Sei sulla pagina 1di 20

1

PEMETAAN WILAYAH RESIKO KEBAKARAN HUTAN


DI LERENG BARAT GUNUNG LAWU KECAMATAN TAWANGMANGU
KABUPATEN KARANGANYAR 2018

Arif Indirwan Yunanto1, Setya Nugraha2, Rahning Utomowati3


1
Program Studi Pendidikan Geografi, FKIP, UNS Surakarta, Indonesia
2) 3)
Dosen Program Studi Pendidikan Geografi, FKIP, UNS, Surakarta, Indonesia
Keperluan Korespondensi, Hp: 081234302703,
e-mail: arifbse123@gmail.com

ABSTRACT

Arif Indirwan Yunanto. NIM K5413011. FOREST FIRE RISK AREAS MAPPING IN
LAWU’S MOUNTAIN WEST SLOPE SIDE TAWANGMANGU DISTRICT
KARANGANYAR REGENCY 2018 (As a Supplementary Learning Material for Geography
Class X Curriculum 2013 Basic Competencies 3.2 Understanding the Basics of Mapping,
Remote Sensing, and Geographic Information Systems (GIS)). Undergraduate Thesis,
Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University. July 2019.
The purposes of this research is to know: 1) The function of the area in
Tawangmangu District; 2) The risk areas for forest fires in Tawangmangu Subdistrict.
The method used in this research is descriptive qualitative method and is carried out
by means of surveying and analyzing secondary data. This study uses a spatial approach to
examine the phenomenon of forest fires through spatial aspects. This approach describes the
relationship between the determinants of forest fire risk and the distribution of forest fire risk
areas and their differences with other fields of study with the same theme. The population in
this study is all forest land in Tawangmangu Subdistrict with sampling using purposive
sampling with consideration of the representation of population, accessibility, and even
distribution of samples. Data collection techniques in this study are by field observation,
archives / documents analysis, and image interpretation. Data analysis techniques used in
this research are stacking and scoring. The analysis in this study uses a Geographic
Information System application as well as to visualize the final results on a Tawangmangu
Subdistrict’s Forest Fire Risk Map.
The results showed that 1) In Tawangmangu District there were 4 types of regional
functions, namely the function of protected areas covering 4842.34 ha (77.45%) spread in
forest areas in Tengklik and Gondosuli Villages. The buffer area is 1348.31 ha (21.56%)
which is spread around the main roads in Tawangmangu Sub-District such as Tawangmangu,
and Kalisoro Villages. The area of annual crop cultivation is 18.58 ha (0.29%), in the village
of Plumbon. Seasonal cultivation areas and settlements covering 39.38 ha (0.62%) in
Karanglo Village; 2) In Tawangmangu Subdistrict there are 3 levels of forest fire risk, namely
moderate (842.52 Ha) spread in Sepanjang Village, Plumbon Village and Nglebak Village.
High (3649.2 Ha) in the Tawangmangu and Kalisoro Villages. Very high (889.58 ha) in
Gondosuli Village, Tengklik Village and Blumbang Village

Keywords: Forest Fire, Forest Fire Risk, Image Interpretation, Geographic Information
System (GIS)
2

PENDAHULUAN
Kebakaran hutan sering terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah Pulau Sumatra dan
Kalimantan. Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah (tropical rain
forest) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. Kebakaran hutan antara lain
terjadi di Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Sungai Katingan)
Provinsi Kalimantan Tengah.
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran bahan organik yang
menyebar secara bebas (wildfire) dengan mengonsumsi bahan bakar alam hutan, meliputi
serasah, humus, tanah gambut, ranting-ranting, gulma, semak, dedaunan, dan pohon-pohon
segar (Brown & Davis, 1973, dalam Akbar, 2016: 1).
Kebakaran diawali dengan adanya api yang merupakan akibat dari proses fisika dan
kimia. Terdapat tiga komponen yang saling berhubungan dengan proses terjadinya api, yaitu
bahan bakar, oksigen, dan panas. Bahan bakar di sini adalah segala bahan organik maupun
bahan non organik yang sewaktu-waktu dapat terbakar. Oksigen adalah salah satu komponen
gas penjaga kestabilan api dalam beberapa lama. Panas merupakan energi yang dapat
menyulut reaksi kimiawi pada bahan bakar sehingga muncul api.
Kabupaten Karanganyar memiliki luas wilayah 77.378,64 Ha atau 2,38% dari total
luas wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri dari luas tanah sawah 22.340,45 Ha dan luas
tanah kering 55.038,19 Ha. Tanah sawah terdiri dari irigasi teknis 19.212,51 Ha, non teknis
1.895,60 Ha, dan tidak berpengairan 1.232,34 Ha. Sedangkan luas hutan negara yang masih
terpelihara seluas 1.836,34 Ha. Sedangkan luas tanah yang dipergunakan untuk lahan
perkebunan seluas 3.622,16 Ha, dan peruntukan lain-lain seluas 11.210,80 Ha.

Kecamatan Tawangmangu yang uga memiliki wilayah hutan di Gunung Lawu juga
tidak lepas dari kejadian kebakaran hutan. Di Kecamatan Tawangmangu terjadi kebakaran
hutan. Hal ini merujuk pada tulisan Sumarsono (2012: 1-2),
“Kawasan hutan lindung Gunung Lawu terbakar, Senin (13/8/2012) dinihari.
Informasi yang dihimpun kebakaran terjadi di Hutan Lindung Dusun Dlingo, Desa
Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu, pada ketinggian 2780 meter diatas permukaan
laut”.
Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan merupakan upaya
pengelolaan sumberdaya alam di dalam kawasan hutan melalui fungsi lindung, konservasi,
dan produksi dengan memperhitungkan kelangsungan persediaannya dan lingkungan sekitar
sesuai pasal 6 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pemerintah mengupayakan
3

