelitian tujuannya untuk
mendeskripsikan dan menganalisis fnomena, peristiwa, ktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,
pemikiran, orang secara individual atau kelompok dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Penelitian ini dilaksnakan di SD Negeri 16 Sungai Ringin semster ganjil (1) tahun pelajaran
2016/2017. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III SD Negeri 16 Sungai Ringin yang berjumlah
28 siswa yang terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan. Peneliti dibantu guru kelas dan
teman peneliti sebagai observer. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah media bonekaa tangan
dan variabel terikat adalah kemampuan menyimak dongeng. Indikator kemampuan menyimak dan
aspek penilaian menyimak dongeng:

183
Peningkatan Kemampuan Minyimak Dongeng melalui Pembelajaran Menggunakan Media Boneka
Tangan (Desy Sugianto, Dwi Cahyadi Wibowo, Ursula Dwi Oktaviani)

Tabel 2
Indikator Kemampuan Menyimak
No Aspek Yang Dinilai
1 Menyebutkan tokoh-tokoh dalam cerita
2 Menyebutkan sifat-sifat tokoh yang ada
pada cerita yang didengar
3 Menceritakan kembali isi cerita secara
sederhana

Tabel 3
Aspek Penilaian Kemampuan Menyimak Secara Tertulis
Unsur Penilaian Skor Kriteria Keterangan
No
1 Menyebutkan tokoh- 50 1. Siswa mampu menyebutkan Sangat Baik
tokoh yang ada dalam semua tokoh dalam cerita
cerita 35 2. Siswa mampu menyebutkan Baik
sebagaian tokoh dalam cerita
15 3. Siswa belum mampu Cukup
menyebutka tokoh dalam cerita

2 Menyebutkan sifat-sifat 1. Siswa mampu menyebutkan Sangat Baik


tokoh yang ada pada 50 tokoh 2 sifat tokoh yang ada
cerita yang didengarnya dalam cerita
35 2. Siswa mampu menyebutkan 1 Baik
sifat tokoh yang ada dalam
cerita
15 3. Siswa belum mampu
menyebutkan sifat tokoh yang Cukup
ada dalam cerita
Jumlah 100

Tabel 4
Aspek Penilaian Kemampuan Menyimak Secara Lisan

Tingkat Kafasihan
No Aspek yang Dinilai
1 2 3 4 5
1 Pemhaman isi teks
2 Pemahaman detil isi teks
3 Kelancaran pengungkapan
4 Ketepatan diksi
5 Ketepatan struktur kalimat
6 Kebermaknaan penuturan
Jumlah Skor:
Nilai =
Keterangan:
Skala 5 : Baik Sekali
Skala 4 : Baik
Skala 3 : Sedang
Skala 2 : Cukup
Skala 1 : Kurang

184
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 179 – 189

Kriteria penilaian hasil tes siswa menggunakan sklala 1-5. Setiap angka mempunyai deskripsi
verbal seperti berikut: (1) Skor 1 artinya tidak ada unsur yang benar, (2) skor 2 artinya ada sedikit
unsur yang benar, (3) skor 3 artinya jumlah unsur salah dan unsur benar kurang lebih seimbang, (4)
skor 4 artinya ketepatan tinggi dengan sedikit kesalahan, dan (5) skor 5 artinya tepat sekali tanpa ada
kesalahan (Nurgiyantoro, 2010: 366). Jadi dalam penilain hasil tes siswa, skor yang diperoleh dari tes
tertulis dijumlahkan dengan hasil tes lisan dan bibagi dua sehingga diperoleh nilai siswa.
Teknik pengumpulan data menggunakan (a) Teknik Observasi Langsung, (b) Teknik
Pengukuran, (c) Teknik Komunikasi Langsung, (d) Teknik Dokumentasi. Adapun alat pengumpulan
data dalam penelitian ini terdiri dari lembar observasi, lembar tes, pedoman wawancara, dan
dokumentasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil tes siswa di ukur dari pelaksanaan siklus I dan siklus II yang dilaksanakan dua kali
pertemuan dari satu siklus. Jadi siklus I dan siklus II dilakukan empat kali pertemuan pembelajaran.
Beradasrkan nilai awal yang diperoleh peneliti dari wali kleas III bahwa nilai rata-rata siswa 62, 28
dengan kategori cukup, dengan kapasitas ketuntasan 11 siswa yang tuntas dengan presentse 39,28%
dan 17 siswa yang tidak tuntas dengan presentase 60,71%. Hasil kemampuan menyimak dongeng
setelah menggunkan media boneka tangan pada siklus I nilai rata-rata meningkat 63,78 dengan
ketuntasan klasikal 60,71% kategori cukup baik atau siswa yang tuntas berjumlah 17 orang, dan
39,28% atau siswa yang tidak tuntas berjumlah 11 orang dan pada siklus II terjadi peningkatan
dengan nilai rata-rata 72, 42 dengan nilai ketuntasan klasikal yang dicapai 85,71% kategori baik atau
siswa yang tuntas berjumlah 24 orang, sedangkan yang tidak tercapai 14,28% atau siswa yang tidak
tuntas berjumlah 4 orang. Hal ini menunjukan terdapat peningkatan yang signifikan dalam
meningkatkan kemampun menyimak dongeng menggunakan media boneka tangan.
Adapun hasil observasi guru dalam empat kali pertemuan tujuannya adalah untuk
memperoleh informasi tentang kemampuan siswa dalam mengikuti pembelajaran antar siswa dan
bagaimana cara belajar siswa dalam pembelajaran yang dikelola oleh guru. Berdasarkan perhitungan
guru dapat melaksanakan hampir seluruh rencana pembelajaran yang disusun. Hasil wawancara yang
telah dilakukan kepada guru dan 6 (enam) orang siswa mengatakan bahwa terdapat perbedaan saat
belajar menggunakan media dan tidak menggunakan media. Menurut wali kelas III sendiri
mengatakan bahwa dengan diterapkannya media boneka tangan ini membuat semangat siswa
bertambah, siswa antusias mengikuti pelajaran, siswa terlihat jauh lebih aktif dari pelajaran biasanya,
serta hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari pelajaran sebelumnya.
Sedangkan dari hasil wawancara yang dilakukan kepada enam siswa kelas III ini juga
menunjukkan bahwa dengan adanya bantuan media boneka tangan yang digunakan untuk belajar
membuat siswa senang dan semangat dalam belajar. Karena menurut mereka dengan adanya media ini
mereka tidak lagi bosan saat belajar dan mereka merasa sangat terbantu untuk melatih kemampun
menyimak, bukan hanya menyimak pada mata pelajaran Bahasa Indonesia saja, akan tetapi pada mata
pelajaran yang lain juga.

Penerapan Media Boneka Tangan dalam Pembelajaran Menyimak Dongeng

Penerapan media boneka tangan dalam kegiatan pembelajaran di kelas dianalisis berdasarkan
hasil observasi yang dilakukan oleh observer saat kagiatan belajar berlangsung di kelas. Hal ini berarti
saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, observer selalu mengamati terjadinya proses kegiatan
belajar. Hal yang diobservasi yaitu disesuaikan dengan sistematika kegiatan pembelajaran (RPP).
Adapun kegiatan yang diobservasi adalah kegiatan guru saat mengajar menyimak dongeng dengan
media boneka tangan.
Hasil observasi yang diperoleh dijadikan bukti dan data refleksi selama proses pembelajaran
berlangsung, kemudian dijadikan acuan untuk perbaikan pada siklus berikutnya. Hal-hal yang
diobservasi saat penelitian tentang peningkatan kemampuan menyimak dongeng dengan media
boneka tangan pada siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri 16 Sungai Ringin Kabupaten Sintang Tahun
Pelajaran 2016/2017 dalah sebagai berikut.
Hasil observasi kegiatan guru siklus I menunjukan bahwa dari sebelas aspek kegiatan yang
diamati oleh observer, diketahui sepuluh aspek yang sudah terlaksanakan dengan baik dan satu aspek
185
Peningkatan Kemampuan Minyimak Dongeng melalui Pembelajaran Menggunakan Media Boneka
Tangan (Desy Sugianto, Dwi Cahyadi Wibowo, Ursula Dwi Oktaviani)

yang masih belum maksimal.Sedangkan pada siklus II sebelah aspek yeng diamati observer sudah
terlaksana dengan. Berdasarkan observasi, dapat digambarkan sebagai berikut.
Aspek guru membawa semua perangkat pembelajaran yang digunakan pada siklus I dan siklus
II sudah dilakukan dengan baik. Aspek guru mengadakan apersepsi dengan dengan bertanya jawab
mengenai materi yang akan dipelajari, siklus I guru sudah melakukan apersepsi sesuai dengan
bertanya jawab mengenai materi yang akan dipelajari, sedngkan pada siklus II dilakukan dengan
mengulas kemabali materi pertemuan sebelumnya. Aspek guru menyampaikan indikator yang
menjadi tujuan pemebelajarn, pada siklus I dan siklus II sudah dilaksanakan oleh guru sesuai dengan
tujuan pembelajaran.Aspek menyampaikan materi ajar, siklus I sudh guru sampaikan, tetapi cara-cara
menyimak dongeng perlu dijelaskan lebih mendalam. Sedangkan pada siklus II sudah guru jelaskan
dengan baik yaitu guru menguasai materi ajar dan menjelaskan dengan lebih detail atau mendalam.
Aspek guru menjelaskan langkah-langkah menyimak dongeng dengan media boneka tangan,
siklus I sudah guru jelaskan dengan baik, namun perlu dijelaskan secara sistematis agar siswa tidak
kebingungan.Pada siklus II sudah guru jelaskan dengan baik, sistematis dan maksimal.Aspek guru
memainkan boneka tangan, siklus I dan siklus II sudah dilakukan oleh guru dengan baik.Aspek
selanjutnya, guru mengarahkan siswa menyimak dongeng dengan media boneka tanagn agar siswa
mencatat ide-ide manarik yang terdapat dalam dongeng, siklus I sudah guru laksanakan tetapi perlu
ketegasan agar sisw mau mencatat ide-ide menarik sehingga siswa tidak ngobrol dan serius
menyimak.Sedangkan pada siklus II suadh guru laksanakan dengan baik dan tegas sehingga
siswaserius menyimak dan mencatat hal-hal menarik yang terdapat dalam dongeng. Aspek guru
menjelaskan cara merangkai ide-ide menarik yang ada dalam dongeng menjadi hal-hal yang manarik,
siklus I dan siklus II sudah guru jelaskan dengan baik.
Aspek guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan merespon pertanyaan
siswa, siklus I sudah guru laksanakan, tetapi perlu guru lakukan dengan memperhatikan waktu,
mampu mengolah pertanyaan dan jawaban dengan sederhana.Sedangkan pada siklus II sudah
dilaksanakan dengan baik dan efektif serta lugas.Aspek guru menyimpulkan materi pembelajaran,
siklus I guru tidak menyimpulkan materi pembelajaran karena keterbatasan waktu, dan siklus II sudah
guru laksanakan dengan baik.Aspek yang terakhir guru mengakhiri pembelajaran, siklus I dan siklus
II sudah guru laksanakan dengan baik.
Berdasarkan urian tersebut, maka tingkatbkegiatan guru dalam penerapan media boneka tangan
dalam pembelajaran menyimak dongeng pada siklus I sudah cukup baik, namun perlunditingkatkan
agar mendapat hasil yang maksimal. Sedangkan pada siklus II sudah terlaksana dengan baik dan
maksimal.Dengan demikian, maka tingkat kegiatan guru dalam penerapan media boneka tangan
dalam pembelajaran menyimak dongeng sudah baik. Hal ini dibuktikan berdasarkan observasi
kegiatan siswa saat mengikuti kegiatan belajar di kelas dengan presentase aktivitas siswa pada siklus I
dengan rata-rata 87,5% dan meningkat 12,5 poin menjadi 100% pada siklus II. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa penerapan media boneka tangan mampu meningkatkan aktivitas belajar
siswa dalam menyimak dongeng.

Peningkatan Kemampuan Menyimak Dongeng Menggunakan media Boneka Tangan

Berdasarkan hasil belajar siswa secara umum menunjukan bahwa peningkatan kemampuan
menyimak dongeng menggunakan media boneka tangan sangat signifikan.Hal ini terlihat dari hasil tes
menyimak dongeng pada siklus I ke siklus II. Berdasarkan hasil tes, diketahui pada siklus I rata-rata
nilai yang diperoleh siswa sebesar 63,78 dengan jumlah siswa yang dinyatakan tuntas 17 siswa,
dengan presentase ketuntasan klasikal 60,71% kategori cukup. Sedangkan siswa yang tidak tuntas
berjumlah 11 siswa, dengan presentase 39,21%. Sedangkan pada siklus II meningkat 8,64 poin nilai
rata-rata dipeoleh siswa sebesar 72,42 dengan jumlah siswa yang dinyatakan tuntas berjumlah 24
siswa, dengan presentase ketuntasan klasikal 85,71% kategori baik. Sedangkan siswa yang tidak
tuntas berjumlah 4 siswa, dengan presentase 14,28%. Dengan demikian, maka penelitian ini sudah
mencapai target maksimal dan dinyatakan berhasil karena peningkatan jumlah siswa yang tuntas
(masuk dalam kategori mencapai target sesuai KKM) sudah mencapai 85%. Hal ini sejalan dengan

186
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 179 – 189

pendapat dari Depdikbud, 1996 (Bakri, 2014: 90) yang berbunyi “suatu kelas dikatakan tuntas jika
kelas tersebut lebih dari atau sama dengan 85% siswa yang tuntas belajarnya”.
Analisis data peningkatan kemampuan menyimak dongeng menggunakan media boneka tangan
pada penelitian ini berkaitan dengan penelitian Cristanti (2013) mengemukakan bahwa kemampuan
menyimak dongeng siswa kelas II SD Negeri Nogosari 04 Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember
mengalamipeningkatan. Hal ini dapat dilihat dari perolehan hasil belajar siswa pada siklus 1 sebesar
67,5% mengalami peningkatansebesar 21,7% menjadi 89,2% pada siklus 2. Berdasarkan data di atas
maka dapat disimpulkan bahwa media bonekatangan dapat meningkatkan kemampuan menyimak
dongeng siswa kelas II SD Negeri Nogosari 04 Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember.

Respon Siswa Terhadap Penerapan Media Boneka Tangan dalam Pembelajaran Menyimak
Dongeng

Kegiatan belajar menyimak dongeng dengan media boneka tangan menurut responden mereka
suka karena mudah menangkap informasi yang disampaikan melalui media boneka tangan
dibandingkan tuturan langsung dan menurut mereka dongeng yang disampaikan dengan media boneka
tangan menarik untuk disimak. Responden mengatakan termotivasi dengan penerapan boneka tangan,
sebab usia siswa Sekolah Dasar senang mendengarkan dongeng. Responden mengungkapakan
antusias dan berminat belajar dengan penerapan media boneka tangan, karena bisa memperoleh ide-
ide menarik dan mudah diingat. Responden mengungkapkan bahwa menyimak dongeng dengan
media boneka tangan bisa membuat serius karena asik dan menyenangkan, bahkan banyak hal
menarik yang yang dapat diketahui dan diperoleh.Responden juga mengungkapkan bahwa penerapan
media boneka tangan perlu diterapkan pada saat pembelajaran di sekolah, karena dapat memotivasi
dan menambah semangat untuk belajar.
Menurut responden, pelaksanaan pembelajaran menyimak dongeng dengan media boneka
tangan memberikan kesan positif pada diri mereka, sebab mampu memotivasi dan memberikan
contoh moral yang baik.Responden juga mengatakan bahwa dengan penerapan media boneka tangan
mereka bisa melihat dan mendengar secara bersamaan tentang peristiwa yang digambarkan dalam
cerita, sehingga mempermudah pemahaman penilaian pada dongeng tersebut.Dengan demikian, maka
respon siswa terhadap menyimak dongeng dengan media boneka tangan sangat baik dan posif.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan rumusan masalah, hasil pengolahan dan analisis data serta pembahasan, dapat
disimpulkan (1) Penerapan media boneka tangan sudah terlaksana dengan baik. (2) Peningkatan
kemampuan menyimak dongeng menggunkan media boneka tangan mengalami peningkatan. (3)
Respon siswa terhadap penerapan media boneka tangan dalam proses pembelajaran menyimak
dongeng mendapatkan respon positif ditunjukkan dengan antusiame, keaktifan, serta termotivasinya
siswa dalam mengikuti kegiatan belajar menyimak dongeng menggunakan media boneka tangan.

DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. 2015. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Arsyad, Azhar. 2015. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Perdasa.

Bakri, Anuar. 2014. Peningkatan Kemampuan Menyimak Dongeng Menggunakan Media Film Kartun
Pada Siswa Kelas VIIA Sekolah Menengah Pertama Negeri I Kayan Hilir Tahun Pelajaran
2013/2014.Skripsi. STKIP Persada Khatulistiwa Sintang: Tidak diterbitkan.

Cristanti, Ratih Anggita, dkk. 2013. Meningkatkan Kemampuan Menyimak melalui Media Boneka
Tangan pada Siswa Kelas II SDN Nogosari 04 Kecamatan Rambipuji Kabupaten
Jember.http://repository.unej.ac.id. (diakses pada tanggal 27 mei 2016).

187
Peningkatan Kemampuan Minyimak Dongeng melalui Pembelajaran Menggunakan Media Boneka
Tangan (Desy Sugianto, Dwi Cahyadi Wibowo, Ursula Dwi Oktaviani)

Dewi, Marantika Komang Ni, dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Role PlayingBerbantuan
Media Boneka Tangan Untuk MeningkatkanPerkembangan Sosial Emosional Anak DiTk
Jaya Kumara Cau Blayu. E-Journal Ganesha.Volume 2 Nomor 1.

Fathurrohman, Pupuh dan Sutikno Sobry. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Refika
Aditama.

Hasan, Akhmad. 2014. Peran Storytelling Terhadap Pembinaan Minat Baca Siswa Sekolah Dasar
Islam Khazanah Kebajikan Pondok Cabe Hilir Tangerang.Skripsi. Universitas Islam
Negeri: Tidak diterbitkan.

Ifadah, Ayunda Sayyidatul dan Zainul Aminin.2013. Kemampuan Menyimak Anak Kelompok A
Dalam Kegiatan Bercerita di TK Muslimat 42 Nurul Ulum Manyarr Gersik.
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&
ved=0ahUKEwjM3vDWu6_MAhUMGpQKHRsnBYcQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fej
ournal.unesa.ac.id%2Farticle%2F6326%2F19%2Farticle.pdf&usg=AFQjCNERDUD90L5Gi
c6gy72npJjcH3rxEQ&bvm=bv.120853415,d.dGo. (diakses pada tanggal 19 April 2016).

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Penelitian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE-


YOGYAKARTA.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Rada, Jersy Florensia. 2015. Peningkatan Hasil Belajar IPA Siswa Dengan Metode Talking Stick
Pada Materi Perubahan Kenampakan Bumi dan Benda Langit Kleas IV SD Negeri 05
Beloyang Tahun Pelajaran 2014/2015.Skripsi. STKIP Persada Khatulistiwa Sintang: Tidak
diterbitkan

Saddhono, Kundharu dan Slamet St. Y. 2012.Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Indonesia.


Bandung: CV. Karya Putra Darwati

Sisdiknas. 2013. Pendidikan Nasional.


Sudjana, Nana dan Rivai Ahmad. 2015. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Sugiyono, 2008.Metode Penelitian Kuntitaif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, 2013.Metode Penelitian Pendidikan. Bnadung: Alfabeta.

Sukertini, Ni Wyn, dkk. 2015. Penerapan metode bermain peran berbantuan mediaBoneka tangan
untuk meningkatkan kemampuan berbicara anak kelompok bTk kumara adi 1 denpasar. E-
Journal Ganesha.Volume 3 Nomor 1.

Sukmadinata dan Nana Syaodih.Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suryono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Susana, E., Wibowo, D.C., dan Mardawani.2016. Peningkatan Kemampuan Menulis Surat Pribadi
Menggunakan Media Audio
Visual.http://103.53.197.207/ojs/index.php/PERKHASA/article/view/89/76(diakses pada
tanggal 22 September 2016)

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menyimak. Bandung: Angkasa.

188
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 179 – 189

Trianto. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prestasi Pustakarya.


Widyanigrum, Heny Kusuma. 2015. Penggunaan Media Audio untuk Meningkatkan Kemampuan
Menyimak Dongeng Anak PADA Siswa Kelas IV Sekolah Dasar. Premiere
Educandum.Volume 5 Nomor 2.

Yunus, Afri. 2015. Peningkatan Keterampilan Berbicara Menggunakan Media Boneka Tangan Pada
Siswa Kelas VIIB Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sokan Tahun Pelajaran
2014/2015.Skripsi. STKIP Pesada Khatulistiwa Sintang: Tidak diterbitkan.

189
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN
KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPS SISWA

Agustina Tyas Asri Hardini


tyas.asri@staff.uksw.edu
PGSD/FKIP/Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Indonesia

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF INQUIRY METHOD TO INCREASE


STUDENTS’ PARTICIPATION AND ACHIEVEMENT IN LEARNING SOCIAL STUDIES

This research was conducted to increase students’ participation and achievement in learning Social
Studies of grade 4 by implementing inquiry method in SD Negeri Kenteng 1 Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang semester II year 2016/2017. This research was based on Kemmis and Taggart
classroom action research model. The subject of this study were 17 students. The indicator of success
of this study was that 80% of the students achieve equal or more than the passing grade (70). It was
shown that the implementation of inquiry method is able to increase students’ participation and
achievement. The ratio of participation from phase 1 to phase 2 increased from 64.70% to 88.23%. On
the other side, students’ achievement in phase 1 was that 70.50% of the students reached the minimum
passing grade with the mean value of 88.90. On the second phase, 100% of the students were able to
pass the minimum passing grade, and the mean value of the class increase to 93.80. From those result,
it can be stated that inquiry method was able to increase students’ participation and achievement in
learning Social Studies for grade 4 students of SD Negeri Kenteng 1 Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang.

Keywords :Inquiry Method, Learning achievement and participation

Article Info
Received date: 28 April 2017 Revised date: 8 Mei 2017 Accepted date: 9 Mei 2017

PENDAHULUAN
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik dapat
secara aktif mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dalam masyarakat, bangsa dan negara. Riyanto (2010:6) menyatakan bahwa proses
pembelajaran dan belajar jika berjalan secara aktif maka akan terjadi perubahan performasi yang tidak
terbatas pada ketrampilan saja, tetapi juga meliputi fungsi-fungsi seperti skill, persepsi emosi, proses
berpikir, sehingga dapat menghasilkan perbaikan performasi. Maka dalam proses pembelajaran
ditekankan perlunya peran aktif peserta didik untuk mengkonstruk pengetahuan agar terjadi perubahan
performasi yang tidak terbatas.
Menurut Sudjana dalam Jihad,dkk (2013:2) belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan
adanya perubahan pada diri seseorang, perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan
dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku,
keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta aspek-aspek yang ada pada individu yang belajar. Dalam
kegiatan pembelajaran seorang pendidik harus mengetahui karakteristik peserta didiknya, karena
menurut Jean Piaget dalam Rohman (2011:124) mengemukakan bahwa peserta didik usia 7-11 tahun
atau usia SD ada pada tahap operasional konkret yang membutuhkan pelajaran melalui pengalaman
dan persentuhan dengan hal-hal yang bersifat konkret, nyata, dan bisa diamati secara langsung.
Penelitian ini memilih mata pelajaran IPS karena mata pelajaran tersebut mengkaji tentang
hubungan sosial antara makhluk hidup dengan makhluk lain dan makhluk hidup dengan
lingkungannya. Dengan mata pelajaran IPS maka anak dapat belajar dari pengalaman dan bersentuhan
190
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 190 – 198

dengan hal-hal yang bersifat konkret yang didapatkan dalam lingkungan sekitarnya. Dalam
penerapannya, pembelajaran IPS memerlukan pendekatan yang dapat membantu proses pembelajaran
menjadi lebih menarik. Trimo (2006:3) menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan diterapkannya pendekatan inkuiri dalam pembelajaran
diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mudah dipahami. Pendekatan
pembelajaran ini mempunyai sasaran utama yaitu 1) keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses
pembelajaran; 2) keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pembelajaran; 3)
membangun sikap percaya diri siswa tentang apa yang ditemukan pada proses inkuiri.
Berdasarkan observasi di SD Negeri Kenteng 01 pada tanggal 18 Januari 2017, terkait dengan
hasil belajar siswa kelas IV pada mata pelajaran IPS diperoleh data bahwa 9 dari 17 siswa belum
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan yaitu 70. Setelah menganalisis,
dengan terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran di kelas dan wawancara pada tanggal 23
dan 27 Januari 2017, diperoleh hasil bahwa dalam proses pembelajaran guru menggunakan metode
ceramah. Penggunaan metode ceramah dalam KTSP tidak mengurangi minat siswa dalam belajar.
Namun penggunaan metode ceramah yang berlebihan mempersulit guru mengaktifkan siswa di kelas
serta memperkecil kesempatan bagi siswa untuk membangun pengetahuan yang utuh. Kedua hal ini
terlihat dari hasil wawancara yang telah dilakukan, dimana siswa menyukai pelajaran IPS namun
dalam proses pembelajaran siswa hanya duduk diam dan mendengarkan penjelasan dari guru. Selain
penggunaan pendekatan pembelajaran terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala dalam proses
pembelajaran IPS untuk mencapai kompetensi yang diharapkan seperti kurangnya media serta sarana
dan prasarana yang mendukung. Di samping itu, siswa juga mempunyai kendala yang berasal dari diri
siswa seperti kurangnya semangat belajar dan perbedaan intelektual dari siswa.
Berdasarkan masalah yang nampak tersebut, diperlukan tindakan dengan cara menerapkan
pendekatan pembelajaran inkuiri dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, sehingga diharapkan
keaktifan dan hasil belajar siswa dapat meningkat. Dengan menggunakan pendekatan inkuiri,
diharapkan siswa mampu memecahkan masalah yang diberikan guru, kemudian mereka mampu
mengatasi masalah di luar kelas atau ditengah-tengah masyarakat, serta mampu mengatasi masalah
yang dihadapinya, dan juga mampu mengaplikasikan ilmu, pengetahuan dan keterampilan yang
mereka dapatkan dari gurunya. Adapun tujuan dari penelitian tindakan kelas ini adalah: 1)
mendeskripsikan pembelajaran inkuiri dalam meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPS siswa
kelas IV SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Semester II Tahun
Pelajaran 2016/2017; 2) Untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam mata pelajaran IPS
menggunakan pendekatan Inkuiri pada siswa kelas IV SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Susukan
Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2016/2017; 3) Untuk meningkatkan hasil belajar
IPS dengan menggunakan pendekatan Inkuiri pada siswa kelas IV SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2016/2017.

KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran IPS
Menurut Widiarto dan Suwarso (2007: 1) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah program
pendidikan yang mengintegrasikan secara interdisiplin, konsep ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Dalam IPS terdapat mata pelajaran tentang kehidupan sosial yang berdasarkan bahan kajian geografi,
ekonomi, sosiologi dan antropologi. Sedangkan menurut Soemantri (2001 : 89) IPS merupakan suatu
program pendidikan dan bukan sub disiplin ilmu tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik
dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial (social science) maupun ilmu pendidikan.
Selain itu menurut Suradisastra, dkk (1992 :4) mengemukakan bahwa IPS adalah kajian tentang
manusia dan dunia sekelilingnya. Berdasarkan uraian para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan program pendidikan yang didalamnya mengintegrasikan
berbagai disiplin ilmu agar siswa menjadi manusia yang berakhlak mulia terhadap sesama,
bertanggung jawab, dan dapat berpikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan dalam
kehidupannya.

Pendekatan Pembelajaran Inkuiri


Menurut Hamdayana (2014:132) pendekatan pembelajaran adalah suatu pola atau langkah-
langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang
191
Penerapan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri untuk meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Belajar
IPS Siswa (Agustina Tyas Asri Hardini)

diharapkan akan cepat dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Sedangkan Dahar (2011:97)
menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan guru
sebagai acuan dalam pelaksanaan belajar di kelas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang digunakan guru sebagai acuan pelaksanaan proses
pembelajaran di kelas guna mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan.
Penelitian ini memilih pendekatan pembelajaran inkuiri sebagai pendekatan yang dapat
digunakan untuk menjawab harapan dan tujuan dari sebuah proses pembelajaran. Sund dalam Trianto
(2011:135) menyatakan bahwa discovery adalah bagian dari inkuiri, atau inkuiri merupakan perluasan
proses discovery yang lebih mendalam. Inkuiri berasal dari bahasa inggris inquiry berarti pertanyaan
atau memeriksa, penyelidikan. Inkuiri dijadikan sebagai sarana oleh manusia dalam mencari atau
memahami informasi. Gulo dalam Trianto (2011:135) menyatakan bahwa pendekatan inkuiri berarti
suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk
mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan
sendiri penelitiannya dengan penuh rasa percaya diri. Serupa dengan Gulo, menurut Schmidt dalam
Amri., dkk (2010:85) menyatakan bahwa inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan
mendapatkan informasi dengan melakukan observasi dan atau eksperimen untuk mencari jawaban
atau memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah dengan menggunakan
kemampuan berpikir logis.
Adapun kelebihan dari pendekatan inkuiri antara lain :
1. Menekankan pada aspek kognitif dan psikomotorik secara seimbang.
2. Memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
3. Merupakan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern.
4. Melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Menurut Sanjaya (2010:201-205) menyatakan bahwa pembelajaran menggunakan Inkuiri
terdiri dari beberapa langkah rinci disajikan dalam tabel berikut :
Tabel. 1 Langkah-Langkah Pembelajaran
Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri
Langkah Rincian Kegiatan Pembelajaran
Langkah Pertama Guru menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang
Orientasi diharapkan.
Guru menyampaikan gambaran kegiatan pembelajaran yang
menggunakan Inkuiri
Guru melakukan motivasi/apersepsi yaitu mengaitkan materi
yang hendak dipelajari dengan contoh yang ada dddalam
kehidupan sehari-hari
Langkah kedua Masalah hendaknya dirumuskan sendiri oleh siswa. Guru hanya
Merumuskan memberikan topik yang akan dipelajari, sedangkan bagaimana
masalah rumusan masalah yang sesuai diserahkan kepada siswa.
Masalah yang dikaji adalah masalah yang mengandung teka-teki
yang jawabannya pasti.
Langkah ketiga Guru mengajukan berbagai pertanyaan yang mendorong siswa
Merumuskan untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat
hipotesis merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu
permasalahan yang dikaji.
Langkah keempat Guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong
Mengumpulkan siswa untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
data Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan
diskusi/bertukar pendapat.
Langkah kelima Guru member kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
Menguji hipotesis kemampuan berpikir rasionalnya yaitu membuktikan kebenaran
jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi,
akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Langkah keenam Akhir dari pembelajaran guru bersama siswa menyimpulkan

192
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 190 – 198

Merumuskan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis.


kesimpulan

Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Abdurrahman yang dikutip oleh Jihad, dkk (2013 : 14) adalah
kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Dalam Permendikbud Nomor 104
tahun 2014 dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh peserta didik adalah proses pengumpulan
informasi/bukti tentang capaian pembelajaran peserta didik dalam kompetensi sikap spiritual dan
sikap sosial, komepetensi pengetahuan, dan kompetensi ketrampilan yang dilakukan secara terencana
dan sistematis, selama dan setelah proses pembelajaran. Benyamin S. Bloom dalam Jihad, dkk (2013 :
14) mengemukakan bahwa ada tiga ranah atau domain hasil belajar yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan anak yang
diperoleh anak setelah mengikuti proses pembelajaran yang terbagi menjadi tiga ranah yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik.

Keaktifan
Keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik atau mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai
suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Sardiman, 2011:100). Rousseau dalam (Sardiman,
2011:100) menyatakan bahwa setiap orang yang belajar peserta didik dalam belajar dengan hukum
“law of exercise”-nya menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan dan Mc Keachie
yang dikuti oleh Dimyati (2009:45) menyatakan berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan
bahwa individu merupakan “Manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu” .
Kane (2004:285) dalam jurnalnya yang berjudul Educators, Learners and Active Learning
Methodologies, menyatakan bahwa :
“‘Active’ learning is an increasingly common term in education which comes squarely under the
broad category of ‘teaching as the facilitation of learning’: what might loosely be called active
learning methodologies’ provide a host of imaginative pedagogical techniques for engaging learners
in the educational process across a range of subject matters and in both formal and non formal
settings.”

Sudjana (2006: 61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal:
a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajar;
b. Terlibat dalam pemecahan masalah;
c. Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya;
d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah;
e. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru;
f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya;
g. Meleatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis;
h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperoleh dalam menyelesaikan tugas atau
persoalan yang dihadapinya.

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Model penelitian ini
mengadopsi model PTK Kemmis & Taggart dalam Arikunto,dkk (2012:16) yang membagi prosedur
penelitian tindakan menjadi empat tahap dalam setiap siklusnya, yaitu perencanaan (planning),
tindakan (acting), pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting). Penelitian ini terdiri dari dua
siklus dengan masing-masing siklus terdiri dari dua pertemuan. Subjek dalam penelitian ini adalah
siswa kelas IV SD Kenteng 01 Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang yang terdiri dari 17 siswa.
Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran Inkuiri. Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah keaktifan belajar dan hasil belajar IPS siswa.
Pengumpulan dat adalam penelitian ini menggunakan : 1) pedoman wawancara, yang
digunakan untuk mengetahui kendala yang dihadapi siswa dan guru dalam pelaksanaan pembelajaran;
2) Lembar observasi yang digunakan untuk mengukur keaktifan siswa sebelum dan sesudah dilakukan
penelitian; 3)Tes yang digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dan 4) studi dokumen.

193
Penerapan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri untuk meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Belajar
IPS Siswa (Agustina Tyas Asri Hardini)

Indikator keberhasilan yang dipergunakan pada penelitian ini jika keterlaksanaan aktivitas
siswa dalam kegiatan pembelajaran mencapai 80%, dan siswa dinyatakan tuntas apabila memperoleh
nilai sesuai KKM yang telah ditentukan sebesar 70. Jadi nilai hasil belajar kognitif siswa hars ≥70.
Sedangkan ketuntasan belajar klasikal dapat dikatakan tercapai apabila paling sedikit 80% siswa di
kelas tersebut telah mencapai KKM.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kondisi Awal
Pelajaran IPS di SD Negeri Kenteng 01 selama ini dianggap sebagai pelajaran yang bersifat
hafalan semata, sehingga metode yang selalu digunakan guru adalah ceramah dan penugasan.
Sehingga pembelajaran lebih berpusat pada guru (teacher centered). Setelah melakukan observasi
secara langsung dalam proses pembelajaran di kelas dan wawancara pada tanggal 23 dan 27 Januari
2017, diperoleh hasil bahwa metode ceramah yang berlebihan ini menyebabkan siswa menjadi
mengantuk, bosan dan tidak memperhatikan dalam pembelajaran. Berdasarkan lembar observasi yang
digunakan pada saat observasi pendahuluan menunjukkan keaktifan siswa diperoleh rata-rata
persentase 30% (kurang aktif). Hal ini berdampak pada rendahnya pemahaman siswa dalam pelajaran
IPS, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya hasil belajar IPS , dimana dari 17 siswa hanya 8 siswa
yang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan yaitu 70.

Deskripsi Siklus I
Tahap perencanaan (planning) dilaksanakan dengan mempersiapkan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dengan kompetensi dasar mengenal perkembangan teknologi produksi,
komunikasi dan transportasi serta pengalaman menggunakannya. RPP dari peneliti kemudian
diterapkan oleh guru kelas. Pelaksanaan siklus I terdiri dua pertemuan. Kompetensi dasar setiap
pertemuan dalam siklus I terdiri dari empat indikator pada pertemuan pertama dan satu indikator pada
pertemuan kedua. Pertemuan pertama menyebutkan perkembangan teknologi komunikasi,
mengidentifikasi karakteristik alat komunikasi pada zaman dahulu dan modern, serta menemukan
kelebihan dan kelemahan alat komunikasi zaman dahulu dan modern. Pertemuan kedua menjelaskan
penggunaan teknologi komunikasi secara tepat guna dalam kehidupan sehari-hari serta pelaksanaan
evaluasi.
Pada tahap pelaksanaan (acting) siklus I pertemuan I dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Maret
2017, dengan alokasi waktu 2 x 35 menit yang dimulai dari pukul 07.30-08.40. Sedangkan siklus I
pertemuan II dilaksanakan pada hari Sabtu, 18 Maret 2017, dengan alokasi waktu 2 x 35 menit yang
dimulai dari pukul 07.30-08.40. Kegiatan dilakukan berdasarkan RPP yang telah dibuat disamping itu
dilaksanakan pula observasi (observe).
Pada Siklus I dengan materi mengenal perkembangan teknologi komunikasi. Langkah awal
guru menjelaskan teknologi komunikasi yang berkembang saat ini, kemudian guru menyampaikan
pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran inkuiri. Dilanjutkan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk menemukan jawabannya sementara atau
hipotesis. Selanjutnya guru menjelaskan sedikit dan menampilkan gambar-gambar yang dapat
dijadikan sumber informasi bagi siswa untuk menjawab pertanyaan ataupun masalah yang dilontarkan
guru. Siswa juga dapat mencari sumber lain seperti menggunakan buku paket atau LKS untuk
menambah informasi untuk menjawab pertanyaan. Setelah masing-masing siswa mendapatkan
jawaban dari berbagai sumber yang ada, siswa dan guru melakukan uji hipotesis, setelah itu siswa
bersama guru menarik kesimpulan dari hasil pencarian informasi dari berbagai sumber dan mengecek
kebenaran dari hipotesis siswa.
Pada kegiatan akhir siswa mengerjakan soal pilihan ganda yang diberikan oleh guru sesuai
dengan indikator pada siklus I pertemuan pertama dan kedua. Nilai IPS siklus I diperoleh hasil
sebagai berikut: nilai tertinggi 100, nilai terendah 68, nilai rata-rata 88,9. Masih ada 5 mahasiswa
(30%) yang belum memenuhi KKM.

Observasi Pembelajaran
Berdasarkan lembar observasi pada pelaksanaan pembelajaran siklus I sebagian peserta didik
sudah merespon kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung.Keaktifan peserta didik pada siklus

194
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 190 – 198

I mencapai rata-rata 64,70% dalam kategori cukup aktif. Dari data observasi dalam siklus I diperoleh
hasil observasi meliputi : dari17 siswa 12 siswa sudah aktif dalam melaksanakan tugas belajar dan
terlibat dalam pemecahan masalah, siswa tidak ragu-ragu bertanya kepada guru berkaitan dengan
materi yang tidak dipahami, siswa sudah aktif mencari sumber informasi untuk memecahkan masalah
dari buku yang tersedia, namun ada beberapa siswa yang belum terlihat aktif dalam kegiatan
kelompok, masih ada 5 siswa yang tidak mau berdiskusi dengan teman-temannya dan malah asyik
main sendiri.

Refleksi
Setiap akhir pelaksanaan pembelajaran siklus I (pertemuan 1 dan 2) dilakukan refleksi
pembelajaran, dimana dapat disimpulkan:
a. Guru masih kurang memahami sintaks pembelajaran inkuiri sehingga terkesan ragu-ragu dalam
pelaksanaannya,
b. Guru melakukan kegiatan apersepsi dengan memberikan contoh-contoh konkret di kehidupan
sehari-hari siswa
c. Guru memfasilitasi siswa untuk berdiskusi dan menemukan pemecahan masalah dari pertanyaan
yang disajikan
d. Guru masih kurang dalam memberikan pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk
merumuskan hipotesis
e. Guru tidak pernah memberikan reward (sanjungan) kepada siswanya selama pembelajaran
berlangsung

Deskripsi Siklus II
Pada tahap perencanaan (planning) kegiatan berupa mempersiapkan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dengan kompetensi dasar mengenal perkembangan teknologi produksi,
komunikasi dan transportasi serta pengalaman menggunakannya. RPP dari peneliti kemudian
diterapkan oleh guru kelas. Pencapaian kompetensi dasar diwujudkan dalam empat indikator yang
berbeda pada pertemuan I dan II. Pada pertemuan I materi yang dipelajari adalah menyebutkan,
mengidentifikasi dan mengklasifikasi perkembangan teknologi transportasi. Pada pertemuan II materi
yang dipelajari adalah penggunaan alat transportasi dalam kehidupan sehari-hari serta pelaksanaan
evaluasi.
Pada tahap tindakan (acting) siklus II pertemuan I, dilaksanakan pada hari Senin, 20 Maret
2017 dengan alokasi waktu 2 x 35 menit (2 jam pelajaran), dari pukul 07.30-08.40. Sedangkan siklus
II pertemuan II dilaksanakan pada hari Selasa, 21 Maret 2017 dengan alokasi waktu 2 x 35 menit (2
jam pelajaran), mulai pukul 07.30 hingga 08.40. Kegiatan dilakukan berdasarkan RPP yang telah
dibuat disamping itu dilaksanakan pula observasi.
Pada Siklus II dengan materi mengenal perkembangan teknologi transportasi. Langkah awal
guru menjelaskan teknologi transportasi yang berkembang saat ini, kemudian guru menyampaikan
pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran inkuiri. Dilanjutkan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk menemukan jawabannya sementara atau
hipotesis. Selanjutnya guru menampilkan gambar-gambar yang dapat dijadikan sumber informasi bagi
siswa untuk menjawab pertanyaan ataupun masalah yang dilontarkan guru. Siswa juga dapat mencari
sumber lain seperti menggunakan buku paket atau LKS untuk menambah informasi untuk menjawab
pertanyaan. Setelah masing-masing siswa mendapatkan jawaban dari berbagai sumber yang ada,
siswa dan guru melakukan uji hipotesis, setelah itu siswa bersama guru menarik kesimpulan dari hasil
pencarian informasi dari berbagai sumber dan mengecek kebenaran dari hipotesis siswa.
Pada kegiatan akhir siswa mengerjakan soal pilihan ganda yang diberikan oleh guru sesuai
dengan indicator pada siklus I pertemuan pertama dan kedua. Nilai IPS siklus II menunjukkan hasil
belajar siklus II mengalami peningkatan dari nilai terendah 72, nilai tertinggi 100 dan rata-rata kelas
93,8 dengan ketuntasan belajar 17 siswa mencapai 100%.
Observasi Pembelajaran
Berdasarkan lembar observasi pada pelaksanaan pembelajaran siklus II sebagian peserta didik
sudah merespon kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung.Keaktifan peserta didik pada siklus
II mencapai rata-rata persentase 88,23% (Kategori sangat aktif). Dari data observasi dalam siklus II
diperoleh hasil observasi meliputi : dari17 siswa 16 siswa sudah aktif dalam melaksanakan tugas
belajar dan terlibat dalam pemecahan masalah (1 siswa tidak berangkat selama siklus II berlangsung
195
Penerapan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri untuk meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Belajar
IPS Siswa (Agustina Tyas Asri Hardini)

dikarenakan sakit), siswa tidak ragu-ragu bertanya kepada guru berkaitan dengan materi yang tidak
dipahami, siswa sudah aktif mencari sumber informasi untuk memecahkan masalah dari buku yang
tersedia, guru ikut berperan serta dalam mendorong siswa yang awalnya tidak aktif dalam diskusi agar
dapat terlibat aktif dalam diskusi bersama teman-temannya.

Refleksi
Setiap akhir pelaksanaan pembelajaran siklus II (pertemuan 1 dan 2) dilakukan refleksi
pembelajaran, dimana dapat disimpulkan:
a. Guru sudah melaksanaka sintaks pendekatan pembelajaran inkuiri benar dan tidak ragu-ragu
b. Guru melakukan kegiatan apersepsi dengan memberikan contoh-contoh konkret di kehidupan
sehari-hari siswa
c. Guru memfasilitasi siswa untuk berdiskusi dan menemukan pemecahan masalah dari pertanyaan
yang disajikan
d. Guru mendorong siswa yang awalnya pasif untuk dapat berdiskusi bersama teman-temannya
e. Guru memberikan motivasi kepada siswa berupa pujian, sehingga siswa lebih bersemangat dalam
belajar
f. Guru mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa menemukan pemeahan
masalah yang disajikan

Perkembangan Hasil Belajar Siswa


Sedangkan Perbandingan hasil belajar IPS siswa sebelum tindakan, siklus I dan siklus II
dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2. Perbandingan Hasil Belajar IPS Siswa Sebelum Tindakan, Siklus I Dan Siklus II
No Hasil Belajar IPS Siswa Sebelum Tindakan Siklus I Siklus II
1. Nilai Tertinggi 78 100 100
2. Nilai Terendah 40 68 72
3. Nilai Rata-Rata 68,6 88,9 93,8
4. Ketuntasan Belajar 47% 70,5% 100%

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa nilai hasil belajar IPA siswa dari sebelum tindakan,
siklus I dan siklu II mengalami peningkatan, dilihat dari rata-rata kelas yang juga mengalami
peningkatan yaitu sebelum tindakan 68,6; siklus I 88,9; siklus II 93,8. Untuk siswa tuntas belajar
dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) 70, pada tes sebelum tindakan 47%, tes siklus I 70,5%, tes
siklus II menjadi 100% tuntas. Sehingga keseluruhan siswa sudah mencapai KKM.

PEMBAHASAN
Penerapan pendekatan pembelajaran Inkuiri dalam pembelajaran IPS kelas IV di SD Negeri
Kenteng 01 dalam penelitian ini mampu meningkatkan keaktifan dan hasil belajar peserta didik secara
kognitif . Dari penilaian tes hasil belajar dan lembar observasi keaktifan siswa terdapat perbedaan
yang cukup signifikan antara pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan guru menggunakan
metode ceramah dan penugasan dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan inkuiri. Pada
pembelajaran konvensional siswa pasif, pembelajaran berpusat pada guru, siswa mengantuk, dan
cenderung tidak memperhatikan pembelajaran IPS di kelas. Sedangkan pada pembelajaran
menggunakan pendekatan Inkuiri siswa yang lebih aktif, guru hanya berperan sebagai fasilitator, dan
siswa terlihat lebih semangat dalam mengikuti pelajaran, dan lebih mandiri dalam belajar karena
siswa dituntut untuk dapat menemukan sendiri jawaban untuk permasalahan yang disajikan.
Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang menonjol berkaitan dengan penerapan pendekatan
pembelajaran Inkuiri, antara lain : 1) siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat pennyelidikan
karena terlibat langsung dalam menemukan jawaban, temuan ini membenarkan pendapat Susanto
(2013:173) dimana manfaat inkuiri salah satunya adalah mengembangkan keterampilan siswa
sehingga mampu bekerja seperti layaknya seorang ilmuwan ; 2) dengan belajar inkuiri, pengetahuan
yang diperoleh siswa lebih mudah diingat dan lebih bertahan lama dikarenakan diperoleh dari hasil
pemikiran sendiri, temuan ini mendukung hasil temuan dari Makahube, dkk (2016) yang
menyimpulkan bahwa pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa dimana

196
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 2, Mei 2017: 190 – 198

didalamnya ada proses menemukan pemecahan masalah oleh siswa sendiri sehingga pengetahuan
yang dibangun bertahan relative lebih lama; 3) siswa dapat terhindar dari belajar dengan hafalan,
temuan ini sesuai dengan pendapat Satyansa (2008) yang mengatakan belajar dengan menghafal
membuat siswa miskin retensi, transfer dan hasil belajar sehingga mengakibatkan kurangnya
kemampuan siswa dalam memahami pembelajaran, oleh karena itu dibutuhkan pendekatan
pembelajaran yang mampu mendorong siswa membangun sendiri pemahamannya.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
pendekatan pembelajaran Inkuiri dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar peserta didik kelas
IV di SD Negeri Kenteng 01 Dusun Krajan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Penerapan
pendekatan pembelajaran Inkuiri dalam proses pembelajaran mampu memberikan ruang bagi peserta
didik untuk membangun pemahaman serta meningkatkan keaktifan peserta didik di kelas. Hal ini
dibuktikan dengan peningkatan keaktifan dan hasil belajar IPS siswa kelas IV di SD Negeri Kenteng
01 pada semester II Tahun pelajaran 2016/2017.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, dkk. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Dahar, Ratna Willis. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Erlangga.

Depdiknas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dimyati. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hamdayama, Jumanta. 2014. Model Dan Metode Pembelajaran Kreatif Dan Berkarakter. Bogor :
Ghalia Indonesia.

Jihad, Asep dan Abdul Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.

Kane, Liam. 2004. Educators, Learners, and Active Learning Methodologies. International Journal of
Lifelong Education, 275-286. Diakses 25 Oktober 2016.
http://dx.doi.org/10.1080/0260/37042000229237

Makahube, Darma dan Adi Winanti. 2016. Implementasi Strategi Pembelajaran Inkuiri Untuk
Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 5 SD Negeri Kutowinangun 11
Kota Salatiga. Jurnal Scholaria, Volume 6 Nomor 2. Satya Wacana University Press.

