Documenti di Didattica
Documenti di Professioni
Documenti di Cultura
ABSTRACT
Arif Indirwan Yunanto. NIM K5413011. FOREST FIRE RISK AREAS MAPPING IN
LAWU’S MOUNTAIN WEST SLOPE SIDE TAWANGMANGU DISTRICT
KARANGANYAR REGENCY 2018 (As a Supplementary Learning Material for Geography
Class X Curriculum 2013 Basic Competencies 3.2 Understanding the Basics of Mapping,
Remote Sensing, and Geographic Information Systems (GIS)). Undergraduate Thesis,
Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University. July 2019.
The purposes of this research is to know: 1) The function of the area in
Tawangmangu District; 2) The risk areas for forest fires in Tawangmangu Subdistrict.
The method used in this research is descriptive qualitative method and is carried out
by means of surveying and analyzing secondary data. This study uses a spatial approach to
examine the phenomenon of forest fires through spatial aspects. This approach describes the
relationship between the determinants of forest fire risk and the distribution of forest fire risk
areas and their differences with other fields of study with the same theme. The population in
this study is all forest land in Tawangmangu Subdistrict with sampling using purposive
sampling with consideration of the representation of population, accessibility, and even
distribution of samples. Data collection techniques in this study are by field observation,
archives / documents analysis, and image interpretation. Data analysis techniques used in
this research are stacking and scoring. The analysis in this study uses a Geographic
Information System application as well as to visualize the final results on a Tawangmangu
Subdistrict’s Forest Fire Risk Map.
The results showed that 1) In Tawangmangu District there were 4 types of regional
functions, namely the function of protected areas covering 4842.34 ha (77.45%) spread in
forest areas in Tengklik and Gondosuli Villages. The buffer area is 1348.31 ha (21.56%)
which is spread around the main roads in Tawangmangu Sub-District such as Tawangmangu,
and Kalisoro Villages. The area of annual crop cultivation is 18.58 ha (0.29%), in the village
of Plumbon. Seasonal cultivation areas and settlements covering 39.38 ha (0.62%) in
Karanglo Village; 2) In Tawangmangu Subdistrict there are 3 levels of forest fire risk, namely
moderate (842.52 Ha) spread in Sepanjang Village, Plumbon Village and Nglebak Village.
High (3649.2 Ha) in the Tawangmangu and Kalisoro Villages. Very high (889.58 ha) in
Gondosuli Village, Tengklik Village and Blumbang Village
Keywords: Forest Fire, Forest Fire Risk, Image Interpretation, Geographic Information
System (GIS)
2
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan sering terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah Pulau Sumatra dan
Kalimantan. Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah (tropical rain
forest) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. Kebakaran hutan antara lain
terjadi di Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan)
Provinsi Kalimantan Tengah.
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran bahan organik yang
menyebar secara bebas (wildfire) dengan mengonsumsi bahan bakar alam hutan, meliputi
serasah, humus, tanah gambut, ranting-ranting, gulma, semak, dedaunan, dan pohon-pohon
segar (Brown & Davis, 1973, dalam Akbar, 2016: 1).
Kebakaran diawali dengan adanya api yang merupakan akibat dari proses fisika dan
kimia. Terdapat tiga komponen yang saling berhubungan dengan proses terjadinya api, yaitu
bahan bakar, oksigen, dan panas. Bahan bakar di sini adalah segala bahan organik maupun
bahan non organik yang sewaktu-waktu dapat terbakar. Oksigen adalah salah satu komponen
gas penjaga kestabilan api dalam beberapa lama. Panas merupakan energi yang dapat
menyulut reaksi kimiawi pada bahan bakar sehingga muncul api.
Kabupaten Karanganyar memiliki luas wilayah 77.378,64 Ha atau 2,38% dari total
luas wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri dari luas tanah sawah 22.340,45 Ha dan luas
tanah kering 55.038,19 Ha. Tanah sawah terdiri dari irigasi teknis 19.212,51 Ha, non teknis
1.895,60 Ha, dan tidak berpengairan 1.232,34 Ha. Sedangkan luas hutan negara yang masih
terpelihara seluas 1.836,34 Ha. Sedangkan luas tanah yang dipergunakan untuk lahan
perkebunan seluas 3.622,16 Ha, dan peruntukan lain-lain seluas 11.210,80 Ha.