pelestarian lingkungan dengan menyusun peraturan pemanfaatan tata ruang dan lahan. Salah
satu acuan penyusunan Rencana Tata Ruang adalah arahan fungsi kawasan dan pemanfaatan
lahannya. Tujuannya untuk mengupayakan kelestarian sumberdaya hutan dan keseimbangan
ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
eksistensi kelestarian lingkungan.
Kebakaran hutan lindung di Kecamatan Tawangmangu juga terjadi karena kondisi
fisik berupa kecuraman lereng. Lereng sebagai salah satu yang mempengaruhi perilaku api
dievaluasi sebagai parameter dengan bobot tertinggi kedua setelah tutupan lahan. Kebakaran
bergerak paling cepat ke lereng atas dan pergerakan paling lambat ke arah bawah lereng
(Erten, 2004). Dengan kondisi lereng di fungsi kawasan lindung yang lebih dari 40% maka
dapat disimpulkan bahwa di fungsi kawasan lindung juga memiliki resiko bencana kebakaran
hutan yang tinggi.
Ketiadaan peta resiko kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu menyebabkan
pengendalian kebakaran hutan mengalami kendala dalam memahami dinamika kejadian
kebakaran hutan dan menentukan prioritas tindakan pencegahan dan pengendalian kebakaran
hutan. Dengan adanya kondisi geografis yang sedemikian rupa serta adanya peristiwa
kebakaran hutan di Kabupaten Karanganyar khususya di Kecamatan Tawangmangu, maka
dianggap perlu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Secara garis besar tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui luasan dan sebaran
lahan berdasarkan fungsi kawasan di Kecamatan Tawangmangu. 2) Mengetahui luasan dan
sebaran wilayah resiko kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.
Kecamatan Tawangmangu meliputi 10 desa/kelurahan yaitu Desa Gondosuli, Kelurahan
Tawangmangu, Desa Plumbon, Kelurahan Blumbang, Desa Bandardawung, Kelurahan
Kalisoro, Desa Karanglo, Desa Nglebak, Desa Tengklik, dan Desa Sepanjang. Berdasarkan
Peta RBI lembar 1508-131 Tawangmangu dan lembar 1508-132 Poncol dari
BAKOSURTANAL, secara geografis Kecamatan Tawangmangu terletak antara 7,62 o LS –
7,69o LS dan 111,07o BT – 111,19o BT.
Kecamatan Tawangmangu dipilih sebagai tempat penelitian dikarenakan kecamatan
ini sebagai salah satu kecamatan yang terdampak langsung oleh bencana kebakaran hutan di
lereng Gunung Lawu. Oleh Karena itu, penting untuk mengetahui lokasi mana saja yang
4

beresiko terkena bencana kebakaran hutan agar semua pihak dapat bersiaga menghadapi
kemungkinan bencana kebakaran hutan lagi.
Dalam penelitian ini yaitu berupaya untuk memaparkan kondisi wilayah resiko
bencana kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif, yaitu berusaha memaparkan kondisi nyata fenomena di lapangan dengan
penekanan pada upaya mengungkapkan hal-hal terkait proses dan sebaran kebakaran hutan
serta dengan menganalisis hubungan antar parameter-parameter resiko kebakaran hutan.
Dikarenakan wilayah dengan ciri yang berbeda juga akan memiliki resiko yang berbeda pula.

Tabel 2.2 Bobot Parameter Penentu Resiko Kebakaran Hutan


Parameter Bobot Kelas Nilai Kelas Penilaian
Faktor
Semak 5 Sangat tinggi
Hutan lahan kering primer/ 4 Tinggi
hutan lahan kering sekunder
Vegetasi 7 Perkebunan/ sawah 3 Sedang
Hutan mangrove/ hutan 2 Rendah
rawa
Tubuh air/ lahan terbuka 1 Sangat rendah

> 35% 5 Sangat tinggi


25% - 35% 4 Tinggi
Lereng 5 10% - 25% 3 Sedang
5% - 10% 2 Rendah
< 5% 1 Sangat rendah

Timur (45o NE - 135o SE) 5 Sangat tinggi


Arah Selatan (135o SE - 225o SW) 4 Tinggi
Lereng 5 Utara (315o NW - 45o NE) 3 Sedang
Barat (225o SW - 315o NW) 2 Rendah

< 100m 5 Sangat tinggi


Jarak 100m – 200m 4 Tinggi
Dari 3 200m – 300m 3 Sedang
Jalan 300m – 400m 2 Rendah
> 400m 1 Sangat rendah

< 1000m 5 Sangat tinggi


Jarak 1000m – 2000m 4 Tinggi
Dari 3 2000m – 3000m 3 Sedang
Permukiman > 3000m 2 Rendah
Sumber: Erten, 2004 dalam Miardini (2013: 95-95) dengan modifikasi
5