Permendikbud Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian hasil belajar oleh pendidik.
Rohman, Ujang. (2011). Konsep Dasar Perkembangan Potensi Motorik Anak Usia Pra sekolah.
Tahun VII, No 12. http://digilib.unipasby.ac.id (diakses tanggal 26 Februari 2017).

Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Pedoman Bagi Guru dan Calon Guru.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Satyansa, Wayan. 2008. Upaya peningkatan Profesionalisme Guru dan Praktek Pembelajaran di
Seklah. Makalah. Disajikan dalam Seminar Pembelajaran dan Asesmen Inovatif, Lesson
Study dan Penelitian Tindakan Kelas bagi Guru-guru Seklah Dasar dan Menengah Propinsi
Bali tanggal 31 Mei 2008 di Singaraja.

Soemantri., Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
197
Penerapan Pendekatan Pembelajaran Inkuiri untuk meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Belajar
IPS Siswa (Agustina Tyas Asri Hardini)

Sudjana, Nana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Suradisastra, D., dkk. 1992. Pendidikan IPS III. Jakarta: Depdiknas.

Susanto, Ahmad. 2013. Teori belajar dan pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: PT. Kharisma
Putra Utama.

Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Trimo, Lavyanto. 2006. Model-model pembelajaran inovatif. Bandung: CV. Citra Praya.

Widiarto, T dan Suwarso. 2007. Pendidikan IPS (Pembelajaran IPS). Salatiga: Widya Sari Press.

Profil Singkat
Agustina Tyas Asri Hardini, lahir di Kabupaten Semarang pada tanggal 14 Agustus 1989.
Menyelesaikan Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (2011) dan Magister Pendidikan (2016) di
Universitas Kristen Satya Wacana. Pada tahun 2012-2014 bekerja di SD Kristen 03 Eben Haezer
Salatiga. Pada tahun 2016-sekarang menjadi Dosen di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
di Universitas Kristen Satya Wacana.

198
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF UNTUK
MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS 5 SD

Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono


292012228@student.uksw.edu, har.john59@gmail.com
PGSD, Universitas Kristen Satya Wacana

THE IMPLEMENTATION OF INTERACTIVE LEARNING MODEL


TO IMPROVE ACTIVITY AND LEARNING OUTCOME OF FIFTH GRADE STUDENTS
IN SCIENCE

ABSTRACT

Based on science instructional observation activities especially KD 7.3 for fifth grade students of
SDN Lanjan 02, the achievement score of teacher and student activity were low, similarly with the
results of learning. This study aims to improve the activity and learning outcomes of science through
the implementation of interactive learning model in fifth grade students of SDN Lanjan 02 in the
second semester 2015/2016. The type of research is a collaborative type classroom action research
conducted in two cycles, consisted of three meetings in each cycle. The instruments of the data
collection are test and observation. The technique of data analysis is the comparative descriptive
method by comparing learning activity, learning result, and mastery learning, that are taken from the
result before the action and after the treatment is done, covering cycle I and cycle II. Based on the
observation, the result of average score of individual student activity in pre cycle reached to 24.28%
in 60.71% level. The score increased to 59.50% in cycle I and increased to 81.25% in cycle II. This
means that the application of interactive learning model can improve student activity and learning
outcomes in science learning.
Keywords: interactive learning, learning activity, science learning outcomes

Article Info
Received date: 29 April 2017 Revised date: 23 Mei 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Berdasarkan pengamatan terhadap kegiatan pembelajaran IPA siswa kelas 5 SDN Lanjan 02
semester II tahun pelajaran 2015/2016 ditemukan masalah dalam proses pembelajarannya. Pertama,
ketika guru menyampaikan materi pelajaran sebagian siswa tidak memperhatikan, ada yang melamun,
bercerita dengan teman, bermain sendiri, bahkan me(Rusman, Model-model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru, 2010)(Rusmana, 2007)ngganggu teman lain. Artinya siswa
kurang antusias mengikuti pembelajaran. Kedua, metode pembelajaran yang digunakan guru kurang
melibatkan siswa untuk berpartisipasi aktif dan interaktif selama kegiatan pembelajaran, dan ketiga
perolehan hasil belajar kurang maksimal.
Aktivitas belajar yang belum optimal dapat berdampak pada hasil belajar IPA yang cenderung
rendah. Berdasarkandata nilai ulangan harian IPAkondisi awal, terdapat 13 dari 21 siswa belum
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditentukan oleh sekolah yaitu 71. Sedangkan
yang telah mencapai KKM (≥ 71) hanya 8 siswa dengan persentase 38,10% dan yang belum mencapai
KKM (< 71) sebesar 61,90%.Selain itu nilai rata-rata kelas yang diperoleh masih 67,61. Artinya hasil
belajar IPA belum maksimal dan cenderung rendah.
Dari masalah-masalah yang ditemukan, maka rumusan msalah yang diajukan adalah (1)
Bagaimana penerapan model pembelajaran interaktif dapat meningkatkan aktivitas belajar IPA pada
Kompetensi Dasar (KD) 7.4 mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan manusia yang dapat
mempengaruhinya dan KD 7.5 mendeskripsikan perlunya penghematan air pada siswa kelas 5 SDN
Lanjan 02 semester II tahun pelajaran 2015/2016. (2) Apakah peningkatan aktivitas belajar melalui
model pembelajaran interaktif dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada KD 7.4 mendeskripsikan

199
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

proses daur air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya dan KD 7.5 mendeskripsikan
perlunya penghematan air pada siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 semester II tahun pelajaran 2015/2016.
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu
(1) menerapkan model pembelajaran interaktif untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas 5
SDN Lanjan 02 pada pembelajaran IPA dengan KD 7.4 mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan
manusia yang mempengaruhinya dan KD 7.5 mendeskripsikan perlunya penghematan air, semester II
tahun pelajaran 2015/2016. (2) meningkatkan hasil belajar IPA pada KD 7.4 mendeskripsikan proses
daur air dan kegiatan manusia yang dapat mempengaruhinya dan KD 7.5 mendeskripsikan perlunya
penghematan air pada siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 semester II tahun pelajaran 2015/2016 melalui
peningkatan aktivitas belajar dengan penerapan model pembelajaran interaktif.

KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran IPA di SD
Pembelajaran IPA sebaiknya dilakukan secara sistematis, hal tersebut untuk menumbuhkan
kemampuan siswa dalam berpikir, bekerja dan bersikap secara ilmiah. Menurut Sulistyorini
pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui
penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah(Sulistyorini, 2007). Sedangkan
De Vito, et al. dalam (Samatowa, 2006) menegaskan bahwa “pembelajaran IPA yang baik harus
mengaitkan IPA dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan, mengembangkan ide-ide siswa, membangun rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang
ada di lingkungannya, dan membangun keterampilan (skill) yang diperlukan untuk dipelajari.”
Aktivitas Belajar
Pembelajaran merupakan hubungan antara proses dan hasil. Apabila proses belajar baik, maka
dapat memberikan dampak baik pada hasil belajar. Dalam penelitian ini aktivitas belajar sebagai
prosesnya, agar dapat memberi kontribusi terhadap hasil belajar IPA. Menurut Sardiman aktivitas
belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam proses belajar kedua aktivitas itu
harus saling berkaitan(Sardiman, 2011).
Lebih lanjut Paul B. Diederich dalam (Hanafiah & Suhana, 2010)menyatakan bahwa:
“Aktivitas belajar terbagi dalam delapan kegiatan sebagai berikut: 1) Kegiatan-kegiatan visual (visual
activities), yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati, eksperimen, demonstrasi, pemeran
dan mengamati orang lain bekerja atau bermain. 2) Kegiatan-kegiatan lisan (oral activities), yaitu
mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan,
memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi. 3) Kegiatan-kegiatan
mendengarkan (listening activities), yaitu mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan
dan diskusi kelompok, atau mendengarkan radio. 4) Kegiatan-kegiatan menulis (writing activities),
yaitu menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat outline atau
rangkuman, dan mengerjakan tes serta mengisi angket. 5) Kegiatan-kegiatan menggambar (drawing
activities), yaitu menggambar, membuat grafik, diagram, peta dan pola. 6) Kegiatan-kegiatan motorik
(motor activities), yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat
model, menyelenggarakan permainan, serta menari dann berkebun. 7) Kegiatan-kegiatan mental
(mental activities), yaitu merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisa faktor-faktor,
melihat hubungan-hubungan, dan membuat keputusan. 8) Kegiatan-kegiatan emosional (emotional
activities), yaitu minat, membedakan, berani, tenang, merasa bosan dan gugup.”
Berdasarkan pendapat-pendapatyang telah dikemukakan, makaindikator pengamatan aktivitas
siswadalam penelitian ini dapat mengacu pada delapan kegiatan aktivitas belajar menurut Diederich.
Sedangkan yang dimaksud dengan aktivitas belajar dapat dipahami sebagaiaktivitas yang berkaitan
dengan cara belajar, meliputi kegiatan fisik maupun mental yang saling berkaitan.
Hasil Belajar
Menurut Rusmanhasil belajar adalah sejumlah pengalaman yang siswa peroleh mencakup
ranah kognitif, afektif, dan psikomotor(Rusman, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan
Profesionalisme Guru, 2010). Lebih lanjut Sudjana menjelaskan bahwa: “hasil belajar meliputi tiga
aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif berkenaan dengan hasil belajar
intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
dan evaluasi. Aspek afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan,
200
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Aspek psikomotorik berkenaan dengan
hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yaitu
gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan,
gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif atau interaktif.”(Sudjana, 2012).
Berdasarkan paparan pendapat tersebut di atas, maka dalam penelitian ini hasil belajar dapat
dilihat melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk mendapatkan data pembuktian yang akan
menunjukan tingkat kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Model Pembelajaran Interaktif
Model pembelajaran interaktif “merupakan suatu pendekatan belajar yang merujuk pada
pandangan konstruktivisme. Model belajar ini merupakan salah satu alternatif model pembelajaran
yang dapat membantu siswa untuk berani mengungkapkan keingintahuannya dan ketidaktahuannya
terhadap konsep yang sedang dipelajarinya”(Widodo, 2007). Sedangkan menurut Dasna pembelajaran
interaktif mengacu pada interaksi antara peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan
pengajar, atau juga peserta didik dengan media/sumber belajar(Dasna, 2015).
Menurut Faire & Cosgrove dalam (Prayekti, 2004) model pembelajaran interaktif sering
dikenal dengan nama pendekatan pertanyaan anak. Model ini dirancang agar siswa akan bertanya dan
kemudian menemukan jawaban pertanyaan mereka sendiri. Berdasarkan pendapat yang telah
dikemukakan, model pembelajaran interaktif dapat dipahami sebagai pembelajaran yang menekankan
pada komunikasi antar siswa maupun siswa dengan guru melalui interaksi langsung dengan sumber
belajar. Komunikasi dapat terjalin dari pemberian stimulus-stimulus untuk menggali pertanyaan-
pertanyaan siswa sebagai ungkapan rasa ingin tahu siswa terhadap pengetahuan yang akan dipelajari.
Model pembelajaran Interaktif lebih menekankan pertanyaan siswa sebagai ciri khasnya.
Dalam model pembelajaran interaktif akan serig muncul pertanyaan-pertanyaan, dan pertanyaan
dimungkinkan bervariasi. Menurut Louisel & Descamps dalam (Majid, 2014) pertanyaan dalam
proses pembelajaran memiliki tiga tujuan pokok, yakni meningkatkan tingkat berpikir siswa,
mengecek pemahaman siswa, dan meningkatkan partisipasi belajar siswa.
Lebih lanjut Suparman dalam (Majid, 2014)menjelaskan bahwa “dalam pembelajaran
interaktif terdapat tujuh karakteristik sebagai berikut, (1) adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok,
dan perseorangan, (2) keterlibatan mental (pikiran dan perasaan) siswa tinggi, (3) guru berperan
sebagai fasilitator, narasumber, dan manajer kelas yang demokratis, (4) menerapkan pola komunikasi
banyak arah, dan (5) suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang, dan tetap terkendali oleh
tujuan, (6) potensi dapat menghasilkan dampak pengiring lebih efektif, (7) dapat digunakan di dalam
maupun di luar kelas.” Suatu model pembelajaran dapat berhasil diterapkan dengan baik apabila
dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah model pembelajaran tersebut. Menurut Emma Holmes
(1995) dalam (Irsyadi, 2011) model pembelajaran interaktif dilaksanakan dalam lima langkah yang
meliputi, (1) pengantar (introduction), (2) aktivitas atau pemecahan masalah (aktivity/problem
solving), (3) fase saling membagi dan diskusi (sharing and discusing), (4) fase meringkas
(summaring), (5) pelilaian unit belajar materi (assesment of learning of unit material).
Sedangkan menurut Faire & Cosgrove (1988) dalam (Widodo, 2007), model pembelajaran
interaktif terbagi dalam tujuh tahapan, yaitu: “Pertama adalahtahap persiapan, pada tahap ini guru dan
siswa memilih serta mencari informasi tentang latar belakang topik, kemudian mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Kedua adalah tahap pengetahuan
awal, dalam tahap ini siswa mencoba mengungkapkan pengetahuan awal mereka tentang topik yang
akan dipelajari. Sementara guru berusaha menggali pengetahuan dasar siswa tentang topik yang akan
dipelajari. Ketiga adalah tahap kegiatan eksplorasi, guru memberi penjelasan terkait topik yang ingin
di eksplorasi. Dalam kegiatan eksplorasi siswa dilibatkan lebih mendalam terkait topik yang
dipelajari. Dengan demikian siswa dirangsang untuk mengajukan pertanyaan. Keempat adalah tahap
pertanyaan siswa, pada tahap ini seluruh siswa diajak untuk membuat pertanyaan mengenai topik
yang dipelajari. Kelima adalah tahap penyelidikan, pada tahap ini guru dan siswa memilih pertanyaan-
pertanyaan yang akan dijawab melalui penyelidikan. Keenam adalah tahap pengetahuan akhir, pada
tahap ini pengetahuan masing-masing siswa atau kelompok dikumpulkan dan dibandingkan dengan
jawaban awal. Ketujuh adalah tahap refleksi, pada tahap ini diterapkan apa yang telah diuji atau
dibuktikan dan apa yang masih perlu dimantapkan. Jika masih ditemukan pertanyaan susulan pada
201
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

tahap refleksi ini dengan kata lain konsep belum terlalu dikuasai, maka perlu diulangi ke tahap
penyelidikan.”
Dari pendapat para ahli, penelitian ini mengacu pada langkah-langkah model pembelajaran
interaktif menurut Holmes dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Interaktif

No. Tahapan Aktivitas


1. Tahap pengantar Tahap mengorganisasikan kelas untuk belajar (kerja individual
atau kerja kelompok). Menentukan masalah atau aktivitas yang
akan diselidiki siswa berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari
siswa (pengetahuan awal). Menyampaikan tentang apa yang akan
siswa lakukan, misalnya menyelesaikan masalah, melakukan
aktivitas (penyelidikan, percobaan, pengamatan, atau berdiskusi),
melanjutkan atau mempelajari suatu topik, serta mengerjakan
tugas (proyek).
2. Tahap aktivitas Tahap ini adalah inti model pembelajaran interaktif, melibatkan
penyelesaian siswa untuk berpikir dan merencanakan apa yang harus digali
masalah dari materi pembelajaran, dan pembagian tugas (kelompok).
Guru mengamati, membimbing, dan memberi komentar terhadap
kegiatan siswa. Pada tahap ini akan terlihat situasi interaktif antar
siswa, antar siswa dalam kelompok, maupun antar siswa dengan
guru.
3. Tahap saling Tahap siswa untuk melaporkan hasil penyelidikan atau
berbagi dan diskusi penyelesaian masalah dari pertanyaan mereka sendiri (individu)
atau kelompok, pelaporan dapat dilakukan melalui presentasi
atau diskusi saling bertukar pendapat untuk mendapatkan
kesimpulan. Sementara guru dapat memimpin, mengawasi, dan
memberi komentar dalam kegiatan diskusi atau presentasi
dengan menyampaiakan pertanyaan apa, mengapa, dan
bagaimana. Melalui pertanyaan itu memungkinkan melatih siswa
untuk berpikir tingkat tinggi dalam menghubungkan fakta-fakta
yang mereka temukan dari pengalaman dengan pengetahuan
awal mereka, menjadi konsep pengetahuan baru yang dipahami
siswa.
4. Tahap meringkas Tahap siswa untuk memeriksa kembali apa yang telah dilakukan
atau dipelajari siswa. Kemudian membuat laporan hasil kegiatan
siswa berdasarkan pengalaman mereka dan apa yang telah
mereka pelajari secara ilmiah dengan bimbingan dari guru.
5. Tahap menilai Tahap melakukan penilaian belajar, siswa dan guru bersama-
belajar sama menilai kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir
proses pembelajaran. Sehingga siswa diharapkan dapat
menguasai materi dengan baik.

Menurut Renny dalam(Majid, 2014) pembelajaran Interaktif memiliki enam kelebihan yaitu,
(1) Siswa lebih banyak diberikan kesempatan untuk melibatkan keiingin tahuannya pada objek yang
akan dipelajari. (2) Melatih mengungkapkan rasa ingin tahu melalui pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh guru. (3) Memberikan sarana bermain bagi siswa melalui kegiatan eksplorasi dan
investigasi. (4) Guru menjadi fasilitator, motivator, dan perancang aktivitas belajar. (5) Menempatkan
siswa sebagai subjek pembelajara aktif. (5) Hasil belajar lebih bermakna.
Sedangkan kekurangan dari pembelajaran interaktif yakni, keberhasilan pembelajaran
bergantung pada kemampuan dan kecakapan guru sebagai fasilitator dan manajer kelas dalam
berkomunikasi multi arah untuk mengembangkan dinamika kelompok. Kekurangan tersebut dapat
diatasi atau diminimalkandengan memberikan pengertian kepada guru tentang dinamika kelompok.
Dinamika kelompok menurut Santosa (2004: 5) merupakan suatu kelompok yang teratur dari dua
202
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota yang satu
dengan yang lain, antar anggota kelompok mempunyai hubungan psikologis yang berlangsung dalam
situasi yang dialami secara bersama-sama.
Terdapat 6 karakteristikk atau ciri suatu kelompok menurut Shaw (dalam Rusmana, 2007),
yaitu (1) persepsi dan kognisi anggota kelompok, (2) motivasi dan kebutuhan kepuasan (need
satisfication), (3) tujuan kelompok (Group Goals), (4) organisasi kelompok, (4) ada ketergantungan
antara anggota kelompok, dan (6) interaksi. Dalam membentuk kelompok yang teratur dapat
dilakukan dengan mengembangkan interaksi antar siswa melalui pembagian kerja/tugas,
pengorganisasaian kelompok, membuat tujuan kelompok, dan kebersamaan kelompok.
Setelah mengkaji teori-teori yang relevan, selanjutnya mengakaji beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pasri (Pasri,
2012) dengan judul “Upaya Penigkatan Hasil Belajar Siswa Tentang Penggolongan Hewan
Berdasarkan Makanannya Melalui Penerapan Model Pembelajaran Interaktif di Kelas IV SD
Karangwotan 03 Semester 1 Tahun 2011/2012”diperolehhasil penelitian bahwa penggunaan model
pembelajaran interaktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada siklus I nilai rata-rata kelompok
sebesar 7,35 dengan persentase ketuntasan belajar siswa 65%. Pada siklus II nilai rata-rata siswa
kelompok 8,35 dengan persentase ketuntasan belajar siswa 90%. Penerapan model pembelajaran
interaktif terbukti dapat meningkatkan hasil belajar. Selanjutnya penelitian oleh Dwi Agung
Susanto(Susanto, 2012) dengan judul “Peningkatan Motovasi Belajar IPA Melalui Model
Pembelajaran Interaktif Pada Siswa Kelas IV Semester I SDN Wotan 02 Sukolilo Pati Tahun
Pelajaran 2012/2013”diperoleh hasil penelitian bahwa terjadi peningkatan hasil belajar IPA. Pada
siklus I persentase ketuntasan hasil belajar siswa sebesar 74% atau sebanyak 20 siswa dan pada siklus
II meningkat menjadi 81% atau 22 siswa. Hal ini menjadi bukti bahwa dengan menerapkan model
pembelajaran interaktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Kemudian penelitian oleh Bayu Widiyanto(Widiyanto, 2011) dengan judul “Penerapan
Model Pembelajaran Interaktif Dengan Media Miniatur untuk Peningkatan Hasil belajar IPA pada
Siswa Kelas III SDN Kemuning Lor 02 Jember” diperolehhasil penelitian bahwa terjadi peningkatan
hasil belajar IPA. Dari hasil observasi untuk mengetahui hasil belajar siswa penilaian afektif, pada
siklus I memperoleh persentase sebesar 73,3%, kemudian pada siklus II meningkat menjadi 86,6%.
Dari hasil tersebut terjadi peningkatan hasil belajar siswa penilaian afektif sebesar 13,3%. Untuk
persentase hasil belajar siswa penilaian psikomotor, pada siklus I memperoleh persentase sebesar
70%, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 83,3%. Dari hasil tersebut terjadi peningkatan hasil
belajar siswa penilaian psikomotor sebesar 13,3%. Kemudian hasil belajar siswa penilaian kognitif
siklus I memperoleh persentase sebesar 66,66%, sedangkan pada siklus II meningkat menjadi 86,66%.
Berdasarkan hasil tersebut terjadi peningkatan persentase hasil belajar siswa penilaian kognitif sebesar
20%. Kesimpulan dari penelitian Widiyanto (2011) yaitu penerapan model pembelajaran interaktif
dengan media miniatur dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada ranah afektif, kognitif dan
psikomotor.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sama-sama menerapkan model
pembelajaran Interaktif. Sedangkan perbedaanya terdapat pada variabel terikatnya adalah aktivitas
belajar dan hasil belajar, peneliti sebelumnya hanya sebatas hasil belajar saja. Kemudian subjek dalam
penelitian ini adalah siswa kelas 5 SDN Lanjan 02. Selain itu yang menjadi latar belakang masalah
dalam penelitian ini adalah aktivitas belajar yang belum optimal, yaitu siswa yang belum
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Sesuai tujuan penelitian ini, dengan menerapkan model
pembelajaran interaktif pada pembelajaran IPA siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 diharapkan dapat
meningkatkan aktivitas belajar yang meliputi aktivitas guru dan aktivitas siswa. Aktivitas belajar yang
menekankan pada interaksi dan komunikasi multi arah antara siswa dengan guru maupun dengan
sumber belajar akan memberikan dampak yang berbeda dibandingkan aktivitas belajar yang belum
melibatkan partisipasi aktif siswa. Dengan meningkatnya aktivitas belajar diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar IPA secara signifikan, sehingga hasil belajar IPA lebih maksimal.

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada landasan teori yang telah diuraikan maka hipotesis penelitian tindakan kelas
ini sebagai berikut. (1) Penerapan model pembelajaran interaktif pada pembelajran IPA Kompetensi
Dasar (KD) 7.4 mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan manusia yang mempengaruhinya dan
203
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

KD 7.5 mendeskripsikan perlunya penghematan air, diduga dapat meningkatkan aktivitas belajar
siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 semester II tahun pelajaran 2015/2016 secara signifikan minimal 15%
dengan langkah-langkah meliputi tahap pengantar, tahap aktivitas penyelesaian masalah, tahap saling
berbagi dan diskusi, tahap meringkas, dan tahap menilai belajar. (2) Peningkatan aktivitas belajar
melalui model pembelajaran interaktif diduga dapat meningkatkan hasil belajar IPA Kompetensi
Dasar (KD) 7.4 mendeskripsikan proses daur air dan kegiatan manusia yang mempengaruhinya dan
KD 7.5 mendeskripsikan perlunya penghematan air pada siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 semester II
tahun pelajaran 2015/2016 secara signifikan mengalami peningkatan ketuntasan belajar secara
klasikal dengan nilai rata-rata hasil belajar IPA meningkat minimal 10 poin dari nilai KKM (≥ 71)
yang telah ditentukan atau ketuntasan belajar klasikal sebesar 85% dari 21 siswa (dengan kategori
sangat tinggi).

METODE PENELITIAN
Setting Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini di SD Negeri Lanjan 02 Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang.
Lokasi SD Negeri Lanjan 02 strategis karena terletak di tepi jalan dan dikelilingi pemukiman warga.
Tempat yang strategis membuat siswa mudah untuk menjangkaunya. Selain mudah dijangkau dari
rumah siswa, kondisi tempat tersebut menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dalam
mendukung setiap kegiatan belajar mengajar. Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun
pelajaran 2015/2016 di SD Negeri Lanjan 02. Penentuan waktu penelitian dilakukan kesepakatan
antara peneliti, guru kolaboratif, dan kepala sekolah untuk menyesuaikan agenda sekolah tersebut
yang mengacu pada kalender akademik sekolah. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 4 bulan
yaitu bulan Februari - Mei 2016.

Karakteristik Subjek Penelitian


Subjek yang akan diteliti adalah siswa kelas 5 SD Negeri Lanjan 02 Kecamatan Sumowono
Kabupaten Semarang tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 21 siswa, dengan siswa laki-laki
sebanyak 7 siswa dan 14 siswa perempuan yang memiliki karakteristik heterogen. enis penelitian
yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Arikunto PTK adalah penelitian
tindakan (JAction research) yang dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki tindakan pembelajaran
yang dilakukan oleh guru di kelas sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran
(Arikunto, 2010). Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus dengan menggunakan model spiral
dari Stephen Kemmis & Robin McTaggart. Menurut Kemmis & McTaggart dalam (Arikunto, 2012)
prosedur penelitian tindakan mencakup tiga langkah yaitu, perencanaan tindakan (planning),
pelaksanaan tindakan (acting) dan observasi (observation), sertarefleksi (reflecting).
Rencana Pelaksanaan Tindakan
Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus dengan tiap siklus dilaksanakan tiga kali pertemuan
yang terdiri dari dua pertemuan tatap muka dan satu pertemuan evaluasi. Siklus I terdiri tari tiga tahap
meliputi, tahap perencanaan tindakan, pelaksanan tindakan dan observasi, serta refleksi. Hasil refleksi
pada siklus I digunakan untuk perbaikan pada pembelajaran siklus II. Tahapan pada siklus II meliputi,
tahap perencanaan tindakan, tahap pelaksanaan tindakan dan observasi, serta refleksi. Apabila
pembelajaran pada siklus II sudah memenuhi pencapaian untuk aktivitas belajar meningkat secara
signifikan minimal 15%, dan ketuntasan belajar secara klasikal dengan nilai rata-rata hasil belajar IPA
meningkat minimal 10 skor dari nilai KKM (≥ 71) yang telah ditentukan atau ketuntasan belajar
klasikal sebesar 85% dari 21 siswa. Maka tidak perlu diadakan perbaikan kembali dan penerapan
model pembelajaran interaktif pada pembelajaran IPA dinyatakan berhasil.
Teknik Pengumpulan Data
Menurut Sudjana, “tes sebagai penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan, atau dalam
bentuk perbuatan (tes tindakan). Pada umumnya tes digunakan untuk menilai dan mengukur
hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan
pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran” (Sudjana, 2012). Dalam
penelitian ini tes digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan subjek penelitian serta
204
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

mengetahui besarnya kemajuan hasil belajar setelah mencapai tujuan pembelajaran pada
setiap akhir siklus. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes penilaian
tertulis (pilihan ganda). Menurut Hadi dalam (Sugiyono, 2013) observasi merupakan suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dalam
penelitian ini observasi digunakan untuk mengetahui kemajuan aktivitas siswa dan guru selama proses
pembelajaran. Sedangkan observasi dilakukan oleh observer.
Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2013) dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya menumental seseorang.
Penelitian ini menggunakan dokumentasi sebagai bukti nyata penelitian yang telah dilaksanakan.
Selain itu dokumntasi dapat memperkuat data yang diperoleh dari observasi.
Data yang diperoleh dari hasil pelaksanaan penelitian tindakan kelas adalah data kuantititatif.
Menurut Slameto yang dimaksud data kuantitatif, adalah data yang dinyatakan dalam angka(Slameto,
2015). Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan statistik deskriptif. Sedangkan data
hasil belajar IPA dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif komparatif untuk membandingkan
hasil belajar setelah tindakan siklus I dan siklus II.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Prasiklus
Berdasarkan pengamatan terhadap proses belajar mengajar IPA siswa kelas 5 SDN Lanjan 02
sebelum dilaksanakan tindakan menunjukan adanya permasalahan. Proses pembelajaran IPA masih
berpusat pada guru, akibatnya siswa menjadi pasif dan kurang antusias mengikuti
pembelajaran.Terbukti dari hasil observasi aktivitas guru prasiklus, dari 25 indikator pengamatan
memperoleh skor 45 dengan persentasae 45% masuk dalam kategori rendah. Kemudian aktivitas
siswa prasiklus memperoleh rata-rata skor klasikal sebesar 24,28 dengan persentase 60,7% masuk
dalam kategori cukup.
Ternyata aktivitas belajar yang belum optimal berdampak pada rendahnya hasil belajar. Hasil
tes ulangan harian IPA menunjukan nilai rata-rata klasikal 67,61 yang berarti belum mencapai KKM
(71). Nilai tertinggi yang diperoleh siswa adalah 80 sedangkan nilai terendahnya 50. Kemudian
ketuntasan belajar prasiklus sebanyak 13 siswa dinyatakan belum mencapai KKM atau 61,90% dari
keseluruhan siswa, sedangkan yang dinyatakan tuntas sebanyak 8 siswa atau 38,10% dari keseluruhan
siswa.
Deskripsi Siklus I
Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I meliputi tahap perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan dan observasi, serta refleksi. Pada tahap perencanaan tindakan penulis bersama guru
kolabolator menyusun RPP pembelajaran IPA pokok bahasan penghematan air berdasarkan sintaks
model pembelajaran interaktif, menyiapkan alat dan media pembelajaran, serta instrumen tes evaluasi,
lembar kerja siswa dan lembar kerja kelompok. Tahap pelaksanaan tindakan guru kolabolator
melaksanakan tindakan pembelajaran IPA pokok bahasan daur air menggunakan model pembelajaran
interaktif yang telah disusun pada tahap sebelumnya. Pada tahap observasi dilakukan oleh observer
untuk mengamati aktivitas belajar meliputi aktivitas guru, aktivitas individu siswa, aktivitas kelompok
sisiwa selama kegiatan pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran interaktif. Kemudian
setelah tindakan pembelajaran terlaksana secara keseluruhan dilakukan refleksi sebagai bahan
perbaikan dengan membandingkan hasil tindakan selama proses pembelajaran dengan indikator yang
diharapkan.
Berdasarkan pengamatan terhadap proses pembelajaran IPA menggunakan model
pembelajaran interaktif pada siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 diperoleh data aktivitas belajar siklus I.
Aktivitas belajar meliputi aktivitas guru, aktivitas individu siswa, dan aktivitas kelompok siswa.
Aktivitas guru adalah pelaksanaan sintaks model pembelajaran interaktif oleh guru dalam
pembelajaran IPA yang terdiri dari 25 indikator, setiap indikator terdiri dari 4 deskriptor pengamatan
dengan rentang skor penilaian 1 – 4 disajikan pada tabel 2 sebagai berikut.

205
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

Tabel 2. Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus I


Skor
No Aspek yang Diamati Indikator
Pertemuan 1 Pertemuan 2
Melakukan apersepsi, motivasi, dan
1. menyampaikan kompetensi yang akan 1-4 9 14
dicapai.
2. Pengantar 5-11 16 19
3. Aktivitas penyelesaian masalah 12-14 7 8
4. Saling berbagi dan diskusi 15-17 8 9
5. Meringkas 18, 19 6 6
6. Menilai belajar 20, 21 4 5
7. Penutup 22-25 11 12
Total Skor 61 73
Kriteria Cukup Tinggi
Rata-rata skor siklus I 67

Berdasarkan data tabel2, dapat dilihat aktivitas guru pada pertemuan pertama dan kedua siklus
I mengalami peningkatan.Pada pertemuan pertama memperoleh skor 61 dengan kriteria cukup
meningkat menjadi 73 dengan kriteria tinggi pada pertemuan kedua. Sehingga diperoleh rata-rata skor
aktivitas guru siklus I sebesar 67.
Kemudian aktivitas siswa yang meliputi aktivitas individu dan kelompok siswa,yaitu
kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan siswa selama pembelajaran IPA.Observasi
dilakukan menggunakan aspek pengamatan aktivitas menurut Diederich yang terdiri dari 10 indikator,
setiap indikator terdiri dari 4 deskriptor pengamatan dengan rentang skor penilaian 1 – 4. Berdasarkan
hasil observasi terhadap aktivitas individu siswa siklus I, diperoleh data hasil observasi yang disajikan
dalam tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3.Hasil Observasi Aktivitas Individu Siswa Siklus I
Skor klasikal
No Aktivitas yang diamati
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1. Kegiatan lisan 59 62
2. Kegiatan visual 57 66
3. Kegiatan mendengarkan 52 61
4. Kegiatan menulis 51 56
5. Kegiatan metrik 53 63
6. Kegiatan mental 57 58
7. Kegiatan emosional 56 66
8. Kegiatan menggambar 58 58
9. Kegiatan menyimpulkan 55 64
10. Antusiasme siswa dalam pembelajaran 48 63
Total skor 546 617
Rata-rata klasikal 26 29,38
Kriteria Cukup Tinggi
Rata-rata skor siklus I 27,69

Berdasarkan data tabel 3, dapat dilihat terjadi peningkatan aktivitas individu siswa pada
pertemuan pertama dan kedua siklus I.Pada pertemuan pertama diperoleh rata-rata klasikal 21 siswa
sebesar 26 dengan kriteria cukup, meningkat menjadi 29,38 pada pertemuan kedua. Sehingga
diperoleh rata-rata skor siklus I sebesar 27,69.Kemudian data hasil observasi terhadap aktivitas
kelompok siswa pada siklus I disajikan dalam tabel 4 sebagai berikut.

206
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

Tabel 4. Hasil Observasi Aktivitas Kelompok Siswa Siklus I


Skor rata-rata klasikal
No Aktivitas yang diamati
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1. Kegiatan lisan 10 14
2. Kegiatan visual 12 13
3. Kegiatan mendengarkan 12 13
4. Kegiatan menulis 10 12
5. Kegiatan metrik 13 13
6. Kegiatan mental 14 14
7. Kegiatan emosional 12 13
8. Kegiatan menggambar 10 14
9. Kerjasama kelompok 10 12
10. Kontribusi siswa dalam kelompok 7 10
Total skor 110 128
Rata-rata kelompok 22 25,60
Kriteria Cukup Cukup
Rata-rata skor siklus I 23,80

Berdasarkan data tabel 4, dapat dilihat terjadi peningkatan aktivitas kelompok siswa pada
pertemuan pertama dan kedua siklus I. Pada pertemuan pertama diperoleh rata-rata skor 5 kelompok
sebesar 22 dengan kriteria cukup, meningkat menjadi 25,60 dengan kriteria cukup pada pertemuan
kedua. Sehingga diperoleh rata-rata skor siklus I sebesar 23,80.
Selanjutnya data hasil belajar IPA siklus I pada siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 diperoleh
setelah dilaksanakannya tes evaluasi di akhir siklus I.Nilai rata-rata kelas 75 dengan nilai tertinggi 80,
sedangkan nilai terendah 60. Ketuntasan belajar siklus I diperoleh data sebanyak 15 siswa atau
71,20% dari keseluruhan siswa telah tuntas mencapai KKM (71), sedangkan yang belum tuntas
sebanyak 6 siswa atau 28,60% dari keseluruhan siswa. Artinya hasil belajar IPA siklus I belum
memenuhi indikator hasil pencapaian 85% dari 21 siswa tuntas, maka perlu dilakukan tindak lanjut
pada siklus II.
Deskripsi Siklus II
Dalam pelaksanaan tindakan pada siklus I meliputi tahap perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan dan observasi, serta refleksi. Pada tahap perencanaan tindakan penulis bersama guru
kolabolator menyusun RPP pembelajaran IPA pokok bahasan penghematan air berdasarkan sintaks
model pembelajaran interaktif, menyiapkan alat dan media pembelajaran, serta instrumen tes evaluasi,
lembar kerja siswa dan lembar kerja kelompok. Tahap pelaksanaan tindakan guru kolabolator
melaksanakan tindakan pembelajaran IPA pokok bahasan daur air menggunakan model pembelajaran
interaktif yang telah disusun pada tahap sebelumnya. Pada tahap observasi dilakukan oleh observer
untuk mengamati aktivitas belajar meliputi aktivitas guru, aktivitas individu siswa, aktivitas kelompok
sisiwa selama proses pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran interaktif. Kemudian
setelah tindakan pembelajaran terlaksana secara keseluruhan dilakukan refleksi sebagai bahan
perbaikan dengan membandingkan hasil tindakan selama proses pembelajaran dengan indikator yang
diharapkan.
Berdasarkan pengamatan terhadap proses pembelajaran IPA menggunakan model
pembelajaran interaktif pada siswa kelas 5 SDN Lanjan 02 diperoleh data aktivitas belajar siklus II.
Aktivitas belajar meliputi aktivitas guru, aktivitas individu siswa, dan aktivitas kelompok siswa.
Aktivitas guru adalah pelaksanaan sintaks model pembelajaran interaktif oleh guru dalam
pembelajaran IPA yang terdiri dari 25 indikator, setiap indikator terdiri dari 4 deskriptor pengamatan
dengan rentang skor penilaian 1 – 4 disajikan pada tabel 5 sebagai berikut.

207
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

Tabel 5. Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus II


Skor
No Aspek yang Diamati Indikator Pertemuan 1 Pertemuan 2

Melakukan apersepsi, motivasi, dan


1. menyampaikan kompetensi yang 1-4 14 14
akan dicapai.
2. Pengantar 5-11 24 27
3. Aktivitas penyelesaian masalah 12-14 10 11
4. Saling berbagi dan diskusi 15-17 11 12
5. Meringkas 18, 19 6 7
6. Menilai belajar 20, 21 6 6
7. Penutup 22-25 13 13
Total Skor 84 90
Kriteria Tinggi Sangat Tinggi
Rata-rata skor siklus II 87

Berdasarkan data tabel 5, dapat dilihat aktivitas guru pada pertemuan pertama dan kedua
siklus II mengalami peningkatan. Pada pertemuan pertama memperoleh skor 84 dengan kriteria tinggi
meningkat menjadi 90 dengan kriteria sangat tinggi pada pertemuan kedua. Sehingga diperoleh rata-
rata skor aktivitas guru siklus II sebesar 87.
Kemudian aktivitas siswa yang meliputiaktivitas individu dan kelompok siswa, yaitu
kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan siswa selama pembelajaran IPA. Observasi
dilakukan menggunakan aspek pengamatan aktivitas menurut Diederich yang terdiri dari 10 indikator,
setiap indikator terdiri dari 4 deskriptor pengamatan dengan rentang skor 1 – 4. Berdasarkan hasil
observasi terhadap aktivitas individu dan kelompok siswa siklus II, diperoleh data rata-rata skor
klasikal yang disajikan dalam tabel 6 sebagai berikut.
Tabel 6.Hasil Observasi Aktivitas Individu Siswa Siklus II
Skor klasikal
No Aktivitas yang diamati
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1. Kegiatan lisan 71 78
2. Kegiatan visual 73 74
3. Kegiatan mendengarkan 73 75
4. Kegiatan menulis 67 73
5. Kegiatan metrik 68 69
6. Kegiatan mental 74 78
7. Kegiatan emosional 66 68
8. Kegiatan menggambar 71 74
9. Kegiatan menyimpulkan 64 73
10. Antusiasme siswa dalam pembelajaran 68 73
Total skor 695 735
Rata-rata klasikal 33,10 35
Kriteria Tinggi Tinggi
Rata-rata skor siklus II 34,05

Berdasarkan data tabel 6, dapat dilihat terjadi peningkatan aktivitas individu siswa pada
pertemuan pertama dan kedua siklus II. Pada pertemuan pertama diperoleh rata-rata klasikal 21 siswa
sebesar 33,10 dengan kriteria tinggi, meningkat menjadi 35 pada pertemuan kedua dengan kriteria
tinggi. Sehingga diperoleh rata-rata skor siklus II sebesar 34,05. Kemudian data hasil observasi
terhadap aktivitas kelompok siswa pada siklus II disajikan dalam tabel 7 sebagai berikut.

208
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

Tabel 7. Hasil Observasi Aktivitas Kelompok Siswa Siklus II


Skor rata-rata klasikal
No Aktivitas yang diamati
Pertemuan 1 Pertemuan 2
1. Kegiatan lisan 14 19
2. Kegiatan visual 15 18
3. Kegiatan mendengarkan 17 18
4. Kegiatan menulis 15 16
5. Kegiatan metrik 15 18
6. Kegiatan mental 15 16
7. Kegiatan emosional 14 17
8. Kegiatan menggambar 15 17
9. Kerjasama kelompok 17 17
10. Kontribusi siswa dalam kelompok 15 17
Total skor 152 173
Rata-rata kelompok 30,40 34,60
Kriteria Tinggi Tinggi
Rata-rata skor siklus II 32,50

Berdasarkan data tabel 7, dapat dilihat terjadi peningkatan aktivitas kelompok siswa pada
pertemuan pertama dan kedua siklus II. Pada pertemuan pertama diperoleh rata-rata skor 5 kelompok
sebesar 30,40 dengan kriteria tinggi, meningkat menjadi 34,60 dengan kriteria tinggi pada pertemuan
kedua. Sehingga diperoleh rata-rata skor siklus I sebesar 32,50.
Selanjutnya data hasil belajar IPA siklus II diperoleh setelah dilaksanakannya tes evaluasi di
akhir siklus. Berdasarkan data hasil evaluasi diperoleh nilai rata-rata kelas 85, dengan nilai tertinggi
100, sedangkan nilai terendah 75. Pada ketuntasan belajar siklus II diperoleh data sebanyak 21 siswa
atau 100% telah tuntas mencapai KKM (71). Artinya hasil belajar IPA siklus II telah memenuhi
indikator hasil pencapaian sebanyak 85% dari 21 siswa tuntas, sehingga penerapan model
pembelajaran interaktif dalam pembelajaran IPA pada kelas 5 SDN Lanjan 02 dinyatakan berhasil
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar.
Analisis Komparatif
a) Aktivitas Belajar
Setelah dilakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran IPA dari prasiklus, siklus I, dan
siklus II telah diperoleh data perbandingan hasil observasi aktivitas belajar yang disajikan dalam tabel
8 sebagai berikut.
Tabel 8.
Perbandingan Hasil Observasi Aktivitas BelajarPrasiklus, Siklus I, dan Siklus II
Prasiklus Siklus I Siklus II
No Tindakan
Skor % % %
1. Aktivitas Guru 45 45 67 67 87 87
2. Aktivitas Individu Siswa 24,28 60,71 27,69 69,23 34,05 85,11
3. Aktivitas Kelompok Siswa - - 23,80 59,50 32,50 81,25

Berdasarkan tabel 8, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan aktivitas guru, aktivitas
individu siswa, dan aktivitas kelompok siswa dari prasiklus, siklus I, dan siklus II. Pada prasiklus total
skor aktivitas guru 45 atau 45%, setelah penerapan model pembelajaran interaktif pada siklus I terjadi
peningkatan skor menjadi 67 atau 67%, dan pada siklus II meningkat menjadi 87 atau 87%. Rata-rata
skor aktivitas siswa juga mengalami peningkatan, pada prasiklus rata-rata skor aktivitas individu
siswa 24,28 atau 60,71%, kemudian meningkat pada siklus I menjadi 27,69 atau 69,23%, dan pada
siklus II meningkat menjadi 34,05 atau 85,11%. Untuk aktivitas kelompok siswa pada prasiklus
belum terdapat aktivitas kelompok, pada siklus I rata-rata skor aktivitas kelompok siswa mengalami

209
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

peningkatan menjadi 23,80 atau 59,50%, dan pada siklus II rata-rata skor meningkat menjadi
32,50atau 81,25%.
b) Hasil Belajar
Hasil belajar diperoleh dari tes evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir siklus. Dari
prasiklus, siklus I, dan siklus II telah terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajar
pada pembelajaran IPA. Adapun data perbandingannya dasajikandalam tabel 9 sebagai berikut.
Tabel 9.
PerbandinganKetuntasan dan Hasil Belajar IPAPrasiklus, Siklus I, Siklus II
Ketuntasan Prasiklus Siklus I Siklus II
No Nilai
Belajar Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Tuntas ≥ 71 8 38,10% 15 71,40% 21 100%
2 Belum Tuntas < 71 13 61,90% 6 28,60% 0 0%
Total 21 100% 21 100% 21 100%
Nilai Rata-Rata Kelas 67,61 75 85

Berdasarkan data pada tabel 9, dapat diketahui bahwa pada prasiklus siswa yang tuntas (KKM
≥ 71) berjumlah 8 siswa atau 38,10%, sedangkan siswa yang belum tuntas 13 siswa atau 61,90%,
kemudiannilai rata-rata kelas yang diperoleh adalah 67,61. Setelah pelaksanaan tindakan siklus I
jumlah siswa yang tuntas meningkat menjadi 14 siswa atau 71,40%, sedangkan 6 siswa masih belum
tuntas atau 28,6%, tetapi nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 75.Selanjutnya pada pembelajaran
IPA siklus II semua siswa telah memperoleh nilai lebih dari KKM 71 dengan persentase 100%, dan
nilai rata-rata kelas siklus II meningkat menjadi 85. Dari data hasil belajar IPA dan ketuntasan belajar
siswa siklus II tersebut dapat diketahui bahwa indikator keberhasilan tindakan penelitian
menggunakan model pembelajaran interaktifyang telah ditentukan oleh peneliti sudah tercapai yaitu
ketuntasan belajar siswa ≥ 85%.
Pembahasan
Rendahnya aktivitas belajar IPA diketahui berdasarkan hasil observasi pembelajaran IPA
prasiklus pada pokok bahasan struktur bumi di kelas 5 SD Negeri Lanjan 02. Hasil aktivitas guru
prasiklus yang memperoleh total skor 45 dengan persentase sebesar 45%, kemudian aktivitas individu
siswa pada prasiklus yang memperoleh skor rata-rata 24,28 dengan persentase sebesar 60,71%,
ternyata dapat berpengaruh terhadap hasil belajar IPA pada pokok bahasan struktur bumi di kelas 5
SD Negeri Lanjan 02 yang dibuktikan berdasarkan tingkat ketuntasan hasil belajar prasiklus, bahwa
siswa yang tuntas atau telah mencapai KKM (71) hanya 8 siswa dengan persentase sebesar 38,10%,
sedangkan siswa yang belum tuntas atau belum mencapai KKM sebanyak 13 siswa dengan persentase
sebesar 61,90%. Berdasarkan data tersebut maka perlu dilakukan tindakan perbaikan proses
pembelajaran dengan meningkatkan aktivitas belajaragar hasil belajar IPA siswa kelas 5 SDN Lanjan
02 dapat meningkat melalui penerapan model pembelajaran Interaktif.
Setelah pembelajaran IPA dengan menerapkan model pembelajaran interaktif meliputi
langkah pembelajaran kegiatan pengantar, aktivitas penyelesaian masalah, saling berbagi dan diskusi,
meringkas, serta menilai belajar dan refleksi dilaksanakan secara keseluruhan pada siklus I dan siklus
II. Ternyata siswa lebih berpartisipasi aktif dan interaktif dalam proses pembelajaran. Terbukti dari
data hasil observasi aktivitas individu dan kelompok siswa yang telah dipaparkan pada tabel 2 dan
tabel 3 di atas.
Meningkatnya aktivitas belajar diikuti dengan peningkatan hasil belajar IPA yang terlihat dari
peningkatan nilai rata-rata kelas siklus 1 sebesar 75 dengan pencapaian ketuntasan belajar mencapai
71,40 % masuk kriteria tinggi. Namun, pencapaian tersebut belum mencapai indikator keberhasilan
yang telah ditentukan peneliti yaitu sebesar 85% ketuntasan klasikal, oleh karena itu diadakan refleksi
sebagai perbaikan pada siklus II.Pada siklus II diperoleh nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 85
dengan pencapaian ketuntasan belajar mencapai 100% tuntas dengan kriteria sangat tinggi.
Berdasarkan hasil pencapaian ketuntasan pada siklus II,maka hasil pelaksanaan tindakan pada siklus
II telah mencapai indikator ketuntasan yang ditetapkan peneliti sebesar 85% siswa tuntas.