Kecamatan Tawangmangu yang uga memiliki wilayah hutan di Gunung Lawu juga
tidak lepas dari kejadian kebakaran hutan. Di Kecamatan Tawangmangu terjadi kebakaran
hutan. Hal ini merujuk pada tulisan Sumarsono (2012: 1-2),
“Kawasan hutan lindung Gunung Lawu terbakar, Senin (13/8/2012) dinihari.
Informasi yang dihimpun kebakaran terjadi di Hutan Lindung Dusun Dlingo, Desa
Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu, pada ketinggian 2780 meter diatas permukaan
laut”.
Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan merupakan upaya
pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan hutan melalui fungsi lindung, konservasi,
dan produksi dengan memperhitungkan kelangsungan persediaannya dan lingkungan sekitar
sesuai pasal 6 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pemerintah mengupayakan
3
pelestarian lingkungan dengan menyusun peraturan pemanfaatan tata ruang dan lahan. Salah
satu acuan penyusunan Rencana Tata Ruang adalah arahan fungsi kawasan dan pemanfaatan
lahannya. Tujuannya untuk mengupayakan kelestarian sumberdaya hutan dan keseimbangan
ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
eksistensi kelestarian lingkungan.
Kebakaran hutan lindung di Kecamatan Tawangmangu juga terjadi karena kondisi
fisik berupa kecuraman lereng. Lereng sebagai salah satu yang mempengaruhi perilaku api
dievaluasi sebagai parameter dengan bobot tertinggi kedua setelah tutupan lahan. Kebakaran
bergerak paling cepat ke lereng atas dan pergerakan paling lambat ke arah bawah lereng
(Erten, 2004). Dengan kondisi lereng di fungsi kawasan lindung yang lebih dari 40% maka
dapat disimpulkan bahwa di fungsi kawasan lindung juga memiliki resiko bencana kebakaran
hutan yang tinggi.
Ketiadaan peta resiko kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu menyebabkan
pengendalian kebakaran hutan mengalami kendala dalam memahami dinamika kejadian
kebakaran hutan dan menentukan prioritas tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran
hutan. Dengan adanya kondisi geografis yang sedemikian rupa serta adanya peristiwa
kebakaran hutan di Kabupaten Karanganyar khususya di Kecamatan Tawangmangu, maka
dianggap perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Secara garis besar tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui luasan dan sebaran
lahan berdasarkan fungsi kawasan di Kecamatan Tawangmangu. 2) Mengetahui luasan dan
sebaran wilayah resiko kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.
Kecamatan Tawangmangu meliputi 10 desa/kelurahan yaitu Desa Gondosuli, Kelurahan
Tawangmangu, Desa Plumbon, Kelurahan Blumbang, Desa Bandardawung, Kelurahan
Kalisoro, Desa Karanglo, Desa Nglebak, Desa Tengklik, dan Desa Sepanjang. Berdasarkan
Peta RBI lembar 1508-131 Tawangmangu dan lembar 1508-132 Poncol dari
BAKOSURTANAL, secara geografis Kecamatan Tawangmangu terletak antara 7,62 o LS –
7,69o LS dan 111,07o BT – 111,19o BT.
Kecamatan Tawangmangu dipilih sebagai tempat penelitian dikarenakan kecamatan
ini sebagai salah satu kecamatan yang terdampak langsung oleh bencana kebakaran hutan di
lereng Gunung Lawu. Oleh Karena itu, penting untuk mengetahui lokasi mana saja yang
4
beresiko terkena bencana kebakaran hutan agar semua pihak dapat bersiaga menghadapi
kemungkinan bencana kebakaran hutan lagi.
Dalam penelitian ini yaitu berupaya untuk memaparkan kondisi wilayah resiko
bencana kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu berusaha memaparkan kondisi nyata fenomena di lapangan dengan
penekanan pada upaya mengungkapkan hal-hal terkait proses dan sebaran kebakaran hutan
serta dengan menganalisis hubungan antar parameter-parameter resiko kebakaran hutan.
Dikarenakan wilayah dengan ciri yang berbeda juga akan memiliki resiko yang berbeda pula.