Metode deskriptif kualitatif dilaksanakan dengan cara survei dan analisis arsip atau
dokumen. Survei dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan pengukuran langsung di
lapangan terhadap parameter-parameter resiko kebakaran hutan. Sedangkan analisis arsip atau
dokumen dilakukan dengan cara menganalisis data-data sekunder dari pihak berwenang. Unit
analisis yang dipakai pada penelitian ini adalah satuan lahan hasil tumpang susun variabel
penentuan fungsi kawasan, dengan asumsi bahwa pada satuan lahan yang terbentuk dapat
mencerminkan sifat dan pengaruh masing-masing variabel penentu fungsi kawasan pada unit
analisis tersebut.
Populasi penelitian ini menekankan pada objek fisik. Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh lahan hutan yang dibatasi oleh wilayah administrasi Kecamatan
Tawangmangu. Unit analisis satuan lahan terbentuk dari tumpang susun dari unsur geologi,
lereng, tanah, dan penutupan lahan. Teknik pengambilan subjek penelitian dilakukan dengan
cara penentuan sampel dari sekian populasi berdasarkan teknik purposive sampling, yaitu
subjek penelitian diambil dengan pertimbangan satuan lahan yang dipilih sebagai sampel
telah mewakili populasi yang sama, aksesibilitasnya mudah, dan persebarannya dianggap
merata pada wilayah Kecamatan Tawangmangu.
Pada penelitian ini pengumpulan data berdasarkan pada satuan lahan yang tercantum
pada Peta Kerja dengan skala 1:50.000 dengan luasan poligon terkecil yang tercantum pada
Peta Kerja seluas 6,25 Ha. Skala ini dipilih untuk mempermudah pemerolehan dan
pemrosesan data sesuai dengan peta hasil yang ingin divisualisasikan. Untuk mengetahui
distribusi tingkat resiko bencana kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu tidak mugkin
hanya dilihat secara langsung. Oleh karena itu dibutuhkan media untuk menelaah dan
mengetahui tingkat resiko bencana kebakaran hutan. Yaitu dengan memvisualisasikan kondisi
tersebut pada Peta Resiko Kebakaran Hutan pada skala 1:50.000. Pada peta skala ini luasan
poligon terkecil yang dapat divisualisasikan yaitu 6,25 Ha. Merujuk pada rumus Satuan
Pemetaan Terkecil (SPT) dari Badan Informasi Geospasial

HASIL DAN PEMBAHASAN


Lokasi Penelitian
Letak, Batas, dan Luas
Kecamatan Tawangmangu secara administratif masuk sebagai salah satu
kecamatan yang berada paling timur di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah.
Secara astronomis Kecamatan Tawangmangu terletak diantara 7,62o LS – 7,69o LS dan
111,07o BT – 111,19o BT. Kecamatan tawangmangu terbagi dalam 10 satuan
6

administratif setingkat desa yaitu Desa Gondosuli, Kelurahan Tawangmangu, Desa


Plumbon, Kelurahan Blumbang, Desa Bandardawung, Kelurahan Kalisoro, Desa
Karanglo, Desa Nglebak, Desa Tengklik, dan Desa Sepanjang.

Gambar 1. Peta Administrasi Kecamatan Tawangmangu 2017

Iklim
Keadaan curah hujan di lokasi dilihat dari data curah hujan selama sepuluh tahun
dari beberapa stasiun pengamatan hujan baik di dalam maupun di sekitar Kecamatan
Tawangmangu yaitu Stasiun 130-Tawangmangu, Stasiun 120a-Kemuning, Stasiun 128c-
Ngargoyoso, dan Stasiun 125-Matesih, dari data curah hujan stasiun itu dihubungkan
sehingga dapat diketahui tipe curah hujan Kecamatan Tawangmangu.

Tabel 1 Tipe Curah Hujan di Kecamatan Tawangmangu 2017


No Stasiun Bulan Basah Bulan Q Tipe CH
Pengamatan Kering
1 Tawangmangu 8,3 3,4 40,9 C
2 Kemuning 6,4 6,2 96,8 D
3 Ngargoyoso 8,5 4,0 47,1 C
4 Matesih 4,4 8,1 184,1 F
Rerata 6,9 5,4 92,2 D
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Karanganyar dan hasil perhitungan tahun
2017
7

Geologi
Berdasarkan Peta Geologi lembar 1508-1 Ponorogo Skala 1:100.000 tahun 1997
yang dikeluarkan oleh PUSLITBANG Geologi, susunan geologi daerah penelitian adalah
Andesit seluas 77,74 Ha, batuan Gunungapi Lawu seluas 2565,05 Ha, Breksi
Jobolarangan seluas 150,71 Ha, Formasi Wonosari seluas 163,64 Ha, Lahar Lawu seluas
712,78 Ha, Lava Candradimuka seluas 422,86 Ha, Lava Jobolarangan seluas 132,74 Ha,
dan Lava Sidoramping seluas 2026,31 Ha.

Tabel 2 Formasi Geologi Kecamatan Tawangmangu 2018


Luasan
No Kode Formasi Geologi Prosentase (%)
(Ha)
1 Qvl Batuan Gunungapi Lawu 2565,05 41,03
2 Qvsl Lava Sidoramping 2026,31 32,41
3 Qlla Lahar Lawu 712,78 11,40
4 Qvcl Lava Candradimuka 422,86 6,76
5 Tmwl Formasi Wonosari 163,64 2,62
6 Qvjb Breksi Jobolarangan 150,71 2,41
7 Qvjl Lava Jobolarangan 132,74 2,12
8 Tma Andesit 77,74 1,24
Jumlah 6251,83 100
Sumber: Peta Geologi Indonesia Bersistem Tahun 1997 Skala 1:100.000 Lembar
Ponorogo 1508-1 dan Hasil Perhitungan tahun 2018

Lereng
Klasifikasi kelas lereng di Kecamatan Tawangmangu terbagi dalam lima kelas.
Kemiringan lereng dinyatakan dalam bentuk prosentase (%). Keadaan lereng suatu lokasi
mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan sifat api dan kondisi
angin yang mempengatuhi api lebih cepat merambat ke atas suatu lereng.

Tabel 3 Kelas Kemiringan Lereng Kecamatan Tawangmangu 2018


Kemiringan Luasan Prosentase
No
Lereng (Ha) (%)
1 <5% 39,38 0,63
2 5 – 10% 128,96 2,06
3 10 – 25% 1241,15 19,85
4 25 – 35% 124,03 1,98
5 >35% 4718,31 75,47
Jumlah 6251,83 100
Sumber: Peta Rupa Bumi Lembar 1508-131 Tawangmangu dan lembar 1508-132 Poncol
dan analisis data 2018
8

Arah Lereng
Arah lereng sebagai konfigurasi lereng menurut arah mata angin. Arah lereng
diukur menggunakan kompas bidik sehingga diketahui sudut lerengnya. Lereng yang
diukur adalah lereng utama dari sebuah satuan lahan.