210
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

Keberhasilan peningkatan aktivitas dan hasil belajar IPA pada pokok bahasan daur air dan
penghematan air, terjadi karena penerapan langkah-langkah atau sintaks model pembelajaran
interaktif. Dalam proses pembelajaran guru bertindak sebagai fasilitator yang membimbing,
mengawasi, mengarahkan dan mengkoordinasi kegiatan dan aktivitas siswa sehingga siswa lebih aktif
dan dapat berpikir secara matematik dalam pemecahan masalah. Siswa belajar berdasarkan rasa
keingintahuanya masing-masing kemudian mencari sendiri jawaban dan informasi dengan bimbingan
guru lalu berdiskusi dan saling berbagi tentang hasil temuan yang mereka dapat dengan guru dan
siswa lain. Kegiatan itu membuat siswa benar-benar memahami apa yang telah dipelajarinya dan
membuat suasana pembelajaran menjadi interaktif dan menyenangkan. Sehingga dapat meningkatkan
hasil belajar IPA pada pokok bahasan daur air dan penghematan air.
Berdasarkan uraian penelitian yang telah dipaparkan, maka penerapan model pembelajaran
Interaktif dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di kelas 5 Semester II SDN Lanjan 02
Tahun Pelajaran 2015/2016 ini selaras dengan penelitian sebelumnya oleh penelitian yang dilakukan
oleh Dwi Agung Susanto (2012) dengan menerapkan model pembelajaran Interaktif mencapai
ketuntasan 81%, penelitian Bayu Widiyanto(2011) dengan menerapkan model pembelajaran Interaktif
dengan media miniatur mencapai ketuntasan 86,66%, dan Pasri (2012) dengan menerapkan model
pembelajaran Interaktif mencapai ketuntasan 90 %. Sedangkan dalam penelitian ini ketuntasan
belajar mencapai 100%. Dari hasil penelitian tersebut terbukti bahwa penerapan model pembelajaran
Interaktif dapat meningkatkan aktivitas belajardan hasil belajar.
Persamaan dengan penelitian sebelumnya sama-sama menggunakan model pembelajaran
interaktif dan hasilnya terbukti mampu meningkatkan hasil belajar pada siswa. Namun, dalam
penelitian ini terdapat perbedaan yaitu dalam meningkatkan hasil belajar lebih memfokuskan pada
perbaikan proses belajar dengan miningkatkan aktivitas belajar yang meliputi aktivitas guru, aktivitas
individu siswa, dan aktivitas kelompok siswa. Dalam upaya meningkatkan aktivitas belajar dilakukan
dengan menerapkan langkah-langkah atau sintak model pembelajaran interaktif menurut pendapat
Emma Holmes (dalam Irsyadi, 2011) yang meliputi 5 tahap, yaitu fase pengantar (introduction),
Aktivitas atau pemecahan masalah (Activity/problem solving), Fase saling membagi dan diskusi
(sharing and discusing), fase meringkas (summaring), dan penialaian unit belajar materi (assesment of
learning of unit material).
Dalam penelitian ini sintaks model pembelajaran interaktif ditambahkan modifikasi kegiatan
atau aktivitas seperti yang diuraikan dalam tabel 1. Modifikasi tersebut ditambahkan pada tahap
pengantar dengan memberikan keleluasaan kepada siswa tentang bagaimana cara siswa belajar, yaitu
belajar secara individu atau kerja kelompok. Dengan memberikan keleluasaan kepada siswa dalam
melilih cara belajarnya siswa dapat merasa nyaman dan senang mengikuti pembelajaran. Kemudian
pada tahap aktivitas penyelesaian masalah dimodifikasi dengan memberi siswa keleluasaan cara
memecahkan masalahnya. Dengan modifikasi tersebut siswa dapat memungkinkan siswa melakukan
berbagai kegiatan atau aktivitas dalam pembelajaran, diantaranya melakukan penyelidikan,
percobaan, pengamatan, berdiskusi, permainan, atau membuat proyek dengan menyesuaikan materi
pembelajaran. Modifikasi dalam kegiatan atau aktivitas tersebut dapat membantu guru dalam upaya
menarik minat siswa mengikuti pembelajaran karena siswa diberikan keleluasaan dalam belajar.
Selain itu guru lebih dimudahkan dalam memberikan pembelajaran karena siswa sendiri yang aktif
menggali informasi, guru hanya memfasilitasi siswa, memberikan bimbingan dan arahan.
Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini telah memberikan kontribusi ilmu yaitu
model pembelajaran interaktif dengan sintak menurut Emma Holmes yang terdiri dari 5 sintak yang
diberi modifikasi dalam kegiatan atau aktivitas pembelajaran yang lebih berorientasi pada siswa.
Kontribusi ilmu pada sintak pertama yaitu siswa diberi keleluasaan untuk menentukan cara mereka
belajar, secara individu atau kerja kelompok. Kemudian pada sintak ke dua aktivitas penyelesaian
masalah, siswa dimungkinkan untuk dapat melakukan berbagai kegiatan atau aktivitas dalam
pembelajaran, diantaranya penyelidikan, percobaan, pengamatan, diskusi, dan membuat proyek
dengan menyesuaikan materi pembelajaran.
Mengacu pada penjelasan di atas dapat dipaparkan implikasi teoritis bahwa dengan
penggunaan model pembelajaran interaktif, penelitian ini telah memberikan gambaran bagaimana
penerapanya dalam pembelajaran IPA,sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar. Selain
itu kegiatan pembelajaran sudah disesuaikan dengan EEK (Eksplorasi, Elaborasi, dan Konfirmasi) dan
menambahkan modifikasi dalam sintak pembelajarannya, maka telah mengalami perubahan dari teori
211
Penerapan Model Pembelajaran Interaktif untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas 5 SD (Nugroho Widiantono, Nyoto Harjono)

aslinya. Sedangkan implementasi praktis, ternyata melalui penerapan model pembelajaran interaktif
dalam pembelajaran IPA, siswa lebih aktif dan berani mengungkapkan rasa ingin tahunya melalui
pertanyaan dan berpendapat, sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar. Selain itu, guru
dapat menciptakan suasana interaktif dalam pembelajaran IPAmenggunakan model pembelajaran
interaktif. Model pembelajaran interaktif dapat menjadi alternatif pilihan untuk mengatasi
permasalahan siswa yang pasif. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka tujuan penelitian telah
tercapai bahwa penerapan model pembelajaran interaktif dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas 5
SDN Lanjan 02 dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar IPA khususnya K.D 7.4 dan K.D 7.5.

PENUTUP
Simpulan dan Saran
Setelah menerapkan model pembelajaran interaktif dengan langkah-langkah meliputi tahap
pengantar, tahap aktivitas penyelesaian masalah, tahap saling berbagi dan diskusi, tahap meringkas,
dan tahap menilai belajar pada mata pelajaran IPA.Dapat dianalisis kesimpulan bahwa penerapan
model pembelajaran interaktif dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar IPA siswa kelas
5 SDN Lanjan 02 semester II tahun pelajaran 2015/2016 pada pokok bahasan daur air dan
penghematan air. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, aktivitas belajar yang meliputi
aktivitas guru, aktivitas individu siswa, dan aktivitas kelompok siswa dari prasiklus mengalami
peningkatan setelah diterapkannya model pembelajaran interaktif pada siklus I dan siklus II.Demikian
dengan hasil belajar IPA yang meliputi nilai rata-rata kelas dan ketuntasan belajarklasikal mengalami
peningkatan.

Ucapan terimakasih
Dengan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada SD Negeri Lanjan 02 Kecamatan
Sumowono Kabupaten Semarang yang telah memberikan ijin pelaksanaan penelitian tindakan kelas di
kelas 5.Selanjutnya, terimakasih kepada Prof. Dr. Slameto, M.Pd. yang telah melakukan review
terhadap artikel ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik(Revisi 2010). Yogyakarta:


Rineka Cipta.
_______, S., Suhardjono, & Supardi. (2012). Penelitian Tindakan Kelas (Revisi). Jakarta: Bumi
Aksara.
Dasna, I. W. (2015). Modul: Desain dan Model Pembelajaran Inovatif dan Interaktif. Universitas
Terbuka. (online). (https://repository.ut.ac.id/4324/1/MPDR5203-M1.pdf), diakses 22 April
2016.
Djaali, & Muljono, P. (2008). Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Hanafiah, N., & Suhana, C. (2010). Konsep Srategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.
Irsyadi, M. K. (2011). Peningkatan Hasil Belajar Operasi Hitung Bilangan Bulat Melalui Model
Pembelajaran Interaktif.Jurnal CAKRAWALA PENDIDIKAN: STKIP PGRI Blitar. 13 (2):
281-293.
Majid, A. (2014). Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pasri. (2012). Upaya Peningkatan Hasil Belajar Siswa Tentang Penggolongan Hewan Berdasarkan
Makanannya Melalui Model Pembelajaran Interaktif di Kelas IV SD Karangwotan 03
Semester 1 Tahun 2011/2012.Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya
Wacana.
Prayekti. (2004). Penerapam Model Pembelajaran Interaktif Pada Mata Pelajaran IPA di SD. Jurnal
Teknologi Pendidikan. (online), (http://www.teknologipendidikan.net), diakses 20 April 2016.

212
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 199 – 213

Rusman. (2010). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:


Rajawali Press.
Rusmana, N. (2007). Konsep dasar Dinamika Kelompok. (online),
(http://file.upi/Direktori/FIP/JUR_PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/196005011986
031-NANDANG_RUSMANA/Konsep_Dasar_Dinamika_Kelompok.pdf), diakses 28 April
2016.
Samatowa, U. (2006). Bagaimana Membelajarkan IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Nasional.
Santosa, S. (2004). Dinamika KelompokEdisi Revisi Cetakan ke 1. Jakarta: Bumi Aksara.
Sardiman, A. M. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali.
Slameto. (2015). Metodologi Penelitian dan Inovasi Pendidikan. Salatiga: Satya Wacana University
Press.
Sudjana, N. (2012). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Cetakan 19). Bandung:
Alfabeta.
Sulistyorini, S. (2007). Pembelajaran IPA Sekolah Dasar. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Susanto, D. A. (2012). Peningkatan Motivasi Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Interaktif
Pada Siswa Kelas IV Semester I SD Wotan 02 Sukolilo Pati Tahun Pelajaran
2012/2013.Skripsi tidak diterbitkan.Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Widiyanto, B. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Interaktif Dengan Media Miniatur Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar IPA Pada Siswa Kelas III SDN Kemuning Lor 02 Jember.Skripsi
tidak diterbitkan. Jember: Universitas Jember
Widodo, A. (2007). Pendidikan IPA di SD (BBM). Bandung: UPI. (online),
(https:/file.ipi.edu/Direktori/DUAL_MODES/PENDIDIKAN_IPA_DI_SD/BBM_6.pdf),
diakses tanggal 14 Januari 2016.

Profil Singkat
Penulis 1
Nugroho Widiantono adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana sejak tahun 2012 dan
sedang menempuh Tugas Akhir untuk memperoleh gelar Sarjana.
Penulis 2
Nyoto Harjono adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana sejak tahun 2006 sampai
sekarang. Beberapa karya yang telah ditulis antara lain: Bahasa Indonesia untuk SD/MI kelas 4, 5, dan
6 (PT Pabelan Cerdas Nusantara, 2007); Pembelajaran Bahasa Indonesia SD (Widya Sari, 2009);
Kajian Bahasa Indonesia (Widya Sari, 2009); “Kajian Stilistika Puisi-puisi Chairil Anwar sebagai
Sarana Pembelajaran Apresiasi Sastra” (Jurnal Scholaria, 2012); Analisis Kesalahan-kesalahan Dalam
Menulis Paragraf (Jurnal Scholaria, 2012); Evaluasi Pembelajaran Siswa Aktif pada Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia (Jurnal Seloka, 2012).

213
KEEFEKTIFAN MEDIA AUDIO VISUAL SEBAGAI KREATIVITAS GURU SEKOLAH
DASAR DALAM MENUMBUHKAN KETERAMPILAN MENULIS PUISI SISWA

Arum Tri Lestari, Mudzanatun, Aries Tika Damayani


arumjepara22@gmail.com, mudzanatun@gmail.com, afinobiologi@yahoo.com
PGSD, Universitas PGRI Semarang

THE EFFECTIVENESS OF AUDIO VISUAL MEDIA TOWARDS STUDENTS’ POETRY


WRITING SKILL AS A CREATIVE TEACHER’S PRODUCT IN ELEMENTARY SCHOOL

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the effectiveness of the use of audio-visual media towars
the poetry writing skill for students in 5th grade in Mororejo 2 Elementary School. This research is a
quantitative research, and was implemented during three meetings for 70 minutes long in each
meeting. The data was obtained using documentation, testing, interviews, and questionnaires. The
analysis consisted of two stages. The first stage was a test of normality and the second stage was with
normality test and pretest-posttest comparisons (t-test). The result showed that the use of audio-visual
media is effective to the skill of writing poetry for students of 5th grade, Mororejo 2 Elementary
School.

Keyword: poetry writing skill, audio-visual media

Article Info
Received date: 9 April 2017 Revised date: 22 Juli 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.Oleh karena itu, sejak
kecil selain diajarkan bahasa ibu, anak biasanya juga diajarkan menggunakan Bahasa
Indonesia.Pembelajaran Bahasa Indonesia dibangku sekolah dimulai dari tingkat sekolah dasar. Di
sekolah dasar mata pelajaran bahasa Indonesia diajarkan dari kelas I sampai VI. Sebagian besar
beranggapan bahwa Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang paling mudah daripada yang
lainnya.Karena tidak ada proses berhitung yang rumit. Padahal tidak demikian.Pembelajaran Bahasa
Indonesia justru lebih sulit.Karena membutuhkan keterampilan-keterampilan yang harus dikuasai.
Keterampilan yang ada pada mata pelajaran Bahasa Indonesia antara lain: mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis.
Beberapa keterampilanyang ada pada mata pelajaran Bahasa Indonesia diatas, berdasarkan
wawancara dengan guru kelas V SD N 2 Mororejo yaitu Bapak Setiadi, S.Pd, keterampilanyang masih
sulit dicapai oleh siswa yaitu keterampilanmenulis. Dari jumlah 29 siswa hanya 60% yang mampu
mencapai tingkat keterampilan sesuai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).Khususnya dalam
keterampilan menulis puisi.Walaupun guru telah menggunakan metode bank kata siswa tetap saja
masih kesulitan dalam memahami materi.
Sufia Retti, dkk. (2013: 1) menyatakan Pembelajaran menulis merupakan sesuatu yang
cenderung dianggap paling sulit oleh siswa termasuk menulis puisi. Menulis puisi merupakan
salah satu bentuk apresiasi sastra yang harus dikuasai siswa”. Berdasarkan pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya menulis merupakan keterampilanyang
sulit dikuasai siswa. Berdasarkan hasil wawancara juga menunjukkan bahwa walaupun gurutelah
menggunakan metode bank kata, hasil belajar siswa tetap belum memuaskan. Hal ini juga bisa
diakibatkan karena dalam menulis puisi, anak harus memiliki imajinasi dan kreativitas.Sehingga
dalam pembelajaran menulis puisi guru harus mampu memunculkan dan mengembangkan ide atau
imajinasi siswa yang berkaitan dengan tema yang sedang dipelajari.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi peneliti dapat menyimpulkan bahwa guru sudah
kreatif karena telah menggunakan metode bank kata, namun hanya belum efektif dalam pelaksanaan
kegiatan pembelajarannya.Selain itu, kurangnya kreativitas guru dalam mengembangkan media
214
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 214 – 225

pembelajaran yang hendak digunakan dalam mengajar.Sehingga kompetensi pembelajaran belum


tercapai oleh siswa dengan maksimal.
Mengingat bahwa siswa sekolah dasar ialah masa dimana anak masih suka bermain dan lebih
senang serta mudah memahami pembelajaran apabila pembelajaran yang dilakukan bersifat kongkret.
Sehingga dibutuhkan suatu inovasi pembelajaran yang dapat membantu guru dalam menyampaikan
materi dan memudahkan siswa dalam memahami materi pembelajaran. Inovasi pembelajaran dapat
dilakukan melalui berbagai variasi terhadap penggunaan metode, media, model dan lain sebagainya
yang mampu membantu guru dalam menyampaikan materi dengan kreatif. Berbagai variasi yang
diterapkan nantinya akan memotivasi dan menarik perhatian siswa dalam pembelajaran. Sehingga
siswa menjadi antusias, dan terfokus pada pembelajaran.
Permasalahan diatas dapat diberikan solusi dengan pemanfaatan media audio-visual. Media
audio visual ialah suatu alat yang dapat membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran
kepada siswa yang tidak hanya berupa suara atau gambar saja, namun mencakup keduanya. Media
audio visual dapat menampilkan gambar dan suara. Harapannya siswa menjadi tertarik dan
memperhatikan pembelajaran dengan baik, siswa lebih kreatif dalam menyusun rangkaian kata
khususnya dalam keterampilan menulis puisi dan nantinya dalam diri siswa akan muncul ide atau
imajinasi serta rasa minat dalam menulis puisi. Sehingga dalam penelitian ini peneliti mengkaji
mengenai keefektifan penggunaan media audio visual sebagai kreativitas guru dalam pembelajaran
keterampilan menulis puisi siswa kelas V SD N 2 Mororejo Kendal.
Peneliti dalam penelitian ini merumuskan masalah yaitu bagaimanakah keefektifan media
audio visual terhadap keterampilan menulis puisi siswa kelas V SD N 2 Mororejo Kendal?. Dengan
tujuan penelitian untuk mengetahui sejauh mana keefektifan penggunaan media audio visual terhadap
keterampilan menulis puisi siswa kelas V SD N 2 Mororejo Kendal.

Kajian Pustaka
Keterampilan Menulis Puisi
Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan(KTSP) menyebutkan bahwa
“menulis merupakan keterampilan yangharus dibelajarkan dandikuasai oleh siswa. Dengan menulis,
siswadapat menuangkan ide, pikiran, dan perasaan ke dalam bahasa tulis”. Suatu ide, pikiran,
perasaan dan gagasan seseorang dapat disampaikan tidak hanya dengan bahasa lisan, tetapi juga
bahasa tulis. Bahasa tulis akan dikuasai seseorang dengan belajar menulis tentunya. Karena menulis
merupakan suatu penyampaian ide, pikiran, perasaan maupun gagasan secara tertulis oleh seseorang
agar dapat dipahami oleh pembaca.Jadi, seorang anak diajarkan menulis tujuannya agar anak
memiliki keterampilan menulis dengan baik.
Hyland dalam Kastam Syamsi (2012: 2) menyatakan bahwa “menulis dipandang sebagai
keterampilan berbahasa yang sangat penting yang harus dikuasai oleh siswa”. Menulis dianggap
sebagai keterampilan berbahasa yang sangat penting karena sebagai penyampai pesan, informasi, ide,
gagasan, pikiran maupun perasaan seseorang selain dengan bahasa lisan. Sehingga keterampilan
menulis harus dikuasai oleh seseorang agar penyampaian suatu pesan, informasi, gagasan, ide, pikiran
maupun perasaan dapat optimal.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa menulis ialah suatu kegiatan
penyampaian ide, gagasan, pikiran, maupun perasaan kepada orang lain dalam bentuk tulisan
sehingga orang lain dapat memahami maksud penulis dengan membaca tulisan tersebut. Dalam
kegiatan menulis tujuannya ialah menyampaikan pesan atau informasi kepada orang lain. Muatannya
yaitu gagasan, ide, pikiran, dan perasaan.Medianya yaitu bahasa tulis.
Dwi Sulistyorini (2010:2) menyatakan “puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur
batinnya”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang dalam
pembuatannya membutuhkan suatu imajinasi dan konsentrasi tinggi baik dari struktur fisik maupun
batin dari kekuatan bahasa.
Dwi Sulistyorini (2010:1) menyatakan “menulis puisi merupakan salah satu keterampilan
sastra yang harus dicapai siswa karena siswa akan memperoleh banyak manfaat dari kegiatan menulis
puisi tersebut”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa dengan kegiatan menulis puisi, siswa akan
memperoleh banyak manfaat. Oleh karena itu keterampilan menulis puisi harus dicapai oleh siswa.
215
Keefektifan Media Audio Visual Sebagai Kreativitas Guru Sekolah Dasar Terhadap Keterampilan
Menulis Puisi Siswa (Arum Tri Lestari, Mudzanatun, Aries Tika Damayani)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa menulis puisi ialah salah satu bentuk
karya sastra. Sehingga dalam menulis puisi, seseorang harus menguasai tentang karya sastra tersebut.
Pembelajaran menulis puisi ialah salah satu pembelajaran yang dianggap sulit. Karena dalam karya
sastra membutuhkan suatu imajinasi dan konsentrasi penulis baik batin maupun fisik.Sehingga hal
inilah yang menjadi alasan mengapa pembelajaran menulis puisi dianggap sulit.Karena dalam
pembelajarannya harus mampu menciptakan dan menjadikan siswa berpikir imajinasi dan terfokus
pada karya sastra tersebut.
Menurut Dian Anggraini dkk. (2013: 1) “menulis puisi pada dasarnya mempunyai tujuan
untuk meningkatkan daya pikir imajinasi siswa dan membentuk watak siswa. Siswa dapat
mengekspresikan segala sesuatu yang ada pada pikirannya, berupa kata-kata yang dirangkai dalam
sebuah karya sastra yang mempunyai makna yaitu puisi”. Berdasarkan pernyataan di atas dapat
disimpulkan bahwa manfaat dari keterampilan menulis puisi ialah seseorang dapat mengekspresikan
dirinya tentang segala hal yang dipikirkannya terhadap sesuatu. Selain itu, juga dapat melatih
kreativitas siswa dalam pengunaan bahasa yang tepat dalam menyampaikan ekspresinya. Karena dari
tulisan dapat tercermin pikirannya.
Berdasarkan pernyataan di atas yang menyatakan bahwa keterampilan menulis puisi ialah
keterampilan paling sulit. Sehingga memerlukan kreativitas guru dalam pembelajaran. Dimana guru
harus mampu membantu siswa dalam berpikir kreatif. Maka guru memerlukan perencanaan
pembelajaran yang inovatif dan kreatif. Sehingga siswa akan termotivasi untuk belajar menulis.
Upaya yang dapat dilakukan guru diantaranya dengan penggunaan metode, model ataupun media
pembelajaran yang mendukung pembelajaran dan tentu menarik perhatian siswa.
Dalam pembelajaran menulis biasanya guru hanya menekankan pada hasil dari menulis
siswa. Tidak melihat dari proses dari kegiatan menulis tersebut. Sehingga dengan penggunaan media
audio visual siswa tidak hanya akan diminta menulis tetapi juga ditunjukkan bagaimana menulis puisi
yang sebenarnya, kata-kata dalam menulis itu diperoleh dari mana, apakah yang harus ditulis dan
sebagainya.
Berdasarkan penelitian Azmusssya’ni, dkk (2014: 10-11) tentang keterampilan menulis
dimana “evaluasi hasil yang dilaksanakan, yaitu menilai karangan siswa. Adapun indikator penilaian
hasil yang digunakan dalam mengoreksi karangan siswa berjumlah lima butir. Kelima butir indikator
tersebut, kesesuaian judul dengan isi; penggunaan ejaan dan tanda baca; menulis tegak bersambung;
pilihan kata/diksi; dan kerapihan tulisan”.
Berdasar pada penelitian di atas, peneliti dalam penelitian ini melakukan penilaian
keterampilan menulis puisi dengan indikator meliputi: kesesuaian isi puisi dengan judul dan tema
yang telah ditentukan, pemilihan kata (diksi) yang digunakan siswa dalam menyusun puisi,
penggunaan ejaan dan tanda baca dalam menyusun puisi, kerapian tulisan siswa dalam menuliskan
puisi dan tingkat imajinasi siswa dalam berpikir kreatif.

Media Audio Visual


Azhar Arsyad (2014: 6) menyatakan bahwa “media pendidikan memiliki pengertian alat
bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas”. Dalam pendidikan media digunakan
sebagai alat bantu guru dalam menyampaikan pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Hujair AH Sanaky (2013: 4) menyatakan bahwa “media pembelajaran adalah sarana atau alat bantu
pendidikan yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi
efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pengajaran”. Pendapat tersebut menyatakan bahwa
media sebagai perantara pembelajaran dari guru kepada siswa agar siswa dapat dengan mudah
mencapai tujuan pengajaran dengan efektif dan efisien.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian media
pembelajaran adalah segala sesuatu (baik itu orang, alat, benda, dan sebagainya) yang dapat
membantu guru dalam mengajar sehingga peserta didik dapat memahami pembelajaran dengan mudah
serta mampu mencapai tujuan pembelajaran dengan optimal.
Menurut Hamalik dalam Azhar Arsyad (2014: 19) “pemakaian media pembelajaran dalam
proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan
motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi
terhadap siswa”.

216
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 214 – 225

Media pembelajaran dianggap penting karena dengan menggunakan media maka akan
memudahkan siswa dalam memahami materi karena dengan bantuan media dapat menyamakan
persepsi siswa yang berbeda satu sama lain, mengkonkritkan konsep-konsep yang abstak, mampu
menghadirkan objek-objek yang besar maupun berbahaya dalam pembelajaran di kelas, serta dapat
memperlihatkan suatu proses tertentu yang terlalu cepat atau lambat dalam kerjanya. Dengan
demikian adanya suatu media menjadi sangat penting dalam setiap pembelajaran. Kriteria pemilihan
media yang harus diperhatikan menurut Azhar Arsyad (2014: 74) ialah: 1) Sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, 2) Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip, atau
generalisasi, 3) Praktis, luwes dan bertahan, 4) Guru terampil menggunakannya, 5) Pengelompokan
sasaran dan 6) Mutu teknis.
Dick dan Carey dalam Arief S. Sadiman, dkk.(2014: 86) menyebutkan bahwa “disamping
kesesuaian dengan tujuan perilaku belajarnya, setidaknya masih ada empat faktor lagi yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan media”.Pendapat tersebut menyatakan bahwa pertimbangan
memilih media selain kesesuaian dengan tujuan belajar yaitu antara lain: ketersediaan sumber di
sekitar, apakah media yang hendak digunakan memerlukan dana, tenaga maupun fasilitas lain, faktor
keluwesan, kepraktisan maupun ketahanan dari media yang digunakan, serta efektivitas biaya yang
diperlukan media.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria dalam memilih media
pembelajaran yang paling penting ialah disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Karena maksud dari digunakannya media pembelajaran ialah untuk membantu guru dalam
memudahkan siswa memahami pembelajaran dengan efektif dan efisien.Berdasarkan pada latar
belakang dan uraian yang telah dipaparkan di atas bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya
keterampilan menulis puisi anak ialah termasuk dalam kategori sulit. Maka oleh peneliti, mengkaji
permasalahan dengan menggunakan alternatif tindakan yaitu dengan penggunaan media audio visual.
Menurut Sapto Haryoko (2009: 3) “Media audio-visual adalah media penyampai informasi
yang memiliki karakteristik audio (suara) dan visual (gambar). Jenis media ini mempunyai
kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua karakteristik tersebut”. Pendapat tersebut
menyatakan bahwa media audio visual yaitu wadah penyampai informasi yang memiliki dua karakter
yaitu karakter audio berupa suara dan karakter visual yang berupa gambar. Sehingga media jenis ini
dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik dari yang lainnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan media audio-visual akan
sangat efektif karena adanya karakteristik suara dan gambar. Karena mengingat bahwa siswa SD
termasuk dalam usia masa anak-anak yang masih suka bermain daripada belajar. Jadi seorang guru
harus mampu menciptakan suatu pembelajaran yang menarik bagi siswa, yang membuat siswa tidak
terpaksa dalam belajar. Namun karena keinginan siswa sendiri dalam memperhatikan pembelajaran.
Penggunaan media audio-visual inilah siswa akan merasa tertarik dalam belajar karena efek gambar
dan suara yang diciptakan dalam media. Media yang diciptakan guru pun harus sesuai dengan materi
pembelajaran yang diajarkan. Media audio-visual antara lain dapat berupa televisi, film, video VCD
dan sound slide.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan aplikasi flipbook maker sebagai sarana untuk
berkreativitas. Aplikasi flipbook maker adalah aplikasi komputer yang berupa lembaran-lembaran
kertas disusun runtut sesuai dengan materi yang diajarkan. Flipbook maker dapat digunakan sebagai
media penyampai pesan pembelajaran dengan menampilkan gambar dan suara. Dimana aplikasi ini
akan menunjukkan seolah-olah buku elektronik yang dapat dibolak-balik layaknya buku pada
umumnya. Hal inilah yang akan menarik bagi siswa. Berikut cara mendesain Flipbook:
a. Pertama, flipbook hanya berisi lembaran-lembaran kertas kosong yang siap diisi pesan
pembelajaran
b. Guru menyiapkan materi pembelajaran yang akan disajikan dalam flipbook maker
c. Masukan pesan-pesan pembelajaran yang telah disiapkan sebelumnya baik berupa gambar, teks,
grafik, bagan dan lain-lain ke dalam lembaran-lembaran yang ada dalam aplikasi. Materi yang
disajikan pun harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
d. Setelah selesai proses edit, proses selanjutnya yaitu simpan file. Dan file siap disajikan di depan
kelas.

217
Keefektifan Media Audio Visual Sebagai Kreativitas Guru Sekolah Dasar Terhadap Keterampilan
Menulis Puisi Siswa (Arum Tri Lestari, Mudzanatun, Aries Tika Damayani)

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas V SD Negeri 2 Mororejo, Kecamatan
Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Penelitian ini dilaksanakan pada semester 2 tahun pelajaran
2016/2017 bulan Februari. Pertemuan dilakukan 3 kali dimana setiap pertemuan selama 70 menit.
Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Sabtu 25 Februari 2017, pertemuan kedua pada Senin 27
Februari 2017 dan pertemuan ketiga pada Selasa 28 Februari 2017. Variabel bebas dalam penelitian
ini adalah media audio-visual.Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan menulis puisi
siswa kelas V SD Negeri 2 Mororejo. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode eksperimen. Dengan Pre Experimental Design dengan jenis One Group Pretest- Posttest
Design.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SD N 2 Mororejo tahun pelajaran 2016/2017.
Penelitian ini menggunakan penelitian populasi, yaitu populasi penelitian sekaligus sebagai sampel
penelitian, yaitu siswa SD N 2 Mororejo sampel dalam penelitian ini terdapat satu kelas yaitu kelas V
SD N 2 Mororejo dengan jumlah 25 siswa. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini
adalah non probability sampling dengan jenis sampling jenuh. Sampling jenuh adalah teknik
pengambilan sampel dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Teknik
pengumpulan data, meliputi:
1. Dokumentasi
Dokumetasi dalam peneltian ini bewujud daftar nama siswa kelas V SD N 2 Mororejo, daftar
hasil belajar serta dokumentasi foto saat proses pembelajaran.
2. Tes
Pengumpulan data dengan tes ini digunakan peneliti unuk mengukur keterampilan menulis puisi
dengan menggunakan media audio-visual. Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah uraian
yang diberikan di awal pertemuan pertama dan di akhir pembelajaran pada pertemuan ketiga.
3. Wawancara
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan memberikan sejumlah pertanyaan baik pada guru
dan beberapa siswa yang dijadikan narasumber terkait penelitian tentang keterampilanmenulis
puisi siswa kelas V SD N 2 Mororejo. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data-data
yang diperlukan oleh peneliti dalam penelitian yang dilakukannya.
4. Angket
Instrumen ini digunakan untuk melakukan uji validasi terhadap media dan materi yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini. Validasi media dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan
media sebelum digunakan dalam penelitian dan validasi materi dimaksudkan untuk mengetahui
kesesuaian muatan materi dengan indikator yang akan dicapai dengan media yang disajikan dalam
penelitian. Pengumpulan data menggunakan angket ini dilakukan sebelum penelitian oleh penguji
ahli media dan ahli materi. Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data
penelitian ini ialah alat dokumentasi, kisi-kisi soal tes, pedoman wawancara, dan lembar angket.
Analisis data dalam suatu penelitian merupakan bagian yang sangat penting, karena dengan
adanya analisis data masalah dalam penelitian tersebut dapat diketahui jawabannya. Dalam langkah
memilih pendekatan penelitian, telah dikemukakan beberapa desain eksperimen diantaranya telah
disertai rumus atau analisis datanya. Untuk menganalisis, hasil eksperimen yang menggunakan pretest
dan posttest one group design. Pada tahap awal analisis data dilakukan dengan uji normalitas.
Sedangkan, pada tahap akhir terdapat uji normalitas, dan uji banding pretest dan posttest.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Deskripsi data diperoleh dari kelas eksperimen yang telah diamati baik dari sebelum dan
sesudah diberi perlakuan berupa penggunaan media audio visual. Deskripsi data yang diperoleh
sebelum perlakuan adalah nilai pretest. Deskripsi data yang diperoleh setelah perlakuan adalah nilai
posttest. Berdasarkan KKM mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas V SD N 2 Mororejo yang telah
ditetapkan yaitu 75. Hal ini dapat dinyatakan dengan dua kategori yaitu < 75 dinyatakan tidak tuntas
dan ≥ 75 dinyatakan tuntas. Selanjutnya dapat dinyatakan dalam bentuk tabel berikut:

218
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 214 – 225

Tabel 1
Distribusi Frekuensi Nilai Pretest

Siswa yang
Nilai Persentase
memperoleh nilai
55 – 59 3 12%

60 – 64 2 8%

65 – 69 4 16%

70 – 74 6 24%

75 – 79 5 20%

80 – 84 5 20%

Jumlah 25 100%

Berdasarkan tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa jumlah siswa yang memperoleh nilai 55-59
sejumlah 3 siswa, nilai 60-64 sejumlah 2 siswa, nilai 65-69 sejumlah 4 siswa, nilai 70-74 sejumlah 6
siswa, nilai 75-79 sejumlah 5 siswa dan nilai 80-84 sejumlah 5 siswa. Berdasarkan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa jumlah siswa yang memperoleh nilai tuntas sesuai Kriteria Ketuntasan Minimum
(KKM) yaitu ≥75 ialah hanya sejumlah 10 siswa.Sehingga ada sejumlah 15 siswa yang belum
mencapai ketuntasan minimum. Berikut disajikan data dalam bentuk diagram batang untuk
memperjelas tabel 1 sebagai berikut:

Gambar 1
Diagram Rekapitulasi Distribusi Frekuensi Nilai Pretest

Berdasarkan diagram rekapitulasi diatas menunjukkan bahwa dari jumlah siswa 25


persentase jumlah siswa yang memperoleh nilai 55-59 sebesar 12% sejumlah 3 siswa, nilai 60-64
sebesar 8% sejumlah 2 siswa, nilai 65-69 sebesar 16% sejumlah 4 siswa, nilai 70-74 sebesar 24%
sejumlah 6 siswa, nilai 75-79 sebesar 20% sejumlah 5 siswa dan nilai 80-84 sebesar 20% sejumlah 5
siswa. Sehingga dapat dinyatakan bahwa jumlah persentase siswa yang memperoleh nilai dibawah
KKM (tidak tuntas) sebesar 60% sejumlah 15 siswa dan persentase siswa yang memperoleh nilai
diatas KKM (tuntas) hanya 40% sejumlah 10 siswa. Selanjutnya akan disajikan rekapitulasi nilai
pretest dalam bentuk tabel dibawah ini:

219
Keefektifan Media Audio Visual Sebagai Kreativitas Guru Sekolah Dasar Terhadap Keterampilan
Menulis Puisi Siswa (Arum Tri Lestari, Mudzanatun, Aries Tika Damayani)

Tabel 2
Rekapitulasi Nilai Pretest
Kelas Eksperimen
Jumah Nilai 1740
Rata-rata 69,6
Nilai Terendah 55
Nilai Tertinggi 80

Berdasarkan tabel 2 rekapitulasi nilai pretest, maka dapat dilihat bahwa dari 25 siswa rata-
rata nilai pretest pada kelas eksperimen yaitu 69,6 dengan batas kriteria ketuntasan minimum (KKM)
diambil dari mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 75. Nilai terendah 55 dan nilai tertinggi 80.Rata-
rata hasil nilai pretest ini jelas tidak mencapai KKM yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil nilai
pretest yang belum mencapai KKM, selanjutnya dilakukan perlakuan dengan menggunakan media
audio visual dalam kegiatan pembelajaran. Setelah pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan diberi
perlakuan menggunakan media audio visual kemudian siswa diberi soal posttest. Selanjutnya dapat
dinyatakan dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 3
Distribusi Frekuensi Nilai Posttest

Nilai Siswa yang Persentase


memperoleh nilai
65 – 70 7 28%
71 – 76 1 4%
77 – 82 5 20%
83 – 88 4 16%
89 – 94 4 16%
95 – 100 4 16%
Jumlah 25 100%

Berdasarkan tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa jumlah siswa yang memperoleh nilai 65-70
sejumlah 7 siswa, nilai 71-76 sejumlah 1 siswa, nilai 77-82 sejumlah 5 siswa, nilai 83-88 sejumlah 4
siswa, nilai 89-94 sejumlah 4 siswa dan nilai 95-100 sejumlah 4 siswa. Berdasarkan data tersebut
dapat disimpulkan bahwa jumlah siswa yang memperoleh nilai tuntas sesuai Kriteria Ketuntasan
Minimum (KKM) yaitu ≥75 ialah hanya sejumlah 18 siswa.Sehingga ada sejumlah 7 siswa yang
belum mencapai ketuntasan minimum. Berikut disajikan data dalam bentuk diagram batang untuk
memperjelas tabel 5 sebagai berikut:

Gambar 2
Diagram Rekapitulasi Distribusi Frekuensi Nilai Posttest
220
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 214 – 225

Berdasarkan gambar 2, di atas menunjukkan bahwa dari jumlah siswa 25 persentase jumlah
siswa yang memperoleh nilai 65-70 sebesar 28% sejumlah 7 siswa, nilai 71-76 sebesar 4% sejumlah 1
siswa, nilai 77-82 sebesar 20% sejumlah 5 siswa, nilai 83-88 sebesar 16% sejumlah 4 siswa, nilai 89-
94 sebesar 16% sejumlah 4 siswa dan nilai 95-100 sebesar 16% sejumlah 4 siswa. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa jumlah persentase siswa yang memperoleh nilai dibawah KKM (tidak tuntas)
sebesar 28% sejumlah 7 siswa dan persentase siswa yang memperoleh nilai diatas KKM (tuntas)
sebesar 72% sejumlah 18 siswa. Selanjutnya disajikan rekapitulasi nilai posttest dalam bentuk tabel
dibawah ini:
Tabel 4
Rekapitulasi Nilai Posttest
Kelas Eksperimen
Jumah Nilai 2030
Rata-rata 81,2
Nilai Terendah 65
Nilai Tertinggi 95

Berdasarkan tabel 4 rekapitulasi nilai posttest, maka dapat dilihat dari 25 siswa rata-rata nilai
posttest pada kelas eksperimen yaitu 81,2 dengan batas ketuntasan minimal (KKM) diambil dari mata
pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 75. Nilai terendah 65 dan nilai tertinggi 95. Berdasarkan hasil nilai
pretest dan posttest di atas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan keterampilan menulis puisi siswa
sebelum diberi perlakuan dan sesudah diberi perlakuan menggunakan media audio visual. Hal ini
dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5
Rekapitulasi nilai pretest dan posttest

Data Pretest Posttest


Nilai terendah 55 65
Nilai tertinggi 80 95
Rata-rata 69.6 81.2
Siswa yang tuntas 10 18
Siswa yang tidak tuntas 15 7

Berdasarkan tabel 5 rekapitulasi di atas, dapat disimpulkan bahwa dari nilai pretest diperoleh
nilai terendah 55, nilai tertinggi 80, rata-rata nilai 69,6, siswa yang tuntas hanya sejumlah 10 siswa
dan siswa yang tidak tuntas sejumlah 15 siswa. Sedangkan, dari nilai posttest diperoleh nilai terendah
65, nilai tertinggi 90, rata-rata nilai 81,2, siswa yang tuntas sejumlah 18 siswa dan siswa yang tidak
tuntas sejumlah 7 siswa. Untuk memperjelas tabel 4.5, berikut disajikan data perbandingan nilai
pretest dan posttest dalam bentuk diagram batang:

Gambar 3
Diagram Rekapitulasi Perbandingan Nilai Pretest dan Posttest

221
Keefektifan Media Audio Visual Sebagai Kreativitas Guru Sekolah Dasar Terhadap Keterampilan
Menulis Puisi Siswa (Arum Tri Lestari, Mudzanatun, Aries Tika Damayani)

Berdasarkan gambar 3 diagram rekapitulasi perbandingan nilai pretest dan posttest di atas,
dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan dari nilai pretest dan posttest terkait nilai terendah, nilai
tertinggi, rata-rata nilai, sampai jumlah siswa yang tuntas. Sedangkan, siswa yang tidak tuntas terjadi
penurunan.Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran sebelum dan sesudah perlakuan ada
perbedaan respon siswa sehingga keterampilan menulis puisi siswa menjadi meningkat.
Penelitian yang peneliti lakukan memperoleh data fakta bahwa penggunaan media audio
visual sebagai perlakuan terhadap keterampilan menulis siswa lebih efektif dibandingkan dengan
metode konvensional atau sebelum diberi perlakuan. Hal ini dibuktikan dengan perhitungan analisis
data yang diperoleh peneliti dalam penelitian.Data diperoleh dari hasil nilai lembar soal pretest dan
posttest yang telah dikerjakan siswa.Hasil nilai pretest diperoleh keterampilan menulis puisi siswa
sebelum diberi perlakuan. Hasil nilai posttest diperoleh dari keterampilan menulis puisi siswa setelah
diberi perlakuan berupa penggunaan media audio visual dalam kegiatan pembelajaran.
Analisis data diawali dari uji normalitas data awal yang diperoleh dari nilai pretest siswa. Uji
ini untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan berdistribusi normal.Berdasarkan hasil
penelitian, menunjukkan bahwa rata-rata nilai pretest dari jumlah sampel 25 siswa yaitu 69,6. Setelah
itu, dilanjutkan dengan analisis data akhir yang terdiri dari tiga uji, yaitu uji normalitas data dan uji
banding pretest dan posttest (uji-t). Uji hipotesis yang pertama yaitu uji normalitas. Data pada uji ini
diperoleh dari nilai posttest siswa. Uji ini untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan
berdistribusi normal. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai posttest dari
jumlah sampel 25 siswa yaitu 81,2. Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) dari sekolah sudah
menetapkan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 75.
Uji hipotesis yang kedua yaitu uji banding pretest dan posttest (uji-t). Uji ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar perbandingan antara nilai posttest dan pretest, sehingga dapat diperoleh
kesimpulan apakah penggunaan media audio visual efektif untuk meningkatkan keterampilan menulis
puisi siswa. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa dengan N = 25 dan taraf signifikan =
5% diperoleh thitung = 6,170 dan ttabel = 2,064. Karena thitung > ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa uji t
signifikan. Berdasarkan data hasil rata-rata nilai pretest dan posttest dimana hasil rata-rata nilai pretest
= 69,6 dan hasil rata-rata nilai posttest = 81,2. Hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan sebesar
11,6 dari perbandingan hasil rata-rata nilai pretest dan posttest. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penggunaan media audio visual lebih efektif dalam kegiatan pembelajaran keterampilan
menulis puisi siswa jika dibandingkan dengan kegiatan pembelajaran sebelum menggunakan media
audio visual.

PEMBAHASAN
Media audio visual ini digunakan dengan maksud agar siswa tidak jenuh dengan
pembelajaran. Terlebih lagi pembelajaran Bahasa Indonesia yang dianggap mudah jadi terkadang
beberapa siswa tidak memperhatikan pembelajaran dengan seksama.Penyajian materi yang tidak
seperti biasanya atau konvensional lebih menarik bagi siswa untuk antusias dan memperhatikan
pembelajaran. Penggunaan media audio visual dimaksudkan juga untuk meningkatkan imajinasi dan
kreativitas siswa dalam menyusun sebuah puisi bebas. Hal ini bisa diperoleh siswa dari kedalaman
materi dan animasi yang termuat di dalam media. Maka dari itu, sebelum media digunakan untuk
media pembelajaran di sekolah telah terlebih dahulu dinilai oleh ahli materi sekaligus ahli media yang
tidak lain ialah dosen pembimbing peneliti. Penilaian media menggunakan angket validasi untuk
mengetahui apakah media telah layak digunakan terkait dengan kedalaman materi dan kelayakan
media.Setelah dinyatakan layak oleh dosen pembimbing sebagai ahli materi dan ahli media maka
media siap digunakan di sekolah.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media audio visual dalam kegiatan
pembelajaran Bahasa Indonesia efektif untuk meningkatkan keterampilan menulis puisi siswa
dibandingkan sebelum menggunakan media audio visual. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai pretest
dan posttest dari jumlah sampel 25 siswa dimana nilai pretest siswa menunjukkan rata-rata 69,6 dan
nilai posttest siswa menunjukkan rata-rata 81,2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada peningkatan
dari rata-rata nilai pretest dan posttest sebesar 11,6. Sehingga terbukti bahwa penggunaan media audio
visual efektif terhadap keterampilan menulis puisi siswa di SD N 2 Mororejo Kendal.
Hasil penelitian diatas relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmah Nuzulia
(2014) dengan judul Keefektifan Pendekatan Scientific Berbantuan Audio Visual terhadap
222
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 214 – 225

Kompetensi Inti Tema Cita-citaku Siswa Kelas IV SDN Kertijayan 03 Pekalongan membuktikan
bahwa terdapat peningkatan hasil belajar. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji t dimana t hitung>ttabel
yakni 14,103>2,07 menunjukkan bahwa nilai thitung lebih besar ttabel. Nilai posttest lebih besar sebesar
84,17 dibanding dengan pretest sebesar 68,63. Jadi ada perbedaan yang signifikan antara posttest dan
pretest. Sehingga 85% siswa sudah mencapai ketuntasan belajar pada aspek psikomotorik dan afektif
dengan kriteria minimal 2,66 (B-). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui media audio
visual dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang meliputi hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Akwab Firdaus (2016) dengan judul Penerapan Media Audio
Visual pada hasil belajar matematika materi operasi hitung campuran kelas IV SD Negeri 02 Doro
membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika setelah menggunakan penerapan
media audio visual materi operasi hitung campuran kelas IV SD Negeri 02 Doro. Hal ini ditunjukkan
dari hasil penelitian pada kelas eksperimen diketahui nilai rata-rata pretest adalah 74,00 sedangkan
nilai rata-rata posttest adalah 93,20. Hasil ini diperkuat dengan perhitungan hipotesis menggunakan
uji-t diperoleh hasil thitung = 7,456 dengan db = N - 1 = 20 - 1 = 19 dan taraf signifikan 5% diperoleh
ttabel = 2,093. Karena thitung > ttabel, maka H0 ditolak. Sehingga hipotesis pada penelitian ini adalah
diterima. Atas dasar penelitian tersebut maka hipotesis yang berbunyi ialah ada perbedaan hasil
belajar matematika setelah menggunakan penerapan media audio visual materi operasi hitung
campuran kelas IV SD Negeri 02 Doro.
Berdasarkan penelitian di atas membuktikan bahwa penggunaan media audio-visual terhadap
pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang sangat signifikan. Dilihat dari
hasil pretest dan posttest yang telah dilakukan peneliti, dimana rata-rata nilai pretest sebesar 74,00 dan
posttest sebesar 93,20. Nilai pretest diperoleh dari hasil belajar siswa sebelum kelas diberi perlakuan.
Dan nilai posttest diperoleh dari hasil belajar siswa setelah siswa diberi perlakuan dengan penggunaan
media audio-visual dalam pembelajaran keterampilan menulis puisi. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa penggunaan media audio visual dapat efektif dalam membantu guru menyampaikan
pembelajaran di kelas sehingga mampu mengoptimalkan ketercapaian tujuan pembelajaran dengan
peningkatan hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2014) dengan judul pengaruh bimbingan belajar
dengan media audio visual terhadap kreativitas belajar siswa kelas X MAN I Demak Tahun Pelajaran
2013/2014 membuktikan bahwa hasil analisis data penelitian setelah mendapatkan perlakuan
bimbingan belajar dengan media audio visual, menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan
dari bimbingan belajar dengan media audio visual terhadap kreativitas belajar siswa. Peningkatan
rata-rata kreativitas belajar siswa kelas X MAN I Demak dari sebelum treatment adalah 72,63% dan
sesudah treatment sebesar 91,7%. Dan sisanya 19,07 % ditentukan oleh faktor lain yaitu kondisi
psikologi dan kondisi lingkungan. Hal ini diperkuat dengan hasil uji-t dimana thitung = 6,23 dan ttabel =
2,04 menunjukkan bahwa nilai thitung > ttabel dengan taraf signifikan 5%. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bimbingan belajar dengan media audio visual berpengaruh terhadap kreativitas
belajar siswa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti di atas menunjukkan bahwa penggunaan
media audio-visual sebagai penunjang sebuah bimbingan kelompok mampu meningkatkan kreativitas
siswa dalam suatu pembelajaran. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil rata-rata kreativitas siswa yang
mengalami peningkatan dari pretest (sebelum treatment) sebesar 72,63% dan posttest (setelah
treatment) sebesar 91,7%. Sehingga dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan
media audio-visual dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar.
Berdasarkan ketiga penelitian yang relevan di atas menunjukkan kesamaan hasil bahwa
penggunaan media audio-visual dalam suatu pembelajaran dapat menunjang ketercapaian tujuan
pembelajaran dengan optimal dan efektif (bandingkan dengan Adhini Virgiana dan Wasitohadi,
2016).