Metode deskriptif kualitatif dilaksanakan dengan cara survei dan analisis arsip atau
dokumen. Survei dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran langsung di
lapangan terhadap parameter-parameter resiko kebakaran hutan. Sedangkan analisis arsip atau
dokumen dilakukan dengan cara menganalisis data-data sekunder dari pihak berwenang. Unit
analisis yang dipakai pada penelitian ini adalah satuan lahan hasil tumpang susun variabel
penentuan fungsi kawasan, dengan asumsi bahwa pada satuan lahan yang terbentuk dapat
mencerminkan sifat dan pengaruh masing-masing variabel penentu fungsi kawasan pada unit
analisis tersebut.
Populasi penelitian ini menekankan pada objek fisik. Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh lahan hutan yang dibatasi oleh wilayah administrasi Kecamatan
Tawangmangu. Unit analisis satuan lahan terbentuk dari tumpang susun dari unsur geologi,
lereng, tanah, dan penutupan lahan. Teknik pengambilan subjek penelitian dilakukan dengan
cara penentuan sampel dari sekian populasi berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu
subjek penelitian diambil dengan pertimbangan satuan lahan yang dipilih sebagai sampel
telah mewakili populasi yang sama, aksesibilitasnya mudah, dan persebarannya dianggap
merata pada wilayah Kecamatan Tawangmangu.
Pada penelitian ini pengumpulan data berdasarkan pada satuan lahan yang tercantum
pada Peta Kerja dengan skala 1:50.000 dengan luasan poligon terkecil yang tercantum pada
Peta Kerja seluas 6,25 Ha. Skala ini dipilih untuk mempermudah pemerolehan dan
pemrosesan data sesuai dengan peta hasil yang ingin divisualisasikan. Untuk mengetahui
distribusi tingkat resiko bencana kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu tidak mugkin
hanya dilihat secara langsung. Oleh karena itu dibutuhkan media untuk menelaah dan
mengetahui tingkat resiko bencana kebakaran hutan. Yaitu dengan memvisualisasikan kondisi
tersebut pada Peta Resiko Kebakaran Hutan pada skala 1:50.000. Pada peta skala ini luasan
poligon terkecil yang dapat divisualisasikan yaitu 6,25 Ha. Merujuk pada rumus Satuan
Pemetaan Terkecil (SPT) dari Badan Informasi Geospasial
Iklim
Keadaan curah hujan di lokasi dilihat dari data curah hujan selama sepuluh tahun
dari beberapa stasiun pengamatan hujan baik di dalam maupun di sekitar Kecamatan
Tawangmangu yaitu Stasiun 130-Tawangmangu, Stasiun 120a-Kemuning, Stasiun 128c-
Ngargoyoso, dan Stasiun 125-Matesih, dari data curah hujan stasiun itu dihubungkan
sehingga dapat diketahui tipe curah hujan Kecamatan Tawangmangu.
Geologi
Berdasarkan Peta Geologi lembar 1508-1 Ponorogo Skala 1:100.000 tahun 1997
yang dikeluarkan oleh PUSLITBANG Geologi, susunan geologi daerah penelitian adalah
Andesit seluas 77,74 Ha, batuan Gunungapi Lawu seluas 2565,05 Ha, Breksi
Jobolarangan seluas 150,71 Ha, Formasi Wonosari seluas 163,64 Ha, Lahar Lawu seluas
712,78 Ha, Lava Candradimuka seluas 422,86 Ha, Lava Jobolarangan seluas 132,74 Ha,
dan Lava Sidoramping seluas 2026,31 Ha.
Lereng
Klasifikasi kelas lereng di Kecamatan Tawangmangu terbagi dalam lima kelas.
Kemiringan lereng dinyatakan dalam bentuk prosentase (%). Keadaan lereng suatu lokasi
mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan sifat api dan kondisi
angin yang mempengatuhi api lebih cepat merambat ke atas suatu lereng.
Arah Lereng
Arah lereng sebagai konfigurasi lereng menurut arah mata angin. Arah lereng
diukur menggunakan kompas bidik sehingga diketahui sudut lerengnya. Lereng yang
diukur adalah lereng utama dari sebuah satuan lahan.
Tanah
Berdasarkan peta tanah tinjau Kabupaten Karanganyar skala 1:250.000, di
Kecamatan Tawangmangu terdapat empat macam tanah yaitu Latosol Cokelat, Latosol
Cokelat Kemerahan, Mediteran Cokelat, dan Kompleks Andosol Cokelat, Andosol
Cokelat Kekuningan, dan Litosol.