Tabel 4 Arah Lereng Kecamatan Tawangmangu 2018


Luasan Prosentase
No Arah Lereng (%)
(Ha)
1 Utara 1437,12 22,99
2 Timur 1329,32 21,26
3 Selatan 1638,75 26,21
4 Barat 1846,64 29,54
Jumlah 6251,83 100
Sumber: Peta Rupa Bumi Lembar 1508-131 Tawangmangu dan lembar 1508-132 Poncol
dan analisis data 2018

Tanah
Berdasarkan peta tanah tinjau Kabupaten Karanganyar skala 1:250.000, di
Kecamatan Tawangmangu terdapat empat macam tanah yaitu Latosol Cokelat, Latosol
Cokelat Kemerahan, Mediteran Cokelat, dan Kompleks Andosol Cokelat, Andosol
Cokelat Kekuningan, dan Litosol.

Tabel 5 Macam Tanah Kecamatan Tawangmangu 2018


Luasan
No Kode Macam Tanah Prosentase
(Ha)
1 KAcAcK Kompleks Andosol Cokelat, 4695,51 75,11
Andosol Cokelat Kekuningan, dan
Litosol
2 Lac Latosol Cokelat 395,81 6,33
3 Lacm Latosol Cokelat Kemerahan 487,85 7,80
4 Mec Mediteran Cokelat 672,66 10,76
Jumlah 6251,83 100
Sumber: Peta Tanah Tinjau Kabupaten Karanganyar Tahun 1966

Penutup Lahan
Tutupan lahan sebagai tutupan biofisik pada suatu permukaan bumi yang dapat
diamati, merupakan suatu hasil pengaturan alamiah dan aktivitas atau perlakuan manusia
yang dilakukan pada jenis penutup lahan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bentuk tutupan lahan di Kecamatan Tawangmangu berdasarkan interpretasi citra Ikonos
Google Earth dan observasi lapangan. Beberapa jenis tutupan lahan yang terdapat di
9

Kecamatan Tawangmangu adalah belukar, Hutan campuran, hutan pinus, lahan kosong,
permukiman, sawah irigasi, ladang palawija, dan kebun sayur.

Tabel 6 Tutupan Lahan Kecamatan Tawangmangu 2018


Luasan Prosentase
No Tutupan Lahan
(Ha) (%)
1 Belukar 654,74 10,47
2 Hutan Campuran 2506,25 40,09
3 Hutan Pinus 842,68 13,48
4 Lahan Kosong 32,07 0,51
5 Permukiman 724,64 11,59
6 Sawah Irigasi 673,03 10,77
7 Ladang Palawija 275,75 4,41
8 Kebun Sayur 542,67 8,68
Jumlah 6251,83 100
Sumber: Citra Ikonos tanggal perekaman 27 Oktober 2015

Satuan Lahan
Satuan lahan diperoleh dari tumpang susun dari Peta Geologi, Peta Kemiringan
Lereng, Peta Tanah, dan Peta Tutupan Lahan. Satuan lahan dianggap sebagai pewakil
dari satuan pemetaan yang memiliki karakteristik lahan tertentu yang digambarkan dalam
sebuah peta. Penyusun satuan lahan yang pertama adalah formasi geologi. Dari penyusun
tersebut kemudian dilakukan tumpang susun sehingga didapatkan 101 satuan lahan di
Kecamatan Tawangmangu. Informasi mengenai sebaran satuan lahan di Kecamatan
Tawangmangu dapat dilihat pada Peta Satuan Lahan Kecamatan Tawangmangu 2018

Gambar 2 Peta Satuan Lahan Kecamatan Tawangmangu 2018


10

Fungsi Kawasan
Adanya variasi penyusunan lahan yang berupa batuan, tanah, kemiringan lereng,
dan tutupan lahan menyebabkan terjadinya perbedaan sifat dan karakteristik lahan.
Artinya setiap lahan mempunyai fungsi tersendiri dalam pengaruhnya untuk menjaga
kelestarian lingkungan hidup. Sesuai dengan tujuannya fungsi kawasan diperoleh dari
tumpang susun dan skoring antara intensitas curah hujan, kemiringan lereng, dan tanah.
Fungsi kawasan di Kecamatan Tawangmangu dibedakan menjadi 4 macam yaitu
Kawasan Lindung (KL), Kawasan Penyangga (KP), Kawasan Budidaya Tanaman
Tahunan (KBTT), Kawasan Budidaya Tanaman Musiman dan Permukiman (KBTMP).
Fungsi kawasan di Kecamatan Tawangmangu dibedakan menjadi 4 macam yaitu
Kawasan Lindung (KL) seluas 4842,34 Ha, Kawasan Penyangga (KP) seluas 1348,31
Ha, Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan (KBTT) seluas 18,58 Ha, Kawasan Budidaya
Tanaman Musiman dan Permukiman (KBTMP) seluas 39,38 Ha.
Fungsi kawasan juga dapat ditunjukkan melalui Peta Fungsi Kawasan
berdasarkan hasil tumpangsusun dan skoring penentu fungsi kawasan. Berikut ini
merupakan Peta Fungsi Kawasan Kecamatan Tawangmangu tahun 2018.