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan media audio visual
efektif terhadap keterampilan menulis puisi siswa kelas V SD N 2 Mororejo Kendal. Hal ini
dibuktikan dengan uji hipotesis yang telah dilakukan peneliti. Hipotesis yang dirumuskan ialah jika
thitung> ttabel maka H0 ditolak dan Ha diterima, artinya penggunaan media audio visual terhadap
keterampilan menulis puisi efektif. Berdasarkan uji t dari N = 25 dan taraf signifikan = 0,5 diperoleh
223
Keefektifan Media Audio Visual Sebagai Kreativitas Guru Sekolah Dasar Terhadap Keterampilan
Menulis Puisi Siswa (Arum Tri Lestari, Mudzanatun, Aries Tika Damayani)

thitung = 6,170 dan ttabel = 2,064. Berdasarkan perolehan data tersebut menunjukkan bahwa thitung> ttabel
yaitu 6,170 > 2,064, maka H0 ditolak dan Ha diterima. Artinya uji-t signifikan. Selain itu, berdasarkan
hasil nilai pretest dan posttest juga menunjukkan bahwa ada peningkatan dari rata-rata nilai pretest
sebesar 69,6 menjadi 81,2 yang merupakan hasil rata-rata nilai posttest sebesar 11,6. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penggunaan media audio visual efektif terhadap keterampilan menulis puisi
siswa. Jadi, kreativitas guru melalui media audio visual dapat meningkatkan keterampilan menulis
puisi siswa SD N 2 Mororejo Kendal.

Saran
Setelah melakukan penelitian, peneliti memberi saran sebagai berikut:
1. Hendaknya guru sering melakukan inovasi dan variasi pembelajaran agar siswa tidak mudah
jenuh dan bosan ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Sehingga siswa akan memperhatikan
dan antusias dalam belajar. Misalkan dengan menggunakan alat-alat maupun fasilitas yang
dimiliki sekolah sebagai alat peraga atau media pembelajaran yang dapat menunjang
pembelajaran sesuai materi pelajaran yang dipelajari.
2. Ketika guru hendak menggunakan media berupa audio visual, selain menyiapkan alat penunjang
yang dibutuhkan, guru juga perlu mengatur pencahayaan ruang kelas agar media yang
diproyeksikan di depan kelas tetap terlihat oleh seluruh siswa. Ejaan dan ukuran huruf dalam
media juga disesuaikan dengan luas kelas dan banyak siswa yang akan melihat agar siswa tertarik
dan nyaman dengan media yang digunakan guru. Sehingga akan menunjang tercapainya tujuan
pembelajaran dengan optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Adhini Virgiana dan Wasitohadi, 2016. Efektivitas Model Problem Based Learning
Berbantuan Media Audio Visual Ditinjau dari Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 5 SDN 1 Gadu
Sambong - Blora Semester 2 Tahun 2014/2015. Scholaria, Vol. 6 No. 2, Mei 2016: 100 – 118
Anggraini, Dian, dkk. 2013. Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi dengan Menggunakan Metode
Concept Sentence.http://jurnal.fkip.uns.ac.id. Diakses 24 Oktober 2016
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Arsyad, Azhar. 2014. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Azmussya’ni, dkk. 2014. Peningkatan keterampilan menulis menggunakan pendektan proses dengan
media gambar di SD N 3 Sakra. http://journal.uny.ac.id. Diakses 17 Januari 2016.
Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2004. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Haryoko, Sapto. 2009. Efektivitas Pemanfaatan Media Audio-Visual sebagai alternatif optimalisasi
model pembelajaran. http://jurnal.uny.ac.id/. Diakses pada 24 Oktober 2016.
Retti, Sufia, dkk. 2013. Peningkatan Keterampilan Menulis Puisi Melalui Prinsip-prinsip
Sugestologi Siswa Kelas VII.1 SMP N 4 VII Koto Sungai Sarik Kabupaten Padang Pariaman.
http://ejournal.unp.ac.id. Diakses pada 24 Oktober 2016.
Sadiman, Arief S, dkk. 2014. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya.
Jakarta: Rajawali Pers
Sanaky, Hujair AH. 2013. Media Pembelajaran Interaktif-Inovatif. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara
Subekti, Ervina Eka. 2015. Buku Pegangan Kuliah: Statistika 2. Semarang: cetakan upgris
Sudjana, Nana. 2005. Metode Statistika: Edisi ke-6. Bandung: Tarsito
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sulistyorini, Dwi. 2010. Peningkatan KeterampilanMenulis Puisi dengan Media Gambar Pada
Siswa Kelas V SDN Sawojajar V Kota Malang.http://jurnalpendidikaninside. blogspot.com.
Diakses 24 Oktober 2016.
224
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 214 – 225

Syamsi, Kastam. 2012. Model Perangkat Pembelajaran Menulis Berdasarkan Pendekatan Proses
Genre Bagi Siswa SMP. http://eprints.uny.ac.id. Diakses 10 Desember 2016.

BIODATA DIRI

Arum Tri Lestari


Kelahiran Jepara pada tanggal 6 September 1995. Penulis menyelesaikan pendidikan
terakhir dari prodi PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Semarang pada
bulan Mei 2017 dengan gelar Sarjana Pendidikan. Pengalaman bekerja pernah menjadi
tentor privat siswa sekolah dasar.

225
KONSEP DIRI AKADEMIK MAHASISWA PASCASARJANA

Zuvyati A. Tlonaen, Jusuf Blegur


aryanietlonaen@gmail.com, blegur04@yahoo.co.id
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, Unesa
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UKAW

POSTGRADUATE STUDENTS’ ACADEMIC SELF-CONCEPT

ABSTRACT

This research reports the assessment of academic self-concept of the first semester
postgraduate students of education, in language and literature program, Surabaya State University.
This research used descriptive quantative method. Respondents involved were 20 students (M
=25.2500, SD = 2.46822) in which the determination of the respondents were done by the use of the
total sampling. The data were collected using the Academic Self-Concept Questionnaire (ASCQ)
developed by Woon C. Liu and Chee K. J. Wang in 2005 by involving two dimensions, that is of
academic-conviction and academic effort. The result of the analysis indicated that 13 students (65%)
responded to the research questionnaire in the value of 80-100, and 7 students (35%) responded to
the questionnaire in the value of 60-80, whereas in the value of 40-60, and of 0-20 were not
responded by the students (0%). Finally, it can be inferred that students’ academic self-concept are
very good (65%).

Keywords: Academic self-concept, postgraduate students.

Article Info

Received date: 23 Juni 2017 Revised date: 9 Agustus 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Konsep diri sebagai komponen pengembangan kepribadian manusia yang memiliki sifat dan
kekhasan sendiri (Ghazvini, 2011:1035), mencerminkan pandangan umum individu atas penerimaan
dan kompetensi sosial, yaitu perasaan pribadi tentang dirinya sendiri (Bellmore & Cillessen,
2006:210). Dalam urusan akademik, konsep diri merupakan komposit umum individu atau pandangan
kolektif diri sendiri terhadap persepsi multidimensi akademik berdasarkan kemampuan diri dan
evaluasi nilai yang dibentuk melalui pengalaman dan interpretasi atas lingkungan sosial (Sternke,
2010:15).
Pandangan Sternke di atas menjelaskan lingkungan berperan dalam pengembangan
kepribadian individu. Kontribusinya tidak terbatas pada sejumlah domain afektif yang menetap dalam
lingkungan sejak lahir, namun juga mempengaruhi preferensi sosial, perkembangan konsep diri
akademik, dan prestasi akademik individu (Baran & Maskan, 2011:2; Srivastava & Joshi, 2011:331;
Bellmore & Cillessen, 2006:209). Hal ini secara luas menyiratkan konsep diri akademik berkembang
sebagai implikasi atas interaksi mahasiswa dalam lingkungan sekitarnya, bisa dengan orang tua,
rekan-rekan, maupun dosen.
Kerberhasilan mahasiswa dalam mengikuti proses pendidikan dan pembelajaran di kampus
sangat dipengaruhi oleh konsep diri akademiknya (Flowers, Raynor, & White, 2013:1; Tan & Yates,
2007:471). Mahasiswa terkondisi untuk mempersepsikan dirinya sebagai pembelajar serta bagaimana
dirinya berinteraksi dengan lingkungan belajarnya (Emmanuel, Adom, Josephine, & Solomon,
2014:27) yang termanifestasi melalui keyakinan akademik dan usaha akademiknya (Liu & Wang,
2005:21) dalam proses belajar di kelas maupun di luar kelas, misalnya dengan menyajikan presentasi
maupun menuliskan uraian.
Konsep diri akademik yang positif mendatangkan keyakinan mahasiswa atas segenap potensi
atau kemampuanya dalam bidang akademik. Ia pula merasa dirinya lebih unggul dari mahasiswa
lainnya dalam kegiatan akademik (Ellingsen, 2013:viii; Baran & Maskan, 2011:2). Serta diiringi
dengan usaha-usaha akademik untuk mewujudnyatakan persepsi akademik tersebut. Oleh sebabnya,
226
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 226 – 233

konsep diri akademik memainkan posisi penting selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
Spesifikasinya dengan melatih fungsi kognitif mahasiswa untuk memberikan performa dan prestasi
akademik yang lebih apik (Ordaz-Villegas, Acle-Tomasini, & Reyes-Lagunes, 2013:117).
Saat berlangsungnya pembelajaran, mahasiswa sibuk dengan gadget-nya, perhatian belajarnya
melemah, dan tidak fokus mengikuti kegiatan pembelajaran. Situasi lain yaitu adanya perasaan skeptis
terhadap kemampuan akademiknya. Mendapat banyak interupsi dari pendidik, saat memaparkan
materi presentasi sehingga mahasiswa ingin meninggalkan kelas secara cepat. Selain itu, mahasiswa
enggan menunjukkan usaha akademik, serta mudah menyerah saat menghadapi tugas yang
“menantang”. Inilah bentuk buruknya konsep diri akademik mahasiswa (Liu & Wang, 2005:22) yang
dapat mempengaruhi perilaku “agresi” dalam proses pembelajaran (Taylor, Davis-Kean, &
Malanchuk, 2007:131).
Permasalahan keyakinan dan usaha akademik di atas adalah penghambat aktualiasi diri
mahasiswa. Padahal, model peningkatan diri menjelaskan konsep diri akademik merupakan penentu
prestasi akademik. Ini berarti performa dan prestasi akademik sebagai konsekuensi positif dari konsep
diri akademik, begitu pun sebaliknya (Emmanuel, Adom, Josephine, & Solomon, 2014:24; Chen,
Yeh, Hwang, & Lin, 2013:172; Dramanu & Balarabe, 2013:95; Ghazvini, 2011:1034). Arah
kausalitasnya berawal dari intervensi konsep diri akademik yang dilegitimasi kayakinan diri dalam
mengabdikan usaha dan komitmen guna meningkatkan status akademik (peningkatan diri) (Green,
Nelson, Martin, & Marsh, 2006:536; Liu & Wang, 2005:22).
Konsep diri akademik ada pada setiap mahasiswa yang terlibat dalam proses pembelajaran,
dan idealnya konsep diri akademik linear dengan tingkat pendidikan individu. Kian tinggi level
pendidikan, soyogianya kian baik pula himpunan pengetahuan dan sikap yang dimiliki mahasiswa
atas status akademiknya. Atas rasionalisasi demikian, maka penelitian ini dilaksanakan untuk menilai
konsep diri akademik mahasiswa semester I program studi S2 pendidikan bahasa dan sastra Inggris
program pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Penelitian ini juga bermanfaat untuk
mengklasifikasi dan membandingkan konsep diri akademik sesuai dengan tingkat pendidikan tertentu.
Serta sebagai media untuk memperbaiki konsep diri akademik mahasiswa pascasarjana.

METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan jenis deskriptif.
Populasi yang dipakai adalah mahasiswa semester I program studi S2 pendidikan bahasa dan sastra
Inggris (kelas reguler) Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya. Sampel yang terlibat
dalam penelitian ini berjumlah 20 orang, terdiri dari 8 orang laki-laki dan 12 orang perempuan (M =
25.2500, SD = 2.46822) yang penetapannya menggunakan teknik total sampling.
Data penelitian dikumpulkan menggunakan Academic Self-Concept Questionnaire (ASCQ)
yang dikembangkan oleh Woon C. Liu dan Chee K. J. Wang di tahun 2005 yang kemudian
dimodifikasi sejumlah redaksi agar sesuai dengan konteks pendidikan pascasarjana (r =.73). ASCQ
melibatkan 20 pernyataan tertutup yang terdiri dari 2 sub variabel, antara lain: 1) Keyakinan
akademik, yaitu penilaian tentang perasaan dan persepsi mahasiswa tentang kompetensi akademik
yang diimilikinya. Sub variabel ini terwakili 10 pernyataan bernomor ganjil. 2) Usaha akademik,
penilaian tentang komitmen mahasiswa tentang keterlibatannya pada proses pembelajaran. Sub
variabel ini terwakili 10 pernyataan bernomor genap.
Proses analisis menggunakan deskriptif kuantitatif dengan bantuan SPSS 20 for windows.
Hasil analisis data (ferkuensi dan persentasi) kemudian diinterpretasikan sebagai berikut: sangat baik
(80-100), baik (60-80), cukup baik (40-60), kurang baik (20-40), dan tidak baik (0-20).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Keyakinan Akademik
Pada dimensi keyakinan akademik, responden dinilai perasaan dan persepsinya tentang
kompetensi akademik yang dimilikinya. Dari 10 pernyataan yang ditanggapi responden, seluruhnya
memberikan jaminan kepada derajat keyakinan akademik yang baik (M = 38; SD = 4.14221).

227
Konsep Diri Akademik Mahasiswa Pascasarjana (Zuvyati A. Tlonaen, Jusuf Blegur)

Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Keyakinan Akademik Responden

Tanggapan
Pernyataan
SS S CS KS TS
11 6 3 0 0
Saya dapat mengikuti pelajaran dengan mudah.
55% 30% 15% 0% 0%
Saya dapat membantu teman sekelas saya dalam 1 13 5 1 0
menyelesaikan tugas-tugas. 5% 65% 25% 5% 0%
Jika saya bekerja keras, saya berpikir bahwa saya dapat 12 7 0 1 0
melanjutkan studi (program doktoral). 60% 35% 0% 5% 0%
Kebanyakan teman-teman sekelas saya lebih pintar dari 0 3 12 3 2
saya(-). 0% 15% 60% 15% 10%
Dosen saya merasa bahwa saya sangat tidak baik dalam 13 3 3 1 0
tugas-tugas saya(-). 65% 15% 15% 5% 0%
4 7 7 2 0
Saya sering melupakan apa yang saya telah pelajari(-).
20% 35% 35% 10% 0%
Saya merasa takut ketika saya diberikan pertanyaan oleh 1 7 9 3 0
dosen atau ketika ditanyai dosen(-). 5% 35% 45% 15% 0%
2 8 8 2 0
Saya baik hampir di semua mata kuliah di kampus.
10% 40% 40% 10% 0%
11 7 1 1 0
Saya selalu gagal dalam ujian atau tes(-).
55% 35% 5% 5% 0%
Saya dapat melakukan yang lebih baik dari teman-teman 0 3 9 7 1
saya hampir semua mata kuliah. 0% 15% 45% 35% 5%
Catatan: SS (sangat sesuai), S (sesuai), CS (cukup sesuai), KS (kurang sesuai), TS (tidak sesuai).

Mahasiswa lazimnya yakin terhadap kemampuan akademik yang milikinya hingga


memudahkannya saat mengikuti proses pembelajaran (Flowers, Raynor, & White, 2013:1; Tan &
Yates, 2007:471) serta memiliki performa akademik yang baik (Ghazvini, 2011:1037). Pembelajaran
tidak dilihat sebagai sesuatu yang sulit atau memberatkan, justru sebaliknya. Unggul secara akademik,
membuat mereka saling menunjukkan sikap kooperatif diantara sesama teman saat menyelesaikan
tugas-tugas akademik.
Hal ini sangatlah nampak, sebab proses pembelajaran didesain dalam dua metode belajar
utama, yakni metode presentasi dan metode tugas uraian. Kedua metode kian memudahkan
mahasiswa untuk menyalurkan dan mewujudkan keyakinan akademiknya. Sebagai contoh, pada saat
menyampaikan materi sudah mesti modal dasar yang dimiliki adalah keyakinan terhadap diri sendiri
dan disitulah awal dari ketuntasan atau keberhasilannya. Mahasiswa berani menampilkan dirinya serta
tenang dan santai saat “berorasi” di depan kelas.
Selain tugas presentasi, tugas uraian juga selalu mendapat umpan balik positif dari dosen.
Lembar kerja mereka dihiasi dengan kata “good work”. Hal ini pun kian melegitimasi mahasiswa atas
kemampuan akademiknya. Malahan apresiasi dan keberhasilan tersebut menjadi strategi baru dalam
menyelesaikan tugas uraian lainnya yang diberikan oleh dosen. Ini merupakan representasi kognitif
mahasiswa atas dirinya sendiri saat menyelesaikan tugas belajar dari dosen selama terjadinya proses
pembelajaran semesteran (Taylor, Davis-Kean, & Malanchuk, 2007:131).
Meski umumnya mahasiswa menunjukkan persepsi dan perilaku keyakinan akademik yang
baik, tetap saja persiapan sangat diperlukan untuk mengafirmasi keyakinan tersebut. Mahasiswa yang
minim persiapan cenderung mengelak pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan dosen, bahkan sering
keluar masuk kelas saat pembelajaran berlangsung. Inilah catatan-catatan pengembangan konsep diri
yang negatif di kalangan mahasiswa (Ghazvini, 2011:1035; Liu & Wang, 2005:22).
Mapannya keyakinan akademik bukan secara spontanitas, melainkan adanya persepsi
afirmatif yang memicunya serta komitmen melatih dan menekuninya. Bisa saja dari rekam jejaknya
mahasiswa pada pengalaman belajar sebelumnya (diapreasi, IPK yang tinggi, publikasi ilmiah, dll.),
tingkat usia (remaja dan dewasa) (Chen, Yeh, Hwang, & Lin, 2013:172; Ghazvini, 2011:1038), status

228
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 226 – 233

sosial (menikah dan lajang), dan gaya mengajar dosen. Semuanya berpengaruh terhadap tingkat
persiapan mahasiswa untuk mengikuti proses pembelajaran dan menuntaskan tugas.
Selama sikap, perasaan, persepsi keyakinan akademik mahasiswa baik, maka dirinya akan
yakin dan percaya terhadap kemampuan akademik yang dimilikinya (Dramanu & Balarabe, 2013:94).
Ini tidak berdiri secara parsial dari atribut lainnya. Keyakinan ini lahir karena adanya berbagai
pengalaman yang dilewati mahasiswa dalam interaksi dan interpretasi lingkungan sosialnya (Sternke,
2010:15). Apalagi belajar dalam lingkungan yang “baru”, masa pengamatan sangat membantu
mahasiswa melakukan evaluasi terhadap keyakinan akademik dirinya sendiri dengan mediasi aktivitas
akademik rekan-rekan kelas.

Usaha Akademik
Pada dimensi usaha akademik, responden diukur dalam komitmennya untuk berpartisipasi
penuh pada proses pembelajaran. Dari 10 pernyataan yang ditanggapi responden, seluruhnya
memberikan jaminan kepada derajat usaha akademik yang sangat baik (M = 43.75; SD = 4.70022).
Saat mahasiswa mempersepsikan kemampuan atau kompetensinya dibidang akademik, maka
dimensi usaha akademik akan mengarahkan dan menunjukkan usaha-usaha apa saja yang dilakukan
mahasiswa sebagai seorang pembelajar dalam menyikapi lingkungan belajar guna mencapai performa
dan prestasi akademik (Emmanuel, Adom, Josephine, & Solomon, 2014:27; Dramanu & Balarabe,
2013:95; Ghazvini, 2011:1034). Usaha ini dilakukan secara komprehensif dan sustanaibel disetiap
interaksi dalam lingkungan belajarnya (kampus atau kos).

Tabel 2. Frekuensi dan Persentase Usaha Akademik Responden

Tanggapan
Pernyataan
SS S CS KS TS
11 3 3 3 0
Saya banyak menghayal di dalam kelas(-).
55% 15% 15% 15% 0%
11 6 0 3 0
Saya sering mengerjakan tugas tanpa berpikir(-).
55% 30% 0% 15% 0%
Saya memperhatikan dosen selama berlangsungnya 8 12 0 0 0
perkuliahan. 40% 60% 0% 0% 0%
11 9 0 0 0
Saya belajar dengan giat untuk ujian atau mengikuti tes.
55% 45% 0% 0% 0%
10 4 5 1 0
Saya selalu tertarik mengerjakan tugas-tugas saya.
50% 20% 25% 5% 0%
Saya berkeinginan melakukan yang terbaik untuk lulus 15 5 0 0 0
semua mata kuliah. 75% 25% 0% 0% 0%
Saya sering merasa ingin keluar dari kampus atau tidak 18 2 0 0 0
ingin kuliah(-). 90% 10% 0% 0% 0%
1 7 7 5 0
Saya selalu menunggu kapan pembelajaran berakhir(-).
5% 35% 35% 25% 0%
Saya tidak mudah menyerah ketika menghadapi 11 6 2 0 1
kesulitan dalam tugas-tugas. 55% 30% 10% 0% 5%
Saya tidak ingin terlalu berusaha dalam mengerjakan 13 5 1 1 0
tugas-tugas saya(-). 65% 25% 5% 5% 0%
Catatan: SS (sangat sesuai), S (sesuai), CS (cukup sesuai), KS (kurang sesuai), TS (tidak sesuai).

Secara populatif, jumlah mahasiswa tergolong “kecil” sehingga kegiatan pembelajaran lebih
menekankan pada pengembangan keterampilan individu (berpikir, menulis, dan menyampaikan).
Mahasiswa melaksanakan presentasi dan menyelesaikan uraian lebih dari satu kali untuk setiap mata
kuliah. Sebut saja untuk mata kuliah “General outlook of literature”, setiap mahasiswa melaksanakan
5 kali presentasi. Sedangkan mata kuliah “Pragmatics, linguistic, dan English an international
language” setiap mahasiswa menyelesaikan 5 uraian selama proses pembelajaran (1 semester).

229
Konsep Diri Akademik Mahasiswa Pascasarjana (Zuvyati A. Tlonaen, Jusuf Blegur)

Meski tidak sama secara kuantitas, ini berlaku untuk mata kuliah lainnya sehingga usaha
sangatlah penting. Waktu lebih banyak mahasiswa fokus dan investasikan dalam kegiatan
pembelajaran (Jen & Chien, 2008:1). Tugas-tugas dikerjakan dengan apik, perilaku belajar yang giat
selalu ditunjukkan untuk setiap aktivitas belajar, tidak hanya saat memasuki tes atau ujian, namun
selama proses pembelajaran terjadi. Membaca dan menganalisis narasi dalam buku teks maupun
jurnal dikediaman (rumah dan kos) lalu dikontekstualisasikan dalam kehidupan nyata adalah salah
satu usaha yang dilakukan mahasiswa agar dapat mendiskusikan hasil analisis yang bermakna dengan
rekan lainnya.
Tidak ada usaha positif yang membuahkan hasil negatif. Jikapun ada usaha yang belum
berhasil maka itu hanyalah penundaan yang memerlukan alternatif solusinya, bukan menghentikan
usahanya. Mahasiswa harus distimulasi untuk melakukan usaha-usaha akademik yang dapat
dipertanggungjawab secara akademik pula sebagai strategi melatih fungsi kognitifnya (Ordaz-
Villegas, Acle-Tomasini, & Reyes-Lagunes, 2013:117). Evaluasi secara langsung sebagai salah satu
langkah efektif yang digunakan dosen untuk menilai produk usaha setiap mahasiswanya (Sternke,
2010:15). Evaluasi diri juga memberikan masukan kritis kepada mahasiswa agar selalu dan senantiasa
memperbaiki usaha dan performa akademiknya dalam kelas (Goldberg, 2014:2-3).
Semua mahasiswa ingin maksimal atas performa dan prestasi akademiknya. Inilah kesadaran
moril atas tuntutan akademiknya saat kelak menyandang status sebagai seorang masgister pendidikan
(apapun profesinya). Selain itu, usaha-usaha ini bertujuan untuk membiasakan mahasiswa agar selalu
berusaha dan bekerja keras dalam menjawab tuntutan lingkungan kerja ketika menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya. Sebagai dosen yang berkualitas dan kompeten adalah salah satu contoh
pengembangan dari dimensi usaha akademik.

Konsep Diri Akademik


Rangkuman hasil analisis data menemukan konsep diri akademik responden tergolong sangat
baik (lihat gambar 1). Simpulan ditarik berdasarkan hasil analisis data yang menjelaskan bahwa 13
responden (65%) responden menanggapi kuesioner penelitian yang mengarah pada rentang nilai 80-
100 (sangat baik) dan 7 responden (35%) pada rentang nilai 60-80 (baik).

Gambar 1. Interpretasi Konsep Diri Akademik Responden

Konsep diri akademik merupakan kontruksi psikologis yang digunakan untuk


menggambarkan keyakinan mahasiswa tentang kemampuan mereka di bidang akademik (Flowers,
Raynor, & White, 2013:1). Persepsi dan usaha akademik ini sangatlah penting sebab sebagai prediktor
penting untuk meningkatkan performa dan prestasi akademik. Pada saat yang sama (performa dan
prestasi meningkat), individu mulai melakukan evaluasi diri dan menginterpretasi kemampuan
akademik yang dimilikinya. Proses ini bersifat kausalistik, sehingga untuk membangun performa dan
prestasi akademik mahasiswa, dosen harus memberi perhatian juga kepada konsep diri akademik para
mahasiswanya.
230
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 226 – 233

Penelitian ini telah memberi bukti dasar bahwa konsep diri akademik berjalan searah dengan
tingkat pendidikan mahasiswa. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh mahasiswa,
semakin tinggi pula konsep diri akademiknya. Tingginya tingkat pendidikan menawarkan determinasi
lingkungan belajar yang melibatkan berbagai ras dan golongan serta “ketidaknyamanan” dalam
belajar membuat peserta dengan mudah membuat preferensi usaha akademik dan sosial dalam
aktivitas pembelajarannya (Bellmore & Cillessen, 2006:209; Liu & Wang, 2005:21).
Meski telah menunjukkan konsep diri akademik yang sangat tinggi, mahasiswa tetap saja
memiliki kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan ketika mengkontruksi konsep diri
akademiknya. Sebagai contoh, berfantasi di dalam kelas dan ketidakkeseriusan dalam mengerjakan
tugas belajar. Kasus ini kerap muncul saat mahasiswa tidak memiliki “mood” dalam proses
pembelajaran. Untuk itu, dosen perlu melatih mahasiswa mengkonsepsikan diri dalam hal akademik
serta desain suasana kelas yang friendly untuk kepentingan pembelajaran.
Konsep diri akademik yang telah terbentuk dengan sangat baik ini (65%) harus selalu dijaga
dengan metode dan lingkungan belajar yang syarat akan “tuntutan” akademik. Ini dapat terpola dalam
proses belajar, karena fasilitas belajar yang tinggi berkorelasi positif dengan tingginya konsep diri
akademik dan prestasi akademik mahasiswa (Emmanuel, Adom, Josephine, & Solomon, 2014:24;
Chen, Yeh, Hwang, & Lin, 2013:172; Dramanu & Balarabe, 2013:95; Ghazvini, 2011:1034;
Srivastava & Joshi, 2011:331). Hasil positif ini wajibnya dipertahankan dan ditingkatkan, dosen harus
dapat menciptakan iklim belajar yang akademistik selama berlangsungnya pembelajaran agar tetap
menjaga persepsi dan usaha akademik setiap mahasiswanya.
Saat konsep diri akademik mahasiswa menjadi baik akan sangat berguna atau berdampak
terhadap pengaturan pendidikan (Green, Nelson, Martin, & Marsh, 2006:535), motivasi belajar
(Srivastava & Joshi, 2011:331; Green, Nelson, Martin, & Marsh, 2006:534), lebih efisien dalam
mengatasi masalah, tekun, dan lebih mampu mengontrol waktu belajar (Goldberg, 2014:22),
meningkatkan kesejahteraan emosional individu (Srivastava & Joshi, 2011:331), serta mahasiswa
lebih sukses dalam kegiatan pembelajaran (Jen & Chien, 2008:1).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Hasil penelitian dan diskusi telah membuktikan bahwa mahasiswa semester I program studi
S2 pendidikan bahasa dan sastra Inggris Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya memiliki
konsep diri akademik yang sangat baik (65%). Selain itu, dari dua dimensi konsep diri akademik,
mahasiswa memiliki usaha akademik yang lebih baik daripada keyakinan akademiknya (43.75 > 38).
Agar tetap menjaga tren positif konsep diri akademik, mahasiswa harus terbiasa dengan
suasana dan iklim belajar yang akademistik. Mahasiswa perlu dibiasakan untuk mempersepsikan diri
sebagai pribadi yang memiliki keunggulan atau kelebihan akademik sehingga mampu menyelesaikan
tugas dan tanggung jawab belajarnya. Serta dorongan niat untuk tampil maksimal selama proses
pembelajaran akan memberikan keseimbangan terhadap niat dan usaha mahasiswa terhadap kualitas
akademiknya.
Sebagai mahasiswa kelas tinggi (pascasarjana), dosen dapat menerapkan metode mengajar
yang menuntut keterampilan berpikir serta intensitas tugas tingkat tinggi. Ini sebagai upaya dosen
untuk membiasakan mahasiswa membentuk komitmennya dalam berkerja dan berupaya melewati
setiap “tantangan” dengan strategi yang akseptabel. Dan harapan dan tujuan lebih tinggi adalah model
(kerja keras dan usaha) ini dapat didifusikan dalam segala aktivitas akademik mahasiswa yang
kompleks (akademik dan non-akademik).

Saran
Meski menunjukkan konsep diri akademik sangat baik, masih ada mahasiswa yang
mengalami kecemasan saat mendapat pertanyaan. Ketidaksiapan ini membuat mahasiswa
menghindari pertanyaan-pertanyaan dari dosen atau rekan lainnya saat presentasi. Selain itu,
mahasiswa juga menyangsikan kemampuannya untuk sukses disetiap pelajaran dan ini sebagai
manifestasi instabilitas kepercayaan akademik.
Ketika tidak fokus, ada responden berfantasi dalam kelas belajar. Ini berlanjut saat
mengerjakan tugas-tugas akademiknya. Tugas dikerjakan tanpa mempertimbangan kualitasnya,
orientasi pada ketuntasan hanyalah ritual. Alhasil responden ingin kelas belajar segera berlalu.
231
Konsep Diri Akademik Mahasiswa Pascasarjana (Zuvyati A. Tlonaen, Jusuf Blegur)

Perasaan-perasaan ini bersifat fluktuatif dari usaha akademik responden selama proses pembelajaran
dan hanya kasuistik.

DAFTAR PUSTAKA
Baran, M., & Maskan, A. K. (2011). A study of relationship between academic self concepts, some
selected variables and physics course achievement. International Journal of Education, 3(1), 1-
12.
Bellmore, A. D., & Cillessen, A. H. N. (2006). Reciprocal influences of victimization, perceived
social preference, and self-concept in adolescence. Self and Identity, 5, 209-229.
Chen, S. K., Yeh, Y. C., Hwang, F. M., & Lin, S. S. J. (2013). The relationship between academic
self-concept and achievement: A multicohort-multioccasion study. Learning and Individual
Differences, 23, 172-178.
Dramanu, B. Y., & Balarabe, M. (2013). Relationship between academic self-concept and academic
performance of junior high school students in Ghana. European Scientific Journal, 9(34), 93-
104.
Ellingsen, V. J. (2013). Academic self-concept under typical and maximal environmental press. A
research paper submitted in partial fulfilment of the requirements for the masters of science in
psychology degree. Georgia Institute of Technology, North Ave NW, Atlanta, United States.
Emmanuel, A. O., Adom, E. A., Josephine, B., & Solomon, F. K. (2014). Achievement motivation,
academic self-concept and academic achievement among high school students. European
Journal of Research and Reflection in Educational Science, 2(2), 24-37.
Flowers, L. O., Raynor, J. E., & White, E. N. (2013). Investigation of academic self-concept of
undergraduate in STEM course. Journal of Studies in Social Science, 5(1), 1-11.
Ghazvini, S. D. (2011). Relationships between academic self-concept and academic performance in
high school students. Procedia Social and Behavioral Science, 15, 1034-1039.
Goldberg, Y. T. (2014). The effect of ability grouping for talmud on the academic self-concept of
jewish orthodox middle school students. A research paper submitted in partial fulfilment of the
requirements for the doctor of philosophy in psychology degree. Walden University,
Minneapolis, United States.
Green, J., Nelson, G., Martin, A.J., & Marsh, H. (2006). The causal ordering of self-concept and
academic motivation and its effect on academic achievement. International Education Journal,
7(4), 534-546.
Jen, T. H., & Chien, C. L. (2008). The influences of the academic self-concept on academic
achievement: From a perspective of learning motivation (draft). The Proceedings of IRC, 1-8.
Liu, W. C., & Wang, C. K. J. (2005). Academic self-concept: A cross-sectional study of grade and
gender differences in a Singapore secondary school. Asia Pacific Education Review, 6(1), 20-
27.
Ordaz-Villegas, G., Acle-Tomasini, G., & Reyes-Lagunes, L. I. (2013). Development of an academic
self concept for adolescents (ASCA) scale. Journal of Behavior, Health & Social Issues, 5(2),
117-130.
Srivastava, R., & Joshi, S. (2011). The effect of school and area on academic selfconcept and
academic achievement of adolescents. Delhi Psychiatry Journal, 14(2), 331-336.
Sternke, J. C. (2010). Self-concept and self-esteem in adolescents with learning disabilities. A
research paper submitted in partial fulfilment of the requirements for the masters of science in
education degree. University of Wisconsin-Stout, Menomonie, United States.
Tan, J. B. Y., & Yates, S. M. (2007). A rasch analysis of the academic self-concept questionnaire.
International Education Journal, 8(2), 470-484.
232
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 226 – 233

Taylor, L. D., Davis-Kean, P., & Malanchuk, O. (2007). Self-esteem, academic self-concept, and
aggression at school. Aggressive Behavior, 33, 130-136.
Yengimolki, S., Kalantarkousheh, S. Y., & Malekitabar, A. (2015). Self-concept, social adjustment
and academic achievement of Persian student. International Review of Social Science and
Humanities, 8(2), 50-60.

Profile Singkat

Zuvyti A. Tlonaen, lahir di Kupang, 17 Januari 1985; menyelesikan


pendidikan sarjana pada program studi bahasa dan sastra Inggri, Universitas
Warmadewa, Bali (2003-2007). Melanjutkan pendidikan magister pada
program studi pendidikan bahasa dan sastra Inggris, Universitas Negeri
Surabaya (2016 sampai sekarang). Sebagai dosen tetap program studi
Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang

Jusuf Blegur, lahir di Kalabahi, 04 Juli 1988; menyelesikan pendidikan


sarjana pada program studi pendidikan jasmani, kesehatan, dan rekreasi,
Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang (2006-2011) dan magister pada
program studi pendidikan olahraga, Universitas Negeri Surabaya (2011-
2013). Sejak bulan April 2014 tercatat sebagai dosen tetap program studi
Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang

233
PENGARUH BIAYA PENDIDIKAN TERHADAP MUTU SEKOLAH SMA SWASTA

Manoto Togatorop
notolpmiccc@gmail.com
Pendidikan Ekonomi, FKIP Universitas Kristen Satya Wacana

THE EFFECT OF EDUCATION COST TO THE QUALITY IN PRIVATE HIGH


SCHOOL

ABSTRACT

This study aims to determine the direct influence of the education cost to the school’s
quality. This research was conducted in Tangerang district. The method used was a survey
with correlational approach. The data used as samples were 63 principals selected based
on random techniques (simple random sampling), obtained by handing out questionnaires.
Based on the hypothesis testing that has been done, it is found that there is a positive direct
influence between education cost to the school’s quality. The implication of this research is
the effort to improve school quality that can be done through education expenses.

Keywords: the cost of education, quality of school

Article Info
Received date:14 Juni 2017 Revised date: 9 Agustus 2017 Accepted date:September 2017

PENDAHULUAN
Pendidikan sekolah menengah atas yang baik ditandai dengan keberhasilan mempersiapakan
lulusannya dalam mencapai beberapa sasaran, yaitu melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan
pengembangan kepribadian sebagai warga masyarakat. Pendidikan sekolah menengah yang baik
ditandai oleh keberhasilan mengembangkan kemampuan potensi yang dimiliki setiap sisiwa sehingga
menjadi kemampuan nyata. Hasil pendidikan dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan
akademik dan non akademik pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk jenjang pendidikan.
Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai oleh peserta didik, sedangkan
keunggulan non akademik dinyatakan dengan aneka jenis keterampilan.
Fakta di lapangan, mutu sekolah di Kabupaten Tangerang sangat rendah. Pada tanggal 31
Desember 2012, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Tangerang, Eny Suhaeni yang diambil
dari berita Kabar Banten menyatakan bahwa “mutu pendidikan di Kabupaten Tangerang dinilai masih
rendah dan sangat memprihatinkan. Pasalnya, berdasarkan hasil penilaian akreditasi seluruh sekolah
yang ada di wilayah itu, hasilnya tidak memadai. Nilai akreditasi seluruh sekolah yang ada di
wilayahnya masih jauh dari harapan. Bahkan tak satu pun sekolah mendapat nilai akreditasi A.
Berdasarkan hasil hearing pihaknya dengan Badan Akreditasi Provinsi Banten terungkap seluruh
sekolah dari SD, SMP, SMK dan SMA belum memenuhi beberapa kategori penilaian. Indikator
penilaian sendiri salah satu diantaranya mengenai standar isi, proses, pembiayaan, tekhnik,
manajemen, mutu, dan kelulusan.” Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Tangerang lainnya,
Memed Chumaedi juga menyatakan bahwa “hasil visitasi asesor yang dilakukan akhir-akhir ini di
beberapa sekolah SMA baik negeri maupun swasta hasilnya tidak maksimal. Ini mengindikasikan
bahwa pengelolaan pendidikan di level tersebut carut marut. Lebih miris lagi, banyak kepala sekolah
tidak memahami apa itu visitasi auditor sekolah. Selain itu, banyak ditemukan bukti fisik yang copy
paste serta manajemen yang berantakan.”
Sejalan dengan pendapat di atas, pada tanggal 26 November 2010, berita online SuaraPemba
haruan menyatakan bahwa “guru, kurikulum, dan fasilitas sekolah merupakan tiga komponen penting
penentu mutu pendidikan. Secara umum, sekolah negeri semakin unggul karena kemampuan negara
yang terus meningkat dalam membayar gaji guru dan membiayai fasilitas sekolah. Sebaliknya,
mayoritas swasta justru keteter dalam membiayai dua komponen utama ini. Di banyak wilayah di
Kabupaten Tangerang, kondisi sekolah swasta seperti kandang ayam. Satu guru harus mengajar di
234
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 234 – 240

beberapa kelas. Tidak ada perpustakaan dan laboratorium. Buku pegangan guru pun terus ketinggalan,
sehingga mutu pengajaran tidak sesuai kurikulum yang ditentukan pemerintah yang berdampak pada
mutu sekolah yang rendah.”
Penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak bisa dilepaskan dari unsur pembiayaan. Suatu hal
yang mudah diterima bahwa pendidikan yang bermutu memerlukan dukungan biaya yang tidak
sedikit. Sistem penganggaran pendidikan merupakan salah satu isu dalam pendidikan di Indonesia,
baik dari sisi prosedur penghitungan maupun mekanisme penyalurannya. Mekanisme pembiayaan
partisipatif memungkinkan sekolah untuk mendapatkan sumber pembiayaan tambahan dari orang tua
siswa yang mampu secara ekonomi. Secara tidak langsung hal ini berakibat pada meningkatnya
sumber dana bagi sekolah yang berbanding lurus dengan mutu sekolah.
Sekolah yang bermutu umumnya dihuni oleh siswa dengan orang tua siswa yang mampu atau
kaya. Sedangkan orang tua siswa yang kurang mampu secara ekonomi tidak mampu menyekolahkan
anaknya di sekolah yang bermutu yang umumnya berbiaya mahal. Pilihan bagi orang tua siswa yang
kurang mampu secara ekonomi adalah sekolah dengan layanan mutu yang minimal dengan biaya
pendidikan yang murah.
Laporan pembangunan manusia Indonesia yang disusun oleh UNDP, BAPPENAS, dan BPS
(2004) yang merekomendasikan bahwa Indonesia perlu menanam investasi yang lebih besar dalam
hal pembangunan manusia, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar tetapi terkait
dengan pertumbuhan ekonomi negara. Dalam laporan tersebut ditegaskan bahwa “Indonesia need to
invest more in human development – not just to need its people basic rights but also to lay the
foundation for economic growth and to ensure the long-term survival of its democracy. This
investment is substantial but clearly affordable. It has to be based, however, on a widespread national
consensus that could be fostered through a National Summit for Human Development.”
Adanya rekomendasi tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan pendidikan di Indonesia
belum memadai. Dengan kata lain, pembiayaan pendidikan di Indonesia merupakaan salah satu
permasalan yang perlu dicari jalan keluarnya. Permasalahan ini terkait erat dengan kebijakan sistem
penganggaran pembangungan nasional sehingga perlu dilakukan analisis dalam rangka membantu
para pemangku kepentingan pendidikan guna pengambilan keputusan untuk pengalokasian anggaran
pendidikan. Pada hal dari sisi peraturan perundangan, komitmen politik pemerintah untuk
memprioritaskan pendidikan terlihat jelas yaitu tercantum dalam amandemen UUD 1945 pasal 31
ayat (4) yang menyebutkan bahwa anggaran pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN dan APBD
harus diprioritaskan.
Pada kenyataannya alokasi anggaran belum menunjukkan tanda-tanda ke arah tuntutan
tersebut. Kondisi ini secara tidak langsung akan berimbas pada mutu sekolah. Dengan demikian,
kondisi rendahnya mutu sekolah yang terjadi saat ini menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti lebih
dalam lagi mengenai mutu sekolah. Berdasarkan pada uraian masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh langsung biaya pendidikan terhadap
mutu sekolah ? Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh langsung biaya pendidikan terhadap
mutu sekolah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun
praktis. Manfaat; penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang
manajemen pendidikan khususnya terkait dengan biaya pendidikan dan mutu sekolah. Manfaat
praktis; hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada beberapa
pihak, yaitu: (1) masyarakat, guru, dan kepala sekolah SMA Swasta di Kabupaten Tangerang untuk
memahami pentingnya biaya pendidikan dan mutu sekolah; (2) mahasiswa dan masyarakat umum;
penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa, khususnya jurusan Pendidikan
Ekonomi dan Manajemen Pendidikan, serta masyarakat lainnya yang tertarik untuk meneliti tentang
biaya pendidikan dan mutu sekolah.

KAJIAN PUSTAKA
Mutu Sekolah
Fuller (1986:14) menyatakan bahwa “school quality is the level of material input sal located
per pupil (resource concentration) and the level of efficiency with which fixed amounts of material
input sare organized and managed to raise pupil achievement.” Mutu sekolah merupakan tingkatkan

235
Pengaruh Biaya Pendidikan Terhadap Mutu Sekolah SMA Swasta (Manoto Togatorop

materi input per murid (konsentrasi sumber daya) dan tingkat efisiensi yang jumlah materi inputnya
terorganisir dan terkelola untuk meningkatkan prestasi siswa.
Gibbons dan Silva (2009:26) menyatakan bahwa “school quality is strongly related to test-
based measures of the progress in their child‟s school, even though their child‟s current enjoyment
of school life is unrelated to the school‟s academic performance.” Mutu sekolah merupakan
keterkaitan langkah-langkah berbasis uji kemajuan atau prestasi non-akademik anak-anak meskipun
kehidupan sekolah tidak berhubungan dengan prestasi akademik. Dengan kata lain, mutu sekolah
diukur bukan hanya dari prestasi akademik saja melainkan non-akademik siswa.
Holmes (2003:5) menyatakan bahwa “quality school is the achievement of the students in the
traditional school as measured by end-of-year test scores.” Mutu sekolah adalah pencapaian siswa di
sekolah tradisional yang diniai dengan nilai ujian akhir tahun. Terakhir pendapat Reddy (2007:90)
menyatakan bahwa “school quality is effectiveness has been viewed in terms of cognitive outcomes
attained by students i.e., achievement that is easily measured by standardized tests.” Mutu sekolah
merupakan efektivitas sekolah dilihat dari segi hasil kognitif yang dicapai oleh siswa yaitu prestasi
yang mudah diukur dengan tes.
Berdasarkan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa mutu sekolah adalah gambaran
menyeluruh mengenai input, proses, dan output sekolah dalam penyediaan dan pemberian layanan
kepada masyarakat. Dengan indiaktor: 1) prestasi akademik sisiwa, 2) prestasi non-akademik siswa,
3) dan hasil tes akhir siswa.

Biaya Pendidikan
Cook (2009:304) menyatakan bahwa “the cost educational is the source which is used for
educational quality given as feed back of the continual information through application forms.”
Biaya pendidikan adalah sumber daya yang digunakan untuk mutu pendidikan yang diberikan sebagai
imbalan informasi yang dikumpulkan secara rutin melalui formulir aplikasi. Sedangkan Hallak
(1969:5) menyatakan bahwa “the cost of education is the whole business community devoted to
education, either in the form of monetary or not, should be inventoried and consolidated.” Pendapat
tersebut dapat diartikan bahwa biaya pendidikan adalah seluruh usaha yang dicurahkan masyarakat
terhadap pendidikan, baik yang berupa moneter maupun tidak yang harus dikumpulkan dan
ditetapkan. Johnstone (2003:356) menyatakan bahwa “educational cost is burden from governments
and taxpayers to students and families may not be easily accepted, especially in countries with
dominant socio-political ideologies that hold higher education to be another social entitlement: to be
free, at least for those fortunate enough to make it through the rigorous academic secondary system.”
Biaya pendidikan adalah dana yang didapatkan dari pemerintah dan pembayar pajak yang digunakan
sebagai bantuan sosial untuk siswa dan keluarga yang kurang mampu untuk memperoleh pendidikan
lebih tinggi supaya bebas dari beban pendidikan yang didapatkan melalui sitem tambahan yang tepat.
Bond dan Horn (2009:2) menyatakan bahwa “educational costs is a social inclusion
approach involves the building of personal capacities and material resources, in order to fulfil one’s
potential for economic and social participation, and thereby a life of common dignity. It stresses
personal capacities-health, educatiotn social networks, material resources-adequate housing
transport, income and access to services, to fulfi potential for economic (work) and social
participation (recreational, cultural, sporting and everyday living activities)-and thereby a socially
valued lifestyle.” Biaya pendidikan merupakan suatu pendekatan inklusi sosial yang melibatkan
pembentukan kemampuan pribadi dan sumber keuangan untuk memenuhi kebutuahan potensial
ekonomi dan partisipasi seseorang. Hal ini menekankan kemampuan pribadi-kesehatan, jaringan
sosial pendidikan, sumber keuangan-transportasi perumahan yang memadai, pendapatan dan akses
untuk jasa, memenuhi kebutuhan potensial ekonomi (pekerjaan) dan partisipasi sosial (rekreasi,
budaya, olahraga, dan aktifitas harian), serta gaya hidup sosialnya.
Berdasarakan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa biaya pendidikan adalah sumber daya
yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat, maupun orang tua siswa kepada sekolah baik dalam
bentuk barang maupun uang yang dikumpulkan dan ditetapkan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dengan indikator: 1) pembiayaan jasa akademik, 2) penyediaan peralatan dan perlengkapan, 3)
pemeliharaan, dan 4) partisipasi sosial.

236
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 234 – 240

Hasil Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
Baker (2012), dengan judul: Does Money Matter In Education ?. Dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa biaya dapat mempengaruhi mutu sekolah yang akan berdampak pada perubahan
dalam hasil siswa, tapi uang bukanlah yang paling mendasar untuk perbaikan sekolah tetapi
merangsang perbaikan pendanaan untuk lebih baik setelah mengalami kegagalan.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan Alderman dkk (2001), dengan judul penenlitian:
School Quality, School Cost, and the Public/Private School Choices of Low-Income Households in
Pakistan. Dalam penelitian tersebut menunjukkan masukan orangtua berdampak pada prestasi
sekolah. Mutu sekolah ditemukan memiliki dampak pada prestasi siswa; dan sekolah swasta memiliki
hasil yang lebih baik daripada sekolah negeri.