Penutup Lahan
Tutupan lahan sebagai tutupan biofisik pada suatu permukaan bumi yang dapat
diamati, merupakan suatu hasil pengaturan alamiah dan aktivitas atau perlakuan manusia
yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bentuk tutupan lahan di Kecamatan Tawangmangu berdasarkan interpretasi citra Ikonos
Google Earth dan observasi lapangan. Beberapa jenis tutupan lahan yang terdapat di
9
Kecamatan Tawangmangu adalah belukar, Hutan campuran, hutan pinus, lahan kosong,
permukiman, sawah irigasi, ladang palawija, dan kebun sayur.
Satuan Lahan
Satuan lahan diperoleh dari tumpang susun dari Peta Geologi, Peta Kemiringan
Lereng, Peta Tanah, dan Peta Tutupan Lahan. Satuan lahan dianggap sebagai pewakil
dari satuan pemetaan yang memiliki karakteristik lahan tertentu yang digambarkan dalam
sebuah peta. Penyusun satuan lahan yang pertama adalah formasi geologi. Dari penyusun
tersebut kemudian dilakukan tumpang susun sehingga didapatkan 101 satuan lahan di
Kecamatan Tawangmangu. Informasi mengenai sebaran satuan lahan di Kecamatan
Tawangmangu dapat dilihat pada Peta Satuan Lahan Kecamatan Tawangmangu 2018
Fungsi Kawasan
Adanya variasi penyusunan lahan yang berupa batuan, tanah, kemiringan lereng,
dan tutupan lahan menyebabkan terjadinya perbedaan sifat dan karakteristik lahan.
Artinya setiap lahan mempunyai fungsi tersendiri dalam pengaruhnya untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Sesuai dengan tujuannya fungsi kawasan diperoleh dari
tumpang susun dan skoring antara intensitas curah hujan, kemiringan lereng, dan tanah.
Fungsi kawasan di Kecamatan Tawangmangu dibedakan menjadi 4 macam yaitu
Kawasan Lindung (KL), Kawasan Penyangga (KP), Kawasan Budidaya Tanaman
Tahunan (KBTT), Kawasan Budidaya Tanaman Musiman dan Permukiman (KBTMP).
Fungsi kawasan di Kecamatan Tawangmangu dibedakan menjadi 4 macam yaitu
Kawasan Lindung (KL) seluas 4842,34 Ha, Kawasan Penyangga (KP) seluas 1348,31
Ha, Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan (KBTT) seluas 18,58 Ha, Kawasan Budidaya
Tanaman Musiman dan Permukiman (KBTMP) seluas 39,38 Ha.
Fungsi kawasan juga dapat ditunjukkan melalui Peta Fungsi Kawasan
berdasarkan hasil tumpangsusun dan skoring penentu fungsi kawasan. Berikut ini
merupakan Peta Fungsi Kawasan Kecamatan Tawangmangu tahun 2018.
lahan beresiko sangat tinggi menunjukkan bahwa nilai dari masing-masing parameter
berada pada nilai maksimal. Seperti bervegtasi belukar dan hutan, serta berlereng curam.