Gambar 3 Peta Fungsi Kawasan Kecamatan Tawangmangu 2018


11

Kebakaran Hutan per Satuan Lahan


Kondisi kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu diperoleh dari hasil
perhitungan antar parameter penentu resiko kebakaran hutan, yaitu vegetasi, kemiringan
lereng, arah lereng, jarak dari jalan, dan jarak dari permukiman. Sebagian besar lahan
yang tergolong resiko kebakaran hutan sedang memiliki kelas lereng III dengan
kemiringan antara 10-15% atau antara 9o-22,5o dan arah lereng mayoritas menghadap ke
arah barat. Kondisi kontur di daerah beresiko kebakaran sedang yang agak curam
digunakan masyarakat untuk menanam berbagai jenis vegetasi yang produktif seperti
persawahan dengan sistem terasering hingga tanaman keras seperti jati dan sengon. Jika
dilihat jaraknya dari permukiman, sebagian besar lahan ini berada dalam radius kurang
dari 1000 meter sehingga memungkinkan aktivitas manusia di sekitar lahan berpengaruh
pada resiko kebakaran hutan. Hal ini karena pola permukiman di Kecamatan
Tawangmangu yang kebanyakan bergerombol dan memanjang di sekitar jalan.
Daerah dengan kelas resiko kebakaran tinggi adalah daerah yang mempunyai
potensi yang tinggi untuk terjadinya kebakaran hutan. Vegetasi yang nampak pada lahan
dengan kelas resiko kebakaran tinggi adalah hutan pinus, hutan campuran seperti mahoni,
akasia, cengkeh, sengon, jati, dan lain sebagainya. Vegetasi yang nampak pada satuan
lahan beresiko kebakaran tinggi dianggap memiliki faktor yang berpengaruh yang pada
saat musim tertentu memiliki tingkat kekeringan tinggi yang memudahkan terjadinya
kebakaran hutan.
Daerah beresiko kebakaran tinggi di Kecamatan Tawangmangu dapat dikenali
dengan kenampakan mencolok selain dari vegetasinya juga dapat dilihat dari
kenampakan kemiringan lerengnya. Sebagian besar kemiringan lereng di Kecamatan
Tawangmangu yang masuk kategori kelas resiko kebakaran tinggi berada pada tingkat 4
dan 5. Semakin tinggi tingkat kemiringan lereng maka semakin mempercepat kejadian
kebakaran karena sifat api yang cepat menajalar kearah atas. Jika dilihat dari jaraknya
kawasan hutan dengan kawasan permukiman terhitung dekat dengan jarak antara 500
hingga 2000 meter dari pusat permukiman. Dari segi ini masih memungkinkan adanya
aktivitas manusia bukan hanya dari permukiman, namun juga aktivitasnya dalam
bercocok tanam.
Daerah dengan kelas resiko kebakaran sangat tinggi adalah daerah yang paling
berpotensi untuk terjadinya kebakaran hutan. Kelas ini merupakan kelas tertinggi yang
teridentifikasi di Kecamatan Tawangmangu. Dari parameter-parameter yang diukur pada
12

lahan beresiko sangat tinggi menunjukkan bahwa nilai dari masing-masing parameter
berada pada nilai maksimal. Seperti bervegtasi belukar dan hutan, serta berlereng curam.

Tabel 7 Luasan Resiko Kebakaran Hutan per Satuan Lahan Kecamatan Tawangmangu
2018
Kelas Resiko
No Desa Sangat Tidak Luas (Ha)
Sedang Tinggi
Tinggi Dianalisis
1 Gondosuli 186,82 765,32 269,56 50,79 1272,49
2 Tengklik 302,15 496,28 186,54 49,78 1034,75
3 Blumbang 111,38 770,4 52,75 49,56 984,09
4 Tawangmangu 18,07 431,81 15,98 184,96 650,82
5 Sepanjang 7,32 255,64 213,68 86,77 563,41
6 Kalisoro 0,77 394,95 7,08 94,55 497,35
7 Plumbon 48,29 266,89 72,86 59,9 447,94
8 Bandardawung 107,56 94,63 35,36 89,8 327,35
9 Nglebak 4,55 121,06 35,77 108,63 270,01
10 Karanglo 55,61 52,22 0 95,79 203,62
Jumlah 842,52 3649,2 889,58 870,53 6251,83
Sumber: Hasil Analisis Data Resiko Kebakaran Hutan Kecamatan Tawangmangu 2018

Selain diketahui dari tabel 7, untuk mengetahui persebaran wilayah resiko


kebakaran hutan per satuan lahan dapat diketahui pada peta berikut.

Gambar 4 Peta Resiko Kebakaran Hutan per Satuan Lahan Kecamatan


Tawangmangu 2018
13

Kebakaran Hutan per Fungsi Kawasan


Pemetaan resiko kebakaran hutan per fungsi kawasan di Kecamatan
Tawangmangu dilakukan dengan cara tumpang susun hasil satuan lahan yang kemudian
dilakukan skoring terhadap parameter-parameter penentu fungsi kawasan seperti tanah,
lereng, dan intensitas curah hujan. Proses penentuan kelas resiko kebakaran hutan per
fungsi kawasan juga sama dengan penentuan kelas kebakaran hutan per satuan lahan
yang membedakan hanyalah tiap-tiap satuan lahan ditentukan dahulu masuk kategori
fungsi kawasan tertentu sesuai kriterianya.
Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa tingkat resiko kebakaran tertinggi
berada di fungsi kawasan lindung dengan luas total 4548,51 Ha dengan rentang kelas
resiko sedang hingga sangat tinggi. Tingkat resiko kebakaran hutan terendah berada pada
fungsi kawasan budidaya tanaman tahunan, meskipun pada kondisi lapangan kawasan ini
seharusnya memiliki tutupan lahan berupa tutupan lahan tanaman keras namun di
lapangan yang menjadi tutupan lahan yaitu permukiman dan pertanian. Lahan yang
termasuk dalam kelas ini seluas 18,58 Ha.