Kerangka Teoretis
Hubungan antara biaya dan kuantitas lebih mudah didiskusikan daripada hubungan antara
biaya dan mutu. Mudah dimengerti bahwa kuantitas yang besar menuntut dukungan anggaran yang
besar pula.Walaupun terdapat suatu kondisi dimana peningkatan mutu tidak selalu menuntut
peningkatan anggaran tetapi hanya memerlukan perubahan manajemen atau sistem pengorganisasian.
Sebagai contoh, penggabungan kelas-kelas kecil dengan jumlah siswa sedikit menjadi kelas yang
berukuran normal tidak menuntut tambahan anggaran justru dapat meningkatkan efisiensi. Namun
secara umum pada tingkat sekolah, jumlah siswa yang lebih besar akan menuntut anggaran yang lebih
besar pula.
Frank (2007: 18) memberikan penjelasannya mengenai biaya dengan mutu sebagai berikut:
“as the quality of design (features) increases, costs typically increase. As the quality of conformance
increase, the reduction in rework, complaints, scrap, and other deficiencies results in a significant
decrease in costs. An ideal strategy calls for using the savings from reduced deficiencies to pay for
any increase in features without increasing the selling price, thus resulting in higher custumer
satisfaction and increased sales revenue”. Pendapat tersebut dapat diartikan jika desain mutu
meningkat, maka biaya biasanya meningkat. Sebagaimana peningkatan kesesuaian mutu meningkat,
pengurangan dalam pengerjaan ulang, keluhan, pemotongan, dan pengurangan lain menghasilkan
penurunan biaya yang signifikan. Strategi yang ideal adalah menggunakan tabungan dari penurunan
untuk membayar setiap peningkatan desain tanpa meningkatkan harga sehingga mengakibatkan
kepuasan pelanggan yang lebih tinggi dan meningkatkan pendapatan. Dengan kata lain, menambah
kekurangan dana serta memperbaiki mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Seturut dengan pendapat tersebut, David (2000: 48) menyatakan, “most people apply such
criteria as the following: service, response time, preparation, environment, price/cost, selection.”
Terkait biaya pendidikan, kebanyakan orang menerapkan kriteria seperti berikut: peningkatkan
pelayanan, waktu respon yang cepat, persiapan yang matang, lingkungan yang nyaman, harga/biaya
yang sesuai, dan seleksi tenaga pendidik yang baik. Jhonson (1991: 9) menambahkan, “quality is
about doing things right the first time and about satisfying customers, but quality is also about cost,
revenues, and profit. Quality plays a key role in keeping costs low, revenues high, and profits robust.”
Mutu merupakan kegiatan melakukan hal yang utama dan memuaskan pelanggan. Tapi mutu juga
tentang biaya, pendapatan, dan laba. Mutu memainkan peran kunci dalam menjaga biaya rendah,
pendapatan tinggi, dan keuntungan yang tinggi. Dari berbagai pendapat-pendapat tersebut, maka
diduga bahwa biaya pendidikan sangat berpengaruh besar terhadap mutu sekolah. Dari uraian para
ahli di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah biaya pendidikan berpengaruh langsung positif
terhadap mutu sekolah.

METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode survey dengan pendekatan teknik analisis jalur. Penelitian
dilaksanakan di SMA Swasta Kabupaten Tangerang. Populasi terjangkau penelitian ini sejumlah 75
kepala sekolah. Sampel penelitian sebayak 63 orang. Analisa data untuk pengujian hipotesis akan
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis jalur, yaitu teknik yang diterapkan untuk menjelaskan
pengaruh antara variabel-variabel penelitian. Sebelum dilaksanakan analisis jalur, uji signifikan
regresi dan uji linearitas regresi sebagai prasyarat. Uji statistik dilakukan untuk pengujian penormalan

237
Pengaruh Biaya Pendidikan Terhadap Mutu Sekolah SMA Swasta (Manoto Togatorop

data dari masing-masing variabel penelitian dengan Uji-Liliefors. Statistik Inferensial digunakan
untuk menguji hipotesis tentang pengaruh antar variabel dengan menggunakan tehnik analisis jalur.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil analisis koefisien korelasi antar variabel dengan menggunakan Rumus Product Moment
bahwa korelasi antara biaya pendidikan dengan mutu sekolah sebesar 0,491. Uji signifikansi koefisien
korelasi antar variabel sebesar 4,40. ttabel pada taraf signifikansi (α) 0,05 dengan dk = n – 2 sebesar
2.00. Dari hasil perhitungan diperoleh thitung 4.40 > ttabel 2.20, maka koefisien korelasi sangat
signifikan. Dengan demikian terdapat pengaruh yang positif antara varibael biaya pendidikan terhadap
mutu sekolah.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas dan kajian empiris di atas, berikut dibahas
hasil penelitian sebagai upaya untuk melakukan sintesis antara kajian teori dengan temuan empiris.
Hipotesis dalam penelitian ini menyatakan bahwa biaya pendidikan berpengaruh langsung positif
terhadap mutu sekolah.
H0 : β32 < 0
H1 : β32 > 0
H0 ditolak , jika thitung > ttabel.
Dari hasil perhitungan analisis jalur, pengaruh langsung biaya pendidikan terhadap mutu
sekolah, nilai koefisien jalur sebesar 0,367 dan nilai koefisien t hitung sebesar 3,30. Nilai koefisien ttabel
untuk α = 0,01 sebesar 2,66. Oleh karena nilai koefisien thitung lebih besar dari pada nilai koefisien ttabel
maka H0 ditolak dan H1 diterima, dengan demikian biaya pendidikan berpengaruh secara langsung
terhadap mutu sekolah dapat diterima.
Hasil analisis hipotesis menghasilkan temuan bahwa biaya pendidikan berpengaruh secara
langsung positif terhadap mutu sekolah. Berdasarkan hasil temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
mutu sekolah dipengaruhi secara langsung positif oleh biaya pendidikan. Meningkatnya biaya
pendidikan mengakibatkan peningkatan mutu sekolah.
Tabel 1
Koefisien Jalur Pengaruh Biaya Pendidikan terhadap Mutu Sekolah
ttabel
Pengaruh langsung Koefisien Jalur thitung
α = 0,05 α = 0,01
X2 terhadap X3 0,367 3,30 ** 2,00 2,66
** Koefisien jalur sangat signifikan (3,30 > 2,66 pada α = 0,01)

Dari hasil pengujian hipotesis dapat disimpukan bahwa terdapat pengaruh langsung positif
biaya pendidikan terhadap mutu sekolah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,491 dan nilai
koefisien jalur sebesar 0,367. Ini memberikan makna biaya pendidikan berpengaruh positif terhadap
mutu sekolah. Temuan penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli di
antaranya adalah:
Hallak (1972:255) menyatakan bahwa “cost benefit as the relationship between the inputs
and resulting benefit that accrue thereafter. It use to measure of external productivity.” Keuntungan
harga sebagai hubungan antara pemasukan dan hasil yang ada setelah dihitung. Hal ini digunakan
untuk mengukur hasil external.” Psacharopoulos (1987:397) menyebutkan bahwa “cost benefit
analysis is to compare the opportunity cost of a project with the expected benefit, measured in the
terms of the additions to income that will accrue in the future as a result of the investment.” Analisa
keuntungan harga dibandingkan dengan kesempatan biaya dalam sebuah proyek dengan keuntungan
yang diharapkan, diukur dalam penambahan terhadap pendapatan yang akan bertambah sebagai hasil
dari investasi.
Terakhir pendapat Sahlberg (2007:150) yang menyatakan bahwa “centrally prescribed
curricula, with detailed and often ambitious performance targets, frequent testing of students and
teachers, and high-stakes accountability have defined a homogenization of education policies
worldwide, promising standardized solutions at increasingly lower cost for those desiring to improve
school quality and effectiveness.” Kurikulum yang ditentukan secara berpusat, detail, dan kadang
targetnya ambisius, ujian yang sering terhadap siswa dan guru, dan akuntabilitas yang tinggi
bermakna sama dalam peraturan penidikan di seluruh dunia. Menjanjikan solusi yang standar pada
biaya yang naik untuk orang-orang yang menginginkan peningkatan mutu sekolah dan keefektifan.
238
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 234 – 240

Berdasarkan temuan penelitian ini dan teori tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu sekolah
dipengaruhi secara langsung positif oleh biaya pendidikan.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan: Berdasarkan temuan penelitian yang sudah dibahas, dapat disimpulkan bahwa biaya
pendidikan berpengaruh langsung positif terhadap mutu sekolah. Ini berarti bahwa pengelolahan biaya
pendidikan yang baik oleh sekolah mengakibatkan peningkatan mutu sekolah SMA Swasta di
Kabupaten Tangerang.
Saran: Berdasarkan simpulan penelitian, dapat dirumuskan beberapa saran, yaitu: (1) Dinas
Pendidikan Kabupaten Tangerang sesuai dengan perannya dapat memfasilitasi masyarakat dan
orangtua dengan kepala Sekolah SMA Swasta untuk mengembangkan mutu sekolah melalui berbagai
macam program pendidikan, pelatihan, dan pendampingan serta kegiatan lain yang berorientasi untuk
mewujudkan mutu sekolah yang tinggi; (2) Kepala sekola SMA Swasta di Kabupaten Tangerang
harus mampu menjawab permasalahan masyarakat dan peserta didik secara memadai dalam hal mutu
sekolah dengan berbagai cara, seperti untuk tenaga pengajar: perekrutan tenaga pengajar yang
berkualitas dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya, melakukan pelatihan guru, pengawasan
yang berkesinambungan, dan pemberian gaji serta tunjangan yang memadai; (3) Penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penelitian lanjutan yang terkait dengan masalah mutu sekolah,
karena ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada biaya pendidikan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Bapak/Ibu kepala sekolah SMA Swasta Kabupaten Tangerang yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian artikel ini.

DAFTARPUSTAKA
Baker, Bruce D. 2012. Does Money Matter In Education ?. NewJersey: The Albert Shanker Institute.
Bond, Sharon & Michael Horn. 2009. The Cost of a Free Education. Australia: Brotherhood of St
Laurence .
Bruce, Fuller. 1986. Raising School Qualityin Developing Countries: What Investments
BoostLearning?. Washington, D.C.: The World Bank.
Bruce, Johnstone D. 2003. Sociologicky Casopis/Czech Sociological Review. USA: State University
of New York at Buffalo.
Cook, Mark. 2009. Personnel Selection, Adding Value Through People. Oxford, USA:Wiley-
Blackwell.
Gibbons, Stephen & Olmo Silva, 2009. School Quality, Child Wellbeing and Parents’ Satisfaction.
London: London School of Economics.
George, Holmes M. 2003. Does School Choice Increase School Quality?. USA: Department of
Economics, East Carolina University.
Goetsch, David L. 2000. Quality Management. New Jersey: Prentice Hall.
Gryna, Frank M. 2007. Juran’s Quality Planning and Analysis. New York: McGraw Hill.
Hallak, J. 1969. The Analysis of Educational Costs and Expenditure.Unesco: International Institute
for Educational Planning.
Harold, Alderman, dkk. 2001. School Quality, School Cost, and the Public/Private School Choices of
Low-Income Households in Pakistan (Philippines: Journal of Human Resources spring :304-
326.
Pasi, Sahlberg. 2007. Education policies for raising student learning: the Finnish approach.
Washington, DC, USA: World Bank.
Psacharopoulos. 1987. Economics of Education. Washington, DC: The World Bank.
239
Pengaruh Biaya Pendidikan Terhadap Mutu Sekolah SMA Swasta (Manoto Togatorop

Reddy, Sujata. 2007. School Quality: Perspectives from the Developed and Developing Countries.
USA: Azim Premji Fundation.
UNDP, BPS, BAPPENAS. 2004. Nationa Human Developmen Report 2004. The Economics
Democracy Financing Human Development in Indonesia. Jakarta: BPS-Statistik, Indonesia,
Bappenas, BPS.

PROFIL SINGKAT
Manoto Togatorop, lahir di Sibuntuon, 14 Februari 1988 anak ke-4 dari 6 bersaudara. Ayah
bernama Rubenson Togatorop (+) dan ibu bernama Retain Silaban. Menamatkan pendidikan di SD
Negeri 173320 Siborutorop tahun 2001, di SLTP Negeri 1 Paranginan tahun2003, dan di SMA Negeri
1 Balige tahun 2006. Selepas SMA melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Medan (UNIMED) jurusan Pendidikan Ekonomi, lulus pada tahun 2011 dengan gelar Sarjana
Pendidikan. Kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Negeri Jakarta dengan jurusan
Manajemen Pendidikan, lulus pada tahun 2015.
Memulai karir sebagai pendidik di Bimbingan Belajar BT/BS BIMA Medan mulai 2009
sampai 2011. Dilanjutkan di Bimbingan Belajar Super Einstein Collage Tangerang pada tahun 2011
sampai 2016. Pada tahun 2012, mengajar di SMA BK-3 Tangerang sampai 2016. 2017 menjadi dosen
di Jurusan Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Kristen Satya Wacana.

240
PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKTAN
PROBLEM BASED LEARNING BAGI SISWA KELAS 4 SD

Normala Rahmadani N., Indri Anugraheni


292013162@Student.uksw.edu, indri.anugraheni@staff.uksw.edu
PGSD, Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRACT

IMPROVING MATH LEARNING ACTIVITIES THROUGH PROBLEM BASED LEARNING


APPROACH FOR 4TH GRADE STUDENTS

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine whether the increase in learning activities
mathematics can be pursued through the approach of PBL grade 4 students SDN Petirrejo in
the 2nd semester of 2017. The data collection techniques was with observation, and the
research instruments were in the form of observation sheet of learning activities. The data
analysis was done by comparative descriptive statistical technique to compare the number of
students who have high learning activity of Mathematics between cycle I and cycle II. The
results showed that the increase in learning activity can be done through the approach of
PBL grade 4 students, proved from the increase from cycle I to cycle II. The visual activity in
cycle I resulted 95,8%, and in cycle II 100%; this showed an increase of 4,2% between the
cycles. The oral activity in cycle I resulted 37,5%, and in cycle II 79,16%; the increase
equals to 41,6%. The listening activity in cycle I resulted 62,5%, and in cycle II 70,83%; the
increase equals to 8,33%. The writing activity in cycle I was 79.1%, and in cycle II was
83.33%; which showed an increase of 12.5%. The mental activity in cycle I was 62.5, and in
cycle II 70.83%, which increased by 8.33 %.

Keywords: Learning activities, Problem-based Learning

Article Info
Received date: 28 April 2017 Revised date: 3 Mei 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan manusia secara terus menerus (sepanjang hayat)
dalam kehidupannya. Pendidikan juga dapat disebut sebagai proses memanusiakan manusia, dimana
melalui pendidikan seseorang dapat mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab I pasal 1 (1) yang berbunyi “yang dimaksud
dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensinya sendiri”. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dalam mewujudkan suatu pendidikan yang sesuai dengan undang-undang sisdiknas serta
pendidikan yang mampu mengembangkan potensi siswa adalah pendidikan yang didalamnya terdapat
pembelajaran yang menuntut setiap subyek pembelajranya (siswa) untuk aktif agar mampu
mengembangkan setiap potensinya serta kecerdasan dan kepribadiannya seperti yang tertera pada
tujuan dari pendidikan nasional.
Pembelajaran serupa terjadi pada kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo Kabupaten
Temanggung, guru menjadi subyek pembelajaran, aktivitas belajar siswa kelas 4 SDN Petirrejo
Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung sangat terbatas. Terutama pada mata pelajaran
Matematika. Dalam proses belajar mengajar siswa kurang aktif. Misalnya, masih kurang beraninya
siswa untuk bertanya, mengungkapkan pendapatnya, serta aktivitas di dalam kelas hanya menyimak
buku, mengerjakan soal di depan kelas, mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh guru, dan
diskusi kelompok. Dalam menyampaikan materi pembelajaran guru menggunakan metode ceramah
dan diskusi. Aktivitas siswa dalam pembelajaran terbatas pada aktivitas mendengarkan guru dan
diskusi, tidak ada aktivitas lain yang mendukung proses pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran
241
Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Pendektan Problem Based Learning Bagi Siswa
Kelas 4 SD (Normala Rahmadani N., Indri Anugraheni)

yang demikian akan menyebabkan aktivitas belajar siswa tidak optimal.


Salah satu cara untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa adalah dengan menerapkan
pendekatan pembelajaran yang dapat memacu siswa untuk beraktivitas didalamnya. Pendekatan
pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa adalah pendekatan Problem Besed
Learning (PBL). Boud dan Feletti dalam Riyanto (2010:285) mendefinisikan pendekatan PBL sebagai
suatu pendekatan ke arah penataan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menghadapi
permasalahan melalui praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan PBL menekankan pada
aktivitas pemecahan masalah dalam pembelajaran. Melalui pendekatan PBL siswa belajar melalui
aktivitas pemecahan masalah yang dapat mengasah keterampilan berpikir siswa.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah
kurangnya aktivitas belajar siswa dalam mata pelajaran Matematika. Hal yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut yaitu dengan menggunakan pendekatan PBL.

KAJIAN PUSTAKA
Aktivitas Belajar
Kegiatan pembelajaran siswa melakukan aktivitasnya sendiri, guru bertugas menjadi fasilitator.
Hal tersebut dikemukakan oleh Sardiman (2014:99) bahwa pendidik tugasnya menyediakan makanan
dan minuman rohani anak, akan tetapi yang memakan serta meminumnya adalah anak didik itu
sendiri. Thomas M. Risk dalam Rohani (2010:6) mengemukakan tentang belajar mengajar sebagai
berikut: “Teaching is guidance of learning experiences” (mengajar adalah proses membimbing
pengalaman belajar). Pengalaman itu sendiri hanya mungkin diperoleh jika siswa itu dengan
keaktifannya sendiri bereaksi dengan lingkungannya.Sardiman (2014:100) menjelaskan bahwa yang
dimaksud aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat jasmani maupun psikis. Aktivitas ini berarti
dua perbuatan yang terkait. Perbuatan ini dapat menghasilkan belajar yang optimal apabila antara
perbuatan jasmani seperti siswa yang sedang membaca dan perbuatan psikis seperti siswa berpikir
tentang sesuatu, itu seimbang dan sebaliknya. Perbuatan seimbang itulah yang dinamakan aktivitas
belajar. Rohani (2010:6) mendefinisikan aktivitas itu sebagai giat yang dilakukan oleh siswa baik
jasmani maupun giat dalam melibatkan psikis. Jean piaget dalam Rohani (2010:8-9) menjelaskan
bahwa aktivitas atau kegiatan adalah apabila siswa melakukan sesuatu ke arah perkembangan jasmani
dan kejiwaan. Mendasarkan pada tiga pandangan pakar tentang aktivitas belajar, aktivitas belajar
adalah seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan fisik sampai kegiatan psikis.
Kegiatan fisik berupa ketrampilan-ketrampilan dasar sedangkan kegiatan psikis berupa ketrampilan
terintegrasi. Ketrampilan dasar yaitu mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur,
menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Sedangkan ketrampilan terintegrasi terdiri dari
mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik,
menggambarkan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis
penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, merancang penelitian dan
melaksanakan eksperimen.
Usman (2011:6) menggolongkan aktivitas belajar siswa ke dalam beberapa hal sebagai berikut,
aktivitas visual, aktivitas lisan,aktivitas mendengarkan, aktivitas gerak, aktivitas menulis. Menurut
Paul B. Diedrich dalam Sardiman (2014:101) mengemukakan 117 kegiatan siswa yang dibagi dalam
Visual activities, Oral activities, Listening activities, Writing activities, Drawing activities, Motor
activities, Mental activities, Emotional activities. Menurut Dierich yang dikutip Hamalik (2014:288-
209) menyatakan bahwa aktivitas belajar dibagi menjadi delapan kelompok yaitu, Kegiatan-kegiatan
visual, kegiatan-kegiatan lisan (oral), kegiatan-kegiatan mendegarkan,kegiatan-kegiatan menulis,
kegiatan-kegiatan menggambar, kegiatan-kegiatan metrik, kegiatan-kegitan mental, kegiatan-kegiatan
emosional
Mendasarkan pada pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli, peneliti akan menggunakan
beberapa jenis-jenis aktivitas menurut Paul B. Diedrich dalam Sudirman (2014:101) yaitu: 1) Visual
activities; 2) Oral activities; 3) Listening activities; 4) Writing activities; dan 5) Mental activities.

242
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 241-250

Pendekatan Problem Based Learning


Pendekatan PBL merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang membantu
siswa untuk mengembangkan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Margetson dalam Rusman
(2013:230); Boud dan Feletti dalam Riyanto (2010:285); Boud dan Feletti, Ibrahim dan Nur dalam
Rusman (2013:241); Moffit dalam Rusman (2013:241; (Rusman, 2013:241-242), mendasarkan pada
pandangan para ahli tersebut pendekatan PBL adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan
permasalahan dunia nyata sebagai suatu konteks, guna merangsang kemampuan berpikir kritis serta
kemampuan pemecahan masalah siswa dalam memahami konsep dan prinsip yang esensi dari materi
pelajaran.
Karakteristik pendekatan PBL menurut beberapa ahli yaitu (Rusman, 2013:232); Arends dalam
Riyanto (2010:287); berdasarkan karakteristik yang dikemukakan beberapa ahli, karakteristik
pendekatan PBL terdiri dari adanya permasalahan yang kongkret atau masalah yang ada di
masyarakat, masalah yang ada harus dibuat semenarik mungkin agar siswa termotivasi dalam belajar,
pendekatan PBL menekankan pada pembelajaran yang bersifat kolaboratif, komunikatif dan
kooperatif (tim), dalam menerapkan pendekatan PBL sumber belajar tidak hanya diambil dari satu
sumber belajar saja, dan pendekatan PBL mengutamakan belajar mandiri (siswa aktif), solusi yang
didapat siswa dikomunikasikan di depan kelas.
. Pendekatan PBL menekankan pada pemecahan masalah dalam proses pembelajaran. Langkah-
langkah pendekatan PBL yang digunakan penliti yaitu mengutip dari Hosnan (2014:301)
mengemukakan tahapan dalam pendekatan PBL yaitu, orientasi siswa pada masalah. Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat
pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih, mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu
siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah
tersebut, membimbing pengalaman individual atau kelompok. Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya, mengembangkan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta membantu
berbagi tugas dengan temannya, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru
membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses
yeng mereka gunakan.
Kelebihan dan Kelemahan pendekatan PBL.Secara umum dapat dikemukakan bahwa kelebihan
dan kelemahan dari penerapan pendekatan PBL antara lain (Warsono dan Hariyanto, 2013:152),
Siswa akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa tertantang untuk
menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi
masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari (real world), memupuk solidaritas sosial dengan
terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman
sekelasnya, makin mengakrabkan guru dengan siswa, karena ada kemungkinan suatu masalah harus
diselesaikan siswa melalui eksperimen hal ini juga akan membiasakan siswa dalam menerapkan
metode eksperimen.
Kelemahan pendekatan PBL (Warsono dan Hariyanto, 2013:152: tidak banyak guru yang mampu
mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah, seringkali memerlukan biaya yang mahal dan waktu
yang panjang, aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru.

Pembelajaran Matematika di SD
Hakekat Matematika, matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat
meningkatkan kemampuan berfikir dan beragumentasi, memberikan kontribusi dalam menyelesaikan
masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja sehingga matematika sangatlah penting untuk kita
pelajari.Dalam pembelajaran matematika di SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan kembali).
Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran
di kelas, walaupun penemuan itu sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui
sebelumnya, tetapi bagi siswa SD penemuan tersebut merupakan sesuatu hal yang baru. Sumum
tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar adalah agar siswa mampu dan terampil
menggunakan matematika. Selain itu juga, dengan pembelajaran matematika dapat memberikan
tekanan penataran nalar dalam penerapan matematika. Secara khusus, tujuan pembelajaran
matematika di sekolah dasar menurut Depdiknas dalam Ahmad Suseno (2013:190) yaitu, memahami
243
Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Pendektan Problem Based Learning Bagi Siswa
Kelas 4 SD (Normala Rahmadani N., Indri Anugraheni)

konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, mengomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan memiliki sikap
menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Secara garis besar ruang lingkup pokok pembahasan matematika di SDmeliputi lima poin seperti
yang tercantum di dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, yaitu:Unit aritmatika (berhitung)atau
berhitung mendapat porsi dan penekanan utama. Sebagian besar dari kajian di SD adalah berhitung,
Unit pengantar aljabaradalah perluasan terbatas dari unit matematika dasar. Dengan dasar pemahaman
tentang pemahaman, dilakukan pengenalan perintisan aljabar, unit geometri mengutamakan
pengenalan bangun datar dan bangun ruang, unit Pengukuran diperkenalkan sejak kelas 1 sampai
kelas 6 dan diawali dengan pengukuran tanpa menggunakan satuan baku. Konsep-konsep pengukuran
yang diperkenalkan mencakup pengukuran panjang, keliling, luas, berat, volume, sudut, dan waktu
dengan satuan ukuranya, unit kajian data yang dimaksud kajian data adalah pembahasan materi
statistik secara sederhana di SD. Dalam kajian ini terdapat kegiatan pengumpulan data, menyusun
data, menyajikan data secara sederhana serta membaca data yang telah disajikan dalam bentuk
diagram.
Implementasi model pembelajaran PBL, secara teoritik dapat meningkatkan aktivitas hasil belajar
penelitian yang dilakukan oleh Deni Kartika Sari dengan mengambil judul “Penerapan Model
Problem Based Learning dengan Media Power Point Untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar IPA
Siswa Kelas V SDN 2 Mudal”. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan aktivitas siswa dari jumlah
skor rata-rata kelas 12,93 pada siklus I pertemuan 1 menjadi jumlah skor rata-rata kelas 17,14 siklus I
pertemuan 2 menjadi jumlah skor rata-rata kelas 21,38 siklus II pertemuan 1 menjadi jumlah skor
rata-rata kelas 24,93 pada siklus II pertemuan 2. Penerapan model problem based learning
merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan aktivitas belajar IPA. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Deni, nampak bahwa penelitian ini memiliki kelebihan yaitu dapat meningkatkan
aktivitas belajar siswa. Namun di sisi lain penelitian ini juga memiliki kelemahan yaitu penelitian ini
mengukur lebih dari dua variabel terikat, yang menyebabkan penelitian ini menjadi tidak fokus serta
hasil yang dicapai tidak maksimal. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya penelitian
dilaksanakan lebih fokus pada satu variabel terikat yaitu aktivitas belajar, sehingga dapat
memaksimalkan peningkatan aktivitas belajar IPA.
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizka Vitasari dengan
mengambil judul ”Peningkatan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika melalui Model Problem
Based Learning Siswa Kelas V SD Negeri 5 Kutosari”. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian
tindakan kelas kolaboratif. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas V berjumlah 16 siswa. Tujuan
penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan langkah-langkah penerapan model problem based learning,
(2) meningkatkan keaktifan, dan (3) meningkatkan hasil belajar matematika. Penelitian ini
menggunakan teknik penelitian tindakan kelas kolaboratif. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas V
berjumlah 16 siswa. Prosedur penelitian tindakan kelas berupa perencanaan, pelaksanaan, observasi
dan refleksi. Pelaksanaan tindakan dilaksanakan dalam dua siklus masing-masing siklus tiga
pertemuan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, angket, dan tes.
Validitas data menggunakan teknik triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Analisis data
menggunakan teknik analisis kuantitatif dan kualitatif, meliputi reduksi data, sajian data, dan
verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan persentase rata-rata keaktifan belajar siswa pada siklus I
sebesar 61,2%, dan siklus II sebesar 90,5%, dari siklus I menuju ke siklus II mengalami peningkatan
sebesar 29,3%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penerapan model problem based leaning dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar matematika pada siswa kelas V Sekolah Dasar.Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizka, nampak bahwa keaktifan belajar siswa telah mengalami
peningkatan. Namun penelitian kurang terfokus karena mengukur lebih dari satu variabel terikat. Cara
mengatasi kelemahan penelitian ini yaitu dalam pelaksanaan pembelajaran lebih difokuskan lagi
untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Penelitian lain membahas tentang penerapan PBL untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
siswa. Vivin Nurul Agustin mengadakan penelitian pada mata pelajaran matematika dengan
244
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 241-250

mengambil judul ” Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Model Pembelajaran
Problem Based Learning”. Hasil penelitian pada siklus I, aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran
siklus I 66,28% (tinggi) dan meningkat pada siklus II menjadi 76,50% (sangat tinggi). Penerapan
model PBL dapat meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran matematika
materi pecahan di kelas IV SD Negeri 01 Wanarejan Pemalang. Kelebihan dari penelitian ini adalah
PBL mampu meningkatkan aktivitas dan hasil belajar. Selain kelebihan, penelitian ini juga memiliki
kekurangan yaitu dalam penelitian tidak dijelaskan keterkaitan antara hasil dan aktivitas belajar,
keduanya masih berdiri sendiri. Cara mengatasi kelemahan tersebut adalah sebaiknya dalam
penelitian lebih ditonjolkan keterkaitan antara hasil dan aktivitas belajar, agar kedua variabel tersebut
tidak terkesan berdiri sendiri namun keduanya saling berhubungan dan mempengaruhi.
Sri Candra Dewi melakukan penelitian yang serupa dengan judul ”Penerapan Model Problem
Based Learning Dengan Media Puzzle Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA Di Kelas
IVB SDN Tambakaji 04”. Kualitas pembelajaran yang akan diukur meliputi keterampilan guru,
aktivitas dan hasil belajar siswa. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas siswa, untuk siklus I
diperoleh rata-rata skor 20,13 kategori baik menjadi rata-rata skor 26,25 kategori baik pada siklus II.
Berdasarkan hasil penelitian, simpulan yang diperoleh adalah model problem based learning dapat
meningkatkan aktivitas belajar IPA. Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu model PBL dapat
meningkatkan aktivitas belajar IPA. Kelemahan dari penelitian ini adalah peningkatan aktivitas
belajar siswa kurang signifikan, dimana aktivitas belajar siswa dari siklus I ke siklus II hanya
mencapai skor peningkatan sebesar 6,12. Selain itu penelitian kurang terfokus karena mengukur lebih
dari satu variabel terikat. Cara mengatasi kelemahan penelitian ini yaitu dalam pelaksanaan
pembelajaran lebih difokuskan lagi, sehingga aktivitas belajar siswa mengalami peningkatan yang
lebih signifikan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SDN Petirrejo Ngadirejo pada kelas 4 semester 2 tahun pelajaran
2016/2017. Penelitian ini diawali dengan pembuatan proposal pada bulan Januari. Siklus pertama
dilakukan pada 20-21 Maret 2017 sedangkan siklus kedua dilaksanakan pada 27-28 Maret 2017.
Subyek penelitian ini siswa kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo yang berjumlah 24 siswa
yang terdiri dari 13 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan. Sumber data berasal dari sumber data
primer. Sumber data primer diperoleh dari hasil aktivitas belajar siswa. Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini menggunakan teknik non tes. Teknik non tes digunakan untuk memperoleh data
tentang aktivitas belajar siswa. Kisi-kisi instrumen aktivitas belajar terdiri dari 5 item aktivitas dan
8indikator. Analisis data digunakan untuk mengukur instrument yang valid. Valid berarti instrumen
tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa saja yang akan diukur.
Penggunan instrumen yang valid dalam pengumpulan data, diharapkan hasil penelitian akan
menjadi valid. Jadi instrumen yang valid merupakan syarat untuk mendapatkan hasil penelitian yang
valid (Sugiyono, 2012:348). Teknik yang digunakan untuk mengetahui kesejajaran adalah teknik
korelasi product moment yang dikemukakan oleh Pearson berikut ini (Arikunto, 2012:85). Instrumen
aktivitas belajar Matematika terdiri dari 5 indikator aktivitas belajar yakni, aktivitas visual, aktivitas
lisan, aktivitas, mendengarkan, aktivitas menulis, dan aktivitas mental. Penilaian aktivitas belajar
Matematika melalui pendekatan PBL ditentukan berdasarkan kriteria aktivitas belajar Matematika.
Kriteria aktivitas belajar IPA dikelompokkan menjadi 3 yaitu, sedikit (0-2 aktivitas), sedang (3-5
aktivitas), tinggi (6-8 aktivitas).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Dekripsi Hasil tiap Siklus dan antar Siklus
Pelaksanaan tindakan pada siklus I pada pembelajaran matematika dengan pendekatan
pembelajaran Problem Based Learning dilaksanakan dalam 2 pertemuan dengan materi pembelajaran
pengurangan bilangan bulat. Berikut ini akan dibahas tahapan pelaksanaan pembelajaran dengan
model Problem Based Learning tiap pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan pada tanggal 20
Maret 2017 pada jam pelajaran pertama sampai kedua, semua siswa mengikuti pembelajaran tanpa
ada siswa yang izin tidak masuk sekolah. Pada pertemuan ini penelitian membahas materi konsep
pengurangan bilangan bulat. Langkah –langkah pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan
245
Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Pendektan Problem Based Learning Bagi Siswa
Kelas 4 SD (Normala Rahmadani N., Indri Anugraheni)

Problem Based Learning diuraikan sebagai berikut: Pada tahap awal guru mengucapkan salam
pembuka, guru mengabsen kehadiran siswa, mengkondisikan siswa, apersepsi yaitu dengan mengulas
kembali materi yang diajarkan sebelumnya, kemudian guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan
kemudian guru memberikan soal pretest kepada siswa. Pada tahap ini guru melaksanakan langkah
yaitu orientasi siswa pada masalah.Pada tahap inti guru bertanya jawab dengan siswa mengenai
pengurangan bilangan bulat, guru memberikan masalah yang berkaitan dengan operasi bilangan bulat
yaitu dengan menunjukkan video pembelajaran yaitu pengurangan bilangan bulat, guru membentuk
siswa dalam kelompok 6 kelompok yang beranggotakan 4 siswa, guru memerintahkan siswa untuk
mengerjakan bersama kelompok, guru membagikan handout yang berisi kan uraian materi dan
permasalahan tentang pengurangan bilangan bulat. Pada tahap ini guru melaksanakan langkah PBL
yaitu Mengorganisasi siswa untuk belajar. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berfikir dan bertindak menurut kemampuan masing-masing siswa dan guru berperan sebagai
fasilitator, guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi dan memfasilitasi serta membantu siswa
yang memerlukan. Pada tahap ini guru melaksanakan langkah PBL yaitu Membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok.Kemudian guru meminta setiap kelompok untuk mempresentasikan
hasil kerja kelompok yang telah dikerjakan dan kelompok lainnya menanggapi atau mengkomunikasi-
kan hasil kerja kelompok yang mendapat tugas, guru memberi penguatan terhadap jawaban siswa,
yaitu dengan mengacu pada jawaban siswa dan melalui tanya jawab membahas penyelesaian masalah
yang seharusnya, guru bertanya jawab membahas penyelesaian masalah yang seharusnya.Pada tahap
penutup gurumembuat penegasan atau kesimpulan cara pengurangan bilangan bulat, guru bertanya
kepada siswa tentang hal-hal yang belum dipahami siswa selama kegiatan pembelajaran, guru
menutup pembelajaran dengan mengucap salam penutup. Pada tahap ini guru melaksanakan langkah
PBL yaitu Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Pertemuan keduatahap awal dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2017 pertama guru
mengkondisikan siswa, guru mengucapkan salam, guru mengajak berdo’a sebelum pembelajaran
dimulai kemudian guru mengecek kehadiran siswa, apersepsi dengan mengulang materi sebelumnya,
dan menyampaikan tujuan pembelajaran.Pada tahap inti pertemuan kedua ini guru membahas hasil
kerja kelompok yang telah dikerjakan pada pertemuan pembelajaran sebelumnya, guru memberi
kesempatan kepada setiap siswa untuk bertanya hal-hal tentang materi yang telah dipelajari yang
mungkin masih sulit dimengerti oleh siswa, kemudian guru memberikan kesempatan kepada siswa
lain untuk memberi tanggapan atau sanggahan terhadap pertanyaan yang mungkin muncul saat
pembelajaran.Pada tahap akhir pertemuan kedua ini guru meluruskan kesalah pahaman yang mungkin
dialami siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran, kemudian guru menutup kegiatan pembelajaran
dengan berdo’a dan mengucapkan salam.
Pada bagian refleksi seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran dilaksanakan di siklus I
pertemuan ke 1 dan pertemuan ke 2 kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah refleksi tentang
seluruh kegiatan yang dilakukan pada kegiatan belajar mengajar. Kegiatan refleksi mengacu pada
seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan pembelajaran berlangsung diantaranya ialah
aktivitas belajar siswa, hasil observasi kegiatan mengajar guru, dan hasil observasi kegiatan belajar
yang dilaksanakan pada siklus I pertemuan ke 1 dan pertemuan ke 2 tentang pengurangan bilangan
bulat. Kegiatan ini dilaksanakan untuk bahan perbaikan dengan membandingkan proses pembelajaran
yang dilakukan sudah sesuai dengan indikator yang ingin dicapai dalam penelitian. Refleksi pada
siklus I adalah hasil observasi kegiatan mengajar guru yang dilaksanakan pada siklus I pertemuan ke 1
masih terdapat beberapa kekurangan dan belum sesuai dengan indikator keberhasilan yang ingin
dicapai peneliti, antara lain adalah guru tidak menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan
dilaksanakan, tidak adanya pemberian motivasi kepada siswa, dan guru belum meluruskan kesalah
pahaman yang terjadi dan belum memberikan tindak lanjut berupa pekerjaan rumah tentang materi
yang diajarkan. Guru juga perlu meningkatkan keaktifan siswa dalam mengerjakan tugas dan kegiatan
bekerja secara kelompok.Berdasarkan hasil observasi kegiatan belajar mengajar siswa di siklus I
pertemuan ke 1 bahwa ada beberapa yang belum dilakukan oleh siswa antara lain adalah siswa belum
mendapatkan penjelasan mengenai tujuan kegiatan pembelajaran dari guru, kegiatan mengerjakan
tugas dari guru masih ada siswa yang belum berpartisipasi aktif dengan kelompoknya dan tidak
mendengarkan perintah yang diberikan oleh guru dengan baik. Kegiatan akhir pada pembelajaran
siswa tidak membuat rangkuman hasil pembelajaran tentang pengurangan bilangan bulat. Kekurangan
yang dimiliki pada siklus I pertemuan ke 1 akan dijadikan acuan untuk memperbaiki proses belajar
246
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 241-250

siswa dan perlu adanya peningkatan pada pertemuan selanjutnya.Lembar observasi keterlibatan siswa
pada siklus I pertemuan ke 2 ada juga beberapa tindakan yang belum dilaksanakan oleh siswa dan
perlu adanya peningkatan untuk pertemuan di siklus selanjutnya. Hasil observasi yang terdapat pada
lembar observasi kegiatan belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran terdapat beberapa yang belum
dilaksanakan siswa dengan baik, yang dilakukan pada pertemuan ke 2 sama halnya yang dilakukan
pada pertemuan ke 1 yaitu siswa belum mendapatkan kejelasan tentang tujuan kegiatan pembelajaran
yang akan dilaksanakan, untuk kegiatan menanggapi atau menyanggah permasalahan dari kelompok
lain masih ada siswa yang belum berpartisipasi dengan baik dan aktif kepada kelompoknya. Kegiatan
akhir pembelajaran siswa tidak membuat rangkuman hasil pembelajaran tentang materipengurangan
bilangan bulat. Kekurangan pada siklus I pertemuan ke 2 akan dijadikan sebagai acuan untuk
memperbaiki proses belajar siswa dan perlu ditingkatkan pada pertemuan selanjutnya.
Pertemuan kedua siklus II dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 2017. Pada tahap awal guru
mengkondisikan siswa, guru mengucapkan salam, berdo’a serta mengecek kehadiran siswa, apersepsi
dengan mengulang materi sebelumnya dan menyampaikan indikator pencapaian kompetensi-
kompetensi yang diharapkan. Pada tahap inti guru membahas hasil kerja kelompok yang telah
dikerjakan pada pertemuan pembelajaran sebelumnya, guru memberi kesempatan kepada setiap siswa
untuk bertanya hal-hal tentang materi yang telah dipelajari yang mungkin masih sulit dimengerti oleh
siswa, kemudian guru memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk memberi tanggapan atau
sanggahan terhadap pertanyaan yang mungkin muncul saat pembelajaran. Pada tahap penutup guru
meluruskan kesalahpahaman yang mungkin dialami siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran,
kemudian guru menutup kegiatan pembelajaran dengan berdo’a dan mengucapkan salam.Setelah guru
melaksanakan pembelajaran pada siklus II, yang menjadi refleksi pada siklus ini adalah meningkatnya
aktivitas belajar. Guru telah menerapkan pendekatan pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
dengan sangat baik. Dilihat dari aktivitas siswa, siswa telah mengikuti pembelajaran dengan sangat
baik dan tidak mengganggu kelompok lain. Siswa terlihat aktif dan antusias mengikuti pembelajaran
karena memahami proses pendekatan pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Selain itu,
memberikan tanggapan, sanggahan serta guru meluruskan kesalah pahaman membuat siswa
memahami semua topik yang dibahas.
Refleksi digunakan sebagai bahan untuk memantapkan apakah dalam kegiatan proses
pembelajaran yang dilakukan pada siklus II sudah sesuai dengan indikator keberhasilan yang ingin
dicapai oleh peneliti atau belum. Hasil analisis data yang diperoleh pada siklus II sebagai berikut, dari
hasil observasi kegiatan mengajar guru yang dilaksanakan pada siklus 2 pertemuan ke 1 bahwa
hampir semua kegiatan yang direncanakan telah dilakukan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran
pertemuan ke 1 pada siklus II. Kekurangan yang ada pada siklus I mengalami perbaikan yaitu ketika
memulai pembelajaran guru sudah menyampaikan tujuan pembelajaran dan kegiatan yang dilakukan
dalam proses pembelajaran.Berdasarkan hasil observasi kegiatan belajar mengajar/ keterlibatan siswa
pada siklus II pertemuan ke 1 bahwa adanya kekurangan pada siklus I sudah mengalami perbaikan
antara lain siswa sudah berani menanggapi ataupun menyanggah permasalahan dari kelompok lain
atau dari guru, lebih aktif dalam berdiskusi dengan kelompoknya, pada saat kegiatan akhir siswa tidak
membuat rangkuman hasil pembelajaran tentang materi benda dan sifat bahan pembentuknya yang
sudah dijelaskan.
Setelah melakukan analisa terhadap 2 siklus yang dilaksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model pembelajaran PBL materi pengurangan bilangan bulat, dan operasi bilangan
campuran menunjukkan peningkatan hasil aktivitas belajar Matematika. Tabel 1 presentase
perbandingan aktivitas belajar Matematika dari siklus I dan siklus II.

247
Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Pendektan Problem Based Learning Bagi Siswa
Kelas 4 SD (Normala Rahmadani N., Indri Anugraheni)

Tabel.1
Perbandingan aktivitas belajar Matematika siklus I dan sikuls II kelas 4 SDN Pettirejo

No. Indikator Aktivitas Prsentase

Siklus I Siklus II
1. Visual 95,8% 100%
2. Lisan 37,5% 79,16%
3. Mendengarkan 62,5% 70,83%
4. Menulis 79,1% 83,33%
5. Mental 62,5% 70,83%

Berdasarkan tabel 1, nampak bahwa perbandingan aktivitas belajar Matematika melalui


pendekatan PBL siswa kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo dari siklus I ke Siklus II
mengalami peningkatan. Dari aktivitas visual dari siklus I presentasenya 95,8% ke siklus II yaitu
100% meningkat prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar 4,2%. Pada aktivitas lisan dari siklus I
presentasenya 37,5% ke siklus II 79,16% meningkat prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar
41,6%. Pada aktivitas mendengarkan dari siklus I presentasenya 62,5% ke siklus II 70,83% meningkat
prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar 8,33%. Pada aktivitas menulis dari siklus I 79,1% ke
siklus II presentasenya 83,33% mengalami peningkatan sebesar 12,5%, dan pada aktivitas mental
presentase siklus I dari 62,5 ke siklus II 70,83% mengalami peningkatan sebesar 8,33%.

PEMBAHASAN
Dari data perbandingan aktivitas belajar Matematika menunjukkan peningkatan presentase
aktivitas belajar Matematika melalui pendekatan Problem Based Learning dari siklus I ke siklus II.
Terbukti dari hasil observasi siswa kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo Kecamatan Ngadirejo
aktivitas belajar Matematika siklus I, nampak bahwa pada aktivitas visual diperoleh presentase
berjumlah 95,8%, pada aktivitas lisan diperoleh presentase 37,5%, pada aktivitas mendengarkan
diperoleh presentase 62,5%, pada aktivitas menulis diperoleh presentase 79,1%, dan pada aktivitas
mental diperoleh 62,5%. Kemudian siklus II diperoleh hasil aktivitas belajar Matematika nampak
bahwa pada aktivitas visual diperoleh presentase 100%, pada aktivitas lisan terdapat 79,16%, pada
aktivitas mendengarkan diperoleh 70,83%, pada aktivitas menulis diperoleh 83,33%, dan pada
aktivitas mental diperoleh presentase 70,83%.
Temuan ini bermakna siswa mampu melakukan aktivitas belajar Matematika melalui pendekatan
Problem Based Learningyaitu orientasi siswa pada masalah yaitu aktivitas siswa mendengarkan,
mengorganisasi siswa untuk belajar aktivitas lisan siswa, membimbing pengalaman individu atau
kelompok aktivitas visual siswa, mengembangkan dan menyajikan hasil karya aktivitas siswa
menulis, analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah aktivitas mental siswa. Temuan ini sejalan
dengan penelitian Hosnan (2014) dan Sudirman (2014).
Perbandingan presentase dari siklus I dan siklus II nampak pada aktivitas belajar Matematika
melalui pendekatan Problem Based Learning siswa kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo dari
siklus I ke Siklus II mengalami peningkatan. Dari aktivitas visual dari siklus I presentasenya 95,8% ke
siklus II yaitu 100% meningkat prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar 4,2%. Pada aktivitas
lisan dari siklus I presentasenya 37,5% ke siklus II 79,16% meningkat prsentasenya dari siklus I ke
siklus II sebesar 41,6%. Pada aktivitas mendengarkan dari siklus I presentasenya 62,5% ke siklus II
70,83% meningkat prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar 8,33%. Pada aktivitas menulis dari
siklus I 79,1% ke siklus II presentasenya 83,33% mengalami peningkatan sebesar 12,5%, dan pada
aktivitas mental presentase siklus I dari 62,5 ke siklus II 70,83% mengalami peningkatan sebesar
8,33%. Berdasarkan uraian tentang data hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa adanya
peningkatan aktivitas belajar Matematika melalui pendekatan Problem Based Learningsiswa kelas 4.
Keampuhan model PBL mampu meningkatkan aktivitas belajar siswa. Keampuhan ini terbuktipada
aktivitas mendengarkan ini akan nampak setelah guru menjelaskan materi pembelajaran dan siswa
mendengrakan. Pada tahap mengidentifikasi permasalahan akan diukur berdasarkan indikator
aktivitas menulis, aktivitas mengidentifikasi permasalahan akan dilakukan secara tertulis. Pada tahap
merumuskan masalah termasuk dalam indikator aktivitas lisan, aktivitas merumuskan masalah akan
248
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 241-250

nampak setelah siswa selesai melakukan masalah. Masalah yang telah dirumuskan siswa, dicari solusi
penyelesaiannya melalui aktivitas menyimak handout. Aktivitas menyimak handout termasuk dalam
indikator aktivitas visual. Siswa diberi tugas untuk mencari informasi tentang topik permasalahan.
Informasi yang diperoleh siswa dianalisis guna penyusunan laporan solusi permasalahan. Pada
aktivitas ini sudah nampak aktivitas pemecahan masalah. Aktivitas menganalisis informasi termasuk
dalam indikator aktivitas mental. Siswa menyusun laporan hasil analisis informasi, aktivitas
menyusun laporan termasuk dalam indikator aktivitas menulis. Laporan yang telah disusun oleh siswa
dipresent asikan di depan kelas secara berkelompok. Kelompok lain yang mendengarkan memberikan
tanggapan atau pendapatnya atas laporan yang disampaikan kelompok lain. Aktivitas
mempresentasikan termasuk dalam indikator aktivitas lisan. Siswa bersama guru merefleksi kegiatan
PBL, guru bertanya seputar kegiatan pembelajaran yang telah siswa alami. Aktivitas refleksi termasuk
dalam indikator aktivitas lisan, aktivitas ini akan nampak pada saat siswa bertanya jawab secara lisan
seputar kegiatan pembelajaran yang telah siswa alami.Temuan ini sejalan dengan penelitian Hosnan
(2014) dan Sudirman (2014) dan juga hasil penelitian Sri Giarti (2014) yang menunjukkan bahwa
model PBL terintegrasi penilaian autentik dapat meningkakan keterampilan proses pemecahan
masalah matematika siswa kelas VI SD Negeri 2 Bengle, Wonosegoro – Boyolali.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian, yang telah dilakukan pada siklus I dan siklus II yang
telah dijabarkan pada Bab IV dapat disimpulkan bahwa peningkatan aktivitas belajar Matematika
dapat diupayakan melalui Pendekatan Problem Based Learning siswa kelas 4 SDN Petirrejo
Kecamatan Ngadirejo semester 2 tahun 2017 terbukti mengingkat dengan berdasarkan urian data
presentase aktivitas belajar dari siklus I dan siklus II nampak pada aktivitas belajar Matematika
melalui pendekatan Problem Based Learningsiswa kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo dari
siklus I ke siklus II. Dari aktivitas visual dari siklus I presentasenya 95,8%, siklus II diperoleh
presentase 100% meningkat prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar 4,2%. Pada aktivitas lisan
dari siklus I presentasenya 37,5%, siklus II diperoleh presentase79,16% meningkat prsentasenya dari
siklus I ke siklus II sebesar 41,6%. Pada aktivitas mendengarkan dari siklus I presentasenya 62,5%,
siklus II diperoleh presentase 70,83% meningkat prsentasenya dari siklus I ke siklus II sebesar 8,33%.
Pada aktivitas menulis dari siklus I 79,1%, siklus II diperoleh presentase 83,33% mengalami
peningkatan sebesar 12,5%, dan pada aktivitas mental presentase siklus I dari 62,5%, siklus II
diperoleh presentase70,83% mengalami peningkatan sebesar 8,33%.
Penelitian ini dinyatakan berhasil ditunjukkan oleh mengikatnya presentase setiap aktivitas dari
siklus I ke siklus II. Peningkatan yang terjadi adanya pendekatan Problem Based Learning siswa
terlibat langsung dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru dan guru
bertindak sebagai fasilitator.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas pada kelas 4 SDN Petirrejo Kecamatan Ngadirejo,
maka saran yang diberikan yaitu, peneliti menyarankan kepada siswa untuk lebih aktif dan dapat
bekerjasama antar siswa satu dengan lainnya dalam kegiatan pembelajaran secara kelompok, dengan
penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning siswa harus meningkatkan kemampuan
penyelesaian masalah nyata dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, guru hendaknya
mendesain pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Problem Based Learning untuk
meningkatkan aktivitas belajar siswa. Melalui pembelajaran menggunakan pendekatan Problem
Based Learning guru dapat meningkatkan keterampilan dalam mengajar serta aktivitas siswa dalam
pembelajaran, kepala sekolah hendaknya menghimbau kepada guru untuk menggunakan pendekatan
Problem Based Learning dalam melaksanakan pembelajaran, sehingga dapat tercipta suasana belajar
yang menarik serta meningkatkan aktivitas siswa serta berpartisipasi dalam memantau kegiatan
pembelajaran yang berlangsung di kelas.