Tabel 7 Luasan Resiko Kebakaran Hutan per Satuan Lahan Kecamatan Tawangmangu
2018
Kelas Resiko
No Desa Sangat Tidak Luas (Ha)
Sedang Tinggi
Tinggi Dianalisis
1 Gondosuli 186,82 765,32 269,56 50,79 1272,49
2 Tengklik 302,15 496,28 186,54 49,78 1034,75
3 Blumbang 111,38 770,4 52,75 49,56 984,09
4 Tawangmangu 18,07 431,81 15,98 184,96 650,82
5 Sepanjang 7,32 255,64 213,68 86,77 563,41
6 Kalisoro 0,77 394,95 7,08 94,55 497,35
7 Plumbon 48,29 266,89 72,86 59,9 447,94
8 Bandardawung 107,56 94,63 35,36 89,8 327,35
9 Nglebak 4,55 121,06 35,77 108,63 270,01
10 Karanglo 55,61 52,22 0 95,79 203,62
Jumlah 842,52 3649,2 889,58 870,53 6251,83
Sumber: Hasil Analisis Data Resiko Kebakaran Hutan Kecamatan Tawangmangu 2018
Tabel 4.18 Luasan Resiko Kebakaran Hutan per Fungsi Kawasan Kecamatan
Tawangmangu 2018
Kelas Resiko
Luas
No Fungsi Kawasan Sangat Tidak
Sedang Tinggi (Ha)
Tinggi Dianalisis
1 Lindung 402,81 3310,43 835,27 295,43 4843,94
2 Penyangga 423,42 317,8 41,14 567,57 1349,93
3 Budidaya Tanaman
18,58 0 0 0 18,58
Tahunan
4 Budidaya Tanaman
Musiman dan 32,13 0 0 7,24 39,37
Permukiman
Jumlah 876,94 3628,23 876,41 870,24 6251,83
Sumber: Analisis Data Resiko Kebakaran Hutan Kecamatan Tawanmangu 2018
Dari tabel 4.15 dapat diketahui bahwa kawasan paling beresiko terjadinya bencana
kebakaran hutan yaitu kawasan lindung. Kawasan lindung memiliki tingkat resiko
bencana kebakaran paling tinggi mulai dari kelas resiko sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Fungsi kawasan lindung berada pada wilayah administrasi Desa Gondosuli, Kelurahan
Blumbang, Kelurahan Kalisoro, Kelurahan Tawangmangu, dan Desa Tengklik. Kawasan
penyangga memiliki tingkat resiko kebakaran ke dua setelah kawasan lindung. Kawasan
ini tersebar di sekitar permukiman dan perkebunan di Kcamatan Tawangmangu yaitu di
Desa Tengklik bagian barat, Desa Sepanjang bagian barat, dan Desa Plumbon. Lahan
14
dengan tingkat resiko bencana kebakaran hutan paling kecil adalah kawasan budidaya
tanaman tahunan yang tersebar di Desa Plumbon. Untuk mengetahui persebaran lahan
fungsi kawasan berdasarkan tingkat resiko bencana kebakaran hutan dapat dilihat pada
Peta Resiko Kebakaran Hutan per Fungsi Kawasan Kecamatan Tawangmangu.
Pembahasan
Pola keruangan Kecamatan Tawangmangu menunjukkan bahwa di kecamatan ini
memiliki tingkat resiko terjadinya bencana kebakaran hutan. Kondisi lereng gunung
dengan vegetasi berupa lahan hutan kering primer dengan jenis vegetasi hutan campuran,
pinus, dan mahoni, juga tanaman keras lainnya menjadi suatu sumber bahan bakar yang
mudah tersulut api di kala musim kemarau. Semak belukar dan serasah kering di bawah
pohon-pohon besar menjadi mudah terbakar di kala musim kemarau. Selain itu aktivitas
manusia sekitar areal hutan baik yang bermukim, bertani, mencari kayu, membuka lahan,
dan lain sebagainya berpotensi untuk terjadi kasus kebakaran yang menjalar hingga areal
hutan.
15
kebakaran hutan sudah ada. Aktivitas pembakaran sampah hingga kejadian tidak terduga
akibat ketidaksengajaan pada pedagang yang mengakibatkan kebakaran juga dapat
menjalar ke areal hutan. Selanjutnya pada situasi jalur pendakian yang merupakan salah
satu faktor penentu resiko kebakaran hutan. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa
semakin dekar suatu areal hutan dengan jalan maka semakin tinggi pula resiko kebakaran
hutan dikarenakan berhubungan dengan aktivitas manusia yang berlalu-lalang di sekitar
areal hutan. Sudah menjadi kebiasaan para pendaki untuk merokok untuk mengurangi rasa
dingin dan disela-sela perjalanan untuk berhenti sejenak guna melepas lelah. Keteledoran
dalam membuang punting rokok sangat berbahaya untuk area disekitar yang merupakan
hutan maupun semak belukar. Kondisi lereng yang curam berakibat pada mudahnya
penjalaran api ke arah atas. Selanjutnya pada kondisi pendaki pada saat di tiap-tiap pos
pendakian hingga puncak. Aktivitas memasak dan penyalaan api unggun juga berakibat
fatal jika tidak ditangani dengan benar. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa mulai
dari awal jalur pendakian hingga puncak memiliki resiko terjadinya bencana kebakaran
hutan. Sehingga semakin ke arah utara atau ke arah atas dari sisi gerbang pendakian, maka
semakin tinggi pula resiko terjadinya kebakaran hutan denga asumsi bagian bawah berupa
aktivitas warung, semakin ke arah utara atau ke arah atas menuju puncak Gunung Lawu