Tabel 4.18 Luasan Resiko Kebakaran Hutan per Fungsi Kawasan Kecamatan
Tawangmangu 2018
Kelas Resiko
Luas
No Fungsi Kawasan Sangat Tidak
Sedang Tinggi (Ha)
Tinggi Dianalisis
1 Lindung 402,81 3310,43 835,27 295,43 4843,94
2 Penyangga 423,42 317,8 41,14 567,57 1349,93
3 Budidaya Tanaman
18,58 0 0 0 18,58
Tahunan
4 Budidaya Tanaman
Musiman dan 32,13 0 0 7,24 39,37
Permukiman
Jumlah 876,94 3628,23 876,41 870,24 6251,83
Sumber: Analisis Data Resiko Kebakaran Hutan Kecamatan Tawanmangu 2018

Dari tabel 4.15 dapat diketahui bahwa kawasan paling beresiko terjadinya bencana
kebakaran hutan yaitu kawasan lindung. Kawasan lindung memiliki tingkat resiko
bencana kebakaran paling tinggi mulai dari kelas resiko sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Fungsi kawasan lindung berada pada wilayah administrasi Desa Gondosuli, Kelurahan
Blumbang, Kelurahan Kalisoro, Kelurahan Tawangmangu, dan Desa Tengklik. Kawasan
penyangga memiliki tingkat resiko kebakaran ke dua setelah kawasan lindung. Kawasan
ini tersebar di sekitar permukiman dan perkebunan di Kcamatan Tawangmangu yaitu di
Desa Tengklik bagian barat, Desa Sepanjang bagian barat, dan Desa Plumbon. Lahan
14

dengan tingkat resiko bencana kebakaran hutan paling kecil adalah kawasan budidaya
tanaman tahunan yang tersebar di Desa Plumbon. Untuk mengetahui persebaran lahan
fungsi kawasan berdasarkan tingkat resiko bencana kebakaran hutan dapat dilihat pada
Peta Resiko Kebakaran Hutan per Fungsi Kawasan Kecamatan Tawangmangu.

Gambar 5 Peta Resiko Kebakaran Hutan per Fungsi Kawasan Kecamatan


Tawangmangu 2018

Pembahasan
Pola keruangan Kecamatan Tawangmangu menunjukkan bahwa di kecamatan ini
memiliki tingkat resiko terjadinya bencana kebakaran hutan. Kondisi lereng gunung
dengan vegetasi berupa lahan hutan kering primer dengan jenis vegetasi hutan campuran,
pinus, dan mahoni, juga tanaman keras lainnya menjadi suatu sumber bahan bakar yang
mudah tersulut api di kala musim kemarau. Semak belukar dan serasah kering di bawah
pohon-pohon besar menjadi mudah terbakar di kala musim kemarau. Selain itu aktivitas
manusia sekitar areal hutan baik yang bermukim, bertani, mencari kayu, membuka lahan,
dan lain sebagainya berpotensi untuk terjadi kasus kebakaran yang menjalar hingga areal
hutan.
15

Intensitas curah hujan yang cukup tinggi di Kecamatan Tawangmangu sebagai


salah satu faktor penentu fungsi kawasan menunjukkan beberapa zonasi tingkat kering-
lembabnya suatu wilayah. Daerah yang kering menampakkan daerah yang mayoritas
terbuka dari unsur vegetasinya sedangkan daerah yang lembab menampakkan rapatnya
vegetasi seperti di daerah Desa Gondosuli dan Desa Tengklik. Kemiringan lereng yang
berbeda di masing-masing wilayah juga menentukan fungsi kawasan apa yang terbentuk.
Semakin curam lereng suatu wilayah maka semakin tinggi pula fungsi kawasan yang
terbentuk misalnya pada fungsi kawasan lindung dan penyangga. Pada kawasan ini sangat
tidak diharapkan untuk didirikannya permukiman penduduk karena tidak layak secara
kemiringan lerengnya yang dapat membahayakan penduduk yang tinggal. Kepekaan tanah
terhadap erosi juga penting dikaji untuk menentukan fungsi kawasan suatu wilayah.
Semakin peka terhadap erosi juga sebaiknya dibiarkan saja untuk tidak ditempati untuk
permukiman.
Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa tingkat resiko kebakaran tertinggi
berada di fungsi kawasan lindung dengan luas total 4548,51 Ha dengan rentang kelas
resiko sedang hingga sangat tinggi. Tingkat resiko kebakaran hutan terendah berada pada
fungsi kawasan budidaya tanaman tahunan, meskipun pada kondisi lapangan kawasan ini
seharusnya memiliki tutupan lahan berupa tutupan lahan tanaman keras namun di
lapangan yang menjadi tutupan lahan yaitu permukiman dan pertanian. Lahan yang
termasuk dalam kelas ini seluas 18,58 Ha.
Secara garis besar kejadian kebakaran hutan di Kecamatan Tawangmangu sebagai
bentuk akibat dari dua faktor yaitu alam dan manusia. Faktor alam seperti kekeringan,
kemiringan lereng, tutupan vegetasi alami, dan arah lereng menjadi modal untuk
berpotensi terjadinya kebakaran hutan. Faktor manusia yaitu aktivitas kendaraan
bermotor, aktivtas rumah tangga, perkebunan dan persawahan, dan pendakian merupakan
faktor pendorong terjadinya bencana kebakaran hutan.
Aktivitas pendakian sebagai salah satu aktivitas manusia yang menjadi salah satu
fenomena di Kecamatan Tawangmangu. Gunung Lawu sebagai salah satu tujuan
pendakian disamping mendatangkan keuntungan pendapatan asli daerah namun juga
memiliki potensi negatif bagi lingkungan khususnya di jalur pendakian. Dalam penelitian
ini jalan sebagai salah satu faktor penentu kebakaran hutan. Jalan yang dilalui para
pendaki untuk menuju puncak merupakan kawasan beresiko terjadinya kebakaran hutan.
Jika diruntut dari awal aktivitas ini, sekitar gerbang pendakian Gunung Lawu
terdapat banyak warug penjaja makanan. Dari kegiatan ini sudah dipastikan bahwa potensi
16