249
Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika Melalui Pendektan Problem Based Learning Bagi Siswa
Kelas 4 SD (Normala Rahmadani N., Indri Anugraheni)

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Vivin Nurul. 2013. Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Melalui Model Problem
Based Learning (PBL). Journal of Elementary Education. 2 (1), 36-44.
Arends, Richard I. 2008. Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Hamalik, Oemar. 2014. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Heruman. 2013. Model PembelajaranMatematika Di SekolahDasar. Bandung:PT Remaja
Rodaskarya.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saitifik dan Kontekstual. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Indri, Anugraheni. 2017. Penggunaan Portofolio dalam Perkuliahan Pembelajaran. Jurnal
Pendidikan Dasar Perkhasa. http://jurnal.stkippersada.ac.id/ index.php/Perkhasa/
article/view/211
Ismunamto, dkk. 2011. EnsiklopediaMatematika 1. Jakarta: IkrarMandiriabadi.
Rohani, Ahmad. 2010. PengelolaanPengajaran. Jakarta: RinekaCipta.
Riyanto, yatim. 2010. Paradigma baru pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo persada.
Susanto, Ahmad. 2013. TeoriBelajar Dan Pembelajaran Di SekolahDasar.Jakarta: Kencana.
Usman, Uzer. 2011. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2003. Jakarta: Depdikbud.
Sardiman. 2014. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Sari, Deni Kartika. 2013. Penerapan Model Problem Based Learning dengan Media Power Point
untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar IPA Siswa Kelas 5 SDN 2 Mudal. Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sri Giarti. 2014. Peningkatan Keterampilan Proses Pemecahan Masalah dan Hasil Belajar
Matematika Menggunakan Model PBL Terintegrasi Penilaian Autentik Pada Siswa Kelas
VI SDN 2 Bengle, Wonosegoro. Scholaria, Vol. 4, No. 3, September 2014: 1 3-27
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Metods). Bandung:
Alfabeta.Wardani Naniek Sulistya, Slameto dan Adi Winanto. 2012. Asesmen
Pembelajaran SD. Salatiga:Widya Sari Press.
Wardani Naniek Sulistya dan Slameto. 2012. Evaluasi Proses dan Hasil Belajar. Salatiga: Widya Sari
Press.
Warsono, Hariyanto. 2013. PembelajaranAktif. Bandung: PT. RemajaRosdaskarya.

PROFIL SINGKAT
Penulis 1
Saya bernama Normala Rahmadani Nugroho. Saya lahir di Temanggung, 13 Februari 1995,
sekarang saya berusia 22 tahun. Saya lulus SMA N 1 Candiroto jurusan IPS tahun 2013, kemudian
saya melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
jurusan Pendidikan S1 Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Penulis 2
Indri Anugraheni, S.Pd, M.Pd. Lulus S1 tahun 2006, Prodi Pendidikan Matematika
Universitas Sanata Dharma. Lulus S2 tahun 2010, Program Studi Pendidikan Dasar Universitas
Negeri Yogyakarta. Saat ini menjadi Dosen di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(PGSD) UKSW.

250
THE ANALYSIS OF ENGLISH LANGUAGE EDUCATION STUDENTS’ TEACHING
SKILLS DURING MICROTEACHING: PRODUCT-PROCESS APPROACH IN TEACHING
GRAMMAR

Atalya Agustin
atalya.agustin@uph.edu
English Language Education
Faculty of Education, Universitas Pelita Harapan

ABSTRACT

Teaching grammar within the context of Second Language Acquisition


(SLA) needs both product and process approaches. Microteaching is one of the
techniques to prepare students teachers to improve their skills in this area. One of
the microteaching lessons in English Language Education Department, Teachers
College Universitas Pelita Harapan, is called Planning, Strategy, Assessment, and
Learning (PSAL) Grammar. In this class, students are exposed with the nature,
principles, and strategy of teaching and learning grammar. Students are planning
lessons related to teaching grammar in various grades as well as developing
teaching and learning material and instrument for language assessment. Students
then put them into practice in the classroom individually. Discussion on the
students ‘performances will be conducted after the microteaching session. This
research aims to analyze students’ skills in teaching grammar in microteaching
class as well as the discussing the strength and challenges arise. The type of the
research is a qualitative case study research. The data collection techniques being
used are observation, reflective journal, and Focus Group Discussion (FGD).
Moreover, the technique of analyzing the data was Miles and Huberman concept
of data reduction, data presentation, and conclusion drawing. The results of this
research will be presented in a descriptive-narrative manner by describing and
discussing students’ skills in teaching grammar in conducting process-product
approach.

Key Words: teaching and learning skills, microteaching, product-process approach,


grammar.

Article Info
Received date: 15 Agustus Revised date: 26 Agustus 2017 Accepted date: September 2017
2017

INTRODUCTION
An essential part of becoming a teacher is to teach in a holistic approach. It means that the
teacher himself/herself understand the nature and purpose of the material and also the effective way of
teaching it as well as the nature of teacher, students, and how to manage them to be able to achieve
the purpose of education. According to Undang-Undang no. 14, 2005 about teacher and lecturer in
chapter VI section 3, teachers must have several competencies such as pedagogical competence,
personality competence, professional competence and social competence. These competencies are
needed to help teachers developing well planned lesson plan, teaching, and managing the students in
class.
As a very important situated and designed teaching practice, microteaching will enhance
student teachers’ ability to teach and continuously renew the existing skills. In English Language
Education Department Universitas Pelita Harapan (UPH), one of the microteaching lessons is
Planning, Strategy, Assessment, and Learning (PSAL) Grammar. In this class, students will plan a
251
The Analysis Of English Language Education Students’ Teaching Skills During Microteaching:
Product-Process Approach In Teaching Grammar (Atalya Agustin)

lesson related to teaching grammar then practice it among peers. Feedback from peers and lecturer are
both very important as well as teachers’ own evaluation.
Students teacher in FIP UPH are prepared to be ready in teaching grammar within the context
of ESL/EFL. Obviously, they need strategy to cope with the challenges such as fluency and accuracy
in using grammar. One of the approaches which could help the teachers to teach holistically in
grammar as well as to prepare the students to have their own rationality and autonomy of using
grammar is product-process approach. By doing this, what the students have learned could be
meaningful and last longer. This is aligned with the definition of product and process approach by
Palpanadan, Rahim, and Ismail (2014) which said that process approach focuses more on the process
in achieving the goal rather that the end product like in the product approach. Nonetheless, if both
approaches are combined, teaching and learning will be more effective.

LITERATURE
Grammar, according to Thornbury (2001), is a kind of natural process which will develop in
its own harmony and in mysterious way. Teacher needs to understand it and provide such an
important yet stimulating condition. It is very challenging to teach grammar in English class.
According to Al-Mekhlafi (2011), there are many kinds of struggles met by students and teacher
regarding to grammar instruction in an ESL/EFL context. Teacher needs to understand the nature and
purpose of teaching grammar as well as the techniques for the best practices together with appropriate
and convenient assessment.
In teaching grammar, the skills have to be improved in order to cope with the challenges.
When teachers start a class, they will use skills in order to attract students’ attention, motivate them
and develop bond between students and teacher. These skills include the strategy to review previous
class’s material and connect it with the upcoming class, give instruction to the students in different
pattern, and use aids. When teachers end the class, they will draw conclusions and evaluations. This
final session in teaching includes assignments based on the teaching and learning process, questions to
check students’ understanding, as well as conclusion.
Besides equipping themselves with strong foundation related to nature and purpose of
grammar and some teaching skills, it is important to choose the suitable and comprehensive approach.
Palpanadan, Rahim, and Ismail (2014) explains about product-process approach. Product approach
asks students to produce language (essay) based on certain example. It is more on form rather than
content. Meanwhile, Process approach encourages students to experience writing process which focus
more on cognitive process (content) rather than form. Both approaches are needed when it comes to
holistic approach to language teaching and learning. If product-process approach, however, is being
used complementary, it would benefit the students with the significant advantages from both
approaches.

METHOD
This research is conducted in one of microteaching classes in 5th semester in Faculty of
Education UPH. This research is a qualitative case study research which has 1 student who major
English Language Education as the subject. Based on Bassey (1999), this research is a story-telling
type of case study which will explain the phenomena to be able to contribute in theoretical
framework. The subjects were chosen using purposive sampling. Purposive sampling, according to
Mulyana (2010) is choosing samples purposively where researchers can find samples who are willing
to give data. Moreover, there is no standard on how many samples should be used in this sampling.
The student being chosen is the one who conducted product-process approach in the microteaching.
Data collection was held in a natural setting using observation sheets. It was conducted once
in the microteaching class. Afterevery session of teaching, the student teachers wrote the reflective
journal. This journal would also be one of the instruments. Researchers also conducted Focus Group
Discussion (FGD) to get in-depth analysis towards the observation and reflection. This discussion is
to help the students to be aware of what skills they have developed well and what skills they have to
improve.
Researchers analyzed the data by examining all the data collected in observation, reflective
journal, and Focus Group Discussion. There are three steps of qualitative data analysis which are data
252
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 251 – 256

reduction, data presentation and conclusion drawing. Researchers reduce the data using microteaching
class’ rubrics. Data presentation is in form of descriptive narrative. Finally, the conclusion is drawn
through the triangulation betweenthe data from observation, reflection, and FGD

FINDINGS AND DISCUSSION


There are 1 student who became the subject of this research which are Student Teacher E (STE)). She
conducted process-product approach in the classroom to teach grammar. Based on the data obtained
from observation, reflection, and FGD, the findings are as follows:
The first basic teaching skill assessed in the microteaching rubrics is the ability to open the
class. STE opened the class by asking how the students are doing and letting one of the students to
lead in a prayer.In this opening session, teacher attracted students’ attention by using several ways,
such as explaining the agenda that they were going through that day, displaying the agenda on the
screen and using interesting audio-visual aid. STE also played her tones when she explained so that
the students would be more attracted and at the same time feel more relaxed. The teacher mentioned
the word “menu” so that the students would get interested and curious because of the unusual use of
this term. The students were all interested and focused on the screen to see what was coming.
STE: “Let’s take a look at today’s menu (while displaying the agenda on screen).
STE gave some instructions in the classroom.
First, she mentioned the rules that the students should obey during the teaching and learning
process related to behavior and attitude of the students. Second, teachers asked the student to watch
and listen carefully when teacher played something on the screen or when the teacher explained the
material. Moreover, STE asked the students to recall the material of the previous class in order to
review what they have learned before and connected the lesson they were about to experience.
One thing that really helped the student to make sense of their learning was the animation
picture of the material being displayed and followed with teacher’s instruction to guess the meaning
of the video. By doing this, the teacher encouraged the students to think critically about the material
they were about to learn and had learned. In this moment, bonding between students and teachers took
place. It was shown by the communication between both sides. Teachers gave instruction and the
students responded well. Overall, she really thought about the strategies to open the session very well
and she really took it seriously.
In her reflection, she mentioned that she thought the session went well even though there
were some weaknesses. She felt she could be more alive in carrying out herself so that the students
would feel comfortable and closer to her. She also wanted her best to pay attention to details in this
microteaching so that the students would find the teaching and learning meaningful and contextual
with their lives.
When the Focus Group Discussion (FGD) took place, the forum gave the suggestion related
to her voice which could have been louder. Her tones could have also been more playful and friendly
since she was teaching 6th graders. However, the way she opened the class has successfully attracted
students’ attention and at the same time prepared to the lesson. To respond towards the comments,
STE said that she has to improve her voice and tone variation in the next microteaching or in the next
teaching practicum. Below was the comment given by the forum:
Friend X: “Your voice needs to be louder and..um..more cheerful.”
Friend Y:”The AVA was interesting and could make the students curious.”
By comparing the data from three instruments, it is shown that she has worked well in doing
the opening that covers the ability to attract students’ attention, use aids, vary interaction pattern,
motivate, create the bond between student and teacher, give instruction, review the previous class, and
connect the previous class with the ongoing class. She was well prepared and paid attention to details.
She really planned the opening session so that it would draw students’ attention and curiosity.
Regarding her weaknesses, in the future she will develop more and have more practice.
The second aspect to be assessed was the skills of asking and answering questions. This skill
was assessed from the beginning of the session until the end. It covered the ability to encourage
students to ask, to ask questions which were in line with the material, to ask questions which
promoted students’ critical thinking as well as maximize students’ ability, and to answer the students’
questions appropriately.
253
The Analysis Of English Language Education Students’ Teaching Skills During Microteaching:
Product-Process Approach In Teaching Grammar (Atalya Agustin)

STE conducted question and answer session since the beginning of the class. She asked the
students regarding the previous lesson they had. This type of questions tried to check students’ prior
knowledge. Another question was to guide the students to guess the meaning of the video being
played. This video would prepare the students for the lesson. Below was the question:
STE: “Do you know what is it about?”
STE:”Do you know how to use “like” and “prefer” before?”
During the whilst-teaching period, STE also raised some questions as well as gave some
answers to students’ questions. She checked students’ understanding and asked their opinion towards
some topics. Some students asked some question related to the rules and procedures of their class
activities and the meaning of them. STE managed to answer them appropriately.
STE: “What do you think of………?”
Based on her reflection, she tried so hard to raise questions which had something to do with
the material. Yet, she still felt that her effort was not enough. Her questions were okay but not
specifically addressing critical thinking. She believes if she did it in the higher level, she could
perform well. Moreover, she believed that she could answer the questions from the students well.
Those questions were primarily technical. They were related to the rules and procedures of the class
activities. She expected more fundamental questions.
From the FGD with the other students, the forum appreciated the way she asked questions.
Even though the students were only grade 6, but she tried to give questions to promote critical
thinking. The questions were simple, to the point, and related to the material. The forum believed that
teacher didn’t need difficult questions to check students’ understanding and encourage them to think
critically. The forum also thought that the answer given by the teacher was appropriate. But, teacher
needed to develop the ability to encourage the student to ask more fundamental questions.
Based on the data from observation, reflection, and the FGD, it can be taken into account that
the teacher asked the questions which were in line with the material. The teacher also asked questions
to trigger the students to think critically. Sophisticated questions were not needed in this stage because
of the level of the students. Simple and to-the-point questions could still encourage students to think
critically. The teacher also had answered the questions raised by students properly. However, the
teacher still needed to develop her ability to encourage the students to ask. Strategies or certain
techniques should be used to have the students try to ask. Asking question is important because from
the question we could also check students’ understanding.
The third and fourth aspects being assessed are the skill to master and explain content
knowledge and the skill to use approach, method or strategy. These aspects would be discussed
together in this part because both of them are interrelated. STE mastered the content which was about
expressing opinion using like, prefer, and would rather. She also presented the material systematically
through several activities such as games, listening activity, and group work. It seemed that she also
followed the teaching plan well and had manages the time accordingly.
STE use process-product approach in her microteaching. This approach facilitates the
students to not only focus on the end product but also the process of understanding the material or the
cognitive structure. Since the beginning of the class, precisely before she explained the aim of the
lesson and the material, she asked the students to watch the animation about “like”, “prefer”, and
“would like”. She then asked the students to guess what topic they would learn. By doing this, STE
gave the opportunity to the students to analyze and make sense of what they had ever experienced. It
was easier then to guess what to learn and to make meaning of it. After playing the animation,
teachers discussed the material and asked them to explain what they already knew and wanted to
know. These chronological steps were actually the way STE built the cognitive structure of the
students in order to be ready for the next activities. When explaining the lesson, STE gave sample
sentences and asked the students to restate the sentences. Students were asked to create their own
sentences as the next guided activity. Finally, to strengthen the understanding, STE conducted games,
listening session, and group work activity.
Based on her reflection, STE said that she was happy with how the result turned out to be.
The students seemed to follow the instruction well and could understand the aim of the lesson. She
realized that even though it was not really an actual class, but it could portray the challenges of the
real class. It was actually a great idea to start the class with animation and developed activities out of
254
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 251 – 256

it. The combination between teacher’s guided activities and independent activities could really help
the students
FGD did show the same result with the observation and reflection. The forum mentioned that
STE master the content well, presented it systematically and followed the teaching plan. The way STE
has arranged the class also worked very well with the characteristic of the material. She worked with
the students’ understanding first and then asked them to create something as the way to check their
understanding.
Based on the three ways of data collection, it can be concluded that STE mastered the content
well, delivered it systematically and had used the right approach for her material. The way she
structured the lesson in a process and product orientation has helped the students to learn.
The last skill was the skill to make conclusion and evaluation and closing skills. After all the
students finished with the activity, STE asked them to review the material together. This was to check
students’ understanding and also to draw conclusion from today’s activity. STE reflected that she
could evaluate students’ understanding and draw conclusion well. FGD also discussed he same thing
which was teacher’s sufficient ability to check students’ understanding and conclude the lesson.
From the overall result of the study, it is shown that the student teacher conducted the
product-process approach well so that it can help the students to structure their cognitive as well as
produce expected result. This result or product could help the teacher to make sure whether the
objectives of the teaching and learning could be achieved well. This is aligned with the theory
proposed by that Palpanadan, Rahim, and Ismail (2014) that it is very important to plan the language
teaching and learning process in the classroom by embracing as well as modifying some important
aspects from both product and process approach. Process approach has its own strength in developing
firm concept and maintaining continuous learning progress. Meanwhile, product approach is able to
focus on the correct language form. Both of them could help the students especially when they have
variety of learning styles.
Another result in this study shows that through various activities in grammar class such as
games, listening section, and group work as well as the interesting audio visual aids, teacher and
student could create more relaxed atmosphere in the classroom. This could eliminate the anxiety and
difficulties in teaching and learning grammar for both teacher and student. This is aligned with the
statement by Al-Mekhlafi (2011) who said that recognizing difficulties and becoming concerned with
them could help teacher solve the problems and promote best practices in the classroom.
Student teacher did the microteaching well even though there were still some limitation in the
basic teaching skills. However, this practice is very important in the senior year as the student teacher
to improve new skills as well as upgrading the old ones even though microteaching is not the real
classroom (Duminy, MacLarty, and Massdorp, 1992). The opportunities and challenges happened in
this situated context might at least give the teacher a sneak peek before the whole performance takes
place.

CONCLUSION
Student teachers were ableperform some skills related basic teaching skills such as to open
the lesson, asking critical questions based on the material. Moreover, teacher also could conduct the
lesson holistically and aim at the objectives through product and process approach in teaching
grammar. Finally, the student teachers closed the lesson by checking understanding, drawing
conclusion, and giving assignment or instruction for the next meeting. Through the combined
approaches, teacher could help the students to structure their cognitive by conducting the process
approach and check their further understanding in language use by conducting the product approach.

REFERENCES
Al-Mekhlafi. 2011. Difficulties in Teaching and Learning Grammar in an EFL Context. International
Journal of Instruction. 4 (2): 69-92.
Bassey, Michael. 1999. Case Study Research in Educational Settings. Buckingham: Open University
Press.
255
The Analysis Of English Language Education Students’ Teaching Skills During Microteaching:
Product-Process Approach In Teaching Grammar (Atalya Agustin)

Duminy, P.A, MacLarty,. A.H, & Massdorp, N. 1992. Teaching Practice. Cape Town: MaskewMiller
Longman
Kyriacou, C. 2007. Essential Teaching Skills, 3rd ed. Cheltenham: Nelson Thornes Limited.
Mulyana, D. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Palpanadan, Thulasi, Rahim, Abdul bin Salam, and Ismail, Fauziah. 2014. Comparative Analysis of
Process Versus Product Approach of Teaching Writing in Malaysian Schools: Review of
Literature. Middle-East Journal of Scientific Research 22 (6): 789-795.
Thornbury, Scott. 2001. Uncovering Grammar. Oxford: Macmillan Heinemann.

Author”s Profile
Atalya Agustin was born in Salatiga, Central Java, 20th August 1987. Her
Undergraduate Degree is from Satya Wacana Christian University Salatiga majoring English
Language Education (2009). Meanwhile, her Master Degree is from Universitas Negeri
Semarang majoring Indonesian Language Education for Primary Education (2012). She is
now a lecturer and head of department in English Language Education, Teachers College,
Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten, Indonesia (2013-present). Her research
interests are within the area of linguistics as well as Indonesian and English language
education.

256
PEMBELAJARAN BERVISI SETS MODEL PROBLEM BASED LEARNING PADA
MATERI DAUR ULANG LIMBAH

Rosalina S. S. Son
anthyson234@yahoo.com
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) SoE

‘SETS’ PROBLEM-BASED LEARNING MODEL FOR TEACHING


WASTE RECYCLING SUBJECT MATERIAL

ABSTRACT

The lack of environment use as a source of learning and teaching leads to low
creativity and motivation. The purpose of this study is to determine the effectiveness of the
SETS Problem-Oriented Education models for the creativity and motivation of students in
SMA Negeri 1 So'e. The design of this study was quasi experimental. A post-test was done to
test group design. The sampling was done with targeted sample technique. The measured
variable is the creativity and motivation of students in class X. The analysis was to categorize
t test in the form precentage. The results showed that the visionary learning SETS PBL
models affects the creativity and motivation of students in learning recycling waste material.

Keywords: Creativity, Motivation, Problem-based Learning, SETS

Article Info
Received date: 7 Maret 2017 Revised date: 22 Agustus 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Pembelajaran bertujuan mengembangkan dimensi sikap, pengetahuan dan ketrampilan
melalui perubahan siswa yang mencari tahu, aneka sumber pembelajaran, dengan pendekatan ilmiah
yang berbasis kompetensi (Kemendikbud, 2013). Guru harus merecanakan pembelajaran yang
berpusat pada siswa untuk mendorong semangat belajar, kreativitas, motivasi, aktivitas, inovasi dan
kemandirian siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang berkaitan dengan
guru adalah dapat berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif, agar pembelajaran menjadi
efektif bagi siswa, diperlukan model pembelajaran yang sesuai dengan model belajar siswa (Chatib &
Munif, 2010). Pembelajaran yang melibatkan siswa akan lebih menarik bagi siswa, sehingga dalam
pembelajaran siswa benar-benar masuk ke dalam proses belajar. Untuk meningkatkan kualitas proses
sikap siswa, para ahli menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktif untuk kegiatan
belajar mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar konvensional yang berpusat pada
guru (teacher center) menjadi belajar yang berpusat pada siswa (student center).
Bedasarkan hasil observasi, model pembelajaran yang selama ini dilakukan di SMA Negeri 1
So’E masih menggunakan pendekatan lama (teacher center) pembelajaran yang berpusat pada guru.
Faktor pendukung lainnya yang mempengaruhi yaitu sebagian besar siswa di SMA Negeri 1 So’E
menganggap pelajaran biologi merupakan pelajaran hafalan dengan materi yang banyak, sehingga
banyak di antara mereka yang tidak menyukai mata pelajaran biologi, yang mengakibatkan motivasi
dan kreativitas siswa tidak nampak. Rendahnya kreativitas dan motivasi siswa dikarenakan proses
pembelajaran yang di terapkan selama ini masih menggunakan metode ceramah yang divariasi dengan
diskusi informasi, selain itu rendahnya tingkat kemampuan bertanya guru yang mampu
membangkitkan motivasi bagi siswa untuk mengikuti proses pembelajaran. Guru cenderung tidak
memberikan respon positif terhadap pertanyaan yang telah dirumuskan siswa, sehingga timbul rasa
tidak percaya diri dalam diri siswa dan pemahaman siswa terhadap suatu informasi tersebut masih
lemah yang mengakibatkan kreativitas dan motivasi siswa menjadi rendah. Berdasarkan pernyataan
diatas, maka perlu dikembangkan sebuah model pembelajaran yang mempunyai efektifitas/pengaruh
untuk membangkitkan semangat peserta didik agar aktif dalam proses pembelajaran. Efektifitas
adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana orang menghasilkan keluaran sesuai
257
Pembelajaran Bervisi Sets Model Problem Based Learning Pada Materi Daur Ulang Limbah (Rosalina
Sisilia Santriana Son)

dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu pekerjaan dapat diselesaikan dengan
perencanaan, baik dalam waktu, biaya mau pun mutunya, maka dapat dikatakan efektif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dunlap (2005) bahwa, dengan mengubah fokus dari
materi tertentu untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih luas, PBL dapat membantu individu
menjadi ahli dalam materi, dan pemecah masalah yang baik. Ketika siswa dihadapakan pada suatu
masalah maka kemampuan berpikir kreatifnya akan diasah dengan menunjukkan kreativitas dalam
mengembangakan dan melihat situasi permasalahan yang ada dan mengimplematesikan ide atau
solusi dalam menyelesaikan masalah.
Hasil dari beberapa penelitian di atas menyatakan pembelajaran berbasis masalah dengan
pendekatan media bahan ajar bervisi SETS merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada
kerangka kerja teoritik konstruktivisme yang mengaitkan unsur lingkungan, teknologi, sains dan
masyarakat. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, fokus pembelajaran ada pada masalah yang
dipilih sehingga pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah
tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Prandayana et al (2013:9) menyatakan bahwa PBL pada
dasarnya menekankan pentingnya membangun pengetahuan peserta didik lewat keterlibatan aktif
dalam proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran, tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan
kepada peserta didik, namun peserta didik harus aktif membangun pengetahuan yang ada di dalam
dirinya sehingga melalui pengetahuan yang dimiliki diharapkan peserta didik mampu memecahkan
permasalahan yang ada disekitarnya. Pembelajaran lebih berarti dan menyenangkan apabila peserta
didik dapat menemukan arti di dalam proses pembelajarannya dengan memberikan permasalahan
yang dekat dengan kehidupan peserta didik menimbulkan rasa senang, melalui penerapan
pembelajaran berbasis masalah maka akan berdampak positif pada motivasi belajar peserta didik.
Wulandari & Surjono (2013:188) menyatakan bahwa PBL lebih menekaknkan pada pertukaran
pendapat dan berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah. Siswa yang memiliki motivasi tinggi
akan lebih tertarik untuk mengeksplor pengetahuan dan berkeinginan untuk mengetahui suatu hal
guna menyelesaikan masalah di dunia nyata
Berdasarkan permasalahan yang muncul diperlukan tindakan dengan cara menerapkan
pembelajaran bervisi SETS dengan model problem based learning (PBL) dalam pelaksanaan
pembelajaran dikelas, sehingga diharapkan motivasi dan kreativiats siswa meningkat. Dengan
menggunakan model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu memecahkan masalah yang ada dan
mampu mengaplikasikan ilmu yang sudah mereka dapatkan di masyarakat. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan kreativitas siswa kelas X SMA Negeri 1 SoE.
Manfaat penelitian ini adalah dapat meningkatkan motivasi dan kreativitas siswa dalam pembelajaran
materi daur limbah dan dapat menjadi alternatif model pembelajaran yang bisa digunakan oleh guru di
sekolah tersebut.

KAJIAN PUSTAKA
SETS (Science, Environment, Technology & Society)
Sejumlah ciri atau karakteristik pendekatan SETS yang perlu dipahami di dalam penerapan
pembelajaran sains adalah: 1) Tetap memberi pengajaran dan pembelajaran sains. 2) Peserta didik
dibawa ke situasi untuk memanfaatkan konsep sains kebentuk teknologi untuk kepentingan
masyarakat. 3) Peserta didik diminta untuk berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang terjadi
dalam proses pentransferan sains tersebut kebentuk teknologi. 4) Peserta didik diminta untuk
menjelaskan keterhubungan antara unsur sains yang dibincangkan dengan unsur-unsur lain dalam
SETS yang mempengaruhi berbagai keterkaitan antar unsur tersebut. 5) Peserta didik dibawa untuk
mempertimbangkan manfaat atau kerugian penggunaan konsep sains tersebut. 6) Dalam konteks
kontruktivisme, peserta didik dapat diajak berbincang tentang SETS dari berbagai macam arah dan
dari berbagai macam titik awal tergantung pengetahuan dasar yang dimiliki oleh peserta didik
bersangkutan (Binadja, 2008:260).

258
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 257 – 266

Jadi dalam pembelajaran bervisi SETS, siswa diajak untuk melakukan pengamatan dengan
mengamati kondisi lingkungan yang ada di sekitar serta mengkaitkan antara unsur sains dalam
pembelajaran yang sedang diikuti dengan teknologi dan masyarakat yang ada pada tempat tersebut.

Society

Science

Environment Technology

Gambar 1
Keterkaitan antar unsur SETS (Binadja 2005)

Pada gambar 1 dapat dikatakan bahwa pendekatan SETS memiliki makna pengajaran sains
yang dikaitkan dengan unsur lain dalam SETS, yaitu lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Sains
tidak berdiri sendiri di masyarakat karena keterkaitan dan ketergantungannya pada unsur-unsur
tersebut.

Problem Based Learning (PBL)


Salah satu hal yang menarik mengapa problem based learning penting untuk diterapkan
adalah ditunjukkan oleh beberapa penelitian yang mendahuluinya. PBL adalah pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student oriented). PBL adalah pembelajaran berdasarkan masalah yang
dirancang untuk membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berpikir, ketrampilan
menyelesaikan masalah, ketrampilan intelektualnya, sehingga menjadi pelajar yang mandiri dan
otonom (Arends, 2008: 390). PBL merupakan sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada
prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau
mengitegrasikan ilmu (knowledge) baru (Barrow, 2005). Proses pembelajaran dalam PBL, siswa di
tuntut untuk mampu bekerja secara kolaboratif untuk mencapai hasil bersama, dimulai dari
pendefenisian masalah, kemudian siswa melakukan diskusi untuk menyamakan persepsi tentang
permasalahan serta menetapkan tujuan dan target yang harus dicapai dan setelah itu siswa mencari
bahan dari sumber-sumber di perpustakaan, internet, melalui personal atau observasi, dengan bantuan
guru sebagai fasilitator siswa akan melakukan presentasi untuk menyampaikan hasil diskusi
kelompoknya.
Pembelajaran berbasis masalah adalah inovasi dalam pembelajaran karena dalam
pembelajaran berbasis masalah kemampuan berpikir siswa betul-betul dioptimalisasikan melalui
proses kerja kelompok atau kerja tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan,
mengasah, menguji dan mengembangkan kemampuna berpikirnya secara optimal (Rusman,
2010:232). Teori pembelajaran berbasis masalah dikembangkan oleh Jhon Dewey yang menekankan
adanya hubungan dua arah dalam pembelajaran dan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan. Proses
pembelajaran yang baik tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta didik, namun
peserta didik harus aktif membangun pengetahuan yang ada di dalam dirinya sehingga pengetahuan
yang dimiliki diharapkan peserta didik mampu memecahkan permasalahan yang ada disekitarnya.

259
Pembelajaran Bervisi Sets Model Problem Based Learning Pada Materi Daur Ulang Limbah (Rosalina
Sisilia Santriana Son)

Langkah-langkah model PBL menurut Miao (2007) yang disajikan dalam ilustrasi berikut.

START
trr

END

Gambar 2. Langkah-langkah PBL

Pembelajaran berbasis masalah memiliki berbagai keunggunlan, seperti yang dikemukakan


oleh Lasmawan & Wayan (2010:330) yaitu, meningkatkan prestasi belajar peserta didik, mentransfer
pengetahuan untuk menghadapi masalah dalam kehidupan nyata, mendorong siswa untuk dapat
melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya, dan dapat memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam kehidupan nyata.
Peran guru sebagai fasilitator sangat penting karena berpengaruh kepada proses belajar siswa.
Walaupun siswa lebih banyak belajar sendiri tetapi guru juga memiliki peranan yang sangat penting.
Peran guru sebagai tutor adalah memantau aktivitas siswa, memfasilitasi proses belajar dan
menstimulasi siswa dengan pertanyaan. Guru harus mengetahui dengan baik tahapan kerja siswa
baika aktivitas fisik ataupun tahapan berpikir siswa (Barret, 2005)

Kreativitas
Pentingnya kreativitas tertera dalam Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 yang
intinya antara lain adalah melalui pendidikan diharapkan dapat mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, juga mandiri. Kreativitas dapat
menjadi kekuatan (power) yang menggerakkan manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa
menjadi bisa, bodoh menjadi cerdas, pasif menjadi aktif, dan sebagainya. Kreativitas merupakan
proses konstruksi ide orisinil dan bermanfaat, dalam prosesnya melibatkan mental yang yang
memunculkSSan gagasan atau konsep baru, atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang
sudah ada (Andang, 2006:6). Kreativitas adalah inisiatif terhadap suatu produk atau proses yang
bermanfaat, benar, tepat dan bernilai terhadap suatu tugas yang bersifat heuristic yaitu sesuatu yang
merupakan pedoman, petunujuk atau panduan yang tidak lengkap akan menuntut kita untuk mengerti,
mempelajari atau menemukan sesuatu yang baru. Memahami kerativitas (daya cipta) akan
memberikan dasar yang kuat agar siswa dapat menyelesaikan suatu permasalahan dengan
pengetahuan yang telah didapat. Menurut kreativitas adalah “berpikir sesuatu yang baru” kreativitas
sebagai kemampuan untuk mengembangkan ide-ide yang baru dan untuk menemukan cara-cara baru
dalam memecahkan persoalan dalam mengahadapi peluang, dimana kreativitas terbuka terhadap
pengalaman, suka memperhatikan, melihat sesuatu dengan cara yang berbeda.
Setiap orang memiliki kreativitas dan kreativitas itu dapat dikembangkan. Pengembangan
kreativitas hendaknya dipupuk secara dini, sebab kalau tidak dipupuk maka kreativitas itu tidak akan
260
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 257 – 266

berkembang. Hal ini sejalan dengan pendapat Trianto (2007:137) yang memberikan alasan bahwa
kreativitas anak perlu dikembangkan karena, dengan berkreasi anak dapat mewujudkan dirinya;
sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu
masalah, memberikan kepuasan kepada individu dan memungkinkan meningkatkan kualitas
hidupnya.

Motivasi
Motivasi merupakan energi dalam diri setiap individu yang ditandai dengan munculnya rasa
dan afeksi seseorang dan motivasi akan dirangsang dengan adanya tujuan (Sardiman, 2008). Motivasi
belajar dalam pembelajarn menjadi faktor yang sangat penting karena motivasi belajar di dalam diri
pebelajar akan mempercepat pencapaian tujuan. Guru dalam hal ini, sangat berkewajiban untuk selalu
berusaha membangkitkan motivasi belajar siswa. Dalam teori behaviorisme menyatakan bahwa
motivasi untuk mempertahankan proses belajar yang di dorong oleh insentif eksternal, sehingga dalam
proses pembelajaran guru hendaknya mampu memberikan apresiasi maupun insentif yang sifatnya
sebagai motivasi eksternal bagi pebelajar.
Proses belajar mengajar tak lepas dari dorongan atau motivasi siswa. Pada dasarnya
motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, menggarahkan dan menjaga tingkah
laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau
tujuan tertentu. Motivasi belajar adalah kecenderungan siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang
didorong oleh hasrat untuk mencapai prestasi atau hasil belajar sebaik mungkin. Motivasi dipandang
sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku
belajar (Suparyanto, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh (Santoso, 2014: 9) menyatakan bahwa, motivasi prestasi
siswa pada pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan motivasi prestasi siswa pada
pembelajaran langsung, dimana pada pembelajaran di kelas telah berpusat pada siswa yang membuat
siswa aktif dan dapat mengkontruksikan pengetahuannya berdasarkan ide-ide dan pengetahuan yang
telah didapat sebelumnya.
Motivasi dalam belajar dapat menumbuhkan hasrat dan keinginan untuk belajar yang lebih
bermakna. Kegiatan pembelajaran yang telah dipersiapkan guru diharapkan dapat sesuai dengan apa
yang telah direncanakan dan tujuan yang ingin dicapai. Salah satu tujuan pembelajaran adalah
perubahan tingkah lakuh yang berupa sikap ilmiah. Upaya yang dilakukan guru dan siswa untuk
mencapai tujuan tersebut terdapat faktor motivasi yang terdapat dalam diri siswa, dimana hal ini tidak
bisa diabaikan oleh seorng guru. Siswa yang telah termotivasi dalam belajar akan menunjukkan
kreativitasnya secara mendalam saat mengikuti pelajaran dikelas. Peranan dari motivasi adalah hal
menumbuhkan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar.

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Quasi Experimental untuk membandingkan
perlakuan belajar mengajar pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Desain penelitian yang
digunakan adalah post-test only control group design (Millan & Schumacher, 2001). Desain
eksperimen penelitian disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Desain penelitian


Group Treatment Postest
A X1 O
B X2 O
Keterangan:
A : kelas eksperimen
B : kelas kontrol
X1: perlakuan dengan pembelajaran bervisi SETS dengan model PBL
X2: perlakuan dengan pembelajaran konvensional
O : post-test

261
Pembelajaran Bervisi Sets Model Problem Based Learning Pada Materi Daur Ulang Limbah (Rosalina
Sisilia Santriana Son)

Pada kelas eksperimen dilaksanakan pembelajaran dengan bahan ajar bervisi SETS dengan
model pembelajaran PBL (X1) dan pada kelas kontrol meggunakan pembelajaran konvensional (X2).
Pada akhir pembelajaran, siswa di kedua kelas mendapat tes akhir (O).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi perangkat pembelajaran dan
pengembangan instrumen. Perangkat pembelajaran terdiri dari silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS) untuk kelas eksperimen. Instrument pengukuran
berupa lembar obseravsi kreativitas dan nagket motivasi siswa. Observasi dilakukan untuk mengukur
kreativitas dan motivasi siswa saat proses belajar mengajar yang dilakukan di dalam maupun di luar
kelas. Observasi dilakukan oleh guru bidang studi pada ke 2 kelas sampel yang digunakan, pengisian
angket dilakukan oleh siswa pada masing-masing kelas setelah proses belajar mengajar selesai.
Data hasil kreativitas dan motivasi siswa diperoleh dari hasil pengamatan dan pengisian
angket, dengan perincian skor menggunakan skala likert (SL)

Tabel 2 Kategori Penskoran Kreativitas

Skor Keterangan
4 Selalu
3 Sering
2 Jarang
1 Tidak pernah
(Sugiyono, 2012:199)

Tabel 3 Kategori Penskoran Motivasi

Pertanyaan Positif Pertanyaan Negatif


Sangat Setuju (SS) = 5 Sangat Setuju (SS) = 1
Setuju (S) = 4 Setuju (S) = 2
Ragu (RG) = 3 Ragu (RG) = 3
Tidak setuju (TS) = 2 Tidak Setuju (TS) = 4
Sangat Tidak Setuju (TSJ) = 1 Sangat Tidak Setuju (TSJ) = 5
(Riduwan, 2005: 87)

Tabel 4 Kategori Penilaian Tingkat Kreativitas dan Motivasi Siswa

Nilai % Keterangan
81< TK ≤100 Sangat tinggi
61< TK ≤ 80 Tinggi
41< TK ≤ 60 Sedang
21 < TK ≤ 40 Rendah
0 < TK ≤ 20 Sangat rendah
(Syah, 2003)

Nilai atau skor kreativitas dan motivasi yang diperoleh di analisis menggunakan t-test
dengan bantuan SPSS 17. Nilai yang diperoleh akan diolah dan dikonversikan melalui kategorisasi
dalam bentuk presentase (%)dengan rumus sebagai berikut:

(Purwanto, 2006:45)

Keterangan:
NP: Nilai persen yang dicari atau diharapkan
R : Skor mentah yang diperoleh siswa
SM: Skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan

262
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 257 – 266

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Kreativitas Siswa

Uji efektivitas pembelajaran bervisi SETS dengan model PBL terhadap kreativitas siswa
dilakukan uji t dengan taraf signifikansi α = 0,05 menggunakan software SPSS 17. Dari hasil
perhitungan, diperoleh skor tertinggi pada kelas ekperimen 40 dan skor terendah adalah 31, sedangkan
pada kelas kontrol 40 dan skor terendah 23. Nilai rata-rata dari masing-masing kelas setelah di
konversikan melalui kategorisasi dalam bentuk presentase (%), pada kelas eksperimen mendapat nilai
presentase 93 % sedangkan pada kelas kontrol mendapat nilai presentase 83 %.
Hasil analisis independent sample test menunjukkan bahwa thitung (3,887) > ttabel5 % (2,042)
sehingga Ha yang menyatakan adanya perbedaan rata-rata skor kreativitas siswa antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran bervisi SETS
dengan model PBL efektif terhadap kreativitas siswa.

Gambar 2. Motivasi Siswa

Uji Efektivitas pembelajaran bervisi SETS model PBL terhadap motivasi siswa dilakukan
uji t dengan taraf signifikansi α = 0,05 menggunakan software SPSS 17. Data hasil skor perhitungan
nilai motivasi siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yang dilakukan dengan uji t dapat dilihat
pada. Rata-rata setelah di konversikan melalui kategorisasi dalam bentuk presentase (%), kelas
eksperimen untuk 79 % sedangkan kelas kontrol 78 %.
Hasil analisis independent sample test menunjukkan bahwa thitung (0,068) <ttabel5 % (2,042)
sehingga Ha yang menyatakan adanya perbedaan rata-rata skor motivasi siswa antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran bervisi SETS dengan
model PBL tidak efektif terhadap motivasi siswa. Hasil penelitian berdasarkan gambar 1 diperoleh
dari lembar observasi yang diisi oleh guru mata pelajaran sebagai observer. Hasil kajian terhadap
lembar observasi menunjukkan semua siswa mempunyai kreativitas yang tinggi pada saat
pembelajaran. Skor rata-rata kreativitas yang diperoleh dikategorisasikan dalam bentuk persentase,
siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol mempunyai tingkat kreativitas yang sama yaitu sangat
tinggi. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan menggunakan model PBL
263
Pembelajaran Bervisi Sets Model Problem Based Learning Pada Materi Daur Ulang Limbah (Rosalina
Sisilia Santriana Son)

memiliki kreativitas berbeda dengan siswa yang diajarkan menggunakan model konvensional, dengan
melakukan uji statistik terdapat perbedaan nilai rata-rata kreativitas siswa, pada kelas eksperimen
lebih tinggi dibandingkan siswa dikelas kontrol.
Hasil penelitian berdasarkan gambar 1 ini sesuai dengan apa yang dikatakan Dunlap (2005)
bahwa, dengan mengubah fokus dari materi tertentu untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih
luas, PBL dapat membantu individu menjadi ahli dalam materi, dan pemecah masalah yang baik.
Ketika siswa dihadapakan pada suatu masalah maka kemampuan berpikir kreatifnya akan diasah
dengan menunjukkan kreativitas dalam mengembangakan dan melihat situasi permasalahan yang ada
dan mengimplematesikan ide atau solusi dalam menyelesaikan masalah. Hasil yang diperoleh
menunjukkan pembelajaran bervisi SETS model PBL efektif terhadap kreativitas siswa.
Hasil penelitian berdasarkan Gambar 2, diperoleh dari angket yang disebarkan pada siswa
diakhir pembelajaran, angket yang disebarkan terdiri dari 2 tipe yaitu pertanyaan positif dan
pertanyaan negatif. Hasil kajian terhadap angket menunjukkan semua siswa mempunyai motivasi
yang baik pada saat pembelajaran

Pembahasan
Model pembelajaran konvensional dalam pembelajaran IPA Biologi yang biasa digunakan,
tidak memperlihatkan kreativitas siswa. Siswa lebih banyak mendengarkan ceramah kemudian siswa
diberikan pertanyaan atau berupa latihan soal berhitung. Kondisi pembelajaran yang seperti ini sangat
membosankan bagi siswa. Siswa kesulitan untuk memahami pelajaran karena siswa datang kelas
dianggap tidak memiliki pengetahuan awal tentang konsep fisika yang akan diberikan. Penelitian ini
telah mengungkapkan bahwa model PBL memberikan pengaruh yang positif terhadap kreativitas
siswa. Penerapan model PBL dalam pembelajaran, secara nyata peneliti melihat kreativitas siswa
dapat dibangkitkan serta perhatian siswa terhadap masalah dan pembelajaran yang diberikan sangat
baik. Siswa lebih leluasa dalam penyampaian ide dan pendapat serta kerja sama siswa terlihat sangat
baik dalam kerja kelompok..
Motivasi belajar yang ada pada setiap individu disadari berbeda sesuai dengan pengaruh
lingkungan yang ada di sekitar peserta didik itu sendiri (Hanafiah dan Cucu, 2009: 27), namun
penerapan pembelajaran berbasis masalah memberikan pengaruh terhadap motivasi belajar peserta
didik ke arah yang lebih baik, karena pembelajaran berbasis masalah memberikan pemahaman
(comprehension) yang jelas mengenai proses pembelajaran, adanya iklim belajar yang kompetitif
secara sehat dan suasana lingkungan sekolah yang sehat.
Berdasarkan uji statistik yang diperoleh, nilai rata-rata motivasi siswa di kelas eksperimen
dan kelas kontrol tidak mempunyai perbedaan, dari hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa
pembelajaran bervisi SETS model PBL tidak efektif terhadap motivasi siswa. Namun berdasarkan
kategorisasikan dalam bentuk presentase, siswa pada masing-masing kelas mempunyai tingkat
motivasi yang tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain: ditunjukkan oleh minat siswa
yang baik dalam pembelajaran, siswa tekun dalam mengerjakan proyek/tugas yang diberikan dan
siswa senang mencari solusi dalam memecahkan masalah/ manjawab pertanyaan saat berdiskusi di
kelas.
Keterlibatan aktif siswa pada tahap pemecahan masalah lewat LDS dapat membangun
pengetahuan siswa itu sendiri begitupun pengelompokan dalam belajar dapat memfasilitasi siswa
untuk berkolaborasi, saling tukar pikiran, saling mengajari, serta dapat menyelesaikan permasalahan
dengan banyak cara karena memungkinkan timbulkan berbagai pemikiran yang berbeda (Tomi Utomo
et al, 2014:9). Penggunaan lembar kerja siswa (LKS), dan lingkungan sebagai sumber belajar
dengan model PBL yang dilakukan dalam proses pembelajaran, mempunyai peran yang besar dalam
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan siswa akan materi yang sedang dipelajari guna untuk
meningkatkan kreativitas dan motivasi siwa dalam pembelajaran.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut. Terdapat perbedaan kreativitas siswa pada pembelajaran materi daur ulang limbah yang
signifikan antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang
mengikuti model pembelajaran konvensional pada siswa kelas X SMA Negeri 1 So’E. Adanya
264
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 257 – 266

perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pembelajaran bervisi SETS model PBL berpengaruh
positif terhadap kreativitas siswa dibandingkan dengan model konvensional pada materi daur ulang
limbah, sedangkan pada motivasi siswa tidak terdapat perbedaan nilai motivasi siswa secara
signifikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, namun untuk motivasi siswa pada kedua kelas
tersebut berada pada kategorisasi yang tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bervisi
SETS model PBL pada pembelajaran materi daur ulang berpengaruh terhadap motivasi siswa.
Jadi, berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut.
(1) Pembelajaran bervisi SETS dengan model PBL hendaknya dapat diimplementasikan dan
dikembangkan dilapangan sebagai alternatif pembelajaran khususnya dalam upaya untuk
meningkatkan kreativitas dan motivasi siswa. (2) Kemudian bagi peneliti lain hasil penelitian ini
diharapkan menjadi salah satu sumber informasi untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang
pembelajaran bervsisi SETS model PBL dalam bidang ilmu biologi maupun bidang ilmu lainnya,
agar memperhatikan kendala- kendala yang dialami dalam penelitian ini sebagai bahan pertimbangan
untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terima kasih kepada SMA Negeri 1 Soe yang telah menerima saya sebagai peneliti di sekolah
tersebut, para pembimbing yang dengan sabar membimbing peneliti, kapada orang tua yang selalu
membantu dalam hal moril maupun materi dan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan dan
perlindungan.

