Sei sulla pagina 1di 4

Bisnis Makanan dengan Sistem Waralaba

Makin Marak

SH/Don Peter
OUTLET WENDYS – Food Business Division Head Associate Director PT Wendy
Citrarasa, Sri Sumiyarsi bersama karyawan di Outlet Wendys Gedung BRI Tower, Jl.
Sudirman, Jakarta.

JAKARTA – Bisnis makanan dipercaya merupakan salah satu


dari sekian banyak bisnis yang tidak terlalu terkena imbas krisis.
Sebabnya, semua orang butuh makanan, sehingga otomatis
pasti dicari orang. Sekarang tinggal bagaimana mengemas
bisnis tersebut, sehingga mampu dijual. Yang jelas, faktor paling
mendasar adalah rasa (taste) dari makanan yang dijual. Setelah
itu untuk dapat sukses diperlukan strategi yang fokus dan
komitmen penuh. Tiga hal tersebut mutlak dilakukan oleh bisnis
makanan yang dikelola, baik secara mandiri atau dengan
menganut sistem waralaba (franchise).
CFC (California Fried Chicken) - restoran siap saji yang banyak
menganut sistem waralaba – juga melakukan strategi di atas.
Seperti dijelaskan oleh General Manager Operation, Cecep
Rakhman, pihaknya banyak melakukan inovasi baru. Sementara
ini katanya, CFC banyak melakukan pengembangan produk dan
pembukaan outlet. Yang akan segera diresmikan antara lain di
Jababeka, Dumai (Provinsi Riau), dan di Purwakarta.
Tahun ini CFC tegas Cecep, bersikap cukup ekspansif dengan
menargetkan pembukaan 10 outlet baru di sejumlah kota di
Tanah Air. Saat ini sudah berdiri sebanyak 124 outlet dengan 40-
an di antaranya dengan sistem waralaba, sisanya dengan modal
ventura (JV) dan dikelola sendiri.
Ia mengungkapkan kunci sukses berbisnis makanan dengan
sistem waralaba. ”Agar sukses di bisnis ini kuncinya cuma
komitmen. Kita ini komitmen untuk memberi kesempatan bagi
masyarakat lokal ikut menjalankan bisnis restoran siap saji
bersama CFC. Dan kita memberi beberapa alternatif pilihan
sehingga masyarakat bisa memilih,” ujarnya.
Cecep menyebutkan, kepada masyarakat yang ingin
menjalankan bisnis CFC, tersedia paket investasi beragam. CFC
mengenakan franchise fee sebesar Rp 100 juta, di samping itu
ada pula biaya untuk peralatan (equipment) mulai dari Rp 400
juta, Rp 500 juta dan Rp 600 juta, disesuaikan dengan luas
outlet antara 120 meter persegi, 150 meter hingga lebih dari 150
meter persegi.
Ia cukup yakin bahwa calon investor yang ingin menanamkan
uangnya, bisnis waralaba CFC memberi return atau
pengembalian yang cukup bagus. Menurutnya, pengalaman
CFC selama ini membuktikan, titik impas atau BEP (Break Even
Point) tercapai dalam waktu yang relatif cepat, tinggal sekarang
bagaimana lokasi outlet tersebut apakah strategis atau kurang.

Wendys Optimistis
Sementara, PT Wendy Citrarasa yang mengelola restoran
waralaba cepat saji Wendys Old Fashioned Hamburgers
misalnya secara perlahan tapi pasti berupaya bangkit setelah
terpengaruh krisis beberapa tahun lalu. Restoran waralaba dari
Amerika ini sempat mencapai 45 outlet di seluruh Indonesia.
”Namun, karena krisis melanda Indonesia, manajemen terpaksa
melakukan restrukturisasi dan kini tingal 25 outlet,” kata Food
Business Devision Head Associate Director PT Wendys
Citrarasa, Sri Sumiyarsi.
Menurut Sri—demikian ia biasa dipanggil—Wendys tetap optimis
bahwa bisnis makanan tetap prospek di dalam negeri. Apalagi,
restoran Wendys hampir tidak memiliki kompetitor. Karena
restoran yang hampir sejenis umumnya siap saja, sementara
Wendys adalah restoran cepat saji. ”Jadi, ada yang berbeda, di
mana Wendys selalu menyajikan makanan yang fresh,”tuturnya.
Selain itu, kata Sri, Wendys juga memiliki menu yang berbeda
dengan restoran lain, termasuk restoran siap saji. Beberapa jenis
makanan yang disajikan memang hampir sama seperti chicken,
spaghetti, kentang dan hamburger. Yang membedakan Wendys
dengan lainnya adalah menu. Ada sejumlah menu bagus di
Wendys seperti Chili with rice, chili, baked patato, chesse sauce.
Bahan bakunya semuanya impor dan sangat diminati konsumen
asing maupun lokal.
Soal segmen pasar restoran Wendys, kata Sri Sumiarsi yang
saat itu didampingi Distric Manager PT Wendy Citrarasa, Ade
Permatasari, usia 15 tahun hingga 40 tahun. Karena itu, Wendys
umumnya tidak hadir di semua tempat, melainkan hanya di kota-
kota atau lokasi tertentu saja. Hingga saat ini, outlet Wendys
kebanyakan di Jakarta, sedangkan di kota lain masing-maisng di
Cirebon, Yogyakarta, Malang, Surabaya dan Bali.
Dalam waktu dekat, Wendys akan membuka outlet baru.
Persiapan untuk pembukaan kembali sejumlah outlet sedang
dilakukan. Dan kebetulan, sistem waralaba yang dikelola
restoran ini sepenuhnya masih dikuasai PT Wendy Citrarasa.