kebakaran hutan sudah ada. Aktivitas pembakaran sampah hingga kejadian tidak terduga
akibat ketidaksengajaan pada pedagang yang mengakibatkan kebakaran juga dapat
menjalar ke areal hutan. Selanjutnya pada situasi jalur pendakian yang merupakan salah
satu faktor penentu resiko kebakaran hutan. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa
semakin dekar suatu areal hutan dengan jalan maka semakin tinggi pula resiko kebakaran
hutan dikarenakan berhubungan dengan aktivitas manusia yang berlalu-lalang di sekitar
areal hutan. Sudah menjadi kebiasaan para pendaki untuk merokok untuk mengurangi rasa
dingin dan disela-sela perjalanan untuk berhenti sejenak guna melepas lelah. Keteledoran
dalam membuang punting rokok sangat berbahaya untuk area disekitar yang merupakan
hutan maupun semak belukar. Kondisi lereng yang curam berakibat pada mudahnya
penjalaran api ke arah atas. Selanjutnya pada kondisi pendaki pada saat di tiap-tiap pos
pendakian hingga puncak. Aktivitas memasak dan penyalaan api unggun juga berakibat
fatal jika tidak ditangani dengan benar. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa mulai
dari awal jalur pendakian hingga puncak memiliki resiko terjadinya bencana kebakaran
hutan. Sehingga semakin ke arah utara atau ke arah atas dari sisi gerbang pendakian, maka
semakin tinggi pula resiko terjadinya kebakaran hutan denga asumsi bagian bawah berupa
aktivitas warung, semakin ke arah utara atau ke arah atas menuju puncak Gunung Lawu
berupa aktivitas negatif selama pendakian, dan di bagian sekitar puncak yaitu api unggun
dan memasak. Hal ini dibuktikan dengan peta hasil dalam penelitian ini bahwa sekitar
jalur pendakian yakni di wilayah Desa Tengklik dan Desa Gondosuli bagian timur
memiliki tingkat resiko sangat tinggi terhadap bencana kebakaran hutan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis di Kecamatan Tawangmangu terdapat 4 macam fungsi kawasan,
yaitu fungsi kawasan lindung seluas 4842,34 Ha (77,45%), kawasan penyangga seluas
1348,31 Ha (21,56%), kawasan budidaya tanaman tahunan seluas 18,58 Ha (0,29%), dan
kawasan budidaya tanaman musiman dan permukiman seluas 39,38 Ha (0,62%). Kawasan
lindung terluas di Desa Gondosuli seluas 992,59 Ha dan yang tersempit di Desa Karanglo
seluas 69,24 Ha. Kawasan penyangga terluas di Desa Plumbon seluas 185,92 Ha dan yang
tersempit di Desa Sepanjang seluas 34,37 Ha. Kawasan budidaya tanaman tahunan hanya
terdapat di Desa Plumbon seluas 18,58 Ha. Kawasan budidaya tanaman musiman dan
17

permukiman terluas berada di Desa Karanglo seluas 25,39 Ha dan tersempit di Desa
Bandardawung seluas 13,98 Ha.
2. Berdasarkan hasil analisis di Kecamatan Tawangmangu terdapat 3 tingkat resiko
kebakaran hutan, yaitu sedang (842,52 Ha), tinggi (3649,2 Ha), dan sangat tinggi (889,58
Ha). Kelas resiko kebakaran sedang terluas berada di Desa Tengklik seluas 302,15 Ha dan
yang tersempit di Kelurahan Kalisoro seluas 0,77 Ha. Kelas resiko tinggi terluas berada di
Desa Gondosuli seluas 765,32 Ha dan yang tersempit di Desa Karanglo seluas 52,22 Ha.
Kelas resiko sangat tinggi terluas berada di Desa Gondosuli seluas 269,56 Ha dan
tersempit di Desa Karanglo dengan nilai nol Ha. Fungsi kawasan dengan resiko sangat
tinggi berada pada kawasan lindung seluas 835 Ha. Fungsi kawasan yang beresiko tinggi
adalah kawasan penyangga. Sedangkan kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan
budidaya tanaman musiman dan permukinan memiliki resiko rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. (2016). Pemahaman dan Solusi Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia. Bogor:
Forda Press

Alisjahbana, A., dkk. (2014, 14 Maret). Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat
Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013. World Resources Institute.
Diperoleh pada 20 November 2016, dari
http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-di-indonesia-mencapa i-tingkat-
tertinggi-sejak-kondisi-darurat-kabut

Amirullah, A. (2009, 25 Juni). Delapan Provinsi Indonesia Rawan Kebakaran Hutan. Viva
News. Diperoleh pada 20 November 2016, dari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/69967-8-titik-hutan-indonesia-rawan-
kebakaran

Ariefana, P. (2015, 27 Oktober). Seribu Hektare Lahan di Enam Gunung Jawa Tengah
Terbakar. Suara. Diperoleh pada 21 November 2016, dari
http://m.suara.com/news/2015/0/27/184054/seribu-hektare-di-enam-gunung-jawa-
tengah-terbakar

Arsyad, S. (1989). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB

Badan Pusat Statistik. (2012). Luas Kawasan Hutan dan Perairan Menurut Provinsi. diperoleh
pada 20 November 2016, dari https://www.bps.go.id /linkTabelStatis/view/id/1716

Badan Standardisasi Nasional. (2010). Klasifikasi Penutup Lahan. Diperoleh 21 November


2016, dari http://www.big.go.id/assets/download/sni/
SNI/15.%20SNI%2076452010%20Klasifikasi%20penutup%20lahan.pdf

Baja, S. 2012. Perancanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah Pendekatan
Spasial dan Aplikasinya. Yogyakarta: Andi
18

Berita Terkini. (2015, 25 Oktober) Kebakaran Gunung Lawu Belum Dapat Diatasi, Merembet
ke Jawa Tengah. Diperoleh pada 21 November 2016, dari
http://bnpb.go.id/home/detail/2682/Kebakaran-Gunung-Lawu-Belum-Dapat-Diatasi,-
Merembet-ke-Jawa-Tengah