berupa aktivitas negatif selama pendakian, dan di bagian sekitar puncak yaitu api unggun
dan memasak. Hal ini dibuktikan dengan peta hasil dalam penelitian ini bahwa sekitar
jalur pendakian yakni di wilayah Desa Tengklik dan Desa Gondosuli bagian timur
memiliki tingkat resiko sangat tinggi terhadap bencana kebakaran hutan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis di Kecamatan Tawangmangu terdapat 4 macam fungsi kawasan,
yaitu fungsi kawasan lindung seluas 4842,34 Ha (77,45%), kawasan penyangga seluas
1348,31 Ha (21,56%), kawasan budidaya tanaman tahunan seluas 18,58 Ha (0,29%), dan
kawasan budidaya tanaman musiman dan permukiman seluas 39,38 Ha (0,62%). Kawasan
lindung terluas di Desa Gondosuli seluas 992,59 Ha dan yang tersempit di Desa Karanglo
seluas 69,24 Ha. Kawasan penyangga terluas di Desa Plumbon seluas 185,92 Ha dan yang
tersempit di Desa Sepanjang seluas 34,37 Ha. Kawasan budidaya tanaman tahunan hanya
terdapat di Desa Plumbon seluas 18,58 Ha. Kawasan budidaya tanaman musiman dan
17
permukiman terluas berada di Desa Karanglo seluas 25,39 Ha dan tersempit di Desa
Bandardawung seluas 13,98 Ha.
2. Berdasarkan hasil analisis di Kecamatan Tawangmangu terdapat 3 tingkat resiko
kebakaran hutan, yaitu sedang (842,52 Ha), tinggi (3649,2 Ha), dan sangat tinggi (889,58
Ha). Kelas resiko kebakaran sedang terluas berada di Desa Tengklik seluas 302,15 Ha dan
yang tersempit di Kelurahan Kalisoro seluas 0,77 Ha. Kelas resiko tinggi terluas berada di
Desa Gondosuli seluas 765,32 Ha dan yang tersempit di Desa Karanglo seluas 52,22 Ha.
Kelas resiko sangat tinggi terluas berada di Desa Gondosuli seluas 269,56 Ha dan
tersempit di Desa Karanglo dengan nilai nol Ha. Fungsi kawasan dengan resiko sangat
tinggi berada pada kawasan lindung seluas 835 Ha. Fungsi kawasan yang beresiko tinggi
adalah kawasan penyangga. Sedangkan kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan
budidaya tanaman musiman dan permukinan memiliki resiko rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. (2016). Pemahaman dan Solusi Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia. Bogor:
Forda Press
Alisjahbana, A., dkk. (2014, 14 Maret). Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat
Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013. World Resources Institute.
Diperoleh pada 20 November 2016, dari
http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-di-indonesia-mencapa i-tingkat-
tertinggi-sejak-kondisi-darurat-kabut
Amirullah, A. (2009, 25 Juni). Delapan Provinsi Indonesia Rawan Kebakaran Hutan. Viva
News. Diperoleh pada 20 November 2016, dari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/69967-8-titik-hutan-indonesia-rawan-
kebakaran
Ariefana, P. (2015, 27 Oktober). Seribu Hektare Lahan di Enam Gunung Jawa Tengah
Terbakar. Suara. Diperoleh pada 21 November 2016, dari
http://m.suara.com/news/2015/0/27/184054/seribu-hektare-di-enam-gunung-jawa-
tengah-terbakar
Badan Pusat Statistik. (2012). Luas Kawasan Hutan dan Perairan Menurut Provinsi. diperoleh
pada 20 November 2016, dari https://www.bps.go.id /linkTabelStatis/view/id/1716
Baja, S. 2012. Perancanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah Pendekatan
Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta: Andi
18
Berita Terkini. (2015, 25 Oktober) Kebakaran Gunung Lawu Belum Dapat Diatasi, Merembet
ke Jawa Tengah. Diperoleh pada 21 November 2016, dari
http://bnpb.go.id/home/detail/2682/Kebakaran-Gunung-Lawu-Belum-Dapat-Diatasi,-
Merembet-ke-Jawa-Tengah
Cáceres, C.F. (2011). Using GIS in Hotspots Analysis and for Forest Fire Fisk Zones
Mapping in the Yeguare Region, Southeastern Honduras. dalam Papers Resource
Analysis. 14 pp. Volume 13. University Central Services Press, Saint Mary’s
University of Minnesota. Amerika Serikat. Diperoleh pada 12 November 2016, dari
www.gis.smumn.edu /GradProjects/CaceresC.pdf
Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Sukabumi. (2017). Teori Segitiga Api. Diperoleh pada
12 Maret 2018, dari https://dinasdam kar.sukabumikab.go.id/2017/12/15/teori-
segitiga-api/
Erten, E., Kurgun, V., & Musaoglu, N. (2004). Forest Fire Risk Zone Mapping from Satelite
Imagery and GIS a Case Study. Dalam International Society for Photogrammetry
and Remote Sensing XXXV Proceeding Congress. Remote Sensing Division, Turkey.