Resep
Dibandingkan waralaba makanan atau restoran siap saji lainnya,
Cecep optimis bahwa CFC lebih baik. Bahkan ia tidak takut
dengan persaingan yang ketat yang datang dari restoran
waralaba asing lain yang juga marak masuk ke Indonesia
belakangan ini. Tanpa menyebut merek waralaba asing lain
seperti KFC, McDonald, Wendys, ia menyatakan bahwa CFC
jauh lebih fleksibel.
”Kita ini sepenuhnya waralaba lokal tetapi lebih fleksibel, karena
memberi keleluasaan bagi investor untuk memilih paket
waralaba. Berbeda dengan waralaba asing yang kaku dengan
aturan, CFC hanya menerapkan standar yang sama untuk
produksi dan harga,” katanya menambahkan.
Hal itu disadari sangat penting sebagai bentuk kontrol atas bisnis
dan menjamin keberlangsungan bisnis. Karena jika standar
produksi dan harga tidak dilakukan, ia takut komplain konsumen
dialamatkan kepada CFC, sehingga menimbulkan citra buruk.
Untuk diketahui, CFC dahulunya adalah waralaba asing asal
Amerika Serikat dengan nama Pioneer Chicken. Ketika tahun
1989 perusahaan induk di AS mengalami kebangkrutan, pihak
CFC di Indonesia mengganti nama perusahaan.
”Kita tinggal mengambil resep dari AS dan CFC tetap menyajikan
produk-produk standar. Terbukti selama ini CFC mampu terus
berkembang dan melakukan inovasi-inovasi,” katanya
menjelaskan.

Bebek Bali
Sementara itu, PT Sarwagata Keluarga Sejahtera, pemilik Resto-
Café-Gallery Bebek Bali kini sedang menawarkan restorannya
secara waralaba, baik kepada investor lokal maupun asing.
”Hadirnya AFTA (Asean Free Trade Area) di dalam kondisi daya
beli masyarakat yang cenderung menurun sebagai akibat kondisi
perekonomian nasional yang masih belum pulih memaksakan
waralaba asing bersikap wait and see masuk ke pasar
Indonesia. Kondisi demikian ini, kami lihat justru sebagai peluang
dengan menawarkan restoran kami secara waralaba, baik buat
investor lokal maupun asing,” ungkap Presiden Direktur PT
Sarwagata Keluarga Sejahtera, Millyana Rani di Jakarta belum
lama ini.
Menurut Millyana, pada 2003 ini, Bebek Bali akan
mengembangkan usaha waralabanya ke Malaysia, yang sudah
dirintis sejak tahun 2002 lalu dan ke Bangkok (Thailand). Sejak
didirikan tahun 1997, hingga kini telah memiliki tiga outlet,
masing-masing di Taman Ria Senayan, Water Boom, Cikarang
dan Batam Center. Dalam kurun waktu enam tahun, Bebek Bali
telah menghasilkan pertumbuhan revenue rata-rata 30
persen/tahun.
Tentang besarnya peluang yang ditawarkan kepada investor
pembeli waralaba Bebek Bali di Indonesia, menurut Millyana,
yakni return on investment (ROI) 25 persen per tahun, sehingga
diharapkan investor akan mendapatkan investasinya kembali
pada tahun keempat. Kami optimis target ini tercapai, karena
penggemar masakah bebek di Indonesia sangat besar
jumlahnya bila dibandingkan dengan jumlah restoran yang
menawarkan makanan bebek,” cetus Millyana Rani lagi.
Tentang besarnya dana yang harus dikeluarkan investor untuk
bisa membeli waralaba Bebek Bali, menurut Millyana, terbagi
berbagai katregori. ”Kami memberikan peluang kepada investor
guna mendapatkan harga murah untuk membayar franchise fee
mulai dari Rp 150 juta untuk usaha resto hingga Rp 200 juta buat
usaha resto café. Sedangkan royalty fee per bulan sebesar lima
persen dari revenue. Nilai pembayaran sebesar ini sudah
termasuk dukungan penuh manajamen Bebek Bali, mulai dari
standar operasional, training, hingga pasokan seluruh kebutuhan
Bebek Bali,” ungkapnya.
(gun/rvs/kbn)

Copyright ©
Sinar Harapan
2003

Potrebbero piacerti anche