Cáceres, C.F. (2011). Using GIS in Hotspots Analysis and for Forest Fire Fisk Zones
Mapping in the Yeguare Region, Southeastern Honduras. dalam Papers Resource
Analysis. 14 pp. Volume 13. University Central Services Press, Saint Mary’s
University of Minnesota. Amerika Serikat. Diperoleh pada 12 November 2016, dari
www.gis.smumn.edu /GradProjects/CaceresC.pdf
Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Sukabumi. (2017). Teori Segitiga Api. Diperoleh pada
12 Maret 2018, dari https://dinasdam kar.sukabumikab.go.id/2017/12/15/teori-
segitiga-api/

Erten, E., Kurgun, V., & Musaoglu, N. (2004). Forest Fire Risk Zone Mapping from Satelite
Imagery and GIS a Case Study. Dalam International Society for Photogrammetry
and Remote Sensing XXXV Proceeding Congress. Remote Sensing Division, Turkey.
Diperoleh pada 12 November 2016, dari http://www.isprs.org/proceeding/XXXV
/congress/yf/papers/927.pdf

Gerdzheva, A.A. (2014). A Comparative Analysis of Different Wildfire Risk Assessment


Models a Case Study for Smolyan District Bulgaria. Dalam European Journal of
Geography, Volume 5, Number 3: 22-36. Diperoleh pada 14 November 2016, dari
http://www.eurogeographyjournal.eu
/articles/EJG050302_A%20COMPARATIVE%20ANALYSIS%20OF%20DIFFERE
NT%20WILDFIRE%20RISK%20ASSESSMENT%20MODELS.pdf.

Ikonos Satellite. (2003). Diperoleh pada 19 November 2016, dari www.spaceimaging.com

Indriyanto. (2008). Pengantar Budi Daya Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Irwansyah, E. (2013). Sistem Informasi Geografis Prinsip Dasar dan Pengembangan


Aplikasi. Yogyakarta: Digibooks

Jaiswal, R.K., dkk. (2002). Forest Fire Risk Zone Mapping from Satellite Imagery and GIS.
Dalam International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation,
Volume 4, 1-10. Diperoleh pada 14 November 2016, dari
https://www.researchgate.net/publication/222180940_Forest_fire_
risk_zone_mapping_from_satellite_imagery_and_GIS

Jawad, A., Nurdjali, B., & Widiastuti, T. (2015). Zonasi Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan
Lahan di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Dalam Jurnal Hutan Lestari,
Volume 3, 88-97. Diperoleh pada 4 Maret 2018, dari
http://www.neliti.com/publications/10428

Kastolani, A. (2018). Ratusan Pendaki di Gunung Lawu Dievakuasi akibat Kebakaran Hutan.
Diperoleh pada 20 November 2016, dari http://www.inews.id/
19

Kelvin., Yuliana, P.E., & Rahayu, S. (2015). Pemetaan Lokasi Kebakaran berdasarkan Prinsip
Segitiga Api pada Industri Textile. Dalam Seminar Nasional Inovasi dalam Desain
dan Teknologi, ISSN: 2089-1121, 1-8. Diperoleh pada 6 Maret 2018, dari https://
www.researchgate.net/publication/319236837

Lo, C.P. (1995). Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: UI Press

Matin, M.A., dkk. (2017). Understanding Forest Fire Patterns and Risk in Nepal Using
Remote Sensing, Geograpic Information System and Historical Fire Data. Dalam
International Journal of Wildland Fire, Volume 26, 276-286. Diperoleh pada 29 Mei
2017, dari http://www.publish.csiro.au/WF/WF16056

Miardini, A. & Nugroho, N.P. (2013). Pemetaan Kawasan Rawan Kebakaran Hutan dengan
Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Studi
Kasus di Taman Nasional Bali Barat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Teknologi
Pengelolaan DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi,
Bogor

Normalized Difference Moisture Index (NDMI). (2017). Diperoleh pada 8 Januari 2018, dari
http://www.pro.arcgis.com/help

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah

Purbowaseso, B. (2004). Pengendalian Kebakaran Hutan Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka


Cipta

Purwadhi, F. & Hardiyanti, S. (2001). Interpretasi Citra Digital. Jakarta: Grasindo

Rasyid, F. (2014). Permasalahan Dan Dampak Kebakaran Hutan. Dalam Jurnal Lingkar
Widyaiswara, Edisi I, No. 4, 47-59. Diperoleh pada 30 Januari 2019, dari
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf

Simarangkir, S. (2005). Pemanfaatan Citra Ikonos dalam Kegiatan Peningkatan Potensi


Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Studu Kasus: Kelurahan Sukaresmi pada
Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Tesis. Bandung: Departemen Teknik Geodesi.
Institut Teknologi Bandung

Sistem Informasi Data dan Grafik Kabupaten Karanganyar. (2015). Data Luas Hutan.
Diperoleh pada 20 November 2016, dari
http://profildaerah.karanganyarkab.go.id/index.php/karanganyar/grafik/luas_hutan/74
?r=1&width=1366&height=768

Spicer, B. (2016). Top Ten Countries with Largest Area of Forest. Maps of World. Diperoleh
pada 18 November 2016, dari http://www.mapsofworld.com/world-top-
ten/countries-with-most-largest-area-of-forest.html
20

Sulistyawati, E. (2012, 13 Agustus). Hutan Lindung Gunung Lawu Terbakar. Solopos.


Diperoleh pada 21 November 2016, dari http://m.solopos.com /2012/08/13/hutan-
lindung-gunung-awu-terbakar-318791

Sutanto. (1986). Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial

World Atlas. (2015, 10 Desember). Largest Wildfires in the World. Diperoleh pada 19
November 2016, dari http://www.worldatlas.com/articles/the-blaze-of-oblivion-the-
top-deadliest-wildfires-in-the-world.html

Yunanto, A.I. (2019). Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Pemetaan Wilayah
Resiko Kebakaran Hutan di Lereng Barat Gunung Lawu Kecamatan Tawangmangu
Kabupaten Karanganyar 2018. Skripsi. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret

Zain, S.A. (1997). Hukum Lingkungan Konservavsi Hutan. Jakarta: Rineka Cipta

Potrebbero piacerti anche