Diperoleh pada 12 November 2016, dari http://www.isprs.org/proceeding/XXXV
/congress/yf/papers/927.pdf
Jaiswal, R.K., dkk. (2002). Forest Fire Risk Zone Mapping from Satellite Imagery and GIS.
Dalam International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation,
Volume 4, 1-10. Diperoleh pada 14 November 2016, dari
https://www.researchgate.net/publication/222180940_Forest_fire_
risk_zone_mapping_from_satellite_imagery_and_GIS
Jawad, A., Nurdjali, B., & Widiastuti, T. (2015). Zonasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan
Lahan di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Dalam Jurnal Hutan Lestari,
Volume 3, 88-97. Diperoleh pada 4 Maret 2018, dari
http://www.neliti.com/publications/10428
Kastolani, A. (2018). Ratusan Pendaki di Gunung Lawu Dievakuasi akibat Kebakaran Hutan.
Diperoleh pada 20 November 2016, dari http://www.inews.id/
19
Kelvin., Yuliana, P.E., & Rahayu, S. (2015). Pemetaan Lokasi Kebakaran berdasarkan Prinsip
Segitiga Api pada Industri Textile. Dalam Seminar Nasional Inovasi dalam Desain
dan Teknologi, ISSN: 2089-1121, 1-8. Diperoleh pada 6 Maret 2018, dari https://
www.researchgate.net/publication/319236837
Matin, M.A., dkk. (2017). Understanding Forest Fire Patterns and Risk in Nepal Using
Remote Sensing, Geograpic Information System and Historical Fire Data. Dalam
International Journal of Wildland Fire, Volume 26, 276-286. Diperoleh pada 29 Mei
2017, dari http://www.publish.csiro.au/WF/WF16056
Miardini, A. & Nugroho, N.P. (2013). Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan
Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Studi
Kasus di Taman Nasional Bali Barat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi
Pengelolaan DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi,
Bogor
Normalized Difference Moisture Index (NDMI). (2017). Diperoleh pada 8 Januari 2018, dari
http://www.pro.arcgis.com/help
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah
Rasyid, F. (2014). Permasalahan Dan Dampak Kebakaran Hutan. Dalam Jurnal Lingkar
Widyaiswara, Edisi I, No. 4, 47-59. Diperoleh pada 30 Januari 2019, dari
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf
Sistem Informasi Data dan Grafik Kabupaten Karanganyar. (2015). Data Luas Hutan.
Diperoleh pada 20 November 2016, dari
http://profildaerah.karanganyarkab.go.id/index.php/karanganyar/grafik/luas_hutan/74
?r=1&width=1366&height=768
Spicer, B. (2016). Top Ten Countries with Largest Area of Forest. Maps of World. Diperoleh
pada 18 November 2016, dari http://www.mapsofworld.com/world-top-
ten/countries-with-most-largest-area-of-forest.html
20
Sutanto. (1986). Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
World Atlas. (2015, 10 Desember). Largest Wildfires in the World. Diperoleh pada 19
November 2016, dari http://www.worldatlas.com/articles/the-blaze-of-oblivion-the-
top-deadliest-wildfires-in-the-world.html
Yunanto, A.I. (2019). Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Pemetaan Wilayah
Resiko Kebakaran Hutan di Lereng Barat Gunung Lawu Kecamatan Tawangmangu
Kabupaten Karanganyar 2018. Skripsi. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret
Zain, S.A. (1997). Hukum Lingkungan Konservavsi Hutan. Jakarta: Rineka Cipta