DAFTAR RUJUKAN
Andang, I. 2006. Educations Games; Menjadi Cerdas dan Ceria dengan Permaian Edukatif.
Yogyakarta: Pilar Media-Anggota IKPJ.
Arends, R. 2008. Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Barrow., C.J. (2005). Environmental Management and Development. Routledge, London
Binadja., A. 2005. Pedoman Praktis Pengembangan Bahan Pembelajaran Berdasar Kurikulum 2004
Bervisi dan Berpendekatan SETS. Semarang: Laboratorium SETS Unnes.
Binadja, A., Wardani & Nugroho, S. 2008. Keberkesanan Pembelajaran Kimia Materi Ikatan Kimia
Bervisi SETS pada Hasil Belajar Siswa. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia. 2 (2): 256-262
Chatib & Munif. 2010. Sekolahnya Manusia (Sekolah Berbasis Multple Itelligences di Indonesia.
Bandung: Kaifa
Dunlap, J. C. (2005). Problem‐based learning and self‐efficacy: How a capstone course
prepares students for a profession. Educational Technology, Research and
Development, 53(1), 65–85.
Hanafiah, Nanang dan Cucu., S. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika aditama.
Kemendikbud. 2013. Permendikbud RI No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah. Jakarta: Kemendikbud.
Lasmawan & Wayan. 2010. Menelisik Pendidikan IPS dalam Perpekstif Kontekstual-Empiris.
Singaraja: Mediakom Indonesia Press Bali.
Millan., J. H., & Schumarcher,S. 2001. Research in Education, Fifth Edition. New York: Longman
Pradnyana., P.B., Marhaeni, A.A.I.N., & Candiasa, I Made. (2013). Pengaruh Pembelajaran Berbasis
Masalah Terhadapa Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD. e-
Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar.
1 (3): 1-10
Purwanto. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

265
Pembelajaran Bervisi Sets Model Problem Based Learning Pada Materi Daur Ulang Limbah (Rosalina
Sisilia Santriana Son)

Riduwan., M.B.A. 2012. Dasar-Dasar Statistika. Alfabeta: Bandung


Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Santoso., F.G.I. 2014. Pengaruh Pembelajarn Berdasarkan Masalah Terhadap Motivasi Berprestasi
Belajar Matematika Pada Siswa SMP. Jurnal FMIPA.1 (2): 1-10.
Sardiman, A. M. 2008. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Suparyanto., M. 2012. Apa Itu Motivasi. Jakarta http://www.motivasi belajar.wordpress.com
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Syah., M. 2003. Kategori Peningkatan Kretivitas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tomi., U., Dwi.,W.,& Slamet.,H. 2014. Pengaruh Model Pembelajarn Berbasis Masalah (Problem
Based learning) Terhadap Kemampuan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa.
Jurnal Edukasi Unej. 1 (1): 5-9
Trianto. 2007. Model-Model Pemelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik Konsep Landasan
Teori-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Cetakan pertama.
Wulandari.,B., & Surjono.,H.D. 2013. Pengaruh Problem Based Learning Terhadap Hasil belajar
ditinjau dari Motivasi Belajar PLC di SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi. 3 (2): 178-190.

PROFIL SINGKAT
Nama : Rosalina Sisilia Santriana Son
TTL : SoE, 08-Agustus-1987
Almamater : S1Biologi Universita Kristen Sastya Wacana Salatiga lulus
2012, S2 Pendidikan Biologi Universitas Negeri Semarang
lulus 2015
Pekerjaan : Dosen
Mata Kuliah yang diampu : Mikrobiologi, Teknik Pengolahan Limbah, Genetika,
Seminar Proposal.

266
PERBEDAAN PENGARUH MODEL STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD)
DAN NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA
SISWA KELAS V SD

Nur Halimah, Sumardjono


292013139@student.uksw.edu, sumardjonopm@staff.uksw.edu
PGSD UKSW Salatiga

THE DIFFERENCE OF STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) AND


NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) MODEL INFLUENCE TO
MATHEMATICS LEARNING OUTCOMES OF 5TH GRADE STUDENTS

ABSTRACT

This study aimed to determine the significance of the influence differences between the
use of Student Teams Achievement Division (STAD) model and Numbered Heads Together
(NHT) model on the 5th grade students in mathematics learning outcomes. The type of
research was a quasi experiment with an unpredictable Pretest Posttest design. The subjects
of the study were students in school ”X” as experimental class 1, and students in school “Y”
as experiment class 2. The variables in this study consisted of independent variables, namely
Student Teams Achievement Division (STAD) model, Numbered Heads Together (NHT) model
and dependent variable was learning outcome. Data collection was done by test technique.
The data analysis technique used T test with Independent T test Sample applied to posttest
value. The result of t test of posttest value of experiment group 1 and experiment group 2
showed that the value was in significance of 0,019 ˂ 0,05. As the significance showed ˂
0,05, hence Ho was rejected and Ha was accepted with conclusion that there was significant
difference between the models to the learning result. The significant difference outcomes was
supported by the difference average of two research samples, where the average of learning
outcomes with STAD was 77.89, while the average of learning outcomes with learning model
was 85.53. This meant that the learning treatment with NHT model has different significant
impact compared to the STAD learning model in mathematics learning outcomes of grade 5.

Keywords : Student Teams Achievement Division (STAD), Numbered Heads Together (NHT),
Learning Outcomes, Mathematics

Article Info
Received date: 27 April 2017 Revised date: 9 Mei 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan matematika merupakan hal
yang berpengaruh pada rendahnya kualitas pembelajaran matematika. Pada umumnya proses
pembelajaran yang dilakukan guru sering menggunakan metode konvensional, metode yang membuat
siswa tidak gembira menghadapi pelajaran. Dalam hal ini siswa hanya diposisikan sebagai pendengar
guru, sehingga siswa mengalami kebosanan dalam mengikuti proses pembelajaran tersebut.
Penggunaan strategi pembelajaran sangat mempengaruhi proses pembelajaran dan berpengaruh pada
hasil belajar siswa. Selain itu, kondisi siswa yang pasif dan tidak terkendali juga sangat
mempengaruhi proses pembelajaran sehingga guru akan merasa gagal dalam mengondisikan kelas.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya pada pembelajaran
matematika perlu adanya suasana belajar yang akan membuat siswa aktif, misalnya dengan memilih
strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan. Slavin (2016:
55) mengatakan bahwa strategi pembelajaran STAD merupakan salah satu strategi pembelajaran
kooperatif yang paling sederhana, dan menekankan aktitivitas serta interaksi diantara siswa.
Keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan, sehingga
pembelajaran lebih bermakna dan matematika tidak lagi dianggap sulit.
267
Perbedaan Pengaruh Model Student Teams Achievement Division (STAD) Dan Numbered Heads
Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD (Nur Halimah, Sumardjono)

Selain menggunakan model STAD dapat juga digunakan model NHT yang merupakan bagian
dari model pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Huda (2014:
203) Strategi pembelajaran NHT adalah strategi yang memberi kesempatan siswa untuk saling
berbagi pendapat dalam sebuah kelompok kecil dimana setiap anggota kelompok mendapatkan nomor
yang berbeda-beda.
Model kooperatif tipe STAD dan NHT memiliki persamaan dimana kedua model ini sama-
sama membagi siswa menjdai beberapa kelompok dan siswa saling bekerjasama dengan
kelompoknya. Rendahnya hasil belajar siswa dalam pokok bahasan operasi hitung pecahan
disebabkan juga karena siswa kurang mampu mengkongkritkan konsep yang dijelaskan oleh guru
sehingga menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam penguasaan konsep. Untuk mempermudah
penyampaian materi ini diperlukan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk saling
berbagi wawasan, informasi, dan konsep pemikiran masing-masing siswa. Selain strategi
pembelajaran, kemampuan komunikasi matematis juga sangat berperan dalam keberhasilan proses
pembelajaran. Menurut Susanto (2012: 213) komunikasi matematis dapat diartikan sebagai suatu
peristiwa dialog atau saling hubungan yang terjadi dilingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan
pesan, dan pesan yang dialihkan berisikan tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya
berupa konsep, rumus, atau penyelesaian masalah.Perbedaan kemampuan komunikasi matematis yang
dimiliki setiap siswa juga berperan dalam menentukan hasil belajar matematika siswa.
Dari penelitian skripsi sebelumnya yang dilakukan oleh Titi Nurhalimah (2008) yang berjudul
“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan NHT pada Pelajaran Matematika Pokok
Bahasan Himpunan”. Memperoleh hasil model pembelajaran NHT lebih baik daripada model
pembelajaran STAD dengan hasil rata-rata model NHT meningkat 28,68 sedangkan moel
pembelajaran STAD meningkat 28,05. Sedangkan penelitian lain dilakukan oleh Misbahul Ibad
(2011) yang berjudul “Eskperimentasi Pembelajaran Matematika Metode Kooperatif Tipe STAD dan
NHT ditinjau dari gaya belajar siswa”. Diperoleh hasil bahwa penggunaan model pembelajaran tipe
NHT lebih unggul dibanding model pembelajaran STAD Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Pengaruh Penggunaan Model Student Teams
Achievement Division (STAD) dan Model Numbered Heads Together (NHT) terhadap Hasil Belajar
Matematika Kelas V SD”.

KAJIAN PUSTAKA
Depdiknas mengemukakan matematika diambil dari salah satu kata dalam bahasa latin
“mathemata” yang memiliki arti “sesuatu yang dipelajari”. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal
dengan sebutan “wiskunde” yang memiliki arti “ilmu pasti”. Jadi secara umum dapat diartikan bahwa
matematika merupakan salah satu ilmu yang mendasari kehidupan manusia. Sedangkan Sukardjono
(2008: 1-2) mendefinisikan matematika adalah cara atau metode berpikir dan bernalar, bahasa
lambang yang dapat dipahami oleh semua bangsa berbudaya, seni seperti pada musik penuh dengan
simetri, pola, dan irama yang dapat menghibur, alat bagi pembuat peta arsitek, navigator angkasa luar,
pembuat mesin, dan akuntan. Lebih lanjut Ismail dalam Ali Hamzah (2014: 48) mendefinisikan
hakikat matematika adalah ilmu yang membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas
masalah-masalah numerik, mengenai kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan
struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa matematika adalah ilmu deduktif yang mempelajari struktur dan pola yang terorganisasi dan
saling berhubungan satu sama lain. Dalam hal ini berarti konsep-konsep matematika tersusun secara
hirarkis yaitu konsep baru terbentuk karena ada pemahaman terhadap konsep sebelumnya.

268
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 267 - 275

Pembelajaran Kooperatif
Rusman (2011: 203) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif yaitu strategi
pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi
dalam sistem belajar yang kooperatif, siswa belajar bekerjasama dengan anggota lainnya. Dalam
model ini siswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu mereka belajar untuk dirinya sendiri dan
membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah anggota
kelompok untuk belajar. Siswa belajar bersama dalam sebuah kelompok kecil dan mereka dapat
melakukannya seorang diri. Sedangkan pembelajaran kooperatif menurut Anita Lie dalam Isjoni
(2014: 16) yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Lebih jauh dikatakan bahwa
Pembelajaran kooperatif hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di
dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sidah ditentukan dengan jumlah
anggota kelompok pada umumnya terditi dari 4 – 6 orang saja.
Slavin (2016: 4) menyebutkan pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam
metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling
membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Cara belajar kooperatif jarang
sekali menggantikan pengajaran yang di berikan oleh guru, tetapi lebih seringnya menggantikan
pengaturan tempat duduk yang individual, cara belajar individual, dan dorongan yang individual.
Lebih lanjut pendapat Djahiri dalam Isjoni (2014: 19) menyebutkan pembelajaran kooperatif sebagai
pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa
sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan
belajarnya. Pembelajaran kooperatif dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang
terarah, terpadu, efektif-efisien, ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan
saling membantu sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan peserta
didik lainnya dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru untuk mencapai proses dan
hasil belajar yang produktif secara terarah, terpadu dan efektif-efisien.

Student Teams Achievement Division (STAD)


Menurut Karuru (2003: 791-792) menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
Student Teams Achievement Division (STAD) dicirikan oleh suatu struktur tugas, tujuan, dan
penghargaan kooperatif. Siswa bekerja sama dalam situasi semangat pembelajaran kooperatif seperti
membutuhkan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan mengkoordinasikan usahanya dalam
menyelesaikan tugas. Sedangkan Slavin (2016: 214) mengemukakan bahwa gagasan utama di
belakang Student Teams Achievement Division (STAD) adalah memacu siswa agar saling mendorong
dan membantu satu sama lain untuk menguasai keterampilan yang diajarkan guru. Jika siswa
menginginkan kelompok memperoleh hadiah, mereka harus membantu teman sekelompok mereka
dalam mempelajari pelajaran. Mereka harus mendorong teman sekelompok untuk melakukan yang
berharga dan menyenangkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model Student Teams Achievement
Division (STAD) adalah suatu model atau strategi yang ada di dalam pembelajaran kooperatif yang
mengelompokkan 4-5 orang ke dalam satu kelompok yang berbeda kemampuan belajarnya, jenis
kelamin, maupun sukunya.
Miftahul Huda (2015: 202) memaparkan bahwa langkah – langkah pembelajaran Kooperatif
Student Teams Achievement Division (STAD) adalah sebagai berikut: 1) Penyampaian tujuan dan
motivasi; menyampaikan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan
memotivasi siswa untuk belajar, 2) Pembagian kelompok; siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok,
dimana setiap kelompoknya terdiri dari 4-5 siswa yang memprioritaskan keragaman kelas dalam hasil
akademik, jenis kelamin, suku ras, 3) Presentasi dari guru; guru menyampaikan materi pelajaran
dengan terlebih dahulu menjelaskan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan tersebut serta
pentingnya pokok bahasan tersebut dipelajari. Guru memberi motivasi siswa agar dapat belajar
dengan aktif dan kreatif, 4) Kegiatan belajar dalam tim (kerja tim); Siswa belajar dalam kelompok
yang telah dibentuk. Guru menyiapkan lembaran kerja sebagai pedoman bagi kerja kelompok,
sehingga semua anggota menguasai dan masing-masing memberikan kontribusi. Selama tim bekerja,
269
Perbedaan Pengaruh Model Student Teams Achievement Division (STAD) Dan Numbered Heads
Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD (Nur Halimah, Sumardjono)

guru melakukan pengamatan, memberikan bimbingan, dorongan dan bantuan bila diperlukan. Kerja
tim ini merupakam ciri terpenting dari model Student Team Achievement Division (STAD), 5) Kuis
(evaluasi); guru mengevaluasi hasil belajar melalui pemberian kuis tentang materi yang dipelajari dan
juga melakukan penilaian terhadap presentasi hasil kerja masing-masing kelompok. Siswa diberikan
kursi secara individual dan tidak dibenarkan bekerja sama. Ini dilakukan untuk menjamin agar siswa
secara individu bertanggung jawab kepada diri sendiri dalam memahami bahan ajar tersebut. Guru
menetapkan skor batas penguasaan untuk setiap soal, dan 6) Penghargaan hasil belajar siswa; setelah
pelaksanaan kuis, guru memeriksa hasil kerja siswa dan diberikan angka dengan rentang 0-100.
Selanjutnya pemberian penghargaan atas keberhasilan kelompok dapat dilakukan oleh guru.

Numbered Heads Together (NHT)


Model Number Heads Together (NHT) mengacu pada belajar kelompok siswa. Masing-
masing anggota memiliki bagian tugas (pertanyaan) dengan nomer yang berbeda-beda. Pembelajaran
Model Number Heads Together (NHT) ini dikembangkan oleh Spenser Kagan pada tahun 1993.
Dalam kegiatan pembelajarannya setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk menunjang
timnya guna memperoleh nilai yang maksimal sehingga termotivasi untuk belajar. Setiap diri individu
merasa mendapat tugas dan tanggung jawab sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
Dalam pembelajaran ini tidak ada pemisahan antara siswa yang satu dan siswa yang lain dalam satu
kelompok untuk saling memberi dan menerima antara satu dengan yang lain (Shoimin, 2014: 51-52).
Langkah-langkah pembelajaran model NHT (Shoimin, 2014: 108) adalah sebagai berikut:
a. Siswa dibagi dalam kelompok. Setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor.
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
c. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat
mengerjakannya/mengetahui jawabannya dengan baik.
d. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil keluar dari kelompoknya
melaporkan atau menjelaskan hasil kerja sama mereka.
e. Tanggapan dengan teman yang lain, kemudian guru menunjuk kelompok yang lain.
f. Kesimpulan

Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Nana Sudjana (2005: 3) adalah perubahan tingkah laku siswa setelah
menyelesaikan pembelajaran. Perubahan tingkah laku ini lebih luas mencakup bidang kognitif,
afektif, dan psikomotor. Hasil belajar ini dapat dilihat dari penilaian hasil belajar yang di peroleh
masing-masing siswa. Penilaian hasil belajar itu sendiri adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan
belajar-mengajar yang telah dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran yang telah direncanakan. Hamalik (2006: 30) mengatakan, hasil belajar adalah
apabila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut,
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan dari yang tidak bisa menjadi bisa. Sedangkan menurut
Soedjioarto mengatakan hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan
perilaku disebabkan karena siswa mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam
proses belajar mengajar.Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang sudah ditetapkan.
Dari ketiga pendapat ahli diatas tentang hasil belajar, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah interaksi belajar dan mengajar yang menimbulkan perubahan tingkah laku pada siswa.
Hasil belajar ini dapat mencakup 3 aspek yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan
psikomotorik (keterampilan). Penelitian ini lebih mengambil pada kemampuan kognitif, penilaian
yang sering dilakukan guru untuk mengukur seberapa besar pengetahuan yang didapat siswa setelah
guru selesai menyampaikan materi pembelajaran. Hasil dari aspek kognitif ini juga dapat dijadikan
sebagai tolak ukur guru dalam menyampaikan materi apakah sudah baik atau tidak model yang
dipilih.

270
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 267 - 275

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu
(quasi eksperimental research). Eksperimen semu ini merupakan pengembangan dari penelitian
eksperimen sungguhan (true eksperimental research). Penelitian eksperimen semu ini
menggunakan rancangan “Pretest Posttest Yang Tak Ekuivalen” menurut John W Best dalam buku
“Research In Education”yang disunting oleh Sanapiah Fasial dalam buku yang berjudul
“Metodologi Penelitian dalam Pendidikan” mengemukakan bahwa desain penelitian Pretest
Posttest Yang Tak Ekuivalen merupakan rancangan penelitian yang menggunakan kelas-kelas
yang sudah ada baik untuk kelompok eksperimen 1 maupun kelompok eksperimen 2. Pada
desain penelitian Pretest Posttest Yang Tak Ekuivalen peneliti dapat menemukan pengambilan
sampel melalui kelas-kelas yang sudah ada, tidak perlu melakukan random sampling.
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Sumberejo 01 dan SD Negeri Sumberejo 02. Pada kelas
V SD Negeri Sumberejo 01 sebagai kelompok eksperimen 1 sedangkan kelas V SD Negeri Sumberejo
02 sebagai kelompok eksperimen 2. Pada kelas eksperimen 1 diterapkan model Student Teams
Achievement Division (STAD), sedangkan kelas eksperimen 2 diterapkan model Numbered Heads
Together (NHT) dengan jumlah total sebanyak 38 siswa. Teknik pengumpulan data adalah cara yang
ditempuh dan digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data, keterangan, persyaratan dan
sebagainya yang diatur agar sifatnya sesuai dengan apa adanya tanpa ada penafsiran dan perubahan.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data hasil belajar matematiak SD kelas V. Untuk
memperoleh data tersebut peneliti menggunakan teknis tes dan non tes sebagai teknis
pengumpulan data. Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah pilihan ganda yang
terdiri dari pretest dilakukan sebelum penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dan posttest dilakukan setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan
dibandingkan dengan nilai pretest yang dilakukan sebelum menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT dan posttest dilakukan setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe NHT. Sedangkan teknik non tes dilakukan untuk mengukur aktifitas siswa.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu
(quasi eksperimental research) yang menggunakan rancangan “Pretest Posttest Yang Tak
Ekuivalen” menurut John W Best. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas V SD “X” sebagai
kelompok eksperimen 1 sedangkan siswa kelas V SD “Y” sebagai kelompok eksperimen 2. Pada
kelas eksperimen 1 diterapkan model Student Teams Achievement Division (STAD), sedangkan kelas
eksperimen 2 diterapkan model Numbered Heads Together (NHT) dengan jumlah total 2 kelompok
sebanyak 38 siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan teknis tes dan non tes. Teknik Analisis
Data menggunakan independent sample t test dengan bantuan aplikasi SPSS versi 16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan matematika merupakan hal
yang berpengaruh pada rendahnya kualitas pembelajaran matematika. Pada umumnya proses
pembelajaran yang dilakukan guru sering menggunakan metode otoriter, metode yang membuat siswa
tidak gembira menghadapi pelajaran. Hal ini ditunjukkan dengan hasil nilai pretest siswa pada kelas
eksperimen 1 menunjukkan dari 19 siswa masih terdapat 5 siswa yang belum memenuhi KKM.
Sedangkan pada kelas eksperimen 2 menunjukkan dari 19 siswa terdapat 12 siswa yang belum
memenuhi KKM.
Tabel 1. Perbandingan hasil pretest kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2

No Kategori Soal Frekuensi Kelas Frekuensi Kelas


eksperimen 1 eksperimen 2
1. Sangat Tinggi 6 3
2. Tinggi 8 4
3. Rendah 3 9
4. Sangat Rendah 2 3

271
Perbedaan Pengaruh Model Student Teams Achievement Division (STAD) Dan Numbered Heads
Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD (Nur Halimah, Sumardjono)

Pembelajaran dengan menggunakan model Student Teams Achievement Division (STAD) dan
Numbered Heads Together (NHT)
Setelah dilakukan pembelajaran pada mata pelajaran matematika SD kelas V materi operasi hitung
pecahan dan hasil daripada pembelajaran dengan menggunakan model Student Teams Achievement
Division (STAD) pada kelas eksperimen 1 dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini sedangkan hasil
pembelajaran dengan menggunakan model Numbered Heads Together (NHT) pada kelas eksperimen
dapat dilihat pada tabel 3, maka diperoleh hasil yang lebih meningkat dimana pada kelas eksperimen
1 nilai tertinggi adalah 95 dan nilai terendah adalah 60 dengan nilai rata-rata 77,89. Sedangkan pada
kelas eksperimen 2 nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 65 dengan nilai rata-rata 85,53.

Gambar 1. Hasil posttest kelas eksperimen 1

272
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 267 - 275

Gambar 2. Hasil posttest kelas eksperimen 2

Hasil uji t tes nilai signifikansi adalah 0,019 < 0,05, maka Ho ditolak Ha diterima. Jadi dapat
disimpulkan “Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara penggunaan model Student Teams
Achievement Division (STAD) dengan model Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar
matematika kelas V SD”. Berdasarkan data tersebut di atas menunjukkan bahwa model Number Head
Together (NHT) lebih baik digunakan dari pada model pembelajaran Student Team Achievement
Division (STAD) pada mata pelajaran matematika siswa kelas V SD. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati (2014: 251) yang mengatakan bahwa perlakuan
pembelajaran dengan model NHT memberikan dampak pada hasil belajar yang berbeda dan lebih
tinggi daripada model pembelajaran STAD. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Nurhalimah
(2008) dimana melalui penerapan strategi NHT, partisipasi yang ditunjukkan oleh setiap siswa dan
kelompok penyaji sangat tinggi, sehingga dapat mendorong siswa untuk belajar mengidentifikasi dan
menyelesaikan tugas masing-masing pada pembahasan tertentu. Selain itu, strategi NHT memiliki
satu kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh strategi STAD yaitu siswa dilibatkan secara aktif dalam
diskusi dalam kelompok dan luar kelompok, mengembangkan sikap kepemimpinan siswa,
meningkatkan rasa percaya diri dan sikap ingin tahu siswa, serta mengembangkan keterampilan untuk
masa depan. Selain itu juga sejalan dengan hasil penelitian Hanifah Kusumawati dan Mawardi (2016)
yang menemukan bahwa perlakuan pembelajaran dengan model NHT memberikan dampak pada hasil
belajar yang berbeda dan lebih tinggi daripada model pembelajaran STAD.
Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Herlina (2012: 4)
yang menyatakan bahwa rata-rata hasil belajar biologi antara siswa yang belajar dengan menggunakan
metode kooperatif tipe STAD lebih tinggi dari rata-rata hasil belajar dengan menggunakan metode
kooperatif tipe NHT pada pokok bahasan organisasi kehidupan karena adanya peran Aktif tutor
sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok. Penelitian lain yang bertolak belakang
dengan hasil penelitian saya pernah dilakukan oleh Nita Idriastuti (2016: 7) yang mengatakan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pengaruh strategi STAD dan NHT terhadap hasil belajar
matematika siswa. Baik strategi STAD ataupun NHT memiliki pengaruh yang sama terhadap hasil
belajar siswa, meskipun nilai yang diperoleh memiliki sedikit perbedaan. Strategi STAD dan NHT
273
Perbedaan Pengaruh Model Student Teams Achievement Division (STAD) Dan Numbered Heads
Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SD (Nur Halimah, Sumardjono)

mempunyai beberapa kelebihan yang hampir sama, antara lain; melatih kerjasama siswa dalam
berdiskusi kelompok, setiap anggota bertanggung jawab terhadap anggota lainnya dalam satu
kelompok dan siswa dilibatkan secara aktif dalam berpikir. Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh
Eldiana (2014: 6) dimana strategi STAD, NHT maupun Jigsaw merupakan strategi pembelajaran yang
berpusat pada siswa dengan pendekatan kooperatif. Strategi yang termasuk dalam pembelajaran
kooperatif baik STAD, NHT, Jigsaw dan strategi-strategi kooperatif lainnya memiliki dasar
pembelajaran yang sama pula yaitu dengan cara diskusi atau kerjasama kelompok. Melalui cara atau
strategi pembelajaran yang sama dari startegi-strategi tersebut, maka pengaruh yang diberikan pada
hasil belajar siswa juga tidak akan memiliki perbedaan yang jauh atau bahkan sama.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara model kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD)
dan Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD. Hal ini
ditunjukkan oleh hasil uji hipotesis dengan menggunakan kriteria signifikan probabilitas sig (2
tailed), dari uji t/ uji beda menunjukkan sig sebesar 0,019 yang berarti kurang dari 0,05. Dengan kata
lain penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan pada hasil
belajar matematika pada siswa kelas V SD “X” sebagai kelas eksperimen 1 dan SD “Y” sebagai kelas
eksperimen 2. Perbedaan hasil belajar matematika yang signifikan tersebut didukung dengan
perbedaan rerata dua sampel penelitian, dimana rerata hasil belajar pada penerapan model
pembelajaran STAD sebesar 77,89, sedangkan rerata hasil belajar pada penerapan model
pembelajaran NHT sebesar 85,53. Perbedaan pengaruh itu nampak pada perilaku belajar siswa yang
ditunjukkan siswa saat bekerja kelompok yaitu pada kelas eksperimen 2 lebih aktif dan tertib dalam
mengerjakan soal, terlebih kelas eksperimen 2 mewajibkan setiap individu dapat mengerjakan soal
sehingga masing-masing anggota memahami cara mengerjakan soal, sedangkan kelas eksperimen 1
masih terdapat siswa yang bermain-main sendiri ketika berdiskusi kelompok. Maka dilihat dari nilai
posttest dan ketuntasan yang diperoleh oleh masing-masing siswa menunjukkan bahwa kelas
eksperimen 2 mimiliki nilai yang lebih tinggi dan semua siswa mencapai nilai ketuntasan.
Berdasarkan simpulan di atas, beberapa hal yang dapat disarankan sebagai berikut: (1) kepada
guru agar saat menggunakan model NHT disarankan agar guru lebih memberi peluang untuk siswa
yang butuh motivasi belajar agar mendapat pelatihan yang lebih banyak. (2) kepada siswa lebih
memperhatikan penjelasan guru di kelas dan pada saat siswa bekerja dalam kelompok setiap anggota
harus berpartisipasi dalam mengerjakan soal, siswa seharusnya memiliki semangat lebih dalam belajar
baik menggunakan model STAD (Students Teams Achievement Division) maupun NHT (Numbered
Heads Together) agar hasil belajar siswa bisa meningkat. (3) kepada peneliti lanjut untuk
mempersiapkan instrumen dan perlengkapan penelitian dengan baik agar penelitian dapat berjalan
dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Berkaitan dengan waktu, alangkah lebih baik lagi
jika dalam penelitian dilakukan sebanyak 3 kali pertemuan dalam satu kelompok. Serta dibutuhkan
media yang lebih sesuai dengan usia dan tingkat kognitif siswa. Contohnya untuk siswa kelas V masih
menggunakan media yang kongkrit.

274
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 267 - 275

DAFTAR PUSTAKA
Eldiana. 2014. Studi Komparasi Hasil Belajar Siswa dengan Menerapkan Model Kooperatif Tipe
NHT dan Jigsaw pada Mata Pelajaran Matematika Kelas 5 SD N 3 Bengkulu. Skripsi.
Univeritas Bengkulu.
Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Hamzah, Ali.2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Rajawali Pers.
Hanifah Kusumawati dan Mawardi, 2016. Perbedaan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe NHT dan STAD Ditinjau Dari Hasil Belajar Siswa. Scholaria Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan. Vol 6, No 3 (2016)
Herlina. 2012. Perbandingan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan NHT terhadap Hasil Belajar
Biologi. Universitas Muhammadiyah Metro.
Huda, Miftahul. 2014. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Isjoni. 2014. Cooperative Leraning. Bandung: Alfabeta
Karuru, Predy. 2003. Penerapan Pendekatan Ketrampilan Proses dalam Setting Pembelajaran
Kooperatif STAD untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA SLTP.
Kusumawati, H. 2012. Perbedaan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan STAD
Ditinjau dari Hasil Belajar Siswa. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Nita Indriastuti. 2016. Studi Komparasi Strategi Student Teams Achievement Division (STAD) dan
Numbered Heads Together (NHT) terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN 1
Siswodipuran Boyolali Tahun Ajaran 2015/2016. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Nurhalimah, Titi. (2008). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan NHT pada
Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Himpunan. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Rusman. 2011. Model – Model Pembelajaran. Jakarta. Rajawali Pers
Shoimin, Aris. 2014. Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Slavin, E. Robert. 2016. Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media

Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Algesindo.
Sukardjono. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Kompasiana.
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana

PROFIL SINGKAT
Nur Halimah lahir di Kab. Semarang 19 September 1994. Merupakan mahasiswi S1 PGSD di
Universitas Kristen Satya Wacana. Telah melakukan penelitian Tugas Akhir dan sedang menuntaskan
Tugas Akhirnya.

275
PENGARUH METODE CHAIN WRITING TERHADAP HASIL BELAJAR MENULIS
SISWA KELAS 3 SEKOLAH DASAR

Retno Fitriyanti, Eunice Widyanti Setyaningtias


Retnokian29@gmail.com, Eunice.widyanti@gmail.com
Program studi PGSD-FKIP, Universitas Kristen Satya Wacana

THE EFFECT OF CHAIN WRITING METHOD ON WRITING FOR GRADE 3


STUDENTS

ABSTRACT

In Indonesian subject, students are expected to have creativity and skills in putting
words into sentences and sentences into succinct and meaningful paragraphs. Based on this
thinking, this research was done in Grade 3 in Tumbuh 3 Elementary School, Jogjakarta,
semester 1 year 2016/2017 by using chain writing method. Chain writing itself is a method
used to assist students in compiling a paragraph based with the help of the images and or
previous sentences from friends. The purpose of this research is to know the influence of
chain writing method to students’ writing result. This study was an experimental research,
with pretest and posttest for both students who have special and different needs as well as
students in general. Provision of treatment to each student is different, considering that this
school is a multi-age inclusion school. Different children's condition of each individual
requires teachers to work more closely in dealing with all students with team teaching in
each class. By using this chain writing method, all students seemed to have an interest in
writing, with no exception for students with special needs. Provision of treatment to special
needs students makes them more interested in writing activities, although it should be with
continuous mentoring from the teachers. The final results obtained a significant positive
effect,compared to the result without the chain writing model.

Keywords: Chain Writing Method, Bahasa Indonesia, writing.

Article Info
Received date: 29 April 2017 Revised date: 10 Mei 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Bahasa adalah kunci dalam setiap manusia untuk dapat berinteraksi dengan manusia lain di
berbagai belahan dunia manapun.Sekolah-sekolah berstandar internasional yang sebagian besar
siswanya adalah orang asing murni atau keturunan serta perpaduan antara Indonesia dan negara luar,
kini sedang gencar untuk menggalakkan pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari,
meskipun tidak menghilangkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama mereka. Menurut UU No.20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 33, ayat (1) bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negera menjadi
bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Salah satu sekolah yang menerapkan hal tersebut adalah
SD Tumbuh 3 Jogjakarta. Sedangkan, pasal 33 ayat (3) UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
menyatakan bahwa bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan
tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Sekolah berstandar
internasional dan inklusi ini tetap mengajarkan Bahasa Indonesia dan kebudayaan Jawa pada siswa-
siswanya. Kemampuan siswa-siswa di sekolah ini sangat beragam sehingga para pengajar harus
menggunakan berbagai metode untuk menyampaikan setiap materi yang ada pada siswa-siswa yang
ada di Sekolah Tumbuh, hal ini sejalan dengan UU No.20 Tahun 2003 pasal 32 ayat (1) yang
menyatakan pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi para peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki kecercasan dan bakat istimewa. Kata inklusi digunakan untuk memberikan makna
yang lebih tersirat pada istilah anak berkebutuhan khusus, hal ini dimaksudkan supaya setiap anak
yang memiliki karakteristik yang berbeda tidak merasa bahwa dirinya berbeda akan tetapi sama
dengan semua teman-teman yang lain yang tidak memiliki karakteristik yang berbada. Sebagian besar
276
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 276 – 282

dari siswa-siswa yang belajar di SD Tumbuh 3 memiliki latar belakang yang sama, yaitu keluarga
yang membiasakan mereka menggunakan Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
membuat para guru menerapkan banyak cara untuk meningkatkan hasil belajar siswa, diantaranya
adalah drill chain writing atau menulis berantai ini metode yang membantu dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia terutama untuk penyusunan kalimat menjadi sebuah paragraf yang runtut.
Berdasarkan paparan diatas, rumusan masalah yang diambil adalah bagaimana pengaruh
metode chain writing terhadap hasil belajar menulis siswa kelas 3 SD Tumbuh 3 Jogjakarta semester I
tahun pelajaran 2016/2017. Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalahmengetahui
pengaruh metode chain writing terhadap hasil belajar siswa kelas 3 SD Tumbuh 3 Jogjakarta.

KAJIAN PUSTAKA
Arti Menulis adalah membuat huruf (angka dan sebagainya) dengan pena (pensil, kapur, dsb),
anak-anak sedang belajar, melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat).
Myhill, 2011:6 menyatakan bahwa belajar menulis tidak sesingkat hanya belajar secara general saja,
tetapi menulis adalah belajar bagaimana membuat kalimat yang memiliki makna dan berarti. Menulis
adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa
yang dipahami seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut jika
mereka memahami lambang dan grafis tersebut (Tarigan, 2008:21). Berdasarkan pemaparan para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah kegiatan mengembangkan pikiran berdasarkan
penyusunan kalimat atau paragraf yang memiliki makna yang runtun serta dapat dimengerti oleh
khalayak umum serta disampaikan secara tersurat.
Anak berkebutuhan khusus merupakan istilah lain untuk menggantikan kata "Anak Luar
Biasa (ALB) yang mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya. Termasuk dalam
perbedaan karakter adalah anak yang mengalami hendaya (impaiment) penglihatan, anak dengan
hendaya pendengaran dan bicara, anak dengan hendaya perkembangan kemampuan, anak dengan
hendaya kondisi fisik atau motoric, anak dengan hendaya perilaku maladjustment, anak dengan
hendaya autism, anak dengan hendaya hyperactive, anak dengan hendaya belajar dan anak dengan
hendaya kelainan perkembangan ganda (Delphie, 2006).
Metode chain writing adalah metode yang digunakan untuk membantu siswa dalam pelajaran
bahasa khususnya dalam kegiatan menulis. Meyakinkan anak untuk terus menggambar sebagai bentuk
mereka tetap belajar menulis sesuatu secara konvensional daripada memisahkan antara belajar
menulis dan menggambar akan membuat anak lebih cepat belajar dan memungkinkan seorang anak
akan menghasilkan tulisan yang lebih kompleks dari usia mereka(Mackenzie & Veresov, 2013).
Penggunaan metode chain writing dalam penelitian ini adalah secara berkelompok. Pada awal
pembelajaran peserta didik akan diberikan pancingan berupa gambar dan mereka akan menyusun
kalimat menjadi paragraf. Untuk siswa-siswa dengan karakter dan kebutuhan yang berbeda
(hyperactive), perlakuan ini juga sama karena mereka mampu untuk menjelajah dalam imaginasi
mereka yaitu mereka akan membuat sebuah kalimat berdasarkan keingian masing-masing.Guru tidak
akan memberikan contoh terlebih dahulu karena hal ini akan memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengembangkan fikirannya dalam menyusun kalimat yang tepat menjadi sebuah paragraf yang
runtun dan bermakna. Begitupun untuk siswa yang memiliki karakter dan kebutuhan yang berbeda,
mereka akan menyusun kalimat dengan bantuan para pengajar untuk menulis dan mengungkapkan
fikiran mereka.Selanjutnya, setelah semua siswa sudah menuliskan semua kaliat yang mereka
pikirkan, guru akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana penggunaan kongjungsi dengan tepat untuk
menghubungkan kalimat dengan kalimat selanjutnya. Hal ini dimaksudkan agar siswa-siswa dapat
mengerti dan paham lebih banyak tentang penggunaan kata sambung atau konjungsi pada sebuah
kalimat yang akan membentuk sebuah paragraph yang memiliki makna.Siswa bekerja dalam
kelompok untuk kembali membuat karangan yang lebih runtun dari sebelumnya, karena telah
dijelaskan oleh guru bagaiman membuat karangan yang lebih baik. Dalam pembagian kelompok,
semua siswa akan diacak supaya tidak ada perbedaan antara anak-anak dengan kebutuhan yang
berbeda serta siswa lain pada umumnya. Hal ini sangat membantu siswa dengan kebutuhan yang
berbeda karena teman-teman dalam satu kelompoknya bertanggung jawab untuk mengarahkan serta
bekerja sama dengan baik.Setelah siswa menyelesaikan pekerjaan kelompoknya, guru akan
memeriksa dan memberikan penilaian.Penilaian yang dimaksud adalah ketepatan penggunaan
277
Pengaruh Metode Chain Writing Terhadap Hasil Belajar Menulis Siswa Kelas 3 Sekolah Dasar
(Retno Fitriyanti, Eunice Widyanti Setyaningtias)

kongjungsi pada kalimat serta seberapa banyak siswa-siswa kelas 3 dapat menyusun kalimat menjadi
paragraph dalam waktu yang telah diberikan. Penilaian yang diberikan tidak hanya pada aspek
ketepatan penggunaan konjungsi saja, akan tetapi penilaian kelompok tentang bagaimana mereka
bekerja sama dalam menyelesaikan tugas serta perkembangan siswa dengan kebutuhan yang berbeda
dalam berpartisipasi didalam kelompoknya.Untuk mengurangi kejenuhan siswa serta memberikan
pandangan terhadap siswa tentang bagaimana menyusun kalimat yang tepat, guru akan membacakan
cerita pendek. Cerita pendek ini dilakukan karena siswa-siswa kelas 3 masih sangat antusias dalam
mendengarkan sebuah cerita.Pada akhir pembelajaran, untuk mengetahui kemampuan siswa lebih
jauh, pada post test diberikan worksheet dan mereka harus bekerja secara individual.Pengerjaan
worksheet ini juga berlaku sama untuk siswa yang memiliki karakter dan kebutuhan yang khusus dan
berbeda, hanya saja untuk mereka aka diberikan pendampingan yang lebih dalam menyusun setiap
jawaban pada soal yang diberikan oleh guru. Hal ini dimaksudkan agar semua siswa tetap
memperoleh input yang sama untuk menyelesaikan pertanyaan yang ada baik itu siswa dengan
karakter serta kebutuhan yang khusus dan berbeda maupun siswa lain pada umumnya. Hanya saja,
mereka akan diberikan soal dengan kata-kata yang lebih ringan dan mudah dipahami sehingga dalam
pengerjaannya akan lebih mudah walaupun konten dan materinya tetap dalam lingkup yang sama.
Menurut Eka Rizki & Slameto, 2016 hasil belajar merupakan proses yang cukup kompleks. Artinya
bahwa hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor yang mendukung yaitu 1) faktor internal yang
meliputi: faktor fisiologis dan faktor psikologis. 2) faktor eksternal meliputi: faktor lingkungan sosial
dan non lingkungan social, peran siswa, peran guru serta model yang digunakan dalam pembelajaran.
Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Erlina Ika Setyaningrum (2015) mahasiswa dari
Universitas Negeri Yogjakarta dengan judul Keefektifan Metode Menulis Berantai dalam Kemampuan
Menulis Cerita Pendek Siswa kelas X SMA Negeri 1 Galur, Kulon Progo, Yogjakarta. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan (1) terdapat perbedaan kemampuan siswa yang mengikuti pembelajaran
menulis cerita pendek, antara siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan metode menulis
berantai dengan siswa yang mengikuti pembelajaran tanpa menggunakan metode menulis berantai di
SMA Negeri 1 Galur, hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi nilai posttest pada uji independent
t-test yang sebesar 0,015 lebih kecil dari 0,05; (2) efektivitas penggunaan metode menulis berantai
lebih tinggi dari pada pembelajaran yang hanya menggunakan metode menulis konvensional dalam
meningkatkan kemampuan menulis cerita siswa kelas X di SMA Negeri 1 Galur. Hal ini ditunjukkan
dengan gain skor atau selisih rata-rata kelompok eksperimen sebesar 5,45 yang lebih tinggi dari rata-
rata kelompok kontrol sebesar 2,55.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Anastiya Susanti, mahasiswa Universitas
Muhammadyah Surakarta dengan judul Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi Melalui
Penggunaan Strategi Estafet Writing Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SDIT
Luqman Al Hakim Kecamatan Sukodono Kabupaten Sragen Tahun Ajaran 2013/2014. Hasil dari
penelitian ni adalah ketercapaian pada siklus I indikator tema/ gagasan mencapai prosentase 66,1%,
organisasi isi mencapai 57,2%, tata bahasa 58,1%, struktur dan kosakata 59,9% dan ejaan dan tata
tulis 60,6%. Sedangkan pada siklus II diperoleh prosentase pada indikator tema/ gagasan mencapai
prosentase 79,5% , organisasi isi mencapai 76,8%, tata bahasa 75%, struktur dan kosakata 76,8% dan
ejaan dan tata tulis 78,6%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan strategi estafet writing
dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas 5 SDIT Luqman Al Hakim
pada mata pelajaran bahasa Indonesia tahun ajaran 2013/2014
Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Ihda Puthri Wilda, mahasiswa dari Universitas Islam
Indonesia yang melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Penerapan Metode Menulis Berantai
Terhadap Keterampilan Menulis Karangan Narasi Di Kelas IV SD Islam Annajah Petukangan
Selatan Jakarta Selatan Tahun Ajaran 2013/2014. Penelitian ini memberikan hasil berupa nilai rata-
rata kelompok ekspreimen 56,93, setelah diberikan perlakuan dengan metode menulis berantai nilai
rata-rata posttest kelas eksperimen mengalami peningkatan menjadi 74,93. Sedangkan hasil nilai rata-
rata pretest kelompok control 58,4 dan setelah diberi perlakuan dengan menggunakan metode
konvensional hasil rata-rata posttest kelompok control menjadi 67,8. Dari hasil penghitungan nilai
rata-rata kelas eksperimen mengalami peningkatan 18%, sedangkan kelas control mengalami
peningkatan 9,4%. Kesimpula yang diambil adalah penggunaan metode menulis berantai yang

278
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 276 – 282

dilakukan pada kelas eksperimen berpengaruh terhadap keterampilan menulis karangan siswa kelas
IV SD Islam Annajah Jakarta Selatan tahun ajaran 2013/2014.
Penelitian-penelitian yang relevan diatas menunjukkan bahwa metode chain writing atau
estafet writing atau menulis berantai berpengaruh terhadap keterampilan menulis siswa. Baik siswa
pada tingkat dasar hingga tingkat menengah, oleh karena itu peneliti melakukan penelitian eksperimen
menggunakan metode chain writing kepada siswa kelas 3 SD Tumbuh 3 Jogjakarta yang bertujuan
melihat pengaruh dari metode tersebut terhadap hasil belajar menulis siswa kelas 3 baik siswa pada
umumnya, maupun siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

METODE PENELITIAN
Penelitan ini termasuk penelitian kuantitatif dimana data-data yang ada akan diolah dengan
statistik dan akan di jelaskan menggunakan uraian deskriptif. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen one group pretest dan posttest, dimana hanya ada 1 group
yang menjadi subjek penelitian tanpa ada kelas kontrol yang menjadi pembandingnya. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September hingga November 2016, bertempat di SD Tumbuh 3 Jogjakarta.
Sasaran yang dituju dalam penelitian ini adalah siswa-siswa kelas 3 SD Tumbuh 3 Jogjakarta yang
berjumlah 21 siswa, dengan pembagian 15 siswa laki-laki dan 6 siswa perempuan. Prosedur penelitian
ada beberapa tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap penyusunan. Instrument
yang digunakan dalam penelitian adalah lembar pengamatan observasi siswa dan guru. Adapun teknik
pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi, wawancara, dokumentasi serta metode tes.
Teknik analisis data menggunakan alat bantu SPSS 16 for windows dengan uji normalitas, uji validitas
konstruksi dan uji homogenitas.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilakukan setiap hari kamis pada saat mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas 3
yang terdiri dari 21 siswa dengan 5 siswa perempuan dan 13 siswa laki-laki. Perlakuan yang ada
didalam kelas adalah guru dengan team teaching yang bertujuan memfasilitasi semua siswa, baik
siswa pada umumnya maupun siswa dengan kebutuhan khusus yang ada didalam kelas. Pengujian
dengan menggunakan SPSS juga dilakukan untuk mengetahui data-data yang dimiliki normal atau
tidak serta homogen atau tidak. Berikut adalah tabel uji normalitas.
Berdasarkan tabel uji normalitas dengan SPSS 16 for windows diatas, hasilnya menunjukkan
nilai signifikansi pretest sebesar 0,005 < 0,005. Hal ini menunjukkan bahwa data distribusi tidak
normal karena menunjukkan < 0,05, namun setelah diberikan perlakuan, nilai signifikansi posttest
sebesar 0,099 > 0,05. Hasil ini menerangkan bahawa setelah diberikan perlakuan, data distribusi
normal karena > 0,05. Hasil yang menunjukkan angka 0.099 ini terlihat bahwa sebelum diberikan
perlakuan dan setelah diberikan perlakuan, siswa dapat mengikutinya dengan baik. Meskipun masing-
masing siswa memiliki hasil yang berbeda-beda dan tidak apat disama ratakan, tetapi terlihat ada hasil
yang meningkat.
Berdasarkan hasil dari uji homogenitas diatas, nilai signifikansi menunjukkan 0,014 < 0.05
menunjukkan tidak homogen, maka dilakukan uji ststistik non parametrik menggunakan uji Mann
Whiteny sebagai berikut
Tabel Uji Non Paramatrik Menggunakan Mann Whiteny

Pemberian pretest dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal masing-masing siswa, dan
didapat distribusi interval nilai pre test adalah
279
Pengaruh Metode Chain Writing Terhadap Hasil Belajar Menulis Siswa Kelas 3 Sekolah Dasar
(Retno Fitriyanti, Eunice Widyanti Setyaningtias)

Tabel 1
Diastribusi Interval Nilai Pre Test Kelas 3
Interval skor Frekuensi Presentase
69-75 7 33,33%
76-82 14 66,67%
83-89 0 0
Total 21 100 %

Berdasarkan tabel data di atas, dapat dilihat bahwa nilai pretest siswa kelas 3 mayoritas
terdapat pada interval nilai antara 76-82 yaitu sebanyak 14 siswa atau sebesar 66,67%. Nilai pretest
kemampuan menulis antara 69-75 sebanyak 7 siswa atau 33,33%. Nilai pretest kemampuan menulis
siwa antara nilai 83-89 sebanyak 0 siswa atau 0%
Uji validitas konstruksi yang digunakan dalam penelitian ini, adalah instrumen non tes
objektif (uraian) dari keterampilan menulis, sehingga validitas yang digunakan adalah validitas
konstruksi (construct validity). Untuk menguji validitas konstruksi dapat menggunakan pendapat para
ahli (judgment expert), dalam hal ini ahli yang diminta pendapatnya adaah guru mata pelajaran bahasa
Indonesia kelas 3 SD Tumbuh 3 Jogjakarta.
Data yang didapat tidak hanya berasal dari nilai pretest saja, tetapi juga nilai posttest yang
dilakukan setelah pemberian perlakuan metode chain writing. Didapat distribusi internal nilai posttest
yaitu
Tabel 2
Distribusi Interval Nilai Posttest

Interval skor frekuensi presentase


64-70 1 4,77
71-77 3 14,29
78-84 2 9,53
85-91 5 23,80
92-98 10 47,61
Total 21 100%
Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas nilai posttest siswa kelas 3
berada antara 92-98 sebanyak 10 siswa atau 47,61%. Nilai posttest kemampuan menulis antara 85-91
sebanyak 5 siswa atau 23,80%. Nilai posttest kemampuan menulis antara 78-84 sebanyak 2 siswa atau
9,53%. Nilai kemampuan menulis antara 71-77 sebanyak 3 siswa atau 14,29%. Serta nilai
kemampuan menulis antara 64-70 sebanyak 1 orang siswa atau 4,77%.
Berdasarkan hasil dari pretest dan posttest yang telah dilakukan pada siswa kelas 3 terlihat
bahwa distribusi nilai mengalami perubahan dan setelah diberikan perlakuan, keterampilan menulis
siwa kelas 3 terlihat lebih kreatif dibandingkan sebelum diberikan perlakuan berupa metode chain
writing.

SIMPULAN DAN SARAN


SD Tumbuh 3 Jogjakarta adalah salah satu sekolah inklusi berstandar internasional multi usia.
Dalam satu kelas terdapat beragam usia serta memiliki siswa-siswa dengan karakter dan kebutuhan
yang khusus dan berbeda-beda. Hal ini juga sangat mempengaruhi dalam sistem pembelajaran yang
ada, di dalam satu kelas terdapat dua guru yang bertugas sebagai guru kelas dan asisten guru ketika
kegiatan belajar mengajar berlangsung. Hal lain yang tidak terlupakan adalah sistem penilaian yang
dilakukan oleh guru untuk masing-masing siswa berbeda, tergantung pada kemampuan masing-
masing siswa. Pemberian perlakukan saat kegiatan belajar mengajar pun sudah tentu berbeda. Siswa
yang memiliki karakter dan kebutuhan yang khusus dan berbeda tidak dapat disama-ratakan dengan
siswa lain. Keadaan tersebut yang membuat hasil dari nilai yang telah diteliti tidak sama. Keadaan
subyek yang berbeda-beda membuat standar nilai tidak bisa sama. Hasil yang diperoleh dari

280
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 276 – 282

penelitian ini adalah metode chain writing berpengaruh terhadap keterampilan menulis siswa kelas 3.
Pengaruh ini dapat dilihat pada hasil paragraf siswa yang lebih kreatif dalam menggunakan konjungsi
atau kata hubung dalam menyusun kalimat menjadi sebuah paragraf yang lebih runtun dan bermakna.
Hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan berupa metode chain writing terlihat
meningkat dengan signifikan. Siswa terlihat memiliki nilai yang lebih meningkat dan memiliki
keterampilan menulis yang lebih kreatif. Pengaruh pada hasil akhir penelitian dapat dilihat melalui
hasil pada tabel-tabel yang telah diolah menggunakan SPSS 16 for windows yaitu nilai saat belum
diberikan perlakuan (pretest) menggunakan metode chain writing dengan nilai akhir setelah diberikan
perlakukan (posttest) berbeda. Terlihat pula angka normalitas 0.099 dan homogenitas sebesar 0,014,
angka-angka ini disebabkan subjek yang berbeda-beda dan tidak dapat disama ratakan.
Saran
Untuk peningkatan kualitas SD Tumbuh 3 menjadi sekolah inklusi yang lebih baik, semua
elemen yang ada disekolah dapat mengoptimalkan seluruh sumber daya manusia agar sekolah dapat
semakin meningkatkan mutunya dan menjadi sekolah inklusi andalan. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan fasilitas serta pengajaran yang sangat maksimal untuk seluruh siswa-siswa tanpa
terkecuali. Hal yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bagaimana cara mengkondisikan anak-
anak yang mempunyai berbagai macam sifat, kondisi serta kebutuhan masing-masing yang sangat
berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. (1) Siswa berkesulitan belajar ketika sedang mengikuti
kegiatan belajar mengajar sudah tentu mengalami kendala dalam menerima setiap materi. Guru di
dalam kelas harus memberikan perhatiannya kepada siswa learning disabilities. Perhatian ini dapat
berupa pemberian tambahan pelajaran diluar jam belajar efektif, dengan tujuan siswa tersebut dapat
mengejar ketertinggalannya dari teman-teman yang lain. Hal lain yang dapat dilakukan adalah
pendampingan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung dengan mengontrol setiap hasil
pekerjaan siswa agar dapat terlihat bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu. (2) Siswa
tunagrahita lebih cenderung mengganggu teman-teman lainnya saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung. Selama penelitian ini dilaksanakan, untuk mengatur siswa dengan keadaan seperti ini
harus melakukan perjanjian diawal pembelajaran untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar hingga
akhir. Hal ini memang tidak mudah untuk dikerjakan karena dia pasti mengajukan keberatan atas
perjanjian tersebut. Siasat yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan ijin bermain jika siswa
tersebut telah berhasil menyelesaikan sebuah pekerjaan, reward atau hadiah yang diminta ketika
kegiatan belajar mengajar sudah berakhir. (3) Siswa hyperactive dikelas ini termasuk siswa yang
kreatif dalam bidang seni, tetapi ketika pelajaran yang lain dia kurang antusias. Siasat yang dapat
dilakukan adalah ketika penjelasan berlangsung diusahakan siswa tersebut duduk sejenak
mendengarkan setelah penjelasan selesai, siswa dapat melakukan pekerjaannya dengan berpindah
tempat selama hal itu tidak mengganggu siswa-siswa yang lain.
Peneliti selanjutnya dapat lebih kreatif lagi dalam pemilihan metode yang mampu menggali
seluruh potensi siswa dan bertujuan untuk membuat siswa-siswa yang memiliki kebutuhan yang
khusus dan berbeda menjadi siswa unggulan dengan menunjukkan kemmapuan lain yang tidak
dimiliki oleh siswa-siswa lain pada umunya dan tidak kalah dengan siswa-siswa lain pada umumnya.
Semakin kreatif metode yang digunakan serta pemanfaatan media yang ada, membuat penelitian yang
dilakukan menghasilkan sesuatu yang sarat makna dan sangat bermanfaat untuk khalayak umum.
Hal yang belum terlaksana dalam penelitian ini adalah melihat berbagai potensi lain yang
dimiliki masing-masing siswa di dalam mata pelajaran yang lain. Harapannya, peneliti selanjutnya
dapat lebih dalam untuk menggali potensi siswa baik itu siswa dengan kebutuhan yang khusus dan
berbeda maupun siswa lain pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2012. Anak Berkesulitan Belajar Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Al-Tabany, T. I. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta:
Prenadamedia Group.

281
Pengaruh Metode Chain Writing Terhadap Hasil Belajar Menulis Siswa Kelas 3 Sekolah Dasar
(Retno Fitriyanti, Eunice Widyanti Setyaningtias)

Bianco, A. 2002. One Minute Discipline: Classroom Management Strategies That Work. United State
of America: John Wiley&Sons, Inc.
Brower, F. 2007. 100 Ide Membimbing Anak Autis. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar Pendidikan Inklusi. Bandung:
PT. Refika Aditama.
Hornby, G. 2015. Inclusive Special Education: Development of a new theory for the education of
children with special need and disabilities. British Journal of Special Education, 235-255.
Latham, G. K. 2010. 100 Ide Membimbing Anak ADHD. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mackenzie, N., & Veresov, N. 2013. How Drawing can Support Writing Acquisition: Text
Costraction in Early Writing from a Vygotskian Perpective. Australasian Journal of Early
Childhood, 22-29.
Meglemre, J. 2016. Fair does not mean equal: Creating an Inclusive Environment For Students With
Disabilities. Leadership, 36-41.
Peterson, S. S., Mclntyre, L. J., & Forsyth, D. 2016. Supporting Young Children's Oral Language and
Writing Development: Teachers' and Early Childhood Educators' Goals and Practices.
Australasian Journal of Early Childhood, 11-19.
Sabarti Akhadiah, M. G. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Setyaningrum. Ika Erlina, 2015. Keefektifan Metode Menulis Berantai Dalam Kemampuan Menulis
Cerita Pendek Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Galur Kulon Progo Yogjakarta. Skripsi.
Universitas Negeri Yogjakarta. Yogjakarta.
Shelley Stagg Peterson, L. J. 2016. Supporting young children’s oral language and writing
development: Teachers' and ealy chldhood educators goal and practices. Australasian Journal
of Early Childhood, 10-19.
Smith, J. D. 2006. Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Penerbit Nuansa.

Susanti, A. 2014. Peningkatan Keterampilan Menulis Karangan Narasi Melalui Penggunaan Strategi
Estafet Writing Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SDIT Luqman Al
Hakim Kecamatan Sukodono Kabupaten Sragen Tahun Ajaran 2013/2014. Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tritjahjo Soesilo, M. 2015. Penelitian Eksperimen. Salatiga: Griya Media.

Widayanti, E. R., & Slameto, S. 2016. Pengaruh Penerapan Metode Teams Games Tournament
Berbantuan Permainan Dadu Terhadap Hasil Belajar IPA. Scholaria: Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, 6(3), 182-195.
Wilda. Puthri Ihda, 2014. Pengaruh Metode Menulis Berantai Terhadap Keterampilan Menulis
Karangan Narasi di Kelas IV SD islam Annajah Petukangan Selatan Jakarta Selatan Tahun
Ajaran 2013/2014. Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Wulansari. Tri Retno Agnes, 2016. Efektifitas Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Gallery Walk dengan Jigsaw Terhadap Hasil Belajar IPS Kelas V Sd Pangudi Luhur
Ambarawa Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016. Skripsi. Universitas Kristen Satya
Wacana. Salatiga.

282
PENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE DRILL DAN
DISKUSI KELOMPOK PADA SISWA KELAS VI SD

Erlyn Juniati
erlynjuniati12@gmail.com
SD N I Badran Kranggan Temanggung.

EFFORTS TO INCREASE MATHEMATICS LEARNING RESULTS THROUGH DRILL


METHOD AND GROUP DISCUSSION IN GRADE CLASS VI ES

ABSTRACT

One of the main problems of today's Mathematics Lesson is the lack of understanding and
motivation of teachers in schools, so that children are less active in the learning process. This
phenomenon occurs in SD N I Badran. Based on the results of formative tests of class VI semester 2
subjects mathematics of the material change the common fractions into decimal fractions and percent
or otherwise low, this is validated by the analysis of the average grade 58, 33. Of the 30 students who
achieve the value of learning mastery only 11 students, The rest is still far below KKM (≤70). Students
do not yet understand in changing the usual fractions to decimal fractions and percent or vice versa.
This type of research is Classroom Action Research. The subjects studied were the 6th graders of SD
Negeri I Badran, Kranggan Sub-district, Temanggung Semester 2 of the 2015/2016 Lesson Study.
This study was conducted in 2 cycles, each cycle consisting of 3 meetings, and each cycle consisted of
planning, action, observation and reflection. From the result of research by using Drill method and
group work, there is an increase of student learning result. In learning mathematics subject matter
converts the usual fractions into decimal fractions and percent and vice versa. Prior to the
improvement of the number of 30 students who thoroughly studied with KKM 70 only 11 students,
with an average score of 58, 33 with mastery learning 36, 66. Improvement of learning Cycle 2 first
meetings average grade 83.33 complete 25 percentage of mastery 83.33%. The researcher concludes
that the result of the study of the sixth graders of SD Negeri 1 Badran of Kranggan Sub-district of
Temanggung Regency on the subject changed the common denominations to decimal and percent and
vice versa through Drill method and Group Discussion of learning result increased.

Keywords: Active, critical thinking, Mathematics learning outcomes, Drill Methods and group
discussions.

Article Info

Received date: 2 Agustus 2017 Revised date: 28 Agustus 2017 Accepted date: September 2017

PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern,
mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan
pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan
matematika dibidang teori bilangan,aljabar,analisis,teori peluang dan matematika diskrit. Untuk
menguasai dan menciptakan teknologi dimasa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat
sejak dini.
Guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi dalam berbagai aspek. Tuntutan
semacam itu tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena perubahan gaya belajar peserta didik yang begitu
kompleks. Peserta didik merasa dirinya telah dibekali dengan sejumlah potensi sejak lahir, maka
seorang pendidik harus peka terhadap dinamika yang dialami oleh anak didiknya. Episode belajar
yang direncanakan harus mampu meningkatkan tingkat atau taraf belajar siswa, oleh karena itu
seorang pendidik harus menyiapkan perangkat belajar yang mudah dicerna, fleksibel dan dapat
dipelajari serta dimanfatkan oleh peserta didik dimanapun dan kapanpun juga.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di SD masih bersifat
konvensional. Guru kurang memberi motivasi, sehingga siswa kurang paham dengan materi yang
283
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Metode Drill Dan Diskusi Kelompok Pada
Siswa Kelas VI SD

disampaikan. Sehinggan siswa kurang aktif, dalam mengikuti pembelajaran, kurang memaksimalkan
kelompok belajar, dan kurang telatennya berlatih secara berulang – ulang serta pemilihan metode
yang kurang tepat. Sehingga mengakibatkan rendahnya pemahaman siswa dalam mencerna pada mata
pelajaran matematika materi mengubah pecahan biasa menjadi pecahan desimal dan persen serta
sebaliknya. Hal ini terbukti hasil belajar matematika kelas VI SD Negeri I Badran rendah. Dari jumlah
siswa 30 yang nilainya tuntas hanya 11 siswa,, banyak siswa yang nilainya di bawah KKM. Hasil rata
– rata kelas 58, 33.
Menyimak realita tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan suatu pembelajaran melalui
penelitian tindakan kelas dengan judul “ Upaya meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui
Metode Drill dan Diskusi Kelompok pada SD Negeri I Badran Tahun Pelajaran 2015/ 2016 ”.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas sebagai berikut: 1) Apakah penggunaan metode drill
dan diskusi kelompok dapat meningkatkan hasil belajar Matematika pada siswa kelas VI SD N 1
Badran Tahun 2015/ 2016?. 2) Seberapa besar peningkatan hasil belajar Matematika melalui metode
drill dan diskusi kelompok pada siswa kelas VI SD N 1 Badran tahun pelajaran 2015/ 2016?
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat disusun tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1)
Tujuan umam, a) Meningkatkan pemahaman siswa dalam mencerna pelajaran melalui metode Drill
dan Diskusi Kelompok b) Meningkatkan keaktifan siswa melalui metode Drill dan Diskusi
Kelompok.c) Meningkatkan hasil belajar matematika melalui metode Drill dan Diskusi Kelompok.
Berdasarkan tujuan di atas dapat dipaparkan manfaat penelitian ini sebagai berikut: 1) Manfaat bagi
siswa: a) Melalui metode Drill dan Diskusi Kelompok diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
belajar siswa khususnya kelas VI b) Meningkatkan keaktifan siswa c) Melatih berani siswa untuk
mengeluarkan pendapat dan menyampaikan pertanyaan. d) Meningkatkan hasil belajar siswa. 2)
Manfaat bagi guru: a) Berguna untuk menentukan metode pembelajaran yang sesuai untuk
meningkatkan hasil pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi siswa secara optimal. b) Dapat
memperoleh informasi seberapa besar pengaruh yang dihasilkan dengan adanya suatu proses
perbaikan pembelajaran yang di berikan kepada siswa.3) Manfaat bagi Sekolah: a) Sebagai masukan
dan referensi tambahan pendukung bagi rekan guru SD, bahwa pada mata pelajaran matematika perlu
adanya suatu penerapan metode-metode yang tepat dalam meningkatkan proses pembelajaran.b)
sebagai sumbangan pemikiran dalam usaha-usaha yang mengarah pada peningkatan kemampuan guru
dalam memecahkan masalah pembelajaran.

KAJIAN PUSTAKA
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung
seumur hidup. Salah satu tanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan
tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut perubahan yang bersifat
pengetahuan dan keterampilan maupun yang menyangkut nilai dan sikap (Sadiman, 2003).
Muhammad Ali (1992) mengemukakan bahwa “mengajar adalah segala upaya yang disengaja
dalam rangka memberi kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya proses belajar sesuai tujuan yang
dirumuskan”. Sasaran akhir dari proses pembelajaran adalah siswa belajar dengan upaaya yang
disengaja dan penuh rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuan. Tujuan tercapai melalui proses
pembelajaran, sedangkan belajar bisa terjadi dengan berbagai cara. Bisa dengan cara langsung
mengajar di kelas atau dengan alat pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan disengaja diciptakan, gurulah
yang menciptakannya, guru membelajarkan anak didik. Guru yang mengajar dan anak didik yang
belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan
bahan sebagai mediumnya. Semua komponen pengajaran diperankan secara optimal guna mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan (Djamarah dan Zain, 2002).
Berdasarkan pengertian belajar mengajar dapat diketahui bahwa proses belajar mengajar
merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam proses belajar mengajar tersebut terdapat adanya suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
antara guru dan siswa yang belajar, antara kedua kegiatan ini terdapat interaksi yang saling
menunjang (Usman, 1995). Chatarina Tri Anni (2007) menjelaskan bahwa hasil belajar merupakan

284
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 283 – 291

perubahan tingkah laku yang diperoleh pembelajar. Hasil belajar dapat ditingkatkan melalui usaha
sadar yang dilakukan secara sistimatis mengarah kepada perubahan yang positif yang kemudian
disebut proses belajar. Akhir dari proses belajar adalah perolehan suatu hasil belajar. Hasil belajar di
kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Semua hasil belajar tersebut merupakan hasildari
interaksi tindak belajar di akhiri dengan proses belajar, sedangkan dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan beakhirnya penggal dan puncak proses belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009)
Menurut Nana Sudjana (2005) Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku siswa setelah
melalui proses pembelajaran. Semua perubahan dari proses belajar merupakan suatu hasil belajar dan
mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang siswa setelah melakukan usaha
sehingga adanya perubahan atau peningkatan yang lebih baik di bandingkan sebelumnya.

Metode Tanya jawab (Drill)


Metode Tanya jawab ini dapat diartikan sebagai format interaksi antara guru dengan siswa
melalui kegiatan bertanya yang dilakukan oleh guru dengan tujuan untuk mendapatkan respon dari
siswa, sehingga dapat menumbuhkan pengetahuan baru bagi siswa. Adapun kelemahan dan
keunggulan dari metode tanya jawab ini adalah sebagai berikut (Elypita Elly, 2013): Keunggulan
metode Tanya jawab adalah seperti berikut ini. 1) Guru dan siswa sama-sama aktif dalam proses
pembelajaran 2).Mendorong minat siswa dalam proses belajar mengajar 3) Membimbing pemikiran
yang sistematis, kreatif dan kritis dalam pembelajaran 4) Mengembangkan kemampuan untuk
menyatakan pendapat pada diri siswa 5) Memberikan kesempatan pada diri siswa menggunakan
pengetahuan sebelumnya untuk belajar sesuatu yang baru. Sedangkan kelemahan dari metode Tanya
jawab antara lain: 1)Keaktifan siswa dominan tergantung pada keaktigfan guru 2). Keberhasilan siswa
tergantung pada keaktifan guru terhadap teknik-teknik bertanya dan jenis pertanyaannya.
Langkah-langkah metode drill menurut Roestiyah (Sari, Noviyana, and Maryatun, 2016)
adalah sebagai berikut: 1). Gunakan latihan ini hanya untuk mata pembelajaran yang dilakukansecara
otomatis, tanpa menggunakan pemikiran yang dan pertimbangan yang mendalam. Tetapi dapat
dilakukan dengan cepat seperti gerak reflekss. Misal, menghafal, menghitung,dan sebagainya. 2).
Guru harus memilih latihan yang mempunyai arti luas yang dapat menanamkan pengertian
pemahaman akan makna dan tujuan latihan sebelum mereka melakukan. Sehingga latihan mampu
menyandarkan siswa akan kegunaan bagi kehidupannya saat sekarang ataupun masa yang akan
mendatang. 3). Guru harus menekankan diagnosa, karena latihan permulaan belum bisa
mengaharapkan siswa mendapatkan keterampilan yang sempurna. Pada latihan berikutnya guru
meneliti hambatan yang timbul dan dialami peserta didik, sehingga dapat memilih atau menentukan
latihan mana yang perlu diperbaiki. 4). Perlu mengutamakan ketepatan, dan memperhatikan kecepatan
agar peserta didik melakukan kecepatan dan ketrampilan menurut waktu yang telah di tentukan. 5).
Guru memperhatikan waktu ketika latihan agar tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat, karna jika
terlalu lama akan membosankan. Masa latihan itu harus menyenangkan dan menarik sehingga
menimbulkan optimisme dan rasa gembira yang bisa menghasilkan ketrampilan yang baik. 6). Guru
dan siswa mengutamakan proses-proses yang esensial/yang pokok dan tidak terlibat pada hal-hal
yang tidak diperlukan. 7). Guru perlu memperhatikan perbedaan individual siswa, sehingga
kemampuan dan kebutuhan masingmasing siswa dapat berkembang. 8). Guru dan peserta didik
menyimpulkan dari hasil latihan.

Metode diskusi
Gagne dan Berliner (Moedjiono, 1991) mengemukakan bahwa dalam metode diskusi sungguh
terbuka atau bervariasi pengertiannya. Gilstrap dan Martin (Moedjiono, 1991) mengutarakan bahwa
metode diskusi merupakan materi dimana sejumlah orang membicarakan secara bersama-sama
melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau pokok bahasan masalah untuk memecahakan dan
mencari jawaban dari suatu masalah berdasarkan semua fakta yang memungkinkan untuk itu. Metode
diskusi juga diartikan suatu penguasaan isi pelajaran melalui wahana tukar pendapat berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh guna memecahkan suatu masalah (Depdikbud, 1986 b:
9).

285
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Metode Drill Dan Diskusi Kelompok Pada
Siswa Kelas VI SD

Adapun keunggulan dari metode diskusi adalah: 1) Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berpartisipasi secara langsung 2) Digunakan secara mudah sebelum, selama ataupun sesudah
metode-metode yang lain 3) Meningkatkan berfikir kritis, partisipasi demokratis, mengembangkan
sikap, motifasi serta kemampuan berbicara 4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji,
mengubah dan mengembangkan pandangan, nilai dan keputusan yang dipertimbangkan dalam
kelompok. 5) Membutuhkan kemampuan para siswa yang lemah dalam pemecahan masalah.
Kelemahan metode diskusi antara lain: 1) Sulit untuk diramalkan hasilnya 2) Kurang efisien dalam
penggunaan waktu 3) Tidak menjamin penyelesaian, hal ini disebabkan keputusan yang dicapai belum
tentu dilaksanakan 4) Cenderung sering di dominasi oleh seseorang atau beberapa orang anggota
diskusi 5) Membutuhkan kemampuan berdiskusi dari para peserta agar dapat berpartisipasi secara
aktif dalam diskusi.
Langkah-langkah metode diskusi kelompok menurut Winarno Surachmad (Mulyati, S., 2016)
adalah seperti berikut: Membentuk kelompok, Guru menjelaskan konsep permasalahan yang harus
dipecahkan kelompok. Setiap kelompok menginventarisasi/ mencatat alternatif jawaban hasil
didiskusikan. Guru dan siswa membuat kesimpulan atau guru melengkapi jawaban siswa, sampai
materi pelajaran tuntas.
Berdasarkan uraian beberapa metode yang diterapkan dalam proses pembelajaran di atas,
penulis mengambil salah satu langkah/ alternatife yang dipergunakan untuk memecahkan masalah
dalam proses pembelajaran matematika sub pokok bahasan mengubah bentuk pecahan menjadi bentuk
desimal melalui metode Tanya jawab (drill) yang terjadi pada siswa kelas VI.
Berdasarkan kajian teori di atas, dapat digambarkan dengan skema kerangka berfikir (penelitian)
sebagai berikut:

286
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 283 – 291

KONDISI AWAL TINDAKAN KONDISI AKHIR

Guru: Penerapkan Metode 1. Diduga melalui Metode Drill dan


Drill dan Diskusi Diskusi Kelompok dapat
Pembelajaran secara Kelompok meningkatkan pemahaman belajar
konvensional siswa

2.Diduga melalui Metode Drill dan


Diskusi Kelompok dapat
meningkatkan hasil belajar siswa
Murid tentang Mengubah Pecahan Hasil
belajar meningkat
Nilai Matematika Siklus 1.
rendah
Pembelajaran
menerapkan metode Drill
Siklus 2.Pembelajaran
dan Diskusi kel. secara
menerapkan metode Drill
kelompok besar (5 anak)
dan Diskusi kel. secara
(6 siswa)
kelompok besar (5 anak)
tetapi lebih heterogen
kemampuannya.

(6 siswa)

Gambar 1
Kerangka Berpikir
METODE PENELITIAN
Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di kelas VI SD Negeri I Badran kecamatan
Kranggan Kabupaten Temanggung yang dimulai tanggal 22 Pebruari 2016 sampai 7 Maret 2016.
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dengan maksud memperbaiki hasil belajar matematika dengan
menggunakan Metode Drll dan Belajar Kelompok. Siswa kelas VI yang berjumlah 30 anak, terdiri
dari 16 laki – laki dan 14 perempuan dengan karakteristik kecerdasan siswa 25 % baik, 25 % sedang
dan 50 % rendah. Sumber data pada penelitian ini adalah siswa kelas VI SD Negeri I Badran dan guru
kelas tersebut yang pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan instrumen yang sekaligus
difungsikan untuk mengetahui ketercapaian indikator kinerja.Instrumen tersebut dimaksud
1.Rendahnya pemahaman siswa 2. Rendahnya nilai siswa pada pelajaran matematika 3. Nilai hasil
ulangan akhir semester 3.Lembar pengamatan siswa; 4. Lembar pengamatan kegiatan pembelajaran;
287
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Metode Drill Dan Diskusi Kelompok Pada
Siswa Kelas VI SD

5. Angket untuk guru kelas/ peneliti; dan 5. Dokumen-dokumen pembelajaran lain (foto-foto
kegiatan).
Data yang diambil dilakukan dengan cara test (proses pelaksanaan pembelajaran berlangsung)
dan non test (test pengamatan pelaksanaan pembelajaran dengan pemberian metode): 1) Tes Teknik
tes digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan belajar siswa dalam memperoleh pembelajaran
dari teman sendiri melalui kerja kelompok dan test pada akhir pembelajaran berlangsung secara
individu.2) Non Tes,Teknik Non Tes yang digunakan dalam penelitian ini, antara lainObservasi
(pengamatan), teknik ini digunakan oleh kolaborator untuk mengobservasi pelaksanaan tindakan yang
dilakukan oleh peneliti.Validasi data penelitian dilakukan dengan cara trianggulasi data, yaitu dengan
menggunakan berbagai data perolehan baik melalui angket, hasil tes, dan hasil pengamatan. Berbagai
data tersebut kemudian diolah dengan statistik deskriptif. Penwlitian ini dikatakan berhasil yang
dperoleh siswa minimak KKM 70. Dalam pelaksanaan perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan
efektifitas hasil belajar siswa, maka peneliti mengembangkan rencana penelitian tindakan kelas
berupa prosedur kerja yang dilaksanakan didalam kelas.Penelitian ini terdiri dari dua siklus, yaitu
masing-masing siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Peneliti menerapkan metode Drill dan Diskusi dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan
pembelajaran dilaksanakan dalam 2 siklus. Setiap siklusnya melakukan 3 kali pertemuan. Tujuan
dengan adanya tahapan-tahapan (siklus) dalam pembelajaran yang peneliti kajikan disini sebagai
bahan memperluas dan membuka kesempatan siswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki
dan meningkatkan hasil belajarnya.

Pelaksanaan Pembelajaran menggunakan Metode Drill dan Diskusi Kelompok pada Siklus 1
Dalam pelaksanaan perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan efektifitas hasil belajar siswa,
maka peneliti mengembangkan rencana penelitian tindakan kelas berupa prosedur kerja yang
dilaksanakan didalam kelas.Penelitian ini terdiri dari dua siklus, yaitu masing-masing siklus terdiri
dari perencanaan, pelaksanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi.
Pertama-tama mengidentifikasi masalah dan perumusan masalah. Guru berkolaborasi
denganteman sejawat untuk mengungkapkan dan memperjelas permasalahan yang dihadapi, untuk
dicarikan jalan keluar yang tepat sampai diperoleh hasil yang memuaskan. Guru membuat rencana
perbaikan pembelajaran yang berupa scenario pembelajaran/ langkah-langkah pembelajaran,
penekanannya pada penggunaan melalui metode drill dan diskusi kelompok. Guru menyiapkan alat
peraga yang diperlukan dalam bentuk bilangan pecahan dan persen, yang mendukung materi
pelajaran. Guru menyusun alat observasi sebagai panduan bagi pengamat dalam mengamati
pelaksanaan proses perbaikan pembelajaran. Guru merancang alat evaluasi yang berupa tes formatif.
Pada tahap ini guru melaksanakan perbaikan pembelajaran sesuai dengan scenario pembelajaran
yang telah dibuat sebagai berikut: memfokuskan perhatian dan memotivasi siswa, apersepsi, informasi
kompetensi dasar, manfaat materi bahan ajar, serta rencana aktivitas pembelajaran. Guru
menyiapkancontoh – contoh soal yang berhubungan dengan pecahan biasa, pecahan desimal dan
persen. Siswa menanggapi contoh tersebut melalui tanya jawab lisan. Guru mengajak siswa untuk
bersama – sama menyelesaikan soal – soal yang berhubungan dengan materi di papan tulis, serta
memperlihatkan cara menyelesiaknnya. Guru meminta kepada siswa untuk menuliskan jawaban
tersebut di papan tulis. Dengan pengarahan dari guru siswa dibimbing untuk memilih penyelesaian
soal yang tepat dan menyempurnakan jawaban-jawaban siswa pada papan tulis. Secara berulang –
ulang guru dan siswa bertanya jawab materi soal. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengerjakan soal – soal secara bergiliran.
Pada tahap ini peneliti melakukan kerjasama dengan teman sejawat untuk mengkaji semua
temuan, baik kekurangan maupun kelebihan proses perbaikan pembelajaran siklus 1. Guru sudah
menerapkan penggunaan metode drill dan diskusi kelompok. Guru belum menggunakan media
pembelajaran yang bervariasi, sehingga penjelasan guru masih verbalisme. Peran guru masih terlalu
dominan dalam proses pembelajaran tetapi siswa sudah terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

288
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 283 – 291

Sebagian besar siswa sudah ada perubahan hasil belajar. Selanjutnya, hasil dari refleksi siklus 1
tersebut peneliti pergunakan untuk menyusun langkah-langkah perbaikan pembelajaran siklus 2.

Pelaksanaan Pembelajaran menggunakan Metode Drill dan Diskusi Kelompok pada Siklus 2
Berdasarkan hasil refleksi terhadap proses perbaikan siklus I, peneliti menyusun rencana
perbaikan pembelajaran siklus II yang terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
Pada siklus 2 guru melaksanakan perbaikan pembelajaran sesuai dengan scenario pembelajaran
yang telah dibuat sebagai berikut: guru memfokuskan perhatian dan memotivasi siswa, apersepsi,
informasi kompetensi dasar, manfaat materi bahan ajar, serta rencana aktivitas pembelajaran. Guru
menyiapkanlebih banyak contoh – contoh soal yang berhubungan dengan pecahan desimal dan
persen. Siswa menanggapi contoh tersebut melalui tanya jawab lisan dan dilakukan secara berulang –
ulang. Guru mengajak siswa untuk bersama – sama menyelesaikan soal – soal yang berhubungan
dengan materi pelajaran. Guru meminta kepada siswa untuk menuliskan jawaban tersebut di papan
tulis. Dengan pengarahan dari guru siswa dibimbing untuk menyelesaikan soal – soal yang
berhubungan dengan materi, dan menyempurnakan jawaban-jawaban siswa pada papan tulis. Secara
berulang – ulang guru dan siswa bertanya jawab materi soal. Guru memberi lembar tugas kepada
siswa untuk mengerjakan soal – soal secara berkelompok. Setiap kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya. Dari hasilkerja kelompok guru mengarahkan dan membimbing siswa menyelesaikan soal –
soal cecara berulang – ulang. Guru memberi penguatan dan meluruskan soal – soal yang dianggap
kurang tepat.
Setelah melaksanakan perbaikan pembelajaran pada siklus 2 peneliti bekerjasama dengan teman
sejawat dalam melakukan refleksi diri. Dan dari hasil diskusi diperoleh refleksi sebagai berikut:
Secara garis besar guru sudah menggunakan metode driil dan kelompok dalam pembelajaran dengan
baik. Guru sudah melibatkan siswa dalam proses pembelajaran dan perannya sudah tidak terlalu
dominan. Dilihat dari hasil evaluasi belajar yang dicapai siswa pada siklus2 pertemuan ketiga, tingkat
ketuntasan klasikal sudah memenuhi kriteria keberhasilan. Hal tersebut terbukti dari semua siswa
kelas VI SD Negeri I Badran yang terdiri dari 30 (tiga puluh) siswa dapat lulus Kriteria Ketuntasan
Minimum (KKM) dengan nilai rata-rata 92,00.Dengan demikian proses perbaikan pembelajaran dapat
dikatakan sudah berhasil. Selanjutnya hasil dari refleksi pada siklus 2 ini peneliti pergunakan dalam
penyusunan laporan penelitian tindakan kelas.
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan pada mata pelajaran matematika, berikut
merupakan deskripsi data keseluruhan dari penelitian yang dilakukan.
15

10 pertemuan 1
pertemuan 2
5
pertemuan 3
0
40 50 60 70 80 90 100

Gambar 2
Diagram Nilai Tes Formatif siklus I

Dari data diagram pada tahap siklus 1 pertemuan pertama nilai minimum mata pelajaran matematika
40 dan nilai maksimum adalah 90 dengan rata – rata kelas 64,00, sedangkan pada pertemuan kedua
nilai minimum 50 dan nilai maksimum 90,dengan rata – rata kelas 70,33 dan pada pertemuan ketiga
ini nilai minimum mendapatkan nilai 60, selanjutnya nilai maksimum sebesar 100 dan nilai rata-rata
sebesar 83,00.

289
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Metode Drill Dan Diskusi Kelompok Pada
Siswa Kelas VI SD

15
10 pertemua I

5 Pertemuan II

0 Pertemuan III
50 60 70 80 90 100

Gambar 3
Diagram Nilai Tes Formatif siklus II

Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui untuk nilai minimum pada pelajaran matematika
tahapan siklus II pada pertemuan pertama nilai terendah 60 dan nilai tertinggi 100 dengan rata – rata
kelas 83,33, sedangkan pada pertemuan kedua nilai terendah 50 dan nilai tertinggi 100 dengan rata –
rata kelas 87,33 sedangkan pada pertemuan ketiga nilai terendah 70 dan nilai tertinggi 100 dengan
rata – rata nilai 92,00. Hal ini membuktikan bahwa dalam pelaksanaan siklus yang ke-II ini setidaknya
dapat difahami dan dimengerti oleh siswa. Pola-pola pemberian materi yang peneliti kajikan disini
juga sangat berpengaruh terhadap rencana pelaksanaan pembelajaran yang peneliti kaji. Untuk lebih
jelasnya pada rencana pelaksanaan pembelajaran dapat dilihat pada daftar lampiran siklus II mata
pelajaran matematika.
Sebelum melaksanakan siklus I, peneliti melakukan survei awal untuk mengetahui kondisi
yang ada di lapangan. Peneliti menemukan bahwa hasil belajar mengubah pecahan biasa menjadi
persen serta sebaliknya hasil belajar di SD Negeri I Badran rendah.Kemudian peneliti berkolaborasi
dengan observer untuk mengatasi masalah tersebut dengan metode motode Drill dan Diskusi
Kelompok. Kemudian peneliti menyusun rencana untuk siklus I. Siklus I mengerjakan soal – soal
yang berhubungan dengan materi mengubah pecahan dengan tugas kelompok dan Drill ternyata hasil
belajar dan hasil ketuntasan meningkat. Pada siklus II dilaksanakan untuk mengatasi kelemahan atau
kekurangan pada siklus I. Selama siklus II ada perubahan yang signifikan walaupun sedikit
kelemahan dan ternyata hasinya lebih baik jika dibandingkan dengan siklus sebelumnya. Hal ini
dimungkinkan siswa lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit dengan
mendiskusikan bersama temannya. Siswa lebih termotivasi dan antusias.

100.00% Pertemuan I
0.00% Pertemuan II
Pra Siklus II Pertemuan III
siklus

Gambar 4
Hasil Ketuntasan Pembelajaran Matematika
Diagram di atas menunjukkan ketuntasan hasil belajar siswa dari kondisi awal, siklus I, dan
siklus II. Sebelum diadakan perbaikan dari jumlah 30 siswa yang tuntas belajar dengan KKM 70
hanya 11 siswa, dengan ketuntasan belajar 36, 66%. Setelah diadakan perbaikan pembelajaran pada
siklus I pertemuan pertama, yang tuntas ada 14, prosentase ketuntasan 46,67%. Pertemuan kedua
siswa yang tuntas 20, prosentase ketuntasan 66,67%. Pertemuan ketiga siswa yang tuntas ada 27
prosentase ketuntasan 90,00%. Perbaikan pembelajaran Siklus 2 hasil belajar siswa lebih terfokus

290
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 7 No 3, September 2017: 283 – 291

pada tanya jawab dan belajar kelompok lebih dimaksimalkan. Ini terbukti pada pertemuan pertama
yang tuntas 25 prosentase ketuntasan 83,33%. Pertemuan kedua yang tuntas 28, prosentase ketuntasan
93,33 %, pertemuan ketiga yang tuntas 30, prosentase 100%.

Pembahasan
Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Elypita Elly (2013) yang membahas
tentang Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Metode Drill pada pelajaran Bahasa Indonesia
Kelas IV Sekolah dasar Usaba Sepotong. Selain itu juga didukung penelitian yang dilakukan Erny
Susilowati, Sigit Santoso, Nurhasan Hamidi (2013); Penggunaan Metode Pembelajaran Drill sebagai
Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Akuntasi. Demikian juga hasil penelitian Mundasah (2016)
tentang metode drill, metode drill dapat meningkatkan hasil belajar kerena memiliki kelebihan seperti
berikut: 1) bisa digunakan untuk memperoleh kecakapan motoris seperti menulis, melafalkan huruf,
membuat dan menggunakan alat-alat; 2) bisa digunakanmemperoleh kecakapan mental seperti dalam
perkalian, penjumlahan, pengurangan, pembagian, tanda-tanda/simbol, dan sebagainya; 3) dapat
membentuk kebiasaan dan menambah ketepatan dan kecepatan pelaksanaan. Selain itu, temuan
penelitian ini juga sejalan dengan temuan penelitian Hal ini relevan dengan penelitian yang dilakukan
Herman Joseph Siswandi (2006) dengan judul Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi melalui
Metode Diskusi Panel dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Metode diskusi
kelompok bisa meningkatkan hasil belajar karena menurut Rustaman, dkk. (Afidah, I. N., Santosa, S.,
& Indrowati, M., 2012) memiliki kelebihan antara lain merangsang keberanian dan kreativitas siswa
bertukar pikiran dengan teman; Kelebihan yang lain yaitu menerima dan menghargai pendapat orang
lain, pada akhirnya kegiatan diskusi akan melatih siswa belajar bertangung jawab terhadap hasil
pemikiran bersama.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan tujuan penelitian dan uraian pembahasan dan hasil penelitian, dapat simpulan
sebagai berikut:1). Perbaikan pembelajaran matematika melalui metode driil dan diskusi kelompok
sangat tepat diberikan kepada siswa, hal ini akan memberikan kesempatan yang lebih kepada siswa
dalam melakukan pembelajaran 2). Melalui metode drill dan diskusi kelompok yang diberikan kepada
siswa memberikan sumbangan yang sangat tepat, hal ini dapat diketahui dari data kenaikan atau
peningkatan nilai yang didapat siswa dari tahapan per siklusnya mengalami perbedaan yang
signifikan.

Saran
Berdasarkan tujuan penelitian dan uraian pembahasan dan hasil penelitian, dengan metode
Driil dan Kelompok Belajar dapat disimpulkan Dalam kegiatan pembelajaran kerap kali muncul
berbagai masalah, salah satu permasalahan yang sering dihadapi adalah rendahnya tingkat
pemahaman dan penguasaan materi yang diterima siswa. Oleh sebab itu hendaknya: 1).Guru lebih
memperhatikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa 2). Guru
hendaknya menyusun program pembelajaran yang disesuaikan materi pembelajaran siswa serta
memberikan evaluasi baik evaluasi yang bersifat klasikal maupun individual.3).Guru hendaknya
memberikan kesempatan yang lebih kepada siswa dalam memecahkan permasalahan pembelajaran,
hal ini secara tidak langsung akan membuka pola berfikir siswa.

291
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Metode Drill Dan Diskusi Kelompok Pada
Siswa Kelas VI SD

DAFTAR PUSTAKA
Afidah, I. N., Santosa, S., & Indrowati, M. 2012. Pengaruh penerapan Metode Socratic Circles
disertai media gambar terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. Pendidikan Biologi, 4(3).
Anni, Catharina Tri, 2007. Psikologi Besar, Semarang: UNNES Press.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakart: PT Rineka Cipta.
Gagne, RM. 1989. Conditioning of Learning and Theory of Instruction.Fourth Edition. New
York: CBS College Publishing.
Elypita Elly. 2013. Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Metode Drill pada pelajaran Bahasa
Indonesia Kelas IV Sekolah dasar Usaba Sepotong. Jurnal Untan. Vol 2, N 8.
Erny Susilowati, Sigit Santoso, Nurhasan Hamidi. 2013. Penggunaan Metode Pembelajaran Drill
sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Akuntasi. Jurnal Pendidikan UNS, Vol 1, No 3,
(1-10)
Herman Joseph Siswandi. 2006. Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi Melalui Metode Diskusi
Panel dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Penabur
No.07/Th.V/Desember 2006, 24 – 35.
Herman. 1990. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. http://penelitiantindakankelas.
blogspot.com/2009/03/sekilas-meninjau modelpembelajaran.html/didownload 20-10-2009.
Mulyati, S. 2016. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Metode Diskusi
Berbantuan Media Bagan Pecahan di Kelas III SDN Kalisari 1. Jurnal Pendas, 3(1), 13-19.
Mundasah. 2016. Peningkatan Ketrampilan Menghitung Bilangan Dua Angka Menggunakan Metode
Drill. Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia (JPPI), 1(1).
Sadiman, Arif S., dkk. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada dan Pustekkom Dikbud.
Sari, Noviyana, and Maryatun. 2016. Pengaruh Penggunaan Metode Drill Terhadap Hasil Belajar
Akuntansi Kelas X Semester Genap SMK Negeri 1 Metro Tahun Pelajaran 2015/
2016. PROMOSI (Jurnal Pendidikan Ekonomi) 4.2 (2016).
Sujana, Nana. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rokdakarya.

Profile Singkat
Erlyn Juniati, S.Pd. Menyelesaikan studi S1 PGSD UT. Kepala Sekolah SD Negeri 4 Kemloko
kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung. Prestasi yang pernah diraih menjadi Juara 1 Guru
berprestasi tingkat kabupaten tahun 2013.

292
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan

INDEKS SUBYEK

2 G
2013th Curriculum........................................................ 94 Grammar..................................................................... 251
Graphic calculator ...................................................... 106
A
H
Academic self-concept ................................................ 226
Academic Supervision ................................................... 49 Habitution ................................................................... 165
Active .......................................................................... 283 Hand Puppet ............................................................... 179
Adobe Flash CS4 Professional ..................................... 94 History ........................................................................ 118
Art Education ................................................................ 35
audio-visual media...................................................... 214 I
awareness ................................................................... 165
Inquiry Method ........................................................... 190
Instructional Media......................................................... 1
B
Interactive learning..................................................... 199
Bahasa Indonesia........................................................ 276 Interactive media .......................................................... 94
Interpersonal Communication ...................................... 39
C Intervention Strategies .................................................. 35
Islam ........................................................................... 118
Capability Analysis ....................................................... 83
Chain Writing Method ................................................ 276
L
Children with Special Needs ......................................... 35
Christianity ................................................................. 118 Learning achievement and participation .................... 190
Coaching....................................................................... 26 Learning activities ...................................................... 241
Cognitive Dimensions ................................................... 83 Learning activity ......................................................... 199
Contextual teaching and learning ............................... 143 Learning Activity and Achievement................................. 1
Creativity .................................................................... 257 Learning Objectives ...................................................... 83
Critical thinking .......................................................... 283 Learning Outcomes ..................................................... 267
Crusades ..................................................................... 118 Learning Outcomes Cognitive..................................... 126
Cuisenaire Rods .......................................................... 143 Level of Statistical Reasoning ...................................... 60
Curriculum 2013......................................................... 153 Listening ..................................................................... 179
Literacy Level Mathematics ........................................ 135
D
M
Day Care ...................................................................... 17
Drill Methods and group discussions ......................... 283 Management ................................................................. 17
Mathematic learning outcomes ................................... 143
E Mathematic Mastery ..................................................... 70
Mathematical Ability ................................................... 135
Early Childhood............................................................ 17 Mathematical Literacy ................................................ 135
Effective Hours ............................................................. 10 Mathematics ................................................................ 267
Effort to improve ......................................................... 143 Mathematics learning ................................................. 106
Elementary Teacher Education ..................................... 70 Mathematics learning outcomes ................................. 283
English Language Mastery ........................................... 70 Microteaching ............................................................. 251
Evaluation system ....................................................... 153 Modeling ....................................................................... 26
Exemplary ................................................................... 165 Motivation ............................................................. 10, 257

F N
Fables ......................................................................... 179 NHT ................................................................................ 1
Facilities ....................................................................... 17 Numbered Heads Together (NHT) .............................. 267

293
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan

P Student Teams Achievement Division (STAD) ............ 267

Perception................................................................... 153 T
Poetry writing skill ..................................................... 214
Postgraduate students ................................................. 226 Teachers Competence ................................................... 49
Practice......................................................................... 26 Teaching and learning skills ....................................... 251
Problem-based Learning .................................... 241, 257 The cost of education .................................................. 234
Product-process approach .......................................... 251 The Study Group ......................................................... 126
Thematic learning ......................................................... 94
Q Theory ........................................................................... 26

Quality of school ......................................................... 234 V


S Validation ..................................................................... 26
Values of the second principle of Pancasila ............... 165
Science learning outcomes .......................................... 199
Self-Concept.................................................................. 39 W
SETS ........................................................................... 257
Statistical Reasoning..................................................... 60 Writing ........................................................................ 276
Student Learning Achievement ..................................... 10

294
Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan

INDEKS PENGARANG

A N
Agni Era Hapsari ............................................................ 1 Normala Rahmadani N................................................ 241
Agustina Tyas Asri Hardini ........................................ 190 Nugroho Widiantono .................................................. 199
Andes Safarandes Asmara .......................................... 135 Nur Halimah ............................................................... 267
Aries Tika Damayani .................................................. 214 Nyoto Harjono ............................................................ 199
Arum Tri Lestari ......................................................... 214
Atalya Agustin ............................................................ 251 R
R. Gita Ardhy Nugraha ................................................. 94
D
Retno Fitriyanti ........................................................... 276
Dahroni ......................................................................... 26 Rochmad ..................................................................... 135
Darius Imanuel W ......................................................... 10 Rosalina S. S. Son ....................................................... 257
Desi Kusumawati .......................................................... 17
Desy Sugianto ............................................................. 179 S
Dwi Cahyadi Wibowo ................................................ 179
S. B. Waluya ............................................................... 135
Sapto Irawan ................................................................. 39
E
Sirilus Sirhi ................................................................. 126
Erlyn Juniati ................................................................ 283 Sri Tutur Martaningsih ................................................ 153
Eunice Widyanti Setyaningtias ................................... 276 Suhandi Astuti............................................................... 49
Sumardjono ................................................................. 267
H
T
Hilarius Jago Duda ..................................................... 126
Tjipto Subadi................................................................. 26
I Tri Nova Hasti Yunianta ............................................. 143
Tukiran Taniredja ....................................................... 165
Ika Maryani................................................................. 153
Indri Anugraheni................................................... 70, 241
U
Intan Kurnia Sari......................................................... 143
Ursula Dwi Oktaviani ................................................. 179
J
V
Jossapat Hendra Prijanto ............................................. 118
Jusuf Blegur ................................................................ 226 Via Yustitia ................................................................... 83

K W
Kurnia Putri Sepdikasari Dirgantoro ........................... 106 Wahyu Pramudita ......................................................... 70

L Y
Lia Mareza .................................................................... 35 Yulius Benny .............................................................. 126
Yusfita Yusuf ................................................................ 60
M
Z
Manoto Togatorop ...................................................... 234
Mudzanatun ................................................................ 214 Zuvyati A. Tlonaen ..................................................... 226
Muhammad Abduh ..................................................... 165

295

Potrebbero piacerti anche